Karya Kuh

  • Uploaded by: okky oktora
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Karya Kuh as PDF for free.

More details

  • Words: 1,106
  • Pages: 3
Pemikiran politik modern di Indonesia diawali oleh bangkitnya nasionalisme modern. Ia dimulai dalam tahun 1900-an dan 1910-an, dengan munculnya sekelompok kecil mahasiswa dan cendekiawan muda yang memandang dunia modern sebagai tantangan terhadap masyarakat dan menganggap diri mereka sebagai pemimpin potensial dimasa yang akan datang. Dalam tahun 1920-an jumlah mereka meningkat agak pesat, begitu pula alienasi mereka terhadap kekuasaan kolonial; banyak diantara mereka, khususnya menuntut ilmu diluar negeri, dipengaruhi oleh pelbagai ideologi seperti sosialisme, komunisme, reformasisme Islam dan nasionalisme India, China dan Jepang. Sebagai akibatnya Kaum cendekiawan tetap dicari untuk mengisi pelbagai jenis jabatan pemerintah. Ada yang bekerja memutuskan kebijaksanaan, sebagai menteri kabinet, pegawai negeri,dan sebagai kelompok pranalar (brain trust). Ada pula yang menggarap masalah-masalah keyakinan politik didepartemen-departemen Agama, Penerangan dan Pendidikan. Disamping kelompok kaum cendekiawan yang sedikit banyak tidak terikat itu, yang merupakan sumber dari pemikiran politik dalam masa ini, ada suatu kelompok penting lain yang terdiri dari orang-orang yang terikat sekali kepada partai-partai politik. Perselisihan partai-partai dalam gerakan nasionalisme sebelum perang boleh dikatakan bersifat sangat ideologis, akan tetapi pada masa itu partai-partai tidak diizinkan untuk memperkembangkan organisasi massa secara besar-besaran. Konflik ideologi dengan demikian terutama terdapat antara kelompok-kelompok karyawan dikota-kota di bawah pimpinan cendekiawan dan tidak melibatkan bagian besar dari masyarakat. Biasanya partai-partai dipandang sebagai lembaga-lembaga atau organisasiorganisasi untuk mengemukakan kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi, dan sebagai mekanisme-mekanisme untuk menyatakan serta mengatur perselisihan. Sistem politik dimana partai-partai bergerak diakui sah oleh sebagian besar penduduk, bahwa masyarakat loyal terhadap negara nasional, dan bahwa ada hubunganhubungan yang sedikit banyak dianggap wajar antara para pelaku sendiri, Asumsiasumsi ini tidak tidak berlaku dikebanyakan negara yang sedang berkembang dewasa ini. Istilah “perkembangan politik” masih tetap samara-samar, dan kami tidak mencoba menyususun definisi yang sistematis. Integrasi nasional, partisipasi politik, legitimasi (keabsahan), dan pengaturan perselisihan. Masalah-masalah atau krisis-krisis ini sering timbulsebelum partaipartai politik muncul dan, sebagaimana telah kami catat sebelumnya, mungkin penting dalam pembentukan tipe-tipe partai dan sistem-sistem kepartaian yang didirikan. Gerakan-gerakan atas tuntutan-tuntutan untuk memperoleh partisipasi politik merupakan ciri khas perkembangan politik. Banyak diantara faktor-faktor yang tadinya mendorong kelas-kelas penguasa dan kelas-kelas menengah dikota-kota untuk meraih kekuasaan dari kaum elite aristokrat dan para pengusaha kolonial, dalam waktu singkat mempengaruhi kelas-kelas pedesaan dan kelas pekerja di kota-kota. Bahkan dinegara yang sudah berkembang pola-pola partisipasi berubah pada waktu penemuan-penemuan teknologi memusnahkan beberapa jenis pekerjaan dan menciptakan beberapa jenis pekerjaan baru, mengurangi peranan ekonomi dan politik beberapa daerah dan meningkatkan peranan daerah-daerah lainnya.

Pemerintahan-pemerintahan otoriter, dengan berhasil mencapai pertumbuhan ekonomi secara besar-besaran sementara mencegah partisipasi politik yang luas, membuktikan bahwa perluasan partisipasi politik bukanlah seseatu yang tidak dapat dihindarkan. Tetapi peningkatan urbanisasi, pertumbuhan komunikasi massa, dan penyebaran pendidikan tampaknya disertai dengan peningkatan keinginan untuk memperoleh bentuk-bentuk partisipasi politik tertentu; dan besarnya kekuatan yang diperlukan oleh rezim otoriter untuk mempertahankan kekuasaan atas penduduknya sering dibanding langsung dengan perkembangan keinginan tersebut. Pembentukan pemerintahan pertama yang berdasarkan partai sering menciptakan harapan yang tersebar luas bahwa orang dalam menjalankan kekuasaan politik, bukan karena kelahiran melainkan berkat kemahiran politik. Orang-orang yang tidak diberi kesempatan berpartisipasi selama zaman sebelum partai, sekarang boleh mencoba memasuki arena politik kepartaian. Timbulnya sistem kepartaian tidak dengan sendirinya menjamin kaum elite yang mjemrintah dibawah sistem-sistem kepartaian akan menyambut baik partisipasi politik yang diperluas. Motivasi-motivasi yang mendasari tentangan seperti ini pasti bermacam-macam, dan faktor mana kiranya yang dominan sukarlah dipisahkan. Sejumlah pemerintah mungkin mengizinkan kelompok-kelompok masyarakat untuk mengorganisir partai-partainya sendiri, tetapi menolak penyertaan mereka dalam pengendalian kekuasaan nasional dan membatasi partisipasi mereka dalam sistem. Sesudah suatu periode penindasan oleh pemerintah sering partai-partai diizinkan untuk mengorganisir diri, tetapi jelas bagi semua bahwa dalam keadaan apapun pemerintah tidak akan mengizinkan mereka untuk memegang kekuasaan, bahkan bila mereka memenangkan pemerintahan. Istilah konflik dalam ilmu politik acap kali dikaitkan dengan kekrasan, seperti kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi. Konflik mengandung pengertian “benturan” seperti perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan antara individu dan individu, kelompok dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau kelompok dan pemerintah. Konflik yang mengandung kekrasan, pada umumnya terjadi dalam masyarakat-negara yang belum memiliki konsensus dasar mengenai dasar dan tujuan negara, dan mengenai pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga. Huru-hara (eiot), kudeta, pembunuhan atau sabotase yang berdimensi politik (terorisme), pemberontakan,dan separastisme,serta revolusi merupakan sejumlah contoh konflik yang mengandung kekerasan. Adapun contoh konflik yang tak berwujud kekerasan,yakni unjuk rasa (demokrasi),pemogokan (dengan segala bentuknya),pembangkangan sipil (civil disobedience), pengajuan petisi dan protes, dialog (musyawarah), dan polemik melalui surat kabar. Kemajemukan horisontal kultural dapat menimbulkan konflik karena masing-masing unsur kultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari kultur lain. Konflik politik karena benturan budaya akan menimbulkan perang saudara ataupun gerakan separatisme. Kemajemukan vertikal dapat meninbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan,pangetahuan,dan kekuasaan akan memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang mendominasi ketiga sumber pengaruh tersebut.

Perbedaan kepentingan karna kemajemukan horisontal dan vertikal tidak dengan sendirinya menimbulkan politik.hal ini disebabkan adanya fakta terdapat sejumlah masyarakat yang menerima perbedaan-perbedaan tersebut.dikemukakan konflik terjadi ada pihak yang merasa diperlukan tadak adil atau manakala pihak berperilaku menyentuh ”titik kemarahan” pihak lain. Konflik positif ialah konflik yang tidak mengancam eksistensi sistem politik,yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesain konflik yang disepakati bersama dalam kontitusi. Konflik negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang biasanya disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme, terorisme dan revolusi. Konflik menang-menang ialah suatu konflik dalam mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik masih mungkin untuk mengadakan kompromi dan bekerja sama sehingga semua pihak akan mendapatkan bagian dari konflik tersebut. Secara umum ada dua tujuan dasar setiap konflik, yakni mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber. Orang dapat menilai layak tidaknya berbagai pola oposisi politik yang berbedabeda, hanya dengan sejumlah kriteria yang berbeda-beda pula, yang dipergunakan seandainya orang menaksir sejauh mana suatu sistem politik sebagai keseluruhan berhasil mencapai apa yang biasanya dianggap sebagai tujuan-tujuan atau nilainilai demokratis. Ada delapan buah ukuran yang kelihatannya mempunyai relevansi langsung dalam menilai berbagai pola oposisi yang berbeda-beda. Dalam memperbandingkannya dengan berbagai kemungkinan pengaturan yang lain orang dapat bertanya, sejauh manakah suatau pola tersebut dapat memperbesar. Kita semua variasinya diri dalam masyarakat

tahu bahwa kebebasan itu mempunyai banyak variasi. Salah satu ialah memberikan kesempatan kepada setiap warga Negara untuk melibatkan aktivitas-aktivitas politik tanpa adanya berbagai paksaan dari pihak dan dan pemerintah dalam bentuk yang kaku.

“kebebasan aksi politik” adalah sebagaiman halnya denagn semua kebebasan, dibatasi oleh pemerintah dan masyarakat; akan tetapi justru perbedaan dalam batas-batas inilah yang membedakan sistem yang berpaham kebebasan (Libertarian) dengan sistem yang bersuifat otoriter. Hak untuk beroposisi dengan pemerintah adalah salah satu bentuk “kebebasan aksi politik” yang vital. Dan oposisi politik merupakan ungkapan yang penting sakali dari kebebasan ini. Apabila adanya oposisi politik merupakan bukti dari adanya “kebebasan aksi politik”, maka hal itu juga yang menjadi lambing dari tidak adanya “kebebasan dalam kewajiban poltik”2 dari orang-orang yang beroposisi terhadap pemerintah.

Related Documents

Karya Kuh
June 2020 15
27th Letter|kuh
June 2020 5
Kuh Perdata Rev
May 2020 14
Kuh Per Buku I Orang
May 2020 20

More Documents from "Xahrial Anthony Stark"

Mirna Itukah Kau......
July 2020 14
Luf
July 2020 10
Contoh Tugas Kuliah
June 2020 10
Doci
July 2020 7
Cerita Remaja
June 2020 11
Karya Kuh
June 2020 15