Kelembutan Dalam Baja

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelembutan Dalam Baja as PDF for free.

More details

  • Words: 68,032
  • Pages: 229
1

Suasana ramai di Hall Istana Vezuza menjadi sunyi tatkala seorang pemuda dalam pakaian seragamnya yang berwarna putih kebiru-biruan, melintasi Hall dengan terburu-buru. Pedang panjangnya terayun-ayun seiring dengan langkah kakinya yang lebar. Wajahnya menampakkan ketegangan hatinya. Entah apa yang membuat pemuda tampan itu begitu tegang. Tak seorangpun di Hall itu yang tahu dan tak seorangpun yang ingin tahu. Semua orang di sana hanya ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda tampan namun dingin itu kepada Putri Eleanor yang mendekatinya. “Selamat pagi, Kakyu,” sapa Putri Eleanor sambil tersenyum manis. Kakyu tahu apa yang diharapkan Putri cantik itu dari dirinya. Dengan sopan, ia meraih tangan Putri Eleanor dan menciumnya sambil berkata, “Selamat pagi, Tuan Puteri.” “Apa yang membuatmu terburu-buru, Kakyu?” “Maafkan saya, Tuan Puteri,” kata Kakyu, “Saya tidak dapat memberitahu Anda.” “Apakah engkau benar-benar ingin segera bertemu Papa?” tanya Putri Eleanor – meyakinkan dirinya sendiri. “Benar, Tuan Puteri.” “Apakah terjadi sesuatu pada Istana?” selidik Putri Eleanor. “Tidak, Tuan Puteri.” Putri Eleanor jengkel terus menerus menerima jawaban singkat. Walaupun begitu ia tidak menampakkannya. Semua orang tahu Kakyu adalah seorang pemuda yang tampan dan dingin. Kata-katanya memang tidak pernah terdengar dingin tapi sikapnya yang selalu menjauhi keramaian, menampakkan kedinginan hatinya. Menghadapi segala macam pertanyaan pun, Kakyu bersikap dingin. Pertanyaan apa pun selalu dijawabnya dengan singkat. Kakyu benar-benar seorang pemuda tampan yang dingin. Walaupun begitu banyak gadis yang tergila-gila padanya. Bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga karena ketangguhannya. Semua orang di Kerajaan Aqnetta tahu Kakyu adalah Perwira Tinggi yang termuda di kerajaan ini. Pada usianya yang masih sangat muda ini, Kakyu telah menduduki sebuah posisi yang cukup penting di Kerajaan Aqnetta dan yang paling penting di Istana Vezuza, yaitu Kepala Keamanan Istana. Hal ini tidaklah mengherankan. 1

Sebagai putra Jenderal Reyn yang terkenal tangguh walaupun usianya telah tua, sejak kecil Kakyu telah dididik dengan keras oleh ayahnya agar dapat menggantikannya menjaga keamanan kerajaan ini. Setiap hari dilalui Kakyu dengan berlatih pedang dengan ayahnya. Setiap hari pula Jenderal Reyn mengajarkan kepandaian taktik perangnya kepada putranya. Walaupun itu berarti Kakyu harus belajar keras setiap hari untuk menjadi seorang prajurit yang tangguh seperti ayahnya, Kakyu tidak pernah mengeluh. Malahan Kakyu menyukainya. Jenderal Reyn sangat senang ketika mengetahui putranya senang memainkan pedangnya. Dan ia lebih senang lagi ketika menyadari putranya berbakat dalam ilmu perang serta cepat menguasainya. Melihatnya, Jenderal Reyn menjadi tidak sabar. Ketika usia Kakyu mencapai empat belas tahun, Jenderal Reyn yang saat itu telah menduduki posisi sebagai Jenderal Angkatan Darat, meminta kepada Jenderal Tertinggi Kerajaan Aqnetta, Jenderal Decker untuk memasukkan Kakyu sebagai pasukan pengawal Istana. Tentu saja Jenderal Decker merasa terkejut dengan permintaan itu. Dari beberapa kali perjumpaannya dengan Kakyu, Jenderal Decker tahu pemuda itu adalah seorang prajurit yang tangguh walau usianya masih muda. Jenderal Decker tahu Kakyu cukup tangguh untuk menjadi prajurit Istana, tapi tidak saat ini. Usia Kakyu masih terlalu muda untuk dapat menjadi prajurit apalagi menjadi prajurit Istana yang bertugas menjaga keamanan dan keselamatan setiap penghuni Istana khususnya keluarga Raja. Jenderal yang telah mengenal Kakyu itu juga tahu Kakyu adalah pemuda yang sopan dan pendiam. Pemuda itu takkan mencari apalagi menimbulkan masalah selama ia berada di Istana Vezuza. Segala sesuatu pada pemuda itu memenuhi syarat untuk menjadi satu dari pasukan penjaga Istana. Semuanya baik kemahirannya memainkan pedang maupun sikapnya yang dingin-dingin tenang. Jenderal Decker sering bertanding pedang dengan Kakyu di saat ia mengunjungi rumah Jenderal Reyn, Quentynna House. Dan dari setiap pertandingan itu, ia tahu ketangguhan pemuda itu tidak perlu diragukan lagi. Ketangguhan pemuda itu terus meningkat dari hari ke hari. Dengan berbekal keyakinan itu, Jenderal Decker mengajukan permintaan itu kepada Raja Alfonso. Seperti halnya dengan Jenderal Decker, Raja Alfonso juga terkejut dengan permintaan Jenderal Reyn itu. Jenderal Decker tahu Raja yang tidak pernah mengenal Kakyu itu meragukan kemampuan Kakyu dalam usianya yang tergolong sangat muda itu. Untuk menghilangkan keraguan Raja Alfonso itu, Jenderal Decker 2

mengusulkan diadakannya suatu ujian untuk menguji ketangguhan Kakyu di hadapan Raja sendiri. Raja Alfonso menyetujui usul itu. Keesokan paginya, Kakyu telah berdiri di hadapan Raja Alfonso. Kakyu telah siap menghadapi setiap ujian Raja di halaman Istana Vezuza yang sangat luas. Walaupun tahu hari ini takkan dilewatinya dengan mudah, Kakyu tetap tampak tenang. Ketenangan di wajah muda Kakyu itu membuat Raja menyukai Kakyu apalagi mata hijaunya yang membara seperti rambut merahnya. Raja Alfonso menyukai semangat yang tampak di wajah tenang pemuda itu. Tapi hal itu tidak cukup untuk membuat Alfonso mengurungkan niatnya menguji ketangguhan Kakyu. Seharusnya Raja tidak perlu meragukan ketangguhan Kakyu. Dengan mudahnya, Kakyu melewati setiap rintangan yang menghalanginya. Kakyu sama sekali tidak gentar tatkala ia harus menghadapi sejumlah pasukan Istana yang lebih tua sepuluh tahun bahkan lebih darinya. Walupun tahu lawan yang dihadapinya lebih kuat dan lebih berpengalaman darinya, Kakyu tetap tampak tenang. Dengan gerakannya yang lincah dan cepat, Kakyu menjatuhkan lawannya satu per satu tanpa kesulitan. Ketangguhan Kakyu telah terbukti tapi Raja Alfonso tetap tidak puas. Dan sepertinya Raja tidak pernah puas menguji Kakyu. Walaupun Raja Alfonso telah memasukkan Kakyu menjadi seorang prajurit Istana, Raja Alfonso tetap sering menyuruh Kakyu melakukan berbagai hal yang aneh untuk menguji pemuda itu. Bahkan sesaat sebelum Raja Alfonso mengakui ketangguhan Kakyu, Raja menyuruh Kakyu melakukan hal yang paling aneh yang membuat Jenderal Decker dan ayah Kakyu serta pejabat-pejabat kerajaan lainnya terkejut. Bagaimana mungkin mereka tidak terkejut mendengar Raja berkata, “Sebelum aku mengatakan sesuatu tentang ketangguhanmu, aku ingin mengujimu sekali lagi,” kata Raja Alfonso sambil menatap wajah tenang Kakyu, “Aku ingin engkau mencuri mahkota kerajaanku di Ruang Mahkota.” Satu-satunya orang yang tidak terkejut mendengar kata-kata Raja itu hanya Kakyu seorang. Dengan sopan ia berkata, “Baik, Paduka.” Raja tersenyum mendengar jawaban tegas itu. “Engkau harus tahu, engkau tidak akan memasuki Istana dengan mudah,” kata Raja, “Kamu akan menyambut kedatanganmu dengan strategi. Anggap saja ini seperti latihan menyusup ke sarang musuh.” “Saya mengerti, Paduka.” “Ingat, engkau harus dapat mencuri mahkotaku tanpa diketahui siapapun. Engkau juga tidak boleh meminta bantuan siapapun walaupun orang 3

itu adalah ayahmu.” “Baik, Paduka.” “Engkau juga harus tahu engkau tidak akan mengetahui seluk beluk Istana ini sebelum engkau menyusup masuk.” Sekali lagi Raja Alfonso membuat semua orang di sekitarnya terkejut, kecuali Kakyu. Semua orang termasuk Jenderal Decker dan Jenderal Reyn yang mengetahui ketangguhan pemuda itu, meragukan kemampuan Kakyu menyusup ke dalam Istana Vezuza tanpa mengetahui apapun tentang Istana Vezuza sekaligus menghadapi strategi yang akan dibuat untuk mempertahankan mahkota dan mencegah Kakyu memasuki Istana Vezuza. Jelas ini adalah kali pertama Kakyu memasuki Istana. Dan sangat jelas Raja akan mempersiapkan strategi yang sulit ditembus siapapun khususnya Kakyu yang masih muda, bersama para Jenderal. “Saya mengerti, Paduka.” Raja tersenyum jengkel mendengar jawaban singkat dari pemuda itu untuk kesekian kalinya. “Tidak dapatkah engkau mengatakan yang lain selain ‘Baik, Paduka’ ataupun ‘Saya mengerti, Paduka’?” “Tidak, Paduka,” jawab Kakyu jujur. Rajan terkesan melihat kejujuran pemuda di hadapannya yang masih berdiri dengan semangat membara walaupun sepanjang siang ia telah melalui berbagai rintangan yang melelahkan. Melihat semangat Kakyu yang tiada kunjung padam itu, Raja semakin ingin menguji, menguji dan menguji Kakyu. Raja tahu ia takkan pernah puas menguji Kakyu. “Baiklah, Kakyu, aku tidak akan menahanmu lagi. Bersiap-siaplah, Kakyu,” kata Raja, “Tentukan sendiri kapan engkau memasuki Istana, tapi ingat satu hal. Sebelum waktu makan malam tiba, engkau harus sudah mengambil mahkota itu dan itu berarti waktumu akan semakin sempit kalau engkau tidak segera bersiap-siap.” “Saya mengerti, Paduka.” “Ingat, Kakyu, engkau baru boleh memasuki Istana tiga jam lagi.” Untuk kesekian kalinya para pejabat itu terkejut mendengar perkataan Raja. Saat ini matahari mulai mendekati peraduannya dan tiga jam lagi matahari telah sampai di peraduannya. Itu berarti Kakyu harus menyusup ke dalam Istana pada malam hari. Para pejabat semakin meragukan kemampuan Kakyu. Ketidaktahuan tentang seluk beluk Istana ditambah harus menghadapi strategi pertahanan yang sulit ditembus saja sudah membuat Kakyu kesulitan apalagi masih ditambah suasana malam yang gelap. 4

Setiap orang di sana meragukan keberhasilan Kakyu terlebih lagi saat mereka melihat semangat Raja yang begitu besar untuk membuat strategi pertahanan yang kuat. Baru kali ini mereka melihat Raja Alfonso yang baik hati begitu bersemangat menguji seseorang apalagi orang itu masih berusia empat belas tahun. Hari-hari berikutnya setelah Kakyu menjadi pasukan Istana, mereka tetap merasa heran melihat semangat menguji Raja tetap besar. Mereka mengerti mengapa Raja bisa sedemikian bersemangatnya untuk terus menguji Kakyu. Ketangguhan dan kepandaian Kakyu dalam menghadapi strategi perang tidak perlu diragukan lagi. Raja sendiri telah mengakuinya ketika Kakyu menyerahkan mahkota kerajaan itu padanya. Semua orang menganggap Kakyu telah gagal ketika sampai saat makan malam tiba, Kakyu belum juga muncul beserta mahkota curiannya. Bahkan prajurit yang menjaga Ruang Mahkota pun belum melaporkan hilangnya mahkota dari ruangan itu. Tak heran bila mereka sangat terkejut ketika Kakyu tiba-tiba melompat dari ujung tirai jendela yang tinggi beserta mahkota kerajaan yang asli di tangannya. Tanpa banyak berbicara, Kakyu menyerahkan mahkota itu kepada Raja Alfonso. “Bagaimana engkau bisa tahu letak mahkota yang asli ini?” tanya Raja Alfonso keheranan. Raja mengamati mahkota di tangannya. Sekali melihat saja, ia tahu mahkota yang dibawa Kakyu adalah yang asli bukan mahkota palsu yang sengaja diletakkannya di Ruang Mahkota. Jelas tidak seorangpun dari mereka yang menyusun strategi itu yang memberitahu Kakyu. Sejak mereka selesai mempersiapkan strategi itu, tidak seorangpun dari mereka yang beranjak dari sisi Raja. Bersama-sama mereka menanti perkembangan yang terjadi dari pasukan yang telah siap di tempat mereka masing-masing. Sejak menyusun strategi itu mereka terus menanti Kakyu di Ruang Perundingan hingga tiba saat makan malam ini. “Tuan rumah tidak akan memberitahu letak harta bendanya pada orang yang diketahuinya sebagai pencuri,” kata Kakyu tenang. Sejak awal Kakyu sudah tahu mahkota itu tidak mungkin diletakkan di Ruang Mahkota seperti kata Raja, tapi Kakyu tidak tahu di mana Raja akan meletakkan mahkota asli itu. Baru ketika melihat Ruang Tahta itulah Kakyu menduga mahkota itu ada di Ruang Tahta. Kakyu beruntung dugaannya tepat. 5

Raja tidak tahu harus berbuat apa. Yang pasti Raja senang sekaligus kagum pada Kakyu yang dapat menyelesaikan tugas beratnya tanpa kesulitan. “Aku sangat mengagumi ketangguhanmu, Kakyu, hingga aku tidak tahu harus berbuat apa,” kata Raja, “Tampaknya aku harus mengakui kemampuanmu, Kakyu. Engkau telah menembus strategi pertahanan terbaikku tanpa kesulitan. Aku tidak tahu bagaimana engkau mengetahui letak mahkota asli ini, tapi aku mengakui kecerdasanmu itu.” “Terima kasih, Paduka,” kata Kakyu singkat. Jenderal Reyn bangga pada putranya. Di matanya putranya ini memang tangguh dan tidak perlu diragukan lagi kemampuannya. “Kau tidak memasuk Istana dengan cara itu, bukan?” tanya Jenderal Reyn tiba-tiba. “Maafkan aku, Papa.” “Kau tahu itu bahaya, mengapa engkau melakukannya?” Kecemasan Jenderal Reyn membuat Raja Alfonso tertarik. “Apa yang kaucemaskan, Reyn? Putramu telah membuktikan kemampuannya dengan menembus strategi kita.” “Cara apa yang kaumaksudkan, Reyn?” tanya Jenderal Decker ingin tahu. “Menyusup lewat atap rumah,” kata Jenderal Reyn. “Apa!?” Seruan terkejut semua orang di ruangan itu tidak menganggu ketenangan Kakyu. “Setiap kali aku menyuruhnya menyusup ke dalam rumah, Kakyu selalu melewati atap,” Jenderal Reyn memperjelas, “Dan setiap kali pula aku telah menasehatinya tapi ia tidak pernah mendengarkanku.” “Maafkan aku, Papa,” kata Kakyu tenang. “Sudahlah, aku tahu engkau memang senang menantang bahaya.” “Sudahlah, Reyn. Jangan kaumarahi lagi putramu. Ia memang benar. Kita tidak memikirkan kemungkinan ia menyusup melalui atap dan ia berhasil karena kecerdikannya itu,” kata Raja Alfonso, “Duduklah, Kakyu, aku ingin tahu bagaimana caramu menyusup ke dalam Istana tanpa diketahui siapapun.” “Papa!” Seseorang tiba-tiba berseru di pintu. Semua mata tertuju pada arah datangnya suara itu dan membungkuk memberi hormat ketika gadis kecil itu memasuki ruangan, tak terkecuali Kakyu yang baru pertama kali berjumpa Putri Eleanor. “Papa, mengapa banyak prajurit yang memenuhi Istana?” tanya Putri Eleanor, “Apakah terjadi sesuatu?” “Tidak, Eleanor,” kata Raja Alfonso, “Aku hanya ingin menguji seorang pemuda.” “Ia berhasil?” tanya Putri Eleanor tertarik.

6

“Tentu saja, Eleanor. Bagaimana mungkin putra Jenderal Reyn yang hebat, gagal melewati ujian ini,” kata Raja. “Putra Jenderal Reyn?” tanya Putri Eleanor semakin tertarik, “Di mana dia?” “Ia berada tepat di sampingku,” kata Raja Alfonso sambil menarik Kakyu ke depannya. “Kukenalkan padamu, Eleanor, pemuda terhebat yang pernah kutemui, Kakyu.” Itulah pertama kalinya Putri Eleanor bertemu Kakyu. Dan semua orang tahu sejak saat itu Putri Eleanor yang hanya setahun lebih muda dari Kakyu, menyukai pemuda itu. Walaupun tidak ada yang tahu pasti, tapi semua orang tahu Kakyu menjadi pengawal pribadi Putri Eleanor, atas permintaan Putri Eleanor sendiri. Sejak menjadi pengawal Putri Eleanor, semakin banyak orang yang mengenali Kakyu. Seiring dengan itu semakin banyak pula orang yang mengagumi pemuda tampan itu. Sebelumnya Jenderal Reyn memang tidak pernah melarang Kakyu meninggalkan Quentynna House, tapi Kakyu sendiri yang lebih senang berlatih di Quentynna House atau di tempat lain yang jauh dari keramaian. Memang tidak setiap hari Kakyu berada di Quentynna House, ia juga sering meninggalkan Quentynna House untuk berkuda serta berburu di hutanhutan. Tapi karena sifat Kakyu yang pada dasarnya pendiam, tidak banyak yang tahu tentang pemuda itu. Sifat pendiam Kakyu tetap melekat pada diri pemuda itu walau ia terus berada di samping Putri Eleanor yang tidak henti-hentinya mengusik ketenangan pemuda itu. Ada-ada saja yang dilakukan Putri Eleanor untuk merepotkan Kakyu. Sebentar ia mengajak Kakyu bermain. Tak lama kemudian ia memaksa Kakyu menemaninya berjalan-jalan. Masih belum cukup kerepotan yang ditimbulkan Putri itu, Raja Alfonso masih menambahi kerepotan Kakyu dengan menyuruhnya melakukan hal yang aneh-aneh. Ada saja yang dilakukan Raja Alfonso untuk menguji pemuda itu. Ratu yang melihatnya, merasa baik Raja maupun Putri sedang mempermainkan Kakyu dan tampaknya mereka senang melakukannya. Diam-diam Ratu merasa kagum pada kelincahan Kakyu dalam menghadapi setiap perintah suami maupun putrinya. Melihat sikap Kakyu yang tetap tenang walaupun tugas yang diterimanya sangat berat, Ratu Ylmeria yakin putranya yang masih berada di Inggris juga akan mengagumi pemuda itu. Kakak Putri Eleanor, Pangeran Reinald yang lebih tua sembilan tahu dari Putri Eleanor, dikirim ke Inggris oleh Raja Alfonso sepuluh tahun yang lalu. Pangeran Reinald berada di Inggris bukan untuk bersenang-senang melainkan untuk bersekolah dii Oxford. 7

Sebelum Pangeran Reinald berangkat, Pangeran tidak pernah bertemu Kakyu. Tapi Ratu sangat yakin seperti halnya setiap orang di Istana Vezuza, Pangeran Reinald juga akan mengagumi Kakyu. Ratu Ylmeria juga sangat yakin Pangeran dan Kakyu akan dapat menjadi teman baik. Walaupun Kakyu masih muda, ia nampak dewasa dengan sikap dingindingin tenangnya itu. Kelakuan Kakyupun tidak perlu diragukan lagi, Kakyu sangat sopan dan dibalik sikap dingin-dingin tenangnya, ia menyimpan keramahannya. Ratu tahu bukan itu yang membuat Raja gemar mempermainkan Kakyu. Kecerdasan yang didukung kelincahan Kakyu dalam usianya yang masih sangat muda itulah yang menyebabkannya. Suatu hari yang cerah di musim semi, Raja Alfonso berencana berburu di hutan di kaki Pegunungan Alpina Dinaria. Putri Eleanor yang mengetahui rencana ayahnya ini tidak mau ketinggalan. Mulanya Raja melarang putrinya ikut, tapi Raja segera mengubah keputusannya itu saat ia mendapat ide untuk mempermainkan Kakyu lagi. Raja belum pernah bertanding sendiri dengan Kakyu, karena itu ia berniat mewujudkan keinginannya itu di Hutan Naullie yang masih lebat dan berbahaya dengan binatang buasnya. Seperti biasanya, Kakyu tampak tenang menghadapi tantangan Raja Alfonso itu. Kakyu bukan pemuda yang bayak dikagumi orang bila ia tidak berani menerima tantangan itu apalagi di Hutan Naullie yang paling sering dikunjunginya. Jarak antara Chiatchamo dan Naullie yang biasanya ditempuh dalam satu setengah hari berkuda, biasanya dicapai Kakyu dalam waktu kurang dari satu hari. Tapi kali ini ia tidak pergi ke Naullie sendirian. Ada rombongan kerajaan yang harus dikawal dan dijaganya. Begitu mereka sampai di Hutan Naullie, Raja segera menyuruh prajurit mencari tanah yang lapang untuk mendirikan tenda. Karena tidak mungkin membangun tenda di hutan yang lebat itu, mereka mendirikannya di depan hutan itu. Hanya perlu berjalan kurang lebih sepuluh meter untuk mencapai tepi Hutan Naullie. Rupanya kali ini Raja Alfonso benar-benar tidak sabar ingin segera mempermainkan Kakyu. Begitu tenda berdiri, Raja segera memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap berburu tanpa mempedulikan kelelahan mereka setelah seharian berkuda lalu mendirikan tenda. 8

Walau keinginan Raja kali ini terkesan keterlaluan, mereka semua mematuhinya. Bukan karena mereka tidak berani menasehati Raja Alfonso untuk tidak melakukannya, tapi karena mereka mengerti keinginan Raja itu. Biasanya tugas atau orang suruhan Raja yang menguji Kakyu, kali ini Raja Alfonso sendiri yang akan menguji pemuda itu. Dan itu membuat Raja menjadi tidak sabar. Lain halnya dengan Kakyu. Sejak awal Raja Alfonso mengajaknya berburu di Hutan Naullie, Kakyu berniat untuk tidak menunjukkan apapun kepada Raja. Dengan kata lain sejak awal mula Kakyu berniat mengalah kepada Raja. Dalam pikiran Kakyu, tidak pantas ia yang masih muda ini mengalahkan orang yang telah tua dan lebih berpengalaman darinya. Apalagi orang itu seorang Raja. Tapi bukan karena itu saja Kakyu menolak menggunakan senapan berburu. Tapi karena Kakyu sendiri memang tidak senang berburu. Kakyu tidak senang memburu binatang hanya untuk kesenangan sendiri. Perburuan yang sering dilakukan Kakyupun bukan untuk berburu binatang tapi untuk berburu ilmu. Kakyu memburu ilmu perang dan kelincahannya di hutan. Hingga mereka telah siap di punggung kuda masing-masing, Raja Alfonso tidak tahu Kakyu tidak membawa senapan berburunya. Raja terkejut melihat Kakyu menyandang busur dan anak panah di punggungnya. “Ke mana senapanmu?” tanya Raja kebingungan, “Untuk apa engkau membawa busur dan anak panahnya itu?” Bukan hanya Raja yang terkejut melihat senjata yang dibawa Kakyu itu. Para prajurit lainnya dan Putri Eleanor keheranan melihat senjata Kakyu itu. Mereka merasa senjata Kakyu tidak cukup umum digunakan untuk berburu binatang liar yang larinya cepat. Senapan saja belum tentu dapat mengalahkan hewan-hewan liar itu apalagi busur dan anak panahnya itu. Kakyu tersenyum seolah-olah tidak ada yang aneh dan tidak ada yang perlu dianggap aneh. “Saya menyukai senjata ini.” Jawaban singkat itu tidak memuaskan Raja Alfonso. Walaupun Raja Alfonso tahu Kakyu yang pendiam sulit disuruh bicara panjang lebar, Raja tetap berkata, “Katakanlah dengan jelas, Kakyu. Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu.” Perintah tegas itu membuat Kakyu mau tidak mau berkata, “Daripada senapan, saya lebih senang menggunakan busur dan anak panah ini untuk berburu.” “Baiklah, Kakyu, aku tidak akan bertanya lebih banyak lagi,” kata Raja 9

Alfonso lalu dengan tersenyum ia meneruskan, “Memang sulit menyuruh pemuda pendiam sepertimu berbicara panjang lebar.” Kakyu membalas senyuman Raja. Kakyu tahu apa yang dikatakannya cukup jelas, hanya Raja saja masih kurang puas dengan jawaban singkat yang jujur itu. Kakyu memang tidak bohong. Kakyu membawa busur dan anak panah itu bukan karena ia tidak mempunyai senapan berburu tapi karena ia memang menyukai senjata itu. Dulu ketika Jenderal Reyn pertama kali menunjukkan busur dan anak panah yang menjadi satu dari sekian harta pusaka keluarganya, keluarga Quentynna, Kakyu langsung menyukai senjata itu. Busur dan anak panah itu terlihat anggun dan kuat dalam warna peraknya. Jenderal Reyn mengatakan senjata itu terbuat dari besi kuat yang kemudian disepuh perak. Tapi bukan karena itu Kakyu menyukai senjata itu. Kakyu menyukai senjata itu karena kelenturan busurnya dan kecepatan anak panahnya setelah lepas dari busur. Tahu putranya menyukai senjata itu, Jenderal Reyn memberikan senjata itu pada Kakyu dan berpesan agar putranya menjaga senjata itu baik-baik. Tanpa perlu diberi pesanpun, Kakyu akan menjaga senjata itu baik-baik. Kakyu sangat menyayangi senjata itu hingga ia begitu jarang menggunakan anak panah peraknya yang hingga kini masih berjumlah sebelas buah. Anak panah yang digunakan Kakyu hanyalah anak panah biasa yang terbuat dari kayu. Walaupun begitu Kakyu tetap membawa serta kesebelas anak panah itu setiap kali ia membawa busurnya. Pada hari pertama mereka berada di Naullie, Raja diam saja melihat Kakyu tidak ikut serta dalam perburuan mereka. Ketika mereka semua sibuk membidikkan senapan mereka sambil mengikuti gerak hewan buruan mereka, Kakyu tetap diam di punggung kudanya. Pemuda itu juga tampak tenang-tenang saja ketika mereka berhasil mendapatkan hewan buruan mereka. Pada hari-hari selanjutnyapun Raja tetap diam saja tatkala Kakyu masih tidak turut serta dalam perburuan mereka. Raja menduga Kakyu masih berusaha mengenali daerah sekelilingnya sambil menemukan hewan yang akan diburunya. Tapi ketika sampai satu minggu lebih keberadaan mereka di sana, Kakyu masih tidak menampakkan tanda-tanda akan memburu hewan, Raja mulai heran. “Mengapa engkau diam saja, Kakyu?” tanya Raja, “Kami semua telah mendapatkan beberapa hewan, tapi engkau belum satupun. Bahkan engkau 10

tidak menampakkan tanda-tanda akan memburu seekor hewan.” “Ada apa denganmu, Kakyu? Engkau seperti bukan Kakyu yang kukenal,” tanya Putri Eleanor pula. “Tidak ada apa-apa,” jawab Kakyu singkat. “Jangan mengatakan ‘tidak ada apa-apa’ seperti itu, Kakyu,” sergah Raja, “Katakanlah masalahmu kepada kami. Katakan pula bila engkau tidak mau menemani kami di sini.” “Papa!” seru Putri marah, “Kakyu bukan orang yang seperti itu.” Raja terkejut melihat kemarahan putrinya. “Maafkan Papa, Eleanor,” kata Raja Alfonso sambil tersenyum kemudian ia bertanya pada Kakyu, “Apa masalahmu?” Sesaat sebelum Kakyu menjawab pertanyaan itu, Kakyu mendengar suara asing di kejauhan. Kakyu yakin suara itu bukan suara kuda mereka. Dan yang pasti suara itu bukan suara prajurit yang berasal dari tenda. Saat ini tenda mereka kosong. Semua prajurit ikut Raja berburu di Hutan Naullie. Untuk mencegah Raja curiga, Kakyu cepat-cepat berkata dengan tenang, “Tidak ada apa-apa, Paduka. Benar.” “Tidak ada apa-apa, apanya, Kakyu?” tanya Putri Eleanor jengkel melihat sikap Kakyu yang tenang, “Aku tahu engkau bisa mengalahkan ayahku. Aku tahu engkau pandai berburu.” Mulanya Kakyu berharap tadi itu hanya pendengarannya saja yang salah, tapi sudut matanya menangkap sesuatu yang ganjil. Kakyu tidak yakin bayangan yang sempat ditangkap matanya itu adalah orang. Kakyu tahu pasti hutan lebat ini jatang didekati orang dan tidak mungkin ada orang yang tinggal di hutan yang banyak binatang buasnya ini. Demi keselamatan Raja Alfonso serta Putri Eleanor, Kakyu tahu ia tidak boleh mempercayai hal ini semudah itu. Kakyu berniat untuk menyelidiki hal ini setelah Raja memutuskan kembali ke perkemahan mereka. Saat ini yang dapat dilakukan Kakyu adalah melindungi Raja. Kakyu tahu akan sulit menjaga ketenangan di saat ia mencurigai sekelilingnya. Tapi untunglah sepanjang hari itu Raja sama sekali tidak mencurigai apapun. Di saat semua prajurit tahu mereka akan makan daging hewan buruan mereka, Kakyu hanya tahu ia harus segera menyelidiki hutan ini sendirian. Kakyu memutuskan untuk pergi sendiri bukan karena ia yakin ia mampu tapi karena saat ini tidak ada lagi yang dapat diajaknya. Dalam perburuan kali ini, Raja hanya mengikutsertakan sejumlah pasukan Istana. Tidak seorang Jenderalpun yang diajak Raja. Raja mempercayakan keselamatan dirinya dan putrinya pada Kakyu. Dan 11

Kakyu tahu itu. Tidak adanya seorangpun yang cukup handal untuk membantunya menyelidiki hutan ini, membuat Kakyu memutuskan untuk pergi sendiri. Kakyu tahu di antara pasukan yang pergi ke Naullie ini ada yang sering melakukan tugas menyusup. Tapi Kakyu tidak berani mengajak mereka sebab ia yakin mereka tidak mengenal hutan ini sebaik dirinya. Kakyu pernah mengalami menyusup ke daerah yang sama sekali belum diketahuinya pada malam hari. Dan ia tahu sulitnya melakukan tugas yang seperti tugas buta itu. Begitu sampai di perkemahan, mereka membongkar hasil yang mereka dapat dari hutan. Tanpa menanti matahari terbenam, Kakyu segera mengundurkan diri ke tendanya. Saat itu pula Kakyu sadar ia tidak membawa persiapan apapun untuk menyusup ke dalam hutan. Dan itu berarti Kakyu harus mempersiapkannya sesegera mungkin. Satu-satunya cara tercepat mempersiapkan keperluannya itu tanpa membuat siapapun curiga adalah membelinya di kota kecil dekat Naullie, Farreway. Untuk lebih menyempurnakan rencananya, Kakyu membawa serta kudanya. Kepada penjaga kuda, ia berpesan, “Bila ada yang mencariku, katakan aku pergi berjalan-jalan.” Sebelum prajurit itu sempat berkata apa-apa, Kakyu telah melajukan kudanya ke Farreway dengan cepat. Kakyu beruntung pemilik toko tempat ia membeli perlengkapannya, tidak curiga melihatnya membeli pakaian serba hitam. Kepada pemilik toko itu, Kakyu mengatakan ia baru saja memasuki masa berkabung. Setelah mendapatkan perlengkapannya, Kakyu kembali ke Hutan Naullie sesegera mungkin. Guna menjaga orang-orang di perkemahan percaya ia sedang berkuda, Kakyu menambatkan kudanya di tempat yang jauh dari perkemahan dan cukup terlindungi dari orang lain. Kakyu mempersiapkan dirinya sebelum menyusup ke dalam hutan, di tempat itu juga. Pakaian seragam pasukan Istana yang berwarna putih kebirubiruan, disembunyikan Kakyu di semak-semak dekat kudanya. Ketika Kakyu telah siap, hari masih terang. Kakyu memanfaatkan cahaya matahari yang mulai terbenam itu untuk memastikan diri dengan memeriksa tempat di mana ia melihat bayangan seseorang itu. Kakyu tidak terkejut melihat tempat itu yang seperti telah didatangi orang. Tiba-tiba saja Kakyu merasa sangat beruntung pernah mengenal teman 12

ayahnya yang seorang Jepang. Kenichi yang mengaku dirinya seorang ninja itu mengajarkan ilmunya kepada Kakyu. Banyak hal yang diajarkannya pada Kakyu. Salah satunya adalah mencari jejak ini. Hal lainnya yang diajarkan Kenichi pada Kakyu adalah menyusup ke sarang musuh dan masih banyak lagi. Terlalu banyak yang diajarkan Kenichi pada Kakyu hingga rasanya semua hal mulai dari yang paling mudah sampai yang paling sulit tidak terlewatkan. Untung saja Kakyu cepat mengerti dan cerdas. Karena sering melatih ilmunya itu, Kakyu tetap mengingat semua ajaran Kenichi walau telah lama berselang. Karena ajaran Kenichi pula, Kakyu memilih mengenakan pakaian serba hitam dalam penyusupannya di malam hari ini. Kalau dulu dalam pernyusupannya ke Istana Vezuza, Kakyu mengenakan pakaian serba putih, maka kali ini Kakyu mengenakan pakaian serba hitam. Dulu Kakyu akan sangat mudah dilihat bila ia mengenakan pakaian serba hitam di Istana Vezuza yang terang. Kini justru Kakyu tidak akan mudah dilihat di Hutan Naullie yang gelap di malam hari. Kakyu benar-benar menyadari perbedaan penyusupannya ke dalam Istana Vezuza dengan penyusupannya kali ini. Melihat jejak yang jelas-jelas bukan jejak binatang itu, Kakyu tahu apa yang dibayangkannya tidak mungkin terjadi, benar-benar terjadi. Untuk itu Kakyu harus membuktikannya dengan menyusup ke dalam hutan ini. Kakyu yakin orang itu bukan penduduk Farreway yang sekedar lewat di Hutan Naullie saat tadi mereka berburu. Kalau memang benar demikian, orang itu seharusnya tidak perlu bersembunyi seperti itu walau ia ketakutan. Lagipula jejak yang ada di hadapan Kakyu jelas-jelas bukan jejak orang awam. Di tempat ini hampir-hampir tidak ada jejak. Dahan-dahan yang jatuhpun tampak terjaga keutuhannya. Kalau orang itu adalah orang awam, ia tentu sudah menginjak dahandahan kecil yang berserakan di tanah ini. Dan pasti Kakyu dapat melihatnya dengan jelas. Tapi orang yang dilihat Kakyu melalui sudut matanya tadi benar-benar pandai. Sikap orang yang tertangkap oleh Kakyu itu menampakkan ia sedang mengintai. Sambil menanti langit semakin gelap, Kakyu memikirkan kemungkinan orang itu bahkan mungkin kelompok orang itu berada. Kakyu tahu hanya ada satu tempat yang cukup subur dan aman untuk permukiman di Hutan Naullie. Tempat itu adalah tepi sungai yang melintas di sebuah lembah di tengah Hutan Naullie. Walaupun landai, lembah itu sulit dituruni. Banyak semak-semak berduri 13

dan akar-akar tumbuhan besar yang menutupi tanah. Mungkin karena itulah hewan-hewan enggan mendekati tempat yang merupakan sumber iar minum bagi mereka itu. Melihat langit yang sudah gelap, Kakyu segera mengenakan kain hitamnya untuk menutupi wajah dan rambut merahnya yang terus bersinar seperti api. Setelah mengenakan sarung tangan hitamnya, Kakyu benar-benar nampak seperti serang ninja. Seluruh tubuhnya kecuali matanya tertutup kain hitam. Dengan bantuan sinar bintang dan bulan yang menyinari bumi, Kakyu memulai penyusupannya. Untunglah langit cerah dan bulan bersinar terang di langit sehingga Kakyu tidak kesulitan mencapai tempat tujuannya. Semudah perjalanannya ke lembah itu pula Kakyu menemukan perkemahan mereka. Kakyu sama sekali tidak terkejut melihat jumlah kelompok itu yang sangat banyak. Kakyu juga tidak gentar melihat mereka. Kakyu tahu ia harus sangat hati-hati bila tidak ingin dilihat mereka. Barkat semak-semak dan pohon-pohon di lembah itu, Kakyu tidak terlihat oleh orang-orang di perkemahan yang terang itu. Perkemahan mereka cukup terang untuk dilihat dari puncak lembah. Kakyu tersenyum menyadari musuhnya yang tidak sepandai yang diperkirakannya itu. Walaupun begitu Kakyu tidak berani menyusup ke dalam perkemahan itu tanpa persiapan matang. Kakyu hanya berani mengamati perkemahan itu dari sisi perkemahan itu. Kakyu bukannya tidak berani menyusup sendirian ke perkemahan itu. Kakyu berani dan ia yakin ia bisa. Tapi Kakyu tidak ingin rombongan kerajaan yang berada di tepi hutan ikut menanggung resiko bila ia tertangkap. Kakyu ingin baik rombongan kerajaan maupun kelompok itu tidak tahu apa-apa. Cukup Kakyu sendiri yang mengetahui terbongkarnya letak perkemahan kelompok tak dikenal itu dan bahaya yang dapat ditimbulkan kelompok itu bagi Raja Alfonso maupun Putri Eleanor. Kakyu heran melihat banyaknya orang dalam perkemahan itu. Ia lebih heran lagi melihat perubahan yang terjadi di lembah itu. Selama kurang dari tiga tahun tidak pergi ke Naullie, lembah yang dulunya sepi kini menjadi penuh tenda dan orang. Menilik kelompok itu yang hanya terdiri dari kaum pria serta sikap mereka yang kasar, Kakyu yakin kelompok itu bukan orang baik. Untuk lebih meyakinkan dirinya, Kakyu memutari perkemahan itu sebelum ia kembali ke perkemahan Raja. 14

Kakyu melihat beberapa di antara mereka ada yang tertawa-tawa di depan api unggun sambil sesekali mengancungkan sebuah botol di tangannya ke api. Kakyu yakin botol itu berisi minuman keras. Beberapa di antara mereka juga ada yang bersila di dekat api unggun – mendengarkan cerita kawan mereka yang lain sambil menghisap cerutu mereka. Sikap mereka yang tidak menunjukkan kesopanan meyakinkan Kakyu kelompok yang ada di depannya ini harus diwaspadai demi keselamatan Raja Alfonso serta Putri Eleanor yang kini menjadi tanggung jawabnya. Seperti datangnya yang bagai angin, Kakyupun kembali ke perkemahan Raja dengan cepat dan tanpa menimbulkan suara. Semua orang telah terlelap kecuali prajurit yang bertugas menjaga, ketika Kakyu tiba. Melihat hal itu, barulah Kakyu menyadari penyusupannya memakan waktu yang sangat lama. Kakyu tidak tahu berapa tepatnya waktu yang telah digunakannya, Kakyu hanya tahu saat ia kembali, hari sudah sangat larut bahkan tidak sampai lima jam lagi, matahari akan terbit. Perlahan-lahan tanpa membuat prajurit jaga curiga, Kakyu menambatkan kudanya di antara kuda lainnya kemudian segera beristirahat di tendanya. Kakyu tahu ia harus dapat bangun pagi seperti biasanya bila tidak ingin membuat siapapun curiga.

15

2

Namun tak urung juga Raja Alfonso curiga pada Kakyu keesokan harinya. “Ke mana saja engkau kemarin malam, Kakyu?” tanya Raja Alfonso antara jengkel dan curiga. “Saya hanya berjalan-jalan, Paduka,” jawab Kakyu. “Kenapa sampai malam? Ke mana saja engkau pergi?” rujuk Putri Eleanor. “Di sekeliling hutan ini,” jawab Kakyu singkat. “Akhir-akhir ini engkau memang aneh, Kakyu,” kata Raja Alfonso, “Jangan-jangan engkau berburu pada malam hari.” “Itu tidak mungkin, Paduka.” “Apa yang tidak mungkin bagimu, Kakyu?” kata Raja Alfonso, “Engkau dapat mengerjakan setiap tugas berat yang kuberikan padamu dengan baik. Dengan mudah dan cepat, engkau menembus strategi-strategi Jenderal terbaikku. Bagiku engkau benar-benar menakjubkan sampai-sampai aku khawatir engkau adalah penyihir.” “Penyihir umumnya wanita, Paduka.” “Kalau begitu buktikan padaku kalau engkau bukan wanita.” Kakyu tersenyum. Ia tahu pasti apa yang diharapkan Raja Alfonso darinya, tapi ia berkata, “Saya tidak senang berburu, Paduka.” Raja mengeluh. “Sudahlah, Kakyu, aku menyerah. Aku tidak akan membujukmu lagi. Aku berbicara sepuluh kata tapi engkau hanya berbicara sepatah kata. Engkau benar-benar membuatku merasa seperti orang yang banyak bicara.” “Tidak, Paduka.” Raja Alfonso yang telah lelah menghadapi jawaban singkat Kakyu hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum. Kemudian Raja memerintahkan pasukannya untuk berangkat. Selama perburuan di hari ini, Kakyu memusatkan perhatiannya pada sekelilingnya. Kakyu yakin tak lama setelah mengintai, kelompok itu akan menyerang. Sama seperti keyakinan Kakyu bahwa mereka tidak akan mengerahkan banyak orang untuk menyerang Raja. Kemarin malam Kakyu telah memeriksa tenda tempat mereka menyimpan senjata dan melihat sendiri senjata yang mereka punyai tidak banyak. Lagipula terlalu mudah dilihat bila mereka menyerang besar-besaran.

16

Melihat perkemahan kelompok itu yang tersembunyi baik di tengah hutan, Kakyu yakin kelompok itu tidak ingin diketahui keberadaannya oleh siapapun sebelum mereka cukup kuat. Seperti ajaran Kenichi, Kakyu memusatkan mata hatinya pada sekelilingnya. Tiba-tiba Kakyu merasa ada bahaya yang mengancam mereka. Tanpa melakukan banyak gerakan yang mencurigakan, Kakyu berusaha mencari asal perasaan itu. “Bosan!” seru Putri Eleanor, “Sejak tadi kita tidak melihat seekor hewanpun. Biasanya kita sudah mendapatkan walau hanya satu ekor.” Seruan Putri tidak mengejutkan Kakyu yang telah dilatih Kenichi dengan keras. Putri Eleanor melihat Kakyu. Merasa sikap pemuda itu aneh, Putri bertanya, “Engkau menemukan hewan apa, Kakyu?” “Hewan apa yang kauburu, Kakyu?” tanya Raja pula, “Sejak tadi sikapmu sangat aneh.” Kakyu yang telah menentukan dengan tepat posisi musuh, segera mencabut anak panah peraknya dan membidikkannya. Raja dan Putri Eleanor sama-sama terkejut melihat Kakyu tiba-tiba menggunakan senjata yang selama ini hanya dibawanya. Mereka lebih terkejut lagi ketika sesaat kemudian terdengar letusan senjata di kejauhan diiringi terbangnya burung-burung yang juga terkejut. Sementara prajurit lainnya sibuk mengelilingi Raja dan Putri sambil berteriak, “Lindungi Raja dan Putri”, Kakyu memacu kudanya ke tempat ia membidikkan panahnya. Kakyu tersenyum puas melihat seorang pria yang lebih tua darinya meringis kesakitan karena panah perak yang menancap di pundak tangan kirinya. Kakyu mengambil senapan pria itu yang tergeletak tak jauh dari pria itu. “Sebaiknya engkau tidak mencoba berbuat apapun,” kata Kakyu memperingati, “Racun panahku dapat membunuhmu.” Pria itu tampak semakin pucat mendengar kata-kata itu. Kakyu mengamati sekelilingnya sebelum berkata, “Sekarang naiklah ke kudaku dan aku akan membawamu ke tempat buruanmu.” Melihat pria itu ragu-ragu, Kakyu berkata, “Sebaiknya engkau segera menuruti perkataanku sebelum racun itu menyebar ke dalam tubuhmu.” Pria yang sudah kesakitan dan ketakutan itu hanya dapat menuruti perintah Kakyu. Kakyu mengeluarkan tali yang kemarin dibelinya di Farreway dari saku bajunya. Dengannya, ia mengikat tangan dan tubuh pria itu. Kemudian ia menuntun kudanya ke sekelompok orang yang masih mengkhawatirkan

17

keselamatan Raja dan putrinya. Melihat Kakyu mendekat bersama seorang pria yang terluka, mereka tercengang. Prajurit yang mengelilingi Raja dan Putri mulai bubar dan membantu Kakyu menangani pria itu. “Mengapa engkau kejam seperti ini?” tanya Putri, “Ia pasti tidak akan mencelakai kita.” Kakyu tahu mengapa Putri Eleanor berkata seperti itu. Pria yang sekarang duduk ketakutan di depannya itu memang tidak tampak jahat. Kakyu juga yakin pria itu bukan orang jahat apalagi setelah melihat ketakutan pria itu dalam menghadapi kematian. Kakyu yakin ada sesuatu yang menyebabkan pria itu hendak membunuh Raja dan itu berkaitan dengan kelompok yang semalam diintainya. Namun Kakyu tetap diam. Putri Eleanor jengkel melihat kediaman Kakyu. “Ia pasti sedang berburu seperti kita, Kakyu.” Kakyu tetap diam. “Kakyu!” seru Putri Eleanor kesal. “Ia memang sedang berburu, Tuan Puteri,” kata Kakyu pada akhirnya, “Dan hewan buruannya adalah Anda.” “Kakyu! Jangan menuduh orang seperti itu,” sergah Putri. Kakyu melihat pria itu ingin mengatakan sesuatu. Dengan cepat ia mendahului pria itu, “Jangan bicara, Tuan. Lebih baik engkau menyimpan tenagamu sebab ini akan sakit sekali.” “Kakyu!” Kakyu diam saja mendengar seruan jengkel Putri. Saat ini Kakyu lebih memusatkan perhatiannya pada panah peraknya yang menancap di pundak pria itu. Secepat Kakyu membidikkan panah itu, Kakyu menarik panah itu dari pundak pria malang itu. Sebelum darah mengucur dari luka yang cukup dalam itu, Kakyu mengikat erat-erat pundak pria itu dan menutupi lukanya dengan kain hitam yang kemarin. Putri Eleanor tercengang melihat Kakyu yang seperti telah tahu apa yang akan terjadi, hingga melupakan kejengkelannya. Kakyu tersenyum pada pria itu tanpa berkata apa-apa. Kemudian ia bangkit menghadapi Putri Eleanor. “Di sini tidak nampak seekor hewanpun, Tuan Puteri,” kata Kakyu menjelaskan, “Satu-satunya hewan buruannya adalah Anda.” Raja yang sejak tadi diam saja tiba-tiba tertawa. “Engkau benar-benar 18

luar biasa, Kakyu, engkau tidak senang memburu hewan, tapi engkau memburu orang.” “Papa!” “Sudahlah, Eleanor. Kakyu memang benar. Di sini tidak ada seekor hewanpun dan aku yakin Kakyu mempunyai alasan bahkan mungkin Kakyu tahu sesuatu.” Raja menatap lekat-lekat wajah Kakyu, “Aku benar, bukan? Tidak mungkin engkau setiap hari membawa tali dan kain hitam.” “Anda benar, Paduka,” kata Kakyu, “Sebelum saya mengatakan yang saya ketahui, saya harap Anda mendengar nasehat saya.” “Katakanlah, Kakyu, engkau telah menyelamatkan nyawaku dan putriku, aku yakin engkau juga akan memberi nasehat demi kebaikanku.” “Kita kembali ke Istana Vezuza hari ini juga.” “Apa!?” seru Putri Eleanor terkejut. Raja tersenyum. “Baiklah, Kakyu. Aku setuju denganmu.” Walaupun tahu putrinya kecewa karena perburuan yang semula direncanakan selama sebulan hanya berlangsung selama dua minggu kurang, Raja tetap memerintahkan mereka berkemas-kemas hari itu juga. Sebelum Kakyu mengatakan apapun pada Raja Alfonso, Kakyu memastikan dulu kecurigaannya. Ketika semua orang sibuk berkemas, Kakyu berbicara dengan pria itu. “Siapakah nama Anda?” tanya Kakyu membuka percakapan. “Halberd, Tuan,” jawab pria itu dengan ketakutan yang nampak jelas baik melalui wajah maupun suaranya. Kakyu tersenyum. “Jangan takut, saya hanya ingin berbicara dengan Anda.” “Ten… tentu, Tuan.” “Panggil saya Kakyu.” “Ten… tentu, Tu… an.” Kakyu tersenyum melihat ketakutan pria itu. “Jangan takut. Saya benarbenar hanya ingin berbicara dengan Anda. Saya tahu Anda bukan orang jahat.” Halberd tertunduk diam. “Katakanlah kepada saya, orang yang menyuruh Anda membunuh Raja.” Halberd masih diam. “Kalau Anda tidak mengatakannya, saya tidak dapat menjamin Anda akan selamat. Setelah tiba di Istana Vezuza, mungkin Anda akan dihukum mati oleh Raja. Tapi mungkin saja Anda sudah mati sebelum itu oleh racun panah saya.” “Ja… jangan, Tuan. Saya tidak ingin mati.” “Bila Anda ingin selamat, katakanlah kepada saya apa yang membuat Anda melakukan ini semua,” kata Kakyu lembut. 19

Halberd menatap lekat-lekat wajah Kakyu seakan-akan ingin mencari kebenaran di sana. “Anda janji, Tuan?” “Tentu saja.” Sorenya rencana mereka semula berubah. Raja yang telah menyerahkan segalanya pada Kakyu, hanya menyetujui semua keinginan pemuda itu sambil menghibur kekecewaan putrinya. Sore itu tenda yang seharusnya sudah dibongkar, tetap berdiri di tepi Hutan Naullie. Mereka tetap melakukan kegiatan mereka seperti hari-hari sebelumnya. Semua itu dilakukan Kakyu untuk mencegah kelompok tak dikenal di tengah hutan itu curiga sementara ia dan beberapa pasukan Istana lainnya menyelamatkan keluarga Halberd. Dari Halberd, Kakyu mengatahui kelompok yang diintainya kemarin malam berencana untuk membunuh Raja beserta keluarganya. Kata Halberd, kelompok pemberontak itu memaksanya membunuh Raja dan putrinya saat mereka berburu atau keluarganya akan mati. Kakyu telah berjanji akan menyelamatkan keluarga Halberd dan kini ia sedang berusaha mewujudkannya bersama lima orang prajurit Istana lainnya yang merupakan pilihan Raja. Karena mereka akan melakukannya di malam hari, maka seperti kemarin, Kakyu mengenakan pakaian serba hitam. Semua orang terkejut melihat Kakyu muncul dari tendanya dengan pakaian serba hitam seperti pencuri. Tanpa mengatakan apa-apa, Kakyu menyuruh kelima orang pilihan Raja itu untuk mengenakan pakaian serba hitam sepertinya. Kepada prajurit yang terpaksa membeli pakaian itu di Farreway, Kakyu berpesan agar prajurit itu mengatakan hal yang sama seperti dirinya bila pemilik toko bertanya. Kepadanya pula Kakyu menitipkan sehelai kain hitam untuk menggantikan kain penutup wajahnya yang digunakannya untuk membalut luka Halberd. Seperti sehari sebelumnya, Kakyu memulai aksinya setelah langit menghitam. Penampilan Kakyupun seperti kemarin malam. Bedanya kali ini ia membawa busur dan anak panahnya. Semua terpana melihat penampilan Kakyu yang seperti mata-mata bersenjatakan busur dan anak panah itu dan kelima pasukan lainnya yang juga seperti mata-mata tapi tanpa penutup kepala dan bersenjatakan pedang. Kakyu memang melarang yang lain membawa senapan. Satu suara letusan senjata api dapat membuat keluarga Halberd semakin berada dalam bahaya. 20

Kakyu yakin kelompok pemberontak itu tidak akan membiarkan keluarga Halberd di Farreway bebas begitu saja. Berapa orang yang menjaga tempat itu, Kakyu tidak tahu pasti. Tapi Kakyu yakin ia dan kelima prajurit terbaik pilihan Raja dapat menyelamatkan keluarga malang itu. “Kakyu, engkau tampak seperti mata-mata yang hebat,” kata Putri Eleanor kagum. “Terima kasih, Tuan Puteri.” Raa tertawa melihat Kakyu. “Engkau tidak mau memburu binatang tapi sekarang engkau akan memburu manusia.” Kakyu diam saja. Raja benar saat ini ia akan memburu orang bukan hewan. Tepatnya anggota kelompok pemberontak itu. “Segeralah pergi berburu, Kakyu. Aku ingin tahu berapa ‘hewan’ yang akan kaudapatkan.” Tanpa perlu disuruh dua kali, Kakyu dan kelompoknya segera pergi. Langsung menuju sasaran. Kelima pasukan pilihan Raja yang jauh lebih tua dan berpengalaman dari Kakyu, tidak ada yang membantah maupun tersinggung ketika Kakyu memberikan perintah-perintahnya. Seperti Raja Alfonso, mereka mempercayai kemampuan Kakyu. Kakyu yang menugasi dirinya melumpuhkan penjaga di luar rumah Halberd dengan panahnya, segera menangkap letak orang itu dan membidikkan panahnya. Kecepatan gerak Kakyu membuat prajurit lainnya yang ditugasi Kakyu untuk segera mengikat orang yang dipanah Kakyu, terpana beberapa saat. Untung Jewry cepat mengikuti Kakyu yang telah berlari mendekati ‘hewan’ buruannya. Yang lain segera mengikuti mereka. Ketika yang lain mengikat pria malang yang terluka pundaknya, Kakyu mengintip ke dalam rumah melalui jendela kaca. Seperti penjaga di luar, di dalam rumah hanya ada satu orang yang menjaga dengan senapan panjang di tangannya. Sebelum menentukan langkah selanjutnya, Kakyu mengamati keadaan rumah itu terlebih dahulu. Kakyu segera kembali ke sekelompok orang yang telah menantinya. “Di dalam hanya ada satu penjaga,” kata Kakyu, “Tapi aku tidak ingin kita menerobos langsug ke dalam.” “Kami mengerti,” kata Fahd. Kakyu menatap pria yang telah terikat dengan panah yang masih menancap di pundak kanannya. “Cukup dua orang yang ikut bersamaku,” kata Kakyu, “Yang lainnya menjaga pria ini.” 21

“Aku ikut,” kata Raugh tiba-tiba. Kakyu yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengawal putri Eleanor sejak ia masuk Istana, tidak tahu manakah yang terbaik dari kelima pengawal pribadi Raja ini. “Phil, Paduka mengatakan engkau dapat membantuku,,” kata Kakyu pada prajurit yang paling diandalkan Raja tadi siang saat ia meminta Raja memilihkan lima orang yang akan membantunya. Phil mengangguk tanda mengerti. “Keinginanmu terkabul, Raugh. Engkau dan aku ikut Kakyu. Yang lain jaga baik-baik pria ini.” Sebelum pergi lagi, Kakyu berkata perlahan pada pria itu hingga tak terdengar olah yang lainnya, “Kalau saya adalah Anda, saya tidak akan bergerak sehingga racun panah itu tidak menyebar.” Kepada Phil dan Raugh, Kakyu menjelaskan singkat rencananya kemudian ia memulai tugasnya sendiri. Sewaktu Phil dan Raugh menanti waktu yang ditentukan di depan pintu masuk, Kakyu, dengan ajaran Kenichi, memanjat ke atap rumah. Dengan tali yang digunakannya untuk memanjat itulah, Kakyu perlahanlahan meluncur ke dalam cerobong asap. Pakaian serba hitam Kakyu menyembunyikan tubuhya di perapian yang gelap itu. Sambil menanti Phil dan Raugh mendobrak masuk, Kakyu menghitung jumlah anggota keluarga Halberd yang berada di ruangan itu. Merasa waktu yang diberikan pada Kakyu cukup lama, Phil dan Raugh mendobrak pintu. Dan dengan senjata terhunus, mereka berkata, “Jangan bergerak.” Perhitungan Kakyu tepat. Pria anggota kawanan pemberontak itu segera menodongkan senapannya pada seorang anggota keluarga Halberd yang berada di dekatnya. Putra tertua Halberd, ketakutan melihat senapan itu ditodongkan ke kepala adiknya. Seisi rumah menjerit kaget ketika sesaat kemudian pria itu jatuh beserta senapannya dan di belakang pundaknya tampak sebuah panah menancap kokoh. Phil tersenyum melihat sinar perak busur Kakyu di perapian di seberangnya. Berlainan dengan keluarga Halberd yang menganggap Kakyu yang keluar perlahan-lahan dari perapian dengan busurnya, sebagai pencuri. Phil dan Raugh segera mengikat pria kedua yang dijatuhkan Kakyu sementara Kakyu memungut senapannya. “Jangan takut, Nyonya,” kata Kakyu, “Suami Anda yang meminta kami untuk menyelamatkan Anda.” 22

Wanita itu hanya mengangguk ketakutan sambil memeluk kedua putranya. “Boleh saya meminjam kereta Anda?” “Ten… tentu,” jawab wanita itu terbata-bata. “Terima kasih, Nyonya.” Kakyu segera membawa kereta Halberd yang berada di belakang rumah, ke depan pintu. Kepada Fick yang menjaga di luar, diperintahkannya untuk menaikkan pria itu ke kereta. Kemudian kepada Phil diperintahkannya hal yang sama. “Nyonya, naiklah ke kereta,” kata Kakyu. “Di mana suami saya?” tanya wanita itu memberanikan diri. “Ia aman bersama kami,” jawab Kakyu, “Sekarang Anda sebaiknya ikut bersama kami.” “Mari saya bantu, Nyonya,” kata Fick sambil mengulurkan tangannya kepada istri Halberd yang masih berdiri ketakutan di samping kereta. “Kakyu, tampaknya ia takut pada penampilanmu yang seperti pencuri itu,” kata Fick, “Sebaiknya engkau lepaskan topengmu. Sekarang tempat ini sudah aman.” “Tidak, Fick, tempat ini belum aman,” kata Kakyu, “Mereka bisa datang sewaktu-waktu.” Mendengar kata-kata itu, wanita itu semakin ketakutan. Ia cepat-cepat menaikkan kedua putranya ke kereta kemudian ia sendiri naik. Kakyu tersenyum di balik topengnya melihat wanita itu meringkuk ketakutan di pojok kereta yang cukup besar itu sambil memeluk putraputranya. “Kalian juga cepat naik,” perintah Kakyu pada Fick dan Fahd yang masih berdiri di sampingnya. Kakyu membiarkan rumah Halberd tetap terang. Setelah menutup kembali pintu rumah kecil itu, Kakyu naik ke kereta. Kakyu duduk sendiri di depan. Kakyu pula yang menjalankan kereta itu. “Untung kereta ini besar sehingga kita tidak perlu berdesak-desakkan,” kata Jewry. “Benar,” sahut Fick, “Tapi panah ini menganggu saja.” “Tarik saja.” “Jangan kaulakukan, Fahd,” Kakyu memperingati. “Baik, Kakyu.” “Biar aku menggantikanmu, Kakyu,” kata Phil, “Engkau pasti lelah.” “Tidak, Phil. Aku harus mengarahkan kuda ini ke jalan yang tepat yang tidak membuat mereka curiga.” “Baiklah, Kakyu. Terserah engkau.” Kakyu tidak berkata apa-apa sesudahnya. 23

Dugaan Kakyu benar. Kelompok yang menyembunyikan dirinya di tengah Hutan Naullie yang lebat itu memang bukan orang baik. Mereka adalah sekelompok pemberontak. Dari mana datangnya kelompok itu, Kakyu tidak tahu. Tapi yang pasti harus ada yang menjaga Hutan Naullie sejak saat ini. Kakyu tahu ia bisa saja memberitahu tempat pemberontak itu dan menghancurkannya sebelum pemberontak pecah. Tapi siapa yang akan percaya pada pemuda seperti dirinya. Walaupun Raja mengagumi Kakyu, Raja masih meragukan kemampuannya di usianya yang masih muda ini. Terbukti dengan banyaknya tugas berat yang diberikan Raja Alfonso padanya. Kakyu menyadari hal ini. Kakyu yakin dengan tidak kembalinya dua kawan mereka, pemberontak itu akan curiga. Itu berarti keselamatan Raja Alfonso dan Putri Eleanor semakin terancam. Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya. “Kita telah tiba, Nyonya,” kata Raugh. Kakyu melompat turun dari kereta diiringi pasukan lainnya. Raugh dan Fick kembali membantu keluarga Halberd turun dari kereta. Raja yang baru keluar dari tendanya, tersenyum melihat dua pria yang terikat di kereta pengangkut jerami itu. “Engkau mendapat dua ekor ditambah sebuah kereta,” Raja menghitung. “Kami terpaksa meminjamnya untuk membawa rombongan ini ke sini karena tadi kami tidak membawa seekor kudapun,” kata Phil melaporkan. “Bagaimana perasaan kalian dapat bekerja bersama Kakyu?” “Pemuda ini memang mengagumkan, Paduka,” kata Jewry sambil menepuk pundak Kakyu. “Ialah yang melumpuhkan kedua penjahat itu,” tambah Phil. “Ya, aku melihat panahnya menancap di pundak kedua orang itu.” “Kakyu hebat sekali, Paduka. Dua kali ia tepat mengenai pundak sasarannya sehingga mereka menjatuhkan senjatanya tanpa sempat menarik picunya,” kata Raugh. “Dan mereka tidak akan dapat memegang senjata mereka lagi,” tambah Jewry. “Tampaknya kalian benar-benar dibuat kagum olehnya,” kata Raja Alfonso, “Aku iri pada kalian. Seharusnya tadi aku juga ikut kalian.” “Paduka, saya ingin menangani kedua pria ini, bila Anda tidak keberatan,” sela Kakyu. “Lakukan saja, Kakyu. Aku tahu engkau sedang memburu sesuatu.” “Terima kasih, Paduka.” Dengan ijin Raja Alfonso, Kakyu membawa keluarga Halberd pada 24

Halberd beserta dua pria hasil berburunya. Kedua putra Halberd segera berlari memeluk ayahnya sementara itu istri Halberd terkejut melihat suaminya terikat dalam keadaan terluka. “Berbicaralah dengan Halberd, Nyonya. Saya tidak akan menganggu,” kata Kakyu sambil menuntun dua pria lainnya yang juga terikat seperti Halberd, ke sudut sudut tenda lainnya. Kakyu mendudukkan kedua pria itu di lantai. Baru setelah itu ia melepaskan topeng kain ala ninjanya. Kedua pria yang telah diberitahu mengenai panah beracun itu, diam saja ketika Kakyu menarik panah itu dan membalut luka mereka dengan kain hitamnya. “Sebaiknya kalian berterus terang padaku bila kalian ingin selamat.” Kakyu melayangkan pandangannya ke pintu tenda yang dijaga dua prajurit kemudian beralih kepada dua pria di depannya. “Kawan kalian mungkin dapat meloloskan kalian dari tenda ini tapi kalian tidak akan dapat meloloskan diri dari racun panahku.” Kakyu diam memperhatikan kedua pria itu sebelum melanjutkan. “Racun ini bukan sembarang racun,” kata Kakyu sambil memperhatikan mata panah yang berlumuran darah itu, “Racun ini racun khusus yang obat penawarnya hanya dimiliki olehku.” “Kalau kalian tidak mau berkata jujur, aku yakin kalian mati menderita oleh racunku,” tambah Kakyu – berbahaya. Tatapan tajam Kakyu yang sebahaya ucapannya berhasil membuat kedua pria itu bercerita panjang lebar tentang kelompok mereka. Tapi mereka tetap mengatakan tidak mengetahui tempat persembunyian pemberontak itu walau Kakyu telah berkata, “Pengakuan kalian di sini lebih ringan daripada di Istana Vezuza. Raja dan para Jenderal lainnya tidak akan segan-segan menghukum kalian bila kalian berbohong.” Tak seorangpun dari mereka yang tahu kalau Kakyu sudah mengetahui tempat persembunyian mereka. Setelah puas dengan keterangan yang didapatnya, Kakyu tersenyum dan berkata, “Maafkan saya saya yang telah membohongi Anda, Tuan-tuan. Panah ini sama sekali tidak beracun.” Seperti halnya Halberd tadi siang, kedua pria itu terkejut dengan pengakuan Kakyu. Kakyu sengaja berbohong baik kepada Halberd maupun kedua pria itu demi mendapatkan keterangan yang diinginkannya. Walaupun panah yang digunakannya malam ini adalah panah kayu, keduanya sama-sama tidak beracun. Bila tadi siang Kakyu tidak menggunakan panah kayunya, itu karena 25

panah perak yang sedang melesat takkan mudah dilihat di bawah sinar matahari. Sebaliknya panah kayu yang melesat takkan mudah dilihat di malam hari. Kakyu meninggalkan kedua pria yang sedang menyesali diri itu. “Anda tidak boleh tinggal di sini, Nyonya.” “Mengapa Anda tidak melepaskan suami saya? Ia tidak bersalah,” kata wanita itu. “Saya tidak dapat melepas orang yang hendak membunuh Raja sebelum pengadilan atau Raja sendiri yang membebaskannya.” “Apakah Ayah akan dihukum mati?” tanya putra tertua Halberd. “Tidak,” jawab Kakyu, “Raja Alfonso seorang yang pemurah. Ia tidak akan menjatuhkan hukuman berat kepada Halberd apalagi setelah mengetahui Halberd melakukannya karena diancam.” “Saya ingin tinggal di sini,” wanita itu bersikeras. “Anda tidak boleh melakukannya, Nyonya.” “Imma, sebaiknya engkau ikuti saja kata-kata Tuan ini,” Halberd ikut membujuk, “Ia tidak akan mencelakaiku. Ia sangat baik padaku.” “Tapi, Halberd, lukamu itu…” “Lukaku tidak apa-apa, Imma. Tuan ini telah mengobatinya.” “Bila Anda tidak memikirkan diri Anda, Nyonya, setidak-tidaknya pikirkan kedua putra Anda yang masih kecil ini,” kata Kakyu, “Anda tentu tidak ingin mereka tidur di tempat yang tidak nyaman ini.” Imma memandang kedua putranya sebelum mengikuti Kakyu. Karena tidak ada tenda kosong lagi, Kakyu membawa mereka ke tendanya sendiri. “Tunggu sebentar di sini,” kata Kakyu, “Saya akan merapikan tenda ini.” Seperti yang diucapkannya, Kakyu segera keluar. Kakyu tersenyum pada Imma yang terkejut melihat pakaian hitamnya telah berganti menjadi seragam putih kebiru-biruan dengan sebilah pedang panjang di pinggang kirinya dan busur beserta anak panah di tangannya. “Berisitirahatlah di dalam, Nyonya,” kata Kakyu, “Besok pagi-pagi sekali kita akan berangkat ke Chiatchamo.” Imma mengangguk kemudian membawa kedua putranya masuk. Kakyu segera menuju tenda tempat Halberd dan kedua pria itu diikat. “Berjaga-jagalah,” kata Kakyu pada prajurit yang menjaga tenda, “Kawan mereka bisa muncul sewaktu-waktu.” “Kami mengerti.” Kakyu tersenyum puas kemudian menuju tenda terbesar tempat Raja Alfonso berada. Kakyu terkejut melihat Raja Alfonso masih bercakap-cakap dengan kelima orang yang melakukan penyelamatan keluarga Halberd bersama-sama

26

dengannya itu. “Kami baru saja hendak mencarimu, Kakyu,” kata Raja. “Sebaiknya Anda berisitirahat sekarang juga, Paduka,” saran Kakyu. “Mengapa?” tanya Raja Alfonso keheranan. “Besok sebelum langit terang, kita harus meninggalkan tempat ini.” “Apa tidak terlalu pagi, Kakyu?” tanya Raugh. “Itulah saat yang kita cari. Kita harus meninggalkan tempat ini.” “Apa tidak terlalu pagi, Kakyu?” tanya Raugh. “Kita harus sudah meninggalkan hutan ini sebelum mereka mencium kejanggalan yang ada.” “Mereka siapa, Kakyu?” tanya Phil, “Sejak tadi engkau menyebut ‘mereka’ tanpa memberi penjelasan apapun.” “Kali ini engkau harus mengatakan semua yang kauketahui padaku, Kakyu,” tegas Raja Alfonso. “Di suatu tempat di hutan ini ada sekelompok orang yang mengincar nyawa Anda, Paduka,” Kakyu menjelaskan singkat. Mereka terkejut. “Di hutan ini?” tanya Phil tak percaya. Kakyu mengangguk. “Engkau memang menakjubkan, Kakyu. Tak salah bila putriku menyukaimu,” kata Raja, “Engkau telah mengetahui letak musuh sebelum kami yang telah berpengalaman ini.” “Saya mengetahuinya dari Halberd,” kata Kakyu merendahkan diri. “Tapi sebelumnya engkau telah mengetahuinya, bukan?” Kakyu tidak ingin berbohong kepada Raja juga tidak ingin mengaku. Ia memandang tenang wajah curiga Raja Alfonso. “Pasti ini ada hubungannya dengan kepergianmu kemarin sore yang mencurigakan.” Sekali lagi Kakyu tidak mengaku juga tidak berbohong pada Raja Alfonso. Dengan tenang ia berkata, “Sebaiknya Anda segera berisitirahat, Paduka.” “Baiklah, Kakyu,” kata Raja Alfonso mengalah, “Hingga kapanpun akan tetap sulit menyuruhmu berbicara panjang lebar.” “Sebaiknya kalian juga beristirahat,” kata Kakyu pada kelima pengawal pribadi Raja Alfonso. Mereka berenam segera mengundurkan diri dari tenda Raja. “Apa yang sekarang akan kaulakukan, Kakyu?” tanya Phil. “Aku akan berjaga-jaga,” kata Kakyu singkat. “Aku akan menemanimu,” kata Raugh. “Tidak,” kata Kakyu tegas, “Kalian harus beristirahat.” “Engkaulah yang harus berisitrahat, anak muda,” kata Jewry sambil menepuk pundak Kakyu.

27

“Besok kalian harus dapat menjaga keselamatan Raja. Malam ini nyawa Paduka masih aman, tapi tidak besok.” Phil memikirkan kata-kata Kakyu itu kemudian berkata, “Ia benar. Malam ini kita harus menyerahkan keselamatan Raja padanya. Dan di hari berat esok, kitalah yang akan menggantikannya.” “Baiklah,” kata Jewry, “Selamat malam, Kakyu.” “Selamat malam,” balas Kakyu. Kakyu mengiringi kepergian mereka dengan pandangan matanya. Setelah kelima orang itu memasuki tenda masing-masing, Kakyu mulai berkeliling di sekitar perkemahan mereka sambil menantikan datangnya pagi.

28

3

Ketika waktu yang dinantikannya tiba, Kakyu mulai membangunkan setiap orang. Yang paling dulu dibangunkan Kakyu adalah prajurit jaga baik yang menjaga tenda-tenda penting maupun yang menjaga seluruh perkemahan. Semua orang kecuali yang telah mengetahui rencana Kakyu, heran. Mereka tidak mengerti mengapa mereka dibangunkan pagi-pagi lalu disuruh segera berkemas. Tapi mereka semua mematuhi perintah yang tersebar cepat itu kecuali Putri Eleanor yang jengkel kepada Kakyu dengan rencananya yang berulang kali berubah itu. Untung Raja Alfonso segera menangani putrinya yang manja itu walau pada akhirnya ia menyerah dan menyuruh pengawal pribadi putrinya, Kakyu, mengatasi gadis itu. Kakyu yang sudah kerepotan dengan rencananya itu, semakin dibuat repot oleh Putri Eleanor. Waktu yang semakin sempit tidak membuat Kakyu bingung. Kakyu meminta Imma dan kedua putranya menemani Putri Eleanor yang semakin jengkel karena diacuhkan Kakyu. Hingga mereka telah selesai berkemas-kemas, Kakyu belum bertemu Putri Eleanor di dini hari ini. Mereka baru bertemu ketika Kakyu melihat Putri tidak mau naik kereta bersama-sama Imma dan kedua putranya. Kakyu mengerti Putri Eleanor sangat marah kepadanya. Tapi tidak ada lagi yang dapat dilakukan Kakyu selain menaikkan kedua penjahat yang terikat itu ke atas punggung kuda. Kakyu tidak dapat membiarkan kedua pria itu berada di kereta Halberd bersama-sama keluarga itu. Ia juga tidak dapat mengosongkan punggung seekor kudapun. Ketika berangkat ke Naullie, rombongan Istana itu hanya terdiri dari tujuh belas orang termasuk Raja dan Putri. Masing-masing orang menunggangi seekor kuda. Dan ketika kembali, rombongan mereka bertambah enam orang serta sebuah kereta petani. Guna melengkapi rencananya untuk tidak memisahkan kedua pria itu sekaligus menjauhkan mereka dari keluarga Halberd, Kakyu meminta Putri Eleanor merelakan kudanya untuk pemberontak itu sehingga masing-masing pria itu menaiki seekor kuda. Semua telah diperhitungkan Kakyu dengan matang kecuali sikap Putri 29

Eleanor. Mulanya Kakyu berpikir Putri akan mengerti permintaannya ini. Tapi rupanya kejengkelan Putri Eleanor pada pemuda itu membuatnya tidak mau mengerti hingga Raja Alfonso menyerah membujuk Putrinya itu. “Engkau membuatku jengkel, Kakyu,” kata Putri Eleanor saat melihat Kakyu, “Kemarin siang engkau ingin kita berkemas-kemas lalu sesaat kemudian engkau ingin kita tetap tinggal. Pagi ini engkau membangunkan kami semua pagi-pagi dan menyuruh kami segera berkemas. Dan sekarang engkau menyuruhku naik kereta.” “Maafkan saya, Tuan Puteri,” kata Kakyu tenang dan singkat. “Tidak adakah yang dapat kaukatakan selain ‘maaf’?” Kakyu tahu Putri Eleanor semakin jengkel mendengar jawaban singkatnya, tapi ia tetap berkata, “Tidak ada, Tuan Puteri.” “Jangan memberiku jawaban pendek, Kakyu!” “Saya berharap Anda mengerti permintaan saya ini, Tuan Puteri,” kata Kakyu, “Keselamatan Anda semakin terancam bila Anda terlalu lama berada di sini.” “Aku tidak peduli,” balas Putri Eleanor tenang, “Keselamatanku adalah tanggung jawabmu.” Kakyu tetap tenang menghadapi Putri Eleanor. “Bila Anda tidak mempedulikan keselamatan Anda, Tuan Puteri, setidak-tidaknya Anda mempedulikan keselamatan Paduka serta keluarga Halberd yang juga terancam.” Putri memperhatikan kedua putra Halberd yang memeluk ibunya eraterat. “Bailkah, Kakyu,” Putri Eleanor akhirnya mengalah, “Tapi ingat, aku malakukannya demi mereka bukan karenamu.” Kakyu tersenyum. “Terima kasih, Tuan Puteri.” Putri Eleanor jengkel melihat senyum itu dan ia semakin jengkel ketika ia naik kereta dibantu prajurit lain bukan Kakyu. “Engkau berhasil membujuk putriku, Kakyu,” kata Raja Alfonso sambil tersenyum. Kakyu membalas senyuman itu tanpa berkata apa-apa. Mereka kembali ke Istana Vezuza dimulai dari empat prajurit yang ditugas Kakyu menjaga di depan. Diikuti Raja dan Jewry serta Raugh yang mengawal di samping kanan kirinya. Jewry dan Raugh masing-masing menarik seekor kuda yang ditunggangi pria hasil berburu Kakyu. Di belakang mereka, kereta Halberd dengan masing-masing dua prajurit di kanan kirinya. Sebagai penutup formasi perlindungan Raja Alfonso dan Putri Eleanor 30

yang sengaja dibuat mencolok oleh Kakyu itu, Kakyu meletakkan Phil serta dua prajurit lainnya di belakang. Sementara itu Kakyu sendiri berada di luar formasi yang dirancangnya dengan mencolok itu. Dengan formasi yang mencolok ini, Kakyu berharap kelompok pemberontak yang melihatnya, berpikir mereka tahu segala sesuatu tentang kegiatan mereka dan akhirnya mereka mengundurkan niat mereka. Seringkali ketika pasukan Istana berjalan sambil tetap mengelilingi Raja dan kereta Halberd, Kakyu menghentikan kudanya untuk memperhatikan sekelilingnya. Tak jarang pula Kakyu mendahului formasi itu untuk memeriksa keamanan jalan yang akan mereka lalui. Mereka terus berada dalam posisi itu hingga mereka tiba di Istana Vezuza keesokan harinya. Semua orang di Istana terkejut melihat kedatangan Raja Alfonso yang lebih cepat dua minggu dari yang direncanakan. Terlebih lagi saat melihat hewan buruan Raja yang tidak hanya terdiri dari hewan itu. Begitu tiba di Istana Vezuza, Raja Alfonso segera mengumpulkan para Jenderal dan pejabat untuk memeriksa ketiga pria yang ditangkap Kakyu. Kakyu merasa ia tidak perlu memberi tahu apapun kepada Raja Alfonso. Raja dan para pejabat lainnya dapat mengetahui apa yang ingin mereka ketahui dari ketiga pria itu. Karena itu Kakyu memilih menenangkan kekhawatiran Imma saat melihat Halberd dikawal masuk Istana Vezuza, setelah menyelesaikan tugas akhir dari pengawalannya hari ini. Kakyu tidak terkejut ketika melihat Imma dan kedua putranya bersama Putri Eleanor. Kakyu tahu dalam perjalanan pulang ke Chiatchamo, Putri yang satu kereta dengan keluarga Halberd itu menjadi akrab dengan mereka. “Apa yang terjadi pada Halberd?” “Raja dan para Jenderal serta pejabat lainnya sedang memeriksanya bersama dua pria lainnya, Tuan Puteri.” “Ia akan baik-baik saja?” “Jangan khawatir, Imma, mereka hanya memeriksanya bukan menghukumnya.” “Jangan khawatir, Imma, Papa bukan orang yang kejam,” Putri Eleanor turut menghibur Imma, “Papa tidak akan menghukum Halberd karena aku yang akan memintanya. Aku yakin Papa tidak akan menolak permintaanku ini.” Kakyu meragukan keyakinan Putri Eleanor. Walaupun semua orang tahu Raja Alfonso baik hati, Raja bisa berbuat kejam bila memang diperlukan. Apa yang akan menimpa Halberd, tergantung pada pemeriksaan yang 31

dilakukan Raja ini. Kakyu yakin hingga malam nanti Raja, para Jenderal serta pejabat yang menangani urusan dalam negeri khususnya keamanan, tidak akan selesai memeriksa ketiga pria malang itu. Setelah selesai diperiksa, Kakyu yakin ketiga pria malang itu masih belum bisa mendapatkan pengobatan yang lebih baik dari yang telah diberikan Kakyu. Raja dan yang lain pasti akan langsung merundingkan masalah pemberontakan ini sesudah menyelesaikan pemeriksaan mereka. Dan pasti mereka akan melupakan ketiga pria malang itu sewaktu mereka sibuk berunding. “Sekarang mereka ada di mana, Kakyu?” tanya Putri Eleanor. “Di Ruang Tahta.” “Aku akan ke sana.” “Jangan, Tuan Puteri,” cegah Kakyu. “Mengapa engkau mencegahku, Kakyu?” “Raja tidak ingin diganggu.” Putri Eleanor tersenyum. “Papa tidak akan marah bila aku yang menganggunya.” “Sebaiknya Anda tidak melakukannya, Tuan Puteri,” kata Kakyu, “Raja telah memerintahkan prajurit untuk mencegah siapapun masuk.” “Jangan khawatir, Kakyu.” Sebelum Kakyu sempat mencegah lagi, Putri Eleanor telah menuju Ruang Tahta. Kakyu yang telah mengenal sifat Putri Eleanor yang manja dan keras kepala itu, membiarkan Putri sendiri yang membuktikan ucapannya. “Tunggu kami di sini,” pesan Kakyu. Imma mengangguk. “Baik, Tuan,” katanya. Lalu Kakyu segera menyusul Putri Eleanor. Dari kejauhan Kakyu melihat Putri Eleanor sedang berbantah dengan dua prajurit yang menjaga pintu Ruang Tahta. Kakyu yakin Putri Eleanor bersikeras masuk sementara kedua prajurit itu bersikeras menjalankan perintah Raja Alfonso. Mereka menghentikan pertengkaran mereka ketika melihat Kakyu mendekat. “Raja benar-benar tidak ingin diganggu, Tuan Puteri.” “Tapi aku putrinya, bukan orang lain.” “Saya mohon Anda mengerti.” Putri Eleanor cemberut mendengar Kakyu tidak memihak padanya. Putri memandang lekat-lekat wajah pemuda itu. Tiba-tiba Putri menarik Kakyu menjauh. 32

“Ada apa, Tuan Puteri?” tanya Kakyu kebingungan. “Kakyu,” kata Putri Eleanor bersemangat, “Engkau menyusup masuk saja. Aku tahu engkau pandai dalam hal itu. “Apa!?” kata Kakyu terkejut. Putri Eleanor benar Kakyu yang sering mendapat tugas penyusupan dari Raja Alfonso, pasti bisa dengan mudah menyusup masuk ke Ruang Tahta dan melihat apa yang terjadi di dalam. Apalagi dulu Kakyu pernah menyusup ke dalam ruangan itu. Tapi Kakyu tidak mau melakukannya. “Masuklah ke dalam Ruang Tahta diam-diam dan lihat apa yang terjadi,” ulang Putri Eleanor dengan lebih jelas. “Tidak,” kata Kakyu tegas. “Ayolah, Kakyu,” bujuk Putri, “Tidak akan terjadi apa-apa. Engkau hanya melihat apa yang terjadi lalu keluar lagi.” Sekali lagi Kakyu menolak tegas, “Tidak, Tuan Puteri.” Putri Eleanor berusaha meyakinkan Kakyu. “Tidak akan ada yang marah padamu, Kakyu. Kalau engkau ketahuan, aku yang akan bertanggung jawab dan tak seorangpun yang akan memarahimu.” Kakyu tetap pada pendiriannya. Putri Eleanor dibuat kesal karenanya, “Ini perintahku, Kakyu. Engkau tidak boleh mengatakan ‘tidak’!” “Saya juga tidak dapat melanggar perintah Paduka,” kata Kakyu tenang. Putri dibuat semakin kesal karenanya. Kakyu meninggalkan Putri Eleanor dengan tenang, setenang katakatanya. Pemuda itu tersenyum ketika mengetahui harapannya berjalan lancar. Putri Eleanor mengikutinya untuk membujuknya. Tahu Putri Eleanor mengikutinya, Kakyu mempercepat langkahnya ke tempat ia meninggalkan Imma beserta kedua putranya. “Selamat sore, Paduka Ratu,” sapa Kakyu kepada Ratu Ylmeria yang berada di samping Imma. “Selamat sore, Kakyu,” balas Ratu sambil tersenyum, “Kudengar perburuanmu kali ini membawa hasil yang sangat luar biasa.” “Anda terlalu melebihkannya, Paduka.” Putri Eleanor yang berhasil mengejar Kakyu, terkejut melihat ibunya. “Selamat sore, Mama,” katanya. “Engkau sungguh tidak sopan, Eleanor,” kata Ratu Ylmeria, “Engkau mengundang Imma tapi engkau meninggalkannya di sini sendirian.” Putri Eleanor terkejut menyadari kesalahannya sendiri. “Maafkan aku, Imma.” “Tidak apa-apa, Tuan Puteri,” kata Imma sambil tersenyum.

33

“Dari mana saja engkau, Eleanor?” “Aku ingin menemui Papa,” kata Putri sambil melihat wajah tenang Kakyu, “Tapi Kakyu mencegahku.” Ratu Ylmeria juga ikut menatap Kakyu yang tetap tenang seolah-olah tidak terjadi apa-apa. “Tindakan Kakyu benar. Ayahmu tidak ingin diganggu siapapun saat ini.” Karena dua kali tidak dibela orang yang diharapkannya, Putri Eleanor sangat kesal hingga tidak berkata apa-apa lagi. Ratu hanya tersenyum melihat tingkah putrinya yang kekanak-kanakan. “Sebaiknya engkau segera berisitirahat di kamarmu, Eleanor. Aku yakin perjalanan jauh membuatmu lelah,” kata Ratu Ylmeria kemudian pada Kakyu dan Imma, ia berkata, “Kalian juga terutama kedua putramu, Imma.” Karena terlalu kesal, Putri Eleanor segera menuruti perintah Ratu Ylmeria tanpa mengatakan apa-apa. Kakyu yang telah terbiasa dengan sikap Putri Eleanor yang seperti ini, bukannya mengejar Putri Eleanor malah berkata, “Kalau Anda tidak keberatan, saya ingin mengantar Imma ke Quentynna House. Saya janji akan kembali lagi ke Istana sesudahnya.” “Untuk apa, Kakyu? Kamar di Istana cukup banyak untuk kalian tempati.” “Saya yakin Imma akan merasa lebih baik bila tinggal di Quentynna House hingga masa depan suaminya jelas.” “Tuan Kakyu benar, Paduka Ratu,” Imma mendukung Kakyu, “Istana Vezuza terlalu mewah untuk kami yang dari desa ini. Kami merasa gugup di tempat semewah ini.” “Baiklah, aku mengijinkanmu, Kakyu,” kata Ratu Ylmeria, “Tapi setelah tiba di Quentynna House, engkau tidak perlu kembali lagi ke sini. Aku tahu engkau lelah dan merindukan keluargamu. Ini pertama kalinya engkau berpisah lama dengan keluargamu, bukan?” “Benar, Paduka Ratu,” kata Kakyu ragu-ragu. Ratu Ylmeria mengerti kekhawatiran Kakyu. “Jangan mengkhawatirkan Eleanor. Engkau sendiri tahu putriku yang satu ini memang semakin manja sejak kakaknya pergi ke Inggris.” Atas desakan Ratu Ylmeria itu, Kakyu akhirnya kembali ke Quentynna House dan tidak kembali lagi ke Istana Vezuza setelah mengurus keberadaan keluarga Halberd di rumahnya itu. Tak seorangpun yang bertanya apa-apa pada Kakyu. Mereka termasuk Vonnie, kakak kedua Kakyu yang biasanya selalu ingin tahu, mengerti kelelahan pemuda itu. Mereka membiarkan pemuda itu segera tidur setelah menyelesaikan semua tugasnya. Kakyu senang dapat menebus dua hari waktu tidur malamnya yang 34

digunakannya untuk pemberontak itu. Karena ingin mengetahui perkembangan pemeriksaan Raja terhadap Halberd dan dua pria lainnya, Kakyu segera pergi ke Istana Vezuza setelah menghabiskan sarapannya. Kali ini Kakyu beruntung lagi. Tak seorangpun yang berusaha mencegahnya bahkan Marie, kakak perempuan Kakyu yang lain yang membenci keterburu-buruan, hanya diam saja melihat Kakyu segera menghilang setelah menghabiskan makan paginya. “Selamat pagi, Paduka Ratu,” sapa Kakyu pada Ratu Ylmeria yang bertemu dengannya di koridor menuju Ruang Tahta. “Selamat pagi, Kakyu,” balas Ratu Ylmeria, “Hendak ke mana engkau pagi-pagi seperti ini?” Belum sempat Kakyu menjawab pertanyaan itu, Ratu telah berkata, “Kalau engkau ingin mengetahui hasil pembicaraan Raja, sebaiknya engkau mengurungkan niatmu itu,” kata Ratu Ylmeria, “Mereka baru selesai beberapa jam yang lalu dan kini mereka semua masih tidur.” Kakyu diam saja mendengar pemberitahuan itu lalu ia berkata, “Saya akan menemui Tuan Puteri.” “Sebaiknya engkau juga mengurungkan niatmu itu, Kakyu. Eleanor masih tidur.” Ratu tersenyum sambil mengenang sesuatu. “Gadis itu memang nakal,” kata Ratu Ylmeria tiba-tiba, “Engkau tahu, Kakyu? Saat kemarin kita semua mengira ia kembali ke kamarnya, ia pergi ke Ruang Tahta.” Kakyu tahu apa yang kemudian terjadi. “Eleanor berhasil menerobos masuk dan akhirnya ia mengikuti perundingan itu hingga dini hari tadi.” Walaupun tidak ada lagi yang dapat dilakukan Kakyu, Ratu Ylmeria yakin pemuda itu tidak akan menerima nasehatnya untuk beristirahat. Ratu Ylmeria tahu itu. “Karena tidak ada lagi yang dapat kaulakukan, ikutlah aku,” Ratu Ylmeria mengajak Kakyu berjalan-jalan, “Aku ingin berbicara banyak hal denganmu.” “Baik, Paduka.” Kakyu mengikuti d samping Ratu Ylmeria. “Tak kuduga engkau cukup kejam, Kakyu. Kata pelayan yang merawat luka ketiga pria itu, luka mereka cukup dalam,” kata Ratu Ylmeria sambil tersenyum penuh arti. “Kakyu!” Panggilan itu membuat mereka berhenti dan menanti Putri Eleanor yang berlari mendekat. “Kalian mau ke mana?” tanya Putri Eleanor. 35

“Kami ingin berjalan-jalan,” jawab Ratu Ylmeria, “Mengapa engkau sudah bangun, Eleanor?” Putri Eleanor menatap Kakyu sebagai jawabannya. Ratu Ylmeria tersenyum melihat putrinya menatap lekat-lekat pemuda yang tetap tenang itu. Sesaat kemudian mereka telah berjalan-jalan di taman Istana Vezuza. Walaupun tadi Ratu Ylmeria mengatakan ingin berbicara dengannya, Kakyu lebih menjadi pendengar yang baik daripada kawan bicara yang baik di pagi hari yang cerah itu. Satu-satunya hal yang saat ini ingin dibicarakan Kakyu adalah hasil pembicaraan Raja bersama para pejabat lainnya. Namun pemuda itu tetap terlihat tenang ketika siang harinya Raja Alfonso memanggilnya ke Ruang Tahta. Karena ingin tahu, Ratu Ylmeria dan Putri Eleanor ikut pergi bersamanya ke Ruang Tahta walau tidak ikut dipanggil. “Selamat siang, Kakyu,” kata Raja Alfonso tanpa memberi kesempatan bicara pada Kakyu, “Aku akan memberitahumu apa yang paling ingin kauketahui saat ini.” “Mula-mula aku mengucapkan selamat padamu, Kakyu. Kuakui engkau memang seorang pengawal yang hebat. Engkau benar soal pemberontak itu. Mereka sudah ada di sana sejak dua tahun lalu.” “Karena tak seorangpun dari kita bahkan ketiga pria itu yang tahu tempat persembunyian pemberontak itu, aku memutuskan untuk menyelidiki mereka terlebih dulu sebelum menyerbu mereka. Engkau punya usul lain?” Akhirnya Raja Alfonso memberi kesempatan bicara pada Kakyu tapi pemuda itu tidak menggunakan kesempatan ini untuk bicara banyak. Ia hanya berkata, “Tidak, Paduka.” Yang dilakukan Raja Alfonso sudah benar. Pemberontak itu akan memperkuat diri setelah mengetahui dua kawannya tertangkap bahkan mungkin mereka pindah lebih dalam ke Hutan Naullie. Hal ini akan mempersulit penyerbuan. Seperti kata Raja Alfonso, saat ini yang dapat dilakukan hanya menyelidiki pemberontak itu sebelum menghancurkannya. “Tugas itu kuserahkan pada Jenderal Erin.” Kakyu tidak mengerti mengapa Raja Alfonso berhenti hanya untuk melihat reaksinya mendengar keputusannya itu. Tapi ia tetap menjaga ketenangannya. Raja tersenyum melihat ketenangan sikap Kakyu. “Engkau tahu siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai Kepala Keamanan Istana?” kata Raja Alfonso berteka-teki. Kakyu tetap tenang dalam kediamannya. 36

“Pilihanku memang tepat,” kata Raja puas, “Engkau memang seorang pemuda yang tenang. Tak salah bila aku menunjukmu menggantikan Erin.” Ketenangan Kakyu buyar karena kalimat itu. “Apa!?” katanya terkejut. “Papa mengangkatmu menjadi Kepala Keamanan Istana menggantikan Jenderal Erin yang bertugas di Hutan Naullie,” ulang Putri Eleanor dengan lebih jelas. Kakyu menatap Jenderal Reyn sebelum berkata, “Saya tidak dapat menerimanya, Paduka.” Sekarang ganti Raja Alfonso yang terkejut. “APA!?” serunya. “Saya tidak dapat menerima tugas itu, Paduka,” ulang Kakyu tetap dengan ketenangan yang dimilikinya. “Mengapa?” tanya Raja Alfonso keheranan, “Apakah tugas ini terlalu berat untukmu?” “Saya merasa senang mendapat kepercayaan Anda ini, Paduka, tapi saya merasa tidak pantas menerimanya. Banyak Jenderal yang lebih berpengalaman dari saya.” “Engkau menolak tugas dariku?” kata Raja Alfonso pura-pura marah. Kakyu segera berlutut. “Saya tidak berani, Paduka,” katanya, “Hanya saja saya terlalu muda untuk jabatan sepenting itu. Saya khawatir pengalaman saya tidak cukup untuk melindungi penghuni Istana ini.” “Aku menunjukmu bukan tanpa alasan, Kakyu. Aku menunjukmu karena aku percaya pada kemampuanmu,” kata Raja. “Terima saja tugas ini, Kakyu,” bujuk Putri Eleanor, “Engkau memang pantas menduduki posisi ini.” “Jangan kaupedulikan usiamu yang masih muda, Kakyu,” bujuk Ratu Ylmeria pula, “Engkau setangguh yang kamu percayai bahkan lebih tangguh dari yang dapat kami bayangkan.” “Paduka Ratu benar, Kakyu. Walaupun masih muda, engkau telah menunjukkan ketangguhanmu,” Jenderal Erin ikut membujuk penggantinya, “Jangan kauragukan apapun, Kakyu. Kami semua percaya pada kemampuanmu.” “Kalau bukan karenamu, aku dan Papa tidak akan berada di sini saat ini.” “Karenamu juga, kami mengetahui adanya pemberontak itu di Hutan Naullie,” tambah Jenderal Decker. “Sekarang apalagi yang dapat kaukatakan, Kakyu?” kata Raja Alfonso puas. Kakyu tidak tahu harus berbuat apa lagi selain menerimanya. Demikianlah hanya dalam tiga tahun sejak menjadi pasukan pengawal Istana Vezuza, Kakyu diangkat menjadi Kepala Keamanan Istana menggantikan Jenderal Erin. Jenderal Erin segera berangkat bersama pasukannya setelah 37

menyerahkan jabatannya pada Kakyu melalui suatu upacara resmi ketentaraan. Bersamaan dengan pengangkatan itu, Raja Alfonso mengangkat Kakyu menjadi seorang Perwira Tinggi. Mengenai pemberontak itu, Kakyu masih khawatir tapi ia sudah tidak mengkhawatirkan Halberd dan keluarganya lagi. Raja Alfonso mengabulkan permintaannya untuk mengampuni pria itu dengan membebaskannya. Bahkan atas permintaan Putri Eleanor, keluarga itu mendapatkan rumah dan tanah pertanian di Parcelytye yang jauh dari Farreway. Dengan demikian keluarga itu aman dari ancaman kelompok pemberontak itu dan Kakyu harus mengurungkan niatnya untuk mencarikan tempat baru yang aman bagi keluarga Halberd. Rumah Halberd di Farreway yang ditinggalkan pemiliknya, digunakan Jenderal Erin sebagai pusat pengintaian pemberontak di sana. Keberhasilan Kakyu dalam mengetahui adanya pemberontak yang mereka sebut Kirshcaverish inilah yang membuat pemuda itu menjadi seorang Perwira Tinggi yang paling muda di Kerajaan Aqnetta dan menjadi Kepala Keamanan Istana. Dengan pengangkatan ini Kakyu menjadi semakin terkenal dan dikagumi di Kerajaan Aqnetta terutama di kalangan gadis-gadis. Walau sudah terkenal dalam usianya yang masih muda, Kakyu tetap tidak sombong. Sikapnya pun tetap seperti dulu. Bahkan kepada Putri Eleanor, ia tetap dingin-dingin tenang. Raja Alfonso senang melihatnya. Ketenangan Kakyulah yang membuat Raja Alfonso memilihnya selain karena ketangguhannya yang tidak perlu diragukan lagi. Setiap orang di Istana Vezuza tahu Putri Eleanor tidak menyukai sikap dingin-dingin tenang Kakyu itu. Setiap kali bertemu dengan Kakyu, Putri selalu berusaha mengajak pemuda itu menamaninya. Tak heran bila orang-orang di Hall itu mendengar Putri berkata, “Kalau tidak ada masalah apapun, temani aku berjalan-jalan.” Dan seperti biasanya, Kakyu berkata, “Maafkan saya, Tuan Puteri.” Walaupun tahu Putri Eleanor kesal mendengar penolakan itu, Kakyu melanjutkan kembali perjalanannya ke Ruang Baca untuk menemui Raja Alfonso. Biasanya Kakyu memang tidak punya waktu untuk menemani Putri Eleanor karena banyaknya tugas yang harus dilakukannya. Tapi kali ini Kakyu benar-benar harus menemui Raja Alfonso untuk membicarakan suatu masalah yang berkaitan dengan kejadian dua bulan yang lalu.

38

4

Pagi itu semua anggota keluarga Quentynna berkumpul di Ruang Makan untuk sarapan. Semua ada di sana. Jenderal Reyn sebagai kepala keluarga Quentynna duduk di ujung meja dengan istrinya, Lady Xeilan di samping kanannya. Kelima putra Jenderal Reyn juga tidak ada yang ketinggalan. Putri pertama keluarga Quentynna yang sangat menyayangi Jenderal Reyn, Joannie, tentu saja duduk di samping Jenderal Reyn yang lainnya. Seperti biasa, putri keempat Jenderal Reyn yang paling suka bicara, Lishie, berbicara panjang lebar disahut Vonnie, putri ketiga Jenderal Reyn yang selalu ingin tahu. Marie juga tak mau ketinggalkan meramaikan suasana pagi keluarga Quentynna. Hanya Kakyu sebagai putra bungsu Jenderal Reyn yang tidak ikut meramaikan Ruang Makan. Kedatangan seorang pelayan yang terburu-buru, menghentikan canda tawa mereka. “Ada yang terjadi?” tanya Jenderal Reyn. “Di depan ada seorang prajurit yang ingin menemui Anda.” “Aku akan menemuinya sekarang juga.” Jenderal Reyn beranjak dari kursinya dan mengikuti pelayan itu. “Mengapa prajurit itu mencari Papa sepagi ini?” tanya Vonnie ingin tahu. “Aku tidak tahu, Vonnie,” jawab Lishie. “Aku juga tidak tahu,” kata Joannie. “Mungkin Kakyu tahu,” kata Marie. Keempat putri Jenderal Reyn itu menatap Kakyu yang sama sekali tidak terpengaruh pembicaraan mereka. Menyadari tatapan keempat kakak perempuannya, Kakyu mengangkat kepalanya dari piring. Dengan tenang ia berkata, “Tidak.” Keempat kakak beradik itu kesal melihat adik mereka kembali menekuni makan paginya. “Percuma bertanya pada Kakyu,” keluh Vonnie, “Ia selalu menjawab ‘Ya’ atau ‘Tidak’.” Lady Xeilan tersenyum. “Kalian ini seperti belum mengenal adik kalian yang pendiam ini.” “Benar, ia tak banyak bicara sepertimu, Lishie,” tambah Marie. “Lebih baik aku daripada engkau yang lamban,” kata Lishie marah. 39

“Biar saja. Yang penting aku tidak sepertimu,” Marie tidak mau kalah, “Aku heran mengapa engkau bisa bicara terus sepanjang hari tanpa membuar bibirmu lelah.” “Sudah… sudah. Jangan bertengkar,” cegah Lady Xeilan sebelum keduanya bertengkar, “Apakah kalian tidak bisa tenang seperti Kakyu?” “Benar. Lihat saja Kakyu yang sejak tadi diam saja sementara kalian ribut saja,” tambah Joannie. Lishie menatap Kakyu yang tetap dengan tenang menghabiskan makan paginya. “Aku tidak tertarik menjadi orang sedingin dia.” “Kalaupun engkau tertarik, engkau tidak akan pernah dapat setenang Kakyu,” timpal Vonnie, “Disuruh diam sebentar saja engkau tidak mampu apalagi kalau selama-lamanya.” “Tentu saja. Tidak enak seharian diam seperti dia,” Lishie menyetujui kakaknya. “Tapi enak kalau terkenal seperti dia,” kata Marie, “Kalau aku terkenal seperti Kakyu, pasti banyak pria tampan yang mengejarku.” “Engkau yang lamban?” kata Vonnie tak percaya, “Jangan membuatku tertawa dengan khayalanmu itu, Marie.” “Marie benar, Vonnie. Kalau kita terkenal seperti Kakyu, pasti banyak pemuda tampan yang mengejar kita.” “Aku tak tertarik,” kata Joannie tiba-tiba. “Kalau engkau yang berkata seperti itu, aku tak terkejut, Joannie,” kata Lishie, “Engkau sejak dulu hanya mengagumi Papa. Tak heran kalau sampai sekarang tidak ada yang melamarmu.” “Aku tak peduli.” “Engkau ingin suami yang seperti apa?” tanya Vonnie ingin tahu. “Pasti yang seperti Papa,” sahut Marie. “Tentu saja,” Joannie membenarkan adiknya, “Suamiku harus kuat dan gagah seperti Papa.” Lady Xeilan tersenyum mendengar pembicaraan putri-putrinya. Mereka sudah dewasa. Kakyu yang paling kecil di antara lima bersaudara itu saja, tahun ini genap delapan belas tahun. Sedangkan Joannie yang paling tua tahun ini sudah berumur dua puluh dua tahun. Lishie benar. Sudah saatnya bagi Joannie untuk menikah. Tapi Joannie sendiri belum mau menikah karena ia belum menemukan pria yang seperti keinginannya. Baik Lady Xeilan maupun Jenderal Reyn tidak mendesak Joannie untuk segera menikah. Mereka yakin Joannie akan menemukan pria yang sesuai dengan dirinya. Pembicaraan keempat gadis itu terhenti oleh munculnya Jenderal Reyn.

40

“Aku harus pergi sekarang. Jenderal Decker memanggilku.” “Tidak dapatkah engkau menghabiskan sarapanmu dulu?” “Tidak, Xeilan,” kata Jenderal Reyn, “Kalau sampai Jenderal Decker memanggilku sepagi ini. Pasti ada masalah yang sangat penting yang harus dibicarakannya denganku.” “Baiklah, Reyn. Aku tidak akan mencegahmu lagi.” “Papa…” “Jangan khawatir, Joannie. Jenderal Decker hanya akan membicarakan sesuatu dengan Papa,” kata Jenderal Reyn. “Habiskan dulu kopimu, Reyn.” “Tentu, Xeilan.” Jenderal Reyn segera meninggalkan ruangan itu setelah menghabiskan kopinya. “Urusan apa yang akan dibicarakan Jenderal Decker dengan Papa?” Vonnie mulai ingin tahu. “Aku tidak tahu, Vonnie,” kata Marie, “Jangan mulai ingin tahu lagi.” Kakyu merasa sudah cukup lama berada di Ruang Makan. “Aku juga harus pergi,” kata Kakyu sambil beranjak berdiri. “Hati-hati, Kakyu,” kata Lady Xeilan saat pemuda itu mencium pipinya. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Kakyu meninggalkan mereka. Kedatangannya di teras, disambut dengan pertanyaan pelayan yang memegang tali kendali seekor kuda. “Anda akan pergi juga, Tuan Muda?” “Ya,” jawab Kakyu singkat. Dengan kelincahannya, Kakyu melompat ke punggung kudanya. Setelah menerima tali kendali kuda itu dari pelayan, Kakyu segera memacu kudanya ke Istana Vezuza tanpa mengucapkan apapun. Seperti biasanya, Kakyu menghabiskan harinya di Istana Vezuza dengan mengawasi Istana yang luas itu. Berkeliling Istana Vezuza sambil sesekali mengawasi para prajurit bawahannya, sudah menjadi pekerjaan sehari-hari Kakyu di Istana Vezuza. Diganggu para gadis di Istana Vezuza terutama Putri Eleanor juga sudah menjadi pekerjaan sehari-hari Kakyu. Tapi si dingin-dingin tenang Kakyu tidak pernah sampai terganggu pekerjaannya karena mereka. Itulah yang disukai Raja Alfonso pada diri Kakyu selain ketangguhan serta kepiawaiannya mengatur pasukan pengawal Istana yang jauh lebih tua darinya. Dipimpin seorang Perwira yang jauh lebih muda dari mereka, tidak membuat para pasukan pengawal Istana itu merasa terhina. Sebaliknya, mereka merasa senang dipimpin pemuda yang diakui ketangguhannya oleh Raja Alfonso itu. Banyak prajurit muda yang iri pada Kakyu tapi tidak seorangpun dari mereka yang tidak mengagumi pemuda itu. Mereka menyimpan kekaguman 41

mereka di balik rasa iri mereka. Semua orang tahu Kakyu dapat menjadi seorang Perwira Tinggi di saat pemuda itu baru berusia tujuh belas tahun, bukan karena ayahnya yang seorang Jenderal yang tangguh, tapi karena ketangguhan pemuda itu sendiri. Semua orang terutama yang mengenal Kakyu, menyukai pemuda tampan yang menyembunyikan keramahannya di balik sikap dingin-dingin tenangnya itu. Tidak ada yang tahu pasti karena ketampanannya atau memang karena ketangguhannya di usianya yang masih sangat muda, Kakyu menjadi terkenal. Yang diketahui pasti oleh semua orang di Kerajaan Aqnetta adalah setiap hari Kakyu semakin terkenal. Itu berarti semakin banyak pula saingan Putri Eleanor. Semua tahu percuma saja Putri Eleanor maupun gadis-gadis lainnya mencoba mendapatan perhatian pemuda itu. Kakyu hanya akan menanggapi mereka sebatas demi kesopanan. Bukan hanya kepada mereka saja sikap Kakyu seperti itu, kepada semua orang Kakyu bersikap ramah dan sopan tapi ia tidak pernah mau diajak berbicara panjang lebar. Walaupun demikian tidak ada seorangpun yang mengatakan Kakyu itu dingin. Mereka cenderung mengatakan Kakyu itu pendiam karena memang Kakyu menyimpan keramahannya di balik sikap dingin-dingin tenangnya. Mungkin karena keunikannya ini yang juga membuat Kakyu terkenal. Walau demikian Kakyu tetap seorang pemuda yang tenang. Ketenangannya dalam bekerja tidak membuat gangguan apapun menganggu pekerjaannya. Selama menjabat sebagai Kepala Keamanan Istana Istana Vezuza, Kakyu menunjukkan ketenangan dalam wibawanya memimpin pasukan pengawal Istana. Walaupun ia harus memimpin pasukan yang lebih tua darinya, Kakyu sama sekali tidak merasa gugup. Kakyu tahu bagaimana menangani perbedaan umur yang kadang sampai berlipat dari usianya sendiri itu. Tapi tidak seperti prajurit lainnya yang terpaksa tinggal di Istana Vezuza, setiap malam Kakyu pulang ke Quentynna House dan setiap pagi ia kembali ke Istana Vezuza. Untung jarak antara Quentynna House dengan Istana Vezuza tidak begitu jauh. Sebagai Perwira yang bertanggung jawab penuh pada keamanan Istana, Kakyu selalu mengawasi setiap orang yang masuk maupun meninggalkan Istana Vezuza. Tak heran bila siang itu Kakyu melihat ayahnya datang terburu-buru dengan wajah tegang bersama Jenderal Decker dan beberapa Jenderal tua lainnya. 42

Kakyu tidak tahu apa yang membuat mereka begitu tegang, tapi ia tahu masalah yang mereka hadapi sangat serius dan perlu segera ditangani. Dan kemungkinan besar masalah itu adalah masalah keamanan Kerajaan Aqnetta. Kakyu semakin yakin ia benar ketika melihat Menteri Dalam Negeri, Kenny, dan Menteri Keamanan, Marzzini, ikut masuk ke Ruang Perundingan. Berjam-jam mereka berada di sana. Bahkan ketika tiba waktunya bagi Kakyu untuk pulang, mereka tetap di sana. Kakyu yang selalu tertib dalam segala hal, tetap memutuskan untuk kembali ke Quentynna House walaupun ia ingin menanti ayahnya. Kakyu tidak ingin membuat keluarganya semakin khawatir. Kakyu tahu kepergian ayahnya sejak pagi hingga saat ini sudah membuat keluarganya khawatir apalagi bila ditambah keterlambatannya. Seperti yang diperkirakan Kakyu sebelumnya, begitu ia tiba, Vonnie menyambutnya dengan berbagai macam pertanyaan. Karena memang tidak tahu apsti apa yang dibicarakan ayahnya dan para Jenderal lainnya dengan Raja Alfonso, Kakyu diam saja. Kakyu memilih tidak memberikan jawaban apapun juga tidak mengatakan kecurigaannya. Kediaman Kakyu tidak membuat keempat kakaknya putus asa. Mereka terus mendesak Kakyu dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Untuk kesekian kalinya Kakyu merasa beruntung mengenal Kenichi. Jika bukan karena ajarannya, tentu ketenangan hati Kakyu menghadapi desakan keempat kakaknya, sudah hilang entah ke mana. Keempat gadis itu terus penasaran akan keadaan ayahnya hingga saat makan malam. Saat itulah Jenderal Reyn baru tiba. Tanpa memikirkan kelelahan Jenderal Reyn, keempat gadis cantik itu menyerbu Jenderal Reyn dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Jenderal Reyn tersenyum geli karenanya. Ini bukan pertama kalinya Jenderal Reyn mendapat serbuan semacam ini dari keempat putrinya. Setiap kali Jenderal Reyn harus meninggalkan Quentynna House tiba-tiba, keempat gadis itu selalu menyambut kedatangannya dengan seribu satu macam pertanyaan. Juga bila ada suatu kejadian besar. Jenderal Reyn memandangi putra-putrinya satu per satu di meja makan itu. Joannie yang sangat menyayangi ayahnya, tampak cemas melihat Jenderal Reyn diam saja. Mata hijau Vonnie sudah berbinar-binar ingin tahu. Marie yang paling tidak suka buru-buru, sudah tidak sabar menantikan jawaban Jenderal Reyn atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Si cerewet Lishie 43

pun sudah siap dengan pertanyaan-pertanyaan barunya. Hanya Kakyu yang tetap tenang di antara kakak beradik itu. Pemuda itu tidak tampak menanti apapun juga tidak nampak siap melakukan apapun. Pemuda itu tampak begitu tenang sehingga tampak seolah-olah ia berada dalam dunianya sendiri. Jenderal Reyn tahu putranya yang paling dibanggakannya itu selalu memperhatikan sekitarnya sekalipun ia tampak sangat tenang seolah-olah berada dalam dunianya sendiri. Sekali lagi Jenderal Reyn memperhatikan kelima anaknya. Mereka mirip satu sama lain. Kelimanya menyerupai Lady Xeilan dengan rambut merah mereka dan mata hijaunya. Namun sifat mereka berbeda bahkan bertolak belakang. Vonnie yang selalu ingin tahu dengan Joannie yang tidak mau mengurusi urusan orang lain. Lishie yang banyak bicara dengan Kakyu yang pendiam. Marie yang tidak suka terburu-buru dengan keempat saudaranya yang tidak suka berlamban-lamban. Sifat mereka yang beraneka macam dan saling berlawanan inilah yang meramaikan Quentynna House. Lady Xeilan yang selalu mengawasi kakak beradik itu terutama keempat gadis cantik itu, bertindak sebagai penengah bila mereka bertengkar. Jenderal Reyn sangat mencintai keluarganya termasuk keramaian keempat putrinya yang menyemarakkan Quentynna House yang kadang juga menjengkelkan. “Besok pagi-pagi sekali aku harus pergi,” kata Jenderal Reyn. “Mendadak sekali,” kata Lady Xeilan terkejut, “Ke mana engkau akan pergi sepagi itu?” “Ke Naullie,” jawab Kakyu tenang. Lady Xeilan dan keempat putrinya terkejut lebih-lebih Joannie yang sangat mencintai Jenderal Reyn. “Benarkah itu, Papa?” tanya Joannie tak percaya. Jenderal Reyn menatap putri tertuanya dan mengangguk perlahan. Sekali lagi mereka terkejut kecuali Kakyu yang telah menduganya. Ini memang bukan pertama kalinya Jenderal Reyn bertugas di tempat yang jauh dari Chiatchamo tapi mereka semua tahu di dalam Hutan Naullie ada sekelompok pemberontak. Jenderal Reyn juga tahu kepergiannya kali ini sangat berbeda dengan kepergiannya yang lain. Selain sangat jauh, kepergiannya kali ini sangat berbahaya dan bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan ia bisa tidak pernah kembali kepada keluarga yang sangat dicintainya lagi. Jenderal Reyn tahu ia akan sangat merindukan keluarganya beserta 44

suasana Quentynna House. Tapi Jenderal Reyn tahu ia harus pergi. Bukan saja karena ia seorang Jenderal Angkatan Darat yang membawahi seluruh pasukan yang bertugas di darat, tapi juga karena rasa cintanya pada Kerajaan Aqnetta. Jenderal Erin mulai dapat melihat keberadaan Kirshcaverish di Hutan Naullie. Secara pasti di mana, ia memang tidak tahu tapi ia sendiri dan pasukan yang dibawanya semakin sering melihat mereka. Bahkan akhir-akhir ini sering terjadi pertempuran kecil antara mereka dengan kelompok Kirshcaverish itu di dalam Hutan Naullie. Keadaan yang seprti itu membuat Jenderal Erin khawatir. Ia segera mengirimkan seorang utusan ke rumah Jenderal Decker. Kedatangan utusan itu dengan membawa berita yang mengejutkan, segera ditanggapi Jenderal Decker dengan mengumpulkan semua Jenderal di rumahnya. Setelah berunding cukup lama, mereka menuju Istana Vezuza untuk meminta persetujuan Raja Alfonso sekaligus menyempurnakan rencana yang mereka susun. Hasilnya adalah beberapa Jenderal termasuk Jenderal Reyn berangkat ke Hutan Naullie dini hari esok dengan membawa sejumlah pasukan. Mengingat tempat yang menjadi medan pertempuran nanti adalah hutan lebat, pasukan yang diberangkatan terdiri dari 50 pasukan berkuda dan 200 pasukan pejalan kaki. Mereka semua harus segera berangkat untuk berjaga-jaga di sekitar Hutan Naullie bila Kirshcaverish tiba-tiba menyerang. Apa tujuan mereka memberontak hingga kini belum diketahui pasti. Yang pasti hanya satu yaitu mereka ingin melawan pemerintahan Kerajaan Aqnetta yang sekarang dan Kerajaan Aqnetta harus melindungi Rajanya. “Apakah tidak dapat ditunda?” tanya Joannie. “Tidak, Joannie,” kata Jenderal Reyn, “Keadaan di sana sangat berbahaya dan perang bisa terjadi sewaktu-waktu.” “Besok pagi-pagi, Xeilan. Sekitar pukul empat pagi, aku harus sudah ada di rumah Jenderal Decker.” “Apakah tidak terlalu pagi?” tanya Lady Xeilan lagi. “Memang,” Jenderal Reyn setuju, “Justru itulah yang kami cari. Keberangkatan ini sedapat mungkin tidak diketahui penduduk Chiatchamo, di samping untuk mempercepat datangnya bantuan ini.” Semua terdiam – sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka tahu pertemuan ini mungkin pertemuan keluarga yang terlengkap yang paling akhir. Ini pertama kalinya Jenderal Reyn maju ke medan perang terlebih lagi ke 45

garis depan. Sejak Jenderal Reyn menjabat sebagai Komandan Perang, tidak pernah ada peperangan. Sebelumnya juga tidak. Walaupun Kerajaan Aqnetta merupakan kerajaan kecil yang kaya dan subur tanahnya, tidak ada suatu negara lain yang mencoba mengambil alih pemerintahan Kerajaan Aqnetta. Sudah bukan rahasia lagi kekuatan militer Kerajaan Aqnetta. Pada awal berdirinya kerajaan ini, yaitu di tahun 1077, banyak yang berusaha menguasai Kerajaan Aqnetta. Karena itu pasukan pertahanan Kerajaan Aqnetta yang baru terbentuk dilatih sangat keras untuk menjaga keutuhan kerajaan baru itu. Peristiwa itu menjadi pengalaman generasi-generasi selanjutnya. Kekuatan militer Kerajaan Aqnetta terus diperkuat sambil diperbaiki melalui pembaharuan. Pembaharuan demi pembaharuan yang terus dilakukan akhirnya berhasil menjadikan kekuatan mikiter Kerajaan Aqnetta menjadi kuat dan mampu menahan serangan dari manapun. Dengan kekuatan militer yang kuat, Kerajaan Aqnetta akhirnya menjadi suatu kerajaan yang harus dipikirkan masak-masak sebelum diserang. Adanya kelompok pemberontak ini memang bukan yang pertama. Tapi sejak awal abad 11 di mana Kerajaan Aqnetta sudah aman dari serangan siapapun, tidak ada lagi pemberontakan maupun kelompok-kelompok yang menghendaki pergantian kekuasaan di Kerajaan Aqnetta. Diketahuinya Kirshcaverish ini sangat mengejutkan. Tapi hanya di kalangan Istana Vezuza. Sejak awal mula keberadaan kelompok ini disembunyikan dari masyarakat guna mencegah timbulnya kekacauan akibat kekhawatiran. Hingga keberangkatan Jenderal Decker bersama pasukannya ke Naullie, tidak ada yang tidak percaya alasan yang mereka berikan. Hanya orang-orang tertentu yang tahu keberadaan pasukan itu di Naullie bukan untuk latihan perang tapi untuk menanti perang yang sesungguhnya. Dua bulan lebih telah berlalu sejak kepergian Jenderal Reyn bersama beberapa Jendeal lain dan sejumlah pasukan itu, tapi hingga kini tidak ada kabar apapun. Seluruh keluarga Quentynna khawatir karenanya. Kata-kata terakhir yang diucapkan Jenderal Reyn pada malam itu masih diingat keluarga Quentynna, tapi mereka tetap tidak dapat menghilangkan kekhawatiran mereka. “Aku tidak ingin meninggalkan kalian. Tapi keselamatan kerajaan ini lebih penting dari apapun,” kata Jenderal Reyn malam itu, “Aku mengkhawatirkan kalian.”

46

“Jangan khawatir, Papa,” sahut Kakyu yang sejak tadi berdiam diri. “Aku akan menjaga mereka.” Jenderal Reyn tersenyum. “Aku tahu engkau bisa, Kakyu. Tapi…,” Jenderal Reyn mulai sedih, “Tapi engkau…” “Jangan khawatir, Papa,” Kakyu cepat-cepat menyahut sebelum ayahnya mengucapkan kenyataan yang paling disesali ayahnya itu. “Aku pasti bisa menjaga mereka seperti aku menjaga keamanan Istana.” “Jangan mengkhawatirkan apapun, Papa,” kata Marie, “Kakyu benar. Ia cukup tangguh untuk menjaga keluarga ini. Tak seorangpun di kerajaan in yang meragukan ketangguhannya walau ia masih muda.” “Kalau tidak, tentu tidak banyak gadis yang mencintainya bahkan sampai tergila-gila,” tambah Lishie. Ketiga kakak perempuan Kakyu tertawa terbahak-bahak karenanya, kecuali Joannie yang sangat mengkhawatirkan ayahnya. “Baiklah,” Jenderal Reyn akhirnya menyerah, “Aku tidak akan mengkhawatirkan kalian lagi. Aku menyerahkan keluarga ini padamu, Kakyu. Jaga mereka baik-baik.” “Ayah sudah tidak perlu mengkhawatirkan kami,” Joannie meyakinkan ayahnya. “Ya,” Jenderal Reyn menyetujui, “Kalian juga tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku tidak pergi sendiri. Beberapa Jenderal termasuk Jenderal Decker sendiri juga pergi bersamaku besok.” Malam itu mereka telah saling berjanji untuk tidak khawatir, tapi keluarga Quentynna yang berada di Chiatchamo tetap khawatir apalagi tanpa kabar berita yang jelas seperti ini. Walaupun demikian, suasana di Quentynna House tetap tampak seperti biasanya. Gadis-gadis keluarga Quentynna tetap meramaikan suasana dengan canda tawa mereka. Kakyu pun tetap tenang. Semua itu mereka lakukan demi menghindari ibu mereka menjadi sedih. Dibandingkan siapapun, Kakyu tetap yang paling tahu keadaan kelompok Kirshcaverish itu. Kakyu yakin hingga kini ayahnya belum tahu letak Kirshcaverish secara tepat dan itu semakin membuatnya cemas. Ketidaktahuan itu menjadi kelemahan Jenderal Reyn dan pasukannya. Tapi bagi Kirshcaverish, hal itu adalah kekuatan mereka. Tak heran bila Kakyu menjadi sangat cemas ketika ia mendengar keadaan di Naullie dari prajurit yang hendak kembali ke Naullie setelah melapor pada Menteri Keamanan. Tanpa mempedulikan apa-apa lagi, Kakyu segera menuju tempat Raja biasa berada. Seperti biasa Raja duduk di belakang meja kerjanya – menghadapi 47

setumpuk tugas hariannya. “Ada apa?” tanya Raja Alfonso. “Saya sudah mengetahuinya,” kata Kakyu singkat. Raja Alfonso kebingungan. “Tahu apa?” “Keadaan di Naullie,” jawab Kakyu, “Saya tahu keadaan di sana akhirakhir ini semakin bahaya.” “Ya, engkau benar,” Raja Alfonso membenarkan, “Keadaan di sana semakin gawat. Hampir setiap hari terjadi perang kecil dan tiap kali kita yang kalah. Aku ingin mengirim bala bantuan dalam waktu dekat ini. Bagaimana menurutmu?” “Biar saya yang memimpinnya,” kata Kakyu tiba-tiba. “APA!?” Raja Alfonso berseru kaget. Kakyu diam – tidak mengulangi kalimatnya. Ia tahu Raja mendengar apa yang diucapkannya. “Tidak, Kakyu,” kata Raja setelah pulih dari kagetnya, “Aku tidak mengijinkanmu.” “Walaupun Anda tidak mengijinkan, Paduka,” kata Kakyu tenang, “Saya tetap akan pergi.” “Tidak, Kakyu, aku tidak mengijinkanmu,” kata Raja Alfonso mencegah. “Maafkan saya, Paduka,” Kakyu tetap tenang seolah tidak peduli akibat perbuatannya, “Keinginan saya telah bulat. Apapun yang terjadi saya tetap akan pergi.” “Sendirian?” Kakyu mengangguk. “Kalau perlu saat ini juga saya akan pergi ke Naullie.” Raja terkejut mendegar kata-kata itu. “Lalu apa yang akan kaulakukan dengan jabatanmu itu? Engkau tahu engkau tidak dapat melepas tugasmu begitu saja.” “Saya mengerti hal itu, Paduka.” “Baguslah,” kata Raja, “Engkau tahu engkau tidak dapat meninggalkan kewajibanmu melindungi penghuni Istana ini.” “Tapi saya juga mengerti saat ini ancaman terbesar dari keselamatan Anda bukan berasal dari dalam Istana ini sendiri,” kata Kakyu, “Ancaman itu datang dari Naullie.” “Mengapa engkau berkata seperti itu, Kakyu?” tanya Raja Alfonso tidak mengerti, “Bagaimana kalau mereka menyerbu Istana?” “Lalu apa gunanya Anda meletakkan sejumlah pasukan untuk berjagajaga di sekitar hutan itu?” Kakyu balas bertanya. Raja Alfonso menatap lekat-lekat wajah Kakyu. Ia melihat ketegangan dan keteguhan di wajah tenang itu. Wajah pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan kegalauan hatinya walau saat ini ia 48

memang sedang cemas. Raja Alfonso kagum melihatnya tapi ia tidak mengatakannya. “Tampaknya engkau memang bersikeras pergi ke Naullie,” kata Raja Alfonso, “Walaupun aku menyuruh sejumlah pasukan mencegatmu, aku yakin engkau tetap akan pergi.” “Niat saya telah bulat, Paduka,” Kakyu meyakinkan Raja. “Tapi aku tetap tidak dapat mengijinkanmu, Kakyu,” kata Raja Alfonso, “Aku tahu engkau benar. Tapi siapa yang akan memimpin pasukan pengawal Istana di sini bila engkau pergi? Bagaimana dengan jabatanmu itu? Apakah engkau tidak takut dipecat gara-gara keinginanmu yang gara-gara kecemasanmu pada ayahmu ini?” “Saya tidak hanya mencemaskan ayah saya, Paduka,” kata Kakyu, “Saat ini bukan hanya mereka yang berada di sekitar Naullie yang berada dalam bahaya tapi seluruh kerajaan. Dan saya mencemaskan itu.” “Saya tidak mengarang apapun, Paduka. Saya tahu kelemahan posisi kita yang justru menjadi kekuatan Kirshcaverish. Lagipula ayah saya tidak akan senang bila tahu saya menyusulnya ke sana hanya karena saya mencemaskannya.” “Saya tahu apa yang saya lakukan ini. Dan bila Anda bersikeras tidak mengijinkan saya apapun alasan Anda, maka saat ini juga saya memilih meletakkan jabatan saya itu dan pergi ke Naullie.” “Engkau tidak takut pada masa depanmu setelah meletakkan jabatanmu itu?” selidik Raja Alfonso, “Engkau tahu engkau terkenal karena jabatanmu itu, bukan?” “Sejujurnya, Paduka, Anda tahu saya menerima jabatan ini bukan karena keinginan saya sendiri. Saya menerimanya sebagai tugas bukan sebagai suatu keharusan. Akibat dari melepaskan jabatan saya ini, tidak akan mempengaruhi saya.” “Walaupun Anda akan marah karena hal ini, saya tidak akan mundur. Saya tahu saya sendirilah yang harus ke sana untuk membantu para Jenderal yang telah berangkat ke sana terlebih dulu.” Raja Alfonso tersenyum. “Akhirnya engkau dapat berbicara panjang lebar,” katanya, “Tapi sayang sekali, Kakyu, aku tetap tidak memberimu ijin.” “Saya tahu Anda tidak akan melakukannya, Paduka,” Kakyu tetap tenang walaupun tidak diijinkan, “Saat ini juga di hadapan Anda, saya meletakkan pedang tanda jabatan Kepala Keamanan Istana ini.” Kakyu meletakkan pedang yang diterimanya dari Jenderal Erin di meja depan Raja Alfonso. “Maafkan saya, Paduka,” kata Kakyu, “Anda tidak perlu khawatir, saya telah mengatur semuanya. Anda tetap akan aman walau saya tidak ada di sini.” 49

Raja Alfonso yang selalu tenang menghadapi Kakyu, menjadi murka karenanya. “Engkau tidak boleh melakukannya, Kakyu!” “Maafkan saya, Paduka,” kata Kakyu tetap tenang. Kakyu mulai mundur ke pintu. Tatapan matanya terus berada di wajah Raja Alfonso yang untuk pertama kalinya benar-benar jengkel karena perbuatannya. “Kau tahu apa yang kaulakukan!?” Kakyu mengangguk tenang. “Saya memilih meletakkan jabatan saya demi mengejar Kirshcaverish sendiri di Hutan Naullie.” “Di sana sudah ada Jenderal Erin, Jenderal Decker, ayahmu dan banyak Jenderal lainnya yang juga tangguh dan berpengalaman,” kata Raja Alfonso, “Untuk apa engkau ke sana?” “Mereka semua tidak akan pernah dapat menghadapi pemberontak itu. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi di hutan itu. Pasukan yang bersama mereka pun tidak akan dapat melawan Kirshcaverish. Berapa pun pasukan yang Anda kirim, Anda tidak akan dapat memenangkan perang ini. Kirshcaverish lebih mengetahui medan peperangan daripada kita.” “Engkau berkata seakan-akan engkau lebih tahu dari siapa pun,” pancing Raja. “Anda benar, Paduka,” Kakyu mengakui, “Sebelum saya memasuki Istana ini, saya sering berada di Hutan Naullie. Hampir tiap minggu saya ke sana dan saya telah memasuki hutan itu hingga batas kerajaan ini.” Raja tertegun. “Percuma saja, Kakyu,” kata Raja Alfonso setelah terdiam beberapa saat, “Aku tetap tidak mengijinkanmu. Engkau tetap harus memegang jabatanmu itu. Engkau tahu tidak mudah memilih penggantimu yang sebaik dirimu.” “Maafkan saya, Paduka.” “KAKYU!” seru Raja Alfonso kepada Kakyu yang berjalan ke pintu dengan tenangnya, “Aku tidak mengijinkanmu meninggalkan Istana!” Kakyu membalikkan badannya dan tersenyum. “Saya tahu Anda akan.” Raja Alfonso menatap lekat-lekat wajah Kakyu. Ia ingin mencari kelemahan pemuda itu di wajahnya tapi wajahnya tetap tampak tenang. Mata hijau pemuda itu balas menatap tenang wajah Raja Alfonso. Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang pria muncul. “Apa yang terjadi?” Kakyu membalikkan badannya kepada pemuda itu. Dengan tenang, ia menatap pemuda itu. Kakyu belum pernah melihat pemuda itu sebelumnya dan ia tidak tertarik untuk tahu siapa pemuda itu. Tapi ia bisa menduga pemudfa itulah yang dilaporkan prajurit jaga kepadanya. 50

Prajurit penjaga gerbang pagi tadi melaporkan kedatangan seorang pemuda yang mencurigakan di tengah malam buta. Pemuda itu memaksa masuk hingga terjadi keributan di pintu gerbang yang akhirnya memancing perhatian Raja. Baru ketika Raja Alfonso keluar, pemuda itu dapat memasuki Istana. Kakyu kembali berjalan ke pintu dengan tenang. “Hentikan dia!” seru Raja. Pemuda yang masih berdiri di dekat pintu itu segera menarik tangan Kakyu dan menggenggamnya erat-erat. Sikapnya yang tiba-tiba itu membuat Kakyu terkejut. Kakyu tidak mengira pemuda itu sesigap itu. Kakyu memandang wajah pemuda itu. Pemuda itu membalas pandangan tajam yang dingin itu dengan pandangan curiga. Dengan sekuat tenaganya, Kakyu menyentakkan tangannya. Ia berhasil tapi sebagai akibatnya, topi yang selama ini menutupi rambut merahnya yang panjang, jatuh. Secepat kilat, Kakyu menyambut jatuhnya topinya dengan kakinya. Kakyu tidak ingin topinya terlanjur jatuh ke lantai yang nantinya akan memperlambat kepergiannya dari Ruang Baca itu. Kekuatan kaki Kakyu melemparkan topi itu ke udara dan tangannya yang gesit menangkapnya. Kakyu telah mengenakan kembali topinya sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi. “Maafkan saya,” kata Kakyu singkat dan secepat mungkin menuju pintu. “Kakyu, tunggu!” Raja tiba-tiba berseru dengan nada yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Kakyu kembali berhenti dan membalikkan badannya. Keteguhan hati yang tetap terukir di wajah tenangnya, membuat Raja Alfonso tersenyum mengalah, “Aku menyerah, Kakyu.” Seperti biasa, Kakyu tetap tenang. “Aku tahu percuma menahanmu. Walaupun aku mengurungmu, aku yakin engkau dapat meloloskan diri.” Kata Raja Alfonso, “Aku mengijinkanmu pergi.” Kakyu curiga mendengar nada bicara Raja Alfonso. “Syaratnya?” “Syarat?” tanya Raja kebingungan. “Anda jangan membohongi saya, Paduka,” kata Kakyu tenang, “Setiap kali Anda memberi tugas maupun ijin kepada saya, selalu ada syaratnya.” Raja Alfonso tersenyum. “Engkau benar, Kakyu. Aku memang mempunyai syaratnya. Tapi aku masih khawatir.” “Jangan khawatir, Paduka. Keamanan Istana telah saya serahkan pada Phil selama saya pergi. Saya telah mengurusnya sebelum saya ke sini.” “Tampaknya engkau sangat yakin engkau akan pergi ke Naullie.”

51

“Saya telah mengatakannya kepada Anda, Paduka,” kata Kakyu mengingatkan, “Apapun yang terjadi, saya harus pergi ke Naullie secepat mungkin. Paling lambat esok pagi.” “APA!?” seru Raja Alfonso kaget, “Apa yang kaupikirkan, Kakyu? Itu terlalu cepat. Aku belum merundingkan berapa pasukan yang akan kukirimkan. Aku juga belum menyiapkan perundingan itu.” “Saya telah memikirkannya juga, Paduka,” kata Kakyu, “Anda tidak perlu mengadakan perundingan hanya untuk menentukan pasukan yang akan dikirim, saya telah menghitungnya.” “Kapan engkau mengetahui berita ini?” tanya Raja Alfonso curiga. “Pagi ini,” jawab Kakyu singkat. Raja Alfonso curiga. “Benarkah itu? Kata-katamu itu seperti menunjukkan engkau mengetahui segalanya tentang Kirshcaverish.” “Segalanya tidak, Paduka. Saya telah mengatakan kepada Anda, saya sering ke Hutan Naullie sebelum ini dan saya tahu apa yang harus dilakukan dalam menghadapi perang yang akan terjadi dalam waktu dekat ini.” “Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi, Kakyu,” kata Raja Alfonso, “Engkau membuatku tidak dapat berhenti mengagumimu. Dalam waktu singkat engkau telah menyelesaikan masalah yang takkan dapat kuselesaikan dalam sehari. Aku rasa tidak ada salahnya aku menghadiahkan ijin ini atas kata-katamu panjangmu yang untuk pertama kalinya.” “Terima kasih, Paduka,” kata Kakyu sambil tersenyum, “Saya akan menemui Menteri Keamanan untuk mengurus pasukan ini.” Raja Alfonso menatap Kakyu. “Mengapa engkau tetap bisa setenang ini, Kakyu? Kalau aku adalah engkau pasti sudah sejak tadi aku larut dalam kemarahan.” Kakyu hanya mengangkat bahunya sebagai jawabannya. “Sebelum aku lupa, Kakyu, aku akan memberitahumu syaratku,” kata Raja Alfonso, “Syaratnya adalah engkau harus membawa serta pemuda ini besok pagi.” “APA!?” seru pemuda itu kaget. Pemuda itu menatap wajah Kakyu. Seperti Kakyu yang tidak mengenal pemuda itu, ia juga tidak mengenali Kakyu. Kakyu tidak terpengaruh suasana di Ruang Baca yang telah berubah itu. “Baik, Paduka.” “Jangan lupa membawanya, Kakyu.” Kakyu mengangguk. “Kakyu!” panggil Raja Alfonso pada Kakyu yang telah membuka pintu. Kakyu memandang Raja Alfonso. “Apa rencanamu?” “Entahlah.” 52

“Lalu apa yang akan kaulakukan setibanya engkau di sana?” tanya Raja Alfonso pula. Kakyu hanya tersenyum misterius sebagai jawabannya. “Engkau kembali lagi,” keluh Raja Alfonso, “Kurasa engkau memang tidak akan pernah dapat berbicara panjang lebar. Kalaupun dapat, engkau tidak akan mau lama-lama berbicara banyak.” “Permisi, Paduka.” “Kakyu!” panggil Raja lagi, “Engkau melupakan pedang tanda jabatanmu.” Kakyu hanya melihat pedang yang masih tergeletak di atas meja itu. Raja Alfonso meraih pedang di hadapannya itu dan membawanya kepada Kakyu. “Sampai kapanpun, aku tidak akan sanggup menemukan Perwira Tinggi yang setangguh engkau untuk menjadi Kepala Keamanan Istana. Walaupun engkau berada di Naullie, engkau tetap Kepala Keamanan Istana ini.” Raja Alfonso menyerahkan pedang itu kepada Kakyu. “Saya tidak dapat membawanya, Paduka,” kata Kakyu, “Biarlah pedang ini tetap di sini sebagai lambang di Istana ini tetap ada pasukan pengawalnya.” “Pasukan pengawal memang selalu ada di sini tapi Kepala Keamanan Istananya akan pergi dan pedang sebagai lambang jabatanmu ini harus kaubawa kemanapun engkau pergi.” Akhirnya Kakyu menerimanya walau dengan ragu-ragu. Raja Alfonso tersenyum. “Sampai kapanpun, engkau tetap Perwira terbaikku.” “Terima kasih, Paduka.” Kakyu mengundurkan diri dari Ruang Baca yang menjadi tempat kerja Raja Alfonso selain Ruang Kerja. “Ini gila!” seru pemuda itu, “Bagaimana mungkin aku pergi dengan pemuda itu? Bagaimana mungkin pemuda semuda itu menjabat sebagai Kepala Keamanan Istana?” “Engkau tidak perlu heran. Ia memang tangguh dan aku tidak meragukannya lagi. Engkau belum tahu apapun tentangnya.” “Tapi bagaimana mungkin aku pergi dengannya? Bagaimana mungkin pemuda itu akan memimpin pasukan ke Naullie?” “Ia pasti bisa melakukannya,” kata Raja Alfonso, “Kalau tidak, tidak mungkin semua Jenderal langsung setuju ketika aku menyarankan ia menggantikan Jenderal Erin yang bertugas di Naullie.” “Kakyu…” gumam pemuda itu, “Nama yang aneh seperti orangnya.” “Aneh?” tanya Raja keheranan, “Apa yang aneh pada dirinya?” “Entahlah, tapi rasanya ia tidak cocok menjadi Kepala Keamanan Istana.” “Jangan hanya melihat dari luarnya saja,” Raja Alfonso memperingati, 53

“Engkau telah merasakan kekuatannya tadi.” Pemuda itu memandang tangan kirinya yang tadi digunakannya untuk memegang Kakyu. “Ya, tidak kuduga ia sekuat itu,” kata pemuda itu, “Tak kuduga ia akan menyentakkan tanganku. Gara-gara dia aku hampir saja jatuh.” “Engkau telah melihatnya, bukan?” “Tapi tetap saja ini ide gila. Aku tidak mungkin pergi dengannya. Apalagi akulah yang akan dilindungi dia. Dia yang seperti adikku itu tidak mungkin melindungiku. Justru akulah yang seharusnya melindunginya.” “Kalau begitu lindungi saja dia,” kata Raja Alfonso santai. “APA!?” seru pemuda itu kaget. “Sudahlah, jangan terus menganggap ini ide gila,” kata Raja Alfonso, “Kalau kau tidak percaya, temuilah Eleanor atau gadis manapun di Istana ini. Aku yakin mereka akan dengan senang hati menceritakan pemuda pujaan mereka.” “Itu lebih gila lagi,” katanya, “Kesannya seperti aku cemburu padanya.” “Kalau begitu temui saja ibumu.” “Tapi…” “Sebaiknya engkau menirunya. Ia dengan cepat mengerti apa yang harus dilakukannya,” kata Raja Alfonso, “Engkau sebaiknya cepat menyadari saat ini engkau harus mempersiapkan keberangkatanmu ke Naullie.”

54

5

“Engkau gila, Kakyu!” kata Lishie sambil menahan suaranya tetap kecil. “Engkau jadi pergi pagi ini?” tanya Vonnie. Kakyu yang mengendap-endap menuju pintu, berhenti karenanya. “Mengapa kalian semua bangun sepagi ini?” Kakyu balas bertanya. “Bagaimana mungkin kami bisa tidur tenang setelah engkau mengatakan engkau akan pergi ke Naullie juga?” kata Marie. “Setelah Papa dan Joannie pergi, engkau juga akan pergi,” kata Lishie, “Mama pasti akan semakin kesepian. Mama pasti akan mencarimu dan ia pasti akan semakin cemas setelah mengetahui kepergianmu ini.” “Aku tahu,” kata Kakyu. “Tapi itu berbahaya, Kakyu. Bagaimana kalau terjadi sesuatu padamu?” “Itu adalah resikonya,” jawab Kakyu tenang. “Jangan tenang seperti itu, Kakyu!” seru Lishie. “Jangan berisik!” sahut Marie, “Nanti Mama terbangun.” “Maaf,” kata Lishie, “Apa engkau sudah gila, Kakyu? Engkau tahu bahayanya tapi tetap pergi juga.” “Aku tahu apa yang kulakukan ini.” “Ya, engkau selalu tahu,” kata Vonnie kesal, “Lalu apa yang harus kita lakukan kalau Mama bertanya tentangmu?” “Katakan saja semuanya,” jawab Kakyu tenang. “Engkau ingin membuat Mama sedih?” tanya Lishie marah. “Mama akan lebih sedih kalau tahu setelah terjadi sesuatu padaku,” kata Kakyu. “Kalau akan begini jadinya, seharusnya engkau juga memberitahu Mama juga tadi malam.” “Aku tidak ingin Mama mencegahku.” “Ya, engkau benar,” kata Marie, “Mama pasti akan dapat mencegahmu sedangkan kami tidak.” “Percuma saja engkau membangunkan Mama sekarang, Marie,” kata Kakyu, “Aku hanya tinggal membuka pintu ini dan melarikan kudaku, maka aku akan tiba di Naullie dalam waktu singkat.” “Engkau benar-benar gila, Kakyu,” kata Lishie. “Rumah ini akan semakin sepi setelah kepergianmu,” kata Marie. “Dengan diapun, rumah ini tetap sepi,” sahut Vonnie. “Panggil saja Joannie,” usul Kakyu, “Dia sekarang ada di rumah Bibi Mandy, bukan? Aku yakin ia mau kembali setelah sekian lama.” 55

“Ya, kita panggil saja Joannie,” kata Marie setuju, “Dulu dia pergi ke rumah Bibi Mandy karena tidak ingin melihat Papa pergi. Sekarang Papa telah berada di sana, ia pasti mau kembali.” Kakyu merasa urusan ini telah selesai. “Aku pergi,” katanya. “Kakyu!” Lishie menarik tangan adiknya. “Aku harus buru-buru, Lishie.” “Aku tahu,” kata Lishie, “Tapi sebelum aku pergi, aku ingin memelukmu.” Kakyu belum sempat berkata apa-apa, Lishie sudah menarik tubuhnya. “Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana,” bisiknya. “Engkau gila, Lishie,” kata Kakyu. Lishie hanya tersenyum nakal sebagai balasannya. “Apa yang kaubisikkan padanya, Lishie?” tanya Vonnie ingin tahu. “Kukatakan ‘Carilah suami yang hebat di medan pertempuran sana’,” jawab Lishie. Ketiga gadis itu tertawa terpingkal-pingkal. “Kalian semua gila,” kata Kakyu, “Akan kucarikan suami untuk kalian semua biar kalian puas. Dan untuk Joannie akan kucarikan yang seperti Papa.” “Untukku yang kuat juga, Kakyu,” pesan Marie, “Dan tampan.” “Ya, akan kucarikan,” janji Kakyu, “Asal tidak ada yang mati.” Ketiga gadis itu kembali terdiam. “Hati-hatilah, Kakyu,” kata mereka sedih. Kakyu diam saja melihat air mata ketiga kakaknya. “Aku pergi.” “Untuk dirimu sendiri, cari istri yang cantik,” kata Lishie pada Kakyu yang menghilang di balik pintu. Kakyu tersenyum pada kakak-kakaknya sebelum ia menutup kembali pintu itu. “Kakyu!” panggil mereka. Kakyu yang memegang tali kendali kudanya membalikkan badannya pada kakak-kakaknya. “Aku harus pergi sekarang juga.” “Hati-hati, Kakyu,” pesan mereka. “Tentu,” kata Kakyu. “Jangan lupa pesan kami,” Lishie mengingatkan. “Aku bisa-bisa terlambat gara-gara kalian,” keluh Kakyu. Kakyu meletakkan tas bawaannya ke kudanya kemudian ia melompat ke atas kudanya. “Selamat tinggal,” kata Kakyu sambil melarikan kudanya. “Katakan pada Papa, kami mencemaskannya.” Kakyu terlalu jauh untuk mendengar seruan itu. Hawa pagi yang dingin menelan seruan mereka. Tapi tak sampai menelan

56

semangat Kakyu. Walau tahu waktu keberangkatannya ini lebih pagi satu jam lebih daripada ayahnya, Kakyu tetap tidak mau mengulur waktu. Ia yakin sejak tadi malam, pasukan yang dimintanya telah disiapkan di halaman Istana dan tinggal menanti perintahnya. Teringat keadaan di Naullie yang semakin bahaya setiap menitnya, Kakyu semakin mempercepat laju kudanya. Ia tidak ingin membuang waktu terlalu lama. Dalam waktu lebih singkat dari biasanya, Kakyu telah tiba di Istana Vezuza. Penjaga gerbang segera membuka gerbang begitu melihatnya datang dengan kudanya. “Selamat pagi, Perwira,” sapa mereka. “Selamat pagi,” balas Kakyu, “Semua sudah siap?” “Ya, mereka tinggal menanti perintah Anda.” “Bagaimana dengan pemuda yang kemarin bertengkar dengan kalian?” tanya Kakyu lagi. “Ia belum muncul ketika kami memeriksa pasukan itu seperti permintaan Anda. Kami rasa tak lama lagi ia akan muncul.” Kakyu mengangguk. “Buka pintu gerbang. Aku akan segera berangkat.” Keduanya segera melaksanakan perintah itu. Kakyu turun dari kudanya dan menggiringnya ke halaman tempat para prajurit menantinya. Pasukan itu masih berbaris rapi walau beberapa di antara mereka sudah mengantuk. Masing-masing dari mereka telah memanggul tas ransel mereka tetapi ada juga yang meletakkannya di dekat kakinya. Mereka semua siap berangkat dengan senapan panjang di tangan mereka dan pakaian seragam mereka yang hijau kebiru-biruan, bukan putih kebiru-biruan seperti seragam pasukan Pengawal Istana Kakyu. Semua pasukan itu didatangkan dari Angkatan Darat. Seorang di antara mereka mendekat. “Pasukan telah siap, Perwira. Semua seperti permintaan Anda. 500 pasukan kavaleri dan 1500 pasukan infanteri.” Kakyu mengangguk. “Menteri Keamanan menyuruh saya membantu Anda, Perwira,” kata prajurit itu. “Terima kasih,” kata Kakyu, “Sekarang tolong kaupanggilkan pemimpin pasukan pejalan kaki.” “Baik, Perwira.” Tak lama kemudian prajurit yang berpangkat Kolonel itu datang dengan tiga Kapten lainnya. 57

“Kami siap membantu Anda, Perwira,” kata mereka. “Kalian masing-masing bawahi 500 pasukan pejalan kaki dan bawa mereka meninggalkan Istana terlebih dulu. Nanti kami akan menyusul kalian.” “Baik, Perwira,” sahut mereka serempak. Ketiga Kapten itu pergi melaksanakan tugas yang diberikan Kakyu. “Sekarang apa yang harus kita lakukan, Perwira?” tanya Kolonel. “Menunggu seseorang,” jawab Kakyu singkat. Kolonel itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan Kakyu, tapi ia tidak mencoba menanyakannya. Ia tahu percuma bertanya banyak pada Kakyu. Perwira Muda itu hanya akan menjawab singkat segala pertanyaannya. Kolonel Abel mengawasi ketiga Kapten yang mengatur pasukan pejalan kaki meninggalkan halaman Istana. Sementara itu selain sibuk mengawasi pasukan yang meninggalkan Istana, Kakyu sibuk dengan jalur yang akan dilaluinya sepanjang perjalanan nanti. Kakyu tidak ingin membuang waktu terlalu lama di tempat ini tapi ia harus menaati perintah Raja Alfonso untuk membawa serta pemuda yang kemarin. “Kapan kita berangkat, Perwira?” “Tunggu sebentar,” kata Kakyu. “Bagaimana kalau orang itu lupa?” Kolonel mulai khawatir. “Tidak akan,” kata Kakyu yakin. Waktu saat ini memang belum menunjukkan pukul setengah empat pagi, waktu yang dikatakan Kakyu pada pemuda itu. Karena pasukan pejalan kaki lebih lambat daripada pasukan berkuda, Kakyu sengaja melakukan ini semua. Dengan berangkat setengah jam lebih dulu, pasukan pejalan kaki tidak akan ketinggalan terlalu jauh dari pasukan berkuda yang akan menyusulnya. Belum lama waktu berselang, Kolonel sudah semakin khawatir, “Perwira, mengapa lama sekali?” “Sabar,” kata Kakyu singkat, “Tunggu sampai pukul setengah empat.” “Setengah empat?” ulang Kolonel. “Kita harus memberi kesempatan pada pasukan pejalan kaki untuk mencapai jarak sejauh mungkin sehingga kita tidak perlu berjalan lambat untuk menyamai langkah mereka,” Kakyu memberi penjelasan. “Saya mengerti,” kata Kolonel setelah merenungkan kata-kata Kakyu. Kakyu mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya dan ia mengamati kertas itu. Setelah mempelajari peta itu sekali lagi, Kakyu memanggil Kolonel Abel. “Ada apa, Perwira?” tanyanya kebingungan bercampur harapan. Dari nada suaranya, Kakyu tahu pria itu berharap akan disuruh 58

memanggil pemuda lainnya yang hingga kini masih belum muncul juga. Tapi bukan karena itu Kakyu memanggilnya. “Aku harus menjelaskan rencana perjalanan ini kepadamu,” kata Kakyu singkat. Kakyu memperlihatkan peta yang telah berisi coretan-coretannya. “Garis ini merupakan jalan yang akan kita lewati. Hingga di perbatasan Chiatchamo, kita masih melewati jalur biasa, tetapi tidak setelah itu. Kita akan memutar sedikit.” “Bukankah itu akan memperlambat kedatangan kita, Perwira?” Kakyu hanya tersenyum. “Karena itu aku memerintahkan pasukan pejalan kaki berjalan terlebih dahulu,” katanya. “Anda tadi hanya memerintahkan kepada mereka untuk menanti di perbatasan Chiatchamo. Bagaimana mereka dapat berjalan dahulu? Mereka bahkan tidak tahu rute yang akan kita ambil.” Sekali lagi Kakyu hanya tersenyum simpul – hampir tak kentara mendengar kebingungan Kolonel Abel. “Untuk itulah aku memanggilmu.” Kolonel Abel semakin dibuat bingung karenanya. “Maksud Anda, Perwira?” “Daripada engkau cemas di sini, lebih baik engkau menyusul pasukan infanteri dan memimpin mereka melalui jalur dalam peta ini.” Kolonel Abel memperlajari peta itu sebelum pada akhirnya ia berkata, “Baik, Perwira.” Entah apa yang membuat Kolonel itu begitu bersemangat, Kakyu tidak tahu. Ia hanya dapat menduga, Kolonel itu ingin mengikuti pertempuran yang sebenarnya. Atau mungkin juga ia ingin bertemu saudaranya yang telah dikirim ke sana duluan. Kakyu tidak mau memikirkannya dan ia tidak tertarik untuk melakukannya. Saat ini yang menjadi pusat pikiran Kakyu hanya bagaimana mencapai Pegunungan Alpina Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish. Serta bagaimana menghadapi ketimpangan situasi ini tanpa membuat seorangpun tahu rahasia yang disimpannya sejak pertama kali ia mengetahui perkemahan mereka. Tak lama setelah menerima peta itu, Kolonel Abel segera melesat dengan kudanya. Setelah kepergian Kolonel, Kakyu mempersiapkan pasukan kavaleri yang masih berada di halaman Istana. Ketika pada akhirnya dari dalam Istana muncul orang yang dinantinantikan Kakyu, seluruh pasukan kavaleri telah siap berangkat. “Ke mana pasukan lainnya, Kakyu?” 59

Kakyu yang tidak menduga Raja Alfonso akan mengantar kepergian pemuda itu, dengan cepat menjawab, “Mereka telah berangkat, Paduka.” “Sepertinya aku sebaiknya tidak menahanmu lebih lama lagi di sini,” kata Raja Alfonso sambil mengawasi pasukan kavaleri yang sudah siap di punggung kuda masing-masing. “Kalian telah siap berangkat,” kata Raja Alfonso memberi pendapat. Kemudian pada pemuda di sampingnya ia berkata, “Dan engkau juga harus segera bersiap-siap.” “Aku sudah siap,” protes pemuda itu, “Aku hanya perlu menanti kudaku siap.” “Kuda Anda telah siap dari tadi,” Kakyu memberitahu. Dengan pandangan matanya, ia menunjukkan kuda coklat yang sejak tadi memang telah menanti pemuda itu. “Terima kasih,” pemuda itu berkata sambil lalu. “Kuserahkan keselamatannya padamu, Kakyu,” kata Raja Alfonso. “Saya mengerti, Paduka.” Seperti pemuda itu, Kakyu segera duduk di punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa, ia berangkat diiringi pemuda itu serta pasukan yang telah mendapat petunjuk darinya. Mulanya kedua orang itu tidak berkata apa-apa. Kakyu tidak terganggu oleh situasi itu. Sebaliknya ia merasa tenang dalam pikirannya yang kacau balau. Lain lagi halnya dengan pemuda yang berkuda di samping Kakyu. Ia merasa sangat tidak nyaman didiamkan seperti ini hingga ingin rasanya ia segera melihat pasukan lainnya dan berkumpul dengan para Perwira lainnya. Tetapi anehnya mereka seperti tidak segera menyusul pasukan yang telah berangkat walau mereka berjalan cukup cepat. Pikiran itu membuatnya tidak tahan lagi untuk bertanya, “Mengapa kita tidak melihat pasukan lainnya?” “Mereka telah jauh.” Jawaban singkat itu tidak memuaskan pemuda itu. “Apakah benar pasukan yang pergi bersama kita bukan hanya ini saja?” Kakyu mengangguk. Pemuda itu diam lagi. Ia tidak tahu bagaimana membuat suatu percakapan yang tidak hanya menghasilkan jawaban singkat, pendek dan tenang lagi. “Apakah engkau tidak tertarik untuk mengetahui siapa diriku?” pancingnya. Sekali lagi Kakyu hanya menggerakkan kepalanya sebagai jawabannya. “Tidak?” pemuda itu keheranan. “Mengapa harus?” Kakyu balas bertanya. 60

“Karena kita akan bekerjasama sepanjang perjalanan menuju Hutan Naullie ini, Kakyu,” kata pemuda itu, “Benarkah itu namamu?” Seperti telah mengetahui jawabannya, pemuda itu tidak menanti jawaban Kakyu. Ia berkata, “Engkau dapat memanggilku Adna.” Kakyu tetap diam. Adna mulai jengkel. “Apakah engkau tidak dapat berbicara?” Kakyu bukannya menjawab malah mengeluarkan secarik kertas dari sakunya dan mempelajarinya. Adna masih belum mengenal Kakyu yang memang sukar diganggu ketenangannya terutama bila ia sedang memikirkan suatu masalah dengan serius. Merasa diacuhkan, Adna berdiam diri juga. Tapi hal itu tidak bertahan lama. Ketika mereka akhirnya mencapai perbatasan Chiatchamo, Kakyu mengambil jalan menuju Parcelytye. Prajurit lainnya yang telah mengetahui rencana Kakyu, tetap mengikuti pemuda itu. Tapi tidak dengan Adna yang tidak tahu apa-apa. “Engkau salah jalan,” katanya memberitahu. “Tidak,” jawab Kakyu, “Jalan kita sudah benar.” “Benar apanya?” Adna menampakkan kejengkelan yang selama ini dipendamnya. “Sudah jelas jalan yang kita lalui ini menuju ke Parcelytye bukan ke Pegunungan Alpina Dinaria, tetapi engkau masih tenang-tenang saja. Sekarang saatnya engkau menjelaskan semua ini padaku.” Perintah tegas itu tidak membuat ketenangan Kakyu buyar. “Ikuti saja,” katanya tenang. Mata Adna menyipit. Ia mencari-cari sesuatu di wajah tenang Kakyu. “Percuma memang berbantah denganmu,” keluhnya, “Mereka semua benar. Engkau sangat misterius.” Kakyu tidak menanggapi apa-apa. Ia tetap diam ketika mereka akhirnya melihat pasukan infanteri di depan kejauhan. Entah siapa yang mendahului, Kakyu tidak tahu dan ia tidak mau tahu. Tetapi yang jelas, tiba-tiba saja pasukan infanteri yang mendengar derap kaki kuda dalam jumlah banyak, berhenti. Sementara itu pasukan kavaleri mempercepat lajunya. Kakyu tidak berkata apa-apa. Ia membiarkan kelima ratus pasukan yang dibawahinya melaju mendahuluinya hanya untuk menyusul kawan mereka. Adnapun tidak mau ketinggalan. Ia tidak mau terlalu lama berada di dekat Kakyu yang hanya dapat membuatnya merasa tidak enak. Adna ingin mencari Perwira lain yang diyakininya tidak sedingin Kakyu. Niat pertama Adna memang itu tetapi ketika melihat Kakyu tetap

61

berjalan santai walau telah ditinggal pasukannya, ia memilih menemani pemuda itu. Ia merasa kasihan melihat pemuda yang dirasanya tak jauh lebih tua dari adiknya itu sendirian. “Engkau tidak merasa kesepian ditinggalkan pasukanmu?” tanya Adna – kembali berusaha membuka percakapan. Tetapi jawaban yang didapatnya tidak memuaskannya. Kakyu hanya berkata singkat, padat, jelas dan yang pasti tetap dengan ketenangannya. “Tidak,” katanya. “Tidak dapatkah engkau berbicara lebih banyak?” tanya Adna kesal. “Tergantung.” “Tergantung bagaimana?” Adna tidak mengerti, “Sudah jelas dalam perjalanan apalagi di Hutan Naullie nanti engkau tidak dapat bertenang-tenang seperti ini. Tergatung apanya yang kaumaksudkan? Kalau tergantung keadaan seharusnya engkau mengerti saat ini engkau harus berbicara panjang lebar. Entah menjelaskan rencanamu yang aneh itu maupun dalam mengatur pasukan.” Dasar pemuda yang pendiam dan selalu tenang dalam dunianya sendiri, Kakyu diam saja mendengar ceramah panjang lebar itu. Keinginan Adna untuk menemani pemuda itu pun hilang karena sikap pemuda itu yang tetap memilih berdiam diri daripada menjelaskan apapun. Adna mendahului pemuda yang tetap berkuda santai. Kakyu memang tidak peduli apakah saat ini ia sendirian atau tidak. Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat ini. Bagaimana mencapai Pegunungan Alpina Dinaria tanpa diketahui Kirshcaverish? Kakyu sangat yakin setelah peperangan kecil yang sering terjadi di dalam Hutan Naullie, Kirshcaverish akan mengirimkan sejumlah pasukannya untuk menghadang bala bantuan yang akan dikirim dari pusat Kerajaan Aqnetta, Chiatchamo. Lebih baik memutar jalan yang jelas akan menghabiskan waktu lebih lama dari yang seharusnya daripada mengurangi jumlah pasukan yang ada. Jumlah anggota Kirshcaverish dibandingkan pasukan Kerajaan Aqnetta yang telah ada di Hutan Naullie maupun yang sedang dalam perjalanan ini, memang tidak ada apa-apanya. Tetapi dengan jumlah Kirshcaverish yang lebih kecil daripada pasukan Kerajaan Aqnetta, bukan berarti pasukan Kerajaan Aqnetta akan memenangkan pertempuran ini. Bila Kirshcaverish memanfaatkan posisi mereka yang sangat menguntungkan, yaitu di tengah Hutan Naullie yang sangat lebat, maka itu menjadi kelemahan terbesar bagi pasukan Kerajaan Aqnetta. Pasukan Kerajaan Aqnetta memang kuat tetapi tidak cukup kemampuan untuk menghadapi Kirshcaverish. Mereka belum pernah berlatih di dalam 62

hutan. Dan kini tiba-tiba mereka harus menghadapi pertempuran yang sangat jelas medannya tidak dikenal dan sangat rawan. Kirshcaverish pasti mengetahui kelemahan ini dan memanfaatkannya untuk menghancurkan pasukan Kerajaan Aqnetta. Kakyu yakin akan itu. Tapi Kakyu tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Seperti pasukan Kerajaan Aqnetta yang tidak mengetahui letak markas mereka, Kirshcaverishpun tidak tahu markas mereka telah diketahui keberadaannya oleh Kakyu. Kakyu tidak yakin apakah kelompok itu tetap di tempat yang sama atau pindah. Tapi Kakyu yakin mereka tidak akan pindah jauh. Kalaupun mereka pindah, mereka pasti tetap mendirikan perkemahan di tepi sungai yang sama. Bayangan peperangan yang semakin dekat tidak membuat Kakyu gentar. Bila Kakyu tidak gentar harus memimpin sejumlah besar pasukan dalam usianya yang masih muda ini, ia juga tidak akan gentar bila harus menghadapi peperangan itu. Sejak dulu Kakyu tahu peperangan ini akan terjadi dan tidak akan ada yang dapat menghentikannya. Peperangan ini harus terjadi untuk mempertahankan keutuhan dan keamanan Kerajaan Aqnetta yang selama ini ada. Tidak seperti pasukan lainnya, Kakyu telah mengetahui medan pertempuran yang akan menjadi tempat pertempuran mereka bahkan mungkin menjadi tempat kematian mereka. Bayangan kematian pun tidak membuat Kakyu takut. Kakyu memilih maju ke garis depan daripada menjadi Kepala Keamanan Istana bukan tanpa perhitungan. “Perwira!” Panggilan itu menghentikan pikiran Kakyu yang melayang-layang tanpa tujuan pasti. Kolonel Abel mendekat dengan terburu-buru. “Perwira, apa yang harus kita lakukan?” “Mengikuti rencana semula,” jawab Kakyu. “Saya mengerti, Perwira,” kata Kolonel Abel, “Tapi apa yang harus kita lakukan terhadap para prajurit itu. Mereka semua kebingungan. Banyak dari mereka yang terus bertanya-tanya mengapa kita mengambil jalan ke Parcelytye ini bukan yang langsung menuju Hutan Naullie.” “Kolonel,” kata Kakyu, “Panggil semua Kapten.” Walau tidak mengerti maksud Kakyu, Kolonel Abel tetap berkata, “Baik, Perwira.” Kakyu tetap tidak berpindah dari tempatnya sampai Kolonel Abel datang dengan tiga Kapten yang tadi pagi. Bersama mereka juga ikut Adna. Kakyu yakin pemuda itu tidak akan mau disuruh pergi. Pemuda itu pasti 63

ingin mengetahui rencananya. Siapapun dia dan apa hubungannya dengan Raja Alfonso, Kakyu tidak tertarik untuk mengetahuinya. Apapun yang akan dilakukan pemuda itu, selama tidak mengacaukan rencananya, Kakyu tidak mau memikirkannya. “Kita akan beristirahat sebentar di sini sementara aku menjelaskan rencanaku pada kalian,” kata Kakyu. “Baik, Perwira.” Ketiga Kapten itu pergi lagi untuk mengatur pasukan mereka. Tak lama kemudian mereka kembali lagi. Kakyu membawa mereka agak menjauhi kedua ribu pasukan yang sedang beristirahat itu. “Kolonel, petanya?” kata Kakyu yang segera ditanggapi Kolonel Abel dengan mengeluarkan secarik peta dari sakunya. Kolonel Abel menyerahkan peta itu pada Kakyu yang segera membentangkannya lebar-lebar di hadapan mereka. “Kita akan mengikuti jalur seperti garis ini.” “Apa engkau sudah gila?” sahut Adna, “Perjalanan ini bukannya mempercepat kedatangan bala bantuan ini malah akan memperlambatnya. Apakah engkau ingin pasukan kita yang berada di Hutan Naullie hancur sebelum kita datang?” Kakyu menatap tenang wajah pemuda itu. “Bila kita mengikuti jalur biasanya yang lebih cepat, kita akan hancur terlebih dulu sebelum mencapai Farreway. Kirshcaverish tidak akan membiarkan bala bantuan tiba di sana. Sementara itu jalan yang akan kita lewati bila kita mengikuti jalur biasa, melalui tepi hutan itu.” “Bila Anda ingin kita mendapatkan serangan dari Kirshcaverish sebelum kita mencapai perkemahan pasukan garis depan, lalui saja jalan yang biasanya,” tambah Kakyu dengan tenang. Kemudian Kakyu melanjutkan menjelaskan rencananya – tanpa menghiraukan Adna yang masih tidak mengerti dengan sikapnya maupun rencananya. “Kita tidak akan melalui Parcelytye, tapi kita akan sedikit membelok ke timur di dekat kota itu. Kemudian kita akan berjalan ke arah timur laut menuju Chnadya. Dari sana, kita langsung bergerak ke arah barat langsung menuju Farreway.” “Perjalanan ini akan membutuhkan waktu yang lama Perwira,” kata Kolonel Abel. “Aku tahu dan aku telah memperhitungkannya,” kata Kakyu, “Seperti tadi pagi, pasukan infanteri akan berjalan terlebih dulu baru pasukan kavaleri mengikuti di belakang. Dengan cara seperti ini, aku memperhitungkan kita akan tiba dalam empat hari.”

64

“Apakah itu tidak terlalu lama, Perwira?” tanya Kapten Simpsons. “Tidak.” “Bagaimana kalau kekhawatiran Adna terbukti?” tanya Kapten Gwen. “Tidak akan,” Kakyu mulai bersikap misterius. “Maksud Anda, Perwira?” tanya Kolonel Abel. “Perhatian mereka saat ini terpusat pada kita,” kata Kakyu – tetap berteka-teki. “Ketika prajurit utusan dari Naullie itu datang, ia dalam keadaan yang terluka. Menurut pengakuannya, beberapa orang yang pasti suruhan Kirshcaverish, mencoba untuk menghentikannya. Kirshcaverish pasti akan segera memusatkan perhatian mereka di sekitar Hutan Naullie, sepanjang perjalanan dari Chiatchamo ke Farreway untuk menghentikan kita. Pasukan lainnya yang ada di Naullie tidak akan mereka hiraukan. Mereka pasti tahu pasukan kita yang sudah ada di Naullie tidak mampu lagi menahan serangan mereka. Karena itulah kita datang. Saat ini kita yang mereka takuti, bukan pasukan yang ada di Naullie. Sampai kita datang nanti, pasukan lainnya akan aman.” “Apakah pikiranmu sesempit itu?” Adna kembali menentang Kakyu, “Bagaimana kalau mata-mata mereka tahu kita memutar?” “Tidak akan,” kata Kakyu tenang, “Rencana ini baru kupersiapkan kemarin malam. Dan mata-mata mana yang akan mengintai pasukan yang ia yakini akan melalui jalur biasanya? Kalaupun mereka tahu, mereka pasti tidak akan menghancurkan pasukan di Naullie. Mereka pasti juga akan mengirim pasukan mereka menjemput kita di Farreway sebelum kita memasuki kota itu.” “Kirshcaverish cukup pintar untuk mengetahui apa yang harus mereka lakukan. Kirshcaverish tidak akan menghabiskan pasukan mereka walau yang mati hanya satu orang demi menghancurkan pasukan di Naullie. Mereka pasti akan memilih menghancurkan bala bantuan ini daripada menghabiskan pasukan di sana. Pasukan di Naullie telah berada dalam tangan mereka dan sangat mudah mereka hancurkan tetapi tidak demikian halnya dengan kita.” “Mengerti?” kata Kakyu tenang. Kolonel Abel tersenyum. “Sangat mengerti, Perwira. Tak heran Raja Alfonso mengagumi Anda.” “Dengan kita memutar seperti ini, kita tidak hanya memberi kesempatan pada pasukan di Naullie untuk memulihkan keadaan mereka tetapi juga membuat peperangan berhenti untuk sementara waktu,” kata Kapten Gwen. “Sebaiknya kita tidak memperlambat lagi,” kata Kapten Perrier, “Kita harus segera berangkat agar segera sampai di Naullie.” “Perwira?” Kolonel Abel meminta persetujuan Kakyu atas rencana ketiga Kapten itu. “Lakukan saja,” kata Kakyu singkat. 65

Ketiga Kapten itu segera menuju pasukan mereka dan mulai mengatur pasukan itu. “Bagaimana dengan pasukan yang kebingungan dengan rencana Anda ini, Perwira?” kata Kolonel Abel. “Sebaiknya mereka diberitahu juga tapi tidak keseluruhan.” “Baik, Perwira.” Kolonel Abel juga segera meninggalkan tempat itu. Sekarang tinggallah Kakyu dan Adna yang masih berada di tempat itu. Adna tidak ingin meninggalkan Kakyu sendiri. Ia masih ingin memperjelas semuanya. “Katakan kepadaku apa yang akan kaulakukan kalau semua pikiranmu itu salah.” “Kalau aku salah, maka aku bersalah juga pada pasukan yang ada di Naullie.” Ketenangan Adna membuat Kakyu tidak sabar untuk bertanya. “Apakah sikapmu selalu tenang-tenang seperti ini?” “Apakah itu salah?” “Tidak,” sahut Adna, “Hanya saja sikapmu itu sangat mengangguku. Aku tidak pernah melihat seorang pemuda sediam dan setenang engkau. Engkau membuatku ingin tahu apakah engkau akan tetap tenang bila ada meriam jatuh di sampingmu.” Kakyu hanya tersenyum. “Tidak ada yang menjadi masalah lagi, bukan?” “Maksudmu?” “Mengenai rencanaku.” “Masih ada. Aku khawatir kalau dugaanmu itu salah.” “Jangan khawatir. Aku telah memperhitungkannya semalaman.” “Engkau sangat yakin sekali,” komentar Adna. “Kalau aku tidak yakin, aku tidak akan melakukannya.” Kakyu meninggalkan pemuda itu. Adna mengikuti pemuda itu. “Tak kuduga engkau ternyata bisa berbicara cukup banyak juga.” Kakyu yang telah kembali pada sikap tenangnya, hanya diam. Diam-diam Adna mengagumi Kakyu. Ia merasa tidak salah kalau setiap gadis di Kerajaan Aqnetta sering memuji pemuda itu. Kecerdasan dan ketangguhan pemuda itu telah diakui Raja Alfonso tetapi ia masih belum dapat sepenuhnya mengakui hal itu. Ia masih merasa pemuda itu terlalu muda untuk memimpin pasukan sebanyak ini. Kecerdasan pemuda itu memang patut diberi pujian tetapi pemuda itu terlalu yakin dengan pikirannya. Kakyu terlalu yakin dengan pendiriannya sementara Adna khawatir keyakinan Kakyu itu salah. Bila keyakinan itu salah, bisa jadi Kerajaan Aqnetta kehilangan Jenderal-

66

Jenderal terbaiknya yang dikirim ke sana untuk menanggulangi serangan Kirshcaverish. Dari Kolonel Abel dan para Kapten itu, Adna tahu Kakyu sangat pendiam dan hanya berbicara bila perlu saja. Selebihnya ia akan diam dan tampak dingin dalam ketenangannya. Tapi itulah yang menyebabkan ia tampak semakin menarik. Sikapnya yang dingin-dingin tenang kadang-kadang tampak misterius. Di balik semua itu pemuda itu menyimpan keramahannya. Seperti ia menyimpan ketangguhan dan kecerdasannya di balik tubuh mudanya. Untuk sementara waktu ini, Adna merasa lebih baik membiarkan pemuda itu menjalankan rencananya. Pikiran Kakyu memang tidak salah, tetapi pikiran Adna juga tidak salah. Mana yang benar antara keduanya akan terbukti bila mereka telah tiba di Naullie. Apakah pasukan Kerajaan Aqnetta di Naullie tetap utuh ataukah pasukan itu telah habis ketika mereka tiba? Saat ini tidak ada yang dapat menebaknya. Kakyu yang sangat yakinpun tidak dapat menebaknya. Pasukan kavaleri yang dibawahi Kakyu sendiri masih tetap tinggal di tempat itu sampai satu jam lamanya. Ketika akhirnya Kakyu memerintahkan pasukan kavalerinya bersiap-siap, matahari baru terbit. Pukul tujuh pagi Kakyu dan pasukannya baru meninggalkan tempat itu. Pasukan kavaleri sudah tidak terlalu kebingungan lagi. Mereka telah mengetahui rencana Kakyu dan mereka percaya seperti tadi, mereka juga akan bertemu pasukan lainnya. Mereka terus berjalan seperti itu. Setelah satu jam atau lebih pasukan pejalan kaki berjalan, pasukan kavaleri juga berangkat dengan santai. Hingga mereka mendekati Chnadya, hubungan antara pasukan itu dengan Kakyu semakin dekat. Pasukan itu mulai mengenal sifat Kakyu. Ternyata tidak semua yang mengerti Kakyu. Masih ada yang tidak percaya apa yang dikatakan semua orang mengenai diri Kakyu. Yang paling tampak jelas adalah Adna. Adna tidak percaya Kakyu setenang itu. Entah berapa kali ia menguji Kakyu. Segala macam usaha mulai dari berbicara biasa sampai yang mengajak bertengkar dilakukannya untuk membuyarkan ketenangan Kakyu. Tetapi Adna tidak tahu sejak kecil Kakyu telah dilatih untuk menjaga ketenangan sikap maupun perasaannya. “Sebaiknya engkau berhenti berusaha menganggu ketenangan Perwira,” 67

Abel memberi nasehat. “Putri Eleanor yang cantikpun tidak dapat membuat ketenangan Perwira buyar apalagi engkau,” kata Perrier, “Perwira Kakyu terlalu tenang untuk diganggu gadis manapun.” “Tidak heran kalau ia tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik walau setiap hari gadis-gadis di Istana Vezuza berusaha menganggunya. Mereka semua diperlakukan Perwira Kakyu hanya sebatas kawan, tidak lebih. Bahkan kepada Putri Eleanorpun sikapnya tetap sangat sopan,” tambah Simpsons. Walaupun telah mendapat nasehat itu, Adna tetap tidak berhenti berusaha meruntuhkan ketenangan Kakyu. Dari pagi sampai malam Adna terus berusaha meruntuhkan ketenangan Kakyu. Kakyu sendiri tidak mempedulikannya. Ia hanya peduli pada perjalanan mereka yang semakin mendekati Farreway. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Chnadya ternyata lebih singkat dari yang diperhitungkan Kakyu. Kakyu tahu itu semua karena pasukannya yang tidak sabar ingin segera membanatu kawan mereka. Di pagi hari mereka berangkat pukul empat bahkan kurang dari pukul empat pagi. Mereka terus berjalan dan baru berhenti hanya bila kedua pasukan yang waktu keberangkatannya berbeda itu bertemu. Setelah berhenti satu jam atau lebih, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Setelah langit gelap mereka baru berhenti untuk beristirahat. Melihat semangat pasukannya, Kakyu yang telah menentukan tempattempat mereka untuk beristirahat di malam hari, terpaksa mencari tempat baru yang lapang untuk mendirikan tenda. Semakin mendekati Farreway, kedua ribu pasukan itu semakin tidak sabar menghadapi pertempuran mereka walau mereka juga ngeri membayangkan pertempuran yang akan terjadi. Sebaliknya Kakyu tetap tampak tenang. Dan itu membuat Adna semakin heran. Di saat pasukannya semakin tidak sabar sekaligus khawatir, Kakyu sebagai pemimpinnya tetap tampak tenang. Walaupun Kakyu ingin memberi contoh kepada pasukannya, tetapi sikapnya itu tampak sangat tidak wajar di mata Adna. Bagi orang yang belum pernah bertempur, pasti pertempuran yang pertama kalinya akan membuatnya bersemangat sekaligus gugup. Tapi Kakyu yang masih muda sama sekali tidak tampak gugup. Ia tetap tampak tenang. 68

Adna percaya pemuda itu juga tampak gugup tetapi ia tidak mau menunjukkannya. Sama seperti dirinya yang juga tidak mau menunjukkan kekhawatirannya akan keadaan di Naullie. Tak heran ketikat melihat Kakyu berjalan sendirian di lapangan tempat mereka mendirikan tenda di sekitar Chnadya, Adna mengikuti pemuda itu. Adna ingin tahu apa yang akan dilakukan pemuda itu. Tepatnya apa yang dilakukan pemuda itu untuk mengatasi kegugupannya menghadapi perang pertamanya. Melihat pemuda itu berdiri di bayang-bayang sebatang pohon besar sambil menatap langit, Adna heran. Pemuda itu tampak tenang. Tidak tampak kegugupan di wajahnya. Matanya menatap langit seolah-olah ia mengagumi bintang-bintang yang bertaburan di sana. Kakyu segera berbalik ketika mendengar langkah-langkah yang mencurigakan. “Jangan khawatir ini aku,” kata Adna sambil mengangkat kedua tangannya. Tanpa berkata apa-apa, Kakyu kembali melihat langit malam. “Apakah ada yang kaupikirkan?” tanya Adna. “Tidak.” “Lalu mengapa engkau menatap langit seperti sedang berpikir?” kata Adna, “Apakah engkau gugup seperti pasukan lainnya?” Sekali lagi Kakyu membantah Adna. “Lalu mengapa engkau di sini?” “Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu tenang. “Apakah engkau selalu setenang ini?” tanya Adna, “Engkau tidak jauh lebih tua dari adikku dan aku sangat yakin ini pertempuran pertamamu. Walaupun Raja sering mengujimu tetapi tetap saja engkau masih muda. Kalau adikku yang berada dalam situasi ini, ia pasti sudah akan gugup bahkan ketakutan.” “Percaya atau tidak, aku sama sekali tidak mengkhawatirkan diriku.” “Lalu mengapa engkau di sini?” “Aku sudah mengatakannya.” “Apakah engkau tidak mengkhawatirkan keselamatanmu?” “Aku lebih mengkhawatirkan keselamatan yang lain.” “Bagaimana dengan ayahmu? Apa yang akan terjadi pada keluarga Quentynna bila engkau sebagai satu-satunya anak laki-laki mereka, meninggal?” pancing Adna, “Engkau tahu engkau satu-satunya penerus ayahmu.” Tak sepatah katapun yang keluar dari mulut Kakyu. Kediaman itu membuat Adna menduga ia telah berhasil meruntuhkan

69

ketenangan Kakyu walau hanya sedikit. “Apakah ada alasan lain?” tanya Adna senang. “Sebaiknya engkau pergi tidur.” Mata Adna menyipit karenanya. “Engkau mengusirku?” Kakyu diam saja. “Kalau engkau ingin mengusirku, engkau harus berpikir dua kali,” Adna memperingatkan, “Tidak mudah menyuruhku.” “Engkau tahu besok kita akan berangkat pagi-pagi. Dan bila aku tidak salah menghitung, kita akan tiba di Farreway pada sore hari.” “Jangan menasehati orang lain sebelum engkau melakukannya.” Tanpa berkata apa-apa, Kakyu meninggalkan pohon itu beserta Adna. Adna segera menyusul Kakyu. “Engkau marah padaku?” tanyanya sambil menarik lengan Kakyu. Seperti dulu, Kakyu menyentakkan tangannya dari pegangan Adna. “Tidak,” katanya tenang. “Sikapmu persis seperti adikku kalau ia sedang marah,” Adna memberitahu. “Aku harus kembali ke tendaku,” kata Kakyu. “Mungkin sebaiknya begitu,” kata Adna. Tanpa banyak bicara lagi, Kakyu meninggalkan Adna menuju tendanya. Paginya Kakyu mengubah sedikit rencananya. Mereka tetap berangkat pagi seperti biasanya, tetapi kali ini pasukan infanteri dan pasukan kavaleri berjalan bersama. Seperti perhitungan Kakyu, mereka tiba di Farreway pada sore hari. Dengan sedikit khawatir dan senang, pasukan itu semakin mempercepat jalan mereka menuju Hutan Naullie. Kakyu yang memimpin di depan bersama Kolonel Abel dan Kapten lainnya, juga mempercepat jalan mereka. Ketika tenda-tenda pasukan Kerajaan Aqnetta mulai terlihat di kejauhan, Kakyu mendengar para prajurit di belakangnya bersorak senang. Adna merasa setiap pasukan senang telah berhasil mencapai Hutan Naullie dengan selamat. Ia sendiri juga merasa sangat senang. Tak heran kalau ia merasa heran melihat Kakyu tetap tampak tenang. “Jangan kebingungan seperti itu,” kata Kapten Gwen, “Semua orang mengatakan Perwira Kakyu tidak mudah terbawa suasana.” Adna menghiraukan perkataan itu dan terus melihat wajah tenang Kakyu walau mereka semakin mendekati perkemahan.

70

6

“Bala bantuan tiba!” seru prajurit yang menjaga di puncak menara pengintai, “Bala bantuan tiba!” Seruan itu membangkitkan semangat para prajurit yang semakin hari semakin merasa kewalahan menghadapi pemberontak dalam Hutan Naullie. Beberapa prajurit segera membuka gerbang kayu yang melindungi perkemahan mereka dari serangan Kirshcaverish. Melihat pasukan yang datang dalam jumlah banyak itu, mereka bersorak senang. Seruan itu membuat para Jenderal yang sibuk berunding, meninggalkan tenda tempat mereka berunding. “Apa yang terjadi?” tanya Jenderal Decker pada seorang prajurit. “Bala bantuan telah tiba, Jenderal,” jawab prajurit itu. “Akhirnya mereka datang juga,” kata Jenderal Erin. “Di mana mereka?” tanya Jenderal Decker. “Mereka masih dalam perjalanan, Jenderal,” kata prajurit itu, “Tak lama lagi mereka akan tiba.” “Buka pintu gerbang,” Jenderal Erin memberi perintah, “Aku ingin menyambut mereka.” Seperti para prajurit lainnya, para Jenderal yang sangat mengharapkan kedatangan bala bantuan itu sangat senang. Mereka bergegas menuju pintu gerbang yang telah terbuka dari tadi dan ikut menyaksikan bala bantuan itu mendekat. Semakin mereka mendekat, jumlah mereka semakin terlihat. Para Jenderal itu senang sekaligus terkejut melihat jumlah pasukan yang datang itu. “Banyak sekali!” Komentar itu terdengar dari antara kerumunan para prajurit yang ikut menyambut datangnya bala bantuan itu. “Mereka datang dalam jumlah banyak!” Komentar itu juga terdengar. “Kita tidak akan kalah lagi!” Keyakinan itupun terdengar di antara pasukan yang semakin bersorak senang. Sorak sorai itu bersaing dengan suara derap kaki kuda pasukan kavaleri yang dibawa Kakyu. Pasukan kavaleri yang muncul kemudian itu membuat para prajurit itu 71

semakin bersorak sorai. Rupanya dari tadi yang terlihat hanya pasukan infanteri yang berjalan di depan pasukan kavaleri. “Mereka membawa pasukan kavaleri!” Seruan itu menggema di antara pasukan yang seakan-akan ingin memberi tahu setiap pasukan di sana yang tidak dapat melihat kedatangan teman mereka. Prajurit yang menjaga menara pengintai berseru – memberi tahu kawankawannya yang tidak dapat melihat jelas kedatangan bala bantuan itu, “Mereka datang dalam jumlah banyak! Mereka membawa banyak pasukan pejalan kaki dan sejumlah pasukan berkuda.” Jenderal Tertinggi Decker, terkejut melihat jumlah bala bantuan yang datang itu. “Siapakah yang mengusulkan pasukan sebanyak itu?” tanyanya ingin tahu. “Aku tidak tahu,” kata Jenderal Erin, “Tapi orang itu pasti telah mengetahui kesulitan kita.” “Apakah jumlah mereka tidak terlalu banyak?” tanya Pangeran Reinald. “Saya rasa tidak, Pangeran,” kata Jenderal Erin, “Anda telah melihat sendiri pasukan yang kita bawa dengan mudah dihancurkan oleh Kirshcaverish.” “Sampai sekarang aku ingin tahu berapakah jumlah mereka. Mereka dengan mudah menyerang kita walau jumlah pasukan kita cukup banyak.” “Lihat saja keadaan kita sekarang,” kata Jenderal Decker, “Pasukan yang dibawa Erin dulu ditambah pasukan yang kubawa, seluruhnya kurang lebih 600 orang. Tapi kini yang masih hidup tidak lebih dari 150 orang. Aku yakin jumlah mereka sangat banyak, Reyn.” Bala bantuan itu semakin dekat. Ketika melihat seseorang yang pakaian seragamnya lain dari pasukan lainnya, mereka tidak merasa heran. Seperti para prajurit, perhatian para Jenderal itu tidak tertuju pada pemimpin pasukan itu tetapi pada pasukannya. Tak heran kalau mereka sangat terkejut ketika melihat Kakyu mendekat. “KAKYU!” seru Jenderal Reyn.“Mengapa ia yang datang?” Begitu mereka mendekat, Kakyu segera turun dari kudanya diikuti Kolonel Abel. Yang lain juga tidak mau tinggal diam. “Mengapa engkau datang?” tanya Jenderal Reyn. “Bagaimana dengan Istana Vezuza?” tanya Jenderal Erin pula. “Bagaimana dengan Paduka?” “Keamanan Istana saat ini bukan terancam dari sana tetapi dari sini,” jawab Kakyu tenang, “Aku telah menyelesaikan semuanya sebelum aku berangkat ke sini. Walau aku tidak ada di sana, keamanan Istana akan tetap terjaga.” 72

“Lalu siapa yang mengusulkan engkau ke sini?” tanya Jenderal Reyn. “Tidak ada,” jawab Kakyu singkat. “Raja menyetujui?” tanya Jenderal Decker tak percaya. “Kalau beliau tidak menyetujui, ia takkan membiarkanku membawa kedua ribu pasukannya.” “Dua ribu?” seru kaget Jenderal Decker. “Apa yang engkau pikirkan, Kakyu?” tanya Jenderal Reyn, “Engkau datang ke sini meninggalkan tugasmu. Kemudian engkau ‘merampok’ pasukan Kerajaan Aqnetta.” “Aku tahu apa yang kulakukan, Papa,” kata Kakyu, “Aku telah memikirkan semuanya.” “Sudahlah, Reyn,” kata Jenderal Erin, “Biarkan saja dia. Raja Alfonso tidak akan mengirimnya ke sini kalau ia tidak mempercayainya.” “Erin benar, Reyn,” Jenderal Decker turut membujuk kawannya, “Raja sangat mengagumi putramu. Ia pasti tidak akan merelakan kepergiannya ke sini kecuali ada alasan kuat yang mendukungnya.” “Engkau dan Joannie sama saja,” kata Jenderal Reyn, “Kalian memang anak-anakku yang paling bandel yang tidak pernah mendengarkan katakataku.” “Joannie?” ulang Kakyu tidak mengerti. Jenderal Reyn sangat menyayangi putri tertuanya itu dan sangat memanjakannya. Joannie juga sangat mencintai ayahnya dan selalu menuruti segala kata-katanya. Kakyu tidak mengerti mengapa ayahnya mengatakan kakaknya itu nakal. “Engkau tidak tahu, Kakyu?” tanya Jenderal Decker, “Kakakmu itu ada di sini?” Karena terkejutnya, Kakyu terdiam. Kakyu tidak menduga kakaknya yang mengatakan ingin ke rumah Bibi Mandy di Hymman, berada di sini. Kakyu tidak tahu bagaimana kakaknya bisa berada di sini. Tetapi Kakyu yakin kakaknya telah berada di sini sebelum ayah mereka tahu. Kakyu tidak tahu apa yang akan terjadi ibu mereka bila ia mengetahui Joannie berada di medan pertempuran ini sejak dulu. Tiba-tiba saja Kakyu teringat, kakak-kakaknya yang lain berniat menjemput Joannie di Hymman. Kakyu yakin mereka pasti telah mengetahui kalau Joannie tidak ada di Hymman. Bila kakak-kakaknya tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan, tentu mereka tidak akan memberitahu ibu mereka kalau Joannie tidak ada di rumah Bibi Mandy. “Besok, engkau dan Joannie harus kembali ke Chiatchamo,” kata Jenderal Reyn. 73

“Tidak, Papa,” bantah Kakyu. “Engkau telah melaksanakan tugasmu, Kakyu,” kata Jenderal Reyn, “Dan engkau tidak boleh melalaikan tugasmu di Chiatchamo.” “Aku akan sangat melalaikan tugasku kalau aku tidak membantu kalian di sini,” kata Kakyu tenang, “Aku tahu kelemahan kalian dan aku tidak dapat membiarkannya terus menerus seperti ini. Kalian membutuhkan orang yang mengenal persis Hutan Naullie.” Tanpa memberi kesempatan pada ayahnya untuk mengulangi perintahnya, Kakyu berkata, “Kirshcaverish yang ada di dalam Hutan Naullie sangat mengetahui medan ini sedangkan kalian tidak mengetahuinya. Bagi mereka hal ini adalah kekuatan mereka sedangkan bagi kita ini adalah kelemahan terbesar kita. Berapapun pasukan yang dikirim, tidak akan dapat menghancurkan Kirshcaverish kalau tidak ada yang tahu bagaimana menguasai hutan lebat ini.” Mereka terdiam mendengar kenyataan yang diucapkan Kakyu itu. “Kakyu benar, Reyn,” kata Jenderal Decker, “Kita memang membutuhkan orang yang tahu bagaimana keadaan Hutan Naullie.” Menyadari Kakyu maupun Jenderal Decker benar, Jenderal Reyn hanya berkata, “Terserah padamu, Kakyu. Aku tahu percuma melarangmu.” Sebagai jawabannya, Kakyu tersenyum. “Sekarang kita harus memikirkan di mana akan kita tempatkan pasukan yang kaubawa ini,” kata Jenderal Erin. “Jangan khawatir, saya telah memikirkannya,” kata Kakyu, “Kami akan mendirikan perkemahan sendiri tepat di samping perkemahan kalian.” Tanpa diperintah, Kolonel Abel segera memerintahkan pasukan mendirikan tenda dibantu ketiga Kapten. “Saya harus mengatur pasukan,” Kakyu mengundurkan diri. Prajurit yang lain membantu kawan mereka mendirikan tenda mereka. Dengan kesigapannya, Kakyu memberikan perintah-perintahnya. Melihat kesigapan Kakyu dalam mengatur pasukannya, Jenderal Decker berkata, “Sepertinya ia dapat mengatur mereka. Sebaiknya kita pergi saja, masih ada yang harus kita lakukan.” “Ya, ia tidak membutuhkan bantuan kita,” Jenderal Erin setuju. Lain halnya dengan Jenderal Reyn yang masih ragu pada putranya yang harus mengatur 2000 orang ditambah pasukan yang telah ada. Tapi melihat Kakyu yang sama sekali tidak kesulitan mengatur pasukan yang banyak itu, Jenderal Reyn akhirnya mengikuti Jenderal lainnya yang telah memasuki perkemahan. Semua begitu sibuknya hingga tak memperhatikan Adna yang menarik Pangeran Reinald ke tempat yang sepi. 74

“Maafkan saya, Pangeran. Saya tidak tahu harus berbuat apa selain mengaku sebagai diri Anda. Ketika saya tiba, mereka semua segera menyambut saya sebagai Anda. Saya sudah berusaha menjelaskan, tetapi mereka terlalu sibuk. Ketika kami di sinipun, kami terlalu sibuk memikirkan Kirshcaverish sehingga saya tidak sempat menjelaskan semuanya pada mereka.” Pemuda itu terdiam beberapa saat. “Walau sebenarnya saya juga punya alasan lain,” tambahnya dengan nada bersalah. “Lupakan dulu masalah ini,” kata Pangeran Reinald, “Sebaknya keadaan kita tetap seperti ini.” “Maksud Anda, Pangeran?” tanya Adna tidak mengerti. “Biarkan mereka tetap mengenalku sebagai engkau dan engkau sebagai aku,” Pangeran Reinald memberi penjelasan. “Saya mengerti akan hal itu, Pangeran. Yang saya ingin ketahui adalah untuk apa semua ini.” “Kau tahu Perwira Muda yang menjadi Kepala Keamanan Istana?” “Maksud Anda Perwira Tinggi yang termuda itu?” “Benar,” sahut Pangeran Reinald. “Saya pernah mendengarnya beberapa kali. Para prajurit sering membicarakannya bahkan sampai berandai-andai bila ia ada di sini.” “Bagaimana menurutmu tentang dia?” “Ia memang setangguh yang mereka bicarakan, Pangeran. Tidak mudah bagi seorang yang belum berpengalaman seperti dia memimpin 2000 pasukan sendirian apalagi ia masih sangat muda.” “Justru itulah yang kupermasalahkan,” kata Pangeran Reinald, “Aku tidak percaya ayahku mengangkatnya sebagai Kepala Keamanan Istana.” “Itu tidak aneh, Pangeran,” Adna membela Kakyu, “Kata Jenderal Decker, pemuda itulah yang mengetahui keberadaan pemberontak ini. Ia mengetahuinya ketika ia mengikuti Putri dan Paduka ke hutan ini untuk berburu. Jenderal Decker juga mengatakan ia berhasil menangkap dua orang anggota pemberontak itu. Ia juga berhasil menyelamatkan sebuah keluarga dari kekejian pemberontak itu.” Pangeran Reinald masih tidak menyetujui sikap Raja Alfonso, “Tetapi mengapa sampai harus mengangkat pemuda seaneh itu menjadi Kepala Keamanan Istana?” Adna tidak mengerti apa yang dikatakan Pangeran. “Aneh?” “Ia sangat tenang dan sangat pendiam. Aku yakin ia tak jauh lebih tua dari Eleanor tapi ia bisa setenang itu. Ia sama sekali tidak tampak gugup atau apapun ketika kami semakin mendekati tempat ini. Ia terlalu tenang untuk ukuran pemuda semuda dirinya.” “Lady Joannie mengatakan Kakyu memang selalu tenang seperti itu,”

75

kata Adna, “Katanya, Kakyu telah dilatih dengan sangat keras oleh teman ayahnya.” “Joannie?” “Ia putri Jenderal Reyn yang sekarang berada di sini,” kata Adna. Perubahan suara itu membuat Pangeran Reinald tertarik untuk mengetahui lebih jauh, “Ia pasti sangat cantik.” “Ia tidak hanya cantik, Pangeran. Ia juga pemberani,” kata Adna, “Saya belum pernah menjumpai wanita yang seberani dia walau melihat peperangan di depannya.” “Ia pasti tampak tenang seperti adiknya.” “Tidak, Pangeran,” bantah Adna, “Ia tidak mau disuruh diam sehingga membuat Jenderal Reyn kewalahan. Lady Joannie selalu ingin membantu ayahnya. Karena itu Jenderal Reyn terpaksa memerintahkan beberapa pasukan mengawalnya dengan ketat dan tidak mengijinkannya meninggalkan tendanya.” “Pantas saja aku tidak melihatnya,” kata Pangeran Reinald. “Karena itu engkau tidak mengatakan yang sebenarnya pada mereka?” selidik Pangeran Reinald. “Maafkan saya, Pangeran,” Adna merasa bersalah, “Saya tahu saya tidak boleh melakukannya tetapi saya tidak dapat melawan keinginan saya untuk membuatnya kagum.” “Tidak apa-apa, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Sementara waktu ini biarkan keadaan ini tetap seperti ini.” “Tetapi …” Pangeran Reinald memberikan alasannya. “Aku ingin menyelidiki Kakyu.” “Mengapa?” “Jangan khawatir,” hibur Pangeran Reinald, “Aku hanya ingin tahu mengapa adik wanita yang kaucintai itu menjadi Kepala Keamanan Istana.” “Apakah itu aneh, Pangeran?” kata Adna, “Menurut saya hal itu sama sekali tidak aneh. Kakyu memang tangguh dan harus diakui ia cukup mampu memimpin pasukan Istana.” “Aku tahu ia memang mempunyai kemampuan itu, Adna. Tapi apakah engkau tidak dapat merasakannya, Adna?” kata Pangeran Reinald heran. “Merasakan apa, Pangeran?” “Entahlah. Tapi aku merasa pemuda itu tidak cocok menjadi Perwira apalagi Kepala Kemanan Istana.” “Karena ia masih muda?” selidik Adna. “Ya,” Pangeran Reinald membenarkan. “Walaupun masih muda, ia sangat cerdas. Ia tidak pernah gentar walaupun Raja Alfonso juga Putri sering mengujinya dengan tugas yang anehaneh bahkan di luar bayangan kita. Tetapi Perwira selalu mengerjakannya 76

dengan baik.” Pangeran Reinald tidak mengerti. “Tugas aneh apalagi yang kaumaksudkan?” “Tugas yang tidak mungkin dilakukan orang lain, Pangeran,” jelas Adna, “Kata mereka, sebelum Perwira Muda itu menjadi pengawal pribadi Putri Eleanor, Raja menyuruhnya mencuri mahkota kerajaannya.” Pangeran terkejut mendengarnya. “APA!?” “Tentu saja tidak semudah itu, Pangeran,” kata Adna, “Paduka menyuruh pemuda itu memasuki Istana yang belum pernah dimasukinya di malam hari. Kemudian Paduka menantikan kedatangannya dengan strategi perang.” “Dan Kakyu berhasil mencurinya,” tebak Pangeran Reinald. “Benar, Pangeran,” kata Adna, “Tidak seorangpun dari mereka yang menduga Kakyu akan menyusup ke dalam Istana melalui atap.” “Ini benar-benar gila,” kata Pangeran Reinald, “Setelah itu apalagi yang dilakukan ayahku sampai menyuruhnya yang lebih pantas menjadi adikku, untuk mengawalku ke sini?” “Banyak sekali, Pangeran,” kata Adna, “Paduka juga pernah menyuruh pemuda itu menembus strategi perangnya di kawasan pelatihan pasukan Kerajaan Aqnetta.” “Sudahlah,” kata Pangeran Reinald pada akhirnya, “Jangan membicarakan Kakyu lagi. Sampai aku melihat sendiri ketangguhannya yang dibicarakan orang itu, aku tidak akan percaya ia mampu menjadi Kepala Keamanan Istana.” “Baik, Pangeran,” kata Adna sambil tersenyum dalam hati. Adna tahu ia takkan dapat menghilangkan kecurigaan itu. Pangeran sendiri yang dapat menghilangkannya. “Katakan padaku keadaan di sini akhir-akhir ini?” “Peperangan kecil yang biasanya selalu terjadi setiap hari, akhir-akhir tidak ada lagi. Kami memanfaatkan kesempatan itu untuk memulihkan keadaan perkemahan ini,” kata Adna melaporkan, “Perwira Kakyu benar. Keadaan kita tidak menguntungkan. Jenderal Erin yang sejak tahun lalu diperintahkan Paduka untuk mengawasi keadaan di sini, sampai sekarang tidak berhasil mengetahui dengan pasti letak pemberontak itu.” “Aku yakin merekalah yang berusaha mencegah kepulanganku.” “Saya juga yakin akan hal itu, Pangeran. Apalagi kalau mengingat mereka telah lama berada di Hutan Naullie.” Pangeran Reinald terdiam. Adna bertanya ragu-ragu, “Pangeran, apakah tidak sebaiknya kita mengatakan kebenaran ini pada mereka?” “Sebaiknya tidak, Adna,” jawab Pangeran Reinald, “Dan engkau jangan sekali-kali mengatakan apapun pada wanita yang kaucintai itu tentang hal ini.”

77

“Tentu, Pangeran. Saya tidak akan berani melanggar perintah Anda.” “Memang sebaiknya begitu, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Engkau tahu bagaimana aku kalau marah.” Adna tersenyum. “Tentu, Pangeran. Selama mengikuti Anda ke Inggris, saya tidak mungkin tidak mengenal watak Anda.” “Engkau memang sahabat dan pengawalku yang paling baik dan paling kupercaya,” kata Pangeran Reinald, “Sampai aku yakin pada Kakyu, aku tidak ingin siapapun tahu Pangeran yang sebenarnya adalah aku.” “Apakah Anda tidak merasa lebih mudah menyelidiki pemuda itu kalau Anda sebagai Pangeran bukan sebagai diri saya?” “Engkau sendiri yang mengatakan pemuda itu sangat sopan,” kata Pangeran Reinald, “Dapatkah kaubayangkan sikapnya kalau aku berbicara padanya sebagai Pangeran? Sebagai dirimu saja, aku sudah kesulitan membuatnya berbicara banyak, apalagi sebagai Pangeran yang pasti akan dihormatinya. Lebih mudah menyelidiki Kakyu bila aku tetap mengaku bernama Adna daripada menjadi diriku yang sebenarnya.” “Terserah Anda, Pangeran,” kata Adna – berhenti membujuk, “Saya yakin Anda terlalu keras kepala untuk saya bujuk.” Pangeran Reinald tersenyum senang. “Sebaiknya aku membantu Kakyu.” “Bukankah Anda ingin mengujinya, Pangeran?” goda Adna. “Engkau sudah gila rupanya, Adna,” kata Pangeran Reinald kesal, “Ia tak jauh lebih tua dari Eleanor dan ia pasti tidak akan dapat mengatur pasukan sebanyak itu sendirian. Aku yang lebih pantas menjadi kakaknya ini seharusnya membantunya.” “Anda melakukannya demi Putri Eleanor?” pancing Adna. “Demi adikku?” tanya Pangeran Reinald tak mengerti, “Untuk apa? Aku melakukannya karena aku merasa ia patut dibantu.” “Anda belum tahu, Pangeran?” tanya Adna, “Adik Anda menyukai Kakyu.” “Eleanor mencintai Kakyu?” tanya Pangeran Reinald tak percaya. “Benar, Pangeran,” kata Adna, “Lady Joannie menceritakan banyak hal tentang pemuda itu kepada saya.” “Apalagi yang dikatakannya tentang Kakyu?” “Mengapa Anda berbicara seperti cemburu padanya, Pangeran?” kata Adna menggoda Pangeran Reinald yang sangat akrab dengannya, “Anda cemburu padanya?” “Aku cemburu padanya?” tanya Pangeran Reinald tak mempercayai pendengarannya. “Jangan konyol seperti ayahku, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Bagaimana mungkin aku cemburu pada pemuda itu? Lagipula untuk apa aku cemburu padanya.”

78

“Jangan khawatir, Pangeran,” hibur Adna, “Anda pasti akan terkenal di kalangan gadis-gadis seperti Perwira Kakyu setelah masyarakat tahu Anda telah pulang.” “Aku bisa gila kalau aku terus mendengar celotehmu, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Sebaiknya aku cepat-cepat menjauhimu yang sedang dimabuk cinta.” Giliran Adna yang dibuat kesal. “Pangeran!” “Sampaikan salamku pada wanita yang kaucintai itu.” Adna palsu alias Pangeran Reinald asli segera mendekati Kakyu yang masih sibuk mengatur pasukan yang mulai mendirikan tenda. Beberapa tenda telah berdiri di samping perkemahan yang ada. “Tampaknya perkemahan baru ini akan segera selesai,” kata Adna. Kakyu terlalu sibuk untuk memperhatikan ucapan pemuda itu. Kertas yang dibawa Kakyu menarik perhatian Adna. Adna melihat gambar sketsa yang rapi. “Rupanya engkau telah mempersiapkan perkemahan ini juga,” katanya. “Maaf,” kata Kakyu, “Dapatkah engkau agak menepi?” Walau tidak mengerti keinginan Kakyu, Adna tetap berkata, “Tentu.” Adna terdiam ketika beberapa prajurit menancapkan tiang penyangga tenda yang besar tepat di tempat ia berdiri semula. “Tiang penyangga telah siap, Perwira,” Kolonel Abel melaporkan. “Dirikan tenda besar di sini,” kata Kakyu sambil menunjuk gambar di tangannya, “Di sekitar sini kita akan mendirikan beberapa tenda besar juga. Kemudian kita akan mendirikan tenda-tenda kecil di sekeliling tenda besar ini.” “Baik, Perwira.” Kolonel Abel segera melaksanakan perintah Kakyu. Melihat kecerdasan Kakyu mengatur pasukannya, Adna mau tidak mau merasa kagum juga pada Kakyu. Kakyu membagi dua ribu pasukan lebih itu menjadi beberapa kelompok yang memiliki tugas masing-masing. Setiap kelompok mendirikan tenda seperti yang diminta Kakyu. Sesekali pemimpin kelompok mereka mendatangi Kakyu untuk melaporkan kerja mereka dan meminta petunjuk dari Kakyu. Kakyu dengan sabar terpaksa harus mengulangi beberapa kali sketsa yang telah dipersiapkannya. Dengan sabar ia mengatur pasukan yang kadang bandel itu. Sesekali Kakyu juga tampak akan ikut dalam pendirian tenda, tetapi pasukan yang lain melarangnya. Adna yang memang berniat membantu Kakyu, meminta pemuda itu menjelaskan rencana perkemahannya padanya. Kemudian ia membantu Kakyu. Karena jumlah mereka yang banyak juga karena kerja sama mereka, 79

seluruh perkemahan baru itu hampir selesai sebelum hari menjelang tengah malam. Kegelapan malam tidak membuat mereka menghentikan pekerjaan mereka. Semua ingin segera merampungkan perkemahan baru mereka dan bersiap-siap menghadapi serangan Kirshcaverish yang bisa datang sewaktuwaktu. Adna mengakui Kakyu bukan pemuda yang ceroboh. Tidak semua pasukan diperintahkannya mendirikan tenda. Dari keseluruh pasukan yang dibagi dalam 20 kelompok kecil itu, lima kelompok di antaranya diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sekitar Hutan Naullie. Dua atau tiga jam sekali Kakyu memerintahkan lima kelompok lainnya menggantikan lima kelompok yang berjaga-jaga itu. Adna sempat memprotes strategi Kakyu itu. “Apa yang kaulakukan, Kakyu? Engkau ingin kita hancur sebelum perkemahan ini berdiri? Bagaimana mungkin engkau memerintahkan pasukan yang telah lelah mendirikan tenda menggantikan pasukan yang berjaga-jaga?” “Mereka tidak akan menyerang kita untuk sementara waktu ini,” jawab Kakyu tenang, “Saat ini mereka tentu memusatkan perhatian mereka pada rencana baru mereka. Dengan pergiliran seperti ini, pasukan kita tidak akan terlalu lelah. Mereka akan beristirahat sambil berjaga-jaga.” “Engkau sangat yakin sekali, Kakyu,” kata Adna. “Apakah yang akan kaulakukan bila rencana semulamu gagal, Adna?” tanya Kakyu kemudian pemuda itu kembali memusatkan perhatiannya pada pasukan yang masih mendirikan tenda. Adna mengerti apa yang dimaksud Kakyu. Kirshcaverish tentu sekarang mempersiapkan strategi baru setelah mengetahui strategi mereka gagal. Lima kelompok yang keseluruhannya kurang lebih berjumlah 500 orang itu, berjaga-jaga sambil memulihkan tenaga mereka. Mereka di sana seakanakan untuk menakut-nakuti Kirshcaverish. Jenderal Decker yang tahu pendirian perkemahan itu tidak berhenti walau hari telah gelap, tidak berusaha menghentikan pemuda itu. Jenderal Decker percaya Kakyu tahu apa yang dilakukannya. Sebenarnya sebelum pukul sepuluh malam itu, seluruh tenda telah berdiri. Namun mereka terus melanjutkan pekerjaan mereka. Mereka mendirikan dinding kayu di sekitar perkemahan baru mereka. Inilah pekerjaan yang membutuhkan waktu lama. Mereka harus menebang pohon sebelum menancapkannya di sekitar perkemahan mereka. 80

Walaupun jumlah mereka cukup banyak, pekerjaan itu membutuhkan waktu yang lama. Selain harus menebang kayu itu, mereka juga harus menggotongnya ke perkemahan. Ide membatasi perkemahan mereka dengan hutan ini bukan dari Kakyu. Dalam rencana perkemahan Kakyu, tidak ada dinding pembatas yang akan didirikannya. Para Jenderal itulah yang menyuruh Kakyu mendirikan dinding pembatas yang juga akan melindungi perkemahan mereka. Untung saja tempat itu sangat luas. Walau di perkemahan baru itu berdiri lebih dari empat tenda besar yang masih dikelilingi tenda-tenda kecil, pinggir hutan itu masih tampak luas. Tenda-tenda besar itu akan digunakan Kakyu sebagai tempat tidur sejumlah besar pasukan agar tidak terlalu banyak tenda yang berdiri. Pasukan lainnya akan menempati tenda-tenda kecil. Lewat tengah malam, perkemahan baru selesai dibangun. Melihat perkemahan baru mereka telah selesai, mereka sangat senang dan puas dengan hasil jerih payah mereka. Dengan berdirinya perkemahan baru yang lebih besar di samping perkemahan lama, pasukan dari perkemahan lama pindah ke perkemahan baru. Karenanya, Kakyu yang semua merencanakan menempati tenda di antara pasukannya, terpaksa pindah ke perkemahan lama. Entah siapa yang mula-mula mengusulkan hal ini. Semua terjadi begitu saja. Pasukan menempati perkemahan baru yang lebih besar dan para pemimpin mereka menempati perkemahan lama. Tidak seorangpun yang menganggap hal itu sebagai usaha pemecahan hubungan antara pasukan dengan pimpinan. Semua pasukan yang kelelahan itu segera terlelap dalam tenda masingmasing. Hanya pasukan yang bertugas menjaga saja yang tidak tidur. Kakyu segera membawa barangnya ke tenda yang diperuntukkan baginya setelah mengurus tugas akhirnya. Baru saja Kakyu selesai menata barangnya ketika seseorang memasuki tendanya. “Kakyu.” Kakyu menatap kakaknya, “Mengapa engkau di sini, Joannie?” “Aku ingin meminta bantuanmu.” “Bukan itu yang ingin kuketahui, Joannie,” kata Kakyu, “Aku ingin tahu mengapa engkau berada di sini, di tempat ini bukannya di Hymman?” “Engkau tahu aku tidak dapat meninggalkan Papa. Aku tidak tega melihat Papa pergi medan pertempuran sendirian,” kata Joannie. “Tapi engkau membuat Papa khawatir, Joannie,” kata Kakyu, “Mama juga 81

akan khawatir kalau ia tahu engkau ada di sini.” “Lalu apakah Mama tahu engkau ada di sini?” “Ketika aku pergi, Mama tidak tahu,” kata Kakyu tenang. “Kalau begitu kita sama, Kakyu.” “Tidak, Joannie,” kata Kakyu, “Kita tidak sama. Engkau pamit kepada Mama akan ke Hymman sedangkan aku pamit hanya kepada Vonnie, Marie dan Lishie.” “Mengapa engkau seperti Papa, Kakyu?” Joannie merujuk, “Kalian semua mengatakan aku tidak seharusnya berada di sini.” “Memang seharusnya seperti itu.” “Engkau juga seharusnya tidak, Kakyu,” kata Joannie, “Kita samasama…” “Tidak, Joannie,” Kakyu cepat-cepat memotong perkataan kakaknya, “Kita berbeda. Aku dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini sedangkan engkau tidak.” “Aku tahu. Tapi aku yakin aku bisa membantu.” “Engkau akan sangat membantu kalau engkau menuruti Papa.” Joannie terdiam. “Apa yang dapat kulakukan, Kakyu? Aku tidak dapat membiarkan Papa pergi ke sini sendirian. Kini aku juga tidak dapat merepotkan kalian lagipula aku tidak ingin pulang.” “Aku tahu.” “Tidak. Engkau tidak tahu, Kakyu,” bantah Joannie. Kakyu mengacuhkan kakaknya. “Aku menemukannya, Kakyu,” kata Joannie tiba-tiba. “Siapa?” tanya Kakyu tak mengerti. “Tentu saja orang yang sekuat Papa,” kata Joannie senang. Kakyu tak percaya. Joannie tersenyum senang. “Aku telah menemukannya dan aku tidak akan mau meninggalkan tempat ini sebelum aku berkenalan dengannya.” “Bagaimana engkau bisa berbicara dengannya kalau Papa mengurungmu di tendamu?” “Karena itu engkau harus membantuku, Kakyu,” kata Joannie, “Aku tidak dapat meninggalkan tendaku kalau tidak diam-diam seperti ini.” “Apa yang dapat kulakukan, Joannie? Menjadi perantaramu?” kata Kakyu, “Aku tidak bisa, Joannie. Engkau tahu aku juga akan sangat sibuk.” Joannie tertunduk sedih. Tapi semangatnya segera bangkit kembali ketika ia menemukan ide. “Engkau dapat membuat Papa tidak mengurungku.” “Aku tidak yakin akan bisa melakukannya, Joannie.” “Engkau bisa menjadi pengawalku. Aku yakin Papa akan setuju.” “Aku tidak yakin tetapi akan kucoba,” kata Kakyu. Joannie tersenyum senang.

82

“Sebaiknya engkau tidur, Joannie,” kata Kakyu. “Engkau juga, Kakyu. Engkau lebih membutuhkan banyak istirahat dibandingkan aku.” Joannie meninggalkan tenda Kakyu dengan pesan, “Tidurlah yang nyenyak.” Pesan itu tidak berhasil membawa Kakyu ke alam mimpi yang nyenyak seperti yang diharapkan Joannie. Suara-suara dari Hutan Naullie membuat Kakyu selalu terjaga. Suasana di luar yang selalu membuat Kakyu merasa cemas, membuat pemuda itu memikirkan keinginan kakak tertuanya. Entah siapa yang menjadi pria pilihan kakaknya itu, tapi Kakyu tidak tahu apakah besok ayahnya akan menyetujui permintaannya. Meminta membiarkan Joannie keluar dari tendanya dengan jaminan ia yang akan menjaganya, tidak akan semudah yang dibayangkan. Jenderal Reyn pasti akan berpikir berulang kali sebelum memutuskan putranya yang paling dibanggakan dan diandalkannya, mengawal kakaknya. Kakyu tahu saat ini ia lebih dibutuhkan dalam perlawanan terhadap Kirshcaverish daripada menjadi pengawal Joannie. Tapi kalau Kakyu tidak mau mencobanya berarti ia telah membuat kakaknya sedih bahkan kecewa terhadapnya. Seluruh keluarga Quentynna tahu sejak dulu Joannie selalu mencari pria yang kuat seperti Jenderal Reyn tetapi ia tidak pernah menemukannya. Karena itu pula ia tidak mau mendekati pria manapun yang tidak sesuai dengan pilihan hatinya. Kini ia menemukannya. Sungguh kejam bila Kakyu tidak mau membantu kakaknya mewujudkan khayalannya sejak kecil. Tapi… Kalaupun Jenderal Reyn mengabulkan permintaan itu, Kakyu tidak dapat membiarkan dirinya tidak melibatkan diri dalam penumpasan Kirshcaverish ini. Ia datang ke tempat ini bukan untuk bersenang-senang tetapi untuk membantu ayahnya, untuk membantu mengatasi kelemahan pasukan Kerajaan Aqnetta yang menjadi kekuatan utama Kirshcaverish. Itulah kesulitan Kakyu. Setelah lama berpikir, Kakyu mendapatkan cara mengatasi semua ini. Kakyu akan tetap membantu Joannie. Setelah keduanya akrab, Kakyu akan mulai melibatkan diri dalam penumpasan ini. Kakyu berharap setelah dekat dengan pria idamannya, Joannie tidak akan merepotkannya lagi. Pria itu pasti mau menggantikan dirinya menjadi pengawal Kakyu. Tiba-tiba Kakyu teringat sesuatu yang sangat penting sebelum ia menjalankan rencananya itu. Siapa pria yang menjadi pilihan Joannie itu? 83

Kakyu tidak yakin kakaknya belum tidur saat ini. Saat ini sudah hampir pukul setengah dua. Tetapi Kakyu tidak dapat menunda hal ini. Pertanyaan sederhana ini sangat penting sebelum rencana itu dijalankan. Bila pria itu seorang prajurit biasa, tentu tidak akan menjadi masalah. Tetapi bagaimana kalau ternyata pria itu seorang Kapten bahkan mungkin saja pria itu Jenderal. Pentingnya pertanyaan sederhana ini, membuat Kakyu meninggalkan tendanya. Untung saja Joannie masih belum tidur saat Kakyu menyelinap ke dalam tendanya. Joannie terkejut ketika melihat adiknya itu masuk diam-diam. Kakyu cepat-cepat menutup mulut Joannie sebelum kakaknya mengeluarkan suara apapun. “Ini aku, Joannie,” bisiknya. “Oh, engkau Kakyu,” kata Joannie lega, “Kukira siapa.” Kakyu ingin membuat kakaknya pulih dari kagetnya sebelum ia memberikan pertanyaan yang pasti akan membuat kakaknya itu memerah. “Engkau mengira aku salah seorang anggota Kirshcaverish?” Joannie membenarkan pertanyaan itu. “Jangan khawatir,” Kakyu menenangkan, “Mereka tidak akan kemari dalam beberapa hari ini. Saat ini mereka pasti sibuk menyusun rencana baru untuk menghadapi kita.” Joannie terdiam. Tiba-tiba ia berkata, “Mengapa engkau ke sini, Kakyu?” Kakyu merasa ini saatnya. “Siapa pria itu?” tanya Kakyu langsung ke pokok permasalahan. “Pria mana?” tanya Joannie tidak mengerti. Tanpa mengulur waktu lagi, Kakyu segera berkata, “Yang kaucintai.” Seperti dugaan Kakyu, wajah Joannie memerah. Tenda yang remang-remang itu tidak membuat Kakyu tidak dapat melihat perubahan wajah kakaknya. Dulu Kenichi juga telah mengajarinya untuk melihat ke dalam kegelapan. “Siapa?” desak Kakyu. “Ia mungkin tidak pantas denganku, Kakyu,” Joannie berkata perlahan dan ragu-ragu. Kakyu tidak tertarik untuk mengetahui hal itu. Ia hanya ingin tahu siapa pria itu, tidak lebih. “Dia…,” Joannie berkata tersipu-sipu, “Dia Pangeran Reinald.” Kakyu terperanjat. “Pangeran Reinald? Bukankah ia seharusnya berada di Inggris?” “Ia ada di sini, Kakyu,” kata Joannie meyakinkan, “Sungguh.” Kakyu diam saja.

84

7

Sekarang semua sudah jelas. Rencana Kakyu itu tidak dapat dilaksanakan. Kakyu harus membuat rencana baru. Rencana yang bertujuan sama. Membantu Joannie tanpa membuat dirinya meninggalkan tujuannya datang ke Pegunungan Alpina Dinaria ini. Semua telah jelas bagi Kakyu malam itu. Joannie menceritakan semuanya dari awal keberangkatannya hingga ia berada di tempat ini. Pada malam Joannie mengajukan keinginannya untuk ke rumah Bibi Lishie di Hymman kepada keluarganya itu, Joannie memang meminta langsung diantar malam itu juga. Seluruh keluarga Quentynna malam itu tidak ada yang melarang. Semua tahu Joannie tidak dapat dihentikan apalagi bila keinginannya itu menyangkut Jenderal Reyn. Tidak seorangpun yang menduga malam itu Joannie tidak pergi ke Hymman seperti yang seharusnya. Joannie menyuruh kusir kereta keluarga mereka menghentikan kereta di sebuah penginapan. Kepadanya, Joannie beralasan ia ingin bermalam di sana. Kemudian ia menyuruh kusir kuda itu pulang. Tanpa mencurigai apapun, kusir kuda itu kembali ke Quentynna House malam itu juga. Tidak ada yang menyangka bila keesokan paginya, Joannie menyelinap ke dalam kereta yang khusus mengangkut barang-barang keperluan mereka selama berada di Naullie. Baru ketika mereka membongkar muatan di tepi Hutan Naullie itulah, Joannie ketahuan. Jenderal Reyn tentu saja sangat marah dan terkejut saat itu. Jenderal Reyn yang biasanya selalu sabar terhadap putra-putrinya terutama Joannie itu hingga memarahi putri kesayangannya itu. “Apa yang kaulakukan di sini?” kata Jenderal Reyn waktu itu, “Apakah engkau sudah gila?” Kata-kata kasar yang tidak pernah diucapkan Jenderal Reyn sebelumnya itu hampir saja membuat Joannie menangis. Tapi Joannie tahu ayahnya benar, ia seharusnya tidak boleh berada di sini. Tetapi Joannie tetap memaksa dirinya berada di tempat ini tak lain karena ayahnya. Cinta Joannie kepada Jenderal Reyn sangat besar hingga gadis itu tidak tega membiarkan ayahnya berperang sendirian. Walaupun banyak Jenderal 85

yang mendampingi ayahnya, Joannie tetap ingin mendampingi ayahnya. Joannie yang merasa bersalah tidak dapat berkata apa-apa karenanya. Jenderal Reyn sangat marah hingga tidak tahu harus berbuat apa lagi. Joannie terus menunduk bersalah di hadapan ayahnya tanpa mengatakan apa-apa seolah-olah menantikan hukuman. Untung saja Pangeran Reinald meredakan kemarahan itu dan mengijinkan Joannie tetap di sana. Bila tidak mungkin Jenderal Reyn akan terus marah hingga saat ini. Melihat Kakyu datang dengan pasukan bala bantuan saja, Jenderal Reyn yang tidak ingin anaknya maju ke medan pertempuran yang berbahaya ini, sangat marah. Apalagi kalau kemarahan yang dulu belum dipadamkan. Mungkin karena bantuan itulah, Joannie menganggap pria itu mirip ayahnya. Joannie menyukai pria yang baik hati itu. Tetapi apa yang dapat dilakukan Joannie? Sejak saat itu ia memang boleh tetap berada di Naullie tetapi ia tidak boleh meninggalkan tendanya apalagi menemui ayahnya yang jelas semakin sibuk tiap harinya. Pertempuran yang kadang terjadi di dekat perkemahan mereka, memang membuat Joannie takut. Tetapi Joannie telah berjanji kepada dirinya sendiri untuk membantu ayahnya dan ia ingin menunjukkan kepada Pangeran kalau ia bukan wanita lemah. Tetapi betapapun Joannie ingin membantu, Jenderal Reyn dan semua orang di sana tetap menganggapnya lemah. Hanya Pangeran Reinald saja yang menghargai keinginannya untuk membantu itu. Walaupun Pangeran Reinald tidak pernah mengatakannya secara langsung, Joannie dapat merasakannya. Dan itu tentu saja membuat Joannie merasa senang. Joannie sering melihat kepiawaian Pangeran ketika memimpin pasukan. Dan Joannie semakin menganggap Pangeran gagah seperti ayahnya. Dari Joannie juga, Kakyu tahu Pangeran Reinald baru tiba ketika pasukan yang dipimpin Jenderal Decker, Jenderal Reyn dan beberapa Jenderal lainnya akan berangkat. Joannie tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan Pangeran dengan para Jenderal itu tetapi Joannie tahu Pangeran Reinald segera bergabung dengan pasukan itu. Dan sejak saat itu pula Pangeran Reinald berada di Naullie untuk membantu menumpas Kirshcaverish. Kenyataan yang dihadapi ini membuat Kakyu benar-benar pusing. Belum lagi tuntas masalah Kirshcaverish, sekarang Kakyu dihadapkan pada masalah kakaknya lagi. Kakyu tidak tahu harus berbuat apa.

86

Hingga hari menjelang pagi, Kakyu masih tidak tahu harus berbuat apa untuk ‘membebaskan’ Joannie dari tendanya. Kalau kakak-kakak Kakyu yang lain, pasti tahu bagaimana melakukannya. Mereka pandai membujuk Jenderal Reyn, tetapi Kakyu tidak. Kakyu lain dari mereka. Kakak-kakak Kakyu sangat dimanja ayahnya terutama Joannie. Sedangkan Kakyu sebagai satu-satunya harapan dalam keluarga Quentynna, sejak kecil telah diajarkan hidup mandiri. Berusaha dengan kekuatannya sendiri. Sekarang tidak ada Vonnie, Marie maupun Lishie yang dapat membantu Kakyu ‘membebaskan’ Joannie dari tendanya yang dijaga ketat. Semalaman tidak tidur, tidak membuat Kakyu lelah. Udara pagi yang masih segar membuat Kakyu melupakan sedikit masalah pelik yang dihadapinya. Kakyu memanfaatkan udara yang membuat hati sejuk itu untuk mengosongkan pikirannya. Kenichi pernah berkata, “Kosongkan pikiranmu dan bersatulah dengan alam. Maka engkau akan mengerti apa yang harus kaulakukan.” Dan itulah yang akan dilakukan Kakyu. Pagi yang masih remang-remang ditambah udara sejuk yang menyejukkan hati, mendukung Kakyu. Sekarang yang diperlukan Kakyu hanyalah mencari tempat yang sesuai untuk melakukan kegiatannya itu. Kalau dulu Kakyu pasti akan memilih Hutan Naullie yang sepi dan dekat alam, sebagai tempat berlatihnya. Tetapi sekarang hutan itu sudah tidak aman lagi. Maka Kakyu harus mencari tempat baru. Kakyu melihat menara pengintai yang menjulang di sudut-sudut perkemahan mereka. Tempat itu cukup sepi dan cukup dekat dengan alam terutama angin. Kakyu menuju salah satu menara yang letaknya paling dekat dengan Hutan Naullie. “Beristirahatlah,” kata Kakyu pada prajurit yang menjaga menara itu. Perintah pendek itu segera dilaksanakan oleh prajurit itu. Setelah kepergian satu-satunya prajurit yang menjaga menara pengintai itu, Kakyu mengamati sekitarnya sebelum ia duduk bersila di lantai menara tinggi itu dan ia memejamkan matanya. Kesunyian pagi ditambah angin pagi yang dingin, membuat Kakyu benarbenar merasakan kedamaian di dalam hatinya. Segala macam pikiran yang semula berbaur jadi satu dalam benaknya, seolah-olah hilang semuanya. Namun sayangnya ketenangan yang didapat Kakyu itu tidak dapat bertahan lama. 87

Kakyu memang dapat mengatasi suara pagi yang mulai muncul di perkemahan, tetapi ia tidak dapat mengatasi panggilan seseorang yang sangat jelas di telinganya itu. Panggilan itu mau tidak mau membuat Kakyu terpaksa menghentikan tapanya. Kakyu hanya berdiri kembali tanpa menyahut orang yang memanggilnya itu walau ia tahu pemuda itu sejak tadi berdiri di dekatnya. “Kukira engkau sudah mati,” kata Adna, “Apa yang kaulakukan di sini?” “Tidak ada.” “Itukah caramu menjaga ketenanganmu?” tanya Adna ingin tahu. Kakyu mengacuhkan pertanyaan itu dengan mengamati Hutan Naullie yang mulai tampak terang oleh sinar matahari yang muncul di langit seberangnya. Tiba-tiba Kakyu teringat cerita Joannie yang lain. Ketika pergi ke Inggris, Pangeran Reinald tidak sendirian. Raja memerintahkan seorang pengawal yang lebih tua beberapa tahun dari Pangeran, untuk menemani Pangeran di negeri perantauan. Ketika berangkat, mereka pergi bersama. Tetapi ketika kembali, mereka terpisah. Karena apa, Joannie tidak tahu jelas. Ia hanya tahu keduanya terpisah dan Pangeran Reinald tiba lebih dulu sebelum pengawalnya itu. Joannie juga menjelaskan pengawal Pangeran Reinald itu bernama Adna. Kakyu sangat yakin pemuda yang Paduka jadikan syaratnya itu adalah pengawal Pangeran Reinald. Dan tentu saja tugasnya kali ini selain mengawal Pangeran, ia juga harus membantu Pangeran. Pikiran itu membuat Kakyu mendapatkan sebuah akal. Mungkin Kakyu memang tidak dapat memperkenalkan Pangeran Reinald kepada Joannie secara langsung. Tetapi ia bisa membantu Joannie untuk semakin mengenal pemuda pujaan hatinya itu. Tentu saja Kakyu tidak bertanya langsung pada Pangeran. Kakyu akan menanyakannya pada Adna. Kalau dalam keadaan biasa Kakyu mungkin tidak mau berbicara banyak, tetapi kali ini keadaannya lain. Demi kakaknya, Joannie, Kakyu harus mau membuka mulutnya dan melakukan apa yang selama ini paling diengganinya. “Jadi, engkau pengawal Pangeran,” Kakyu membuka percakapan. Adna palsu itu pura-pura terkejut. “Dari mana engkau tahu?” Kakyu tidak mau mengatakan yang sebenarnya, maka ia berkata, “Di sini banyak telinga dan banyak mulut.” “Ya,” Adna menyetujui, “Di mana-mana selalu ada yang namanya gosip.” Walaupun tahu kebenarannya, Kakyu tetap berkata, “Engkau tidak

88

membantahnya?” “Untuk apa membantahnya kalau itu memang benar?” Adna balik bertanya. Karena memang tidak tahu yang manakah Pangeran Reinald itu, Kakyu bertanya, “Seperti apakah Pangeran?” Adna heran mendengarnya. “Engkau tidak mengenalnya?” Kakyu mulai jengkel pada Adna yang seperti ingin mengajaknya berbicara panjang lebar tanpa langsung menuju pokok permasalahan. “Kalau aku tahu, aku tidak akan bertanya.” “Bagaimana mungkin engkau menjadi Kepala Keamanan Istana tanpa mengetahui orang yang seharusnya kaulindungi?” ejek Adna. Kakyu lelah menghadapi Adna. Ia tahu ia tidak akan pernah bisa membuat Adna langsung ke pokok permasalahan yang dihadapinya ini. Mungkin Kakyu harus mencobanya lagi suatu saat tetapi tidak saat ini. Hampir seluruh penghuni perkemahan telah bangun dan tiba saatnya bagi Kakyu untuk mulai sibuk. Tanpa mengatakan apa-apa, Kakyu meninggalkan pemuda itu sendirian di menara. Adna cemas melihatnya. Ia merasa baru saja Kakyu menunjukkan keramahannya padanya dan kini ia mulai bersikap tenang yang dingin. Hal itu dapat menghambat penyelidikannya terhadap diri pemuda itu. “Engkau marah?” tanyanya khawatir. Kakyu membantahnya dengan tenang. “Mengapa engkau pergi seperti seorang gadis yang sedang marah?” “Memulai kesibukanku,” jawab Kakyu singkat. Adna tidak tahu bagaimana mengembalikan pemuda itu kepada keramahannya yang sesaat lalu. “Baiklah, aku akan memberitahumu,” kata Adna pada akhirnya. Sesaat Adna ragu gambaran Pangeran yang manakah yang harus dikatakannya kepada Kakyu. Kalau ia mengatakan tentang dirinya yang memang Pangeran yang asli, Kakyu pasti akan curiga kalau tidak mendapatkan ciri-ciri itu pada Pangeran palsu. Tetapi kalau ia memberikan gambaran Adna, kelak bila tiba saatnya kekeliruan dibenarkan, akan muncul masalah. Entah mengapa Adna menganggap Kakyu patut dicurigai. Mungkin karena usianya yang terlalu muda untuk menjadi Perwira yang mengepalai seluruh pasukan pengawal Istana. Mungkin juga karena tubuh kecil pemuda itu yang tidak mendukung ketangguhannya yang sering dibicarakan orang. Adna sendiri tidak tahu sebabnya. Tapi ia tahu pemuda itu tidak dapat 89

dianggap remeh. Baik oleh pemuda lain seusianya maupun ia yang lebih tua darinya. Dalam satu hal Adna yang asli benar. Pemuda itu patut dikagumi. Kakyu tidak seperti pemuda lain seusianya. Kakyu bukan pemuda yang ceroboh dan bertindak tanpa dipikirkan dulu. Kakyu pemuda yang penuh perhitungan dan penuh persiapan. Hanya itu yang diakui Adna, tidak yang lain. Adna palsu belum mau mengakui ketangguhan Kakyu. Kakyu tidak mau menunggu terlalu lama di menara itu. Tidak perlu dikhawatirkannya apa yang akan dikatakan pemuda itu nanti. Ia memang tidak merasa marah dan ia tidak bohong ketika ia mengatakan ia ingin memulai kesibukannya. Kakyu menuruni tangga kayu dengan tenang. Adna yang masih sibuk menimbang, terkejut melihat dirinya telah ditinggal sendirian di menara itu oleh Kakyu. Cepat-cepat ia menyusul Kakyu. Bila ia ingin mengetahui segala gerak-gerik pemuda itu yang dimatanya terasa mencurigakan itu, ia tidak boleh kehilangan pemuda itu. Pemuda itu harus selalu dapat dilihatnya agar ia dapat terus mengawasi gerak-geriknya. Kakyu baru meninggalkan tangga kayu itu ketika Adna hampir mencapai ujungnya. “Tunggu aku,” Adna mengejar Kakyu yang berjalan tenang namun cepat. Sekali lagi Adna mengulangi pertanyaannya, “Engkau marah?” “Tidak,” jawab Kakyu singkat. “Lalu mengapa engkau tidak mau mendengar jawabanku?” “Aku mempunyai tugas.” “Jadi, engkau tidak mau tahu jawabannya?” tanya Adna hati-hati. Adna tahu ia akan sangat lega bila Kakyu tidak jadi menanyakan jawaban pertanyaannya itu. Dengan demikian ia tidak perlu repot-repot memikirkan jawabannya. Namun sayang sekali harapan Adna itu tidak terkabul. Kakyu berkata, “Katakan saja sambil berjalan.” Untuk menghindari kecurigaan Kakyu, Adna tidak mau berpikir terlalu lama lagi. Ia segera berkata, “Pangeran orang yang gagah.” Kakyu telah mendengarnya dari Joannie. “Ia banyak dikagumi wanita karena ketampanannya.” Kakyu diam saja. Ia tahu banyak wanita yang pasti akan menyukai Pangeran yang gagah dan tampan seperti yang diungkapkan Joannie kepadanya semalam dengan seluruh perasaan cintanya. “Tapi selama ini ia tidak memperhatikan mereka. Pangeran tahu ia 90

berada di Inggris bukan untuk bersenang-senang tetapi untuk belajar,” Adna terus bercerita tanpa menyadari Kakyu yang sama sekali tidak nampak memperhatikan ceritanya itu. Kakyu mendengarkan cerita Adna sembari memperhatikan sekelilingnya dan sesekali mengangguk pada prajurit yang memberi salam kepadanya. “Pangeran orang yang bertanggung jawab. Ia orang setia dan menyenangkan. Aku yakin engkaupun akan menyukainya kalau engkau telah mengenalnya. Pangeran orang yang penuh pengertian dan sabar. Bagiku sangat sulit membuatnya marah. Tetapi kuperingatkan kepadamu. Jangan sekali-kali membuatnya marah. Kalau ia sudah marah, ia akan sangat menakutkan.” “Dan kejam,” tambah Adna pula. “Tetapi Pangeran juga unik. Ia kadang seperti anak kecil yang senang menggoda,” kata Adna, “Entah berapa kali aku digodanya sampai aku dibuat jengkel olehnya.” Kakyu tidak menanggapi apapun atas jawaban yang panjang lebar itu. Pangeran Reinald akan sesuai untuk Joannie yang kadang tampak manja itu. Kakyu merasa Joannie bukan memerlukan seorang pria yang kuat seperti yang diinginkannya tetapi lebih dari itu. Joannie membutuhkan orang yang penuh pengertian untuk mengatasi sikapnya yang kadang sangat manja, tetapi tidak jarang pula ia tampak sangat pemberani. “Dari tadi aku merasa telah bercerita banyak seperti seekor burung beo tetapi engkau tetap diam,” kata Adna tiba-tiba, “Menanggapi pun tidak.” Kakyu hanya menatap wajah Adna tanpa mengatakan apa-apa karena ia memang tidak tahu harus mengatakan apa. Tiba-tiba Adna merasa curiga, “Apakah engkau sejak tadi memperhatikanku?” Sebagai jawabannya, Kakyu mengangguk. “Mengapa engkau tidak berkomentar apapun?” “Karena aku tidak tertarik,” jawab Kakyu singkat. Mulanya Adna berharap pertanyaannya akan membuka suatu percakapan baru di antara mereka tetapi rupanya memang sulit mengajak Kakyu berbicara. Pemuda satu ini benar-benar tampak aneh di mata Adna yang belum pernah melihat pemuda yang lebih memilih diam dan menyendiri daripada harus berbicara banyak. Pemuda ini hanya berbicara banyak kalau memang sangat perlu dan penting. Kalau memang hanya masalah yang sangat penting yang dapat membuat Kakyu berbicara panjang lebar, maka Adna harus memikirkan masalah penting apa yang akan digunakannya untuk membuat pemuda itu

91

bercerita banyak. Adna mendapat ide untuk menggunakan Kirshcaverish sebagai pembuka percakapan baru. “Menurutmu kapan Kirshcaverish akan memulai serangannya kepada kita?” Sayangnya ide yang semula dianggap bagus oleh Adna itu hanya mendapat jawaban singkat dari Kakyu. Pemuda itu dengan ringannya berkata, “Entahlah.” Adna kesal sendiri menyadari dirinya seperti orang bodoh yang sedang berbicara dengan angin. Tetapi ia tidak mau menyerah begitu saja apalagi kepada Kakyu yang lebih muda darinya. “Apa rencanamu untuk menghadapi mereka?” Untuk kesekian kalinya di pagi hari ini, Kakyu mengecewakan Adna. Adna tahu Kakyu seharusnya menjawab banyak walau ia tidak punya rencana. Kalau Kakyu memang seorang Perwira yang sangat diunggulkan Raja Alfonso, tentu ia tidak akan menjawab ‘Entahlah’ semudah dan seringan itu. Setidak-tidaknya Kakyu bisa menjelaskan apa yang mungkin dilakukannya kalau saat ini ia memang belum mempunyai rencana yang pasti. Adna semakin curiga dibuatnya. Dan ia semakin ingin tahu bagaimana cara pemuda ini mendapatkan kedudukan yang paling penting di Istana Vezuza di usianya yang masih muda ini. Apakah ia membohongi ayahnya atau mungkin karena campur tangan orang lain? Mungkin juga karena keinginan Jenderal Reyn. Hal itu tidak mustahil. Jenderal Reyn juga salah satu dari sekian Jenderal tangguh Kerajaan Aqnetta. Kenalan Jenderal Reyn yang telah lama terjun ke dalam militer ini tentu tidak sedikit lagi. Bisa saja pemuda ini menjadi seorang Perwira Tinggi yang termuda karena usaha ayahnya dan para Jenderal teman Jenderal Reyn. Entah bagaimana mereka membuat Raja Alfonso mengangkat Kakyu menjadi Kepala Keamanan Istana. Tanpa mengatakan apapun, Kakyu mengawasi setiap prajurit yang telah memulai tugasnya. Beberapa prajurit yang kemarin malam telah ditugasi Kakyu untuk memeriksa kekuatan benteng mereka, mulai mengerjakan tugas itu. Dengan teliti mereka memeriksa setiap ikatan antara dua batang pohon dan memastikan ikatan itu cukup kuat untuk menyangga batang yang besar. Kemarin malam, mereka memang telah mengerjakannya dengan teliti tetapi saat itu hari sudah larut malam. Satu-satunya cahaya yang menerangi pekerjaan mereka hanyalah api obor dan sinar bulan di langit. Demi keselamatan penghuni benteng ini, Kakyu tidak mau mengambil 92

resiko apapun. Tak sengaja pandangan mata Kakyu tertuju pada tenda yang menjadi Ruang Perundingan para Jenderal. Kakyu merasa tertarik untuk melihat isi tenda itu. Adna menyadari sikap Kakyu itu. Dengan perasaan ingin tahu dan curiga, Adna mengikuti Kakyu memasuki Tenda Perundingan itu. Walau tahu Adna tetap mengikutinya, Kakyu tidak mengatakan apa-apa. Adna tidak perlu mengkhawatirkan perbuatan Kakyu maupun curiga pada pemuda itu, Kakyu memasuki tenda Perundingan itu hanya untuk melihat apakah Jenderal Erin telah mengetahui letak Kirshcaverish. Selain itu Kakyu ingin memeriksa peta sekitar Farreway dan Hutan Naullie. Kakyu tahu suatu saat nanti ia akan memerlukan peta itu dan sejak saat ini ia harus mempelajarinya. Sebelum meninggalkan tenda, Kakyu mengamati peta yang penuh coretan itu dengan seksama. Adna curiga melihat Kakyu begitu tekun mempelajari peta itu. Seperti ketika ia masuk, ketika keluarpun, Kakyu tidak mengatakan apapun pada Adna. Kakyu seolah-olah menganggap Adna sebagai angin lalu. Kakyu tidak menyadari tindakannya itu membuat Adna merasa jengkel. Kalaupun Kakyu sadar, pemuda itu tidak akan berbuat apapun untuk menghilangkan kejengkelan itu. Kakyu pasti akan merasa ia tidak melakukan apapun yang membuat pemuda itu jengkel. Begitu meninggalkan tenda Perundingan, Kakyu melanjutkan kembali perjalanannya mengelilingi benteng sambil mengawasi setiap prajurit. Belum jauh Kakyu berjalan, seseorang memanggilnya. Jenderal Decker yang baru keluar dari tendanya segera menghampiri Kakyu. “Selamat pagi, Jenderal,” sapa Kakyu. “Selamat pagi, Kakyu,” balas Jenderal Decker, “Apa yang kaulakukan sepagi ini?” “Berkeliling,” jawab Kakyu singkat. “Engkau melihat mereka?” tanya Jenderal Decker. “Tidak,” sekali lagi Kakyu menjawab singkat. Adna yang mendengar percakapan itu merasa aneh. Ia ingin tahu mengapa Jenderal Decker tampak tidak terganggu sama sekali oleh jawabanjawaban singkat Kakyu. Jenderal Decker yang merupakan Jenderal Tertinggi Kerajaan Aqnetta, tentu tahu sebagai seorang Perwira, Kakyu seharusnya tidak memberikan jawaban singkat. Kakyu harus menjelaskan dengan terperinci setiap laporannya apalagi di medan pertempuran seperti ini. “Menurutmu, apakah ini saatnya bagi kita untuk menyerang mereka?” 93

“Belum saatnya,” jawab Kakyu. Adna sudah tidak sabar lagi. “Mengapa engkau berkata seperti itu? Bukankah ini saat yang tepat bagi kita? Kita masih dalam keadaan segar dan Kirshcaverish pasti tidak menduga akan menerima serangan mendadak seperti ini.” “Kita terutama pasukan yang baru datang, belum mengenal medan pertempuran ini,” kata Kakyu tenang, “Sulit bertempur di hutan tanpa persiapan terlebih dulu.” “Kalau kita menyerang mereka saat ini, mereka tentu tidak akan menduganya dan kita akan memenangkan pertempuran ini,” Adna bersikeras dengan pendapatnya. “Sebaliknya kita yang akan hancur terlebih dulu sebelum mereka hancur,” Kakyu berkata tetap dengan ketenangannya, “Walaupun mereka tidak siap, mereka lebih mengenal hutan ini daripada kita. Itu satu kelemahan kita. Kelemahan kita yang lain adalah kita tidak mengetahui secara pasti di mana markas mereka sedangkan kita tidak dapat menyerang asal tebak begitu saja.” Adna memikirkan kembali kata-kata itu. “Kurasa engkau benar,” Adna mengakui, “Kita harus mengetahui terlebih dulu posisi mereka sebelum kita menyerangnya. Akan sangat sulit bagi kita untuk menyerang asal tebak. Bila salah perhitungan, kita bisa hancur sebelum menghancurkan mereka.” “Kakyu tidak pernah salah,” Jenderal Decker memuji, “Apa yang dikatakannya benar. Kita harus mengetahui posisi mereka. Sayangnya hingga saat ini kita belum mengetahui posisi mereka secara pasti.” “Beberapa waktu yang lalu, aku telah mengirimkan sejumlah pasukan penyusup untuk mencari markas mereka di Hutan Naullie tetapi mereka semua diserang terlebih dulu oleh Kirshcaverish dan hanya dua orang yang selamat. Luka mereka sangat parah akibatnya hingga sekarang luka mereka belum sembuh.” “Kami juga kesulitan menentukan secara pasti posisi mereka. Mereka tidak pernah menyerang dari tempat yang sama. Mereka selalu berpindahpindah bahkan mereka selalu terpencar-pencar bila menyerang. Itulah yang membuat pasukan kita kalah.” Penjelasan panjang dari Jenderal Decker itu membawa ide baru kepada Kakyu. Kakyu tahu apa yang harus dilakukan dengan menguntungkan dua pihak. Kakaknya dan pasukan yang telah siap maupun belum siap perang ini. “Kita bisa mengadakan pembenahan sambil menentukan posisi Kirshcaverish dengan lebih tepat,” kata Kakyu. “Pembenahan?” tanya Jenderal Decker tidak mengerti, “Pembenahan apa yang kaumaksud? Benteng ini atau pasukan kita?” 94

“Kedua-duanya,” jawab Kakyu, “Pasukan yang luka, kita rawat dan benteng ini kita perkuat.” Jenderal Decker tersenyum. “Engkau benar. Mengapa hal itu tidak terpikirkan sebelumnya olehku?” “Untuk itu kita harus membiarkan Joannie meninggalkan tendanya.” “Tidak bisa!”

95

8

Seruan tegas itu membuat mereka berpaling pada Jenderal Reyn yang entah sejak kapan telah berdiri di dekat mereka. “Tapi…” Belum sempat Kakyu menyelesaikan kata-katanya, Jenderal Reyn telah berkata tegas, “Sekali aku mengatakan ‘Tidak!’ selamanya tetap ‘Tidak!’.” Kakyu tidak mau berhenti berusaha demi kakaknya, Joannie. “Kita memerlukan seorang wanita untuk merawat luka prajurit yang terluka sementara kita memperkuat benteng kita.” “Kakyu benar,” baru kali ini Adna mendukung Kakyu, “Kita memang membutuhkan seorang wanita. Kita tidak mungkin bisa merawat mereka setekun para wanita. Joannie bisa membantu tugas itu.” “Tidak bisa!” Jenderal Reyn tetap berpegang pada keputusan awalnya, “Keadaan di luar terlalu bahaya bagi Joannie.” “Jangan khawatir, Reyn,” Jenderal Decker yang telah berjanji tidak mencampuri urusan Jenderal Reyn dengan putrinya selama berada di sini, turut membujuk, “Di dalam benteng ini kita mempunyai lebih dari dua ribu seratus pasukan. Ditambah benteng yang kuat, Joannie akan tetap aman.” “Saya mengerti kekhawatiran Anda, Jenderal,” Adna memperkuat katakata Jenderal Decker, “Kita tidak mungkin tidak dapat melindungi seorang wanita dengan pasukan sebanyak ini.” Kakyu merasa tidak perlu berusaha membujuk ayahnya lagi. Adna dan Jenderal Decker telah membuat ayahnya bingung menentukan keputusannya. “Aku telah berjanji padamu untuk tidak mencampuri segala keputusan yang kaubuat untuk Joannie selama berada di sini,” kata Jenderal Decker, “Tetapi kali ini pikirkan permintaan ini. Aku mengerti engkau mengkhawatirkan keselamatan putrimu, tetapi tenaga putrimu diperlukan untuk merawat prajurit yang terluka.” Kakyu mendapatkan gagasan lain. “Kalau Papa mau, kita bisa menyuruh beberapa prajurit membantu Joannie sekaligus menjaganya.” Jenderal Reyn menatap lekat-lekat wajah putranya. Ide menyuruh Joannie merawat pasukan yang terluka memang tepat. Joannie bisa merawat mereka dengan bantuan beberapa prajurit lain yang juga akan menjaganya. Sementara itu prajurit lainnya akan memperkuat benteng mereka. Bila mereka telah siap menyerbu Kirshcaverish atau mungkin juga sebaliknya, Kirshcaverish menyerbu benteng mereka, mereka telah siap dan 96

benteng mereka akan cukup kuat untuk menahan serangan musuh. Di samping itu, bila Jenderal Reyn tetap bersikeras dengan keputusannya itu, ia tidak pantas disebut Jenderal yang tangguh. Demi keselamatan putrinya, ia membiarkan para prajurit yang terluka tetap terluka. Tidak ada yang dapat dilakukan Jenderal Reyn selain menyetujui usul itu. Jenderal Reyn tahu itu. “Baiklah, aku setuju.” Jenderal Decker tersenyum puas. “Aku akan memilih beberapa prajurit yang akan membantu sekaligus menjaga Joannie.” Sepeninggal Jenderal Decker, Jenderal Reyn berkata, “Aku tidak tahu apakah gagasanmu ini benar atau tidak, tetapi aku yakin engkau melakukannya dengan penuh perhitungan.” “Tentu,” kata Kakyu sambil tersenyum. Kakyu tidak tahu akan seperti apakah kakaknya nanti bila mengetahui berita gembira ini. “Kurasa engkau pasti ingin memberitahu berita ini kepada kakakmu.” Kakyu tahu kakaknya akan lebih gembira kalau ayahnya yang mengatakannya sendiri. “Lebih baik Papa sendiri,” katanya. “Baiklah.” Setelah Jenderal Decker, Jenderal Reyn pun meninggalkan Kakyu dan Adna. Kakyu tidak tahu sampai kapankah Adna akan mengikutinya. Ia hanya tahu ia merasa terganggu karenanya. Selama ini tidak ada orang yang selalu mengikuti Kakyu dan menganggu ketenangannya. Kalaupun ada, Kakyu tidak merasa terganggu. Tetapi orang ini lain. Entah apa yang diinginkannya, Kakyu tidak tahu tetapi sejak tadi ia merasa tidak enak terus diikuti Adna. Kakyu tidak tahu apakah perasaannya benar atau salah, tetapi sejak tadi ia merasa Adna mencurigainya. Kakyu berharap itu hanya dugaannya saja. Mengenai Joannie, Kakyu berharap dugaannya benar. Dan memang itulah yang terjadi. Sejak diijinkan meninggalkan tendanya, Joannie sangat senang. Kakyu yang semula berniat menemui Joannie setelah mendengar berita itu, ternyata tidak perlu melakukannya karena Joannie sendiri yang telah menemuinya di tendanya. “Aku senang sekali, Kakyu,” kata Joannie begitu melihat Kakyu, “Papa mengijinkanku meninggalkan tenda.” “Engkau keluar bukan untuk bersenang-senang,” Kakyu mengingatkan, “Engkau harus merawat prajurit-prajurit yang terluka.” “Aku mengerti, Kakyu,” kata Joannie, “Aku tidak akan lupa.” Kakyu menyibukkan diri dengan barang-barang bawaannya. “Aku sangat berterima kasih padamu, Kakyu.”

97

Kakyu pura-pura tidak mengerti. “Untuk apa?” “Engkau telah membujuk Papa untuk merubah keputusannya.” “Bukan aku yang melakukannya,” kata Kakyu, “Jenderal Decker dan Adnalah yang membujuk Papa.” Joannie membantahnya. “Kata Papa, engkaulah yang mula-mula membujuknya.” “Kuharap engkau senang.” “Tentu saja. Aku tidak sabar membayangkan bisa bercakap-cakap dengan Pangeran,” kata Joannie senang. Kakyu melihat wajah Joannie semakin berseri-seri ketika membicarakan Pangeran. Dan ia diam saja menekuni pekerjaannya – membersihkan panah peraknya. Hari-hari selanjutnya, Kakyu tetap menjadi pendengar yang baik bagi cerita Joannie. Setiap ada waktu, Joannie selalu menemui Kakyu dan menceritakan segala sesuatu yang dilakukannya selama sehari itu. Tetapi tetap saja yang paling banyak laporannya adalah perjumpaannya dengan Pangeran. Joannie sering mengatakan Pangeran sering mengunjungi tenda Perawatan untuk menanyakan keadaan para prajurit. Dengan setianya, Kakyu mendengarkan kata-kata Joannie yang semuanya diucapkannya dengan penuh perasaan cintanya. Bahkan di antara kesibukannya, Kakyu masih mau mendengarkan cerita kakaknya, Joannie. Kakyu mengerti selain dirinya, tidak ada lagi yang menjadi teman Joannie. Kalau di Quentynna House, tidak perlu diragukan lagi siapa yang menjadi kawan Joannie. Dalam segala hal, Joannie selalu bersama Vonnie, Marie juga Lishie. Keempat gadis itu selalu bermain bersama, bercanda bersama, bahkan saling bercerita tentang segala hal. Hanya Kakyu sendiri yang tidak pernah terlibat dengan kegiatan kakakkakaknya itu. Kini tanpa Vonnie, Marie dan Lishie yang selalu menjadi teman bicara Joannie, Joannie merasa kesepian. Hanya Kakyu satu-satunya teman bicaranya. Jenderal Reyn, ayah mereka, tidak dapat diharapkan untuk menjadi teman bicara yang baik di saat seperti ini. Kalau mereka di rumah, Jenderal Reyn akan menjadi seorang ayah yang baik dan penuh pengertian. Tetapi tidak demikian halnya di medan pertempuran seperti ini. Dari setiap cerita Joannie, Kakyu mengetahui hubungan kakaknya dengan Pangeran semakin dekat. Joannie juga mengatakan Pangeran tidak hanya menanyakan keadaan prajurit yang terluka tetapi ia mulai bertanya tentang keluarga mereka. Joannie dengan perasaan senang selalu menjawab setiap pertanyaan Pangeran Reinald. 98

Melihat cara Joannie menceritakan Pangeran Reinald, Kakyu tahu kakaknya sangat mencintai Pangeran Reinald. Melihat kakaknya semakin hari tampak semakin bahagia, Kakyu merasa senang. Kakyu merasa senang dapat membantu kakaknya yang disayanginya itu. Keadaan di sekitar benteng dan hutan Naullie yang tenang selama beberapa hari terakhir ini memberikan angin baru bagi pasukan mereka. Setiap hari Kakyu menerangkan keadaan Hutan Naullie kepada pasukan dan menyusun rancangan benteng yang kuat. Dengan banyaknya orang di benteng, dalam waktu singkat benteng menjadi semakin kuat dibandingkan sebelumnya. Demikian pula pasukan Kerajaan Aqnetta. Pada benteng yang menghadap Hutan Naullie, menara pengintai diperbanyak dan dilengkapi dengan pasukan pemanah. Pasukan pemanah itu sendiri baru dibentuk beberapa hari terakhir ini. Dengan bahan-bahan dari hutan, Kakyu dibantu prajurit lain, membuat panah lengkap dengan anak panahnya. Para Jenderal juga ambil bagian. Selain membantu Kakyu mengatur pasukan, mereka juga terus menyusun rencana pembaharuan benteng di samping rencana penyerbuan Kirshcaverish. Kesibukan itu melupakan Kakyu pada perasaan tidak enak yang ditimbulkan pemuda yang selalu mengikutinya itu. Tetapi tidak demikian halnya dengan Adna. Pemuda itu tidak melupakan kecurigaannya kepada Kakyu walau ia sendiri juga sibuk. Matanya selalu mengawasi gerak-gerik Kakyu untuk mencari sesuatu yang salah pada Kakyu. Adna tidak dapat memastikan apa itu. Tetapi ia tidak dapat mengingkari, setiap melihat Kakyu, ia selalu merasa ada sesuatu yang salah pada pemuda itu yang menyebabkannya tampak tidak cocok menjadi Perwira. Adna yang asli telah mengatakan apa yang salah itu tetapi Adna palsu tidak puas. Berulang kali Adna asli mengatakan Kakyu tampak tidak cocok menjadi Perwira karena tubuhnya yang lebih kecil dibandingkan pemuda lain seusianya. Tapi tetap saja si Pangeran asli tidak puas. Apa yang dapat dilakukan pengawal itu selain membiarkan majikannya mencari sendiri jawaban kecurigaan-kecurigaannya itu? Ketenangan yang muncul dalam beberapa hari terakhir ini, buyar pada suatu pagi. Entah apa yang menjadi sebabnya, tiba-tiba orang-orang di Tenda Perawatan berteriak-teriak. Mulanya tidak ada yang mencurigai hal itu hingga muncul seorang pria sambil menodongkan sebilah pisau di leher Joannie. 99

Pasukan yang tidak siap menghadapi hal ini tidak dapat berbuat apa-apa apalagi saat itu Joannielah yang digunakan sebagai tameng pria itu. Sambil berjalan mundur, pria itu berseru, “Kalau kalian maju, aku akan membunuhnya.” Tidak ada yang berani berbuat apa-apa. Semua takut menghadapi Jenderal Reyn kalau tahu putrinya terluka. Kakyu yang sibuk membersihkan panah peraknya, mendengar keributan itu dan segera keluar tendanya. Pandangan mata Kakyu segera menangkap kekacauan yang terjadi di sekitar Tenda Perawatan. Pria tak dikenal itu terus menodongkan pisaunya kepada Joannie yang ketakutan sambil berjalan mundur. Hingga pria itu semakin mendekati pintu benteng yang menuju Hutan Naullie, tidak ada yang berani berbuat apa-apa. Semua mengkhawatirkan keselamatan Joannie. Melihat pria itu, Kakyu sadar kedatangan pria itu adalah karena kecerobohannya. Ketenangan yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, membuat pasukan Kerajaan Aqnetta menjadi lengah. Walau Kakyu tetap waspada di tengah kesibukannya, ia tidak mengira ia akan kecurian seperti ini. Kakyu sangat yakin pria itu adalah anggota Kirshcaverish yang bertugas memata-matai kegiatan mereka. Entah bagaimana mata-mata itu masuk dan siapa yang pertama kali membongkar identitas mata-mata itu, Kakyu tidak tahu. Ia hanya tahu saat ini juga ia harus bertindak. Tak sedetikpun yang dilewatkan Kakyu lagi. Sementara semua sibuk mengawasi pria yang terus menyekap Joannie itu, Kakyu perlahan-lahan mendekati pria itu dan mencari posisi yang tepat. “Lepaskan dia,” seru Pangeran Reinald khawatir. “Tidak!” balas pria itu, “Aku tidak akan melepaskannya sebelum aku meninggalkan benteng ini dengan selamat.” “Kami jamin engkau dapat meninggalkan benteng ini,” Pangeran Reinald berjanji, “Asal engkau melepaskan wanita itu.” Kakyu memanfaatkan kesempatan ini. Secepat mungkin Kakyu membidikkan panah yang terus dibawanya sejak ia meninggalkan tendanya. Sesuatu berkilau yang melesat cepat, menyahut tangan pria yang sedang menghadapi Pangeran Reinald itu dan membuat pria itu melepaskan pisaunya. Melihat pria itu sedang meringis kesakitan, Pangeran Reinald cepat-cepat menarik Joannie menjauh. 100

Dengan meremas persendian pundaknya yang terkena panah, pria itu berlari menerobos pintu benteng yang menghadap Hutan Naullie. Secepat mungkin Kakyu menyahut seekor kuda dan meninggalkan benteng untuk mengejar pria itu. Kakyu yakin pria itu tidak dapat pergi jauh dengan pundak yang terluka parah seperti itu. Tak jauh dari tepi Hutan Naullie, Kakyu melihat pria tadi terbaring di bawah sebatang pohon. Kakyu menduga pria itu pingsan karena pendarahannya yang cukup parah. Dengan ketenangannya, Kakyu turun dari kuda dan mendekati pria itu. Perlahan-lahan Kakyu mendekati pria yang terbaring itu. Kakyu sangat terkejut ketika pria itu tiba-tiba menyabetkan pisaunya. Untung Kakyu sempat menghindar sehingga yang kena hanya lengan kanannya. Tapi luka itu cukup dalam dan membuat darah segar segera mengalir cukup deras. Kakyu yang semula berniat mencabut panah peraknya yang menancap di pundak pria itu, tidak menanti apa-apa lagi. Kakyu tahu hanya itu yang dapat membuat pria itu tidak dapat pergi jauh. Dengan menahan rasa sakitnya sendiri, Kakyu mencabut panah itu kuatkuat. Seperti dirinya, pria itu juga tidak menduga akan mendapat serangan mendadak seperti ini. Dengan tercabutnya panah dari pundaknya, darah semakin mengalir deras dan membuat pria itu semakin kesakitan. Pria itu menjerit-jerit menahan sakit yang luar biasa di persendian pundaknya. Kakyu mendengar derap kaki kuda di belakangnya tapi ia tetap tidak berbuat apa-apa. Tanpa berkata apa-apa, ia menatap wajah pria yang terus menjerit kesakitan itu. “Engkau tidak apa-apa?” tanya Adna sambil menatap lengan baju Kakyu yang sobek dan kemerah-merahan. “Aku tidak apa-apa,” kata Kakyu, “Kuserahkan dia padamu.” Kakyu segera meninggalkan mereka sebelum Adna juga prajurit yang datang kemudian mengetahui lukanya. Karena sejak terluka, Kakyu sama sekali tidak menyentuh lukanya, lengan baju Kakyu tidak tampak terlalu merah. Kalaupun mereka melihat noda darah di lengan baju seragam Kakyu, mereka hanya akan menduga itu darah mata-mata itu. 101

Tanpa menanti pasukan membawa pria itu ke benteng, Kakyu meninggalkan tepi Hutan Naullie dan segera menuju tendanya. Sebelum memasuki tendanya, Kakyu melihat masih banyak prajurit yang mengelilingi Joannie di depan Tenda Perawatan. Kakyu hanya dapat menghela napas melihatnya. Sebagai satu-satunya Joannie wanita di benteng, pasukan Kerajaan Aqnetta yang semuanya pria itu tentu saja memuja Joannie. Joannie bukan hanya cantik di mata mereka tetapi juga tampak penuh kasih sayang. Kakyu sendiri sering tersenyum kalau mengetahui hal itu. Andaikata mereka tahu apa yang membuat Joannie mau melakukan tugas yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya itu. Kakyu meletakkan panahnya di tanah yang telah dialasi kain kemudian duduk di sampingnya. Kakyu melihat panah perak yang baru saja digunakannya itu. Dulu sebuah anak panah telah digunakannya untuk menyelamatkan Raja Alfonso dan Putri Eleanor. Kini sebuah panah perak lagi digunakan untuk menyelamatkan. Kali ini bukan Raja Alfonso dan Putri Eleanor yang diselamatkan, melainkan Kerajaan Aqnetta. Kakyu menyadari bahaya apa yang dapat menimpa mereka andaikata mata-mata itu berhasil menemui kelompoknya. Dengan tangan kirinya, Kakyu mengamati panah perak itu. Panah perak yang telah dikotori darah itu tidak akan dapat kembali seperti semula. Demikianlah yang terjadi pada panah perak yang dulu. Walaupun Kakyu telah berusaha keras untuk membersihkan panah itu, tetapi noda darahnya tetap ada. Dari sebelas panah perak yang ada, kini hanya tinggal sembilan buah yang tetap bersinar indah. Dua lainnya sedikit memudar karena darah yang tidak dapat hilang dapi permukaannya. Ketika hendak menyentuh panah perak itu dengan kedua tangannya, tangan kanan Kakyu membuat pemuda itu kesakitan. Kakyu sadar ia harus segera mengobati lukanya sebelum terlalu banyak darah yang keluar. Kakyu meletakkan panahnya kemudian mencari kemeja seragam yang lain sebelum ia membuka kemeja yang telah kotor itu. Gerakan Kakyu semakin perlahan ketika ia melepaskan lengan baju kanannya. Kakyu tidak ingin darahnya terlalu banyak mengotori seragam putih kebiru-biruan itu. Tengah Kakyu sibuk membuka kemejanya perlahan-lahan, seseorang menerobos masuk. Kakyu terkejut. Sama terkejutnya dengan pria itu.

102

9

Melihat tubuh Kakyu yang tidak tertutup kemejanya itu, Adna terpana. Matanya terpaku pada buah dada Kakyu yang dililit kain putih untuk membuatnya tampak sedatar mungkin. Adna tidak pernah menduga bahkan tidak pernah sedikitpun terlintas dalam benaknya bahwa Kakyu bukan seorang pria. Kakyu adalah seorang gadis. Gadis yang mengenakan pakaian pria. Kakyu menyadari apa yang terjadi. Cepat-cepat ia menutupi dadanya dengan kemejanya. Tanpa melewatkan waktu sedekitpun, Kakyu meraih pedangnya dan mengarahkan sisinya yang tajam di leher Adna. “Jangan kaukatakan pada siapapun,” ancamnya. Adna yang masih belum pulih dari kagetnya, semakin terkejut dengan tindakan tiba-tiba itu. “Aku janji,” Adna berjanji. Kakyu diam. Tak bergerak juga tidak bersuara. Tanpa menghiraukan jarak mereka yang dekat, Kakyu terus mencari kesungguhan di mata Adna. Adna menjauhkan sisi pedang itu dari lehernya. “Aku telah berjanji padamu dan aku tidak akan mengingkarinya,” kata Adna. Tiba-tiba saja Adna merasa serba salah. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa menghadapi kenyataan yang baru terbongkar ini. Apakah ia harus semakin curiga pada Kakyu yang menjadi Perwira Muda di usia muda? Ataukah ia harus curiga dengan sikap Kakyu yang baru saja? Atau ia harus menghakimi Kakyu juga Jenderal Reyn atas penipuan besar ini? Adna bingung. Kakyu berjalan menjauh dan kembali duduk. Kakyu meletakkan pedangnya di sampingnya, di antara panahnya. Dengan tenang Kakyu berkata, “Pergilah.” Tetapi Adna tidak mau disuruh pergi begitu saja. Ia datang bukan untuk diusir tetapi untuk mengobati luka Kakyu. Kakyu tidak tahu sejak awal ia meninggalkan tenda, Adna terus mengawasinya. Ketika semua orang terkejut melihat sebuah panah perak menancap di pundak pria itu, Adna menatap kagum Kakyu. Tidak ada yang menduga Kakyu akan melakukan hal itu di tengah 103

keributan. Adna menyadari kalau Kakyu bukan pemuda yang tenang, pemuda itu tidak akan dapat melakukan sesuatu dengan begitu cepat dan penuh perhitungan. Bila tadi Kakyu kurang cepat, panahnya bisa mengenai orang lain. Demikian pula bila ia tidak membidikkan panahnya dengan tepat, ia tentu akan melukai kakaknya sendiri. Ketika Kakyu mengejar pria itu, Adnalah orang yang paling cepat mengikuti tindakan Kakyu. Tak heran kalau ia sempat melihat lengan Kakyu dilukai pria itu. Adna tidak menduga ia akan membongkar suatu kenyataan yang selama ini disembunyikan justru pada saat ia merasa perlu membantu Kakyu dengan mengobati lukanya. Adna mendekati Kakyu. “Aku tidak dapat pergi sebelum melakukan tujuanku datang kemari.” “Nanti saja,” kata Kakyu tenang. “Tidak bisa,” sahut Adna, “Kali ini aku datang bukan untuk mengajukan berbagai macam pertanyaan. Aku datang untuk mengobati lukamu.” “Mengobati?” tanya Kakyu tak percaya. Adna jengkel mendengar nada tidak percaya itu. “Kaukira aku tidak punya rasa kasihan!?” “Berikan saja obat itu padaku. Aku akan mengobati sendiri lukaku.” Adna memicingkan matanya – mengawasi Kakyu yang tetap tenang walau rahasianya telah terbongkar. Pria itu tidak tahu Kakyu merasa ketenangannya hilang. Kakyu memang sengaja tidak menunjukkannya. Kakyu tidak mau pria itu melihatnya. Bagaimana mungkin ketenangan Kakyu tidak hilang setelah rahasia yang selama ini disimpan keluarganya bocor karena kesalahannya sendiri? Entah apa yang akan dikatakan Jenderal Reyn kalau ia tahu. Tapi yang pasti ia akan sangat kecewa sama kecewanya dengan saat ia menyadari putra bungsunya juga seorang gadis, bahkan mungkin lebih kecewa. Kakyu hanya dapat berharap Adna memenuhi janjinya. “Tidak,” Adna bersikeras, “Aku yang akan melakukannya.” Sebelum Kakyu sempat berbuat apa-apa, Adna menarik lengan Kakyu yang terluka. Melihat luka yang cukup parah itu, Adna tidak berkata apa-apa. Ia hanya menatap wajah Kakyu yang sama sekali tidak menunjukkan kesakitan. Kemudian ia merawat luka itu. Kakyu memalingkan wajahnya ketika Adna merawat lukanya dengan penuh kelembutan.

104

Sejak kecil, Kakyu dididik sebagai seorang anak laki-laki. Sejak kecil pula, Kakyu melupakan dirinya sebagai seorang gadis. Kini Kakyu tidak mau dirinya yang selama ini berada dalam ketenangannya sebagai gadis yang bertingkah laku seperti pria, menjadi kacau hanya karena seorang pria yang secara tidak sengaja mengetahui ia bukan pria. Tapi debar jantung Kakyu sebagai seorang gadis tidak dapat dilawan. Jantung itu terus berdebar kencang ketika merasakan tangan-tangan Adna dengan lembut merawat lengannya. Kakyu tidak tahu apa yang dipikirkan pria itu tentang dirinya. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia ingin tahu apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Sambil merawat luka itu, Adna sesekali menatap wajah Kakyu. Sekarang Adna sadar apa yang membuat Kakyu tidak nampak pantas menjadi Kepala Pengawal Istana. Selain karena rambut ikalnya yang merah seperti api. Wajah Kakyu juga tidak tampak seperti pria umumnya. Wajah itu memberi kesan lembut. Belum lagi tubuhnya yang terlalu kecil untuk ukuran pemuda seusianya. Sekarang Adna menyadari mengapa Kakyu tampak sangat kurus dibandingkan pemuda lain. Juga mengapa pemuda itu penuh perhatian kepada setiap prajurit walau ia tampak acuh. Adna ingin tahu mengapa Kakyu bertingkah sebagai anak laki-laki hingga sampai memiliki berbagai keahlian sebagai prajurit tangguh. Tetapi apakah ia akan mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Kakyu yang pendiam itu? Jelas Adna tidak dapat bertanya pada orang lain karena ia telah berjanji pada Kakyu untuk tidak mengatakan apapun tentang kejadian ini pada siapapun. Adna tahu ia harus mencobanya. “Mengapa engkau mengaku sebagai pria?” tanya Adna hati-hati. Kakyu sudah menduga adanya pertanyaan itu tetapi ia tidak mau menjawab banyak juga tidak menjelaskan masalah yang sebenarnya. “Tidak apa-apa.” “Tidak mungkin tidak apa-apa, Kakyu. Tidak pernah ada gadis segila engkau yang bertingkah sebagai laki-laki bahkan sampai terjun ke dunia lakilaki pula.” Kakyu memilih diam daripada berbohong. “Kalau engkau tidak mau mengatakannya saat ini, tidak apa-apa. Tetapi lain kali engkau akan menjelaskannya kepadaku bukan?” Kakyu terkejut mendengar pertanyaan lembut itu. Biasanya Adna tidak pernah mau bersikap lembut seperti ini kepadanya.

105

Apakah karena mengetahui ia bukan seorang pria, lantas ia bersikap lebih lembut? Kakyu menatap wajah Adna dengan curiga. Tetapi pemuda itu menghiraukannya. Dengan santai, Adna membalut luka Kakyu. Kakyu mengawasi tangan Adna yang terus bergerak-gerak membalut lukanya dengan kain perban yang dibawanya juga dari Tenda Perawatan. “Selesai,” Adna memberitahu. Kakyu cepat-cepat menutup kembali tubuhnya dengan kemeja. “Aku akan pergi sehingga engkau bisa berganti baju,” kata Adna sambil beranjak bangkit. Ketika sampai di pintu tenda, Adna menoleh. “Mengenai janjiku, jangan khawatir,” Adna meyakinkan Kakyu, “Aku tidak akan mengatakan kepada siapa-siapa juga kepada Pangeran.” Kakyu segera mengenakan kemeja yang telah disiapkannya. “Kakyu!” Kakyu terkejut. Ia segera memalingkan kepala ke arah datangnya suara itu. Hatinya terasa lega ketika melihat yang datang bukan Adna tetapi kakaknya, Joannie. Joannie melihat lengan Kakyu yang belum dilindungi kemejanya dan bertanya cemas, “Apa yang terjadi padamu?” “Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu sambil membenahi kemejanya. Joannie mendekat. Melihat kemeja lain yang telah sobek dan di sekitar sobekannya memerah oleh darah, Joannie tidak percaya tetapi ia tidak mau mendesak Kakyu lagi. Ia tahu Kakyu tidak akan memberitahu apapun kepadanya. Sebagai kakak yang telah tinggal serumah dengan Kakyu, tidak mungkin Joannie tidak mengenal watak adiknya. “Ada apa, Joannie?” giliran Kakyu yang bertanya. “Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu,” kata Joannie, “Engkau telah menyelamatkanku.” “Berterima kasihlah pada Pangeran,” kata Kakyu. Dengan perkataan itu, Joannie tahu adiknya ingin mengatakan bukan dirinya yang menyelamatkannya tadi. “Kalau engkau tidak melukai tangan pria itu, aku pasti sudah dibawanya entah ke mana,” kata Joannie. “Mengapa engkau yang disandera?” “Aku tidak tahu,” kata Joannie, “Aku juga tidak tahu kalau ia itu matamata.” “Ia sedang berada di Tenda Perawatan ketika aku di sana. Melihat 106

pasukan yang belum pernah kulihat di Tenda Perawatan itu, aku menjadi ingin mengetahui mengapa ia di sana. Aku sama sekali tidak menduga ia akan menodongkan pisaunya di leherku sebagai jawabannya. Selanjutnya, engkau tahu sendiri apa yang terjadi.” “Untung Pangeran Reinald segera menarikmu,” Kakyu mengganti topik pembicaraan. “Ya, aku sangat terkejut tadi waktu Pangeran tiba-tiba menarikku,” Joannie mulai melupakan ketakutannya yang sesaat lalu timbul lagi, “Ia menenangkanku.” “Ia sungguh-sungguh baik hati dan penuh pengertian,” tambah Joannie, “Dengan lembut ia menghiburku dan membuat aku melupakan ketakutanku.” “Aku sangat bahagia, Kakyu,” Joannie menunjukkan kata-katanya baik dalam suaranya maupun sikapnya, “Aku yakin tidak akan ada pria yang sebaik dia. Ia benar-benar seperti pria idamanku. Sayang tadi kami tidak bisa berduaan, banyak prajurit yang mengelilingi kami.” “Mereka mencemaskanmu,” Kakyu memberitahu. “Aku tahu tetapi tidakkah mereka tahu aku juga ingin berduaan dengan Pangeran,” kata Joannie manja. Melihat kakaknya yang semakin tampak menggemaskan dengan sikap lugunya, Kakyu yakin tidak akan ada pria yang tidak senang melihatnya. “Mereka tidak tahu engkau mencintai Pangeran,” sekali lagi Kakyu memberitahukan apa yang tidak diketahui kakaknya sebelumnya. Hingga kini tidak ada orang lain yang tahu kalau Joannie jatuh cinta kepada Pangeran Reinald. Jenderal Reynpun tidak tahu. Hanya Kakyu yang mengetahuinya. Dengan wataknya yang tenang dan tidak mau mencampuri urusan orang lain, tentu saja Kakyu tidak memberitahukan hal itu kepada siapapun. Kepada Adna yang sering ditanyai berbagai macam pertanyaan tentang Pangeran pun, Kakyu tidak memberitahu. Kakyu membiarkan pemuda itu memikirkan kemungkinan yang anehaneh dengan sikapnya yang seperti ingin tahu segala sesuatu tentang Pangeran Reinald. “Pangeran sepertinya tidak menyukaiku,” kata Joannie tiba-tiba. Kakyu tidak tertarik mendengarnya, tetapi untuk mengibur kakaknya, ia bertanya, “Mengapa?” “Pangeran tadi segera mengantarku ke tendaku sendiri ketika melihat pasukan datang dengan pria itu. Lalu ia sendiri segera meninggalkanku.” Kakyu mengerti mengapa Pangeran berbuat seperti itu tetapi Joannie tidak. Karena itu Kakyu merasa ia harus memberitahu Joannie. “Kau harus mengerti, Joannie, Pangeran juga harus memeriksa orang itu.” “Gara-gara pria itu semuanya kacau,” kata Joannie mengeluh.

107

Kakyu diam saja mendengar keluhan itu. “Berkat dia pula Pangeran menunjukkan perhatiannya padamu,” Kakyu mengingatkan Joannie. “Andaikan saja tadi pria itu lolos…” “Kita yang akan hancur,” sahut Kakyu. Joannie terdiam. Sebagai seorang wanita yang tidak pernah mengenal kerasnya sebuah pertempuran, Joannie sama sekali tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi bila mereka salah bertindak. Juga bila ada mata-mata yang memasuki benteng mereka. “Sekarang Pangeran ada di mana?” “Aku tidak tahu,” jawab Joannie, “Tapi tadi aku melihat Adna pergi ke Tenda Perundingan.” Kakyu berdiri. “Engkau mau ke mana?” tanya Joannie. “Mencari tahu apa yang terjadi,” jawab Kakyu santai sambil berlalu dari hadapan kakaknya. Di luar, Kakyu melihat pasukan telah bersiaga penuh setelah kejadian pagi ini. Memang seharusnya sejak dulu itu yang mereka lakukan tetapi mereka terlalu sibuk dengan benteng mereka sehingga melupakan Kirshcaverish. Untung saja kecerobohan itu tidak membahayakan mereka. Apa yang akan terjadi bila mata-mata itu berhasil menemui pimpinannya di dalam Hutan Naullie, sudah sangat jelas. Kakyu cepat-cepat menuju Tenda Pertemuan. Tidak nampak mata-mata Kirshcaverish di sana, yang ada hanya para Jenderal serta Pangeran dan tentu saja Adna. Mereka tengah sibuk berunding hingga tidak memperhatikan kedatangan Kakyu. Tanpa bersuara Kakyu mendengarkan perundingan mereka. “Kita tidak dapat berdiam diri di sini,” kata seorang Jenderal, “Kita harus segera menumpas mereka.” “Aku setuju,” kata Jenderal Erin, “Sudah terlalu lama kita membiarkan Kirshcaverish. Sekarang saatnya kita menyerang kembali.” “Kita mempunyai masalah,” Jenderal Reyn mengingatkan, “Kita tidak tahu di mana markas mereka. Kita hanya tahu mereka berkedudukan di Hutan Naullie.” “Saat ini pasukan kita lebih banyak dari mereka. Kita tidak perlu khawatir akan kalah,” kata Adna, “Kita bisa membagi pasukan ke dalam beberapa kelompok kemudian kita melakukan serangan yang terpencar.” “Benar,” Pangeran Reinald setuju, “Kalau kita menyebarkan pasukan di Hutan Naullie, kita pasti dapat menemukan mereka.”

108

“Sepertinya usul itu sangat bagus,” kata Jenderal Decker, “Sekarang kita harus menyempurnakan usul itu.” Mulanya Kakyu berharap Jenderal Decker sebagai Jenderal Tertinggi di Kerajaan Aqnetta, akan menghentikan keinginan yang terburu-buru itu. Tetapi harapan itu tidak terkabul. Sebagai gantinya, Kakyu sendiri yang menyatakan ketidaksetujuannya, “Tidak! Kalian tidak dapat bertindak sejauh itu.” “Apa maksudmu?” tanya Jenderal Decker terkejut mendengar bantahan Kakyu yang lantang itu – melebihi lantangnya suara para Jenderal yang setuju untuk menggempur Kirshcaverish sesegera mungkin. “Kalian pasti akan hancur,” kata Kakyu cemas, “Kalian sama sekali tidak mengenal Hutan Naullie. Kalian bahkan tidak tahu cerdiknya Kirshcaverish.” “Tidak akan, Kakyu,” Jenderal Erin menenangkan, “Pasukan kita lebih banyak dari mereka.” “Tapi mereka lebih mengenal hutan ini daripada kita sendiri,” bantah Kakyu. “Berapapun pasukan kita, kita pasti akan hancur sebelum mengetahui kedudukan mereka,” Kakyu memberitahukan apa yang terlintas di benaknya saat mendengar keputusan itu, “Di luar Hutan Naullie, kita memang lebih unggul daripada mereka. Tetapi di dalam hutan, merekalah yang lebih unggul.” Adna yang selalu curiga kepada Kakyu – semakin curiga karenanya. “Apa maksudmu, Kakyu?” kecurigaan Adna sangat nampak dalam suaranya, “Sejak dulu engkau selalu terkesan melindungi mereka.” “Tidak,” bantah Kakyu. “Lalu mengapa sejak dulu engkau seperti mengulur waktu. Mengapa tidak sejak awal engkau menyerang mereka di saat keadaan mereka lemah? Apakah engkau ingin mereka pulih dulu sebelum kita menyerang mereka dengan kekuatan baru kita?” Adna tidak memberi kesempatan pada Kakyu untuk membantahnya. “Sekarang mereka telah pulih dan mereka telah mengirimkan matamatanya. Untung saja mata-mata itu tertangkap. Apakah engkau ingin matamata mereka berhasil mengetahui segala sesuatu tentang kita sebelum kita menyerang mereka?” “Engkau tidak mengerti,” kata Kakyu, “Kalian sama sekali tidak tahu sulitnya. Kalian tidak tahu bahaya apa yang akan menimpa kalian bila kalian bertindak terburu-buru seperti ini.” “Apakah ini yang kaukatakan terburu-buru?” Adna mulai menampakkan kemarahannya, “Sudah cukup lama kita membiarkan mereka. Sudah cukup lama waktu yang kita berikan pada mereka untuk memulihkan diri. Kalau engkau ingin kita mengulur waktu lagi, secara langsung engkau menunjukkan jati dirimu yang sebenarnya.”

109

“Jati diri yang sebenarnya?” Kakyu khawatir Adna akan mengingkari janjinya. “Mengakulah, Kakyu, engkau mata-mata mereka bukan?” Kakyu terkejut mendengar tuduhan itu. Begitu pula mereka yang sejak tadi mendengarkan pertengkaran itu. “Bagaimana mungkin Kakyu mengkhianati negaranya sendiri?” Jenderal Decker membela Kakyu. “Kalau tidak mengapa ia begitu membela mereka? Apa lagi yang ia inginkan selain melindungi mereka?” “Engkau tidak mengetahui masalah yang sebenarnya, Adna,” kata Kakyu tenang, “Engkau tidak tahu kesulitan apa yang akan kita dapat dengan menyerang mereka sebelum kita mengetahui dengan pasti kedudukan mereka dan situasi sekitar markas mereka.” “Jadi, beritahu kami,” kata Adna tegas, “Aku yakin engkau tahu.” “Aku tidak tahu.” “Sudahlah, Kakyu. Percuma engkau membohongiku. Sejak awal aku memang mencurigai sikapmu yang aneh itu.” “Sebaiknya engkau mengatakan apa yang kauketahui pada kami, Kakyu,” bujuk Jenderal Decker, “Aku yakin seperti kata Adna, engkau mengetahui sesuatu tentang mereka.” “Katakan saja, Kakyu,” Jenderal Erin turut membujuk, “Katakan agar ia percaya engkau bukan mata-mata seperti yang kami percayai.” Kakyu tahu ia bisa saja mengatakan semua yang diketahuinya tetapi masalahnya, ia tidak tahu pasti apakah markas Kirshcaverish masih tetap di tempat dulu ataukah sudah pindah. Bagus kalau mereka tetap di sana, tetapi akan sebaliknya kalau mereka sudah pindah. Para Jenderal yang mempercayainya pasti menjadi tidak percaya kepadanya. Jenderal Reyn akan kecewa pada putra yang dibanggakannya dan yang pasti Adna senang dengan tebakannya yang tepat. “Aku tidak pasti benar,” kata Kakyu jujur. “Ia pasti ingin melindungi kelompoknya,” Adna mengejek. Pangeran Reinald yang sejak tadi diam saja, tahu ia harus membela Kakyu. Seperti para Jenderal lainnya yang mengenal Kakyu, Pangeran percaya pada pemuda itu. “Sebaiknya kalian tidak menghiraukan Adna,” kata Pangeran Reinald, “Ia memang mempunyai masalah pribadi dengan Kakyu.” Adna yang merupakan Pangeran asli itu menatap tajam pria di sampingnya itu. “Ia sudah berada di dalam Istana sebelum keberadaan Kirshcaverish diketahui,” Pangeran Reinald memberitahu kenyataan pada Pangeran yang asli, 110

“Kalau ia memang mata-mata mereka, ia tentu tidak akan membiarkan kita mengetahui keberadaan mereka di Hutan Naullie.” Adna tidak mau mendengarkan, ia malah bertanya dengan nada menuduh, “Mengapa engkau membelanya?” “Aku telah menjelaskannya padamu.” Merasa telah menimbulkan keributan, Kakyu memilih mengundurkan diri dari Tenda Perundingan. Kedatangan Kakyu tadi bukan dengan tujuan mengacaukan keadaan tetapi untuk mengetahui hasil pemeriksaan para Jenderal terhadap mata-mata Kirshcaverish. Kakyu membiarkan mereka yang ada di Tenda Perundingan itu memilih sendiri siapa yang dipercayainya. Ia juga membiarkan mereka berpikir sendiri sebab ia meninggalkan Tenda Perundingan di saat Pangeran Reinald membelanya. Kakyu kembali ke tendanya. Sekarang semua terserah mereka. Apakah mereka akan menyerang Kirshcaverish atau menunda lebih lama lagi hingga mereka tahu posisi Kirshcaverish. Setelah beberapa kali gagal menyerang Kirshcaverish, para Jenderal itu masih kurang mengerti kelemahan pasukan mereka. Walaupun jumlah Kirshcaverish lebih sedikit dibandingkan mereka, mereka selalu kalah. Sebabnya tak lain adalah posisi mereka yang kurang menguntungkan. Setelah mengetahui berdirinya benteng pasukan Kerajaan Aqnetta di tepi Hutan Naullie, Kirshcaverish tentu mulai memanfaatkan hutan lebat itu sebagai penghalang jalan pasukan Kerajaan Aqnetta. Di antara lebatnya semak-semak yang sebagian besar berduri itu, pasti banyak jebakan yang telah dipasang. Ranjau darat yang tersembunyi di dalam tanah, pasti juga turut meramaikan suasana. Belum ditambah bahaya alam Hutan Naullie sendiri. Di Hutan Naullie masih banyak binatang buas yang sewaktu-waktu bisa menyerang mereka tanpa mengenal waktu. Hutan Naullie yang masih lebat, tentu tidak membuat penghuninya merasa perlu menjaga jarak dengan manusia. Mereka, terutama hewan pemakan dagingnya, pasti menganggap manusia sebagai mangsa mereka. Di hutan sekitar kaki Pegunungan Alpina Dinaria, labih banyak hewan buasnya daripada hewan pemakan tumbuh-tumbuhan. Karena itu di sekitar Pegunungan Alpina Dinaria jarang dijumpai pedesaan. Kakyu mengerti benar hal ini tetapi tidak demikian halnya dengan para Jenderal terutama Adna. Terlalu banyak resiko yang harus dihadapi pasukan Kerajaan Aqnetta bila 111

menyerbu Hutan Naullie tanpa mengenal Hutan Naullie. Andaikan pepohonan di Hutan Naullie tidak rapat, pasukan Kerajaan Aqnetta masih dapat mengatasi keadaan. Tetapi pada kenyataannya, selain pepohonannya rapat, dalam Hutan Naullie juga banyak semak-semaknya hingga hampir tidak ada tanah kosong. Semua permukaan hutan tertutup oleh hijaunya daun. Hutan Naullie yang gelap dan selalu lembab itu juga bukan tempat yang baik untuk dimasuki. Di dalam sana tentu banyak ular dan entah hewan berbisa apa lagi. Kirshcaverish yang telah mengenal Hutan Naullie, tentu dapat mengatasi keadaan itu. Kakyu menatap panahnya yang belum disimpannya.

112

9

Sekarang Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya. Kakyu mengeluarkan berbagai perlengkapannya yang dibawa dari Chiatchamo. Dalam kepergiaan kali ini, Kakyu telah siap dengan segala sesuatunya. Baju hitam ninja pemberian Kenichi ada di dalam sebuah bingkisan lengkap dengan perlengkapannya. Kakyu memeriksa kembali isi bingkisan itu. Setelah mengucapkan segala tuduhannya, mungkin saja Adna menggeledah kamarnya. Situasi yang sudah berbahaya dengan tahunya Adna kalau ia seorang gadis, semakin berbahaya bila Adna menemukan perlengkapan ini. Adna tidak akan mengetahui apa gunanya semua perlengkapan ini. Dengan adanya senjata rahasia yang berupa sebilah pedang yang tidak sama dengan pedang Kerajaan Aqnetta umumnya, Adna akan semakin mencurigai dirinya. Sedangkan saat ini yang dibutuhkan Kakyu untuk melengkapi rencananya adalah kepercayaan dari para Jenderal. Kakyu merapikan kembali bingkisannya dan membawanya ke tenda Joannie. “Ada apa, Kakyu?” tanya Joannie. “Aku ingin menitipkan ini padamu,” jawab Kakyu. Joannie menerima bingkisan itu. Melihat pedang panjang yang menyembul dari bingkisan, Joannie berkata, “Ini perlengkapan ninjamu yang diberi Kenichi?” Kakyu mengangguk. “Engkau tidak bermaksud melakukan hal yang berbahaya bukan?” tanya Joannie cemas. “Jangan khawatir,” kata Kakyu, “Jangan kautunjukkan pada siapapun, Joannie. Termasuk Pangeran.” “Mengapa?” Joannie ingin tahu. “Mereka tidak akan mengenal alat-alat ini dan mereka akan berpikir yang tidak-tidak,” kata Kakyu menjelaskan, “Aku tidak ingin itu terjadi.” “Baiklah,” kata Joannie, “Di mana aku harus menyimpannya?” “Di tempat yang aman.” Joannie melihat sekeliling tendanya. “Kuletakkan di sini saja. Pasti tidak akan ada yang menduganya.” “Terserah.” 113

Joannie meletakkan bingkisan itu di dalam tas yang berisi gaun-gaunnya. Setelah melihat kakaknya menutup kembali tasnya, Kakyu membalikkan badan – siap untuk meninggalkan tenda itu. “Engkau mau ke mana?” tanya Joannie. “Melihat keadaan.” “Hati-hati, Kakyu,” pesan Joannie. Kemudian Kakyu meninggalkan tenda Joannie. Tidak ada yang curiga ketika Kakyu mengambil seekor kuda dan melesat meninggalkan benteng. Kakyu tidak terburu-buru. Ia tahu perundingan para Jenderal itu tidak akan mudah. Ia masih mempunyai banyak waktu sebelum menemui Pangeran di tenda Pangeran sendiri. Hanya Pangeran Reinaldlah satu-satunya harapan Kakyu. Jenderal lain terutama Adna pasti tidak akan mau mendengarkannya tetapi Pangeran mungkin mau. Bila Kakyu berhasil membuat Pangeran setuju mengundurkan saat penyerangan mereka, ia tentu dapat membantu mengurangi jatuhnya korban di pihak pasukan Kerajaan Aqnetta. Sesampainya di Farreway, Kakyu segera menuju toko terlengkap di Farreway, tempat setahun lalu ia membeli perlengkapan mendadaknya. Sepanjang perjalanan, Kakyu mendengar banyak orang yang membicarakan keberadaan pasukan Kerajaan Aqnetta di tepi Hutan Naullie. Juga suara letusan senapan yang dalam beberapa hari ini tidak ada. Penduduk yang jauh dari Hutan Naullie, dapat dengan mudah mempercayai alasan kepergian pasukan Kerajaan Aqnetta dalam jumlah besar ke Hutan Naullie. Tetapi penduduk Farreway tidak. Mereka sering melihat sendiri pertempuran antara pasukan Kerajaan Aqnetta dengan sekelompok orang yang bukan lagi tampak seperti latihan perang tetapi perang sungguhan. Mereka juga telah sering melihat korban berjatuhan. Untung Kakyu sempat mengganti pakaian seragamnya dengan pakaian biasa sebelum ia ke Farreway. Bila Kakyu masih mengenakan pakaian seragamnya, pasti banyak orang yang semakin curiga. Dan banyak pula yang bertanya macam-macam kepadanya. “Selamat datang, Tuan,” sapat pemilik toko ketika Kakyu tiba, “Ada yang dapat saya bantu, Tuan?” Kakyu lega pria itu tidak mengenalnya walau sekitar satu tahun yang lalu ia pernah membeli sejumlah perlengkapan mendadak di sini. “Saya membutuhkan beberapa helai kertas dan pena.” 114

Pemilik toko itu segera mengambilkan apa yang diminta Kakyu. Seperti tahun lalu, sambil menghitung barang, pria itu bertanya, “Untuk apa barang-barang ini, Tuan?” Kakyu tidak perlu menjawab karena seorang wanita yang juga ada di sana menggantikannya menjawab pertanyaan itu. “Untuk menulis surat,” kata wanita itu sambil menatap lekat-lekat wajah Kakyu, “Kalau tidak untuk apa lagi?” Tanpa banyak berbicara, Kakyu membayar barang-barang yang dibelinya sambil berkata, “Terima kasih.” Kakyu meninggalkan pemilik toko yang berbincang-bincang dengan wanita tadi. Seperti keberangkatannya, Kakyu tidak terburu-buru ketika kembali ke benteng. Dengan tenang, Kakyu mengembalikan kuda itu ke tempatnya semula yaitu di bagian belakang benteng. Kemudian ia kembali ke tendanya. Pasukan yang melihat kepergian Kakyu, tidak bertanya apapun padanya. Mereka tidak memikirkan yang lain selain Kirshcaverish. Semua khawatir Kirshcaverish akan menyerang sewaktu-waktu. Kakyu tidak mendengar suara apapun dari Tenda Perundingan ketika ia melewati tempat itu. Kakyu segera menuju tenda Joannie. Ia yakin kakaknya itu tahu ke mana perginya para Jenderal itu dan Pangeran. “Kakyu!” Joannie terlihat sangat lega ketika melihat adiknya, “Ke mana saja engkau?” “Mengawasi keadaan,” kata Kakyu singkat. “Engkau sudah tahu, Kakyu?” tanya Joannie, “Papa dan para Jenderal lainnya merencanakan untuk menyerbu Kirshcaverish besok lusa. Besok mereka akan mempersiapkan pasukan dan mematangkan rencana yang mereka susun hari ini. Lalu esok lusa pagi-pagi sekali mereka akan berangkat ke dalam Hutan Naullie.” Joannie mengenggam kedua tangan Kakyu erat-erat. “Aku sangat cemas, Kakyu,” katanya cemas, “Aku tidak ingin terjadi sesuatu pada Papa.” “Tenanglah, Joannie,” Kakyu menenangkan kakaknya. “Engkau tahu di mana Pangeran?” “Aku tidak tahu,” kata Joannie, “Ada apa, Kakyu?” “Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu, “Aku hanya ingin menanyakan rencana penyerbuan ini kepadanya.” “Mungkin ia ada di tendanya,” kata Joannie, “Kata Papa setelah perundingan itu selesai, semua Jenderal kembali ke tenda masing-masing

115

untuk menyiapkan tugas yang mereka terima.” “Aku sangat khawatir, Kakyu.” Kembali Joannie mengatakan kekhawatirannya. Kakyu tahu kakaknya benar-benar mengkhawatirkan ayah mereka. “Jangan khawatir, Joannie,” hibur Kakyu, “Sekarang biarkan aku menemui Pangeran.” Joannie melepaskan tangan Kakyu dan membiarkan pemuda itu pergi. Kakyu bergegas menuju tenda Pangeran Reinald yang berada di antara tenda Jenderal lainnya. “Engkau sudah gila, Adna?” Kakyu yang mendengarnya, memutuskan untuk pergi. Tetapi ia segera mengubah keputusannya ketika ia mendengar suara yang sama berkata, “Mengapa engkau membelanya?” Kakyu bukan seorang gadis yang senang mendengarkan pembicaraan orang, tetapi pembicaraan itu membuatnya tertarik. “Maafkan kelancangan saya, Pangeran. Tetapi apa yang saya katakan itu benar.” “Aku tahu engkau ingin membela adik wanita yang kaucintai itu tetapi aku tidak dapat menerima pembelaanmu itu.” “Seperti yang telah saya katakan, Pangeran, Perwira Kakyu bukan seorang mata-mata. Kalau ia mata-mata, setahun yang lalu, ia tidak akan melaporkan keberadaan Kirshcaverish kepada Raja Alfonso. Ia juga akan membiarkan Halberd membunuh Raja Alfonso. Tetapi Perwira Kakyu tidak melakukannya. Malahan Perwira memimpin sekelompok pasukan untuk menangkap dua kawanan pemberontak itu.” “Apakah engkau tidak pernah memikirkan kejanggalan yang ada pada dirinya, Adna?” tanya Pangeran. “Kejanggalan apa, Pangeran?” “Ia terlalu muda untuk menjadi Kepala Keamanan Istana,” jawab Pangeran, “Dan, ia terlalu ceroboh untuk pekerjaan sepenting itu.” “Masuknya mata-mata itu sepenuhnya bukan karena kesalahannya, Pangeran,” Adna membela Kakyu, “Lagipula Perwira telah menebus kesalahannya dengan bertindak cepat justru di saat kita semua kebigungan menghadapi mata-mata yang menyandera Lady Joannie.” “Tidakkah engkau pernah berpikir mengapa semudah ini ia dapat menjadi Perwira?” “Karena ia seorang prajurit tangguh, Pangeran,” kata Adna, “Dan ia telah menunjukkannya pada kita tadi pagi. Tadi pagi, kalau ia salah perhitungan walau hanya sedikit, ia bisa melukai kakaknya sendiri juga pasukan lainnya, tetapi ia tidak. Hanya orang yang benar-benar tangguh yang dapat melakukan hal itu dengan cepat.” 116

“Ya,” Pangeran Reinald setuju, “Tetapi ia itu seorang…” Pangeran Reinald segera berhenti sebelum ia melanggar janjinya. “Kalau Anda ingin Perwira Kakyu mengatakan segalanya pada Anda, mengapa kita tidak kembali ke posisi kita semula?” usul Adna. “Itu ide yang gila, Adna,” Pangeran Reinald menyatakan ketidaksetujuannya, “Bayangkan apa yang akan ia katakan kalau ia tahu aku bukan Adna melainkan Pangeran Reinald yang asli. Selama aku menjadi dirimu saja, ia tidak mau berbicara banyak apalagi kalau ia tahu siapa aku yang sebenarnya. Ia pasti hanya berkata ‘Ya, Yang Mulia’, ‘Tidak, Yang Mulia’. Kalau sudah demikian bagaimana aku dapat mengetahui segalanya dari dia?” Tidak ada yang dapat dilakukan Adna selain mengangkat bahunya. “Terserah Anda, Pangeran. Saya hanya dapat menuruti perintah Anda, Pangeran.” Kakyu tertegun mendengar pembicaraan itu. Pemuda yang selama ini dikenalnya sebagai Adna ternyata Pangeran Reinald yang sesungguhnya. Sedangkan Pangeran Reinald yang selama ini adalah Adna yang sesungguhnya. Keadaan Kakyu dan Pangeran Reinald yang asli sekarang seri. Kakyu mengetahui rahasia Pangeran Reinald dan Pangeran Reinald mengetahui rahasia Kakyu. Perlahan-lahan Kakyu meninggalkan tempat persembunyiannya. Untunglah tidak ada orang yang tampak di sekitar tenda Pangeran. Para Jenderal sepertinya juga tidak ada di sana. Sekarang tidak ada lagi yang dapat diharapkan Kakyu. Adna yang saat ini mereka kenal sebagai Pangeran Reinald, tentu tidak dapat berbuat apa-apa kalau Pangeran yang asli tidak mau menerima usulnya. Kakyu kambali ke tendanya sebelum menemui Joannie. “Apa yang kaudapatkan, Kakyu?” tanya Joannie begitu melihat adiknya datang. Kakyu hanya memandang wajah cantik Joannie tanpa mengatakan apaapa. Melihat wajah cantik itu, Kakyu memikirkan apa yang akan dilakukan kakaknya kalau mengetahui pemuda yang dicintainya membohonginya. “Joannie, bagaimana kalau Pangeran Reinald bukan Pangeran yang asli?” tanyanya perlahan. Joannie tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan Kakyu. “Apa yang kaumaksudkan?” “Tidak ada,” Kakyu cepat-cepat berdalih, “Aku membutuhkan bantuanmu.” “Katakan saja, Kakyu.” Kakyu mengambil bingkisan yang beberapa saat lalu dititipkannya pada 117

Joannie. Joannie menjadi cemas melihat adiknya mengambil bingkisan yang berisi perlengkapan ninja itu. Baru saat itulah Joannie menyadari adiknya membawa busur panahnya. “Engkau ingin melakukan apa, Kakyu?” “Mencegah sesuatu yang buruk terjadi pada Papa,” kata Kakyu tenang sambil mengeluarkan kertas dan pena dari sakunya. “Engkau membahayakan dirimu sendiri, Kakyu,” kata Joannie cemas, “Apa yang harus kukatakan kalau Papa mencarimu.” “Karena itu aku perlu bantuanmu.” Kakyu mengganti bajunya dengan pakaian ninjanya yang serba hitam. Dan melengkapi diri dengan topeng ninja serta busur dan anak panahnya di punggung. Kakyu menyanggah buntelan perlengkapan lainnya itu dengan pedang ninjanya yang disebut ninjaken itu. Melihat adiknya memanggul barangnya dengan pedang di tangan kiri dan busur panah disandang di punggung, Joannie berkata, “Engkau tampak seperti seorang pemburu, Kakyu.” “Itu yang akan kulakukan,” kata Kakyu sambil membetulkan letak anak panah di punggungnya. “Apa yang kaumaksudkan?” tanya Joannie kaget, “Apa yang harus kukatakan pada Papa kalau ia mencarimu?” “Katakan aku pergi sebentar,” kata Kakyu, “Jangan katakan apapun selain itu.” “Kalau ia bertanya ke mana pergimu?” “Katakan engkau tidak tahu.” “Jangan kaulakukan itu, Kakyu,” cegah Joannie. Kakyu menggelengkan kepalanya. “Aku harus.” “Kumohon, Kakyu,” Joannie memohon, “Jangan pergi. Jangan membahayakan dirimu sendiri.” Kakyu tetap tidak terpengaruh oleh bujukan itu. “Ingat, Joannie,” Kakyu mengingatkan, “Jangan katakan yang sebenarnya pada siapapun termasuk Pangeran kalau engkau ingin Papa selamat.” “Tapi, Kakyu.” Kakyu menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Selamat tinggal, Joannie.” “Kakyu!” Percuma saja Joannie mencoba mencegah adiknya. Kakyu telah melesat pergi sebelum Joannie sempat mencegahnya. Suasana di luar yang masih penuh kewaspadaan kepada situasi di Hutan Naullie, menguntungkan Kakyu. Hampir semua prajurit sibuk memandang Hutan Naullie. Tidak 118

seorangpun yang melihat kepergian Kakyu yang dengan mengendap-endap seperti pencuri itu. Joanniepun tidak dapat melihat adiknya lagi setelah pemuda itu meninggalkan tendanya. Joannie tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin satu-satunya yang dapat dilakukannya hanya menuruti apa kata adiknya itu walau hatinya terus bergejolak cemas. Entah apa yang akan dikatakan ayah mereka kalau ia tahu Kakyu yang paling dibanggakannya justru pergi sehari sebelum penyerbuan itu. Yang pasti ayahnya tidak akan senang mendengar kepergian Kakyu yang diam-diam itu. Joannie tidak dapat membayangkannya. Tetapi ia harus menghadapinya. Setelah kepergian Kakyu, Joannie masih dapat bernapas lega. Semua orang masih sibuk dengan rencana penyerbuan mereka dan tidak seorangpun yang mencari mereka. Tetapi tidak keesokan paginya. Pagi-pagi Jenderal Reyn mencari Kakyu yang menghilang. Setelah mencari ke sana kemari, tetapi tetap tidak menemukan Kakyu, Jenderal Reyn menuju Tenda Perawatan tempat Joannie berada. “Joannie, engkau melihat Kakyu?” tanyanya begitu melihat putri tertuanya. Joannie terlihat ragu-ragu sebelum berkata, “Ia pergi, Papa.” “Pergi?” ulang Jenderal Reyn, “Pergi ke mana?” “Aku…,” Joannie ragu-ragu tapi ia tetap melakukan apa yang diminta Kakyu, “Aku tidak tahu, Papa.” “Ke mana perginya anak satu itu?” kata Jenderal Reyn heran, “Mengapa ia pergi justru saat kuperlukan seperti ini?” “Ia pasti akan segera kembali, Papa.” “Ia pasti memberitahu kelompoknya tentang rencana kita ini,” kata Adna. Joannie menatap tajam wajah Adna. “Tidak! Ia tidak melakukan itu. Ia…” Hampir saja Joannie melanggar permintaan Kakyu. “Ia apa? Ia menemui Kirshcaverish?” Adna tidak berhenti mengutarakan kecurigaannya. “Tidak!” bantah Joannie. “Tenanglah,” kata Pangeran, “Katakan kepada kami ke mana perginya Kakyu.” “Ia pergi ke Farreway untuk mencari informasi tentang Kirshcaverish dari penduduk,” Joannie meyakinkan Adna tanpa melanggar permintan Kakyu. “Kalau begitu ia pasti akan segera muncul,” kata Pangeran Reinald. “Engkau membutuhkannya untuk apa, Reyn?” tanya Pangeran Reinald ingin tahu. “Saya ingin memintanya menerangkan keadaan Hutan Naullie,” jawab Jenderal Reyn. 119

“Ya, ia pasti tahu persis setiap sudut Hutan Naullie.” “Kalau benar kenapa?” tantang Joannie yang semakin jengkel mendengar tuduhan yang dilontarkan Adna kepada adiknya. “Ia pasti mata-mata Kirshcaverish,” kata Adna santai. “Salah,” bantah Joannie, “Kakyu tahu setiap sudut hutan ini karena ia sering ke sini.” “Kalau begitu dugaanku tidak salah,” kata Adna, “Sebelum masuk Istana, ia telah mengetahui keberadaan Kirshcaverish,” Joannie bertindak bodoh. Ia membuat keyakinan Adna semakin kuat yang kemudian berakibat kepercayaan para Jenderal kepada Kakyu menjadi goyah. Beberapa di antara mereka yang sangat mengenali Kakyu, tidak mempercayai kecurigaan Adna itu tetapi yang belum lama mengenal Kakyu memihak Adna. Gejolak itu kemudian berakibat lebih buruk. Jenderal Reyn yang sangat mempercayai putranya terus membela Kakyu. Joannie juga demikian. Pangeran saat ini yang bukan Pangeran asli, tidak tahu harus memihak siapa. Sementara Pangeran yang asli menuduh Kakyu mata-mata, ia tidak mungkin dapat memihak Joannie walau ia juga yakin pemuda itu tidak akan mengkhianati negaranya sendiri. Joannie tidak tahu apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya kepada mereka untuk menghapus kecurigaan mereka terhadap Kakyu ataukah ia tetap berpegang pada janjinya. Teringat Kakyu yang dengan keras melarangnya mengatakan apapun kepada orang lain tentang kepergiannya juga mengenai seni membunuh yang dipelajarinya dari Kenichi, Joannie menguatkan hati untuk tidak mengatakan hal itu. Lagipula tidak akan ada yang percaya kalau Joannie mengatakan sejak kecil Kakyu sering ke Hutan Naullie untuk dilatih Kenichi menjadi seorang ninja yang hebat. Kakyu benar tidak akan ada yang percaya kepadanya. Seni membunuh rahasia itu tidak dikenal di Kerajaan Aqnetta. Keluarga Quentynna pun baru tahu saat Kenichi mengatakan seni ninjitsu itu. Dengan tidak adanya barang yang dapat membuat mereka percaya Kakyu belajar seni membunuh rahasia Jepang itu, Joannie hanya akan memperburuk keadaan yang sudah buruk ini. Karena kecerobohannya, Joannie membuat penyerangan ditunda. Seluruh Jenderal kembali sibuk menyiapkan rencana penyerangan baru mereka. 120

Sementara itu para prajurit yang mendengar kecurigaan itu, juga terpisah menjadi dua. Antara yang percaya pada Kakyu dan tidak. Joannie tidak tahu justru itulah yang diharapkan Kakyu untuk saat ini. Dengan mengendap-endap, Kakyu mendekati markas Kirshcaverish. Kakyu lega melihat markas mereka belum pindah. Walau kedua teman mereka telah tertangkap sejak setahun yang lalu, Kirshcaverish sepertinya tidak khawatir markas mereka akan ketahuan. Keadaan di dalam markas itu sendiri tidak berubah dari yang dulu. Keadaan itu semakin menguntungkan Kakyu. Dan Kirshcaverish tidak mengetahuinya. Dengan kelincahannya, Kakyu melompat ke sebatang pohon tinggi di dekat markas Kirshcaverish dan mulai mengeluarkan perlengkapannya. Sejak meninggalkan benteng, Kakyu terus menyusuri setiap jalan di Hutan Naullie hingga menuju markas Kirshcaverish. Seperti dugaan Kakyu, Kirshcaverish memasang banyak ranjau darat di sekitar tepi Hutan Naullie. Untung saja Kakyu seorang ninja. Kalau tidak ia pasti sudah mati sebelum mencapai markas Kirshcaverish. Kakyu kembali menggambar peta dari tepi hutan hingga ke markas Kirshcaverish. Itulah yang dilakukan Kakyu sejak meninggalkan benteng. Di saat hari gelap, Kakyu memeriksa setiap sudut Hutan Naullie dengan teliti dan menandai tempat yang berbahaya di peta buatannya. Di saat matahari menyinari bumi, Kakyu terus menggambar peta dengan teliti. Sesekali Kakyu memeriksa kembali petanya sebelum berpindah ke tempat yang lain. Sudah dua hari lamanya Kakyu berada di dalam Hutan Naullie, tetapi ia tidak melihat tanda-tanda pasukan Kerajaan Aqnetta akan menyerang. Kakyu tahu ia berhasil memanfaatkan kecurigaan Adna kepada dirinya untuk menghambat penyerangan mereka. Kemungkinan besar, saat ini para Jenderal tengah menyusun rencana baru. Dan Kakyu dapat menyelesaikan pembuatan petanya dengan cepat namun tetap dengan teliti. Dengan adanya peta yang menuntun pasukan Kerajaan Aqnetta langsung ke markas Kirshcaverish, Kakyu yakin tidak akan banyak korban yang berjatuhan di pihak Kerajaan. Di hari kedua ini, penggambaran peta Kakyu telah sampai pada markas Kirshcaverish di lembah sungai. Semakin mendekati markas Kirshcaverish, semakin sedikit bahaya yang ada. Baik itu dari alam sendiri maupun bahaya yang memang disiapkan oleh

121

Kirshcaverish. Bahkan di sekitar markas Kirshcaverish, suasana benar-benar aman. Kirshcaverish yang terlindung di balik perkemahan mereka yang hanya dilindungi pagar kayu, tidak akan menduga seandainya pasukan Kerajaan Aqnetta tiba-tiba muncul dari antara semak-semak yang tinggi. Mereka tampak sangat santai di dalam sana. Tidak mengherankan melihatnya. Kirshcaverish sangat yakin pasukan Kerajaan Aqnetta tidak akan dapat mencapai mereka. Pasukan Kerajaan Aqnetta sudah hancur terlebih dulu oleh jebakan mereka sebelum mencapai markas mereka. Sekarang Kirshcaverish tidak akan dapat bersantai-santai seperti itu. Tetapi mereka tidak akan tahu seorang ninja wanita telah mengetahui markas mereka dan tengah menggambar jalan teraman dan tercepat menuju markas mereka untuk pasukan Kerajaan Aqnetta. Khusus untuk daerah sekitar markas, Kakyu menggambar lebih teliti. Setiap semak belukar tinggi digambarkannya dengan teliti dengan harapan para Jenderal yang menerima peta itu akan memanfaatkan semak yang tinggi itu. Di sekitar tepi Hutan Naullie, Kakyu menggambarkan tempat setiap ranjau dengan teliti. Tetapi Kakyu tidak mengeluarkannya dari dalam tanah. Kakyu tidak ingin Kirshcaverish tahu seseorang telah memasuki Hutan Naullie. Dengan teliti, Kakyu menghabiskan siangnya di atas pohon dekat perkemahan Kirshcaverish untuk menggambar situasi sekitar markas Kirshcaverish. Dari atas pohon, Kakyu dapat melihat setiap tenda dalam perkemahan Kirshcaverish, dan ia dapat menggambarkannya dengan teliti. Tetapi Kakyu tidak melakukannya. Peta yang menggambarkan keadaan di dalam markas Kirshcaverish dengan teliti bukannya menghilangkan kecurigaan Adna kepadanya melainkan akan memperkuatnya. Peta yang menggambarkan jalan ke markas itu saja, mungkin masih diragukan kebenarannya oleh mereka. Apalagi peta markas Kirshcaverish sendiri. Bisa-bisa yang terjadi para Jenderal akan mengabaikan peta itu dan semakin menganggapnya mata-mata Kirshcaverish. Cukup Kakyu sendiri yang mengetahui seluk beluk markas Kirshcaverish. Setelah menyelesaikan bagian terakhir dari petanya, Kakyu menunggu hari gelap di atas pohon. Sambil menanti matahari terbenar, Kakyu beristirahat. Sejak meninggalkan benteng, Kakyu tidak berhenti menggambar. Kini ia

122

merasa sangat lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Begitu langit gelap, Kakyu segera turun. Dan dengan mengendap-endap, ia memasuki markas Kirshcaverish. Sekarang Kakyu mempunyai persiapan cukup untuk memasuki markas Kirshcaverish. Dan bila ketahuan, ia dapat meloloskan diri dengan mudah. Pertama-tama Kakyu memeriksa tenda penyimpanan senjata Kirshcaverish. Kakyu terkejut melihat jumlah senjata di sana berkali lipat dari yang dilihatnya setahun lalu. Entah dari mana Kirshcaverish mendapatkan senjata itu. Yang pasti bukan dari dalam Kerajaan Aqnetta. Sejak setahun yang lalu Jenderal Erin telah mengawasi setiap sudut tepi Hutan Naullie dan tidak pernah ada seorangpun dari dalam Hutan Naullie yang terlihat keluar dari Hutan Naullie. Kemungkinan besar Kirshcaverish mendapatkan senjata itu dari negara tetangga mereka. Pegunungan Alpina Dinaria merupakan perbatasan sebelah barat Kerajaan Aqnetta. Sebagai perbatasan, hanya Pegunungan Alpina Dinaria yang tidak dijaga. Keadaan di dalam Hutan Naullielah penyebabnya. Dan Kirshcaverish memanfaatkan keadaan itu. Kakyu menyesal menyadari kecerobohannya. Dulu ia pikir dengan adanya sejumlah pasukan Kerajaan Aqnetta di sekitar Hutan Naullie, Kirshcaverish tidak akan berkembang tetapi ia melupakan negara tetangga mereka. Ini berarti walaupun pasukan Kerajaan Aqnetta dapat mencapai tempat ini, bukan berarti mereka akan dapat menghancurkan Kirshcaverish dengan mudah. Kakyu yang tidak ingin jatuh banyak korban, harus melakukan sesuatu untuk mencegahnya. Memang tidak sekarang tetapi Kakyu pasti akan melakukan sesuatu sebelum pasukan Kerajaan Aqnetta tiba di lembah sungai ini. Tetap dengan hati-hati, Kakyu memeriksa setiap sudut tenda. Ketika hampir mencapai tenda terbesar di perkemahan Kirshcaverish, Kakyu melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya. Kakyu cepat-cepat bersembunyi di balik tenda yang gelap. “Menurutmu apakah Bleriot akan berhasil menguasai kerajaan ini?” tanya seorang pria. “Aku yakin,” kata pria yang lain, “Pemimpin kita itu sangat cerdik. Ia pasti dengan mudah mengalahkan mereka.” “Tetapi pasukan Kerajaan Aqnetta yang baru datang jumlahnya sangat banyak.” 123

“Mengapa engkau ragu-ragu seperti itu?” kata pria yang lain, “Kita telah mengirimkan Geinn ke sana. Aku yakin ia pasti dapat mengetahui kelemahan pasukan Kerajaan Aqnetta.” “Mengapa ia belum kembali? Biasanya ia sudah kembali.” “Geinn mata-mata terbaik kita. Ia tidak mungkin tertangkap,” pria itu meyakinkan temannya, “Ia pasti sedang mencari kelemahan pasukan Kerajaan Aqnetta mungkin juga mencari cara untuk menghancurkan Istana Vezuza.” “Engkau benar,” pria yang lain setuju, “Bayangkan kalau kita berhasil menguasai kerajaan ini. Kita bukan hanya akan makmur tetapi kita dapat hidup enak. Pemimpin kita pasti akan memberi hadiah besar kepada kita kalau kita berhasil.” “Pasti, Bleriot telah menjanjikannya kepada kita.” Kakyu tetap diam di tempatnya walau kedua pria itu telah berlalu. Sekarang Kakyu tahu siapa pemimpin mereka. Bleriot! Kakyu pernah mendengar nama itu. Setahu Kakyu, Bleriot yang menjadi Kepala Keamanan Istana sebelum Jenderal Erin, pernah mempunyai masalah dengan Raja Alfonso. Jenderal itu sering membantah perintah Raja sehingga membuat Raja murka. Jenderal Bleriot juga sering meninggalkan tugasnya tanpa sepengetahuan Raja. Gara-gara kecerobohannya pula, keselamatan penghuni Istana pernah terancam. Ketika melihat sekelompok orang yang mencurigakan memasuki Istana Vezuza, Jenderal itu sama sekali tidak bertindak apa-apa. Untung saja Jenderal Erin yang saat itu menjadi wakil Jenderal Bleriot segera bertindak. Akibatnya, Jenderal Bleriot dipecat dari jabatannya dan Jenderal Erin diangkat untuk menggantikannya. Rupanya sejak awal mula Jenderal yang haus kekuasaan itu ingin mengambil alih kekuasaan Kerajaan Aqnetta. Ketika diangkat menjadi Raja, Jenderal Bleriot telah menjabat sebagai Kepala Kemanan Istana. Jenderal tua itu memang mempunyai reputasi bagus di medan pertempuran tetapi ia mempunyai segudang reputasi buruk di kalangan masyarakat. Kalau bukan karena ketangguhannya, Jenderal yang tidak disukai banyak orang itu takkan pernah menjadi Kepala Kemanan Istana. Setelah dipecat, tidak terdengar kabar berita lagi dari Jenderal Bleriot. Dan pasti tidak seorangpun mengira Jenderal Bleriot yang mengincar kekuasaan tertinggi di Kerajaan Aqnetta itu mengumpulkan sejumlah orang 124

dan merencanakan pemberontakan. Setelah mengetahui segala sesuatunya tentang markas Kirshcaverish, Kakyu meninggalkan tempat itu. Kakyu tidak mengulur waktu lagi. Saat ini para Jenderal mungkin sudah siap menyerang Hutan Naullie. Dan Kakyu tidak ingin mereka memasuki Hutan Naullie sebelum mereka mendapat peta yang telah dibuatnya.

125

10

Ketika tiba di benteng, Kakyu melihat tenda ayahnya terang. Dengan mengendap-endap, Kakyu memasuki tenda ayahnya. Jenderal Reyn sangat terkejut melihat bayangan hitan memasuki tendanya dengan cepat. Kakyu cepat-cepat melepas topengnya sambil berkata, “Ini aku, Papa.” “Ke mana saja engkau?” selidik Jenderal Reyn. “Tidak tahukan engkau apa yang kautimbulkan dengan kepergianmu itu? Semua orang sekarang mencurigaimu sebagai mata-mata Kirshcaverish.” “Aku tahu, Papa,” kata Kakyu, “Aku baru saja dari Hutan Naullie.” “Hutan Naullie!?” Jenderal terkejut mendengarnya, “Apa yang kaulakukan di sana?” “Aku berhasil mengetahui letak markas mereka dan aku telah menggambarkan jalan ke sana,” kata Kakyu sambil menyerahkan peta buatannya. Jenderal Reyn memeriksa peta itu dengan teliti. Kemudian menatap putrinya dengan curiga. “Percayalah, Papa,” kata Kakyu, “Aku bukan seorang dari mereka. Aku menelusuri sendiri setiap sudut Hutan Naullie sebelum aku menggambarkannya.” “Aku percaya padamu, Kakyu,” kata Jenderal Reyn, “Baru kali ini aku merasakan ajaran yang diberikan Kenichi padamu bermanfaat.” “Papa, engkau tahu Bleriot?” “Bleriot?” kata Jenderal Reyn, “Tentu saja aku tahu. Ia seorang Jenderal tua yang buruk. Mengapa engkau tiba-tiba menanyakannya?” “Ialah pemimpin Kirshcaverish,” kata Kakyu. “APA!!?” Jenderal Reyn tidak percaya. “Ketika berada di sana, aku mendengar seseorang menyebut Bleriot sebagai pemimpin mereka,” kata Kakyu menjelaskan. “Jadi, selama ini ialah dalang pemberontakan ini,” Jenderal Reyn merenung, “Pantas saja kita selalu kesulitan menghadapi Kirshcaverish.” “Mereka memasang banyak ranjau darat di sekitar tepi Hutan Naullie,” kata Kakyu, “Tetapi aku tidak mengeluarkannya. Aku hanya menggambarkannya dalam peta.” Jenderal Reyn mengamati sejumlah tanda silang di peta sekitar tepi Hutan Naullie. Jenderal Reyn mengangguk melihatnya. 126

“Aku juga telah menggambarkan semak-semak sekitar markas mereka yang cukup tinggi untuk tempat persembunyian mereka.” Sekali lagi Jenderal Reyn hanya mengangguk berulang kali sambil mengamati peta buatan Kakyu. “Aku akan memberitahu Jenderal Decker,” kata Jenderal Reyn. “Aku ikut,” kata Kakyu. “Tidak!” larang Jenderal Reyn, “Engkau sebaiknya tetap di sini hingga Jenderal lainnya percaya engkau bukan mata-mata mereka.” “Bukankah lebih baik aku menemui Jenderal Decker dan menjelaskan masalah yang sebenarnya?” “Apa lagi yang akan kaujelaskan padanya?” tanya Jenderal Reyn, “Joannie telah memperburuk keadaan dengan mengatakan engkau sering keluar masuk Hutan Naullie.” “Joannie mengatakannya?” Kakyu tidak percaya. “Ya, dan ia membuat Adna semakin mencurigaimu.” “Aku akan menjelaskannya pada Jenderal Decker.” “Ia tidak akan mempercayaimu, Kakyu.” “Setidaknya aku telah mengatakan masalah yang sebenarnya kepadanya,” kata Kakyu, “Aku yakin Jenderal Decker akan mempercayaiku. Lagipula apa yang akan Papa katakan kalau Jenderal Decker bertanya dari mana asal peta itu?” Jenderal Reyn terdiam karenanya. “Terserah engkau,” katanya mengalah. “Sebaiknya Papa pergi dulu, aku akan menyusul,” kata Kakyu sambil menyelinap keluar. Sebelum menemui Jenderal Decker, Kakyu menyempatkan diri untuk menemui Joannie. Joannie sangat senang melihat adiknya muncul. “Aku mencemaskanmu, Kakyu,” kata Joannie sambil memeluk Kakyu eraterat. “Bagaimana keadaanmu, Joannie?” “Buruk sejak engkau pergi,” kata Joannie, “Aku terus menerus mengkhawatirkanmu. Dan semua orang di sini mencurigaimu sebagai matamata Kirshcaverish.” “Jangan khawatir, Joannie,” kata Kakyu, “Mereka akan mengubah pendapat mereka setelah ini.” “Apa yang akan kaulakukan, Kakyu?” tanya Joannie curiga. “Aku akan menemui Jenderal Decker.” “Kakyu!” Lagi-lagi Kakyu telah pergi sebelum Joannie sempat mencegahnya. Jenderal Reyn telah berada di tenda Jenderal Decker ketika Kakyu tiba. Seperti Jenderal Reyn, Jenderal Decker juga terkejut ketika bayangan 127

hitam tiba-tiba memasuki tendanya dengan cepat. “Selamat malam, Jenderal Decker,” sapa Kakyu. “Selamat malam, Kakyu,” kata Jenderal Decker, “Kata ayahmu engkau baru saja menyelidiki Kirshcaverish di dalam hutan dan mendapatkan posisi mereka.” Kakyu mengangguk. “Saya tahu semua orang mencurigai saya dan kedatangan saya di sini hanya untuk menjelaskan apa yang dikatakan kakak saya, Jenderal.” “Aku mempercayaimu, Kakyu,” Jenderal Decker meyakinkan Kakyu. “Sejak kecil saya memang sering keluar masuk Hutan Naullie, tetapi bukan untuk berhubungan dengan Jenderal Bleriot.” “Bleriot?” tanya Jenderal Decker. “Kata Kakyu, ialah pemimpin Kirshcaverish.” Jenderal Decker termenung. “Pasti ia yang dulu merencanakan masuknya sekelompok orang ke dalam Istana,” katanya tiba-tiba. “Aku juga berpikir begitu,” kata Jenderal Reyn, “Ia tidak mungkin membiarkan sekelompok orang bersenjata memasuki Istana kalau bukan ia yang merencanakannya.” “Saya berharap Anda mempercayai peta yang saya buat itu, Jenderal Decker,” kata Kakyu, “Saya tidak pernah berhubungan dengan Kirshcaverish walau saya sering keluar masuk Hutan Naullie. Selama bertahun-tahun saya keluar masuk hutan, saya tidak pernah melihat adanya orang yang tinggal di sana. Baru sekitar setahun yang lalu, saya melihat mereka. Saya dan Kenichi tidak pernah melihat adanya kehidupan manusia di dalam Hutan Naullie sebelumnya.” “Kenichi?” tanya Jenderal Decker ingin tahu. Jenderal Reyn membiarkan putrinya menjelaskan sendiri masalah yang sebenarnya. “Ia adalah guru saya,” kata Kakyu, “Ia sering mengajak saya ke Hutan Naullie untuk menurunkan ilmunya kepada saya.” “Ilmu apa?” Jenderal Decker semakin ingin tahu. “Seni membunuh rahasia dari Jepang, nin-jitsu,” jawab Jenderal Reyn. “Apa itu?” tanya Jenderal Decker, “Aku tidak pernah mendengarnya.” “Aku juga baru mendengarnya saat Kenichi mengatakannya,” kata Jenderal Reyn, “Tetapi ilmu itu benar-benar luar biasa. Siapapun yang mempelajarinya bisa membunuh musuhnya tanpa meninggalkan banyak jejak. Tetapi untuk mempelajari seluruh ilmu itu dibutuhkan waktu yang lama. Kakyu sejak kecil telah dididik olehnya.” “Jadi karena itu Kakyu lebih tangguh daripada pemuda lain seusianya,” gumam Jenderal Decker. “Saya tidak dapat berlama-lama di sini,” kata Kakyu sambil mengenakan 128

kembali topengnya. “Engkau mau ke mana lagi?” tanya Jenderal Reyn. “Menyelesaikan tugas akhirku,” kata Kakyu. Kakyu segera meninggalkan tenda Jenderal Decker sebelum seorang di antara mereka sempat mencegahnya. Ketika Jenderal Decker dan Jenderal Reyn mengejar Kakyu, mereka hanya bisa terperangah melihat tidak tampakya bayangan Kakyu di sekitar tempat itu. Mereka juga tidak bisa menemukan Kakyu di sekitar tenda. “Nin-jitsu memang benar-benar...,” Jenderal Decker tidak dapat mengutarakan kekagumannya. “Tak heran ia bisa masuk Kirshcaverish seorang diri,” Jeneral Reyn sependapat. “Benar-benar luar biasa!” Tetap dengan mengendap-endap, Kakyu menuju tenda tempat Geinn disekap. Kakyu segera menyelinap ke belakang tenda itu sebelum prajurit yang menjaga pintu tenda melihatnya. “Geinn!” Pria di dalam tenda itu terkejut mendengarnya. Dengan berbisik pula ia berkata, “Siapa itu?” “Aku disuruh oleh Bleriot untuk mendapatkan informasi yang berhasil kaudapatkan,” kata Kakyu. “Tuan Bleriot,” Geinn terdengar senang mendengarnya. “Tetapi sebelumnya, ia ingin engkau menyebutkan kata sandimu,” kata Kakyu yang telah melihat setiap orang yang ingin memasuki markas Kirshcaverish, ditanyai kata sandi mereka oleh pria yang mengawasi sekitar pintu masuk. “Tentu,” kata Geinn tanpa curiga. Geinn segera menyebutkan kata sandinya kepada Kakyu. Tanpa curiga sedikitpun, pria itu mengatakan pula hasil yang telah didapatkannya. “Aku akan memberitahu Bleriot secepat mungkin,” kata Kakyu, “Ia pasti akan segera mengirimkan orang untuk melepaskanmu.” “Katakan pada Tuan Bleriot, aku tidak mengatakan apapun tentang kita kepada mereka.” “Tentu,” kata Kakyu sambil tersenyum. Kakyu segera meninggalkan tenda itu dan kembali ke dalam Hutan Naullie. Untung saja Geinn tidak sempat kembali ke markasnya setelah berhasil memata-matai mereka. Seperti yang dikatakan pria anggota Kirshcaverish itu, Geinn memang mata-mata yang tangguh. 129

Geinn mengetahui jumlah seluruh pasukan Kerajaan Aqnetta. Ia juga mengatakan kepada Kakyu tentang kekuatan benteng pasukan Kerajaan lengkap dengan menara-menara pengintainya yang diperkuat pasukan pemanah. Tak lupa ia mengatakan tentang adanya Tenda Perawatan di dalam benteng serta perawatnya yang cantik. Geinn juga menambahkan Bleriot akan menyukai perawat itu. Pria itu tidak sadar ia telah membuat Kakyu mengetahui kelemahan pemimpinnya. Rupanya Bleriot menyukai perempuan cantik, dan Kakyu bisa memanfaatkannya untuk mengacaukan suasana di dalam markas Kirshcaverish sebelum pasukan Kerajaan Aqnetta datang. Begitu melihat markas Kirshcaverish di depannya, Kakyu segera bersembunyi di antara semak-semak sebelum mencari kesempatan untuk memasuki markas itu. Tiba-tiba Kakyu mendengar suara dahan pohon yang patah di belakangnya. Kakyu segera memalingkan kepala melihatnya. Ia terkejut melihat Adna atau Pangeran yang asli berdiri tak jauh di belakangnya. Melihat seorang anggota Kirshcaverish yang mengarahkan senapannya ke arah Pangeran yang berdiri di tempat terbuka itu, Kakyu menjadi cemas. Tanpa menanti apa-apa, Kakyu melompat ke arah Pangeran sambil melempar shurikennya ke arah sang penembak. “Awas!” serunya. Akibat tindakannya yang terburu-buru itu, lengan kanan Kakyu yang belum sembuh terkena akar pohon yang menggelantung. Pangeran terlalu terkejut untuk menyadari suara kesakitan yang keluar dari bibir Kakyu. Kakyu segera bangkit dan membantu Pangeran berdiri. Kemudian ia menariknya ke semak-semak yang tinggi. Tak lama setelahnya, terdengar keributan di dalam markas Kirshcaverish dan terdengar desingan senapan. Untung saja Kakyu cepat-cepat menjauhkan Pangeran dari tempat terbuka yang berbahaya itu. “Pangeran bodoh,” kata Kakyu sambil menatap tajam wajah Pangeran Reinald. Kakyu mengeluarkan busurnya dari punggungnya kemudian menarik sebatang panah kayu dari tempat anak panah. Rencana Kakyu terpaksa dirubah karenanya. Kakyu yang semula berniat mengacaukan perhatian Kirshcaverish dengan memasuki tempat itu sebagai seorang gadis, kini tidak dapat 130

melakukannya lagi. Pangeran Reinald pasti mengikutinya sejak tadi dan ia tidak membawa persiapan apapun. Memang demikianlah yang terjadi pada Pangeran Reinald itu. Ketika keluar dari tenda pengawalnya yang untuk sementara mengaku sebagai dirinya, Pangeran Reinald melihat bayangan hitam meninggalkan tenda Jenderal Decker yang terang. Pangeran Reinald yang mudah curiga, menjadi curiga karenanya. Ia terus mengikuti pemuda yang berpakaian serba hitam itu. Tanpa mengatakan apa-apa, ia melihat pemuda itu bercakap-cakap dengan mata-mata Kirshcaverish yang ditawan dalam sebuah tenda yang dijaga ketat. Melihat busur perak yang disandang pemuda itu, Pangeran Reinald yakin pemuda itu tak lain adalah Kakyu. Kecurigaannya semakin memuncak dan ia memutuskan untuk mengikuti Kakyu. Hingga tempat persembunyian markas Kirshcaverish, Pangeran berhasil tidak membuat Kakyu curiga. Tetapi setelahnya, ia bertindak ceroboh. Ia ingin segera menangkap Kakyu sebelum gadis itu memasuki markas kelompoknya, hingga ia melupakan dahan-dahan yang berserakan. Akibatnya Kakyu menjadi tahu keberadaannya. Melihat gadis itu menatap tajam di balik topengnya, Pangeran Reinald menduga gadis itu akan menangkapnya. Tetapi ia salah gadis itu melompat ke atasnya dan membuat mereka berdua terjatuh di tanah. Kakyu mengeluarkan panah kayu khusus yang telah dibuatnya. Kakyu menghidupkan api di ujung panah yang telah dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai obor. Dengan menahan rasa sakit di lengan kanannya, dari antara dedaunan Kakyu mengarahkan panah api itu ke tenda tempat Kirshcaverish menyimpan senjata mereka. Kakyu tidak berhenti dengan satu panah. Ia melakukannya berulangulang walau tangannya terasa semakin sakit. Andaikan luka di lengan Kakyu itu tidak dekat dengan pundaknya, mungkin gadis itu tidak akan kesakitan. Walau setiap kali menarik panah, lengan kanannya terasa sakit dan semakin sakit tiap detiknya, Kakyu terus membidikkan panahnya ke tendatenda Kirshcaverish yang penting. Pangeran diam saja melihat gadis itu terus membidikkan panahnya. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Kakyu telah menyelamatkannya. Sedangkan ia terus menuduh gadis itu sebagai mata-mata. Pangeran mengawasi wajah Kakyu yang tampak dari topengnya. Wajah 131

itu tetap menunjukkan ketenangannya walau keadaan tiba-tiba berubah. Wajah itu juga tidak menampakkan kecemasan. Walaupun Kakyu lebih kuat dari gadis lain seusianya, ia tetap seorang gadis. Kakyu memang dapat menahan rasa sakitnya tetapi lama kelamaan, ia kehilangan tenaganya juga. Kakyu memaksakan dirinya untuk melawan rasa sakitnya juga kelelahannya. Pangeran Reinald melihat tangan Kakyu gemetar ketika ia menarik panah api yang keenam kalinya. Pangeran Reinald sadar, ia harus membantu Kakyu. Biar bagaimanapun kuatnya gadis itu, gadis itu pasti lelah setelah terus menerus membidikkan panahnya dengan cepat. “Biar aku saja,” kata Pangeran Reinald sambil mengambil panah itu dari tangan Kakyu. “Tidak.” Kakyu tetap mempertahankan busur itu. “Tanganmu sudah gemetar seperti itu,” kata Pangeran Reinald sambil menarik panah itu. Kakyu yang sudah tidak mempunyai kekuatan, tidak dapat berbuat apaapa selain membiarkan Pangeran meneruskan pekerjaannya. Melihat Pangeran Reinald juga ahli menggunakan panah, Kakyu duduk diam. Baru kali ini Kakyu benar-benar merasakan sakit di lengan kanannya. Dengan tangan kirinya, Kakyu menutupi luka yang kembali mengeluarkan darah itu. Untung pakaian Kakyu berwarna hitam. Kalau tidak, darah yang mengalir deras itu pasti akan membuat Pangeran Reinald tahu keadaannya. Walaupun Kakyu duduk diam dan kesakitan, bukan berarti gadis itu berhenti memperhatikan Kirshcaverish di depannya. Kakyu melihat Pangeran gerakan Pangeran yang terburu-buru membuat dedaunan yang melindungi mereka, tersikap. Sebagian oleh gerakan tangan Pangeran, sebagian oleh api dari panah api. Seorang penjaga menara melihat cahaya api di antara semak-semak dan segera mengarahkan senapan ke arah itu. Kakyu menyadari hal itu dan segera mendorong Pangeran. Lagi-lagi Kakyu membuat mereka berdua terjatuh di tanah. Tanpa merasa malu melihat wajah Pangeran yang sangat dekat dengan wajahnya sendiri, Kakyu berkata lirih di antara sakitnya, “Anda sangat ceroboh, Pangeran.” Pangeran Reinald terkejut mendengarnya. “Kau!?” Kakyu mengabaikannya. “Sebaiknya kita mundur,” katanya sambil 132

bangkit perlahan-lahan. “Bagaimana engkau tahu?” tanya Pangeran Reinald curiga. Menyadari Pangeran tengah memperhatikan dirinya, Kakyu mencegah tangan kirinya yang ingin menutup luka di lengan kanannya. Dengan memaksakan diri, Kakyu mengambil busur dan anak panahnya yang terjatuh di dekatnya. Pangeran Reinald mengikuti gerakan Kakyu. Ketika membantu Kakyu memungut anak panahnya, Pangeran melihat lengan bajunya memerah. Kakyu tidak sadar ketika mendorong Pangeran hingga terjatuh, ia membuat baju putih Pangeran menjadi merah dengan tangannya yang memerah oleh darah. Pangeran terkejut melihat kemejanya memerah. Dengan curiga, Pangeran melihat lengan kanan Kakyu yang tampak terjuntai lemah di samping tubuhnya. Kakyu meninggalkan tempat itu melalui pepohonan tinggi di belakangnya. Pepohonan itu melindunginya dari senapan Kirshcaverish, tetapi tidak dari kecurigaan Pangeran. Melihat tangan kiri gadis itu juga memerah, Pangeran segera mendekati Kakyu. Tanpa mengulur waktu, ia segera menarik tangan kiri Kakyu. “Apa yang terjadi padamu?” Kakyu melepaskan tangannya. “Tidak ada apa-apa,” katanya tenang. Pangeran Reinald menatap lengan kanan Kakyu yang tertutup oleh pakaian hitam. Dengan sinar remang-remang yang menerangi hutan, Pangeran Reinald melihat warna di sekitar lengan atas Kakyu lebih gelap daripada yang lain. Pangeran Reinald menarik Kakyu ke sebatang pohon besar. “Lenganmu terluka lagi,” katanya menuduh. “Tidak apa-apa.” “Apanya yang tidak apa-apa?” Pangeran Reinald jengkel melihat Kakyu tetap terlihat tenang, “Lukamu yang belum sembuh terbuka lagi, tetapi engkau tetap tenang. Malah memaksakan diri untuk memanah.” “Jangan khawatir,” kata Kakyu tenang. “Apanya yang jangan khawatir?” kata Pangeran Reinald cemas, “Engkau ini seorang gadis, Kakyu, bukan pria. Siapa yang tidak cemas melihatmu menahan sakit seperti ini.” Pangeran Reinald menarik lengan Kakyu yang terluka. Gerakannya yang tiba-tiba membuat Kakyu meringis kesakitan. Pangeran menatap mata Kakyu yang tidak tertutup topengnya. “Pakaian apalagi yang kaukenakan ini?” katanya, “Engkau tampak seperti 133

pencuri.” Dengan lembut, Pangeran meletakkan tangan kanan Kakyu di pangkuan gadis itu kemudian ia melepas topeng Kakyu. Dengan keadaannya yang lemah, Kakyu tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah pemuda itu. Pangeran Reinald melihat sesuatu berwarna hitam terjulur dari pundak Kakyu, dan menariknya. “Pedang apa lagi yang kaubawa ini?” katanya, “Engkau benar-benar ingin mencari mati. Sendirian masuk Hutan Naullie dengan perlengkapan yang aneh pula.” Pangeran Reinald menyandarkan Kakyu di pohon sebelum kembali memeriksa lengan gadis itu. “Bukankah saya salah satu dari mereka?” kata Kakyu lemah. Pangeran memandang wajah Kakyu dengan sejumlah perasaan bersalah, “Maafkan aku. Aku seharusnya tidak menuduhmu seperti itu.” “Aku masih sangat terkejut ketika itu. Aku bingung memikirkan mengapa engkau yang seorang gadis ini mengaku sebagai laki-laki hingga menjadi Kepala Keamanan Istana. Aku tidak tahu darimana datangnya tuduhan itu ketika engkau menolak usulku. Tetapi kemudian aku tahu lebih mudah mempercayai engkau mau melakukannya karena engkau mata-mata Kirshcaverish. Daripada membayangkan caramu menjadi Kepala Kemanan Istana.” Pangeran terkejut ketika menyadari lengan kanan Kakyu basah oleh darah. “Sepertinya lukamu terbuka karena aku.” Kakyu terkejut ketika Pangeran Reinald ingin melepaskan pakaian ninjanya. Dengan tangan kirinya yang terbebas, ia mendorong Pangeran menjauh. “Tidak apa-apa, Kakyu,” katanya, “Aku hanya ingin memeriksa lenganmu.” “Saya bisa melakukannya sendiri.” “Dengan apa, Kakyu? Dengan tangan kirimu?” tanya Pangeran Reinald, “Tidak, Kakyu. Engkau tidak dapat melakukannya sendiri.” “Tidak perlu,” cegah Kakyu. Pangeran melihat wajah itu memerah. “Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku hanya akan memeriksa lenganmu kemudian membalutnya lagi,” kata Pangeran Reinald lembut, “Aku janji tidak akan melihat yang lain selain lenganmu.” Kakyu tidak ingin untuk kedua kalinya, Pangeran melihat tubuh gadisnya. “Saya akan melakukannya sendiri,” cegah Kakyu. “Tidak, Kakyu,” kata Pangeran lembut. Kakyu heran melihat sikap Pangeran Reinald yang berubah total setelah 134

tahu ia bukan mata-mata Kirshcaverish. Tanpa memberi kesempatan pada Kakyu untuk menghindar, Pangeran menarik tubuh Kakyu ke dalam pelukannya dan dengan perlahan, ia melepaskan baju atasan gadis itu. Kakyu tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu saat ini ia terlalu lemah untuk melawan. Perlawanannya terhadap rasa sakitnya, telah menghabiskan tenaganya. Sebagai seorang gadis, Kakyu merasa malu karena sikap Pangeran Reinald. Pangeran Reinald memenuhi janjinya, selama melepas baju gadis itu, ia sama sekali tidak melihat gadis itu. Pandangan matanya terus terarah pada batang pohong di belakang gadis itu hingga baju itu terlepas dari tubuh Kakyu. Pangeran Reinald menyampirkan baju itu di pundak Kakyu dan memeriksa lengan kanan Kakyu. Dengan tangan kirinya, Kakyu menutup rapat-rapat tubuhnya dengan bajunya dan membiarkan Pangeran Reinald melepas perban lukanya. Pangeran Reinald terkejut melihat luka itu kembali terbuka hingga perban putih itu menjadi merah. Pangeran mengawasi wajah Kakyu yang lebih terkesan malu daripada menahan sakit. Baru kali ini Pangeran menjumpai gadis seperti Kakyu yang mampu menahan luka separah itu. Bahkan tanpa membuat orang lain curiga, ia menggunakan tangannya yang terluka untuk memanah. Sementara tangan kirinya memegang lengan Kakyu, tangan Pangeran yang lain mengambil kain penutup wajah Kakyu. “Apa yang Anda lakukan?” tanya Kakyu cemas. “Aku harus mengganti perban lukamu,” kata Pangeran, “Perban ini sudah harus diganti.” Kakyu tidak ingin Pangeran menggunakan kain penutup wajahnya sebagai perban apalagi kain itu termasuk salah satu perlengkapan ninja yang diberikan Kenichi padanya. Tetapi... Kakyu tahu, Pangeran Reinald benar. Kakyu membiarkan pemuda itu membalut lengannya. Dan ia tetap tidak bergerak ketika Pangeran Reinald membantu mengenakan pakaiannya. Tetap dengan kelembutan yang dimilikinya, Pangeran menyandarkan punggung Kakyu di batang pohon. “Beristirahatlah.” Kakyu memegang lengannya yang terluka dan bertanya, “Mengapa Anda mengaku sebagai Adna?” “Aku tidak tahu harus berbuat apa selain itu. Aku dan Adna terpisah dalam perjalanan. Dan ketika aku tiba, aku mendapat kabar Adna telah pergi

135

ke sini. Aku menduga Jenderal-Jenderal itu salah mengenali Adna. Mereka akan menduga Adna sebagai aku,” Pangeran Reinald menjelaskan, “Selain itu aku curiga kepadamu.” “Curiga?” “Engkau terlalu muda untuk menjadi Kepala Keamanan Istana, Kakyu. Kecurigaanku semakin memuncak ketika secara tidak sengaja, aku mengetahui engkau seorang gadis,” kata Pangeran Reinald, “Karena itu aku menuduhmu sebagai mata-mata.” Kakyu tidak mengucapkan apapun. Kecurigaan itu memang tidak salah, Kakyu menyadari ia memang terlalu muda untuk menjadi Kepala Keamanan Istana. Sesaat sebelum menerima jabatan ini, Kakyu telah menolaknya tetapi semua orang memaksanya untuk menerimanya dan apalagi yang dapat dilakukan Kakyu saat itu selain menerimanya dengan setengah hati. Tetapi tidak ketika ia melaksanakan tugasnya. Seluruh perhatiannya tercurah ketika ia mengatur keamanan Istana dan tidak pernah ada yang dilewatkan olehnya. Demi penghuni Istana Vezuza, Kakyu melaksanakan tugasnya dengan baik. “Aku minta maaf. Tidak seharusnya aku menuduhmu seperti itu.” “Anda tidak salah,” kata Kakyu, “Saya memang terlalu muda untuk jabatan sepenting ini.” “Setelah melihat sendiri ketangguhanmu yang sering dibicarakan orang, aku yakin ayahku tidak memilihmu dengan sembarangan,” kata Pangeran Reinald, “Aku ingin tahu mengapa engkau bisa setangguh ini. Jauh lebih kuat dari pemuda seusiamu. Aku yakin engkau tidak belajar dari ayahmu. Dibandingkan dia, engkau lebih lincah dan lebih cepat dalam segala hal.” Kakyu tidak ingin memuaskan keingintahuan Pangeran Reinald. “Setelah ini apakah Anda tetap mengaku sebagai Adna?” “Aku tidak tahu,” kata Pangeran Reinald, “Adna jatuh cinta pada kakakmu dan ia ingin membuat Joannie kagum padanya. Menurutmu, bagaimana sikap Joannie kalau ia mengetahui masalah ini?” “Joannie mencintai Adna bukan karena gelarnya,” kata Kakyu tenang, “Bagi Joannie, Adna adalah pria impiannya. Seumur hidupnya Joannie selalu mencari pria yang seperti Papa. Saya yakin ia tidak akan mempermasalahkan hal ini.” Pangeran Reinald diam saja. Kakyu mengambil buntelannya yang diikatkannya pada pedangnya. Kakyu mengeluarkan senjata di dalamnya satu per satu. Pangeran Reinald yang terus memperhatikan Kakyu, memungut salah satu benda yang berbentuk seperti skop kecil untuk berkebun itu dan berkata, “Senjata apa ini?” 136

Kakyu tidak menjawab pertanyaan itu. Ia terus menyibukkan diri dengan senjata-senjata itu. Setelah mengeluarkan semuanya dan menyelinapkan beberapa di balik baju ninjanya, Kakyu melipat kain pembungkus itu. Kakyu merintih sakit ketika ia mengangkat lengan kanannya. Pangeran Reinald menatap tajam wajah Kakyu yang tetap terlihat tenang. “Gadis bodoh,” katanya, “Gerakanmu hanya akan membuat lukamu terbuka kembali.” Pangeran Reinald mengambil kain itu dari tangan Kakyu dan membantu Kakyu mengikat rambut panjangnya dengan kain itu. “Engkau tidak terlalu pintar untuk mengaku sebagai pria,” katanya sambil mengikatkan kain itu di rambut Kakyu, “Tidak ada pria yang berambut panjang, engkau tahu itu?” “Mama tidak setuju saya memendekkan rambut,” kata Kakyu. “Lalu mengapa ia membiarkan engkau bertingkah laku seperti pria?” Kembali Kakyu tidak menjawab keingintahuan Pangeran. Kakyu berdiri dan perlahan-lahan, ia mengintai markas Kirshcaverish. Markas Kirshcaverish masih terbakar oleh api terutama api yang berasal dari tenda penyimpanan senjata. Pangeran Reinald mengikuti Kakyu. “Sekarang apa yang akan kita lakukan?” tanya Pangeran. “Kita harus memanfaatkan keadaan,” kata Kakyu, “Kita akan menyerang mereka di saat mereka sibuk seperti ini.” “Kita berdua?” “Tidak,” Kakyu terus mengawasi markas yang terbakar itu, “Salah seorang dari kita harus kembali ke benteng dan memanggil pasukan untuk menyerbu saat ini juga. Dan yang lain terus mengacaukan Kirshcaverish.” “Engkau yang akan pergi,” Pangeran Reinald memutuskan. “Tidak,” Kakyu menolak. “Engkau terluka, Kakyu,” kata Pangeran Reinald, “Aku tidak ingin engkau terluka lebih parah lagi.” “Anda lupa, mereka mencurigai saya sebagai mata-mata?” Kebenaran yang diucapkan dengan tenang itu membuat sebuah kata kasar terlompat dari mulut Pangeran. “Ini semua gara-gara aku,” katanya menyesal, “Kalau saja aku tidak menuduhmu sedemikian rupa.” “Pergilah,” kata Kakyu, “Saya akan memecahkan perhatian mereka.” Pangeran memincingkan matanya dan bertanya tajam, “Apa yang dapat kaulakukan dengan lengan terluka seperti ini?” Kakyu tersenyum. Ia mengetahui apa yang tidak diketahui Pangeran. “Jangan khawatir,” katanya tenang, “Mereka tidak akan dapat melukai 137

saya.” “Benar, mereka tidak akan melukaimu,” kata Pangeran jengkel melihat ketenangan Kakyu, “Engkau juga tidak dapat melukai mereka dengan tangan terluka seperti ini.” “Saya masih bisa menggunakan tangan kiri,” kata Kakyu. “Jangan berharap aku akan setuju, Kakyu,” Pangeran Reinald menegaskan keputusannya, “Engkau ini seorang gadis, Kakyu. Hingga kapanpun aku tidak akan membiarkan engkau menantang bahaya sendirian.” “Anda lupa tugas saya adalah melindungi setiap penghuni Istana?” kata Kakyu, “Walaupun sekarang kita tidak berada di Istana Vezuza, Anda tetap harus saya lindungi.” “Lupakan tugas itu,” perintah Pangeran, “Saat ini engkau harus menuruti perintahku sebelum mereka mendapatkan kita.” “Anda yang harus pergi,” Kakyu tetap bertahan dengan keinginannya, “Saya lebih mengenal setiap sudut hutan ini daripada Anda. Berhati-hatilah ketika Anda semakin mendekati benteng, banyak ranjau darat di sana.” Pangeran Reinald memanfaatkan pesan Kakyu itu. “Pergilah, Kakyu. Aku tidak dapat menjamin aku akan selamat. Joannie mengatakan engkau sering keluar masuk hutan ini, aku yakin engkau lebih dapat menjaga diri daripada aku. Aku lebih aman di sini daripada harus kembali ke benteng. Aku tahu Jenderal Decker masih mempercayaimu. Adna juga sangat mempercayaimu.” Kakyu tahu Pangeran Reinald benar. Kemungkinan Pangeran Reinald untuk menghindari dari ranjau darat, lebih kecil dibandingkan Kakyu yang telah mengetahui letak ranjau-ranjau itu. “Baiklah,” Kakyu mengalah. “Bagus,” Pangeran Reinald puas, “Sekarang berikan panahmu padaku. Aku akan mengacaukan mereka.” Kakyu tidak yakin Pangeran hanya akan mengacaukan Kirshcaverish dari jauh apalagi mengingat sifat tidak sabar Pangeran. “Tidak,” Kakyu tidak ingin Pangeran menerobos markas Kirshcaverish sendirian. Sebelum Pangeran mengatakan apa-apa, Kakyu segera menerobos kegelapan Hutan Naullie dan meninggalkan suara yang menggema di sekitar tempat itu, “Saya akan segera kembali.” Tindakan Kakyu itu tentu saja membuat Pangeran Reinald yang ingin menyerbu masuk ke dalam markas Kirshcaverish, menjadi jengkel. Kini tanpa sebuah senjatapun, Pangeran Reinald tidak dapat berbuat apa-apa selain menanti kedatangan Kakyu.

138

11

Dugaan Kakyu tepat. Seluruh pasukan semua masih terjaga walau saat ini sudah hampir tengah malam. Semua mengkhawatirkan Kirshcaverish yang bisa sewaktuwaktu muncul. Tetap dengan mengendap-endap, Kakyu memasuki benteng. Kakyu terlalu lincah untuk dilihat pasukan Kerajaan Aqnetta. Walaupun di setiap sudut benteng, ada sejumlah pasukan, tidak seorangpun yang melihat masuknya Kakyu ke dalam benteng. Ketika melihat Kolonel Abel berpatroli sendirian di sekitar tenda Pangeran Reinald, Kakyu memutuskan untuk menemuinya sebelum menemui Jenderal Decker. “Kolonel!” panggilnya. Kolonel Abel terkejut. Ia mencari asal suara itu di sekelilingnya. Kakyu menuju tempat yang terang di sekitar tempat itu. “Perwira,” kata Kolonel Abel, “Ke mana saja Anda? Banyak yang terjadi di sini sejak Anda pergi.” “Aku tahu,” kata Kakyu, “Sekarang aku ingin engkau menyiapkan semua pasukan. Kita akan menggempur Kirshcaverish malam ini juga.” Kolonel Abel kaget. “Malam ini?” “Cepat!” kata Kakyu lalu ia kembali bersembunyi di kegelapan. Kolonel Abel terperangah melihat Kakyu telah menghilang. Ia sadar ini bukan saatnya ia terpesona. Walaupun tidak mengerti, ia tetap melaksanakan perintah singkat Kakyu. Kakyu menyelinap ke dalam tenda Jenderal Decker sambil memanggil Jenderal itu. Jenderal Decker terlonjak kaget melihat Kakyu tiba-tiba muncul. “Ada apa, Kakyu?” “Kita harus menyerang mereka malam ini juga.” “Malam ini?” tanya Jenderal Decker, “Kami belum menyiapkan strategi perang apapun.” “Saya kira itu tidak perlu, Jenderal.” “Apa maksudmu, Kakyu?” “Kirshcaverish dalam keadaan kacau saat ini dan saya rasa kita tidak akan kesulitan menghadapi mereka yang sedang sibuk.” “Apa yang kaulakukan pada mereka?” tanya Jenderal Decker ingin tahu, “Yang pasti engkau membuat mereka kewalahan bukan?” 139

Kakyu tersenyum. “Siapkan pasukan saat ini juga, Jenderal. Saya menunggu Anda di sana. Dan jangan lupa untuk memperhatikan setiap langkah pasukan.” Seperti yang dilakukannya pada Kolonel Abel, Kakyu segera meninggalkan Jenderal Decker sebelum Jenderal Decker sempat bertanya apaapa. Sekarang yang perlu dilakukan Kakyu adalah menemui Adna yang menyamar sebagai Pangeran Reinald. Tidak mungkin tidak ada yang terkejut melihat Kakyu yang tiba-tiba muncul dengan pakaian hitam. “Adna,” kata Kakyu, “Perintahkan setiap Jenderal untuk mengatur pasukan saat ini juga.” Adna terkejut mendengarnya. “Apa yang terjadi, Kakyu? Engkau tahu di mana Pangeran?” “Pangeran aman,” kata Kakyu, “Dengan kekuasaanmu saat ini, engkau harus memerintahkan penyerbuan ke Hutan Naullie saat ini juga. Pangeran ingin engkau tetap menjaga rahasia di antara kalian hingga ia sendiri yang memutuskan kapan untuk membenarkan kekeliruan ini.” Adna yang sudah cemas sejak Pangeran Reinald menghilang, segera berkata, “Aku mengerti.” Kakyu merasa ia tidak perlu memberitahu banyak orang dengan rencananya. Tiga orang itu pasti dapat menyiapkan pasukan secepat mungkin. Sambil menunggu pasukan Kerajaan Aqnetta tiba di markas Kirshcaverish, Kakyu harus mengacaukan markas itu. Seperti janjinya kepada Pangeran Reinald, Kakyu segera muncul di tempat itu. Pangeran Reinald tampak sangat jengkel ketika melihat Kakyu muncul dari antara kegelapan malam. “Engkau benar-benar gadis yang menyebalkan, Kakyu,” kata Pangeran begitu melihat Kakyu. Dengan tenang, Kakyu menanggapi, “Anda terlalu ceroboh untuk saya biarkan mengacaukan mereka sendirian.” “Engkau sudah memberitahu mereka?” Kakyu mengangguk. Tanpa banyak berbicara lagi, Kakyu mengeluarkan busurnya. Pangeran Reinald bertindak cepat. Ia segera mengambil alih busur dan anak panahnya itu sambil berkata, “Biar aku.” Kakyu membiarkan Pangeran Reinald melakukannya. Hanya itu yang dapat dilakukan untuk mencegah Pangeran Reinald bertindak lebih jauh. 140

Terlalu bahaya membiarkan Pangeran yang tidak sabar itu menyerbu markas Kirshcaverish. Bisa-bisa yang terjadi bukan mereka yang berhasil mengacaukan Kirshcaverish malah Kirshcaverish yang berhasil mengacaukan mereka. Selagi Pangeran Reinald mengacaukan Kirshcaverish dengan panah api, Kakyu bisa memanfaatkan keadaan itu. Dengan menahan rasa sakitnya, Kakyu memaksa dirinya untuk melepas ikat rambutnya dan menggenakannya sebagai topeng barunya. Pangeran Reinald terlalu sibuk dengan apa yang dilakukannya untuk memperhatikan Kakyu. Ketika gadis itu sudah siap memasuki Kirshcaverish, Pangeran Reinald masih tidak tahu apa yang direncanakan Kakyu. Baru ketika melihat sesuatu berwarna hitam yang hampir tidak kentara dalam kegelapan malam, menuruni lembah menuju markas Kirshcaverish, Pangeran Reinald sadar. Siapa lagi yang dapat bergerak sedemikian cepat dan tanpa menimbulkan suara selain Kakyu yang diketahuinya sebagai gadis yang dapat bergerak cepat dan penuh perhitungan. Cepat-cepat Pangeran Reinald mengejar Kakyu yang berjalan sangat hatihati hingga tidak menimbulkan suara maupun gerakan apapun yang akan membuat Kirshcaverish curiga. “Apa yang kaulakukan?” tanya Pangeran Reinald begitu berhasil menangkap lengan Kakyu. Kakyu terkejut. Kakyu tidak mengharapkan Pangeran Reinald tahu apa yang akan dilakukannya, tetapi rupanya ia kurang hati-hati hingga Pangeran Reinald dapat melihatnya dalam kegelapan malam. “Melakukan apa yang ingin saya lakukan sebelum Anda mengejutkan saya,” kata Kakyu. “Tidak!” kata Pangeran tegas, “Engkau tidak akan ke mana-mana sampai mereka datang.” “Tidak,” Kakyu balas menentang, “Saya harus melakukannya.” “Apa yang harus kaulakukan saat ini adalah membuat perhatian Kirshcaverish terpecah,” kata Pangeran Reinald. “Itulah yang akan saya lakukan,” sahut Kakyu dengan ketenangannya. Ketenangan Kakyu tidak membuat Pangeran Reinald kehilangan cara untuk menghalangi niat gadis itu, “Engkau juga harus melindungiku. Jangan lupa itu.” Percuma saja Pangeran Reinald mencoba mencegah Kakyu yang telah memikirkan semuanya sebelum ia memutuskan untuk mengacaukan Kirshcaverish dari dalam markas mereka. 141

Tetap dengan ketenangannya, Kakyu berkata, “Di atas sana, Anda akan aman hingga pasukan datang.” “Tidak!” untuk kesekian kalinya Pangeran Reinald melarang Kakyu dengan tegas. Pangeran teringat setiap orang mengatakan padanya Kakyu seorang Perwira yang patuh. Walau diberi tugas sesulit apapun, ia tetap menerimanya dan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Pangeran Reinald memanfaatkannya, “Aku memerintahkan kepadamu untuk tetap tinggal di atas.” Kakyu bukanlah gadis yang selalu patuh. Kakyu tahu kapan ia harus patuh dan kapan ia boleh menentang perintah yang diberikan padanya. Sebelum Pangeran mempererat pegangan di lengannya, Kakyu melepaskan lengannya dengan cepat. Dan dengan cepat ia menghilang di balik bom asap yang dilemparkannya dan hanya meninggalkan suara menggema. Pangeran Reinald tidak tahu Kakyu telah dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini. Untuk segera menghilang sebelum musuh menangkapnya dan menghindari musuh melihatnya. Itulah yang dilakukan Kakyu setelah membuat pandangan Pangeran Reinald terganggu oleh asap tebal yang seperti kabut itu. Secepat kilat, Kakyu menyelinap di antara semak-semak tinggi dan perlahan-lahan menuruni lembah itu. Pangeran Reinald jengkel ketika akhirnya asap itu hilang. Dan ia semakin jengkel ketika melihat Kakyu tidak berada di depannya lagi. Gadis itu telah menghilang dibalik asap putih. Seperti tadi, tidak ada yang dapat dilakukan Pangeran selain menunggu Kakyu di atas. Anak panah yang ada tinggal sedikit dan itu adalah panah api bukan panah biasa. Sedangkan untuk memasuki markas, Pangeran Reinald membutuhkan senjata yang cukup menahan mereka. Pangeran Reinald bisa mengikuti Kakyu walau ia tidak bersenjata tetapi Pangeran tidak mau melakukannya. Bukan karena ia tidak berani. Ia berani bahkan ia bisa saja segera menyusul Kakyu tetapi ia tidak ingin membuat Kakyu mengkhawatirkan dirinya yang kemudian berakibat Kakyu menjadi ceroboh. Memasuki sarang musuh memerlukan perhitungan yang tepat. Sedikit kesalahan saja bisa menimbulkan masalah tidak hanya bagi yang tertangkap tetapi juga bagi kelompok yang tertangkap. Pangeran Reinald tidak ingin itu terjadi apalagi mengingat dirinya adalah Putra Raja Alfonso yang diharapkan kelak menggantikan Raja Alfonso. Seandainya ia tertangkap dan Kirshcaverish tahu yang ditangkapnya adalah Putra Mahkota, Kirshcaverish akan semakin mudah mencapai

142

tujuannya. Sedangkan kedatangan Pangeran Reinald ke sini bukan untuk itu. Beberapa saat sebelum menyelesaikan sekolahnya di Oxford, Pangeran Reinald menerima surat dari ayahnya yang meminta ia segera pulang setelah sekolahnya selesai. Pangeran Reinald mulanya tidak tahu ada maksud lain di balik permintaan itu. Ketika dalam perjalanan, beberapa orang berusaha menghentikan kepulangannya. Adna yang bertugas mengawalnya selama ia tidak berada di Kerajaan Aqnetta, terus berusaha melindunginya. Mulanya mereka memang terus dapat bersama tetapi keadaan tidak dapat bertahan lama. Karena orang-orang itu, mereka berdua terpencar dan akhirnya Pangeran Reinald tiba lebih lambat dari Adna. Baru ketika itulah Pangeran Reinald tahu permintaan untuk segera pulang bukan hanya karena kerinduan yang telah lama terpendam tetapi juga untuk menguji hasil yang telah didapat Pangeran selama ia berada di Inggris. Raja Alfonso memerintahkan Pangeran Reinald menunjukkan apa yang telah dipelajarinya dengan membantu para Jenderal menumpas Kirshcaverish di Hutan Naullie. Pangeran Reinald akan gagal menunjukkan hasil belajarnya selama bertahun-tahun di Inggris bila ia sampai tertangkap Kirshcaverish. Lagipula Pangeran tahu yang harus dilakukannya saat ini adalah membantu Kakyu mengacaukan perhatian Kirshcaverish sambil menanti datangnya pasukan Kerajaan Aqnetta. Pangeran hanya dapat berharap gadis dapat menjaga dirinya. Walaupun semua orang mengatakan Kakyu seorang pemuda yang tangguh, Pangeran Reinald yang telah mengetahui Kakyu bukan seorang pria, tetap mengkhawatirkannya. Hingga pasukan tiba, Pangeran Reinald berharap Kakyu memang setangguh yang dikatakan orang-orang. Sementara Pangeran Reinald mengkhawatirkan Kakyu, Kakyu sendiri tidak mengkhawatirkan dirinya. Gadis itu percaya ia dapat mengatasi Kirshcaverish bila ia ketahuan mereka. Tetapi melihat keadaan di dalam markas Kirshcaverish yang kacau balau seperti ini, Kakyu yakin tidak seorangpun dari mereka yang akan melihatnya. Walaupun begitu Kakyu tetap berhati-hati memasuki markas Kirshcaverish lebih dalam. Kemarin Kakyu telah mengetahui siapa pemimpin Kirshcaverish. Dan sekarang ia akan mencari tempat Bleriot serta memastikan pria itu tidak meninggalkan tempat ini baik sekarang maupun nanti bila pasukan telah tiba. Kakyu menduga tenda Bleriot adalah tenda terbesar di tempat ini. 143

Orang-orang yang berlalu lalang di kegelapan malam itu sambil membawa ember berisi air, tidak memperhatikan Kakyu yang mengendapendap memeriksa tenda-tenda besar satu demi satu. Seseorang muncul dari sebuah tenda di dekat tempat persembunyian Kakyu dan di samping kanannya berdiri pria yang lain. “Menurutmu ini hasil pekerjaan siapa?” tanya salah seorang pria itu pada pria yang lain dengan geram. Kakyu menajamkan inderanya untuk mendengarkan percakapan mereka dengan jelas di antara keributan anggota Kirshcaverish yang lain. “Kurasa bukan pasukan Kerajaan Aqnetta,” kata pria yang lain, “Selama ini tidak seorangpun pasukan Kerajaan Aqnetta yang berhasil memasuki daerah sekitar tempat ini.” “Lalu siapakah orang ini, Orleando?” “Aku tidak tahu, Bleriot,” kata pria yang dipanggil Orleando itu, “Orang ini sangat ahli. Dan ia tahu pasti letak-letak tenda penting kita. Kurasa ia telah memasuki markas kita sebelumnya. Ia telah membakar tenda-tenda penting kita dan yang lebih parah, tenda tempat penyimpanan senjata kita habis terbakar. Siapapun dia, ia pasti bukan pasukan Kerajaan Aqnetta. Mungkin Raja Alfonso yang menyuruh orang ini?” “Tidak mungkin!” bantah Bleriot, “Selama bertahun-tahun aku bekerja pada Raja Alfonso, aku telah mengenal sifatnya. Raja Alfonso bukan orang yang dengan mudah menyuruh orang lain di luar kerajaannya untuk membantu masalah dalam negerinya.” “Maksudku, orang ini pasti penduduk Kerajaan Aqnetta yang kemudian oleh Raja disuruh menemukan letak markas kita dan mengacaukan kita.” “Itu lebih tidak mungkin lagi,” kata Bleriot tajam, “Sebelum aku mengumpulkan kalian di sini, aku telah menyelidiki terlebih dulu siapa saja yang bisa menjadi musuh terkuatku. Dan selain para Jenderal yang sudah tua, aku tidak menemukan orang lain, tidak juga rakyat biasa. Sejak saat itu aku tidak pernah berhenti mencari orang-orang yang dapat menjadi lawan terkuatku dan aku tetap tidak pernah menemukannya.” “Aku tidak tahu lagi,” kata Orleando, “Aku belum pernah menemukan orang yang sedemikian ahlinya.” Kakyu melihat Bleriot termenung. Sambil menggelengkan kepalanya, Bleriot berkata, “Tidak. Tidak mungkin dia.” “Dia siapa, Bleriot?” tanya Orleando tidak mengerti. Bleriot menepuk bahu Orleando sambil berkata, “Sudah. Lupakan saja. Sekarang kita harus berharap pasukan Kerajaan Aqnetta tidak menyerbu saat ini. Kalau tidak, kita pasti akan hancur.” “Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” “Berharap siapapun pria itu, tidak dapat melewati ranjau-ranjau darat

144

kita,” kata Bleriot geram, “Juga pasukan Kerajaan Aqnetta tidak akan dapat menerobos ranjau-ranjau yang telah kita tanam. Siapapun dia, dia telah mengacaukan rencanaku dan ia akan membayarnya bila aku sampai menangkapnya. Gara-gara dia sekarang kita harus membeli senjata baru lagi. Kita harus segera mengirimkan daftar permintaan kita ke mereka secepatnya.” Kakyu semakin menyembunyikan dirinya ke tenda ketika kedua pria itu lewat di dekatnya. Sekarang Kakyu tahu seperti apakah pemimpin Kirshcaverish. Dan ia tidak akan membiarkan pria itu lolos bila pasukan Kerajaan Aqnetta datang nanti. Pria itu harus membayar apa yang dilakukannya pada Kerajaan Aqnetta juga pada keluarga Halberd. Dalam persembunyiannya, Kakyu tidak melepaskan sedikitpun pandangannya dari Bleriot. Kakyu yakin tak lama lagi pasukan Kerajaan Aqnetta akan tiba. Perjalanan dari benteng ke markas Kirshcaverish tidak akan memakan waktu lebih dari tiga jam sekalipun mereka berjalan lambat. Tetapi Kakyu tahu Jenderal Decker juga Adna tidak akan membiarkan pasukan Kerajaan Aqnetta berjalan lambat. Pangeran Reinald telah melaksanakan tugasnya di atas sana dan sekarang Kakyu harus melaksanakan tugasnya sendiri. Mereka tidak boleh tertangkap sampai pasukan Kerajaan Aqnetta tiba.

145

12

Pangeran Reinald tidak sabar menanti pasukan. Sementara ia mengkhawatirkan Kakyu yang sampai sekarang tidak segera kembali, pasukan Kerajaan Aqnetta tidak segera datang. Berulang kali Pangeran Reinald ingin menyusul Kakyu tetapi ia terus menahan diri. Ia tidak tahu hingga kapan ia mampu bertahan sementara kekhawatirannya semakin bertambah tiap menitnya. Cukup lama Pangeran Reinald bertahan di tempatnya hingga ia akhirnya tidak sabar lagi. Di saat itulah kedatangan pasukan Kerajaan Aqnetta terdengar di kejauhan. Untung saja pasukan Kerajaan Aqnetta segera tiba di saat itu, bila tidak Kakyu tidak hanya harus memperhatikan Bleriot tetapi juga Pangeran Reinald yang tidak pernah sabar. Dan Kakyu pasti kesulitan karenanya. Pangeran Reinald lega juga semakin tidak sabar mendengar suara itu. Ketika akhirnya Adna muncul pertama kali dari kegelapan malam, Pangeran Reinald berkata tajam, “Mengapa kalian lama sekali?” “Maafkan saya, Pangeran,” kata Adna, “Kami telah berusaha datang secepat mungkin tetapi kami harus berhati-hati kalau tidak kami akan terkena ranjau.” Jenderal Decker yang datang kemudian, tidak mendengar percakapan itu. Kepada Pangeran Reinald yang dikenalnya sebagai Adna, ia bertanya, “Di mana Kakyu?” “Di sana,” kata Pangeran Reinald sambil menunjuk markas Kirshcaverish yang terbakar. Jenderal Decker kaget melihat markas itu dan lebih kaget lagi melihat markas itu terbakar. Bukan hanya kebakaran kecil tetapi sudah menjadi kebakaran yang sangat parah. “Cepat!” kata Pangeran Reinald, “Apalagi yang kalian tunggu! Serang saja mereka di saat mereka kacau balau seperti ini.” Adna yang menyamar sebagai Pangeran Reinald segera berkata, “Cepat serang mereka!” “Kita belum melakukan persiapan apapun, Pangeran,” kata Jenderal Erin. “Tidak perlu,” jawab Jenderal Decker, “Kakyu mengatakan kalian tidak perlu menyusun rencana apapun selain menyerang mereka dari segala penjuru.” “Saat ini juga!” tambah Pangeran Reinald dengan tegas. 146

“Sebaiknya kalian menuruti apa katanya,” kata Adna. “Engkau tidak perlu khawatir, Erin,” kata Jenderal Decker, “Kakyu telah membuatkan peta tempat ini lengkap dengan strateginya.” “Kakyu?” tanya Jenderal Erin tak mengerti. “Tidak ada waktu untuk menjelaskan itu. Sekarang kita harus segera menyerang Kirshcaverish seperti strategi yang dibuat Kakyu,” Jenderal Decker menegaskan. Bersama Jenderal Reyn yang telah mempelajari peta itu, Jenderal Decker mengatur pasukan seperti strategi yang terlukis dalam selembar kertas bersama-sama peta itu. Sementara pasukan bersiap-siap mengambil posisi di tempat mereka masing-masing, Pangeran Reinald menarik Adna menjauh. “Kakyu tahu,” katanya memberitahu. “Tahu apa, Pangeran?” tanya Adna. “Tahu aku bukan engkau dan engkau bukan aku.” “Saya tidak terkejut,” kata Adna jujur, “Ia memang bukan prajurit biasa. Entah kemampuan apa yang dimiliknya sampai ia bisa muncul tiba-tiba sehingga membuat saya terkejut.” “Juga menghilang tiba-tiba,” tambah Pangeran Reinald. “Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Adna, “Apakah kita harus tetap seperti ini atau kita mengatakan semuanya?” “Apakah tidak apa-apa bagimu?” selidik Pangeran Reinald. Adna tampak ragu-ragu. “Saya tidak tahu, Pangeran. Tetapi kalau Anda memerintahkan kita kembali ke posisi semula, saya akan menurut.” “Tidak, Adna,” kata Pangeran Reinald, “Aku tahu hubunganmu dengan Joannie semakin dekat. Aku tidak ingin merusaknya.” “Tetapi bagaimana dengan Kakyu?” “Jangan mengkhawatirkan dia,” kata Pangeran Reinald yang masih tidak mau mengatakan Kakyu itu seorang gadis, “Ia juga telah menanyakan hal ini kepadaku. Kurasa sampai kita akan kembali ke Chiatchamo, tidak akan terjadi apa-apa kalau kita tetap seperti ini.” “Apakah kita akan menang, Pangeran?” tanya Adna cemas, “Selama ini pasukan kita tidak pernah menang bila bertemu mereka.” Pangeran Reinald terlihat ragu-ragu juga. “Aku juga tidak yakin. Tetapi Kakyu sangat yakin.” “Mungkin Perwira Kakyu benar,” kata Adna, “Ia bukan pemuda yang ceroboh. Ia pasti telah memperhitungkan segalanya.” “Aku juga berharap seperti itu,” kata Pangeran Reinald, “Sekarang kembalilah ke barisan sebelum seorangpun curiga.” “Baik, Pangeran.” Adna segera meninggalkan Pangeran Reinald. 147

Dengan cemas, Pangeran Reinald mengikuti Adna tak lama kemudian. Matanya terus tertuju pada markas Kirshcaverish yang terlihat memerah di kegelapan malam itu. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika akhirnya semua pasukan telah siap di posisi masing-masing. Pangeran Reinald tidak ingin hanya berdiri diam di puncak lembah sambil terus membakar perkemahan Kirshcaverish sementara pasukan lain menyerbu Kirshcaverish selain itu mengkhawatirkan Kakyu. Tetapi seseorang harus terus mengacaukan perhatian Kirshcaverish sementara pasukan Kerajaan Aqnetta mendekati markas mereka dengan perlahan-lahan. Ketika melihat seorang prajurit yang sering dilatih memanah oleh Kakyu, Pangeran Reinald segera memerintahkannya untuk menggantikannya kemudian ia sendiri mengikuti pasukan yang telah berangkat lebih dulu. Sementara pasukan yang lain menuruni lembah itu dengan berlindung di balik semak-semak tinggi, Pangeran yang tidak punya posisi tetap, berjalan lebih cepat ke tempat Kirshcaverish. Ia ingin mencari Kakyu di perkemahan itu dan melihat apa yang dilakukan gadis itu sebelum kekhawatirannya berubah menjadi kecurigaan. Satu-satunya tempat Kakyu berada yang terpikirkan oleh Pangeran Reinald hanya pusat perkemahan Kirshcaverish. Kakyu mengatakan ia akan mengacaukan perhatian Kirshcaverish dan kemungkinan ia besar mengacau perhatian para pemimpin yang berada di pusat perkemahan itu. Dugaan Pangeran Reinald tidak salah. Kakyu memang berada di pusat perkemahan Kirshcaverish tetapi ia tidak mengacaukan perhatian pimpinan Bleriot. Dengan tenangnya, ia bersembunyi di balik tirai gelap yang memisahkan tenda besar itu menjadi ruang tidur dan ruang kerja. Cahaya lilin yang menerangi tenda besar itu menguntungkan Kakyu. Bleriot yang sibuk di meja kerjanya menjadi tidak tahu Kakyu yang bersembunyi di balik tirai tepat di belakangnya. Kirshcaverish yang sibuk tidak melihat kedatangan pasukan Kerajaan Aqnetta di puncak lembah, tetapi Kakyu yang mengintip melalui pintu belakang tenda, melihatnya. Walaupun begitu Kakyu tidak bergerak dari tempatnya, ia terus mengawasi gerak-gerik Bleriot di dalam tendanya. Kakyu tidak ingin tahu bagaimana penyerbuan itu terjadi dan ia tidak senang mengetahuinya. Ia hanya tahu tugasnya untuk saat ini adalah mengawasi Bleriot agar pria itu tidak sempat melarikan diri sebelum pasukan Kerajaan Aqnetta menangkapnya. Seperti yang diduga Kakyu, pria tua itu segera bersiap-siap melarikan diri ketika mendengar suara tembakan di antara keributan yang terjadi di luar. Bleriot sudah tahu senjatanya sama sekali tidak bersisa. Tetapi ia tidak tahu siapa yang menghancurkan senjata sisa itu. Seperti ia tidak tahu ia sudah diawasi Kakyu sejak tadi. 148

Malang sekali bagi Bleriot, sebelum ia kabur, pasukan Kerajaan Aqnetta dipimpin Pangeran Reinald sendiri sudah menyerbu masuk. “Berhenti!” seru Pangeran Reinald. Sesaat kemudian muncul juga Jenderal Decker yang segera berseru, “Engkau tidak dapat ke mana-mana lagi, Bleriot.” Beberapa prajurit lainnya menyusul masuk termasuk para Jenderal. Bleriot tertawa mengejek melihatnya. “Kalian jangan harap dapat menangkapku,” katanya mengejek, “Orang yang kalian kirimpun tidak akan dapat menangkapku.” “Orang yang kami kirim?” tanya Jenderal Decker kebingungan. “Jangan bohong,” kata Bleriot, “Kalian semua pengecut. Kalian tidak mengakui kekalahan kalian malah menyuruh orang lain menyerbu tempat ini.” “Tetapi baik kalian maupun dia tidak akan dapat menangkapku,” Bleriot tersenyum mengejek, “Tidak ada. Tidak ada yang dapat menangkap Jenderal Besar sepertiku.” Bleriot mundur perlahan-lahan sambil terus tertawa mengejek. Pasukan Kerajaan Aqnetta tidak mengetahui ada pintu belakang di tenda itu yang letaknya di ruang tidur. Mereka juga tidak tahu kain gelap di belakang Bleriot bukan batas tenda melainkan tirai pemisah. Semua mengira Bleriot mundur karena ketakutan dan tidak seorangpun yang curiga karenanya. Sesaat sebelum Bleriot memasuki ruang tidurnya, Kakyu membuka tirai itu dan menampakkan dirinya. Bleriot terkejut melihat Kakyu di belakangnya. Tiba-tiba wajahnya memucat melihat Kakyu yang berdiri memantung – tidak bergerak juga tidak berbicara – itu. “Kau?” katanya antara terkejut dan heran, “Kenichi?” Kakyu terkejut mendengar nama itu. Bagaimana Bleriot mengenal Kenichi? Apakah gurunya itu berada di sini? Sekitar lima tahun lalu, Kenichi berpamitan pada keluarga Quentynna untuk berlatih di Hutan Naullie, tetapi sejak saat itu tidak pernah terdengar kabar berita darinya. Kakyupun telah mencari sendiri pria tua itu di dalam Hutan Naullie. Berhari-hari ia menelusuri hutan lebat ini tetapi ia tidak menemukannya. Mengingat Kenichi bukan orang biasa, Kakyu hanya dapat yakin gurunya selamat walau ia terus mencemaskannya. Kemudian timbul pikiran dalam diri Kakyu kalau gurunya kembali ke tanah airnya, Jepang. Tidak aneh kalau Kenichi kembali ke tanah airnya. Tahun-tahun telah berlalu, sejak ia ditemukan pingsan di tepi pantai oleh Jenderal Reyn. Ketika Jenderal Reyn menemukannya pingsan di tepi pantai, Kakyu masih belum lahir. Beberapa hari setelah kedatangannya di Quentynna House, Kakyu lahir. 149

Kenichi yang hanya mengerti sedikit bahasa Inggris yang digunakan di Kerajaan Aqnetta, sangat menyukai gadis kecil yang baru lahir itu. Kenichi senang melihat rambut gadis kecil itu bersinar terang seperti api yang terus membara. Dari ucapannya yang tidak dimengerti sama sekali oleh keluarga Quentynna, keluarga Quentynna mendengar Kenichi terus menerus mengatakan ‘Kakyu’ dan akhirnya kata itu mereka gunakan sebagai nama gadis kecil yang baru lahir itu. Sejak kedatangan Kenichi di Quentynna House, pria tua itu telah menjadi kakek bagi putri-putri keluarga itu tetapi tidak ada yang sedekat Kakyu. Sejak kecil Kakyu sangat dekat dengan Kenichi. Hampir setiap saat bayi mungil itu berada di gendongan Kenichi. Lady Xeilan yang melihatnya sampai berkata, “Kakyu seperti cucu kandung Kenichi saja. Setiap hari mereka selalu lekat.” Akhirnya di antara keluarga Quentynna, hanya Kakyu yang mengerti apa yang diucapkan Kenichi. Setiap hari mereka berbicara dalam bahasa Jepang yang terdengar aneh di telinga keluarga Quentynna lainnya. Sejak kecil Kakyu menguasai dua bahasa. Satu bahasa Inggris yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari Kerajaan Aqnetta dan yang lain adalah bahasa Jepang yang diperolehnya dari Kenichi. Ketika Kenichi masih ada di Quentynna House, Kakyu sering menggunakannya tetapi sejak pria itu menghilang, Kakyu tidak pernah menggunakannya lagi. Orang tuanya juga kakak-kakaknya tidak ada yang mengerti bahasa itu. Tetapi Kakyu tidak pernah melupakan bahasanya itu seperti ia tidak pernah melupakan Kenichi yang dianggapnya telah kembali ke tanah airnya. “Tidak,” kata Bleriot tak percaya, “Tidak mungkin engkau masih hidup. Aku melihat sendiri tubuhmu dibuang di lembah.” Kakyu terkejut mendengarnya tetapi ia tetap tidak bergerak. Matanya terus mengawasi muka Bleriot yang sesaat lalu memucat. Jenderal Reyn juga Jenderal Decker terkejut mendengarnya. “Siapa engkau? Engkau pasti bukan Kenichi, aku yakin aku telah membunuhnya empat tahun yang lalu.” Kakyu terus menatap Bleriot dari balik penutup wajahnya sebelum ia bertanya, “Engkau yang membunuh Kenichi?” Di tempat itu tidak ada yang lebih mengenali Kakyu daripada Jenderal Reyn. Jenderal Reyn tahu suara tenang itu berbahaya, berbahaya bagi Bleriot. Jenderal Reyn tahu seorang ninja membunuh musuhnya dengan ketenangannya yang tajam itulah. “Benar,” kata Bleriot bangga – tanpa menyadari bahaya yang mengancamnya, “Engkau tidak menduga bukan? Aku dapat membunuh

150

seorang ninja sepertinya. Dan engkau bocah, engkau tidak akan dapat menangkapku.” Kakyu diam saja. Matanya terus menatap tajam wajah Bleriot yang tertawa mengejek itu. Sementara itu dalam hatinya terus bergolak perasaan marah dan sedih. “Kau ingin tahu bagaimana aku membunuh ninja itu?” tanyanya, “Aku maracuninya dan akhirnya aku membuangnya ke lembah terdalam di pegunungan ini. Ia tidak akan dapat hidup di sana.” Bleriot tertawa puas. Tujuannya adalah menakuti Kakyu tetapi ternyata tujuannya itu justru membuat Kakyu semakin tajam menatapnya. Gejolak dalam diri Kakyu semakin bertambah besar karenanya. Sementara di satu sisi Kakyu ingin membalas dendam, di sisi lain Kakyu ingin mematuhi tugasnya. Kakyu terus berdiam diri. Dalam hatinya terus terjadi pergolakan yang luar biasa antara dendam dan tugas. Teringat Kenichi yang baik hati dan selalu disiplin, Kakyu tahu pria itu tidak akan senang melihatnya mengabaikan tugasnya hanya karena masalah pribadi. Dosa Bleriot lebih besar kepada Kerajaan Aqnetta dibandingkan kepada Kenichi. Kakyu tahu Bleriot harus menerima hukumannya dari Kerajaan Aqnetta. “Jangan khawatir,” katanya, “Tak lama lagi aku akan mengirimkanmu ke tempatnya agar kau dapat berkenalan dengannya. Juga kalian semuanya.” Sambil tertawa penuh keyakinan akan menang, Bleriot menepuk tangannya tiga kali. Tiba-tiba Kakyu merasakan keberadaan beberapa orang di bawahnya. Bersamaan dengan itu dari sekitar tenda itu, beberapa pintu bawah tanah yang tersamar oleh tanah, terbuka. Sekitar lima orang yang juga mengenakan pakaian seperti Kakyu muncul dari lubang bawah tanah itu. Jenderal Reyn terkejut melihat mereka. Ia tahu bahaya bila berhadapan dengan mereka. “Mundur!” perintah Jenderal Reyn. Pasukan Kerajaan Aqnetta segera melaksanakan perintah itu. Tetapi Kakyu tidak. Jenderal Reyn khawatir melihatnya. “Kakyu, mundur!” Seruan itu membuat prajurit-prajurit terkejut. Kegaduhan muncul di antara mereka tetapi Kakyu tetap tidak bergerak. “Hadapi dia dulu,” perintah Bleriot pada para pengawal ninjanya. Satu yang tidak diketahui Bleriot adalah Kakyu sudah tahu para pengawal berbaju hitam itu bukan ninja sejak mereka muncul. Gerakan mereka sama sekali tidak mirip seorang ninja. 151

Kalau Bleriot berniat membuat Kakyu takut dengan pengawal ninjanya, ia tidak akan berhasil. Tetapi kalau orang lain, ia akan berhasil. Kakyu yang sudah lama belajar menjadi ninja dari Kenichi, tidak mungkin tidak dapat membedakan ninja yang asli dengan meraka yang hanya berbaju selayaknya seorang ninja. Kelima orang itu segera mengelilingi Kakyu yang tetap tidak bergerak. Pangeran Reinald benar-benar cemas karenanya. Ia ingin membantu Kakyu tetapi pengawalnya menghalanginya. Sedangkan Jenderal Reyn yang tak kalah cemasnya, tidak dapat dapat berbuat apa-apa. Demikian pula Jenderal Decker yang belum tahu benar kehebatan seorang ninja. Tetapi tidak demikian halnya dengan prajurit lainnya. Mereka ingin membantu Kakyu. Beramai-ramai mereka maju dan segera menyergap kelima orang itu. Kelima pria berbaju hitam itu segera bertindak ketika banyak pasukan yang menyerang mereka. Gerakan mereka semakin membuat Kakyu yakin mereka tidak seperti dirinya. Tetapi Kakyu tidak akan membiarkan seorangpun di antara mereka melukai pasukan Kerajaan Aqnetta. Karena tidak ingin ada korban yang jatuh, Kakyu segera mengeluarkan apa yang selama ini tidak boleh dilakukannya. Tanpa memejamkan matanya walau hanya sebentar, Kakyu terus menatap kelima pria itu dari tempatnya. Bleriot kebingungan melihat kelima pengawalnya tiba-tiba seperti ketakutan sehingga pasukan Kerajaan Aqnetta dapat meringkus mereka dengan mudah. “Satu yang tidak kauketahui adalah aku sama seperti Kenichi,” kata Kakyu memberitahu dalam bahasa Jepangnya yang fasih, “Kau tidak akan dapat mengalahkanku juga tidak ninjamu itu. Mereka cukup bagus menyamar menjadi ninja tetapi sayang sekali mereka tidak tahu siapa yang mereka hadapi.” Bleriot tidak mengerti apa yang dikatakan Kakyu, tetapi ia tetap tidak mau menunjukkannya. “Apa yang kaulakukan pada mereka?” tanya Bleriot geram. “Kobadera,” jawab Kakyu singkat. Wajah Bleriot memucat mendengarnya. Dengan bahasa Jepang yang fasih pula Kakyu berkata, “Sekarang saatnya untukmu.” Jenderal Reyn yang mengerti sedikit apa yang dikatakan Kakyu terkejut mendengarnya. Ia khawatir Kakyu akan melakukan sesuatu pada pria itu. “Jangan, Kakyu!” pintanya. Jenderal Reyn tidak perlu khawatir Kakyu akan membunuh pria yang memucat itu sebagai pembalasan dendamnya. 152

“Apalagi yang kautunggu?” tanya Bleriot mengejek, “Engkau tidak cukup berani untuk membunuhku, bukan?” Pancingan itu mempengaruhi Kakyu. Kembali rasa marah, benci, dendam dan kesedihan menguasai perasaannya. Benar-benar perjuangan yang berat bagi Kakyu yang biasanya selalu dapat menguasai perasannya, untuk memilih di antara perasaannya dan tugasnya. Dengan kemampuannya Kakyu tahu ia bisa membunuh pria itu dengan mudah tetapi ia tidak akan melakukan itu. Kakyu tahu pria itu lebih senang mati daripada harus menjalani hukuman tetapi Kakyu ingin pria itu menebus semua kesalahan yang telah dilakukannnya. Dengan perjuangan yang berat, Kakyu akhirnya memilih menghilangkan perasaannya demi tugasnya. Kenichi sering berkata kepadanya untuk selalu menguasai perasaannya dan tidak membiarkan perasaan pribadinya mencampuri pekerjaannya. Kenichi akan tidak senang melihat Kakyu mencampurkan perasaan pribadinya dengan tugasnya. Tugas yang sangat penting bagi Kerajaan Aqnetta. “Baiklah kalau itu keinginanmu,” katanya berbohong. Jenderal Reyn terkejut mendengarnya. Tetapi Kakyu tetap tidak berpindah dari tempatnya juga tidak bergerak. Matanya terus tertuju pada pria itu. Jenderal Reyn semakin khawatir melihatnya. Mata Kakyu yang terus menatap tajam, membuat Bleriot ketakutan tetapi ia tidak mau menampakkannya. Kakyu sendiri juga tidak mau menanti lebih lama lagi. Semakin ia melihat pria itu, semakin ingin ia membunuh pria itu. Sebelum segalanya terlambat untuknya, Kakyu segera bertindak cepat. Masih dengan bahasa asingnya, Kakyu berkata, “Kenichi tidak akan senang melihatmu masih hidup, tetapi ia lebih tidak akan senang lagi bila aku membunuhmu.” Bersamaan dengan itu, Kakyu meninggalkan Bleriot yang sudah ketakutan dan tidak dapat melawan lagi. “Cepat tangkap dia!” seru Jenderal Reyn begitu Kakyu meninggalkan tenda secepat angin. Tanpa perlu disuruh dua kali, pasukan segera bertindak. Menangkap Bleriot yang sudah ketakutan oleh Kakyu, lebih mudah daripada menangkap kelima pria itu. Dengan mudah mereka mengikat Bleriot dan membawanya pergi. Pasukan telah meninggalkan tenda tetapi para pemimpin mereka belum. “Apa yang dia katakan tadi?” tanya Jenderal Decker. “Jangan tanya aku,” kata Jenderal Reyn, “Aku sendiri tidak mengerti apa yang dia katakan itu.” 153

“Di mana dia mempelajari bahasa itu?” tanya Pangeran Reinald dengan wajah pucatnya karena terkejut dan tidak percaya. “Dari Kenichi,” jawab Jenderal Reyn. “Engkau seharusnya juga dapat mengerti apa yang ia katakan,” kata Jenderal Decker, “Bukankah Kenichi guru Kakyu?” “Itulah masalahnya. Walaupun aku dan Kenichi tinggal serumah tetapi saja Kakyu yang paling dekat dengannya yang mengerti bahasa Jepang. Dibandingkan siapapun di Quentynna House, Kakyu lebih mahir menguasai bahasa itu. Sejak lahir, ia sudah dekat dengan Kenichi.” “Kalau rambut Perwira Kakyu berwarna hitam, aku yakin ia akan seperti seorang pemuda Jepang,” Pangeran Reinald palsu menanggapi. Sedangkan Pangeran Reinald yang asli hanya diam saja. Gadis itu tampak semakin penuh misteri baginya. Banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam diri Pangeran tampan itu dengan kejadian yang baru saja terjadi. “Akhirnya masalah ini selesai juga,” kata Jenderal Erin, “Sekarang kita hanya perlu menggeledah tempat ini dan memeriksanya kemudian kembali ke Chiatchamo.” “Tak pernah kubayangkan pertempuran terakhir ini lebih mudah dari pertempuran-pertempuran sebelumnya,” tambah Jenderal yang lain. “Seharusnya memang begitu,” Jenderal Decker puas, “Apa gunanya kita mendapatkan bantuan dari Kakyu kalau tidak seperti ini hasilnya.” Adna menatap Pangeran Reinald. Segala keputusan ada di tangan Pangeran itu, apakah tetap membiarkan kesalahpahaman ini atau membenarkan? Apakah mereka harus memeriksa Hutan Naullie dengan teliti atau mereka dapat segera pulang setelah ini? Pangeran Reinald sendiri tidak memikirkan masalah yang lain selain Kakyu. Pangeran pernah mendengar temannya yang memang berasal dari Jepang menggunakan bahasa itu dan ia ingin penjelasan atas semua ini langsung dari Kakyu sendiri. Sebelumnya Pangeran harus tahu ke mana perginya gadis itu tetapi ia tidak yakin akan dapat menemukan gadis itu. Gadis itu seperti angin yang datang dan pergi tiba-tiba serta tidak ada yang dapat menduganya juga mengikutinya. Ke manapun perginya gadis itu, yang pasti gadis itu akan selamat. Gadis itu memang bukan seorang gadis biasa. Ia tidak hanya setangguh pemuda lain tetapi juga cepat. Pangeran Reinald yang ketika berada di Inggris sering dipuji cepat baik dalam mengambil keputusan maupun bertindak, tidak dapat mengalahkan Kakyu. 154

Kakyu masih terlalu cepat untuknya. Pangeran Reinald segera meninggalkan tenda itu untuk mencari Kakyu. Walau telah mencari di sekeliling markas Kirshcaverish, ia tetap tidak dapat menemukan gadis itu. Ia ingin mencari Kakyu di benteng, tetapi ia tidak dapat meninggalkan pasukan Kerajaan Aqnetta di sini. Sampai sekarang ia memang belum menukar kembali posisinya dengan Adna bahkan belum memberi tanda-tanda untuk melakukan itu, tetapi Pangeran tahu Adna tidak tahu harus berbuat apa tanpa dirinya. Kalaupun tahu, belum tentu pria itu tahu apa yang ingin dilakukannya. Pangeran Reinald terus berkeliling markas Kirshcaverish sambil mencari Kakyu. Sejak Bleriot dan seluruh anggotanya tertangkap semua – tanpa ada yang lolos, pasukan mulai memeriksa markas Kirshcaverish. Segala barang bukti mereka kumpulkan sebagai bahan pengadilan bagi Bleriot dan kelompoknya. Mereka juga membersihkan lembah ini dari sisa-sisa tempat tinggal Kirshcaverish untuk memastikan tidak ada lagi kelompok pemberontak yang muncul di tempat ini. Untung tidak ada korban jiwa yang jatuh sehingga tugas prajurit Kerajaan Aqnetta menjadi mudah. Seluruh pasukan tampak tidak sabar lagi untuk segera pulang ke keluarga mereka masing-masing. Mereka semua telah berjasa bagi kedamaian kerajaan mereka dan sebentar lagi tiba saatnya bagi mereka untuk menikmati apa yang telah mereka lakukan bagi Kerajaan Aqnetta. Tidak seorangpun dari mereka yang mengharapkan penghargaan yang tinggi dari Raja Alfonso setelah mereka tiba di Chiatchamo. Mereka lebih mengharapkan kembali pada keluarga mereka dan melepas rindu serta kecemasan yang ada. Perang telah usai. Kirshcaverish telah tertumpas. Pemimpinnya pun dapat tertangkap. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Kedamaian Kerajaan Aqnetta telah kembali. Tetapi bersamaan dengan itu muncul tugas baru bagi Kerajaan Aqnetta. Dengan adanya pemberontak ini, Kerajaan Aqnetta harus semakin memperkuat pasukannya bukan hanya di daerah yang lapang tetapi juga di hutan. Di darat maupun di laut pasukan Kerajaan Aqnetta harus kuat agar tidak ada satu kerajaanpun yang dapat menguasai kerajaan kecil yang makmur dan kaya hasil bumi ini. Malam semakin larut dan pagi semakin dekat tetapi Pangeran Reinald 155

belum dapat menemukan Kakyu. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang melihat kepergian Kakyu. Prajurit yang berjaga-jaga di sekitar perkemahan Kirshcaverish pun tidak. Pangeran sejak tadi ingin menerobos Hutan Naullie dan mencari Kakyu lebih dalam tetapi sayangnya Pangeran Reinald tidak dapat pergi tanpa membuat seorangpun terutama Adna khawatir. Pangeran tidak mengenal Hutan Naullie ini sebaik Kakyu. Andai ia mengenal hutan ini dengan baik, tentu tak seorangpun yang akan khawatir ia tersesat. Pangeran Reinald benar-benar jengkel menyadari ia tidak dapat berbuat banyak selain mondar-mandir dengan cemas di sekitar perkemahan Kirshcaverish. Ia tidak dapat meninggalkan Hutan Naullie juga tidak dapat memasuki Hutan Naullie lebih dalam lagi. Kalau ia nekat melakukannya, ia tahu sendiri apa yang akan terjadi. Ia bukan hanya membuat Adna khawatir, lebih celaka lagi kalau kemudian pengawalnya itu karena sangat khwatirnya, mengatakan segalanya. Sedangkan Pangeran untuk saat ini masih belum mau membenarkan kekeliruan ini. Pangeran masih ingin memiliki banyak waktu untuk mendapatkan segala yang ingin ia ketahui dari Kakyu. Sejak kemarin, Kakyu telah membuat Pangeran Reinald jengkel dan sekarang Pangeran tidak dapat lagi menahan kejengkelannya itu. Pangeran Reinald benar-benar marah. Hampir setiap orang yang mengganggunya mendapatkan amarahnya. Untung saja Adna yang mengenal sikap Pangeran, menyarankan kepada setiap orang di sana untuk tidak mengusik Pangeran. Pangeran terus mencari Kakyu. Sang ayah, Jenderal Reyn sendiri tidak mengkhawatirkan putranya. Jenderal Reyn tahu Kakyu akan selamat apalagi dengan kekuatan yang dimilikinya. Walaupun sedang dalam keadaan sedih, Jenderal Reyn yakin Kakyu masih dapat menguasai dirinya. Kemarahan dan kesedihan yang tadi menguasai hatinya tidak membuatnya salah bertindak. Kakyu melawan semua perasaannya demi tugasnya. Itu sudah cukup bagi Jenderal Reyn untuk tidak mengkhawatirkan Kakyu. Di manapun Kakyu berada saat ini, ia tidak akan melakukan hal bodoh apapun. Dengan kesal Pangeran Reinald terus mencari di sekitar lembah.

156

13

Menjelang pagi, Pangeran Reinald yang berjalan di tepi sungai yang mengalir di lembah itu, melihat seseorang dalam pakaian hitam duduk termenung di batang pohon dekat sungai. Tanpa ragu sedikitpun, Pangeran segera menghampirinya. “Ke mana saja engkau?” tanya Pangeran geram. Kakyu yang sejak tadi masih sibuk merenung, terkejut. Ia tidak menyadari kedatangan Pangeran hingga Pangeran meremas kedua lengannya dan mengguncangkan tubuhnya dengan geram – tak kalah dengan suaranya. Lengan kanannya yang belum sembuh, membuat gadis itu kembali kesakitan tetapi ia tidak mau menunjukkannya. Malah dengan sikap tenangnya, ia berkata, “Tidak dari manapun.” Pangeran Reinald tidak segera melepaskan Kakyu, malahan ia menarik gadis itu hingga berdiri dan mengguncangkan tubuhnya semakin keras. “Jangan bohong kepadaku! Semalaman aku mencarimu tetapi aku tidak menemukanmu di sekitar sini.” Kakyu tidak merasa ia berbohong. Sejak meninggalkan tenda utama Kirshcaverish, ia memang duduk termenung di tepi sungai ini dan membiarkan pikirannya terus mengalir seperti aliran sungai itu. Semalaman Kakyu memikirkan Kenichi. Kenangan-kenangannya bersama Kenichi hingga kesedihannya tatkala mengetahui pria tua itu telah meninggalkannya, bukan kembali ke Jepang seperti yang diduganya. Kediaman Kakyu membuat Pangeran Reinald jengkel. “Jawab aku!” perintahnya sambil mempererat genggamannya. Sikap Pangeran itu membuat Kakyu tidak mampu menahan sakit lagi. Suara kesakitan yang muncul dari bibir gadis itu membuat Pangeran Reinald menyadari sikap kasarnya. Pangeran Reinald segera melepaskan lengan Kakyu. “Maafkan aku,” katanya, “Aku sangat marah hingga aku lupa pada lukamu.” Kakyu hanya menggeleng dengan memegang lukanya yang kembali terasa nyeri. Melihatnya, Pangeran Reinald menjadi cemas. “Engkau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir. “Tidak,” jawab Kakyu singkat – tanpa menunjukkan rasa sakitnya. Pangeran Reinald tidak percaya. “Duduklah.” Dengan kedua tangan Pangeran yang memegang kedua pundaknya, Kakyu tidak dapat berbuat apa-apa selain menuruti perintah itu.

157

Kemudian Pangeran memeriksa lengan Kakyu dengan teliti. “Untunglah,” katanya lega, “Lukamu tidak terbuka kembali. Aku tidak tahu harus berbuat apa kalau lukamu sampai terbuka kembali gara aku lagi.” Kakyu kembali memandangi aliran sungai seperti sebelum Pangeran datang. Pangeran duduk di samping Kakyu. “Ke mana saja engkau semalam?” tanyanya dengan nada yang jauh berbeda dengan sebelumnya. “Di sini.” “Mengapa aku tidak dapat menemukanmu?” tanya Pangeran Reinald tetap dengan sabar, “Aku telah mencarimu di sekitar lembah ini.” “Entahlah.” Pangeran Reinald menyadari gadis di sampingnya itu telah kembali menjadi seorang gadis tenang yang sangat pendiam. Tetapi ia bukan Pangeran Reinald yang keras hati kalau ia menyerah semudah ini. “Mungkin karena pakaianmu yang hitam itu, aku tidak melihatmu. Pakaianmu pasti telah menyamarkanmu di kegelapan malam.” “Mungkin,” kata Kakyu singkat – hanya untuk kesopanan. Pangeran Reinald melihat Kakyu yang terus menatap lurus pada aliran sungai. Entah mengapa Pangeran tiba-tiba merasa Kakyu akan tampak sangat cantik kalau ia mengenakan gaun selayaknya gadis lain. Mungkin karena semua orang di Kerajaan Aqnetta berpendapat putri Jenderal Reyn semuanya cantik dan memiliki keunikan tersendiri. Tetapi bagi Pangeran Reinald, hanya Kakyu yang paling unik. “Aku turut sedih,” kata Pangeran tiba-tiba, “Aku telah mengetahui dari ayahmu kalau Kenichi itu gurumu.” Tidak ada jawaban apapun dari Kakyu. “Aku tahu engkau sedih tetapi engkau tidak boleh terus menerus seperti ini. Kenichi pasti tidak senang kalau ia melihatmu terus bersedih seperti ini.” “Saya tahu.” “Kalau engkau tahu, mengapa engkau terus duduk di sini? Masih banyak yang harus kaulakukan selain duduk termenung di sini.” Kakyu kembali diam seribu kata. “Engkau juga masih harus menjelaskan ini semua kepadaku.” “Menjelaskan apa?” tanya Kakyu. Kakyu tidak merasa ia telah menyembunyikan sesuatu dari Pangeran Reinald. Pangeran Reinald sendiri telah tahu ia bukan seorang pria seperti anggapan orang lain. Ia hanya seorang gadis yang menyamar sebagai pria. Pangeran sendiri juga tahu apa yang dilakukannya sebelum pasukan Kerajaan Aqnetta datang. “Semuanya,” kata Pangeran Reinald, “Mulai dari engkau menjadi seorang 158

pria hingga Kenichi. Siapa Kenichi? Mengapa engkau menjadi seorang pria? Tidak satupun yang boleh terlewat.” “Anda telah mengetahuinya.” “Aku tidak tahu, Kakyu. Karena aku tidak tahu itulah, aku bertanya. Segera jawab sebelum aku mulai marah.” Kakyu terus menatap aliran sungai di depannya. Ia tidak takut pada kemarahan Pangeran, tetapi ia tahu ia tidak bisa terus menerus dalam keadaan seperti ini. Sejak dulu Kenichi telah berkata pasti akan ada saatnya bagi Kakyu untuk menjadi dirinya sendiri bukan seorang pemuda seperti yang diinginkan ayahnya. “Kenichi seorang Jepang.” “Aku tahu. Aku pernah mendengar temanku menggunakan bahasa yang kaupakai tadi itu. Aku mengerti sedikit tentang Jepang juga bahasanya, tetapi aku belum pernah mendengar tentang ninja.” “Engkau harus menjelaskan tentang itu juga,” tambah Pangeran, “Tidak dengan singkat.” “Ninja seperti seni bela diri tetapi sebenarnya ia seni membunuh. Seni yang sangat berbahaya bila digunakan untuk kejahatan tetapi bila digunakan untuk kebaikan, akan menjadi kekuatan tersendiri. Kekuatan yang tak terkalahkan.” “Sangat menakutkan,” komentar Pangeran. Kakyu mengangguk. “Seorang ninja dapat menjadi pembunuh bayaran yang menakutkan tetapi di Jepang, ninja ini sangat terorganisir dan tidak sembarangan mereka membunuh. Hanya untuk keperluan tertentu saja, mereka muncul. Seperti seorang samurai, ninja memiliki hukum. Mereka tidak boleh mengajarkan ilmu ini kepada orang lain di luar Jepang. Seseorang yang ketahuan mengajarkan ilmu ini pada orang lain, akan dihukum mati.” “Mengapa Kenichi mengajarimu?” Kakyu termenung. Dengan perlahan, ia berkata, “Papa menemukan Kenichi di tepi pantai dalam keadaan pingsan. Karena kasihan padanya, Papa membawanya ke Quentynna House dan memintanya tinggal di sana.” “Hingga saya lahir, tidak seorangpun yang dapat mengerti kata-kata Kenichi. Kenichi sendiri hanya mengerti sedikit bahasa Inggris. Mungkin karena saya lahir beberapa hari setelah ia berada di Quentynna House, ia sangat menyayangi saya.” Kakyu berhenti sesaat. Kesedihan kembali memenuhi hatinya, kenangankenangan bersama Kenichi masih terbayang jelas dalam dirinya. Pangeran Reinald menyadari kesedihan Kakyu. Ia tidak ingin Kakyu 159

menjadi semakin sedih dan ia ingin menghentikan gadis itu tetapi Kakyu telah melanjutkan ceritanya, “Ia seperti kakek bagi saya,” kata Kakyu menahan perasaan sedihnya, “Karena setiap hari terus bersamanya, saya menjadi mengerti bahasanya. Dia bercerita banyak kepada saya.” Kakyu teringat pada cerita-cerita Kenichi. Tentang legenda-legenda Jepang, tentang kebudayaan Jepang hingga bagaimana ia bisa terdampar di perairan Kerajaan Aqnetta. Kenichi mengatakan ia sedang dalam perjalanan kembali ke Jepang ketika kapalnya diserang badai. Badai itu begitu ganasnya hingga menyebabkan kapalnya karam. Ia tidak tahu bagaimana keadaan yang lain hingga saat itu. Ia hanya tahu ia telah terdampar di sini. Dan ia tidak tahu apakah ia bisa kembali ke Jepang, negeri timur yang jauh. Darinya Kenichi pula Kakyu tahu banyak tentang ninja dengan keempat simbolnya dan senjata-senjata rahasianya. Ninja memiliki banyak senjata rahasia di antaranya shurikiken, saie, surigama. Tetapi yang paling terkenal dan merupakan tanda seorang ninja adalah shurikiken. Senjata berwarna hitam dan berbentuk berbentuk bintang empat. Keempat sisi bintang yang menonjol sangat runcing seperti pedang dan akan sangat mematikan musuh. Sedangkan Saie bentuknya seperti trisula dewa laut Yunani, Poseidon, tetapi saie lebih kecil dan pendek. Di samping itu masih ada senjata lain yang juga dimiliki seorang samurai. Bedanya, pedang seorang samurai tidak berbentuk kotak pada ujungnya sedangkan pedang seorang ninja yang disebut ninja-to itu berbentuk kotak pada ujung pegangannya – antara mata pedang dan pegangannya. Dalam nin-jitsu, seni membunuh rahasia itu dikenal simbol-simbol yang menyatukan kekuatan utama. Jen, Ritsu, Saie, dan Szeng. Dalam seni ini juga dikenal adanya sihir yang disebut kobadera. Sihir untuk menimbulkan halusinasi pada musuh. Juga ada ‘Ing tong jiutsu’ yang merupakan kemampuan menghilang serta membuat musuh takut dan lumpuh. “Mengapa engkau diam saja?” “Tidak apa-apa,” Kakyu cepat-cepat menyahut. “Saya sudah mengatakan semuanya pada Anda” tambahnya. “Belum. Belum semuanya.” Semua yang perlu dikatakan telah dikatakan oleh Kakyu dan tidak ada yang terlewat. Kalau Pangeran Reinald ingin mengetahi lebih banyak lagi, Kakyu tidak dapat mengatakannya. Demi ayahnya juga demi orang lain. Kakyu dapat membayangkan seperti apa sikap orang-orang kepadanya bila mereka tahu ia menguasai seni yang sangat berbahaya yang juga memiliki 160

unsur sihir. Selama ini Kakyu telah sangat berhati-hati untuk tidak menggunakannya. Tadi Kakyu terpaksa menggunakan ilmu Kobadera-nya untuk membuat halusinasi pada kelima ninja palsu Bleriot juga pada Bleriot sendiri. Kakyu mempengaruhi pikiran mereka untuk membuat mereka seakanakan melihat sesuatu yang menakutkan. Tadi Kakyu menggunakannya dalam keadaan kacau saat pasukan yang lain sibuk dengan sisa-sisa pemberontak itu hingga tidak seorangpun dari mereka yang menyadarinya. Andai mereka menyadarinya, mereka pasti ikut ketakutan seperti Bleriot. Bleriot pasti telah mengetahui tentang seni nin-jitsu itu dari Kenichi tetapi ia tidak akan mengetahui lebih banyak dari Kakyu. Kakyu yakin Kenichi tidak akan semudah itu menceritakan segalanya kepada Bleriot. Kenichi tidak akan melanggar aturan untuk kedua kalinya. Walau begitu Bleriot sepertinya cukup tahu tentang Kobadera. Mendengarnya saja, tadi ia sudah pucat pasi. Bleriot sepertinya pernah melihat ilmu sihir itu. Apa yang dilakukan Kakyu pada Bleriot tentu tidak sebaik Kenichi tetapi setidaknya ia dapat membuat Bleriot ketakutan hingga tidak dapat berbuat apa-apa. Walaupun begitu, Kakyu tetap bertanya, “Apa yang terlewatkan?” Ketenangan gadis itu yang menunjukkan ia tidak merasa melewatkan apapun, membuat Pangeran Reinald jengkel, “Engkau belum mengatakan mengapa engkau menjadi seorang pria?” Kakyu kembali terdiam. Apakah baik mengatakan kesedihan ayahnya ketika mengetahui putra bungsunya yang diharapkannya seorang laki-laki ternyata seorang bayi perempuan. Bayi dengan tangisannya yang keras seperti pria dan rambut merah yang bersinar seperti api. “Wajah bayi yang baru lahir itu menampakkan kekuatan,” demikian yang dikatakan Kenichi pada keluarganya sesaat setelah Kakyu lahir dengan bahasa Inggrisnya yang terbata-bata dan agak kacau. “Jawablah,” desak Pangeran. “Tidak seorang gadispun yang tanpa alasan mau menjadi laki-laki apalagi sampai muncul di garis depan medan perang sebagai Perwira.” “Maafkan saya,” kata Kakyu sambil menjauh. Kakyu masih belum dapat mengatakan segalanya kepada Pangeran Reinald. Ia masih merasa berat untuk mengatakan kesedihan ayahnya setelah harapan terakhirnya untuk mempunyai putra, hilang. Tindakan Kakyu itu tentu saja membuat Pangeran Reinald jengkel tetapi Pangeran itu tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan Kakyu yang 161

telah menghilang di balik semak-semak itu. Setelah meninggalkan Pangeran, Kakyu segera menemui ayahnya. Atas ijin ayahnya, ia kembali ke benteng untuk menemui Joannie. Ada suatu urusan yang harus diselesaikannya dengan kakaknya. Pertama-tama ia harus menghilangkan kecemasan Joannie lalu ia akan menanyakan perasaan kakaknya pada Adna. Tanpa kesulitan, Kakyu mencapai benteng dan segera mencari Joannie di tendanya. “Kakyu!” seru Joannie senang, “Ke mana saja engkau? Bagaimana keadaan ayah? Bagaimana dengan Pangeran? Kirshcaverish bagaimana?” Kakyu sudah terbiasa mendengar pertanyaan yang seperti peluru tiada henti itu. “Kami semua baik-baik saja dan Kirshcaverish telah tertumpas. Sekarang kami masih membersihkan tempat itu.” “Pangeran bagaimana?” “Pangeran juga baik-baik saja,” Kakyu memberitahu, “Tidak ada korban jiwa yang jatuh. Pasukan kita hanya terluka demikian pula Kirshcaverish. Mereka semua dapat tertangkap.” “Untunglah,” kata Joannie lega, “Aku ingin ke sana. Bawalah aku ke sana.” “Tidak,” Kakyu mencegah, “Papa memerintahkanmu untuk tetap di sini.” “Tetapi aku ingin menemani Papa,” Joannie merajuk. Kakyu menatap lekat-lekat Joannie. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana sikap kakaknya kalau tahu Pangeran Reinald yang dikenalnya selama ini bukan Pangeran asli. Apakah Joannie akan bersikap manja seperti ini atau bersikap dewasa? “Aku ingin ke sana, Kakyu,” desak Joannie. “Mereka tak lama lagi akan datang,” kata Kakyu. Joannie semakin merajuk seperti anak kecil karena penolakan Kakyu. “Joannie,” kata Kakyu hati-hati, “Bagaimana perasaanmu pada Pangeran Reinald?” Perhatian Joannie teralihkan karenanya, “Engkau sudah tahu, Kakyu, aku sangat mencintai Pangeran.” “Andaikata Pangeran membohongimu, bagaimana?” “Pangeran tidak mungkin melakukannya padaku, Kakyu. Ia pria yang jujur.” “Aku tahu,” kata Kakyu. Kakyu bukan hanya sekali atau dua kali saja menanyakan tentang pria itu pada Pangeran Reinald yang asli. Dan tidak hanya sekali saja, Kakyu memuji pria itu di depan sang Pangeran yang asli. Dari semua perkataan Pangeran, Kakyu tahu Adna memang pria yang baik dan penuh pengertian. Adna tentu sudah mengenal sifat Joannie tetapi Joannie belum tentu 162

dapat menerima kenyataan bahwa Adna selama ini telah menyamar sebagai Pangeran Reinald. Walau penyamaran itu bukan karena kesalahan Adna sendiri, kalau Joannie menerimanya dengan sikap kekanak-kanakannya, Joannie bisa menjadi sangat marah dan akan fatal akibatnya bagi Adna yang juga mencintai Joannie. “Andaikan, Joannie,” kata Kakyu. “Andaikan ia membohongiku, ia tentu punya alasan sendiri,” kata Joannie bijaksana, “Aku pasti akan mendengarkannya.” Walau kakaknya telah mengatakan sikapnya dengan penuh keyakinan, Kakyu tidak yakin sikap Joannie akan seperti yang dikatakannya kalau ia tahu yang sebenarnya. Demi hubungan kedua orang itu, Kakyu memilih untuk tidak mengatakan apapun kepada Joannie. Adna harus menjelaskan sendiri masalah ini pada Joannie. Kakyu bukan apa-apa di antara mereka. Ia hanya orang yang membantu Joannie mendapatkan ijin untuk meninggalkan tendanya dan mencari informasi tentang pria itu. “Apa yang sebenarnya terjadi, Kakyu?” tanya Joannie cemas. Kakyu menjawab singkat, “Aku hanya bertanya.” “Engkau memang aneh, Kakyu,” komentar Joannie. Kakyu tidak menanggapi. “Kapan mereka datang, Kakyu?” “Tidak tahu.” “Aku ingin ke sana.” Untuk kesekian kalinya, Joannie mendesak Kakyu. Dan untuk kesekian kalinya pula, Kakyu menolak keinginan Joannie. “Aku akan menanti mereka.” Kakyu segera pergi tanpa memberi kesempatan pada Joannie untuk mencegahnya. “Jangan biarkan ia meninggalkan tempat ini,” perintahnya pada prajurit yang diperintahkan untuk menjaga Joannie. “Baik,” jawab mereka. Kakyu segera menuju tendanya dan mengganti pakaian hitamnya dengan seragam ketentaraannya. Dengan pakaian seragam pengawal Istananya, Kakyu kembali meninggalkan benteng. Kali ini Kakyu tidak menuju perkemahan Kirshcaverish. Ia menuju lembah terdalam di Hutan Naullie yang dikatakan Bleriot. Kakyu hanya berdiri di ujung lembah itu tanpa melakukan apa-apa. Matanya terus menatap dasar lembah yang tertutup lebatnya pepohonan di kanan kiri kaki lembah. Di dasar yang tidak tampak itulah Bleriot membuang tubuh Kenichi yang

163

sebelumnya telah diracuninya. Kakyu tidak tahu bagaimana cara Bleriot meracuni Kenichi yang sangat tangguh itu. Tetapi Kakyu tahu Bleriot melakukannya dengan kelicikannya. Kelicikan pria itu patut dicurigai mulai saat ini hingga mereka tiba di Chiatchamo. Bleriot tidak boleh lepas dari pengadilan yang akan meminta pertanggung jawabannya atas semua kesalahannya. Kakyu berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan pria itu meloloskan diri. Tidak ada air mata kesedihan yang tampak di wajah Kakyu. Kakyu telah dididik baik oleh ayahnya maupun Kenichi untuk menjadi seorang pemuda yang tegar. Sesedih apapun dirinya, sesulit apapun rintangan yang dihadapinya, Kakyu harus tegar. Pangeran Reinald benar tidak ada gunanya ia terus bersedih seperti ini. Kenichi telah pergi untuk selama-lamanya dan tidak ada yang dapat mengembalikannya. Bleriot telah merampas Kenichi dari Kakyu tetapi Kakyu telah memiliki kenangan indah bersama Kenichi yang tidak dapat dirampas siapapun. Kenangan itu akan terus hidup dalam diri Kakyu dan menghidupkan kembali Kenichi dalam diri Kakyu. Kenichi akan terus hidup dalam diri Kakyu. Kakyu diam – menikmati angin yang di puncak lembah yang membelai tubuhnya. Berapa lama ia berada di sana, Kakyu tidak peduli. Ia hanya ingin merasakan kehadiran Kenichi di tempat ini terutama dalam hatinya. Sinar matahati siang yang menyinarinya, membuat Kakyu menyadari ia sudah lama meninggalkan benteng. Sebelum ada yang mencarinya, Kakyu segera kembali ke benteng. Ketika Kakyu tiba, pasukan juga sudah kembali bersama semua tahanan mereka. “Perwira!” panggil Kolonel Abel. Kakyu yang baru saja memasuki pintu masuk benteng, segera berhenti. “Jenderal Decker mencari Anda,” katanya. “Terima kasih.” Kakyu segera menuju tenda Jenderal Decker. “Selamat siang, Jenderal,” sapa Kakyu. “Rupanya engkau sudah datang,” kata Jenderal Decker senang. Kakyu diam menanti Jenderal Decker mengatakan keperluannya. “Menurutmu kita membawa Kirshcaverish yang jumlahnya banyak itu dengan diikat atau kita naikkan ke kereta?” “Terserah Anda, Jenderal.” “Bantulah aku, Kakyu,” kata Jenderal Decker, “Dua-duanya sama-sama merepotkan. Kalau kita menaikkan mereka ke kereta, kita tidak punya banyak

164

kereta untuk menampung mereka. Tetapi kalau kita membiarkan mereka berjalan, kita akan kesulitan kalau mereka tiba-tiba berontak.” “Maafkan saya, Jenderal Decker. Sebaiknya Anda merundingkannya dengan Jenderal yang lain atau dengan Pangeran Reinald sendiri,” kata Kakyu. “Aku juga hendak melakukan itu,” kata Jenderal Decker, “Tetapi sebelumnya aku ingin tahu pendapatmu.” “Maafkan saya, Jenderal.” “Baiklah, aku mengerti,” kata Jenderal Decker sambil tersenyum. “Engkau kalau tidak diperlukan membuat masalah tetapi kalau diperlukan diam saja.” Kakyu membalas senyuman itu kemudian meninggalkan tempat itu. Tidak baik kalau Kakyu terus menerus banyak mengambil keputusan. Masih banyak Jenderal yang lebih kuat darinya dan masih banyak di antara mereka yang tahu apa yang harus mereka lakukan. Bagi Jenderal yang telah mengenal Kakyu, tidak masalah kalau Kakyu terus yang mengambil peran. Tetapi Jenderal lain akan berkata lain. Kakyu tidak ingin menimbulkan perselisihan di antara dirinya dengan JenderalJenderal itu. Ayahnya juga tidak akan senang bila tahu ia membuat perselisihan. Selama ini ia telah menarik diri dari umum juga dan tidak manampakkan apapun. Sekarang ia juga tidak akan melakukannya. Kakyu ingin terus berada dalam dunianya yang tenang. Tetapi saat ini ia harus meninggalkan dunianya itu demi Joannie. Kakyu menuju tenda Adna. “Mau ke mana lagi engkau?” tanya Pangeran Reinald geram. Kakyu diam saja melihat Pangeran Reinald masih marah kepadanya. Dengan tenang ia berkata, “Menemui Adna.” “Ia tidak ada di sana.” Kakyu menduga Adna sedang berbicara dengan Joannie. Dan ia akan memberi kesempatan padanya untuk menyelesaikan masalahnya dengan Joannie. Kembali sebelum Pangeran Reinald mencegahnya, Kakyu segera pergi. Tetapi kali ini Pangeran Reinald telah bersiap-siap untuk mengikuti Kakyu. Dengan langkahnya yang lebar, ia mengikuti Kakyu yang terus berjalan seolaholah tidak ada apa-apa. Kakyu ingin kembali ke lembah. Pangeran Reinald terkejut ketika Kakyu tiba-tiba berhenti. “Ada apa?” Kakyu tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya berbalik kembali. Pangeran Reinald melihat Adna sedang berbicara Joannie di dekat tepi Hutan Naullie. Ia memalingkan kepalanya pada Kakyu yang telah berjalan 165

menjauh dan segera mengikuti Kakyu sebelum kehilangannya. “Engkau cemburu?” tanya Pangeran Reinald menyelidik. “Tidak,” jawab Kakyu singkat. Pangeran Reinald tidak berhenti menyelidik. Tidak setelah Kakyu sering menanyakan tentang Adna kepadanya. “Lalu mengapa engkau pergi seperti gadis yang sedang cemburu?” “Hormatilah mereka,” katanya singkat. Pangeran Reinald menghadang Kakyu. “Jawab dengan jujur,” perintahnya tegas. “Untuk apa,” kata Kakyu. Pangeran Reinald tidak menangkap maksud Kakyu dengan perkataannya, “Engkau harus mengatakannya.” “Untuk apa saya cemburu?” “Karena engkau juga mencintainya, bukan?” Kakyu tidak ingin menjelaskan apapun pada Pangeran. “Sudahlah, Pangeran. Lebih baik Anda menemui Jenderal Decker. Ia membutuhkan bantuan Anda.” “Tidak bisa,” kata Pangeran Reinald keras kepala, “Selama ini engkau terus menerus berkelit. Sekarang engkau harus menjelaskan semuanya. Tadi pagi engkau belum menjelaskan semua yang ingin kuketahui.” Seseorang melalui mereka. Walau tidak melihat wajah Joannie, tetapi melihat cara berjalan kakaknya, Kakyu yakin Joannie sedang gembira. Entah apa yang membuat ia sangat gembira hingga tidak menyadari keberadaannya dan Pangeran Reinald yang asli. Kakyu menjadi curiga karenya. Ia yang sangat mengenali watak kakaknya tahu Joannie tidak mungkin sesenang itu setelah mengetahui dirinya telah dibohongi. Kakyu melepaskan diri dari cengkeraman Pangeran Reinald dan segera menemui Adna. “Engkau belum mengatakannya?” Adna yang sibuk berpikir terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia segera membalikkan badan. “Selamat siang, Perwira, Pangeran,” sapanya. Kakyu kembali mengulangi pertanyaannya tetapi kali ini dengan tajam. Kakyu melihat keragu-raguan dan kebimbangan di wajah Adna. “Saya tidak dapat melakukannya,” jawabnya, “Pangeran masih belum mengijinkan saya membenarkan kekeliruan ini.” Kakyu ganti menatap Pangeran Reinald. “Apa lagi yang ingin kauselidiki?” “Banyak,” jawab Pangeran santai. “Semuanya telah kukatakan padamu.”

166

“Tidak. Belum semuanya. Engkau selalu segera menghilang sebelum selesai menjawab pertanyaanku.” Kakyu hanya dapat menghela napasnya melihatnya. Ia tidak dapat memberitahu apa-apa lagi pada Pangeran dan ia akan tetap pada pendiriannya. Dengan mengacuhkan Pangeran, Kakyu kembali memperhatikan Adna. “Joannie tidak akan marah kalau engkau mengatakannya. Walau kadang ia kekanak-kanakan, ia tahu apa yang harus dilakukannya.” “Saya mengerti.” “Selesaikan masalah ini.” “Saya juga ingin segera menyelesaikan kesalahpahaman ini sebelum Lady Joannie mengetahuinya. Saya tidak ingin Lady Joannie semakin marah kalau saya terlalu lama membohonginya tetapi Pangeran belum mengijinkan saya.” “Kalian tidak bisa selamanya seperti ini.” “Saya tahu, Perwira. Saya juga telah mengatakannya pada Pangeran, tetapi Pangeran tidak mau membenarkan kesalahpahaman ini,” kata Adna, “Kesalahpahaman ini memang bukan masalah yang kecil tetapi keputusan tetap di tangan Pangeran.” “Terserah kalian.” Kakyu segera berlalu. Adna terlalu patuh pada Pangeran Reinald. Hingga Pangeran Reinald sendiri yang memutuskan untuk membenarkan semua ini, Adna pasti tidak akan berani mengatakan apapun pada Joannie. Entah hingga kapan Adna akan membohongi Joannie. Dan Pangeran Reinald yang menjadi penyebabnya. Pangeran Reinald heran melihat Kakyu pergi begitu saja tanpa berusaha membujuk lagi. “Adna, apakah engkau benar-benar ingin memberitahu semuanya pada Joannie?” tanya Pangeran. “Benar, Pangeran,” jawab Adna jujur, “Saya tidak ingin terlalu lama membohongi Lady Joannie. Ia sangat cantik dan saya khawatir akan ada pria lain yang merebutnya dari saya. Tetapi saya tidak dapat bertindak sekehendak saya dalam keadaan seperti ini. Citra Anda akan rusak kalau sampai saya salah berbuat sesuatu.” Semalamam Pangeran Reinald tidak dapat tidur. Ia terus merenungkan kemarahan Kakyu setelah meninggalkannya dan Adna. Juga kata-kata Adna. Kalau Joannie sampai marah kepada Adna, tentu ia akan merasa sangat bersalah kepada pengawalnya itu. Tetapi kalau semua telah menyadari kesalahpahaman ini, belum tentu ia memiliki banyak waktu untuk berbicara dengan Kakyu. Juga belum tentu gadis itu mau berbicara banyak. 167

Sejak Kirshcaverish tertumpas, Kakyu telah kembali menjadi seorang gadis yang tenang dan pendiam. Sekarang saja sudah sulit membuatnya berbicara banyak apalagi nanti. Tetapi semudah apapun sekarang, Kakyu tetap tidak akan berbicara apa-apa. Tidak ada bedanya. Dengan banyak pertimbangan akhirnya Pangeran Reinald memutuskan untuk menuruti keinginan Kakyu juga Adna. Begitu fajar menyingsing, Pangeran Reinald segera menemui Adna. “Adna, lakukan apa yang ingin kaulakukan. Engkau boleh mengatakan segalanya pada Joannie juga kepada yang lain.” “Benarkah, Pangeran?” tanya Adna senang. “Kapan aku pernah berbohong?” kata Pangeran Reinald jengkel. Adna sangat senang karenanya. Orang yang pertama kali diberitahu kebenaran itu adalah Joannie. Dengan harap-harap cemas, ia memberitahu Joannie. Tetapi seperti yang telah diduga Kakyu, Joannie tidak tampak marah. Mula-mula wanita itu terkejut hingga tidak dapat berbuat apa-apa. Perlahan-lahan ia mulai memahami masalah yang sebenarnya dan ia tidak menyalahkan Adna atas semua ini. Setelah Joannie tahu, seluruh orang di benteng juga tahu. Orang yang paling terakhir tahu adalah Kakyu. Gadis itu sejak dini hari telah ke lembah tempat tubuh Kenichi dibuang. Dengan karangan bunga di tangannya, Kakyu menatap lembah itu. Lama ia berdiri terpaku di sana sebelum akhirnya ia mengucapkan selamat tinggal pada Kenichi. Kakyu tidak tega membiarkan Kenichi terus berada di dasar lembah yang curam itu tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia memang bisa turun ke dasar lembah tetapi untuk naik, ia harus berusaha keras. Kakyu sendiri tidak yakin apakah ia berhasil naik bila ia berada di dasar lembah itu. Hingga pagi menjelang Kakyu hanya berdiri terpaku di sana – tak ada yang dilakukannya selain menatap dasar lembah yang curam sambil mengenang Kenichi kembali. Kakyu tahu hingga kapanpun ia tidak akan dapat melupakan kesedihannya atas kepergian Kenichi. Kakyu menyesal dulu ia tidak memaksa ikut ketika Kenichi meminta ijin pada keluarganya untuk ke Hutan Naullie. Kalau dulu Kakyu juga bersamanya, Kakyu tentu dapat membantu Kenichi. Tetapi waktu itu Kakyu hanya menuruti perintah Kenichi untuk tetap tinggal di Quentynna House tanpa memaksa Kenichi sebelumnya. Penyesalan itu sudah terlambat, sekarang Kenichi sudah pergi dan tidak akan kembali lagi. Kakyu teringat pesan Pangeran Reinald untuk tidak selalu bersedih. 168

Kenichi pasti tidak akan senang melihat Kakyu terus bersedih dan terus merasa bersalah. Lima tahun lalu ketika pergi ke Hutan Naullie, Kenichi tampak senang. Dengan keras, ia melarang Kakyu untuk ikut. Kenichi telah meninggalkan Quentynna House dengan perasaan senang dan Kakyu tidak boleh membuat pria tua itu menjadi sedih karena ia terus menerus seperti ini. Dengan menahan perasaan sedihnya, Kakyu berkata lirih, “Selamat tinggal, Kenichi.” Suara lirih itu segera terbawa angin bersamaan dengan bunga yang Kakyu lemparkan ke dasar lembah. Selesai mengucapkan selamat tinggal pada Kenichi, Kakyu masih belum bergerak dari tempatnya. Ia masih merasa berat untuk meninggalkan guru, juga kakek yang disayanginya. Angin yang terus menerpa tubuh Kakyu seakan-akan ingin mengingatkan Kakyu pada pasukan Kerajaan Aqnetta yang ingin segera pulang. Sejak kemarin pasukan Kerajaan Aqnetta telah bersiap-siap pulang. Hari ini mereka akan selesai membongkar tenda dan siap meninggalkan benteng lengkap dengan tahanan mereka. Dengan berat hati, Kakyu meninggalkan tempat itu.

169

14

yang lama

yang yang

Ketika Kakyu tiba, hari sudah siang. Pasukan Kerajaan Aqnetta yang telah mengetahui semua kebenaran selama ini terselubung, tampak gembira dan semakin gembira karena tak lagi mereka dapat kembali kepada keluarga mereka masing-masing. Suasana gembira di benteng tidak membuat Kakyu ikut merasa senang. Gadis itu masih terlarut dalam kesedihannya atas kematian Kenichi. “Perwira!” seru seseorang memanggil, “Perwira!” Seruan riang itu membuat Kakyu berhenti. “Anda sudah mengetahuinya, Perwira?” tanya Kapten Gwen, “Pangeran selama ini kita kenal bukan Pangeran Reinald yang asli. Adnalah Pangeran asli.”

Kakyu diam saja mengetahui Pangeran Reinald akhirnya memutuskan untuk membenarkan kekeliruan besar ini. Dan ini berarti Joannie juga telah mengetahuinya. Apapun yang dilakukan Joannie ketika mendengar kebenaran ini tampaknya tidak terlalu buruk. Kegembiraan pasukan yang bukan hanya karena mereka akan pulang, cukup memberikan tanda pada Kakyu. Joannie dapat menerima kenyataan ini dengan bijaksana. Apapun yang telah terjadi selama ia tidak ada, Kakyu tidak tertarik untuk tahu. Ia hanya tahu sekarang semua tampak senang dan tidak ada yang tampak terganggu oleh kebenaran yang terungkap itu. “Kami mengucapkan selamat pada Anda, Perwira,” kata Kapten senang, “Tak lama lagi Anda akan mempunyai kakak ipar.” Kakyu diam saja. Ia sudah menduga Joannie akan segera menemui orang lain setelah mengetahui yang sebenarnya. Karena ia tidak ada, Joannie pasti telah menemui Jenderal Reyn. “Jenderal Reyn juga tampak senang sekali dengan berita ini,” tambah Kapten Gwen. “Di mana Jenderal Reyn?” tanya Kakyu tiba-tiba. Kapten itu menduga Kakyu akan menanyakan lebih terperinci pada ayahnya tetapi ia tidak tahu tujuan Kakyu yang sebenarnya. “Sejak tadi Jenderal Reyn berbicara dengan Adna dan Lady Joannie.” Kakyu tidak tertarik untuk mengetahui lebih banyak lagi. Ia hanya ingin meminta ijin ayahnya bukan untuk yang lain. “Terima kasih,” katanya singkat. Tanpa menghiraukan prajurit yang mengucapkan selamat atas 170

pertunangan kakaknya dan Adna di hadapan Jenderal Reyn dan para Jenderal lainnya, Kakyu terus berjalan ke tenda Joannie. Melihat tenda Joannie ramai, Kakyu merasa ragu-ragu. Kakyu tahu untuk saat ini sebaiknya ia tidak menemui Jenderal Reyn hanya untuk mengatakan keinginannya. Tetapi Kakyu tetap memasuki tenda itu untuk mengucapkan selamat pada Joannie. Seperti biasa, Joannie berseru memanggil adiknya begitu melihatnya muncul. Tanpa memberi kesempatan pada Kakyu, Joannie segera memeluk adiknya. “Selamat, Joannie,” kata Kakyu perlahan. “Ini hadiah terbesar bagi Mama.” “Ya, Mama pasti senang,” Joannie setuju, “Mama pasti tidak percaya dengan semua ini. Aku sendiri juga hampir tidak percaya dengan ini semua. Ini bagai keajaiban bagiku.” Seperti biasa, Kakyu diam saja. “Aku tidak percaya ia juga mencintai aku, Kakyu. Padahal selama ini ia tidak pernah memperhatikan aku.” “Ia selalu memikirkanmu, Joannie.” Joannie masih belum melepaskan pelukannya, “Aku harus berterima kasih padamu, Kakyu. Kalau bukan karena engkau, Pangeran… oh bukan Adna, tidak akan mengatakan segalanya padaku.” Kakyu tersenyum. Joannie akhirnya melepaskan Kakyu. Dengan tersenyum bahagia, ia berkata, “Pasti tidak ada yang menduga aku berada di sini dan akhirnya aku menemukannya.” Kakyu beralih pada ayahnya yang juga tampak sangat senang kemudian pada Adna. “Akhirnya engkau mengatakannya,” katanya singkat. “Semua berkat Anda,” Adna merendah, “Kalau Anda tidak memarahi saya dan Pangeran waktu itu, Pangeran tidak akan mengambil keputusan ini.” “Kakyu marah?” tanya Joannie tak percaya, “Ia bisa marah?” “Benar, ia marah tetapi tidak seperti yang kaubayangkan,” kata Adna sambil tersenyum, “Kalau ia marah, ia tidak seperti Pangeran. Ia mempunyai cara yang lembut untuk menunjukkan kemarahannya.” Seperti biasa, tidak ada tanggapan dari Kakyu. “Terima kasih, Kakyu,” kata Joannie senang, “Kalau engkau tidak memarahi Pangeran keras kepala itu, Adna tidak akan berani membenarkan kesalahpahaman ini.” “Pangeran tidak seperti itu, bukankah demikian Perwira?” Kakyu hanya mengangkat bahunya.

171

Jenderal Reyn yang sejak tadi memperhatikan ucapan Adna berkata, “Sebaiknya mulai sekarang engkau berhenti memanggilnya Perwira, Adna. Bukankah tak lama lagi ia akan menjadi adikmu?” “Sebaiknya memang begitu, Adna,” timpal Joannie. “Sudahlah, sekarang kita bukan membicarakan itu,” kata Jenderal Erin, “Sekarang kita harus memberi selamat pada kedua orang ini.” Kakyu tahu ia tidak dapat berlama-lama di tempat ini sementara pasukan Kerajaan Aqnetta yang lain juga lengah. Dengan kelicikannya, Bleriot bisa saja memanfaatkan kelengahan ini untuk kabur. Kakyu mendekati Jenderal Reyn dan berbicara sepelan mungkin, “Aku ingin mengawasi Bleriot.” “Untuk apa, Kakyu?” tanya Jenderal Reyn, “Ia sudah terikat dan tidak akan dapat meloloskan diri.” Kakyu terpaksa berbohong, “Aku hanya ingin menemuinya sebentar.” Kakyu bukannya tidak senang oleh kegembiraan kakaknya, tetapi ia tahu ia tidak dapat berada di sana. Dunia yang ramai seperti itu bukan dunia yang disukainya. Ia lebih suka menyendiri daripada berada di keramaian. Jenderal Reyn mengerti keinginan Kakyu. “Aku tahu engkau tidak senang dengan keramaian,” katanya, “Pergilah.” Joannie mendengar percakapan itu tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Seperti ayahnya, ia mengetahui sifat Kakyu. Tanpa mempedulikan orang-orang yang melihatnya pergi, Kakyu berlalu dari tenda itu. Seperti yang dikatakannya pada ayahnya, ia ke tempat Bleriot berada. Kakyu tidak menemui pria itu, ia hanya berada dalam jarak yang cukup jauh untuk mengawasi pria tua itu. Sementara pasukan lain dengan bersemangat membongkar tenda-tenda, Kakyu terus berdiri di tempatnya – memperhatikan Bleriot yang mengumpat marah. Karena semangat para prajurit yang meluap-luap itu, pekerjaan membongkar tenda berlangsung tidak lama. Dengan segera, tepi Hutan Naullie tampak kosong lagi. Yang tersisa hanyalah tembok-tembok kayu yang menjadi batas benteng mereka lengkap dengan menaranya. Pasukan Kerajaan Aqnetta semakin tidak sabar karenanya. Ketika akhirnya Jenderal Tertinggi Kerajaan Aqnetta memerintahkan kepada para prajurit untuk berangkat ke Chiatchamo, semua tampak senang. Tanpa diperintah dua kali, semua prajurit telah meninggalkan tempat mereka masing-masing dan kembali ke Chiatchamo. Atas ijin ayahnya, Kakyu berangkat lebih cepat dari yang lain. Kakyu ingin menemui keluarga Halberd dulu sebelum menuju Chiatchamo. Ketika berangkat, Kakyu menyadari tidak ada orang yang mengikutinya 172

tetapi semakin mendekati Parcelytye, ia semakin merasakan keberadaan orang lain yang mengikutinya. Tetapi Kakyu tidak mau berhenti untuk memeriksa siapakah yang mengikutinya itu. Kakyu yakin tidak akan ada orang yang mau repot-repot mengikutinya selain Pangeran Reinald yang selalu ingin mencari sesuatu pada dirinya. Entah apa yang ingin dicari Pangeran itu pada Kakyu. Ia telah menemukan jawaban atas kecurigaannya dan ia juga telah mengetahui sedikit tentang Kakyu. Apakah ia ingin Kakyu bercerita lebih banyak lagi? Kalau memang itu yang diinginkannya, Pangeran sudah tahu ia takkan mendapatkan lebih banyak dari saat ini. Kakyu telah mengatakannya. Apapun yang diinginkan pemuda itu, Kakyu tidak peduli. Ia juga berpurapura tidak tahu akan keberadaannya di belakangnya. Pangeran Reinald cukup pandai mengikuti orang tetapi tidak untuk Kakyu. Seolah-olah tidak mengetahui apa-apa, Kakyu terus memacu kudanya dengan santai ke Parcelytye. Kakyu tidak peduli apakah nanti ia akan terlambat atau tidak. Jenderal Reyn telah memberinya ijin dan ia pasti mengerti kalau ia nanti datang lebih lambat dari mereka. Raja Alfonsopun pasti mengerti kalau ia datang terlambat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi saat ini. Semua masalah telah selesai. Kirshcaverish telah tertumpas. Joannie telah menemukan pria impiannya dan ia sendiri telah mengetahui dengan pasti mengenai hilangnya Kenichi. Yang ingin dilakukan Kakyu saat ini hanya menemui keluarga Halberd untuk memberitahukan berita baik ini. Kalau Pangeran Reinald curiga, itu semua terserah padanya. Kakyu tahu ia tidak melakukan kesalahan apapun dan tidak ada yang perlu disalahkan dari perbuatannya ini. Tanpa kesulitan, Kakyu menemukan rumah baru Halberd di Parcelytye. Kakyu tidak mungkin salah mengenali rumah itu. Dulu ia dan Putri Eleanorlah yang mengantar keluarga Halberd ke rumah baru mereka. Ketika semakin mendekati rumah Halberd, beberapa anak terlihat bermain di halaman rumah kecil itu. Kakyu turun dari kudanya dan mendekati anak-anak itu. “Apakah Halberd ada?” tanyanya pada seorang anak yang dikenalinya sebagai putra tertua Halberd. Tanpa menjawab pertanyaan Kakyu, anak itu berlari ke dalam rumah dan berteriak, “Ayah, ada prajurit yang mencari Ayah.” Kakyu tersenyum mendengarnya. 173

Anak itu sepertinya telah lupa pada dirinya dan menyebutnya prajurit. Entah bagaimana reaksi Halberd ketika mendengar anaknya berkata seperti itu. Yang pasti pria itu pasti terkejut dan ketakutan. Selama ini ia tidak pernah didatangi seorang prajuritpun juga setelah ia pindah ke Parcelytye, kini tiba-tiba ada seorang prajurit yang datang. Seperti dugaan Kakyu, Halberd datang dengan wajah ketakutan. Begitu juga istrinya yang keluar menyusul. “Selamat sore,” sapa Kakyu. Halberd terkejut melihat yang datang ternyata Kakyu. “Selamat sore, Tuan.” “Di mana aku dapat menambatkan kudaku?” “Berikan pada saya, Tuan.” Halberd mengambil tali kendali kuda itu dari Kakyu kemudian mengikatnya pada pagar kayu yang mengelilingi kebunnya. “Saya tidak menduga Anda akan datang, Tuan.” Kakyu hanya tersenyum. Tidak ada yang perlu dijelaskan mengenai kedatangannya yang mendadak ini. “Masuklah, Tuan,” ajak Imma. Kakyu mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumah. “Silakan duduk,” kata Halberd yang baru masuk. “Anda mau minum apa, Tuan?” “Terima kasih, Imma, tetapi saya tidak lama. Saya hanya ingin menyampaikan tentang tertumpasnya Kirshcaverish.” Yang pertama kali terkejut mendengar berita itu di antara suami istri itu adalah Halberd. “Benarkah itu?” tanyanya tak percaya. Kakyu mengangguk. “Akhirnya kita bisa tenang,” kata Imma, “Kita tidak perlu khawatir mereka akan menyerang kerajaan ini sewaktu-waktu.” “Bagaimana dengan kami, Tuan?” tanya Halberd cemas, “Apakah kami dapat kembali ke Farreway?” “Aku tidak tahu,” jawab Kakyu jujur. “Semua keputusan ada pada Paduka.” “Farreway sudah aman. Apakah Paduka masih tetap tidak mengijinkan kami kembali?” tanya Halberd cemas, “Sudah beberapa generasi keluarga saya yang menempati tanah keluarga itu.” “Kalau kita pindah ke sana, bagaimana dengan rumah ini?” tanya Imma. Halberd menatap istrinya dengan bingung. “Aku tidak tahu.” Kakyu memutuskan untuk membantu keluarga ini. “Aku akan membicarakannya dengan Paduka.” “Ya, itu yang paling baik,” sahut Imma.

174

“Apakah tidak apa-apa, Tuan?” Kakyu tersenyum dan dengan penuh pengertian ia berkata, “Jangan khawatir.” “Kami benar-benar merepotkan Anda. Dulu Anda yang mengurus kepindahan kami ke sini sekarang Anda pula yang mengurus kepindahan kami ke tanah leluhur kami.” “Kami tidak tahu bagaimana harus berterima kasih pada Anda, Tuan. Anda banyak membantu kami,” tambah Imma, “Kalau dulu Anda tidak menyelamatkan kami, mungkin kami tidak ada di sini saat ini.” “Sudahlah.” Jawaban singkat itu membuat mereka tersenyum. Walau lama tidak berjumpa ternyata Kakyu tetap seorang pemuda yang pendiam – pemuda itu tidak terpengaruh oleh kecerewetan Putri Eleanor juga saudara-saudaranya. Kakyu berdiri. “Anda akan pergi?” tanya Imma. Kakyu mengangguk. “Mengapa Anda tidak menginap di sini saja?” bujuk Halberd, “Sebentar lagi hari mulai gelap.” “Maafkan saya,” kata Kakyu singkat. Dengan diantar kedua suami istri itu, Kakyu meninggalkan rumah Halberd yang jauh lebih besar dari rumahnya yang di Farreway. Sebelum menaiki kudanya, Kakyu menyempatkan diri untuk melihat kebun Halberd. Kebun Halberd sudah mulai menguning di awal musim gugur ini. Dulu ketika pindah ke tempat ini, tempat ini masih merupakan lahan kosong. Tetapi sekarang tempat ini telah terlihat penuh tanaman. Halberd memang petani yang rajin namun sayang ia terpaksa meninggalkan lahan pertaniannya yang subur di Farreway hanya karena Kirshcaverish. Tetapi Halberd sudah dapat mengatasi kehidupan sulitnya di Parcelytye. Dengan bantuan Raja Alfonso, Halberd mengolah lahan kosong itu menjadi tanah pertanian yang subur dan menghasilkan hasil panen yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Kalau Halberd pindah ke Farreway, berarti lahan pertanian di Parcelytye akan tak terurus dan berarti pula Halberd harus memulai awal dari lagi sebelum ia bisa menikmati hasil panennya. Sejak ditinggalkan pemiliknya, lahan pertanian Halberd di Farreway, tidak ada yang mengolahnya. Para prajurit yang menggunakan tempat itu sebagai base mereka sebelum Kirshcaverish mulai mengganas, juga tidak ada yang merawat tempat itu. Ketika pergi ke Farreway, Kakyu menyempatkan diri untuk melalui rumah 175

Halberd. Dan Kakyu melihat lahan itu kelihatan tandus di awal musim panas ini dan tak terurus. Apapun nanti yang terjadi pada keluarga Halberd, semuanya serba merepotkan. Tidak kembali ke Farreway berarti meninggalkan tanah leluhur. Kembali ke Farreway berarti harus memulai segalanya dari awal lagi. Kakyu tidak tahu bagaimana keputusan Raja Alfonso pada masalah ini tetapi ia tahu Raja Alfonso akan memikirkan jalan keluar yang terbaik. Dari Parcelytye, Kakyu memacu kudanya ke arah barat ke sisi Hutan Naullie di kaki Pegunungan Alpina Dinaria yang memanjang di barat laut perbatasan Kerajaan Aqnetta. Apapun yang ada di pikiran Pangeran Reinald yang terus mengikutinya, Kakyu tidak peduli. Bukan ia yang meminta Pangeran untuk mengikutinya tetapi Pangeran sendiri yang mengikutinya. Sebagai orang yang mengikuti, Pangeran mau tidak mau harus mengikuti orang yang diikutinya tak peduli ke manapun perginya ia. Tanpa mempedulikan hari yang semakin gelap, Kakyu terus menuju Hutan Naullie. Kakyu ingin bermalam di sana sebelum besok pagi mengejar pasukan Kerajaan Aqnetta. Kakyu yakin dengan kecepatan mereka serta tahanan yang mereka bawa, pasukan Kerajaan Aqnetta malam ini belum mencapai sepertiga perjalanan. Kemungkinan besar mereka akan tiba dalam dua hari bahkan bisa lebih. Walau semangat mereka untuk segera tiba sangat besar, mereka masih harus mengawasi Kirshcaverish yang tentu akan mempersulit perjalanan. Dengan hambatan itu, pasukan Kerajaan Aqnetta mau tidak mau tidak dapat berjalan lebih cepat dari yang mereka harapkan. Dan Kakyu masih mempunyai banyak waktu untuk pergi ke tempat yang ingin ia datangi. Ketika Kakyu meninggalkan benteng tadi pagi, pasukan masih belum bersiap-siap. Saat itu waktu masih menunjukkan pukul setengah sembilan pagi dan pasukan masih belum selesai membongkar tenda-tenda yang jumlahnya cukup banyak itu. Mereka juga belum mempersiapkan tahanan mereka. Ketika melewati Vjaya, Kakyu tidak melihat adanya pasukan di sana. Dan itu memperkuat keyakinan Kakyu. Vjaya merupakan kota yang sering dilalui orang-orang. Kota itu sangat ramai karena letaknya yang di tengah-tengah wilayah Kerajaan Aqnetta. Jalan terdekat dari Chiatchamo ke Farrewaypun melalui kota kecil yang ramai itu. Demikian pula dari Parcelytye ke sisi Hutan Naullie terdekat. Tanpa mempedulikan Pangeran Reinald yang terus mengikutinya, Kakyu mempercepat laju kudanya. Kakyu tidak ingin kemalaman di jalan. Ketika akhirnya ia tiba di Hutan Naullie, Kakyu terus menerobos 176

kelebatan Hutan Naullie dengan kudanya. Kakyu tidak hanya mengenal Hutan Naullie yang berada di dekat Farreway saja, ia telah mengenal seluruh hutan itu. Dan ia tahu Hutan Naullie di sisi inilah yang paling jarang semak-semaknya. Yang sering dijumpai hanya pohon tinggi dan batu-batu besar. Di antara batu-batu itu ada sebuah gua yang cukup besar untuk tempat berteduh. Gua itu letaknya tak jauh dari tepi hutan. Kakyu semakin memperlambat kudanya ketika ia semakin mendekati tempat gua itu berada. Tanpa kesulitan, Kakyu menemukan gua itu. Ia menambatkan kudanya pada sebatang pohon sebelum ia mengumpulkan kayu dan membuat api di dalam gua. Dengan cahaya itu, Kakyu yakin Pangeran Reinald tidak akan tersesat dan dapat menemukannya. Sambil menanti kedatangan Pangeran, Kakyu melepaskan tas perlengkapannya dari pelana kudanya dan membawanya masuk. Lama Kakyu menanti Pangeran, tetapi ia tidak muncul juga. Kakyu yakin Pangeran tidak tersesat tetapi untuk memastikannya, ia melihat keadaan di luar gua. Kakyu tersenyum ketika inderanya mengatakan ada orang di sekitar situ. Rupanya Pangeran Reinald benar-benar ingin mengikuti Kakyu tanpa membuatnya tahu. Sayangnya Pangeran tidak tahu Kakyu telah mengetahui keberadaannya. Karena tidak ingin Pangeran sakit oleh angin malam musim panas yang dingin, Kakyu mendekati Pangeran dengan perlahan. Walaupun tahu Pangeran tidak akan senang bila mengetahui rencananya gagal. Kakyu memanjat pohon kemudian mencari tempat Pangeran. Dari tempatnya berada, Kakyu dapat melihat Pangeran duduk di atas kudanya tanpa melepaskan mata dari gua tempat ia bermalam yang terang. Kakyu ragu-ragu apakah ia sebaiknya tetap pura-pura tidak tahu atau ia harus mengajak Pangeran masuk ke dalam gua. Pangeran yang harga dirinya tinggi itu pasti akan marah bila kali ini ia gagal mengelabuhi Kakyu. Berulang kali Kakyu telah menyinggung harga dirinya dan membuatnya kesal. Kali ini pasti Kakyu akan membuatnya marah bila ia menampakkan wujudnya. Kalau Pangeran Reinald dibiarkan dalam udara dingin seperti ini, ia bisa sakit. Kakyu ragu tindakan apa yang harus dilakukannya. Meninggalkan atau mengajak masuk Pangeran. Demi kesehatan Pangeran, Kakyu memutuskan untuk membuatnya jengkel untuk kesekian kalinya. 177

“Selamat malam, Pangeran.” Pangeran Reinald terkejut. Ia mengenali suara itu tetapi ia tidak tahu di mana gadis itu berada. “Di mana engkau?” tanya Pangeran. Sebagai jawabannya, Kakyu melompat turun dari atas pohon. Pangeran Reinald kaget melihat Kakyu yang tiba-tiba muncul di depannya itu. “Bagaimana engkau tahu?” Untuk membuat Pangeran tidak marah, Kakyu terpaksa berbohong, “Saya tidak sengaja melihat Anda.” Pangeran Reinald memincingkan matanya. “Benarkah?” tanyanya tak percaya. “Kalau Perwira sepertimu tidak sengaja melihatku, aku tidak percaya,” kata Pangeran Reinald sambil tersenyum, “Aku lebih percaya kalau engkau mengatakan sejak tadi engkau telah tahu bahwa aku mengikutimu.” Kakyu diam saja. “Aku benar, bukan?” Tidak ada jawaban dari Kakyu. “Kurasa diammu itu berarti ya,” kata Pangeran Reinald, “Aku tahu engkau menyalakan api cukup besar itu untuk tidak membuatku tersesat. Engkau juga menanti aku muncul, bukan?” Kakyu masih tidak menjawab. “Karena aku telah ketahuan, kurasa tidak ada gunanya lagi aku bersembunyi,” kata Pangeran Reinald sambil turun dari kudanya. Kakyu berjalan tanpa mengatakan apa-apa diikuti Pangeran. Pangeran menambatkan kudanya di samping kuda Kakyu kemudian mengikuti gadis itu ke dalam gua yang hangat. “Ternyata di dalam sini memang sehangat dugaanku.” Kakyu duduk di salah satu sudut gua. Kakyu menyibukkan diri dengan barang-barangnya. “Lenganmu bagaimana?” Kakyu menengadahkan kepalanya. Wajah Pangeran yang sangat dekat itu membuat Kakyu terkejut. Entah kapan Pangeran Reinald mendekatinya. “Tidak apa-apa,” jawab Kakyu singkat. “Sungguh?” tanya Pangeran tak percaya, “Setelah memacu kuda secepat itu, lenganmu tidak apa-apa?” Kakyu mengangguk. Dalam menghadapi Kakyu, Pangeran Reinald tidak pernah mudah percaya. Entah mengapa ia tidak tahu. Pangeran Reinald memegang lengan Kakyu. Kakyu terkejut tetapi ia tidak dapat melepaskan lengannya dari pegangan yang kuat itu. 178

Seperti yang sering dilakukannya akhir-akhir ini, Pangeran Reinald memeriksa luka Kakyu dengan teliti. Melihat tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pangeran melepaskan lengan gadis itu. “Kurasa engkau memang benar.” Kakyu tidak menanggapi suara lega itu. “Siapa mereka?” “Siapa?” tanya Kakyu pura-pura tidak tahu. “Orang yang kaudatangi itu.” “Halberd.” Jawaban singkat itu tidak memuaskan Pangeran, tetapi sekarang Pangeran sudah tahu percuma ia terus mendesak Kakyu. Pangeran bukan orang yang mudah putus asa. Ia masih punya cara lain untuk mengetahui apa yang ingin diketahuinya. “Mengapa engkau ke sana?” Lagi-lagi Kakyu menjawab singkat. “Berbicara.” “Tentang?” “Kirshcaverish.” Pangeran terkejut tetapi ia tidak menampakkannya, “Bahwa mereka sudah berhasil ditumpas?” Kakyu hanya mengangguk. “Apa hubungan mereka dengan Kirshcaverish?” tanya Pangeran Reinald ingin tahu. Kakyu tahu pertanyaan itu tidak mengharapkan jawaban darinya, tetapi ia memutuskan untuk menjawabnya walau dengan singkat. “Korban Kirshcaverish.” Jawaban itu membuat Pangeran Reinald teringat pada cerita Adna. Pengawalnya itu pernah menceritakan tentang kehebatan Kakyu saat ia untuk pertama kalinya mengetahui keberadaan Kirshcaverish. Kedatangan Kakyu di rumah baru Halberd pasti untuk memberitahukan kabar baik ini bagi mereka. “Sekarang lebih baik Anda berisitirahat.” Kakyu memecahkan perhatian Pangeran Reinald. “Engkau sendiri juga harus beristirahat,” kata Pangeran. Sebagai jawabannya, Kakyu menyandarkan kepalanya di dinding gua yang dingin. Kakyu tahu Pangeran tidak akan berisitirahat kalau ia tidak tidur. Dengan pura-pura tidur, Kakyu berharap Pangeran lekas tidur. Sejak mengetahui kematian Kenichi yang disayanginya, Kakyu selalu bersedih walau ia tidak pernah menampakkannya. Setiap malam, ia selalu membayangkan saat menyenangkan bersamanya. Saat-saat menyebalkan ketika dulu ia dilatih dengan keras, kini menjadi kerinduan tersendiri bagi Kakyu. Tidak ada lagi orang yang dapat memberikan 179

latihan sekeras Kenichi. Dulu bagi Kakyu, berlatih dengan Kenichi adalah suatu tantangan terbesar yang kadang terasa menyebalkan dan ingin membuatnya lari tetapi kini semuanya berubah. Saat-saat itu menjadi suatu kenangan yang paling menyenangkan. Kakyu tidak tahu kapan ia tertidur, tetapi ketika ia membuka matanya, ia melihat langit mulai tampak kelabu – pertanda hari semakin menjelang pagi. Melihat Pangeran Reinald masih tertidur di mulut gua, Kakyu memutuskan untuk keluar tanpa membuatnya terbangun. Perlahan-lahan Kakyu meninggalkan gua menuju sungai yang mengalir tak jauh dari tempat itu. Setelah membersihkan diri dengan air jernih yang menyejukkan itu, Kakyu duduk termenung di sebuah batu di tepi sungai. Melihat air yang terus mengalir itu, Kakyu teringat kata-kata Kenichi. “Kehidupan ini bagaikan air yang mengalir. Ada susah, ada senang, ada ketenangan, ada riak. Seperti air, suatu saat hidup ini akan mencapai batasnya tetapi ia akan berputar kembali.” Kenichi percaya adanya reinkarnasi dan ia sering yakin orang baik akan bereinkarnasi sebagai manusia dan orang jahat bereinkarnasi sebagai binatang. Kakyupun percaya. Bagaimanapun juga kehidupan Kenichi setelah ini, Kakyu percaya ia tetap akan menjadi orang yang baik hati dan penuh kasih sayang. Seperti yang telah sudah-sudah, Kakyu segera berhenti memikirkan Kenichi sebelum ia menjadi semakin sedih. Untuk menghilangkan kesedihan hatinya, Kakyu memikirkan sikap yang harus dilakukannya setelah semua kejadian ini. Yang pasti sebentar lagi keluarga mereka akan mengadakan pesta perkawinan antara Joannie dan Adna. Mengenai dirinya sendiri, Kakyu tidak tahu. Apakah ia tetap melanjutkan tugasnya sebagai Kepala Pengawal Istana setelah Pangeran Reinald tahu ia seorang gadis ataukah ia akan menjelaskan kepada semua orang terutama ayahnya bahwa ia tidak dapat melanjutkan semua ini. Tetapi Kakyu tidak dapat melakukan pilihan kedua itu. Jenderal Reyn akan menjadi sedih karenanya. Sejak Kakyu lahir, ia telah dididik menjadi seorang pemuda dan Jenderal Reyn sendiri sepertinya lupa Kakyu adalah seorang gadis bukan anak laki-laki. Keputusan Pangeran setelah ini, hingga kini belum terlihat. Pangeran Reinald pun tidak tampak memikirkannya. Ia seperti sudah melupakan masalah besar ini. Atau mungkin ia hanya menganggap masalah ini masalah kecil? Kakyu tidak tahu dan ia bingung pada tindakan yang harus dilakukannya setelah ini.

180

Kalau ia tetap meneruskan menjadi Kepala Keamanan Istana, ia akan tampak canggung kalau bertemu Pangeran yang telah mengetahui segalanya. Tetapi kalau ia melepaskannya, belum tentu Raja Alfonso membiarkannya. Belum lagi sikap ayahnya. “Berpikirlah dengan tenang, maka masalahmu akan terpecahkan.” Pesan Kenichi yang tiba-tiba bergaung di telinganya itu membuat Kakyu tahu apa yang sebaiknya dilakukan olehnya. Selama ini ia bersikap tenang seolah-olah berada dalam dunianya sendiri yang sepi, mengapa kali ini ia harus kebingungan hanya karena terbongkarnya rahasia yang telah terpendam selama delapan belas tahun lebih ini? Sebaiknya memang begitu. Tetap melakukan tugasnya dan bersikap tenang seperti biasanya. Bukankah Pangeran Reinald telah berjanji untuk tidak mengatakannya pada siapapun? Seorang Pangeran tidak mungkin mengingkari janjinya semuda itu. Kakyu yakin. Tetapi kemudian Kakyu merasa ragu kembali. “Apakah aku terus bisa setenang ini?” pikirnya. Kakyu ragu, setelah apa yang terjadi, ia masih sering merasa malu pada Pangeran Reinald. Kadang walau ia tidak menampakkannya, ketenangannya tiba-tiba hilang. Kakyu merasakan ia bukan lagi ia yang dulu. Dirinya yang sekarang sangat mudah hilang ketenangannya dan yang lebih parah ketenangan itu lebih mudah hilang kalau Pangeran yang dihadapannya. Kakyu tahu sikap Pangeran Reinald yang lembutlah yang menyebabkannya. Sikap itu telah membangkitkan jiwa gadis yang selama ini tertidur. Kakyu tidak tahu pasti apakah dengan yang ia rasakan ini dapat dikatakan ia mempunyai perasaan lebih pada Pangeran. Tetapi jiwa gadisnya yang mulai bangkit itu, membenarkan pernyataan itu. Kenichi pernah berkata, “Cinta dapat menghancurkan orang tetapi juga dapat membuat orang bahagia.” Saat itu Kakyu baru saja membacakan sebuah berita yang berisi seorang pemuda nekat mencuri demi cintanya pada gadis yang sangat menyukai kemewahan. Kakyu ingin tahu apakah benar cinta yang menyebabkan ketenangannya mudah hilang akhir-akhir ini. Matahari mulai menyinari bumi. Dan artinya Kakyu harus segera mengejar pasukan Kerajaan Aqnetta yang lain. Pangeran masih tertidur ketika Kakyu memasuki gua. Perlahan-lahan, Kakyu merapikan tempat itu dan mengikatkan tasnya ke pelana kudanya. Kuda-kuda terus merumput tanpa menghiarukan Kakyu yang sibuk. Mereka tampak asyik dengan sarapan pagi mereka. “Mau ke mana engkau pagi-pagi seperti ini?” 181

Kakyu yang sibuk merapikan pelana kudanya, segera memalingkan kepalanya. “Selamat pagi, Pangeran,” katanya tanpa melepaskan tangannya yang terus sibuk membenarkan tali kekang kudanya. “Mau ke mana engkau?” Pangeran mengulangi pertanyaannya. “Mengejar yang lain.” “Mengejar yang lain?” ulang Pangeran dengan keheranan, “Engkau ini sebenarnya ingin berbuat apa? Engkau meninggalkan pasukan yang lain lalu sekarang ingin mengejar mereka?” Kakyu menanggapi kebingungan Pangeran. “Kalau engkau telah menyelesaikan masalah pribadimu, kukira tidak ada masalah lagi yang harus kukhawatirkan,” kata Pangeran sambil lalu. Kakyu mendengar kata-kata itu, tetapi ia tidak memikirkannya. Tanpa diberitahu Kakyu, Pangeran menuju arah datangnya suara air mengalir. Tak lama kemudian, ia telah duduk di punggung kudanya. Kakyu tidak berbicara apa-apa sepanjang jalan. Pikirannya hanya terpusat pada pandangan matanya yang terus memperhatikan sekeliling kalaukalau pasukan Kerajaan Aqnetta terlihat. Pangeran sendiri pagi itu tidak tertarik untuk mengajak Kakyu bicara. Baginya Kakyu tampak masih sulit diajak bicara pagi itu. Tetapi rasa ingin tahu yang terus mendorongnya, tidak dapat membuatnya bertahan diam lagi. “Engkau masih sakit hati?” tanyanya tiba-tiba “Sakit hati?” tanya Kakyu kebingungan. “Engkau juga mencintai Adna juga bukan?” Kakyu terkejut hingga tidak dapat berbuat apa-apa. Ia terus menatap wajah Pangeran Reinald yang penuh rasa ingin tahu. Kediaman Kakyu membuat Pangeran sadar ia telah berbuat salah. Ia memang tahu bagaimana menghadapi seorang gadis tetapi tidak untuk gadis satu ini, yang menyamar sebagai laki-laki. Tiba-tiba Kakyu tertawa geli. Pangeran kebingungan melihatnya. “Jadi inikah yang ada dalam pikiran Anda sejak tadi?” kata Kakyu tanpa dapat menahan senyum gelinya. Pangeran jengkel melihat senyum yang seperti mengejek itu, “Apakah aku salah?” Kakyu tahu perasaan Pangeran dan ia berusaha keras menahan rasa gelinya. Dengan tenang, ia menjelaskan, “Walaupun dalam beberapa hal kami berbeda, tetapi saya tidak cukup bodoh untuk tahu siapa yang baik untuk siapa.” “Maksudmu engkau rela Adna bertunangan dengan Joannie?” “Tepatnya hampir seperti itu,” kata Kakyu, “Sejak awal, saya hanya tidak 182

jatuh cinta pada Adna. Joannie yang jatuh cinta padanya bukan saya.” Sekarang giliran Pangeran Reinald yang dibuat kebingungan, “Lalu mengapa engkau segera keluar setelah mengetahui Adna dan kakakmu baru bertunangan?” Kakyu ingat kejadian itu. Ia sempat melihat wajah curiga Pangeran Reinald saat itu tetapi ia tidak pernah memikirkannya lebih jauh terutama sampai pada hal ini. “Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menyukai keduanya,” kata Kakyu tanpa memberikan alasan yang sebenarnya. Pangeran Reinald tidak percaya dan ia tidak berhenti mencari tahu kebenarannya. “Lalu apa yang kaupikirkan tadi pagi di tepi sungai?” Kakyu tidak dapat memberitahukannya tetapi ia tahu ia harus agar kesalahpahaman ini hilang. “Kenichi.” “Bukankah telah kukatakan padamu untuk tidak memikirkannya terus menerus?” suara menyelidik Pangeran berubah menjadi kelembutan, “Ia memang telah pergi tetapi ia akan terus hidup dalam dirimu.” “Saya mengerti.” “Lalu apa lagi yang kaupikirkan?” Pangeran kembali menyelidik, “Aku yakin engkau tidak hanya memikirkan Kenichi.” Kakyu tidak menjawab. “Mengapa engkau tidak mengatakan yang sebenarnya padaku?” Pangeran membujuk Kakyu, “Engkau mencintai Adna bukan?” Kakyu kembali memperhatikan wajah Pangeran Reinald. Untuk kedua kalinya ia tidak dapat menahan tawa gelinya mendengar kesalahpahaman itu. “Mengapa engkau tertawa? Apakah ada yang lucu?” “Tidak ada,” Kakyu cepat-cepat menanggapi suara jengkel itu, “Anda harus mengerti Pangeran, setelah apa yang selama ini saya lakukan untuk mereka.” “Setahuku yang kaulakukan untuk mereka hanya satu yaitu memarahiku untuk mengembalikan posisiku dan Adna. Selain itu engkau hanya sering bertanya untuk dirimu sendiri.” Kakyu kembali diam dan Pangeran semakin tidak sabar. Pangeran menghentikan kudanya kemudian menarik tali kekang kuda Kakyu sehingga kuda itu juga ikut berhenti. “Aku tidak tahu bagaimana membuatmu berbicara tetapi aku ingin engkau mengatakannya segalanya.” “Sekarang juga!” tambahnya dengan tegas. Kalimat yang bernada perintah itu membuat Kakyu mau tidak mau harus menjelaskan semuanya. “Saya sering menanyakan Adna kepada Anda bukan untuk diri saya tetapi untuk Joannie,” Kakyu kembali tersenyum geli, “Kalau Anda mengira 183

saya jatuh cinta pada Adna, maafkan saya.” Pangeran memandang tajam wajah Kakyu. Matanya yang menyipit menyelidik ke dalam senyum geli yang menghiasi wajah cantik Kakyu. “Sudahlah, Pangeran,” kata Kakyu, “Jangan menghukum saya seperti ini.” “Menghukum?” tanyanya keheranan. “Jangan membuat saya sakit perut hanya karena harus menahan tawa.” Mata menyipit itu terus menatap tajam wajah Kakyu. “Saya benar-benar tidak mempunyai perasaan apa-apa kepada Adna selain rasa sayang kepadanya sebagai kakak,” Kakyu meyakinkan Pangeran Reinald, “Apakah mungkin seorang pemuda seperti saya mencintai pemuda yang lain?” “Tetapi engkau seorang gadis bukan laki-laki,” sahut Pangeran Reinald. Senyum yang menghiasi wajah Kakyu hilang karenanya. “Hingga kapan engkau akan terus seperti ini? Engkau tidak bisa menjadi laki-laki seumur hidupmu.” Kakyu sendiri tidak tahu hingga kapan ia harus terus seperti ini dan selama ini ia tidak menyesali kehidupannya. Ia menyukai kehidupannya yang penuh tantangan ini.

184

15

Kakyu tidak terlihat di Ruang Besar yang menjadi tempat keluarga Quentynna mengadakan pesta itu. Dan sepertinya tidak ada yang menyadarinya. Semua yang hadir dalam pesta pernikahan itu, tampak sibuk dengan Joannie dan Adna yang baru menikah pagi tadi. Pernikahan ini memang cukup mengejutkan karena penyelenggaraannya tak lama setelah Raja Alfonso mengumumkan segala sesuatu tentang Kirshcaverish kepada rakyat. Tetapi tidak ada yang bisa menentang keinginan Lady Xeilan untuk segera melihat putrinya bahagia. Mungkin satu-satunya wanita yang tidak peduli pada tertumpasnya kelompok pemberontak itu hanya Lady Xeilan seorang. Sejak mengetahui segala yang terjadi, Lady Xeilan memang terkejut tetapi ia lebih bahagia dan menjadi tidak sabar untuk menyelenggarakan pernikahan putrinya. Karena sikapnya itu, Lady Xeilan bukan hanya membuat semua orang di Quentynna House sibuk tetapi juga menghebohkan Raja Alfonso. Raja Alfonso yang ingin menyelenggarkan pesta untuk menyambut kemenangan melawan Kirshcaverish ini terpaksa mengundurkan niatnya. Raja yang bijaksana itu mengerti dibandingkan tertumpasnya Kirshcaverish, Lady Xeilan lebih bahagia dengan berita pertunangan Joannie. Raja tahu Lady Xeilan akan mengundangnya ke pernikahan mereka, dan ia cukup bijaksana untuk tidak menyelenggarakan pesta kemenangan di dekat pesta perkawinan mereka. Di tengah kebahagiaan itu, hanya Pangeran Reinald yang tampak gelisah. Beberapa saat yang lalu ia melihat Kakyu tetapi sekarang ia tidak tampak lagi. Di manapun gadis itu berada, yang pasti ia berada di tempat yang tak terduga. Kegelisahan Pangeran Reinald menarik perhatian Raja Alfonso. “Mengapa engkau gelisah?” “Tidak ada apa-apa.” “Aku tidak terlalu tua untuk mengetahui kegelisahanmu, Reinald.” Pangeran tidak punya pilihan lain selain mengaku. “Aku tidak melihat Kakyu.” Seperti baru menyadari, Raja bergumam, “Benar…. Aku juga baru sadar aku tidak melihatnya sejak tadi. Kakak-kakaknya yang lain ada di sini tetapi ia sendiri yang tidak nampak. Ke mana perginya?” Pangeran juga tidak tahu ke mana perginya Kakyu. 185

“Kalian melihat Kakyu?” Kedua pria yang sibuk mencari Kakyu di keramaian pesta, terkejut karenanya. “Kalian melihat Kakyu atau tidak?” Putri Eleanor berkata dengan tidak sabar. “Tidak,” jawab Raja Alfonso, “Engkau ada perlu dengannya?” “Banyak,” jawab Putri Eleanor yakin, “Aku ingin ia mengantarku berkeliling Quentynna House. Kalian tahu bukan aku belum pernah ke sini?” “Biar saya yang mengantarkan Anda, Tuan Puteri,” Lady Xeilan yang kebetulan mendengar percakapan itu menawarkan bantuan. “Tidak… tidak perlu,” Putri Eleanor cepat-cepat menolak, “Saya tidak ingin merepotkan Anda.” “Sama sekali tidak, Tuan Puteri,” kata Lady Xeilan sambil tersenyum, “Saya akan senang sekali mengantarkan Anda mengelilingi rumah ini.” “Tidak perlu, Lady Xeilan,” kata Raja Alfonso, “Anda jangan semakin merepotkan diri Anda dengan putri saya. Lagipula Eleanor tidak akan mau selain Kakyu sendiri yang mengantarnya.” “Kakyu,” ulang Lady Xeilan, “Aku akan mencarinya.” “Tidak perlu, Lady Xeilan.” Percuma saja Raja Alfonso ingin menahan Lady Xeilan yang sudah menerobos keramaian orang-orang itu. “Lihatlah hasil perkerjaanmu, Eleanor,” kata Pangeran Reinald, “Engkau memang senang membuat siapa saja repot.” “Aku tidak tahu kalau Lady Xeilan juga mendengarkan tadi,” kata Putri Eleanor manja. “Semakin kuperhatikan, engkau semakin terlihat manja,” kata Pangeran Reinald, “Aku heran bagaimana Kakyu tetap tenang walaupun engkau cerewet seperti ini?” “Ia memang hebat,” Putri Eleanor mengakui dengan bangga, “Cuma ia yang bersikap tenang kepadaku.” “Kukira, Eleanor, hanya Kakyu seorang yang dapat bertahan dengan kemanjaanmu itu,” kata Raja Alfonso. “Aku juga tidak meragukannya,” Pangeran Reinald menambahi dengan yakin. Dalam perjalanan pulang ke Chiatchamo, seperti ayah dan adiknya, Pangeran Reinald juga tergoda untuk meruntuhkan ketenangan Kakyu tetapi gadis itu tetap tenang dalam dunianya. Sepertinya gadis itu akan selalu begitu walaupun ada meriam yang meletus di depannya. Semakin melihat Kakyu bertahan dalam dunianya, Pangeran Reinald semakin tergoda untuk meruntuhkan ketenangannya. Untung saja Ratu Ylmeria belum mengetahui hal ini. Kalau ia tahu, entah

186

apa yang akan dilakukannya. Suami dan kedua anaknya ternyata senang mempermainkan Kakyu. “Mama di mana?” “Sedang berbicara dengan Adna dan Joannie,” jawab Pangeran. “Aku akan ke sana.” “Ya, pergilah ke sana dan jangan menganggu kami,” Pangeran Reinald pura-pura mengusir adiknya. Seperti yang diharapkan Pangeran, Putri Eleanor jengkel mendengarnya. “Engkau jahat,” katanya manja lalu ia berlalu pergi. “Jangan kaugoda terus dia.” “Tidak apa-apa, Papa. Aku senang melihatnya seperti ini. Tak pernah kukira ia akan menjadi semakin manja setelah kepergianku.” “Adikmu itu semakin manja sejak engkau pergi dan aku hampir dibuat pusing karenanya. Ylmeria sendiri juga tidak tahu bagaimana mengajari Eleanor bersikap sebagai Lady.” “Dapat kutebak Eleanor sangat jengkel ketika Kakyu bersikap tenang terhadapnya.” Raja tersenyum. “Tepat sekali. Dan kurasa bukan hanya ia saja yang jengkel tetapi juga aku. Seumur hidupku belum pernah aku melihat pemuda setenang dia. Aku berbicara panjang lebar, tetapi ia hanya menanggapinya dengan dua tiga patah kata. Aku heran melihatnya.” “Dan akan semakin heran kalau tahu ia bukan permuda seperti yang Papa kira, tetapi seorang gadis,” tambah Pangeran Reinald dalam hatinya. “Aku heran mengapa sejak tadi Kakyu belum muncul juga.” Pangeran tidak menjawabnya. Matanya terus mencari Kakyu dalam keramaian pesta itu. Pangeran tidak mengerti mengapa Kakyu tidak hadir dalam pesta perkawinan kakaknya. Bukankah ia sendiri yang mengatakan ia tidak jatuh cinta pada Adna? Atau mungkin saat itu Kakyu berbohong padanya? Tidak henti-hentinya Pangeran memikirkan hal itu. Hingga pesta yang seharusnya dinikmatinya, membuatnya gelisah. Dan tetap gelisah ketika akhirnya ayahnya memutuskan untuk pulang. Tak heran kalau keesokan paginya Pangeran sudah menanti kedatangan Kakyu di depan teras. Begitu melihat Kakyu datang, Pangeran Reinald segera menghampirinya. “Selamat pagi, Pangeran,” sapa Kakyu yang baru datang. “Pagi,” sahut Pangeran Reinald singkat. Suara yang mengandung maksud itu tidak membuat Kakyu merasa terganggu. “Ke mana engkau kemarin malam?” “Rumah,” jawab Kakyu dengan tenangnya.

187

Pangeran Reinald menarik lengan Kakyu sehingga Kakyu mau tidak mau harus berhenti dan menatap wajah Pangeran yang geram. Kakyu tidak mengerti mengapa wajah itu seperti itu. Ia tidak merasa telah melakukan kesalahan. “Engkau bohong,” tuduh Pangeran, “Kemarin aku tidak melihatmu.” Kemarin malam Kakyu memang berada di Quentynna House bahkan ketika pesta itu diselenggarakan tetapi ia tidak berada di Ruang Besar. Keluarganya mengerti ia tidak menyukai keramaian dan tidak berusaha menahannya dalam pesta itu. Kakyu telah menunjukkan kegembiraannya dengan mengikuti jalannya pernikahan Joannie di Gereja. Dalam pesta itupun, Kakyu juga hadir walau hanya sebentar. Setelah merasa cukup lama berada di pesta di mana ia disibukkan oleh para wanita yang berusaha menganggunya, Kakyu menyendiri di Ruang Perpustakaan di lantai dua. Dan Kakyu terus berada di sana sampai pesta itu selesai. Kakyu merasa ia harus menjelaskan masalah ini. “Kemarin saya berada di Ruang Perpustakaan.” “Engkau bohong!” “Tidak,” kata Kakyu tenang. “Engkau bohong,” Pangeran bersikeras dengan tuduhannya, “Aku tahu engkau juga jatuh cinta pada Adna. Engkau tidak perlu membohongiku karena aku tahu aku tidak salah.” Untuk kedua kalinya Pangeran mengutarakan hal itu dan seperti dulu, Kakyu tersenyum geli karenanya. Kakyu tidak mengerti dari mana Pangeran mendapat kesimpulan itu dan mengapa Pangeran terganggu dengannya. Kalau ia memang mencintai Adna – seperti yang dikatakan Pangeran Reinald – Pangeran Reinald tidak perlu merasa terganggu. Bukankah ia tetap melakukan tugasnya dengan baik? Bahkan ketika semua pasukan yang kembali dari Pegunungan Alpina Dinaria, sibuk menceritakan pengalaman mereka, Kakyu tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Kakyu memang sering mendapat pertanyaan seperti “Apa yang terjadi di sana?”; “Engkau tidak apa-apa bukan?” juga berbagai macam permintaan untuk menceritakan pengalamannya selama berada di garis depan. Tetapi Kakyu tidak pernah menjawabnya. Satu-satunya jawaban yang diberikannya atas semua pertanyaan itu hanyalah, “Tanyalah yang lain.” Tidak perlu diragukan lagi jawaban itu membuat semua orang yang bertanya padanya menjadi jengkel. Dan tanpa ditebakpun setiap orang tahu Kakyu tetap tenang. Bagi Kakyu tidak ada gunanya lagi menceritakan apa yang sudah 188

diceritakan orang lain. Bukankah banyak dari mereka yang sudah tahu apa yang terjadi? Tidak sesaatpun Kakyu melalaikan tugasnya yang telah dilalaikan olehnya dengan pergi ke Pegunungan Alpina Dinaria. Tetapi herannya Kakyu tidak berusaha mengatakan alasannya menyendiri dalam Ruang Perpustakaan ketika pesta itu berlangsung. Kakyu malah bertanya, “Berapa kali saya harus mengatakannya pada Anda, Pangeran? Saya hanya menyayangi Adna sebagai kakak, tidak lebih dari itu.” “Hentikan!” Pangeran tiba-tiba mengurung Kakyu pada dinding dengan kedua tangannya, “Sudah kukatakan jangan membohongiku.” Kakyu tidak mengerti di mana letak kesalahannya. “Mengapa Anda marah, Pangeran?” tanya Kakyu tenang, “Bukankah hal ini tidak ada hubungannya dengan Anda?” Pertanyaan tenang itu tepat hingga membuat Pangeran tidak dapat menjawabnya. Pangeran melepaskan tangannya dari dinding dan membiarkan Kakyu melaluinya. Kakyu benar. Ia seharusnya tidak marah seperti ini. Masalah ini bukan urusannya. Tetapi dirinya tidak berhenti memikirkan hal itu. Pangeran Reinald merasa seperti orang gila karenanya. Ia telah mencampuri masalah yang di luar wewenangnya. Dan celakanya masalah ini adalah masalah Kakyu, gadis yang selalu tenang. Apakah Adna memang benar, ia cemburu pada gadis itu atau lebih tepatnya pada Adna? Pangeran pusing memikirkannya tetapi ia bukan orang yang mudah menyerah. Ia akan terus memikirkan sebabnya walau ia menjadi gila karena perasaan dan pikirannya yang kacau. Tetapi Pangeran tidak dapat melakukannya seperti harapannya. Belum lama ia berjalan-jalan di halaman sambil berpikir keras, seorang prajurit menyampaikan panggilan ayahnya. Pangeran Reinald tahu kedatangannya di Ruang Baca sangat diharap oleh ayahnya, dan ia segera berangkat walau pertanyaan itu masih terus bergaung di dalam kepalanya. Melihat Kakyu juga berada di sana, Pangeran Reinald menjadi ingin tahu masalah penting apakah yang akan dibicarakan ayahnya dengannya. “Ada apa, Papa?” “Aku hanya ingin bertanya bagaimana pendapat kalian kalau aku mengadakan pesta kemenangan.” “Kurasa tidak ada masalah. Bagaimana denganmu Kakyu?” “Tidak ada masalah.” “Bagus,” kata Raja Alfonso sambil tersenyum, “Sekarang bagaimana pendapatmu tentang masalah ini, Reinald?” 189

“Masalah apa, Papa?” “Aku baru saja mendengar permintaan Eleanor dan aku telah memikirkannya masak-masak. Kurasa tidak ada salahnya menyetujui permintaannya.” “Permintaan apa, Papa? Jangan berteka-teki.” Raja Alfonso mengacuhkannya. “Bagaimana pendapatmu tentang Eleanor, Kakyu?” “Ia putri yang cantik,” kata Kakyu jujur, “Sikapnya yang manja pasti membuat pria manapun menyukainya.” Raja tersenyum puas. “Rupanya keputusanku ini tidak salah.” “Keputusan apa, Papa?” Pangeran Reinald tidak sabar dengan teka-teki ini. “Aku memutuskan untuk memberikan hadiah istimewa kepada Kakyu sebagai penghargaanku atas keberhasilannya menumpas Kirshcaverish,” Raja masih berteka-teki. Kakyu mulai dapat melihat apa yang hendak dikatakan Raja. Sebelum Raja mengatakan maksudnya, Kakyu cepat-cepat berkata, “Maafkan saya, Paduka. Saya tidak dapat.” “Mengapa tidak, Kakyu?” tanya Raja Alfonso heran, “Bukankah engkau juga menyukai Eleanor? Kurasa engkau dan Eleanor akan menjadi pasangan yang cocok.” “Tidak mungkin, Papa,” daripada Kakyu, Pangeranlah yang lebih gencar menolaknya. “Papa tidak mungkin melakukan hal itu.” “Ada apa, Reinald?” Raja Alfonso kebingungan, “Mengapa engkau seperti ini? Bukankah engkau sendiri yang kemarin berkata hanya Kakyu yang dapat mengatasi kemanjaan Eleanor.” “Tetapi masalahnya lain,” Pangeran Reinald bersikeras. “Aku heran, Reinald, engkau tidak berhubungan dengan masalah ini tetapi engkau menolaknya. Kakyu sendiri belum menanggapinya.” “Saya tidak dapat, Paduka.” Raja Alfonso heran. Mengapa keduanya tidak menyetujui keputusannya. “Mengapa tidak, Kakyu? Bukankah engkau yang berjasa atas tertumpasnya Kirshcaverish?” “Bukan saya, Paduka, tetapi para Jenderal.” “Mereka mengatakan engkaulah yang paling berjasa dan aku melihat tidak ada salahnya kalau aku menyerahkan putriku kepadamu sebagai penghargaanku atas jasamu.” “Maafkan saya, Paduka.” Pangeran Reinald heran melihat Kakyu tetap tenang walau tahu ia tidak akan mungkin bisa menikah dengan Eleanor. Akan aneh sekali kalau seorang gadis menikah dengan gadis.

190

Melihat ayahnya tidak akan berhenti membujuk Kakyu, Pangeran Reinald merasa ia harus membantu Kakyu. Pangeran mengajak Raja Alfonso menjauh. Melalui tirai merah yang memisahkan Ruang Baca dengan Ruang Perpustakaan kecil, Pangeran Reinald mengintip Kakyu yang tetap berdiri tenang. “Papa tidak mungkin melakukan hal gila ini.” “Hal gila apa, Reinald?” Raja Alfonso kebingungan, “Bukankah Kakyu dan Eleanor memang cocok?” Pangeran Reinald merasa ia harus melanggar janjinya demi menyelesaikan masalah ini. “Ia tidak bisa menikah dengan Eleanor dan tidak akan pernah bisa.” Raja Alfonso hanya dapat menatap putranya dengan kebingungan. “Kakyu tidak seperti yang Papa kira. Ia…,” Pangeran ragu-ragu tetapi akhirnya ia mengucapkannya juga, “Ia itu seorang gadis.” “Gadis!?” Raja terkejut mendengarnya. Prajurit yang selama ini dipujinya ternyata seorang gadis. “Benar, ia bukan seperti yang kita semua kira.” “Bagaimana engkau mengetahuinya?” “Aku waktu itu tidak sengaja melihat tubuh gadisnya. Aku sama sekali tidak tahu sebelumnya.” Raja memandang curiga sehingga Pangeran harus meyakinkannya. “Sungguh. Aku sama sekali tidak sengaja. Waktu itu aku datang untuk mengobati lengannya yang baru terluka tetapi aku sama sekali tidak mengira akan…” “Akan melihat dadanya,” sahut Raja Alfonso. Pangeran mengangguk. Raja Alfonso terdiam sambil terus menatap wajah putranya yang menahan perasaan malu. Dapat dibayangkan Raja bagaimana perasaan Reinald ketika itu. “Engkau menyukai Kakyu?” tanya Raja Alfonso penuh selidik. “Aku? Aku menyukai gadis tenang-tenang dingin sepertinya? Jangan berpikir yang aneh-aneh. Mana mungkin aku menyukai gadis setenang itu hingga berkesan dingin.” “Kakyu tidak seperti itu, Reinald. Walaupun ia tampak tenang dan tidak senang keramaian, ia seorang yang ramah.” “Tidak senang keramaian?” “Benar, Kakyu tidak pernah menyukai keramaian.” Pangeran diam – sibuk berpikir. “Mengapa ia menjadi laki-laki?” “Aku tidak tahu. Kakyu tidak pernah mau mengatakannya walau aku 191

sering bertanya,” kata Pangeran Reinald, “Tetapi kurasa ini ada hubungannya dengan Jenderal Reyn.” “Jenderal Reyn?” “Jenderal Reyn tidak punya anak laki-laki. Dapat dibayangkan betapa kecewanya dirinya.” Raja Alfonso heran. “Lalu mengapa ia memilih Kakyu?” “Aku tidak tahu. Sekarang kumohon jangan mengatakan hal ini pada Kakyu juga kepada yang lain. Aku telah berjanji padanya untuk tidak mengatakannya pada siapapun.” “Tetapi engkau baru saja melanggar janjimu.” “Aku terpaksa melakukannya. Aku tidak mungkin membiarkan seorang gadis menikah dengan gadis.” “Sepertinya aku juga harus memegang janjimu.” Pangeran Reinald mengangguk. “Hingga semua pertanyaan ini terjawab, aku tidak ingin Kakyu marah kepadaku hanya karena aku melanggar janjiku.” “Jangan khawatir, Reinald. Aku juga tidak akan mengatakannya pada siapapun,” Raja mengintip Kakyu di balik tirai, “Aku heran mengapa gadis sepertinya bisa menjadi setangguh itu bahkan lebih tangguh dari pemuda lain seusianya.” “Aku juga ingin tahu,” Pangeran Reinald mengakui, “Papa tidak marah pada Kakyu juga keluarga Parcelytye bukan?” “Marah? Mengapa aku harus marah?” “Karena mereka telah membohongi Papa.” Raja tersenyum sambil melirik pada Kakyu. “Untuk apa aku marah kalau seorang gadis bisa setangguh itu? Sepertinya mulai saat ini aku tidak boleh menganggap remeh wanita.” Pangeran Reinald lega mendengarnya. Ia tidak perlu mengkhawatirkan keselamatan gadis yang dicintainya. “Apa!?” Pangeran Reinald terkejut menyadari kenyataan itu. Ini sangat aneh beberapa saat yang lalu ia masih mengatakan tidak mungkin ia jatuh cinta pada Kakyu yang tenang-tenang dingin, tetapi beberapa detik yang lalu ia baru saja mengatakannya. Ini benar-benar aneh, tetapi keanehan selalu terjadi dalam cinta. Bukankah demikian? Belum selesai masalah yang ada, sekarang malah muncul masalah yang lain. Tetapi karenanya Pangeran tahu ia marah kepada Kakyu karena ia cemburu. Benar, ia cemburu pada Adna. “Apa katamu tadi?” “Tidak…,” elak Pangeran Reinald, “Tidak ada.” Kemudian untuk mengalihkan perhatian ayahnya, ia berkata, “Aku hanya berpikir apa yang akan kita katakan pada Eleanor. Kita tidak mungkin mengatakan tentang ini.” Raja terdiam. Dalam diamnya ia sibuk berpikir. “Entahlah,” katanya 192

menyerah, “Yang pasti Eleanor tidak akan senang mengetahui hal ini.” “Pasti.” “Ia pasti akan menuntut alasan dariku sedangkan aku sendiri tidak tahu apa yang harus kukatakan selain kebenaran ini. Tetapi jangan khawatir, aku tidak akan mengatakannya. Bukankah aku telah berjanji padamu?” “Katakan saja aku tidak setuju. Nanti ia akan minta penjelasan dariku,” usul Pangeran Reinald. “Apa engkau benar-benar bersedia dibuat repot oleh Eleanor?” selidik Raja Alfonso. “Ia adikku, Papa. Mana mungkin aku keberatan?” “Baiklah,” Raja Alfonso menganggap masalah ini telah selesai, “Sekarang bagaimana denganmu?” “Aku?” “Aku tidak terlalu tua untuk mengetahuinya, Reinald. Jangan lupa aku juga pernah muda,” Raja Alfonso berkata dengan nada memperingati. “Aku yakin engkau sedikit banyak tertarik padanya,” kata Raja sambil melirik Kakyu yang tetap tenang menanti, “Kalau aku masih muda, aku juga pasti akan tertarik pada gadis hebat sepertinya. Ia cerdas, tenang, juga lincah. Yang pasti ia bukan gadis yang mudah terkalahkan.” “Aku ingin semuanya jelas. Aku ingin tahu mengapa ia menjadi laki-laki. Aku ingin tahu siapa Kenichi. Aku ingin tahu segalanya tentang dia.” “Kurasa kita akan membuatnya curiga kalau kita terlalu lama di sini,” kata Raja Alfonso. Bersama-sama mereka keluar dari tempat itu ke hadapan Kakyu yang berdiri dengan tenangnya. “Baiklah, Kakyu,” kata Raja, “Aku tidak akan memaksamu lagi. Reinald telah membujukku.” “Terima kasih, Paduka.” “Sekarang kita hanya perlu merundingkan pesta itu,” tiba-tiba Raja Alfonso merasa ragu-ragu, “Kalian setuju bukan?” “Tentu,” kata Pangeran Reinald. Raja melihat Kakyu. Sebagai jawabannya, Kakyu berkata, “Tidak ada alasan untuk tidak setuju.” “Kakyu, dapatkah engkau meninggalkan kami?” kata Pangeran Reinald, “Aku ingin berunding dengan Papa. Nanti aku akan memberitahumu kapan pesta itu diadakan sehingga engakau bisa mulai mengaturnya.” Kakyu memandang curiga kepada Pangeran Reinald tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Kakyu tidak tahu apakah Pangeran Reinald mengingkari janjinya atau tidak, tetapi ia berterima kasih atas bantuannya. Kakyu tersenyum padanya. 193

Segera setelah Kakyu mengundurkan diri dari ruangan itu, Pangeran berkata, “Ada yang ingin kubicarakan, Papa.” Raja duduk dengan sikap mendengarkan. “Menurutku Kakyu tidak bisa selamanya seperti ini. Bagaimana menurut Papa?” “Aku berpikir juga tidak baik kalau Kakyu terus menerus menjadi laki-laki. Ia tidak akan dapat menemukan kebahagiaannya juga tidak dapat menjadi dirinya sendiri.” “Aku sering mengatakannya pada Kakyu, tetapi ia tidak pernah menjawabnya. Menurut Papa, apakah mungkin Kakyu akan tetap menjadi lakilaki sampai Jenderal Reyn sendiri yang membebaskannya dari tugasnya ini?” “Kurasa memang demikian. Kakyu sangat berbakti pada orang tuanya terutama ayahnya. Engkau tahu sendiri bukan bagaimana dia berusaha keras untuk dapat berangkat ke Hutan Naullie? Aku akan membujuk Jenderal Reyn.” “Kita tidak bisa membujuk Jenderal Reyn, Papa. Aku khawatir, Jenderal Reyn tidak akan senang mengetahui hal ini.” “Kukira tidak, Reinald. Jenderal Reyn itu perwira yang berjiwa besar, tentu ia akan memahami masalah ini. Yang penting, engkau tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Aku yang akan menyelesaikannya. Yang perlu kauurus hanya adikmu dan Kakyu.” Pangeran tidak tahu apakah benar ini jalan yang terbaik untuk membuat Kakyu kembali ke kehidupannya yang seharusnya. Tetapi ayahnya tidak mungkin melakukannya tanpa yakin akan hasilnya. “Jangan lupa janjimu, Reinald,” Raja Alfonso mengingatkan. “Janji?” tanya Pangeran Reinald keheranan. “Engkau berjanji pada Kakyu akan memberitahu kapan pesta kemenangan ini akan diadakan.” “Tentu. Kapan Papa akan mengadakannya?” “Aku juga belum sempat memikirkannya. Kurasa tiga atau empat minggu lagi. Waktu itu cukup untuk mempersiapkan pesta ini bukan?” “Kalau Kakyu yang menanganinya, aku yakin dalam waktu seminggupun pesta ini siap dilaksanakan.” “Aku juga tidak ragu,” kata Raja sambil tersenyum. Sekarang semua masalah dengan pertunangan Kakyu dan Eleanor yang ditawarkan Raja Alfonso telah selesai. Masalah terbesar Pangeran Reinald saat ini hanya bagaimana membuat Kakyu menghentikan semua penyamarannya ini. Setiap ada kesempatan, Pangeran Reinald selalu berusaha mendekati Kakyu untuk membuatnya mengatakan segalanya juga membujuknya. Tetapi kesempatan yang benar-benar bermanfaat itu tidak pernah ada. Setiap hari mereka sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. 194

Entah Kakyu yang sibuk mengatur keamanan Istana Vezuza atau Pangeran Reinald yang sibuk dengan kemarahan Putri Eleanor. Kalaupun mereka bertemu, percakapan yang terjadi hanya sebentar. Kakyu juga segera pergi ketika mendengar pertanyaan yang selalu sama. Seperti sore ini ketika ia bertemu Pangeran di koridor Istana. “Hingga sekarang engkau belum mengatakannya padaku, Kakyu.” Kakyu diam saja. “Kumohon, Kakyu, untuk kali ini saja jangan terlalu pendiam,” bujuk Pangeran Reinald lembut, “Aku ingin engkau menjawab semua pertanyaanpertanyaanku yang belum engkau jawab.” Kakyu hanya memandang Pangeran. “Saya tidak bisa.” “Engkau bisa, Kakyu. Aku tahu engkau bisa hanya engkau saja yang tidak mau mengatakannya.” Kakyu kembali diam. “Katakan kepadaku mengapa engkau memilih menjadi laki-laki? Aku tahu engkau juga tidak ingin selamanya seperti ini.” Kalau dulu Pangeran Reinald mengatakannya, hal itu salah. Dari dulu Kakyu senang menjadi laki-laki yang bebas bergerak daripada wanita yang tidak bebas. Tetapi sekarang hal itu benar. “Katakanlah padaku, Kakyu. Mengapa engkau menjadi laki-laki? Aku ingin tahu semuanya.” Kali ini Pangeran tidak berusaha menekan Kakyu. Ia membujuk Kakyu dengan lembut dengan harapan bisa membangkitan jiwa gadis yang terkubur dalam penyamarannya selama bertahun-tahun. Tanpa perlu dibujukpun, jiwa seorang gadis Kakyu telah muncul. Jiwa itu muncul sejak Pangeran bersikap lembut padanya di malam menegangkan di Hutan Naullie. Malam di mana Pangeran memeriksa luka Kakyu dengan penuh kelembutan dan sikap hati-hati. Seperti yang sudah-sudah, Kakyu tidak menjawab pertanyaanpertanyaan itu. Ia hanya berlalu pergi setelah berkata, “Maafkan saya.” Pangeran yang telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap bersikap sabar dalam menghadapi Kakyu, tak urung jengkel juga. Pangeran tahu hingga kapanpun ia tetap merasa jengkel oleh sikap Kakyu yang seperti ini, tetapi anehnya ia menyukainya. Bagi Pangeran, sikap ini seakan-akan menjadi tantangan tersendiri yang harus dipecahkannya di samping sikap tenang gadis itu. Pangeran Reinald melanjutkan perjalanannya dengan perasaan gemas. Entah bujukan apa lagi yang harus dilakukannya untuk membuat Kakyu berbicara banyak seperti saat ia sibuk memikirkan Kirshcaverish. Seperti mereka yang lebih lama mengenal Kakyu, Pangeran Reinald hanya pernah sekali mendengar Kakyu berbicara banyak. Hanya sekali yaitu 195

saat ia mengkhawatirkan keberadaan pasukan di Hutan Naullie. Hanya itu dan setelahnya Kakyu kembali menjadi gadis yang pendiam dan tenang. Yang lebih parah dari yang pernah diketahui Pangeran, Kakyu telah menjadi gadis tenang yang sangat dingin. Tak heran kalau di saat semua orang mengatakan Kakyu adalah pemuda yang dingin-dingin tenang, Pangeran mengatakan sebaliknya Kakyu adalah gadis yang tenang-tenang dingin. Sudah berulang kali ia mencoba membujuk Kakyu tetapi Kakyu tetap keras kepala. Segala cara mulai dari yang bernada perintah sampai bujukan lembut tidak berhasil mempengaruhi gadis itu. Andaikan Pangeran Reinald tahu betapa ia telah membuat Kakyu merasa kacau, ia pasti tidak akan melepaskan kesempatan itu. Kejengkelan Pangeran itu terus tampak di wajah tampannya ketika ia menuju Ruang Rekreasi yang khusus untuk keluarga kerajaan. Begitu melihat ayahnya berada di sana, Pangeran segera berkata, “Bagaimana membuat Kakyu berbicara banyak?” “Percuma saja, Reinald. Lebih baik engkau melupakan keinginanmu itu. Aku, Alfonso, juga Eleanor telah mencobanya ratusan kali tetapi ia tetap tidak bisa berbicara sebanyak yang kita harapkan.” Jawaban itu membuat Pangeran Reinald menyadari keberadaan ibunya di ruangan itu. Rupanya karena Ratu Ylmeria duduk di pojok dinding sisi pintu, Pangeran yang langsung masuk itu tidak melihatnya. “Ada yang perlu kautanyakan padanya?” “Tidak,” Pangeran Reinald berbohong pada Ratu Ylmeria. Cukup sekali Pangeran Reinald mengingkari janjinya. “Katakan saja, Reinald. Ylmeria sudah mengetahuinya juga.” “Mama?” ulang Pangeran Reinald sambil menatap tak percaya pada Raja dan Ratu bergantian. Ratu Ylmeria membenarkan kalimat itu dengan berkata, “Aku juga terkejut ketika mengetahui ia itu seorang gadis.” “Telah kukatakan padamu, Reinald, Kakyu sangat berbakti kepada orang tuanya. Dan hanya Jenderal Reyn saja yang membuatnya mengatakan segalagalanya,” kata Raja Alfonso, “Aku akan membicarakannya dengan Reyn nanti. Lagipula nanti aku ada pertemuan dengan para Jenderal itu untuk membicarakan masalah Kirshcaverish dan hukuman yang harus diberikan pada mereka.” “Masalah itu belum selesai?” tanya Pangeran Reinald tak percaya. “Bukankah sudah sebulan lebih berlalu sejak kedatangan kami?” Sejak tiba di Istana Vezuza, Pangeran Reinald memang tidak pernah tahu lagi secara persis apa yang terjadi pada Bleriot dan kelompoknya. Pangeran bukannya tidak mau mengurusi masalah itu, tetapi Raja Alfonso tidak mengijinkannya untuk ikut. 196

“Engkau sudah banyak berusaha,” kata Raja Alfonso waktu itu, “Sisanya biar aku yang mengerjakannya.” “Jangan kaukira semudah itu menyelesaikan masalah sebesar ini,” Raja Alfonso merasa jengkel mendengar suara yang lebih mirip ejekan daripada tak percaya itu, “Butuh bukti-bukti yang cukup dan kuat sebelum mengajukan mereka ke pengadilan.” “Apakah kejahatan mereka selama ini belum cukup?” “Belum cukup untuk membuktikan mereka itu pemberontak. Apa yang mereka lakukan seperti pada keluarga Halberd dapat digolongkan dalam tindakan ancaman.” Pangeran Reinald tidak puas dengan penerangan itu. “Tetapi itu sudah cukup untuk membawa mereka ke pengadilan, bukan?” Ratu Ylmeria yang sejak tadi diam mendengarkan, menghela napas melihatnya. “Kurasa Kakyu memang cocok untukmu yang tidak pernah bersabar.” Perhatian Raja Alfonso teralihkan karena perkataan yang tulus dari lubuk hati seorang ibu. “Maksudmu, Ylmeria?” “Reinald sangat cepat marah dan ia tidak pernah mau bersabar sedangkan Kakyu gadis yang sangat tenang. Kalau Kakyu yang harus menghadapi Reinald, kurasa mereka tidak akan banyak bertengkar. Kakyu pasti dapat dengan sabar dan tetap tenang menenangkan Reinald,” kata Ratu Ylmeria sambil menatap lekat-lekat wajah putranya, “Kurasa kalau mereka menikah, kita tidak perlu khawatir, Reinald akan banyak bertengkar dengan istrinya. Terlebih lagi dalam memerintah kerajaaan ini, ia tidak akan bersikap sembrono dengan Kakyu sebagai pendampingnya.” Raja Alfonso ikut menatap lekat-lekat wajah Pangeran yang pura-pura jengkel untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. “Jangan berpikir yang tidak-tidak. Tidak mungkin itu terjadi antara aku dan gadis yang tenang-tenang dingin itu,” Pangeran Reinald mengelak. “Jangan membohongi aku, Reinald,” Ratu memperingatkan, “Seorang ibu tidak mungkin salah melihat perasaan anaknya. Engkau tahu bukan seorang ibu mempunyai hubungan batin yang sulit dijelaskan, dengan anak-anaknya.” “Tidak perlu mengelak, Reinald,” Raja Alfonso ikut menggoda Pangeran Reinald, “Kakyu memang cantik walau ia memakai pakaian seragam Kepala Pengawal Istana.” “Sebaiknya kalian tidak mengatakannya pada Eleanor,” kata Pangeran Reinald memperingati juga untuk mengalihkan perhatian kedua orang tuanya. “Bukankah sebaiknya Eleanor diberitahu juga?” “Tidak, Mama. Aku tahu Eleanor tidak akan tinggal diam setelah mengetahuinya. Ia pasti akan segera menanyakannya langsung pada Kakyu dan itulah yang ingin kuhindari.” 197

“Ia akan semakin sedih kalau ia tahu,” kata Ratu Ylmeria sendu, “Aku tidak dapat membayangkan seperti apa rupanya kalau tahu ini semua.” “Sekarang ataupun nanti ia diberitahu, ia pasti sedih dan kecewa, Ylmeria.” “Sekarang bukan itu masalahnya,” kata Pangeran Reinald, “Masalah utamanya adalah bagaimana membuat Kakyu benar-benar menyadari ia bukan laki-laki tetapi wanita? Bagaimana membuat ia menyadarinya?” Ratu Ylmeria diam menatap putranya. Tanpa diberitahupun, jiwa keibuannya telah berkata putranya mengharapkan itu demi dirinya sendiri. Dengan tersenyum, ia berkata, “Semua tergantung padamu juga, Reinald.” Pangeran Reinald hanya dapat menatap ibunya dengan bingung. “Bagaimanapun juga Kakyu itu seorang gadis. Sedikit banyak ia mempunyai jiwa seorang gadis. Hanya bagaimana engkau memanfaatkan jiwa yang selama ini tersembunyi dan membuatnya muncul lebih besar dari yang sebelumnya.” “Aku telah mencobanya tetapi Kakyu terlalu keras kepala untuk dibujuk.” “Aku merasa telah berulang kali mengatakan padamu Kakyu itu sangat berbakti pada orang tuanya. Walau apapun yang terjadi, ia tidak mungkin mau mengatakan sesuatu yang membuat segala ini menjadi jelas. Terutama padamu yang seorang Pangeran. Ia pasti tidak mau mencelakakan keluarga juga kedua orang tuanya.” “Tetapi Papa tidak akan menghukum mereka bukan?” “Benar, aku tidak akan melakukannya. Dan aku telah berjanji padamu.” “Bagaimanapun juga hal ini dapat dikatakan sebagai suatu penipuan, Reinald. Bukan hanya kepada seorang Raja tetapi juga kepada rakyat Kerajaan Aqnetta.” Raja Alfonso mengangguk membenarkan. “Kalian tidak akan menghukum mereka bukan? Walaupun berbohong, Kakyu banyak berjasa.” Pangeran Reinald tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukan kedua orang tuanya dengan pernyataan itu. Tetapi ia dapat membayangkan bukan hanya membayangkan tetapi juga sangat yakin pada tindakan yang akan dilakukannya bila kekhawatirannya itu terjadi. Ia akan menentang kedua orang tuanya dan itu tidak perlu diragukan lagi. Raja Alfonso tersenyum melihat kekhawatiran itu. “Jangan khawatir. Harus berapa kali aku mengatakan hal itu padamu, Reinald? Aku tidak akan menghukum mereka. Apakah aku harus menghukum seorang gadis yang telah berjasa begitu besar pada Kerajaan Aqnetta? Seorang gadis saja bisa setangguh itu. Bayangkan kalau semua gadis juga seperti Kakyu. Kerajaan kita pasti akan menjadi semakin kuat.” Pangeran Reinald tidak tahu apakah ia harus diam dengan keyakinan 198

ayahnya atau harus memberitahunya. Yang paling baik memang tidak memberitahunya sehingga Kakyu tetap aman. Tetapi kalau tidak diberitahu, ayahnya akan kecewa di kemudian hari kalau tahu yang sebenarnya. “Masalahnya, Papa tidak menyadari perbedaan antara ketangguhan Kakyu dengan Jenderal Reyn.” “Aku telah melihatnya, Reinald. Aku yakin Kakyu lebih tangguh daripada ayahnya sendiri waktu seusia dirinya. Aku tidak tahu bagaimana Jenderal Reyn mengajari putrinya tetapi ia benar-benar tangguh dan memiliki kemampuan yang tidak dapat diduga seberapa batasnya.” Pangeran Reinald merasa hal itu sudah cukup untuk saat ini. Ia sendiri belum tahu banyak tentang ilmu yang dipelajari Kakyu. Dan pasti ia tidak tahu harus menjelaskan apa pada ayahnya yang pasti akan banyak bertanya.

199

16

Kakyu duduk di depan meja kerjanya dan mulai menulis surat untuk Halberd. Hingga saat ini ia belum dapat melakukan janjinya pada keluarga Halberd. Kakyu belum dapat menambahi kesibukan itu dengan masalah Halberd. Kakyu tahu banyak yang dipikirkan Raja Alfonso saat ini antara lain tentang Kirshcaverish juga pesta kemenangan yang akan diadakannya. Kakyu mengakhiri surat singkat itu dengan namanya di sudut kanan. Kemudian dilipatnya surat itu dengan rapi dan dimasukkan ke dalam amplop. Tengah Kakyu menuliskan alamat tujuan surat itu, seseorang memanggil. Kakyu segera menghentikan pekerjaannya begitu mendengar suara ayahnya. “Ada apa, Papa?” Jenderal Reyn memasuki kamar Kakyu. Jenderal Reyn mengambil kursi dan duduk di depan Kakyu. “Aku ingin bertanya,” suara Jenderal Reyn terdengar seperti penuh perasaan bersalah dan ragu-ragu, “Bagaimana perasaanmu?” Kakyu tidak mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya. Saat ini ia memang sedang merasa galau dengan perasaannya yang campur aduk antara keinginan untuk terus menjadi laki-laki dan keinginan untuk bebas mencintai. Tetapi Kakyu tidak akan mengatakannya. “Biasa-biasa saja.” “Bukan itu maksudku,” Jenderal Reyn tampak kacau. Entah apa yang tengah dipikirkannya, Kakyu tidak tahu tetapi baru kali ini ia melihat ayahnya merasa bingung dan kacau. Jenderal Reyn menggenggam tangan Kakyu. Matanya mengawasi lekatlekat wajah tenang Kakyu, “Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu selama ini? Selama ini engkau terus menjadi laki-laki, seperti keinginanku. Engkau begitu tampak senang menjalankannya hingga aku lupa engkau ini seorang gadis seperti kakak-kakakmu yang lain. Aku begitu bodoh tidak pernah memikirkan ini semua.” “Aku tidak merasa terpaksa melakukannya, Papa,” kata Kakyu menghibur. “Aku tahu, Kakyu. Aku tahu. Engkau selalu senang melakukan semua ini,” kata Jenderal Reyn mengakui, “Tetapi aku yakin engkau pasti pernah memikirkan keinginanmu sendiri. Engkau oasti mempunyai keinginankeinginan sebagai seorang gadis yang telah aku aabikan selama ini.”

200

“Jangan terlalu dipikirkan apa yang dikatakan Mama. Aku senang melakukannya dan aku sama sekali tidak merasa terpaksa.” “Bukan hanya Xeilan yang mengatakannya padaku, Kakyu,” Jenderal Reyn memberitahu, “Xeilan memang sering memberitahuku tetapi itu dulu sebelum engkau kumasukkan menjadi seorang pengawal Istana.” Kakyu curiga mendengarnya. Ia khawatir Pangeran Reinald mengingkari janjinya. “Mengapa Papa harus memikirkannya?” “Karena aku ingin melihatmu bahagia, Kakyu,” kata Jenderal Reyn penuh pengertian, “Raja Alfonso benar kalau engkau terus menjadi laki-laki, engkau tidak akan dapat mencapai kebahagiaanmu sendiri seperti Joannie. Engkau pasti ingin bahagia seperti Joannie bukan?” Kakyu kebingungan mendengarnya. “Dari mana Raja Alfonso mengetahuinya?” pikirnya, “Apakah mungkin Pangeran Reinald yang mengatakannya?” Jenderal Reyn mengetahui apa yang dipikirkan Kakyu, “Tidak perlu menyalahkan dirimu, Kakyu. Aku sendiri juga tidak tahu darimana Raja Alfonso mengetahuinya, tetapi ia benar. Aku tidak bisa terus membuatmu menjadi seorang laki-laki. Bagaimanapun juga aku juga ingin melihatmu bahagia?” Kakyu berhenti memikirkan pertanyaan yang terus berkecamuk dalam benaknya. “Kakyu,” Jenderal Reyn seolah-olah ingin membangunkan Kakyu dari dunianya yang kacau, “Jangan kaupikirkan aku lagi. Aku sudah tidak memaksamu. Engkau bebas menentukan langkahmu sendiri. Engkau boleh meninggalkan segala hal yang berhubungan dengan militer dan memulai hidup seperti yang dijalani kakak-kakakmu.” “Itu tidak mungkin, Papa,” kata Kakyu. “Apalagi yang kaukhawatirkan, Kakyu? Aku sudah tidak ingin menekanmu menjadi laki-laki. Raja Alfonso juga tidak marah, bahkan ia berulang kali mengatakan, “Kalau seorang gadis saja bisa seperti ini, bayangkan kalau semua gadis menjadi prajurit.” Mengenai keamanan Istana Vezuzapun engkau tidak perlu mengkhwatirkannya, pasti ada penggantimu yang dapat melakukan tugas sebaik dirimu. Tidak ada yang perlu kaukhawatirkan. Ibumu, kakakkakakmu pasti senang kalau engkau mau meninggalkan segala yang tidak seharusnya kaulakukan sebagai seorang gadis.” Kakyu tidak tahu harus berkata apa. Kurang lebih sebulan yang lalu ia menetapkan untuk terus pada pekerjaannya tetapi kini ayahnya seperti seorang prajurit yang menyerah kalah. Kakyu benar-benar bingung. Jenderal Reyn mengerti kebingungan Kakyu. “Aku akan meninggalkanmu agar engkau dapat berpikir. Tetapi berjanjilah 201

padaku, Kakyu, engkau benar-benar akan memikirkannya.” “Aku janji.” Jenderal Reyn meninggalkan Kakyu yang terus duduk dengan pikiran yang semakin kacau. “Bagaimana?” tanya Lady Xeilan yang telah menanti di depan pintu. “Aku tidak tahu. Ia tampaknya bingung sekali.” “Tentu saja. Selama ini ia terbiasa menjadi laki-laki, lalu engkau tiba-tiba menyuruhnya kembali menjadi seorang gadis.” Jenderal Reyn memeluk istrinya, “Untunglah engkau menasehatiku tadi, kalau tidak aku tidak tahu apakah yang harus kulakukan. Aku begitu bodoh selama ini. Tak pernah sekalipun aku memikirkan perasaan gadisnya. Aku terlalu memaksanya menjadi laki-laki seperti yang kuharapkan.” “Sudahlah, yang penting engkau telah melakukan apa yang kukatakan bukan?” kata Lady Xeilan sambil tersenyum menghibur rasa bersalah suaminya, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Biar Kakyu memikirkannya dengan tenang.” Mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. Seperti keinginan Lady Xeilan, tidak ada yang berani menganggu Kakyu sepanjang hari itu. Bahkan ketika pada malam harinya Kakyu tidak turun untuk makan, tidak ada yang memanggilnya. Hanya pelayan yang mengantarkan makan malam, yang memasuki kamar Kakyu. Yang lain ingin memberi ketenangan bagi Kakyu untuk berpikir. Mereka tetap diam juga ketika keesokan paginya Kakyu tidak berangkat ke Istana Vezuza seperti biasanya. Mereka mengerti Kakyu sangat bingung saat ini. Seharian Kakyu tidak beranjak dari kamarnya. Ia terus duduk merenung di serambi depan kamarnya. Pikirannya terus melayang tak menentu arahnya. Kadang pada perasaannya akhir-akhir ini, kadang pada tanggung jawabnya, kadang pada kekecewaan ayahnya, tak jarang pula pikirannya menuju Pangeran Reinald. Belum pernah Kakyu merasa sedemikian kacau seperti hari ini. Kemarin malam ia sampai tidak dapat tidur sejenakpun karena terus memikirkan keputusannya. Kakyu hanya tinggal memilih antara dua pilihan, terus menjadi laki-laki atau kembali menjadi gadis. Hanya di antara dua pilihan itu, tidak lebih. Tetapi ia terus berpikir dan berpikir tiada henti untuk menentukan pilihannya. Menjadi seorang gadis, akhir-akhir ini memang menarik perhatian Kakyu terutama sejak jiwa gadisnya bangkit. Tetapi ia juga tidak sanggup meninggalkan dunia yang selama ini ditekuninya. Ia sendiri tidak tahu bagaimana harus bersikap kalau nanti ia menjadi seorang gadis. Kalau meneruskan pekerjaannya sebagai Kepala Pengawal Istana, ia tidak perlu repot-repot memikirkan itu. Tetapi ia juga ingin menjadi gadis.

202

Semua serba membingungkan. Tiap kali Kakyu mulai memutuskan selalu ada kata ‘tetapi’ dan itu membuat pikiran Kakyu kembali menjadi kacau. Udara pagi yang biasanya mampu membuat pikiran Kakyu menjadi tenang, pagi ini tidak lagi mampu. Pikiran Kakyu benar-benar bagaikan benang yang tidak terbentuk lagi dan tiada ujung pangkalnya. Karena begitu bingungnya Kakyu, sampai-sampai ia tidak mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. “Kakyu!” Sekali kakak Kakyu berseru memanggil Kakyu tetapi gadis itu tetap diam memandang langit biru dengan pikiran yang kacau. Vonnie menjadi jengkel karenanya. Dengan menggoyangkan tubuh adiknya, ia berseru, “Kakyu! Kau mendengarku atau tidak!?” Walaupun sedang bingung, Kakyu masih mampu menjawab dengan tenang, “Ada apa?” “Heran aku melihatmu,” kata Vonnie tanpa berhenti menggelengkan kepalanya, “Apa yang engkau pikirkan sepanjang malam sampai-sampai engkau tidak dengar aku mengetuk pintu.” “Maaf,” kata Kakyu dengan tenangnya. “Begitu tenangnyakah dirimu sampai-sampai walau sedang bingung engkau tetap dapat bersikap tenang?” Pandangan Kakyu beralih pada pria yang berdiri di belakang Vonnie. Melihat Pangeran Reinald berdiri di sanapun, Kakyu tetap berkata tenang, “Ada apa Anda mencari saya, Pangeran?” “Begitukah caramu menyambutku yang mengkhawatirkanmu?” Pangeran Reinald memincingkan matanya tanpa melepaskan matanya dari Kakyu. “Bagiku engkau sama sekali tidak nampak seperti orang yang sedang bingung.” Vonnie merasa ia tidak selayaknya berada di sana. “Sebaiknya saya meninggalkan kalian berdua. Saya yakin antara kalian ada yang harus dibicarakan.” Tidak ada yang menghiraukan kepergian Vonnie. Tiba-tiba Pangeran Reinald berlutut di depan Kakyu. “Aku minta maaf.” Kakyu hanya memandang Pangeran dengan bingung. “Papa sudah tahu semuanya dariku.” Hanya satu yang dilakukan Kakyu. Dan itu sama sekali jauh dari dugaan Pangeran Reinald. Kakyu sama sekali tidak menuntut jawaban juga tidak marah, ia hanya tersenyum tipis. “Lupakan saja.” Ungkapan singkat yang jauh berbeda dengan yang dibayangkannya itu membuat Pangeran Reinald menatap Kakyu dengan bingung. “Apakah engkau memang selalu tenang dan dingin seperti ini?”

203

Untuk menjawab keheranan itu, Kakyu berkata, “Saya telah dilatih untuk tetap tenang dalam keadaan apapun, Pangeran.” “Sekalipun engkau sedang bingung seperti ini?” tanya Pangeran Reinald ingin tahu. Kakyu tidak menjawabnya karena ia memang tidak tahu apakah ia tetap tenang atau tidak. Mungkin dari luar ia terlihat sangat tenang tetapi hati dan pikirannya tidak tenang terlebih dengan keberadaan Pangeran Reinald yang sangat dekat itu. Pangeran Reinald mengerti Kakyu sedang bingung dan ia tidak ingin menambahi lagi kebingungan gadis itu. “Aku mengerti engkau sedang bingung. Tetapi kuharap engkau tidak terus mengurung dirimu di sini. Kakak-kakakmu mengatakan sejak ayahmu memintamu untuk memikirkan kembali masa depanmu, engkau mengurung diri di sini. Engkau bisa sakit kalau engkau terus mengurung diri di sini.” Kakyu hanya diam menatap Pangeran. “Engkau bisa menceritakan kebingunganmu itu padaku. Lebih mudah memecahkan kebingungan itu kalau engkau mengatakannya pada orang lain. Kalau engkau tidak bisa mengatakannya padaku, katakan saja pada yang lain.” Kakyu tahu hal itu benar, tetapi masalahnya adalah semua kebingungan ini bersumber dari satu masalah yang ia sendiri belum ketahui apakah itu. Suatu masalah yang menjadi kunci dari segala kebingungan ini. Kebingungan ini sulit dijelaskan pada orang lain bahkan kadang ia sulit menjelaskannya pada dirinya sendiri. “Dengarkan aku, Kakyu,” kata Pangeran Reinald perlahan, “Aku tidak akan memaksamu memilih menjadi gadis, tetapi menurutku akan lebih mudah bagimu kalau engkau bukan anak laki-laki. Engkau bebas mencintai pria manapun ketika engkau menjadi seorang gadis.” Kakyu tetap diam. “Aku tahu engkau pasti merasa berat untuk meninggalkan pekerjaan yang telah kaucintai itu, tetapi engkau tidak perlu khawatir meninggalkannya, Kakyu.” Kakyu dibuat bingung karenanya. Bagaimana mungkin ia menjadi seorang gadis sekaligus Kepala Keamanan Istana? Jelas hal ini tidak mungkin. Tidak pernah ada seorang gadis yang menjadi prajurit dalam sejarah Kerajaan Aqnetta. “Ketika Papa mengetahui engkau seorang gadis, ia sangat terkejut tetapi ia sama sekali tidak marah. Bahkan dengan tersenyum ia berkata engkau sangat hebat dan ia tidak boleh menganggap remeh wanita. Dari perkataannya, aku bisa menangkap Papa mempunyai rencana untuk menjadikan engkau panutan bagi gadis-gadis lain yang ingin menjadi prajurit.” “Itu tidak mungkin,” Kakyu akhirnya berkata juga. 204

“Mengapa?” “Gadis lain tidak mungkin bisa seperti saya.” Pangeran Reinald terus mendesak Kakyu. “Mengapa?” “Kalaupun mereka menjadi seorang prajurit, mereka tidak akan seperti yang Anda harapkan. Apa yang saya pelajari tidak sama dengan yang akan mereka pelajari. Saya ini lebih tepat dikatakan sebagai pembunuh bayaran dibandingkan seorang prajurit.” “Selama ini engkau seorang prajurit, bukan?” Kakyu menggelengkan kepalanya, “Itu hanya pekerjaan. Tetapi ilmu yang saya kuasai ini bukan ilmu perang seorang prajurit tetapi seorang pembunuh, ninjit-su. Ninjit-su adalah seni membunuh rahasia Jepang di mana setiap orang yang mempelajarinya disebut ninja. Dalam ninjit-su dikenal berbagai macam ilmu yang paling tinggi adalah Kobadera, ilmu sihir ninja. Juga ada Ing tong jiutsu yang memungkinkan seorang ninja muncul tiba-tiba dan melemahkan musuh antara lain dengan menciptakan halusinasi pada lawan. Selain itu masih banyak senjata rahasia lain yang sangat ampuh.” Pangeran Reinald hanya terpana mendengar keterangan singkat itu. “Engkau menguasai semuanya?” “Tidak. Saya telah mengatakan pada Anda, dalam ninja ada larangan untuk menyebarkan ilmu ini pada orang lain di luar orang Jepang. Di Jepang sendiri hanya sedikit orang yang bisa.” “Kenichi itu orang Jepang bukan?” Pangeran Reinald memanfaatkan kesempatan ini untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Kakyu menganggukan kepalanya dengan lemah. Sampai sekarang masih sulit ia melupakan kematian Kenichi. “Ia orang Jepang asli. Kenichi menurunkan ilmunya pada saya karena ia sangat menyayangi saya. Kami bagaikan kakek dan cucu. Belum lama sejak Kenichi memasuki rumah ini, saya lahir. Dialah yang menamakan saya Kakyu, dari bahasa Jepang yang artinya Bola Api. Kata Kenichi, ketika saya lahir, rambut saya yang merah bersinar seperti nyala api.” “Bola Api,” ulang Pangeran Reinald sambil termangu-mangu, “Nama itu memang pantas kalau melihat rambutmu tetapi kalau melihat sifatmu yang tenang, nama itu tidak pantas. Engkau sama sekali tidak mudah marah seperti bola api, engkau sangat tenang dan dingin seperti es. Tetapi sekarang aku tahu, semua orang benar. Walaupun terlihat dingin, engkau tetap orang yang hangat. Bola apimu mencairkan esmu. Kuharap ia juga mencairkan masalahmu.” Teringat kembali pada masalah yang dihadapi Kakyu, Pangeran Reinald berkata, “Engkau lebih baik segera mengatakan masalahmu kepada orang lain sebelum engkau jatuh sakit. Aku tidak ingin melihat satu-satunya Perwira wanita ini sakit gara-gara memikirkan masalah mudah seperti ini.”

205

Bagi orang lain masalah ini memang mudah. Hanya tinggal memilih satu di antara dua pilihan, tetapi bagi Kakyu tidak. “Mungkin aku harus membiarkanmu berpikir lagi,” kata Pangeran Reinald sambil bangkit, “Aku telah lama mengganggumu. Jangan terlalu lama berpikir, Kakyu, aku khawatir gadis-gadis di Istana Vezuza terutama Eleanor kehilangan semangatnya karena engkau.” Kakyu hanya tersenyum. “Kalau ada masalah, katakan saja. Ingat tidak perlu kaupikirkan masalah lain selain pilihanmu, semuanya pasti baik-baik saja.” Entah berapa kali Pangeran Reinald mengatakan hal itu tetapi Kakyu tetap mengangguk mendengarnya. “Mengapa Anda mengkhawatirkan saya?” Pangeran Reinald terkejut oleh pertanyaan yang tak terduga itu. Jelas ia tidak dapat mengatakan alasannya. Kalau ia mengatakannya, ia hanya akan membuat Kakyu semakin bingung. “Karena engkau gadis yang bertanggung jawab pada keamanan Istana. Selain itu aku tidak ingin melihat semangat gadis-gadis di Istana Vezuza hilang karenamu.” Kakyu diam saja. “Sudahlah, jangan pikirkan hal ini. Pikirkan saja masalahmu sekarang,” kata Pangeran Reinald, “Aku tidak akan menganggumu lagi.” Kakyu mengikuti kepergian Pangeran Reinald dengan pandangannya. Setelah Pangeran menghilang di balik pintu, Kakyu kembali melayangkan pandangannya ke depan. Pegunungan Alpina Dinaria tampak jelas dari kamar Kakyu di lantai dua itu. Hijaunya hutan menyelimuti gunung demi gunung. Pegunungan itu tampak seperti benteng Kerajaan Aqnetta dari ancaman dunia luar. Kesunyian Hutan Naullie yang tampak dari serambi kamarnya, membuat Kakyu tahu apa yang harus dilakukannya. Ia lebih baik menghindari segala yang berhubungan dengan masalah ini agar ia dapat berpikir dengan lebih tenang. Kakyu masuk dan mulai menulis secarik surat pendek. Kemudian ia menyiapkan segala yang diperlukannya dan meninggalkan kamar. Ketika menuruni tangga, Kakyu samar-samar mendengar suara dari Ruang Tamu. “Apakah Anda yakin?” terdengar suara Vonnie penuh ingin tahu. “Benar,” suara tegas Pangeran Reinald meyakinkan Vonnie, “Ia hanya memerlukan waktu untuk berpikir.” “Kira-kira kapankah Kakyu memutuskan pilihannya?” Lishie pun ingin tahu. “Saya tidak tahu.”

206

“Kakyu menghadapi masa-masa tersulit dalam hidupnya,” suara bijaksana Lady Xeilan menghentikan keingintahuan kedua putrinya, “Selama ini ia menjadi laki-laki dan tidak pernah memikirkan dirinya sebenarnya seorang gadis. Kita semuapun memperlakukannya sebagai anak laki-laki dan melupakan ia adalah seorang gadis. Kini tiba-tiba ia harus menjadi seorang gadis kembali. Ini pasti sangat sulit baginya. Ia telah terbiasa menjadi laki-laki. Kalian harus mengerti itu.” “Tetapi kami ingin segera tahu keputusannya, Mama,” rujuk Marie. “Baru kali ini aku melihat engkau terburu-buru, Marie. Biasanya engkau sangat lamban.” “Siapa yang tidak ingin segera tahu, Lishie?” kata Vonnie, “Aku juga ingin segera tahu.” “Kalau engkau aku tidak heran.” Marie menyahut. Kakyu tidak sengaja mendengar percakapan mengenai dirinya itu dan ia tidak tertarik untuk mendengarkannya. Mendengarkan percakapan itu, hanya membuat dirinya semakin bimbang. Kakyu terus berjalan ke halaman belakang ke kandang kuda. Segera Kakyu menunggangi kuda kesayangannya dan melaju ke Hutan Naullie. Di sanalah Kakyu bisa mendapatkan ketenangan yang diharapkannya, di sana pula Kenichi yang bijaksana terbaring. Kakyu tahu bila ia dekat dengan Kenichi, ia akan lebih mudah mendapatkan ketenangan yang akhirnya akan membantunya menentukan pilihannya. Kakyu memacu kudanya secepat mungkin. Tanpa mempedulikan matahari yang terus meninggi maupun waktu yang terus berlalu, Kakyu terus memacu kudanya ke Farreway. Ketika malam menjelangpun Kakyu tidak berhenti di penginapan. Saat ini Kakyu tidak ingin melakukan yang lain selain tiba secepat mungkin di Hutan Naullie. Sehari semalam, Kakyu berkuda ke Farreway. Baru pada keesokan harinya ia tiba di Farreway. Perjalanan panjang yang ditempuhnya tidak membuat Kakyu lelah. Tanpa menghiraukan apa-apa lagi, Kakyu menerobos Hutan Naullie ke lembah tempat Kenichi terbaring. Walaupun penduduk yang tinggal di sekitar Hutan Naullie tidak mengenal Kakyu, mereka tidak banyak bertanya ketika Kakyu menerobos hutan yang pernah menjadi sarang pemberontak itu. Mereka membiarkan Kakyu menerobos hutan. Kalaupun mereka mencoba menghentikan Kakyu, gadis itu tidak akan menghiraukannya. Ia sudah terlalu sering menerobos Hutan Naullie. Tiba di lembah yang penuh angin itu, Kakyu bukannya beristirahat malah duduk di tepi lembah. 207

Kakyu duduk bersila dan memejamkan matanya – mencoba mendapatkan ketenangan yang diinginkannya. Benarlah dugaan Kakyu. Di tempat yang sangat sepi dan tenang itu, ia lebih cepat mendapatkan ketenangan hati maupun pikiran. Tak lama setelah duduk di sana, segala kebingungan Kakyu hilang. Dan membuat gadis itu merasa tenang. Dalam ketenangannya, Kakyu mencoba mendengarkan suara angin yang selalu bertiup di lembah itu. Tidak ada yang dipikirkan Kakyu di sepanjang siang itu. Kakyu hanya bertapa di tepi lembah sambil terus mengosongkan pikirannya. Sementara Kakyu duduk dengan tenangnya di lembah, seisi Quentynna House tidak dapat tenang. Kemarin saat pelayan yang mengantar makan siang Kakyu, turun dengan sehelai surat pendek Kakyu yang berbunyi “Aku pergi sebentar. Jangan khawatir” tidak ada yang mengkhawatirkan gadis itu. Semua mengira Kakyu pergi berjalan-jalan untuk mengurangi kebingungannya. Bahkan ketika Kakyu belum pulang malam itu, semua tidak khawatir. Yang ada di pikiran mereka malam itu hanya satu yaitu Kakyu pergi ke suatu tempat dan menginap di sana. Esok pagi ia akan pulang. Tetapi ketika siang ini Kakyu belum juga muncul, semua mulai khawatir. Berbagai hal mulai dari yang baik sampai yang buruk terus bermunculan dalam benak mereka. Di antara mereka hanya Jenderal Reyn yang tenang, Jenderal Reyn percaya Kakyu baik-baik saja apalagi bila mengingat ketangguhannya. Seperti biasa, pagi itu Jenderal Reyn pergi ke pelatihan prajurit dan memulai tugasnya di sana. Sementara itu, Lady Xeilan dan ketiga putrinya khawatir dan semakin khawatir tiap menitnya. “Bagaimana ini, Mama?” tanya Lishie khawatir, “Mengapa Kakyu belum pulang juga?” “Aku tidak tahu,” kata Lady Xeilan cemas, “Aku mengkhawatirkannya.” “Aku ingin tahu di mana ia berada sekarang.” “Kalau engkau memang selalu ingin tahu, Vonnie,” kata Marie. “Apakah sebaiknya kita meminta bantuan Adna untuk mencarinya?” “Jangan tolol, Lishie,” kata Vonnie, “Mereka baru saja menikah sudah ingin kauganggu dengan masalah ini. Biarkan kita saja yang mengkhawatirkan si Kakyu. Kalau ia ada di sini, akan kumarahi dia. Dia pergi tanpa berpamitan dan hanya meninggalkan secarik surat yang tidak jelas.” “Sudahlah,” Lady Xeilan menenangkan putri-putrinya, “Ayah kalian benar, Kakyu tidak seperti kalian. Ia bisa menjaga dirinya sendiri. Pasti ia baik-baik saja saat ini. Ia pasti akan pulang dalam waktu dekat.” “Tetapi ia benar-benar keterlaluan, Mama. Pergi tanpa pamit.” “Apakah mungkin ia merasa tertekan oleh masalah ini dan ia…”

208

“Jangan berpikir yang tidak-tidak, Lishie!” seru Marie terkejut, “Kakyu tidak mungkin bunuh diri gara-gara masalah sepele seperti ini.” “Percayalah, ia akan baik-baik saja,” kata Lady Xeilan lebih untuk menenangkan kekhawatirannya. Kekhawatiran itu terus memenuhi Quentynna House yang biasanya terlihat ceria dan penuh canda tawa. Sejak Kakyu menghilang tiba-tiba, kegembiraan itu berubah menjadi kecemasan. Baru setelah tiga hari menghilangnya Kakyu, Quentynna House bisa tenang. Pada hari keempat itulah Kakyu muncul. Semula saat mendengar pintu depan terbuka, mereka tidak beranjak dari Ruang Makan. Mereka mengira Jenderal Reyn pulang karena ada yang tertinggal. Tetapi saat mereka mendengar seorang pelayan berkata lega “Syukurlah Anda sudah pulang, Tuan Muda” mereka segera berhamburan keluar dari Ruang Makan. Lishie yang keluar paling awal, segera menyambut kedatangan adiknya dengan pelukan. “Aku kira engkau sudah mati, Kakyu.” Kakyu hanya tersenyum. Vonnie yang berjanji akan memarahi Kakyu bila ia datang, tidak dapat marah karena senangnya. Baginya saat ini terlalu melegakan untuk marahmarah. “Dari mana saja engkau?” tanyanya penuh ingin tahu. “Menemui Kenichi,” jawab Kakyu singkat. “Kenichi?” tanya Vonnie keheranan, “Bukankah ia telah meninggal?” “Pasti yang dimaksudkannya mengunjungi makamnya,” kata Marie. “Kenichi meninggal di Hutan Naullie bukan? Dan ia tidak mempunyai makam selain hutan itu,” kata Vonnie kemudian sambil menatap curiga pada Kakyu ia berkata, “Aku khawatir engkau ke sana.” Kakyu tersenyum membenarkan. Kemudian ia berpaling pada ibunya. “Maafkan aku, Mama.” “Tidak apa-apa, Kakyu. Tetapi kuharap lain kali engkau tidak seperti ini, engkau membuat kami cemas,” kata Lady Xeilan sambil tersenyum, “Sekarang berisitirahatlah. Aku yakin engkau telah menghabiskan waktu seharian untuk berkuda dari Farreway ke sini.” “Tidak, Mama,” kata Kakyu, “Aku harus segera berangkat ke Istana Vezuza.” “Ke Istana Vezuza?” tanya ketiga kakak Kakyu keheranan, “Jadi engkau telah memutuskannya?” Kakyu hanya tersenyum tanpa mengatakan apa-apa. “Apa keputusanmu?” tanya Vonnie ingin tahu. Kakyu tetap tidak menjawab pertanyaan itu. “Aku harus segera bersiapsiap,” katanya tenang.

209

“Apa keputusanmu, Kakyu?” desak ketiga kakak beradik itu. Seperti tadi, Kakyu hanya tersenyum. Kemudian ia menuju kamarnya. Vonnie, Marie juga Lishie hanya dapat berpandang-pandangan dengan penuh ingin tahu. “Apapun keputusan Kakyu, kita harus menghormatinya,” kata Lady Xeilan. “Tetapi kami ingin tahu, Mama,” kata Vonnie, “Aku yakin ia telah memutuskannya.” “Hanya saja ia tidak mau mengatakannya pada kami,” tambah Lishie. Lady Xeilan sendiri mengakui ia juga ingin mengetahui apa yang dipilih Kakyu. Meninggalkan jabatannya dan menjadi seorang gadis biasa atau tetap menjadi prajurit wanita. “Ia pasti mempunyai alasan sendiri,” kata Lady Xeilan. Tak lama kemudian Kakyu telah tiba kembali di tempat mereka. “Aku pergi, Mama,” katanya sambil mencium pipi Lady Xeilan. Seperti biasa, Lady Xeilan berpesan, “Hati-hati, Kakyu.” Kakyu tersenyum kemudian meninggalkan Quentynna House lagi tetapi kali ini bukan ke Hutan Naullie melainkan ke Istana Vezuza. Seperti kakak-kakaknya, semua prajurit di Istana Vezuza juga ingin tahu mengapa ia tidak muncul selama empat hari dan pada hari kelima ini terlambat. Kakyu hanya menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum. Bukan hanya para prajurit saja yang diperlakukan Kakyu seperti itu. Semua yang menanyakan masalah hilangnya dia di Istana Vezuza selama empat hari, juga mendapat jawaban sebuah senyuman tipis. Pagi itu Kakyu memulai tugasnya seperti biasa seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Selama sehari berada di Hutan Naullie, Kakyu memang telah mendapatkan ketenangan. Dan dalam ketenangannya itu, ia mendapat jawaban yang cukup mengejutkannya. Ternyata dugaannya beberapa bulan yang lalu benar, ia jatuh cinta. Karena itulah jiwa gadisnya yang selama ini tertidur bangkit. Mereka yang tidak tahu apa-apa, menganggap hal itu biasa. Tetapi lain halnya bagi Pangeran Reinald yang tahu apa yang telah terjadi. Melihat Kakyu begitu tenang pagi ini, Pangeran Reinald menjadi curiga. Ketika melihat Pangeran Reinald, Kakyu menyapa dengan tenangnya, “Selamat pagi, Pangeran.” Tanpa mempedulikan orang-orang yang melihat mereka, Pangeran Reinald segera menarik Kakyu ke dalam ruangan yang berada di dekat mereka. “Jadi…” kata Pangeran. “Jadi?” ulang Kakyu keheranan. “Jangan mencoba menipuku, Kakyu. Aku tahu engkau telah memutuskan pilihanmu,” kata Pangeran Reinald gemas. 210

“Lalu?” Kakyu bertanya pura-pura tidak tahu. Pangeran semakin gemas mendengar keluguan itu. “Aku ingin tahu apa pilihanmu.” “Anda juga akan mengetahuinya nanti,” kata Kakyu sambil tersenyum. “Mengapa engkau tidak mau memberitahuku sekarang? Nanti atau sekarang sama saja.” “Sekarang saya harus memikirkan pesta kemenangan yang kurang seminggu lagi.” Pangeran menyipitkan matanya sambil mengawasi Kakyu. “Jadi itu keputusanmu?” kata Pangeran Reinald kecewa, “Mengapa engkau memutuskan untuk tetap menjadi prajurit, Kakyu? Mengapa?” Kakyu keheranan melihat kekecewaan Pangeran. “Apakah salah, Pangeran?” “Jelas salah sekali, Kakyu!” kata Pangeran Reinald tidak sabar, “Bagaimana mungkin engkau terus menerus menjadi laki-laki?” “Apakah itu menganggu Anda, Pangeran?” tanya Kakyu ingin tahu, “Saya tetap berperan sebagai laki-laki maupun menjadi diri saya sendiri, tidak ada bedanya.” “Jelas ada bedanya, Kakyu,” kata Pangeran Reinald geram, “Apakah engkau tidak menyadarinya, Perwira?” Kakyu hanya menatap Pangeran. “Apakah engkau sedemikian bodohnya, Perwira?” Pangeran Reinald terlihat sangat geram dengan sikap Kakyu yang lugu, “Kalau engkau terus menjadi laki-laki, jelas aku yang akan kewalahan.” Kakyu semakin kebingungan oleh sikap Pangeran. “Mengapa, Pangeran? Bukankah Paduka juga telah mengetahui saya tidak mungkin menikah dengan Tuan Puteri?” “Bukan itu masalahnya, Kakyu.” Kakyu menatap Pangeran dalam-dalam. “Katakan, Pangeran,” katanya hati-hati, “Apakah Anda khawatir saya akan merebut posisi Anda di hati para gadis?” “Aku tidak peduli dengan itu!” Pangeran menatap tajam Kakyu, “Aku mencintaimu. Apakah engkau tidak mengerti itu?” Kakyu tersentak kaget. Ini adalah suatu kenyataan yang tak pernah diduganya. Saat ia menyadari perasaannya, ia juga tidak mengharapkannya karena ia tahu itu tidak mungkin. Tetapi apa yang baru saja dikatakan Pangeran Reinald sangat nyata. “Bagaimana mungkin aku menunjukkan cintaku padamu kalau engkau terus menjadi laki-laki?” Pangeran Reinald tidak melepaskan Kakyu dari pandangan matanya, “Jadi, apa yang akan kaulakukan Kakyu?” 211

“Bagaimana mungkin itu terjadi?” tanya Kakyu tidak mengerti, “Itu tidak mungkin.” “Apa yang tidak mungkin Kakyu?” tanya Pangean Reinald lembut, “Aku telah jatuh cinta padamu. Apa yang tidak mungkin?” Hati Kakyu yang sedang senang, tahu apa yang akan dikatakannya. Tetapi Kakyu tidak melakukannya, ia masih ingin tahu lebih banyak. “Bagaimana mungkin Anda jatuh cinta pada saya, Pangeran?” kata Kakyu tenang untuk menyembunyikan kegembiraan hatinya, “Anda jatuh cinta pada saya ketika saya menjadi prajurit, kalau saya menjadi seorang gadis, apakah Anda akan mengatakan itu?” “Aku tidak mengerti engkau memang bodoh atau engkau sedang mempermainkanku,” kata Pangeran Reinald jengkel, “Sekarang dengar baikbaik apa yang akan kukatakan. Aku mencintaimu dan akan selalu mencintaimu. Aku mencintaimu karena engkau memang patut dicintai, itu yang pertama. Tetapi yang lebih penting bagiku, engkau memiliki kecantikkan yang tidak mungkin kutemukan pada wanita manapun. Wajah cantikmu yang tenang itu telah mengangguku sejak aku bertemu denganmu, tetapi yang harus kauketahui aku mengagumimu sebagai satu-satunya wanita tertangguh yang pernah kujumpai.” “Pasti hanya saya satu-satunya prajurit wanita yang pernah Anda temui,” kata Kakyu sambil tersenyum bahagia. Pangeran Reinald memincingkan mata melihat senyum yang jarang dilihatnya itu. “Seingatku hanya sekali aku melihat engkau tersenyum senang seperti ini yaitu saat aku menuduhmu jatuh cinta pada Adna. Setelah itu aku tidak pernah melihatmu tersenyum seperti ini apalagi tertawa.” Kakyu hanya diam saja. “Jadi, apakah engkau masih tetap memutuskan untuk menjadi laki-laki?” “Sebenarnya, Pangeran, saya telah memutuskan sesuatu sebelum saya ke sini,” kata Kakyu, “Dan keputusan itu tidak akan saya katakan saat ini.” “Tetapi aku memaksamu untuk mengatakannya,” desak Pangeran Reinald, “Saat ini juga.” “Saya mengerti, Pangeran,” kata Kakyu sambil tersenyum, “Saya memutuskan untuk meninggalkan Istana Vezuza.” “APA!!?” kata Pangeran Reinald terkejut, “Engkau tidak boleh meninggalkan Istana. Tidak, karena aku melarangmu. Aku benar-benar akan gila kalau engkau meninggalkan aku. Ketahuilah, Kakyu, aku bukan orang yang mau bersabar. Aku tidak akan mau melepaskan engkau karena aku sangat mencintaimu.” Kakyu merasa sebaiknya ia juga memberitahu segalanya pada Pangeran sebelum ia semakin marah, “Saya ingin meninggakan Istana karena saya tidak dapat terus berada di dekat Anda…” 212

“Mengapa?” Pangeran Reinald memutus perkataan Kakyu dengan gusar, “Apakah aku telah bersalah padamu? Apakah aku membuatmu benci padaku?” “Pangeran,” kata Kakyu memohon, “Saya mohon dengarkan saya.” “Baik. Baik,” kata Pangeran menenangkan diri. Pangeran Reinald melihat sekeliling ruangan kemudian menarik Kakyu ke sebuah kursi. Setelah mendudukan Kakyu di kursi itu, ia berlutut di depan gadis itu dengan sikap mendengarkan seorang anak kecil yang menanti dongeng pengasuhnya. “Empat hari yang lalu setelah Anda meninggalkan saya di kamar saya, saya menuju Hutan Naullie. Di sana saya menyadari saya tidak dapat terus berada di Istana sementara hati saya terus kesakitan.” Pangeran Reinald tidak sabar mendengarnya, “Mengapa?” “Saya juga mempunyai perasaan yang sama seperti Anda dan saya tidak dapat membiarkan hati saya sakit karena terus menerus melihat Anda di sekeliling wanita-wanita cantik.” “Maksudmu?” kata Pangeran Reinald dengan senyum mengembang, “Katakan padaku, Kakyu. Aku ingin engkau mengatakannya.” “Saya mencintai Anda, Pangeran.” Pangeran Reinald sangat senang karenanya. Sebagai perwujudan rasa senangnya, ia memeluk Kakyu erat-erat dan membuat gadis itu sulit bernapas. “Jadi engkau memutuskan untuk menjadi dirimu sendiri,” kata Pangeran Reinald senang. “Benar. Dan saya berniat mengatakan keputusan saya itu setelah pesta kemenangan ini.” “Andaikan engkau mengatakan sejak tadi,” kata Pangeran Reinald, “Aku tentu tidak akan merasa khawatir seperti ini.” Pangeran bukannya melepaskan Kakyu malah memeluk Kakyu semakin erat sehingga Kakyu terpaksa mendorong tubuh Pangeran. “Ada apa?” tanya Pangeran keheranan. “Tidak. Tidak ada apa-apa,” kata Kakyu. Kakyu tidak sanggup mengatakan pada Pangeran kalau ia belum terbiasa diperlakukan sebagai seorang gadis. Pangeran Reinald melihat wajah Kakyu agak bersemu merah. Dengan tersenyum ia berkata, “Engkau tidak terbiasa diperlakukan sebagai seorang gadis rupanya.” “Tentu saja,” sahut Kakyu, “Selama ini saya menjadi anak laki-laki.” “Berarti aku yang pertama memperlakukanmu seperti ini.” Kakyu mengangguk. “Engkau belum menceritakan kepadaku mengapa engkau menjadi lakilaki,” Pangeran Reinald mengingatkan. “Anda tentu mengerti bagaimana perasaan seorang ayah yang 213

mengharapkan anak laki-laki tetapi tidak mendapatkannya,” Kakyu memulai ceritanya, “Papa sangat sedih dan kecewa waktu saya lahir. Ketika saya lahir, Papa mendengar suara tangisan saya yang keras dan menduga saya anak lakilaki ternyata saya sama seperti kakak-kakak saya, perempuan. Karena suara tangisan saya yang keras, Papa percaya saya dapat menjadi seorang yang tangguh asalkan saya bukan anak perempuan. Kemudian Papa merawat saya sebagai anak laki-laki.” Sebenarnya Kenichi juga tidak setuju Jenderal Reyn ‘merubah’ Kakyu menjadi anak laki-laki. Tetapi ia mengerti bagaimana perasaan Jenderal Reyn ketika mengetahui kelima anaknya adalah perempuan. Tak satupun dari mereka yang dapat menggantikannya. Ia pernah berkata pada Kakyu, “Suatu hari nanti engkau harus kembali menjadi dirimu sendiri. Engkau bukan anak laki-laki dan engkau tidak bisa terus menerus hidup sebagai anak laki-laki.” Perkataan itulah yang membuat Kakyu menyadari ia seharusnya melupakan semua jiwa laki-lakinya untuk menyelesaikan masalahnya. Dengan ketenangannya sebagai seorang gadis, Kakyu mulai menyadari perasaannya satu-satu. Ia mulai memikirkan mengapa jiwa yang selama ini seperti mati tibatiba bangkit setelah Pangeran Reinald muncul dalam hidupnya. Dengan mengingat satu per satu kejadian yang telah dilaluinya bersama Pangeran, Kakyu sadar ia tidak salah lagi. Ia memang jatuh cinta pada Pangeran dan itulah yang membuat ketenangannya mudah hilang di saat ia berada dekat Pangeran juga mengapa jiwa gadisnya bangkit. Tetapi kemudian Kakyu menyadari Pangeran Reinald tidak mungkin mencintainya. Ketakutan seorang gadis akan penolakan cintanya itulah yang membuat Kakyu bingung saat ia harus memilih menjadi laki-laki atau menjadi gadis. Dengan ditemukannya kunci itu, Kakyu mulai mengerti mengapa ia bingung. Dengan tetap menjadi seorang laki-laki, ia tidak tidak perlu khawatir akan ditolak. Tetapi jiwa gadisnya ingin mencintai Pangeran. Itulah kuncinya. Perlahan-lahan Kakyu menyadari kalau ia terus menjadi laki-laki yang berarti terus menjadi Kepala Keamanan Istana, ia harus bisa menahan perasaannya setiap kali melihat wanita-wanita cantik yang berlalu lalang di Istana. Jelas itu tidak mungkin dilakukan Kakyu. Kakyu mungkin tetap dapat bersikap tenang, tetapi hatinya takkan mampu terus menerus membayangkan di antara wanita-wanita itu kelak ada yang akan menikah dengan Pangeran. Dengan pikiran itu, Kakyu akhirnya memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri. Dengan meninggalkan Istana dan Pangeran, perlahan-lahan Kakyu pasti dapat melupakan Pangeran. “Jadi itu sebabnya Jenderal Reyn memilihmu menjadi laki-laki bukan kakak-kakakmu yang lain,” kata Pangeran Reinald.

214

Kakyu mengangguk. “Dan Kenichi yang katamu seorang ninja itu, menurunkan ilmunya kepadamu untuk mempertangguh engkau sebagai seorang prajurit.” Kakyu mengangguk lagi. “Jadi Kenichi setuju dengan keinginan ayahmu itu.” “Tidak,” Kakyu cepat-cepat membantah, “Sebenarnya ia tidak setuju, tetapi karena ia mengerti bagaimana perasaan Papa, ia menyetujuinya.” Pangeran Reinald tersenyum tanpa melepaskan pandangannya dari Kakyu. “Aku ingin tahu bagaimana rupamu kalau engkau mengenakan gaun yang indah,” gumamnya. “Saya tidak dapat membayangkannya, Pangeran,” kata Kakyu, “Yang pasti saya akan nampak lucu dan aneh sekali.” Pangeran memincingkan matanya mendengarnya, “Bisakah engkau membuang kata ‘Pangeran’ itu? Itu sangat mengangguku. Juga bisakah engkau tidak bersikap sangat sopan kepadaku?” “Tidak, Pangeran,” kata Kakyu tenang. “Aku memaksamu, Kakyu.” “Tidak bisa, Pangeran,” Kakyu bersikeras, “Saya menghormati Anda.” Pangeran Reinald kehilangan kesabarannya tetapi ia tidak kehilangan cara untuk membuat Kakyu berhenti menghormatinya. Kakyu sangat terkejut ketika Pangeran tiba-tiba menciumnya. Ia sama sekali tidak menyangkanya. Sambil tersenyum nakal, Pangeran Reinald berkata, “Sekarang engkau masih menghormatiku?” “Pangeran, Anda…” Kata ‘Pangeran’ yang diucapkan Kakyu itu membuat Pangeran mengeluh. “Bagaimana membuatmu berhenti memanggilku Pangeran, Kakyu? Aku tidak ingin engkau memanggilku Pangeran apalagi bersikap sangat sopan padaku. Kalau demikian jadinya dulu seharusnya aku tidak bertukar kedudukan dengan Adna.” “Pangeran….” Suara sedih itu membuat Pangeran cemberut, “Aku memang menyedihkan, bukan? Aku mengharapkan gadis yang kucintai tidak terlalu menghormatiku tetapi ternyata tidak bisa.” Kakyu tersenyum, “Mengapa tidak bisa?” Semangat Pangeran Reinald bangkit lagi, “Engkau mau?” Kakyu mengangguk. “Kalau begitu panggil aku dengan namaku,” katanya bersemangat, “Aku ingin mendengarmu memanggil namaku.” Kakyu ragu-ragu, tetapi akhirnya ia mengucapkannya juga. “Reinald.” 215

17

“Aku heran.” Kakyu mengawasi ketiga kakaknya dan ibunya yang terus berkeliling Quentynna House. Entah apa yang mereka cari, sebentar mereka masuk ke kamar Joannie, sebentar lagi ke kamar Vonnie. Sejak tadi pagi mereka terus keluar masuk kamar tiada henti hingga Kakyu yang melihatnya menjadi pusing. “Aku yang akan pergi tetapi mengapa kalian yang sejak tadi terlihat sangat bersemangat?” “Tentu,” kata Vonnie, “Ini pertama kalinya engkau mengenakan gaun, kami ingin engkau tampil paling cantik.” “Aku pasti terlihat aneh.” “Tidak mungkin, Kakyu,” kata Lishie, “Kita, kakak-kakakmu ini semua cantik-cantik, mengapa engkau tidak?” “Sudahlah, Kakyu, engkau pasti tampak cantik,” Marie turut meyakinkan Kakyu. “Sayang Joannie tidak ada di sini. Kalau ia ada di sini, ia pasti dapat membantu kita.” “Ia pasti akan terkejut kalau nanti melihat Kakyu di pesta.” “Benar, Lishie. Aku ingin tahu bagaimana pendapatnya tentang ini.” “Kalian sudah menyiapkan semuanya?” “Sudah, Mama,” jawab ketika gadis itu serempak. “Bagus. Sekarang kita harus mendandani Kakyu.” “Tunggu dulu. Mengapa aku harus bersiap-siap sepagi ini? Pesta itu baru akan berlangsung tiga jam lagi.” “Sudahlah, Kakyu,” kata Lishie, “Kata Mama, pasti akan sulit mendandanimu, jadi sebaiknya engkau menurut saja.” Ketiga kakak beradik itu menarik Kakyu ke dalam Kamar Rias dan memulai pekerjaan mereka. Sementara ketiga kakaknya dan ibunya terus menyibukkan diri dengan dandanannya, Kakyu hanya menuruti mereka. Ia tidak tahu apa-apa selain tahu ia pasti akan tampak aneh. Ternyata dugaan Kakyu salah. Kakyu tampak cantik sekali setelah didandani cukup lama oleh Vonnie, Marie juga Lishie. Tak ketinggalan pula ibu mereka, Lady Xeilan. “Engkau cantik sekali, Kakyu. Lihatlah bayanganmu di cermin.” Hanya Kakyu yang merasa aneh melihat dirinya yang sekarang mengenakan gaun yang indah. Rambut merah yang biasanya dibiarkan terurai hingga bahu atau dimasukkan ke dalam topi, kini disanggul rapi. Kakyu merasa aneh melihatnya, tetapi tidak keempat wanita lainnya. 216

“Engkau cantik sekali,” ulang Lady Xeilan. “Benar, Mama. Tak kusangka ternyata Kakyu juga bisa tampak cantik kalau didandani.” “Lishie, jangan bercanda,” sergah Vonnie kemudian ia bertanya pada Kakyu, “Bagaimana pendapatmu, Kakyu?” “Aku merasa aneh.” “Tentu saja,” kata Lady Xeilan, “Engkau terlalu lama mengenakan pakaian laki-laki lalu kini engkau mengenakan gaun. Pasti engkau merasa aneh.” “Engkau telah siap, Kakyu. Sekarang giliran kami mempersiapkan diri kami.” “Benar, Marie,” kata Lishie, “Aku akan membantumu. Kalau sudah selesai, engkau harus membantuku.” “Kalian jangan melupakan aku.” Ketiga gadis itu bergegas meninggalkan Kamar Rias. “Engkau cantik sekali, Kakyu.” Untuk kesekian kalinya Lady Xeilan mengucapkan kalimat itu, “Aku senang akhirnya bisa melihatmu mengenakan gaun.” “Apakah aku tidak nampak aneh?” “Tidak, Kakyu. Engkau cantik. Lihatlah sendiri bayanganmu di cermin.” Kakyu juga telah melihatnya dan semakin melihatnya, ia semakin merasa dirinya yang sekarang lucu. “Mulai sekarang engkau harus mengenakan gaun-gaun seperti ini. Karena itu engkau harus membiasakan diri.” Kakyu mengangguk. “Aku akan meninggalkanmu di sini. Aku juga harus mempersiapkan diriku.” Kamar Rias menjadi sepi setelah kepergian Lady Xeilan. Kakyu hanya duduk memandangi wajah barunya di cermin. Ketika memaksa Kakyu mengenakan gaun bukan pakaian seragam Kepala Keamanan Istana dalam pesta kemenangan itu, Pangeran Reinald berkata, “Engkau pasti akan semakin cantik kalau mengenakan gaun.” Kakyu ingin tahu apakah Pangeran masih berkata seperti itu kalau melihatnya nanti. Kakyu berdiri. Ia harus mulai membiasakan diri berjalan dalam gaun ini. Mulanya Kakyu memang kesulitan berjalan dengan gaun panjang yang membatasi gerak kakinya, tetapi lama kelamaan Kakyu mulai terbiasa berjalan dengan gaun panjang itu. Setelah berhasil mengelilingi Kamar Rias berulang kali tanpa kesulitan, Kakyu meninggalkan Kamar Rias dan menuju kamarnya. Di sana, Kakyu duduk di serambi. Kakyu melihat Pegunungan Alpina Dinaria di kejauhan. Ia berharap Kenichi dapat melihatnya saat ini.

217

“Kakyu!” seseorang berteriak memanggil. Kakyu segera beranjak dari serambi. “Ada apa?” Lishie tampak lega melihat adiknya di ujung tangga. “Aku khawatir engkau menghilang lagi. Engkau benar-benar membuat kami cemas.” “Aku di kamarku.” “Sudahlah. Sekarang cepat turun, Kakyu, kita akan segera berangkat.” “Mama belum keluar, Marie.” “Mengapa Mama lama sekali?” tanya Vonnie penuh rasa ingin tahu. Kakyu turun perlahan-lahan menuju tempat kakak-kakaknya berada. Lishie tersenyum melihat adiknya tampak serba hati-hati dalam setiap langkahnya. “Engkau harus berjalan dengan hati-hati, Kakyu, kalau engkau tidak ingin menginjak gaunmu sendiri.” Vonnie tertawa. “Bagaimana perasaanmu setelah sekian lama mengenakan seragam prajurit?” “Aneh.” “Kami juga merasa aneh melihatmu mengenakan gaun setelah sekian lama engkau mengenakan pakaian seragam, Kakyu. Tetapi percayalah engakau tampak sangat cantik.” “Apa yang dikatakan Marie benar. Joannie pasti juga berkata seperti itu.” “Apa yang akan dikatakan Joannie kalau ia melihat Kakyu?” “Juga Adna,” tambah Lishie, “Aku yakin ia belum tahu kalau Kakyu itu perempuan. Kalian masih ingat bukan, pada saat hari pernikahannya, ia meminta Kakyu menjadi pengiringnya tetapi Kakyu menolak dan akhirnya Pangeran Reinald yang menggantikan Kakyu. Adna waktu itu sangat kecewa, Kakyu. Joannie tidak mau menceritakan apapun tentang rahasia kita ini kepada Adna dan membiarkan suaminya kecewa. Engkau harus berterima kasih pada Joannie, Kakyu.” “Kalau waktu itu Joannie mengatakannya pada Adna, kita tidak bisa membuat kejutan untuk Adna. Tetapi untung Joannie tidak mengatakannya. Aku yakin hingga kini ia belum mengatakan apa-apa tentang rahasia ini dan kita bisa membuat Adna terkejut.” “Aku setuju denganmu, Marie. Kira-kira bagaimana reaksi Adna kalau melihatmu, Kakyu?” “Bukan hanya Adna, Kakyu, tetapi juga semua orang terutama Putri Eleanor,” Lishie mengingatkan, “Kalian ingat Putri Eleanor menyukai Kakyu. Ia pasti sangat sedih kalau tahu Kakyu bukan seorang pria tetapi seorang gadis.” “Sudah… sudah. Kalau kalian berkumpul seperti ini, aku yakin kita tidak akan berangkat walau hari sudah malam.” Ketiga gadis itu segera memalingkan kepala ke Jenderal Reyn yang sedang menuruni tangga. Lady Xeilan yang berjalan di sampingnya, tersenyum

218

pada mereka. “Kalian kalau sudah berkumpul, tidak akan berhenti berbicara kalau tidak menjelang waktu tidur.” “Kita akan berangkat sekarang?” “Heran aku melihatmu, Marie. Biasanya engkau tidak suka terburu-buru bukan? Mengapa kali ini engkau terburu-buru?” “Biarkan saja. Aku memang ingin segera melihat apa yang terjadi kalau semua orang tahu Kakyu adalah seorang gadis. Engkau tidak ingin tahu, Lishie?” “Aku ingin tahu.” “Kalau engkau aku tidak bertanya, Vonnie. Tetapi aku yakin saat ini kita semua ingin tahu apa yang akan terjadi. Benarkan, Papa?” Jenderal Reyn menatap Kakyu lekat-lekat. Mulai dari atas hingga bawah kemudian dengan tersenyum ia berkata, “Benar, Lishie. Aku juga ingin tahu apa yang dikatakan Jenderal Decker kalau melihat Perwira yang selama ini dibanggakannya ternyata seorang gadis yang sangat cantik.” Kemudian dengan nada bersalah yang kental, Jenderal Reyn berkata, “Aku sungguh menyesal, Kakyu. Aku terlalu memaksamu menjadi laki-laki tanpa menyadari engkau sebenarnya seorang gadis yang sangat cantik.” “Sudahlah, Papa.” Lishie tiba-tiba tersenyum geli. “Kakyu sudah berubah dari seorang Perwira yang tangguh menjadi seorang gadis yang cantik, tetapi ia tetap dingin-dingin tenang.” “Apakah engkau tidak lelah terus menjaga ketenanganmu, Kakyu?” tanya Vonnie ingin tahu. “Sudahlah. Aku sudah berkata berkali-kali kalau kalian sudah berkumpul seperti ini, tidak akan ada kata selesai bagi kalian,” sela Lady Xeilan, “Kalian ingin berangkat atau tidak?” “Tentu,” jawab ketiga kakak Kakyu serempak. “Kereta sudah siap?” tanya Lady Xeilan pada seorang pelayan yang membawakan mantel mereka dan topi bagi Jenderal Reyn. “Sudah.” Ketiga gadis itu tidak sabar ingin segera tiba di pesta. Mereka berlari-lari menuju halaman tempat kereta kuda menanti mereka. “Mereka tidak berubah,” kata Lady Xeilan sambil menggelengkan kepalanya. “Yang berubah hanya Kakyu,” kata Jenderal Reyn, “Engkau berubah menjadi seorang gadis yang sangat cantik, Kakyu. Aku yakin semua orang yang melihatmu akan jatuh cinta.” “Tetapi apa yang dikatakan Vonnie benar, engkau masih tetap tenang dan pendiam.” 219

Kakyu hanya tersenyum. “Mari, Kakyu,” Lady Xeilan mengulurkan tangannya pada Kakyu. Kakyu menyambut tangan ibunya dan berjalan ke kereta kuda. Dari dalam kereta, kakak-kakak Kakyu yang sudah tidak sabar lagi, berteriak, “Cepat! Cepat nanti kita terlambat!” Lady Xeilan hanya tersenyum mendengarnya. Seperti biasa, Kakyu tidak menanggapi dalam bentuk apapun. Ia terus berjalan dengan tenang di samping ibunya sementara ayahnya sudah berlari ke kereta kuda – seperti keinginan ketiga putrinya yang lain. “Lambat sekali kalian,” keluh Lishie saat akhirnya Lady Xeilan dan Kakyu tiba di sisi kereta. Mereka hanya tersenyum tanpa perasaan bersalah. -----0----“Mama! Papa! Vonnie! Marie! Lishie!” Mereka yang baru memasuki Hall Pesta, berpaling ke arah datangnya suara itu. Joannie berlari mendekat. “Aku rindu pada kalian,” katanya sambil memeluk mereka satu per satu. Joannie melihat keluarganya satu per satu. “Kakyu di mana?” “Ia di luar untuk memeriksa keadaan.” “Dasar, Kakyu! Sampai kapanpun ia tidak akan berhenti memikirkan tugasnya.” “Tetapi itulah kelebihan Kakyu dibandingkan kalian,” Adna membela Kakyu. Kemudian sambil tersenyum, ia berkata, “Selamat sore, semuanya.” “Adna!” seru Lishie senang, “Lama tidak berjumpa.” “Benar. Tak heran kalau Joannie tiba-tiba berlari menjauhiku ketika melihat kalian.” Suara suaminya yang seperti anak kecil yang sedang marah membuat Joannie tersenyum. “Jangan seperti itu. Aku tidak berlari kepada laki-laki lain. Aku hanya berlari pada keluargaku.” Lady Xeilan tersenyum mendengarnya. “Tampaknya engkau sudah lebih dewasa setelah menikah, Joannie.” “Tentu, Mama,” Joannie mengakui, “Aku harus lebih dewasa mulai saat ini.” “Aku senang mendengarnya,” kata Jenderal Reyn. “Bagaimana bulan madu kalian?” “Vonnie! Tidak bisakah engkau berhenti ingin tahu!?” “Aku hanya ingin tahu, Marie. Apakah itu salah?” Seseorang yang memasuki Hall Pesta membuat Lishie tidak jadi

220

memarahi kakaknya, sebaliknya ia berkata dengan senang, “Itu Kakyu!” Joannie terbelalak karenanya. “Itu Kakyu?” tanyanya tak percaya. “Benar,” jawab ketiga adiknya serempak. “Ia cantik bukan?” “Benar, Mama. Ia sangat cantik.” Adna kebingungan melihat gadis yang mendekati mereka. Siapa gadis itu ia tidak tahu. Walaupun keluarganya telah mengatakan itu adalah Kakyu, ia tidak percaya. Joannie berlari mendekati Kakyu dan menyambutnya dengan pelukan. “Aku senang akhirnya bisa melihatmu mengenakan gaun, Kakyu.” Joannie melepaskan pelukannya dan menatap Kakyu lekat-lekat. “Engkau benar-benar cantik, Kakyu. Aku yakin semua orang akan terpesona melihatmu.” “Mereka pasti tertawa.” “Siapa yang akan berkata seperti itu? Engkau sangat cantik bahkan aku sendiri merasa kalah cantiknya denganmu.” Joannie menggandeng Kakyu ke tempat keluarganya menanti. “Kalian benar, ia sangat cantik.” “Tentu saja. Kalau tidak percuma aku mendandaninya dengan susah payah.” “Bukan hanya engkau saja, Lishie. Aku, Vonnie juga Mama yang mendandani Kakyu.” “Tunggu dulu,” sela Adna, “Apa maksud semua ini? Bukankah Kakyu itu seorang pria?” Vonnie, Marie juga Lishie tersenyum geli sambil saling memandang. “Bukan, Adna.” “Apa maksudmu, Joannie?” “Ia dilahirkan sebagai anak perempuan tetapi aku dengan egoisnya membuat dia menjadi laki-laki,” jawab Jenderal Reyn, “ Sejak lahir, ia kudidik menjadi seorang prajurit dan akhirnya jadilah ia seorang Perwira Tinggi yang termuda juga tertangguh.” Adna hanya dapat memandangi Kakyu dengan tak percaya. Kakyu tidak dapat melakukan apa-apa untuk meyakinkan Adna. Ia hanya tersenyum tipis yang membenarkan perkataan ayahnya. “Aku tidak yakin dapat mempercayai ini,” Adna berterus terang. “Percayalah, Adna. Inilah kenyataannya, Kakyu adalah satu-satu Perwira Tinggi yang termuda, tertangguh juga satu-satunya prajurit wanita. Ia prajurit wanita pertama di Kerajaan Aqnetta.” Walau Jenderal Reyn telah meyakinkannya, Adna masih sulit mempercayainya. Ia menatap lekat-lekat wajah gadis di samping istrinya itu sampai akhirnya ia melihat gadis itu benar-benar mirip dengan Kakyu. Bukan 221

hanya mirip tetapi gadis itu adalah Kakyu. “Aku tidak tahu harus berkata apa,” kata Adna, “Tetapi aku sangat terkejut melihatmu, Kakyu. Siapapun tidak akan ada yang percaya kalau engkau adalah Kakyu si Perwira Muda yang terkenal itu.” Kakyu hanya tersenyum. Seseorang tiba-tiba memegang pundak Kakyu sambil berkata, “Tidak ada yang menduganya, bukankah demikian Adna?” “Pangeran!” seru mereka terkejut. Kakyu hanya menengadahkan kepalanya pada Pangeran Reinald yang tersenyum padanya sambil berbisik, “Engkau cantik sekali.” “Aku pinjam Kakyu,” kata Pangeran Reinald. Sebelum seorangpun di antara mereka menjawab pertanyaan itu, Pangeran Reinald telah menggandeng Kakyu menjauh. “Apa yang ingin dikatakan Pangeran Reinald pada Kakyu?” “Jangan mulai ingin tahu lagi, Vonnie, karena kita semua memang tidak tahu.” “Baiklah,” kata Vonnie kecewa. “Pangeran sudah tahu?” tanya Adna keheranan. “Dari mana ia tahu?” “Aku tidak tahu. Aku juga baru memikirkannya sekarang. Dari mana Raja Alfonso tahu Kakyu seorang gadis,” kata Jenderal Reyn. “Aku yakin Kakyu tidak mungkin mengatakan apa-apa pada Raja Alfonso.” “Aku juga yakin, Xeilan. Sesuatu pasti telah terjadi sehingga mereka mengetahuinya.” Kakyu yang belum jauh dari tempat orang tuanya berada, masih dapat mendengar percakapan itu dan ia tersenyum. Bagaimana mungkin ia menceritakan kejadian itu pada orang tuanya? Pangeran juga mendengarnya tetapi ia tidak berkata apa-apa. Ia terus membawa Kakyu menjauhi keramaian. Di bawah pilar penyangga langit-langit yang besar yang terpencil dari keramaian, Pangeran Reinald baru berhenti. “Mengapa Anda di sini?” “Jangan dingin seperti itu, Kakyu. Aku datang untuk menyambutmu.” “Tetapi Anda seharusnya menanti orang tua Anda.” “Jangan kauminta aku menanti Eleanor. Gara-gara dia, aku khawatir engkau dibawa pria lain sebelum aku datang. Jangan mengkhawatirkan apapun, tidak akan ada yang marah karena sikapku ini.” “Tidak akan ada yang membawaku.” “Benar, karena sekarang ada aku. Tetapi kalau aku tidak ada, aku yakin tak lama lagi seorang pria akan membawamu. Engkau sangat cantik, Kakyu, aku sendiri tidak menduga engkau akan secantik ini – jauh lebih cantik dari apa 222

yang dapat kubayangankan.” Pangeran Reinald tiba-tiba mencium Kakyu dan membuat ketenangan gadis itu hilang. “Untuk menyambut dirimu yang cantik,” katanya sambil tersenyum tak bersalah. Kakyu ingin memarahi Pangeran Reinald, tetapi belum sempat ia melakukannya, penjaga pintu telah berseru, “Paduka Raja Alfonso dan Ratu Ylmeria tiba.” “Mari,” kata Pangeran Reinald sambil menarik Kakyu. Pangeran Reinald menyelip di antara orang-orang yang memberi jalan pada Raja Alfonso dan Ratu Ylmeria tetapi ia tidak mengikuti kedua orang tuanya. Seperti tamu yang lain, ia menyambut kedatangan orang tuanya dengan membungkuk hormat. Raja Alfonso dan Ratu Ylmeria terus berjalan ke depan podium tempat yang telah disediakan untuk mereka. Raja Alfonso tidak duduk di kursi kerajaannya, tetapi ia berdiri di sana dan menghadap para tamunya. “Aku senang sekali melihat kalian dapat berkumpul di sini dalam pesta kemenangan ini. Sebelum memulai pesta ini, aku ingin menyampaikan beberapa hal,” Raja Alfonso memulai pidatonya, “Seperti yang kalian ketahui pesta ini aku selenggarakan untuk merayakan kemenangan kita atas tertumpasnya Kirshcaverish. Mereka telah mendapatkan hukuman atas tindakan mereka. Ini semua bisa terwujud karena jasa-jasa para Jenderal. Tetapi dari mereka aku mendengar yang paling berjasa adalah Perwira Tinggi yang termuda sekaligus satu-satunya Perwira wanita kita.” Kakyu terkejut. Ia memandang Pangeran. “Aku yang memintanya pada Papa,” bisiknya. “Untuk itu aku mengucapkan kekagumanku padanya. Sebagai satusatunya Perwira wanita, ia mampu menumpas Kirshcaverish yang telah lama bersarang di Hutan Naullie. Berkat dia, pasukan kita mampu menerobos Hutan Naullie dan mencapai sarang musuh,” Raja Alfonso melajutkan pidatonya, “Kupersilahkan Perwira Muda kita yang cantik maju.” Lagi-lagi Kakyu melihat Pangeran Reinald dengan bingung. “Ayolah, Kakyu,” desak Pangeran Reinald. Kakyu tidak mungkin menghindar lagi apalagi pandangan mata Raja Alfonso jelas-jelas tertuju padanya dan semua yang hadir di pesta itu tahu siapa yang dilihat Raja Alfonso. Dengan dibimbing Pangeran Reinald, Kakyu maju ke podium tempat Raja Alfonso mengucapkan pidatonya. Dengan tenangnya, Kakyu menatap Raja Alfonso. Raja Alfonso tersenyum padanya, “Aku benar-benar mengagumimu, Kakyu. Engkau satu-satunya gadis yang paling tangguh yang pernah kutemui.” 223

Kakyu tahu ia diharapkan untuk berbicara pada mereka yang terkejut dengan kenyataan ini. “Saya tidak tahu harus berkata apa, tetapi inilah saya.” Begitulah Kakyu. Ia memang pendiam dan tenang. Tak heran kalau pidatonyapun hanya sesingkat itu. Tetapi pidato singkat itu cukup padat, jelas, dan yang pasti membuat siapapun yang ada di sana mengerti apa yang dikatakan Raja Alfonso adalah benar. Raja Alfonso tersenyum pada Kakyu kemudian pada tamu-tamunya. “Demikianlah pidato tersingkat dari Perwira cantik kita. Tak perlu heran kalau pidatonya singkat sekali, ia memang tidak banyak bicara.” Kakyu mengawasi sekeliling ruangan. Pangeran Reinald menyadari hal itu. “Ada apa, Kakyu? Engkau mencemaskan keamanan Istana?” “Bukan.” “Sudahlah, tidak ada yang perlu kaucemaskan. Semua telah diatur oleh Phil. Sekarang dengarkan bagian terpenting dari pidato ini.” “Baiklah, sekarang kita kembali pada pokok permasalahan,” Raja Alfonso melanjutkan pidatonya, “Atas jasa-jasanya itu juga atas keinginan putraku, keinginanku dan keinginan Ratu, maka hari ini pula aku meresmikan Perwira cantik ini sebagai tunangan Pangeran Reinald.” “Pangeran?” “Bukan Pangeran tapi Reinald,” bisik Pangeran Reinald dengan tersenyum nakal. “Baiklah, apa maksud dari ini semua?” “Akan kujelaskan nanti,” katanya masih dengan tersenyum, “Dengarkan dulu pidato ini sampai selesai.” “Kurasa Paduka tidak akan selesai sebelum nanti waktu makan malam tiba,” kata Kakyu, “Itu berarti kita harus mendengarkan selama kurang lebih satu jam lagi.” “Engkau bosan? Bukankah engkau terbiasa dengan hal ini?” “Aku hanya ingin segera mengetahui apa maksud semua ini sesegera mungkin.” “Jangan khawatir, aku akan mengatakannya padamu. Aku takkan lupa karena ini sangat penting.” Raja Alfonso melirik keduanya dan membuat mereka diam. “Karena Kakyu akan menikah dengan Reinald dalam waktu dekat ini, jabatannya sebagai Kepala Keamanan Istana akan diserahkan pada Phil.” Kali ini Kakyu tidak melihat Pangeran Reinald, yang dilihatnya adalah Phil yang terkejut mendengar pemberitahuan ini. Seperti Kakyu, ia juga tidak tahu kalau akan ditunjuk menjadi Kepala Keamanan Istana. Kalau Phil terkejut mendengarnya, maka Kakyu tidak. Kakyu 224

tahu dengan kemampuannya saat ini, Phil memang pantas menjadi Kepala Keamanan Istana. “Karena tidak ada lagi yang harus kusampaikan pada kalian, maka aku mengakhiri pidato ini sampai di sini,” kata Raja Alfonso dengan tak terduga, “Silakan kalian memulai acara dansa.” “Baru kali ini Papa berpidato sesingkat ini,” kata Pangeran Reinald sambil tersenyum pada Kakyu, “Kurasa ia tertular sikap diammu.” “Kurasa tidak. Engkau tahu aku selalu diam karena apa.” Pangeran Reinald memang tahu mengapa Kakyu lebih senang diam. Gadis itu telah mengatakan, “Suaraku ini sangat berbeda dengan lakilaki. Kalau aku sering berbicara, akan banyak yang curiga padaku. Karenanya aku lebih banyak berdiam diri dan lama-kelamaan hal ini menjadi sifatku yang tidak mungkin berubah lagi.” Pangeran Reinald kembali membimbing Kakyu menuruni tangga podium yang hanya terdiri dari dua anak tangga itu. “Aku merasa seperti anak kecil kalau engkau menggandengku seperti ini.” “Aku khawatir engkau jatuh,” kata Pangeran Reinald sambil mempererat kedua tangannya yang memegang siku Kakyu. “Aku sudah terbiasa dengan gaun ini.” “Apakah aku tidak boleh menggandeng gadis yang paling kucintai?” Kakyu tersenyum sebagai jawabannya dan membiarkan Pangeran Reinald terus membawanya ke lantai dansa. Harapan Pangeran untuk segera berdansa dengan Kakyu tidak terkabul. Begitu mereka berada di antara tamu-tamu yang lain, banyak yang datang mengerumuni mereka. Kebanyakan adalah para prajurit mulai dari prajurit biasa sampai Jenderal. Jenderal Decker tampak ragu-ragu menghadapi Kakyu. “Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Tetapi aku benar-benar tidak menyangka engkau adalah Kakyu. Engkau benar-benar cantik, Kakyu.” Kakyu sudah terbiasa dengan pujian semacam itu. Ia tersenyum yang menambah kecantikkannya sambil berkata, “Terima kasih.” “Saya rasa Anda sangat beruntung, Pangeran. Anda bukan hanya mendapatkan gadis yang cantik, tenang tetapi juga pandai dalam militer,” tambah Jenderal Erin. “Ia juga sangat pandai memainkan pedang,” tambah Jenderal Decker, “Aku sering bertanding dengannya tetapi berapa kalipun aku bertanding. Aku selalu kalah, karena tiap kali kemampuannya selalu meningkat.” “Anda benar-benar beruntung, Pangeran. Perwira tidak hanya akan menjadi istri Anda tetapi juga pelindung Anda,” goda yang lain. Pangeran Reinald tersenyum sambil melihat Kakyu. 225

“Saya tidak percaya ini adalah Anda, Perwira,” kata Phil tidak percaya, “Tetapi saya percaya kalau Anda bertunangan dengan Pangeran Reinald. Anda memang sangat cantik.” “Kalian tidak menduganya, bukan?” Decker berpaling pada Raja Alfonso yang baru tiba di sana, “Tidak, Paduka. Tidak seorangpun di antara kami yang menduga gadis cantik yang sejak tadi berada di sisi Pangeran ini adalah Kakyu.” “Tetapi ia sangat cocok untuk putraku yang satu ini, bukan?” “Benar, Paduka,” jawab Jenderal Decker. Phil tiba-tiba berkata, “Saya merasa tidak pantas untuk menggantikan Perwira, Paduka.” “Sudahlah, Phil,” kata Jenderal Decker, “Terima saja. Siapa tahu engkau nanti seperti Kakyu. Dengan dipaksa baru menerima jabatan ini lalu membuat banyak kejutan. Tetapi ini adalah kejutan terbesarnya.” Kakyu yang dilirik Jenderal Decker hanya diam sambil terus mengawasi sekeliling Hall Pesta. “Satu yang tidak berubah padanya adalah ia tetap tenang dan pendiam,” kata Pangeran Reinald sambil tersenyum. “Mengapa kalian masih di sini?” tanya Ratu Ylmeria terkejut, “Mengapa kalian tidak berdansa seperti yang lainnya?” “Benar, kita tidak boleh menghalangi kalian lagi,” kata Jenderal Decker, “Kita tidak boleh menganggu pasangan yang sedang berbahagia ini.” “Mari, Kakyu,” kata Raja Alfonso sambil mengulurkan tangannya. “Alfonso, apa yang kaulakukan?” tanya Ratu Ylmeria terkejut, “Mengapa tidak kaubiarkan mereka berdua?” “Aku ingin menjadi pria pertama yang berdansa dengan Perwira cantik ini,” kata Raja Alfonso sambil tersenyum, “Kalau aku masih muda, Reinald, aku pasti akan merebutnya darimu.” Pangeran Reinald tersenyum, “Tetapi sayang sekarang aku adalah tunangannya.” “Engkau tidak membiarkan ayahmu berdansa dengan tunanganmu?” “Kalau aku tidak membiarkannya berdansa dengan pria lain, maka aku juga tidak akan membiarkannya berdansa dengan Papa,” kata Pangeran Reinald sambil melarikan Kakyu ke lantai dansa. Raja kecewa karenanya. “Tak heran kalau Reinald begitu terburu-buru ingin segera menikah dengan Kakyu,” kata Ratu Ylmeria sambil tersenyum, “Kakyu baru saja muncul sebagai dirinya sendiri tetapi sudah diperebutkan oleh anak dan ayah.” “Kakyu memang cantik, Paduka Ratu. Ia memiliki apa yang tidak mungkin kita temukan pada gadis lain,” kata Kapten Gwen, “Kalau ia belum bertunangan dengan Pangeran Reinald, saya yakin banyak pria yang akan

226

berusaha merebut hatinya.” “Tindakan Pangeran Reinald memang benar,” tambah Jenderal Erin, “Saya juga tidak akan melepaskan Kakyu kepada pria lain kalau saya yang menjadi tunangannya.” “Rupanya Kakyu selalu dikagumi orang,” kata Ratu Ylmeria sambil tersenyum, “Sebagai pria, ia banyak dikagumi para gadis. Sebagai gadis, ia banyak dikagumi oleh para pria.” “Ia memang akan selalu dikagumi setiap orang, Ylmeria,” kata Raja Alfonso, “Sekarang maukah engkau menemaniku berdansa?” Ratu Ylmeria menyambut tangan suaminya. Ia tahu keinginan suaminya adalah mendekati putra mereka dan Kakyu. Tetapi sayang, ketika Raja dan Ratu tiba di lantai dansa, keduanya telah menepi. Bukan karena mereka lelah, tetapi karena Kakyu tiba-tiba teringat lagi pada Putri Eleanor. “Bagaimana keadaan Putri?” tanyanya cemas sambil terus melihat sekeliling Hall Pesta. Pangeran Reinald yang sejak tadi merasakan kecemasan Kakyu berkata, “Jadi sejak tadi itukah yang kaucemaskan?” Kakyu mengangguk. “Jangan khawatir, ia baik-baik saja.” “Engkau yakin? Aku tidak tahu apakah ia dapat menerima kenyataan ini.” “Jadi engkau tahu ia mencintaimu?” “Tentu saja aku tahu, Reinald. Sikapnya benar-benar menunjukkan perasaannya padaku.” Walaupun berdiri di belakang Kakyu, Pangeran Reinald dapat melihat kecemasan Kakyu. Ia mengerti gadis itu benar-benar mencemaskan adiknya. Ia melingkarkan tangannya di sekeliling pinggang Kakyu. Kakyu memalingkan kepalanya ke belakang. “Jangan cemas. Mama telah mempersiapkannya untuk menghadapi hal ini.” “Mengapa aku tidak melihatnya?” “Ia pasti terlambat. Ketika aku menuju ke tempat ini, ia masih sibuk berdandan. Kurasa ia sudah ada di sini, hanya saja kita tidak melihatnya.” Pangeran tiba-tiba tersenyum ketika melihat seorang gadis berusaha menerobos orang-orang yang sibuk berdansa di lantai dansa. “Lihat saja. Kita baru saja membicarakannya, sekarang ia sudah menuju ke sini.” “Di mana?” Kakyu mencari-cari. “Di sana,” kata Pangeran Reinald, “Ia pasti akan segera tiba di sini.” Setelah mencari dan mencari, Kakyu akhirnya melihat Putri Eleanor yang terus berjalan mendekat. Wajah ceria Putri Eleanor membuat Kakyu lega. Wajah itu tidak 227

menunjukkan perasaan sedih yang mendalam, Kakyu tahu keceriaan di wajah itu bukan keceriaan yang dibuat-buat. Ia telah mengenali sifat Putri Eleanor dengan baik. “Dari mana saja engkau?” tanya Pangeran Reinald begitu adiknya dekat. “Aku baru saja berbicara dengan keluarga Quentynna,” kata Putri Eleanor, “Mereka sangat terkejut dengan pertunangan kalian. Engkau belum memberitahu mereka, Kakyu?” “Bagaimana ia bisa memberitahu keluarganya kalau ia sendiri tidak tahu?” “Pantas saja,” kata Putri Eleanor, “Begitu mendengar Papa mengumumkan pertunangan kalian, Vonnie ingin tahu mengapa engkau menyembunyikan hal ini dari mereka. Marie juga Lishie hingga saat ini tidak berhenti membicarakan kalian berdua. Aku kasihan melhat Lady Xeilan. Ia berusaha keras menenangkan ketiga putrinya juga Joannie. Adna sendiri sampai kerepotan berusaha menghentikan keempat kakak beradik itu. Sebaiknya kalian melakukan sesuatu terhadap mereka, mereka terus berbicara tiada henti.” “Seperti engkau,” sahut Pangeran Reinald. “Reinald, aku bersungguh-sungguh,” kata Putri Eleanor jengkel, “Kurasa semua orang membicarakan kalian saat ini sampai-sampai aku pusing mendengarnya.” Kakyu lega mendengar perkataan Putri Eleanor yang sama sekali tidak menunjukkan ia patah hati. Tetapi ia kembali cemas ketika Putri Eleanor tibatiba berkata, “Andaikan saja engkau benar-benar seorang pria, Kakyu.” “Putri…” “Jangan khawatir,” kata Putri Eleanor sambil tersenyum, “Aku tidak apaapa. Aku memang sangat terkejut ketika Mama mengatakannya. Tetapi sekarang aku sudah tidak apa-apa. Aku berjanji aku akan menemukan pria yang setangguh dirimu.” “Kalian di sini rupanya,” kata Raja Alfonso. “Mengapa kalian tidak berdansa?” “Kakyu mengkhawatirkan Eleanor, Mama. Tetapi sekarang sudah tidak lagi.” “Mengapa kalian tampak…,” Putri Eleanor tidak dapat mengungkapkan wajah kedua orang tuanya yang tampak pusing dan lelah, “Tampak…” “Pusing dan lelah, maksudmu?” sahut Ratu Ylmeria. “Benar.” “Aku pusing mendengar setiap orang membicarakan kalian, kakakmu dan Kakyu. Mereka tiada henti-hentinya bertanya padaku,” keluh Raja Alfonso, “Kalau aku tahu kalian akan menimbulkan masalah seperti ini, aku tidak akan mengumumkan apapun tentang kalian.” 228

“Aku benar, bukan,” kata Putri Eleanor, “Semua orang membicarakan kalian. kalian harus melakukan sesuatu.” “Apa yang harus kulakukan, Eleanor?” tanya Pangeran Reinald, “Aku yakin judul utama dalam koran esok, ‘Perwira Muda Kakyu yang cantik membuat hati setiap gadis hancur’.” “Reinald,” Kakyu menghentikan gurauan Reinald. “Aku mengerti, Kakyu. Tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku tidak mungkin menghentikan mereka, yang bisa kulakukan hanya membawamu pergi.” Pangeran membuktikan kata-katanya dengan menarik Kakyu menjauh keluarganya. “Selamat malam,” katanya sambil tersenyum. Pangeran Reinald membawa Kakyu ke taman Istana yang sepi. “Akhirnya aku bisa benar-benar berdua denganmu tanpa ada yang harus dikhawatirkan lagi.” “Engkau membuat orang tuamu jengkel, Reinald.” “Engkau juga sering membuat mereka jengkel dengan sikap diammu. Sekarang kita tidak perlu memikirkan mereka semua selain kita sendiri.” “Hanya kita, tidak ada orang lain,” Pangeran menegaskan. “Baiklah,” kata Kakyu kemudian ia mengingatkan Pangeran pada pertanyaan yang belum dijawabnya, “Mula-mula aku ingin engkau menerangkan arti semua ini.” “Tidakkah engkau menyadarinya setelah apa yang dikatakan Eleanor?” “Menyadari apa?” Pangeran Reinald memeluk Kakyu, “Engkau benar-benar harus dijaga ketat, Kakyu. Engkau sedemikian cantiknya hingga semua orang langsung membicarakanmu begitu tahu siapa engkau. Aku dapat membayangkan apa yang akan terjadi kalau aku tidak segera meminta Papa mengumumkan pertunanganku denganmu. Aku tidak mungkin membiarkan engkau jatuh ke tangan pria lain.” Kakyu tersenyum. “Aku tidak mungkin mencintai orang lain, Reinald.” “Benar?” “Benar,” Kakyu meyakinkan Pangeran Reinald, “Engkau orang pertama yang menemukanku dan selamanya akan kucintai. Selamanya.” Pangeran Reinald menyambut kata-kata Kakyu dengan ciuman panjang yang tiada pernah berakhir seperti cinta mereka.

229

Related Documents

Kelembutan Dalam Baja
November 2019 12
Kelembutan Rasulullah
April 2020 27
Baja
June 2020 32
Baja Iyos.docx
December 2019 24
Composta Baja
June 2020 17
Sni_03_1729_2002 Baja
November 2019 29