A. PENDAHULUAN Islam adalah agama syamil (komprehensif). Artinya, ajaran Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Aktivitas apa saja yang dilakukan manusia pasti ada petunjuk dan hukumnya di dalam Islam. Mulai dari hal-hal yang remeh temeh hingga hal-hal yang penting dan besar. Semuanya pasti ada petunjuk dan hukumnya di dalam Islam, termasuk untuk masalah yang bersifat individual maupun masalah-masalah keluarga, masyarakat dan negara, baik permasalahan sosial, kesehatan, ekonomi, politik, agama, ketatanegaraan maupun masalah-masalah lainnya. Hal ini karena memang Islam diturunkan oleh Allah sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia agar mereka selamat dan bahagia di dunia dan akhirat. Islam juga telah mengantisipasi perkembangan umat manusia dari zaman ke zaman. Perkembangan ini tentu membawa permasalahannya masing-masing. Permasalahan zaman sekarang berbeda dengan permasalahan zaman dahulu. Demikian pula dengan permasalahan zaman yang akan datang, tentu berbeda dan akan lebih kompleks dibanding dengan permasalahan masa kini. Semua itu telah diantisipasi dan Islam tetap akan mampu memberikan petunjuk dan sekaligus hukum bagi setiap permasalahan tersebut. Oleh karena itu, mustahil ada perbuatan atau aktivitas yang dilakukan oleh manusia lalu Islam tidak mempunyai petunjuk dan hukumnya. Jika hal ini terjadi, maka Islam tidak akan sesuai lagi untuk setiap zaman dan tempat (universal), dan Islam hanya sesuai
untuk
zaman
Nabi
saw.
dan
di
jazirah
Arab
saja.
Di antara permasalahan keluarga yang diatur oleh Islam adalah masalah hubungan kelamin (seksual) antara suami istri. Dalam masalah ini, Islam memandang bahwa hubungan seks dapat menjadi ladang ibadah yang berpahala. Hubungan seks juga bisa memperat kasih sayang antara suami istri. Menurut Islam juga, hubungan seks yang sah antara suami istri itu sebagai usaha memperoleh keturunan. Lebih dari itu, hubungan seks adalah hiburan, dan dalam waktu yang sama, hubungan seks bisa menjaga pandangan
dan
kemaluan
dari
hal-hal
yang
diharamkan.
Islam telah memberikan beberapa adab atau tata cara melakukan hubungan
seks agar bermanfaat bagi suami istri. Di antara adab tersebut ialah memenuhi ajakan pasangan berhubungan badan jika tidak ada uzur, menjaga penampilan dan memakai haruman, membaca doa, memulai dengan permainan, diam dan tidak berisik ketika melakukannya, posisi persetubuhan sekehendak hati, hendaknya menunggu pasangannya sampai selesai, mandi atau wudhu jika mau mengulang persetubuhan atau mau tidur, dan tidak menceritakan persetubuhan
yang
telah
dilakukan
kepada
orang
lain.
B. PEMBAHASAN MASALAH Oral sex dapat dikatakan bahwa oral sex termasuk mula’abah (fore play) yaitu permainan pendahuluan sebelum melakukan hubungan seks. Namun ada juga yang memberikan pengertian oral sex seperti berikut: berhubungan seks dengan cara menyentuh, mencium dan memasukkan kemaluan ke oral (mulut) pasangannya. Menurut sebagian ulama oral sex ini hukumnya haram. Dalil mereka tatkala mengharamkan perkara tersebut adalah firman Allah:
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki, dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya, dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman,” (Qs. Al-Baqarah [2]: 223). Ayat ini menunjukkan bahwa harts atau ladang tempat bercocok tanam yang diperintahkan untuk didatangi, tiada lain adalah faraj atau vagina. Oleh karena itu pemuasan nafsu di selain vagina adalah dilarang, termasuk di didubur atau mulut.
Larangan memasukkan kemaluan ke dubur ditegaskan di dalam Hadits berikut:
“Dari Abu Hurairah diriwayatkan ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Dilaknatlah orang yang menggauli istrinya di duburnya.” [HR. Abu Dawud]. Namun menurut sebagian ulama yang lain, tiada dalil khusus mengenai oral sex. Tiada perintah maupun larangan dalam masalah ini, sehingga dengan demikian hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing pasangan suami istri. Apalagi terdapat hadits berikut:
“Dari Anas diriwayatkan bahwa orang-orang Yahudi itu, jika istri mereka haid mereka tidak mengajaknya makan bersama dan tidak menyetubuhinya di rumah (mereka). Maka sahabat-sahabat Nabi saw bertanya kepada Nabi saw (mengenai hal itu), sehingga Allah Ta’ala menurunkan ayat: ”Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ”Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid” (Qs Al-Baqarah [2]: 222). Lalu Rasulullah saw bersabda: ”Lakukanlah apa saja selain persetubuhan (di faraj).” Hal tersebut sampai kepada orang-orang Yahudi sehingga mereka berkata: Orang ini (Nabi Muhammad saw) tidak meninggalkan suatu urusan apa pun dari urusan kita melainkan dia ingin menyalahi kita. Kemudian Usaid bin Khudhair dan Ibad bin Basyar datang (kepada Rasulullah saw) seraya berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang Yahudi berkata demikian dan demikian, sehingga kami tidak menyetubuhi mereka (istri-istri kami). Wajah Rasulullah saw lalu berubah sehingga kami menyangka baginda murka kepada keduanya. Keduanya lalu keluar dan ada hadiah berupa susu dipersembahkan kepada Rasulullah saw. Beliau lalu memanggil keduanya dan memberi mereka berdua susu tersebut, sehingga keduanya mengetahui bahwa beliau tidak murka kepada keduanya.” (HR Muslim). Hadits ini membenarkan suami bergaul dengan istrinya yang sedang haid dengan cara apa saja –termasuk dengan mulut atau anggota badan lainnya– asal terjaga kebersihan dan kesehatannya. Adapun ayat yang menjadi dalil bagi ulama yang melarang oral sex, yaitu ayat yang memerintahkan untuk mendatangi ladang tempat bercocok tanam (Qs. AlBaqarah [2]: 223), ayat tersebut harus dikaitkan dengan ayat sebelumnya yang melarang suami mendatangi istri pada saat haid di tempat haidnya. Jika istri sudah habis masa haidnya dan sudah bersuci maka diperintahkan untuk menyetubuhi faraj istri dengan cara atau gaya apa pun yang dikehendaki keduanya, selama sasaran utamanya pada faraj atau vagina istri. Jadi dengan demikian, berdalil dengan ayat di atas untuk menyatakan keharaman oral sex dinilai kurang tepat.
Pada dasarnya, oral sex itu jika dilakukan oleh pasangan suami istri sebagai bagian dari proses merangsang sebelum persetubuhan maka perbuatan itu mungkin masih bisa dikatakan dalam batas kewajaran. Dan ditinjau dari segi medis pula, hal ini tidak berdampak apa pun kecuali sebelumnya telah terinfeksi penyakit kelamin atau mulut. Namun yang perlu ditekankan di sini ialah, bagi mayoritas pasangan suami istri, oral sex adalah sesuatu yang menjijikkan. Apalagi air yang keluar dari kemaluan sebelum keluarnya sperma adalah air madzi yang najis dan berdampak tidak baik dari segi medis. Tambahan pula, fungsi mulut bukan untuk aktivitas seperti itu. Dan apabila oral sex dilakukan sengaja untuk mengeluarkan sperma, maka hal ini hukumnya adalah makruh yakni lebih baik ditinggalkan. Hal ini, sekali lagi karena kurang etis. Tapi hukumnya tidak sampai haram, karena tidak ada dalil pasti yang mengharamkannya, terutama jika kedua-dua pasangan suami istri itu menghendakinya. Hukum makruh itu artinya sebaiknya ditinggalkan. Jadi dengan demikian oral sex itu lebih baik ditinggalkan meskipun ada dalil yang membenarkannya, yaitu firman Allah yang bersifat umum:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu (zina, homoseksual, dan sebagainya) maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” [Qs Al-Mukminun [23]: 5-7]. Onani atau masturbasi dalam bahasa Inggris disebut onanism, masturbation, dalam bahasa Arab sering disebut al-istimna` atau jaldu
‘umairah atau al-’adah as-sirriyyah atau kadang juga disebut alkhadhkhadhah (Trigiyatno, 2013). Hukum onani dengan tangan istri yang sedang haid, maka perlu diketahui bahwa ketika istri sedang haid, suami haram menyetubuhinya di farajnya. Dia harus menunggu sampai istrinya itu suci dan bersuci dari haid. Yang demikian itu berdasarkan firman Allah berikut:
“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: ”Haid itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri (menyetubuhi) dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci (sesudah mandi, ada pula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar). Apabila mereka telah bersuci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”(Qs Al-Baqarah [2]: 222). Apabila suami sangat menginginkan juga menyetubuhi istrinya yang sedang haid, maka dia boleh melakukan apa saja terhadap istrinya asal menjauhi farajnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw yang menyuruh melakukan ”apa saja” kecuali menyetubuhinya di farajnya sebagaimana Hadits
riwayat
dari
Anas
yang
telah
dikutip
di
atas.
Oleh karena itu, termasuk dalam kategori ”lakukanlah apa saja” terhadap istri yang sedang haid yang dibenarkan syariat Islam menurut Hadis di atas adalah suami boleh melampiaskan nafsu dan mengeluarkan spermanya dengan menggunakan tangan atau paha atau anggota badan lain dari istrinya. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa seluruh tubuh istri halal bagi suami kecuali duburnya.
DAFTAR PUSTAKA Trigiyatno, Ari. 2013. Hukum Onani: Perspektif Perbandingan Madzhab. Jurnal Hukum Islam (JHI) Volume 11, Nomor 1. Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. 2016. Tanya Jawab Agama. Yogyakarta : Suara Muhammadiyah. Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. . Hukum Oral Seks dan Onani dengan Tangan Istri. Yogyakarta : Fatwa Tarjih.com