Jawa Kronika

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jawa Kronika as PDF for free.

More details

  • Words: 1,116
  • Pages: 3
ritual karo saat istimewa bagi tengger indosiar.com, probolinggo - jawa timur gunung bromo di probolinggo, jawa timur amat terkenal dengan panorama alamnya yang indah. di lereng gunung berapi ini jugalah hidup masyarakat adat tengger yang mewarisi budaya hindu kerajaan majapahit. wilayahnya pun dipercaya sebagai hila-hila, yang berarti tanah yang suci. dalam setahun, masyarakat tengger merayakan 6 ritual adat. salah satunya upacara karo, hari raya terbesar masyarakat tengger. upacara untuk memberikan pemujaan terhadap sang hyang widi wasa dan menghormati roh leluhur. juga memohon keselamatan bagi warga. kedua pria ini adalah ratu dari desa jetak dan ratu desa ngadisari, yang terletak di lereng timur gunung bromo, di kecamatan sukapura, kabupaten probolinggo, jawa timur. bagi masyarakat tengger, ratu adalah pemimpin, dan tidak berkonotasi perempuan. pertemuan kedua ratu ini menjadi tanda dimulainya upacara sodoran, salah satu bagian dari rangkaian karo. perjumpaan tersebut melambangkan bersatunya roh leluhur, cikal bakal manusia, yakni laki-laki dan perempuan. sambil bergandengan tangan, kedua ratu memasuki balai desa jetak, tempat berlangsungnya upacara. dalam ritual ini hanya kaum pria yang boleh ikut serta. sebuah tradisi yang bahkan kebanyakan dari mereka pun tidak tahu apa sebabnya, dan tak pernah merisaukannya.sebelum sodoran dimulai, mantera harus diucap dulu oleh sang dukun adat, agar tempat upacara dan sesajian yang dipersembahkan kepada roh leluhur, suci adanya. kini tibalah saatnya acara inti. penyucian jimat klontongan yang nanti diikuti tarian sodor.jimat klontongan yang merupakan sekumpulan benda keramat, diasapi kemenyan bakar yang telah dimanterakan sebelumnya, lalu diperciki air suci. setelah penyucian ini usai, saatnyalah melakukan tarian sodor. biasanya penari dari desa penyelenggara karo mengawali atraksi, kemudian diikuti penari dari desa penyelenggara karo tahun berikutnya.memberikan tanduk kerbau adalah cara mengundang penari. jumlah penari terus bertambah hingga berjumlah 4 orang, saling berpasangan. hal tersebut melambangkan bertambahnya manusia dari generasi ke generasi. bila disimak, tarian ini sungguh sarat perlambang. misalnya saja jari telunjuk yang diarahkan ke atas. menggambarkan hanya satu sang hyang widi wasa.tapi berbeda dengan para ratu. bukan satu jari yang mereka arahkan ke atas, melainkan seluruh jari tangan. konon itu melambangkan lima arah mata angin. tapi yang paling unik dari tari sodoran adalah saat anak-anak ikut menari, karena mengisyaratkan proses regenerasi tradisi. sementara itu di luar, di bawah guyuran hujan, para ibu dan anak-anak perempuan membawa makanan buat suami dan anak laki-laki mereka yang tengah melakukan sodoran. hal ini merupakan bentuk keikutsertaan kaum perempuan dalam ritual tersebut. sodoran sendiri berakhir ketika kaum perempuan mulai berdatangan ke tempat upacara. tapi rangkaian karo masih panjang. sorenya, warga tengger akan melangsungkan upacara tumpeng besar. suburnya lahan di kawasan gunung berapi bromo mungkin adalah salah satu sebab mengapa kebanyakan warga tengger adalah petani. seperti tasmat dan istrinya. selain bertani sayur-mayur, untuk mendapat penghasilan tambahan, setiap pagi tasmat sudah berada di kawasan kawah bromo, untuk menyewakan kuda piaraannya

kepada para turis. walaupun penghasilannya pas-pasan saja untuk menghidupi keluarga, tapi toh tasmat antusias menghadapi rangkaian upacara karo, yang merupakan hari raya terbesar orang tengger. padahal butuh biaya tidak sedikit untuk melaksanakannya. paling tidak sekitar enam ratus ribu rupiah. ritual karo memang punya banyak tahapan yang cukup memakan biaya. setelah sodoran yang bertujuan menyucikan jimat klontongan atau benda-benda keramat milik warga tengger usai, pada hari itu juga langsung disambung dengan upacara tumpeng gede. tumpeng-tumpeng ini dikumpulkan dari warga, lalu dimantrakan oleh dukun adat desa setempat. tumpeng yang sudah dimantrai, dibagi-bagikan kepada warga untuk digunakan dalam ritual selanjutnya, sesandingan. ritual sesandingan inilah yang diyakini masyarakat tengger sebagai puncak karo. dalam sesandingan, warga tengger melakukan ritual di rumah masing-masing, didampingi sang dukun adat yang akan mendatangi setiap rumah. inilah saat istimewa bagi keluarga tengger untuk memberikan makanan atau dedaharan kepada roh leluhur keluarga, dan mohon keselamatan serta rezeki bagi keluarga. ketika suyitno, dukun adat desa jetak datang, ritual sesandingan pun langsung dimulai. membuat suci persembahan bagi leluhur. kini, seluruhnya telah disucikan. seluruh anggota keluarga berdoa kepada leluhurnya, dan mengundang roh leluhur untuk menyantap sesajian yang telah disiapkan. sebagian dari sesaji tersebut diletakkan untuk selamatan kebun, atau dikenal sebagai upacara leliwet. dalam ritual karo ini, ada sesandingan yang mengharuskan dukun adat mengelilingi rumah warga satu per satu, untuk memanterakan sesajian. hal tersebut dilakukan tanpa istirahat, sampai seluruh rumah warga desa didatangi. untuk warga jetak yang terdiri dari 150-an kepala keluarga, suyitno butuh waktu 15 jam untuk mendatangi tiap rumah. padahal tugasnya tidak berhenti pada ritual sesandingan, tapi berlanjut hingga akhir acara karo. betapa melelahkan. bahkan saat dilantik tahun 1984, suyitno sempat tidak menyukai tugas sebagai dukun adat. apalagi upayanya menghafal mantera, sebagai syarat utama menjadi dukun tak kunjung berhasil. seorang dukun adat di tengger setidaknya harus hafal sekitar 90 bab mantra, yang berbahasa jawa kuno. dalam kehidupan orang tengger, sosok dukun adat memainkan peran sentral dan amat dihormati. sebab, kegiatan ritual bisa dibilang menjadi keseharian mereka. dan hanya dukun adatlah yang punya kemampuan spiritual memanterakan bahan sesajian, untuk dipersembahkan bagi roh leluhur. sehingga, kehadiran sang dukun adat, mutlak adanya. setelah upacara puncak sesandingan, ritual karo biasanya disusul dengan acara serah terima jimat kelontongan, dari desa jetak ke desa ngadisari, penyelenggara karo tahun berikutnya. pada hari ke empat dan kelima acara karo, seluruh masyarakat melakukan silaturahmi, untuk saling bermaaf-maafan. berziarah ke makam leluhur atau nyadran, adalah bagian dari ritual karo yang dilakukan sehari sebelum ritual penutup, yakni hari ke-6. makam pertama yang didatangi adalah makam kramat sang eyang guru. masyarakat tengger percaya, doa dan harapan mereka akan dikabulkan, bila rajin memberikan sesajian kepada sang guru.yang menarik dalam ritual tersebut adalah, saat dukun adat melemparkan uang logam dan ayam yang telah dimanterakan sebelumnya, untuk diperebutkan anak-anak dan remaja.

semakin banyak mendapat uang logam, diyakini berkah juga melimpah. uang logam dan ayam tersebut merupakan hasil pemberian warga, yang melambangkan niat dan janji kepada sang eyang guru. dari makam sang guru, nyadran kemudian dilanjutkan ke makam keluarga. ini bukanlah aksi gaya-gayaan warga tengger. ini adalah atraksi tarian ujungujungan, yang mengawali rangkaian penutupan upacara karo pada hari ketujuh. disebut ujung-ujungan karena para penari yang bertelanjang dada, secara bergantian memukul lawannya, menggunakan ujung rotan. tarian ini mengungkapkan rasa syukur atas upacara karo yang telah berjalan lancar dan sebentar lagi usai. karena itu, tarian ini tidak mengenal istilah menang atau kalah.menjelang magrib. warga mulai berdatangan ke rumah dukun adat, membawa kemenyan untuk dimanterakan sang dukun. pada malam penutup ini, di masing-masing rumah keluarga tengger akan diadakan pemulangan roh leluhur ke peristirahatannya. seperti di rumah kepala desa jetak. seluruh anggota keluarga berkumpul di sekeliling tempat sesajian untuk para leluhur, sementara pemimpin keluarga membakar kemenyan yang telah dimanterakan. sambil bersujud, mereka berdoa dalam hati, memohon keselamatan bagi keluarga, serta memohon agar para leluhur, yang telah hadir selama upacara karo, kembali ke jagadnya masing-masing. dengan ritual pemulangan roh leluhur atau biasa dikenal dengan istilah mulehi ping pitu tersebut, maka rangkaian upacara karo berakhir sudah. para leluhur kembali ke jagadnya masing-masing, warga pun kembali merajut hidup kesehariannya. (sup)

Related Documents

Jawa Kronika
November 2019 24
Kronika Nafarroa
April 2020 12
Kronika Lemoa
June 2020 8
Kronika-2005-01
May 2020 10
Mee Jawa
October 2019 24
Jawa Timur
June 2020 24