JURNALISME SASTRA MBM TEMPO SEBAGAI PRAKTIK ESTETIK DAN POLITIK BAHASA MEDIA PADA PEMBERITAAN KASUS DUGAAN KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT NEGARA KABINET INDONESIA BERSATU
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Akhir Menempuh Gelar Sarjana Pada Jurusan Ilmu Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi
oleh PRIYONO SANTOSA NRP: 2000110193
INSTITUT ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JAKARTA JAKARTA – 2008
ABSTRAK (A) Priyono Santosa (2000110193) (B) Jurnalisme Sastra MBM Tempo Sebagai Praktik Estetik dan Politik Bahasa Media Pada Pemberitaan Kasus Dugaan Korupsi yang Melibatkan Pejabat Negara Kabinet Indonesia Bersatu (Studi Analisis Wacana Kritis) (C) xiv + 284 halaman; 3 Tabel; 2 Bagan; 5 Lampiran; 2008 (D) Kata kunci: Wacana, Estetika, Politik Bahasa Media (E) Tujuan: untuk mengetahui hubungan teks berita (mikro), produksi dan konsumsi teks (meso), dengan konteks sosial (makro) dalam Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Metode Penelitian: Analisis Wacana Kritis dengan instrumen analisis teks ekletif. Hasil Penelitian: Mikro. Praktik estetik dilakukan demi pencapaian efek perlokutif dan joissance kepada pembaca. Praktik politik bahasa media dilakukan dengan bias dan prasangka demi pencapaian efek abrasive kepada pejabat negara yang diberitakan. Meso. Diproduksi secara kolektif dan institusional, serta dikonsumsi oleh khalayak pembaca kelas menengah ke atas di Indonesia, yakni sebagai warisan tradisi dari para pendiri MBM Tempo yang dipertahankan lewat kelas kuliah dan sistem penilaian terhadap wartawan. Makro. Konteks sosial budaya yang mengelilingi MBM Tempo mengarah pada persinggungan sistem pers dengan sistem ekonomi-politik-budaya yang mengacu pada upaya pemberantasan korupsi dan perbaikan demokrasi di Indonesia. Kesimpulan: Praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo –sebagai praktik estetik dan politik bahasa media– pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu merupakan persinggungan antara praktik jurnalisme dengan praktik kesusastraan di media massa sebagai pendekatan kultural dalam mewujudkan demokrasi sejati di Indonesia. Saran: Penulis menyarankan agar MBM Tempo mengurangi upaya status degradation dan character assasination yang mengarah pada prejudicial publicity. Jika hal tersebut menempati porsi yang lebih besar dalam pemberitaan, MBM Tempo dapat terjebak pada trial by the press yang justru akan mencoreng nama MBM Tempo sendiri, serta menimbulkan citra buruk pers dalam partisipasinya memberantas korupsi di Indonesia. (F) Buku: 35 (1983 – 2005), Sumber lain (1988-2008)
KATA PENGANTAR
Ide untuk mengangkat tema penelitian ini datang pada suatu siang di Stasiun KRL Tebet bulan Juni tahun 2005. Ketika itu penulis tengah asyik membaca liputan utama Majalah Tempo yang penulis beli di lapak majalah bekas dalam stasiun tersebut. Namun yang saat itu penulis perhatikan justru bukan pada isi liputan berikut hilangnya jumlah rupiah yang kemudian dipersoalkan, tetapi lebih pada penyajian bentuk tulisan yang digunakan Tempo dalam mengulas berbagai peristiwa. “Ibarat membaca sebuah cerita pendek,” gumam penulis dalam hati siang itu. Terlebih lagi dengan bertaburnya kata, frase, dan kalimat yang terkesan memerhatikan kemerduan bunyi dan cukup puitis, praktik jurnalisme Tempo penulis pandang cukup khas dan berbeda dengan kebanyakan media lain di Indonesia. Penulis yang saat itu juga tengah aktif di gerakan sastra mahasiswa, mulai bertanya pada diri sendiri: Bukankah jurnalisme dengan sastra merupakan dua hal berbeda yang hidup di dua dunia yang berbeda pula? Yang satu menawarkan informasi berguna bagi masyarakat, yang satu lagi menawarkan keindahan tekstual bagi pembacanya? Adakah hal ini berhubungan dengan motto Majalah Tempo sendiri yang berbunyi ‘Enak Dibaca dan Perlu’? “Lalu apa yang sesungguhnya tengah terjadi dalam praktik jurnalisme Tempo? Adakah ini sebuah anomali dalam praktik jurnalisme kita? Atau ini sekadar fenomena baru yang mencerminkan perkembangan mutakhir masyarakat Indonesia?” tanya penulis lebih lanjut. Pertanyaan demi pertanyaan pun muncul bak cendawan di
v
vi
musim hujan, hingga penulis mulai memberanikan diri untuk mengangkat temuan penulis terhadap praktik jurnalisme Tempo tadi menjadi tema skripsi penulis, Meski begitu, bentuk penulisan jurnalisme Tempo yang bergaya sastra tersebut tidak penulis anggap berdiri sendiri. Ia mesti disertakan juga dengan isi liputannya. Maka sejak Juni 2005 itulah penulis mulai mengumpulkan bahan dan sejumlah referensi terkait yang diperlukan dalam menjalankan sebuah penelitian. Setelah hampir tiap minggu selama 2 tahun memelototi halaman demi halaman Majalah Tempo, penulis kemudian mulai berani menentukan topik, membatasi permasalahan pokok, dan menarik rumusan masalah penelitian. Tema yang kemudian penulis pilih untuk dikaji lebih dalam adalah Jurnalisme Sastra Majalah Tempo pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara. Pasalnya tema ini cukup mewakili keingintahuan penulis, menarik dan sepanjang pengetahuan penulis belum pernah diteliti, serta diharapkan beguna dalam memahami perkembangan mutakhir dari praktik jurnalisme di Indonesia. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, atas berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Tanpa sadar pula, begitu banyak pihak baik yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung dalam proses penyelesaian penelitian ini. Maka di kesempatan ini pula penulis hendak mengucapkan kata terima kasih atas bantuan dan dukungan serta bimbingan dari sejumlah nama di bawah ini yang telah memberikan sumbangan, pikiran, tenaga, waktu, dan dukungan semangat serta doa:
vii
1. Terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Sri Marheini dan Agus Santosa, atas kasih dan cintanya di sepanjang jalan kehidupan penulis. 2. Terima kasih kepada Bapak dan Ibu guru penulis di TK Puspitasari, SD 12 Pagi, SMP 117, dan SMU 71 Jakarta Timur yang telah membimbing penulis melewati kanak-kanak hingga remaja dengan nikmatnya ilmu pengetahuan. 3. Terima kasih kepada Rektor IISIP Jakarta, Ir. Maslina W. Hutasuhut, M.M 4. Terima kasih kepada mantan Rektor Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, A.M. Hoeta Soehoet. 5. Terima kasih kepada Dra Hj. Mulharnetti Syas, M.S selaku Ketua Jurusan Jurnalistik. 6. Terima kasih kepada Drs. Moeryanto Ginting Munthe, M.S selaku dosen pembimbing skripsi yang mengajarkan penulis mengenai nilai-nilai ketekunan, ketelitian, keakuratan, kepercayaan, kedewasaan, serta sopan santun dalam kerangka ilmu pengetahuan. 7. Terima kasih kepada dosen Kampus Tercinta, yakni Drs. Nurcahyadi Pelu, Drs. Patar Nababan, Drs. Dadan Iskandar, M.S, Dra. Sri Dewiningsih, M.Si, Dra. Widyastuti, M.S, Drs. Guntoro, M.S, Drs. Intantri Kusmawarni, M.Si, Norman Meoko, Drs. Teguh Tjatur Pramono, M.M yang sempat meluangkan waktunya berdiskusi dan tak lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan penulis. 8. Terima kasih kepada Putri selaku Bagian PSDM MBM Tempo yang memberikan bimbingan semasa penelitian ini dijalankan.
viii
9. Terima kasih kepada Sapto Nugroho selaku Redaktur Bahasa, dan Wenseslaus Manggut selaku Redaktur Desk Nasional MBM Tempo. 10. Terima kasih kepada Sosa dan Wulan Oktaviani yang selalu mengingatkan agar penulis tak lupa pulang ke rumah, serta atas kasih, cinta, dan pengertiannya selama ini. 11. Terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada Vin Vulaize Kumbang yang menyumbangkan ide awal penelitian ini, dan Nosa Normanda di Sastra Inggris UI. Tanpa kau kawan, penelitian ini mungkin tak akan pernah ada. 12. Terima kasih kepada Dayi, Danin, dan Dako atas segala sesuatunya yang hanya bisa penulis ucapkan dengan syukur. 13. Terima kasih kepada kawan-kawan Komunitas RuangMelati, KOMPOSISI, Komunitas Kertas, UKM IISIP Teater Kinasih, UKM IISIP Kampung Seg@rt, Himpunan Mahasiswa Jurnalistik IISIP, Himpunan Mahasiswa HI IISIP, LMND & PRM, Forum Kota, dan Greenpeace INDONESIA. 14. Terima kasih kepada rekan-rekan pers mahasiswa IISIP, yakni Bulettin ISSUE, BUMI, MEDIA 3, ELLEVEN, MIKA, KRITIKKRISIS, PROJECT 17, EDITORIAL KITA, EPICENTRUM, segenap awak redaksi Tabloid KUNCI. 15. Terakhir, terima kasih kepada QP untuk segala yang tak bisa lagi terucapkan kata. Sengaja pula kutaruh namamu di daftar terakhir, karena kuharap kaulah yang bakal jadi ‘yang terakhir’ hingga ujung nafasku nanti.
ix
Akhir kata, penulis berharap agar penelitian sripsi ini selain bermanfaat, juga dapat mengundang lahirnya penelitian-penelitian lain yang mengkaji berbagai fenomena baru dalam praktik jurnalisme di Indonesia. Penulis sadar bahwa penelitian ini pun tak lepas dari kekurangan dan keretakan tekstual yang diidapnya. Tapi tak apa. Sebab selain dijalankan untuk memenuhi syarat akhir menempuh gelar sarjana, penelitian ini bak sebuah karya yang baru menawarkan sebutir pengetahuan tentang secuil saja dari pluralnya ‘kebenaran’.
Jakarta, Februari 2008 Penulis,
Priyono Santosa
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK ....................................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN MAHASISWA ...............................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................
iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................
v
DAFTAR ISI .................................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................
xii
DAFTAR BAGAN ........................................................................................
xiii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. B. Permasalahan Pokok .................................................................... C. Tujuan Penelitian ......................................................................... D. Kegunaan Penelitian .................................................................... E. Sistematika Penelitian ..................................................................
1 14 21 22 22
BAB II KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka .......................................................................... A.1. Media Massa Sebagai Institusi ............................................ A.2. Berita dan Objektivitas ........................................................ A.3. Korupsi ................................................................................ A.4. Jurnalisme Sastra ................................................................. A.5. Estetika dan Politik Bahasa ................................................. A.6. Wacana ................................................................................ B. Operasionalisasi Konsep .............................................................. C. Kerangka Pemikiran ....................................................................
25 25 30 34 40 59 69 78 83
BAB III DESAIN PENELITIAN A. Paradigma Penelitian ................................................................... B. Metode Penelitian ........................................................................ C. Bahan Penelitian dan Unit Analisis ...............................................
84 91 99
xi
D. Populasi dan Sampel .................................................................... E. Metode pengumpulan Data .......................................................... F. Metode Analisis Data ..................................................................
100 104 104
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Subjek Penelitian ......................................................................... 1. Sejarah Singkat ...................................................................... 2. Visi Misi ................................................................................ 3. Susunan Redaksional Organisasi ........................................... 4. Bagan Struktur Organsisasi Redaksi ..................................... 5. Bagan Alur Berita .................................................................. B. Hasil Penelitian ............................................................................ 1. Analisis Teks (Ekletif) ........................................................... 2. Analisis Discourse Practice .................................................. 3. Analisis Sociocultural Practice ............................................... C. Pembahasan .................................................................................
108 108 112 113 115 116 117 117 215 220 235
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................. B. Saran ............................................................................................
250 257
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
258
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..........................................................................
264
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ....................................................................
283
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Company Profile ....................................................................................
264
B. Hasil wawancara dengan Redaktur Bahasa MBM Tempo Sapto Nugroho ........................................................................................
269
C. Hasil wawancara dengan Redaktur Desk Nasional MBM Tempo Wenseslaus Manggut .............................................................................
273
D. Surat Permohonan Penelitian ...............................................................
281
E. Surat Keterangan Penelitian .................................................................
282
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 1. Struktur Organisasi ...............................................................................
115
2. Flow of News ...........................................................................................
116
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Tabel Populasi ........................................................................................
101
2. Tabel Sampel ..........................................................................................
103
3. Tabel Level Analisis Dan Metode Penelitian .......................................
107
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seiring laju globalisasi dunia yang tak terelakkan dewasa ini, kita tengah menyaksikan transisi masyarakat berbasis industri menuju masyarakat berbasis komunikasi. Karenanya, kebutuhan akan media komunikasi massa di tengah-tengah masyarakat abad ini telah menjadi suatu keniscayaan. Tak heran bila perkembangan teknologi komunikasi massa terus dilakukan seiring maraknya industri media massa. Salah satu dampak dari gencarnya perkembangan teknologi komunikasi massa dan ketatnya persaingan industri media massa, adalah kecepatan menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Masing-masing media massa berlomba menjadi yang tercepat dan terdepan dalam hal menyiarkan hasil liputannya. Hampir setiap jam masyarakat disuguhi sajian breaking news berisi peristiwa aktual yang disiarkan berbagai media massa elektronik seperti radio, televisi, dan internet. Tentu saja dalam hal kecepatan menyampaikan informasi, media elektronik jelas lebih unggul dibandingkan media cetak seperti surat kabar dan majalah. Namun alih-alih memburu keaktualitasan, praktik jurnalisme yang demikian justru membuat hasil informasi liputannya menjadi selintas dan tidak mendalam. Padahal masyarakat juga mengalami perkembangan kritis dalam memandang realitas di sekitarnya. Walhasil, kompleksitas masyarakat yang demikian, membutuhkan sajian jurnalisme yang tak lagi sekedar informatif, aktual, cepat dan selintas.
1
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
2
Sejalan dengan perubahan tersebut, Nurudin mengungkapkan pentingnya perubahan orientasi media: Media massa hendaknya tak sekedar memberitakan peristiwa semata. Namun juga harus bisa mengevaluasi dan menganalisis setiap kejadian lewat keahlian wartawan mengintepretasikan pesan dan fakta-fakta dari lapangan. Media massa juga harus mampu memberikan data pendukung yang berguna untuk melakukan intepretatif pesan.1 Dari sini tergambarlah tuntutan yang ditujukan kepada institusi media massa sebagai pelayan informasi publik. Media massa menghadapi tantangan untuk menyiarkan produk jurnalismenya yang berlandaskan evaluasi, analisis, dan intepretatif kepada masyarakat. Yakni sebuah pemberitaan mendalam dan menyeluruh atas fakta peristiwa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Berbeda dengan media elektronik yang cenderung memburu aktualitas dan kecepatan menyiarkan berita, praktik jurnalisme di media cetak memiliki tenggat waktu lebih panjang. Media cetak, seperti suratkabar dan majalah, menjadi lahan yang tepat bagi praktik jurnalisme yang memungkinkan evaluasi, analisis, dan intepretatif atas fakta peristiwa. Disinilah keunggulan media cetak bisa ditempatkan. Tidak hanya memuat berita lempang, media cetak juga menerapkan ragam penulisan berita mendalam dan berita selidik, serta penulisan feature dan ragam produk jurnalisme lainnya. Ragam penulisan berita yang mendalam dan menyeluruh dengan mengembangkan intepretasi wartawan atas kaitan antar fakta, menjadi sejalan
1
Nurudin, Komunikasi Massa, Cesper, Yogyakarta, 2003, hal.93
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
3
dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang kian haus dan melek informasi. Akhirnya timbul fenomena lain yang terjadi di kalangan pelaku media itu sendiri. Lebih jelasnya, Eni Setiati mengungkapkan fenomena jurnalistik di atas dengan mencermati kondisi pers di Amerika tahun 1960-an sebagai berikut: ”Muncul kebosanan para wartawan senior di Amerika terhadap standar baku dalam melakukan tugas peliputan dan penulisan berita. Kebosanan itu juga melanda terkait tata kerja jurnalisme lama yang dianggap kaku dan membatasi ruang gerak wartawan, teknik penulisan, dan bentuk pelaporan berita.”2 Adapun fenomena ini mencerminkan perubahan dalam praktik jurnalisme yang diterapkan di media cetak. Ritme kerja wartawan menghadapi rutinitas redaksional media tempatnya bekerja, dirasakan kian monoton. Standar teknik penulisan dan bentuk pemberitaan yang baku seakan tidak mampu lagi mengakomodasikan semangat kerja wartawan. Padahal untuk menyajikan berita yang menarik, dibutuhkan ruang gerak yang lebih luas lagi bagi kepekaan wartawan dalam menggali informasi. Sehingga penyajian fakta peristiwa oleh wartawan membutuhkan pengembangan gaya serta teknik penulisan jurnalisme yang berbeda dari yang sudah ada. Septiawan Santana Kurnia mengungkapkan bahwa para wartawan Amerika di masa itulah yang pertama kali mendobrak kaidah jurnalisme lama. “Mereka tidak lagi hanya mencatat peristiwa sesuai fakta, lalu memuatnya di media massa. Mereka 2
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005, hal.43
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
4
justru menjadi perintis dalam melakukan inovasi dalam bentuk tulisan, penyajian, serta teknik liputan lebih mendalam dan menyeluruh.”3 Inovasi inilah yang kemudian menemukan bentuknya sebagai penulisan laporan jurnalisme dengan menggunakan elemen dan teknik penulisan karya sastra. Upaya pengadopsian gaya sastra dalam realitas pers Amerika tahun 1960-an menjadi motor penggerak pembaruan jurnalisme. Ketika kebaruan hendak ditancapkan oleh para jurnalis, sastra dipilih sebagai bentuk awal penolakan mereka terhadap jurnalisme lama. Kurnia sendiri berasumsi demikian, “Jurnalis Amerika waktu itu memang mendekati sastra karena dipojokkan oleh dua hal. Pertama: bentuk dan gaya penulisan novel yang tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua: keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.”4 Sejalan dengan asumsi di atas, Tom Wolfe menambahkannya dengan mengungkapkan pengaruh sastra pada perkembangan media cetak di Amerika Serikat yang saat itu sedang mengalami stagnasi: Para mahasiswa jurnalistik saat itu tidak hanya bermimpi setelah lulus menjadi wartawan dan terus-menerus mencari berita-berita gempar. Mimpi mereka dibumbui dengan mimpi menjadi novelis, melalui dunia surat kabar sebagai batu loncatan untuk menulis novel-novel bergengsi. Impian seperti itu tidak hanya dimiliki mahasiswa macam mereka. Di luar kalangan mereka, jutaan orang Amerika juga bermimpi sama: menulis novel.5 3
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal.7 4
Ibid., hal.18
5
Ibid., hal.25
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
5
Bisa disimak bahwa pengadopsian sastra sebagai bentuk awal pembaruan jurnalisme di Amerika, terjadi karena kepopuleran sastra di tengah-tengah masyarakat Amerika saat itu. Mencermati perkembangan kesusastraan dunia, sejak tahun 1950 telah ramai digelar lomba penulisan novel di berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat. Demam novel menjamur dengan bermunculan pula komunitas-komunitas sastra. Yang terjadi kemudian adalah anggapan umum tentang kepopuleran penulis novel bahkan melebihi gengsi seorang wartawan. Maka tak heran bila dalam kondisi demikian, sastra menjadi hal yang berpengaruh pada perkembangan dunia jurnalisme, khususnya pada penulisan laporan jurnalisme. Hal ini diungkapkan Wolfe: Di awal tahun 1960-an, demam novel memunculkan temuan-temuan baru dalam penulisan jurnalisme. Gaya penyajiannya kemudian mencairkan batasbatas penulisan feature sebagai mana disyaratkan dan dikembangkan oleh para jurnalis. Karya jurnalis telah menjadi bacaan mirip novel.. yang mencampurkan kekuatan novel ke dalam gaya menulis Jurnalisme Sastra yang (sebagai tulisan non-fiksi) tidak kalah mutunya dibandingkan sebuah novel sastra.6
Sejak saat itulah masyarakat mengenal apa yang kemudian disebut sebagai Jurnalisme Sastra. Kalaupun unsur pemakaian gaya bahasa sastra memang sudah terlihat pada bentuk penulisan feature, maka Jurnalisme Sastra mengembangkannya lebih lanjut lewat gaya bahasa, elemen dan teknik penulisan karya sastra. Robert Vare, wartawan The New Yorker sekaligus pengajar di Universitas Havard, kemudian merumuskan prinsip Jurnalisme Sastra. Prinsip utama yang
6
Ibid., hal.33
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
6
diungkapkan Vare adalah fakta. “Jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar ‘sastra’, tapi ia tetap jurnalisme. Setiap detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Merah disebut merah. Hitam hitam. Biru biru.”7 Dipandang dari penggunaan bahasa, gaya bahasa Jurnalisme Sastra berkembang lebih luwes menjadi bahasa yang kaya sajian kreasi kata-kata yang mampu merekam emosi suasana dengan tetap mempertahankan kesucian fakta. Sehingga fakta yang disajikannya seakan menjadi begitu hidup. Ditambah lagi, penggunaan gaya bahasa sastra dapat memberikan penekanan tertentu terhadap suatu peristiwa, sekaligus juga mempengaruhi cara pembaca memandang peristiwa yang disajikan. Jurnalisme Sastra memang bukan sekedar penulisan laporan faktual dengan bahasa puitis atau estetis. Lebih dari itu, Jurnalisme Sastra merupakan ruang di mana segenap dimensi estetik sastra menyusup ke dalam penulisan laporan jurnalisme. Segenap dimensi estetik tersebut dapat dilihat dari wujudnya, yakni berupa penggunaan gaya bahasa, elemen-elemen, dan teknik penulisan yang lazim dijumpai dalam sebuah karya sastra semisal cerita pendek, novel, bahkan puisi. Tak pelak lagi, rumusan baku 5W+1H pun mengalami pengembangan. Yakni Who berkembang menjadi karakter, What menjadi alur, Where menjadi latar (setting), When menjadi kronologi pengadegan, Why menjadi motif, dan How menjadi narasi. 7
Adreas Harsono & Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005, hal.xii-xiii
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
7
Memandang Jurnalisme sastra sebagai praktik produksi berita, Andreas Harsono berpendapat bahwa Jurnalisme Sastra lebih dalam dari berita pendalaman; “Jurnalisme Sastra bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa, tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik.”8 Maka tak heran bila Wolfe mengungkapkan unsur penting yang juga terdapat pada proses penyajiannya ialah “waktu riset dan wawancara biasanya panjang sekali, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam.”9 Riset
dan
wawancara
yang
berbulan-bulan,
bahkan
bertahun-tahun,
mencerminkan bahwa Jurnalisme Sastra sebagai proses peliputan berita dengan agenda perencanaan tertentu. Praktik jurnalisme demikian dilakukan memang demi menghasilkan pemberitaan yang dalam dan menyeluruh. Mengacu pada berbagai uraian di atas, tak bisa dipungkiri bahwa Jurnalisme Sastra merupakan salah satu bentuk praktik jurnalisme yang sejalan dengan tuntutan zaman, agar institusi media cetak dapat menyajikan berita yang mendalam sekaligus menarik. Jurnalisme Sastra juga dapat menjadi solusi bagi kemandegan yang dialami media cetak, sehingga ia mampu bersaing dengan industri media dan perkembangan media elektronik.
8
Andreas Harsono & Budi Setiyono, Op.Cit., hal.vii
9
Jurnalisme Sastra, 1 September 2001, www.koranduta.com.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
8
Seiring hadirnya Jurnalisme Sastra, inovasi juga dilakukan dalam berbagai bentuk kreativitas jurnalisme yang berkembang saat itu. Adalah Fred Fedler, seorang komunikolog, yang mencatat fenomena ini untuk kemudian disebutnya sebagai Jurnalisme Baru (The New Journalism). Oleh Fedler, Jurnalisme Baru tersebut dibagi empat macam, ”yakni Jurnalisme Advokasi/ Advocacy Journalism, Jurnalisme Alternatif/ Alternative Journalism, Jurnalisme Presisi/ Precision Journalism, dan Jurnalisme Sastra/ Literary Journalism.”10 Dengan menyoroti perspektif pers dari sisi perkembangan media, temuan Fedler ini menjadi dasar pengembangan jurnalistik yang dilakukan masyarakat pers di Amerika. Secara menyeluruh pula, Fedler merangkum berbagai gejala yang merupakan hasil dialektika pers Amerika dengan perkembangan masyarakatnya. Dan sejak kelahirannya di tahun 1960-an, keempat bentuk Jurnalisme Baru tersebut kemudian banyak diterapkan di berbagai media cetak Amerika, antara lain Majalah Time, Majalah Newsweek, harian The New York Times, dan harian The Washington Post. Di Indonesia sendiri, Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo juga disebut oleh banyak pakar sebagai media yang menerapkan Jurnalisme Baru di Indonesia. Mantan Dewan Pers Atmakusuhah Asraatmadja mengungkapkan, “Tempo, dengan teknik penyajian laporan yang mirip majalah Time dan Newsweek, memberi
10
Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.8
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
9
kesegaran dalam gaya penulisan yang di Indonesia boleh disebut sebagai bentuk jurnalisme baru.”11 Seperti yang juga dikemukakan Umar Nur Zain, MBM Tempo adalah salah satu media cetak di Indonesia yang menerapkan bentuk Jurnalisme Baru lewat sajian feature berita di tiap edisi terbitannya. “Tempo sudah menemukan pola penyajian khusus, yaitu news feature yang kemudian dicirikan sebagai new journalism… perpaduan antara jurnalistik dan sastra.”12 Lebih spesifik lagi, Kurnia mengungkapkan, ”Di Indonesia, majalah berita Tempo adalah yang pertama menyoal gaya penyajian sastra dalam penulisan jurnalisme. Pada tahun 1970-an, majalah ini tampil menyegarkan dunia jurnalistik di Indonesia.”13 Bahkan Goenawan Mohamad, selaku pendiri dan mantan pemimpin redaksi MBM Tempo, mengaku bahwa awalnya ia tertarik pada gaya penulisan Majalah Time. Dalam salah satu wawancara, ia mengungkapkan: Dalam hati muncul pertanyaan, mengapa bahasa Indonesia tak menjadi seperti bahasa Inggris di Majalah Time? Saya, misalnya, menyarankan, kalau mau bikin majalah kenapa tak mencoba bentuk yang selama ini belum dicoba di Indonesia? Mengapa tidak mencoba mingguan berita model Time dan Newsweek di Amerika
11
Ibid., hal.171
12
Umar Nur Zain, Penulisan Feature, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993,
13
Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.171
hal.109
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
10
Serikat yang dipakai L’Expree di Perancis, Der Spiegel di Jerman Barat, atau Elsevier di Belanda?14 Maka dari keterangan beberapa sumber di atas, tidaklah berlebihan bila secara asumtif penulis menemukan praktik Jurnalisme Baru, khususnya praktik penulisan jurnalisme yang dipadukan dengan sastra di MBM Tempo. Teks pemberitaan MBM Tempo kerap disajikan dengan kandungan dimensi estetik yang lazim dijumpai dalam sebuah karya sastra, yaitu antara lain adalah penggunaan gaya bahasa puitis, penggambaran latar, penempatan alur, karakter tokoh, drama, dan konflik. Dalam penelitian ini, penulis memang tidak hendak membuktikan secara kuantitatif apakah Jurnalisme Sastra yang diterapkan MBM Tempo sesuai dengan dengan kategori dan memenuhi prinsip-prinsip yang ada sebuah karya Jurnalisme Sastra. Sebab bila mengacu pada prinsip-prinsip Jurnalisme Sastra yang berkembang di Amerika tersebut, penulis memandang bahwa MBM Tempo mengadopsikan prinsip-prinsip tersebut untuk kemudian mengembangkan Jurnalisme Sastra versi Tempo sendiri. Sebagai sebuah majalah yang diawaki oleh beberapa sastrawan dan seniman Indonesia semisal Goenawan Mohamad, Putu Wijaya, Bur Rusuanto, Syu’bah Asa, MBM Tempo menjadi media yang tepat untuk mengembangkan perpaduan teknik penulisan jurnalisme dengan sastra. Didirikan setelah kejatuhan rezim Presiden Soekarno di Indonesia, MBM Tempo edisi perdana terbit tahun 1971. Dengan
14
Coen Husain Pontoh, Konflik Nan Tak Kunjung Padam, dalam Andreas Harsono & Budi Setiyono, Op.Cit. hal.117
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
11
menurunkan liputan utama mengenai kecelakaan yang pemain badminton andalan Indonesia di Asian Games Bangkok, Thailand, judul berita tersebut Bunyi ‘Kraak’ Dalam Tragedi Minarni. Coen Husain Pontoh lalu berkomentar bahwa judul yang digunakan MBM Tempo tak lazim saat itu. “Judul itu dianggap segar dan renyah sehingga menimbulkan minat baca.”15 Namun berbeda dengan situasi yang melatarbelakangi pers di Amerika, penerapan Jurnalisme Sastra sebagai inovasi dalam teknik pemberitaan di MBM Tempo dan media lain di Indonesia muncul saat kebebasan pers tengah dikekang rezim Orde Baru. Pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) membuat pemerintah leluasa mengintervensi pers yang dianggap mengkritik pemerintah. Karenanya, pemberitaan pers harus sejalan dengan garis politik yang ditetapkan pemerintah. Sehingga praktik jurnalisme yang diterapkan media mesti berkompromi dengan ancaman pembreidelan oleh pemerintah. Menyoal praktik jurnalisme yang diterapkan di Tempo, Rosihan Anwar mengutip pernyataan Fikri Jufri selaku dewan redaksi MBM Tempo saat itu: Bahwa untuk bisa selamat, maka gaya bahasa harus sopan dan tidak menyinggung perasaan. Pers harus berani ambil risiko, tetapi harus meghindarkan risiko yang sebenarnya tidak perlu. Bukan ukuran berapa kali kita masuk bui; tetapi how to play, bagaimana bermain. Bagaimana menulis kritik tanpa menyakiti hati orang, walaupun tetap mengemukakan fakta. Kalau tak bisa fakta, minimal indikasi kuat. Jadi bagaimana kita menjahit dan menyuguhkan hasil jahitan kita dengan baik.16 15 16
Ibid., hal.114
Rosihan Anwar, Menulis Dalam Air, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hal.260
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
12
Pontoh menanggapi bahwa pemakaian bahasa menjadi jurus MBM Tempo untuk menghindari benturan dan tindakan langsung dari negara. Yakni dengan cara ”seluruh fakta dan informasi yang diperoleh Tempo dibungkus dengan kalimat yang indah, penuh kesantunan.”17 Di titik inilah penulis menemui bahwa dimensi estetik yang diadopsi MBM Tempo dalam pemberitaannya, merupakan suatu cara menarik minat pembaca, sekaligus sebagai siasat tertentu dalam menghindari represivitas pemerintah Orde Baru. Lebih lanjut mengenai penggunaan bahasa sebagai lambang komunikasi dalam media massa, Alex Sobur mengatakan bahwa ”bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menggambarkan realitas, namun juga menentukan gambaran atau citra tertentu yang hendak ditanamkan kepada publik.”18 Penggunaan bahasa dalam media juga ditanggapi Dedy N. Hidayat bahwa pemanfaatan bahasa untuk tujuan-tujuan mengkonstruksi dan melegitimasi suatu realitas sosial tersebut antara lain bisa diamati dalam wacana media (media discourse). Ia kemudian melanjutkan; Media massa merupakan salah satu arena sosial tempat berbagai kelompok sosial –masing-masing dengan politik bahasa yang mereka kembangkan sendiri– berusaha menampilkan definisi situasi, atau definisi relitas versi mereka yang
17 18
Coen Husain Pontoh, Op.Cit., hal.131
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal.89
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
13
paling sahih. Itu antara lain dilakukan melalui politik bahasa yang dikembangkan oleh masing-masing kelompok sosial yang terlibat.19 Dari penjelasan tersebut, penulis memandang Jurnalisme Sastra versi Tempo berlaku tak hanya sebagai inovasi penyajian berita lewat pengadopsian dimensi estetik demi menarik minat pembaca, namun juga sebagai praktik penggunaan bahasa yang berdimensi politis dalam mendefinisikan realitas serta mempengaruhi pembaca dalam memandang suatu realitas tertentu. Ketika Jurnalisme Sastra ini diterapkan di MBM Tempo saat itu, maka ia bisa dipandang sebagai praktik estetik dan politik bahasa media yang digunakan untuk mensiasati represivitas kekuasaan rezim Orde Baru. Namun setelah rezim Orde baru tumbang, situasi politik dan dunia pers di Indonesia kini telah berubah. Pers tak lagi dikekang dan SIUPP tak lagi diberlakukan. Pers dan segenap institusi masyarakat seakan turut berpartisipasi menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) di Indonesia. Sementara di sisi lain, kebebasan pers yang terjadi saat ini telah merangsang hadirnya media baru yang beragam dan saling bersaing merebut pangsa pasar. Situasi demikian ditanggapi Totok Djuroto yang mengatakan, ”itu sebabnya, akhir abad 20,
19
Dedy N. Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru, artikel dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999, hal.48-49
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
14
dunia pers nasional kita mengenal sebutan industrialisasi pers. Maksudnya, pers yang dikelola secara industri dengan perhitungan profit oriented.”20 Lewat penelitian inilah muncul minat penulis untuk meneliti lebih jauh bagaimana praktik Jurnalisme Sastra versi Tempo –sebagai praktik estetik dan politik bahasa media– diterapkan dalam situasi politik dan dunia pers Indonesia saat ini.
B. Permasalahan Pokok Secara asumtif, praktik Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa media tersebut penulis temui pada teks berita MBM Tempo. Teks pemberitaan MBM Tempo kerap disajikan dengan kandungan dimensi estetik yang lazim dijumpai dalam sebuah karya sastra, yaitu antara lain adalah penggunaan gaya bahasa puitis, penggambaran latar, penempatan alur, karakter tokoh, drama, dan konflik. Dari pengamatan penulis, hampir di setiap terbitan edisi MBM Tempo memuat pemberitaan seputar kasus dugaan korupsi di Indonesia dari proses penyidikan kepolisian hingga keputusan pengadilan diumumkan. Pemberitaan mengenai kasus dugaan korupsi –khususnya yang melibatkan pejabat negara– selalu mendapat porsi strategis di MBM Tempo. Praktik wacana yang dibangun MBM Tempo seakan ikut mendukung gerakan pemberantasan korupsi-kolusi-nepotisme yang bergaung khususnya setelah rezim Orde Baru tumbang pada Mei 1998.
20
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal.4
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
15
Yang membuat penelitian ini penting adalah, penulis menemukan bias dalam berbagai pemberitaan tersebut. MBM Tempo cenderung berlaku tidak adil dan memarjinalkan posisi pejabat yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi tersebut. Seakan-akan, pejabat tersebut tidak hanya terlibat secara kebetulan, tetapi juga terindikasi kuat sebagai salah satu pelaku korupsi, meski kasus tersebut baru bersifat dugaan. Salah satu pemberitaan MBM Tempo yang penulis simak adalah kasus dugaan korupsi pengadaan segel amplop kertas suara Pemilu Presiden 2004. Pemberitaan ini menjadi menarik karena kasus tersebut melibatkan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin sebagai pihak yang diduga paling bertanggungjawab atas kasus ini. Belakangan ini, muncul pula pemberitaan mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra terkait dengan pengadaan alat pemindai sidik jari di Departemen Hukum dan HAM. Adapun kedua menteri tersebut merupakan pejabat negara yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu di bawah kepemimpinan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Kedua pemberitaan tersebut seakan masih meninggalkan banyak pertanyaan akan kelanjutan dan bagaimana akhir dari kasus tersebut. MBM Tempo sendiri tampaknya masih tetap memantau perkembangan terbaru dari kasus ini. Penulis sendiri memilih untuk mengetengahkan analisis pada pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara, dengan alasan bahwa kasus tersebut melibatkan konflik kepentingan hukum-
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
16
ekonomi-politik pemerintah Indonesia dengan banyak pihak. Kasus ini juga mencerminkan wacana multi dimensional terkait dengan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia di mana korupsi telah menjadi penyakit masyarakat. Tak heran bila banyak dari kasus tersebut yang tidak mudah terselesaikan secara hukum dan seakan menjadi borok yang kian meluas di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Dan yang menjadi alasan mengapa penelitian ini penting dilakukan, ialah karena wacana kasus dugaan korupsi yang dilakukan pejabat atau mantan pejabat tengah menjadi wacana aktual yang marak di pemberitaan media massa dalam negeri saat ini. Mengkritisi praktik pemberitaan di media lewat analisis teks berita, dapat dikaji lebih mendalam lewat paradigma kritis. Artinya, teks berita yang diproduksi wartawan tak bisa dilepaskan dari kepentingan ideologis dan komersial (bisnis) media cetak tersebut. Dalam kata lain, untuk sampai kepada relasi kekuasaan dan ideologi media lewat praktik politik bahasa, wartawan di sini mesti dipandang sebagai bagian dari media yang tidak dengan sendirinya bebas mengkonstruksikan dan menafsirkan realitas. Eriyanto mengungkapkan hal ini sebagai kajian analisis teks media dalam paradigma kritis: Paradigma kritis memahami realitas bukan dibentuk oleh alam (nature), bukan alami, tetapi dibentuk oleh manusia. Ini tidak berarti setiap orang membentuk realitasnya sendiri-sendiri, tetapi orang yang berada dalam kelompok dominanlah yang menciptakan realitas, dengan memanipulasi, mengkondisikan orang lain agar mempunyai penafsiran dan pemaknaan seperti yang mereka inginkan.21
21
hal.54-55
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, 2001,
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
17
Maka dengan bersandar pada paradigma kritis, praktik Jurnalisme Sastra di MBM Tempo membuat penulis tertarik untuk mengkajinya lebih lanjut lewat kajian studi analisis teks media dengan pendekatan kualitatif. Dengan mengacu pada penjelasan Eriyanto bahwa “analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai bahasa atau pemakaian bahasa.”22, untuk itu metode penelitian yang penulis gunakan adalah analisis wacana kritis. Pada umumnya, studi analisis wacana kritis memang kerap digunakan untuk membedah isi media. Dalam pengertian ini, wacana dipandang sebagai suatu alat representasi di mana suatu kelompok yang dominan memarjinalkan posisi kelompok yang tidak dominan dan teks berita adalah bentuk nyata dari dominasi tersebut. Tak heran bila penelitian-penelitian analisis wacana kritis umumnya berhubungan dengan bagaimana media memarjinalkan kelompok lemah, kaum perempuan, dan sebagainya. Namun
Eriyanto
sendiri
mengakui
bahwa
hal
tersebut
terlalu
menyederhanakan karakteristik analisis wacana yang sejatinya memang beragam dan multi disiplin. Dalam studi analisis teks yang berkaitan dengan sastra, Eriyanto kemudian menunjukkan kritik Ahmad Sahal mengenai kecenderungan cultural studies yang menyingkirkan estetika. Dalam kata lain, penelitian cultural studies seperti dalam model analisis wacana kritis, lebih tertarik dengan perdebatan mengenai bagaimana sastra merepresentasikan dan memarjinalkan kelompok yang tidak
22
Ibid., hal.4
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
18
dominan, ketimbang menggali dimensi estetika dalam sastra itu sendiri: Eriyanto mengatakan: Bahasa sastra dimaknai selalu dalam konteks pertarungan dan perebutan makna, bukan bahasa dalam unsur sastra sendiri yang mengandung keindahan, keterkejutan, dan elemen sastra lainnya. Kritik Sahal pada cultural studies ketika melihat teks sastra, dapat juga kita berikan bagaimana analisis dan teori wacana melihat berita.23 Sahal sendiri mengatakan bahwa dalam membaca sastra, cultural studies tidak tertarik untuk mendapatkan jouissance, suatu kenikmatan tekstual yang muncul karena kemelimpahan makna dan eksplorasi bentuk, juga ketakterdugaan metafor dan imaji yang lazimnya disediakan oleh teks sastra. Karena pembacaan mereka terhadap sastra selalu bersifat "politis", dalam artian hanya melihat karya sastra sebagai representasi sosial. Dalam representasi, selalu ada suara dominan dan suara tertekan. Agenda politik disini berarti melucuti suara dominan dan memberdayakan suara tertekan. Sahal kemudian berkesimpulan demikian: Inilah yang menjelaskan kenapa kalangan cultural studies mengkaji dan membaca sastra, tetapi sesungguhnya mengabaikan sastra. Mereka bersikap demikian karena, disadari atau tidak, mereka tidak peduli pada estetika. Bukankah mereka berpendapat bahwa keindahan dalam karya sastra adalah cita rasa dan selera kelas tertentu yang dianggap sebagai nilai yang "obyektif" dan universal? Dengan kata lain, suatu konstruksi sosial? Tidak heran kalau bagi mereka, sastra hanyalah dokumen sosial yang setara dengan ikon-ikon budaya massa.
23
Ibid., hal.353
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
19
Tidak aneh dalam menghadapi karya, mereka lebih tertarik pada pesan politiknya ketimbang sastranya.24
Adapun kritik Sahal tersebut menjadi perhatian tersediri bagi penulis, sebab penelitian ini pun terkait dengan kajian dimensi estetika sastra yang dimaksudkan Sahal. Karenanya, dalam penelitian ini penulis coba menjawab kritik di atas dengan menggunakan kekayaan metode analisis wacana sebagai pisau analisis untuk mengkaji secara khusus bagaimana praktik Jurnalisme Sastra –berikut pengadopsian segenap dimensi estetik sastra dalam jurnalisme– digunakan dalam pemberitaan media. Meski begitu harus diakui, penelitian ini pun tak mungkin lepas dari kajian dimensi politis. Maka jelas bahwa fokus penelitian di sini tidak hanya berkutat pada bagaimana praktik media lewat politik bahasa yang dikembangkannya turut memarjinalkan kelompok lain secara hegemonik. Tetapi juga pada bagaimana pengadopsian dimensi estetik sastra menyusup dalam pemberitaan. Dengan menyimak hubungan antara teks berita yang mikro dengan konteks sosial yang makro sebagai tingkat analisis, penulis juga menjembatani kedua variabel tersebut dengan tingkat analisis meso, yaitu pada proses produksi dan konsumsi teks. Penelitian ini penulis lakukan dengan semangat kajian yang menitikberatkan pada esensi praktik Jurnalisme Sastra itu sendiri sebagai perkembangan dari praktik 24
Ahmad Sahal, "Cultural Studies" dan Tersingkirnya Estetika, artikel dalam Harian Kompas Jumat, 2 Juni 2000
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
20
jurnalisme kontemporer. Sebab meskipun penelitian tentang media massa dalam ilmu komunikasi telah kian berkembang di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta, penulis merasakan perlunya penelitian yang berbasiskan pada bagaimana ragam penulisan berita dan praktik jurnalisme berkembang di Indonesia dewasa ini. Maka dari seluruh uraian latar belakang tersebut, timbul pertanyaan dalam diri penulis sebagai berikut: 1. Bagaimana dimensi estetik dan politik bahasa dari teks pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu? 2. Bagaimana Jurnalisme Sastra digunakan sebagai praktik pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu? 3. Bagaimana Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa terjadi secara historis maupun institusional di MBM Tempo terkait pada pemberitaan mengenai kasus dugaan korupsi tersebut? 4. Bagaimana konteks sosial budaya –seperti ideologi, hegemoni, dan interaksi kekuatan sosial lainnya– yang mengelilingi MBM Tempo terkait dengan praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi tersebut? 5. Bagaimana Jurnalisme Sastra itu sendiri berkembang di MBM Tempo saat ini?
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
21
Maka penulis mengajukan rumusan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana praktik Jurnalisme Sastra Majalah Berita Mingguan Tempo –sebagai praktik estetik dan politik bahasa media– pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu?” Untuk itu, judul penelitian ini adalah: JURNALISME
SASTRA
MBM
TEMPO
SEBAGAI
PRAKTIK
ESTETIK DAN POLITIK BAHASA MEDIA PADA PEMBERITAAN KASUS DUGAAN KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT NEGARA KABINET INDONESIA BERSATU (STUDI ANALISIS WACANA KRITIS)
C. Tujuan Penelitian Secara teoritis, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso, dengan konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Penelitian ini juga dilakukan sebagai usaha praktis yang bertujuan menggali esensi praktik Jurnalisme Sastra sebagai perkembangan dari praktik jurnalisme kontemporer, yakni penelitian yang berbasiskan pada bagaimana ragam penulisan berita dan praktik jurnalisme berkembang di Indonesia dewasa ini.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
22
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan teoritis: Penelitian ini berguna dalam mengembangkan model analisis teks media yang berlandaskan pada teori wacana dan teori estetik lewat studi analisis wacana dalam paradigma kritis. Kegunaan praktis: Penelitian ini berguna untuk memberi masukan media cetak pada umumnya, dan MBM Tempo pada khususnya terhadap praktik Jurnalisme Sastra yang mereka kembangkan agar mampu membawa wawasan khalayak pembaca sebagai individu partisipan politik yang kritis terhadap fenomena korupsi di Indonesia. Kegunaan penelitian ini juga sebagai perkembangan ilmu komunikasi, khususnya perkembangan mutakhir pada praktik jurnalisme kontemporer di Indonesia. Sebab kehadiran Jurnalisme Baru (khususnya Jurnalisme Sastra) dan penerapannya di kancah pers negeri ini masih berada pada fase awal. Serta diharapkan dapat merangsang mahasiswa Jurusan Jurnalistik lain untuk mendalami, sekaligus mengkritisi berbagai perkembangan praktik jurnalisme di Indonesia.
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, penjelasannya sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari Latar Belakang Masalah yang berisi uraian mengenai permasalahan yang hendak diketengahkan lewat penjelasan historis praktik Jurnalisme Sastra di Amerika Serikat dan di Indonesia; Permasalahan Pokok
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
23
berisi alasan memilih media dan wacana pemberitaan, disertai uraian singkat mengenai paradigma dan metode yang akan digunakan dalam penelitian; Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian baik secara teoritis maupun praktis; dan Sistematika Penulisan berisi penjelasan sistematis mengenai hal-hal apa saja yang dituangkan dalam penelitian ini. BAB II KERANGKA TEORI, terdiri dari Tinjauan Pustaka yang berisi uraian konsep yang digunakan dalam penelitian ini seperti, serta penjelasan mengenai wacana dalam teori dan metode analisisnya; Definisi Operasional berisi penjelasan definisi yang menjadi operasionalisasi dalam penelitian ini; dan Kerangka Pemikiran berupa bagan penelitian sebagai penjelasan menyeluruh atas isi dari bab ini. BAB III DESAIN PENELITIAN, terdiri dari uraian Paradigma Penelitian; yakni paradigma kritis; Metode Penelitian yang bersifat kualitatif dengan model penelitian Analisis Wacana Kritis; Bahan Penelitian yaitu teks berita yang akan diteliti menggunakan metode analisis wacana kritis, dan Unit Analisis yang disesuaikan dengan model penelitian yang dipakai; Populasi dan Sampel; Metode Pengumpulan Data dengan melakukan analisis teks berita, melakukan wawancara, dan observasi, serta studi kepustakaan sebaagi referensi; dan Metode Analisis Data disesuaikan dengan metode dan model yang digunakan dalam penelitian. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, terdiri dari Subjek Penelitian yang berisi; Hasil Penelitian yang berisi hasil penelitian dari tiga tingkat analisis mikro, meso, dan makro; dan Pembahasan yang berisi pembahasan dari hasil penelitian.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
24
BAB V PENUTUP, terdiri dari Kesimpulan yang berisi uraian kesimpulan penulis mengenai keseluruhan isi dari penelitian ini; dan Saran sebagai rekomendasi kepada MBM Tempo terkait dengan hasil penelitian yang dilakukan penulis.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
BAB II KERANGKA TEORI
A. Tinjauan Pustaka Berangkat dari rumusan masalah penelitian yang telah penulis ungkapkan, maka bab ini akan mengurai konsep-konsep terkait dengan masalah pokok, khususnya sebagai tinjauan pustaka dengan bersandar pada paradigma kritis.
A.1. Media Massa Sebagai Institusi Secara etimologi, kata ‘media’ adalah bentuk jamak dari kata ‘medium’. Media massa, dalam kaitan dengan proses komunikasi diungkapkan Onong Uchjana Effendy sebagai berikut: Apabila komunikan dapat dilihat, komunikasi berlangsung secara tatap muka, apakah itu komunikasi antarpribadi atau komunikasi kelompok kecil, sedangkan jika komunikan jauh tempatnya atau banyak jumlahnya atau jauh tempatnya dan banyak jumlahnya, komunikasi berlangsung bermedia, dengan media nirmassa atau media massa.”1 Dari pendapat Effendy di atas, jelas artinya bahwa media massa yang dimaksudkan adalah alat komunikasi yang berwujud sebagai penyampai pesan kepada khalayak luas. Ray E. Hiebert dalam buku Mass Media an Introduction to Modern Communication, seperti yang dikutip Surya Fachrizal, mengatakan “The mass media
1
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, & Filsafat Komunikasi, Penerbit CV Bandar Maju, Bandung, 1993, hal 397
25
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
26
are institution of public communication. They participate in every political, economic, and cultural aspect of our society.”2 Terjemahan bebasnya yakni, media massa adalah institusi komunikasi publik. Media massa berpartisipasi dalam aspek politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam masyarakatnya. Penjelasan di atas membawa penulis pada pemahaman bahwa media massa – sebagai sebuah institusi komunikasi publik– juga bergelut dalam permasalahan ekonomi, politik, dan budaya suatu masyarakat di mana media massa tersebut hidup. Dari kedua pendapat tersebut, penulis menyimpulkan bahwa media massa merupakan institusi komunikasi yang menyampaikan pesan kepada masyarakat luas, serta berpartisipasi dalam aspek permasalahan dalam masyarakat tersebut, seperti ekonomi, politik dan budaya. Salah satu bentuk media massa cetak adalah majalah. Totok Djuroto mengungkapkan majalah adalah “kumpulan berita, artikel, cerita, iklan, dan sebagainya yang dicetak dalam lembaran kertas ukuran kuarto atau folio, dijilid dalam bentuk buku. Majalah biasanya terbit teratur, semingu sekali, dua minggu sekali atau satu bulan sekali.”3
2
Surya Fachrizal, Wacana Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SPL) Pada Pemberitaan LKBN Antara dan Koran Tempo Mengenai Hukum Cambuk di Aceh dan Fatwa MUI Tentang SPL dan Ahmadiyah (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2006, hal.21 3
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, Pt Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal.11
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
27
Pengertian majalah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui konsumsi pembaca artikel, sastra dan sebagainya.”4 Sementara itu, Djujuk Djuyoto menguraikan majalah dari jenisnya sebagai berikut: Majalah umum (general magazine): suatu majalah yang mengemukakan halhal atau persoalan penting artinya bagi masyarakat luas. Isinya tidak hanya terbatas pada orang-orang satu aliran, profesi, ideologi, ekonomi. Sedangkan majalah khusus (specialized interest): dengan sendirinya adalah majalah yang terbatas pada kelompok-kelompok tertentu seperti ada majalah hukum, majalah agama, majalah guru, majalah teknik, majalah mode dan sebagainya.5
Dari uraian di atas penulis menarik kesimpulan sebagai berikut; majalah sebagai salah satu media massa ialah terbitan pers berkala dengan kertas sampul, dihiasi ilustrasi maupun foto dan tulisan yang berisi liputan jurnalistik tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca. Jenisnya adalah majalah umum, dan majalah khusus. Junaedhie mengungkapkan perkembangan majalah di Indonesia memiliki beberapa majalah umum dan majalah khusus: Terbagi dalam majalah populer, majalah wanita, majalah pria, majalah berita, majalah ringkasan, majalah remaja, majalah anak-anak, majalah mode, majalah pertanian, dan majalah khusus. Dikenal beberapa kelompok penerbit majalah 4
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988, hal.545 5
Djujuk Djuyoto, Jurnalistik Praktis Sarana Penggerak Lapangan Kerja Raksasa, Nurcahaya, Yogyakarta, 1985, hal.21-22.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
28
besar, yaitu Kelompok Gramedia, Kelompok Kartini, Kelompok Femina, Kelompok Tempo, dan Kelompok Ria Film.6 Mengacu pada seluruh uraian yang penulis ungkapkan, jelas bahwa MBM Tempo adalah institusi media massa cetak berjenis majalah berita yang terbit mingguan. Diterbitkan oleh salah satu kelompok penerbit besar di Indonesia, yaitu Kelompok Tempo, MBM Tempo juga bisa dipandang sebagai institusi media yang berpartisipasi dalam aspek ekonomi, politik, dan budaya di Indonesia.
Media Massa Dalam Paradigma Kritis Memandang media massa dalam paradigma kritis di sini, berarti seperti yang diungkapkan Eriyanto tentang ide dan gagasan Marxis dan Mazhab Frankfurt yang melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat dilihat sebagai suatu sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian dari sistem dominasi tersebut. ................................................................. Media adalah alat kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari memarjinalkan kelompok yang tidak dominan.7 Jelas artinya bahwa paradigma kritis pada awalnya memandang media bukanlah sebagai entitas yang bebas nilai. Media merupakan alat kelompok dominan untuk menguasai dan memarjinalkan kelompok yang tidak dominan. Karena media
6
Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hal.155 7
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Certakan ke-4, LKiS, Yogyakarta, 2005, hal.22
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
29
dikuasai oleh kelompok yang dominan, maka realitas yang sebenarnya telah terdistorsi dan palsu. Pemikiran Teori Kritis Mahzab Frankfurt tersebut kemudian berkembang ke berbagai dimensi ilmu sosial di dunia, termasuk ilmu komunikasi. Salah satunya seperti yang diungkapkan Stuart Hall dalam mengkaji studi tentang media massa. Dengan tetap bersandar pada paradigma kritis, Hall justru mengkritik pandangan awal yang melihat media sebagai alat kelompok dominan untuk menguasai kelompok yang tidak dominan. Seakan merevisi pandangan tersebut, Hall mengungkapkan: Di sini, media harusnya dilihat bukan sebagai ‘kekuatan jahat’ yang memang didesain untuk memburukkan kelompok lain. Media menjalankan perannya seperti itu, melakukan representasi kelompok lain melalui proses yang kompleks, melalui proses pendefinisian dan penandaan, sehingga ketika ada kelompok yang buruk dalam pemberitaan, itu dipresentasikan sebagai sesuatu yang wajar, terlihat alamiah, memang demikianlah kenyataannya.”8 Dalam kata lain, Hall menganggap bahwa media menjalankan perannya seperti apa adanya, yakni sesuai dengan konsensus yang terjadi di masyarakat. Hall kemudian menambahkan: Konsensus tersebut tidak timbul secara alamiah dan spontan tetapi terbentuk lewat proses yang kompleks yang melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . media tidaklah secara sederhana dipandang refleksi dari konsensus, tetapi media mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi yang mendukung dan melegitimasi suatu struktur, mendukung suatu tindakan, dan mendelegitimasi tindakan lain.9 8
Ibid., hal.27
9
Ibid., hal.28
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
30
Setelah menyimak bahwa konsensus tersebut dibentuk melalui praktik yang melibatkan konstruksi sosial dan legitimasi yang terjadi di masyarakat, penulis memahami bahwa media turut memainkan peranan penting di sini. Maka dengan menggunakan paradigma kritis yang diuraikan Stuart Hall, penulis memandang MBM Tempo selaku media yang menjadi pihak sentral dalam mereproduksi dan memapankan definisi dari situasi (status quo) dengan cara melegitimasi suatu tindakan terhadap peristiwa tertentu lewat praktik pemberitaannya. Status quo tersebutlah yang mengungkapkan bagaimana MBM Tempo secara kompleks merefleksikan konsensus masyarakat mengenai suatu peristiwa. Sehingga praktik yang dilakukan MBM Tempo dalam melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan demi memapankan status quo, dilihat sebagai sesuatu yang wajar sesuai dengan konsensus masyarakat.
A.2. Berita dan Objektifitas Kurniawan
Junaedhie
menjelaskan
bahwa
berita
ialah
“laporan/
pemberitahuan mengenai terjadinya peristiwa atau keadaan yang bersifat umum dan baru saja terjadi (aktual) yang disampaikan oleh wartawan dalam media massa.”10 Djafar H. Assegaf mendefinisikan berita adalah “laporan tentang fakta atau ide terhadap massa, yang dipilih oleh staff redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang
10
Kurniawan Junaedhie, Op.Cit., hal.26
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
31
dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa, entah pula karena ia mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi dan ketegangan.”11 Sedangkan Hoeta Soehoet membagi definisi berita menjadi tiga, yaitu: a) Berita adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi pernyataan manusia b) Berita bagi seseorang adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi pernyataan manusia yang perlu baginya untuk mewujudkan filsafat hidupnya c) Berita bagi suatu surat kabar adalah keterangan mengenai peristiwa atau isi pernyataan yang perlu bagi pembacanya untuk mewujudkan filsafat hidupnya12
Lebih lanjut, Soehoet mengemukakan syarat utama yang harus terpenuhi dalam sebuah naskah berita, yaitu benar, dan ada gunanya bagi masyarakat. Syarat ‘benar’ di sini mengacu pada fakta yang objektif. “Kalau berita peristiwa benar telah terjadi dan sebagaimana adanya. Tidak bertambah, tidak berkurang, tidak sebagaimana yang diinginkan oleh reporter. Suka atau tidak, reporter wajib menyusun naskah berita mengenai peristiwa tersebut sebagaimana adanya.”13 Dari pendapat Soehoet mengenai definisi berita inilah, penulis melihat sebuah kontradiksi. Karena di satu sisi berita harus dilaporkan sebagaimana adanya dan tidak sebagaimana yang diinginkan oleh wartawan. Sementara di sisi lain, ada usaha untuk mewujudkan filsafat hidup (ideologi) media tersebut lewat pemberitaan.
11
Djafar H. Assegaf, Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal.24 12
A.M. Hoeta Soehoet, Dasar Dasar Jurnalistik, Penerbit Yayasan Kampus Tercinta–IISIP Jakarta, Jakarta, hal.23 13
Ibid., hal.130
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
32
Jika media hendak mewujudkan filsafat hidupnya, maka menyajikan pemberitaan yang objektif dan apa adanya mustahil tercapai. Ketika berita disusun sejak proses wartawan dalam mencari, menyusun bahan berita, memilih dan menempatkan berita oleh staff redaksi, maka secara otomatis sudah terjadi pembentukan kembali realitas lewat praktik diskursif media atas suatu peristiwa yang hendak diberitakan. Ditambah lagi, tidak semua peristiwa dan isi pernyataan manusia yang diperlukan masyarakat termuat di media cetak. Karena itu, staff redaksi menyajikan dan memilih berita yang layak dimuat sesuai dengan nilai berita bagi pembaca, sekaligus demi mewujudkan filsafat hidup (dalam kata lain, ideologi) media massa itu sendiri. Ini menyebabkan berita itu sendiri menjadi tidak lagi objektif. Karenanya, untuk menguraikan lebih lanjut mengenai berita, penulis akan memandangnya dalam paradigma kritis.
Berita Dalam Paradigma Kritis Dengan bersandar pada paradigma kritis, maka klaim bahwa sebuah bahasa dianggap merepresentasikan realitas objektif dapat kembali dipertanyakan. Mengenai hal tersebut, Eriyanto mengatakan: Mengandaikan bahasa sebagai representasi dari realitas sosial adalah hal yang mustahil. ................................................................. karena begitu realitas hendak dibahasakan, selalu terkandung ideologi dan penilaian.14 14
Eriyanto, Op.Cit., hal.45-46
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
33
Pendapat Eriyanto inilah yang melandasi pandangan bahwa pembahasaan realitas, dalam kenyataannya, tidak pernah lepas dari subyektivitas wartawan. Eriyanto menjelaskannya lebih lanjut bahwa paradigma kritis menolak asumsi berita adalah cermin dari realitas, sebab “menurut kaum kritis, berita adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau media.”15 Dari pendapat Eriyanto tersebutlah, asumsi Ibnu Hamad mengenai pembuatan berita dapat ditempatkan, yakni “pembuatan berita di media pada dasarnya adalah penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna.”16 Mengenai pembuatan berita, Eriyanto mengungkapkan bahwa wartawan dan kerja jurnalisme tidak bisa dipahami semata-mata sebagai kerja profesional di mana wartawan diatur dengan hukum dan aturan-aturan kerja profesional, tetapi ia harus dipandang sebagai bagian dari praktik kelas di mana wartawan tersebut berada: Pihak elit dalam media sengaja mengontrol wartawan dan memberikan serangkaian hukuman bagi yang tidak mengikutinya atau tidak menuruti proses itu dan imbalan bagi yang patuh dan mengikuti proses. Oleh karena itu, kerja wartawan bukanlah diatur dalam proses pembagian kerja, tetapi dari kontrol kesadaran kelas mereka dalam posisi dengan kelompok elit.17
15
Ibid., 34
16
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa; Sebuah Studi Critical Discourse Analysis Terhadap Berita-Berita Politik, Penerbit Granit, Jakarta, 2004, hal.11. 17
Eriyanto, Op.Cit., hal.42
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
34
Itu sebabnya penulis juga melihat bahwa sebuah teks berita ditulis oleh wartawan bukan berdasarkan pertimbangan etis, tetapi dari pertimbangan ideologis. Maka titik penelitian yang penulis lakukan pun harus diarahkan untuk mencari ideologi wartawan atau MBM Tempo lewat analisis teks beritanya, dan bagaimana ideologi itu dipraktikkan oleh MBM Tempo dalam memarjinalkan kelompok lain.
A.3. Korupsi Secara etimologis kata ‘korupsi’ berasal dari bahasa Belanda, yaitu korruptie. “Korupsi mengandung arti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan, . . . penggelapan, kerakusan, amoralitas, dan segala penyimpangan dari kesucian.”18 Sedangkan menurut Syed Hussein Alatas, tindak korupsi adalah “dengan sengaja melakukan kesalahan atau melalaikan tugas yang diketahui sebagai kewajiban, atau tanpa hak menggunakan kekuasaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan yang sedikit (atau) banyak bersifat pribadi.”19 Menanggapi pendapat di atas, Soetrisno Bachir menambahkan bahwa “dalam konteks politik, korupsi berarti setiap tindakan penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang seperti penyalahgunaan anggaran pembangunan.”20
18
Soetrisno Bachir, Membangun Kemandirian Bangsa, Penerbit Belantika, Jakarta, 2005, hal. 104. 19
Ibid., hal.105
20
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
35
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat beberapa kasus korupsi, dan modus yang biasanya terjadi adalah “penggelembungan (markup) anggaran, pendapatan ganda (anggaran dobel), rekayasa sumber penerimaan yang ilegal (mengada-adakan sumber penerimaan), dan pengeluaran fiktif.”21 Jadi penulis memahami bahwa korupsi merupakan suatu tindakan menyimpang lewat penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang, demi memperoleh keuntungan pribadi. Misalnya dalam bidang politik dan pemerintahan, korupsi merupakan tindakan penyalahgunaan anggaran pembangunan dengan modus penggelembungan anggaran, pendapatan ganda, rekayasa sumber penerimaan yang ilegal, dan pengeluaran fiktif. Penulis juga memahami bahwa tindak korupsi dekat dengan kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dan kebanyakan dari kasus korupsi yang terjadi, menunjukkan keterlibatan pejabat negara. Adapun penyelenggara negara atau pejabat negara yang dimaksudkan di sini mengacu pada Pasal 1 Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa penyelenggara negara adalah “pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
21
Adnan Topan Husodo, Buruk Muka Tetap Dibela, artikel dalam Koran Tempo, Edisi 11 Oktober 2006.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
36
undangan yang berlaku.”22 Maka dalam konteks penelitian ini, pejabat negara yang dimaksud adalah penjabat negara setingkat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Di Indonesia sendiri, kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara sudah marak dalam rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden RI Soeharto. Berbagai kasus korupsi tersebut sampai sekarang belum tersentuh oleh hukum sama sekali. Bahkan korupsi juga terjadi di tengah pemerintahan Indonesia saat ini. Pendapat ini mengacu pada laporan penelitian Lembaga Bantuan Hukum Jakarta atas kasus dugaan korupsi di lembaga penyelenggara pemilu (KPU) dan kasus Dana Abadi Umat (DAU) yang menyeret mantan Menteri Agama sebagai pihak terlibat. Laporan tersebut menyatakan: Dua kasus di atas pula yang telah memberikan fakta bahwa korupsi telah begitu kronis dan menyerupai misteri gunung es. Dan hal itu juga menunjukkan birokrasi pemerintahan telah begitu bobrok. Dan yang paling tragis adalah keterlibatan lembaga yang seharusnya menjadi pengawas, justru menjadi bagian dari pelaku korupsi itu sendiri.23 Hal ini diakui oleh Presiden RI saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai permasalahan mendasar yang berkembang dewasa ini. Ia mengatakan bahwa “di bidang kelembagaan negara, masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah belum kokohnya lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif yang bersih dan bebas
22
Tim Editorial, Undang-Undang Tentang Korupsi, Penerbit PROGRESIF BOOKS, Jakarta, 2006, hal.56 23
Willy Pramudya dan A.A. Sudirman (Ed.), Laporan Hukum dan HAM LBH Jakarta 2005, Penerbit Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 2005, hal.68
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
37
dari KKN serta terciptanya kepastian dan penegakan hukum dan aturan secara konsisten dan berkeadilan.”24 Lewat Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009, SBY juga mengatakan bahwa “penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa mengharuskan adanya keteladanan. Oleh sebab itu pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan kroniisme harus dimulai dari pejabat tertinggi.”25 Pandangan demikian juga dinyatakan Henry Siahaan dan Ainul Ridha dalam menanggapi Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Henry dan Ainul mengatakan bahwa pemerintah saat ini “masih menitikberatkan skenario pemberantasan korupsi di tingkat pusat yang kemudian diharapkan akan turun ke bawah (trickle-down effect).”26 Maka dari uraian di atas, penulis memahami bahwa Pemerintah Indonesia saat ini hendak mewujudkan sebuah tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance). Antara lain dengan upaya mengagendakan program pemberantasan korupsi secara sentralistis.
24
Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Yusuf Kalla, Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera; Visi, Misi, dan Program, tanpa penerbit, Jakarta, 2004, hal.10-11 25 26
Ibid., hal.45
Henry Siahaan dan Ainul Ridha, “Desentralisasi Pemberantasan Korupsi”, artikel dalam Koran Tempo, Edisi 17 oktober 2006.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
38
Kasus Dugaan Korupsi Dalam Pemberitaan Media Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal 2 dikemukakan, “Setiap orang, organisasi masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau Komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.”27 Berangkat dari peraturan inilah, penulis menemui keterkaitan antara kasus korupsi dengan pemberitaannya di media. Peran media yang bebas dan independen dalam mendorong good governance tentu tak bisa dilepaskan dari fungsi ideal media itu sendiri, yaitu fungsi informatif, fungsi pendidikan, dan fungsi kontrol sosial. Sebagai bagian dari institusi masyarakat sekaligus pelayan informasi publik, media dapat mendorong agar praktik pemerintahan dan pelayanan publik menjadi transparan. Penulis melihat bahwa peran media di sini berpotensi megarahkan isu-isu yang berhubungan dengan korupsi dan pelayanan publik yang berkaitan erat dengan
27
Tim Editorial, Op.Cit., hal 208.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
39
kepentingan masyarakat di Indonesia. Salah satunya adalah lewat pemberitaan di media mengenai isu kasus korupsi, khususnya yang melibatkan pejabat negara. Dengan demikian paradigma kritis Stuart hall dapat ditempatkan di sini. Terkait dengan pemberitaan kasus korupsi, media menjalankan perannya sebagai insitusi masyarakat dan pelayan informasi publik, yakni melakukan representasi kasus tindak korupsi melalui proses proses pendefinisian dan penandaan yang didukung oleh konsensus dalam masyarakat. Konsensus mengenai kasus korupsi tersebut terbentuk lewat proses kompleks melibatkan konstruksi sosial bahwa tindak korupsi perlu diberantas, dan ini dilegitimasi pemerintah melalui peraturan perundang-undangan. Pemberitaan media memang tidak secara sederhana merupakan refleksi dari konsensus tersebut, tetapi media mereproduksi dan memapankan status quo yang mendukung dan melegitimasi struktur tersebut. Bahkan terlihat wajar bila media ikut melegitimasi tindakan korupsi sebagai tindakan yang buruk dan perlu diberantas. Sehingga ketika ada pejabat negara yang terlibat dalam kasus korupsi digambarkan secara buruk dalam pemberitaan media, itu dianggap sebagai sesuatu yang wajar sesuai konsensus yang terjadi di masyarakat. Dalam kerangka inilah penulis menempatkan MBM Tempo sebagai salah satu institusi media yang berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi lewat praktik pemberitaannya.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
40
A.4. Jurnalisme Sastra Jurnalisme sastra merupakan konsep yang menjadi titik sentral penelitian. Karenanya, penulis merasa perlu menguraikan Jurnalisme Sastra secara lebih rinci.
Sastra dan Batasan Definisinya Kritikus–cum-sastrawan Sapardi Djoko Damono mengungkapkan “definisi sastra dalam pandangan lama adalah segala jenis karangan yang berisi dunia khayalan manusia, yang tidak bisa begitu saja dihubung-hubungkan dengan kenyataan.”28 Mencermati definisi di atas, bisa penulis pahami bahwa sastra pada awalnya dianggap sebagai karangan yang tidak mengandung fakta, tetapi ia merupakan jenis karangan yang mengandung realitas dunia khayalan (fiksi) sebagai hasil imajinasi manusia. Konsekuensi pandangan ini membuat segenap unsur realitas yang terdapat pada karya sastra merupakan hasil khayalan atau rekaan pengarang semata, sehingga sastra mesti dipisahkan dari realitas dunia nyata. Maka jelas artinya, apa pun kandungan realitas yang terdapat dalam sebuah karya sastra, mestilah kita anggap sebagai realitas fiktif yang hanya ada dalam dunia khayal. Bisa dicontohkan bila ada pengarang menulis sebuah kisah fiksi yang mengambil latar adegan kota Jakarta. Kalaupun kota Jakarta yang digambarkan si pengarang ternyata berbeda dengan kota Jakarta yang ada dalam dunia nyata, ataupun ia menyusun realitas kota Jakarta menurut hasil rekaannya sendiri, maka tidak 28
Sapardi Djoko Damono, Pengarang, Karya Sastra, dan Pembaca, artikel dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, hal.9
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
41
menjadi persoalan karena realitas dunia khayal dalam karya sastra tersebut mesti dipisahkan dengan realitas dunia nyata. Namun seiring perkembangannya dewasa ini, dunia sastra juga disemaraki dengan kehadiran karya sastra yang ternyata benar-benar mengandung fakta. Atau bisa dianggap mencampuradukkan fiksi dengan fakta. Damono kemudian mencontohkan novel ‘Burung Burung Manyar’ karya J.B Magunwijaya, dan ‘Surapati’ karya N. St. Iskandar sebagai “karya sastra yang banyak menggunakan peristiwa, tokoh sejarah, sebagai bahan utamanya.”29 Contoh lain juga bisa kita jumpai pada novel tetralogi ‘Bumi Manusia’ karya Pramoedya Ananta Toer. Seperti yang dikutip Majalah Tempo: Pram mengakui bahwa karyanya itu perpaduan dari catatan sejarah dan imajinasinya. ............................. ................................... tokoh Minke dalam novel tersebut merupakan representasi dari Tirtho Adhi Soerjo, seorang tokoh nasionalis angkatan pertama yang kurang mendapat perhatian dalam penulisan sejarah nasional.30 Dunia sastra dan jurnalistik di Indonesia sendiri punya sejarah penting pada pertengahan tahun 1990-an. Sastrawan-cum-wartawan Seno Gumira Ajidarma pernah merilis 12 cerita pendeknya dalam sebuah buku kumpulan cerpen berjudul ‘Saksi Mata’, dimana di dalamnya secara tersirat mengisahkan pembantaian warga sipil oleh tentara Indonesia di Santa Cruz, Dili, Timor Timor (sekarang Timor Leste). Meski 29 30
Ibid., hal.10
Nurdin Kalim dan Sunudyantoro, Memburu Sang Ilham di Wonokromo artikel Selingan Iqra, Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 14 Mei 2006
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
42
karya cerpennya fiktif, nama diganti, dan tempat tak disebutkan jelas, Seno mengaku bahwa ia menulis cerpen tersebut berdasarkan fakta yang terdapat dalam kasus Insiden Dili 12 November 1991. Ia sendiri memilih mengungkapkan fakta lewat cara demikian (karya sastra) setelah Majalah Jakarta Jakarta tempatnya bekerja diintervensi pihak pemerintah Orde Baru sehubungan dengan pemuatan berita investigasi Insiden Dili dalam Edisi nomor 282/ November 1991. Dalam pengakuannya, Ajidarma mengungkapkan demikian: Saya melawannya, dengan cara membuat Insiden Dili yang ingin cepat-cepat dilupakan itu menjadi abadi. Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran. Ini membuat saya dengan sengaja mencari segala segi dari Insiden Dili yang bisa menjadi cerpen–sebagai suatu cara untuk melawan.31 Mencermati uraian di atas, tentu pandangan lama dalam mendefinisikan sastra menjadi tidak relevan lagi. Karena karya sastra, meskipun merupakan hasil khayalan pengarangnya, ternyata bisa begitu erat dengan dunia kenyataan. Di titik inilah batasan antara fiksi dengan fakta menjadi kabur. Bahkan bisa dikatakan bahwa eksistensi sastra berwajah ganda. Dikatakan demikian karena di satu sisi ia mesti diposisikan sebagai realitas dunia khayal yang bernaung dalam unsur-unsur fiksi pembentuknya. Sedangkan di sisi lain, ia bisa dianggap layaknya cermin dunia yang –dengan segenap kreasi simboliknya–mampu mengungkapkan kebenaran yang terdapat pada dunia nyata.
31
Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Edisi Kedua, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2005, hal.40
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
43
Itu sebabnya Ariel Heryanto berpendapat bahwa “betapa rapuhnya setiap pernyataan pretensius seperti ‘Kesusastraan adalah...”32 Dalam kata lain, Heryanto mengungkapkan bahwa sastra sulit didefinisikan secara tunggal. Ia kemudian menunjukkan bahwa “perbedaan di antara kategori ‘sastra’ dan ‘bukan sastra’ tidak ditentukan oleh suatu kenyataan objektif apapun, misalnya ‘bahasa sastra’ dan ‘bahasa sehari-hari’, melainkan hasil dari pembedaan konseptual di benak orang belaka.”33 Untuk itu, penulis menganggap bahwa tidak ada batasan yang pasti untuk sastra. Apalagi kini sastra dianggap bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri, tapi sastra merupakan bagian dari masyarakat yang melahirkan dan menikmatinya.
Ekstrinsik dan Intrinsik Sastra Terlepas dari perdebatan kandungan fakta atau fiksi, serta perdebatan tentang definisi sastra, penulis merujuk pada M. Atar Semi yang mengungkapkan bahwa meski kata ‘sastra’ atau ‘kesusastraan’ dapat ditemui dalam sejumlah pemakaian yang berbeda-beda, pada dasarnya sastra merupakan “suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni
32
Ariel Heryanto, Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir, artikel dalam Majalah Prisma, Edisi Sastera dan Masyarakat Orde Baru, No.8 Tahun XVII, Jakarta, 1988, hal.6 33
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
44
kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.”34 Dari pernyataan di atas, penulis hendak meninggalkan usaha definitif akan sastra dengan coba memandang sastra sebagai suatu bentuk penulisan. Pendapat ini juga merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mengungkapkan bentuk sastra atau kesusastraan sebagai “karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam ungkapannya.”35 Secara spesifik Semi mencatat ada dua unsur atau struktur karya sastra, yakni struktur luar atau ekstrinsik sebagai “segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut.”36 Struktur ekstrinsik ini penulis pahami sebagai faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Dan yang kedua adalah struktur dalam atau intrinsik, yakni “unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengisahan, latar, dan gaya bahasa.”37
34
M. Atar Semi, Anatomi Sastra, PT Angkasa Raya, Padang, tt, hal.8
35
Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat penelitian dan Pengembangan Bahasa, Balai Pustaka, Jakarta, hal.786 36
M. Atar Semi, Op.Cit., hal 35
37
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
45
Keterangan di atas penulis pahami bahwa sebuah karya sastra dibangun lewat unsur esktrinsik dan intrinsiknya. Dengan mengingat bahwa sastra merupakan suatu bentuk karya tulis berisi realitas dunia khayalan dari imajinasi pengarangnya, yang bisa dihubungkan dengan realitas dunia kenyataan, maka tak heran bila sastra kemudian menyusup ke dalam ranah jurnalisme yang berisikan fakta realitas dunia nyata. Begitu pula sebaliknya. Hal ini terjadi karena unsur ekstrinsik yang dikandung sastra menekankan bahwa bentuk dan isi dari sebuah karya sastra merupakan representasi dari berbagai faktor realitas masyarakatnya. Kemudian dalam unsur intrinsik, karya sastra dikenali lewat bentuk dan isi penulisannya. Jika dalam penulisan berita dapat dikenali lewat bentuk teras, body, dan penutup berita yang jernih dan kaku, maka penulisan karya sastra dapat dikenali lewat keaslian, keartistikan, dan keindahan instrinsik struktur penulisan dan penggunaan bahasanya. Lewat unsur intrinsik inilah bentuk teks sastra dapat dipandang dalam dimensi estetik sekaligus politis. Dari seluruh uraian di atas, penulis berpandangan bahwa unsur ekstrinsik dan intrinsik inilah yang terdapat dalam Jurnalisme Sastra. Penulis juga menyimpulkan bahwa unsur intrinsik Jurnalisme Sastra dapat dikenali dari penyusupan segenap dimensi politis dan estetik karya sastra ke dalam penulisan berita. Namun untuk melengkapi pemahaman tentang Jurnalisme Sastra, penulis akan melanjutkannya dengan menjabarkan terlebih dahulu apa dan bagaimana jurnalisme itu.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
46
Jurnalisme Sebagai Praktik Hoeta Soehoet mengungkapkan jurnalistik adalah kata Indonesia yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu jurnalistiek. Bahasa Inggrisnya, journalisme. “Baik jurnalistiek maupun jurnalisme berasal dari bahasa latin, yaitu diurnalis, artinya tiap hari. Sedangkan jurnal (bahasa Inggris) artinya catatan peristiwa harian. Dalam ilmu Komunikasi istilah jurnalistik mempunyai arti cara penyampaian isi pernyataan dengan menggunakan media massa periodik.”38 Sedangkan Junedhie menguraikan jurnalisme sebagai “proses mengumpulkan, menyiapkan, dan menyebarkan berita melalui media massa. Kata jurnalisme sendiri awalnya digunakan untuk laporan yang dimuat dalam media cetak.”39 Sejalan dengan kedua pandangan di atas, Effendy merumuskan pengertian jurnalistik adalah “suatu pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari peliputan sampai penyebaran ke masyarakat.”40 Untuk menghindari kekeliruan antara pemakaian istilah jurnalisme dengan jurnalistik, penulis mengacu pada pernyataan Soehoet yang menempatkan keduanya sebagai istilah yang sama artinya, yakni lebih menekankan pada suatu proses, pengelolaan, penyampaian laporan (berita). Dalam konteks penelitian ini, penulis
38
A.M. Hoeta Soehoet, Op.Cit., hal.5-6
39
Kurniawan Junedhie, Op.Cit., hal.113
40
Onong Uchjana Effendy, Kamus Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal.151
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
47
menggunakan istilah jurnalisme karena sesuai dengan rujukan para ahli yang menyebutkan Jurnalisme Sastra, dan bukan Jurnalistik Sastra. Penulis menyimpulkan bahwa jurnalisme merupakan suatu praktik sebagai proses, pengelolaan, dan cara penyampaian laporan (berita) mulai dari tahap peliputan, pengumpulan bahan berita, dan penulisan berita yang termuat dalam media massa periodik. Dalam rangka inilah, jurnalisme memiliki ragam penulisan feature sebagai karangan khas yang sudah mulai mengadopsi unsur sastra ke dalamnya. Hingga kemudian berkembang menjadi feature berita di mana Jurnalisme Sastra – sebagai praktik jurnalisme dan inovasi bentuk penulisan– menjadi dimungkinkan. Penjelasan lebih lanjutnya adalah sebagai berikut.
Feature sebagai Wahana Sastra Umar Nur Zain membagi pengertian feature dalam arti luas dan arti sempit, yakni: Feature dalam arti luas adalah tulisan-tulisan di luar berita, bisa berupa tulisan ringan, tulisan berat, tajuk rencana, tulisan opini, sketsa, laporan pandangan mata dan sebagainya. Sedang dalam arti sempit, feature adalah tulisan khas yang sifatnya bisa menghibur, mendidik, memberi informasi dan sebagainya mengenai aspek kehidupan dengan gaya yang bervariasi.41 Dari kutipan di atas, Zain secara implisit sudah menyatakan bahwa feature bukanlah berita. Pandangan ini juga bisa ditemui pula pada pendapat Junaedhie yang
41
hal.19
Umar Nur Zain, Penulisan Feature, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993,
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
48
mendefinisikan feature sebagai “tulisan yang disajikan sebagai karangan menarik. Lebih panjang dari berita biasa, bersifat kreatif terutama dalam memilih sudut pandang, subjektif yang memungkinkan penulisnya memasukkan emosi dan pikiranpikirannya, informatif atau setidak-tidaknya memberi kesadaran baru tentang sesuatu hal.”42 Kemudian Kurnia juga mengungkapkan feature sebagai berikut: Pada mulanya, feature adalah bentuk tulisan yang diadaptasi oleh jurnalisme agar para wartawan mendapat sudut pandang lain dalam memotret realitas peristiwa kemanusiaan. Dengan feature, fakta-fakta yang difokuskan pada masalah human interest bisa disajikan secara lain, tidak biasa, dan tidak perlu dirunutkan dari yang paling penting sampai yang kurang penting.43 Dengan demikian, penulis menyimpulkan feature merupakan karangan khas yang bersifat menghibur dan mendidik mengenai aspek kehidupan yang menarik untuk diinformasikan dalam media cetak. Fakta yang difokuskan pada penekanan human interest, menjadikan feature tak bisa dilepaskan dari emosi, pikiran-pikiran, dan subjektivitas wartawan. Karenanya, feature jelas berbeda dengan berita. Perbedaan ini juga terlihat bahwa ada dimensi estetik sastra dalam penulisan feature. Zain kemudian mengungkapkannya dengan menekankan pentingnya imajinasi yang tidak mengkhianati fakta peristiwa dalam penulisan feature. Lebih jelasnya ia mengatakan demikian, “...seorang wartawan memerlukan daya imajinasi
42 43
Kurniawan Junaedhie, Op.Cit., hal.66
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal.230-231
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
49
dalam penggambaran peristiwa tersebut. Harap diingat, imajinasi adalah bagaimana menangkap peristiwa itu, seperti seseorang memotret, artinya suasana dalam peristiwa tersebut dipindahkan ke dalam tulisan. Memberikan imajinasi bukan berarti harus mengkhianati fakta.”44 Kedekatan feature dengan sastra juga dilihat oleh Kurnia dari nilai artistiknya. Ia menyebutkan bahwa “nilai artistik feature di antaranya mencuat karena kisah-kisah human interest yang dikandungnya.. Struktur penulisan feature sangat khas. Dari judul sampai penutup tulisan, feature dibuat secara kreatif.”45 Kurnia juga menyebutkan bahwa “beberapa unsur yang menyusun struktur feature dibangun oleh kaidah penulisan sastra. Tulisan jadi mengalir dalam pengisahan seperti cerita pendek.”46 Dari keterangan di atas, jelas bahwa sastra sudah memasuki ranah jurnalisme lewat feature. Meski begitu penulis memahami bahwa unsur sastra yang terkandung di dalam feature belum digunakan secara menyeluruh, dalam artian feature baru menerapkan sebagian unsur intrinsik sastra, khususnya pada penggunaan gaya bahasa sastra. Ditambah juga, tema yang dituangkan dalam feature baru sebatas tema-tema yang menyangkut dengan human interest saja, hal ini disebabkan tema tersebut dapat disajikan kapan saja dan tidak menuntut aktualitas. Sampai di sini, feature memang
44
Umar Nur Zain, Op.Cit, hal.168
45
Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.201-202
46
Ibid., hal.223
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
50
berbeda dengan berita yang menggunakan bahasa jurnalisme yang jernih dan menuntut aktualitas peristiwa. Situasi inilah yang kemudian didobrak pada era Jurnalisme Baru lewat bentuk penulisan yang luwes bernama antara feature dengan berita. Zain mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari Jurnalisme baru, yakni “perpaduan antara news dan feature, perpaduan gaya antara bahasa pers dan cerita pendek.”47 Senada dengan Zain, Kurnia juga mengungkapkan bahwa “eksperimentasi sastra kemudian mengembangkan penulisan feature menjadi dua klasifikasi. Selain menjadi salah satu teknik penulisan berita (news feature), feature juga menjadi bagian dari teknik penulisan artikel (article feature).”48 Kurnia juga mengungkapkan: Dalam perkembangan jurnalisme, feature menjadi salah satu fundamen penting. Ia adalah teknik penulisan yang mengatasi kekakuan straight news dalam mengkover berita-berita utama (hard news atau spot news). ............................................................. Selanjutnya, sastra memberikan pengembangan kreativitas yang luas dalam penulisan feature.49 Dari kutipan di atas, penulis memahami meskipun feature bukanlah berita, namun feature dekat dengan berita, terutama dalam mengembangkan berita utama. Lewat feature, media cetak memiliki keunggulan dengan menyajikan informasi menarik demi mengimbangi kekakuan bentuk penulisan berita. Dengan kata lain, 47
Umar Nur Zain, Op.Cit., hal.205
48
Septiawan Santa Kurnia, Op.Cit., hal.201
49
Ibid., hal.230-231
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
51
wartawan berusaha menyajikan informasi yang juga terdapat pada berita utama, namun lewat sudut pandang tertentu dengan menekankan unsur daya pikat manusia atau human interest. Dari sini penulis memahami bahwa eksperimentasi sastra dalam feature, kemudian berpengaruh dalam penulisan berita. Hingga menjadi sebuah bentuk feature yang mulai memadukan tema-tema human interest dengan fakta peristiwa yang aktual layaknya sebuah berita. Riyono Pratikto menguraikan demikian: Feature berita tidak hanya melaporkan apa adanya saja, tapi juga mengisahkan. Ia masih melihat kejadian tidak hanya fakta-faktanya saja. Suatu feature berita masih dibangun melalui kreativitas wartawannya. ............................................................. .... Sebagai tulisan yang masih cenderung menulis syarat-syarat jurnalistik, maka feature berita masih mementingkan segi aktualitasnya.50 Kutipan di atas penulis pahami bahwa karakteristik feature berita merupakan laporan jurnalistik yang menggabungkan kandungan unsur aktualitas dan unsur daya pikat manusia, serta memiliki kandungan subjektifitas dan kreatifitas wartawannya lewat teknik penulisan tertentu sebagai sebuah pemberitaan mengenai suatu peristiwa. Dalam kaitannya dengan MBM Tempo yang menjadi subjek penelitian penulis, Zain mengungkapkan “pada peristiwa-peristiwa yang sudah selesai, Tempo sudah menemukan pola penyajian khusus, yaitu news feture (feature berita) yang kemudian dicirikan sebagai New Journalism (Jurnalisme Baru), sementara Tempo
50
Riyono Pratikto, Kreatif Menulis Feature, Alumni Bandung, 1984, hal.96
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
52
sendiri mengatakannya: perpaduan antara jurnalistik dan sastra.. antara news dengan feature.”51 Berdasarkan pengamatan penulis, liputan jurnalisme tentang topik aktual dalam MBM Tempo tersaji antara lain dalam bentuk berita lempang, editorial, feature berita, kolom, dan esai. Khusus pada bentuk feature berita, MBM Tempo menggunakan elemen-elemen sastra dalam memberitakan topik aktual dan peristiwa faktual yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Berangkat dari seluruh uraian feature berita di atas, penulis memahami bahwa salah satu bentuk penulisan berita MBM Tempo adalah feature berita, baik itu berita yang aktual, maupun pada peristiwa yang sudah selesai. Dan khususnya lagi bentuk feature berita menyajikan perpaduan antara jurnalisme dan sastra (Jurnalisme Sastra) mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.
Praktik dan Bentuk Jurnalisme Sastra Mengacu pada uraian Junaedhie, Jurnalisme Sastra berkaitan dengan Jurnalisme Baru, yakni “jurnalisme yang mengambil teknik penulisan novel. Dengan cara pendekatan langsung, realitas konkret, keterlibatan emosional, dan bobot penggunaan atau penyerapan pemakaiannya dalam situasi tertentu.”52
51
Umar Nur Zain, Op.Cit., hal.109
52
Kurniawan Junaedhie, Op.Cit., hal.113
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
53
Kemudian pada entri ‘Jurnalisme Kesusastraan’, Junaedhie mengungkapkan bahwa “Jurnalisme Baru dengan Jurnalisme Sastra memiliki hubungan yang saling berpengaruh saru sama lain, meliputi struktur gaya penulisan dan penggunaan bahasa dalam menuliskan berita atau tulisan di media massa atau sebaliknya dalam menuliskan cerita fiksi.”53 Seperti yang telah penulis kemukakan pada bagian latar belakang masalah, Jurnalisme Sastra ini merupakan bagian dari Jurnalisme Baru yang lahir di Amerika Serikat. Penulis sendiri melihat bahwa Jurnalisme Sastra dapat dikenali dari dua komponen, yakni praktik peliputannya dan bentuk penulisannya. Mengenai praktik produksi berita lewat Jurnalisme Sastra, Zain menekankan perlunya peran wartawan senior atau redaktur. Ia mengatakan bahwa, “pada umumnya para redaktur tidak mau ambil resiko dengan wartawan muda, yang diambil laporannya kemudian dihimpun menjadi suatu news oleh redaktur. Jadi anak muda itu bertugas hanya sebagai penghimpun data pencari bahan saja, dan yang menyusunnya adalah sang redaktur.”54 Memandang Jurnalisme Sastra sebagai praktik produksi berita, Harsono berpendapat bahwa Jurnalisme Sastra lebih dalam dari berita pendalaman; “Jurnalisme Sastra bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa, tapi ia masuk ke
53
Ibid., hal.117
54
Umar Nur Zain, Ibid., hal.212
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
54
dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik.”55 Wolfe juga mengungkapkan unsur penting yang juga terdapat pada proses penyajiannya ialah “waktu riset dan wawancara biasanya panjang sekali, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, agar hasilnya dalam.”56 Riset
dan
wawancara
yang
berbulan-bulan,
bahkan
bertahun-tahun,
mencerminkan bahwa Jurnalisme Sastra proses peliputan berita dengan agenda perencanaan tertentu. Praktik jurnalisme demikian dilakukan memang demi menghasilkan pemberitaan yang dalam dan menyeluruh. Mengacu pada berbagai uraian di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa Jurnalisme Sastra merupakan salah satu bentuk praktik jurnalisme yang sejalan dengan tuntutan zaman, agar institusi media cetak dapat menyajikan berita yang mendalam sekaligus menarik. Karenanya praktik Jurnalisme Sastra melibatkan peran redaktur atau wartawan senior dalam penulisannya, serta memakan waktu peliputan yang lama. Kemudian dalam menyoal bentuk penulisan Jurnalisme Sastra, di sini penulis akan menguraikannya secara langsung dengan contoh tulisan yang tergolong sebagai Jurnalisme Sastra. Tulisan tersebut adalah karya Chick Rini, wartawan Harian Analisa (Medan) berjudul ‘Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft’ yang pernah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan dimuat di Majalah Pantau, Majalah Kyoto 55
Andreas Harsono & Budi Setiyono (Ed.), Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005, hal.vii 56
Jurnalisme Sastra, artikel dalam Koran Duta Edisi 1 September 2001, www.koranduta.com, diakses pada 19 Juni 2007
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
55
Review, dan tergabung dalam buku Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan Memikat yang diterbitkan Yayasan Pantau. Jadi penulis memahami bahwa tulisan tersebut dapat digolongkan sebagai bentuk penulisan Jurnalisme Sastra. Melaporkan peristiwa demonstrasi massa tak jauh dari pabrik PT Kertas Kraft Aceh yang berujung penembakan puluhan warga Aceh oleh TNI, Rini membuka teras (lead) reportasenya sebagai berikut: Sebuah bus memasuki Terminal Lhokseumawe pada suatu pagi buta sekitar tiga tahun yang lalu. Terminal masih sibuk. Warung kopi dan rumah makan masih buka. Agen tiket bus masih melayani belasan penumpang yang hendak berangkat ke Banda Aceh atau Medan. Barisan becak mesin juga masih parkir di depan terminal. Pengemudinya menunggu penumpang. Angin malam sekilas membawa bau amis dari hamparan empang di seberang terminal. Di kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak memerah oleh semburan api raksasa dari beberapa tower di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.57
Dari teras berita di atas bisa dicermati ada penyusunan latar peristiwa, alur, dan gaya bahasa yang mengandung unsur emosi untuk menggambarkan bagaimana peristiwa itu dimulai. Rekaman suasana yang rinci seperti dihidupkan kembali ke hadapan pembaca. Dalam artian, ada unsur intrinsik sastra pada tulisan tersebut. Dan di sisi lain, teknik penulisan berita seperti ini merupakan pengembangan dari teknik penulisan feature. Jika feature hanya menekankan unsur daya pikat manusia dan penggunaan bahasa sastra, maka dapat dikatakan Jurnalisme Sastra menambahkan karakteristik tersebut dengan unsur dialog, karakter, dan catatan adegan yang rinci.
57
Andreas Harsono & Budi Setiyono (Ed.), Op.Cit., hal.3
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
56
Adalah Tom Wolfe, perintis Jurnalisme Sastra, yang mencatat empat alat Jurnalisme Sastra, antara lain, “penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail dalam teks.”58 Simak saja kandungan penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail dalam teks lanjutan karya Chick Rini (dalam Andreas Harsono dan Budi Setiyono) berikut ini: Pada dini hari 3 Mei 1999 itu, di antara penumpang bus yang turun di Lhokseumawe, ada tiga pria membawa tas berisi baju, kamera Betacam, serta peti berisi kabel, microfon, dan perlengkapan syuting video. Mereka wartawan RCTI, Stasiun televisi Jakarta yang sebagian besar sahamnya dimiliki anak mantan Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo. “Oke, sekarang kita kemana?” tanya Umar HN. “Pak Umar, tolong carikan hotel di sini yang aman,” jawab Imam Wahyudi.59 Dua kutipan di atas yang penulis jadikan contoh, bisa disimpulkan bahwa bentuk Jurnalisme Sastra mengedepankan unsur instrinsik sastra, semisal latar, alur, gaya bahasa, karakter atau penokohan, dialog, dan catatan adegan yang rinci. Lebih jelasnya lagi semua unsur tersebut dirumuskan Wolfe dengan menguraikan empat prinsip Jurnalisme Sastra sebagai berikut: 1. Adegan; menyajikan scene peristiwa-demi-peristiwa-berita dalam urutan yang membuat pembaca seakan berada di lokasi ketika kejadian berlangsung. 2. Dialog; materi pengisahan bisa diurutkan melalui percakapan yang direkam, meskipun sebagian mungkin tidak didapat dari sumber aslinya. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Selanjutnya, penafsiran dan kesimpulan ia serahkan kepada pembaca yang telah menyimak dialog tokohtokoh berita tersebut. 58
Septiawan Santana Kurnia, Op.Cit., hal.44
59
Andreas Harsono & Budi Setiyono (Ed.), Op.Cit., hal.4
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
57
3. Perspektif orang ketiga; dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya menjadi si pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang di sekitar tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya peristiwa. 4. Penempatan detail; semua hal dicatat secara terperinci, yaitu perilaku, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, perjalanan wisata, hubungan dengan teman sebaya, atasan, bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain. Hal ini merepresentasikan dasar pikiran dan perilaku, ekspresi, sampai harapan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, alat ini memberi pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan seseorang, mencatat lambang-lambang sosial.60 Penulis memahami rumusan di atas tak ubahnya sebagai unsur instrinsik yang terkandung di dalam Jurnalisme Sastra. Kemudian seiring perkembangan kritik dari berbagai pihak terhadap Jurnalisme Sastra, empat prinsip sebagai standar Jurnalisme Sastra yang dirumuskan Wolfe tersebut mengalami perkembangan pada 1980. Hal ini dirangkum
oleh
Farid
Gaban
berdasarkan
referensi
mutakhir
mengenai
perkembangan Jurnalisme Sastra di dunia, yakni: 5.
6.
7.
8.
Akurasi; Jurnalisme Sastra memperkokoh kekuatan fakta dalam penulisan nonfiksi dan tak mau disalahartikan sebagai fiksi dengan menulis ulang peristiwa, suasana, dan dialog secara akurat, melalui riset dan wawancara. Penulis tak bisa merekayasa dialog atau kutipan, tidak boleh menciptakan tokoh rekaan. Keterlibatan; keterlibatan (immersion) memandu reporter untuk menyajikan detail yang merupakan kunci untuk menggugah emosi pembaca. Penulis yang mampu ‘menceburkan diri’ ke dalam subyek berita, menggalinya, dan melaporkan kehidupan nyata secara spesifik, memberi kesan lebih kredibel dan otoritatif. Struktur; menggunakan teknik seperti yang dikenal dalam penulisan fiksi: suspens, kilas balik, bahkan pengutaraan orang pertama (aku) yang sangat dihindari penulis jurnalisme lama. Intinya adalah menggelar suasana, merancang irama dan memberikan impact yang kuat kepada pembaca. Suara; artinya posisi penulis sebagai orang pertama (aku) sebagai pengamat yang berjarak atau melebur dan tak berjarak dengan subyek laporannya. 60
Ibid., disarikan dari hal.45-87
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
58
Seperti melaporkan peristiwa sekaligus memberikan komentar kepada pembaca. 9. Tanggung Jawab; nilai pertanggung jawaban reporter lebih ditampakkna. Misalnya, pandangan tegas bahwa fiksi hanyalah sebuah gaya dan bahwa jurnalisme sastra lebih memaparkan fakta. Artinya, reporter bertanggung jawab atas setiap fakta yang ia tulis dalam Jurnalisme Sastra. 10. Simbolisme; tiap paparan fakta, meskipun terlihat remeh atau hanya menyangkut soal-soal kecil, sebenarnya mengandung gagasan yang sengaja disusun sedemikian rupa karena terkait dengan hal-hal yang lebih luas dan pemaknaan yang dalam.61 Dengan adanya kesemua elemen di atas, Setiati kemudian mengungkapkan “bentuk penulisan Jurnalisme Sastra membuat laporan berita tidak lagi sekedar pengungkapan fakta, tetapi berusaha mengungkapkan ‘mengapa dan bagaimana’ suatu peristiwa terjadi.”62 Berbagai media cetak yang menerapkan Jurnalisme Sastra dan ragam Jurnalisme Baru lainnya adalah Majalah Time, The New Yorker, Newsweek, dan Reader’s Digest. Hal ini diungkapkan Fedler sebagai berikut, “Para wartawan Time telah mereportase dan menyimpulkan opini mereka selama lebih dari lima puluh tahun. Newsweek dan Reader’s Digest adalah contoh lain. Seperti Time, Newsweek mengkorelasikan berbagai news story menjadi satu, menjelaskan pemaknaannya dan mengarahkan cara berpikir pembacanya.”63
61
Ibid., disarikan dari hal.114-120
62
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005, hal.102 63
Septiawan Santana Kurnia, Op.Cit., hal.11
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
59
Berbagai pandangan dan uraian mengenai Jurnalisme Sastra di atas, membawa penulis pada kesimpulan. Jurnalisme Sastra sebagai perpaduan antara bentuk penulisan Jurnalisme dengan Sastra yang dapat dikenali bentuknya lewat unsur intrinsik dimana digunakan setidaknya 10 prinsip penulisan Jurnalisme Sastra, yakni penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan detail dalam teks, akurasi, keterlibatan, struktur, suara, tanggung jawab, dan simbolisme. Jenis tulisannya sendiri dapat dikategorikan sebagai feature berita. Jurnalisme Sastra juga merupakan suatu proses, pengelolaan, dan cara penyampaian laporan (berita) sebagai hasil kerja seni kreatif wartawan. Karenanya meliputi aspek mulai dari tahap peliputan, pengumpulan bahan berita, dan penulisan berita sebagai praktik Jurnalisme Sastra yang memakan waktu lebih lama dan perencanaan tertentu, dan teknik penulisan yang berbeda dari praktik jurnalisme konvensional. Dengan mengacu pada 10 teknik penulisan Jurnalisme Sastra tersebutlah, penulis akan menggali bagaimana MBM Tempo menerapkan dan mengembangkan prinsip penulisan Jurnalisme Sastra versi MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa dalam pemberitaannya.
A.5. Estetika dan Politik Bahasa Acuan yang penulis gunakan dalam menghubungkan estetika dengan politik bahasa, berangkat dari teori estetika Benedetto Croce yang kemudian dilanjutkan oleh Antonio Gramsci. Karena selain memberi pengantar mengenai estetika itu sendiri,
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
60
penulis juga akan memfokuskan tinjauan teoritis pada pemikiran kedua tokoh tersebut. Kajian mengenai estetika kerap diidentikkan dengan filsafat seni. Meskipun sampai sekarang, estetika merupakan konsep yang banyak mendapat pandangan berbeda dari para pakar seni. Fathul A. Husein mengungkapkan bahwa estetika sejajar dengan etika, dan keduanya ada dalam wilayah filsafat mengenai nilai. Husein kemudian menerangkan sebagai berikut: Sebagai bagian dari kajian filsafat, estetika sudah barang tentu bekerja dalam bingkai penalaran yang radikal, spekulatif, menyeluruh, dan merupakan cerminan dari pemikiran filosofis seorang filsuf. Baru pada abad 20 estetika menggeser perannya sebagai filsafat keindahan dan menuju ke arah keilmuan, setelah sebelumnya lebih mengkhususkan diri pada tela'ah atas karya-karya seni saja.64 Dari penjelasan di atas, penulis memandang bahwa kajian estetika saat ini tidak lagi berkutat pada konsep keindahan saja, bahkan estetika sudah bergerak menuju arah keilmuan. Hal ini penulis pahami dalam bentuk estetika modern atau estetika ilmiah yang bekerja dengan bantuan ilmu-ilmu lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi. Melihat dari asal katanya, estetika berasal dari kata aistheton atau aisthetikos (bahasa Yunani Kuno), yang berarti persepsi atau kemampuan mencerap sesuatu secara indrawi. Istilah ini disebutkan muncul pertama kali pada pertengahan abad keXVIII, oleh filsuf Jerman, Alexander Baumgarten, yang memaksudkan estetika sebagai ”ranah pengetahuan sensoris, pengetahuan rasa yang berbeda dari 64
Fathul A. Husein, Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur, artikel dalam Suratkabar Harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Maret 2005
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
61
pengetahuan logika, sebelum akhirnya ia sampai kepada penggunaan istilah tersebut dalam kaitan dengan persepsi atas rasa keindahan, khususnya keindahan karya seni.”65 Jika pada awalnya estetika dimaksudkan sebagai konsep yang berkaitan dengan pengetahuan rasa dan nilai-nilai keindahan, maka pada abad XIX lah estetika dikembangkan lebih dari sekedar konsep keindahan. Hal ini diungkapkan Husein sebagai berikut: Estetika bukan melulu kualifikasi atas penilaian-penilaian atau evaluasievaluasi belaka, melainkan pula menyangkut penelusuran sifat-sifat dan manfaat/kegunaan, ragam penyikapan, pengalaman-pengalaman, dan penikmatan atas nilai-nilai keindahan tersebut. Bahkan kemudian penerapannya tidak lagi dibatasi oleh bingkai konsepsi keindahan semata-mata. Domain estetika menjadi jauh lebih luas ketimbang sekadar penikmatan karya-karya seni secara estetik sekalipun.66 Memudarnya nilai-nilai keindahan sebagai topik sentral dalam teori estetika sejak zaman Yunani hingga abad XIX, dimulai oleh seorang estetikus Italia, Benedetto Croce pada permulaan abad 20. Teori Estetika Croce Seperti yang dikutip Husein, Croce menggeser konsepsi keindahan dengan konsep ekspresi dan mengumandangkan pandangan baru bahwa kreasi artistik dan pengalaman estetik sebagai berasal dari formula ganda; bahwa seni setaraf ekspresi setaraf intuisi. “Dan bahwa keindahan tak lebih dari ekspresi yang berhasil, karena 65
Loc.Cit.
66
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
62
ekspresi yang gagal bukanlah ekspresi. ”Ekspresi dan keindahan bukanlah dua konsep berbeda, melainkan sebuah konsep tunggal", cetus Croce.”67 Husein sendiri menganggap pemikiran Croce tersebut menimbulkan adanya paradoks dalam estetika. Husein mengatakan, “‘jika seni identik dengan ekspresi, dan keindahan juga identik dengan ekspresi, maka bukankah keindahan itu merupakan esensi dari seni? Namun Croce tetap kukuh pada pendirian bahwa ekspresi dan intuisi merupakan konsepsi dasar dari mana estetika bisa dipahami.”68 Berangkat dari asumsinya inilah, Croce membedakan antara pengetahuan konseptual dengan pengetahuan intuitif. Seperti yang dikutip oleh Leonardo Salamini, pengetahuan konseptual bagi Croce adalah: Pengetahuan tentang hubungan-hubungan antara benda-benda sebagaimana secara representatif dikembangkan oleh filsafat dan ilmu. ............................................................. Sedangkan pengetahuan intuitif adalah pengetahuan ekspresif. . . pengetahuan yang didapatkan melalui imajinasi.69 Hal inilah yang membuat Croce berpendapat bahwa seni lebih utama dari ilmu, sebab Croce berasumsi bahwa ”intuisi membawa dunia kepada kita, fenomenafenomena; sedang konsep memberi noumena, maka seni lebih utama daripada
67
Loc.Cit.
68
Loc.Cit.
69
Leonardo Salamini, Teori Praksis Antonio Gramsci: Estetika, Praksis Politik, dan Historisisme, esai dalam Mikhail Liftschitz dan Leonardo Salamini, Praksis Seni: Marx & Gramsci, Penerbit Alinea, Yogyakarta, tanpa tahun, hal.175
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
63
ilmu.”70 Salamini sendiri mengomentari Croce dengan mengambil kesimpulan bahwa ”hakikat seni adalah, bagi Croce, wujud.”71 Penjelasan di atas membawa penulis pada pemahaman bahwa pengetahuan intuitif yang menghasil estetika dalam seni, mengambil hakikatnya dalam wujud (materi) estetika itu sendiri, dan bukan pada isi (ide) estetika. Dimensi estetika dapat dikenali dari unsur intrinsik yang dikandung dalam wujud seni, semisal bentuk teks karya sastra. Ini tentu berangkat dari paham materialisme yang dianut Croce. Dalam konteks penelitian ini, praktik estetika bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo hendak penulis kenali dengan menyimak bentuk teks berita di mana terdapat segenap unsur intrinsik teks sastra. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, praktik estetika bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan detail dalam teks, struktur, dan suara. Dan kini penulis akan berlanjut pada pemikiran Gramsci sebagai kelanjutan dari apa yang telah diuraikan Croce.
70
Ibid., hal.175-176
71
Ibid., hal.176
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
64
Kaitan Estetika dan Politik Jika Croce mengutamakan estetika pada wujudnya, maka Gramsci menekankannya pada isi dalam estetika itu sendiri. Hal ini diungkapkan oleh Salamini dalam menanggapi Gramsci tentang estetika sastra sebagai berikut: Alih-alih menanyakan apa yang indah dalam seni, ia ingin tahu mengapa suatu kesenian dinikmati publiknya. Mengambil contoh sastra, Gramsci mencatat bagaimana kepopulerannya tidak ditentukan oleh ”keindahan”, melainkan apakah ada muatan spesifik yang mampu menarik massa. ............................................................ semakin setia sastra dengan budaya dan ”perasaan nasional” dalam perkembangan berkelanjutan, makin populer karakternya.72 Asumsi Gramsci tersebut dikemukakan berdasarkan pandangannya yang mengatakan bahwa seni bukanlah produk dari dirinya sendiri, melainkan produk sejarah, maka ”nilai seni terletak dalam hubungan antaraseniman dengan masyarakatnya, zamannya, dan kondisi-kondisi sejarah umum.”73 Gramsci memang menyetujui pemilahan wujud dengan isi dalam dimensi estetika seni, namun ia kemudian lebih mengkajinya ke dalam sejarah dan memberi pandangan baru mengenai estetika. Jika sebelumnya kritik estetika menyoalkan mana yang seni dan yang bukan seni dari segi wujudnya, maka Gramsci menambahkannya dengan apa yang disebutnya sebagai kritik sosial budaya atau kritik politik. Salamini menggambarkan pemikiran Gramsci sebagai berikut, ”Jika kritik dibatasi hanya pada wujud, seperti yang dilakukan Croce, akan negatiflah 72
Ibid., hal.195
73
Ibid., hal.179
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
65
kegiatannya –suatu kritik yang datar dan kering. Kritik positif, alih-alih, diarahkan pada isi maupun wujud, maka jadilah ia kritik sosial dan budaya.”74 Dari sini penulis memahami bahwa Gramsci telah membedakan kritik estetik dengan kritik politik. Bila yang pertama mempersoalkan wujud, maka yang kedua mempersoalkan isi. Salamini pun berkomentar bahwa Gramsci ”memadukan keduanya dalam sebuah sintesis yang luar biasa, yakni kritik kebudayaan. Kritik estetik pada akhirnya politis.”75 Mengacu pada konsepsi Gramsci yang mengaitkan estetik dengan politik, maka dalam penelitian ini selain melakukan kritik estetik pada teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo, penulis juga melakukan kritik politik yang ditujukan pada penggunaan bahasa sebagai praktik politik bahasa.
Bahasa Puisi Sebagai Praktik Politik Adalah Michel Pechuex yang mengungkapkan adanya dimensi politik dalam penggunaan
bahasa,
berangkat
dari
asumsinya
yang
menyatakan
bahwa
sesungguhnya terdapat perbedaan akses dan penguasaan bahasa yang sama melalui kelas-kelas sosial. Pecheux, seperti yang dikutip Diane Macdonell, menjelaskan bahwa ”penggunaan bahasa yang berbeda tersebut dapat dituliskan kembali dalam
74
Ibid., hal.190
75
Ibid., hal.187
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
66
pertentangan makna yang beranjak dari ideologi yang berkuasa dan yang dikuasai yang dibentuk secara antagonis.”76 Macdonell kemudian melanjutkan sebagai berikut, “efek dari kombinasi ini adalah adanya ‘kosa kata sintaksis’ dan ‘argumen’ yang kontras, yang mengarah, kadang-kadang dengan kata yang sama, kepada arah yang berbeda tergantung pada sifat dari kepentingan ideologi yang dipertaruhkan.”77 Penulis memahami bahwa penggunaan bahasa mencerminkan sebuah situasi di mana ideologi yang berkuasa dengan ideologi yang dikuasai terlibat dalam sebuah pertentangan makna. Karenanya Macdonell kemudian menyimpulkan pemikiran Pechuex bahwa “terdapat suatu dimensi politik pada penggunaan masing-masing kata dan frase dalam tulisan atau percakapan.”78 Singkatnya, penulis memahami pernyataan Pechuex bahwa sebuah politik pertentangan makna yang tertuang dalam penggunaan bahasa. Dalam konteks penelitian ini, penggunaan bahasa dalam Jurnalisme Sastra, seperti halnya dalam sastra secara umum, tak bisa dilepaskan dari kandungan keindahan atau kepuitisannya.
76
Diane Macdonell, Teori-Teori Diskursus; Kematian Strukturalisme & Kelahiran Posstrukturalisme Dari Althusser hingga Foucault, Terjemahan Eko Wijayanto, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005, hal.60 77
Ibid., hal.60
78
Ibid., hal.46
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
67
Mengenai hal ini, Julia Kristeva memperkenalkan konsep ’the poetic language’ sebagai ”salah satu alternatif pengungkapan ide dan gagasan-gagasan yang efektif, khususnya apabila persoalan-persoalan yang ingin dikemukakan melibatkan secara mendalam perasaan, emosi, dan fantasi, seperti pada persoalan kejahatan dan kekerasan.”79 Konsepsi Kristeva tersebut ditanggapi Yasraf Amir Piliang yang berpendapat bahwa bahasa puitis (poetic) tersebut ”dapat membongkar hal-hal yang mendasar dan hakiki dari sebuah tragedi kemanusiaan. Diharapkan, melalui pendekatan kemanusiaan...persoalan-persoalan mendasar, esensial dan hakiki yang menyangkut krisis multidimensi,kekerasan dan kejahatan dapat dibongkar.”80 Dalam kata lain, penulis memahami Piliang hendak mengatakan bahwa bahasa puitis merupakan pendekatan kemanusiaan sebagai alternatif pengungkapan ide secara efektif yang melibatkan perasaan, emosi, dan fantasi secara mendalam. Karenanya penggunaan bahasa puitis diharapkan mampu membongkar persoalan mendasar, esensial dan hakiki yang menyangkut krisis multidimensi mengenai kemanusiaan itu sendiri. Penggunaan bahasa inilah juga dimaksudkan Piliang sebagai bagian dari produk sejarah dan merupakan unsur dari kebudayaan. ”Dan semua unsur
79
Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Menakutkan; Mesin-Mesin Kekerasan Dalam Jagat Raya Chaos, Penerbit Mizan, Bandung, 2001, hal.41 80
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
68
kebudayaan dapat berkaitan dengan kekuasaan (power). Artinya, semuanya dapat digunakan sedemikian rupa sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.”81 Penjelasan Piliang mengenai bahasa puitis, penggunaan bahasa, dan kekuasaan, sejalan dengan paradigma kritis yang juga memandang penggunaan bahasa sebagai praktik politik bahasa. Dedy N. Hidayat mengartikan politik bahasa dalam paradigma kritis sebagai ”penggunaan simbol-simbol bahasa dalam suatu struktur ideologi tertentu, oleh kelas sosial tertentu, untuk melanggengkan dominasi atau hegemoni mereka, terhadap kelas sosial lainnya.”82 Dengan kata lain, penulis memahami bahwa politik bahasa tersebut merupakan penggunaan bahasa dalam kerangka ideologis pemakainya sebagai praktik dominasi kelas. Ketika penggunaan bahasa ini dilakukan oleh institusi media massa, maka penulis mengacu pada uraian Hidayat di atas dengan menyebutnya sebagai praktik politik bahasa media. Segenap uraian tersebut kemudian membawa penulis pada kesimpulan bahwa dalam konteks penelitian ini, praktik politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo hendak penulis kenali dengan menyimak segenap penggunaan simbol dan gaya bahasa sastra yang puitis. Lewat simbol dan bahasa puitis tersebutlah, MBM Tempo mengembangkan 81 82
Jurnalisme
Sastra
sebagai
praktik
politik
bahasa
dalam
Ibid., hal.141
Dedy N. Hidayat, Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru, artikel dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999, hal.47
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
69
pemberitaannya. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, praktik politik bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip simbolisme.
A.6. Wacana Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai ”kemampuan untuk maju (dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya... komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.”83 Sedangkan menurut Riyono Praktikno, wacana adalah ”proses berpikir seseorang yang kaitannya dengan ada tidaknya kesatuan dan koherensi dalam tulisan yang disajikannya. Makin baik cara atau pola berpikir seseorang, pada umumnya makin terlihat jelas adanya kesatuan dan koherensi itu.”84 Dari sumber di atas, penulis memahami bahwa wacana sebagai bentuk komunikasi yang terbentuk dari kesatuan (kohesi) dan (kepaduan) koherensi dalam bahasa. Namun pengertian wacana tersebut baru sebatas dalam pengertian struktural. Untuk itu dalam menguraikan bagaimana teori wacana sebagai landasan teoritis penelitian ini dan model analisis wacana kritis yang digunakan, penulis mengacu pada teori wacana yang digagas Michel Foucault.
83
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Semiotik, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001, hal.10 84
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
70
Teori Wacana Foucault Michel Foucault adalah seorang pemikir poststrukturalisme yang menggagas teori wacana dengan melampaui pemikiran strukturalisme tentang bagaimana sebuah wacana terbentuk. Jika menurut strukturalisme, sebuah wacana terbentuk dari keterkaitan yang baik antara kohesi dan koherensi dalam kalimat, maka menurut Foucault, sebuah wacana merupakan produk dari relasi kekuasaan dengan pengetahuan. Untuk itu, penulis akan memulai pembahasan teori wacana dari asumsi Foucault tentang kekuasaan. Secara tradisional, kekuasaan kerap dipandang sebagai kemampuan atau kekuatan pihak tertentu untuk menguasai yang pihak lemah. Misal saja kekuasaan raja atau pemerintah kepada rakyatnya. Kekuasaan di sini tentu bersifat negatif. Namun Foucault, seperti yang ditulis Melani Budianta, justru memandang kekuasaan bersifat produktif: Berbeda dengan konsep kekuasaan yang umum, yakni yang dimiliki oleh pihak-pihak yang kuat terhadap yang lemah, kekuasaan bagi Foucault seperti yang diuraikan dalam bukunya Power/ Knowledge bukanlah merupakan suatu entitas atau kapasitas yang dapat dimiliki oleh satu orang atau lembaga, melainkan dapat diibaratkan dengan sebuah jaringan yang tersebar dimana-mana. Jadi kekuasaan tidak datang secara vertikal dari penguasa terhadap yang ditindas, dari pemerintah ke rakyat, melainkan datang dari semua lapisan masyarakat, ke segala arah.85
85
Melani Budianta, Teori Sastra Sesudah Strukturalisme dari Studi Teks ke Studi Wacana Budaya, artikel dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Op.Cit., hal. 49
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
71
Penulis memahami bahwa kekuasaan menurut Foucault tidak lagi dimaknai secara vertikal dari atas ke bawah, atau dari institusi penguasa kepada individu yang dikuasai, melainkan bahwa kekuasaan datang dari semua lapisan tetapi ia menyebar secara kompleks kepada segenap individu sebagai subjek yang kecil, dan menyebabkan praktik kuasa ada di mana-mana. Foucault kemudian mengaitkan bahwa praktik kekuasaan inilah yang kemudian mempengaruhi pengetahuan manusia tentang ’kebenaran’. Dalam artian, apa yang manusia anggap sebagai ’kebenaran’, merupakan hasil dari relasi-relasi kekuasaan yang membentuk sistem pengetahuan manusia tentang ’kebenaran’ itu sendiri. Foucault, seperti yang dikutip Mh. Nurul Huda, kemudian berpendapat bahwa: Kebenaran tidak berada di luar kekuasaan...kebenaran selalu terkait dengan relasi kekuasaan dalam ranah sosial dan politik. Kebenaran diproduksi melalui banyak cara dan dalam aneka praktek kehidupan manusia sebagai cara mengatur diri mereka dan orang lain. Karena itu, setiap produksi pengetahuan sesungguhnya memuat rezim kebenaran. Dengan demikian, kekuasaan pun bersifat konstitutif dalam pengetahuan, sehingga kekuasaan sebenarnya tersebar pada seluruh level masyarakat dan bermacam relasi sosial.86 Penjelasan di atas penulis pahami bahwa lewat relasi kekuasaan yang menyebar itulah manusia membuat atau memproduksi sistem atas suatu pengetahuan tertentu yang tidak lagi dipertanyakan orang, hingga dianggap sebagai suatu ’kebenaran’.
86
Mh. Nurul Huda, Ideologi Sebagai Praktek Kebudayaan, artikel dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.XXVII No.3/2004, hal.53
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
72
Maka jelas bahwa kekuasaan selalu meproduksi pengetahuan manusia, dan produksi pengetahuan manusia sesungguhnya memuat rezim ’kebenaran’. Dalam rangka inilah Foucault menempatkan wacana (discourse; diskursus) sebagai praktik yang terbentuk dari relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan. Budianta menulis bahwa, ”Menurut Foucault, kekuasaan mewujudkan diri melalui wacana dengan berbagai cara. Salah satu di antaranya adalah melalui prosedur menyeleksi atau memisahkan mana yang dianggap layak dan yang tidak layak; dengan memberlakukan sejumlah pelarangan terhadap beberapa jenis wacana...dengan membedakan apa yang disebut benar dan salah.”87 Mengenai kaitan antara kekuasaan dengan pengetahuan dalam sebuah wacana, Eriyanto juga berkomentar demikian: Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran disini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit...akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khalayak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran tertentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.88 Hal tersebut penulis pahami bahwa kebenaran atau pengetahuan manusia yang tercermin dalam sebuah wacana, sangat ditentukan dari praktik-praktik kekuasaan yang melingkari manusia itu sendiri. Apa yang dianggap benar dan yang dianggap
87
Melani Budianta, Op.Cit., hal.48
88
Eriyanto, Op.Cit, hal.66-67
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
73
salah oleh manusia, merupakan wacana sebagai hasil dari relasi kekuasaan dengan pengetahuan.
Ideologi, Hegemoni, dan Aparatus Negara Foucault juga kemudian mengkritik Karl Marx yang berusaha memisahkan pengetahuan sejati yang sesuai dengan realitas, dengan pengetahuan palsu yang tidak mencerminkan realitas sebenarnya (ideologi). Menurut Foucault, tidak ada pengetahuan sejati, sebab pengetahuan manusia terbentuk dari praktik wacana. Sehingga setiap pengetahuan adalah ideologi. Dan ideologi ada dalam praktik wacana itu sendiri. Berkaitan dengan hal di atas, Huda menyatakan bahwa, ”Bila Marx berpandangan bahwa ideologi adalah mistifikasi kekuasaan, Foucault lebih tegas menyatakan bahwa ideologi sebenarnya adalah ’discourse’ yang berjalin-kelindan dengan aneka praktek masyarakat, di mana relasi kekuasaan berlangsung dan di dalamnya diciptakan sebentuk kebenaran.”89 Keterangan di atas membawa penulis pada bagaimana pengetahuan manusia (ideologi) tersebut disebarkan dan diproduksi dalam sebuah wacana. Dalam rangka inilah dapat ditempatkan konsep Louis Althusser yang memperkenalkan bentuk Aparatus Negara sebagai agen-agen pemerintah yang mereproduksi ideologi, yakni Aparatus Ideologis Negara (AIN).
89
Mh. Nurul Huda, Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
74
Althusser melihat bahwa ada Aparatus Negara yang memproduksi ideologi sebagai pengetahuan masyarakat. Ia menyebutkan “Aparatus Represif Negara menjalankan fungsinya dengan kekerasan, sementara Aparatus Ideologis Negara menjalankan fungsinya dengan ideologi.”90 Aparatus Ideologis Negara (AIN) tersebut antara lain adalah “AIN Keagamaan,...AIN Pendidikan,...AIN Keluarga,…AIN Hukum,…AIN Politik,…AIN Serikat Buruh,…AIN Komunikasi,…AIN Kebudayaan.”91 AIN inilah yang dijelaskan Althusser berfungsi; …secara masif dan terutama dengan menggunakan ideologi, apa yang menyatukan keberagaman mereka itu ialah dalam pelaksanaan fungsi karena ideologi yang mereka jalankan dalam senantiasa satu, tak peduli keberagaman dan kontradiksi-kontradiksi di antara mereka. Ideologi itu ialah ideologi yang berkuasa, yang tak lain adalah ideologinya kelas yang berkuasa.92 Penjelasan Althusser tentang AIN tersebut memang berusaha menyeragamkan sekian banyak AIN dalam satu kerangka ideologi tunggal yang merupakan cerminan ideologi kelas berkuasa. Dan penulis bahwa Althusser hendak menekankan bahwa ideologi menempatkan individu dalam hubungan relasi-relasi kekuasaan sejumlah AIN yang digunakan kelas berkuasa dalam mengontrol kelas yang dikuasainya.
90
Louis Althusser, “Ideologi dan Aparatus Ideologis Negara”, esai dalam Louis Althusser, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resist Book, Yogyakarta, 2007, hal.169 91
Ibid., hal.167-168
92
Ibid., hal.171
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
75
Relasi-relasi kekuasaan tersebut sebagai konsep hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci. Eriyanto dalam mengenai keterhubungan konsep Althusser dengan Gramsci dinyatakan sebagai berikut: Teori Althusser tentang ideologi menekankan bagaimana kekuasaan kelompok yang dominan dalam mengontrol kelompok lain. Pertanyaannya, bagaimana cara penyebaran ideologi itu dilakukan? Pada titik ini, teori Gramsci tentang hegemoni layak dikedepankan. Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindak kekerasan.93 Menyoal konsep hegemoni, Eriyanto juga menyebutkan Raymond William sebagai pemikir yang menanggapi Gramsci lebih lanjut. William sendiri merumuskan bahwa hegemoni “bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya. Lewat hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, sementara nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Berbeda dibandingkan manipulasi hegemoni justru terlihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dengan sukarela.”94 Apa yang disampaikan William tersebut memang melanjutkan pemikiran Gramsci, yang mana keduanya berangkat dari penjelasan Althusser tentang AIN. Untuk itu penulis berkesimpulan bahwa dari seluruh penjelasan di atas, yakni hegemoni merupakan suatu relasi kekuasaan yang menyebarkan ideologi negara (atau kelompok berkuasa) lewat AIN-AIN, di mana ideologi tersebut diterima secara
93
Eriyanto, Op.Cit., hal.103
94
Eriyanto, Politik Pemberitaan, Majalah Pantau Edisi 09.Tahun 2000, hal.82
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
76
sukarela dan dianggap sebagai pengetahuan masyarakat. Semua ini tercermin sebagai praktik wacana yang dilakukan oleh AIN-AIN tersebut. Untuk itu, penulis memandang bahwa wacana merupakan cara menghasilkan pengetahuan, praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di baliknya, dan kesaling-berkaitan di antara semua aspek ini.
Metode Analisis Wacana Kritis Dalam tradisi ilmu komunikasi dan kebahasaan (linguistik), metode yang digunakan dalam menggali bagaimana pesan komunikasi ditampilkan lewat bahasa, yakni dengan menggunakan analisis kebahasaan atau teks secara struktural. Antara lain adalah metode analisis isi dan analisis wacana. Melanjutkan pendekatan kebahasaan dalam metode analisis wacana secara struktural, kini hadir analisis wacana kritis yang mengembangkan komponen analisisnya lebih luas lagi. Untuk itu Guy Cook menyebutkan ada tiga komponen analisis dalam wacana, yakni teks, konteks, dan wacana. Cook menguraikannya sebagai berikut: Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana di sini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi.95 95
Eriyanto, Op.Cit., 2005, hal.9
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
77
Dalam uraian Cook inilah, ketiga komponen tersebut yang hendak dikaji dalam studi analisis bahasa dan analisis teks media. Adapun metode Analisis Wacana Kritis merupakan ragam metode studi bahasa dan teks media yang menganalisis wacana dengan bersandar pada paradigma kritis. Dalam kata lain, analisis pada tataran struktur kebahasaan dan penyampaian pesan yang dibungkus dalam simbolsimbol kebahasaan tertentu, dilanjutkan dengan menganalisis “proses produksi dan reproduksi makna dalam teks yang terjadi secara historis maupun institusional dalam media tersebut.”96 Menurut Fairclough dan Wodak, seperti yang dikutip Eriyanto, analisis wacana kritis melihat “wacana –pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan– sebagai bentuk praktik sosial yang menyebabkan sebuah hubungan dialektis di antara peristiwa diskursif tertentu dengan situasi, institusi, dan struktur sosial yang membentuknya.”97 Karenanya, Analisis Wacana Kritis berusaha menghubungkan teks yang mikro dengan konteks yang makro di mana teks tersebut diproduksi. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di alamnya praktik kekuasaan.
96
Ibid, hal.6
97
Ibid., hal.7
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
78
B. Operasionalisasi Konsep Berbeda dengan pendekatan kuantitatif, dalam penelitian kualitatif ukuran konsep yang operasional bukan merupakan ukuran pasti dan terukur. Namun hal ini dapat diatasi dengan memasukkan sebanyak mungkin fakta empiris ke dalam penelitian dan melihat bagaimana konsep-konsep yang ada dapat bekerja selanjutnya. Berikut ini uraian singkat yang penulis gunakan sebagai acuan operasional dari konsep-konsep terkait dalam penelitian ini: 1. Media massa merupakan sebuah institusi komunikasi publik yang menyampaikan pesan kepada masyakat luas, serta berpartisipasi dalam aspek permasalahan dalam masyarakat tersebut, seperti ekonomi, politik dan budaya dimana media massa tersebut hidup. 2. Media massa dalam paradigma kritis bukanlah sarana yang netral dalam pemberitaannya. Media menempatkan kelompok-kelompok yang diberitakannya tersebut dalam posisi yang dominan dan marjinal. Media merupakan pembentuk konsensus di masyarakat terjadi lewat proses yang rumit, kompleks, dan melibatkan kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, MBM Tempo adalah kelompok institusi media yang dikelilingi kekuatan-kekuatan sosial di sekelilingnya. 3. Berita merupakan laporan faktual dan aktual yang menarik perhatian pembaca dan dipilih oleh staff redaksi untuk disiarkan. 4. Berita dalam paradigma kritis adalah hasil dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
79
ideologi wartawan atau media. Sebuah teks berita ditulis oleh wartawan bukan berdasarkan pertimbangan etis, tetapi dari pertimbangan ideologis. Dalam penelitian ini, berita yang hendak dianalisis adalah berita yang memuat kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. 5. Korupsi merupakan merupakan suatu tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang demi memperoleh keuntungan pribadi. Korupsi dekat dengan kekuasaan pemerintah sebagai penyelenggara negara. Dan kebanyakan dari kasus korupsi yang terjadi, menunjukkan keterlibatan pejabat negara. 6. Pejabat negara adalah orang yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penelitian ini, pejabat Negara yang dimaksud adalah penjabat Negara setingkat menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. 7. Feature berita adalah laporan jurnalistik yang menggabungkan kandungan unsur aktualitas dan unsur daya pikat manusia, serta memiliki kandungan subjektifitas dan kreatifitas wartawannya lewat teknik penulisan tertentu sebagai sebuah pemberitaan mengenai suatu peristiwa. 8. Jurnalisme Sastra merupakan bagian dari Jurnalisme Baru yang lahir di Amerika Serikat pada 1960-an, yakni perpaduan antara bentuk penulisan sastra dengan jurnalisme. Jurnalisme Sastra dapat dikenali dari praktik peliputannya dan bentuk penulisannya. Jenis tulisannya sendiri dapat dikategorikan sebagai feature berita.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
80
9. Dari sisi praktik peliputan, Jurnalisme Sastra merupakan salah satu bentuk praktik jurnalisme yang sejalan dengan tuntutan zaman, agar institusi media cetak dapat menyajikan berita yang mendalam sekaligus menarik. Karenanya praktik Jurnalisme Sastra melibatkan peran redaktur atau wartawan senior dalam penulisannya, serta memakan waktu peliputan yang lama. Dalam penelitian ini, analisis praktik peliputan atau produksi berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan ditempatkan pada level discourse practice dalam metode Analisis Wacana Kritis. 10. Dari sisi bentuk penulisan, Jurnalisme Sastra dapat dikenali bentuknya lewat unsur intrinsik dimana digunakan setidaknya 10 prinsip penulisan Jurnalisme Sastra, yakni penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan detail dalam teks, akurasi, keterlibatan, struktur, suara, tanggung jawab, dan simbolisme. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra tersebut, penulis hendak mengetahui bagaimana unsur intrinsik yang dikembangkan dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa. 11. Selain menyoalkan mana yang seni dan yang bukan seni dari segi wujud, kritik estetik juga mesti dilakukan dalam rangka kritik politis. Bila kritik estetik dalam penelitian ini ditujukan pada unsur intrinsik teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo, maka kritik politik ditujukan pada penggunaan bahasa sebagai praktik politik bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo. Dalam penelitian ini, analisis praktik estetik dan politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan ditempatkan pada level teks dalam metode Analisis Wacana Kritis.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
81
12. Estetika merupakan pengetahuan intuitif yang mengambil hakikatnya dalam bentuk (materi) estetika itu sendiri. Dimensi estetika dapat dikenali dari unsur intrinsik yang dikandung dalam wujud seni, semisal bentuk teks karya sastra. Dalam konteks penelitian ini, praktik estetika bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo hendak penulis kenali dengan menyimak bentuk teks berita di mana terdapat segenap unsur intrinsik teks sastra. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, praktik estetika bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, penempatan detail dalam teks, struktur, dan suara. 13. Politik bahasa media merupakan penggunaan bahasa lewat simbol-simbol bahasa dalam suatu struktur ideologi tertentu, oleh kelas sosial tertentu, dalam kerangka ideologis media massa sebagai praktik dominasi kelas untuk melanggengkan dominasi mereka terhadap kelas sosial lainnya. Dalam konteks penelitian ini, praktik politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo hendak penulis kenali dengan menyimak segenap penggunaan simbol dan gaya bahasa sastra yang puitis. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, praktik politik bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip simbolisme. 14. Wacana
adalah
cara
menghasilkan
pengetahuan,
praktik
sosial
yang
menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di baliknya, dan kesaling-berkaitan di antara semua aspek ini.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
82
15. Analisis Wacana Kritis merupakan metode analisis teks media yang menghubungkan teks yang mikro dengan konteks yang makro di mana teks tersebut diproduksi. Konteks di sini berarti bahasa itu dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu, termasuk di dalamnya praktik kekuasaan.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
83
C. Kerangka Pemikiran Konsep-konsep yang telah dijelaskan sebelumnya tergambar dalam kerangka pemikiran sebagai berikut:
MBM Tempo
Jurnalisme Sastra
PEMBERITAAN KASUS DUGAAN KORUPSI YANG MELIBATKAN PEJABAT NEGARA KABINET INDONESIA BERSATU
Analisis Wacana Kritis
Teks (Analisis Teks Ekletif) Discourse Practice Sociocultural Practice
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
BAB III DESAIN PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian Istilah paradigma diperkenalkan pertama kali oleh Thomas Kuhn dalam menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan. Ia merumuskan bahwa paradigma adalah ”serangkaian asumsi-asumsi teoritis yang umum serta hukum-hukum ilmiah beserta tehnik-tehnik penerapannya yang diterima oleh komunitas ilmiah tertentu.”1 Dalam konteks penelitian ilmiah, Bogdan dan Biklen merumuskan bahwa paradigma adalah “kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.”2 Dari dua keterangan di atas, penulis memahami bahwa paradigma merupakan arah cara berpikir dalam penelitian ilmiah, yang sesuai dengan asumsi teoritis, hukum ilmiah, dan tehnik penerapan tertentu yang digunakan oleh komunitas ilmiah tertentu. Maka sebuah paradigma berfungsi untuk mendasari dan memediasi praktik-praktik ilmiah dalam masyarakat ilmiah tertentu. Kuhn juga mengatakan jika praktik-praktik ilmiah yang berlaku di masyarakat ilmiah tersebut mulai mengalami kegagalan dan tidak sanggup lagi mempertahankan klaim-klaim teoritisnya, maka akan terjadi sebuah krisis ilmiah. Krisis inilah yang 1
Rachmad Hidayat, Ilmu yang Seksis; Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin., Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2004, hal.77 2
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal.49
84
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
85
menurut Kuhn dapat diatasi bukan dengan jalan memperbaiki paradigma yang sudah ada, melainkan menggantikannya dengan sebuah paradigma yang baru: Untuk selanjutnya paradigma tersebut dipercaya dengan janji-janji ilmiahnya, dan mulai berfungsi membimbing praktik-praktik ilmu yang baru hingga akhirnya menemui masa krisisnya sendiri. Siklus pergantian antar paradigma yang berjalan terus menerus serta bersifat bersifat terputus-putus itulah yang disebut Kuhn sebagai revolusi ilmiah.3 Dari penjelasan di atas penulis menyimpulkan bahwa kekuatan dasar yang mampu mempertahankan eksistensi sebuah ilmu pengetahuan adalah paradigma. Paradigma memberikan sistematisasi dan sekaligus konstruksi cara pandang untuk menangkap objek realitas kebenaran yang ada pada seluruh bagian ilmu pengetahuan. Paradigma tidaklah bersifat tunggal, universal, dan abadi, melainkan majemuk, temporer, dan berganti-ganti dalam masa tertentu. Paradigma yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. yang bersumber dari Teori Kritis Mazhab Frankfurt. Paradigma kritis sendiri merupakan paradigma baru yang lahir setelah paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan mengalami krisis ilmiah. Teori Kritis lahir sebagai kelanjutan dari kultur perkembangan pemikiranpemikiran kritis sejak Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx, dan psikoanalisa Sigmund Feud. Dari keempat pemikiran kritis para filsuf besar inilah, pemikir-pemikir kelompok Sekolah Frankfurt di Jerman (yang kemudian dikenal sebagai Mazhab
3
Rachmad Hidayat, Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
86
Frankfurt) melahirkan Teori Kritis sebagai ‘kritik ideologi’ terhadap ilmu pengetahuan. Martin Jay mengatakan bahwa, “Teori Kritis menolak memberhalakan pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari tindakan. Selain itu, ia mengakui bahwa penelitian ilmiah yang nir-kepentingan tidak mungkin dilakukan dalam suatu masyarakat di mana anggotanya belum otonom.”4 Penulis memahami bahwa pada dasarnya peneliti sebagai individu merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri. Karena individu tidak mungkin terlepas dari lingkungan sosial masyarakatnya, maka individu tersebut tidak mungkin terbebas dari kepentingan atau pengaruh sosialnya. Maka, jelas artinya bahwa pengetahuan tidak bisa terlepas dari kepentingan atau ideologi tertentu. Adalah Max Horkheimer, generasi pertama Mazhab Frankfurt, yang merumuskan empat karakter dialektis Teori Kritis, yakni: Pertama, Teori Kritis bersifat historis, artinya Teori Kritis dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang konkret dan berpijak di atasnya. Kedua, karena Teori Kritis dibangun atas kesadaran penuh dan keterlibatan penuh para pemikirnya, maka Teori Kritis juga kritis pada dirinya sendiri dengan demikian membuka dari segala kritik, evaluasi dan refleksi terhadap dirinya. Ketiga, Teori Kritis selalu mempunyai kecurigaan penuh terhadap masyarakat aktual, karena secara mendasar ia selalu akan mempertanyakan segala kenyataan yang ada di balik kedok-kedok ideologis. Keempat, Teori Kritis dibangun untuk mendorong terjadinya transformasi masyarakat dengan jalan praksis.5
4
Martin Jay, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis, Kreasi Wacana, 2005, h.115 5
St. Tri Guntur Narwaya, Matinya Ilmu Komunikasi, Resist Book, Yogyakarta, Mei, 2006, hal.163-164
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
87
Di sisi lain, kelahiran Teori Kritis sebagai salah paradigma ilmu juga banyak dipengaruhi situasi sosial politik di Jerman saat itu. Hal ini diungkapkan Tri Guntur Narwaya: Kemunculan Teori Kritis sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik pada waktu itu, yaitu ketika rezim Stalinisme dan Nazisme Jerman dianggap menghancurkan peradaban kemanusiaan.. para pemikir Frankfurt berusaha untuk melakukan upaya pembongkaran terhadap totalitarisme dan selubung-selubung ideologis yang dibangunnya.6 Hal ini berarti, tugas utama Teori Kritis merupakan upaya untuk menelanjangi usaha-usaha dominasi total, sekaligus membongkar praktik ideologi yang dilakukan oleh rezim dominan tersebut. Realitas sosial-politik di Jerman saat Teori Kritis berkembang, tengah dalam kondisi masyarakat yang dipenuhi propaganda Hilter lewat media. Media menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik. Paradigma kritis kemudian memandang media bukan lagi sebagai entitas yang netral, tetapi bisa dikuasai oleh kelompok dominan. Dalam konteks penelitian tentang media massa, Ibnu Hamad menguraikan bahwa paradigma kritis adalah salah satu dari banyak paradigma penelitian: Paradigma kritikal melihat realitas yang teramati (vitual realiy), dalam hal ini realitas media, adalah realitas ‘semu’ yang terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan-kekuatan sosial budaya dan ekonomi politik. Dengan demikian… yang menjadi objek dalam riset ini, adalah realitas yang teramati sebagai konstruksi para pembuatnya (wartawan) yang dipengaruhi oleh faktor sejarah media di mana para wartawan bekerja dan oleh kekuatan-kekuatan lain itu.7 6 7
Ibid., hal.165
Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa; Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Penerbit Granit, Jakarta, 2004, hal.38
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
88
Dari penjelasan di atas penulis memahami bahwa secara ontologis, paradigma kritis memandang objek realitas yang diamati dalam penelitian adalah realitas semu yang terbentuk oleh faktor sejarah kekuatan-kekuatan lain yang mengelilingi media tersebut. Hamad kemudian menjelaskan bahwa pada tataran epistemologis, “paradigma kritik melihat hubungan antara peneliti dan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu (transactionalist/ subjectivist).”8 Penulis memahami bahwa posisi peneliti dalam paradigma ini tidaklah terlepas dari kepentingan atau pengaruh sosial. Sebab pada dasarnya peneliti sebagai individu merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri dan paradigma kritis berasumsi bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang terpisah dan lebih penting dari tindakan. Kemudian pada level metodologi, Hamad mengusulkan penggunaan multi level methods yang mengacu pada model Norman Fairclough: Seraya menempatkan diri sebagai aktivis/ partisipan dalam proses transformasi sosial, penulis melakukan analisis secara komprehensif, kontekstual, dan dalam berbagai tingkatan (mulati-level analysis) . . . yang mengacu pada pemikiran Fairclough guna memenuhi tuntutan methodologis paradigma kritis itu. Teknik penelitian seperti ini dilakukan tiada lain agar dapat diperoleh pemahaman secara empatif (empathic understanding atau verstehen) dalam menemukan makna di balik teks atau tanda dengan memperhatikan konteks dalam berbagai tingkatannya.9
8
Ibid., hal.43
9
Ibid., hal.44
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
89
Sejalan dengan paradigma kritis yang lahir dari keterbatasan paradigma positivisme, maka pendekatan metodologi yang tepat dalam menjalankan penelitian ini adalah pendekatan metodologi kualitatif. Emy Susanti Hendrarso menjelaskan sebagai berikut: Penelitian kualitatif yang berakar dari ‘paradigma interpretatif’ pada awalnya muncul dari ketidakpuasan atau reaksi terhadap ‘paradigma positivist’ yang menjadi akar penelitian kuantitatif. Ada beberapa kritik yang dilontarkan terhadap pendekatan positivist, di antaranya adalah pendekatan kuantitatif mengambil model penelitian ilmu alam untuk penelitian sosial sehingga tidak dapat digunakan untuk memahami kehidupan sosial sepenuhnya.10 Hendrarso kemudian melanjutkan bahwa penelitian kualitatif dapat diterapkan apabila, “topik penelitiannya merupakan hal yang sifatnya kompleks, sensitif, sulit diukur dengan angka, dan berhubungan erat dengan interaksi sosial dan proses sosial.”11 Mengenai pendekatan kualitatif, Lexy J. Moleong dengan mengutip Bogdan dan Taylor, menjelaskan bahwa penelitian metodologi kualitatif sebagai “prosedur penelitian yang menghasikan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. . . pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh).12
10
Emy Susanti Hendrarso, “Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar”, dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005, hal.166 11
Ibid., hal.170
12
Lexy J. Moleong, Op.Cit., hal.3
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
90
Dari keterangan di atas, penulis pahami bahwa penggunaan pendekatan kualitatif lahir karena keterbatasan pendekatan kuantitatif dan paradigma positivisme. Karenanya penulis mendapati kesesuaian dalam menggunakan pendekatan kualitatif dengan paradigma kritis sebagai landasan metodologis penelitian ini. Dari keterangan tersebut penulis juga memahami bahwa penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan topik Jurnalisme Sastra yang sifatnya kompleks, sulit diukur dengan angka, dan berhubungan erat dengan interaksi sosial dan proses sosial. Karenanya, penelitian yang penulis jalankan di sini tidak semata menghasilkan data yang dapat diukur berupa angka, namun akan menghasikan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang dapat diamati. Penggunaan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini membuat hubungan penulis sebagai peneliti dengan objek penelitian adalah hubungan yang interaktif, dan sarat penilaian. Interpretasi penulis sebagai peneliti terhadap objek penelitian tak bisa dilepaskan dari latar subjektif sosio-kultur penulis. Mengenai subjektifitas dalam interpretasi ini, Agus Sudibyo mengungkapkan, ”mesti disadari bahwa proses pemaknaan itu tak bisa dilepaskan dari unsur subyektivitas sang pemberi makna. Namun tak perlu khawatir, sebab teori-teori jenis ini memang mengizinkan seorang peneliti melakukan interpretasi atas teks secara subyektif akibat pengaruh pengalaman hidupnya.”13 13
Agus Sudibyo, Ibnu Hamad dan Muhamad Qadari, Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa, ISAI, Jakarta, 2001, h.18
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
91
Hal di atas penulis pahami sebagai karakteristik pendekatan kualitatif yang memungkinkan intepretasi dan subjektivitas peneliti merupakan syarat dalam menggunakan metode analisis wacana kritis. Kemudian dalam kaitannya dengan metode penelitian yang akan penulis gunakan, Alex Sobur mengemukakan karakteristik pendekatan kualitatif dalam metode analisis wacana kritis sebagai berikut: Pertama, analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks ketimbang jumlah unit kategori seperti dalam analisis isi. Kedua, analisis wacana berpretensi memfokuskan pada pesan latent (tersembunyi). Ketiga, analisis wacana bukan sekedar bergerak dalam level makro (isi dari satu teks), tetapi juga pada level mikro yang menyusun suatu teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris. Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan generalisasi.14
Dari keterangan di atas, penulis memahami bahwa pada dasarnya setiap teks dapat dimaknai secara berbeda dan ditafsirkan secara beragam. Karenanya, metode Analisis Wacana Kritis tidak berpretensi melakukan generalisasi, namun lebih menekankan pada pemaknaan pesan laten dalam teks sesuai kemampuan interpretasi peneliti. Dari hal tersebutlah kualitas penelitian dapat dinilai.
B. Metode Penelitian Metode yang penulis gunakan disini adalah metode Analisis Wacana Kritis yang dimaksudkan dapat menggali bagaimana mengetahui bagaimana hubungan antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso, dengan 14
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Semiotik, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001, hal.70-71
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
92
konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Eriyanto mengungkapkan bahwa secara umum ada tiga tingkatan analisis dalam analisis wacana kritis: Pertama, analisis mikro, yakni analisis pada teks semata, yang dipelajari terutama unsur bahasa yang dipakai. Kedua, analisis makro, yakni analisis struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat. ................................................ ............. Ketiga, analisis meso, yakni analisis pada diri individu sebagai penghasil atau pemroduksi teks, termasuk juga analisis pada sisi khalayak sebagai konsumen teks.15 Ketiga tingkatan ini sejalan dengan tujuan penelitian yang hendak mengetahui bagaimana hubungan antara teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso, dengan konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media. Eriyanto mengatakan bahwa ketiga level tersebut secara lengkap terdapat pada model yang diperkenalkan oleh Teun A. van Dijk dan Norman Fairclough yang juga memokuskan analisis pada level meso produksi teks berita. Ia mengatakan bahwa, ”Pada model van Dijk dan Fairclough bukan semata memasukkan konteks sebagai variabel penting dalam analisis tetapi juga analisis pada tingkat meso, bagaimana konteks itu diproduksi dan dikonsumsi.”16
15
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Certakan ke4, LKiS, Yogyakarta, 2005, hal.344-345 16
Ibid., hal.345
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
93
Adapun model yang diperkenalkan oleh Norman Fairclough dalam tiga level: teks, dicourse practice, dan sociocultural practice. Model ini sesuai dan tepat digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini. Karena selain melakukan analisis pada level teks mikro dan konteks yang makro, analisis juga ditekankan pada level discouse practice yang merupakan analisis meso pada proses produksi dan konsumsi teks. Eriyanto mengatakan bahwa ketiga level dalam model ini memusatkan perhatian wacana pada bahasa. ”Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai praktik sosial, lebih daripada aktivitas individu atau untuk merefleksikan sesuatu.”17 Khusus dalam level teks, analisis menekankan pada ”bagaimana teks itu mencerminkan kekuatan sosial dan politik yang ada dalam masyarakat. Bagaimana teks mempunyai keterkaitan yang erat dengan praktik sosial politik yang terjadi dan tercipta dalam masyarakat.”18 Lewat level teks model Fairclough inilah, dimensi politik bahasa dari pemberitaan media dapat diketahui sebagai praktik media dalam memarjinalkan kelompok lain secara hegemonik. Adapun kategori analisis teks Fairclough ialah: Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu. .................................................................. Kedua, relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca. . . Ketiga, identitas, merujuk pada konstruksi tertentu 17
Ibid., hal.286
18
Ibid., hal.345
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
94
dari identitas wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan.19 Mengingat bahwa fokus penelitian di sini juga menekankan pada bagaimana pengadopsian dimensi estetik dan politik bahasa menyusup dalam teks berita, penulis memandang bahwa ketiga kategori analisis teks yang digagas Fairclough tidak cukup mampu menggali dimensi estetik dan politik bahasa tersebut. Untuk itu penulis perlu mengkombinasikan model Fairclough dengan menempatkan kategori analisis teks yang mampu menggali dimensi estetik sekaligus politik bahasa. Maka pada level teks, penulis menggunakan metode analisis teks ekletif. Hamad menjelaskan bahwa metode analisis teks ekletif sebagai ”sebuah teknik penggabungan konsep-konsep yang relevan ke dalam satu pendekatan metode.”20 Hamad kemudian menyebutkan dua alasan yang menjadi dasar penggunaan analisis wacana ekletif pada level teks sebuah penelitian: Dua alasan dipakainya metode ekletif ini, pertama, metode analisis wacana banyak ragamnya dan tampaknya dibangun berdasarkan keperluan si pembuat untuk menjelaskan masalah penelitiannya. .................................................................. Kedua, dipakainya analisis wacana ekletif, didasarkan pada kepatutan sebuah metode. Bahwasanya, pemakaian sebuah metode penelitian haruslah disesuaikan dengan permasalahannya.21
19
Ibid., hal.287
20
Ibnu Hamad., Op.Cit., hal.48
21
Ibid., hal.48-50
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
95
Pendapat ini juga diperkuat oleh keterangan Eriyanto yang mengatakan bahwa setiap model dalam metode analisis wacana kritis memiliki karakteristiknya masingmasing, serta ”ada kemungkinan dua bentuk metode tersebut diintegrasikan agar memperoleh hasil yang maksimal.”22 Meski begitu, upaya penggabungan konsep-konsep yang relevan ke dalam metode teks ekletif pada penelitian ini, akan penulis lakukan dengan tetap mengacu pada prinsip teks ekletif yang disyaratkan Hamad, yakni ”. . . secara prinsipil, setiap teks (berita) adalah hasil konstruksi realitas yang mencakup minimal tiga aspek: perlakuan atas peristiwa . . . , strategi pengemasan, dan penggunaan simbol, maka analisis wacana untuk penelitian ini dibangun atas dasar konsep-konsep tersebut.”23 Mengacu pada keterangan Hamad dan Eriyanto di atas, penulis menggunakan metode analisis teks ekletif mencakup tiga aspek yang relevan dengan tujuan penelitian, demi mendapatkan hasil penelitian yang maksimal, dan berlandaskan pada kerangka teori penelitian ini, yaitu estetik dan politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo. Aspek pertama teks ekletif, yakni perlakuan atas peristiwa atau lebih dikenal dengan agenda setting. Perangkat analisisnya adalah tema yang diangkat dan penempatan berita. Ibnu Hamad sendiri memandang analisis terhadap aspek ini perlu dilakukan sebab ”dalam analisis wacana yang telah ada aspek ini sering diabaikan.”24
22
Eriyanto, Op.Cit., hal.337
23
Ibnu Hamad, Op.Cit., hal.50 Ibid., hal.49
24
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
96
Aspek kedua teks ekletif, yakni strategi pengemasan. Penulis memandang bahwa dalam aspek inilah analisis terhadap estetika bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo dapat dimungkinkan. Maka dalam hal ini, penulis mengacu pada prinsipprinsip Jurnalisme Sastra yang berkembang di Amerika Serikat seperti yang telah penulis uraikan pada Bab II. Hal ini dilakukan bukan untuk membuktikan secara kuantitatif apakah Jurnalisme Sastra yang diterapkan MBM Tempo sesuai atau tidak dengan kategori dan memenuhi prinsip-prinsip yang ada sebuah karya Jurnalisme Sastra. Namun hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip Jurnalisme Sastra yang berkembang di Amerika tersebut diterapkan dan dikembangkan oleh para awak redaksi MBM Tempo. Dengan mengacu pada prinsip Jurnalisme Sastra, dimensi estetika bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo akan dikaji lewat prinsip penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail dalam teks. Keempatnya adalah perangkat analisis dalam aspek strategi pengemasan. Kemudian aspek ketiga, yakni penggunaan simbol. Penulis memandang bahwa dalam aspek inilah analisis terhadap politik bahasa Jurnalisme Sastra MBM Tempo dapat dimungkinkan. Maka dimensi politik bahasa dalam teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo, analisis teks akan ditujukan pada penggunaan simbol dan gaya bahasa sastra yang puitis. Hal ini juga mengacu pada salah satu prinsip Jurnalisme Sastra yaitu prinsip simbolisme.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
97
Untuk menjabarkan bagaimana prinsip simbolisme ini berlaku sebagai perangkat analisis teks, penulis mengacu pada gagasan William A. Gamson tentang konsep metafora dan depictions sebagai perangkat analisis teks media: Metaphors dipahami sebagai cara memindahkan makna dengan merelasikan dua fakta melalui analogi, atau memakai kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana. .................................................................. Depictions, penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik.25 Konsep tersebut juga diperkuat Eriyanto yang menyatakan, ”pemakaian metafora tertentu bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora itu menjadi landasan berpikir, alasan pembenar, atau bahkan bahan yang ditekankan kepada publik.”26 M. Atar Semi mendefinisikan metafora sebagai “kiasan persamaan yang menjadi dasar pembentukannya adalah adanya persamaan sifat, keadaan, atau perbuatan antara dua benda.”27 Secara rinci Semi membagi metafora dalam beberapa jenis berikut ini: a) Alegori, yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada pada benda itu dikiaskan. b) Personifikasi, yaitu mengungkapkan atau mengutarakan sesuatu benda dengan membandingkannya dengan tingkah dan kebiasaan manusia. 25 26
Alex Sobur, Op.Cit., hal.179-180
Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yagyakarta, 2005, hal.226 27 M. Atar Semi, Anatomi Sastra, Angkasa Raya, Padang, tt, hal.51
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
98
c) Hiperbola, yaitu suatu perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan. d) Litoles, yaitu menyebutkan sesuatu dengan mengurangi kenyataan yang ada dengan maksud merendahkan diri untuk menghormati lawan bicara. e) Eufimisme, yaitu kiasan kesopanan untuk menghaluskan rasa bahasa yang dirasakan kasar, tak sopan atau tak sedap didengar, atau mungkin dapat menyinggung perasaan pendengar.28 Sebagai perangkat analisis teks media, Eriyanto menjelaskan bahwa Gamson sendiri mencontohkan popular wisdom, peribahasa, dan analogi sebagai bentuk metafora. Wartawan menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci. Gamson menyebut hal ini sebagai popular wisdom. ................................................................ atau dengan menyajikan peribahasa. ............................................................... juga dimunculkan dalam bentuk analogi.29 Penulis memahami bahwa Eriyanto menyebutkan metafora sebagai perangkat analisis teks di sini memiliki bentuk popular wisdom, peribahasa, dan analogi. Maka dua perangkat analisis teks Gamson tersebutlah (metafora dan depictions) yang penulis tempatkan pada prinsip simbolisme dalam menganalisis dimensi politik bahasa. Khusus pada perangkat metafora, analisis akan difokuskan pada bentuk popular wisdom, peribahasa, dan analogi, serta penjelasan Semi mengenai lima jenis metafora demi memperkaya analisis.
28
Ibid., disarikan dari hal.50-53
29
Eriyanto, Op.Cit, hal. 226
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
99
Maka demi mencapai hasil analisis yang maksimal, pada level teks penulis menggunakan metode analisis teks ekletif mengacu pada tiga aspek yang disyaratkan Ibnu Hamad, dan dikombinasikan dari prinsip Jurnalisme Sastra serta perangkat analisis teks Gamson untuk mengetahui bagaimana dimensi estetika bahasa dan politik bahasa dari teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo, Tiga aspek tersebut adalah sebagai berikut: (1) Aspek perlakuan atas peristiwa; tema yang diangkat dan penempatan berita. (2) Aspek strategi pengemasan/ estetika bahasa; penyusunan adegan, dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail dalam teks. (3) Aspek penggunaan simbol/ politik bahasa; metafora dan depictions. Analisis kemudian dilanjutkan pada level dicourse practice, dan sociocultural practice yang melatari praktik Jurnalisme Sastra tersebut.
C. Bahan Penelitian dan Unit Analisis Bahan penelitian yang penulis gunakan adalah teks berita MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, yakni terhitung sejak Kabinet Indonesia Bersatu dibentuk pada Oktober 2004 hingga awal penelitian ini dilakukan pada April-Mei 2007. Unit analisis yang penulis gunakan pada level teks adalah keseluruhan isi teks berita (kata, frase, proposisi, kalimat, dan paragraf) yang dipandang memiliki makna estetik dan politik bahasa tertentu sebagai hasil dari praktik Jurnalisme Sastra.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
100
D. Populasi dan Sampel Suharsimi Arikunto mengungkapkan bahwa populasi “adalah keseluruhan subjek penelitian.”30 Kemudian menurut Doddy S. Singgih, “populasi merupakan keseluruhan objke yang diteliti. . ., sedangkan sampel merupakan sebagian dari objek yang diteliti.”31 Dari keterangan di atas penulis memahami bahwa populasi adalah keseluruhan objek penelitian, dan sampel adalah wakil dari populasi sebagai objek yang akan digunakan dalam penelitian. Moleong mengungkapkan bahwa teknik sampling dalam penelitian kualitatif ditujukan “untuk merinci kekhususan yang ada ke dalam ramuan konteks yang unik. ................................................................. Oleh sebab itu, pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample).”32 Dalam memilih sampel sesuai dengan pendekatan kualitatif, Suharsimi Arikunto mengungkapkan pengambilan sampel yang disebut dengan teknik pengambilan sampel yang bertujuan (purposive sampling): 30
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Cetakan Kesembilan, Jakarta, 1993, hal.102 31
Doddy S. Singgih, “Penggunaan Metode Kuantitatif untuk Mengidentifikasi Tipe Komunitas”, dalam Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed.), Op.Cit., hal.139 32
Lexy J. Moleong, Op.Cit, h. 165
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
101
Sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Teknik ini biasanya dilakukan karena beberapa pertimbangan, misalnya alasan keterbatasan waktu, tenaga dan dana sehingga tidak dapat menarik sampel yang besar dan jauh.33 Maka dari keterangan di atas, penulis menggunakan teknik pengambilan sampel bertujuan sesuai pendekatan kualitatif yang penulis gunakan dalam penelitian ini. Penarikan sampel bertujuan tersebut juga penulis lakukan berdasarkan relevansi dengan tujuan dan rumusan masalah dalam penelitian ini. Adapun populasi sebagai keseluruhan objek penelitian di sini merupakan semua pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, yakni pemberitaan MBM Tempo terhitung sejak Kabinet Indonesia Bersatu dibentuk pada Oktober 2004 hingga awal penelitian ini dilakukan pada April-Mei 2007, seperti yang tercantum dalam tabel sebagai berikut: TABEL 1 POPULASI PENELITIAN No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Judul Mencari Damai Dalam Dekapan Ibu Seorang Menteri Dengan Kepala Berdenyut Seperti Delman dan Sais Menunggu Beleid Politik Yudhoyono Sejumlah Nama di Buku Hamdani Menteri Hamid Ambil Dana ‘Batil’ 33
Edisi Edisi 30 Mei-5 Juni 2005 Edisi 30 Mei-5 Juni 2005 Edisi 30 Mei-5 Juni 2005 Edisi 30 Mei-5 Juni 2005 Edisi 30 Mei-5 Juni 2005 Edisi 5-11 September 2005
Suharsini Arikunto, Op.Cit., hal.113
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.
Katebelece Dari Dapur Presiden Akhirnya Aziz Berpamitan Tak Henti Diterpa Badai Tak Sudi Mencopot Sudi Terusik Nyanyian Meneer Daan Lelang Yang Mencurigakan Ada Dusta Dalam Kesaksian Kabar Gembira Dari Istana Meneer Daan Menanti Hamid Dua Meneer, Satu Dusta Perangkap Bagi Sang Menteri Berbalas Ancaman Sidik Jari dan Misteri Tuan FY Memburu Tersangka Baru Abu-abu Tunjuk Langsung Rekening Tipis, Proyek Selangit Dipayungi Istana Dan Senayan Yusril Tak Hilang Hamid Terbilang Riwayat Pendek Rekening Tebet Memelintir Sampai Guernsey Yang Sakit, Yang Lamban, Bukan Yang Korup Orang-orang Menjelang Reshuffle Bukan Hamid, Bukan Yusril Karena Politik, Tekanan Publik, dan Klenik Kalla Meminta, Yudhoyono Mengunci Mereka Yang Kembali Ke Laptop
102
Edisi 27 Februari-5 Maret 2006 Edisi 27 Februari-5 Maret 2006 Edisi 27 Februari-5 Maret 2006 Edisi 6-12 Maret 2006 Edisi 13-19 Maret 2006 Edisi 13-19 Maret 2006 Edisi 20-26 Maret 2006 Edisi 20-26 Maret 2006 Edisi 19-25 Juni 2006 Edisi 31 Juli-6 Agustus 2006 Edisi 31 Juli-6 Agustus 2006 Edisi 31 Juli-6 Agustus 2006 Edisi 19-25 Februari 2007 Edisi 26 Februari-4 Maret 2007 Edisi 26 Februari-4 Maret 2007 Edisi 26 Februari-4 Maret 2007 Edisi 26 Februari-4 Maret 2007 Edisi 19-25 Maret 2007 Edisi 19-25 Maret 2007 Edisi 19-25 Maret 2007 Edisi 30 April-6 Mei 2007 Edisi 30 April-6 Mei 2007 Edisi 30 April-6 Mei 2007 Edisi 14-20 Mei 2007 Edisi 14-20 Mei 2007 Edisi 14-20 Mei 2007
Kemudian sampel yang penulis pilih dengan menggunakan teknik purposive sampling berjumlah lima berita. Jumlah ini penulis tentukan sesuai dengan pertimbangan waktu, tenaga dan dana, serta dengan asumsi bahwa lima buah sampel dapat mencukupi kebutuhan analisis agar didapatkan hasil yang maksimal. Jumlah lima buah sampel di sini ditentukan demi mendapatkan perbandingan dari kelima berita tersebut.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
103
Kelima sampel berikut ini ditentukan dari rincian kekhususan konteks penelitian ini, yakni teks berita Jurnalisme Sastra yang mengandung dimensi estetik dan politik bahasa MBM Tempo. Berikut ini adalah tabel sampel tersebut:
TABEL 2 SAMPEL PENELITIAN No. 1.
2.
3.
4. 5.
Judul Mencari Damai Dalam Dekapan Ibu (Laporan Utama Dana Gelap KPU) Terusik Nyanyian Mener Daan (Laporan Utama Segel Amplop Kertas Suara) Memburu Tersangka Baru (Laporan Utama Sidik Jari di Sekitar Yusril) Riwayat Pendek Rekening Tebet Mereka yang Kembali ke Laptop
Edisi Edisi 5 Juni 2005
Edisi 18 Maret 2006
Edisi 4 Maret 2007
Edisi 25 Maret 2007 Edisi 20 Mei 2007
Alasan menarik lima sampel di atas, berangkat dari asumsi bahwa sampel tersebut yang sesuai dengan kriteria teks berita yang mengandung dimensi estetik dan politik bahasa. Sampel tersebut juga diambil sesuai dengan relevansinya dengan tujuan penelitian, yakni mengaitkan bagaimana teks berita yang mikro, produksi dan konsumsi teks yang meso, dengan konteks sosial yang makro dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
104
E. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari tiga level wacana, yaitu level teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Pengumpulan data pada level teks dilakukan dengan analisis teks ekeltif untuk mengetahui bagaimana dimensi estetik dan politik bahasa dalam teks berita. Pada level discourse practice, pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam dengan pihak media. Kemudian pada level sosiocultural practice, pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan penelusuran sejarah lewat tulisan, artikel atau buku-buku mengenai aspek-aspek makro seperti sistem politik, ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan sebagai konteks di mana MBM Tempo menggunakan Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa.
F. Metode Analisis Data Analisis data kualitatif menurut Patton, seperti yang dikutip Moleong adalah “proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar.”34 Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari tiga level wacana, yaitu level teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Rinciannya adalah sebagai berikut:
34
Lexy J. Moleong, Op.Cit., hal.103
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
105
1. Level Teks Perlakuan Atas Peristiwa: a) Tema yang diangkat b) Penempatan berita Estetika Bahasa: a) Adegan; menyajikan scene peristiwa-demi-peristiwa-berita dalam urutan yang membuat pembaca seakan berada di lokasi ketika kejadian berlangsung. b) Dialog; materi pengisahan bisa diurutkan melalui percakapan yang direkam, meskipun sebagian mungkin tidak didapat dari sumber aslinya. Melalui percakapan pula, disiratkan karakter para pelaku yang terlibat, sekaligus diterangkan mengapa suatu peristiwa terjadi. Selanjutnya, penafsiran dan kesimpulan ia serahkan kepada pembaca yang telah menyimak dialog tokohtokoh berita tersebut. c) Perspektif orang ketiga; dengan alat ini, jurnalis baru tidak hanya menjadi si pelapor, ia bahkan kerap menjadi tokoh berita. Ia bisa menjadi orang di sekitar tokoh, karena ia harus berperan menjadi pelapor yang tahu jalannya peristiwa. d) Penempatan detail; semua hal dicatat secara terperinci, yaitu perilaku, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, perjalanan wisata, hubungan dengan teman sebaya, atasan, bawahan, dan pandangan-pandangan lain yang bersifat sekilas seperti pose, gaya jalan, dan berbagai simbol lain. Hal ini merepresentasikan dasar pikiran dan perilaku, ekspresi, sampai harapan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, alat ini memberi pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan seseorang, mencatat lambang-lambang sosial. Politik Bahasa: a) Simbolisme; tiap paparan fakta, meskipun terlihat remeh atau hanya menyangkut soal-soal kecil, sebenarnya mengandung gagasan yang sengaja disusun sedemikian rupa karena terkait dengan hal-hal yang lebih luas dan pemaknaan yang dalam. Prinsip simbolisme tersebut adalah: ¾ Metaphors; cara memindahkan makna dengan merelasikan dua fakta melalui kiasan dengan menggunakan kata-kata seperti, ibarat, bak, sebagai, umpama, laksana, serta penggunaan popular wisdom, peribahasa, dan analogi. ¾ Depictions; penggambaran fakta dengan memakai kata, istilah, kalimat konotatif agar khalayak terarah ke citra tertentu. Asumsinya, pemakaian kata khusus diniatkan untuk membangkitkan prasangka, menyesatkan pikiran dan tindakan, serta efektif sebagai bentuk aksi politik
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
106
2. Level Discourse Practice Pada level ini, analisis akan ditujukan pada produksi teks dan konsumsi teks dari observasi dan hasil wawancara mendalam dengan pihak media. Khusus pada produksi teks, analisis akan difokuskan pada sisi individu wartawan, hubungan dengan struktur organisasi media, dan rutinitas kerja dari proses produksi berita. Kemudian dalam kaitannya dengan praktik Jurnalisme Sastra, analisis juga akan dilakukan pada bagaimana peran redaktur atau wartawan senior dalam penulisan berita serta jangka waktu peliputan. Pada konsumsi teks, analisis akan dilakukan pada bagaimana faktor pembaca diperhitungkan pihak redaksi dalam menyusun teks berita.35 3. Level Sociocultural Practice Pada level ini, penulis akan menganalisis data dari hasil studi pustaka dan penelusuran sejarah mengenai bagaimana aspek-aspek makro seperti sistem politik, ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara keseluruhan sebagai konteks di mana MBM Tempo berpraktik. Terutama pada tiga level analisis sebagai berikut: a) Situasional, merupakan konteks sosial yang mengungkapkan bagaimana teks dihasilkan dalam suatu kondisi atau suasana yang khas dan unik. b) Institusional, merupakan konteks sosial yang mengungkapkan bagaiaman pengaruh institusi organisasi dalam praktik produksi wacana, baik dari dalam diri
35
Fairclough sendiri menyarankan dengan mengamati teks yang dikonsumsi oleh publik. Tetapi dalam penelitian ini dimodifikasi menjadi pertimbangan redaksi tentang pembaca. Hal ini dilakukan dengan mengacu pada analisis level konsumsi teks dalam penelitian Ibnu Hamad (2004:48)
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
107
media itu sendiri maupun dari kekuatan-kekuatan eksternal di luar media yang turut menentukan proses produksi berita. c) Sosial, merupakan konteks sosial yang memperhatikan aspek makro seperti sistem politik, sistem ekonomi, atau sistem budaya masyarakat secara keseluruhan. Sistem inilah yang menentukan siapa yang berkuasa, nilai-nilai apa yang dominan dalam masyarakat sehingga mempengaruhi dan menentukan karakter media tersebut. TABEL 3 LEVEL ANALISIS DAN METODE PENELITIAN
No.
Level Masalah
Level Analisis
Metode Penelitian
1.
Teks
Mikro
Teks Ekletif
2.
Discourse Practice
Meso
Observasi dan Wawancara mendalam dengan pengelola media (produksi teks) dan pakar media (konsumsi teks) dibantu dengan literatur
3.
Sociocultural Practice
Makro
Studi pustaka
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Subyek Penelitian A.1. Sejarah Majalah Berita Mingguan Tempo1 Majalah Berita Mingguan (MBM) Tempo merupakan gabungan dari Majalah Djaja dan majalah Ekspres. Djaja adalah majalah yang berafiliasi pada pemerintah daerah Jakarta, tempat sebagian besar alumni Star Weekly –majalah yang sempat jadi majalah terbesar di masa rezim Soekarno– milik Ciputra, pendiri Yayasan Jaya Raya dan Direktur Utama PT Pembangunan Jaya yang sebagian sahamnya dimiliki pemerintah daerah Jakarta. Sementara Ekspres adalah majalah yang diterbitkan Goenawan Mohamad (GM) dan kawan-kawan pada 1969, yang dibiayai B.M. Diah, pemilik Harian Merdeka. Namun terbitan Majalah Ekspres tak bertahan lama. Belum genap setahun terbit, terjadi peristiwa terpecahnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang memunculkan dualisme kepemimpinan dalam PWI. Penunjukan B.M. Diah sebagai Ketua PWI oleh Ali Moertopo saat itu dianggap pengekangan terhadap kebebasan wartawan, karena PWI sendiri sebelumnya telah memilih Rosihan Anwar (Harian Pedoman) dalam kongres sebagai Ketua PWI. 1
Lampiran A, hal. 264 dan Coen Husain Pontoh, Konflik Nan Tak Kunjung Padam, dalam Andreas Harsono & Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005, hal.109162 108
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
109
GM akhirnya dipecat oleh B.M. Diah karena membuat pernyataan yang tidak mendukung keputusan Moertopo. GM kemudian menyatakan bahwa ia dan kawankawan bertekad membentuk majalah sendiri dengan alasan Pertama, untuk menampung teman-teman yang sudah solider. Kedua, ingin punya majalah di mana modal dari luar itu tidak mendikte. Ketiga, untuk mengembangkan kebebasan yang dicita-citakan dan mengusahakan supaya sensor jangan terlalu ketat. Tekad itu terlaksana ketika suatu hari di tahun 1970 Ciputra mengundang GM dan kawan-kawan untuk membicarakan sebuah terbitan majalah baru, dengan menggabungkan Djaja dan Ekspres. Dengan itu lahirlah Tempo. Majalah berformat berita mingguan ini dimodali Yayasan Jaya Raya sebesar dua puluh juta rupiah. Sejak itulah di sebuah gedung bertingkat dua yang sederhana di Jl Senen Raya 83, Jakarta Pusat, salah satu tonggak sejarah jurnalistik Indonesia ditancapkan. Edisi perdana MBM Tempo terbit pada 6 Maret 1971 yang menurunkan laporan perjuangan tim bulu tangkis puteri Indonesia di sebuah kejuaraan. Waktu terus bergulir, perlahan namun pasti MBM Tempo terus meningkatkan kualitas liputannya sejalan dengan meningkatnya tiras dan peredarannya. Dengan caranya sendiri, pengelola MBM Tempo bersiasat dan berkelit dalam melewati restriksi-restriksi dari pemerintah maupun lembaga militer yang pada masa itu menjadi pengawas jalannya sebuah produk jurnalistik. Godam pembreidelan dan peringatan maupun teguran ketidaksukaan dari penguasa adalah hal yang lumrah saat itu.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
110
Namun demikian, pada Maret 1982, godam itu datang juga. MBM Tempo pada Edisi 13 Maret 1982 memberitakan indikasi kecurangan Pemilu tahun 1981 dan kerusuhan di sebuah acara kampanye Partai Golongan Karya (Golkar). MBM Tempo kemudian dianggap telah menyebarkan kebencian kepada pendukung partai penguasa itu (Golkar). Pemerintah yang pada saat itu di bawah kekuasaan Soeharto akhirnya mengeluarkan keputusan untuk menghentikan penerbitan Tempo untuk sementara. Tempo akhirnya terbit lagi hingga godam kembali datang pada 1994. Godam kedua datang sehubungan pemuatan laporan pembelian kapal perang bekas Jerman Timur oleh Menristek B.J. Habibie dengan judul ‘Habibie dan Kapal Itu’ pada edisi 11 Juni 1994. Hal ini ternyata membuat para petinggi republik menjadi panas hati. Akhirnya pada 21 Juni 1994, sebuah keputusan diambil oleh Menteri Penerangan RI Harmoko untuk mencabut izin tiga penerbitan yakni MBM Tempo, Editor, dan DeTIK. Gelombang protes dan demontrasi pecah menyambut keputusan pemerintah tersebut. Ratusan karyawan MBM Tempo kehilangan pekerjaan dan para pendukung kebebasan pers ada yang turut menjadi korban. Namun keberanian untuk menentang pembreidelan, ketidakadilan dan pemerintah yang sewenang-wenang semakin tumbuh. Sembari karyawan dan wartawan MBM Tempo serta simpatisannya menentang pembreidelan ke pengadilan Tata Usaha Negara, sejumlah awak MBM Tempo yang lain meneruskan kerja jurnalistiknya di dunia cyber. Maka pada tahun
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
111
1996, situs (laman) berita online MBM Tempo muncul untuk pertama kalinya dengan alamat laman www.tempointeraktif.com Ketika Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, MBM Tempo kembali terbit pada 6 Oktober 1998 oleh PT Arsa Raya Perdana. Melalui edisi pertama setelah 4 tahun tidak terbit, MBM Tempo menduduki posisi teratas untuk majalah berita mingguan yang terbit di Indonesia. Meskipun keadaan pasar berubah secara signifikan sejak tahun 1994, MBM Tempo tetap melanjutkan tradisi jurnalistiknya yang telah mapan sambil menawarkan inovasi-inovasi di bidang jurnalistik. Pada 29 September 200, MBM Tempo mengalami perubahan nama perseroan dari PT Arsa Raya Perdana menjadi PT TEMPO INTI MEDIA Tbk. Sejak saat itulah PT TEMPO INTI MEDIA Tbk menjadi perusahaan media dan penerbitan yang mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta, dan untuk pertama kalinya masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam mendukung permodalan perusahaan media massa lewat pasar modal. Hingga kini MBM Tempo memiliki sejumlah catatan prestasi sebagai berikut: 1971
Edisi perdana MBM Tempo terjual 20.000 eksemplar
1988
Tiras penjualan mencapai 166.000 eksemplar
1991
Menjadi satu-satunya media dari Indonesia yang meliput Perang Teluk dari Baghdad, Irak
1993
Tiras penjualan mencapai 200.000 eksemplar
1996
Wartawan MBM Tempo Ahmad Taufik menerima anugerah 5 Tasrieb Award
1997 Wartawati MBM Tempo Bina Bektiati menerima penghargaan US Woman
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
112
Journalist Award 1998
Tiras penjualan edisi pertama pasca breidel mencapai 150.000 eksemplar
1998
Goenawan Mohamad menerima CPJ Award
2002
Menjadi majalah yang paling banyak pembacanya dari survey AC Nielsen
2000
Menjadi media pertama yang mengungkap sengketa Buloggate, sedangkan media lain hanya mengutip MBM Tempo
2003
Karaniya Dharmasaputra mendapat penghargaan dari Aliansi Jurnalistik Indonesia (AJI) untuk tulisannya mengenai Investigasi Buloggate II
2003
Karaniya Dharmasaputra mendapat penghargaan M. Hatta Award atas kinerjanya memberantas korupsi
A.2. Visi dan Misi PT TEMPO INTI MEDIA Tbk Visi: •
Menjadi acuan dalam proses meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat
Misi: •
Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang menampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda
•
Sebuah produk multimedia yang mandiri, bebas dari tekanan kekuasaan modal dan politik
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
113
•
Terus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan tampilan visual yang baik
•
Sebuah karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik
•
Menjadikan tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragam sesuai kemajuan zaman
•
Sebuah proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor
•
Menjadi lahan subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya khazanah artistik dan intelektual
A.3. Susunan Redaksional Organisasi MBM Tempo Pemimpin Redaksi
: Toriq Hadad
Redaktur Eksekutif
: Wahyu Muryadi
Wakil Redaktur Eksekutif
: Hermien Y. Kleden
Redaktur Senior
: Edi Rustiadi M, Fikri Jufri, Goenawan Mohamad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus
Redaktur Utama
: Arif Zulkifli, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Karaniya Dharmasaputra, Metta Dharmasaputra, M. Taufiqurohman
Redaktur
: Agung Ruliyanto, Akmal Nasery Basral, Bina Bektiati, Budi Setyarso, Dwi Wiyana, Heri Susanto, Herry Gunawan, Nezar Patria,
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
114
Nogroho Dewanto, Nurlis E. Meuko, Purwani Diyah Prabandari, Seno Joko Suyono, Wenseslaut Manggut, Yosep Suprayogi, Yos Rizal Suriaji Sidang Redaksi
: Abdul Manan, Adek Media, Ahmad Taufik, Andari Karina A, Arif A. Kuswardono, Cahyo Djunaedy, Kurniarsih Suditomo, Maria Rita Ida Hasugian, Philipus Parera, Untung Widyanto, Wahyu Dhyatmika, Widiarsi Agustina, Yandhrie Arvian
Desain Visual
: Gilang Rahadian, Anita Lawudjaja, Danendro Adi, Fitra Moerat R., Kendra H. Paramita
Tata Letak
: Agus Darmawan Setiadi, Aji Yulioarto, Tri Watno Widodo
Redaktur Bahasa
: Kurnia J.R., Sapto Nugroho, Uu Suhardi
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
115
A.4. Bagan Struktur Organisasi Redaksi MBM Tempo
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
116
A.5. Alur Berita MBM Tempo
Rapat Kompartemen (Redaktur Pelaksana)
Alur Berita Di Majalah Tempo
Reporter /SR/TNR
Rapat Perencanaan (PemRed / RE)
Penugasan (Jabrik /SR)
Rapat Checking (PemRed/RE)
Rencana Foto
Peliputan : - Reportase, - Wawancara - Riset
Penulisan Laporan (Reporter)
Penulisan Berita (Penulis/SR)
News Desk Distribusi
Redaktur Foto
Periset Foto
Fotografer (TNR)
Disetujui oleh Red. Pel.
RE/Red Kreatif (Artistik)
Pem. Red.
Desain Visual
Ke TEMPRINT (menggunakan CD)
Redaktur Bahasa
Editing (RedPel/ Red.Sen)
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
117
B. Hasil Penelitian B.1. Analisis Teks Ekletif* Sampel 1 Judul : Mencari Damai dalam Dekapan Ibu (Laporan Utama Dana Gelap KPU) Edisi : 5 Juni 2005 Penulis : Setiyardi, Irmawati (Parepare) Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian) ¾ Tema yang diangkat Tema yang diangkat pada sampel ini lebih menyoalkan seputar pribadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Kabinet Indonesia Bersatu Hamid Awaludin. Sisi pribadi Hamid diungkapkan Tempo lewat penelusuran asal-usul keluarga (par 1 s/d 5), kiprah berkarier dan prestasi (par 6 s/d 8), serta kedekatannya dengan pejabat tinggi yang membawa Hamid pada jabatan menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (par 7 s/d 12). Namun kesemuanya ini secara luwes dikaitkan Tempo dengan peristiwa pemanggilan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) terhadap Hamid yang diduga memiliki keterlibatan pada kasus korupsi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum 2004. Maka dalam sampel ini penulis menemukan adanya upaya Tempo yang hendak menelusuri dugaan keterlibatan Hamid pada kasus korupsi KPU,
*
Dalam analisis teks di sini, seluruh penggunaan kata paragraf dan kalimat akan dipersingkat menjadi par (paragraf) dan kal (kalimat) yang menunjukkan sumber kutipan dari masing-masing sampel. Hal ini penulis lakukan demi efisiensi kata dan menghemat ruang halaman.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
118
dengan cara menampilkan unsur human interest yang digali dari apa dan bagaimana sisi pribadi Hamid. Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan, yakni peristiwa Hamid pulang kampung (par 1 s/d 5), komentar tokoh yang dekat dengan Hamid (Mubha Kahar Muang di par 8, Jusuf Kalla di par 13, dan Hajah Rapiah di par 14), serta didukung oleh penelusuran referensi profil karier dan prestasi Hamid (par 6 s/d 11). Multi liputan tersebut menunjukkan liputan dilakukan dengan terencana pada waktu yang berbeda. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa lewat teks berita ini, Tempo mengangkat dua tema sekaligus, yakni kasus korupsi KPU dan pribadi Hamid sebagai pihak yang tengah diperiksa KPK dalam kasus korupsi KPU. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda. ¾ Penempatan berita Pada edisi 5 Juni 2005, Tempo mengusung liputan utama ‘Dana Gelap KPU’ dengan sampul depan ilustrasi wajah Hamid Awaludin dan diberi judul ‘Menteri Tersandung Hukum’. Judul ini menjadi judul dari rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Dana Gelap KPU tersebut berjumlah lima tulisan berita dan satu tulisan wawancara yang terbentang dari halaman 26 s/d 39. Tulisan pertama adalah liputan inti yang tergolong hard news, tulisan kedua adalah wawancara Tempo dengan Hamid.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
119
Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan ketiga yang menempati dua halaman, diberi bingkai hitam memanjang pada halaman bagian atas dengan judul rubrik ‘Liputan Utama Dana Gelap KPU’. Sampel ini juga dilengkapi dengan satu foto Hamid tengah berada di ruang kerja KPU, dan satu foto setengah halaman yang menunjukkan Hamid bersidekap dan berdiri di belakang boneka harimau dengan latar belakang sebuah ruangan pribadi. Jika dibandingkan tulisan pertama dan tulisan kedua yang bernuansa serius, pada sampel ini pemberitaan tentang Hamid justru disajikan dengan nuansa human interest sebagai cantelan dari peristiwa inti, atau dapat disebut news feature. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini sebagai sisi lain dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang menonjolkan sisi pribadi Hamid. Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan) Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Tempo mengangkat dua tema sekaligus, yakni kasus korupsi KPU dan pribadi Hamid sebagai pihak yang tengah diperiksa KPK dalam kasus korupsi KPU. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai sisi lain dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang menonjolkan sisi pribadi Hamid.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
120
Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa unsur human interest dari pribadi Hamid juga penting dan patut diketahui khalayak sebagai sisi lain dari peristiwa utama kasus korupsi KPU ini. Cara Tempo menonjolkan sisi pribadi Hamid tentu semakin memperkuat dugaan adanya keterlibatan diri Hamid dalam kasus korupsi KPU. Penulis juga menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa.
Estetika Bahasa (Pembuktian) ¾ Penyusunan adegan Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal teks, tengah, dan akhir teks. Pada bagian awal teks, ada dua penyusunan adegan sebagai rekaman peristiwa perjalanan atau kepulangan Hamid Awaludin menuju kampung halamannya di Makassar, Sulawesi Selatan. Pertama, adalah penyusunan adegan saat kepulangan Hamid saat menemui ibu kandungnya, Hajah Maryam di Parepare, 160 kilometer arah utara Makassar. Yang menjadi latar adegan adalah sebuah rumah panggung kayu di Jalan Andi Makkasau, tempat di mana Hamid berjumpa ibunya pada dua pekan sebelum teks ini terbit. Dalam latar tempat dan waktu inilah, adegan disusun dengan menampilkan Hamid yang tengah bercerita selama 10 menit kepada ibunya mengenai persoalan yang tengah membelitnya. Tempo kemudian menuliskannya demikian (par 1, kal 5):
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
121
Sang ibu, 70 tahun, mengusap kepala anaknya. “Kudoakan engkau baik-baik, Nak,” katanya. Adegan perjumpaan Hamid dan ibunya lewat rekaman suasana-demi-suasana, membuat peristiwa tersebut seakan-akan hidup dan pembaca seakan-akan tengah menyaksikannya juga. Adegan lewat deskripsi ‘mengusap kepala anaknya’ dan penggunaan kutipan langsung juga membuat peristiwa tersebut disusun tak hanya informatif, namun sekaligus juga dramatis. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau news peg dari teks berita. Kedua, adalah penyusunan adegan pada awal teks yakni ketika Hamid melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi makam ayahnya Haji Awaludin di Kabupaten Pinrang. Simak kutipan berikut (par 2, kal 3 dan 4): Di pusara itu, ia berdoa dengan takzim. Hamid, yang sejak kecil fasih membaca kitab suci Al-Quran, lamat-lamat melantunkan doa arwah. Adegan ini serupa dengan yang ditampilkan Tempo pada par 1, yakni merekam suasana-demi-suasana yang seakan-akan membuat peristiwa tersebut hidup dan pembaca tengah menyaksikannya juga. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa dua penyusunan adegan di awal teks tersebut ditampilkan dengan merekam suasana-demi-suasana dengan informatif sekaligus dramatis, sehingga seakan-akan peristiwa tersebut hidup dan pembaca seakan-akan tengah menyaksikannya juga. Kemudian pada bagian tengah teks, adegan ditampilkan lewat penyusunan kembali masa lalu Hamid mulai dari masa kecil di kampung (par 5), perjalanan karier
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
122
dan prestasi (par 6 s/d 9), saat terpilih menjadi anggota KPU pada tahun 2002 (par 10), hingga kemudian ia dipercaya menjabat sebagai menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Kabinet Indonesia Bersatu (par 11 s/d 13). Dari sudut pandang estetika bahasa, penggunaan teknik kilas balik ini merupakan cerita dalam cerita yang dalam kaidah sastra lazim disebut bingkai cerita (frame story). Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa pada bagian tengah teks, Tempo menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu perjalanan hidup Hamid sebagai unsur penyusun adegan. Pada akhir teks, adegan kemudian kembali ke masa kini di mana Hamid terjerat kasus dugaan korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai penutup laporan utama ini, Tempo menyusun adegan akhir dari teks tersebut lewat pernyataan Hajah Rapiah selaku bibi sekaligus guru SD Hamid yang meragukan bahwa Hamid melakukan korupsi. Hal ini kemudian yang membuat berita ini ditutup dengan meninggalkan pertanyaan lanjutan. Simak kutipan dari par 15, kal 2 dan 3 berikut: . . . apakah kunjungan Menteri Hamid Awaludin ke Parepare itu akan berulang. Atau itu menjadi sowan Pak Menteri yang terakhir. Pada penyusunan adegan terakhir inilah, Tempo menawarkan dua pilihan penyelesaian seperti yang tertuang dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dari sudut pandang estetika bahasa, hal ini merupakan teks yang terbuka, yakni menunda kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera. Pembuktian tersebut menunjukkan penyusunan adegan yang dilakukan Tempo pada akhir teks dilakukan dengan teknik teks terbuka yang menunda
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
123
kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera. ¾ Perspektif orang ketiga Perspektif orang ketiga yang digunakan dalam sampel ini yaitu perspektif Hamid. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo kerap mencampurkan perspektif Hamid dengan perspektif Tempo (wartawan penulis) sendiri. Sehingga percampuran ini memungkinkan Tempo untuk seakan-akan menjadi Hamid. Bercampurnya perspektif Tempo dengan perspektif Hamid ditampilkan sejak awal teks. Terlebih lagi pada kalimat pembuka (lead) berikut (par 1, kal 1 dan 2): Waktu terasa begitu sempit bagi Hamid Awaludin, 45 tahun. Ahad dua pekan lalu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini terbang ke Makassar, Sulawesi Selatan. Rangkaian kalimat ini menujukkan bahwa perspektif Tempo masuk ke dalam perasaan subjektif, suasana dan emosi yang dialami Hamid, yakni perasaan akan sempitnya waktu. Penggunaan teknik ini tentu membuat Tempo sekaligus mengajak pembaca untuk merasakan juga apa yang dirasakan Hamid. Perspektif Hamid yang bercampur dengan perspektif Tempo juga terdapat pada par 3, kal 3 dan 4 sebagai berikut: Hamid percaya, doa-restu orang tua akan menjadi obat mujarab pelbagai masalah yang dihadapi. “Saya merasa damai saat berada di dekat ibu,” ujar Hamid Awaludin. Pada kutipan di atas, bercampurnya perspektif Hamid dengan perspektif Tempo membuat Tempo seakan mengetahui apa yang dipikirkan Hamid. Penggunaan kutipan langsung pada kalimat selanjutnya membuat perspektif Hamid menjadi nyata,
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
124
sehingga bercampurnya perspektif Tempo dengan perspektif Hamid seakan tidak kentara lagi. Dari sudut pandang estetika bahasa, percampuran antara perspektif penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh yang ditulisnya (Hamid) disebut sebagai perspektif orang ketiga semestaan (third person omniscient narrator). Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis dalam tokoh yang diceritakannya. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga semestaan dalam sampel ini dilakukan Tempo tidak hanya untuk melaporkan peristiwa apa yang terjadi, tetapi juga seakan turut menjadi Hamid dengan mengungkapkan perasaan dan pikiran Hamid. Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo dalam menceritakan apa dan bagaimana Hamid. ¾ Penempatan detail Penempatan detail dalam sampel ini antara lain diungkapkan pada rincian perjalanan Hamid ke bandara Hasanuddin, Makassar, kemudian dilanjutkan lagi kampung halamannya di Parepare. Detail yang ditampilkan adalah secara rinci bagaimana deskripsi rumah keluarga Hamid di Makassar yang terbuat dari panggung kayu dan kefasihan Hamid membaca kitab suci Al-Quran. Penempatan detail ini terdapat di par 1 dan 2. Detail kemudian ditampilkan pada bagaimana masa kecil Hamid sewaktu masih menjadi siswa di sekolah, perjalanan karir Hamid hingga mendapatkan beasiswa kuliah dapat di luar negeri, catatan prestasi, dan hubungannya dengan orang lain, khususnya dengan petinggi negara semacam Sarwono dan Jusuf Kalla. Penempatan detail ini terdapat di par 5 s/d 11.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
125
Penempatan detail semacam ini memperkuat penokohan karakter dari tokoh utama dalam teks ini, yakni Hamid sebagai seseorang yang tak melupakan akar tradisinya, dan agama yang kuat serta ditaatinya sejak kecil hingga saat ini. Hamid juga diceritakan sebagai sosok dengan track record masa lalu yang baik, sehingga tak heran bila itu semua membawa Hamid menuju puncak kesuksesan. Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menggunakan penempatan detail demi memperkuat penokohan karakter tokoh utama dalam teks ini, yaitu Hamid sebagai pusat penceritaan. Estetika Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menunjukkan bahwa Tempo hendak menghadirkan peristiwa dengan merekam suasana-demi-suasana dengan informatif sekaligus dramatis, sehingga seakan-akan peristiwa tersebut hidup dan pembaca seakan-akan tengah menyaksikannya juga. Teknik penceritaan dalam penyusunan adegan yang ditemui lewat teknik kilas balik sebagai cerita dalam cerita (bingkai cerita) yang merekam ulang masa lalu, serta penggunaan teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan menutup akhir peristiwa. Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa yang menghadirkan perspektif orang ketiga semestaan (third person omniscient narrator) sebagai percampuran antara perspektif Tempo (selaku narator) dengan perspektif Hamid (selaku orang ketiga). Teknik ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
126
dalam menceritakan apa dan bagaimana tokoh Hamid. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan banyak penempatan detail secara rinci yang memperkuat penokohan karakter tokoh utama dalam teks ini, yaitu Hamid sebagai pusat penceritaan. Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penyusunan adegan dengan penggunaan teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan dalam menutup akhir peristiwa, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak menyerahkan pemaknaan kepada pembaca. Sebab, sebuah teks terbuka sejatinya akan mengundang berbagai penafsiran makna. Dengan kata lain, Tempo seakan membiarkan pembaca untuk menjawab sendiri pertanyaan yang ditinggalkan untuk kemudian mengambil kesimpulan sendiri. Di titik inilah unsur ambiguitas begitu kuat dalam teks penutup tersebut, sebuah hal yang jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan kejelasan (straightness).
Politik Bahasa (Pembuktian) ¾ Metafora Pada sampel ini, penulis menemukan dua metafora yang digunakan Tempo dalam merelasikan dua fakta melalui kata, kalimat, dan istilah kiasan persamaan.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
127
Pertama, adalah penggunaan metafora pada kalimat ‘Waktu terasa begitu sempit bagi Hamid Awaludin, 45 tahun.’ (par 1, kal 1). Pada kalimat di atas, metafora yang digunakan adalah kata ‘sempit’ dalam merelasikan dua fakta, yakni antara fakta waktu dengan fakta manusia (Hamid). Dasar
pembentukan
metafora
tersebut
adalah
persamaan
keadaan
yang
membandingkan keadaan waktu dengan keadaan perasaan Hamid. Metafora ini termasuk ke dalam jenis metafora personifikasi. Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat metafora personifikasi tersebut adalah makna pengungkapan bahwa pribadi Hamid kini tengah berada dalam suatu keadaan yang mendesak dan tidak mengenakkan. Keadaan tersebut terkait dengan pengakuan rekan Hamid, yakni Daan Dimara Kedua, adalah penggunaan metafora pada kalimat ‘Hamid percaya, doa-restu orang tua akan menjadi obat mujarab perbagai masalah yang dihadapi.’ (par 3, kal 3) Pada kalimat di atas, metafora yang digunakan adalah kata ‘obat mujarab’ dalam merelasikan dua fakta, yakni fakta doa orang tua Hamid dan fakta masalah yang dihadapi Hamid. Dasar pembentukan metafora tersebut adalah persamaan perbuatan yang membandingkan perbuatan mulia (doa orang tua hamid) dengan perbuatan tercela (dugaan korupsi Hamid). Metafora ini termasuk ke dalam jenis metafora hiperbola. Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat metafora hiperbola tersebut adalah makna pengungkapan bahwa Hamid telah melebih-lebihan doa sebagai cara ampuh yang dapat menyelamatkannya dari dugaan
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
128
korupsi di KPU. ¾ Depictions Pada sampel ini, ada beberapa depictions yang digunakan Tempo. Pertama, adalah penggunaan istilah konotatif ‘dana haram’ yang terdapat pada baris kalimat di bawah judul. Depictions tersebut digunakan Tempo dalam menggambarkan fakta mengenai uang terlarang yang tidak sepatutnya dimiliki. Pembuktian ini menunjukkan bahwa dalam depictions tersebut ada nilai moral yang dipinjam Tempo dari istilah keagamaan untuk menjelaskan ‘haram’ sebagai sesuatu hal yang tercela dan berdosa. Dalam rangka inilah, penulis menemukan adanya keterkaitan yang bertolak belakang dengan pribadi Hamid yang digambarkan Tempo sebagai seseorang yang taat beragama. Maka penulis menganalisis bahwa depictions tersebut digunakan Tempo demi menyesatkan penggambaran karakter Hamid sebagai tidak konsisten menjalankan perintah agama karena diduga melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama. Depictions tersebut tentu diniatkan untuk membangkitkan prasangka terhadap pribadi Hamid sendiri. Kedua, adalah penggunaan istilah konotatif ‘orang titipan’ yang terdapat pada par 12, kal 1. Depictions tersebut digunakan Tempo dalam menggambarkan fakta mengenai seseorang yang didukung oleh seseorang lain yang lebih berkuasa. Pembuktian ini menunjukkan adanya keterkaitan antara Hamid sebagai seseorang yang didukung, dengan Jusuf Kalla yang memiliki kekuasaan lebih dalam mendukung Hamid. Istilah ‘titipan’ sendiri mengacu berdasarkan informasi dalam teks berita par 11 yang menyebutkan bahwa Jusuf Kalla lah yang bersikeras
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
129
memasukkan atau menitipkan Hamid ke dalam susunan kabinet Indonesia Bersatu. Maka penulis menganalisis bahwa depictions tersebut digunakan Tempo demi mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang tak hanya dekat dengan kekuasaan, tetapi juga posisinya sebagai menteri dijamin oleh penguasa, yakni Jusuf Kalla yang kini tengah menjabat sebagai wakil presiden. Ketiga, adalah depictions dalam kalimat konotatif yang tertuang sebagai judul teks berita: ‘Mencari Damai Dalam Dekapan Ibu’. Selain merupakan intisari dari keseluruhan teks, depictions tersebut menggambarkan fakta bahwa seorang ibu mampu berperan sebagai seseorang yang dapat memberikan ketenangan dan kedamaian bagi anaknya. Ibu adalah benteng pertahanan terakhir seorang anak manusia ketika tengah dilanda masalah. Lewat depictions inilah Tempo membangkitkan keterkaitan Hamid sebagai seseorang yang tengah terlibat dalam persoalan kasus korupsi, dengan perjalanan sowan Hamid mengunjungi ibu kandungnya sebagai seseorang yang diharapkan dapat memberikan kedamaian bagi Hamid tempat berlindung dari persoalan kasus korupsi yang menimpanya. Baru kemudian depictions ini secara tersirat menunjukkan ketakutan Hamid atas pemanggilan KPK terhadap dirinya mengenai kasus korupsi di KPU. Bahkan saking takutnya, Hamid pun memilih pulang kampung untuk menemui ibunya, berlindung di benteng pertahanannya yang terakhir demi mendapatkan ketenangan. Hingga akhirnya, penggunaan depictions ini secara tersirat juga hendak menekankan makna bahwa ketakutan Hamid dalam kaitannya dengan pemanggilan
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
130
KPK tersebut patut dicurigai, karena pemanggilan diri Hamid baru sebatas meminta keterangan dan bukan (atau belum) menjadikan Hamid sebagai tersangka. KPK sendiri belum menyebutkan dalam kapasitas (status) apa Hamid diperiksa, apakah saksi atau tersangka. Pembuktian ini menunjukkan bahwa depictions tersebut hendak mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang penakut, cari aman, dan tengah membutuhkan perlindungan. Sehingga tampak wajar bila hal ini membangkitkan prasangka kepada Hamid sebagai seseorang yang patut dicurigai keterlibatannya dalam kasus korupsi di KPU. Politik Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat penggunaan metafora personifikasi untuk mengungkapkan makna bahwa pribadi Hamid kini tengah berada dalam suatu keadaan yang mendesak dan tidak mengenakkan, dan metafora hiperbola untuk mengungkapkan makna bahwa Hamid telah melebih-lebihkan doa sebagai cara ampuh yang dapat menyelamatkannya dari dugaan korupsi di KPU. Penggunaan simbol sebagai politik bahasa Tempo juga tertuang lewat penggunaan depictions ‘dana haram’ demi menyesatkan penggambaran karakter Hamid sebagai seseorang yang tidak konsisten menjalankan perintah agama karena diduga melakukan sesuatu yang dilarang dalam agama; depictions ‘orang titipan’ untuk mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang tak hanya dekat dengan kekuasaan,
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
131
tetapi juga posisinya sebagai menteri dijamin oleh penguasa, yakni Jusuf Kalla yang kini tengah menjabat sebagai wakil presiden; dan depictions ‘Mencari Damai Dalam Dekapan Ibu’ yang secara tersirat hendak mencitrakan Hamid sebagai seseorang yang penakut, cari aman, dan tengah membutuhkan perlindungan. Sehingga tampak wajar bila hal ini membangkitkan prasangka kepada Hamid sebagai seseorang yang takut patut dicurigai keterlibatannya dalam kasus korupsi di KPU. Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan metafora dan depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo secara khusus dalam membangkitkan prasangka dan menyesatkan citra Hamid Awaludin, yang kemudian mengarahkan citra Hamid kepada konstruksi citra tertentu yang dibentuk Tempo. Dan hasil dari konstruksi citra tersebut mestilah citra yang buruk, bahkan menurut pendapat penulis Tempo cenderung mengarahkannya kepada citra yang konyol. Konstruksi citra yang buruk dapat ditemui pada penggambaran Hamid sebagai seseorang yang munafik dan berdosa karena dikenal taat beragama namun melakukan korupsi. Sedangkan konstruksi citra yang konyol dapat ditemui pada penggambaran Hamid sebagai seseorang yang kekanak-kanakan (anak mami) dalam menyikapi suatu permasalahan.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
132
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 1 Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif pada sampel 1, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut: 1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa unsur human interest dari pribadi Hamid juga penting dan patut diketahui khalayak sebagai sisi lain dari peristiwa utama kasus korupsi KPU ini. Cara Tempo menonjolkan sisi pribadi Hamid tentu semakin memperkuat dugaan adanya keterlibatan diri Hamid dalam kasus korupsi KPU. Penulis juga menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa. 2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa dalam teks berita tersebut –khususnya pada penyusunan adegan, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penyusunan adegan dengan penggunaan teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan dalam menutup akhir peristiwa, Tempo hendak mengundang berbagai penafsiran makna dan menyerahkan pemaknaan kepada pembaca. Di titik inilah unsur ambiguitas begitu kuat dalam teks penutup tersebut, sebuah hal yang jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan kejelasan (straightness). 3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan metafora dan depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo secara khusus dalam membangkitkan prasangka dan menyesatkan citra Hamid Awaludin, yang
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
133
kemudian mengarahkan citra Hamid kepada konstruksi citra tertentu yang dibentuk Tempo. Dan hasil dari konstruksi citra tersebut mestilah citra yang buruk, bahkan Tempo cenderung mengarahkannya kepada citra yang konyol.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
134
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
135
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
136
Sampel 2 Judul : Terusik Nyanyian Meneer Daan (Laporan Utama Segel Amplop Kertas Suara) Edisi : 19 Maret 2006 Penulis : Wenseslaut Manggut, Purwanto, Badriah, Ami Afriatni Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian) ¾ Tema yang diangkat Tema yang diangkat pada sampel ini adalah kontroversi seputar kasus korupsi KPU yang melibatkan dua tokoh, yakni Daan Dimara dan Hamid Awaludin. Tempo menyajikan versi yang saling bertentangan dari keduanya mengenai siapa yang paling bertanggung jawab atas korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004. Daan sendiri sebelumnya telah ditahan pihak berwajib sehubungan dengan jabatannya sebagai ketua pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004. Tapi kemudian dari dalam penjara Daan menyebutkan nama Menteri Hukum dan HAM Hamid sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, karena Hamid saat itu tengah menjabat sebagai anggota KPU. Ada banyak pihak yang diwawancarai Tempo dalam menyusun liputan ini. Mulai dari Daan Dimara dan Erick Samuel Paat selaku kuasa hukumnya, Bakrie Asnuri selaku mantan sekretaris panitia pengadaan segel KPU, Nazaruddin Sjamsuddin mantan ketua KPU, Sukharni Muluk selaku kuasa hukum Untung Sastrawijaya, hingga Hamid sendiri. Ada pula sumber anonim selaku orang dekat Untung Sastrawijaya yang diwawancarai Tempo pada par 24.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
137
Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan, yakni peristiwa percakapan telepon antara Daan dengan Hamid (par 1 dan 2), keterangan dari Erick atas kasus ini (par 11 s/d 29), keterangan Bakrie Asnuri (par 20 s/d 22), komentar Nazaruddin Sjamsuddin (par 27), keterangan Sukharni Muluk (par 28), bantahan dari Hamid sendiri (par 24 s/d 26), serta didukung oleh referensi perkembangan awal dari kasus ini. Multi liputan tersebut menunjukkan liputan dilakukan dengan terencana pada waktu yang berbeda. Pembuktian ini menunjukkan bahwa peristiwa yang diangkat menjadi tema pemberitaan adalah kontroversi kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan Hamid Awaludin, dengan melibatkan informasi dari banyak pihak terkait. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda. ¾ Penempatan berita Pada edisi 19 Maret 2006, Tempo mengusung liputan utama ‘Segel Amplop Kertas Suara’ dengan sampul depan ilustrasi wajah Hamid Awaludin dan diberi judul ‘Hamid Awaludin: Saksi Atau Tersangka’. Judul ini menjadi judul dari rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Segel Amplop Kertas Suara tersebut berjumlah dua berita dan satu wawancara yang terbentang dari halaman 26 s/d 31. Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan pertama menempati tiga halaman dan diberi bingkai hitam memanjang pada halaman bagian atas dengan judul rubrik ‘Liputan Utama Segel Amplop Kertas Suara. Sampel
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
138
ini juga dilengkapi dengan satu foto Daan tengah memasuki kendaraan tahanan usai diperiksa KPK, dan satu foto petugas KPU yang tengah menunjukkan segel kertas suara, satu buah insert dokumen dari PT Royal Standard, serta dua grafik terpisah berisi kronologi kejadian dan kutipan lima narasumber terkait. Jika dibandingkan dua tulisan lainnya, sampel ini merupakan tulisan inti dengan multi liputan. Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini sebagai peristiwa inti yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang padat informasi. Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan) Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa peristiwa yang diangkat Tempo menjadi tema pemberitaan adalah kontroversi kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan Hamid Awaludin, dengan melibatkan informasi dari banyak pihak terkait. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai peristiwa inti yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan yang strategis, dan tata letak yang padat informasi. Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa kontroversi kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan Hamid Awaludin penting dan patut diketahui khalayak. Cara Tempo memunculkan banyak pihak yang diwawancarai dalam teks berita ini tentu memperkuat pentingnya
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
139
kontroversi ini diselesaikan secara hukum. Penulis juga menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa. Yang juga menjadi pemaknaan penulis adalah, Tempo hendak menunjukkan bahwa di balik penyelesaian kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 ini, ada kepentingan pihak tertentu yang menginginkan agar kasus ini tidak segera terungkap.
Estetika Bahasa (Pembuktian) ¾ Penyusunan Adegan Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir teks. Pada bagian awal teks, penyusunan adegan dibuka dengan rekaman peristiwa percakapan pagi hari di telepon antara Daan Dimara dengan Hamid Awaludin. Keduanya ditampilkan tengah bersoal-jawab tentang pengadaan segel sampul surat suara pemilu presiden 2004. Hal ini ditunjukkan lewat pembuka teks berita (lead) berikut ini (par 1): Pekan kedua Februari 2006. Telepon itu berdering pagi hari. Setengah mengantuk, Daan Dimara bergegas mengangkat. Si penelepon Hamid Awaludin, bekas kawan kerjanya di Komisi Pemilihan Umum. Hamid kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pagi itu keduanya bersoal-jawab tentang pengadaan segel sampul surat suara pemilu presiden. Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo tak hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga merekam
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
140
suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat percakapan telepon Daan dengan Hamid terjadi. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau news peg dari teks berita. Adegan kemudian dilanjutkan dengan isi percakapan keduanya secara langsung sebagai berikut (par 2): Daan Hamid
Daan
Hamid Daan
: Selamat pagi, siapa ini? : Ini Hamid Awaludin. Meneer Daan, mengapa menyebut saya bertanggung jawab atas pengadaan segel amplop kertas suara di koran? : Memang benar begitu, Pak. Waktu kita bertemu di kantor Pak Nazaruddin (Ketua KPU –Red), Bapak bilang agar saya tidak mengubah harga segel kertas pemilu. Saya tinggal mengawasi saja. : Lho, kapan saya ngomong begitu? : Oh, jadi setelah menjadi menteri, Bapak ini jadi pelupa, ya?
Pada kutipan di atas, penulis menemukan teknik penulisan yang secara langsung dan utuh menghadirkan kembali isi percakapan tersebut. Teknik penulisan seperti ini tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Yang patut disimak adalah adegan ini ditulis Tempo berdasarkan penuturan Daan (par 3), maka jelas bahwa Tempo bukanlah pihak yang berada saat percakapan itu berlangsung. Hal ini menunjukkan ada upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh. Pembuktian ini menunjukkan bahwa penyusunan adegan pada bagian awal teks dilakukan Tempo dengan teknik penulisan kutipan yang tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen,
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
141
novel, atau naskah drama. Pada bagian tengah teks, adegan disusun mulai dari peristiwa masa lalu, yakni saat pemilu presiden 2004 berlangsung dengan sukses. Baru kemudian Tempo menyusunnya dengan menampilkan secara kronologis bagaimana kesuksesan pemilu diwarnai dengan kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004, yang kemudian melibatkan banyak pihak. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa pada bagian tengah teks, Tempo menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu secara kronologis. Dari sudut pandang estetika bahasa, penggunaan teknik kilas balik ini merupakan cerita dalam cerita yang dalam kaidah sastra lazim disebut bingkai cerita. Pada bagian akhir teks, yakni sebagai penutup laporan utama ini, Tempo menyusun adegan dengan menunda kesimpulan akhir dari peristiwa ini. Simak kutipan dari par 30 berikut: Siapa saja yang bersalah memang masih terus diusut. Senin pekan ini, kabarnya, Hamid Awaludin datang ke KPK. Dia akan diperiksa sebagai saksi kaus pengadaan segel sampul surat suara. Siapa tahu, teka-teki perkara ini segera tersibak. Pada penyusunan adegan terakhir inilah, Tempo meninggalkan beberapa pertanyaan lanjutan dengan menunda kesimpulan akhir dari peristiwa ini, sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera. Dari sudut pandang estetika bahasa, hal ini merupakan teks terbuka, yakni penundaan kesimpulan sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
142
Pembuktian tersebut menunjukkan penyusunan adegan yang dilakukan Tempo pada akhir teks dilakukan dengan teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera. ¾ Dialog Penggunaan dialog dalam sampel ini terlihat pada adegan yang menampilkan isi percakapan Daan dengan Hamid di telepon pagi hari. Dialog antara Daan dengan Hamid seperti yang telah penulis kutip pada halaman 140. Pada dialog tersebut, penulis menemukan teknik penggunaan dialog antara Daan dan Hamid yang ditulis secara langsung dan utuh demi menghadirkan kembali isi percakapan keduanya. Teknik penggunaan dialog seperti ini tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Yang patut disimak adalah Tempo menyusun dialog tersebut berdasarkan penuturan Daan (par 3), maka jelas bahwa Tempo bukanlah pihak yang berada saat percakapan itu berlangsung. Pembuktian ini menunjukkan bahwa ada penggunaan dialog yang tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Penggunaan dialog merupakan upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh. ¾ Perspektif orang ketiga Perspektif orang ketiga yang secara menonjol digunakan dalam sampel ini adalah perspektif Daan pada bagian awal teks. Dalam menggunakan teknik ini,
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
143
Tempo kerap mencampurkan perspektif Daan dengan perspektif Tempo sendiri. Sehingga percampuran ini memungkinkan Tempo untuk seakan-akan menjadi Daan. Bercampurnya perspektif Tempo dengan perspektif Hamid ditampilkan sejak pembuka teks berita (lead) sebagai berikut (par 1, kal 2 dan 3): Telepon itu berdering pagi hari. Setengah mengantuk, Daan Dimara bergegas mengangkat. Rangkaian kalimat ini menunjukkan bahwa perspektif Tempo masuk ke dalam perasaan subjektif, suasana dan emosi yang dialami Daan, yakni perasaan ‘mengantuk’, suasana ‘pagi hari’, dan emosi dalam kata ‘bergegas mengangkat’. Penggunaan bahasa seperti ini membuat Tempo tak hanya menginformasikan peristiwa, tetapi sekaligus mengajak pembaca untuk merasakan juga apa yang dirasakan Daan. Dari sudut pandang estetika bahasa, percampuran antara perspektif penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh yang ditulisnya (Daan) disebut sebagai perspektif orang ketiga semestaan (third person omniscient narrator). Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis terhadap perasaan, suasana, dan emosi yang dialami tokoh yang diceritakannya. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga semestaan dalam sampel ini dilakukan Tempo tidak hanya untuk melaporkan peristiwa apa yang terjadi, tetapi juga seakan turut menjadi Hamid dengan mengungkapkan perasaan, suasana, dan emosi yang dialami Daan. Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo dalam menghadirkan peristiwa percakapan telepon pagi hari antara Daan
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
144
dengan Hamid. Estetika Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menunjukkan bahwa Tempo tak hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat percakapan telepon Daan dengan Hamid terjadi. Tempo juga menggunakan teknik penulisan kutipan yang tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Tempo menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu secara kronologis sebagai bingkai cerita. Tempo juga menggunakan teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera. Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan penggunaan dialog sebagai upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi penggunaan bahasa dengan menghadirkan perspektif orang ketiga semestaan yang tidak hanya melaporkan peristiwa apa yang terjadi, tetapi juga seakan turut menjadi Hamid dengan mengungkapkan perasaan, suasana, dan emosi yang dialami Daan. Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo dalam menghadirkan peristiwa percakapan telepon pagi hari antara Daan dengan Hamid.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
145
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, penggunaan dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung dan utuh, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak menerangkan bagaimana kontroversi ini bermula dengan menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil pada teks berita tersebut. Penulis juga berpendapat bahwa penggunaan dialog tersebut menyiratkan karakter Daan dan Hamid yang ditampilkan serealistis mungkin dalam kehidupan sehari-hari mereka. Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca masuk ke dalam penceritaan, yang kemudian dapat mengundang penafsiran dan perluasan makna. Dalam rangka inilah penulis juga berpendapat bahwa ada unsur ambiguitas dalam penggunaan dialog tersebut, serta pada teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera, sebuah hal yang jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan kejelasan (straightness).
Politik Bahasa (Pembuktian) ¾ Metafora Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan dua analogi sebagai bentuk politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat konotatif. Pertama, adalah penggunaan analogi pada kalimat ‘Tapi keharuman itu
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
146
berumur pendek’ (par 7, kal 7). Kalimat di atas menunjukkan pemakaian analogi terhadap kata nomina ‘itu’ lewat kata dan frase sifat secara beruntun, yakni kata ‘keharuman’ dan frase ‘berumur pendek’. Kata nomina ‘itu’ di sini mengacu pada peristiwa penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 di Indonesia. Sedangkan kata ‘harum’ dan frase ‘umur pendek’ menganalogikan dua sifat dari penyelenggaraan pemilu tersebut. Sifat tersebut masing-masing ialah ‘harum’ yang menganalogikan sifat kesuksesan, dan ‘umur pendek’ yang menganalogikan sifat kesuksesan tersebut tidak berlangsung lama. Maka analogi beruntun ini merupakan metafora dari kesuksesan peristiwa penyelenggaraan pemilu yang tidak berlangung lama. Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat metafora tersebut adalah makna pengungkapan bahwa kesuksesan semu dari peristiwa penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004. Kesuksesan semu ini tentu mengacu pada adanya fakta kasus dugaan korupsi KPU yang baru diketahui setelah pemilu berakhir. Kedua, adalah penggunaan analogi pada kalimat ‘Belakangan, KPK mencium bau korupsi dalam sejumlah proyek.’ (par 1, kal 1). Pada kalimat di atas, frase ‘mencium bau’ menganalogikan perbuatan menduga sesuatu hal yang nyata adanya namun tidak terlihat atau terkesan ditutuptutupi. Maka analogi ini merupakan metafora dari perbuatan KPK menduga adanya fakta korupsi dalam sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 yang terkesan ditutup-tutupi.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
147
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat metafora tersebut adalah makna pengungkapan adanya fakta korupsi yang terkesan ditutup-tutupi dalam sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004. ¾ Depictions Pada sampel ini, ada tiga depictions yang digunakan Tempo dalam mengarahkan citra tertentu. Pertama, adalah penggunaan depictions pada kalimat ‘Daan ditembak dua tuduhan sekaligus’ (par 10, kal 3), dan kedua, pada kalimat ’Dia juga memastikan tanggung jawab kasus ini sepenuhnya dipikul Daan Dimara.’ (par 27, kal 2). Kedua kalimat ini mengandung penggunaan depictions dalam mengarahkan citra tertentu atas Daan. Pada kalimat pertama, kata konotatif sebagai depictions adalah kata ’ditembak’. Kata ini menggambarkan tindakan pasif seseorang yang menjadi korban. Kemudian pada kalimat kedua, kata konotatif sebagai depictions adalah kata ’dipikul’. Kata ini menggambarkan tindakan aktif seseorang untuk menanggung beban tanggung jawab tertentu. Penulis menganalisis bahwa kedua depictions tersebut digunakan untuk menggambarkan Daan sebagai pihak pasif yang dikorbankan, sekaligus pihak aktif yang menanggung beban tanggung jawab. Ini menunjukkan penggambaran bahwa tindakan aktif Daan menanggung beban tanggung jawab bukan karena ia pantas untuk itu, tetapi lebih karena ia menjadi pihak pasif yang dikorbankan. Artinya juga, ada pihak lain yang seharusnya lebih bertanggung jawab dalam kasus korupsi ini.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
148
Pembuktian ini menunjukkan bahwa depictions tersebut digunakan Tempo demi mengarahkan citra Daan sebagai pihak yang dikorbankan, sekaligus juga diniatkan untuk membangkitkan prasangka bahwa pihak lain yang lebih berkuasa dari Daan tersebutlah yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus korupsi ini Ketiga, adalah penggunaan depictions sebagai pengarahan citra tertentu pada kalimat konotatif ’Terusik Nyanyian Meneer Daan’. Pada kalimat yang menjadi judul teks berita ini, penulis menyimak adanya pembentukan nominalisasi dengan membuat kata kerja ’terusik’ menjadi kata nomina. Sehingga kalimat tersebut tidak lagi mencerminkan sebuah kegiatan, tetapi lebih menekankan sebuah peristiwa. Itu sebabnya kalimat yang menekankan sebuah peristiwa dapat digunakan untuk menghilangkan subyek atau objek pelaku tindakan. Yang menjadi subyek dalam nominalisasi tersebut adalah Daan. Sedangkan obyek pelaku tindakan dihilangkan atau disembunyikan dalam kalimat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan citra tertentu diarahkan bukan pada subyek pelaku tindakan (Daan) yang tertera pada kalimat, tetapi lebih kepada obyek pelaku tindakan yang disembunyikan dalam kalimat. Penyembunyian obyek pelaku tindakan tersebut tentu mengacu pada Hamid. Penyembunyian Hamid sebagai obyek pelaku tindakan inilah yang ditekankan lewat kalimat konotatif tersebut. Karenanya, pembuktian dan pemaknaan depictions ini mesti dilakukan dalam kaitannya dengan Hamid.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
149
Kata ’nyanyian’ pada kalimat di atas mengkonotasikan bentuk perbuatan seseorang dalam membeberkan informasi keterlibatan seseorang lain pada sebuah kasus hukum. Penggunaan kata konotatif tersebut mengacu pada bentuk keterangan informasi yang diberikan Daan kepada KPK ketika diperiksa 7 Februari 2006 yang saat itu status Daan masih sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan kotak suara pemilu (par 3, kal 2 dan 3). Dalam pemeriksaan itulah, Daan memberikan keterangan kepada KPK mengenai keterlibatan Hamid pada kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden. Daan juga menyebutkan keterlibatan Hamid kepada ’sejumlah wartawan yang menunggu Daan keluar dari ruang pemeriksaan’ (par 5, kal 3). Pembuktian ini menunjukkan bahwa kata konotatif tersebut menggambarkan pembeberan informasi kepada KPK dan wartawan yang dilakukan Daan mengenai adanya keterlibatan Hamid pada kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden. Lewat kata konotatif inilah Tempo membangkitkan keterkaitan Hamid sebagai seseorang yang diinformasikan juga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden. Keterkaitan Hamid yang dibangkitkan lewat penggunaan kata konotatif ’nyanyian’, lebih dipertegas lagi lewat penggunaan kata konotatif ’terusik’ dalam kalimat tersebut. Kata ’terusik’ pada kalimat di atas mengkonotasikan sebuah keadaan yang begitu mengganggu pikiran dan perasaan seseorang. Penggunaan kata konotatif tersebut mengacu pada keadaan pikiran dan perasaan Hamid yang begitu terganggu.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
150
Pembuktian ini menunjukkan bahwa kata konotatif tersebut menggambarkan keadaan yang begitu mengganggu pikiran dan perasaan Hamid atas pembeberan informasi yang dilakukan Daan. Lewat kata konotatif inilah Tempo menegaskan pembeberan informasi keterkaitan Hamid dalam kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden, sekaligus mengungkapkan keadaan pikiran dan perasaan Hamid yang begitu terganggu atas keterlibatannya itu yang tidak hanya diketahui oleh KPK dan wartawan, tetapi juga telah diketahui publik. Pengungkapan keterkaitan Hamid serta keadaan pikiran dan perasaan dirinya yang begitu terganggu lewat dua kata konotatif tersebut, kemudian semakin dipertegas lagi lewat penggunaan frase ’meneer Daan’. Kata ’meneer Daan’ ini mengacu pada kata ganti atau julukan yang diberikan kepada seseorang yang tinggi status sosialnya. Dalam kosakata bahasa Belanda, definisi Meneer adalah tuan. Maka, ’meneer’ adalah julukan yang diberikan seorang bawahan kepada tuannya. Julukan ini juga menunjukkan hubungan kekuasaan dan sosial yang vertikal dalam masyarakat. Pada kalimat konotatif tersebut, penggunaan frase ’meneer Daan’ mengacu pada jabatan Daan selaku ketua pengadaan segel amplop surat suara pemilu legislatif dan pemilu presiden (par 4, kal 1). Maka frase ini mengkonotasikan status diri Hamid dalam hubungan kekuasaan yang vertikal dengan Daan. Dalam artian, frase tersebut menggambarkan status sosial Hamid sebagai bawahan (anggota) dan status Daan sebagai tuan (ketua). Yang perlu diperhatikan, frase ini tidak begitu saja diberikan Tempo, tetapi merupakan frase pinjaman dari perkataan Hamid (par 2) yang
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
151
kemudian dipertegas oleh Tempo. Dalam hal ini, Hamid memosisikan dirinya sebagai bawahan dengan menjuluki Daan sebagai tuannya, sekaligus juga menunjukkan upaya Hamid dalam menunjukkan kesan bahwa Daan adalah pihak yang lebih berkuasa atas dirinya. Penulis menganalisis bahwa lewat penjulukan frase ’meneer Daan’, Hamid hendak menyesatkan karakter Daan sebagai pihak yang lebih berkuasa dan bertanggungjawab atas kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden. Penyesatan karakter yang dilakukan Hamid atas Daan ini mengacu pada keterangan Bakri Asnuri yang diwawancarai Tempo selaku sekretaris panitia pengadaan segel KPU. Bakri mengatakan ”Daan Dimara memang menjadi ketua pengadaan segel, tapi negosiasi harganya dilakukan Hamid Awaludin.” (par 20, kal 2) Pembuktian ini menunjukkan upaya Hamid dalam menyesatkan karakter Daan lewat frase ’meneer Daan’ demi mengelak tanggungjawabnya atas kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden yang kini telah diketahui publik. Upaya penyesatan karakter inilah yang dipinjam sekaligus dipertegas oleh Tempo dalam mengarahkan citra tertentu atas Hamid. Sebagai kesimpulan, kata konotatif ’terusik’, ’nyanyian’, dan frase ’meneer Daan’ yang dirangkai Tempo menjadi ’terusik nyanyian meneer Daan’, merupakan depictions yang digunakan Tempo demi mengungkapkan fakta bahwa Hamid sebagai pihak yang keadaan pikiran dan perasaannya begitu terganggu karena keterlibatan dalam kasus korupsi pengadaan segel amplop surat suara pemilu presiden telah diketahui publik, serta Hamid sebagai pihak mengelak dari tanggungjawabnya itu.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
152
Pembuktian ini menunjukkan bahwa penggunaan depictions tersebut merupakan upaya Tempo dalam mengarahkan citra buruk atas Hamid, yakni sebagai seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab. Sehingga tampak wajar bila hal ini membangkitkan prasangka kepada Hamid sebagai seseorang yang patut dicurigai keterlibatannya dalam kasus korupsi di KPU. Politik Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat penggunaan analogi untuk mengungkapkan makna kesuksesan semu dari peristiwa penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 karena adanya fakta kasus dugaan korupsi KPU yang baru diketahui setelah pemilu berakhir. Serta analogi untuk mengungkapkan makna adanya fakta korupsi yang terkesan ditutup-tutupi dalam sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004. Penggunaan simbol sebagai politik bahasa Tempo juga tertuang lewat penggunaan depictions ‘Daan ditembak dua tuduhan sekaligus’ demi mengarahkan citra Daan sebagai pihak yang dikorbankan; depictions ’tanggung jawab kasus ini sepenuhnya dipikul Daan Dimara’ demi membangkitkan prasangka bahwa ada pihak lain yang lebih berkuasa dari Daan yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus korupsi ini; serta depictions pada kalimat konotatif ’Terusik Nyanyian Meneer Daan’ demi mengarahkan citra buruk atas Hamid, yakni sebagai seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab atas kasus korupsi.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
153
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi dan depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan adanya fakta korupsi yang terkesan ditutup-tutupi dalam sejumlah proyek pengadaan barang dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004, dan secara khusus mengarahkan citra Daan sebagai pihak yang menjadi korban, yang kemudian mengarahkan citra Hamid sebagai pihak yang lebih berkuasa dari Daan yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus korupsi ini. Citra Hamid juga diarahkan sebagai seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab.
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 2 Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif pada sampel 2, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut: 1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa kontroversi kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 antara Daan Dimara dan Hamid Awaludin penting dan patut diketahui khalayak. Cara Tempo memunculkan banyak pihak yang diwawancarai dalam teks berita ini memperkuat pentingnya kontroversi ini diselesaikan secara hukum, sebab ada kepentingan pihak tertentu yang menginginkan agar kasus ini tidak segera terungkap. Penulis juga menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
154
2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, penggunaan dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung dan utuh, Tempo hendak menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil pada teks berita tersebut. Penggunaan dialog tersebut juga menyiratkan karakter Tokoh yang terlibat dalam pemberitaan ditampilkan serealistis mungkin dalam kehidupan sehari-hari mereka. Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca masuk ke dalam penceritaan, yang kemudian dapat mengundang penafsiran dan perluasan makna. Di titik inilah terlihat unsur ambiguitas dalam penggunaan dialog, serta pada teknik teks terbuka yang menunda kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera, sebuah hal yang jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan kejelasan (straightness). 3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi dan depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo secara khusus dalam mengarahkan citra Daan sebagai pihak yang menjadi korban, yang kemudian mengarahkan citra Hamid sebagai pihak yang lebih berkuasa dari Daan yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus korupsi ini. Citra Hamid juga diarahkan sebagai seseorang yang keadaan mentalnya terganggu dan mengelak dari tanggungjawab.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
155
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
156
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
157
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
158
Sampel 3 Judul : Memburu Tersangka Baru (Laporan Utama Sidik Jari di Sekitar Yusril) Edisi : 4 Maret 2007 Penulis : Wenseslaut Manggut, Arif Kuswardono Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian) ¾ Tema yang diangkat Tema yang diangkat pada sampel ini adalah kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Setidaknya ada tiga sub tema dalam teks berita ini, yakni fakta kejanggalan pada penyelesaian kasus ini, dugaan keterlibatan Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dalam kasus ini, serta perseteruan antara Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dengan Yusril. Pada sub tema pertama, kejanggalan penyelesaian kasus ini merupakan analisis Tempo yang didapat dari penelusuran investigatif perihal proyek pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang saat itu dipimpin Yusril. Penulis menyimak kejanggalan yang disebutkan Tempo antara lain adalah pelaksanaan proyek yang dilakukan jauh sebelum kontrak kerja dengan PT Sentral Filindo selaku rekanan kerja. Kejangalan juga disebutkan Tempo terletak pada kesimpangsiuran penerimaan dana yang selisihnya mencapai enam miliar rupiah. Kejanggalan berikutnya adalah PT Sentral Filindo tidak memiliki bank guarantee sebagai bank yang seharusnya menjadi sumber modal awal Filindo. Tema kemudian digiring pada sub tema berikutnya yang menelusuri keterlibatan Yusril dalam kasus ini. Namun dalam hal ini Tempo lebih menyajikan
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
159
kesimpangsiuran informasi dari para tersangka dan saksi. Sedangkan sub tema perseteruan antara Ruki dengan Yusril diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau news peg dari teks berita ini. Perseteruan ini ditengahi langsung oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dengan menggelar rapat terbatas di Istana Negara. Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan, yakni peristiwa pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara (par 1 dan 2), peristiwa ketika jumpa pers setelah rapat terbatas digelar (par 3 s/d 5), keterangan Apendi selaku pimpinan proyek pengadaan mesin sidik jari (par 9), keterangan Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorangan Panggabean (par 11 s/d 30), keterangan Fachmi Yandri (par 27 dan 28), keterangan Abdurrahman Tadjo (par 31 s/d 33), keterangan Yusril (par 24 s/d 35), keterangan Ruki (par 36), keterangan sumber anonim (par 15, 16, 28), serta analisis Tempo yang didukung oleh penelusuran referensi perkembangan kasus ini. Multi liputan tersebut menunjukkan liputan dilakukan dengan terencana pada waktu yang berbeda. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa tema yang diangkat pada sampel ini –yakni tema kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Depatemen Hukum dan Perundang-undangan– adalah tema dengan cakupan peristiwa yang luas. Ini terlihat dari pembagian tiga sub tema yang menyoalkan seputar kejanggalan kasus, dugaan keterlibatan Yusril, serta perseteruan Ruki dengan Yusril. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
160
¾ Penempatan berita Pada edisi 4 Maret 2007, Tempo mengusung liputan utama ‘Sidik Jari di Sekitar Yusril’ dengan sampul depan ilustrasi tokoh Ruki tengah berhadapan dengan Yusril dan diberi judul sama dengan liputan utama. Judul ini juga menjadi judul rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Sidik Jari di Sekitar Yusril tersebut berjumlah tiga tulisan berita dan dua tulisan wawancara yang terbentang dari halaman 26 s/d 35. Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan pertama menempati enam halaman dan diberi caption pada halaman bagian atas dengan judul rubrik ‘Sidik Jari di Sekitar Yusril’. Sampel ini diawali dua halaman pembuka yang dihabiskan dengan ilustrasi grafis tokoh Ruki-Yusril-dan SBY, serta judul teks berita dan dua paragraf pembuka dengan karakter font cukup besar dan menonjol. Teks berita baru mulai ditempatkan pada halaman ketiga yang dilengkapi dengan foto rapat terbatas di Istana Negara yang dihadiri juga oleh SBY, Jusuf Kalla, Yusril, Sudi Silalahi, dan Ruki untuk secara khusus membahas persoalan RukiYusril. Foto lain menggambarkan proses pembuatan paspor yang menggunakan system biometrik dan mesin sidik jari. Sebuah data grafis juga ditampilkan tersendiri berisi profil lima tokoh yang terkait dengan kasus ini. Pada sisi atas di halaman 29 dan sisi bawah di halaman 30, ditampilkan kutipan Ruki dan Yusril lengkap dengan ilustrasi wajah keduanya.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
161
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini sebagai peristiwa utama yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang begitu padat informasi, padat ilustrasi dan grafis, serta memiliki nilai artistik. Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan) Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa peristiwa yang diangkat Tempo adalah tema kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan dengan pembagian tiga sub tema yang menyoalkan seputar kejanggalan kasus, dugaan keterlibatan Yusril, dan perseteruan Ruki dengan Yusril. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai peristiwa utama yang penting dan patut diketahui khalayak, dengan penempatan posisi tulisan yang strategis dan tata letak yang begitu padat informasi, padat ilustrasi dan grafis, serta memiliki nilai artistik. Menyimak dari luasnya cakupan tema peristiwa dan penempatan berita yang diperhitungkan, maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa tema peristiwa yang penting dan patut diketahui khalayak ini membutuhkan pemaparan yang lengkap dan menyeluruh, yakni dengan melakukan multi liputan, analisis mendalam, investigatif serta disuguhkan dengan penempatan berita yang cukup diperhitungkan baik secara teknis maupun secara artistik. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
162
perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa. Yang juga menjadi pemaknaan penulis adalah, Tempo hendak menunjukkan bahwa meski ada kesimpangsiuran informasi, namun penyelesaian kasus ini terus diusahakan oleh para penyidik dengan mencari bukti lain dan memburu para tersangka baru. Ini ditunjukkan dengan pemberian label (labeling) Tempo pada teks penutup berita yang menyebutkan peristiwa tersebut kini tengah memasuki ‘babak ketiga’. Labelling ini juga menyiratkan bahwa Tempo akan terus memantau perkembangan terbaru dari kasus korupsi tersebut.
Estetika Bahasa (Pembuktian) ¾ Penyusunan adegan Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal, bagian tengah, dan bagian akhir teks. Pada bagian awal teks, ada tiga penyusunan adegan yang dilakukan Tempo. Pertama, adalah rekaman peristiwa pertemuan antara Ruki dengan Yusril di Istana Negara, Jakarta, beberapa hari sebelum teks berita ini dimuat. Dalam latar tempat dan waktu inilah, adegan disusun dengan menampilkan percakapan antara Ruki dan Yusril ketika menghadiri rapat kabinet terbatas yang digelar SBY. Hal ini ditulis Tempo sebagai pembuka teks berita (lead) berikut (par 1 dan 2): Dua pejabat penting yang tengah berseteru itu bertemu di Istana Negara, Jakarta, Jumat pekan lalu. Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menghampiri Taufiequrahman Ruki, yang tengah mengobrol dengan seorang
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
163
pejabat. “Gue pikir lu stroke,” ujar Yusril sembari mengajak bersalaman. Ruki sontak terbahak. Belum sempat dia membalas canda itu, Yusril, yang kala itu tampil necis dengan jas hitam, ngeloyor pergi. Tapi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini tak hendak kalah set. “Mau panco,” dia berseru sembari mengepalkan tangan ke arah Yusril. Beberapa pejabat yang menyaksikan guyonan itu ikut tertawa. Ada pula yang cuma tersipu. Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo tak hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi. Yang patut disimak adalah adegan ini ditulis Tempo berdasarkan observasi wartawan Tempo di lapangan. Hal ini menunjukkan ada upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau news peg dari teks berita. Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menyusun adegan pertama pada awal teks dengan penggunaan bahasa yang tak hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi. Adegan kemudian beralih ke penyusunan adegan kedua di bagian awal teks sebagai pokok persoalan, yakni peristiwa yang terjadi saat rapat terbatas berlangsung. Lalu berlanjut ke penyusunan adegan ketiga yang disusun mulai dari peristiwa masa lalu secara kronologis, yakni pemeriksaan KPK terhadap Yusril dua pekan sebelumnya hingga menimbulkan polemik.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
164
Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menyusun adegan ketiga pada awal teks dengan menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu secara kronologis. Dari sudut pandang estetika bahasa, penggunaan teknik kilas balik ini merupakan cerita dalam cerita yang dalam kaidah sastra lazim disebut bingkai cerita. Kemudian pada bagian tengah teks, adegan disusun dengan pemaparan faktafakta yang mengandung kejanggalan atas kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Pemaparan kejanggalan kasus ini antara lain adalah ketidakjelasan kontrak kerja pelaksanaan proyek (par 11), kesimpangsiuran penerimaan dana (par 13), dan tiadanya bank guarantee sebagai bank yang seharusnya menjadi sumber modal awal PT Sentral Filindo (par 16). Pembuktian ini menunjukkan bahwa bagian tengah teks ini disusun dengan penelusuran investigasi dan hasil analisis Tempo atas fakta-fakta mengenai pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Baru di bagian akhir teks, adegan disusun dengan pemaparan fakta keterlibatan Yusril dalam kasus ini. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut (par 19 dan 20): Sejauhmana keterlibatan Yusril Ihza Mahendra dalam kasus ini terus ditelusuri para penyidik. Keterangan para tersangka dan sejumlah saksi masih simpang-siur. Tapi soal penunjukkan langsung itu memang atas restu Menteri Yusril. Lihatlah fakta berikut ini. Pada 14 Oktober 2004, Zulkarnain mengirim memo kepada Yusril Izha Mahendra. Isinya meminta Pak Menteri menyetujui metode penunjukkan langsung dalam proyek ini. Empat hari kemudian, Yusril menjawab memo itu. Isinya, dia setuju dengan metode penunjukkan langsung tersebut.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
165
Bagian akhir teks yang disusun dengan pemaparan fakta keterlibatan Yusril dalam kasus ini kemudian ditutup dengan kutipan pernyataan Ruki yang meggelar jumpa pers setelah pertemuan di Istana Negara tersebut. Dalam teks berita tersebut ditulis bahwa Ruki memastikan bakal ada tersangka baru dalam beberapa waktu ke depan (par 35, kal 2). Hal inilah yang membuat Tempo menutup teks berita dengan komentar Tempo atas pernyataan Ruki tersebut dengan gaya narasi berikut ini (par 35, kal 3): “Siapa tahu si tersangka baru bisa membuka babak ketiga dari kasus ini.” Pembuktian ini menunjukan bahwa bagian akhir teks ini disusun dengan pemaparan fakta keterlibatan Yusril, dan teks berita ini ditutup dengan satu kalimat komentar Tempo dengan gaya narasi. Pada kalimat penutup inilah, Tempo menggunakan teknik teks terbuka, yakni menunda kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera. ¾ Perspektif orang ketiga Perspektif orang ketiga yang digunakan dalam sampel ini terlihat pada bagian awal teks berita. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo memanfaatkan perspektif tokoh-tokoh yang muncul –yakni Yusril, Ruki, dan beberapa pejabat lain– secara terbatas. Hal ini ditunjukkan pada pembuka teks berita yang telah penulis kutip di halaman 162-163. Pada kutipan tersebut, perspektif orang ketiga yang digunakan tempo tidak mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja. Dari sudut pandang estetika bahasa, meleburnya perspektif penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh-tokoh
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
166
yang ditulisnya disebut sebagai perspektif orang ketiga amatan (third person observer narrator). Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh yang diceritakannya. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga amatan dalam sampel ini dilakukan Tempo dengan merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi. Tempo menggunakan perspektif orang ketiga amatan lewat deskripsi peristiwa tersebut. ¾ Penempatan detail Penempatan detail dalam sampel ini antara lain diungkapkan pada rincian peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi. Detail yang ditampilkan adalah perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama pejabat. Hal ini terlihat pada pembuka teks berita yang telah penulis kutip di halaman 162-163. Pada kutipan tersebut, detail perilaku menunjukkan bagaimana perseteruan Ruki dan Yusril ditingkahi dengan perilaku santai dan guyon keduanya. Detail gestur tubuh ditampilkan saat Ruki ‘mengepalkan tangan ke arah Yusril’. Detail pakaian ditempatkan pada Yusril ‘yang kala itu tampil necis dengan jas hitam’. Detail hubungan dengan sesama pejabat ditampilkan dengan deskripsi ‘Beberapa pejabat yang menyaksikan guyonan itu ikut tertawa. Ada pula yang cuma tersipu.’ Pembuktian
ini
menunjukkan
bahwa
Tempo
banyak
menggunakan
penempatan detail perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
167
pejabat, khususnya dalam mendeskripsikan peristiwa pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara. Estetika Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan pertama pada awal teks dengan penggunaan bahasa yang tak hanya menampilkan informasi perihal tema yang diangkat, tetapi juga merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi. Penyusunan adegan ketiga pada awal teks menggunakan teknik kilas balik (flashback) yang merekam ulang masa lalu secara kronologis sebagai bingkai cerita. Penyusunan adegan pada bagian tengah teks ini dengan penelusuran investigasi dan hasil analisis Tempo atas fakta mengenai pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Serta penyusunan adegan pada bagian akhir teks ini pemaparan fakta keterlibatan Yusril, dan teks berita ini ditutup dengan satu kalimat komentar Tempo dengan gaya narasi. Pada kalimat penutup inilah, Tempo menggunakan teknik teks terbuka, yakni menunda kesimpulan akhir sebab akhir peristiwanya belum dapat diketahui segera. Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa yang menghadirkan perspektif orang ketiga amatan (third person observer narrator) sebatas pengamatan terlibat yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja untuk menghadirkan peristiwa saat pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara terjadi.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
168
Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan banyak penempatan detail perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama pejabat secara rinci dalam mendeskripsikan peristiwa pertemuan Ruki dengan Yusril di Istana Negara. Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penempatan detail, penulis berpendapat bahwa Tempo hendak memotret latar belakang kehidupan tokoh di balik kasus korupsi dan perseteruan Ruki-Yusril. Penulis juga berpendapat bahwa hal ini melambangkan setting komunitas sosial tertentu menyangkut status dan prestise yang melingkupi tokoh Ruki dan Yusril. Maka dengan begitu, pembaca akan mendapatkan gambaran peristiwa yang tak hanya informatif, namun juga mendalam dan bermakna. Penempatan detail yang terperinci pada perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama tokoh, sesungguhnya merupakan detail yang selintas saja dan bukanlah informasi penting. Namun secara kreatif Tempo menggunakannya demi memperkuat pengadegan dan penokohan dari peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan detail selintas dan mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
169
Politik Bahasa (Pembuktian) ¾ Metafora Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan dua analogi sebagai bentuk politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat konotatif. Pertama, adalah penggunaan analogi pada kalimat ‘Kasus ini bertabur kejanggalan’ (par 10, kal 1). Frase
konotatif
‘bertabur
kejanggalan’
menganalogikan
banyaknya
ketidakberesan pada sesuatu hal atau peristiwa. Maka pada kalimat di atas, frase konotatif tersebut mengacu pada banyaknya ketidakberesan yang terjadi dalam peristiwa kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Penulis menganalisis bahwa analogi tersebut tidak hanya menunjukkan adanya tindakan korupsi pada peristiwa proyek pengadaan mesin sidik jari, tetapi juga menunjukkan bahwa banyaknya ketidakberesan pada peristiwa penyidikan kasus korupsi ini. Sehingga hal tersebut membangkitkan prasangka bahwa memang ada hal yang ditutup-tutupi dalam peristiwa ini dan ada pihak yang memang sengaja menghambat penyelesaian kasus korupsi tersebut. Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat analogi tersebut adalah makna pengungkapan banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan, serta membangkitkan prasangka adanya pihak yang sengaja menghambat penyelesaian kasus korupsi tersebut.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
170
Prasangka di atas kemudian diperkuat dengan penggunaan analogi kedua, yakni pada kalimat ‘Sejumlah anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak tahu-menahu soal proyek yang dikenal sangat empuk tersebut’ (par 13, kal 2). Pada kalimat di atas, frase konotatif ‘proyek yang dikenal sangat empuk’ menganalogikan sifat dari sesuatu peristiwa, kegiatan, pekerjaan, atau hal yang dapat menghasilkan banyak uang. Dengan kata lain, frase tersebut menganalogikan bahwa proyek pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan merupakan proyek yang dikenal dapat menghasilkan banyak uang. Penulis kemudian menyimak bahwa penggunaan kata ‘dikenal’ dalam frase tersebut tidak secara pasti menjelaskan siapa objek yang diacunya. Penulis menganalisis bahwa penggunaan kata ‘dikenal’ dalam frase tersebut dilakukan Tempo dalam mengandaikan pembaca (publik luas) sebagai obyek acuannya yang telah mengetahui hal tersebut. Dengan kata lain, frase konotatif ‘proyek yang dikenal sangat empuk’ menganalogikan bahwa proyek pengadaan mesin sidik jari tersebut merupakan proyek yang dapat menghasilkan banyak uang dan juga telah diketahui publik secara luas. Frase konotatif inilah yang kemudian digabung dengan frase ‘Sejumlah anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak tahu-menahu’ dalam memperkuat prasangka Tempo bahwa ada pihak yang pura-pura tidak tahu tentang proyek tersebut demi menutup-nutupi kasus ini, yaitu pihak anggota panitia sendiri. Bentuk analogi semacam ini disebut proterito yang seolah-olah merahasiakan sesuatu tetapi kemudian membukanya juga.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
171
Maka kalimat konotatif ‘Sejumlah anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak tahu-menahu soal proyek yang dikenal sangat empuk tersebut’ digunakan dalam menganalogikan bahwa ada pihak yang pura-pura tidak tahu tentang proyek yang dapat menghasilkan banyak uang tersebut. Pihak tersebut adalah tersebut anggota panitia pengadaan sendiri yang berpura-pura tidak tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini. Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat analogi tersebut adalah makna pengungkapan rahasia yang ditutupi anggota panitia pengadaan dengan memberi kesaksian bohong dan berpura-pura tidak tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini. ¾ Depictions Pada sampel ini, ada satu depictions yang akan dianalisis sebagai bentuk politik bahasa Tempo dalam mengarahkan citra tertentu. Depictions tersebut tertuang lewat kalimat konotatif ‘Sidik Jari di Sekitar Yusril’. Kalimat ini memang tidak tercantum di dalam teks berita. Namun kalimat tersebut tampak menonjol karena ia adalah judul rubrik liputan utama yang ditempatkan di halaman bagian atas dari sampel. Pada kalimat tersebut, frase ‘sidik jari’ mengacu pada mesin sidik jari, atau lebih luas lagi menganalogikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Penempatan nama Yusril sebagai obyek pelaku, menunjukkan bahwa kasus korupsi tersebut memiliki keterkaitan dengan Yusril. Keterkaitan tersebut adalah jabatan Yusril sebagai Menteri Hukum
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
172
dan Perundang-undangan ketika proyek pengadaan mesin sidik jari dilakukan di tahun 2004. Keterkaitan Yusril di sini juga bisa diartikan sebagai keterlibatan Yusril dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari. Pembuktian ini menunjukkan bahwa penggunaan depictions tersebut merupakan upaya Tempo dalam mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang memiliki keterlibatan dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari sehubungan dengan jabatannya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Politik Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat penggunaan analogi pada kalimat konotatif ‘Kasus ini bertabur kejanggalan’ sebagai makna pengungkapan banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan, serta membangkitkan prasangka adanya pihak yang sengaja menghambat penyelesaian kasus korupsi tersebut. Penggunaan analogi proterito juga dilakukan Tempo lewat kalimat ‘Sejumlah anggota panitia pengadaan ini juga mengaku tidak tahu-menahu soal proyek yang dikenal sangat empuk tersebut’ sebagai makna pengungkapan rahasia yang ditutupi anggota panitia pengadaan dengan memberi kesaksian bohong dan berpura-pura tidak tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini. Penggunaan simbol sebagai politik bahasa Tempo juga tertuang lewat penggunaan depictions ’Sidik Jari di Sekitar Yusril’ sebagai upaya Tempo dalam
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
173
mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang memiliki keterlibatan dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari sehubungan dengan jabatannya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan. Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi dan depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di
Departemen
Hukum
dan
Perundang-undangan.
Salah
satunya
dengan
mengungkapkan kesaksian bohong anggota panitia pengadaan yang berpura-pura tidak tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini, dan secara khusus mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang memiliki keterlibatan dalam kasus korupsi pada proyek pengadaan mesin sidik jari sehubungan dengan jabatannya sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 3 Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif pada sampel 3, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut: 1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak menunjukkan bahwa kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan merupakan peristiwa penting dan patut diketahui khalayak. Tempo juga hendak menunjukkan bahwa meski ada kesimpangsiuran informasi, namun penyelesaian kasus ini terus diusahakan oleh
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
174
para penyidik dengan mencari bukti lain dan memburu para tersangka baru. Tempo sendiri akan terus memantau perkembangan terbaru dari kasus korupsi tersebut. Karena itu, peristiwa ini membutuhkan pemaparan yang lengkap dan menyeluruh, yakni dengan melakukan multi liputan, analisis mendalam, investigatif
serta
disuguhkan
dengan
penempatan
berita
yang
cukup
diperhitungkan baik secara teknis maupun secara artistik. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa. 2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penempatan detail, Tempo hendak memotret latar belakang kehidupan tokoh Ruki dan Yusril yang diberitakannya, serta melambangkan setting komunitas sosial tertentu menyangkut status dan prestise yang melingkupi tokoh tersebut. Dengan begitu, pembaca akan mendapatkan gambaran peristiwa yang tak hanya informatif, namun juga mendalam dan bermakna. Penempatan detail yang terperinci pada perilaku, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan sesama tokoh, sesungguhnya merupakan detail yang selintas saja dan bukanlah informasi penting. Secara kreatif Tempo menggunakannya demi memperkuat pengadegan dan penokohan dari peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
175
yang menghindari penempatan detail selintas dan mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas. 3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi dan depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan banyaknya ketidakberesan pada penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan, salah satunya dengan mengungkapkan kesaksian bohong anggota panitia pengadaan yang berpura-pura tidak tahu-menahu demi menutup-nutupi kejelasan dan penyelesaian kasus korupsi ini, dan secara khusus mengarahkan citra Yusril sebagai pihak yang memiliki keterlibatan dalam kasus korupsi tersebut.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
176
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
177
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
178
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
179
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
180
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
181
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
182
Sampel 4 Judul : Riwayat Pendek Rekening Tebet Edisi : 25 Maret 2007 Penulis : Budi Setyarso Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian) ¾ Tema yang diangkat Tema yang diangkat pada sampel ini adalah kasus pencairan sejumlah uang milik Tommy Soeharto di Bank Paribas di London. Uang bermasalah tersebut kemudian juga ditransfer ke salah satu rekening di Bank BNI cabang Tebet, Jakarta Selatan atas nama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) milik Departemen Hukum dan HAM. Penelusuran keberadaan rekening inilah yang menjadi fokus peristiwa dalam teks berita tersebut. Bisa disimak bahwa liputan dalam teks berita ini tidak berangkat dari suatu kejadian atau peristiwa, namun Tempo sendirilah yang membuat peristiwa ini. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan liputan yang partisipatif, yakni ketika Tempo turut menjadi satu tokoh dalam peristiwa. Dengan kata lain, ada keterlibatan (immersion) yang dilakukan Tempo secara langsung dalam melakukan penelusuran keberadaan rekening AHU secara mandiri. Keterlibatan ini menunjukkan liputan dilakukan dengan mandiri dan terencana dengan nuansa investigasi yang kental. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa lewat teks berita ini, Tempo mengangkat dua tema sekaligus, yakni kasus korupsi KPU dan pribadi Hamid sebagai pihak yang tengah diperiksa KPK dalam kasus korupsi KPU. Dalam menyajikan teks
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
183
berita ini, ada keterlibatan (immersion) yang dilakukan Tempo secara langsung dalam melakukan penelusuran keberadaan rekening AHU secara mandiri. Keterlibatan ini menunjukkan liputan dilakukan dengan mandiri dan terencana dengan nuansa investigasi yang kental. ¾ Penempatan berita Pada edisi 25 Maret 2007, Tempo mengusung liputan utama ‘Menteri Hamid dan Duit Tommy’ dengan sampul depan ilustrasi tokoh Hamid tengah mengangkat telepon sambil tersenyum dan diberi judul “Hamid… Hamid’. Judul ini juga menjadi judul rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Menteri Hamid dan Duit Tommy tersebut berjumlah tiga tulisan berita dan satu tulisan wawancara yang terbentang dari halaman 26 s/d 35. Teks berita yang menjadi sample ini ditempatkan Tempo sebagai tulisam kedua yang menempati satu halaman yang dilengkapi dengan satu foto Bank BNI cabang Tebet. Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini sebagai bagian dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tidak begitu menonjol. Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan) Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tema peristiwa yang diangkat Tempo adalah upaya penelusuran keberadaan rekening AHU di Bank BNI cabang Tebet dalam kaitannya dengan kasus pencairan sejumlah uang bermasalah milik Tommy Soeharto di Bank Paribas di London. Dalam menyajikan teks berita ini, ada keterlibatan (immersion) yang dilakukan Tempo secara langsung,
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
184
mandiri dan terencana dengan nuansa investigasi yang kental. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai bagian dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tidak begitu menonjol. Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah, liputan dalam teks berita ini tidak berangkat dari suatu kejadian atau peristiwa, namun Tempo sendirilah yang membuat peristiwa ini. Karenanya, liputan peristiwa ini dilakukan Tempo upaya yang mandiri dengan nuansa investigasi yang kental. Upaya penelusuran keberadaan rekening AHU di Bank BNI cabang Tebet merupakan bagian pelengkap yang tak hanya mendukung liputan utama Tempo pada edisi tersebut, namun juga membangkitkan kesan bahwa ada hal yang ditutuptutupi dalam kasus kasus pencairan sejumlah uang bermasalah milik Tommy Soeharto di Bank Paribas di London. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa.
Estetika Bahasa (Pembuktian) ¾ Penyusunan adegan Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal teks. Pada bagian ini, adegan disusun berdasarkan peristiwa penyetoran uang ke rekening di Bank BNI Cabang Tebet. Pada adegan ini, wartawan Tempo sendiri yang menjadi salah satu tokohnya. Hal ini ditunjukkan pada kutipan par 1 berikut:
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
185
Kasir Bank BNI Cabang Tebet, Jakarta Selatan, itu tersenyum sopan lalu meminta maaf. Ia menyorongkan kembali formulir bukti setoran kepada Tempo. “Rekening yang Bapak tuju sudah ditutup,” katanya. “Kapan rekening itu ditutup?” “Sejak setahun yang lalu, Pak.” Dari kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang di bank terjadi. Tampak bahwa peristiwa tersebut ditampilkan sebagai rekaman faktual yang hidup, sebab dialami langsung oleh penulisnya sendiri. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau news peg dari teks berita. Pembuktian ini menunjukkan bahwa penyusunan adegan pada bagian awal teks dilakukan Tempo dengan penggunaan bahasa yang menghadirkan peristiwa secara langsung sebagai rekaman faktual yang hidup. ¾ Dialog Penggunaan dialog dalam sampel ini terlihat pada adegan yang menampilkan isi percakapan antara Tempo dengan kasir bank. Dialog tersebut sebagai berikut (par 1 s/d 3): Ia menyorongkan kembali formulir bukti setoran kepada Tempo. “Rekening yang Bapak tuju sudah ditutup,” katanya. “Kapan rekening itu ditutup?” “Sejak setahun yang lalu, Pak.” Penggunaan dialog juga terlihat pada par 4 berikut ini: . . . “Benar, rekening itu atas nama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum?” Nona kasir menjawab pasti: “Benar, Pak.”
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
186
Pada kedua dialog tersebut, Tempo menggunakan teknik kutipan langsung yang menghadirkan isi percakapan secara utuh. Teknik penggunaan dialog seperti ini sangat tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Yang patut disimak adalah Tempo menyusun dialog tersebut berdasarkan persitiwa yang dialami penulisnya sendiri, maka jelas bahwa dalam hal ini Tempo adalah pihak yang berada saat peristiwa itu terjadi dan berperan sebagai salah satu tokoh dalam teks berita ini. Pembuktian ini menunjukkan bahwa ada penggunaan dialog yang sangat tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Penggunaan dialog merupakan upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh. ¾ Perspektif orang ketiga Perspektif orang ketiga yang digunakan dalam sampel ini terlihat pada bagian awal teks berita. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo memanfaatkan perspektif tokoh nona kasir yang ditunjukkan pada par 1: Kasir Bank BNI Cabang Tebet, Jakarta Selatan, itu tersenyum sopan lalu meminta maaf. Ia menyorongkan kembali formulir bukti setoran kepada Tempo. “Rekening yang Bapak tuju sudah ditutup,” katanya. Pada kutipan di atas, perspektif orang ketiga yang digunakan Tempo tidak mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja, terutama pada kalimat ‘tersenyum sopan
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
187
lalu meminta maaf’. Dari sudut pandang estetika bahasa, perspektif penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh yang ditulisnya disebut sebagai perspektif orang ketiga amatan (third person observer narrator). Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh yang diceritakannya. Juga penulis perhatikan, penggunaan perspektif orang ketiga amatan ini kemudian beralih ke perspektif orang pertama di mana Tempo muncul sebagai salah satu tokohnya. Hal ini ditunjukkan dalam kalimat berikut (par 4): Kamis pagi pekan lalu, Tempo berusaha menyetor sejumlah uang ke rekening bernomor 0047885273 di bank itu. “Benar, rekening itu atas nama Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum?” Nona kasir menjawab pasti: “Benar, Pak.” Pada kutipan tersebutlah, penulis menemukan bahwa Tempo mengunakan perspektif orang pertama sebagai alat yang menceritakan jalannya peristiwa. Kutipan ini juga menunjukkan keterlibatan perspektif orang pertama (Tempo) dalam tokoh nona kasir dalam kalimat ‘Nona kasir menjawab pasti’. Dari sudut pandang estetika bahasa, kehadiran perspektif penulis selaku narator (Tempo) disebut sebagai perspektif orang pertama sertaan (first person participant narrator). Teknik ini menunjukkan adanya keterlibatan perspektif orang pertama (Tempo) dalam tokoh nona kasir. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa upaya Tempo menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang di bank terjadi, dilakukan dengan menggunakan perspektif orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama sertaan dalam sampel ini.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
188
Estetika Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menghadirkan peristiwa secara langsung sebagai rekaman faktual yang hidup. Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan adanya penggunaan dialog yang sangat tidak lazim dijumpai dalam sebuah berita, namun banyak digunakan pada karya sastra semisal cerpen, novel, atau naskah drama. Penggunaan dialog merupakan upaya rekonstruksi peristiwa yang dilakukan Tempo untuk menghadirkan kembali adegan ini secara langsung dan utuh. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan penggunaan perspektif orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama sertaan sebagai upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang di bank terjadi. Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, penggunaan dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung dan utuh, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak menerangkan bagaimana penyusuran keberadaan rekening AHU bermula, yakni dengan menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil pada teks berita tersebut. Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca menyaksikan peristiwa dalam teks
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
189
berita ini secara langsung. Juga pada penggunaan perspektif orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama sertaan, penulis berpendapat bahwa hal ini tak hanya menunjukkan upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang di bank terjadi, tetapi juga merupakan sebuah eksperimentasi dalam penulisan jurnalisme.
Politik Bahasa (Pembuktian) ¾ Metafora Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan analogi sebagai bentuk politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat konotatif. Antara lain adalah penggunaan analogi pada baris kalimat di bawah judul, ‘Satu di antara ribuan rekening siluman’. Kata konotatif ‘siluman’ menganalogikan sesuatu hal seperti hantu yang tidak jelas keberadaannya. Kata ‘siluman’ juga dapat digunakan untuk menganalogikan sesuatu yang mengancam, menakutkan, atau menimbulkan masalah. Sedangkan frase ‘rekening siluman’ sendiri mengacu pada rekening AHU milik Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Bank BNI cabang Tebet sebagai tempat transfer uang bermasalah milik Tommy Soeharto. Maka
pada
kalimat
tersebut,
frase
konotatif
‘rekening
siluman’
menganalogikan fakta tidak jelasnya keberadaan rekening AHU sebagai tempat transfer uang bermasalah milik Tommy Soeharto yang tidak dilaporkan ke Departemen Keuangan. Sifat ketidakjelasan inilah yang kemudian membuat rekening
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
190
AHU dipandang sebagai suatu masalah yang menakutkan, yakni sebagai salah satu dari ribuan rekening milik berbagai departemen pemerintahan yang disalahgunakan dan melakukan korupsi. Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat analogi tersebut adalah makna pengungkapan fakta tidak jelasnya keberadaan rekening AHU sebagai salah satu dari ribuan rekening milik berbagai departemen pemerintahan yang disalahgunakan untuk korupsi. Pengungkapan fakta tidak jelasnya keberadaan rekening AHU ini kemudian dipertegas lagi lewat pengunaan analogi berikutnya, yakni ‘Riwayat Pendek Rekening Tebet’ (judul teks berita), dan ‘Riwayat rekening itu ternyata tak panjang” (par 14, kal 1). Pada judul dan kalimat tersebut, analogi yang digunakan tertuang dalam frase konotatif yang serupa, yakni ‘riwayat pendek’. Kata ‘riwayat’ memiliki arti cerita turun temurun yang telah dialami/ dijalankan seseorang dan memiliki kandungan mengandung sejarah. Maka frase ‘riwayat pendek’ hendak menganalogikan sebuah peristiwa atau cerita turun temurun yang memiliki kandungan mengandung sejarah dalam rentang waktu yang singkat. Dengan kata lain, peristiwa tersebut bukan hanya benar-benar terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi juga telah menjadi bagian dari masyarakatnya sendiri. Dalam hal ini, Tempo menggunakan frase konotatif ‘riwayat pendek’ untuk menganalogikan keberadaan rekening AHU yang meskipun singkat namun memiliki kandungan sejarahnya sendiri, dan telah menjadi bagian dari masyarakat di kalangan
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
191
departemen. Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat analogi tersebut adalah makna pengungkapan fakta keberadaan rekening AHU yang singkat dan telah menjadi catatan sejarah. Jika dikaitkan dengan pembuktian frase konotatif sebelumnya (‘rekening siluman’ sebagai pengungkapan fakta ketidakjelasan keberadaan rekening AHU), maka frase konotatif ‘riwayat pendek’ hendak membangkitkan kecurigaan bahwa ketidakjelasan keberadaan rekening AHU disebabkan oleh adanya pihak-pihak yang berupaya mengaburkan keberadaan rekening tersebut. Dalam artian, lewat frase tersebut Tempo hendak mengungkapkan bahwa ada pihak yang sengaja menutup-nutupi perihal keberadaan rekening AHU. Politik Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat penggunaan analogi, yakni dalam frase konotatif ‘rekening siluman’ yang menganalogikan fakta keberadaan rekening AHU sebagai salah satu dari ribuan rekening milik berbagai departemen pemerintahan yang tidak jelas, menakutkan, dan disalahgunakan untuk melakukan korupsi; frase konotatif ‘riwayat pendek’ untuk menganalogikan keberadaan rekening AHU yang meskipun singkat namun memiliki kandungan sejarahnya sendiri, dan telah menjadi bagian dari masyarakat di kalangan departemen, sekaligus mengungkapkan bahwa ada pihak yang sengaja menutupnutupi perihal keberadaan rekening AHU.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
192
Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan bahwa ada pihak yang sengaja menutup-nutupi keberadaan rekening AHU di Departemen Hukum dan HAM. Pihak tersebut mestilah pihak yang paling bertanggung jawab di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM, yakni Hamid Awaluddin sebagai Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu.
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 4 Berdasarkan rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif pada sampel 4, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut: 1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah liputan Tempo dalam teks berita ini tidak berangkat dari suatu kejadian atau peristiwa, namun Tempo sendirilah yang membuat peristiwa ini. Karenanya, liputan peristiwa ini dilakukan Tempo upaya yang mandiri dengan nuansa investigasi yang kental. Upaya penelusuran keberadaan rekening AHU di Bank BNI cabang Tebet merupakan bagian pelengkap yang tak hanya mendukung liputan utama Tempo pada edisi tersebut, namun juga membangkitkan kesan bahwa ada hal yang ditutup-tutupi dalam kasus kasus pencairan sejumlah uang bermasalah milik Tommy Soeharto di Bank Paribas di London. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
193
2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa dalam teks berita tersebut –khususnya pada penyusunan adegan, penggunaan dialog, dan perspektif orang ketiga. Khusus pada penggunaan dialog secara langsung dan utuh, penulis berpendapat bahwa dalam hal ini Tempo hendak menerangkan bagaimana penyusuran keberadaan rekening AHU bermula, yakni dengan menguatkan keutuhan adegan dan memberi sentuhan riil pada teks berita tersebut. Lewat teknik tersebut, Tempo mengajak pembaca menyaksikan peristiwa dalam teks berita ini secara langsung. Juga pada penggunaan perspektif orang ketiga amatan, yang kemudian beralih ke perspektif orang pertama sertaan, penulis berpendapat bahwa hal ini tak hanya menunjukkan upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa saat penyetoran uang di bank terjadi, tetapi juga merupakan sebuah eksperimentasi dalam penulisan jurnalisme. 3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah kuatnya penggunaan analogi sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengungkapkan bahwa ada pihak yang sengaja menutup-nutupi keberadaan rekening AHU di Departemen Hukum dan HAM. Pihak tersebut mestilah pihak yang paling bertanggung jawab di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Departemen Hukum dan HAM, yakni Hamid Awaluddin sebagai Menteri Hukum dan HAM Kabinet Indonesia Bersatu.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
194
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
195
Sampel 5 Judul : Mereka yang Kembali ke Laptop Edisi : 20 Mei 2007 Penulis : Wenseslaut Manggut, Wahyu Dhyatmika Perlakuan Atas Peristiwa (Pembuktian) ¾ Tema yang diangkat Tema yang diangkat pada sampel ini adalah reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu. Tema besar ini kemudian dibagi menjadi dua sub tema, yakni aktivitas para mantan menteri yang dicopot dari kabinet, dan korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Pada sub tema pertama, aktivitas para mantan menteri yang dicopot dari kabinet ditulis Tempo dengan nuansa human interest. Para mantan menteri yang disorot dalam teks berita ini adalah Saifullah Yusuf selaku mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Abdul Rahman Saleh selaku mantan Jaksa Agung, Yusril Ihza Mahendra selaku mantan Menteri Sekretaris Negara, dan Hamid Awaludin selaku mantan Menteri Hukum dan HAM. Sub tema ini menjadi pembuka teks berita. Sub tema kemudian beralih pada informasi seputar korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan Hamid. Bisa disimak pula bahwa dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan, yakni peristiwa Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor (par 1 s/d 3), peristiwa acara ‘Welcoming Back’ di Hotel Santika
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
196
(par 8 s/d 11), peristiwa diskusi yang digelar Dewan Perwakilan Daerah di Senayan (par 14), peristiwa kepindahan Yusril dari kompleks menteri di Jakarta Selatan (par 16), peristiwa kepindahan Hamid dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan (par 19), peristiwa pengaduan Daan Dimara ke kantor polisi (par 25), dan penelusuran referensi perkembangan terbaru kasus korupsi yang melibatkan Hamid (par 21 s/d 24). Multi liputan tersebut menunjukkan liputan dilakukan dengan terencana pada waktu yang berbeda. Pembuktian ini menunjukkan bahwa tema yang diangkat Tempo dalam teks berita ini adalah reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu sebagai tema besar. Dua sub tema dalam teks berita ini adalah aktivitas para mantan menteri yang dicopot dari kabinet ditulis dengan nuansa human interest, dan korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda. ¾ Penempatan berita Pada edisi 20 Mei 2007, Tempo mengusung liputan utama ‘Reshuffle Kabinet’ dengan sampul depan ilustrasi tokoh SBY tengah duduk menghadapi papan catur dan diberi judul “Para Penasihat di Balik Reshuffle’. Judul ini juga menjadi judul rubrik opini atau editorial Tempo di halaman dalam. Rangkaian liputan utama Reshuffle Kabinet tersebut berjumlah empat berita yang terbentang dari halaman 28 s/d 39. Teks berita yang menjadi sampel ini ditempatkan Tempo sebagai tulisan keempat yang menempati dua halaman dan diberi bingkai coklat dan hitam
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
197
memanjang pada halaman bagian atas dengan judul rubrik ‘Nasional Reshuffle Kabinet’. Sampel ini juga dilengkapi dengan satu foto Hamid tengah dikerubungi wartawan setelah pengumuman reshuffle kabinet, dan satu foto rumah tinggal Abdul Rahman Saleh. Selebihnya, tidak ada data grafis atau tata letak yang menonjol dalam teks berita ini. Pembuktian ini menunjukkan bahwa Tempo menempatkan teks berita ini sebagai bagian akhir dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tampak tidak begitu menonjol. Perlakuan Atas Peristiwa (Pemaknaan) Berdasarkan pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa tema peristiwa yang diangkat Tempo adalah tema yang diangkat Tempo dalam teks berita ini adalah reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu sebagai tema besar, dan sub tema aktivitas para mantan menteri yang dicopot dari kabinet ditulis dengan nuansa human interest, serta korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Dalam menyajikan teks berita ini, Tempo melakukan multi liputan dengan terencana pada waktu yang berbeda. Tempo menempatkan teks berita ini sebagai bagian akhir dari peristiwa utama yang juga penting dan patut diketahui khalayak. Sedangkan tata letak dalam teks berita ini tampak tidak begitu menonjol. Maka pemaknaan yang bisa ditarik dari aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah, Tempo hendak menampilkan sisi lain dari peristiwa reshuffle kabinet, yakni dengan menyajikan liputan bernuansa human interest perihal aktivitas
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
198
para mantan menteri. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa. Juga menjadi pemaknaan penulis, teks berita ini merupakan upaya lanjutan dan terencana dari Tempo dalam memberitakan kelanjutan kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan Hamid.
Estetika Bahasa (Pembuktian) ¾ Penyusunan adegan Penyusunan adegan pada sampel ini akan dilihat dari bagian awal dan tengah teks. Pada bagian awal teks, penyusunan adegan dibuka dengan rekaman peristiwa Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor. Hal ini ditunjukkan dalam kutipan berikut ini (par 1 dan 2): Malam telah lewat. Setengah satu dini hari, Sabtu pekan lalu. Tapi Saifullah Yusuf masih jingkrak-jingkrak di lapangan badminton kantor Gerakan Pemuda Anshor, di Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mengenakan celana putih dan kaus serupa, Saifullah melompat-lompat bak pemain professional. Tiba-tiba shuttle cock jatuh di lini depan, di sudut kanan lapangan. Saifullah berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras. Tapi gagal. Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat yang mengalir deras di tubuh. Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo tidak langsung menyajikan informasi perihal tema yang diangkat, namun lebih kepada rekaman suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat peristiwa Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor terjadi. Dalam latar
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
199
tempat dan waktu tersebutlah, penyusunan adegan di sini terlihat padat dengan penggunaan bahasa yang intens lengkap dengan kandungan nuansa emosi untuk menggambarkan peristiwa. Adegan ini diposisikan secara menonjol sebagai pembuka atau news peg dari teks berita. Di bagian tengah teks, penyusunan adegan terlihat pada rekaman peristiwa acara ‘Welcoming Back’ di Hotel Santika. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 9 kal 2-3, dan par 10 kal 1-2): . . . Diberi tajuk “Welcoming Back”, acara malam itu memang didedikasikan untuk Arman. Sebuah foto besar yang memperlihatkan Arman tengah memakai sepatu dan sejumlah karikatur tentang bekas bintang film ini dipajang. Kawan lama tumpah di situ. Di antaranya Adnan Buyung Nasution . . . Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang menampilkan rekaman suasana peristiwa untuk menghadirkan saat peristiwa acara ‘Welcoming Back’ di Hotel Santika berlangsung. Penyusunan adegan juga terlihat pada rekaman peristiwa diskusi yang digelar Dewan Perwakilan Daerah di Senayan. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 14): Jumat pekan lalu, Yusril menjadi pembicara dalam sebuah diskusi yang digelar Dewan Perwakila Daerah di Senayan. Dia berbicara soal amandemen undangundang. Di sela-sela istirahat, Yusril asyik mengepulkan asap rokok Djarum kesukaannya . . . Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang menampilkan rekaman peristiwa untuk menghadirkan tindakan Yusril di waktu istirahat peristiwa diskusi tersebut.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
200
Penyusunan adegan berikutnya terlihat pada rekaman peristiwa kepindahan Yusril dari kompleks menteri di Jakarta Selatan. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 16): Yusril sendiri sibuk mengemasi barang dari Widya Chandra, kompleks menteri di Jakarta Selatan. Kamis pekan lalu, lima orang pekerja mengangkut 50 pot tanaman dari rumah itu dengan menumpang Daihatsu. Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang menampilkan rekaman peristiwa untuk menghadirkan suasana saat peristiwa kepindahan Yusril terjadi. Penyusunan adegan pada bagian tengah teks kemudian terlihat pada rekaman peristiwa kepindahan Hamid dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 19): Hari itu Hamid terlihat mengemas sejumlah buku di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dia meletakkan kitab-kitab itu ke sejumlah kardus. Sejak selasa pekan lalu, dia juga siap berkemas dari rumah dinas menteri. Karduskardus itu ditumpuk di ruang tengah. Pada kutipan di atas, penulis menemukan penggunaan bahasa Tempo yang menampilkan rekaman peristiwa untuk menghadirkan suasana saat peristiwa kepindahan Hamid terjadi. Seluruh penyusunan adegan tersebut membuktikan bahwa Tempo tidak secara langsung menyajikan informasi penting perihal tema yang diangkat, namun lebih menonjolkan peristiwa sehari-hari lewat berbagai rekaman suasana-demi-suasana dan tindakan tokoh yang dirangkai demi menghadirkan peristiwa secara langsung.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
201
¾ Perspektif orang ketiga Perspektif orang ketiga yang digunakan secara menonjol dalam sampel ini yaitu perspektif Saifullah dan beberapa tokoh lain pada awal teks. Dalam menggunakan teknik ini, Tempo menggunakan perspektif Saifullah dan beberapa tokoh lain secara terbatas. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 2 dan 3): Tiba-tiba shuttle cock jatuh di lini depan, di sudut kanan lapangan. Saifullah berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras. Tapi gagal. Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat yang mengalir deras di tubuh. Belasan kawan karibnya tertawa ngakak melihat aksi mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini. Penyanyi balada Franky Sahilatua, sobat karib Saifullah, di pinggir lapangan ikut terbahak. “Kini saya lebih bebas dan banyak waktu bermain dengan teman-teman,” kata Saifullah. Pada kutipan di atas, perspektif orang ketiga yang digunakan tempo tidak mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja. Dari sudut pandang estetika bahasa, meleburnya perspektif penulis selaku narator (Tempo) dengan perspektif tokoh-tokoh yang ditulisnya disebut sebagai perspektif orang ketiga amatan (third person observer narrator). Teknik ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh yang diceritakannya. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa perspektif orang ketiga amatan dalam sampel ini dilakukan Tempo dengan merekam suasana-demi-suasana untuk menghadirkan peristiwa saat Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
202
Perspektif orang ketiga yang juga digunakan Tempo terlihat pada kutipan berikut ini (par 11): Keluar dari ruang pesta itu, Arman masih punya tugas yang membuatnya pusing tujuh keliling: mencari rumah kontrakan. Maklum, rumah kecilnya di sebuah gang di Jakarta Timur tak kuat lagi menampung buku-buku yang dibeli selama ini. Kalimat di atas menunjukkan bahwa perspektif Tempo masuk ke dalam perasaan subjektif, suasana dan emosi yang dialami Arman, yakni perasaan ‘pusing tujuh keliling’, suasana kecilnya rumah Arman pada kata ‘rumah kecilnya’ dan ‘tak kuat lagi menampung buku-buku’. Penggunaan perspektif orang ketiga semestaan ini menyiratkan keterlibatan penulis terhadap perasaan, suasana, dan emosi yang dialami tokoh yang diceritakannya. Perspektif orang ketiga juga digunakan Tempo seperti terlihat pada kutipan berikut ini (par 19): Hari itu Hamid terlihat mengemas sejumlah buku di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dia meletakkan kitab-kitab itu ke sejumlah kardus. Sejak selasa pekan lalu, dia juga siap berkemas dari rumah dinas menteri. Karduskardus itu ditumpuk di ruang tengah. Pada kutipan di atas, perspektif orang ketiga yang digunakan Tempo tidak mengungkapkan pikiran dan perasaan tokoh, tetapi hanya sebatas pengamatan terlibat yang mendeskripsikan apa yang terlihat saja. Penggunaan perspektif perspektif orang ketiga amatan ini menyiratkan keterlibatan penulis secara terbatas dalam tokoh yang diceritakannya.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
203
Pembuktian pada perspektif orang ketiga tersebut menunjukkan upaya Tempo menghadirkan rangkaian peristiwa secara langsung dilakukan dengan menggunakan perspektif orang ketiga amatan dan semestaan. Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo –baik secara terbatas maupun secara partisipatif– dalam rangkaian peristiwa pada teks berita ini. ¾ Penempatan detail Penempatan detail dalam sampel ini antara lain ditampilkan pada rincian peristiwa saat Saifullah bermain badminton di kantor Gerakan Pemuda Anshor. Detail yang ditampilkan adalah suasana, gestur tubuh, pakaian, dan hubungan dengan kawan. Hal ini terlihat pada kutipan berikut (par 1 s/d 3): Malam telah lewat. Setengah satu dini hari, Sabtu pekan lalu. Tapi Saifullah Yusuf masih jingkrak-jingkrak di lapangan badminton kantor Gerakan Pemuda Anshor, di Kramat Raya, Jakarta Pusat. Mengenakan celana putih dan kaus serupa, Saifullah melompat-lompat bak pemain professional. Tiba-tiba shuttle cock jatuh di lini depan, di sudut kanan lapangan. Saifullah berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras. Tapi gagal. Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat yang mengalir deras di tubuh. Belasan kawan karibnya tertawa ngakak melihat aksi mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini. Penyanyi balada Franky Sahilatua, sobat karib Saifullah, di pinggir lapangan ikut terbahak. “Kini saya lebih bebas dan banyak waktu bermain dengan teman-teman,” kata Saifullah. Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa detail suasana ditampilkan dengan kalimat ‘Malam telah lewat. Setengah satu dini hari, Sabtu pekan lalu’. Detail gestur tubuh ditampilkan pada kalimat ‘Tapi Saifullah Yusuf masih jingkrak-jingkrak’, ‘Saifullah melompat-lompat’, ‘Saifullah berguling, berusaha mencungkil bola ke kandang lawan, seraya berpekik keras’, ‘Dia tertawa lebar, lalu menyeka keringat
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
204
yang mengalir deras di tubuh’. Detail pakaian ditampilkan pada kalimat ‘Mengenakan celana putih dan kaus serupa’. Detail hubungan dengan kawan ditampilkan pada kalimat ‘Belasan kawan karibnya tertawa ngakak melihat aksi mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal ini’ dan ‘Penyanyi balada Franky Sahilatua, sobat karib Saifullah, di pinggir lapangan ikut terbahak’. Penempatan detail juga ditampilkan pada rincian peristiwa saat acara ‘Welcoming Back’ di Hotel Santika. Detail yang ditampilkan adalah dekorasi ruangan dan hubungan sesama kawan. Hal ini terlihat pada par 9 kal 2-3, dan par 10 kal 1-2 seperti yang telah penulis kutip di halaman 188. Dari kutipan tersebut dapat disimak bahwa detail dekorasi ruangan ditampilkan pada kalimat ‘Sebuah foto besar yang memperlihatkan Arman tengah memakai sepatu dan sejumlah karikatur tentang bekas bintang film ini dipajang’. Lalu detail hubungan sesama kawan ditampilkan pada kalimat ‘Kawan lama tumpah di situ. Di antaranya Adnan Buyung Nasution’. Penempatan detail lalu ditampilkan pada rincian peristiwa saat acara diskusi yang digelar Dewan Perwakilan Daerah di Senayan. Detail yang ditampilkan adalah perilaku. Hal ini terlihat pada kutipan berikut (par 14): Jumat pekan lalu, Yusril menjadi pembicara dalam sebuah diskusi yang digelar Dewan Perwakila Daerah di Senayan. Dia berbicara soal amandemen undang-undang. Di sela-sela istirahat, Yusril asyik mengepulkan asap rokok Djarum kesukaannya . . .
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
205
Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa detail perilaku ditampilkan pada kalimat ‘Di sela-sela istirahat, Yusril asyik mengepulkan asap rokok Djarum kesukaannya’. Penempatan detail kemudian ditampilkan pada rincian peristiwa kepindahan Hamid dari kantornya di Kuningan, Jakarta Selatan. Detail yang ditampilkan adalah detail barang. Hal ini ditunjukkan pada kutipan berikut ini (par 19): Hari itu Hamid terlihat mengemas sejumlah buku di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dia meletakkan kitab-kitab itu ke sejumlah kardus. Sejak selasa pekan lalu, dia juga siap berkemas dari rumah dinas menteri. Karduskardus itu ditumpuk di ruang tengah. Dari kutipan di atas dapat disimak bahwa detail barang ditampilkan pada kata ‘kitab-kitab’, ‘sejumlah kardus’, dan ‘Kardus-kardus itu ditumpuk di ruang tengah’. Pembuktian tersebut menunjukkan bahwa Tempo banyak menggunakan penempatan detail pada tiap-tiap adegan peristiwa yang dirangkai. Detail tersebut antara lain adalah suasana, gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan. dekorasi ruangan. perilaku, dan barang. Detail ini digunakan demi memperkuat pengadegan dan penokohan dari tiap-tiap peristiwa. Estetika Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis memandang ada beberapa hal yang patut diperhatikan dari aspek estetika bahasa dalam sampel ini. Antara lain adalah penggunaan bahasa dalam penyusunan adegan yang menunjukkan bahwa Tempo tidak secara langsung menyajikan informasi penting perihal tema yang diangkat, namun lebih menonjolkan peristiwa sehari-hari lewat berbagai rekaman
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
206
suasana-demi-suasana dan tindakan tokoh yang dirangkai demi menghadirkan peristiwa secara langsung. Aspek estetika bahasa kemudian dilanjutkan dengan penggunaan bahasa yang menghadirkan perspektif orang ketiga amatan dan semestaan sebagai upaya Tempo menghadirkan rangkaian peristiwa secara langsung dilakukan dengan menggunakan Hal ini menyiratkan adanya keterlibatan Tempo –baik secara terbatas maupun secara partisipatif– dalam rangkaian peristiwa pada teks berita ini. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini juga dilengkapi dengan banyak penempatan detail secara terperinci yang memperkuat pengadegan dan penokohan dari tiap peristiwa dalam teks berita ini. Detail tersebut antara lain adalah suasana, gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan, dekorasi ruangan, perilaku, dan barang. Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek estetika bahasa dalam sampel ini adalah kuatnya dimensi estetika bahasa yang terkandung dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail. Dengan menyimak secara khusus pada banyaknya jumlah peristiwa yang ada teks berita ini, terlihat bahwa Tempo melakukan rekonstruksi berbagai peristiwa yang ada dan membentuknya menjadi rangkaian adegan dalam satu benang merah yang sama. Maka penulis berpendapat bahwa Tempo menuliskan teks berita ini secara kreatif. Khusus pada penempatan detail, penulis berpendapat bahwa Tempo hendak memotret latar belakang kehidupan masing-masing tokoh dalam teks berita ini.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
207
Penulis juga berpendapat bahwa hal ini melambangkan setting komunitas sosial tertentu menyangkut status dan prestise yang melingkupi tokoh Saifullah Yusuf selaku mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, Abdul Rahman Saleh selaku mantan Jaksa Agung, Yusril Ihza Mahendra selaku mantan Menteri Sekretaris Negara, dan Hamid Awaludin selaku mantan Menteri Hukum dan HAM. Dengan begitu, pembaca akan mendapatkan gambaran peristiwa yang tak hanya informatif, namun juga mendalam dan bermakna. Penempatan detail suasana, gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan, dekorasi ruangan, perilaku, dan barang yang ditampilkan secara terperinci di tiap-tiap peristiwa, merupakan detail yang sesungguhnya selintas saja dan bukanlah informasi penting. Namun secara kreatif pula Tempo menggunakannya demi memperkuat pengadegan dan penokohan dari tiap-tiap peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan detail selintas dan mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.
Politik Bahasa (Pembuktian) ¾ Metafora Pada sampel ini, penulis menemukan penggunaan analogi sebagai bentuk politik bahasa Tempo dalam mengungkapkan fakta melalui kata, frase, dan kalimat konotatif, yakni penggunaan analogi pada kalimat judul, ‘Mereka yang Kembali ke Laptop’, dan ‘Kembali ke “laptop” –itulah yang dilakukan sejumlah menteri yang disetip dari kabinet’ (par 8, kal 1).
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
208
Frase konotatif ’kembali ke laptop’ merupakan frase yang dipopulerkan oleh Tukul Arwana dalam talkshow komedi Empat Mata di stasiun televisi swasta Trans7. Frase ini kerap digunakan Tukul setiap kali ia menyudahi lawakannya untuk kembali serius dan konsentrasi ke topik permasalahan awal yang diangkat dalam talkshownya. Dalam kata lain, frase konotatif ‘kembali ke laptop’ versi Tukul digunakan untuk menganalogikan suatu tindakan yang membutuhkan konsentrasi atau keseriusan. Frase konotatif yang kemudian menjadi populer di tengah pemirsa (masyarakat) Indonesia inilah yang dipinjam Tempo dalam mengungkapkan salah satu aspek peristiwa reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu. Karenanya, makna frase konotatif versi Tukul tersebut berbeda ketika digunakan Tempo dalam teks beritanya mengenai peristiwa reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu. Frase konotatif ’kembali ke laptop’ pada dua kalimat di atas menganalogikan tindakan sejumlah tokoh setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Adapun Tempo menampilkan tokoh Saifullah Yusuf (Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal) yang meneruskan kegiatannya di Gerakan Pemuda Anshor setelah diberhentikan dari kabinet; tokoh Abdul Rahman Saleh (mantan Jaksa Agung) yang tengah mencari tempat tinggal; tokoh Yusril Ihza Mahedra (mantan Menteri Sekretaris Negara) yang kembali menjadi pembicara di sejumlah seminar dan diskusi; serta Hamid Awaluddin (mantan Menteri Hukum dan HAM) yang tengah pindah dari rumah dinasnya dan akan kembali mengajar di universitas.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
209
Pembuktian ini menunjukkan bahwa makna yang dipindahkan Tempo lewat analogi tersebut adalah makna pengungkapan fakta tindakan Saifullah, Rahman, Yusril, dan Hamid setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu. ¾ Depictions Pada sampel ini, ada depictions yang digunakan Tempo sebagai bentuk politik bahasa. Depictions tersebut terlihat pada kalimat berikut (par 21): Ia memang tidak akan menjadi penganggur. Setidaknya kesibukan lain dia adalah berurusan dengan penegak hukum. Pada kalimat di atas, depictions yang digunakan adalah frase ‘tidak akan menjadi penganggur’. Depictions tersebut digunakan Tempo dalam mengungkapkan lebih lanjut lagi mengenai tindakan (kesibukan) Hamid setelah diberhentikan dari kabinet, yakni berurusan dengan pihak kepolisian atas dugaan keterlibatannya pada kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004. Pembuktian
ini
menunjukkan
bahwa
depictions
tersebut
hendak
mengungkapkan fakta tindakan Hamid setelah diberhentikan dari kabinet, sekaligus mengarahkan citra Hamid sebagai pihak yang kini tengah disorot publik dalam kaitannya dengan kasus korupsi. Politik Bahasa (Pemaknaan) Berdasarkan seluruh pembuktian di atas, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan simbol (simbolisme) sebagai politik bahasa Tempo tertuang lewat penggunaan analogi ‘kembali ke laptop’ sebagai makna pengungkapan fakta tindakan
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
210
Saifullah, Rahman, Yusril, dan Hamid setelah diberhentikan dari jabatannya sebagai menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu; serta penggunaan depictions ‘tidak akan menjadi penganggur’ yang mengungkapkan fakta tindakan Hamid berurusan dengan pihak kepolisian setelah diberhentikan dari kabinet, sekaligus mengarahkan citra Hamid sebagai pihak yang kini tengah disorot publik dalam kaitannya dengan kasus korupsi. Penulis menyimak bahwa keempat tokoh yang ditampilkan dalam teks berita ini memiliki benang merah yang sama, yakni sama-sama diberhentikan dari kabinet dan sama-sama diduga memiliki keterlibatan di sejumlah kasus korupsi, semisal Yusril Ihza Mahendra pada kasus pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundang-undangan dan kasus pencairan uang Tommy Soeharto, serta Hamid Awaluddin pada kasus pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004. Namun pada teks berita ini, tokoh yang secara jelas ditampilkan Tempo terkait dengan kasus korupsi adalah Hamid Awaluddin (par 21-25). Dalam rangka inilah, penulis menemukan praktik politik bahasa Tempo yang mengarahkan tema reshuffle kabinet pada teks berita ini kepada keterlibatan tokoh yang terkena reshuffle dalam kasus korupsi, yakni khususnya Hamid. Sebagai kesimpulan, pemaknaan yang bisa ditarik dari pembuktian aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi dan depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengarahkan tema reshuffle kabinet pada teks berita ini kepada keterlibatan tokoh yang terkena reshuffle dalam kasus korupsi, yakni secara khusus mengarah pada kasus kasus pengadaan segel
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
211
amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan Hamid.
Kesimpulan Analisis Teks Ekletif Sampel 5 Berdasarkan dari rangkaian pembuktian dan pemaknaan analisis teks ekletif pada sampel 5, penulis merangkum kesimpulan sebagai berikut: 1. Aspek perlakuan atas peristiwa dalam sampel ini adalah Tempo hendak menampilkan sisi lain dari peristiwa reshuffle kabinet, yakni dengan menyajikan liputan bernuansa human interest perihal aktivitas para mantan menteri. Penulis menemukan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang dalam teks berita ini sebagai perlakuan Tempo atas peristiwa. Teks berita ini juga merupakan upaya lanjutan dan terencana dari Tempo dalam memberitakan kelanjutan kasus korupsi pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan Hamid. 2. Aspek estetika bahasa dalam sampel ini ialah adanya kandungan estetika bahasa dalam teks berita tersebut, yakni pada penyusunan adegan, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail. Khusus pada penempatan detail, penulis berpendapat bahwa Tempo hendak memotret latar belakang kehidupan masingmasing tokoh dalam teks berita ini. Penulis juga berpendapat bahwa hal ini melambangkan setting komunitas sosial tertentu menyangkut status dan prestise yang melingkupi tokoh tersebut. Penempatan detail suasana, gestur tubuh, pakaian, hubungan dengan kawan, dekorasi ruangan, perilaku, dan barang yang
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
212
ditampilkan secara terperinci di tiap-tiap peristiwa, merupakan detail yang sesungguhnya selintas saja dan bukanlah informasi penting. Namun secara kreatif pula Tempo menggunakannya demi memperkuat pengadegan dan penokohan dari tiap-tiap peristiwa dalam teks berita ini. Hal ini berbeda dengan penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan detail selintas dan mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas. 3. Aspek politik bahasa dalam sampel ini ialah penggunaan analogi dan depictions sebagai bentuk politik bahasa yang digunakan Tempo dalam mengarahkan tema reshuffle kabinet pada teks berita ini kepada keterlibatan tokoh yang terkena reshuffle dalam kasus korupsi, yakni secara khusus mengarah pada kasus kasus pengadaan segel amplop kertas suara pemilu presiden 2004 yang melibatkan Hamid.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
213
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
214
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
215
B.2. Analisis Discourse Practice2 Aspek Produksi Teks ¾ Pola dan rutinitas produksi berita Pola dan rutinitas kerja redaksi MBM Tempo dimulai dari rapat masingmasing kompartemen (bagian) pada hari Senin pukul 10 pagi. Ada sekitar enam sampai tujuh kompartemen yang rapat selama satu jam. Di situ mereka akan menjaring usulan berita minggu depan itu kira-kira apa. Usulan juga bisa dari reporter, magang nulis, staff redaksi, penanggungjawab rubrik, dan redaktur pelaksana. Setelah mereka putuskan usulan dari lima hingga delapan item. Diikuti sekitar 30 orang termasuk repoter, masing-masing orang dapat memberikan usulan, baik itu tema maupun angle tulisan. Pemilihan tema disesuaikan dengan magnitude (besaran) dan kriteria berita yang layak dalam rapat perencanaan. Khusus pada peristiwa kasus korupsi, yang menjadi kriteria berita bagi MBM Tempo adalah adanya fakta dan bukti yang kuat, unsur kepentingan publik yang dirugikan, besarnya jumlah uang yang dikorupsi, tokohnya kuat, dan kepentingan pembaca MBM Tempo. Semua itu dilihat dari besaran (magnitude) peristiwanya. 2
Dirangkum dari hasil wawancara penulis dengan Redaktur Bahasa MBM Tempo Sapto Nugroho (Lampiran B) dan Redaktur Desk Nasional MBM Tempo Wenseslaus Manggut (Lampiran C), serta didukung dengan data wawancara Eka Shinta Pangeswari dengan Goenawan Mohamad (IISIP Jakarta, 2003: 120-122) dan data wawancara Ani Wahyuni dengan pihak redaksi MBM Tempo (IISIP Jakarta, 2006: 175-198). Dua data pendukung tersebut penulis gunakan sebagai pembanding demi mendapatkan gambaran akurat dari keterangan masing-masing narasumber mengenai discourse practice MBM Tempo.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
216
Senin pukul 11 siang diadakan rapat gabungan kompartemen di ruang rapat lantai satu. Hasil rapat kompartemen dipresentasikan satu-satu. Ada yang diterima, ada yang ditolak, ada yang mesti diperdalam. Rapat berlangsung hingga jam dua atau jam tiga. Senin sore setelah selesai rapat gabungan, lalu dibuat lembar penugasan (term of reference) yang berisi inti masalah tulisan, siapa sumber yang harus kita hubungi, daftar pertanyaan, hingga nomor kontaknya. Lembar penugasan itu berisi kurang lebih 50 persen dari tulisan. Yang membuat lembar penugasan adalah staff redaksi. Ditujukan untuk reporter, calon reporter, dan staff redaksi sendiri. Hari selasa, dua hingga tiga orang reporter lalu mencari bahan berita di lapangan sesuai dengan yang dipesan. Ada juga yang ikut kelas kuliah pukul 11 bagi magang nulis dan repoter, melakukan evaluasi kelemahan, kekurangan dan kekuatan tulisan minggu lalu. Jam 2 diadakan kelas kuliah untuk level penanggungjawab rubrik dan redaktur pelaksana. Perkembangan berita dilihat di rapat checking hari Rabu. Pukul 10 rapat checking bagi kompartemen tentang liputan yang sudah dijalankan. Pukul 11 rapat checking bagi gabungan kompartemen. Di situ diperiksa apakah perencanaan hari Senin itu masih pas, atau ada tambahan, ada yang dikurangi atau digugurkan. Setelah itu diadakan rapat Partirtur dengan staff desain dan foto. Hari Kamis kerja seperti biasa, dan berita sudah mulai ditulis. Rapat terakhir hari Jumat merupakan deadline bagi semua tulisan masuk ke redaksi. Naskah reporter yang telah masuk ditambah riset referensi lalu disunting oleh penulis dari staff redaksi. Naskah ini dimasukkan ke redaktur pelaksana, khususunya
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
217
menjelang deadline sejak Jumat pagi hingga Sabtu tengah malam. Kemudian naskah tersebut naik ke redaktur senior, naik ke redaktur bahasa, naik ke bagian Kreatif untuk digabungkan dengan foto atau gambar ilustrasi serta tata letak. Jumat deadline dan checking terakhir. Jumat malam selesai. Sabtu masuk cetak. Senin diulang lagi. ¾ Sisi individu wartawan Sisi individu wartawan MBM Tempo di sini akan dilihat dari job descriptionnya, yakni reporter, penulis (staff redaksi), redaktur pelaksana, redaktur senior, redaktur bahasa, dan pemimpin redaksi. Latar belakang pendidikan wartawan MBM tempo rata-rata minimal adalah S-1 dari berbagai latar belakang basis ilmu. Kini setengah wartawan MBM Tempo sudah mengenyam pendidikan S-2. Sejak awal terlibat dalam praktik kerja redaksi, seorang reporter dan penulis akan melewati berbagai tes yang ketat, serta mengikuti kelas kuliah yang diberikan secara rutin (tiap Selasa atau Jumat) oleh redaktur senior. Kegiatan kelas tersebut antara lain membahas edisi Tempo yang baru terbit secara evaluatif. Reporter tidak memiliki hak untuk ikut dalam penulisan berita. Jika reporter sudah memiliki pengalaman selama dua tahun, baru ia bisa menjadi Penulis. Reporter hanya mencari bahan berita di lapangan lewat observasi dan wawancara. Semakin kuat fakta yang dikumpulkan reporter, maka frame reporter tersebutlah yang dipakai Penulis dalam sebuah berita. Sisi individu seorang Redaktur Pelaksana dalam hal produksi berita merupakan posisi yang paling strategis di atas repoter dan penulis. Ia yang memiliki kewenangan untuk mengembangkan naskah berita. Maka bisa dikatakan, Redaktur
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
218
Pelaksana adalah penulis terakhir seluruh naskah materi yang akan diterbitkan. Sedangkan peran Redaktur Senior melengkapi redaktur Pelaksana dalam menyunting naskah berita dan memberi kuliah kepada Reporter dan Penulis. Redaktur Bahasa kemudian membetulkan penggunaan, meliputi ejaan, kalimat, tata bahasa, penulisan nama, lembaga dalam dan luar negeri, data jarak atau jumlah. Ukuran profesionalitas individu wartawan MBM Tempo juga dilihat dari penggunaan sistem nilai. Sejak awal masuk menjadi calon repoter hingga menempati posisi redaktur pelaksana, sistem penilaian menentukan jenjang karir dan gaji yang diterima wartawan MBM Tempo. Yang juga patut dicatat, semua wartawan MBM Tempo sejak awal sudah diarahkan supaya membaca novel, menonton film, teater agar memperkaya diri dengan bacaan atau wawasan secara luas. ¾ Hubungan dengan struktur organisasi media Meski dari sisi individu wartawan terlihat garis kewenangan yang tegas, namun suasana hubungan profesional di antara sesama wartawan MBM Tempo cenderung tidak kaku, bebas berpendapat, bahkan dibebaskan untuk saling adu argumen dalam hal peliputan. Selain dilihat dari sistem penilaian, Hubungan wartawan dengan struktur organisasi media juga dapat disimak dari kewajiban mengikuti kelas kuliah yang diadakan tiap minggu. Dalam kelas kuliah inilah nilainilai dan praktik jurnalisme MBM Tempo ditanamkan. Lewat kelas kuliah tersebutlah, tak dapat dipungkiri pengaruh GM dan pendiri awal MBM Tempo yang kini menempati posisi redaktur senior dalam mewarisi tradisi gaya jurnalisme MBM Tempo hingga saat ini.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
219
Pada aspek produksi teks, observasi yang telah penulis rencanakan tidak dapat dilakukan karena keterbatasan izin dari pihak MBM Tempo. Aspek Konsumsi Teks Mengacu pada survei Nielsen Media Index 2003, MBM Tempo memiliki 535.000 pembaca di tingkat nasional. Berbagai penghargaan dalam kaitannya dengan jumlah dan kepuasan pembaca juga diraih, misal saja ‘The Most Read News Magazine’ oleh AC Nielsen, ‘The Most Statisfactory News Magazine’ oleh Frontier, ‘The Most Popular Brand News Magazine’ oleh Mars-Frontier-Swa. Semua penghargaan tersebut diraih pada tahun 1999. Di antara majalah berita serupa yang terbit di Indonesia (Gatra, Forum Keadilan, dan Bussines Week), MBM Tempo menguasai 66 persen pangsa pasar pembaca. Tersebar di berbagai wilayah Indonesia, distibusi pembaca terbesar yakni di Jakarta (44,5 persen). Karakteristik pembaca MBM Tempo antara lain adalah jenis kelamin (pria 71 persen, wanita 29 persen), indeks level pekerjaan (white colar: 250, blue colar: 90, enterpreneur: 75, pelajar: 50, ibu rumah tangga: 25, dan lain-lain: 25), indeks level pendidikan (Sekolah Dasar: 45, Sekolah Lanjutan Pertama: 90, Sekolah Lanjutan Atas: 220, Akademi: 80, Universitas: 80, dan pasca sarjana: 25). Satpo Nugroho selaku redaktur bahasa MBM Tempo menjelaskan, betapa posisi pembaca MBM Tempo juga diperhitungkan redaksi ketika menyajikan sebuah berita: “Itu sudah termasuk dalam pilihan berita. Misalnya kita milih Mayangsari
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
220
dikupas habis, itu bukan segmen pembaca Tempo. Sudah dari perencanaan dan penulisan, kita sudah memikirkan segmen pembaca.”3 Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Wenseslaus Manggut selaku redaktur Desk Nasional MBM Tempo, “Kami berasumsi bahwa pembaca Tempo itu kelas menengah ke atas. Tema harus dipilih sesuai dengan kepentingan pembaca kita. Tapi pertimbangan yang paling utama di Tempo adalah adanya unsur kepentingan publik.”4 Pada aspek konsumsi teks, observasi yang telah penulis rencanakan tidak dapat dilakukan karena keterbatasan izin dari pihak MBM Tempo.
B.3. Analisis Socioculture Practice Situasional Pada aspek situasional, ada dua suasana khas dan unik sebagai konteks sosial di Indonesia dalam kurun waktu pada saat teks diproduksi. Pertama, munculnya genre ‘sastra koran’ di mana karakteristik jurnalisme menyusup dalam penciptaan karya sastra. Hal ini juga menunjukkan kian menguatnya persinggungan antara dunia sastra dengan media massa di Indonesia pada permulaan tahun 2000. Media massa, khususnya suratkabar, kian menjadi ruang publikasi karya yang ampuh dan strategis bagi para sastrawan senior dan junior di Indonesia. Sedangkan 3
Lampiran B
4
Lampiran C
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
221
media massa yang mengkhususkan pada penerbitan sastra, malah tidak berkembang di Indonesia. Mengenai suasana khas dan unik ini, Seno Gumira Ajidarma mengatakan demikian: Cerita pendek Indonesia dimuat di media massa umum: edisi hari minggu setiap Koran, majalah hiburan, majalah wanita, bahkan majalah in-house perusahaan asuransi. Sementara itu, majalah sastra, karena keberadaannya yang memprihatinkan, seolah-olah malah bukan menjadi bagian dari media massa, melainkan tumpukan kertas.5 Tersedianya rubrik budaya yang memuat karya puisi, cerpen, prosa, dan kritik sastra di setiap terbitan surat kabar hari minggu, membuat perkembangan dunia sastra Indonesia mengenal apa yang disebut sebagai ‘sastra koran’, yakni mengacu pada pemuatannya pada edisi munggu koran-koran terkemuka di Indonesia. Hal tersebut diperkuat dengan pernyataan Donny Anggoro yang menyebutkan Kompas sebagai salah satu surat kabar yang memuat prosa atau cerpen karya sastrawan Indonesia: Pada masa kini harus diakui bentuk khazanah prosa bernama cerpen tengah menjadi primadona sehingga tak urung Kompas masih tiap tahun menerbitkan antologi cerpen terbaiknya dari karya yang dimuat di harian itu . . . Istilah “sastra koran” yang pernah diungkapkan Budiarto Danujaya dalam esai pengantar Dua Tengkorak Kepala Cerpen Pilihan Kompas 2000 pun muncul di pelbagai diskusi karena lanskap sejarah sastra terkini . . . berasal dari pemuatannya di koran-koran terkemuka.6 5
Seno Gumira Ajidarma, ”Cerita Pendek dan Realitas Indonesia”, dalam Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara (Edisi Kedua), Bentang, Yogyakarta, 2005, hal.23 6
Donny Anggoro, ”Catatan Sastra 2003: Tahun Emas Cerpen dan Pendobrakan Sastra Koran”, dalam Donny Anggoro, Sastra yang Malas, Tiga Serangkai, Solo, 2004, hal.101
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
222
Budiarto Danujaya sendiri mengatakan demikian: Tambahan istilah koran pada satra koran tersebut ternyata tak sekedar atributif belaka. Sekurang-kurangnya, ada beberapa kecenderungan karakteristik koran– sebagai bagian kecenderungan media massa umumnya– yang menyerobot masuk mewarnai cerpen-cerpen koran itu. .................................................................. Maka, tak mengejutkan jika masalah yang sedang ramai dipergunjingkan media massa dua tahun belakangan ini pulalah yang menjadi latar persoalan pada kebanyakan cerpen-cerpen ini.7 Dari kutipan di atas, penulis memahami bahwa karakteristik media massa (suratkabar) yang mengedepankan fakta dan aktualitas, turut mempengaruhi kecenderungan penciptaan karya sastra yang sejatinya bersifat fiksional. Sastra koran adalah kecenderungan di mana karakteristik jurnalisme menyusup dalam penciptaan karya sastra. Dalam artian, genre ‘sastra koran’ lahir dari dialektika antara praktik sastra yang estetik dengan praktik jurnalisme yang memunculkan tema-tema sosial, ekonomi, politik dan hukum. Meski begitu, dalam hal ini sastra koran tidak bisa dipandang sebagai produk jurnalistik dan bukan merupakan inovasi dalam praktik jurnalisme. Karenanya kemunculan sastra koran pada tahun 2000 di Indonesia hanya akan dipandang sebagai konteks sosial yang turut mempengaruhi praktik media massa, khususnya MBM Tempo, dalam mengembangkan inovasi penulisan jurnalismenya.
7
Budiarto Danujaya, ”Realitas ‘Koran’ pada Sastra Koran”, dalam Kenedi Nurhan (Ed.), Dua Tengkorak Kepala Cerpen Pilihan Kompas 2000, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 2000, hal.134-135
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
223
Suasana khas dan unik sebagai konteks sosial kedua yang akan penulis uraikan, ialah adanya persepsi masyarakat bahwa berbagai pemerintahan saat ini tidak bersih dari praktik korupsi. Masyarakat juga cenderung tidak percaya terhadap upaya pemerintah saat ini dalam memberantas korupsi. Seperti yang dilansir Harian Seputar Indonesia, hasil survei Transparency International Indonesia (TII) yang dilakukan pada pertengahan 2006 terhadap 6000 responden dari berbagai kalangan masyarakat Indonesia menunjukan, ‘dalam indeks persepsi masyarakat tersebut legislatif, polisi, dan peradilan adalah lembaga-lembaga yang dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Survei ini menggunakan skala 15. Semakin besar nilai indeks, semakin korup lembaga tersebut.’8 Menanggapi hasil survei tersebut, Ketua Dewan Pengurus TII Todung Mulya Lubis mengatakan, ‘saat ini masyarakat mulai melihat adanya gejala tebang pilih dalam pemberantasan korupsi, seperti masih adanya koruptor yang tidak tersentuh hukum dan bisa mendapatkan perlindungan politik dan hukum dari pemerintah.’9 Korupsi telah menjadi bagian dalam berbagai rezim pemerintahan di Indonesia, termasuk juga pemerintahan yang saat ini tengah dipimpin Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Data TII tersebut merepresentasikan persepsi ketidakpercayaan masyarakat akan lembaga pemerintahan yang berkuasa sekarang
8
DPR Lembaga Paling Korup, Harian Seputar Indonesia, Edisi 10 Desember
2006 9
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
224
bersih dari korupsi. Responden survei juga menyatakan ketidakpercayaannya terhadap upaya pemerintah dalam memberantas korupsi di Indonesia. Dalam kaitan korupsi dengan pemerintahan, Agus Sudibyo berpendapat, ‘upaya pemberantasan korupsi mustahil berjalan efektif jika kondisi struktural dan kultural yang menopang rezim kerahasiaan masih bertahan.’10 Sudibyo kemudian mengungkapkan perlunya elemen lain sebagai kekuatan alternatif yang mampu mengontrol pemerintah: Sejauh ini, yang kita hadapi adalah fenomena negara yang telah menjadi dirinya sendiri (state of its own), terlepas dari realitas di masyarakat. Tidak ada kekuatan alternatif yang mampu mengontrol penyelenggaraan kekuasaan karena pemerintah begitu kuat dan dominan, dengan struktur birokrasi yang tertutup, eksklusif, dan proteksionis.11 Berkaitan dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah mengatasi permasalahan korupsi, penulis memahami bahwa Sudibyo hendak menekankan pada terciptanya kebebasan informasi dan transparansi pemerintah kepada publik dalam salah satu upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal ini kemudian menunjukkan persinggungan praktik media massa dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia pada permulaan tahun 2000. Dalam rangka inilah media massa dituntut menjalankan perannya sebagai kekuatan alternatif atau watchdog yang mengawasi jalannya pemerintahan, 10
Agus Sudibyo, ”Pemberantasan Korupsi dan Rezim Kerahasiaan”, dalam HCB Dharmawan (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.80 11
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
225
khususnya pada praktik korupsi. Selain menjadi wahana informasi publik, media massa juga diharapkan dapat memainkan perannya sebagai salah satu instritusi sosial yang berpartisipasi secara aktif dalam agenda politik, khsusunya agenda pemberantasan korupsi. Terlebih lagi bila menyimak tuntutan peran media dalam upaya pemberantasan korupsi yang disinggung dalam Hari Kebebasan Pers Sedunia yang digelar UNESCO pada Mei 2005. Dalam acara itu, disepakati bahwa peran media telah menjadi isu penting dalam membentuk tata pemerintahan yang bersih (good governance): Dikemukakan bahwa good governance mencakup gagasan tentang partisipasi yang lebih besar oleh masyarakat sipil dalam pembuatan keputusan, penegakan aturan hukum, anti-korupsi, transparansi, akuntabilitas, pengentasan kemiskinan, dan hak asasi manusia. Hanya jika para jurnalis bebas untuk memonitor, menginvestigasi dan mengkritisi kebijakan dan tindakan administrasi publik maka good governance bisa diwujudkan.12 Tim LSPP juga menyebutkan bahwa media hendaknya berakar pada masyarakat,
memberitakan
demi
kepentingan
masyarakat
dan
mereka
merasionalisasikan segenap aktivitas mereka atas nama masyarakat: Karena itulah, para praktisi media harus terus bekerja keras untuk membangun kepercayaan publik. Media yang menolak atau menghindar berurusan dengan berita-berita panas dan sensitive seperti kasus korupsi berarti menolak melayani publik pembacanya. Apalagi mengingat upaya kampanye anti-korupsi tidak akan berhasil, kecuali jika didukung oleh masyarakat.13
12
Tim LSPP, Media Sadar Publik, Penerbit LSPP, Jakarta, 2005, hal.1
13
Ibid., hal.9
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
226
Tim LSPP kemudian mencontohkan media massa yang secara intens dalam memberitakan berbagai kasus korupsi: ‘Salah satu media yang cukup konsisten membuka kasus-kasus korupsi misalnya adalah Majalah Tempo, yang pernah menulis berbagai korupsi mulai dari bidang perminyakan, buku pelajaran, hingga ke perusahaan negara seperti Bulog, yang pernah menyeret Ketua Partai Golkar, Akbar Tandjung, ke pengadilan.’14 Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa isu pentingnya peran media massa dalam upaya pemberantasan korupsi dipandang sebagai konteks sosial yang turut mempengaruhi praktik media massa, khususnya MBM Tempo, yang dinilai banyak kalangan selalu intens dan konsisten dalam memberitakan berbagai kasus korupsi, baik kasus korupsi yang tengah dipersidangkan maupun yang masih bersifat dugaan.
Institusional Pada aspek institusional, penulis akan menggali pengaruh institusi organisasi dalam praktik Jurnalisme Sastra, baik dari dalam MBM Tempo maupun institusi lain yang ada di luar MBM Tempo. Dengan menyimak sejarah berdirinya MBM Tempo di tahun 1974, praktik Jurnalisme Sastra dikembangkan oleh sejumlah awak redaksi yang juga bergelut di dunia sastra. Sebut saja Goenawan Mohamad (GM), Bur Rusuanto, Putu Wijaya, dan Syu’bah Asa. Selain menempati posisi penting dalam struktur redaksi, tokoh-tokoh 14
Ibid., hal.15
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
227
tersebut juga dikenal masyarakat Indonesia saat itu sebagai sastrawan. Yang bisa disebut paling menonjol dalam hal ini, tentunya GM. Catatan karir GM di dunia pers sudah dimulai sejak 1966 sebagai wartawan Harian KAMI dan sempat pula menjadi pemimpin redaksi Majalah Ekspres di tahun 1970. Di dunia sastra dan kesenian, esai-esainya memperoleh hadiah pertama majalah Sastra pada tahun 1963. Ia juga seorang redaktur Majalah Horison pada 1967 hingga 1972. Majalah ini bergerak di bidang penerbitan karya seni dan sastra. Ia juga pernah menjabat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta di tahun 1969. Di tingkat internasional, GM mewakili Indonesia di Rotterdam, Belanda pada tahun 1973 untuk mengikuti Festival Penyair Internasional.15 Catatan karir GM di atas menunjukkan bahwa ia memiliki kredibilitas baik di bidang jurnalisme maupun di bidang seni, khususnya sastra. Hal ini membuat karakter GM diakui sebagai wartawan sekaligus sastrawan. Dan tak hanya GM, tapi MBM Tempo saat itu memang diawaki oleh karyawan yang berasal dari kalangan wartawan dan seniman. Hal ini kemudian berpengaruh dalam membentuk karakter penulisan di MBM Tempo pada awal didirikan. Dalam sebuah wawancara, GM sendiri mengakui karakter penulisan sastra dalam pemberitaan MBM Tempo: “Dalam arti, bukan straight news seperti koran,
15
Happy Alami, Sebelas Penyair Terkenal Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Jakarta, 2001, hal. 92-93
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
228
dan disampaikan seolah-olah sebuah cerita pendek, dengan tokoh, latar, dan peristiwa yang dideskripsikan dengan rinci tapi memikat, mengandung suspense.”16 Maka tak heran bila kemudian praktik penggunaan bahasa di MBM Tempo dalam memberitakan peristiwa, kerap disusupi penggunaan bahasa yang memiliki kandungan estetik selayaknya sebuah karya sastra. Secara gamblang GM kemudian menyebutkan sejumlah alasan mengapa MBM Tempo menggunakan Jurnalisme Sastra: Pertama, belum pernah dipakai dalam media cetak Indonesia sebelumnya. Kedua, untuk menghidupkan bahasa Indonesia sebagai penyampai ide, informasi dan ekspresi . . . Ketiga, untuk mengembangkan kemampuan jurnalistik, yang sanggup melaporkan reportase yang akurat, lengkap, rinci, tapi tetap hidup (tidak dibebani data), menggugah, sebuah ketrampilan yang melibatkan tidak hanya kemampuan bahasa, tapi juga kemampuan mengamati, merekam, menganalisa, dan mensintesiskan kenyataan dan peristiwa. Juga bersikap selalu kreatif dan inovatif.17
16
Wawancara GM dengan Eka Shinta Pangeswari, dalam Eka Shinta Pangeswari, Gaya Penulisan Laporan Utama Majalah Tempo Pra dan Pascabredel (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2003, hal.120 17
Loc.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
229
Dari penjelasan GM di atas, bisa disimpulkan bahwa penggunaan Jurnalisme Sastra yang dikembangkan awak redaksi MBM Tempo memang disiapkan secara khusus untuk mengembangkan kemampuan praktik jurnalisme di majalah tersebut dengan kreatif dan inovatif. Kekuasaan GM dan awak redaksi pada awal MBM Tempo diterbitkan, membuat majalah tersebut tetap mempraktikkannya hingga sampai saat ini.
Sosial Setidaknya ada sejumlah aspek makro sebagai konteks sosial Indonesia yang penulis pandang mempengaruhi dan menentukan karakter MBM Tempo terkait dengan tema penelitian ini. Aspek makro tersebut dilihat dari sistem ekonomi-politikbudaya di Indonesia yang mengacu pada penerapan demokrasi. Menteri
Koordinator
Bidang
Kesejahteraan
rakyat
Aburizal
Bakrie
menyebutkan tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia pada 2006 adalah 39,30 juta jiwa dan di tahun 2007 menurun jadi 37,17 juta jiwa. Sedangkan tingkat pengangguran di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 11,10 juta jiwa dan pada 2007 menjadi 10,55 juta jiwa.18 Angka ini menunjukkan bahwa setelah demokrasi kembali ditegakkan di era reformasi, penerapan demokrasi di Indonesia masih menghadapi berbagai 18
Demokrasi dan Kesejahteraan, Dialog Jumat Tabloid Republika, Edisi 25 Januari 2008
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
230
permasalahan sosial dan ekonomi, antara lain tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi. Mengenai hal tersebut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, faktor utama yang menjadi ukuran sebuah negara demokrasi mampu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya adalah angka kemiskinan dan daya beli masyarakat yang terus meningkat: ’Indonesia belum bisa membuktikan demokrasinya mampu mengurangi angka kemiskinan.’19 Wakil Presiden Jusuf Kalla, seperti yang dikutip Nuryana mengungkapkan bahwa proses demokrasi di Indonesia paling boros di dunia. Dengan mengaitkan pengadaan pemilu sebagai wujud demokrasi, ia mengatakan: ’Dalam demokrasi kita, terdapat 500 kali pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Itu berarti rata-rata setahun ada 100 pilkada. Ini berarti setiap 3,5 hari akan pilkada! Tidak ada di dunia ini pemilu yang boros seperti ini.’20 Sutradara
Gintings
dari
Partai
Demokrasi
Indonesia
Perjuangan
menambahkan, demokrasi di Indonesia ternyata juga menyaratkan ongkos politik yang mahal:’Di tengah kondisi rakyatnya yang miskin dan berpendidikan rendah,
19 20
Loc.Cit.
Nuryana, Demokrasi Yang Menyakiti Rakyat, Harian Rakyat Merdeka, Edisi 29 Januari 2008
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
231
Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberal. Hal ini yang membuat biaya politik menjadi sangat tinggi dan akhirnya mendorong politisi menjadi lapar uang.’21 Dengan menyimak kebutuhan ongkos politik yang tinggi dalam sistem ini, tak heran bila korupsi kemudian berkembang di Indonesia. Korupsi kian menjadi permasalahan tersendiri yang terjadi baik di dalam tubuh pemerintahan maupun dalam partai politik. Kaitan demokrasi dengan korupsi di Indonesia terungkap dalam laporan Transparency International’s Corruption Perception Index (CPI) pada tahun 1998: ’Sejumlah negara demokratis di Asia tercatat sebagai negara yang tingkat korupsinya tinggi, misalnya Filipina (urutan 57), Thailand (64), India (68), dan Indonesia (80).’22 Menanggapi data CPI tersebut, Indra J Piliang menjelaskan bahwa pada hakikatnya demokrasi punya kecenderungan untuk menjadikan masyarakat lebih sejahtera, karena lebih banyak kesempatan terbangun. Namun data CPI tersebut merupakan bukti bahwa tingkat korupsi berkorelasi negatif dengan perkembangan demokrasi di Indonesia. Maka agar bisa keluar dari permasalahan ini, ia mengusulkan agar model demokrasi di Indonesia mesti diperjelas terlebih dahulu: Untuk itu perlu didefinisikan dengan jelas, demokrasi seperti apa yang ingin kita terapkan. Demokrasi yang bersifat sentralistis, atau terdesentralisasi dengan liar. Demokrasi yang sentralistis terhubung dengan gabungan antara sistem 21
Korupsi Politisi Akibat Politik Biaya Tinggi, Kompas, Edisi 25 Oktober
2007 22
Indra J. Piliang, “Korupsi dan Demokrasi”, dalam HCB Dharmawan (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.90
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
232
monarki dengan demokrasi, seperti yang diterapkan di Inggris, Jepang, Belanda, Thailand, atauy Malaysia yang tingkat korupsinya rendah. .................................................................. Atau kita langsung mengadopsi model demokrasi Amerika Serikat (AS) yang tingkat korupsinya rendah.23 Menyoal model demokrasi di Indonesia, Syamsuddin mengatakan bahwa sistem demokrasi di Indonesia masih berkutat pada masalah-masalah teknis dan prosedural, ’Demokrasi di Indonesia baru sekadar teknis ketimbang substansial.’24 Pandangan serupa juga dikemukakan Gintings yang menyebutkan demokrasi di Indonesia sebagai anak kandung kapitalisme. Dan karenanya Indonesia telah terjebak pada euforia politik global, ekonomi global, dan strategi global. Gintings kemudian mengatakan, ’akibat sistem yang salah ini, demokrasi yang dihasilkan pun akan menjadi demokrasi prosedural, bukan demokrasi substantif.’25 Syamsuddin
kemudian
menyebutkan
bahwa
’demokrasi
tidak
bisa
sepenuhnya diserahkan pada pendekatan proses dan struktural, melainkan harus dijalankan secara kultural. Tanpa pendekatan kultural, demokrasi tidak akan berlangsung secara sejati dan demokrasi substansial hanya tinggal impian.’26 Dari rangkaian keterangan di atas penulis memahami, penerapan sistem demokrasi di Indonesia hingga saat ini dianggap belum mampu menjawab 23
Ibid., hal.92
24
Demokrasi dan Kesejahteraan, Op.Cit.
25
Korupsi Politisi Akibat Politik Biaya Tinggi, Op.Cit.
26
Demokrasi dan Kesejahteraan, Op.Cit.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
233
permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Juga dengan menyimak kebutuhan ongkos politik yang tinggi dalam sistem ini, tak heran bila korupsi kemudian berkembang di Indonesia. Korupsi kian menjadi permasalahan tersendiri yang terjadi baik di dalam tubuh pemerintahan maupun dalam partai politik. Juga dalam perkembangannya, sistem demokrasi di Indonesia saat ini dinilai berada pada tataran prosedural semata, dan belum menyentuh substansi dari demokrasi itu sendiri. Hingga dapat dikatakan bahwa demokrasi di Indonesia belum menemukan bentuknya. Hal inilah yang tampaknya memunculkan korelasi negatif antara tingkat korupsi dengan perkembangan demokrasi di Indonesia. Berangkat dari konteks tersebut bisa disimpulkan, MBM Tempo dapat ditempatkan sebagai salah satu determinan kekuatan alternatif dalam upaya pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi yang diterapkan secara rancu di Indonesia. Sejalan dengan pernyataan Syamsuddin yang menyaratkan dimensi kultural (kebudayaan) sebagai pendekatan demokrasi di Indonesia, praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan korupsi –lewat politik bahasa media yang disusupi kandungan seni yang estetik– bisa dikatakan sebagai salah satu wujud pendekatan kebudayaan di alam demokrasi Indonesia. Menyoal fenomena bersinggungannya politik (institusi media) dengan wilayah seni (estetika) tersebut secara makro, Yasraf Amir Piliang menjelaskan kecenderungan ini dalam kerangka wacana di mana seni turut merepresentasikan makna-makna sosial dan ideologis yang berlaku di masyarakat:
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
234
Keputusan-keputusan yang berkaitan dengan politik-etik di sini tidak dapat dianggap sebagai satu keputusan intuitif atau individual, akan tetapi harus melibatkan pengetahuan tentang posisi sosial sebatang tubuh, struktur kehidupan sosialnya, sehingga seorang individu (seniman, misalnya) memiliki pengetahuan mengenai apa yang pantas, kurang pantas, dan tak pantas dilakukan dalam kerangka hubungan sosial. Di dalam masyarakat semacam ini, seni tidak dapat dipisahkan dari kerangka etik-politiknya, bahkan ia menjadi media representasi sosial . . . sehingga ia menjadi bagian integratif dari lembaga ideologis dan sosial yang ada.27 Penjelasan Piliang mengenai keterpaduan antara seni dengan kerangka etikpolitiknya, penulis pandang sesuai dengan konteks makro sosial budaya masyarakat Indonesia di mana MBM Tempo hidup. Dalam kerangka makro inilah, praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo secara mikro merepresentasikan makna-makna sosial dan ideologis tertentu dalam masyarakat Indonesia.
27
Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui BatasBatas Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta, 2004, hal.452-453. (Garis bawah pada kalimat dari penulis)
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
235
C. Pembahasan Dengan mengacu pada hasil analisis, pada bagian ini penulis akan menjawab sejumlah pertanyaan pokok yang telah penulis kemukakan pada Bab I penelitian ini. Sebagai langkah awal dalam pembahasan, penulis akan terlebih dulu mengulas tiga level analisis mikro, meso, dan makro, yakni dengan menghubungkan temuan penulis pada analisis teks, discourse practice, dan sosiocultural practice. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan menyimpulkan jawaban atas pertanyaan pokok penulis dengan mengacu pada hasil pembahasan awal. Level Mikro. Secara umum, analisis teks pada kelima sampel menunjukkan adanya kandungan aspek perlakuan atas peristiwa (agenda setting), estetika bahasa, dan politik bahasa yang khas pada level mikro praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo. Dalam analisis aspek perlakuan atas peristiwa, kelima sampel menunjukkan adanya perencanaan agenda (agenda setting) liputan yang cukup memakan waktu serta perencanaan yang matang. Selain menunjukkan bahwa peristiwa kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu merupakan peristiwa yang penting dan patut diketahui khalayak, penulis juga menyimak bahwa kelima sampel menunjukkan tema berita yang saling terkait satu sama lain dan berkelanjutan (continuity). Antara lain hal ini bisa dilihat dari penelusuran MBM Tempo dalam mengikuti perkembangan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin mulai dari tahun 2005 (sampel satu) hingga ia di-reshuffle dari kabinet pada tahun 2007 (sampel 5).
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
236
Dalam analisis aspek estetika bahasa, kelima sampel menunjukkan adanya penyusunan adegan, penggunaan dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail. Satu sampel paling tidak memuat tiga aspek estetika bahasa, dan masingmasing sampel hanya mengandung satu atau dua aspek estetika bahasa yang kuat dan menonjol. Karenanya, penulis menyimak bahwa empat aspek estetika bahasa tersebut tidak selalu digunakan secara bersamaan dengan menonjol di tiap-tiap sampel. Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa teks MBM Tempo secara keseluruhan menunjukkan penggunaan empat perangkat estetika bahasa tersebut. Perangkat penyusunan adegan dan penggunaan dialog yang mengundang berbagai penafsiran makna dan menyerahkan pemaknaan kepada pembaca, mencerminkan adanya kandungan unsur ambiguitasnya yang begitu kuat dalam praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo, sebuah hal yang jelas sangat dihindari pada penulisan jurnalisme konvensional yang mengedepankan kejelasan (straightness). Perangkat perspektif orang ketiga menunjukkan upaya Tempo dalam menghadirkan peristiwa secara langsung dan partisipatif, di mana wartawan memiliki keterlibatan (immersion) dengan objek peristiwa yang ditulisnya, sekaligus juga merupakan sebuah eksperimentasi dalam penulisan jurnalisme. Perangkat penempatan detail terperinci yang digunakan secara kreatif demi memperkuat pengadegan dan penokohan, mencerminkan perbedaan teknik penulisan jurnalisme MBM Tempo dengan penulisan jurnalisme konvensional yang menghindari penempatan detail selintas dan mensyaratkan pemuatan informasi penting sebagai prioritas.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
237
Dalam analisis aspek politik bahasa, kelima sampel menunjukkan kuatnya simbolisme lewat perangkat metafora dan depictions dalam mengungkapkan fakta, membangkitkan prasangka, hingga menyesatkan citra tokoh pemberitaan, yakni sejumlah pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu yang terlibat dalam kasus dugaan korupsi. Perangkat metafora lewat kata, frase, dan kalimat konotatif sebagai metafora analogi, digunakan dalam mengungkapkan fakta kesuksesan yang semu dari peristiwa penyeleggaraan Pemilu Presiden 2004, terkait dengan indikasi korupsi dalam pengadaan barang di KPU, khususnya pada pengadaan kertas segel amplop suara pemilu presiden, serta upaya pihak-pihak tertentu dalam menutup-nutupi fakta korupsi tersebut (sampel satu, dua, dam lima). Metafora analogi (proterito) juga digunakan dalam mengungkapkan ketidakberesan yang terjadi dalam penyelesaian kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundangundangan (sampel tiga), dan kasus pencairan uang bermasalah milik Tommy Soeharto (sampel empat). Ketiga kasus tersebut melibatkan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, serta Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Metafora personifikasi dan metafora hiperbola digunakan dalam menyesatkan karakter dan mengarahkan citra, khususnya citra dua menteri tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam kasus korupsi tersebut. Citra kedua menteri tersebut lebih kuat lagi diarahkan dengan perangkat depictions lewat kata, frase, dan kalimat konotatif. Pembentukan citra tersebut cenderung mengarah kepada citra Hamid sebagai pejabat negara yang konyol dan mengelak dari tanggung jawab (sampel satu, dua, tiga, dan lima), serta citra
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
238
Yusril sebagai pejabat negara yang diduga kuat terlibat dalam kasus korupsi (sampel tiga dan empat). Depictions juga digunakan dalam mengarahkan tema reshuffle kabinet pada kelanjutan penyidikan terhadap Hamid dalam kaitannya dengan dugaan korupsi yang dilakukannya (sampel lima). Sebagai kesimpulan, uraian ketiga aspek tersebut menunjukkan kuatnya dimensi estetik dan politik bahasa dari teks pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Dalam dimensi estetika bahasa (penyusunan adegan, penggunaan dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail), penulis memandang bahwa Jurnalisme Sastra yang dikembangkan MBM Tempo mengarah pada pencapaian efek perlokutif kepada pembaca. Mengenai efek perlokutif, John Langshaw Austin, seperti yang dikutip Teguh Apriliyanto, menjelaskan : pemilihan sesuatu kata acapkali menimbulkan pengaruh yang pasti terhadap perasaan, pemikiran atau perilaku si pendengar atau si penutur itu sendiri. Hal itu dapat dilakukan dengan cara merancang, mengarahkan atau menetapkan tujuan tertentu pada perkataan yang akan kita ungkapkan. Efek atau pengaruh yang muncul dari mengatakan sesuatu itulah yang disebut sebagai tindakan perlokusi. Kata-kata yang digunakan dipilih secara sengaja (sadar) dengan tujuan mempengaruhi pendengar (pembaca) secara maksimal.28
28
Teguh Apriliyanto, Independensi Media Dibalik Kasus Tempo vs PT Asian Agri, artikel dalam Jurnal Media Watch, The Habibie Center, Jakarta, Edisi No.62/ Desember 2007
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
239
Dari batasan tersebut maka dapat penulis pahami bahwa penggunaan bahasa yang dirancang secara estetik merupakan salah satu cara demi memunculkan efek perlokutif kepada pembaca teks, sehingga apa yang tertulis pada teks tersebut akan tampil sebagai gambaran realitas yang seakan-akan nyata di benak pembaca. Di titik inilah pembaca yang larut dalam teks dapat mengalami suatu kenikmatan tekstual (joissance) yang muncul dari interaksinya dengan dimensi estetik sebuah teks. Pencapaian efek perlokutif dan joissance ini lazim ditemui dalam sebuah karya sastra dan film fiksi. Hal tersebut penulis pandang terjadi pada penggunaan perangkat penyusunan adegan, penggunaan dialog, perspektif orang ketiga, dan penempatan detail sebagai dimensi estetika bahasa teks pemberitaan MBM Tempo. Dalam kata lain, dimensi estetika bahasa dalam teks pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, dilakukan demi pencapaian efek perlokutif secara maksimal dan joissance kepada pembaca, sehingga pembaca akan tertarik dan larut dalam pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Kemudian dalam dimensi politik bahasa media (simbolisme: metafora dan depictions) penulis memandang bahwa Jurnalisme Sastra yang dikembangkan MBM Tempo mengarah pada pencapaian efek abrasive kepada tokoh yang menjadi pokok pemberitaan. Mengenai efek abrasive, Teguh Apriliyanto mengutip hasil penelitian Jurusan Komunikasi UGM dan Pusat Pengkajian dan Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
240
(P3-ISIP) UI terhadap pemberitaan Majalah dan Koran Tempo: ‘Dari sudut pandang analisis framing, penelitian UGM menyimpulkan liputan Tempo pada kasus AA (PT Asian Agri –Pen) cenderung mengarah pada pencitraan yang terkesan menekan atau abrasive terhadap sosok Sukanto Tanoto. Padahal, kasus ini masih pada tahap dugaan baik dalam hal kasus manipulasi pajak maupun korupsi.’29 Dari keterangan di atas, penulis memahami bahwa abrasive adalah pencitraan yang terkesan menekan terhadap seseorang. Efek abrasive ini muncul dari penggunaan bahasa yang mengandung simbolisme sebagai politik bahasa media. Hal tersebut penulis pandang terjadi pada penggunaan simbolisme berupa metafora dan depictions sebagai dimensi politik bahasa media dalam teks pemberitaan MBM Tempo. Efek abrasive tersebut dalam teks berwujud penurunan status (status degradation) terhadap Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra dari yang semula baik dan berprestasi, menjadi buruk dan memiliki catatan hitam dalam karirnya di Kabinet Indonesia Bersatu, sehingga hal tersebut mengarah pada pembunuhan karakter (character assassination) kedua tokoh tersebut. Dalam kata lain, dimensi politik bahasa media dalam teks pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, dilakukan dengan bias dan prasangka demi pencapaian efek abrasive kepada tokoh yang diberitakan, yakni khususnya pada citra Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat negara Kabinet Indonesia 29
Ibid.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
241
Bersatu yang diberitakan terlibat dalam kasus korupsi. Level Meso. Analisis produksi dan konsumsi teks MBM Tempo menjelaskan bagaimana teks dibentuk oleh awak redaksi dan dinikmati oleh pembaca. Kerja redaksi yang melibatkan reporter, penulis (staff redaksi), redaktur pelaksana, redaktur senior, hingga redaktur bahasa, mencerminkan bahwa teks berita Jurnalisme Sastra MBM Tempo diproduksi dengan melibatkan banyak pihak (kolektif) secara institusional, dan bukan merupakan kerja individu. Jurnalisme Sastra MBM Tempo yang dipraktikkan saat ini merupakan warisan tradisi dari para pendiri awal MBM Tempo semisal GM dan kawan-kawan yang memiliki kualifikasi dalam bidang kewartawanan maupun kesenian. Posisi redaktur senior yang ditempati oleh GM dan kawan-kawan pendiri MBM Tempo juga berperan besar dalam membentuk order of discourse atas praktik Jurnalisme Sastra yang dikembangkan MBM Tempo saat ini, antara lain lewat kelas kuliah yang diikuti awak redaksi tiap minggunya dan penerapan sistem penilaian. Sehingga meskipun MBM Tempo saat ini tidak lagi diawaki seniman (sastrawan), Jurnalisme Sastra MBM Tempo dapat terus bertahan. Alasan lain juga karena tuntutan keadaan di mana pers Indonesia kini kian tumbuh menjadi industri. Munculnya pemain baru di bidang media serta kecanggihan teknologi komunikasi massa dalam menyajikan liputan jurnalisme, membuat MBM Tempo bertahan dengan tradisi penulisan yang tidak tergolong hard news, tetapi lebih kepada news feature. Pembaca MBM Tempo yang berada pada level menengah ke atas juga mendapat tempat dalam penentuan tema liputan yang akan diangkat.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
242
Kuatnya agenda setting dalam Jurnalisme Sastra MBM Tempo yang secara intens mengulas permasalahan korupsi di tubuh pemerintahan, penulis pandang tak hanya mencerminkan MBM Tempo yang berusaha memainkan fungsi kontrol sosialnya, namun juga sejalan dengan kondisi masyarakatnya di mana informasi mengenai kasus korupsi –berikut kontroversinya– merupakan topik yang menarik perhatian dan perlu diberitakan. Mengenai motivasi MBM Tempo dalam memberitakan kasus korupsi secara intens, redaktur Desk Nasional MBM Tempo Wenseslaus Manggut memberi alasan, ’Mengapa Tempo mengangkat kasus korupsi, karena selain kepentingan publik, korupsi itu berbahaya. Kemudian motivasi lain menciptakan pemerintahan yang bersih.’30 Uraian level meso di atas membaca penulis pada kesimpulan bahwa praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo diproduksi dengan melibatkan banyak pihak (kolektif) secara institusional dan dikonsumsi oleh khalayak pembaca kelas menengah ke atas di Indonesia. Dalam hal pemberitaan mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, praktik Jusnalisme Sastra berangkat dari motivasi MBM Tempo sebagai institusi pers yang hendak mengambil perannya dalam menciptakan tata pemerintahan yang bersih (good governence) di Indonesia. Level Makro. Secara umum, konteks sosial yang melandasi teks, produksi dan 30
Lampiran C
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
243
konsumsi teks Jurnalisme Sastra MBM Tempo berangkat dari persinggungan sistem pers dengan sistem ekonomi-politik-budaya yang mengacu pada penerapan demokrasi di Indonesia. Agenda setting yang dimainkan MBM Tempo dalam menyoroti secara intens persoalan korupsi di Indonesia, mencerminkan partisipasi politik Tempo dalam upaya perbaikan sistem demokrasi di Indonesia. Nilai-nilai kebebasan berpikir dan berpendapat dalam kerangka demokrasi tersebut dapat dilihat dari kandungan ambiguitas dalam teks berita MBM Tempo. Sebab pada ambiguitas, pembaca MBM Tempo diberi kebebasan untuk mengambil kesimpulan sendiri dan membentuk opini publik sesuai dengan konteks sosial masyarakatnya. Sehingga meskipun praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo memiliki efek perlokutif dalam melarutkan pembaca dan memiliki efek abrasive dalam mencitrakan secara buruk pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, sulit bagi penulis untuk mengkategorikan secara rigid bahwa yang dilakukan MBM Tempo tersebut adalah trial by the press. Penulis lebih menyepakati bahwa praktik marjinalisasi yang dilakukan MBM Tempo sekedar menjadi motivator agar khalayak umum sendiri yang menghakimi kedua tokoh tersebut berdasarkan fakta dan informasi yang disiarkannya. Hal tersebut merupakan prejudicial publicity, yakni sebagai publisitas yang cenderung mengarahkan publik untuk menghakimi seseorang atau lembaga di luar pengadilan formal. Maka jelas bahwa bias dan prasangka MBM Tempo terhadap Hamid Awaludin dan Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
244
yang diduga terlibat korupsi, dilakukan Tempo dalam konteks sosial masyarakat Indonesia yang tidak percaya dengan upaya pemerintah memberantas korupsi dan pengadilan formal. Sehingga alih-alih menjadi Aparatus Ideologis Negara yang status quo penguasa dalam kerangka Althusser, praktik MBM Tempo justru menunjukkan friksi dan counter hegemony-nya sebagai agen ideologis yang mampu menjaga jarak dan menjadi watchdog bagi rezim SBY-JK yang tengah berkuasa di Indonesia saat ini. Seperti yang diberitakan Harian Kompas, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) MS Kaban menilai bahwa pemberitaan pers terhadap Yusril terkait dengan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Departemen Hukum dan Perundangundangan, mengarah pada pembunuhan karakter dan sepihak oleh pers. Dalam berita yang sama, Sekretaris Jenderal PBB Sahar L. Hassan mengatakan bahwa pemberitaan pers terhadap kasus ini tidak proporsional.31 Beberapa minggu sebelum reshuffle dilakukan, Hamid dan Yusril tengah disorot publik terkait dengan kasus korupsi pengadaan mesin sidik jari di Depatemen Hukum dan Perundang-undangan. Keduanya lalu dicopot dari jabatannya sebagai menteri Kabinet Indonesia Bersatu pada reshuffle kabinet II Mei 2007. Meski SBYJK tidak menyatakan secara langsung pencopotan dua menteri tersebut karena pemberitaan media massa dan opini publik, namun cukup logis bila penulis 31
DPP PBB Menilai Terjadi Pembunuhan Karakter Yusril, Harian Kompas, Edisi 5 Mei 2007
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
245
memandang bahwa dua peristiwa tersebut (pemberitaan pers dan dicopotnya HamidYusril) memiliki keterkaitan. Di sinilah kekuatan media massa, khususnya MBM Tempo sebagai agen ideologis yang melakukan counter hegemony dalam memarjinalkan Hamid dan Yusril lewat pemberitaan berkesinambungan, lalu menancapkan citra ‘pejabat korup’ kedua tokoh kepada publik dan memancing opini publik sebagai prejudicial publicity, hingga kemudian menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan dicopotnya kedua pejabat negara tersebut dari kabinet. Maka meminjam penyataan Stuart Hall tentang wacana kritis dalam media, penulis memahami bahwa upaya MBM Tempo dalam memarjinalkan pejabat negara yang terlibat dalam kasus korupsi, telah melalui proses pendefinisian dan penandaan yang kompleks sesuai dengan konsensus masyarakat Indonesia saat ini mengenai pemberantasan korupsi. Watak MBM Tempo sebagai agen ideologis yang melakukan counter hegemony tersebut juga bisa disimak dari sisi historis dan institusional MBM Tempo yang pernah berkali-kali dibredel pemerintah, sehingga membentuk karakter MBM Tempo sebagai salah satu institusi pers di Indonesia yang berani menentang penguasa. Secara historis, terbentuknya praktik estetik dan politik bahasa media Jurnalisme Sastra pada awal MBM Tempo terbit merupakan salah satu cara menyiasati represivitas Rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu. Ketika Rezim Orde Baru tumbang dan represivitas pemerintah saat ini terhadap pers tidak lagi ketat, watak MBM Tempo sebagai agen ideologis yang melakukan counter hegemony tidak
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
246
lagi bertujuan menentang penguasa, tetapi lebih pada perbaikan demokrasi di Indonesia lewat penciptaan tata pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme lewat Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik estetik dan politik bahasa media. Secara institusional, Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai warisan tradisi dari para pendiri MBM Tempo, terus dipertahankan hingga saat ini lewat pelajaran dan praktik jurnalisme dalam kelas kuliah yang diikuti awak redaksi tiap minggunya, serta penerapan sistem penilaian (kredit poin) atas kinerja dan hasil tulisan wartawan MBM Tempo. Hal tersebut membentuk order of discourse yang khas dalam praktik diskursif MBM Tempo atas praktik Jurnalisme Sastra yang dikembangkan saat ini. Selain itu, tuntutan keadaan di mana pers Indonesia kini kian tumbuh menjadi industri, juga menjadi faktor dipertahankannya praktik Jurnalisme Sastra di MBM Tempo. Sehingga meskipun MBM Tempo saat ini tidak lagi diawaki seniman (sastrawan) dan tidak lagi direpresi pemerintah, Jurnalisme Sastra MBM Tempo dapat terus bertahan sampai sekarang. Memandang praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai suatu karya jurnalisme sekaligus karya seni sastra yang diproduksi secara kolektif dan institusional, maka dapat penulis pahami bahwa secara makro MBM Tempo hadir dalam konteks sosial masyarakat Indonesia di mana seni turut merepresentasikan makna-makna sosial dan ideologis yang berlaku di masyarakat. Dalam kerangka inilah praktik seni yang estetis tidak bisa dipisahkan dari kerangka etik politiknya.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
247
Konsepsi Antonio Gramsci yang mengaitkan kritik estetika dengan kritik politik, mewujud dalam Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai praktik jurnalisme yang baik secara estetis sekaligus jitu secara politis. Jurnalisme Sastra MBM Tempo juga membuktikan konsepsi Julia Kristeva bahwa bahasa puisi (the poetic language) mampu membongkar persoalan mendasar, esensial dan hakiki menyangkut kemanusiaan itu sendiri, persoalan yakni korupsi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Menyoal Jurnalisme Sastra sebagai praktik estetik dan politik bahasa media dalam kerangka teori wacana yang digagas Foucault, penulis memahami bahwa kuasa media (MBM Tempo) lewat pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu membentuk pengetahuan di masyarakat bahwa korupsi adalah sesuatu yang buruk dan menjadi musuh bersama. Dalam kerangka teori wacana Foucault, ia juga merupakan wujud ‘normalisasi’ atas wacana korupsi di Indonesia. Tujuan dari normalisasi ini adalah ‘penyingkiran segala yang dianggap menyimpang, membangkang, anomali, dan tidak teratur baik secara psikologis maupun sosial.’32 Dalam hal ini, normalisasi (yang muncul dari kekuasaan MBM Tempo yang membentuk pengetahuan tentang buruknya korupsi) dilakukan untuk menyingkirkan korupsi demi perbaikan demokrasi di Indonesia. 32
Ahmad Sahal, Kemudian, Di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi, artikel dalam Jurnal Kalam, Edisi 1/1994
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
248
Dalam kerangka teori wacana Foucault pula dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang dimiliki MBM Tempo dalam normalisasi wacana korupsi di Indonesia serupa dengan konsep panopticon33 sebagai model pengawasan dan kontrol media lewat sosialisasi nilai-nilai moral, etika, dan budaya dalam menyoroti kasus korupsi di Indonesia. Terlebih lagi dengan keterbukaan informasi publik yang dijamin konstitusi, MBM Tempo dapat berperan maksimal sebagai watchdog bagi pemerintahan SBY-JK dan mengawasi kinerja para pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Maka tak berlebihan pula bila penulis memandang bahwa selain mengupayakan perbaikan demokrasi di Indonesia, praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo juga sejalan gagasan Din Syamsuddin yang menyebutkan konsep ‘pendekatan kultural’ demi pencapaian demokrasi sejati.
33
Panopticon merupakan konsep Foucault mengenai model matriks mekanisme kuasa dalam bentuk penataan ruang sedemikian rupa sehinga semua penghuninya bisa dipantau secara sangat transparan. Desainnya kira-kira demikian: sebuah halaman luas, dengan menara di tengahnya dan dikelilingi oleh serangkaian bangunan yang dibagi-bagi dalam tingkat-tingkat dan sel-sel. Dalam masing-masing sel terdapat dua jendela: satu untuk menerima sinar dari luar dan satunya lagi menghadap jendela menara. Dengan begitu, segala isi sel bisa terpantau dari menara. Masing-masing sel jadinya seperti teater kecil, dengan seorang aktor yang sendirian tapi secara konstan dan kelihatan terus. Dalam kondisi demikian, para penghuni merasa diawasi terus menerus sehingga akhirnya ia membatinkan pengawasan dalam dirinya sendiri. Dia kemudian menjadi pengawas bagi dirinya sendiri. Model panopticon ini memperlihatkan bagaimana kuasa modern berfungsi secara anonim dan hadir di mana-mana. Ibid.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
249
Sebagai kesimpulan pada level makro, konteks sosial budaya –seperti ideologi, hegemoni, dan interaksi kekuatan sosial lainnya– yang mengelilingi MBM Tempo terkait dengan praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi tersebut adalah kian menguatnya persinggungan dunia sastra dengan jurnalisme di Indonesia lewat kemunculan genre sastra koran; tuntutan kepada pers untuk memberitakan kasus korupsi dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia; menguatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan formal dan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi; serta counter hegemony yang dijalankan MBM Tempo demi menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Kesemuanya ini mengarah pada persinggungan sistem pers dengan sistem ekonomipolitik-budaya yang mengacu pada penerapan dan perbaikan demokrasi di Indonesia.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Perkembangan ilmu pengetahuan di era pasca positivisme telah kian marak. Salah satu kecenderungan yang menarik ialah ketika disiplin ilmu kini mengalami banyak konvergensi, klaim spesialisasi ilmu menjadi perdebatan. Batas-batas ilmu pengetahuan yang dulu ditarik dengan tegas oleh para ilmuwan, kini mulai mengalami keruntuhan. Dalam kata lain, wajah ilmu pengetahuan kita belakangan hari ini kian disemaraki dengan berkembangnya kajian ilmu yang bercorak multi disipliner. Tak terkecuali bagi ranah ilmu sosial yang menjadi induk dari ilmu komunikasi, dan khususnya lagi ilmu jurnalistik yang menempati wilayah ilmu praktika komunikasi. Dengan membongkar berbagai klaim spesialisasi ilmu komunikasi dan jurnalistik, kajian multi disipliner pun dapat mulai digagas. Salah satu upaya yang telah penulis lakukan lewat penelitian ini adalah menjembatani ranah jurnalistik dengan ranah sastra dalam satu kajian ilmu komunikasi. Penulis memandang hal ini cukup kontekstual dilakukan di Indonesia, mengingat sisi historis negeri ini di mana kedua ranah tersebut telah bersinggungan sejak Mpu Prapanca melaporkan gambaran faktual kota Majapahit, lewat rangkaian puisi bertajuk ’Nagarakrtagama’ yang ditulisnya pada 1365.
250
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
251
Eksistensi wartawan-cum-sastrawan semacam Mpu Prapanca kemudian juga bisa ditemui dalam berbagai tokoh pers Indonesia yang juga akitf di kesenian (kesusastraan) mulai dari awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru. Tokoh tersebut bisa disebutkan antara lain R.M.Tirtoadisuryo, Mas Marco Kartodikromo, Abdul Muis, Roestam Effendi, Pramoedya Ananta Toer, Buya Hamka, Umar Kayam, Arief Budiman, GM, Putu Wijaya, Bur Rusuanto, Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami, dan sejumlah nama lainnya. Namun dalam penelitan ini, ranah sastra dan jurnalisme tidak penulis tempatkan pada praktik individu, tapi lebih praktik institusi media terkait dengan praktik jurnalisme kontemporer yang dikembangkannya. Sejatinya, kajian media dalam kerangka paradigma kritis merupakan ragam penelitian ilmiah yang emansipatoris dan bertujuan membela pihak tertentu yang dipinggirkan dalam pemberitaan media, khususnya praktik marjinalisasi terhadap kelompok masyarakat yang lemah, semisal kaum tani, perempuan, mahasiswa demonstran, atau kalangan marjinal lainnya di masyarakat bawah. Asumsi paradigma kritis yang menolak pemisahan teori dengan praksis, memang
menyaratkan
peneliti
selayaknya
seorang
aktivis,
advokat,
dan
transformative intellectual dalam upayanya membela kelompok masyarakat lemah tadi. Kacamata kritis sendiri telah sepakat memandang media bukan lagi sebagai pihak pelapor peristiwa objektif yang bebas dari relasi kuasa, tetapi sebagai agen pembentuk realita yang konstruktif menciptakan makna di bawah relasi kuasa tertentu yang dominan dalam masyarakat.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
252
Maka dengan melakukan ragam kajian media di bawah payung paradigma ini, seorang peneliti akan melihat praktik media yang tidak berimbang dan memihak satu kelompok bukan sebagai kekeliruan atau bias, tetapi memang seperti itulah praktik yang dijalankan media sebagai efek ideologi. Karenanya, tujuan penelitian bukan lagi mencari sebanyak apa bias pemberitaan dalam media tersebut, tetapi lebih ditempatkan sebagai wahana kritik ideologi dominan demi mengupayakan perubahan transformasi sosial yang timpang dan tidak adil seperti yang tercermin dalam praktik media yang diteliti. Analisis wacana kritis sebagai metode yang mampu menggali praktik media semacam itu, menunjukkan nuansa politis yang kental dari seorang peneliti. Hal ini kemudian menunjukkan betapa praktik media akan semata-mata dinilai dalam kerangka politis tertentu, dan penelitian pun dilakukan secara politis pula untuk menjalankan kritik ideologi media yang dominan. Namun di sisi lain, penulis sepakat dengan penyataan Eriyanto yang menilai bahwa kajian semacam ini memang menyederhanakan karakteristik analisis wacana yang sejatinya memang beragam dan multi disiplin. Sehingga tepat bila Ahmad Sahal menyayangkan
kecenderungan
politis
dalam
ragam
kajian
semacam
ini
menyingkirkan estetika. Penulis berpendapat bahwa praktik penggunaan bahasa dalam pemberitaan MBM Tempo, dapat dilihat baik secara politis maupun estetis. Hal inilah yang membuat penulis tergerak untuk menutupi keterbatasan analisis wacana kritis dengan memadukan kedua dimensi tersebut secara ekletif, yakni analisis wacana kritis yang
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
253
dapat digunakan untuk mengkaji penggunaan bahasa media sebagai praktik estetik dan praktik politik bahasa. Maka sebagai uraian penutup, dengan ini penulis merangkum lima buah kesimpulan penelitian. Pertama. Dimensi estetika bahasa dalam teks pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, dilakukan demi pencapaian efek perlokutif secara maksimal dan joissance kepada pembaca, sehingga pembaca akan tertarik dan larut dalam pemberitaan MBM Tempo mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu. Sedangkan dimensi politik bahasa media dilakukan dengan bias dan prasangka demi pencapaian efek abrasive kepada tokoh yang diberitakan, yakni khususnya pada citra Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra selaku pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu yang diberitakan terlibat dalam kasus korupsi. Kedua. Jurnalisme Sastra MBM Tempo diproduksi dengan melibatkan banyak pihak (kolektif) secara institusional dan dikonsumsi oleh khalayak pembaca kelas menengah ke atas di Indonesia. Dalam hal pemberitaan mengenai kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu, praktik Jusnalisme Sastra berangkat dari motivasi MBM Tempo sebagai institusi pers yang hendak mengambil perannya dalam menciptakan tata pemerintahan yang bersih (good governence) di Indonesia. Ketiga. Secara historis, terbentuknya praktik estetik dan politik bahasa media Jurnalisme Sastra pada awal MBM Tempo terbit merupakan salah satu cara menyiasati represivitas Rezim Orde Baru yang berkuasa saat itu. Ia juga menjadi
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
254
ekkserimen dalam mengembangkan kemampuan jurnalisme sekaligus bertujuan menarik minat pembaca. Secara institusional, Jurnalisme Sastra MBM Tempo sebagai warisan tradisi dari para pendiri MBM Tempo, terus dipertahankan hingga saat ini lewat pelajaran dan praktik jurnalisme dalam kelas kuliah yang diikuti awak redaksi tiap minggunya, serta penerapan sistem penilaian (kredit poin) atas kinerja dan hasil tulisan wartawan MBM Tempo. Sehingga meskipun MBM Tempo saat ini tidak lagi diawaki seniman (sastrawan) dan tidak lagi direpresi pemerintah, Jurnalisme Sastra MBM Tempo dapat terus bertahan sampai sekarang. Keempat. Konteks sosial budaya –seperti ideologi, hegemoni, dan interaksi kekuatan sosial lainnya– yang mengelilingi MBM Tempo terkait dengan praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo dalam pemberitaan kasus dugaan korupsi tersebut antara lain kian menguatnya persinggungan dunia sastra dengan jurnalisme di Indonesia lewat kemunculan genre sastra koran, tuntutan kepada pers untuk memberitakan kasus korupsi dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia, menguatnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan formal dan upaya pemerintah dalam memberantas korupsi, serta counter hegemony yang dijalankan MBM Tempo demi menciptakan tata pemerintahan yang baik dan bersih. Kesemuanya ini mengarah pada persinggungan sistem pers dengan sistem ekonomipolitik-budaya yang mengacu pada penerapan dan perbaikan demokrasi di Indonesia. Kelima. Jurnalisme Sastra berkembang di MBM Tempo saat ini sebagai berkembang sebagai suatu karya jurnalisme sekaligus karya seni sastra yang diproduksi secara kolektif dan institusional, sebagai warisan tradisi dari para pendiri
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
255
MBM Tempo yang kini dipertahankan oleh para redaktur senior lewat pelajaran dan praktik jurnalisme dalam kelas kuliah. Setelah menguraikan lima kesimpulan penelitian di atas, penulis merasa perlu untuk menjelaskan di mana posisi Jurnalisme Sastra dalam ranah penciptaan teks, baik dari ranah jurnalisme maupun sastra di Indnesia. Mengacu pada Septiawan Santana Kurnia, praktik Jurnalisme Sastra di Indonesia dianggap sebagai perkembangan mutakhir dari praktik jurnalisme kontemporer yang awalnya berkembang di Amerika Serikat pada 1960-an, kemudian dibawa oleh MBM Tempo pada tahun 1970-an dan hingga kini mulai dipraktikkan juga di berbagai media massa di Indonesia. Namun mengingat luasnya definisi sastra (kesusastraan), penulis juga mengacu pada Ariel Haryanto yang menyebutkan Jurnalisme Sastra sebagai bagian dari sastra itu sendiri. Ia menyebutkan Jurnalisme Sastra dalam kategori ‘kesusastraan yang dipisahkan’ (non-sastra) dengan menyimak kecenderungan mutakhir dari kesusastraan Indonesia.1
1
Ariel Haryanto, Masihkah Politik jadi Panglima? Politik Kesusasteraan Indonesia Mutakhir, artikel dalam Majalah Prisma, No.8 Tahun XVII, Jakarta, 1988. Dengan menyimak kecenderungan kesusastraan mutakhir di Indonesia, Ariel mengklasifikasikan sastra menjadi empat kategori, yakni (1) sastra yang diresmikan atau diabsahkan, (2) sastra yang terlarang, (3) sastra yang diremehkan, (4) sastra yang dipisahkan/ non-sastra. Jurnalisme Sastra menurut Ariel termasuk dalam kategori keempat.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
256
Mengenai posisi Jurnalisme Sastra sebagai praktik politik media massa di ranah kesusastraan Indonesia, Ariel menulis: Dalam media massa inilah para pemikir politik yang paling berpengaruh dan pejabat pemerintahan bersastera politik. Itu pula sebabnya lahan inilah yang paling “politis” dan banyak menjadi sasaran sponsor dan sensor politik negara. Goenawan Mohamad, Umar Kayam dan Arief Budiman adalah beberapa contoh menonjol dari generasi peralihan yang kita bicarakan ini. Sementara itu kaum muda yang menunjukkan bakat bersastera maupun berpikir politis makin lama makin banyak direkrut media massa. Orang-orang pun berbicara tentang jurnalisme sastera. Itu sebabnya, kategori non-sastera yang saya ajukan di atas penting untuk dipertimbangkan sebagai salah satu transformasi mutakhir dari tradisi kesusasteraan kita.2 Dari keterangan di atas, penulis memahami adanya perbedaan para pakar mengenai posisi Jurnalisme Sastra di Indonesia. Di satu sisi Jurnalisme Sastra merupakan perkembangan mutakhir dari praktik jurnalisme di Indonesia. Sedangkan di sisi lain, ia juga dianggap sebagai transformasi mutakhir dari praktik kesusastraan di Indonesia. Di titik inilah, penulis merangkum asumsi para pakar tersebut bahwa Jurnalisme Sastra adalah titik temu atau persinggungan antara praktik jurnalisme dengan praktik kesusastraan yang terjadi pada alam demokrasi di Indonesia abad 21 ini. Adapun persinggungan ini tampak nyata terjadi di MBM Tempo. Sebagai penutup, penulis menjawab rumusan masalah penelitian sebagai berikut: praktik Jurnalisme Sastra MBM Tempo –sebagai praktik estetik dan politik bahasa media– pada pemberitaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan pejabat negara Kabinet Indonesia Bersatu merupakan persinggungan antara praktik 2
Ibid. Huruf kursif dan ejaan dikutip sesuai aslinya.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
257
jurnalisme dengan praktik kesusastraan yang dilakukan demi pencapaian efek perlokutif dan joissance kepada pembaca serta pencapaian efek abrasive kepada pejabat negara yang diberitakan, sebagai pendekatan kultural dalam mewujudkan demokrasi sejati di Indonesia. Tepat pula kiranya bila MBM Tempo sampai saat ini masih mengusung motto ‘Enak dibaca dan perlu’, sebab demikianlah MBM Tempo berpraktik hari ini di tengah-tengah pembacanya: praktik estetik yang menyajikan kemelimpahan makna bagi pembaca, sekaligus merupakan praktik politik bahasa yang diperlukan masyarakat bersama pers dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
B. Saran Mengenai praktik politik bahasa media lewat pencapaian efek abrasive terhadap pejabat negara yang diberitakan terlibat kasus korupsi, penulis menyarankan agar MBM Tempo dapat mengurangi upaya status degradation dan character assasination yang mengarah pada prejudicial publicity. Sebab jika hal tersebut menempati porsi yang lebih besar dalam pemberitaan, MBM Tempo dapat terjebak pada trial by the press yang justru akan mencoreng nama MBM Tempo sendiri, serta menimbulkan citra buruk pers dalam partisipasinya memberantas korupsi di Indonesia.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Ajidarma, Seno Gumira, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, Edisi Kedua, Penerbit Bentang, Yogyakarta, 2005 Alami, Happy, Sebelas Penyair Terkenal Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Jakarta, 2001 Althusser, Louis, Filsafat Sebagai Senjata Revolusi, Penerbit Resist Book, Yogyakarta, 2007 Anwar, Rosihan, Menulis Dalam Air, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1983 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Cetakan Kesembilan, Jakarta, 1993 Assegaf, Djafar H., Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktek Kewartawanan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983 Bachir, Soetrisno, Membangun Kemandirian Bangsa, Penerbit Belantika, Jakarta, 2005 Djuroto, Totok, Manajemen Penerbitan Pers, Pt Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000 Djuyoto, Djujuk, Jurnalistik Praktis Sarana Penggerak Lapangan Kerja Raksasa, Nurcahaya, Yogyakarta, 1985 Effendy, Onong Uchjana, Ilmu, Teori, & Filsafat Komunikasi, Penerbit CV Bandar Maju, Bandung, 1993 Eriyanto, Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yagyakarta, 2005 --------, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Cetakan ke-4, LKiS, Yogyakarta, 2005 Hamad, Ibnu, Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa; Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik, Penerbit Granit, Jakarta, 2004
258
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
259
Harsono¸ Andreas & Budi Setiyono, Jurnalisme Sastrawi; Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, Yayasan Pantau, Jakarta, Oktober, 2005 Hidayat, Rachmad, Ilmu yang Seksis; Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial Maskulin., Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2004 Jay, Martin, Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis, Kreasi Wacana, 2005 Kartika, Sandra dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999 Kurnia, Septiawan Santana, Jurnalisme Sastra, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002 Liftschitz, Mikhail dan Leonardo Salamini, Praksis Seni: Marx & Gramsci, Penerbit Alinea, Yogyakarta, tanpa tahun Macdonell, Diane, Teori-Teori Diskursus; Kematian Strukturalisme & Kelahiran Posstrukturalisme Dari Althusser hingga Foucault, Terjemahan Eko Wijayanto, Penerbit Teraju, Jakarta, 2005 Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000 Narwaya, St. Tri Guntur, Matinya Ilmu Komunikasi, Resist Book, Yogyakarta, Mei, 2006 Nurudin, Komunikasi Massa, Cesper, Yogyakarta, 2003 Piliang, Yasraf Amir, Dunia yang Dilipat; Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan, Jalasutra, Yogyakarta, 2004 --------, Sebuah Dunia Yang Menakutkan; Mesin-Mesin Kekerasan Dalam Jagat Raya Chaos, Penerbit Mizan, Bandung, 2001 Pramudya, Willy dan A.A. Sudirman (Ed.), Laporan Hukum dan HAM LBH Jakarta 2005, Penerbit Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, 2005 Pratikto, Riyono, Kreatif Menulis Feature, Alumni Bandung, 1984 Semi, M. Atar, Anatomi Sastra, PT Angkasa Raya, Padang, tanpa tahun
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
260
Setiati, Eni, Ragam Jurnalistik Baru Dalam Pemberitaan, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2005 Sobur, Alex, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001 Sudibyo, Agus, Ibnu Hamad dan Muhamad Qadari, Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa, ISAI, Jakarta, 2001 Suyanto, Bagong dan Sutinah (Ed.), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005 Tim LSPP, Media Sadar Publik, Penerbit LSPP, Jakarta, 2005 Yudhoyono, Susilo Bambang dan M. Yusuf Kalla, Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera; Visi, Misi, dan Program, tanpa penerbit, Jakarta, 2004 Zain, Umar Nur, Penulisan Feature, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
261
Sumber Lain: Anggoro, Donny, ”Catatan Sastra 2003: Tahun Emas Cerpen dan Pendobrakan Sastra Koran”, dalam Donny Anggoro, Sastra yang Malas, Tiga Serangkai, Solo, 2004 Apriliyanto, Teguh, Independensi Media Dibalik Kasus Tempo vs PT Asian Agri, artikel dalam Jurnal Media Watch, The Habibie Center, Jakarta, Edisi No.62/ Desember 2007 Budianta, Melani, “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme dari Studi Teks ke Studi Wacana Budaya”, dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, tanpa tahun Damono, Sapardi Djoko, “Pengarang, Karya Sastra, dan Pembaca”, dalam Bahan Pelatihan Teori dan Kritik Sastra, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, tanpa tahun Danujaya, Budiarto, ”Realitas ‘Koran’ pada Sastra Koran”, dalam Kenedi Nurhan (Ed.), Dua Tengkorak Kepala Cerpen Pilihan Kompas 2000, Penerbit Harian Kompas, Jakarta, 2000 Effendy, Onong Uchjana, Kamus Komunikasi, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001 Eriyanto, “Politik Pemberitaan”, dalam Majalah Pantau Edisi 09.Tahun 2000 Heryanto, Ariel, ”Masihkah Politik Jadi Panglima? Politik Kesusastraan Indonesia Mutakhir”, dalam Majalah Prisma, Edisi Sastera dan Masyarakat Orde Baru, No.8 Tahun XVII, 1988 Hidayat, Dedy N., “Politik Media, Politik Bahasa Dalam Proses Legitimasi dan Delegitimasi Rejim Orde Baru”, dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (Ed), Dari Keseragaman Menuju Keberagaman; Wacana Multikultural Dalam Media, Penerbit Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta, 1999 Husein, Fathul A., “Estetika, Filsafat Seni, dan Keindahan yang Terkubur”, dalam Suratkabar Harian Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Maret 2005 Husodo, Adnan Topan, “Buruk Muka Tetap Dibela”, dalam Koran Tempo, Edisi 11 Oktober 2006
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
262
Huda, Mh. Nurul, “Ideologi Sebagai Praktek Kebudayaan”, dalam Jurnal Filsafat Driyarkara, Edisi Th.XXVII No.3/2004 Junaedhie, Kurniawan, Ensiklopedi Pers Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991 Kalim, Nurdin dan Sunudyantoro, “Memburu Sang Ilham di Wonokromo”, dalam Selingan Iqra, Majalah Berita Mingguan Tempo, Edisi 14 Mei 2006 Nuryana, “Demokrasi Yang Menyakiti Rakyat”, dalam Harian Rakyat Merdeka, Edisi 29 Januari 2008 Piliang, Indra J., “Korupsi dan Demokrasi”, dalam HCB Dharmawan (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005 Sahal, Ahmad, "Cultural Studies dan Tersingkirnya Estetika”, dalam Harian Kompas Jumat, 2 Juni 2000 --------, Kemudian, Di Manakah Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Genealogi, dan Dekonstruksi, artikel dalam Jurnal Kalam, Edisi 1/1994 Siahaan, Henry dan Ainul Ridha, “Desentralisasi Pemberantasan Korupsi”, dalam Koran Tempo, Edisi 17 oktober 2006 Sudibyo, Agus, ”Pemberantasan Korupsi dan Rezim Kerahasiaan”, dalam HCB Dharmawan (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005 Tim Editorial, Undang-Undang Tentang Korupsi, Penerbit PROGRESIF BOOKS, Jakarta, 2006 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta, 1988 Demokrasi dan Kesejahteraan, Dialog Jumat Tabloid Republika, Edisi 25 Januari 2008 DPP PBB Menilai Terjadi Pembunuhan Karakter Yusril, Harian Kompas, Edisi 5 Mei 2007 DPR Lembaga Paling Korup, Harian Seputar Indonesia, Edisi 10 Desember 2006
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
263
Korupsi Politisi Akibat Politik Biaya Tinggi, Harian Kompas, Edisi 25 Oktober 2007 Jurnalisme Sastra, Koran Duta Edisi 1 September 2001, www.koranduta.com, diakses pada 19 Juni 2007
Skripsi: Fachrizal, Surya, Wacana Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme (SPL) Pada Pemberitaan LKBN Antara dan Koran Tempo Mengenai Hukum Cambuk di Aceh dan Fatwa MUI Tentang SPL dan Ahmadiyah (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2006 Pangeswari, Eka Shinta, Gaya Penulisan Laporan Utama Majalah Tempo Pra dan Pascabredel (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2003 Wahyuni, Ani, Konstruksi Realitas Pemberitaan tentang Pemberian Suaka Politik WNI asal Papua di Majalah Tempo (Skripsi), Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, 2006
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
LAMPIRAN A COMPANY PROFILE MBM TEMPO
264
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
265
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
266
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
Bagan Struktur Organisasi Redaksi MBM Tempo
267
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
268
Alur Berita MBM Tempo
Rapat Kompartemen (Redaktur Pelaksana)
Alur Berita Di Majalah Tempo
Reporter /SR/TNR
Rapat Perencanaan (PemRed / RE)
Penugasan (Jabrik /SR)
Rapat Checking (PemRed/RE)
Rencana Foto
Peliputan : - Reportase, - Wawancara - Riset
Penulisan Laporan (Reporter)
Penulisan Berita (Penulis/SR)
News Desk Distribusi
Redaktur Foto
Periset Foto
Fotografer (TNR)
Disetujui oleh Red. Pel.
RE/Red Kreatif (Artistik)
Pem. Red.
Desain Visual
Ke TEMPRINT (menggunakan CD)
Redaktur Bahasa
Editing (RedPel/ Red.Sen)
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
269
Lampiran B Hasil Wawancara Nama
: Sapto Nugroho
Jabatan
: Redaktur Bahasa MBM Tempo
Tanggal
: 5 Februari 2008
Apa latar belakang MBM Tempo menggunakan redaktur bahasa? Penggunaan bahasa Indonesia itu penting, Kemudian akurasi, meliputi data atau penulisan nama. Kemampuan wartawan kan lain-lain. Dan karena kepedulian GM (Goenawan Mohamad—pen.) terutama waktu itu. Bahwa bahasa Indonesia kayaknya kurang dipedulikan. Waktu itu Slamet Djabarudi sebagai redaktur bahasa pertama di Indonesia. Saya ini termasuk bimbingannya dia, saya sempat berkerja sama dia sampai Tempo dibredel tahun 93 sebelum dia meninggal. Bagaimana job desk yang dipegang oleh redaktur bahasa di MBM Tempo? Membetulkan bahasa, meliputi ejaan, kalimat, tata bahasa, penulisan nama, lembaga dalam dan luar negeri, data jarak atau jumlah. Dari hasil analisis teks penelitian ini, saya banyak menemukan penggunaan bahasa mengandung unsur keindahan (estetis) dan metafora. Kalau itu, bisa dari saya, bisa dari penulisnya juga. Kalau penulis yang kreatif kan pemilihan kata atau diksinya itu juga bagus. Saya sebatas membetulkan yang parah saja. Saya nggak mengubah kata-kata kalau nggak parah-parah banget. Dan memang karena Tempo terbitnya mingguan, kalau kita menulis reportase, pembaca nggak mendapatkan sesuatu yang baru. Lain kalau kita baca koran, yang penting beritanya
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
270
saja. Kalau majalah kan nggak begitu, ada analisa, ada cerita-cerita di balik suatu berita. Jadi porsi hard news itu dikurangi. Jadi ya memang seperti kita menulis novel. Sejak reporter memang sudah diarahkan supaya membaca novel, menonton film, teater. Jadi kekuatannya ada pada reporter? Reporter itu hanya mencari bahan berita. Yang berperan tetap redaktur pelaksana. Jahitan tulisan repoter itu kemudian dikombinasikan dengan redaktur pelaksana sebagai posisi penulis yang paling tinggi. Mengenai karakter penulisan Tempo yang berbeda dengan penulisan jurnalisme biasa di media lain? Itu karena dari awalnya dididik untuk begitu. Dari awalnya reporter magang, diajari membuat laporan yang bagus. Jadi memang dari awal sudah bertahun-tahun dididik begitu, hingga menjadi redaktur pelaksana. Jenjang karir di Tempo bisa dibilang sulit, penyaringannya lebih ketat. Ada program khususnya untuk itu, misalnya pelatihan penulisan? Program khusus ya di dalam (internal). Sekalian dinilai sekalian praktik. Kemudian ada semacam kelas tiap hari selasa yang mendiskusikan majalah yang baru terbit. Misalnya tulisan ini gimana, kurang tajam, atau ada cerita yang kurang, ini harusnya diwawancarai, ini kurang berimbang. Yang ikut itu reporter dan reporter senior.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
271
Bagaimana pola dan rutinitas kerja redaksi MBM Tempo dalam meliput hingga menyajikan sebuah berita yang layak muat? Mulai dari rapat awal atau perencanaan tiap Senin, diikuti oleh semua termasuk reporter. Kemudian melihat perkembangan berita itu di rapat checking hari Rabu. Rapat terakhir hari Jumat, sekaligus membahas sedikit-sedikit untuk minggu depan. Naskah reporter yang masuk, ditambah riset dari internet atau media lain, kemudian dirangkai-rangkai, terus ditulis, dan dimasukkan paling akhir di redaktur pelaksana. Bagaimana latar belakang pendidikan wartawan yang bekerja di redaksi MBM Tempo saat ini? Rata-rata S-1. Bagaimana suasana hubungan profesional yang ada di antara sesama karyawan MBM Tempo? Kalau disini mah atasan dengan bawahan bisa bebas saling mendebat. Apalagi dalam penentuan berita, yang menentukan itu rapat, bukan orang per orang. Orang mengusulkan, kemudian rapat menyetujui atau tidak. Kalau rapat tidak menyetujui, meski yang mengusulkan itu bos paling tinggi, mentah. Bagaimana posisi pembaca MBM Tempo diperhitungkan redaksi ketika menyajikan sebuah berita? Itu sudah termasuk dalam pilihan berita. Misalnya kita milih Mayangsari dikupas habis, itu bukan segmen pembaca Tempo. Sudah dari perencanaan dan penulisan, kita sudah memikirkan segmen pembaca.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
272
Bedanya Tempo yang dulu dengan yang sekarang? Mungkin karena mengikuti keadaan. Kalau dulu, Tempo berani karena media yang lain tidak. Kemudian SIUPP susah. Majalah, koran dan televisi juga tidak sebanyak sekarang. Lebih gampang dulu karena saingan sudah tidak seperti sekarang. Saingan Tempo secara tidak langsung televisi dan koran. Apa itu juga yang menjadi alasan mengapa Tempo menggunakan penulisan yang berbeda? Ya itu salah satunya karena tuntutan keadaan. Anda nonton berita di televisi kan nggak bayar. Dari sisi ekonomi susah. Kita mau bikin berita seperti dulu, sekarang Rakyat Merdeka juga berani. Kalau mau berani-beranian, kita sudah kalah. Mengenai prestasi Tempo dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia? Institusi pers kan seharusnya memang begitu, Mas. Institusi pers sebagai kontrol sosial, mendidik, upaya mengungkapkan kebenaran. Tempo berusaha mengikuti pers yang ideal itu. Karena nggak semuanya begitu kan, ada yang untuk keperluan pribadi, atau perusahaan, ada yang mengikuti kehendak pemilik modal. Tempo berusaha untuk tidak begitu. Seperti yang saya bilang tadi, usul seorang Pemred, atau GM sekalipun yang dianggap di sini sebagai sesepuh, kalau tidak lolos di rapat tidak dipakai. Redaktur Bahasa MBM Tempo
Sapto Nugroho
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
273
Lampiran C Hasil Wawancara Nama
: Wenseslaus Manggut
Jabatan
: Redaktur Desk Nasional MBM Tempo
Tanggal
: 8 Februari 2008
Bagaimana pola dan rutinitas kerja redaksi MBM Tempo dalam meliput hingga menyajikan sebuah berita yang layak muat? Tiap hari Senin jam 10 pagi itu rapat masing-masing kompartemen (bagian). Ada sekitar enam sampai tujuh kompartemen yang rapat selama satu jam. Di situ mereka akan menjaring usulan berita minggu depan itu kira-kira apa. Usulan juga bisa dari reporter, magang nulis, staff redaksi, penanggungjawab rubrik, dan redaktur pelaksana. Setelah mereka putuskan usulan dari lima hingga delapan item. Lalu jam 11 siang diadakan rapat gabungan kompartemen di ruang rapat lantai satu. Hasil rapat kompartemen dipresentasikan satu-satu. Ada yang diterima, ada yang ditolak, ada yang mesti diperdalam. Rapat berlangsung hingga jam dua atau jam tiga. Senin sore setelah selesai rapat gabungan, lalu dibuat lembar penugasan (term of reference) yang berisi inti masalah tulisan, siapa sumber yang harus kita hubungi, daftar pertanyaan, hingga nomor kontaknya. Jadi lembar penugasan itu berisi kurang lebih 50 persen dari tulisan. Yang membuat lembar penugasan adalah staff redaksi. Ditujukan untuk reporter, calon reporter, dan staff redaksi sendiri. Kalau disini, tidak ada berita yang keluar tanpa rapat. Hari selasa reporter ke lapangan, ada juga yang ikut kelas kuliah jam 11 bagi magang nulis dan repoter, melakukan evaluasi kelemahan, kekurangan
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
274
dan kekuatan tulisan minggu lalu. Jam 2 diadakan kelas kuliah untuk level penanggungjawab rubrik dan redaktur pelaksana. Yang dibahas itu tulisan-tulisan panjang. Hari rabu jam 10 rapat checking bagi kompartemen tentang liputan yang sudah dijalankan. Jam 11 rapat checking bagi gabungan kompartemen. Di situ diperiksa apakah perencanaan hari Senin itu masih pas, atau ada tambahan, ada yang dikurangi atau digugurkan. Setelah itu diadakan rapat Partirtur dengan staff desain dan foto. Hari Kamis kerja seperti biasa, dan sudah mulai nulis. Jumat deadline dan checking terakhir. Jumat malam selesai. Sabtu masuk cetak. Senin diulang lagi. Setelah mendapat lembar penugasan, apa yang harus repoter lakukan? Reporter itu kan ikut rapat hari Senin yang jam 10 di kompartemennya masingmasing. Setelah rapat itu dia langsung dapat lembar penugasan. Kalau ada yang tidak jelas, bisa dia diskusikan dengan redakturnya. Kemudian biasanya dia boleh minta bahan riset di perpustakaan. Berbekal itulah repoter ke lapangan. Lalu mendapat bahan sesuai pesanan, reporter lalu menulis laporan yang dimasukkan di keranjang laporan. Setelah terkumpul, staff redaksi mulai menulis. Kemudain dikirim ke redaktur untuk di-edit, lalu dikirim ke redaktur bahasa, kemudian ke bagian lay-out, lalu dibaca Pemred untuk finishing. Apa peran Redaktur Senior? Redaktur senior itu melatih orang menjadi redaktur (editor).
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
275
Pertimbangan bagaimana yang digunakan redaktur dalam menyunting dan menyeleksi bahan berita yang masuk? Pertimbangan pertama adalah fakta, apakah itu betul terjadi atau tidak. Harus ada bukti penguat, misalnya dokumen. Bagaimana latar belakang pendidikan karyawan yang bekerja di redaksi MBM Tempo saat ini? Minimal S-1. Tapi umumnya macam-macam. Setengahnya sudah S-2, kebanyakan dari London dan Amerika. Kita selalu ada program khusus misalnya kursus bahasa Inggris satu tahun yang dibiayai oleh Tempo mulai dari reporter hingga staff redaksi. Ada juga yang ingin kuliah, Tempo memberi rekomendasi. Buat yang kuliah di luar negeri (statusnya non-aktif), Tempo kasih gaji 60 hingga 70 persen. Bagaimana jenjang karier bagi karyawan yang bekerja di redaksi MBM Tempo? Pertama mereka masuk itu calon reporter. Masanya 9 bulan sesuai aturan Depnaker, baru diputuskan dia diangkat menjadi karyawan atau tidak. Dalam 9 bulan itu dibagi menjadi tiga semester masing-masing 3 bulan: Januari sampai Maret, Maret sampai Juni, Juni sampai September. Di semester pertama, hasil tulisan mereka dinilai dari tingkat akurasi, kualitas, deskripsi, komposisi, dan deadline. Nilai itu dilihat terus oleh semua orang setiap hari. A itu standard-nya 7,6. Setelah satu semester baru dievaluasi apa dia lulus. Dan di Tempo itu yang lulus hanya yang nilainya A. Dan B tidak dianggap lulus. Jadi paling tidak, dalam tiga semester itu dia harus dapat dua A. Setelah dia lulus, baru masuk reporter. Ada juga yang diangkat reporter setelah 6
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
276
bulan pertama, lulus excellence, A plus, langsung diangkat. Kemudian level reporter itu sudah lebih berat, harus dapat tiga A dalam satu tahun. Masa reporter dua tahun. Lalu ke penulis atau staff redaksi selama sekitar dua sampai tiga tahun. Lalu magang penanggungjawab rubrik (jabrik) selama dua hingga tiga tahun. Lalu menempati posisi jabrik selama tiga hingga empat tahun. Kemudian magang redaktur (editor) selama dua hingga tiga tahun. Baru ke redaktur pelaksana. Sampai di situ. Bagaimana kualifikasi profesi jurnalistik karyawan yang bekerja di redaksi MBM Tempo? Menulis dan wawasan sama pentingnya. Pada saat kita menulis itu dinilai mutu tulisannya. Bagaimana suasana hubungan profesional yang ada di antara sesama karyawan MBM Tempo? Di sini suasananya paling cair. Karena setiap orang punya suara. Mulai dari repoter baru, pemred atau redaktur pelaksana, semua sama. Dalam rapat siapa saja bisa ngomong. Semua punya hak. Gaji kita juga tidak tergantung dari atasan. Gaji kita sangat bergantung pada nilai-nilai yang diperoleh. Jadi hubungan dengan atasan itu tidak berpengaruh apa-apa. Yang nilai juga bukan dia. Bagaimana posisi pembaca MBM Tempo diperhitungkan redaksi ketika menyajikan sebuah berita? Kami berasumsi bahwa pembaca Tempo itu kelas menengah ke atas. Tema harus dipilih sesuai dengan kepentingan pembaca kita. Tapi pertimbangan yang paling utama di Tempo adalah adanya unsur kepentingan publik.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
277
Saya melihat Tempo intens dalam memberitakan kasus korupsi. Apa motivasi Tempo dalam hal ini? Pertama diukur dengan adanya kepentingan publik yang dirugikan. Yang kedua jumlah uang yang dikorupsi. Yang ketiga tokohnya. Semua itu dilihat dari besaran (magnitude) kasusnya. Misalnya korupsi 100 juta, yang melakukannya menteri, maka kita tulis karena tokohnya kuat. Mengapa Tempo mengangkat kasus korupsi, karena selain kepentingan publik, korupsi itu berbahaya. Kemudian motivasi lain menciptakan pemerintahan yang bersih. Karena efektivitas hukuman publik itu lebih tinggi. Ketika seorang koruptor diam-diam diperiksa KPK, nggak ada yang tulis dan publikasikan, mungkin dia akan santai-santai saja. Tapi ketika dia dipublikasikan, seluruh dosa dan kejahatannya kita publikasikan, hukuman sosialnya lebih tinggi. Batasan pemberitaannya sampai di mana? Apakah setelah ditetapkan tersangka atau terdakwa baru diberitakan? Atau masih bersifat dugaan sudah diberitakan? Dugaan, asal buktinya kuat. Polisi belum bergerak pun kita sudah bisa beritakan. Asal memenuhi kriteria-kriteria tadi. Faktanya ada dan kuat. Dokumennya ada. Dan banyak sekali kasus yang setelah ditulis baru diperiksa kepolisian. Dalam kasus dugaan korupsi surat suara yang melibatkan Hamid Awaludin, saya menyimak Tempo memberitakannya mulai dari Juni 2005 hingga Mei 2007. Apa ada agenda tertentu dari Tempo? Kasus ini pertama kali kita tulis berawal dari masuk penjaranya anggota KPU. Tentang harga kertas suara pemilihan legislatif, memang semula kertas suara itu di-
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
278
handle oleh Dan Dimara seharga Rp.129,- per lembar. Di situ keputusan hakim ada mark-up. Tapi menurut Daan, itu di-handle oleh Hamid seharga Rp.99,- artinya turun dong, Hamid membantu hemat negara. Tapi angka 99 itu belum termasuk biaya transportasi dan pengepakan. Jadi kalau dihitung-hitung, di atas 99. Angka 99 pun tetap di atas harga pasar. Artinya memang ada jumlah yang hilang di situ. Keterlibatan Hamid juga diperkuat keterangan rapat yang diakui oleh 6 orang. Rapat itu dipimpin oleh Hamid. Tapi Hamid sendiri yang membantah rapat itu ada. Bahwa kemudian ditulis berkali-kali, mengikuti proses kasusnya. Jadi bukan karena ingin menghantam Hamid. Kita itu mengikuti kalau ada peg-nya. Kalau nanti Hamid diperiksa lagi, kami tulis lagi. Tergantung ada peg dan peristiwa terbarunya. Dan tolong dicatat agenda setting itu tidak ada. Semua berjalan berdasarkan kriteria tadi, fakta, magnitude, kepentingan publik, tokoh, kuat buktinya. Kita tempatkan itu dalam sekian halaman, karena kepentingan publiknya besar sekali dalam kasus ini. Banyak pakar yang menyebutkan Tempo memiliki gaya Jurnalisme Sastra dalam liputannya. Apa alasan Tempo tetap menggunakannya sampai sekarang? Sebetulnya kita sendiri bingung kalau ini disebut Jurnalisme Sastra. Karena apa yang disebut Jurnalisme Sastra itu pun nggak jelas betul. Yang pasti Tempo menggunakan teknik jurnalisme bertutur atau berkisah. Sehingga orang terpikat untuk membacanya. Seperti kawan lama datang bertamu. Kira-kira daya pikatnya seperti itu. Cara ini masih kita anggap sebagai cara yang ampuh untuk memudahkan atau menarik minat orang untuk terlibat orang dalam ceritanya.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
279
Pada sampel dua dalam penelitian saya (Terusik Nyanyian Meneer Daan), saya menemukan gaya penulisan yang belum pernah ada. Apa ini pendobrakan atau eksperimen? Sebenarnya ini eksperimen, kebetulan saya yang nulis. Karena kita merasa bahwa dialog ini akan lebih kena, mudah dipahami, dan orang masuk dalam suasananya. Dialog ini saya cek tiga kali. Saya cek ke Daan, saya cek juga ke Hamid, apa betul kalimat anda pertama seperti ini, ya betul. Bahwa cara penyajiannya begini, ini memang lebih memikat. Jadi orang bisa membayangkan susasananya seperti apa. Orang juga bisa membayangkan bahwa apa yang ada dalam pikiran mereka berdua. Ini jauh lebih kuat efeknya, daripada ditulis biasa. Pertimbangannya itu. Bahwa apakah ini praktik yang baru, saya belum tahu. Tapi saya pernah pake waktu saya nulis soal Aceh. Di ending tulisan saya pake dialognya Jusuf Kalla dengan Gubernur Sumatera Utara. Apa hal-hal semacam ini yang diajarkan di kelas kuliah? Iya, di kelas kuliah itu. Misalnya judul yang baik itu seperti apa, nggak lebih dari empat-lima kata. Lead kira-kira apa. Ending yang baik juga seperti apa. Saya melihat lead di setiap liputan Tempo selalu menangkap adegan, bukan informasi penting. Apa alasannya? Pertama, informasinya sudah lewat. Kalau adegan selalu jauh lebih memikat.
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
280
Saya juga melihat banyak penutup (ending) liputan Tempo yang seakan-akan meninggalkan pertanyaan. Apakah ini teknik juga? Penutup ini artinya kita gagal menemukan bukti yang kuat. Kalau kita betul-betul menemukan bukti dan indikasi yang kuat, kita akan menuliskan segera diperiksa. Tapi karena ini hanya menyangkut baik Daan maupun Hamid hanya sampai pada level mereka menguntungkan mitra KPU, apa mereka dapat duit dari situ kita kan nggak temukan. Karenanya di ending itu siapa yang bersalah masih terus diusut. Berarti ini batas ketika Tempo tidak menemukan bukti lebih lanjut? Iya, seperti itu. Meskipun di kuliah hari Selasa itu banyak yang kritik, karena tidak tuntas. Tugas kita kan menjawab pertanyaan, bukan malah bertanya. Apa di sini ada wartawan yang juga sastrawan? Ada. Seno Joko Suyono, Yosep, Idrus, dan Akmal Nasral Basery. Kebanyakan itu anak-anak di koran (Koran Tempo).
Redaktur Desk Nasional MBM Tempo
Wenseslaus Manggut
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
SURAT PERMOHONAN PENELITIAN
281
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
282
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
283
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama Jenis Kelamin Tmp/ Tgl Lahir Status Agama Kewarganegaraan Alamat Nomor Telp Alamat Pos-el Alamat Blog
: Priyono Santosa : Pria : Jakarta, 31 Juli 1982 : Lajang : Islam : Indonesia : Jl. Haji Atun No 11A, RT 009/08, Durensawit, Jakarta Timur : 021.949.22778 :
[email protected] : http://prys3107.blogspot.com
Orang Tua Ayah Ibu
: Agus Santosa : Sri Marheini
Pendidikan Formal 1988 – 1994 1994 – 1997 1997 – 2000 2000 – 2008
SDN 12 Pondokbambu, Jakarta Timur SMPN 117 Pondokbambu, Jakarta Timur SMUN 71 Durensawit, Jakarta Timur Program studi Ilmu Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta
Pengalaman Organisasi 2005 – sekarang Divisi Harian Kelompok Seni dan Diskusi (KOMPOSISI) 2006 – 2007 Dewan Redaksi Bulletin ISSUE 2006 – 2007 Ketua Umum UKM Teater Kinasih 2006-2007 2007 Sekretaris Harian Tim Panitia Khusus KM IISIP Jakarta Pengalaman Kerja 2002 – 2003 2003 - 2004 2005 – 2006 2007 2007 2008 2008 – Sekarang
Kontributor Majalah Outmagz, Jakarta Kuliah Kerja Lapangan di Harian Radar Bogor Dewan Redaksi Jurnal Sastra ‘RuangMelati’ Sekretaris Redaksi Penerbit Komunitas Kertas Reporter Tabloid Ekonomi ‘Margin’ Redaktur Naskah Tabloid KUNCI Layouter Koran Jualbeli
http://prys3107.blogspot.com
[email protected]
Prestasi 2005 2005
2007
284
Pemenang Harapan I ‘Lomba Menulis Cerita’ Gramedia (cabang Depok) pada 14 Februari 2005 Pemenang Pertama Lomba Penulisan Esai ‘Potret Perempuan Dalam Era Globalisasi’ FISIP EXPO 2005 – IISIP Jakarta pada Desember 2005 Penulis Proposal Terbaik Kategori Mahasiswa Tingkat Nasional dalam ‘Sayembara Bahasa dan Sastra September 2007’ oleh Pusat Bahasa dan Sastra, Depdiknas
Jakarta, Februari 2008 Penulis
Priyono Santosa