Kajian Hadis Orientalis; Sebuah Tinjauan Metodologis I. Prolog Dalam studi hadis, wacana yang paling fundamental adalah persoalan otentisitas dan reliabilitas metodologi obyektifikasi hadis. Keakuratan sebuah metodologi yang digunakan memiliki peran penting. Jika metodologi tersebut bermasalah maka hasil yang dicapai tidak sempurna, yang memungkinkan verifikasi ulang. Kajian hadis yang dilakukan oleh para orientalis sudah lama dilakukan, namun baru pada akhir abad ke-19 M dengan munculnya Muhammedanische Studien oleh Ignaz Gholdziher yang diterbitkan pada tahun 1890 menjadi titik puncak kajian hadis di Barat. Berselang kurang lebih enam puluh tahun muncul The origins of Muhammadn Jurisprudence oleh Joseph Schacht. Dalam kesimpulan Joseph Schacht bahwa semua hadis yang ada sekarang tidaklah outentik dari Nabi Muhammad terutama dengan hadis-hadis fiqih. Dua buku ini dianggap sebagai karya paling monumental dikalangan orientalis, meskipun begitu tak luput dari kritkan baik oleh sarjana Muslim maupun oleh orientalis sendiri. Diantaranya Studies in Early Hadith Literature, Dirâsât fi al-Hadîs al-Nabawiy oleh Mustafa Muhammad Azami, Buhûst fi al-Târîkh al-Sunnah al-Musyrifah oleh Akram Dhiya Al-Umry, Târîkh Tadwîn alSunnah wa Shubhât al-Mustasriqîn oleh Hakim’Abaisan al-Mathiriy, al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasri’ al-Islâmiy oleh Mustafa Syiba’i dan al-Sunnah Qabla al-Tadwîn oleh Muhammah 'Ijaj al-Khatib. Dalam tradisi Islam hadis sebagai sumber hukum setelah al-Qur’an dimana keberadaanya merupakan realitas nyata dari isi kandungan ajaran al-Qur’an. Hadis tidak hanya sebagai sumber hukum Islam yang berdiri sendiri, namun juga sebagai sumber informasi berharga dalam memahami wahyu Allah. Untuk itu, kedudukan hadis sebagai bentuk dari verbalisasi sunnah bagi umat Islam sangat penting dalam semua lini kehidupan umat Islam.1 Tulisan singkat ini akan sedikit memaparkan beberapa asumsi yang dibangun oleh para orientalis dalam studi hadis beserta metodologi yang digunakan. Juga akan dipaparkan tanggapan sarjana muslim tentang asumsi yang dilontarkan orientalis. Adapun sistematika penulisan mencakup: pengantar; orientalis: definisi dan sejarah; orientalisme dan studi hadis; sejarah kodifikasi hadis dan terakhir penutup. II. Orientalis; Definisi dan Sejarah Secara etimologi orientalisme berasal dari kata orient yang artinya timur. Secara etnologis orientalisme bermakna bangsa-bangsa di timur dan secara geografis bermakna hal-hal yang bersifat timur, yang sangat luas ruang lingkupnya. Adapun orang yang menekuni dunia ketimuran ini disebut orientalis. Secara terminologi ialah studi Islam dan orang Islam yang 1
Secara terminologis sunnah dan hadis yang difahami oleh ulama memiliki arti yang hampir sama yaitu perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrîr), sifat khulqiyyah dan khilqiyyah yang disandarkan kepada Rasul baik itu sebelum atau sesudah dianggkat menjadi Rasul. Perkataan dan perbuatan shahabat dan tabi’in juga termasuk dalam definisi hadis. Namun ada pendapat lain yang mengatakan antara sunnah dan hadis terdapat jalinan yang erat meskipun tidaklah identik. Sunnah lebih memiliki arti yang lebih luas dari hadis, dapat pula dikatakan sunnah lebih prinsipil dari pada hadis. Ini dikarenakan yang disebutkan sebagai sumber kedua selelah al-Qur’an adalah sunnah bukan hadis, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi: “aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kamu tidak akan tersesat jika berpegang pada keduany , al-kitab dan sunnah”.
1
dilakukan orang Barat dalam berbagai segi yang mencakup akidah, syari'ah, budaya, sejarah dan hukum.2 Edwar Said menjelaskan, orientalis merupakan kawasan epistimologi yang berhubungan dengan Timur dengan susunan yang teratur dalam pengajaran, penyingkapan (mengartikan) dan bentuk aplikasi.3 Studi orientalis ini meliputi berbagi hal seperti sosial, politik, kebiasaan, bahasa dan semiotik.4 Kata isme menunjukkan pengertian tentang suatu faham. Jadi, orientalisme bermakna suatu faham atau aliran yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di timur beserta lingkungannya. Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan orientalisme merupakan sebuah upaya untuk menjelaskan tentang ketimuran yang meliputi berbagai studi ketimuran (Islam), kebudayaan, bahasa, adab dan pengetahuan (budaya timur) dari sudut pandang keilmuan dan pengalaman manusia Barat (outsider). Studi orentalisme ini tidak terbatas pada kajian wilayah Timur (Islam), namun meliputi kawasan yang lain misalnya India, Jepang, Cina, Afrika dan Asia. Kegiatan orientalisme ini mempunyai andil yang besar dalam mendeskripsikan pelbagai hal tentang ketimuran secara umum, dan Islam secara khusus dimata dunia Barat. Secara historis tentang kapan kontak antara Barat dan Islam pertama dilakukan, para sejarawan berbeda pendapat. Pertama, Barat dan Islam melakukan kontak sudah dimulai sejak awal-awal Islam muncul, yaitu ketika beberapa sahabat hijrah ke Ethiopia. Disinilah fase pertama awal bertemunya Islam dengan Nasrani. Adapun fase kedua adalah ketika Rasul mengirim utusan kepada para raja dan pemimpin diluar semenajung Arab. Misalnya Abu Sufyan yang diutus menyampaikan surat kepada Kaisar Romawi, dimana disitu terjadi dialog sehingga Kaisar membenarkan apa yang disampaikan oleh Abu Sufyan.5 Kedua, kontak (perselisihan) pertama antara Islam dengan orang Eropa (Romawi) saat perang Tabuk (8 H) dan perang Mut'ah (9 H). Pendapat lain mengatakan peselisihan terjadi ketika Islam terusir dari Andalusia, dimana terjadi eksplorasi besar-besaran bidang keilmuan.6 Dalam catatan sejarah, orang-orang seperti Jerbert de Oraliac (938-1003 M), Adelard of Bath (1070-1135 M), Pierre le Venerable (1094-1156 M), Gerard de Gremona (1114-1187 M), dan Leonardo Fibonacci (1170-1241 M) pernah tinggal di Andalus dan mempelajari Islam di beberapa kota seperti Toledo, Cordova, Sevilla. Pulang dari Andalus yang saat itu masih dikuasai oleh umat Islam mereka menyebarkan ilmunya di daratan Eropa. Misalnya Jerbert de Oraliac yang kemudian terpilih sebagai Paus Silvestre II mendirikan dua sekolah Arab di Roma dan Perancis. Bahkan Robert of Cheter (1141-1148 M) dan kawannya Hermann Alemanus (w.1172 M) setelah pulang dari Andalus, mereka menerjemahkan al-Qur'an atas saran dari Paus Silvestre II. Ada juga yang berpendapat, orientalisme ini muncul dengan dimulainya masa kebangkitan Eropa, dimasa ini mulai dibangun pusat studi penelitian dan Universitas dibeberapa kota besar 2
Ahmad Abdul Hamid Qhurab, Rukyatu’l Isâlmiyyah li’l Istisrâq, al-Muntada al-Isalâmiy, Bermenham. cet. II, 1411, hal. 7 3 Edward Said, Orientalism, Vintage Books, New York, 1979, hal. 73 4 Dr. 'Ala Bakar, Madzâhibu al-Fikriyyah fi’l Mîzân, Dâr Aqîdah, 2002, hal. 13 5 Lihat penjelasan dalam Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathu’l Bâri fi Shahîh al-Bukhâri, Dâr Misr li al-Thabâ’ah, vol. I, Kairo, cet. I, 2001, hal. 48 6 Lihat Ali al-Namlah, al-Istisrâq fi’l Adabiyyât al-Arabiyyah; Ard li’l Nadarât wa Hasr wa Râqiy li’l Kutûb, Markazu’l Malik Faishal li’l Buhûst al-Dirasât al-Islâmiyyah, Riyad, 1993, hal. 23-31
2
Eropa seperti di London, Paris, Leden dan Berlin pada abad 16 M. Dengan ditemukanya mesin percetakan di Barat maka kegiatan studi ilmiah ini bergerak semakin cepat dengan model penulisan berupa menisbatan suatu tulisan ketulisan sebelumnya. Selain itu, dimasukkanya bahasa Arab ke beberapa Universitas sebagai mata kuliah seperti Oxford di tahun 1638 M dan Cambric di tahun 1632 M.7 Secara umum, metode pendekatan yang dilakukan orientalis dalam studi Islam, agama dan budaya Timur dapat di pisahkan dalam dua hal. Pertama, Normatif yaitu studi terhadap agama dan budaya lain yang didasarkan atas dorongan komitmen keagaman yang kuat dari para penelitinya (outsider). Peneliti ada maksud untuk melakukan konversi agama dari kelompok yang dijadikan objek penelitian (evangelism; proselytizing). Kedua, model deskriptif yaitu hanya sekedar ingin memenuhi rasa ingin tahu intelektual (intellectual curiosity) serta mencari kejelasan (clarity) dalam memahami objek yang dikaji sebagaimana adanya.8 Model deskriptif ini dapat difahami bahwa tidak semua orientalis ketika mengkaji Islam dan budaya Timur mempunyai pandangan awal yang negatif. Bahkan sering kali pandangan satu orientalis bertolak belakang dengan orientalis lainya. Akan tetapi pembagian metode pendekatan seperti ini tidaklah selalu sesuai dengan kenyataan sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa orientalis yang sering keluar dari dua metode pendekatan diatas. Dalam kajiannya terhadap Islam dan budaya Arab khususnya, luar biasa banyaknya jumlah karya yang dihasilkan oleh orientalis. Misalnya saja, dalam kajian sejarah kehidupan Nabi: A. Guillaume, Ibn Hisham's Sirat al-Nabi (The Life of Muhammad); Frants Buhl, Das Leben Muhammads; W. Montgomery Watt, Muhammad at Medina, Muhammad's Mecca:History in the Qur'an; Martin Lings, Muhammad:His Life Based on the Earliest Sources; Maxime Rodison, Mohammed; Karen Armstrong, Muhammad:A Biography of the Prophet. Dalam hukum Islam: Joseph Schacht, An Intrtoduction to Islamic Law, The Origins of Muhammadan Yurisprudence; Ignaz Goldziher, Muhammedanische Studien; Coulson N.J., Conflicts and Tension in Islamic Jurisprudence; Davis S. Power, Studies in Qur'an Hadits, The Formation of the Islamic Law of Inheritance. Bidang sejarah dan peradaban Islam: H.A.R Gibb, Modern Trends in Islam, Mohammedanism: an Historical Survey; Gustav E. Von Grunebaum, Medieval Islam:A Study of Cultural Orientation; M.G.S Hodgson, The Venture of Islam:Conscience and History in World Civilization; F. Rosental, Das Fortleben Der Antike im Islam. Dalam studi hadis: G.H.A Juynboll, Muslim Tradition:Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith. Bidang teologi: Joseph Van Ess, Theologie and Gesellschaft; W.M. Watt, Muslim Intellectual; A.J. Wensinck, The Muslim Creed; Ducan Macdonald, Development of Muslim Theology:Jurisprudence and Constitutional Theory; M.M. Anawati and Luis Garget, Introduction a'la Theologie Musulmane; Richard Frank, The Metaphysics of Created Being According to Abd al-Hudhayl al-Allaf:A Philosophical Study of the Earliest kalam; W. Montgomery Watt, Free Will and Predestination in Early Islam, Islamic Theology and Philosophy, The Formative Period of Islam Thought; Izutsu, The Concept of Belief in Islamic Theology:A Semantic Analysis of Iman and Islam.9 7
Ahmad Samuel Fites, Falsafatu’l Istisrâq wa Atsaruha fi’l Adabi’l Arabiy al-Muâshir, tanpa penerbit, Kairo, t.t, hal. 77 8 Lihat Charles J. Adams, Islamic Religious Traditions dalam Leonard Binder, The Study of Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and Social Sciences, New York, 1976, hal. 34 9 Penyebutan buku-buku ini kadang kala tanpa dilengkapai nama kota, penerbit, tahun dan lain-lainnya.
3
Selain itu beberapa jurnal yang khusus mengkaji wawasan keislaman, The Muslim World, Studi Islamica; Islamic Law and Society, Bulletin of School of Oriental and African Studies (BSOAS), Journal of Asian Studies (JAS), Journal of Asiaan and African Studies (JAAS), Journal of the Indian Archipelago and East Asian (JIAEA), Jounal of Southeast Asian History (JSEAH), Revue Des Etudes Islamiques. Beberapa tulisan dan jurnal diatas sering dijadikan rujukan utama atau sekedar menjadi pembanding dalam studi Islam yang dilakukan sarjana-sarjana Islam. III. Orientalis dan Studi Hadis Studi yang dilakukan oleh orientalis berangkat dari paradigma berfikir bahwa Islam adalah agama yang bisa diteliti dari sudut pandang mana saja. Dengan kebebasan sedemikian rupa, tidak mengherankan jika mereka begitu bebas menilai, mengritik bahkan melucuti ajaran-ajaran dasar Islam yang bagi kaum Muslim tabu untuk dipermasalahkan. Dalam studi hadis seorang orientalis ketika memasuki domain penelitian sumber Islam kedua ini, akan dihadapkan pertanyaan tentang apakah dan sejauh mana riwayat-riwayat tentang nabi dan generasi awal Islam dapat dipercaya secara historis. Diskursus hadis di Barat sudah lama dilakukan, sederetan nama seperi Alois Sprenger (w.1893 M), William Muir, A. Guilla Mume. Puncak dari studi hadis ini ketika Ignaz Goldziher10 menulis dalam bukunya Muhammedanische Studien yang diterbitkan pada tahun 1890, dimana buku ini adalah buku kritik hadis terpenting adab ke-19 di Barat. Selain itu L. Caetani, Henri Lammes, John Wonsbrough, Patricia Crone dan Michel Cook sebagai generasi penerus Goldziher yang memiliki kesimpulan yang sama dalam mengkaji hadis. Kesimpulan tersebut ialah hadis yang kita kenal bukanlah sumber informasi pada masa nabi Muhammad, melainkan sumber informasi yang datang pada abad 2-3 H. Enam puluh tahun kemudian, Joseph Schacht pada tahun 1950 M dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence membawa teori-teori baru tentang studi hadis. Misalnya, isnâd cenderung membasar, jumlah perawi semakin membengkak pada generasi kebelakang (proliferation of isnad), perawi cenderung menyandarkan riwayatnya kepada generasi sebelumnya (projection back), dan teori common link. Kemudian beberapa teori Schacht ini di adobsi oleh Joseph van Ess yang kemudian dikembangkan oleh G. H. A Juynboll. Meskipun buku The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan Muhammedanische Studien sangat monumental dikalangan orientalis dan berpengaruh terhadap karya-karya sarjana Barat, hal itu tidak membuat luput dari kritik. Fuat Sezgin, Mustafa Azami dan Musthafa Siba’i adalah sebagian kecil sarjana Islam yang melakukan kritik tajam terhadap premis dan teorinya. Dengan sanggahan bahwa para sahabat telah memulai kegiatan menulis hadis dan trasmisinya sejak Nabi hidup sampai dengan hadis-hadis tersebut terkodifikasikan pada abad akhir abad pertama.
10
Ignaz Goldziher adalah Orientalis Hungari yang dilahirkan dari keluarga Yahudi pada tahun 1850 M, memulai karir ilmiyahnya di Budapest, Berlin dan Liepzig. Pada tahun 1873 pergi ke Syiria dan belajar kepada Syekh Thahir al-Jazari. Kemudian ke Palestina lalu ke Mesir belajar kepada sejumlah ulama al-Azhar. Sepulang dari al-Azhar diangkat menjadi guru besar di Universitas Budapest. Karya-karya tulis ilmiahnya yang membahas masalah-masalah keIslaman dipublisir dalam bahasa Jerman, Inggris dan Perancis, serta bahasa Arab. Diantara karya tulisnya paling terkenal adalah buku Muhammadaniche Studion yang mengkaji masalah kritik hadis, sehingga di Barat merupakan sumber rujukan utama dalam melakukan penelitian terhadap hadis. Ignaz Goldziher meninggal pada tahun 1921. Lihat M. Mustafa Azami, Studies in Early Hadith Literature, Trust Publication, 1968, hal. 17
4
Tidak sampai disitu saja, upaya kritik balik dari kalangan orientalis terhadap sarjana Islam memulai babak baru. G.H.A. Juynboll menyerang dari segi metodologis yang digunakan sarjana Islam yang berpengaruh pada kesimpulan otentisitas dan otoritas hadis sebagai sumber hukum dan norma Islam. Juynboll menganggap Fuat Sezgin dan Mustafa Azami menggunakan sumber dalam penelitianya yang tidak bisa dipertanggung jawabkan secara historis. Lalu muncullah teori spider, single strand, diving, partial common link, common link dan argumentum e silentio. Yang kesemua itu menuju pada kesimpulan bahwa semua hadis tidak bisa dipertanggungjawabkan secara historisitasnya dan metode verifikasi yang diterapkan salama ini tidaklah reliable untuk menentukan otentisitas suatu hadis. Saat ini dalam studi hadis di Barat didominasi oleh kelompok skeptis. Tetapi tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam “mazhab“ skeptis. Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister, Fueck, Schoeler bereaksi keras terhadap sejumlah premis, kesimpulan dan metodologi para kelompok skeptis. Perdebatan antara kedua kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terakhir. Yang menarik disini bukan pada kesimpulan-kesimpulan orientalis tersebut, tetapi mengapa para orientalis bisa sampai pada kesimpulan tersebut, alias metodologinya. Karena meskipun menggunaka metode yang sama kadang kala kesimpulannya beda, apalagi metode yang digunakan berbeda. Kajian terhadap Isnâd (Transmisi) dan Matan (Esensi)11 Isnâd (transmisi) dalam pandangan orientalis tak lain adalah kembangan para ulama sekitar abad ke-2 H atau abad ke-3 H, dimana seolah-olah terbentuknya isnâd ini salah satu bentuk justifikasi keontetisitasan hadis. Dengan premis terakhirnya berupaya meragukan keabsahan sistem isnâd yang ada dalam setiap hadis. Tentang kapan sistem isnâd dipakai pertama kali, para orientalis berbeda pendapat. Menurut Caetani, bahwa sebagian besar isnâd yang dipakai dalam kitab-kitab hadis adalah buatan ulama hadis abad ke dua atau bahkan abad ketiga. Dengan alasan, pemakaian sanad baru dimulai olah Urwah Ibnu Ishaq (w.151 H). Dan Urwah (w.94 H) orang pertama yang menghimpun hadis Nabi secara sistematis tidak menggunakan isnâd dan tidak mengutip sumber selain dari al-Qur’an, sebagaimana dikutip dalam Târîkh al-Tabariy. Horovitz berpendapat pemakaian isnâd sudah dimulai sejak sepertiga yang ketiga dari abad pertama Hijri. Alasannya orang-orang yang mengatakan bahwa pada masa ‘Urwah tidak mengemukakan isnâd mereka tidak mempelajari kitab-kitab ‘Urwah secara lengkap. Horovitz menunjukkan adanya perbedaan sistem penulisan yang berupa jawaban dari sebuah pertanyaaan dan tulisan yang dari awal disuguhkan untuk orang-orang terpelajar. James Robson berpendapat, mungkin saja pada pertenganhan abad pertama sudah ada sistem periwayatan. Ini dikarenakan pada masa itu karena sahabat sudah wafat, maka dengan sendirinya orang akan meriwayatkan hadis dan kemudian ditanya oleh orang yang mendengarnya dari siapa ia mendapatkan hadis itu. Ini terus berkembang ke generasi selanjutnya.
11
Secara etimologi sanad artinya sandaran, tempat bersandar, yang menjadi sandaran. Sedangkan menurut terminologis yaitu jalan yang menyampaikan kepada matan hadis. Matan secara etimologi berarti tanah yang keras dan tinggi, secara istilah lafal hadis yang memiliki makna. Lihat Abdurrahman Abdul Hamid al-Bir, Mausu’ah Ulumûl Hadîs, Kementrian Wakaf, Republik Arab Mesir, 2005, hal. 236
5
Joseph Schacht berpendapat bahwa sistem isnâd baru dimulai pada abad kedua atau paling awal pada akhir abad pertama. Schacth secara jelas menyatakan “bahwa sebagian besar dari isnâd adalah palsu”.12 Dengan kata lain sistem isnâd mungkin saja valid jika sekedar untuk melacak hadis dari ulama-ulama abad kedua, namun jika periwayatannya dari Nabi dan sahabat maka hadis tersebut palsu. Peryataan Ibnu Sirin (w.110 H) “isnâd tidak ditanyakan sampai terjadinya fitnah. . . ”, kata fitnah disini diasumsikan oleh Schacth sebagai titik awal pemakaian isnâd.13 Jika kita analisa dengan seksama kata fitnah sebagai diungkapkan Ibnu Sirin memiliki dua interpretasi. Pertama, pemakaian isnâd sudah dipakai sebelum terjadi fitnah hanya saja tidak terkenal (tidak sering digunakan). Kedua, sebagaimana pendapat Schacth pemakaian isnâd dimulai pada masa Walid bin Yazid (w.126 H), namun Robson yang berpendapat fitnah terjadi ketika Ibnu Zubair (w.72 H) menyatakan dirinya menjadi khalifah, alasannya tahun ini (72 H) tepat ketika Ibu Sirin dilahirkan sebagaimana diungkapkan Imam Malik bin Anas (93-179 H).14 Meskipun demikian persepsi Schacth tidak memiliki alasan yang kuat, karena kata fitnah pada masa Walid bin Yazid bukan tahun yang lazim untuk disebut fitnah. Jika dibandingkan dengan apa yang diungkapakn Robson maka pendapat Robsoan lebih masuk akal, meskipun alasan Robson juga tidak bisa juga dipastikan karena kata fitnah sudah sering dipakai sebelum itu sebagaimana ketika tebunuhnya Usman bin Affan (w.35 H) .15 Namun fitnah terbesar dari kesemua itu lebih tepat jika ditujukan pada perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah yang masih meninggalkan bekas hingga saat ini, dalam ungkapan Thaha Husain sebagai percekcokan paling sengit dalam sejarah. Dari beberapa asumsi para orientalis diatas, yang dipersoalkan oleh Schacth maupun Robson adalah jika sistem isnâd baru dipakai abad kedua atau paling cepat akhir abad pertama maka terjadi keterputusan periwayatan sekitar satu abad. Artinya, jika terjadi keterputusan maka seluruh hadis dengan sendirinya keountetikannya tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hal ini dikarenakan metodologi yang digunakan Schacth, Robson maupun orientalis lainya dalam melihat suatu hadis adalah sistem dating (penanggalan). Dimana ketika terjadi keterputusan antar generasi dalam periwayatan, maka generasi akhir yang banyak meriwayatkan hadis digeneralisasi tidak bisa diterima hadisnya. Kesemua ini didasarkan atas penulisan hadis baru dimulai abad kedua atau paling awal akhir abad pertama. Untuk menganalisa metodologi tersebut, kita akan melihat bagaimana kondisi isnâd pada awal abad pertama sampai dengan abad kedua. Isnâd adalah sebuah sistem unik yang digunakan oleh ulama Islam dahulu dalam mentranformasi semua informasi yang datang dari Nabi Saw.. Awalnnya isnâd digunakan khusus yang datang dari Nabi, namun dalam perkembanganya halhal yang bukan dari Nabi pun juga juga menggunakan sistem isnâd. Lebih lanjut sistem isnâd ini menjadi sebuah bangunan ilmu mapan. Isnâd memiliki kedudukan sangat penting dalam Islam. Karena ke validitasan dan keontesitasan sebuah hadis dan sumber-sumber utama Islam lain dapat diketahui dengan jalur sistem ini. Jadi, Isnâd merupakan jalan untuk menetapkan hukum-hukum Islam. 12
Joseph Schacth, The Origin of Muhammad Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, 1975, hal. 163 Ibid., hal. 36-37 14 Lihat Robson, The Isnad in Muslim Tradition, Glas University OR. SOC, t.t, hal 22. Badingkan M. M. Azami, Studies in Early Hadith Literature, American Trust Publications, Indiana, 1975, hal. 216 15 Akram Dhiya Al-Umry, Buhûst fi al-Tarîkh al-Sunnah al-Musrifah, Muasasah al-Risâlah, cet. III, tt, hal. 52 13
6
Penggunaan isnâd sudah dipakai sebelum Islam datang, misalnya dalam kitab Yahudi, Mishna dan beberapa syair Jahiliyah. Namun penggunaan pada masa itu masih sangat sederhana, sehingga Islam datang menjadikan sistem isnâd mempunyai posisi penting. Ulama Islam pada abad pertama sangat memperhatikan pentingnya sanad sebagaimana terdapat dalam muqaddimah Shahîh Muslim, Ibnu Mubarak mengatakan: “sanad merupakan bagian dari agama, seandainya tidak ada sanad maka orang akan mengatakan sekehendaknya”. Dan Ibnu Sirin juga mengatakan dalam pentingnya sanad : “Sesungguhnya sanad adalah bagian dari agama, maka perhatikanlah dari mana seseorang menggambil (perkataan) agama kamu”. Dalam Islam pemakaian sanad sudah dilakukkan oleh para sahabat ketika meriwayatkan segala yang datang dari Nabi Saw..16 Tentunya sistem isnâd yang ada pada masa Nabi sangatlah sederhana, baru sekitar akhir abad pertama isnâd mulai berkembang, puncaknya pada masa abad ketiga, diamana pada abad ini kegiatan tulis menulis dan pengumpulan dan klasifikasi hadis berkembang pesat dengan munculnya nuskhah, musanîd, muwataât, jawâmi', sirah nubuwwah wa kutûb maghâzi, kumpulan hadis yang tersusun dalam bab-bab fikih, ma’âjîm, syurûh hadîtsiyah dan kutûb ilmu rijal. Mula-mula isnâd dipraktekkan ketika para sahabat saling bertemu ketika meriwayatkan hadis yang datang dari Nabi dengan redaksi: “nabi melakukan atau barkata ini atau itu”. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak semuanya menghadiri majelis Nabi karena sebagian sahabat sibuk dengan urusan masing-masing, maka mereka bergantian menghadirinya. Sudah menjadi kesepakatan para sahabat bahwa yang hadir akan meminformasikan apa yang didapat dari Nabi kepada yang tidak hadir. Bara’ berkata: “Tidak semua dari kami mendengar perkataan nabi, karena kami memiliki kesibukan masing-masing, akan tepati kami tidak ingin berdusta maka yang hadir memberi informasi kepada yang tidak hadir”.17 Selain itu sahabat berupaya mengerjakan ajaran al-Qur’an sebagaimana yang dijelaskan Nabi, bukan atas pemahaman masing-masing. Selain itu pemahaman dari Nabi ini bukan hanya untuk mereka sendiri tetapi juga untuk disampaikan kepada orang lain. “Sungguh orang yang menyembuyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah kami jelaskan kepada manusia dalam al-Kitab (al-Qur’an). Mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat”.18 Diriwayatkan oleh Bukhari, sabda Nabi: “Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat”. 19 Kemudian, pada masa sahabat kegiatan verifikasi hadis dilakukan, yang merupakan salah satu bentuk kehati-hatian sahabat dalam menerima hadis. Imam Turmizi meriwayatkan: Abu Bakar ketika tidak bisa memutuskan berapa bagian waris untuk nenek karena tidak tahuanya, lantas setelah shalat Dhuhur dia bertanya kepada sahabat lainya. Maka al-Muqhirah berkata: “aku mendengar dari Rasul bahwa nenek tersebut mendapat bagian seperenam”. Abu Bakar berkata: “adakah selain kamu yang mendengar bahwa itu dari Rasul?” Maka berdiri Muhammad bin Muslimah kemudian dia bersaksi mendengar apa yang dikatakan al-Muqhirah. Maka setelah itu
16
Izzat ‘Athiyah, Ensiklopedi Ulumul Hadis, Kementrian Wakaf Majelis, Mesir, hal. 829 Al-Hakim, Mustadrak, kitabul Ilm, vol. I, hal. 127 18 QS. Al-Baqarah[2]: 156 19 Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Op. Cit., Kitab Ahaditsul Anbiya’ , vol. VI, hal 693 17
7
Abu bakar menerima riwayat dari al-Mughirah dan Muhammad bin Muslimah tersebut”.20 Verifikasi ini juga salah satu bentuk praktek sahabat dalam memahami hadis: “Barang siapa sengaja berdusta atas namaku (Muhammad), maka dia akan dibangunkan tempat tinggal dineraka”.21 Baru setelah itu para sahabat menyebar keberbagai daerah. Al-Hakim al-Naisaburi menyebutkan dalam Ma’rifah Ulûmul Hadîst diantara sahabat yang tinggal di Mekah seperti Abdullah bin alSaib, Utsman bin Thalhah, Ibnu Abbas. Di Kuffah seperti Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Imar bin Yasir, Salman al-Farisi. Di Mesir seperti Abdullah bin Amr bin Ash, Uqbah bin Amir alJuhniy. Di Basrah seperti Anas bin Malik, Imran bin Khasin, abu Barzah al-Aslamiy, dan di Syam seperti Muadz bin Jabal. Dari sini dapat dipastikan generasi setelah sahabat -tabi’in dan tabi’ut tabi’in- meriwayatka hadis dari sahabat yang tinggal didaerah mereka. Selain itu, bukti yang menunjukkan bahwa pemakaian transmisi sudah digunakan pada masa awal Islam (abad pertama) adalah adanya beberapa shahifah- shahifah yang ditulis oleh sebagian sahabat yang berisikan beberapa hadis Nabi yang secara terus-menerus diwariskan kepada generasi berikutnya. Ini adalah bukti terjadi transfer informasi atas riwayat hadis dari generasi ke generasi, mulai dari masa sahabat hingga masa tabi’în dan tabi’ut tabi’în tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Hal ini akan dibahas lebih lengkap dalam bab sejarah kodifikasi hadis. Dalam kajian kritik matan, Ignaz Goldziher menkritik bahwa para pakar hadis dalam menguji hadis hanya menitik beratkan pada sanad (transmisi) saja tanpa memperhatikan matan-nya (esensinya). Untuk itu Goldziher menawarkan metode kritik matan saja.22 Salah satu buktinya bahwa kritik matan tidak diterapkan sebagaimana terdapat dalam shaheh Bukhari. Rasulullah Saw. Bersabda: “tidak diperintahkan pergi kecuali menuju tiga masjid, yaitu masjidil Haram, masjid Nabawi, dan masjid Aqsa”.23 Pendekatan Goldziher dalam memahami isi hadis tersebut atas dasar analisa sejarah dan politis yang tak lain merupakan karangan Ibnu Shihab atas perintah Abdul al-Malik bin Marwan. Peryataan Goldziher ini dengan sendirinya dapat terbantahkan ketika memmahami definisi hadis shahih itu sendiri. Ulama hadis telah memberikan suatu kaidah kaitanya hadis maqbulah (hadis yang dapat diterima). Ibnu Shalah misalnya (w.634 H) menjelaskan “hadis shaheh adalah hadis musnad24, yang bersambung sanadnya, diriwayatnkan oleh orang yang adil dan dhabit sampai akhir sanad dan hadis itu tidak janggal dan cacat”.25 Definisi ini dengan sendirinya antara kritik atas sanad dan matan harus seimbang. Kritik sanad terdiri dari tiga unsur: sanadnya bersambung, rawi yang adil dan rawi yang dhabit. Sedangkan kritik matan mencakup: tidak terdapat syadh (kejanggalan) dan tidak terdapat ‘illah (cacat). 20
Lihat Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan Turmiziy, vol. IV, ditahkik Ibrahim 'Atwah Audh, Mustafa al-Bani, Mesir, 1962M/1382H, hal 419-420, hadis no. 2100 21 Ibnu Hajar al-Asqalaniy. Op. Cit., vol. 1, hal 294 22 M. M. Azami, Mudraj al-Nusyul Tudz Muhammaditsm, Syirkah al-Tiba’âh al-‘Arabiyah, Riyad, 1982, hal. 127 23 Hadis ini keluarkan oleh Bukhari dalam kitâb fadlu al-shalât fi masjid Makkah wa’l Madînah bâb fadlu al-shalât fi masjid Makkah wa’l Madînah. Lihat Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Op. Cit., vol. I, hal. 94 24 Ulama selain Ibnu Shalah seperti Nawawi menghapus kata musnad dalam mendefinisikan hadis shahih, karena hadis shahih itu dengan sendirinya terbatasi hanya pada yang marfû’saja (disandarkan pada Nabi). 25 Abu Umar bin Abdurahman Syaharzawari, Ulûmu’l Hadîts li Ibn Shalâh, ditahkik oleh Nuruddin Atar, Dâr Fikr, Syiria, cet. III, 2002, hal. 11-12
8
IV. Sejarah Kodifikasi Hadis Keberadaan hadis dalam proses kodifikasinnya sangat berbeda dengan al-Qur'an yang sejak awal mendapat perhatian khusus baik dari Rasul Saw. maupun para sahabat. Al-Qur'an telah resmi terkodifikasikan sejak masa khalifah Abu Bakar al-Shidiq dilanjutkan masa Utsman bin Affan yang waktunya relatif dekat dengan masa Rasulallah. Sementara perhatian hadis tidaklah demikian. Upaya kodifikasi hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (w.101) khalifah Bani Umayyah, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah.26 Kenyataan ini yang telah memicu berbagai spekulatif terhadap otentisitas hadis. Ignaz Goldziher dalam Muhammaedanische Studien membangun teori yang mengarah kepada peraguaan terhadap otentisitas hadis. Dengan kesimpulannya terjadi kekosongan pemeliharana hadis kurang lebih satu abad dari masa sahabat sampai awal abad kedua hirjah. Selain itu, beberapa sarjana Islam sendiri juga membuat kesimpulan yang sama, seperti Ahmad Amin dan Ali Hasan Abdul Qadir sebagaimana dikutip Musthafa al-Siba'i dalam al-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri' alIslami.27 Dari uraian diatas, orientalis dalam kesimpulannya bahwa hadis yang kita kenal terdapat keterputusan rantai periwayatan sekitar satu abad lamanya yaitu pada abad pertama Hijri. Untuk menyanggah pendapat tersebut para sarjana Islam berupaya mengunggakap sejarah tadwîn, taklîf, tashnîf dan kitâbah hadis yang didasarkan metode ilmiyah. Dengan tujuan hadis yang ada sekarang—hadis shaheh—adalah informasi falid yang datang dari Nabi. Ada perbedaan mendasar antara kata tadwîn, taklîf, tashnîf dan kitâbah. Diwân adalah kumpulan beberapa lembaran atau daftar yang didalamnya terdapat tulisan. 28 Sedang tadwîn merupakan usaha dan pemeliharaan dalam diwân. Taklîf yaitu pengumpulan dan penggabungan beberapa materi tulisan dalam sebuah kitab (muallaf). Tashnîf adalah pemilihan29 beserta pengurutannya agar menjadi sebuah kitab (mushanaf) yang kemudian terbagi kedalam beberapa bab. Adapun kitâbah, suatu tulisan atau nomor dalam kertas atau lembaran. 30 Dari beberapa terminologi diatas antara tadwîn, taklîf dan tashnîf memiliki arti yang hampir sama yaitu tulisan yang sudah sempurna dan terkumpul dalam sebuah kitab. Sedang kitâbah tak lebih dari penuangan kata-kata atau nomor kedalam sebuah lembaran. Pemahanan terhadap kata-kata ini sangat penting karena akan berpengaruh dalam memahami teks-teks turats. Misalnya perkataan Ibnu Hajar “ kemudian pada akhir masa tabi’in dilakukan kodifikasi — tadwîn— astar serta pembagian khabar kedalam 26
Ada bebarapa faktor yang menyebabkan tidak terkodifikasikan—penulisan dan pengumpulan secara besar-besaran — sejak awal. Pertama, Rasul berada ditengah-tengah sahabat selama 23 tahun, untuk menulis ucapan-ucapan, pekerjaan beliau, merupakan hal yang sangat sulit serta akan mengambil tenaga sahabat dalam jumlah yang banyak untuk melakukan pekerjaan berat ini. Kedua,bangsa Arab yang saat itu mayoritas ummiy dengan mengandalkan kekuatan hafalan (ilmu lisan) dirasa sudah cukup. Ketiga, pada masa Rasul masih hidup sahabat hanya tinggal menanyakan permasalahn yang timbul tanpa harus menuliskanya. Keempat, pada masa sahabat lebih memprioritasakan dalam penjagaan al-Qur’an. 27 Mustafa Siba’i, al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasrî’ al-Islâmîy, Dar al-Salam, Kairo, cet.III, 2006M/1427H hal. 179 28 Fairuzi Abadi, al-Qamûs al-Muhîd, Muassah al-Risalah, Beirut, cet. VI, 1997M/1419H, hal. 1197 29 Ibid., hal. 828 30 Ibid., hal 128. Sedang kondifikasi adalah menyusun (membukukan) peraturan sehingga menjadi kitap perundangundangan. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pusataka, Jakarta, edisi III, 2001, hal. 578
9
beberapa bab . . .” .31 lanjutnya “Pertama kali yang mengkodifikasikan — dawwana— hadis dan menuliskanya adalah Ibnu Syihab”.32 Dari studi penelitian yang dilakukan sejarawan, Arab sebelum Islam datang sudah mengenal tulis menulis. Ini dibuktikan dengan adanya manuskrip-manuskrip yang terdapat di bagian utara kawasan semenanjung Arab. Tulisan-tulisan tersebut masih memiliki hubungan yang erat dengan kebudayaan Persia dan Romawi. Bukti bangsa Arab sudah mengenal tulisan sebelum Islam datang adalah adannya Diwan Kisra. Abu Sufyan bin Umanyyah bin Abdu Syams, Bayar bin Abdul malik al-Kauni, Abu Quais bin Abdul manaf bin Zahrah, Amru bin Zirarah adalah contoh beberapa orang yang mahir menulis pada masa Jahiliyah.33 Setelah itu, sebagian orang Yahudi yang mampu membaca dan menulis dalam bahasa Arab mereka mengajarkannya kepada anakanak Madinah pada masa awal Hijriyah Nabi. Setelah itu itu banyak dari suku Aus dan Khazraj yang bisa menulis.34 Penulisan hadis yang merupakan presentasi dari ucapan, perbuatan, persetujuan serta gambaran sifat yang melekap pada diri Rasul Saw.. Pakar hadis Islam menyimpulkan menuliskan hadis secara lengkap tentunya sangat sulit, karena sama artinya menuliskan setiap peristiwa dan keadaan yang dialami Rasul. Para sahabat yang hidup menyertai Rasul merasa tidak perlu mencatat setiap peristiwa yang mereka alami besama Rasul. Peristiwa dan keadaan ini secara otomatis terekam dalam ingatan sahabat tanpa harus dicatat. karena mereka terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Sehingga banyak kejadian yang lebih banyak terekam dalam bentuk hafalan. Ini disebabkan kebiasaan bangsa Arab yang mereka lebih menggunakan daya ingatan dibandingkan tulisan dalam menjaga budaya dan sejarah. Syair, prosa, qasidah beserta penasapannya merupakan contoh yang dihafal oleh ahli lisan dikalangan Arab. Oleh karena itu sistem periwayatan sebenarnya jauh-jauh hari sudah berkembang sebelum Islam datang. Bahkan sistem ini perangkat pokok dalam pengajaran pada masa Arab jahiliyah.35 Rasulullah sendiri secara khusus juga memberikan anjuran untuk menghafalkan hadis serta menyampaikannya pada orang lain, sebagaimana sabdanya: “Semoga Allah memperindah wajah orang yang mendengar perkataan dariku lalu menghafalkannya serta menyampaikannya (pada orang lain)”.36 Disamping rekaman hadis yang berbentuk hafalan ini, ada beberapa peristiwa yang berkaitan denga Rasul yang dicatat oleh sahabat. Fase Pencatatan (kitâbah) Fase ini —sekitar tahun 1 H sampai dengan 73 H— dimulai ketika hijrahnya Nabi ke Madinah sampai dengan wafatnya Ibnu Zubair (w.73H) salah satu sahabat yang terakhir menjabat sebagai khalifah. Fase ini dapat bagi menjadi dua masa. Pertama, hijrah Nabi ke Madinah sampai beliau Wafat (1-11H). Pada masa ini penulisan hadis berbentuk kertas dan kulit binatang yang berisikan beberapa rasâil —surat— dan perjanjian yang secara khusus diperintahkan oleh Nabi. Sebagai 31
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul al-Bâri, ditahkik Muhibuddin al-Khatib, Dar Salafiyyah ,Kairo, cet I, hal. 6 Al-Dzahabi, Sirul A’lâm al-Nubulâ’, vol.2, Beirut, cet. IX, 1993, hal. 334 33 Muhammah 'Ijaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. II, 1988, hal. 295 34 Ibid., hal. 296 35 Nasiruddin al-Asad, Masâdir al-Syir al-Jâhiliy, Beirut, cet. I, 1970, hal. 255 36 Sulaiman bin al-As’ast, Sunan Abi Dawûd, vol. III, Beirut, cet. I, 1978, hal. 321 32
10
contoh kitab Amwâl Abu ‘Abied yang terdiri tiga lembar,37 kitab Shadaqât didalamnya termuat ukuran wajib zakat dan bagaimana cara pembayaranya sebagaimana yang dimiliki Abu Bakar38 yang kemudian secara berturut-turut disalin oleh Umar bin khatab39, Ibnu Syihab al-Zuhri dan Salim bin Abdullah bi Umar bin Khatab.40 Selain itu terdapat shahîfah Amru bin Hazm ketika dia diutus ke penduduk Yaman yang didalmnya terdapat beberapa syari’at secara rinci menjelasakan jinâyât dan diyyât (ta’wîdât al-mâliyyah).41 Ali bin Abi Thalib juga memiliki shahîfah yang didalamya terdapat beberapa syariat seperti kadar zakat dan jinâyât 42. Rasul juga memerintahkan untuk menuliskan khutbahnya ketika Fathul Makkah untuk abu Syah salah seornag penduduk Yaman.43 Bersabda Rasulullah Saw. : “tulislah (khutbahku) untuk Abu Syah”.44 Kitab Abu Bakar, Amru bin Hazm dan Ali bin Abi Thalib kesemuanya ditulis sekitar tahun ke kesepuluh Hijriyah ketika Nabi menunaikan haji.45 Selain perintah langsung Nabi untuk menuliskan beberapa hadis, Nabi juga memberikan izin kepada shahabat untuk menuliskan hadis. Misalnya Abdullah bin Amru bin al-Ash (w.63) dengan menamai tulisanya dengan al-Shahifah al-Shadiqah.46 Shahifah ini kemudian diwariskan kepada keluarganya, sampai Amru bin Syuaib bin Muhammad bin Abdullah bin Amru (w.116H) kemudian isi Shahifah ini diceritakan kepada tabi’in yang lain. sebagimana riwayat dari Ibnu Amr: Dari Abdullah bin Amr beliau berkata: Saya menulis setiap yang saya dengar dari Rasulullah Saw. untuk saya hafalkan, maka orang-orang Quraiys mencegahku dengan berkata: apakah kamu menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah Saw.? Sedangkan Rasulullah adalah manusia yang kadang-kadang berbicara dalam keadaan marah dan kadangkadang dalam keadaan ramah? maka akupun menghentikan penulisan itu, dan mengadukannya pada Rasululah Saw., maka sambil menunjuk mulutnya beliau bersabda: Tulislah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak keluar darinya (lisan Rasulullah) kecuali yang hak (benar)”.47 Abdullah bin Amr sangat menghargai tulisan ini sebagaimana pernyataannya: “Tidak ada yang lebih menyenangkanku dalam kehidupan ini kecuali al-shadiqah dan al-wahth, adapun 37
Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, vol. VIII, Dairatul Ma’arif al-Ustmaniyyah, cet I, hal. 106; Ibnu Kastir, Bidâyah wa al-Nihâyah, vol. III, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet. III, 1982, hal. 223; Muhammad Hamidullah, Majmûah alWatsâiq al-Syiyâsiyah li ‘Ahdi al-Nabiy, Dar Nafais, Beirut, cet. VI, 1987, hal. 57 38 Lihat dalam Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Jâmi’ al-Shahîh, Maktabah al-Salafiyah, cet.I, Kairo, 1400H, hal. 448-450, hadis no.1453,1454 dan 1455; Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fathul Barî bi Syarhi alImâm Abi Abdillah ibn Ismaîl al-Bukhâri, vol.III, ditahkik oleh Abdul Qadir Syaibah al-Hamd, Riyad, hal. 370-377 39 Lihat al-Tirmizi dalam al-Sunan hadis no. 621; Abu Dawud dalam al-Sunan hadis no. 1568 dan Ibnu Majah dalam al-Sunan hadis no. 1798 40 Lihat Abu Dawud dalam al-Sunan hadis no. 1570 41 Secara lengkap shahifah ini terdapat dalam al-Shahîh Ibnu Hibban hadis no. 6559, Hakim dalam al-Mustadrak vol. I hal 395-397. al-Baihaqi, Op.Cit, vol. IV, hal. 89-90 42 Lihat Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit, hal.56, hadis no. 111 dan Imam Muslim dalam alShahîh hadis no.1978. Lihat juga penjelasan Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Op.Cit, hadis no. 111 43 Lihat Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op.Cit, hal. 56, hadis no. 112. Lihat pula Fuad Sazkin, Tarîkh Turâst al-Arabî, vol. I, alih bahasa Muhammad Fahmi, Riyad,1983, hal.125 44 Ibid., hal. 56 45 Hakim ‘Ubaisan al-Mathiri, Tarîkh Tadwîn al-Sunnah wa Subhâtu al-Mustasriqîn, Lajnah Ta’lif wa Ta’rib wa alNasr, Universitas Kuwait, 2002, hal. 39 46 Ibnu Hajar, al-Ishâbah, vol. II, cet. I, Dar al-Sa’adah, Kairo, 1910, hal. 251; Al-Dzahabi, Tazkirah al-Khufâdz, vol. I, Darul Ma’arif al-Ustmaniyah, tt,hal. 42; Al-Dzahabi, Siyaru al-A’lâm al-Nubalâ’, vol. III, Beirut,cet. VII, 1993, hal. 80 47 Sulaiman bin al-As’ast, Op. Cit., vol. III, hal. 318; Ahmad bin Hambal, Musnad, vol. II,Taswir al-Maktab alIslamiy, Beirut, hal.162
11
al-Shadiqah adalah shahifah yang aku tulis dari Rasulullah Saw”.48 Imam Bukhari telah meriwayatkan: dari Abu Hurairah RA. beliau berkata: “tidak ada seorang dari sahabat Nabi yang lebih banyak meriwayatkan hadits dariku selain Abdullah bin Amr bin Ash, karena sesungguhnya dia mencatat hadits sedangkan aku tidak”.49 Ibnu Taimiyyah berkata “keluarga Abdullah bin Amru bi al-Ash mempunyai nuskhah yang ditulis dari Nabi, nuskhah ini memiliki nilai falid yang tinggi dan menunjukkan keoutentikannya, sebagaimana yang dimiliki Amru bin Syuaib yang terdiri dari beberapa hadis tentang fikih. Kemudian oleh fuqaha digunankan sebagai dalil.50 Anas bin Malik al-Anshari (w.93H) juga menuliskan hadis Rasul, bahkan sampai Rasul wafat jika ia mendengar hadis dari sahabat tentang Rasulullah ia pun memyuruh anaknya untuk menuliskannya. Dia berkata: ”aku kagum terhadap hadis!!”, ini kemudian dia berkata paada anakanya: “tulislah!” maka anaknya pun menuliskannya.51 Selain itu Said bin Ibadah al-Anshari (w.15H) juga memiliki tulisan didalamnya terdapat bebrapa hadis yang kemudian di wariskan kepada keturunannya dan disampaikan kepada orang-orang.52 Samrah bin Jandab (w.58H) juga memliki shahifah yang kemudian diwasiatkan kepada anak-anaknya. shahifah ini sangat terkenal di Basrah sampai-sampai Hasan al-Basri (w.110H) menjelasakan isi shahifah ini kepada penduduk Basrah. shahifah ini secara berturut-turut diriwayatkan sampai dengan Marwan bin Ja’far bin Sa’ad bin Samrah.53 Penulisan hadis pada masa ini belum tersusun dalam satu kumpulan lengakap dan hanya dimiliki untuk kepentingan pribadi. Pada masa ini juga muncullah inti dari kitab fiqih seperti tulisan Ali bin Abi Thalib dalam masalah qhadâ’54, tulisan Zaid bin Tsabit dalam masalah mawârîs55, tulisan Jabir bin Abdullah dalam manâsik haj56. Dari beberapa riwayat diatas mengindikasikan bahwa kegiatan penulisan hadis telah berlangsung semenjak Rasul masih hidup. Mengenai riwayat yang menyatakan bahwa Rasul melarang menuliskan sesuatu dari Rasul selain al-Qur'an, secara dhahir terjadi kontradiksi dengan riwayatriwayat yang membolehkan penulisan hadis seperti diatas. Riwayat yang melarang penulisan tersebut hadis dari Abu Sa’id al Khudriy. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudriy, sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda: “Janganlah kalian menulis dariku, barang siapa menulis dariku selain al-Quran maka hendaklah menghapusnya”.57 Dalam menyikapi kontradiksi tersebut para ulama berbeda pendapat. Pertama, hadis pelarangan telah di-nasakh (dihapus) dengan hadis perintah, hal ini didasarkan bahwa hadis perintah 48
al-Darimiy, Sunan al-Dârimîy, ditahkik Mustafa al-Bagha, vol. I, Damaskus, cet. I, 1991, hal. 127 Ibnu Hajar al-Asqalaniy. Op. Cit., Kitabu’l Ilmy, hal. 32. Hadis tersebut diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi, Op. Cit., vol. V, hal. 39 50 Ibnu Taimiyah, Majmû’ah Fatâwâ, vol. XVIII, ‘Alamul Kutub, Riyad, 1991, hal. 8-9; Fuad Sazkin, Op. Cit., vol. I, hal. 153 51 Khatib al-Baghdadi, Taqyîdul Ilmi, ditahkik Yusuf al-‘Asy, Darul Ikhya’ al-Sunnah, Mesir, 1974, hal. 94 52 Lihat al-Turmizi dalam al-Sunan hadis no. 1343; Ahmad bin Hambal, Op. Cit., vol. V, hal. 285; al-Thabari, Mu’jam al-Kabîr, vol. XVI, ditahkik Abdul Majid al-Salafi, al-Maktab al-Islamiy, Beirut, 1982, hal. 17 53 Ibnu Sa’ad, al-Thabaqât, vol. VII, ditakhkik Abdul Qadir ‘Atha, Darul Kutub Ilmiyah, cet. I, Beirut, 1989, hal. 35; Al-Basawiy, al-Ma’rifat wa al-Târîkh, vol. II, ditahkik Akram Diya’ al-Umriy, Maktabah al-Dar, Mansurah, 1989, hal. 45 54 Muslim bin Hujaj, Shahîh Muslim, vol. I, Maktabah Islamiyah, Istanbul, hal. 13-14 55 Al-Baihaqi, Op. Cit.,vol. VI, hal. 247; Al-Dzahabi, Siyaru al-A’lâm al-Nubalâ’, vol. II, hal. 436 56 Al-Dzahabi, Tazkirah al-Hufâdz, vol. I, hal. 43 57 Muslim bin Hujaj, Op. Cit., vol. II, hal. 710; Ahmad bin Hambal, Op. Cit., vol. III, hal. 12 dan 21 49
12
khususnya hadis Abu Syah disampaikan setelah Fathu’l Makkah. Kedua, larangan bersifat umum, sedangkan perintah bersifat khusus, yaitu berlaku bagi para sahabat yang kompeten menulis, hal ini karena kebanyakan sahabat adalah ummiy (tidak mampu menulis) sehingga dikhawatirkan terjadi kesalahan penulisan. Ketiga, bahwa larangan bersifat khusus yaitu menulis hadis bersama dengan al-Qur’an dalam satu naskah. Sedang menurut Dr. Nuruddin Litr, bahwa penulisan hadis pada dasarnya tidak dilarang. Adanya larangan penulisan hadis tidak lain karena adanya illah khusus. Ketika illah itu tidak ada, maka otomatis pelarangan tidak berlaku. Illah yang dimaksud adalah adanya kekhawatiran berpalingnya umat dari al-Qur’an karena merasa cukup dengan apa yang mereka tulis. Abu Na’im menuliskan dalam bukunya Târîkh Isbahan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirimkan pesan: perhatikan hadis Nabi dan kumpulkan. Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Abd al-Aziz mengirim surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm: ”Perhatikanlah apa yang ada pada hadis-hadis Rasulullah Saw., dan tulislah. Karena aku khawatir akan terhapusnya ilmu sejalan dengan hilangnya ulama, dan janganlah engkau terima selain hadis Nabi Saw..58 Fase kodifikasi (tadwîn) tahun 70-120 H. Proses kodifikasi hadis (tadwîn al-hadîts) berdasarkan pendapat yang mashur adalah proses pembukuan hadis secara resmi yang dilakukan atas instruksi Khalifah, dalam hal ini adalah Khalifah Umawiyyah Umar bin Abdul Aziz (w.101H). Namun bardasarkan bukti sejarah, Abdul Aziz bin Marwan (w. 85H) dan Marwan bin al-Hakim (w.65H) sudah memulai proyek kodifikasi hadis. Dalam suratnya yang dikirimkan kepada Katsir bin Murrah al-Khadramiy (w. 80H) Khalifah Abdul Aziz bin Marwan mengatakan ”tulislah kepadaku apa yang kamu dengar dari shahabat tentang hadis Rasul, kecuali hadis Abu Hurairah karena kami sudah memiliki”.59 Dari riwayat ini menegasakan bahwa Khalifah Marwan bin al-Hakim telah memiliki kumpulan hadis Abu Hurairah. Marwan bin al-Hakim juga melakukan pengecekan ulang terhadap hadis-hadis Abu Hurairah ini sampai dua kali untuk menghilangkan kesalahan dalam penulisnya. Kemudian kumpulan hadis ini tesimpan dalam diwân (Khizânah al-Daulah). Sebab inilah kenapa Abdul Aziz bin Marwan merasa tidak perlu meminta menuliskan hadis-hadis Abu Hurairah seperti tertuang dalam surat yang dikirmkan kepada Kastir bin Murrah. Selain koleksi hadis Abu Hurairah Marwan bin al-Hakim juga memiliki koleksi hadis Zaid bin Tsabit dan beberapa pendapanya dalam masalah fikih.60 Penjelasan diatas menunjukan sebelum Umar bin Abdul Aziz proyek kodifikasi hadis sudah dilakukan yang tak lain oleh bapak dan kakeknya sendiri. Namun dapat dikatakan pula Umar bin Abdul Aziz adalah orang pertama yang menkodifikasikan hadis dalam arti penulisannya kedalam bentuk buku. Sebagaimana Zuhri berkata: ”Umar bin Abdul Aziz memerintahkan kepada kami untu mengumpulkan hadis, maka kami menulisnya dalam bentuk beberapa buku yang kemudian 58
Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Op. Cit., vol. I, hal. 29 Ibnu Sa’ad, Op. Cit., vol. VII, hal. 311; Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, vol. VI, Tashwir al-Kutub alIslami, cet. I, Beirut, 1907, hal. 356 60 Lihat Mustafa Muhammad Azami, Dirâsât fi al-Hadîs al-Nabawiy, vol. I, Dar al-Thiba’ah, Riyad, cet. III, 1981, hal. 78 59
13
dikirimkan keberbagai penjuru satu buku”.61 Kegiatan kodifikasi yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Usma bin Affan (w.35H) ketika mengumpulkan al-Qur’an kedalam bentuk mushaf yang sebelumnya terpisah-pisah kedalam beberapa lembaran. Khalifah Umar bin Abdul Aziz merasakan adanya kebutuhan untuk memelihara perbendaraan hadis. Untuk itulah Khalifah mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal hadis menuliskan dan membukukannya supaya tidak ada hadis yang akan hilang pada masa sesudahnya. Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (w. 120 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Sa’ad bin Zaharah al- Anshariyah (21- 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr alShiddiq. 62 Pengumpulan hadis khususnya di Madinah belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri al-Qurasyi al Madani (50-123H) Al-Zuhri adalah ulama hadis yang paling menonjol di zamannya. Selain itu beberapa ulama abad pertama Hijriyah yang ikut dalam proyek besar ini Sulaiman bin Qois al-Yasykiriy (w.sebelum 80H), Urwah bin Zubair (23-93H), Muhammad bin Al-Hanafiyah (w.80H), Abdullah bin Muhammad bin Aqil bin Abi Thalib, Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (56-114H), Said bin Jubair (w.95H), Salim bin Abi Ja’di (w.97H), Kuraib (w. 98), Khalas bin Amru al-Hijriy (w. sebelum 100), Abdullah bin Zaid al-Jarmi Abu Qalabah al-Basri (w.104H), Amir bin Sya’bi (30-103H), Muhammad bin Sirin (w. 110H), al-Hasan bin Abi al-Hasan al-Basri (15-110H), Muawwiyah bin Qurrah (w.113H), Ata’ bin Abi Rabbah (w.114H), Sulaiman bin Musa al-Asadiy (w.115H), Basyir bin Nuhaik al-Basri, Makkhul al-Syami (w.116H), Qatadah bin Di’amah al-Basri (w.117H), Amru bin Syuaib bin Muhamamd bin Abdullah bin Amru bin al-Ash (w.118H), Abu Ishaq Amru bin Abdullah al-Sabi’iy (w.127H), Hammam bin Munbih al-Shan’aniy (w.132H) Yahya bin Abi Katsir.(w.123H) dan Ala’ bin Abdurrahman (w.135H). Dari sini jelaslah bahwa Tadwîn al-Hadîts bukanlah semata-mata taktib al-Hadits (penulisan hadis) tapi juga pengumpulannya. Kodifikasi hadis merupakan kegiatan pengumpulan hadis dan penulisannya secara besar-besaran yang disponsori oleh Pemerintah. Sedangkan kegiatan penulisan hadis sendiri secara tidak resmi telah berlangsung sejak masa Rasulullah Saw. masih hidup dan berlanjut terus hingga masa kodifikasi. Atas dasar ini tuduhan para orientalis dan beberapa penulis muslim kontemporer bahwa hadis sebagai sumber hukum tidak otentik karena baru ditulis satu abad setelah Rasulullah wafat adalah tidak tepat. Tuduhan ini menurut Dr. Azami lebih disebabkan karena kurangnya ketelitian dalam melacak sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan penulisan hadis. Bahkan beberapa orientalis seperti Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht telah sengaja melakukan kecerobohan dalam membuat kesimpulan dalam studi hadis. Tetapi amat disayangkan banyak penulis kontemporer termasuk dari kalangan Muslim sendiri menjadikan karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht sebagai rujukan. Sungguh aneh karya Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht
61
Ibnu Abdul al-Bir, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadluh, Darul Kutub Islamiyah, Kairo, cet. II, 1981, hal. 127 Ibnu Abi Hatim, al-Jarkh wa al-Ta’dîl, vol. I, Darul Ma’arif al-Utsmaniyah, India, cet. I, 1952, hal. 21; AlBasawiy, Op. Cit., vol.I, hal. 645; Khatib al-Baghdadi, Op. Cit., hal. 105-106 62
14
telah ditelan mentah-mentah oleh kelompok liberal Islam untuk menghantam karya-karya ulama terdahulu tentang hadis. Dr. Azami dalam bukunya Studies In Early Hadith Literature, menjelaskan bahwa telah terjadi transfer informasi atas riwayat hadis dari generasi ke generasi, mulai dari masa sahabat hingga masa tabi’în dan tabi’ut tabi’în tidak saja dalam bentuk lisan tetapi juga dalam bentuk tulisan. Misalnya saja catatan dari Abdullah bin Amr bin Ash yang terkenal dengan al-Shahifah al Shadiqah telah ditransferkan kepada muridnya Abu Subrah. Shahifah tersebut juga sampai ke tangan cucunya Syu’aib bin Muhammad bin Abdullah bin Amr. Dari tangan Syu’aib ini berlanjut ke tangan putra Syu’aib bin Muhammad atau cicit dari Abdullah bin Amr yaitu Amr bin Syu’aib. Selain itu, tersebarnya hadis ke berbagai daerah dengan redaksi yang sama keberbagai daerah juga menunjukna bahwa sitem isnâd tersebut valid. Karena isi dan susunan kata dari hadis itu tersebar dengan luas padahal sitem komunikasi modern ketika itu belum ada, dan sulit untuk dilakukan pada masa abad-abad yang lalu. Pada masa tadwin ini penulisan hadis belum tersistimatika sebagimana kitab-kitab hadis yang ada saat ini, tetapi sekadar dihimpun dalam bentuk kitab-kitab jami’ dan mushannaf. Demikian juga belum terklasifikasikannya hadis-hadis tersebut atas dasar shahih dan tidaknya. Barulah pada periode sesudahnya muncul kitab hadis yang disusun berdasarkan bab-bab tertentu, juga kitab hadis yang memuat hanya hadis-hadis shahih saja. Pada periode terakhir ini pengembangan ilmu jarh wa tadil telah semakin mantap dengan tampilnya Muhammad bin Ismail al-Bukhari. V. Penutup Studi hadis di dunia Islam secara fundamental berbeda dengan di Barat. Jika di dunia Islam studi hadis menekankan pada takhrîj 63 dalam menetukan otentisitasnya. Sedang di Barat penekanan 63
Takhrîj menurut istilah muhadisin adalah sinonim dari kata ikhraj yang memiliki arti menunjukkan hadis seseorang dengan menyebutkan orang-orang yang mengelurkanya dari sumber aslinya dengan menyebutkan sanad dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan. Ada beberapa metode dalam Takhrîj. Metode Pertama, takhrîj dengan cara mengetahui râwi a’la (sahabat). Metode ini dapat dibantu dengan tiga macam karya hadis: Al-Masânîd, Al-Ma’âjîm dan kitab-kitab Al-Athrâf . Metode Kedua, takhrîj dengan mengetahui permulaan lafad dari hadis. Cara ini dapat dibantu dengan Al-Duraru’l Muntatsirah fi’l Ahâdîts al-Musytaharah karya Imam Suyuti; Al-Lâli AlMantsûrah fi’l Ahâdîts al-Masyhûrah karya Ibnu Hajar; Al-Maqâshidu’ Hasanah fiy Bayâni Katsirîn mina’l Ahâditsi’l Musytahirah ‘ala’l Alsinah karya As-Sakhawi; Tamyîzu al-Thayyib mina’l Khabîts fîmâ Yaduru ‘ala Alsina al-Nâs mina’l Hadîts karya Ibnu Al-Dabi’ Al-Syaibani; Kasyfu al-Khafâ wa Muzîlu’l Ilbâs ‘ama Isytahara mina’l Ahâdîts ‘ala Alsinati al-Nâs karya Al-‘Ajluni. Kitab-kitab hadis yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, seperti Al-Jamî’ al-Shaghîr mina’l Ahâdîts al-Basyîr al-Nadzîr karya As-Suyuthi. Indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya: Miftâh al-Shahîhain karya al-Tauqadi; Miftâh al-Tartîbi li Ahâdîtsi Tarîkh al-Khathîb karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari; Al-Bughiyah fî Tartîbi Ahâdîtsi Shahîh Muslim karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi; Miftâh Muwaththa’ Mâlik karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi. Metode Ketiga, takhrîj dengan cara mengetahui kata gharîb (jarang)dari bagian hadis. Metode ini dapat dibantu dengan kitab alMu’jam al-Mufahras li al-Fâdzi’l Hadîts al-Nabawiy (berisi sembilan kitab hadis terkenal, yaitu: Kutubu al-Sittah, Muwatha’ Imâm Mâlik, Musnad Ahmad, dan Musnad Al-Darimi). Kitab ini disusun oleh seorang orientalis Dr. Vensink (w.1939 M). Metode Keempat, takhrîj dengan mengetahui tema dari pembahasan hadis. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftâh Kunûz Al-Sunnah yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis Belanda Dr. Arinjan Vensink. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadis yang terkenal, yaitu: Shahîh Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi, Sunan Ad-Darimi, Musnad Zaid bin ‘Ali, Sirah Ibnu Hisyam, Maghazi Al-Waqidi, Thabaqat Ibnu Sa’ad. Penjelasan lebih lanjut lihat, Abdul Muhdi Abdul Qadir Abdul Hadi, Turuq Takhrîj al-Hadîs, Makabatul Imân, Kairo, cet. II,
15
mereka pada dating (penaggalan), pendekatan historis hadis untuk menaksir historisnya dan melakukan rekontruksi sejarah yang allegedly yang terjadi pada masa awal Islam. Dimana hadis harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya dan menurut fungsinya yang tepat dalam konteks kesejarahan. Selain itu penelusuran terhadap keontitesisan suatu hadis sebagaimana yang dilakukan di dunia Islam dapat dijabarkan dalam dua jalur: pertama, penyelidikan terhadap sanad (melihat rantai periwayatan); kedua, melihat matan (isi hadis tersebut). Keduanya memiliki jalinan erat, suatu hadis masuk dalam kriteria hadis maqbûl jika dari segi sanad dan matan telah lolos uji seleksi. Dua jalur ini terangkum dalam definisi hadis maqbûl. Bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh orang yang adil dan dhabit sampai akhir sanad dan hadis itu tidak janggal dan cacat. Proses kodifikasi hadis adalah proses pembukuan hadis secara resmi yang dikoordinasi oleh pemerintah dalam hal ini adalah Khalifah, bukan semata-mata kegiatan penulisan hadis, karena kegiatan penulisan hadis secara berkesinambungan telah dimulai sejak Rasulullah Saw. masih hidup. Berangkat dari realitas ini adanya tuduhan bahwa hadis sebagai sumber yurisprudensi yang diragukan otentisitasnya merupakan tuduhan yang tidak beralasan karena tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya. Mempelajari metodologi keduanya akan semakin memperkaya metodologi kita. Dan mampu mengungkap kenyataan sejarah Nabi. Oleh karena itu menolak tradisi intelektual secara a-priori sangatlah naif tanpa tahu esensi tradisi tersebut. Tantangan buat kita semua. Wallâhu A’lam. Rahmadi Wibowo Makrom Abied, 22-Maret-2008
DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4.
Al-Qur’an al-Karim Abadi, Fairuzi, al-Qamûs al-Muhîd, Muassah al-Risalah, Beirut, cet. VI, 1997M/1419H Abu Dawud, al-Sunan Abi Dawud Adams, Charles J., Islamic Religious Traditions dalam Leonard Binder, The Study of Middle East: Research and Scholarship in the Humanities and Social Sciences, New York, 1976 5. Al-As’ast, Sulaiman bin, Sunan Abi Dawûd, Beirut, cet. I, 1978 1986
16
6. Al-Asad, Nasiruddin, Masâdir al-Syir al-Jâhiliy, Beirut, cet. I, 1970 7. Al-Asqalani, Ibnu Hajar, al-Ishâbah, Dar al-Sa’adah, Kairo, cet. I, 1910 8. ___________________, Fathu’l Bâri fi Shahîh al-Bukhâri, Dâr Misr li al-Thabâ’ah, Kairo, cet. I, 2001 9. ___________________, Tahdzîb al-Tahdzîb, Tashwir al-Kutub al-Islami, cet. I, Beirut, 1907 10. Al-Baghdadi, Khatib, Taqyîdul Ilmi, ditahkik Yusuf al-‘Asy, Darul Ikhya’ al-Sunnah, Mesir, 1974 11. Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, Dairatul Ma’arif al-Ustmaniyyah, cet I, tt 12. Al-Basawiy, al-Ma’rifat wa al-Târîkh, ditahkik Akram Diya’ al-Umriy, Maktabah alDar, Mansurah, 1989 13. Al-Bir, Abdurrahman Abdul Hamid, Mausu’ah Ulumûl Hadîs, Kementrian Wakaf, Republik Arab Mesir, 2005 14. Al-Bukhari, Abdullah Muhammad bin Ismail, Jâmi’ al-Shahîh, Maktabah al-Salafiyah, cet.I, Kairo, 1400H 15. Al-Darimiy, Sunan al-Dârimîy, ditahkik Mustafa al-Bagha, Damaskus, cet. I, 1991 16. Al-Dzahabi, Sirul A’lâm al-Nubulâ’, Beirut, cet. IX, 1993 17. _________, Siyaru al-A’lâm al-Nubalâ’, Beirut,cet. VII, 1993 18. _________, Tazkirah al-Khufâdz, Darul Ma’arif al-Ustmaniyah, t.t 19. Al-Hakim, Muhammsd bin Abdullah bin hamdawih, al-Mustadrak 20. Al-Khatib, Muhammah 'Ijaj, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, Maktabah Wahbah, Kairo, cet. II, 1988 21. Al-Mathiri, Hakim ‘Ubaisan, Tarîkh Tadwîn al-Sunnah wa Subhâtu al-Mustasriqîn, Lajnah Ta’lif wa Ta’rib wa al-Nasr, Universitas Kuwait, 2002 22. Al-Naisaburi, Muslim bin Hujaj, Shahîh Muslim, Maktabah Islamiyah, Istanbul 23. Al-Namlah, Ali, al-Istisrâq fi’l Adabiyyât al-Arabiyyah; Ard li’l Nadarât wa Hasr wa Râqiy li’l Kutûb, Markazu’l Malik Faishal li’l Buhûst al-Dirasât al-Islâmiyyah, Riyad, 1993 24. Al-Thabari, Mu’jam al-Kabîr, ditahkik Abdul Majid al-Salafi, al-Maktab al-Islamiy, Beirut, 1982 25. Al-Turmuzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Turmiziy, ditahkik Ibrahim 'Atwah Audh, Mustafa al-Bani, Mesir, 1962M/1382H 26. Al-Umry, Akram Dhiya, Buhûst fi al-Tarîkh al-Sunnah al-Musyrifah, Muasasah alRisâlah, cet. III, t.t. 27. Azami, Muhammad Mustafa, Mudraj al-Nusyul Tudz Muhammaditsm, Syirkah alTiba’âh al-‘Arabiyah, Riyad, 1982 28. _______________________, Studies in Early Hadith Literature, American Trust Publications, Indiana, 1975 29. _______________________, Dirâsât fi al-Hadîs al-Nabawiy, Dar al-Thiba’ah, Riyad, cet. III, 1981 30. Bakar, 'Ala, Madzâhibu al-Fikriyyah fi’l Mîzân, Dâr Aqîdah, 2002 31. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pusataka, Jakarta, edisi III, 2001 32. Fites, Ahmad Samuel, Falsafatu’l Istisrâq wa Atsaruha fi’l Adabi’l Arabiy al-Muâshir, tanpa penerbit, Kairo, t.t.
17
33. Hadi, Abdul Muhdi Abdul Qadir Abdul, Turuq Takhrîj al-Hadîs, Makabatul Imân, Kairo, cet. II, 1986 34. Hambal, Ahmad bin, Musnad, Taswir al-Maktab al-Islamiy, Beirut, t.t 35. Hamidullah, Muhammad, Majmûah al-Watsâiq al-Syiyâsiyah li ‘Ahdi al-Nabiy, Dar Nafais, Beirut, cet. VI, 1987 36. Ibnu Abdul al-Bir, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadluh, Darul Kutub Islamiyah, Kairo, cet. II, 1981 37. Ibnu Abi Hatim, al-Jarkh wa al-Ta’dîl, Darul Ma’arif al-Utsmaniyah, India, cet. I, 1952 38. Ibnu Hibban, al-Shahîh Ibnu Hibban 39. Ibnu Kastir, Bidâyah wa al-Nihâyah, Darul Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cet. III, 1982 40. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqât, ditakhkik Abdul Qadir ‘Atha, Darul Kutub Ilmiyah, cet. I, Beirut, 1989 41. Ibnu Taimiyah, Majmû’ah Fatâwâ, ‘Alamul Kutub, Riyad, 1991 42. Qhurab, Ahmad Abdul Hamid, Rukyatu’l Isâlmiyyah li’l Istisrâq, al-Muntada alIsalâmiy, Bermenham. cet. II, 1411 43. Robson, James, The Isnad in Muslim Tradition, Glas University OR. SOC, t.t 44. Said, Edward, Orientalism, Vintage Books, New York, 1979 45. Sazkin, Fuad, Tarîkh Turâst al-Arabî, alih bahasa Muhammad Fahmi, Riyad,1983 46. Schacth, Joseph, The Origin of Muhammad Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, 1975 47. Siba’i, Mustafa, al-Sunnah wa Makânatuha fi al-Tasrî’ al-Islâmîy, Dar al-Salam, Kairo, cet.III, 2006M/1427H 48. Syaharzawari, Abu Umar bin Abdurahman, Ulûmu’l Hadîts, ditahkik oleh Nuruddin Atar, Dâr Fikr, Syiria, cet. III, 2002
18