Kegelisahan Guru Di Balik Tirani Ujian Nasional Oleh T Gunawan Wibowo 1
Mencermati media cetak – elektronik belakangan ini nampak betapa sibuknya segenap fungsionaris partai negeri ini menjelang momentum politik ”2009”; atau hirukpikuknya tawar-menawar dagang sapi anggota dewan atas rancangan UU atau usulan Cagub Bank Indonesia. Dalam rupa berbeda kesibukan juga terasa dalam dunia pendidikan, lebih tepat praktek persekolahan, yakni bagaimana segenap stakeholder (pemangku kepentingan) menyikapi fenomena Ujian Nasional (UN). ”Mahkluk” terakhir ini begitu dicinta dan dirindukan satu sisi (pemerintah) seolah menihilkan segala hujatan dan penolakan berbagai kalangan juga praktisi pendidikan di lapangan (guru, siswa, dan orang tua siswa). Seperti mau menegasi berbagai rasa pesimisme di masyarakat, tahun ini pemerintah dengan legitimasi DPR tentunya, menambah jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam UN lebih banyak dari tahun sebelumnya. Alhasil mudah ditebak apa yang terjadi di lapangan yakni maraknya praktek ”pembelajaran” yang kadang tidak relevan dengan tujuan pendidikan dan pembelajaran. Guru menghabiskan waktunya hanya dengan drilling soalsoal persiapan UN. Para Guru pengampu mata pelajaran UN setiap minggunya hampir tak luput dengan aktifitas mencari soal-soal ujian yang akan di drill- kan kepada para siswa. Mereka cemas dan khawatir bahwa siswa mereka gagal ”melewati” ketentuan minimal batas kelulusan yang ditetapkan pemerintah lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. Saya begitu sering ditelepon rekan guru sekolah lain yang meminta soal try out (soal-soal latihan ujian) buat siswa mereka. ”Apakah bapak mempunyai prediksi soal ujian terbaru yang telah beredar di wilayah lain di Jakarta” begitu pertanyaan yang sering saya terima melalui telepon. Sementara banyak kepala sekolah yang mulai berhitung berapa kira-kira jumlah 1
Guru SMA Kanisius Jakarta, dan Mahasiswa S-2 School of Education, Loyola University Chicago
siswanya yang bakal gagal ujian. Juga memikirkan siasat yang diperlukan, dengan sedikit kecurangan agar anak didiknya bisa lulus ujian. Tak heran UN menjadi waktu mencekam bagi setiap sekolah dan orang tua. Kerisauan orang tua begitu terasa dalm pertemuan dengan kepala sekolah misalnya. Kegelisahan tak bisa disembunyikan dari wajah orang tua siswa. Penyakit insomnianya kambuh jika mendengar laporan nilai-nilai try out anak mereka yang kurang memuaskan. Sebagian orang tua meradang memikirkan darimana biaya didapatkan bila anak kesayangannya tidak lulus ujian, gengsi dan kecewa tentulah akan bercampur menjadai satu. Siapa yang mau dipersalahkan atas situasi demikian itu? Jika hal di atas mewakili situasi sekolah yang terjadi di Jakarta bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi di sekolah lain di luar Jakarta.
UN Tidak Relevan Sekiranya praktek pembelajaran dan pendidikan di sekolah ”hanya” seperti itu, akan dibawa kemana para siswa kita dan bukankah ini pengingkaran eksistensi misi sekolah. Mengapa pemerintah begitu ”percaya diri” dengan Ujian Nasional? Secara yuridis formal kebijakan UN berlandaskan pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional no 34 tahun 2007 tentang UN. Ada beberapa alasan klise yang disampaikan pemerintah berkaitan fungsi UN, yakni sebagai instrumen pemetaan mutu satuan atau program pendidikan, alat seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, instrumen penentuan kelulusan peserta didik suatu sekolah, informasi untuk pembinaan dan pemberian bantuan kepada sekolah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, serta prasyarat akreditasi sekolah. Sejauh
mana
maksud
dan
fungsi
UN
dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik? Beberapa catatan disampaikan sebagai berikut. Pertama, fungsi pemetaan mutu pendidikan. Sudah menjadi pembicaraan luas bahwa mutu pendidikan tidak mungkin diukur hanya melalui output pencapaian hasil kognitif peserta didik pada akhir tahun ajaran dengan UN dan US semata. Sekiranya itu
dilakukan maka pemerintah secara serampangan mengingkari pribadi utuh sebagai tujuan pendidikan. Bukankah pemerintah sendiri mengakui dengan menetapkan tujuh standar pendidikan sebagai barometer mutu pendidikan nasional menunjukkan begitu banyak dimensi yang perlu diperhatikan dan tidak mereduksi mutu pendidikan semata menjadi pencapaian hasil kognitif semata. Kedua, UN berfungsi sebagai alat seleksi. Benar bahwa sebagian sekolah (negeri ?) mempergunakan nilai UN sebagai syarat diterima atau ditolaknya seseorang masuk SMP atau SMA. Namun sebagaian besar sekolah, khususnya sekolah ”favorit” menerapkan tes tambahan, seperti tes psikologi, sebagai syarat wajib. Bahkan sekolah swasta sudah menerima siswa baru 3 – 4 bulan sebelum UN dilaksanakan. Sementara itu, Perguruan Tinggi menerapkan tes khusus UMPTN/ SPMB untuk menerima atau menolak seorang calon mahasiswa mengabaikan hasil UN. Fungsi seleksi apa yang dimaksud? Ketiga, UN berfungsi sebagai alat sertifikasi atau penentuan kelulusan. Sebagai misal untuk wilayah Jakarta, dalam keputusan bersama Dikmenti dan Depag, No. 16/tahun 2008 dan No. Kw. 09.4/HK.00.5/188/2008 tertanggal 25 Januari 2008, bab IX, pasal 24, dinyatakan bahwa “Penentuan siswa yang dinyatakan tamat belajar dilakukan oleh sekolah penyelenggara dalam suatu rapat dewan guru dengan mempertimbangkan nilai-nilai rapor, UN, US serta sikap perilaku/ budi pekerti siswa yang bersangkutan.” Itu artinya kelulusan seorang siswa pada jenjang pendidikannya ditentukan oleh perpaduan antara keempat komponen tersebut, yaitu nilai rapor, UN, US dan budi pekerti siswa yang bersangkutan. Bukan melulu karena faktor nilai UN saja. Di mana fungsi sertifikasinya? Keempat, tindak lanjut bagi pemberian bantuan pendidikan. Bantuan pemerintah seperti fresh money, dana blockgrand, dana buku dan sebagainya bagi peningkatan mutu pendidikan akan lebih efektif dilakukan melalui riset atau field study atas sekolah-sekolah yang memerlukan bantuan. Metode ini akan lebih efektif, akurat, dan biaya yang diperlukan lebih murah serta lebih menjawab kebutuhan.
Kelima, input bagi akreditasi sekolah. Sekolah tempat saya mengajar baru selesai diakreditasi bulan november 2007. Sejauh saya cermati berbagai item pertanyaan sewaktu menyiapkan akreditasi, tidak ada perbedaan signifikan hasil yang diperoleh antara sekolah dengan pencapain hasil UN tinggi dan sekolah dengan hasil UN rendah, karena sifatnya sekedar administratif semata. Jika argumen-argumen di atas dicermati maka sangat jelas bahwa eksistensi UN yang menghabiskan energi para guru di sekolah sungguh sangat tidak relevan dengan maksud dan fungsi yang diemban instrumen yang pelaksanaannya menghabiskan miliaran rupiah itu.
Fokus Anak Didik Kekeliruan mendewakan tes sebagai instrumen pengukur kualitas siswa di sekolah ternyata tidak kita lakukan sendiri. Pemerintah China, negeri dengan penduduk terbesar di dunia, konon juga pernah melakukan hal yang sama. Yong Zhao (2007), seorang profesor pendidikan dan Direktur Pusat Penelitian bagi Keunggulan Pendidikan Amerika – China dalam artikelnya China and Whole menulis bagimana China mengalami jatuh bangun membangun dunia pendidikannya sejak jaman Mao Tse Tung sampai akhirnya pemerintah, melalui Ministry of Education, melakukan revolusi dan renovasi mendasar tahun 2001. Pendidikan sekolah yang diwarnai oleh the tyranny of the test telah membuat lebih 60 persen siswa China mengalami stress berkepanjangan sepanjang tahun karena kurangnya waktu tidur akibat begitu padatnya kegiatan sekolah, seperti panjangnya jam sekolah, berangkat pukul 7.00 dan pulang ke rumah 6.00 sore, PR, tutorial, pelatihan, dan kegiatankegiatan persiapan tes yang diselenggarakan sekolah (Zhang,2006). Pengalaman seperti ini juga yang sekarang dialami anak didik kita. Siswa menghabiskan waktu sekian lama di sekolah untuk aktivitas yang sebenarnya tidak mereka
butuhakan. Para Guru juga tidak merasa memiliki pilihan selain memasung anak didik dalam tirani tes (UN dan US) sebagai cara dan tujuan pendidikan. Seandainya kita sepakat dengan argumen bahwa sekolah diharapkan mampu mengantar anak didik dengan kebutuhan mereka pada jamannya, maka yang diperlukan adalah merancang sistem pendidikan yang memungkinkan anak didik bertumbuh dan berkembang secara penuh (the whole child). Salah satu indikator yang dapat dijadikan barometer barangkali laporan UNICEF, sebagaimana dikutip AM. Azzam (2007), dalam laporannya berjudul Child Poverty in Perspective: An Overview of Child Well-Being in Rich Countries yang dilakukan pada 21 negara industri maju menyebut bahwa kesejahteraan anak didik (well-being) atau kebutuhan anak didik meliputi aspek: kesejahteraan material, kesehatan dan keamanan, pendidikan, relasi yang sehat dalam kelompok dan keluarga, perilaku dan tanggungjawab, serta perasaan subyektif diri. Sejauhmana anak didik mendapatkan hak pendidikan mereka di atas ketika fokus pendidikan tidak mengarah atau berpihak kepada mereka. Khususnya, ketika pertimbangan politik, praktis, rasial, agama, ekonomi bahkan gender lebih mendominasi. Pertanyaannya sekarang mungkinkah sebagian hal di atas akan diperoleh anak didik negeri ini di sekolah jika mereka dalam kesehariaannya, yang telah mengambil sebagian besar waktunya, sekolah telah bermetamorfosa menjadi ”penjara” bagi anak didik dengan menawarkan dogmatisme belaka. Akibatnya jelas, anak didik hanya passive receivers, tidak tumbuh sebagai pribadi otentik, tidak kreatif,dan korban atas kebijakan sekolah yang tidak mampu lagi berkelit atas hegemoni pemerintah dengan the tyranny of the test nya. Terlalu lama anak didik kita tidak mendapatkan apa yang menjadi hak pendidikan mereka. Kapankah ini semua berakhir? 000