JAKARTA, KOMPAS — Dari hasil survei terbaru, jumlah kasus baru tuberkulosis atau TB di Indonesia diperkirakan mencapai 1 juta kasus per tahun atau naik dua kali lipat dari estimasi sebelumnya. Posisi Indonesia pun melonjak ke negara dengan kasus TB terbanyak kedua setelah India. Ini menjadi alarm di tengah peringatan Hari TB Sedunia pada hari ini.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARAPenguji melakukan uji disolusi obat program antiretroviral tuberkulosis dan malaria (ATM) di laboratorium Biofarmasi, Bidang Produk Terapetik dan Bahan Berbahaya, Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Badan Pengawas Obat dan Makanan, di Jakarta, Senin (12/1/2015). Laboratorium ini sedang dipersiapkan sebagai laboratorium prekualifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk obat program ATM, yang bisa melayani pengujian bagi Indonesia dan sejumlah negara lain. Dalam laporan Tuberkulosis Global 2014 yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan, insidensi di Indonesia pada angka 460.000 kasus baru per tahun. Namun, di laporan serupa tahun 2015, angka tersebut sudah direvisi berdasarkan survei sejak 2013, yakni naik menjadi 1 juta kasus baru per tahun. Persentase jumlah kasus di Indonesia pun menjadi 10 persen terhadap seluruh kasus di dunia sehingga menjadi negara dengan kasus terbanyak kedua bersama dengan Tiongkok. India menempati urutan pertama dengan persentase kasus 23 persen terhadap yang ada di seluruh dunia. Ini menjadi salah satu faktor Indonesia mendapatkan beban ganda. "Jumlah penyakit tidak menular di Indonesia naik, tetapi penyakit menular juga tetap masalah yang besar, termasuk TB. Seperti fenomena gunung es, belum seluruh kasus terungkap," tutur Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Mohammad Ali Toha saat Peringatan Hari TB Sedunia di RSUP Persahabatan, Jakarta, Kamis (24/3/2016).
TB disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang ditemukan Robert Koch. Tanggal 24 Maret diperingati sebagai Hari TB Sedunia untuk mengenang penemuan yang diumumkan pada 24 Maret 1882 tersebut. Sebanyak 90 persen TB menyerang paru dengan tanda-tanda batuk lebih dari tiga minggu, demam, berat badan menurun, keringat malam, mudah lelah, nafsu makan hilang, nyeri dada, dan batuk darah.
Ali mengatakan, salah satu faktor jumlah kasus TB di Indonesia masih tinggi adalah karena banyak penderita tidak melanjutkan pengobatan sampai benar-benar dinyatakan sembuh oleh dokter. Apalagi, setelah dua bulan menjalani pengobatan, kondisi pasien biasanya sudah seperti sediakala, tidak lagi merasakan gejala TB, sehingga merasa percaya diri untuk meninggalkan pengobatan. Padahal, dengan meninggalkan pengobatan, TB akan kambuh, bahkan bakteri M tuberculosis dapat kebal pada pengobatan biasa. Selain itu, kuman bisa menyebar ke orang-orang di sekitar sehingga berpotensi menambah jumlah penderita. Faktor edukasi Secara terpisah, mantan orang dengan TB, Ully Ulwiyah, menuturkan, faktor-faktor selain jaminan akses terhadap obat juga sangat memengaruhi keberhasilan program pengobatan TB. Salah satu hal penting adalah edukasi terhadap masyarakat mengenai pencegahan TB dan jika sudah terkena TB, pasien sangat mungkin sembuh asalkan disiplin mengonsumsi obat. "Gaungnya jangan hanya saat momentum Hari TB Sedunia karena setiap hari ada yang meninggal akibat TB," ujarnya.
VINA OKTAVIA
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN Ully mencontohkan, karena minim informasi, banyak pasien TB tahap awal yang tidak mengetahui pentingnya masker guna pencegahan penularan penyakit selama belum dinyatakan sembuh, baik untuk dikenakan oleh pasien maupun orang-orang yang berinteraksi dengan pasien.
Kebanyakan lebih teredukasi saat kuman sudah telanjur resisten dan pengobatan lebih rumit. Informasi yang minim juga membuat pasien berisiko menghentikan pengobatan setelah merasa kondisi tubuh sudah normal. Faktor nonmedis lain adalah dukungan dari keluarga dan masyarakat sekitar terhadap pasien TB. Pengobatan dalam jangka berbulan-bulan, bahkan dua tahun jika kuman sudah resisten, kerap membuat pasien bosan hingga depresi. Masalah bertambah karena dari pengalaman rekan-rekan Ully sesama mantan orang dengan TB, ada yang ditinggalkan keluarganya atau bercerai dengan pasangannya. Karena itu, edukasi tentang TB juga penting untuk menekan diskriminasi pasien.