Jika Anakmu Terjatuh Seorang kawan takjub dengan cara orang asing ini menangani anak kecilnya yang terjatuh dari sebuah mainan di tempat rekreasi. Sementara orang-orang berteriak ngeri, bapak si anak ini tenang sekali. Dengan cara apa orang asing ini menolong? Dengan cara tidak menolongnya sama sekali. ��Biarkan dia bangkit sendiri. Itulah cara seorang anak agar mandiri,�� kata orang asing ini. Cara itu segera mendorong si teman membuat koreksi besar-besaran atas nilai masyarakatnya sendiri. Rasa inferior mengembang jelas di matanya. Rasa kalah ��metodologi pendidikan�� segara tergambar dalam pernyatannya. ��Kita selama ini keliru,�� katanya. ��Jangankan jatuh, makan saja disuapi. Sebelum jatuh pun anak-anak itu kita tuntun. Pantesan, generasi bangsa akita lemah begini!�� keluh si teman. Di dalam beberapa hal saya menyetujui pernyataannya. Ketidaktegaan yang keterlaluan sering berubah menjadi pemanjaan yang keterlaluan. Hasilnya memang berbahaya. Generasi semacam itu memang punya potensi besar menjadi benalu. Di dalam soal lain, saya juga menyetujui sikap orang asing itu. Melihat seorang yang masuk ke pelosok hutan di Amazon, menjelajah kutub utara seorang diri, adalah keberanian yang tak habis saya mengerti. Melihat Colombus berlayar hanya dengan meyakini bahwa bumi itu bulat, membuat saya bertepuk tangan atas nyali semacam ini. Jadi tak ada yang tidak saya setujui pada sikap keduanya. Pada ukurannya, ia memilik kebenarannya sendiri-sendiri. Jika saya terpaksa ada yang tidak saya setujui paling menyangkut soal yang lebih sederhana. Misalnya bahwa membiarkan anak terjatuh, selalu dihubungkan dengan pendidikan kemandirian, bahwa membantu anak berdiri saat terjatuh, selalu berarti pemanjaan. Bagi saya, itu tak lebih dari romantisme biasa saja. Tak harus selalu ditafsirkan terlalu jauh. Apalagi di berbagai kesempatan saya amat suka menggendong anak meskipun ia sudah duduk di kelas 3 SD dan mulai malu digendong bapaknya. Jika ia berontak sayalah yang memaksanya. Setiap makan bersama, saya menawarinya untuk menyuapinya senantiasa. Ketika saya selalu ingin melakukan itu semua, eh, malah anak ini yang lama-lama terganggu pada ulah bapaknya. Anak itu sudah merasa terlalu besar, terlalu direndahkan untuk digendong dan disuapi. Tetapi sayalah yang selalu merengek memintanya. Apakah berarti saya sedang memanjakannya? Tidak. Saya cuma sedang menyanyanginya. Sayalah yang manja kepadanya. Karena menggendong, menyuapi, menuntun, menimang dan menciumi itu hanya mungkin saya lalukan ketika ia masih sekecil itu dan ketika fisiknya belum melampaui fisik saya. Apalagi aya tahu, tinggi tubuh saya tak seberapa. Hanya butuh anak ini naik kelas saja, ia sudah akan menyalip tinggi saya. Jadi aduh� singkat sekali periode menggendong dan menyuapi itu. Singkat sekali waktu untuk bisa membantu anak bangun saat jatuh dari tempat mainannya. Karena setelah itu anak-anak akan punya dunianya sendiri. Akan memiliki kebanggaanya sendiri. Dolan pun sudah lebih memilih bersama teman-temannya katimbang orang tuanya. Jadi, kalau bisa, saya malah akan menggendong dan menyuapi anak-anak saya 24 jam perhari. Jika bisa, saya ingin bersama mereka selama sehari penuh setiap kali, sebelum anak itu berpindah ke dunianya sendiri. Kenapa waktu yang singkat dan tak mungkin terulang itu harus saya sia-siakan! Anehnya, begitu seluruh kemanjaan ini hendak saya berikan kepada anak-anak, mereka sendiri yang secara alamiah menolaknya. Mereka ingin merasa berarti, ingin mengerjakannya sendiri, jika terjatuh ingin bangun sendiri, mereka bangga sekali jika sangup mengerjakan tugas-tugasnya sendiri. Lho, ada apa ini, dimanja kok malah mandiri! Dalam beberapa hal saya malah takut jika anak-anak saya nanti terlalu mandiri. Saya takut jika meskipun mereka sudah kaya raya, tetapi tetap masih nyetir
senidir, mencuci mobil sendiri, membengkeli mesinnya sendiri padahal penganguran di sekitarnya banyak sekali. ��Demi kemandirian!�� kata mereka. Saya punya teman, seorang sukses yang baik hati padahal ia adalah anak bungsu yang sejak kecil serba dilayani dan dilayani. Ia memang lemah untuk beberapa hal, misalnya hanya bisa menyetir tetapi di mana letak dongkrak saja ia tak mengerti. Lalu apa jadinya jika suatu saat mobilnya ngadat? Oo jangan khawatir. Orang ini selalu diringi faktor kebetulan yang mengherankan. Jika bannya gembos, eh, lokasinya tak jauh dari tambal ban. Jika mesinnya ngadat di kejauhan, tiba-tiba ada teman yang berpapasan karena satu tujuan. Jika�. Pokoknya terlalu banyak jika yang mengherankan yang Anda pun sesekali pernah mengalami. Maka saya punya kesimpulan sederhana: jika kasih sayang benar-benar menjadi dasar seluruh perlu, tak perlu ada yang dikhawatirkan, meskipun sepintas lalu kelakuan kita keliru. Alam yang akan menyeimbangkan!