Istana Djoeng Eng Menjadi Istitut Roncalli.docx

  • Uploaded by: Mila Artika
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Istana Djoeng Eng Menjadi Istitut Roncalli.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,069
  • Pages: 5
ISTANA DJOENG ENG MENJADI ISTITUT RONCALLI Istana Djoeng Eng atau sekarang yang lebih dikenal dengan Institut Roncalli merupakan salah satu bangunan cagar budaya peninggalan era kolonial yang terletak di Jalan Diponegoro (dulunya Toentangscheweg). Bangunan ini dulunya merupakan milik pengusaha sukses asal Taiwan yang bernama Kwik Djoeng Eng. Dibangun diatas lahan seluas 12 ha dengan pengerjaan selama empat tahun membuat istana milik Djoeng Eng tersebut menjadi bangunan paling mewah di Salatiga pada masanya . Kompleks istana itu sendiri terdiri dari bangunan gedung, kebun hias, kebun binatang, lapangan tenis, dan kebun kopi. Konon pembuatan bangunan tersebut memakan biaya mencapai 3 juta gulden. Peresmiannya pun pada tahun 1925 dilakukan dengan menggelar pesta yang mewah dan meriah. Salah satu ciri unik dari istana Djoeng Eng ini adalah adanya empat menara dengan ornamen khas Tionghoa yang mempercantik bangunan. Empat menara tersebut merupakan perlambang dari empat anaknya, sementara kubah utamanya sendiri melambangkan keberadaan Kwik Djoen Eng. 1. SEJARAH ISTANA DJOENG ENG Bagi warga Kota Salatiga mau pun masyarakat Jawa Tengah, kompleks Rumah Khalwat Roncalli tak lebih dari sekedar tempat religius bagi para umat Katholik, bruder, frater, suster dan imam. Padahal, gedung ini menyimpan sejarah panjang tentang cita rasa tinggi seorang konglomerat Tionghoa bernama Kwik Djoen Eng . Djoen Eng di tahun 1877 dikenal sebagai pengusaha muda tangguh di Kota Semarang, dengan bendera perusahaan bernama N.V. Kwik Hoo Tong Handel Maatschappij ( KHTHM) ia malang melintang di bidang ekspor impor hasil bumi. Hingga 43 tahun kemudian, yakni tahun 1920 ia telah menjelma menjadi konglomerat di era kolonial Belanda. Dirinya menguasai perdagangan luar negeri antara lain Cina, Eropa dan Amerika. Konon Djoen Eng berasal dari Taiwan, di mana pertengahan abad 19, ia bersama empat saudaranya terdiri atas Kwik Hong Biauw, Kwik Ing Djie , Kwik Ing Sien dan Kwik Ing Hi merantau ke tanah Jawa. Kendati sama- sama mengais rejeki di Pulau Jawa, namun, hidup mereka berpencar di berbagai kota seperti Semarang, Solo, Salatiga, Yogyakarta serta Surabaya.

Kwik bersaudara yang sebelumnya kompak bahu membahu berbisnis hasil bumi, akhirnya sepakat mendirikan N.V. KHTHM yang bergerak di bidang ekspor impor. Nyaris seluruh bumi Nusantara dirambahnya, kendati begitu, mereka fokus pada perdagangan gula. Sebagai Raja kecil di Salatiga, praktis tidak ada barang yang tak mampu dibeli oleh Djoen Eng. Birokrasi pemerintahan kolonial Belanda yang serba keras dan memiliki tingkat disiplin tinggi, berhasil diterobosnya. Djoen Eng memilih membangun istananya di Salatiga karena banyak dugaan yang beredar, selain faktor prestise mampu tinggal di kawasan bergengsi yang didominasi orang Eropa, kondisi Kota Salatiga sendiri saat itu benar- benar jadi idaman semua orang berduit. Letaknya yang di ketinggian 850 mdlp, ditambah jumlah kendaraan bermotor bisa dihitung dengan jari, tak pelak udaranya benar- benar sejuk hingga membuat betah penghuninya.

Seperti yang sudah di jelaskan di sebelumnya bahwa istana Djoeng Eng Meilik Kubah 4 dan berlapis emas. Djoen Eng yang mempunyai empat anak, berkeinginan membangun sebuah istana di lahan yang dibelinya. Untuk itu, tahun 1921 ia memulai proses pembangunannya. Memanfaatkan arsitektur Tionghoa, istana yang didirikan menggunakan bahan meterial kelas satu. Hampir empat tahun para kuli dan tukangnya bekerja guna menuntaskan gedung megah dua lantai yang oleh warga setempat disebut sebagai Istana Cuneng tersebut. Di area seluas 12 hektar , Djoen Eng memadukan istana yang dikelilingi kebun hias, kolam ikan, kebun kopi dan juga kebun binatang. Untuk gedungnya sendiri, benar- benar sangat mewah, terdapat satu menara dikelilingi empat menara (kubah) lebih kecil yang melambangkan Djoen Eng bersama empat anaknya. Hebatnya, kubah- kubah itu berlapis emas murni. Menurut sejarah untuk mendirikan istana itu, Djoen Eng menghabiskan uang hampir 3 juta gulden. Kendati menyandang status sebagai orang terkaya di Salatiga, namun, Djoen Eng ternyata tak bisa berlama – lama menikmati istananya. Berkisar tujuh tahun kemudian, sekitar tahun 1932 ketika terjadi krisis ekonomi, perusahaannya mengalami kebangkrutan. Celakanya, ia memiliki hutang di Javasche Bank dalam jumlah yang tidak sedikit. Akibatnya, istana yang dibangun berikut lahannya disita oleh bank jaman kolonial. Paska penyitaan aset, Djoen Eng menghilang. Ada yang menyebut dirinya meninggal di Singapura tetapi banyak pula yang menuturkan dia kembali ke tanah leluhurnya. Berada dibawah pengawasan Javasche Bank, istana Djoen Eng

sempat terlantar tanpa penghuni. Baru di tahun 1940, Fratres Immaculatae Conceptionis (FIC) Indonesia membelinya. Saat pembelian, belum ada gambaran akan dimanfaatkan untuk apa kompleks seluas 12 hektar itu. Menjelang FIC masih terbingung- bingung memikirkan penggunaannya, mendadak Gubernemen Hindia Belanda mengambil alihnya. Istana megah tersebut dijadikan kamp tahanan. Dua tahun kemudian, tentara Jepang yang merangsek ke Salatiga, ganti menyerobotnya.

2. INSTITUT RONCALI 12 Mei Tahun 1968 ketika Institut Roncalli didirikan, pimpinan FIC menganggap eksterior istana Djoen Eng dianggap kurang sesuai ditempati para bruder yang cara hidupnya bersahaja karena istana Djoeng Eng terlalu mewah dan megah. Untuk itu, setahun kemudian dilakukan renovasi besar- besaran pada istana. Gedung utama yang mempunyai kubah emas, dipangkas habis agar kesan mewahnya lenyap. Lantai dua diubah jadi 40 kamar sehingga azas manfaatnya semakin terasa. Tahun 2008, nama Institut Roncalli berganti nama menjadi Rumah Khalwat Roncalli sampai sekarang. Meskipun demikian, oleh pemiliknya yang sekarang beberapa bagian tertentu masih tetap dibiarkan seperti aslinya. Ruang makan, ruang rekreasi, interior gedung, tempat ibadah, pohon pohon di taman, serta gardu bercorak Tionghoa dengan warna merah yang menyala masih sama seperti wujud aslinya.

Gambar Ruang Makan

Gambar Tempat Ibadah

Gambar Gardu Khas Tionghoa

Tampak Samping Gedung

Saat memasuki halaman, ada kesan adem karena sinar matahari tertahan oleh banyaknya pohon pinus dan berbagai pohon lainnya. Nyaris seluruh arel terlihat bersih, udaranya terasa sangat sejuk.Keheningan seperti galibnya tempat yang religius amat kentara sekali, seakan daun kering yang jatuh pun bakal terdengar. Berada di lahan nan luas ini, mirip tinggal di hutan tengah kota karena pohon pinusnya tinggi dan letaknya memang di jalur utama Semarang-Solo, dan juga tidak boleh sembarang orang masuk ketempat ini, hanya yang diijinkan saja, biasanya orang dating hanya untuk berfoto, prewedding, atau hanya sekedar main, karena walaupun dipinggir jalan besar jika sudah masuk gerbang Roncalli maka seperti di pegunungan udara sejuk penuh kehijauan seperti di hutan tapi sangat sangat indah.

Gambar Teras Roncalli

Gambar Luar Gedung

Gambar Taman Roncalli

Sepintas terlihat, beberapa ornamen Tionghoa peninggalan Djoen Eng masih dipertahankan dengan baik. Lantai ubin yang beragam motif dipadu marmer, lukisan kaca, gardu taman yang merah menyala tetap terpelihara. Sementara di bagian belakang SMP Pangudi luhur, digunakan sebagai Biara Betlehem serta Bruderan FIC. Sedang kebun yang luas terlihat dipenuhi aneka tanaman. Istana yang dulunya disebut paling megah ini, ternyata tak abadi dihuni pemiliknya. Itulah hidup, tidak ada yang permanen, ada saatnya kita harus meninggalkan apapun yang kita miliki sesulit apapun kita mendapatkan nya .

Related Documents

Eng
May 2020 59
Eng
May 2020 56
Eng
April 2020 50

More Documents from ""