Judul Naskah = Jawaban Setelah Lima Tahun

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Judul Naskah = Jawaban Setelah Lima Tahun as PDF for free.

More details

  • Words: 5,224
  • Pages: 15
JAWABAN SETELAH LIMA TAHUN Oleh: Evelyne Nova Novelia Navratilova

S

aat aku menikah dengan Doni (bukan nama sebenarnya), semuanya terasa indah. Akhirnya kami dapat bersatu dalam sebuah pernikahan. Perasaanku saat itu sama seperti perasaan

semua wanita yang ada di dunia ini. Bahagia, sedih semuanya bercampur jadi satu. Karena tadinya hubunganku dengan Doni tidak mendapat restu dari Mamahku, namun dengan berjalannya waktu akhirnya kami mendapatkan restu dari Mamahku. Setelah pesta pernikahan yang diadakan di rumahku usai, Doni membawaku ke rumahnya yang berada di Jakarta. Di Jakarta, Doni hanya tinggal berdua dengan Mamahnya. Karena dua orang kakaknya sudah menikah dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Sejak pertama aku datang ke rumah mertuaku, aku coba untuk beradaptasi dengan mertuaku. Aku menyayanginya seperti aku menyayangi mamahku sendiri. Semuanya terasa mudah, seperti orang lain pada umumnya. Beberapa bulan kemudian, kehidupanku yang bahagia berubah menjadi derita. Aku sering sekali disindir-sindir sinis oleh mertuaku. Tanpa aku tahu apa salahku, sehingga mertuaku bersikap seperti itu padaku. Karena selama ini yang aku lakukan padanya tulus, tanpa mengharap apapun. Dan aku pun selalu memenuhi semua permintaannya, namun hal itu tidak juga membuat sindiransindiran yang ditujukan padaku menghilang. Aku sadar kalau mertuaku itu juga orang tuaku, bukan semata orang tua suamiku. Semula perlakuan mertuaku itu kuanggap biasa saja. Maklum namanya juga orang tua. Tidak aneh jika melakukan yang aneh-aneh seperti itu. Namun, perbuatan yang ia lakukan selalu di saat suamiku tidak ada di rumah. Hingga membuat aku jadi serba salah. Awalnya aku hanya berfikir kalau mertuaku bersikap seperti itu aku menganggap perjalanan proses adaptasiku dengan mertuaku. Karena kini aku tinggal di rumahnya, sehingga aku harus lebih memahami sikapnya yang seperti itu. Maklum karena sekarang ini yang tinggal bersamanya hanya aku, suamiku, dan seorang pembantu jadi aku harus lebih bersabar menghadapi mertuaku yang seperti itu. Lambat laun, sikapnya kepadaku tak juga berubah. Ia semakin sering menyindirku dengan kata-kata yang tidak seharusnya ia katakan padaku. Bahkan sempat mertuaku berkata padaku kalau aku ini menantu yang tidak berguna, tidak tahu adat. Hatiku bagai teriris-iris mendengar ucapan Mertuaku. Karena aku sudah tidak tahan dengan sikap mertuaku, pernah suatu kali aku mengadukan hal ini pada suamiku, namun respon suamiku tak seperti yang aku inginkan. Suamiku tidak mempercayai ucapanku. Malahan ia berpikir kalau aku terlalu mengada-ada. Aku sangat kecewa dengan sikap suamiku itu. Aku merasa percuma mengadukan hal ini pada suamiku. Saat

1

itu yang bisa aku lakukan hanya menangis, dan meminta pada Allah untuk memberikan aku kekuatan dalam menghadapi masalah ini. Beberapa bulan sudah berlalu, aku masih saja terus menerima perlakuan yang kurang baik dari mertuaku. Bahkan kini suamiku pun sudah tidak mempercayai ucapanku yang berhubungan dengan mertuaku. Hingga sempat terbersit dalam benakku, kalau suamiku sangat takut pada ibunya, hingga mengabaikan semua keluhanku, istrinya sendiri. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, hingga akhirnya hari-hariku dipenuhi dengan sindiran-sindiran dan perlakuan yang kurang baik dari mertua dan suamiku. Aku tidak berani menceritakan hal ini pada orang lain, bahkan pada keluargaku. Aku malu untuk mengatakan hal ini. Karena bagiku ini adalah aib. Jadi terpaksa aku telan bulat-bulat semua perlakuan yang aku terima dari mertua dan suamiku. Walaupun sakit yang aku rasa, tapi aku tak punya daya untuk melawannya. Aku terlalu takut untuk berbagi dengan orang lain, bahkan dengan ibuku sendiri. Hanya tangis kawan terbaik yang aku miliki. Pernah suatu kali aku beranikan diri untuk berbicara dengan suamiku. Aku meminta padanya, untuk keluar dari rumah mertuaku. Dan mengontrak rumah untuk aku dan suamiku. Namun permintaanku ditolak mentah-mentah oleh suamiku. Dengan suara lantang suamiku berkata, sampai mati pun aku tidak akan pernah meninggalkan rumah ini dan Ibuku. Hatiku hancur mendengar ucapan suamiku tersebut. Sebelumnya ia tidak pernah semarah ini padaku. Dan lagi-lagi hanya menangis yang bisa aku lakukan. Dalam sholat aku meminta pada Allah, agar aku diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi cobaan ini. Karena aku sudah tak mampu menampung derita yang aku hadapi, akhirnya aku memberanikan diri untuk bercerita dengan kakak iparku. Dan menurutnya ia pun juga pernah mengalami hal yang sama dengan diriku. Maka dari itu ia putuskan untuk keluar dari rumah mertuaku bersama dengan suaminya. Nasib kakak iparku jauh lebih beruntung dibandingkan aku. Karena suaminya mau membawanya keluar dari rumah mertuaku dan tinggal berdua dengan suaminya. Miris memang nasibku, karena suamiku tidak seperti suami kakak iparku yang jauh lebih mengerti istrinya. Lagilagi hanya menangis yang bisa aku lakukan, dan meratapi nasibku. Kejadian itu terus berulang, lagi dan lagi. Setiap kali aku bertengkar dengan suamiku karena membahas masalah sikap mertuaku padaku, aku yang harus mengalah dan harus rela merasakan semua siksaan dalam batinku ini. Dan seperti biasanya, aku hanya bisa menangis dan meratapi nasibku. Bahkan karena terlalu seringnya, hingga aku hapal di luar kepala respon suamiku dan apa yang akan ia katakan padaku. Dan akhirnya kami berbaikan kembali dengan kata-kata dusta yang dikatakan suamiku untuk meluluhkan hatiku. Hingga membuat aku tunduk lagi padanya. Hingga pada satu saat, karena aku tidak kuat dengan semua sindiran dan cibiran mertuaku, aku putuskan untuk pulang ke rumah orang tuaku. Aku tidak perduli suamiku mengijinkanku atau 2

tidak. Yang aku inginkan saat itu hanya lepas dari belenggu mertua dan suamiku. Kedua orang tuaku kaget melihat aku datang ke rumah mereka tanpa ditemani suamiku. Belum sempat aku bicara dengan mamahku, aku langsung memeluknya dengan erat dan menangis sejadi-jadinya dalam pelukan mamahku. Mamahku kaget, apa yang sebenarnya terjadi padaku. karena selama ini aku tidak pernah menceritakan masalahku dengan orang tuaku. Mamah meminta aku untuk berhenti menangis, dan menceritakan masalah yang sebenarnya. “Wi, ada apa? Mengapa kamu menangis seperti ini? Coba ceritakan pada mamah Wi!” Tanya mamah. Setelah beberapa saat aku mampu menahan emosiku, dengan terbata-bata aku menjelaskan masalahku pada mamah, sambil menahan tangisku. “Wi, kabur dari rumah, mah. Wi sudah tidak kuat lagi.” “Memangnya ada apa, Wi?” Lantas, aku ceritakan semuanya pada mamah. Mamahku sempat shok mendengarkan deritaku selama ini. Bahkan, mamah sempat marah padaku. Kata mamah. mengapa aku tidak menceritakan hal ini dari awal. Keluargaku marah besar mendengar ceritaku. Mereka tidak terima dengan perlakuan suamiku dan mertuaku. “Maafkan Wi, mah. Wi tidak mau nantinya akan membebani mamah. Maka dari itu, Wi tidak menceritakan hal ini sama mamah” “Tapi kamu kan anak mamah, jadi mamah harus tahu bagaimana keadaan kamu Wi” “Maafkan Wi, mah” *** Suamiku marah besar, karena aku pulang ke rumah orang tuaku tidak ijin padanya. Bahkan ketika ia menjemputku ke rumah aku tolak ajakannya. Aku katakan padanya, kalau kita pindah dari rumah ibumu aku mau pulang bersamamu. Namun namanya juga Doni, ia menolak permintaanku. Dan aku pun masih tetap dengan permintaanku. Yaitu, pindah dari rumah mertuaku. Karena aku tetap pada pendirianku, suamiku kembali ke Jakarta. Mungkin dia kecewa karena tidak berhasil mengajakku. Bagiku biarlah. Aku tak peduli.

***

D

ua minggu sudah aku tinggal di rumah orang tuaku. Selama itu ada rasa senang dalam hatiku. Senang karena selama tinggal bersama orangtuaku tidak lagi mendengar kata-kata

sindiran yang menyakitkan. Tetapi dalam hati kecil merasa berdosa, karena aku telah melalaikan kewajiban sebagai seorang istri. Dua minggu adalah masa yang menyenangkan. Namun, ketenangan itu akhirnya terusik ketika aku menerima telpon dari suamiku yang mengabarkan, kalau mertuaku terkena struk dan kini ia ada di rumah sakit. Mulanya aku tidak terlalu menanggapi berita tersebut, karena hatiku masih terluka karena perbuatannya. Tetapi, suamiku bilang kalau mertuaku ingin bertemu dengan aku. Mertuaku ingin menyampaikan sesuatu padaku. Permintaan 3

itu tetap aku tolak. Karena menurutku percuma saja aku bertemu dengan mertuaku, toh nantinya ia akan mencibirku lagi. Dan aku tak mau mengulangi hal itu lagi. Mamah memintaku untuk menemui mertuaku. Mamahku bilang, tidak ada salahnya memaafkan orang yang selama ini telah berbuat tidak baik pada kita. Setelah berpikir masakmasak, apa yang dikatakan mamahku benar juga. Akhirnya aku menuruti permintaan mamahku untuk menemui mertuaku di rumah sakit. Suamiku menjemputku untuk bertemu dengan mertuaku. Sesampainya di rumah sakit, semua kakak iparku sudah berkumpul di sana. Mereka sudah menunggu kedatanganku. Aku dan suamiku menemui mertuaku di kamar rawatnya. Di sana aku lihat tubuh rentanya terbaring lemah, tak tega aku melihatnya seperti itu. Seolah rasa marah dan sakit hatiku padanya sirna melihat keadaan dia sekarang. Namun, aku coba untuk bersikap biasa saja. Aku menghampiri mertuaku yang sedang terbaring. “Kamu sudah datang Wi?” “Iya mah. Ini Wi. Mamah baik-baik saja kan?” “Wi, maafkan sikap mamah ya. Mamah minta kamu kembali lagi ke rumah ya?” Aku terdiam, mendengar mertuaku meminta aku kembali ke rumahnya. Aku sempat ragu, apakah mertuaku sudah berubah sepenuhnya atau hanya berpura-pura? Aku takut kalau kejadian yang dulu-dulu terulang kembali. Namun aku teringat dengan ucapan mamahku, tidak ada salahnya untuk memberikan kesempatan kepada orang yang meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya. Akhirnya aku luluh juga, dan memberikan kesempatan lagi pada mertuaku untuk menebus kesalahannya padaku. “Wi, kamu mau kan memaafkan mamah dan kembali ke rumah lagi?” kata mertuaku menghiba. Mendengar itu, aku tak segera menjawab. Untuk beberapa saat aku berpikir. Lagi-lagi aku teringat kata-kata mamahku. Akhirnya … “Aku maafkan, mah. Wi akan kembali ke rumah. Yang penting sekarang, mamah cepat sembuh ya” “Terima kasih Wi, kamu memang menantu mamah yang baik” Dalam hati sebenarnya aku tak mengiyakan sepenuhnya ucapanku tadi, yang aku bilang kalau aku akan kembali ke rumah mertuaku. Aku masih takut. Aku masih

trauma dengan perlakukan

mertuaku yang lalu. Dan kalau ingat dengan perlakuan mertuaku padaku, hati ini terasa perih sekali. Hingga membuat aku sulit untuk melupakan perlakuan mertuaku tersebut. Namun apa mau di kata, aku sudah mengiyakan untuk kembali ke rumah mertuaku. Sementara itu suamiku kelihatan senang sekali dengan ucapanku, yang mengiyakan untuk kembali ke rumah mertuaku. Tak berapa lama, aku pamit untuk keluar kamar rawat pada mertuaku. “Mah, Wi keluar dulu ya. Mamah istirahat saja biar cepat sembuh” “Iya, Wi. Tapi kamu tetap pulang ke rumah mamah kan?” “Iya, mah. Wi, pulang ke rumah mamah bersama Doni” 4

Aku dan Suamiku keluar dari ruang rawat mertuaku. Suamiku mengajak aku duduk di kursi yang ada di depan ruang rawat mertuaku. “De, aku mau bicara sebentar. Kita duduk di sini dulu ya?”. “Iya, yah” .Wajah suamiku serius sekali. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa yang akan suamiku bicarakan padaku. Jantungku berdegub kencang, dan ada rasa takut menyelimuti jiwaku. “Apakah yang kamu katakan pada mamah tadi itu benar, De?” “Yang mana Yah?” “Yang kamu bilang, kalau kamu akan kembali ke rumah?” “Oh. Iya benar Yah. Memangnya kenapa yah?” “Tidak. Terima kasih ya Wi. Kamu mau menuruti permintaan mamahku. Kamu memang istri yang bisa diandalkan” Aku hanya tersenyum, mendengarkan ucapan suamiku. Dalam hati aku berpikir, memangnya selama ini aku tidak bisa diandalkan. Namun, ya sudahlah Doni memang begitu. Lantas Doni bilang, kalau mertuaku sudah bisa pulang dua hari lagi. Tapi ada suster yang akan merawat dirinya, selama di rumah. Hatiku sedikit tenang mendengar ucapan Doni.

***

S

udah sebulan mertuaku kembali ke rumah, dan keadaannya juga sudah lebih baik dari sebelumnya. Namun di luar dugaanku, perlakuan mertuaku yang dulu kembali lagi. Kini aku

mulai merasakan hari-hari kelamku lagi. Dan masih seperti biasanya, suamiku tetap tidak berani membelaku di depan mertuaku. Deritaku, kini mulai lagi. Derita yang konon tadinya tidak akan terulang, tapi ternyata terulang juga. Kini aku bersahabat kembali dengan air mata, dan rasa takut yang berkepanjangan pada suamiku dan mertuaku. Hingga aku mempunyai anak, yang kuberi nama Reynaldo (bukan nama sebenarnya). Aku biasa memanggilnya Aldo. Hidupku kini lebih berarti dengan kehadiran Aldo. Aku seperti mendapatkan setetes air pada jiwaku yang sekarat selama ini dengan hadirnya Aldo ke dunia. Dalam hati aku bertekad, aku akan lakukan apapun demi Aldo. Dan aku harus tegar menghadapi cacian dan makian dari mertuaku dan suamiku. Aku sudah tidak berpikir tentang suamiku, yang ada di pikiranku kini adalah Aldo. Setiap kali aku memandang wajah Aldo yang polos, air mataku tak tertampung lagi. Aku sedih sekali, mengapa Aldo harus mempunyai seorang Ayah seperti Doni? Tapi selekasnya aku tepis rasa sedihku itu. Kalau aku tak boleh menangis dan pasrah dengan semua keadaan ini. Aku harus bangkit, dan aku akan menghidupi Aldo dengan keringatku sendiri. Kini aku mulai rajin membuka koran yang ada lampiran lowongan pekerjaan. Aku ingin mencoba mencari pekerjaan, agar Aldo bisa aku hidupi dengan keringatku sendiri. Dari sekian banyak iklan lowongan pekerjaan yang ada di lampiran koran tersebut, aku lingkari yang sesuai 5

dengan ijasah S1 yang aku miliki, serta pengalaman kerjaku sebelum aku menikah dengan Doni. Aku coba kirimkan CV ke alamat kantor-kantor yang aku lingkari dari iklan lowongan kerja . Bulan sudah berganti, namun belum satu pun kantor yang menghubungiku untuk menerimaku sebagai karyawannya. Aku coba untuk bersabar, dan tetap berusaha untuk mencari lowongan kerja lainnya. Aldo lah, yang selama ini selalu menjadi semangat agar aku tidak mudah putus asa untuk mencari pekerjaan. Akhirnya aku mendapat panggilan untuk interview di sebuah kantor di bilangan jalan Sudirman. Aku datang untuk interviu di kantor tersebut, dan aku sangat berharap sekali bisa di terima. Aku datang dengan sahabat dekatku yang saat itu juga mendapat panggilan untuk interviu di kantor yang sama dengan aku. Sahabat dekatku sudah keluar dari ruangan interviu, dan kini giliran aku yang dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan interviu tersebut. Selesai interviu, rasa senang menyelimuti hatiku. Karena aku diterima bekerja di perusahaan itu sebagai marketing. Dan mulai besok, aku sudah bisa bekerja di perusahaan tersebut. Ya, walaupun gaji yang aku terima kecil, tapi aku senang karena minimal aku bisa membelikan susu untuk Aldo dengan hasil keringatku sendiri. Aku bersyukur akhirnya doaku selama ini terjawab sudah. Sesampainya di rumah, aku langsung memberitahu kabar baik ini pada orang rumah. Tapi tentunya bukan pada mertuaku. Karena itu percuma saja aku lakukan, mertuaku tidak akan merespon baik. Dan yang aku takutkan, nantinya malah mertuaku akan mencibirku. Untuk menghibur hatiku, aku bicara pada Aldo anakku, karena suamiku belum pulang kerja. Aku bilang pada Aldo, “Sayang, Bunda diterima bekerja. Dan mulai besok, Bunda sudah mulai bekerja,..” Aldo hanya tersenyum, padahal ia belum mengerti apa yang aku maksud. Tapi dengan aku bicara pada Aldo, hatiku bahagia sekali melihat senyuman matahariku. Hingga semua beban yang menghimpit benakku sirna semua. Aldo adalah pengobat luka di hatiku, ia adalah belahan jiwaku, dan energi yang membuat aku tegar menghadapi semuanya. Suamiku pulang, aku sambut dan aku jamu dia sebagaimana biasanya. Sebelum aku memberitahukan kabar tentang diterimanya aku bekerja, aku buka pembicaraan dengan menanyakan tentang pekerjaan dia hari ini. “Hari ini kerjaan ayah bagaimana? Lancar yah?” “Lancar de. Yah, lumayan cape juga sih” “Oh. Ya sudah kalau begitu ayah mandi dulu. Biar aku siapkan makan malam untuk ayah” “Ok” Setelah suamiku selesai mandi, aku temani dia makan malam. Kami sempat ngobrol masalah Aldo, namun aku masih belum menyampaikan kabar tentang pekerjaanku. Aku ingin membicarakannya dengan suamiku tanpa ada mertuaku. Selesai makan malam, suamiku melihat Aldo yang sudah tertidur pulas, dan kesempatan baik itu aku gunakan untuk membicarakan

6

mengenai pekerjaanku. Jantungku berdegup kencang ketika aku ingin mengatakan hal ini pada suamiku. Tapi aku beranikan diri untuk mengatakan pada suamiku. “Yah, aku mau ngomong sesuatu? “Cobalah katakan!” Kata suamiku. Suamiku menatapku dengan penuh curiga, mungkin ia berpikir kalau aku akan membahas masalahku dengan mertuaku lagi. Dengan cepat aku katakan maksudku. “Yah, tadi siang aku interview, dan aku diterima kerja.” Kataku dengan hati-hati. “Mulai besok aku sudah mulai kerja,” lanjutku. “Oh. Ya sudah. Biar nanti Aldo sama bibi saja.” “Terima kasih ya, Yah” “Memangnya kamu sebagai apa di sana nantinya de?” “Marketing yah” “Memang perusahaan apa itu?” “Investasi” “Oh ya sudah. Semoga sukses ya” Aku tersenyum melihat suamiku berkata seperti itu. Pada dasarnya suamiku itu memang baik, namun ketika ibunya ikut bicara, misalnya mengenai urusan rumah tangga kami, ia akan berubah seratus delapan puluh derajat dari biasanya. Entah mengapa ia bisa seperti itu. Mungkin karena ia sangat takut pada ibunya, hingga membuat ia bisa berubah seperti itu. Bisa juga karena suamiku merupakan tipe laki-laki yang plin-plan. Entahlah!

***

H

ari pertamaku masuk kerja diantar suami. Katanya ia ingin tahu dimana istrinya bekerja. Dan aku pun tidak keberatan kalau ia mengantarku. Dalam perjalanan ke kantor, sempat

terbersit dalam benakku, seandainya saja suamiku bisa terus bersikap seperti ini, alangkah bahagianya aku. Karena yang aku butuhkan bukan apa-apa, aku hanya ingin dia mengerti aku. Itu saja! Namun aku tahu, ia akan kembali kasar padaku kalau ibunya mulai angkat bicara. Hari pertamaku berjalan lancar, aku mulai mengerjakan pekerjaanku sebagai marketing. Semua yang diajarkan oleh managerku, bisa aku ikuti dengan lancar. Dari mulai menghubungi klien, menawarkan investasi, dan mengajaknya untuk ikut dalam bisnis ini. Dan aku juga mulai bisa bergaul dengan teman satu ruangan denganku. Tiga bulan sudah berlalu, dan aku juga masih terus bekerja seperti biasanya. Dan aku juga masih sering bertengkar dengan suamiku masih dengan masalah yang itu-itu saja. Hingga aku merasa semakin terpuruk, dan hanya Aldo yang selalu memberikan aku kekuatan untuk bangkit. Dan kantorlah tempat pelarianku, tempat dimana aku bisa melupakan sejenak masalah yang aku

7

hadapi. Kantor adalah surga bagiku, karena di sanalah aku menemukan kebebasan yang aku cari. Aku bisa melakukan apapun yang aku mau, tanpa harus merasa takut pada siapapun. Hari-hari berikutnya, aku mulai tidak konsentrasi dengan pekerjaanku. Karena aku dan suamiku semakin sering bertengkar masih dengan masalah yang sama. Bahkan semakin lama, suamiku pun semakin berani memakiku dengan ucapan yang tidak sepantasnya. Hingga suatu hari kami bertengkar lagi, dan karena tidak terima dengan ucapan suamiku, aku sempat membentaknya, dan sebuah tamparan mendarat di pipiku. Aku kaget karena suamiku mampu melakukan hal itu padaku. Air mataku pun tak bisa terbendung lagi. Hatiku bagai teriris-iris mendapatkan perlakuan seperti ini dari suamiku. “Maafkan aku, Wi?” Aku tidak perdulikan kata-kata suamiku. Aku keluar kamar dan mengunci diri di kamar mandi. Dan menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit di pipiku tidak seberapa dibandingkan dengan perlakuan suamiku padaku. Aku marah, benci dan sakit hati pada suamiku. Mengapa ia tega menyakitiku, padahal sebelumnya ia tidak pernah bersikap seperti itu. Dan hanya karena masalah mertuaku, ia tega melakukan hal itu padaku. *****

H

ari ini, aku tidak punya semangat untuk bekerja. Karena pikiranku kalut, hingga membuat aku tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaanku. Dan hari ini aku masuk kerja, hanya karena

aku ingin menghindar dari orang-orang yang ada di rumah. Hingga Adi (bukan nama sebenarnya) managerku, melihat aku melamun di meja kerjaku. Adi menghampiriku, “Wi, kamu ada masalah ya?” Aku kaget sekali, ketika Adi menghampiriku. Karena ketika itu aku sedang melamun. “Oh maaf, Pak. Saya tidak melihat Bapak” “Tidak apa-apa, Wi. Cuma dari tadi saya perhatikan, sepertinya kamu sedang punya masalah? “ “Tidak Pak. Saya baik-baik saja” “Kamu sakit, Wi?” “Tidak juga Pak” “Oh, ya sudah kalau begitu. Tapi kalau memang kamu kurang sehat, lebih baik kamu ijin pulang saja” “Terima kasih, Pak. Tapi saya tidak apa-apa kok” Jam makan siang, aku pergi ke kantin yang ada di lobi kantor. Aku pergi bersama dengan teman-teman satu ruangan beserta Adi. Setelah selesai makan siang, Adi mulai menanyakan keadaanku lagi. “Wi, kalau memang kamu sedang ada masalah dan kamu ingin bercerita tentang masalah yang kamu hadapi, kamu bisa bicarakan hal itu pada saya, kalau kamu mau” 8

“Tidak Pak. Saya baik-baik saja”. Aku sempat kaget juga, Adi berkata seperti itu. Apa Adi memperhatikan sikapku yang murung hari ini. Aku jadi tidak enak sendiri. “Oh, ya sudah kalau begitu. Tapi tawaranku tadi, masih berlaku Wi” Adi pergi meninggalkan aku bersama dengan teman-temanku. Dalam hati aku berpikir, mengapa Adi bisa menawarkan hal itu padaku. Apa memang selama ini dia selalu memperhatikan aku, yang selalu melamun. Karena terlalu seringnya aku melamun. Adi mengajak aku ke ruang miting. Adi menanyakan lagi, ada apa sebenarnya yang terjadi padaku. Karena menurutnya, kini aku tidak punya semangat sama sekali dalam bekerja. Akhirnya, aku mulai menceritakan masalah yang kini aku hadapi di rumah. Respon yang aku dapat dari Adi sangat baik. Dia banyak memberikan support padaku, agar aku bisa menghadapi cobaan ini dengan hati yang ikhlas. Karena menurut Adi, setiap cobaan yang dihadapi oleh manusia, pasti ada jalan keluarnya. Dan mungkin dengan adanya masalah, membuat kita semakin dewasa dalam menghadapi hidup. Setelah aku banyak bercerita dengan Adi managerku, aku seperti mendapatkan kekuatan baru untuk menghadapi masalah yang aku hadapi. Mungkin aku memang butuh seseorang yang bisa aku ajak bicara, dan memberikan solusi. Dan bukan dengan Aldo, karena anakku itu hanya bisa mendengarkan tanpa ia mengerti dan tidak bisa memberikan solusi yang aku inginkan. Namun, Aldo tetaplah matahariku. Yang selalu memberikan aku energi untuk terus bangkit dari penderitaan ini. ***

E

ntah dari mana, akhirnya Suamiku mengetahui kedekatan aku dengan Adi. Sepertinya Doni sering memeriksa hpku. Doni sering membaca semua sms yang ada di hpku. Ia marah besar,

dan menanyakan ada hubungan apa antara aku dengan Adi. “De, Adi itu siapa? Dan punya hubungan apa kamu dengan dia?” Aku kaget, shock. Mengapa suamiku bertanya tentang Adi, padahal aku tidak pernah menceritakan pada suamiku. Lantas, suamiku menanyakan hal yang sama padaku lagi dengan nada tinggi. “De, Adi itu siapa? Dan punya hubungan apa kamu dengan dia?” Aku mencoba untuk bersikap tenang, dan menjelaskan pada suamiku. Bahwa aku dan Adi tidak punya hubungan apa-apa selain yang berkaitan dengan pekerjaan. “A….Adi itu manager di kantorku Yah. Tapi aku tidak punya hubungan apa-apa dengan dia Yah. Memangnya ada apa Yah?” Terlihat jelas di wajah suamiku, kalau ia tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Namun aku tetap bersikap biasa saja, agar suamiku percaya dengan penjelasanku. “Kalau memang kamu tidak punya hubungan apa-apa dengan dia, mengapa banyak sekali sms dari dia di hp kamu?” Aku kaget sekali suamiku berkata seperti itu, berarti suamiku sering memeriksa hpku. Hingga tanpa kusadari, aku marah pada suamiku karena ia membaca semua sms yang ada di hpku. 9

“Oh, jadi selama ini ayah diam-diam sering memeriksa dan membaca sms di hpku ya?” “Yah. Memangnya kenapa? Kamu tidak suka? Apa salah kalau aku ingin tahu istriku berteman dengan siapa saja?” “Apa selama ini aku pernah memeriksa dan membaca sms di hp ayah? Tidak pernah yah, itu karena aku percaya dengan ayah. Aku percaya kalau suamiku tidak akan pernah menyianyiakan kepercayaanku……”, “Plakkk…..” Belum juga aku selesai bicara sebuah tamparan sudah mendarat di pipiku. Suamiku terlihat sangat marah, karena aku membantahnya. Aku hanya diam, menikmati rasa sakit di pipiku akibat tamparan suamiku. Doni meninggalkan kamar, sementara tangisku tertahan di tenggorokan. Sebelum Doni meninggalkan kamar, ia sempat berkata padaku, “Kalau memang terbukti ternyata kalian punya hubungan khusus, aku tidak akan segansegan untuk menghabisi kalian berdua. Camkan kata-kataku ini!”

******

S

ebulan sudah berlalu sejak pertengkaran malam itu. Masih terngiang jelas kata-kata Doni malam itu padaku. Sebuah ultimatum yang cukup mengerikan. Namun, aku tidak gentar

sedikitpun dengan ultimatum itu. Karena selama ini aku merasa kalau aku dan Adi tidak ada hubungan apa-apa, apalagi disebut hubungan khusus, jadi untuk apa aku harus takut. Atas dasar kebenaran itulah, aku menjadi tegar kembali. Aku tetap bekerja seperti biasa, namun sikap Doni padaku amat sangat berubah dibandingkan sebelum kejadian malam itu. Doni jadi tidak pernah mau bicara banyak padaku, kalaupun ia bicara denganku itu hanya untuk memberikan uang bulanan padaku. Itu saja, tidak lebih. Hari ini salah satu owner di kantorku mengadakan acara pernikahan di salah satu hotel mewah yang ada di Jakarta. Aku mendapat undangan untuk menghadiri pesta pada hari sabtu nanti. Aku bingung bagaimana caranya untuk memberitahukan tentang undangan ini pada suamiku?. Tapi aku sudah tau jawaban apa yang akan di katakan oleh suamiku. Namun biar bagaimana pun Doni tetap suamiku, jadi aku tetap harus meminta ijin padanya. Malam ini Doni pulang lebih cepat di bandingkan biasanya. Dan seperti biasanya, aku melayani semua yang ia butuhkan. Setelah Doni selesai makan malam, aku meminta waktu pada suamiku untuk bicara berdua. “Yah, aku mau bicara sebentar. Bisa tidak yah?” “Bisa. Memangnya kamu mau bicara apa de?” “Kita bicaranya di kamar saja ya?”

10

Doni dan aku masuk ke kamar untuk bicara. Jantungku berdetak sangat keras ketika aku ingin memulai pembicaraan dengan Doni. Aku tarik nafas panjang, dan berdoa dalam hati. Agar aku lancar dalam berbicara dengan suamiku. “Memang kamu mau bicara soal apa sih de? Kayanya penting sekali?” “Tidak terlalu penting sih yah. Langsung saja ya yah. Kita mendapat undangan dari salah satu owner di tempat kerjaku untuk datang ke pesta pernikahannya pada hari sabtu ini. Boleh yah?” “Kan yang diundang kamu, bukan aku de. Jadi untuk apa aku datang?” “Tapi yah…..” Belum juga aku menyelesaikan ucapanku, Doni sudah memotong pembicaraan. “Pokoknya tidak. Kamu tidak boleh datang!” “Tapi aku tidak enak dengan ownerku yah. Karena dia sendiri yang mengundangku secara langsung. Bahkan undangannya pun ada” “Aku tidak perduli. Aku tahu mengapa kamu ingin datang ke pesta itu. Pasti kamu hanya ingin berjalan-jalan dengan Adi managermu itu kan?” “Bukan yah………” Lagi-lagi Doni memotong ucapanku, hingga membuat aku jadi terpojok. Padahal tak pernah terbersit dalam benakku untuk melakukan apa yang Doni tuduhkan padaku. Suamiku marah sekali, hanya karena ia tidak mengijinkan aku untuk datang ke pesta pernikahan ownerku. Aku diam saja mendengarkan ucapan suamiku tersebut. Air mataku mulai memenuhi kelopak mataku, namun aku tahan agar air mataku tidak menetes. Karena aku takut kalau nantinya suamiku akan mengartikan beda. Setelah selesai memojokkan aku, suamiku keluar dari kamar. Sementara aku, aku hanya diam menahan tangis.

****

H

ari Sabtu ini adalah hari dimana ownerku mengadakan pesta pernikahannya. Temantemanku sudah menghubungiku via sms, dan mereka menanyakan apakah aku datang pada

pesta malam nanti. Aku balas sms dari teman-temanku, yang isinya insya Allah. Adi, managerku telpon. Adi menawarkan diri untuk berangkat bareng ke pesta tersebut malam nanti. “Halo……..” “Iya Di?” “Kamu datang ke pesta nanti malam Wi?” “Belum tau Di, karena suamiku tidak bisa menemaniku. Memangnya kenapa?” “Tidak. Tapi kalau kamu mau datang, kamu bisa bareng aku Wi? Itu pun kalau kamu tidak keberatan?”

11

Aku diam sejenak. Dan seandainya aku tidak datang ke pesta malam ini, aku tidak enak dengan ownerku. “Bagaimana Wi? Apa kamu mau bareng pergi dengan aku?” Akhirnya, aku mengiyakan ajakan Adi. “Ya sudah. Aku bareng denganmu Di” “Ok. Kalau begitu aku jemput kamu di rumah ya? Boleh?” “Boleh” “Aku jemput kamu jam setengah delapan.” “Iya” “Ok. by” Jam sudah menunjuk ke angka tujuh. Adi janji akan menjemputku jam setengah delapan nanti. Aku sudah siap, hanya tinggal menunggu jemputan dari Adi. Dan kebetulan juga suamiku sedang tidak ada di rumah. Ia ada tugas kantor yang mengharuskan ia lembur hari ini. Maka dari itu aku bisa pergi ke pesta tersebut. Tak berapa lama aku mendengar suara mobil parkir di depan rumahku. Aku yakin itu pasti Adi, managerku. Bergegas aku keluar rumah untuk melihat siapa yang datang. Dan ternyata benar, Aku segera menghampirinya, “Malam, Di” “Malam Wi. Kamu sudah siap?” “Iya, aku sudah siap” “Ok. Jadi kita berangkat sekarang saja ya?” “Sebentar, aku ambil tasku dulu” “Ok” Ketika aku masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas, aku bertemu dengan mertuaku. Dan ia menanyakan aku akan pergi kemana dan dengan siapa. “Kamu mau pergi kemana Wi? Dan siapa laki-laki yang menjemputmu itu?” “Aku mau pergi ke pesta pernikahan bosku, bu. Dan laki-laki itu teman kerjaku.” “Apa suamimu tahu kalau kamu akan pergi dengan laki-laki itu Wi?” Aku tidak menjawab. Aku langsung mengambil tas, dan pamit pada mertuaku. “Wi berangkat dulu ya bu. Asalamu’alaikum…..” “Wa’alaikum salam….” ***

D

alam perjalanan ke tempat pesta, terbayang wajah mertuaku yang tidak suka aku pergi dengan orang lain. Dan aku yakin ia akan mengadu pada suamiku kalau aku pergi dengan

laki-laki lain. Dan aku sudah tahu reaksi suamiku nanti setelah aku datang. Aku tarik nafas panjang, aku akan terima apa yang nantinya akan terjadi. Dan aku pasrahkan semuanya pada 12

Allah, karena aku tahu kalau yang aku lakukan ini salah. Karena aku pergi tanpa ijin dari suamiku. Dan hanya Allah yang bisa membantuku dalam menghadapi semua masalah dalam hidupku. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit, Adi mengajakku untuk pulang. Karena hari sudah malam. “Wi, kita pulang yuk! Sudah malam” “Iya” Aku dan Adi pamit pada pengantin untuk pulang. Karena aku tidak enak kalau pulang terlalu malam. Dan kami pun pulang. Adi mengantarku sampai di depan rumah. Aku lihat lampu rumah mertuaku masih menyala, dan aku lihat motor suamiku pun sudah ada di garasi rumah. “Terima kasih ya, Di. Kamu sudah mengantarku” “Sama-sama, Wi” “Ohya, kamu tidak mampir dulu, Di?” “Terima kasih, Wi. Sudah malam, salam saja buat keluarga kamu” “Ok” “Asalamu’alaikum….” “Wa’alaikumsalam….” *** Ketika aku langkahkan kaki ke rumah mertuaku, tiba-tiba jantungku berdegup, lama kelamaan degup jantungku menjadi kencang. Aku sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Dalam keadaan begini, tak henti-henti aku ucapkan istigfar dalam hati, agar aku lebih tenang menghadapi akibat dari perbuatan yang aku lakukan. Dengan perlahan aku mengetuk pintu. “Asalamu’alaikum…….” “Wa’alaikum salam……..” Dan ternyata Suamiku yang menjawab salamku. Kemudian aku hampiri Doni yang sudah memasang muka marah. Namun aku tidak perdulikan wajah marah Doni, aku menyalami suamiku seperti biasanya. Namun, ketika aku akan menyalami dirinya, Doni menampik tanganku. Aku kaget, dan menyebut asma Allah. “Astagfirullah…….” Doni tetap diam, lantas pergi meninggalkan aku. Aku tahu benar kalau Doni marah padaku, namun aku tidak mau menanggapinya. Aku tidak mau bertengkar lagi. Aku masuk ke dalam kamar untuk ganti pakaian. Doni menghampiriku ketika aku selesai sembahyang. “De, aku mau bicara??” “Boleh, yah…” Doni dan aku keluar dari kamar, menuju meja makan. Lantas, rentetan pertanyaan dilancarkan Doni padaku. Namun masih dengan nada biasa, walaupun aku tahu Doni sangat marah padaku. 13

“Kamu habis dari mana, De? Jam segini baru pulang?” “Bukankah Ayah tahu, aku habis menghadiri pesta pernikahan bosku?” “Sampai malam begini?” nada suaranya sudah nampak tinggi. Aku diam saja. “Terus, lelaki itu siapa?” “Adi, menegerku, Yah!” Dan tiba-tiba, blaarr….Doni memukul meja. Aku terkejut. Karena suara pukulan meja itu sangat keras sehingga mengundang mertuaku. “Ada apa sih, malam-malam ribut?” Terdengar tanya mertuaku. “Malam-malam tidak baik bertengkar. Kalau ada masalah besok saja kalian selesaikan,” lanjut mertuaku dari dalam kamarnya. Kami berdua tidak ada yang bersuara. Kami masing-masing saling diam. Sebenarnya aku sudah menduga hal ini akan terjadi, makanya aku tidak kaget. “Ternyata diam-diam kamu selingkuh dengan menegermu ya!” Bagai disambar petir di pagi buta mendengar tuduhan suamiku itu. Hatiku bagai disayatsayat, bukan main sakit hatiku. Karena tuduhan itu sangat keterlaluan. Itu fitnah. “Kok Ayah bisa-bisanya menuduh istrinya sekeji itu? Memangnya kau anggap aku ini perempuan murahan? Perempuan lonte?” “Coba kamu pikir sendiri! Apa namanya, kalau seorang perempuan yang mempunyai suami pada malam hari pergi dengan laki-laki lain?” “Bukankah tadi siang aku sudah memberitahukan kalau nanti malam aku ada undangan pesta pernikahan ownerku? Dan aku sendiri mengajakmu? Tetapi Ayah sendiri tidak mau kan?” aku mencoba mengingatkan. Tetapi suamiku tetap tidak mau tahu. Percuma saja aku mengingatkan suamiku, karena ia tetap tidak mau mengerti. Memang, suamiku orang yang keras kepala. Dan malam itu, aku hanya mampu mengadukan nasibku kepada Allah. Karena bagiku hanya kepada Allah sajalah satu-satunya tempat aku mengadu. Sejak peristiwa itu pula aku sangat sering melakukan sholat-sholat malam, tentunya sholat lima waktu tak pernah aku tinggalkan. Karena percuma kita melakukan sholat malam tetapi tidak melaksanakan sholat yang lima waktu.

***

S

eiring dengan perjalanan waktu, pada saat usia perkawinanku dengan Doni menginjak lima tahun pertengkaran kami semakin berkurang. Sikap mertuaku yang selama ini sangat nyinyir

mengalami perubahan. Begitu juga suamiku. Aku berpikir, bisa jadi perubahan ini merupakan akibat dari bertambahnya usia. Atau bisa jadi karena aku telah mendapatkan margin sehingga penghasilanku bertambah. Ataukah apakah perubahan tersebut karena Allah telah mendengar doadoaku? Semuanya tidak ada yang tahu. Sebagaimana nasib perkawinanku dengan Doni yang telah sekian tahun kami perjuangkan pun kami tidak tahu, apakah akan langgeng sampai kematian 14

memisahkan kami? Karena semua itu hanya Allah saja yang tahu. Karena semua ini, menurut pemikiranku, perjalanan hidup rumah tanggaku adalah merupakan rahasia Ilahi. Tetapi, dengan perubahan sikap dan perilaku suamiku dan ibu mertuaku adalah merupakan kebahagiaan yang luar biasa bagiku. Aku berharap kepada Allah semoga perkawinan kami ini akan tetap utuh sebagaimana yang pernah kami cita-citakan dulu sebelum kami menikah. Semoga!

Jakarta, September-Oktober 2007

Jalan Damai IV/21, RT. 012/RW. 02, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12150 Telp. (021) 99105508, 085692039394, 085693888758

Evelyne Nove Novelia Navratilova Telp. 021-99105508, 085693888758

15

Related Documents