Isi - Bona 2.docx

  • Uploaded by: Bona
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Isi - Bona 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 16,921
  • Pages: 78
BAGIAN I MIKROBIOLOGI : SAMPEL FESES SAPI

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan produk peternakan dalam beberapa tahun mendatang diperkirakan akan meningkat dengan cepat. Permintaan tersebut datang terutama untuk pemenuhan kebutuhan pangan seperti susu dan daging, dan kebutuhan industri primer dan farmasi. memperkirakan kebutuhan susu dan daging akan meningkat dengan pesat dua sampai tiga kali lipat sebanding dengan bertambahnya jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, perbaikan tingkat pendidikan dan kecepatan arus informasi. Berbagai kendala dalam meningkatkan produktivitas ternak diantaranya disebabkan oleh adanya diare pada suatu kelompok sapi. Diare pada sapi merupakan salah satu gejala penyakit komplek dengan berbagai penyebab yang saling berhubungan (Dayle, 2007). Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya diare yaitu agen penyakit (Ahmad, 2005), Penyebab diare pada sapi diketahui ada dua kelompok yaitu disebabkan oleh agen infeksius dan penyebab lain. Diare yang disebabkan oleh agen infeksius berupa bakteri, virus dan protozoa. Mendiagnosa suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri dapat dilakukan pemeriksaan sampel feses dari hewan yang mengalami perubahan menciri. Pada sampel feses mikroorganisme khususnya bakteri yang dapat ditemukan, diantaranya yaitu : Coliform sp., Salmonella sp., Eschericia coli., dll. Berbagai jenis bakteri tersebut dapat menimbulkan penyakit pada

sapi

seperti

Enteritis,

Pasteurellosis,

Staphylococcosis,

Antrax,

Colibacillosis, Salmonellosisdan Enterotoxemia. Mikroorganisme merupakan makhluk hidup yang berukuran sangat kecil yaitu dalam skala micrometer atau micron (µ) atau sepersejuta meter dan tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Untuk mempelajarinya diperlukan cara tertentu yaitu observasi mikroskopik dan biakan atau pure culture. Salah satu yang termasuk kedalam golongan mikroorganisme adalah bakteri. Ilmu yang mempelajari tentang mikroorganisme disebut mikrobiologi. Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang bakteri disebut bakteriologi. Terdapat banyak jenis bakteri yang keberadaannya sebagai flora normal namun tak jarang juga keberadaannya merugikan makhluk hidup khususnya hewan, sehingga dapat menyebabkan penyakit yang dapat menginfeksi hewan.

2

Dari adanya kasus infeksi bakteri yang dapat terjadi di sebuah peternakan, mendasari kegiatan koasistensi Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) yang dilakukan oleh mahasiswa FKH UB di laboratorium bakteriologi dan mikologi FKH UNAIR untuk mempelajari penyakit tersebut dengan mengetahui agen bakteri penyebabnya, sehingga mahasiswa mampu untuk mengetahui gejala klinis, penyebab terjadinya penyakit dan mampu mendiagnosa penyakit saluran pencernaan beserta agen bakteri penyebabnya. Oleh sebab itu, diperlukan adanya isolasi dan identifikasi bakteri penyebab penyakit oleh bakteri patogen yang terdapat pada feses sapi. Dengan adanya uji mikrobiologi diharapkan dapat membantu mengetahui penyebab suatu penyakit dengan melakukan identifikasi suatu penyebab yang terdapat pada feses sapi sehingga dapat diketahui bagaimana penanganan dan pencegahan dari penyakit tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana cara isolasi dan identifikasi bakteri yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dari sampel feses sapi ? 2. Bakteri apa sajakah yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dari sampel feses sapi ? 1.3 Tujuan Berdasarkan rumusan masalah, tujuan dari pemeriksaan ini yaitu : 1. Untuk mengetahui bagaimana cara isolasi dan identifikasi bakteri yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dari sampel feses sapi 2. Untuk mengetahui bakteri apa sajakah yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan dari sampel feses sapi 1.4 Manfaat Manfaat dari pemeriksaan ini adalah Mahasiswa PPDH (Pendidikan Profesi Dokter Hewan) dapat menambah kemampuan dan keterampilan terkait pemeriksaan mikrobiologi pada sampel feses sapu dan mendapatkan pengetahuan tambahan mengenai cara pembiakan bakteri dan identifikasi bakteri di laboratorium. Keseluruhan pengetahuan ini dibutuhkan untuk menunjang.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sapi Perah Sapi perah merupakan salah satu ternak yang telah lama menjadi komoditas usaha peternakan. Bangsa Sapi Perah yang umum dipelihara adalah bangsa sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) dan mulai diintroduksikan sejak tahun 1800 oleh pemerintah Belanda. Sapi perah Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan salah satu sapi perah di Indonesia yang merupakan hasil persilangan dari sapi perah Friesian Holstein (FH) dengan sapi lokal. Sapi PFH mewarisi sifat bobot badan cukup tinggi dan mudah beradaptasi dengan lingkungan tropis dengan produksi susu yang relatif tinggi. Di Indonesia sapi PFH penyebarannya terbatas di daerah tertentu. Hal ini dikarenakan produktivitas sapi perah sangat dipengaruhi temperatur lingkungan. Kemampuan berproduksi susu sapi perah PFH di Indonesia ratarata 8,92 liter per hari. Produksi susu tersebut masih termasuk rendah bila dibandingkan dengan produksi susu rata-rata sapi perah bangsa Friesian Holstein (FH) di negara-negara maju. Masih rendahnya produksi susu yang dicapai di Indonesia terutama dikarenakan pemberian pakan dan tata laksana yang belum memadai (Siregar, 2003). Ciri-ciri sapi PFH adalah warna bulunya belang hitam dan putih, mempunyai ukuran tubuh yang besar dan beratnya hampir sama dengan sapi FH, mempunyai kadar lemak susu yang rendah, produksi susu dapat mencapai 15 hingga 20 liter per hari per masa laktasi, mempunyai sifat tenang dan jinak sesuai dengan induknya, lebih tahan panas jika dibandingkan dengan sapi FH sehingga lebih cocok di daerah tropis, dan mudah beradaptasi di lingkungan barunya. Sapi PFH digolongkan sebagai ternak tipe dwiguna, yaitu sebagai penghasil susu sekaligus sebagai penghasil daging dengan persentase karkas dapat mencapai 59,3%. Sapi PFH sangat menonjol karena banyaknya jumlah produksi susu namun kadar lemaknya rendah. Kapasitas perut besar sehingga mampu menampung pakan banyak, mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengubah pakan menjadi susu (Fanani, 2013).

4

2.2 Saluran Pencernaan Sapi Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan di dalam saluran pencernaan ternak ruminansia. Proses pencernaan makananya relatif lebih kompleks bila dibandingkan dengan proses pencernaan pada jenis ternak non ruminansia. Menurut Sutardi (2009), proses pencernaan ternak ruminansia terjadi secara mekanis (di dalam mulut), secara fermentatif (oleh enzim-enzim pencernaan). Sedangkan menurut Church (1979), pencernaan fermentatif pada ternak ruminansia terjadi dalam rumen (retikulorumen) berupa perubahan - perubahan senyawa tertentu menjadi senyawa lain yangsama sekali berbeda dari molekul zat makanan asalnya. Organ pencernaan pada ternak ruminansia terdiri atas 4 bagian penting, yaitumulut, lambung, usus halus, dan organ pencernaan bagian belakang. Lambung ternak ruminansia terdiri atas 4 bagian yaitu rumen, retikulum, omasum, dan abomasum. Rumen dan retikulum dipandang sebagai organ tunggal yang disebut retikulo-rumen, sedangkan sekum, kolon, dan rektum termasuk organ pencernaan bagian belakang (Erwanto, 1995). Rumen dan retikulum dihuni oleh mikroba dan merupakan alat fermentatif dengan kondisi anaerob pada suhu 39ºC (Sutardi, 1996). Menurut Church (1988), kapasitas keseluruhan dari keempat bagian perut tersebut adalah rumen 80%, retikulum 5%, omasum 7% dan abomasum 8%. Arora (1996) menyatakan di dalam rumen terdapat mikroorganisme yang dikenal dengan mikroba rumen. Melalui mikroba ini maka bahan-bahan makanan yang berasal dari hijauan yang mengandung polisakarida kompleks, selulosa, dan lignoselulosa, sehingga dapat dipecah menjadi bagian-bagiansederhana. Selain itu,pati, karbonhidrat, dan protein dirombak menjadi asam asetat, propionat, dan butirat. Makanan yang masuk melalui mulut ternak ruminansia akan mengalami proses pengunyahan atau pemotongan secara mekanis sehingga membentuk bolus. Pada proses ini, makanan akan bercampur dengan saliva kemudian masuk ke dalam rumen melalui esofagus. Selanjutnya, di dalam rumen makanan akan mengalami proses pencernaan fermentatif. Pada masa ternak istirahat makanan dari rumen yang masih kasar dikembalikan ke dalam mulut

5

(regurgitasi) untuk dikunyah kembali (remastikasi), kemudian makanan ditelan kembali (redegultasi), lalu dicerna lagi oleh mikroba rumen. Digesta yang halus dapat masuk ke dalam ususdan mengalami proses pencernaan hidrolitik. 2.3 Infeksi Bakteri Pada Saluran Pencernan Sapi Bakteri-bakteri E. coli, Salmonella spp, Mycobacterium paratubercolosis diketahui paling sering mengakibatkan radang usus pada berbagai jenis ternak. Oleh karena gangguan keseimbangan biologik di dalam usus, misalnya oleh pemberian antibiotika berlebihan, bakteri dan jamur akan berkembang baik dengan cepat hingga mampu menimbulkan radang infeksi. Jasad renik yang biasanya hidup di dalam usus antara lain Proteus sp, Pseudomonas sp, Staphylococcus sp (Subronto, 2007). 2.3.1 E. Coli E. coli adalah salah satu spesies dari Famili Enterobacteriaceae, menyebabkan infeksi alat pencernaan yang terjadi baik pada hewan maupun manusia, dan tersifat sebagai berikut : berbentuk batang pendek 0,5 μm X 1-3 μm, batang bervariasi dari coccoid bipolar hingga filament panjang, biasanya E. coli dapat diidentifikasi dengan beberapa media selektif, yaitu Mac Conkey Agar (MCA), Eosin Methylene Blue Agar (EMBA),dan Media Endo Agar. Pertumbuhan bakteri E. coli yang baik pada media MCA ditandai dengan bentuk koloni bulat, sedang-besar, cembung, merah keruh dan smooth. E.coli juga tumbuh pada media EMBA

yang

dapat

dilihat

dengan

koloni

tampak

sedang,

cembung,smooth, berwarna hijau metalik, dan terkadang di tengah koloni terdapat warna ungu. Pertumbuhan E.coli pada media endo agar ditandai dengan koloni besar-besar, elevasi cembung, smooth, dan berwarna merah tua metalik (Barrow dan Feltham, 2003). Pengujian biokimia bakteri E. coli menggunakan media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Urea Agar (Urease), Simon Citrate Agar (SCA), Sulfide Indol Motility (SIM), dan gula-gula (glukosa, sukrosa, laktosa, fruktosa, dan manitol). Uji TSIA bakteri E. coli menunjukkan warna streak tegak merah, warna streak miring merah, menghasilkan gas, dan tidak memproduksi H2S.

6

Hal ini dikarenakan E. coli dapat memfermentasikan glukosa, laktosa, dan sukrosa. Ujiurease bakteri E. coli menunjukkan hasil negatif karena E. coli tidak memiliki enzim urease untuk menghidrolisiskan urea menjadi amoniak. Uji SCA bakteri E. coli menunjukkan hasil negatif karena bakteri E. coli tidak menggunakan sitrat sebagai karbon utama. Uji SIM bakteri E. coli menunjukkan hasil positif karena bakteri ini memiliki flagella. Uji bakteri E. coli gula-gula menunjukkan hasil positif karena E. coli dapat memfermentasikan glukosa, fruktosa, laktosa, sukrosa, dan manitol (Barrow dan Feltham, 2003). Serotipe E. coli yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah EPEC (Supardi dan Sukamto, 1999). Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) merupakan penyebab penting diare, khususnya di negara berkembang. EPEC melekat pada sel mukosa usus halus. Akibat dari infeksi EPEC adalah diare cair yang biasanya sembuh sendiri tetapi dapat juga bersifat kronik. Seperti halnya ETEC, EPEC juga menyebabkan diare tetapi berbeda dalam hal mekanisme molekular dari kolonisasi. Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) berkaitan dengan konsumsi daging, buah, sayuran yang tercemar, khususnya di negara berkembang. Pangan asal hewan yang sering terkait dengan wabah EHEC di Amerika Serikat, Eropa,dan Kanada adalah daging sapi giling (ground beef), daging babi, daging ayam, daging domba, dan susu segar (mentah). Serotipe utama yang berkaitan dengan EHEC adalah E. coli O157:H7, yang pertama kali dilaporkan sebagai penyebab wabah foodborne disease pada tahun 19821983. EHEC ini menghasilkan Shigaliketoxins sehingga disebut pula sebagai Shiga Toxin Producing E. coli (STEC).Shiga toxin ini mematikan sel vero, sehingga disebut pula Verotoxin-ProducingE. coli (VTEC). Bakteri ini umumnya hidup di usus hewan, khususnya sapi, tanpamenimbulkan gejala penyakit. Bakteri ini juga dapat diisolasi dari feses ayam,kambing, domba, babi, anjing, dan kucing (Sartika et al., 2005).

7

Enterohemorrhagic Escherichia coli (EHEC) adalah bagian dari pathogen E. coli yang dapat menyebabkan diare atau kolitis hemoragik pada manusia. Hemorrhagic colitis kadang-kadang berkembang menjadi hemolitik uremik sindrom (HUS), sebagai penyebab penting dari gagal ginjal akut pada anak-anak. Strain EHEC yang paling sering dijumpai adalah O157:H7 (Jawet et al., 1982). Enteroinvasive Escherichia coli (EIEC) menyebabkan disentri yang serupa dengan shigellosis, dengan gejala demam, diare, dan muntah. Virulensi EIEC disebabkan oleh invasi epitel usus. Penularan berkaitan dengan makanan yang tercemar (Hawley,2003). Enterotoksigenik Escherichia coli (ETEC) adalah penyebab diare paling umum pada anak sapi muda umur 4 hari. ETEC berhubungan dengan infeksi virus dapat menyebabkan diare pada anak sapi sampai usia dua minggu. ETEC biasa menunjukkan gejala klinis diare, feses berbau busuk dan berair. Diare tersebut dapat menyebabkan sapi mengalami dehidrasi sampai kematian. Faktor kolonisasi ETEC menimbulkan perlekatan pada sel epitel usus halus. Dosis infektif mengindikasikan bahwa diperlukan dosis ETEC yang relatif besar (106 sampai 109 bakteri) sehingga bakteri ini dapat membentuk koloni di dalam usus halus, dapat berkembang biak, dan dapat menghasilkan racun. Racun yang dihasilkan bakteri ini merangsang sekresi cairan. Dengan dosis infektif yang tinggi, diare dapatterjadi dalam 24 jam setelah infeksi (Nagy et al., 1999). 2.3.2 Salmonella sp. Salmonella sp. adalah bakteri Gram negatif, berbentuk batang (basil), memiliki ukuran 0,7-1,5 μm x 2-5 μm, tidak membentuk spora, memiliki kapsul, menghasilkan gas H2S, tumbuh pada suhu optimum 37oC dengan pH 6-8, dapat hidup pada kondisi aerobic sampai fakultatif anaerobik, dan motil dengan menggunakan flagella (kecuali S. pullorum dan S. gallinarum) (Sawosz, et al., 2010). Tindakan identifikasi bakteri Salmonella sp. membutuhkan media selektif Salmonella Shigella Agar (SSA), Mac Conkey Agar (MCA), Hektoen Enteric Agar (HEA),

8

Bismuth Sulfit Agar (BSA), dan Brilliant Green Agar (BGA). HEA merupakan media selektif diferensial. Media ini tergolong selektif karena terdiri dari bile salt yang berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan beberapa gram negatif, sehingga diharapkan bakteri yang tumbuh hanya Salmonella sp. Media ini digolongkan menjadi media diferensial karena dapat membedakan bakteri Salmonella sp. dengan bakteri lainnya dengan cara memberikan 3 jenis karbohidrat pada media, yaitu laktosa, glukosa, dan salisin, dengan komposisi laktosa yang paling tinggi. Salmonella sp. tidak dapat memfermentasi laktosa, sehingga asam yang dihasilkan hanya sedikit karena hanya berasal dari fermentasi glukosa saja. Hal ini menyebabkan koloni Salmonella sp. akan berwarna hijau-kebiruan karena asam yang dihasilkannya bereaksi dengan indikator yang ada pada media HEA, yaitu fuksin asam dan bromtimol blue. Bakteri Salmonella sp. pada media MCA tidak memfermentasi laktosa atau disebut Non Laktosa Fermenter (NLF) tapi Salmonella sp. memfermentasi glukosa, manitol, dan maltosa disertai pembentukan asam dan gas (kecuali S. typhi yang tidak menghasilkan gas) (Barrow dan Feltham, 2003). Pengujian biokimia bakteri Salmonella sp. menggunakan media Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Urea Agar (Urease), Simon Citrate Agar (SCA), Sulfide Indol Motility (SIM), dan gula-gula (glukosa, sukrosa, laktosa, fruktosa, dan manitol). Uji TSIA bakteri Salmonella sp. menunjukkan warna streak tegak merah, warna streak miring kuning, menghasilkan gas, dan memproduksi H2S. Hal ini dikarenakan Salmonella sp. tidak dapat memfermentasikan laktosa, namun memfermentasi glukosa, maltosa, dan manitol. Uji urease bakteri Salmonella sp. menunjukkan hasil negatif karena Salmonella sp. tidak memiliki enzim urease untuk menghidrolisiskan urea menjadi amoniak, Uji SCA bakteri Salmonella sp. menunjukkan hasil positif karena Salmonella sp. menggunakan sitrat sebagai karbon utama. Uji SIM bakteri Salmonella sp. menunjukkan hasil indol negatif dan motilitas positif karena bakteri ini memiliki flagella. Uji gula-gula menunjukkan

9

positif karena Salmonella sp. dapat memfermentasikan glukosa, fruktosa, sukrosa, dan manitol (kecuali pada uji laktosa) (Barrow dan Feltham, 2003). Shigella sp. merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek (cocobasil), non motil, tidak berflagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, memiliki ukuran 2-3 μm x 0,5- 0,7 μm, tumbuh pada suhu optimum 37oC, dan dapat hidup pada kondisi aerobik sampai fakultatif anaerobik. Bakteri ini dapat memproduksi enterotoksin dan shigatoksin (mirip seperti verotoksin). Shigella sp. dibagi 4 kelompok serologik, yaitu S.dysenteri (12 serotipe), S. flexnewri (6 serotipe), S. boydii (18 serotipe), dan S. sonnei (1 serotipe). Di daerah tropis yang tersering ditemukan ialah S. dysenteri dan S. flexneri, sedangkan S. sonnei lebih sering dijumpai di daerah sub tropis atau daerah industri (Keir, et al., 2012). Infeksi Shigella sp. biasa dikenal dengan penyakit shigellosis. Infeksi shigellosis pada burung dara biasanya ditularkan melalui makanan dan air yang terkontaminasi feses yang terinfeksi Shigella sp. Tingkat sanitasi yang buruk menjadi pemicu terjadinya wabah shigellosis. Gejala dari penyakit shigellosis adalah diare, terdapat darah, nanah, lendir di dalam feses, dan tenesmus (Jackson, et al., 2011). 2.3.3 Proteus sp. Proteus spp. termasuk dalam famili enterobakteriaceae, bakteri bentuk batang, gram negatif, tidak berspora, tidak berkapsul, flagel peritrik, ada yang cocobacilli, polymorph, berpasangan atau membentuk rantai, kuman ini berukuran 0,4-0,8 x 1.0-0,3 mm. Bakteri proteus sp. Termasuk dalam bakteri non fruktosa fermenter, bersifat fakultatif aerobe/anaerob.

merupakan

bakteri

aerob/anaerob

fakultatif.

Mengeluarkan bau khas dan swarming pada media BAP. Proteus sp. menunjukan pertumbuhan yang menyebar pada susu 37˚C. Proteus sp. membentuk asam dan gas dari glukosa, sifatnya khas antara lain mengubah fenil alanin menjadi asam fenil alanin pirufat atau PAD dan menghidrolisa urea dangan cepat karena adanya enzim urase pada TSIA bersifat alkaliasam dengan membentuk H2S.

10

Proteus sp. disebut juga bakteri proteolitik karena bakteri ini ini dapat menguraikan dan dapat memecah protein secara aerob/anaerob sehingga menghasilkan komponen berbau busuk seperti hidrogen, sulfid, amin, indol, dan asam lemak. Proteus dapat menghidrolisis urea menjadi CO3 dan NH3 serta melepas amoniak. Proteus sp. termasuk kuman patogen, menyebabkan infeksi saluran kemih atau kelainan bernanah seperta abses, infeksi luka. Proteus sp. ditemukan sebagai penyebab diare dan menimbulkan infeksi pada ternak. 2.4 Enteritis Pada Sapi Enteritis adalah proses keradangan usus yang dapat berlangsung akut maupun kronis, yang akan mengakibatkan kenaikan peristaltik usus, kenaikan jumlah sekresi kelenjar pencernaan serta penurunan penyerapan atau absorpsi dari lumen usus, baik itu cairan ataupun sari-sari makanan yang terlarut di dalamnya. Enteritis primer maupun sekunder ditandai dengan penurunan nafsu makan, menurunnya kondisi tubuh, dehidrasi dan diare. Perasaaan sakit akibat dari radang usus atau enteritis bervariasi jenisnya, tergantung pada jenis hewan yang menderita serta derajat radang yang dideritanya. Radang usus yang terjadi bersamaan dengan gastritis disebut sebagai gastroenteritis (Subronto, 2007). Kondisi ini mengakibatkan gerakan mukosal intestinal mengalami perpindahan cairan dan elektrolit secara cepat dari darah ke lumen usus sehingga terjadi dehidrasi dan shock hipovolemik secara cepat. Kerusakan mukosa usus dan shock septik atau shock endotoksik diakibatkan terjadinya translokasi dari bakteri atau toksin bakteri. Natrium dan Kalium hilang bersama dengan hilangnya cairan tubuh akibat terjadinya dehidrasi. Radang yang terjadi di bagian usus tertentu di beri nama sesuai dengan bagian usus yangdiderita, misalnya radang dari kolon disebut sebagai colitis, radang pada ileum disebut sebagai ileitis, radang rektum disebut sebagai proktitis dan sebagainya.

11

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Koasistensi Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi Diagnosa Laboratorik dilaksanakan pada tanggal 02 Juli – 13 Juli 2018 yang bertempat di

Laboratorium

Mikrobiologi,

Bakteriologi

dan

Mikologi

Fakultas

Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya. 3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan antara lain autoclave, cawan petri, tabung reaksi, tabung Erlenmeyer, mortar dan pestle, kertas pembungkus, Bunsen, incubator, pinset, ose, needle, kulkas, mikroskop, object glass, spatula, rak tabung reaksi, beker glass, sentrifus dan kompor, timbangan, aluminium foil, kapas, tisu, label, scalpel. Bahan-bahan yang digunakan antara lain sampel berupa sampel feses sapi, tetrathionad broad, media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), MCA (Mac Conkey Agar), SSA (Salmonella-Shigella agar), media MRVP (Methyl Red - Voges Proskauer), dan beberapa media SIM (sulfide indol motility) agar dan media uji TSIA (triple sugar iron agar), Media identifikasi (Urea Agar, Simon Citrat Agar (SCA)), media urease, media gula-gula (Laktosa, Maltosa, Sukrosa, Manitol, dan Sukrosa), Pewarnaan gram (kristal violet, lugol, alkohol, dan safranin), Alkohol, Aquades steril, NA miring, reagent phenol red reagent kovac’s, garam fisiologis (NaCl), kapas, spritus, minyak emersi. 3.3 Sterilisasi Alat Semua alat-alat yang akan digunakan dalam pengambilan dan pemeriksaan sampel disterilisasi dengan jenis sterilisasi fisik uap bertekanan

12

tinggi autoclave terlebih dahulu. Alat-alat yang terbuat dari kaca ditutup dengan kertas dan dimasukkan ke dalam mesin autoclave, sedangkan alat-alat yang terbuat dari karet tidak dimasukkan. Proses autoclave dilakukan selama ± 1 jam hingga suhu mencapai 121 oC. Autoklaf adalah alat pemanas tertutup yang digunakan untuk mensterilisasi menggunakan uap bersuhu dan bertekanan tinggi 121oC selama kurang lebih 15 menit. Autoklaf terutama ditujukan untuk membunuh endospora, yaitu sel resisten yang diproduksi oleh bakteri. Pada saat sumber panas pada autoklaf dinyalakan, air dalam autoklaf lama kelamaan akan mendidih dan uap air yang terbentuk mendesak udara yang mengisi autoklaf. Setelah semua udara dalam autoklaf diganti dengan uap air, katup uap atau udara ditutup sehingga tekanan udara dalam autoklaf naik. Pada saat tercapai tekanan dan suhu yang sesuai, maka proses sterilisasi dimulai. Setelah proses sterilisasi selesai, sumber panas dimatikan dan tekanan dibiarkan turun perlahan hingga mencapai 0 psi. Perlu diperhatikan bahwa autoklaf tidak boleh dibuka sebelum tekanan mencapai 0 psi. 3.4 Metode Pemeriksaan 3.4.1 Pengambilan sampel Prinsip dalam pengambilan sampel 1. Pengambilan sampel harus dilakukan secara aseptis (steril) agar tidak terkontaminasi oleh kuman atau bakteri penyebab penyakit 2. Sampel

harus

diperoleh

dalam

jumlah

yang

cukup

untuk

memungkinkan pemeriksaan yang teliti, yakni sebanyak 1-5 gr. 3. Sampel diletakkan pada wadah yang telah diberi label. 4. Sampel harus segera dilakukan pemeriksaan untuk mengurangi terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh kekeringan, oksidasi, panas dan aktivitas enzim dari bakteri itu sendiri. 5. Sebaiknya pengambilan sampel untuk pemeriksaan bakteriologi dilakukan sebelum hewan diberikan pengobatan dengan antibiotik. 3.4.2 Pengujian Sampel Dilakukan pengamatan terhadap morfologi koloni-koloni bakteri yang tumbuh pada media plate agar secara makroskopis. Setelah dilakukan identifikasi morfologi bakteri secara makros, dilakukan pembenihan murni

13

pada media serupa, dengan cara mengambil koloni tunggal kemudian menumbuhkannya pada media yang sama yaitu EMBA dan MCA, sedangkan untuk media TB diamati perubahan makrosnya yang menunjukkan perubahan media menjadi keruh. Setelah itu, isolasi bakteri yang

tumbuh

pada

media

TB

ke

media

SSA

dengan

cara

menghomogenkan media TB terlebih dahulu menggunakan ose, kemudian lakukan streak pada media SSA menggunakan ose tersebut. Setelah itu seluruh media perbenihan koloni murni diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. 3.4.3 Persiapan dan Pembuatan Media Isolasi primer dilakukan pada media Tetrathionate Broth Base dan MCA untuk mendapatkan koloni yang terpisah sehingga dapat dilihat secara makroskopis bentuk koloni yang didapatkan.  Isolasi Bakteri dengan media Enrichment Tetrathionate Broth  Media Tetrathionate Broth dimasukkan dalam tabung reaksi steril sebanyak 5 ml, sebanyak 2 tabung disiapkan.  Sampel yang digunakan adalah feses sebanyak 1 gram untuk masingmasing tabung media.  Feses yang telah ditimbang masing-masing 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam 2 tabung media Tetrathionate Broth  Dilakukan inkubasi pada suhu 37 ˚C selama 24 jam.  Setelah 24 jam dilakukan pengamatan terhadap bakteri yang tumbuh pada media Tetrathionate Broth lalu dilanjutkan penanaman pada media MCA. Setelah dilakukan isolasi primer, kemudian dilakukan pemurnian bakteri. Pemurnian bakteri yang dimaksudkan adalah menumbuhkan dan memperbanyak bakteri yang berasal dari satu koloni yang terdiri atas sel bakteri yang seragam dan sifat yang sama. Pemurnian bakteri dilakukan dengan menanam kembali koloni bakteri yang tumbuh terpisah pada media MCA dan SSA, dengan cara streak dengan menggunakan ose yang sebelumnya sudah dipanaskan di atas api bunsen. Memberi label pada setiap media yang sudah distreak, dengan kode sampel yang ada. Media

14

diinkubasi pada inkubator dengan suhu 37°C selama 24 jam lalu diamati pertumbuhan koloni (Sarudji, dkk., 2010). 3.4.3.1 EMBA (Eosin Methylen Blue Agar) Pembuatan media Eosin Methylen Blue Agar (EMBA) dilakukan dengan melarutkan bubuk media EMBA ke dalam aquades steril. Perbandingan antara bubuk media EMBA dengan aquades steril adalah 37.5 gram : 1000 mL aquades. Larutan kemudian ditutup dengan aluminium foil. Larutan diaduk hingga merata, dipanaskan dan diaduk kembali hingga larutan mendidih dan berwarna bening. Larutan media EMBA lalu di didinginkan pada suhu ruang, setelah itu di-autoclave selama ± 1 jam hingga suhu mencapai 121 oC. Setelah selesai, larutan media EMBA dituang ke dalam cawan petri dalam laminar flow. Disterilisasi dengan api bunsen dan sinar UV sebelum serta setelah penggunaan laminar flow. Media kemudian didinginkan pada suhu ruang hingga menjadi agar. Agar kemudian disimpan di kulkas jika tidak langsung digunakan, dan ketika akan digunakan media terlebih dahulu di masukkan ke dalam incubator hingga suhu normal. Secara umum, media EMBA adalah media isolasi untuk membedakan bakteri Enterobacteriaceae. EMBA adalah media yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya bakteri coliform di dalam suatu sampel. Media EMBA ini mempunyai keistimewaan

mengandung

laktosa

dan

berfungsi

untuk

membedakan mikroba yang memfermentasikan laktosa seperti S. aureus,

P.

aerugenosa,

dan

Salmonella.

Mikroba

yang

memfermentasi laktosa menghasilkan koloni dengan inti berwarna gelap dengan kilap logam. Sedangkan, mikroba lain yang dapat tumbuh koloninya tidak berwarna. 3.4.3.2 MCA (Mac Conkey Agar) Pembuatan media Mac Conkey Agar (MCA) dilakukan dengan melarutkan bubuk media MCA ke dalam aquades steril. Perbandingan antara bubuk media MCA dengan aquades steril

15

adalah 52 gram : 1000 mL aquades. Larutan kemudian ditutup dengan aluminium foil. Larutan diaduk hingga merata, dipanaskan dan diaduk kembali hingga larutan mendidih dan berwarna bening. Larutan media MCA lalu di didinginkan pada suhu ruang, setelah itu di autoclave selama ± 1 jam hingga suhu mencapai 121 oC. Setelah selesai, larutan media MCA dituang ke dalam cawan petri dalam laminar flow. Sterilisasi dengan api bunsen dan sinar UV sebelum serta setelah penggunaan laminar flow. Media kemudian didinginkan pada suhu ruang hingga menjadi agar. Agar kemudian disimpan di kulkas jika tidak langsung digunakan dan ketika akan digunakan media terlebih dahulu di masukkan ke dalam incubator hingga suhu normal. 3.4.3.3 Media selektif SSA (Salmonella-Shigella agar) Komposisinya terdiri dari beef extraxt 5 gram, pepton 5 gram, laktosa 10 gram, bile salts 8.5 gram, sodium citrate 8.5, sodium thiosulfate 8.5 gram, agar 13.5 gram, brilliant green 0,00033 gram, neutral red 0,025. pH akhir yang diukur 7.0 pada media. Selanjutnya, sebanyak 60 gram SSA dilarutkan dalam dalam aquades hingga mencapai 1000 ml, campur dengan baik hingga homogen. Kemudian, dipanaskan hingga semua larut dalam kompor listrik selama 1 menit. Media didinginkan sampai suhu 4550 ºC dituang dalam cawan petri dan simpan pada suhu 8-15 ºC. 3.4.3.4 Media uji SIM (Sulfide indol motility) Komposisi media pepton 30 gram, amonium iron citrate 0,2 gram, sodium thiosulfate (Na2S2O3) 0,025gram, dan agar 3 gram. pH akhir media yang diukur 7,3. Sebanyak 36 gram ditambahkan aquades hingga mencapai volume 1000 ml, kemudian dipanaskan hingga semua bahan larut . tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 5-7 ml. Medium disterilisasi kedalam autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15 menit. Dan diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37C. Media ini digunakan untuk mengetahui motilitas organisme, adanya pembebasan H2S

16

(sulfide) dan terbentuknya indol. Berikut metode pemeriksaaan menggunakan Sulfide Indol Motility (SIM): 1. Diambil koloni tunggal dengan menggunakan needle. 2. Dilakukan tusukan sampai 2/3 dari dari permukaan media. 3. Dilakukan inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. 4. Dilakukan pengamatan. Indol diuji dengan penambahan 1 ml chloroform dan 1 ml reagen Kovacs. Interpretasi Hasil: Bagian dasar media berwarna hitam sebagai hasil reaksi H2S dengan Fe menjadi FeS. Motilitas terlihat adanya warna keruh dan adanya penyebaran dan pertumbuhan yang menjalar dari bawah keatas di sekitar tusukan (pohon cemara terbalik). Pemeriksaan indol dengan hasil positif ditandai dengan terlihatnya cincin merah. 3.4.3.5 Triple Sugar Iron Agar (TSIA) Media ini digunakan untuk membedakan sifat bakteri secara biokimiawi. Umumnya media ini digunakan untuk membedakan bakteri

yang

tergolong

ke

dalam

Enterobactericeae

yaitu

kemampuan bakteri dalam memfermentasi karbohidrat membentuk asam, gas dan H2S. Komposisinya terdiri dari beef extract 3 gram, yeast extract 3 gram, pepton 15 gram, laktosa 10 gram, sukrosa10 gram, dextrose 1 gram, agar 12 gram, sodium cloride (NaClO2) 5 gram, dan sodium thiosulfate (Na2S2O3) 0,3 gram, phenol red 0,024 untuk mendukung pertumbuhan bakteri. Sebanyak 65 gram medium Triple Sugar Iron Agar (TSIA) dilarutkan dalam aquades hingga mencapai volume 1000 ml, kemudian dipanaskan hingga semua bahan larut. medium dimasukkan ke dalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 5-10 ml. pH yang diukur 7,4 kemu, media disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 ºC selama 15 menit, medium yang sudah steril ditanamkan memadat dalam posisi tegak kemudian diinkubasi 24-48 jam pda suhu 37 ºC. Berikut metode pemeriksaan dengan media Triple Sugar Iron Agar (TSIA): 1. Diambil koloni tunggal dengan menggunakan needle.

17

2. Ditusukkan sampai dasar media TSIA 3. Cabut tusukan secara perlahan lalu dilakukan streak pada pemukaan miring media TSIA. 4. Dilakukan inkubasi pada suhu 370C selama 24 jam. 5. Dilakukan pengamatan. Interpretasi Hasil: - Orange-Merah : warna sebelum inokulasi. - Kuning (Asam) : glukosa dan atau sukrosa dan atau laktosa. - Merah (Alkalis) : glukosa, sukrosa dan laktosa tidak difermentasi. - Warna hitam pada bagian tegak : produksi H2S. - Gelembung gas pada bagian tegak : menghasilkan gas hasil fermentasi. 3.4.3.6 Media uji Simmons citrat agar Komposisi media terdiri dari magnesium sulfate (MgSO4-) 0,2 gram, monoammonium phosphate (NH3PO4-) 1 gram, dippottasium phosphate 1 gram, sodium citrate 2 gram, sodium cloride (Nacl) 5 gram, agar 15 gram, dan brotymol blue 0,08 gram. Selanjutnya, sebanyak 24.2 gram medium citrat agar dilarutkan dalam aquades hingga mencapai volume 1000 ml, dipanaskan hingga semua bahan larut, kemudian ditambahkan dengan indikator bromotimol biru 0,2%. pH diukur menjadi 6.8, media tersebut dimasukkan kedalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 5-7 ml. Medium disterilisasi kedalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. 3.4.3.7 Tetrathionate Broth Base Komposisi media terdiri dari Lab-Lemco Powder 0,9 gram, peptone 4,5 gram, yeast extract 1,8 gram, sodium chloride 4,5 gram, calcium carbonate 25 gram, sodium thiosulfate 40,7 gram. Selanjutnya, sebanyak 77 gram medium dilarutkan dalam aquades hingga mencapai volume 1000 ml, dipanaskan hingga semua bahan larut, tambahkan 20 cc larutan sodium, campur dengan baik dan tuang kedalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 5-7 ml. Medium disterilisasi kedalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit.

18

3.4.3.8 Urea Agar Media ini digunakan untuk mengetahui adanya aktivitas urease pada mikroorganisme. Berikut metode pemeriksaan dengan media urea agar : 1. Ambil koloni tunggal dengan menggunakan ose ujung lurus. 2. Lakukan streak pada permukaan miring media. 3. Dilakukan inkubasi pada suhu 37ºc selama 24 jam. 4. Dilakukan pengamatan. Interpretasi hasil: - Apabila urea dihydrolisa, amoniak akan dibebaskan dan menyebabkan medium berubah menjadi alkalis - Positif bila berwarna merah - Negatif bila berwarna kuning atau tidak ada perubahan warna. 3.4.3.9 Media Gula - Gula Media ini digunakan untuk mengetahui kemampuan fermentasi bakteri terhadap gula - gula. Pembuatan media ini dengan cara melarutkan gula-gula (laktosa, maltosa, sukrosa, manitol, dan glukosa) 2 gram pada peptone water 100 ml, kemudian ditambahkan penanda phenol red 1 ml. Berikut metode pemeriksaan menggunakan media gula-gula: 1. Diambil koloni tunggal dengan menggunakan ose ujung bulat. 2. Dilakukan adukkan pada larutan gula-gula. 3. Dilakukan inkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. 4. Dilakukan pengamatan. Interpretasi hasil : - Positif bila media berwarna kuning, artinya gula difermentasi dengan menghasilkan asam. - Negatif bila media berwarna merah (tidak ada perubahan warna) artinya gula tidak terfermentasi. 3.4.4 Penanaman Bakteri Penanaman atau isolasi bakteri yang digunakan untuk sampel feses adalah sebagai berikut.

19

1.

Penanaman bakteri dilakukan pada media umum, selektif differensial hingga spesifik.

2.

Penanaman larutan sampel pada media tetratinate broad, SSA dan MCA dilakukan dengan cara streak menggunakan ose yang sebelumn ya sudah dibakar di atas api bunsen.

3.

Memberi label pada setiap media yang telah di streak.

3.5 Evaluasi dan Pendugaan Bakteri yang Tumbuh Evaluasi dan pendugaan terhadap bakteri yang tumbuh dilakukan dengan p engamatan makroskopis terhadap koloni bakteri dan secara mikroskopis deng an pewarnaan gram. Pewarnaan gram digunakan sebagai metode identifikasi biakan bakteri yang tumbuh pada media, dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Membuat sediaan oles pada object glass dan fiksasi di atas api sampai kering. 2. Warnai dengan gantian violet selama 1 – 2 menit. 3. Buang sisa zat warna dan mencucinya dengan air atau akuades. 4. Tambahkan larutan lugol dan biarkan selama 1 menit, kemudian membuang sisa lugol dan mencucinya dengan air atau akuades mengalir. 5. Lunturkan warna dengan alkohol aceton 1 menit sampai zat warna hilang, kemudian mencucinya dengan air atau akuades mengalir. 6. Tambahkan warna ke – 2 berupa safranin dan biarkan selama 30 detik. 7. Bersihkan warna safranin dengan air mengalir kemudian keringkan dengan kertas hisap atau tisu dan diangin-anginkan. 8. Lihat dengan mikroskop dengan pembesaran 1000x dengan bantuan minyak emersi. Apabila hasil evaluasi secara makroskopis dan mikroskopis ditemukan koloni yang belum murni, maka bakteri tersebut ditanam kembali atau dilakukan pe murnian dalam media yang sesuai sampai koloni yang terbentuk benar-benar murni.

20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Menurut keterangan pemilik, sapi yang diambil fesesnya merupakan sapi yang kurang aktif,

sapi nampak menunjukkan ada sisa bercak kotoran

dibagian anus, sapi tidak nafsu makan, serta nampak lemas. Dan feses yang nampak diare basah dengan tekstur tidak berbentuk. Ketika dilakukan pemeriksaan, didapatkan hasil sebagai berikut -

Jenis hewan

: Sapi PFH (Sapi Perah)

-

Warna Sapi

: Hitam Putih

-

Jenis kelamin

: Betina

-

Lama sakit

:-

-

Umur

: 3 tahun

-

Asal

: Peternakan Sapi Perah Kalijudan, Surabaya

-

Tanggal pengambilan sampel : 02 Juli 2018

Gambar 4.1. Sapi yang diduga mengalami enteritis (Sumber: Dokumentasi pribadi. 2018).

4.2 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan dilakukan dengan menanam sampel (feses) pada media isolasi. Penanaman ini berguna untuk mengidentifikasi bakteri yang mungkin menyebabkan penyakit pada sapi tersebut. Hal yang perlu dilakukan adalah dengan menanam bakteri pada media isolasi, selanjutnya dilakukan pemurnian koloni setelah itu dilakukan perbanyakan koloni, Pemurnian bakteri yang dimaksudkan adalah menumbuhkan dan memperbanyak bakteri yang berasal dari satu koloni yang terdiri atas sel bakteri yang seragam dan sifat yang sama. saat koloni yang telah murni dan banyak selanjutnya dilakukan identifikasi bakteri untuk menentukan jenis bakteri apa yang menimbulkan penyakit dari kasus pencernaan sapi yang diperiksa menggunakan sampel feses.

21

Isolasi mikroorganisme merupakan upaya pembiakkan suatu jenis mikroorganisme tertentu yang diperoleh dari suatu sampel di dalam suatu media yang spesifik, sehingga selanjutnya dapat dilakukan identifikasi dan konfirmasi. Media spesifik merupakan media yang digunakan untuk mendiagnosis atau menganalisis metabolisme suatu mikroorganisme. Setiap mikroorganisme memiliki kebutuhan akan zat pertumbuhan yang spesifik sehingga hal ini dapat dijadikan acuan dalam pemilihan media untuk isolasi, identifikasi dan konfirmasi (Pelczar, 2016). Pada

umumnya

media

yang

digunakan

untuk

membiakkan

mikroorganisme mengandung; air, protein, karbohidrat, sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen, hidrogen, asam amino dan vitamin. Suatu media yang memenuhi kebutuhan mikroorganisme untuk bertahan hidup dan melakukan aktivitasnya secara normal diperlukan untuk melakukan isolasi jenis mikroorganisme tertentu. Setiap media spesifik memiliki kandungan senyawa tertentu yang dapat mendukung pertumbuhan mikroorganisme tertentu tetapi menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya (Lay, 1994). Dalam hal ini, media yang digunakan untuk mengisolasi mikroorganisme tertentu dari sampel feses sapi adalah media Tetrathionat broath, Mac Conkey Agar (MCA), dan Salmonella-Shigella Agar (SSA). 4.3 Identifikasi Bakteri asal Feses sapi 4.3.1 Identifikasi Bakteri secara Makroskopis Isolat yang tumbuh pada media EMBA berdasarkan hasil pengamatan, memiliki karakteristik berwarna hijau metalik, bentuk bulat dan tepi rata seperti pada Gambar 4.2.a. Sedangkan isolat yang tumbuh pada media MCA terdiri dari satu jenis koloni berwarna merah, bulat dan sedikit cembung seperti pada Gambar 4.2.b. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Baehaqi (2015) Bakteri Coliform dan Escherichia coli ditumbuhkan pada media EMBA dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam, menghasilkan koloni Coliform yang tumbuh memiliki ciri yaitu koloni berwarna merah, merah muda dan hijau metalik, bentuk mukoid dengan pusat berwarna gelap sedangkan ciri koloni E. coli yang tumbuh yaitu koloni berwarna hijau metalik dengan bentuk mukoid dan

22

pusat berwarna gelap. Sedangkan koloni yang tumbuh pada cawan Mac Conkey Agar (MCA) yang berwarna merah atau merah muda berarti sampel mengandung bakteri yang dapat memfermentasi laktosa (Wahyuni, 2013). Bakteri yang dapat tumbuh pada media MCA antara lain Pseudomonas, Salmonella, E.coli, Enterobacter, Klebsiella dan Shigella. Menurut Luis et al (2004), koloni Pseudomonas, Salmonella dan Shigella yang tumbuh di media ini cirinya halus dan tak berwarna karena tidak mampu memfermentasi laktosa. Sedangkan koloni E.coli, Klebsiella dan Enterobacter gram negatif akan memproduksi asam dan berwarna merah karena mempunyai keistimewaan dapat memfermentasi laktosa. Beberapa jenis bakteri seperti Klebsiella dan Enterobacter dapat memproduksi mukoid sehingga tampak lembab. Hal ini terjadi karena bakteri membentuk kapsul melalui metabolisme kandungan laktosa di dalam media. EMBA

yaitu

media

membedakan bakteri Enterobacteriaceae. EMBA

isolasi adalah

untuk media

yang

digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya bakteri koliform di dalam suatu sampel. Media Eosin Methylene Blue Agar ini mempunyai keistimewaan mengandung laktosa dan berfungsi untuk membedakan mikroba yang memfermentasikan laktosa seperti S.aureus, P.aerugenosa, dan Salmonella. Mikroba yang memfermentasi laktosa menghasilkan koloni dengan inti berwarna gelap dengan kilap logam. Sedangkan mikroba lain yang dapat tumbuh koloninya tidak berwarna. Fungsi dari eosin dan metilen blue membantu mempertajam perbedaan warna. Media ini berbentuk padat berguna untuk menjaga sel tidak berpindah tempat sehingga akan mudah dihitung dan dipisahkan jenisnya ketika tumbuh menjadi koloni. Media padat juga menampakkan difusi hasil metabolit bakteri sehingga memudahkan dalam pengujian suatu hasil metabolit. Sedangkan Mac Conkey mengandung laktosa dan mengandung neutral red yang merupakan indikator pH sehingga media Mac Conkey dapat digunakan untuk membedakan bakteri coliform laktosa fermenter dengan non-laktosa fermenter. Bakteri yang memfermentasi laktosa akan

23

menghasilkan asam dan menurunkan pH medium dan merubah neutral red menjadi warna merah. Sedangkan bakteri non laktosa fermenter seperti Salmonella dan Shigella menghasilkan koloni yang colourless dan transparant (Surjawidjaja, 2007). Penanaman bakteri pada media EMBA didapatkan hasil bahwa isolat bakteri yang tumbuh berwarna hijau metalik. Artinya mikroba yang tumbuh dapat memfermentasikan

laktosa dan

menghasilkan koloni dengan inti berwarna gelap dengan kilap. Bakteri gram negatif yang memfermentasi laktosa (umumnya bakteri usus) dapat menghasilkan asam, dalam kondisi asam akan menghasilkan warna kompleks berwarna ungu gelap atau warna hijau metalik. Warna hijau metalik ini merupakan indikator dari bakteri yang dapat memfermentasi laktosa dengan kuat dan/atau bakteri yang dapat memfermentasi sukrosa (khas pada bakteri coliform fecal).

B n

A

Gambar 4.2 Hasil pengamatan isolasi primer EMBA dan MCA . (a) Koloni E. Coli pada media EMBA; (b) koloni Coliform pada media MCA

4.3.2 Identifikasi Morfologi Bakteri Secara Mikrokopis Koloni pada media EMBA dan MCA dari sampel feses sapi diambil untuk dilakukan pewarnaan gram yang bertujuan untuk melihat bentuk dan

B n

A

24

sifat gramnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan gram pada koloni dari media EMBA diperoleh morfologi bakteri berbentuk batang pendek dan berwarna merah yang menunjukkan sifat bakteri gram negatif seperti Gambar 4.3.a Begitupun dengan hasil pemeriksaan koloni yang berasal dari media MCA, memiliki morfologi berbentuk batang dan bersifat gram negatif seperti pada Gambar 4.3.b.Berdasarkan hasil pemeriksaan gram dari media EMBA dan MCA dari feses sapi tersebut dapat disimpulkan bahwa bakteri yang tumbuh merupakan kelompok Enterobacteriaceae. Gambar 4.3 Pewarnaan Gram (a) Sel bakteri pada media EMBA ; (b) sel bakteri media MCA

Uji Konfirmasi (Biokimia) Uji biokimia dilakukan untuk mengetahui sifat metabolisme dari koloni bakteri yang tumbuh pada media EMBA dan MCA dengan cara melihat

kemampuan

bakteri

dalam

memfermentasi

karbohidrat,

menghasilhan H2S, menghasilkan gas, memproduksi asam, dan lain lain. Tabel 4.1 Hasil Identifikasi Koloni Bakteri dari Media EMBA dan MCA Karakteristik Uji Gram

EMBA Gram negative

Morfologi sel TSIA

Batang pendek - Asam - Asam - H2S (-) - Gas (+)

Indol (SIM)

-

Interpretasi Gram positif : bakteri berwarna ungu Gram negatif : bakteri berwarna merah (melarutkan zat lipid selama pencucian dengan alkohol) - Memfermentasi semua karbohidrat : bila pada dasar (butt) media berwarna kuning (bersifat asam) dan lereng (slant) berwarna kuning (bersifat asam) - Tidak memfermentasi metionin dan sistein (H2S) - pecahnya dan terangkatnya agar (Gas) Negatif (-) ditunjukkan dengan pertumbuhan hanya terlihat disepanjang garis inokulasi dan media tidak menjadi keruh Positif (+) ditunjukkan dengan pertumbuhan bakteri menyebar menjauhi garis inokulasi (pergerakan) sehingga media manjadi keruh.

Indol (+) H2S (-)

25

Citrate

Hijau (-)

Urease

Kuning (-)

Glukosa

Merah kekuningan(+) Durham tidak terangkat Merah Kekuningan(+) Durham tidak terangkat Merah Kekuningan(+) Durham tidak terangkat Merah Kekuningan(+) Durham tidak terangkat Escherechia coli

Laktosa

Maltosa

Manitol

Negatif (-) : tidak terjadinya perubahan warna media dari hijau menjadi biru. Positif (+) : terjadinya perubahan warna media dari hijau menjadi biru Negatif (-) : tidak terjadi perubahan warna media menjadi pink/merah Positif (+) : terjadi perubahan warna media menjadi pink/merah jambu Negatif (-) : tidak terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning, artinya isolat tidak memfermentasi gula Positif (+) : terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning. Artinya isolat memfermentasi gula.

Hasil Identifikasi Uji TSIA merupakan uji yang digunakan untuk membedakan antara kelompok Enterobactericeae dengan kelompok lainnya. Pada medium TSIA mengandung tiga macam gula-gula yaitu glukosa, laktosa, dan sukrosa. Perubahan yang diamati setelah inkubasi adalah warna medium, terbentuknya gas dan H2S. H2S diproduksi oleh beberapa jenis mikroorganisme melalui pemecahan asam amino yang mengandung unsur belerang seperti lisin dam metionin, H2S juga dapat diproduksi oleh senyawa belerang anorganik seperti tiosulfat, sulfit, dan sulfat seperti yang terkandung dalam media TSIA, H2S akan bereaksi dengan senyawasenyawa yang terdapat pada media sehingga dikatakan positif H 2S jika terbentuk logam sulfit (Mahon C, dkk, 2015). Hasil pengamatan (Tabel 4.1) bakteri yang diisolasi dari media EMBA menghasilkan koloni yang

26

berwarna hijau kilap mengahasilkan uji TSIA (asam,asam, negatif H 2S, dan positif gas). Hal ini sesuai dengan hasil uji fermentasi karena bakteri mampu memfermentasi seluruh karbohidrat. Menurut Mahon C, dkk (2015) menyatakan bahwa bakteri yang menghasilkan koloni berwarna hijau kilap logam dan hasil uji TSIA (Asam, asam, dan gas), hasil ini sesuai dengan sifat biokimia bakteri Escherichia coli.

Gambar 4.4 Media TSIA dari koloni media

27

Menurut Mahon dkk (2015) pada bakteri Escherichia coli sebagian besar didapatkan hasil indol positif. Berdasarkan hasil pengamatan media

SIM yang ditumbuhkan koloni dari EMBA, menunjukkan hasil positif indol yang ditandai dengan terbentuknya cincin berwarna merah dan tidak terbentuk

H2S.

Media

SIM

merupakan

media

semisolid

yang

direkomendasikan untuk uji kualitatif pada bakteri Gram negatif untuk melihat produksi sulfid, pembentukan indole, dan pergerakan bakteri. Media SIM digunakan untuk membedakan famili Enterobactericeae yang menggunakan asam amino sebagai sumber energi, asam amino triptofan merupakan komponen asam amino yang terdapat pada protein sehingga asam amino ini dengan mudah digunakan oleh mikroorganisme dan apabila asam amino triptofan dihidrolisis oleh enzim triptofanase akan menghasilkan indol, asam piruvat, danammonia. Hasil positif pada uji indol akan terbentuk warna merah dengan penambahan reagen kovach atau erlich

yang

mengandung

p-dimethylamino-benzaldehide

yang

menghasilkan senyawa para amino benzaldehid yang tidak larut dalam air dan membentuk warna merah pada permukaan medium (Michael, 2009). Gambar 4.5 Media SIM dari koloni media EMBA

Uji Simmon Citrat bertujuan mendeteksi kemampuan suatu organisme untuk memanfaatkan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi. Bakteri diinokulasi pada medium yang mengandung natrium sitrat dan indikator pH bromothymol biru. Media juga mengandung garam amonium anorganik, yang digunakan sebagai satu-satunya sumber nitrogen. Pemanfaatan sitrat melibatkan enzim citrat permease, yang memecah sitrat menjadi oksaloasetat dan asetat. Oksaloasetat lebih lanjut dipecah menjadi

28

piruvat dan CO2. Produksi Na2CO3 serta NH3 dari pemanfaatan natrium sitrat dan garam amonium masing-masing menghasilkan pH basa. Hal ini menyebabkan perubahan warna medium dari hijau menjadi biru. Simmons Citrate Medium mengandung amonium dihidrogen fosfat, natrium klorida, natrium sitrat. Magnesium sulfat, agar, bromtimol biru, aquades dan memiliki pH 6,9 (Mahon C, 2015). Hasil pengamatan untuk uji sitrat adalah negatif pada Eschericia coli yang ditunjukkan tidak tidak adanya perubahan warna pada media uji sitrat. Eschericia coli merupakan salah satu bakteri yang tidak menggunakan sitrat sebagai sumber karbon lingkungannya.

Gambar 4.6 Media SCA dari koloni media EMBA

Media urea digunakan untuk mengetahui adanya aktifitas urease pada mikroorganisme. Interpretasinya adalah apabila urea dihidrolisis, amoniak akan dibebaskan dan menyebabkan medium berubah menjadi alkalis. Hasil positif apabila berwarna merah dan hasil negatif apabila berwarna kuning atau tidak ada perubahan warna. Pada media urease tidak menunjukkan adanya perubahan warna. Media tetap berwarna kuning yang berarti

29

bakteri tidak dapat mengurai urea. Uji Urease berguna untuk mengidentifikasi organisme yang mampu menghidrolisis urea yang dapat menghasilkan amonia dan karbon dioksida terutama untuk mengetahui mikroorganisme tersebut mempunyai enzim urease atau tidak. Urease merupakan enzim konstitutif yang menghidrolisis urea menjadi karbon dioksida dan amonia. Hasil pengujian isolat menunjukkan tidak ada perubahan warna menujukkan tidak adanya aktifitas urease pada mikroorganisme. Gambar 4.7 Media Urease dari koloni media EMBA

Berdasarkan Tabel 4.1 hasil fermentasi karbohidrat dari koloni media EMBA menunjukkan hasil mampu memfermentasi seluruh karbohidrat (glukosa, laktosa, maltosa, mannitol) Menurut MahonC,dkk (2015) apabila bakteri mampu memfermentasi dapat dilihat dengan adanya perubahan warna merah menjadi kuning pada media dikarenakan adanya indikator Phenol red yang bereaksi dengan keadaan asam, asam yang terbentuk akan diubah menjadi H2 dan CO2 sehingga menghasilkan gas, gas tersebut dapat dilihat pada tabung durham. Pada pengujian ini bakteri Escherichia coli ditunjukkan dengan warna koloni hijau kilap logam yang dapat memfermentasi semua karbohidrat dan tidak disertai gas pada tabung durham. Sehingga dari isolasi dan bakteri A B identifikasi C D berdasarkan sifat dan karakteristik serta uji konfirmasi biokimia diduga bakteri yang terdapat pada feses sapi adalah bakteri Escherichia coli.

30

Gambar 4.8 Hasil Fermentasi Karbohidrat dari media EMBA ( A: Glukosa, B: Laktosa, C: Manitol, D: Maltosa)

4.3.3 Identifikasi Bakteri Secara Makroskopik dan Mikroskopik Isolasi bakteri primer dilakukan dengan menggunakan media tethrationate broth (TB) sebagai media primer. Media tethrationate broth (TB) merupakan media selektif enrichment yang biasanya digunakan untuk isolasi bakteri Salmonella dan bakteri lainnya. Media tethrationate broth (TB) secara selektif menghambat pertumbuhan bakteri koliform namun memberi kesempatan sebagai media pertumbuhan untuk bakteri enteric pathogen. Sifat selektifitas ini bergantung pada kemampuan dari thiosulfat dan tetrathionate (terbentuk dari penembahan iodin dan Potasium iodida) yang bekerja sama menghambat pertumbuhan bakteri komensal koliform (MacFaddin J., 1985).

Isolasi dilakukan dengan

memasukkan potongan sampel feses yang mengalami kelainan pada media Tethrationate broth lalu diinkubasi selama 24 jam. Setelah diinkubasi, media

tethrationate yang telah dicampur sampel feses tampak keruh. Hal ini menunjukkan

adanya

pertumbuhan

bakteri,

selanjutnya

dilakukan

penanaman pada media Salmonella Shigella Agar (SSA) dan diinkubasi lagi selama 24 jam. Menurut Zimro MJ et al (2009), bentuk koloni Salmonella dan Proteus sp sangat mirip yaitu tidak berwarna/colourless dengan adanya lingkaran hitam ditengah. Hal ini yang menjadi alasan untuk melakukan uji konfirmasi dengan menggunakan uji biokimia. Gambar 4.9 Koloni pada media SSA

Isolasi pada media SSA selanjutnya dilakukan pemeriksaan mikroskopis dengan uji pewarnaan Gram. Pada pewarnaan bakteri yang

31

dapat ditentukan hanyalah bentuk bakteri yakni coccus/bulat ataukah basil/batang dan jenis gram suatu bakteri. Pada pewarnaan gram, warna

merah menunjukkan bakteri gram negatif dan warna ungu menunjukkan bakteri gram positif (David B. Fankhauser, 1983). Hasil pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan gram didapatkan bakteri gram negatif dengan bentuk batang pendek (Gambar 4.10). Bakteri Proteus sp tumbuh dalam bentuk yang bulat dan besar (coco bacilli), berpasangan, dan membentuk rantai. Sedangkan untuk bakteri Salmonella sp merupakan bakteri bentuk batang, pada pengecatan gram berwarna merahmuda (gram negatif). Salmonella sp. berukuran 2 µ sampai 4 µ × 0,6 µ, mempunyai flagel (kecuali S. gallinarum dan S. pullorum), dan tidak berspora. Habitat Salmonella sp. adalah di saluran pencernaan (usus halus) hewan (Todar, 2008). Gambar 4.10. Pewarnaan gram pada media SSSA (perbesaran 1000x)

4.3.4 Identifikasi Bakteri Secara Biokimia Berdasarkan hasil isolasi bakteri media SSA asal feses sapi, diperlukan uji lanjutan seperti uji biokimia untuk identifikasi sifat bakteri. Uji biokimia yang dilakukan antara lain menggunakan Triple Sugar Iron Agar (TSIA), Sulfide Indol Motility (SIM), Simmons Citrate Agar (SCA), Urease, dan uji gula-gula (Manitol, glukosa, laktosa, dan maltosa). Media gula-gula ini digunakan untuk mengetahui apakah bakteri asal feses sapi ini dapat memfermentasi semua jenis glukosa dan media biokimia digunakan untuk mengetahui kemampuan-kemampuan spesifik dari bakteri yang berasal dari feses sapi. Berdasarkan hasil uji biokimia maka dapat ditemukan hasil sebagai berikut:

32

Tabel 4.2 Hasil Identifikasi Uji Biokimia Bakteri asal feses sapi TSIA Miring tegak Gas

H2S

Indol

Asam

+

+

Asam + UREA (+)

SIM H2S

+ SCA (+)

Berdasarkan Tabel 4.2, pada uji TSIA untuk koloni SSA asal feses sapi, pada bagian miring dan bagian tegak menunjukkan hasil negatif yang menandakan media bersifat asam (media berwarna kuning). Selain itu juga terbentuk gas yang ditandai terbentuk gelembung gas pada media

33

dan positif H2S yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna menjadi hitam, karena mampu mendesulfurasi asam amino dan methion yang akan menghasilkan H2S. Triple Sugar Iron Agar (TSIA) merupakan media deferensial yang digunakan dalam menentukan fermentasi karbohidrat dan produksi H2S. Selain itu, uji TSIA ini juga dapat mendeteksi adanya gas hasil dari metabolisme karbohidrat. Gas positif dikarenakan gas yang dihasilkan oleh fermentasi karbohidrat akan muncul sebagai celah di media atau akan mengangkat agar-agar dari bagian bawah tabung. Pengujian dari media Sulfide Indol Motility (SIM) menunjukkan reaksi sulfide terbentuk endapan hitam pada media, karena bakteri ini mampu mendesulfurasi cysteine yang terkandung dalam media SIM. Reaksi indol menunjukan terbentuknya cincin merah pada permukaan media setelah ditetesi chloroform dan reagen Covac’s. Hasil pengujian pada media SCA diperoleh hasil positif yaitu terjadi perubahan warna dari hijau menjadi biru, hal ini menandakan bahwa bakteri

membutuhkan

sitrat

dalam

proses

metabolismenya

dan

dikarenakan bakteri mempunyai enzim sitrat permiase yang merupakan enzim pembawa sitrat. Sedangkan hasil uji urease pada koloni SSA asal feses sapi menunjukkan hasil positif sebab terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah muda, artinya bakteri mampu menghidrolisis urea dan membentuk ammonia serta pada medium urea terdapat koloni di daerah sekitar streak. Hal ini dikarenakan oleh bakteri yang ditanam membutuhkan urea untuk proses metabolismenya. Hasil dari uji gula-gula didapatkan hasil positif pada medium glukosa, manitol dan maltose yaitu adanya perubahan warna merah menjadi merah kekuningan pada Gambar 4.11 yang menandakan bahwa bakteri ini membentuk asam dari fermentasi glukosa, maltosa dan manitol.

34

A

B

C

D

Gambar 4.11 Hasil Fermentasi Karbohidrat dari media SSA ( A: Glukosa, B: Laktosa, C: Manitol, D: Maltosa)

Tabel 4.3 Hasil Identifikasi Koloni Bakteri dari Media SSA Karakteristik Uji Gram

Morfologi sel TSIA

Indol (SIM)

Jenis Isolat Media SSA Gram negatif

Batang pendek - Basa - Basa - H2S (+) hitam - Gas (+)

-

Indol (+) H2S (+)

35

Interpretasi Gram positif : bakteri berwarna ungu Gram negatif : bakteri berwarna merah (melarutkan zat lipid selama pencucian dengan alkohol) - Tidak memfermentasi semua karbohidrat : bila pada dasar (butt) media berwarna merah (bersifat basa) dan lereng (slant) berwarna merah (bersifat basa) - memfermentasi metionin dan sistein (H2S) - pecahnya dan terangkatnya agar (Gas) Negatif (-) ditunjukkan dengan pertumbuhan hanya terlihat disepanjang garis inokulasi dan media tidak menjadi keruh

Citrate

Biru (+)

Urease

Merah (+)

Uji Gula-gula : Glukosa

Positif (+) ditunjukkan dengan pertumbuhan bakteri menyebar menjauhi garis inokulasi (pergerakan) sehingga media manjadi keruh. Negatif (-) : tidak terjadinya perubahan warna media dari hijau menjadi biru. Positif (+) : terjadinya perubahan warna media dari hijau menjadi biru. Menggunakan citrat sebagai salah satu/satusatunya sumber karbon Negatif (-) : tidak terjadi perubahan warna media menjadi pink/merah Positif (+) : terjadi perubahan warna media menjadi pink/merah jambu. Artinya isolat memecah urea membentuk amoniak

Kuning kemerahan (+) Durham tidak terangkat

Laktosa

Merah (-) Durham tidak terangkat

Maltosa

Merah kemerahan(+) Durham tidak terangkat

Manitol

Kuning kemerahan(+) Durham tidak terangkat

Hasil Identifikasi

Proteus sp

Negatif (-) : tidak terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning, artinya isolat tidak memfermentasi gula Positif (+) : terjadi perubahan warna media dari merah menjadi kuning. Artinya isolat memfermentasi gula

Berdasarkan hasil isolasi pada media primer tethrationate broth yang dilanjutkan pada media SSA kemudian pewarnaan gram, uji biokimia, dan uji fermentasi gula, menurut Manos (2006), bahwa koloni terpisah tersebut adalah bakteri Proteus sp. Ciri bentuk koloni yang kecil dengan adanya H2S pada media SSA, pada pewarnaan gram diperoleh gram negatif

36

dengan bentuk batang/basil pendek, dan pada uji biokimia sebagai berikut TSIA basa/basa dengan adanya H2S, SIM (indol positif dan H2S positif), sitrat positif, urea positif, serta mampu membentuk asam dari fermentasi glukosa, maltose dan manitol. Bakteri Proteus sp. Dapat berada di saluran gastrointestinal atau saluran pencernaan. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Hoeniger dan Cinitis (1969), yang menyatakan bahwa beberapa jenis Proteus sp dapat menyebar luas ke lingkungan dengan cepat dan dapat diisolasi dari saluran pencernaan mamalia, unggas, dan beberapa jenis reptil. Pelczar dan Reid (1958) menyatakan bahwa Proteus sp sering ditemukan di air, tanah, udara dan makanan. Hewan yang mendapatkan makanan dari pakan yang tercemar Proteus sp dapat mengalami diare. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan anamnesa dan gejala klinis bahwa sapi pada pemeriksaan ini menunjukkan gejala diare. Selain dari pakan yang tercemar, bakteri ini juga dapat menularkan ke hewan lain dari feses yang terinfeksi Proteus sp.

4.4 Pembahasan 4.4.1 Infeksi Bakteri Escherichia coli Berdasarkan hasil pemeriksaan feses sapi, bakteri yang ada adalah E.coli. Escherichia coli adalah bakteri yang merupakan bagian dari mikroflora yang secara normal ada dalam saluran pencernaan manusia dan hewan berdarah panas. E.coli juga merupakan bakteri indikator kualitas air karena keberadaannya di dalam air mengindikasikan bahwa air tersebut terkontaminasi

oleh

feses,

yang

kemungkinan

juga

mengandung

mikroorganisme enterik patogen lainnya. E. coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. Morfologi E.coli E. coli tergolong bakteri gram negatif, berbentuk batang yang tidak membentuk spora, tidak tahan asam dan ukurannya 2−3 x 0,6 µm. Bakteri

37

ini dapat ditemukan pada berbagai infeksi pada hewan dan merupakan agen primer atau sekunder dari infeksi tersebut. Berdasarkan penyakit yang ditimbulkannya, dapat digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama, E. coli yang bersifat oportunistik, artinya dapat menyebabkan penyakit dalam keadaan tertentu, misalnya kekurangan makanan atau mengikuti penyakit lain. Kedua, bersifat enteropatogenik/ enterotoksigenik, E. coli yang mempunyai antigen perlekatan dan memproduksi enterotoksin sehingga dapat menimbulkan penyakit (Tabbu, 2000). E. coli menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. Bagian usus yang paling banyak mengandung kuman tersebut adalah jejunum, ileum dan sekum. Jenis E. coli yang terdapat di dalam usus tidak selalu sama dengan jenis yang ditemukan pada jaringan lain. Sebagai agen penyakit sekunder,E. coli sering mengikuti penyakit lain, misalnya pada berbagai penyakit pernafasan dan pencernaan yang menyerang hewan. Cara Penularan Bakteri E. coli berasal dari kotoran hewan dan manusia serta kontaminasi pada proses yang kotor. E. coli dapat mencemari daging pada saat pemotongan maupun proses pengolahan daging. Salah satu faktor pencemaran E. coli adalah peralatan pemotongan daging serta air pencucian daging (sanitasi pengolahan). Daging saat dipotong pada saat panas mengeluarkan energi yang menjadi sumber kontaminan yang baik bagi E. coli. Penyebab akibat adanya perubahan energi yang memicu kinerja daripada enzim yang dibakar pada autolisis dan memberikan peluang bakteri berkembang lebih cepat pada kondisi autolisis. E. coli dapat membentuk koloni pada saluran pencernaan manusia maupun hewan dalam beberapa jam setelah kelahiran. Faktor predisposisi pembentukan koloni ini adalah mikroflora dalam tubuh masih sedikit, rendah kekebalan tubuh, faktor stres, pakan, dan infeksi agen patogen lain. Kebanyakan E. coli memiliki virulensi yang rendah dan bersifat oportunis (Songer dan Post 2005). Ditjenak (1982) melaporkan bahwa E. coli keluar dari tubuh bersama tinja dalam jumlah besar serta mampu bertahan sampai beberapa minggu. Faktor Predisposisi

38

hewan muda lebih sensitif dibandingkan dengan umur dewasa. Faktor pendukung timbulnya kolibasilosis antara lain adalah sanitasi atau disinfeksi yang kurang, sumber air minum yang tercemar oleh bakteri, sistem perkandangan dan peralatan kandang yang kurnag memadai. (Pudjiatmoko, 2014). Jenis bakteri E.coli patogen yang bersifat enterotoxigenic akan menyebabkan terbentuknya akumulasi cairan di usus sehingga akan mengalami diare (usus mengalami peradangan/enteritis). Bentuk infeksi sistemik kolibasilosis disebabkan karena masuknya bakteri E.coli dalam sirkulasi darah, menginfeksi berbagai jaringan melalui luka pada usus atau saluran pernapasan (Tarmudji, 2003) : Penanganan Untuk enteritis akibat E.coli pengobatan akan efektif, bila diberikan pada awal kejadian dan dianjurkan untuk dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotik dalam aplikasinya. Untuk pengendalian penyakit ini, harus ditujukan pada perbaikan manajemen peternakan, meliputi sanitasi/desinfeksi mesin perah, program pencegahan penyakit dan vaksinasi yang sesuai. (Tarmudji, 2003). Dalam pencegahan penyakit di suatu peternakan komersial, harus dilakukan penerapan program vaksinasi dan kesehatan yang terkoordinasi biosekuriti. Untuk itu, strategi pencegahan infeksi yang berbasis pengadaan bibit yang bebas penyakit merupakan suatu hal penting yang harus diperhatikan. Oleh karena itu, dalam pengendalian kolibasilosis sebaiknya dimulai dari aspek manajemen pada pembibitan, mesin perah dan kandang (Pudjiatmoko, 2014). Kualitas pakan, sumber air minum yang bebas bakteri, sistem perkandangan yang baik, sanitasi/ desinfeksi yang ketat, program vaksinasi yang sesuai dengan situasi dan kondisi peternakan, serta pengaturan pekerja perlu dijaga secara ketat. Pencegahan berbagai penyakit pencernaan dan penyakit yang bersifat imunosupresif hendaklah mendapatkan prioritas utama (Tarmudji, 2003). 4.4.2 Infeksi bakteri Proteus sp

39

Proteus sp dan Sifat Pertumbuhannya Proteus sp.

tidak termasuk dalam famili Enterobacteriaceae,

bakteri bentuk batang , gram negatif, tidak berspora, tidak berkapsul, flagel peritrik, ada yang coco bacili, polimorfik, berpasangan atau membentuk rantai, kuman ini berukura 0,4-0,8 x 1,0-0,3 mm. Bakteri Proteus sp. Termasuk dalam bakteri non fruktosa fermenter, bersifat fakultatif aerob/anaerob. Menurut Rozalski dkk (1997), bakteri ini merupakan flora normal pada saluran cerna manusia dan hewan. Bakteri Proteus sp. bersifat oportunis yaitu secara normal bakteri ini berada didalam tubuh hewan dalam jumlah yang terkendali. Tetapi pada saat kondisi hewan menurun, akibat stres atau sakit misalnya, bakteri ini berkembang menjadi sifat patogen (Dulaimi, 2009). Penyebaran Proteus sp. Penyebaran penyakit oleh Proteus sp. Melalui air minum, pakan dan kemungkinan bakteri ini untuk masuk ke tubuh melalui luka yang menyebabkan infeksi pada saluran kemih serta dapat menyebabkan diare pada hewan. Patogenitas Proteus sp. Proteus sp.

Termasuk bakteri patogen, menyebabkan infeksi

saluran pencernaan. Proteus sp. Ditemukan sebagai penyebab diare pada hewan. Proteus sp.

Termasuk bakteri patogen, menyebabkan infeksi

saluran kemih atau kelainan bernanah seperti abses, infeksi luka. Proteus sp. Ditemukan sebagai penyebab diare pada anak ayam maupun sapi dan dapat menmbulkan infeksi pada manusia. Penyebaran penyakit oleh Proteus sp. Melalui air, kemungkinan bakteri ini untuk masuk ke tubuh dan masuk melalui luka yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran kemih serta dapat menyebabkan diare. Gejala Klinis Salah satunya gejala klinis yang terlihat akibat infeski dari Proteus sp. adalah terlihatnya perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan darah atau lendir. Hal ini terjadi akibat Proteus sp. yang menginfeksi

40

saluran pencernaan. Infeksi saluran kemih yang simtomatik gejalanya bergantung pada umur penderita dan lokalisasi infeksi di dalam saluran kemih. Gejala dan tanda klinik infeski saluran kemih tidak selalu lengkap dan bahkan tidak selalu ada yaitu pada keadaan bakteriuria tanpa gejala. Biasanya gejala lazim ditemukan adalah disuria, polakisuria dan terdesaknya kencing atau disebut urgency urgency yang semua dapat terjadi secara bersamaan. Rasa sakit bisa didapatkan didaerah pelvis berupa rasa nyeri atau rasa terbakar di uretra ataupun di saluran uretra luar sewaktu kencing maupun diluar kencing. Diagnosa Proteus sp. Diagnosa yang paling tempat untuk Proteus sp. adalah dengan identifikasi melalui reaksi biokimia seperti glukosa, laktosa, sukrosa, manitol, maltosa dan destroksa. Proteus sp. dapat memfermentasikan glukosa dengan menghasilkan asam dan gas (Cruickshank dkk, 1973). Bakteri ini dapat juga memfermentasikan destroksa dengan membentuk gas, tetapi tidak memfermentasikan laktosa. Pada uji urea terdapat hasil positif. Proteus vulgaris dapat memfermentasikan maltosa dan sukrosa dengan cepat, tetapi tidak untuk Proteus mirabilis bakteri ini menunjukkan reaksi negatif pada maltosa (Wilson dkk, 1964). Pengobatan Proteus sp. Untuk penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Proteus sp. dapat diobati dengan sebagian besar jenis penicilin atau sefalosporin, untuk kasus tertentu tidak cocok bila digunakan nitrofuration atau tetrasiklin karena dapat meningkatkan resistensi terhadap ampicilin, trimetrhoprim, dan siprofloksasin. Pengendalian dan Pencegahan Proteus sp. Tindakan pencegahan yang penting adalah dengan mengadakan sanitasi mesin perah, kandang dan peralatan makan dan minum dengan cara mendesinfeksi alat dan tempat tersebut sebelum digunakan. Selain itu pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan manajemen dan pengamanan biosecurity pada sebuah farm. Kemudian memelihara hewan pada lingkungan yang dapat mencegah kontak langsung ataupun tidak langsung

41

dengan ayam terinfeksi. Pengamanan biologis yang ketat diharapkan dapat mencegah kontak antara bakteri Proteus sp.

dengan hewan lainnya

(Charles, 2002).

BAB V PENUTUP 3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pemeriksaan pada sample feses sapi yang dilakukan maka dapat disimpulkan: 1. Cara mengisolasi dan mengidentifikasi penyebab penyakit sistem pencernaan pada sampel feses sapi perah yang kemudian dilakukan pewarnaan

gram

serta

isolasi

berbagai

media

(EMBA,MCA,Tetrathionat broad, SSA). Sedangkan untuk identifikasi menggunakan uji biokimia, yang terdiri dari TSIA, Urease, citrate, SIM, Indol, dan gula – gula. 2. Berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi terhadap sampel feses sapi potong yang diduga mengalami gangguan pencernaan oleh bakteri berhasil diisolasi beberapa bakteri penyebabnya yaitu E. coli, dan Proteus sp. 3.2 Saran

42

Untuk menghindari kontaminasi saat pengujian maka pengujian harus dilakukan dengan steril.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Riza Z. 2005. Pemanfaatan Khamir Saccharomyces cerevisiae Untuk Ternak. Balai Penelitian Veteriner: Bogor Arch G. Mainous. 2010. Management of Antimicrobials in Infectious Diseases. Humana Press Baehaqi, K.Y., P.A.S, Putriningsih dan I.W. Suwardana. 2015.Isolasi dan Identifikasi Escherichia Coli O157:H7 dada Sapi Bali Di Abiansemal, Badung, Bali. Indonesia Medicus Veterinus. 4(3) : 267-278 Buchanan, R,E., Gibbons, N.E. 2003. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. USA: The William & Wilkins Company Baltimore Church DC, Pond WG. 1979. Basic Animal Nutrition and Feeding. Ed ke-3. New York: J Wiley. Erwanto. 1995. “Optimalisasi Sistem Fermentasi Rumen melalui Suplementasi S. Defaunasi, Reduksi Emisi Methan dan Stimulasi Pertumbuhan Mikroba

43

pada Ternak Ruminansia”. Disertasi. Program Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor. Jawa Barat. Iskandar, S. 2010. Seri Peningkatan Manfaat Sumberdaya Genetik Tenak : Usaha Tani Ayam Kampung. Balai Penelitian Ternak. Bogor. Jawetz. E., J.L. Melnick, E.A.Adelberg. 2008. Mikrobiologi untuk profesi kedokteran. ECG. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Mahon C, Lehman D, Manuselis G. Texbook of diagnostic microbiologi 4th ed. USA: Saunders Elsevier, 2015. 420-853P Pelczar Michael. 2009. Dasar-dasar mikrobiologi. Jakarta: UI press. Sauri S. 2011. Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian BogorTerhadap Foodborne Disease. Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Subronto. 2007. Ilmu Penyakit Ternak I-a. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Surjawidjaja, J.E., O.Ch. Salin, P. Bukitwetan. Dan M. Lesmana. 2007. Perbandingan agar MacConkey, Salmonella-Shigella,dan xylose lysine deoxycholate untuk isolasi Shigella dari usap dubur penderita diare. Universa Medicina. Vol.26-No.2 Todar. 2008. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Salmonella pada Industri Perunggasan. Penyakit Zoonosis, Bogor. Wahyuni, I., M. Alwi, dan Umrah. 2013. Deteksi Bakteri Coliform DAN Escherichia coli Pada Minuman Es Jeruk Di Cafe Lesehan Pantai Talise Palu. Biocelebes, Vol. 7 No. 2 Zimro MJ, Power DA, Miller SM, Wilson GE, Johnson JA. 2009. Difco and BBL Manual of Microbiology Culture Media. United States (ISBN 0-97272071- 5):Becton, Dickinson and Company. Ed. Ke-2

44

BAGIAN 2. VIROLOGI 45

Newcastle disease

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Peternakan unggas merupakan salah satu peluang bisnis yang menjanjikan karena dapat dijangkau oleh masyarakat menengah kebawah. Namun sejumlah tantangan bisa menjadi penghambat usaha yang bisa mengubah keuntungan menjadi kerugian. Salah satu tantangan dan hambatan dalam usaha peternakan adalah manajemen pemeliharaan kesehatan. Salah satu penyakit yang sangat penting di Indonesia dimana sangat cepat penyebarannya dan menimbulkan banyak kerugian besar karena memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi yaitu penyakit Newcastle Disease (ND). Newcastle disease (ND) merupakan suatu penyakit pernapasan dan sistematik, bersifat akut, mudah sekali menular, yang disebabkan oleh virus dan menyerang berbagai jenis unggas terutama ayam (Tabbu, 2000). Penyakit ini mempunyai angka mortalitas yang tinggi mencapai 80-100%, hal ini dikarenakan seringkali terjadi pada kelompok ayam yang tidak memiliki

46

kekebalan atau pada kelompok yang memiliki kekebalan rendah akibat terlambat divaksinasi atau maupun kegagalan program vaksinasi (Rahayu, 2010). Penyakit Newcastle disease (ND) disebabkan oleh golongan virus ribonukleat acid RNA yaitu virus dari genus paramyxovirus, yang memiliki hemaglutinin sehingga dapat mengikat permukaan eritrosit satu dengan yang lainnya dan menyebabkan hemaglutinasi (Ernawati dkk, 2007). Pemeriksaan serologik merupakan salah satu cara untuk mendiagnosa penyakit Newcastle Disease (ND). Salah satu uji serologi yang dapat dilakukan yaitu dengan uji hemaglutinasi (HA) hemaglutinasi inhibisi (HI). Pemeriksaan ini dipakai untuk mengetahui ada tidaknya pertumbuhan virus ND, mengevaluasi tingkat keberhasilan vaksinasi, respon kekebalan yang normal pada ayam dan mengukur titer antibodi terhadap virus ND. Diagnosa definitif terhadap ND tersebut dapat dilakukan dengan cara isolasi dan identifikasi virus dengan menggunakan telur ayam bertunas (TAB) umur 8-11 hari, yaitu metode paling praktis dan sering digunakan dalam pembiakan virus. Isolasi virus dilakukan untuk mengidentifikasi suatu jenis virus penyebab infeksi berdasarkan adanya gejala patologi penyakit. Bahan isolasi virus berasal dari organ ayam yang diduga terinfeksi. TAB yang akan digunakan sebagai perbenihan virus harus memenuhi beberapa syarat yaitu berasal dari ayam sehat dan tidak pernah tertular penyakit, serta tidak pernah divaksin atau yang biasa disebut dengan Specified Pathogen Free (SPF). Pertumbuhan virus pada TAB juga dipengaruhi beberapa faktor yaitu umur embrio, konsentrasi, volume inoculum, suhu (37ºC) dan kelembaban incubator (60–65%) (Ernawati dkk, 2007). Dengan dilakukanya pengujian virologi dengan menggunakan sampel unggas sehingga dapat diidentifikasi agen infeksius penyebab suatu penyakit. Pemeriksaan virologi sangat penting dilakukan untuk mengetahui penyebab suatu penyakit. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana cara mendiagnosa ayam yang diduga terkena Newcastle Disease (ND) dengan metode HA-HI? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui cara mendiagnosa ayam yang diduga terkena

47

Newcastle Disease (ND) dengan metode HA-HI. 1.4 Manfaat 1. Meningkatkan

pemahaman

tentang

melakukan

langkah-langkah

pemeriksaan terhadap ayam yang sakit diduga terinfeksi oleh virus Newcastle Disease (ND) 2. Menambah wawasan dan meningkatkan keterampilan calon dokter hewan dalam mediagnosa penyakit yang disebabkan oleh virus secara laboratorik.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 New Castle Disease (ND) Newcastle Disease (ND) adalah penyakit saluran pernafasan, pencernaan, dan sistem syaraf pada unggas yang disebabkan oleh serotype Avian Paramyxovirus tipe-1 (APMV-1). Penyakit yang dikenal dengan nama ”Tetelo” ini merupakan salah satu penyakit yang sangat penting pada peternakan unggas. Newcastle Disease Virus (NDV) tidak hanya menyerang unggas ayam, tetapi juga dapat menyerang berbagai macam unggas lain seperti kalkun, merpati, angsa, bebek, beberapa unggas liar, termasuk unggas air. Penyebaran dari virus ini dapat mencapai radius 5 km, melalui kontak udara (Quinn et al, 2002). 2.1.1 Morfologi Virus ND Penyebab ND adalah virus yang tergolong Paramyxovirus, termasuk virus ss-RNA yang berukuran 150-250 milimikron, dengan bentuk bervariasi tetapi umumnya berbentuk spherik. Beberapa strain memiliki

48

bentuk pleomorfik atau bulat panjang. Virus ND memiliki amplop dan kapsid berbentuk heliks yang simetris. Virus ND atau avian paramyxovirus serotype 1 (APMV-1) termasuk genus Anulavirus. Virus RNA dengan total panjang genom sekitar 15,2 kb menyandi 6 protein penting, yakni nucleocapsid (N), phosphoprotein (P), matrix (M), Fusion (F), hemagglutinin neuraminidase (HN), dan RNA-dependent RNA polymerase (L). Ada dua protein penting pada virus ND, yakni HN dan F (Recco, 2011). Protein H merupakan protein yang melekat dan mengikat pada reseptor bagian luar membrane sel inang, termasuk sel darah merah. Perlekatan virus ke sel darah merah adalah sifat penting yang digunakan di laboratorium untuk mendeteksi keberadaan virus dan untuk mendeteksi antibody terhadap virus. Bagian N (neuraminidase) merupakan enzim aktif yang membantu dalam pelepasan virus dari membran sel inang. Aktivitas enzim ini mempengaruhi waktu yang dibutuhkan bagi virus untuk mengelusi dari sel darah merah (Recco, 2011). Protein F berfungsi untuk fusi antara amplop virus dengan membrane sel inang. Hal ini memungkinkan penetrasi sel inang oleh genom virus. Pada saat fusi terjadi, bentuk protein fusi asli harus diubah. Perubahan ini terjadi ketika protease inang membelah atau memotong protein virus pada tempat pembelahan spesifik. Setelah ini terjadi, protein fusi diaktifkan dan pada saat inilah terjadinya fusi. Urutan asam amino di sekitar tempat pembelahan akan menentukan berbagai enzim protease yang dapat mengaktifkan pembelahan protein. Untuk selanjutnya akan menentukan virulensi virus (Recco, 2011).

49

Gambar 2.1 Morfologi Virus ND (Recco, 2011).

Virus ND peka terhadap panas, cepat mati pada suhu di atas 50 °C, tetapi tahan 1 minggu pada suhu 37°C, 2 bulan pada suhu 22°C-28°C dan berbulan-bulan pada karkas beku. Virus tahan pada perubahan pH 2- pH 10, tetapi peka terhadap sinar ultra violet dan sinar matahari. Bahan yang bersifat virusidal antara lain formalin (1-2%), phenol (1:20) dan kalium permanganate (KMnO4) dalam larutan 1:5000 atau dengan fumigasi, alcohol 70%, kresol 3%. Virus ND dapat tumbuh pada telur ayam berembrio (TAB) umur 9-12 hari pada cairan allantois. Selain itu virus ND juga bisa ditumbuhkan pada kultur sel fibroblast dan sel ginjal embrio ayam, serta sel baby hamster kidney (BHK) (Murphy, 2007). 2.1.2 Penularan ND Newcastle disease dapat menginfeksi lebih dari 250 spesies dari 27 golongan unggas. Sebagian jenis unggas ada yang terserang virus ini menujukkan gejala sementara ada beberapa jenis unggas yang lain tetap tidak menunjukkan gejala. Contoh jenis unggas yang peka terhadap penyakit

ini

antara

lain

ordo

Psittaciformes,

Struthioniformes,

Columbiformes, Charadriiformes, Strigiformes, Pelecaniformes, dan Passeriformes. Sedangkan jenis unggas yang resisten ataupun tidak menunjukkan gejala klinis walaupun terinfeksi ND antara lain golongan Raptor dan ordo Anseriformes. Tingkat kejadian dan kematian terhadap infeksi ND bergantung pada jenis atau strain virus yang menyerang. Selain pada golongan Unggas, penyakit ini juga dapat menyerang manusia. Manifestasi yang terjadi adalah konjungtivitis, oedema pada

50

kelopak mata, dan hemoragic pada bagian sub-conjuctival dilaporkan terjadi 24 jam setelah terinfeksi VND pada bagian mata (Swayne dan King 2003). Berdasarkan Goebel et al. (2007), Manifestasi ini dapat menjadi akut apabila manusia yang terinfeksi memiliki kondisi immunosupresi, karena ditemukan isolat seperti APMV-1 pada jaringan paru-paru, urin dan feses dari pasien yang meninggal karena pneumonia. Namun sampai saat ini masih belum ada laporan bahwa penyakit ini dapat menyebar antar manusia (OIE 2013). Penyebaran ND secara umum bisa terjadi melalui kontak langsung dengan sekresi maupun eksresi unggas yang terinfeksi. Virus dapat dishedding-kan baik di feces maupun di sekresi respirasi. Kemampuan masing-masing unggas dalam shedding virus berbeda-beda. Contohnya pada ordo Gallinaceous dapat mengeksresikan virus dalam waktu 1-2 minggu sedangkan ordo Psittaciformes membutuhkan waktu lebih lama yaitu beberapa bulan. Kemampuan bertahan hidup dari virus ini sangat tinggi, salah satunya masih dapat bertahan hidup walaupun inangnya telah mati. Berdasarkan Olesiuk (1951), APMV-1 dapat bertahan pada lingkungan yang bervariasi dimungkinkan karena beberapa faktor, antara lain kelembaban, temperature udara, dan paparan cahaya. Sumber penularan virus dapat berasal dari eksresi/sekresi unggas yang terinfeksi, semua bagian dari karkas, sheeding virus, maupun bekas kandang yang pernah terinfeksi dan lingkungan yang tidak bersih. Proses penularan ND umumnya melalui rute pencernaan (fecal/oral) dan inhalasi (Charles 2000, OIE 2013). Secara umum penularan ND terjadi secara horizontal. Sedangkan anak ayam yang baru menetas juga dapat terinfeksi penyakit ini dari cangkang yang terkontaminasi (Fenner et al. 1995). 2.1.3 Gejala Klinis ND Gejala klinis yang disebabkan oleh virus ND tergantung dari starin virus, spesies unggas, umur induk semang, status kekebalan induk semang, ada tidaknya infeksi mikroorganisme lain, kondisi lingkungan, dan jalur atau dosis infeksi virus ND . Pada umumnya gejala klinis yang terlihat dari infeksi virus ND adalah bulu sayap terkulai, lesu, dan

51

anoreksia. Selain itu gejela pernafasan dengan kepala dan leher berputar disertai diare juga terlihat. Infeksi virus ND dapat menyebabkan penurunan produksi telur pada ayam petelur. Pada infeksi yang parah dapat menyebabkan gangguan saraf dan sampai menimbulkan kematian yang mendadak. Gejala penyakit akibat infeksi virus ND dimulai dengan anoreksia diikuti peningkatan suhu tubuh yang mencapai 43oC, selanjutnya lesu, haus, bulu yang kusam, jengger berdarah, mata selalu tertutup, laring serta faring kering, dan bersin-bersin. Setelah sembuh dapat mengakibatkan kerusakan sistem saraf pusat dengan tampak gejala paresis kaki, ataksia, tortikolis, dan tremor (Nandi, 2009). Sedangkan menurut Calnek et al. (1997), tanda-tanda klinis yang muncul secara umum meliputi gangguan pada sistem saraf, sistem pernafasan,

sistem

gastrointestinal

dan juga

sistem

reproduksi.

Morbiditas biasanya tinggi dan mortalitas bervariasi antara 0-100 %. Mortalitas yang lebih tinggi terlihat pada ayam yang tidak divaksinasi tetapi terkena infeksi tipe velogenik. Lima manifestasi klinis ND menurut Beard dan Hanson (1984), diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Viscerotropik Velogenik ND (VVND)

Jenis ini merupakan jenis yang sangat virulen untuk ayam, tetapi kurang virulen pada kalkun. Gejala Klinis yang diperlihatkan adalah gangguan pernafasan parah, sering terlihat adanya lesi hemoragic pada usus dan menyebabkan kematian sampai 90 %. 2. Neurotropik Velogenik ND (NVND)

Bersifat akut dan fatal pada ayam semua usia, menyebabkan gangguan neurologis dan gangguan pernafasan. 3. Mesogenik ND

Tipe

ini

menyebabkan

gangguan

pernafasan,

kadang

kala

menunjukkan gejala gangguan syaraf, dan mempengaruhi kualitas dan produksi telur serta mengakibatkan kematian sampai 10 %. 4. Lentogenik ND

Tipe ini bersifat ringan, kadang-kadang subklinis. Mempengaruhi hewan pada segala usia. Strain ini dapat dikembangkan sebagai

52

vaksin, menghasilkan tanda-tanda ringan dengan tingkat mortalitas yang dapat diabaikan. 5. Asimtomatik

Merupakan tipe yang sering ditemui. Jenis infeksi yang ditimbulkan adalah infeksi subklinis pada saluran pencernaan. Perubahan makroskopik biasanya erat hubungannya dengan galur dan tipe patologik dari virus ND, jenis unggas, faktor lingkungan, dan infeksi campuran dengan mikroorganisme lain. Perubahan makroskopik yang terlihat pada penderita ND tersifat oleh adanya nekrosis dan hemoragi pada saluran pencernaan meliputi proventrikulus, ventrikulus dan berbagai bagian usus. Tidak dijumpai perubahan pada sistem syaraf, kadang-kadang juga pada saluran nafas. Jika ditemukan perubahan pada saluran nafas maka akan terlihat hemorhagi dan kongesti berat pada trakea. Penebalan kantong udara disertai timbunan eksudat kataral sampai mengeju pada permukaannya. Organ reproduksi mengalami hemoragi dan perubahan warna menjadi lebih pucat (Dormants, 2001). Gejala awal yang umum terjadi adalah gangguan pernapasan dan serak yang diikuti dengan kelumpuhan kaki, sayap dan tortikolis leher pada 1 atau 2 hari berikutnya (Kommers et al. 2002). Pada unggas dewasa, penurunan produksi yang bersamaan dengan gangguan pernapasan serta kelumpuhan terjadi 4 sampai 6 hari pasca infeksi. Tanda-tanda lain mencakup gangguan pernapasan (terengah-engah, batuk), gangguan syaraf (depresi, tremor otot, sayap terkulai, torsi kepala dan leher, berputar-putar serta kelumpuhan), pembengkakan jaringan sekitar mata dan leher, diare berair kehijauan, kualitas telur yang kasar atau tipis dan berisi albumen encer serta produksi telur berkurang (Charlton 2006). 2.1.4 Diagnosa ND Diagnosa awal yang dilakukan adalah melihat gejala klinis, apabila terdapat kematian yang mendadak tanpa adanya gejala klinis yang khas, maka lesi post mortem dapat dijadikan sebagai salah satu petunjuk untuk diagnosa penyakit. Diganosa banding yang digunakan adalah penyakit

53

fowl

cholera,

highly

pathogenic

avian

influenza

(HPAI),

laryngotracheitis, mycoplasmosis, infectious bronchitis, aspergilosis dan permasalahan manajemen seperti ventilasi yang kurang baik dan tingkat asupan makanan dari unggas tersebut (OIE, 2013). Diagnosa lanjutan dapat dilakukan di laboratorium. Diagnosa lanjutan meliputi identifikasi agen penyakit dan uji serologi. Identifikasi agen penyakit dapat dimulai dari pengambilan sampel untuk isolasi virus. Sampel umum yang diambil adalah sampel usap kloaka dan trackhea, sampel organ antara lain paru-paru, ginjal, usus, limpa, otak, hati dan jantung. Sampel yang telah diperoleh diuji lebih lanjut dengan cara ditanam dalam Telur Embrio Tertunas Specific Pathogen Free (TETSPF) umur 9-11 hari. Penanaman ini berfungsi untuk mengisolasi dan menumbuhkan agen penyebab penyakit. Setelah pengamatan selama 4 hari, Chorio Allantois Membran dipanen dan diuji keberadaan virus dengan uji Hemaglutinasi (HA). Uji HA dapat memberikan hasil positif untuk 10 suptipe APMV maupun 16 subtipe hemaglutinin virus A Influenza ataupun cairan nonsteril yang terkontaminasi bakteri HA. Uji spesifik ND dapat diakukan dengan uji Hemaglutination Inhibition (HI) dengan antiserum standart ND. Variasi virulensi dari VND dapat diketahui dengan melakukan berbagai uji patogenisitas. Uji yang digunakan antara lain uji Mean Death Time (MDT), Intravenous Pathogenicity Test (IVPT) dan uji Intracerebral Pathogenicity Index (ICPI). Berdasarkan kesepakatan internasional, uji yang dapat digunakan sebagai uji virulensi adalah ICPI. Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kemungkinan terjadinya kesalahan produksi virus yang tidak berasal dari ayam. Sehingga memperkecil kemungkinan agen untuk menyebar ke lingkungan. Selain diuji secara in vivo, variasi virulensi juga dapat dilakukan dengan menggunakan basis molekuler dengan metode realtime Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (rRT-PCR). Bagian yang dapat dideteksi adalah bagian asam amino tambahan pada bagian fusion VND. Apabila tidak terdapat asam amino tambahan pada bagian fusion, maka

54

tingkat virulensi dapat dilihat dari hasil ICPI. Dari hasil rRT-PCR tersebut dapat dilanjutkan ke tahap sekuensing untuk mendapatkan analisis filogenetik dari agen tersebut (OIE, 2013). Uji laboratorium berikutnya adalah uji serologi. Uji serologi ini dapat berfungsi melihat keanekaragaman antigen permukaan VND. uji serologi juga dapat digunakan sebagai uji konfirmasi untuk serum netralisasi atau enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA). Dan uji Hemaglutination Inhibition (HI) memiliki fungsi untuk menguji titer antibody pada serum (OIE, 2013) 2.2 Tinjauan Umum Tentang Isolasi dan Identifikasi Virus 2.2.1 Telur Ayam Berembrio (TAB) Isolasi virus ND dapat dilakukan secara in ovo menggunakan telur ayam berembrio umur 9-12 hari specific pathogen free atau setidaknya bebas antibodi terhadap virus tetelo. Sejauh ini inokulasi ditempatkan pada ruang allantois dianggap yang paling peka, meskipun inokulasi pada ruang amnion maupun pada yolk sac dapat juga dipertimbangkan. Pertumbuhan virus dapat menyebabkan kematian embrio, meskipun antar strain virus ND juga bervariasi. Virus dapat diisolasi dari hewan penderita atau organ hewan yang telah mati. Virus tersebut akan mampu hidup dan berkembang biak pada suatu sel hidup. Untuk membiakkan birus dapat dilakukan pada hewan percobaan, kultur jaringan dan inokulasi pda telur ayam berembrio (TAB). Tidak semua virus dapat tumbuh baik pada masing-masing cara di atas, bahkan virus lain hanya dapat tumbuh pada host aslinya. Sebagai pengganti hewan percobaan dan perbenihan jaringan dapat digunakan telur berembrio untuk isolasi dan identifikasi dari berbagai jenis virus serta produksi vaksin. Telur berembrio yang biasa digunakan adalah telur ayam negeri, telur ayam kampung, atau telur bebek. Umur telur, cara penyuntikan, suhu pengeraman, dan lamanya pengeraman tergantung dari jenis virus yang akan disuntikkan. Virus didalam TAB dapat hidup pada beberapa bagian dari telur, tergantung dari sifat virus. Umur TAB yang digunakan tergantung pada tempat inokulasi dan sifat

55

virus. Perlu diperhatikan, bahwa TAB harus berasal dari induk yang sehat, tidak pernah divaksin dan tidak pernah tertular penyakit atau spesific pathogen free (SPF). Embrio berada dalam kantung amnion yang berisi cairan amnion yang berwarna putih jernih. Jika akan digunakan telur untuk percobaan, maka telur tersebut tidak boleh dicuci, karena pada bagian luar telur ada semacam zat seperti lilin yang berfungsi melindungi telur agar kuman tidak dapat masuk ke dalam telur. Sebelum TAB dinokulasi, harus dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah embrio dalam TAB masih hidup. Hal ini dilakukan dengan cara meneropong telur di depan lampu (candling). Pada embrio yang masih hidup, tampak embrio bergerak dan pembuluh darah terlihat jelas. Sedangkan pada embrio yang mati, pembuluh darah tidak tampak dengan jelas. Keberhasilan dalam mengisolasi dan mengembangkan virus tergantung pada beberapa kondisi antara lain rute inokulasi, umur embrio, temperatur inkubasi, waktu inkubasi setelah inokulasi, volume dan pengenceran dari inokulum yang digunakan, status imun dari kelompok dimana telur ayam berada. Sejalan dengan banyaknya sistem untuk isolai virus, dibutuhkan cara untuk mendeteksi infeksi virus. Bukti tidak langsung dari infeksi virus pada embrio ayam dapat diketahui dari satu atau lebih kejadian berikut yaitu kematian embrio, pembentukan lesi pada CAM seperti edema atau perkembang plak, lesi pada embrio seperti kekerdilan, hemoragi cutaneus, perkembangan otot dan buku yang abnormal, abnormalitas pada organ visceral termasuk pembesaran hepar dan lien, perubahan warna kehijauan pada kaki, foci nekrotik pada hepar.

56

Gambar 2.2. Skema Inokulasi pada Telur Ayam Berembrio

Metode yang langsung dan pasti untuk infeksi virus pada embrio ayam meliputi kemampuan cairan corioallantois dan untuk menyebabkan hemaglutinasi dari RBC ayam, penggunaan teknik serologis dan molekular, mikroskop elektron. Harus diperhatikan untuk dapat membedakan lesi yang mungkin disebabkan oleh adanya bakteri dan agen lain. Inokulum atau bahan yang akan diinjeksikan umumnya berasal dari cairan atau jaringan tubuh. Inokulum hanya dapat diinjeksikan apabila berupa cairan sehingga jaringan harus diproses menjadi suspense sebelum dilakukan injeksi. Rute inokulasi dan jenis serta umur embrio sangat menentukan pertumbuhan virus di dalam TAB (Ernawati dkk., 2008). Inokulasi Virus dengan TAB Pada Yolk Sac Telur ayam berembrio atau TAB yang digunakan merupakan telur berembrio yang berumur 5-8 hari, dimana telur masih banyak mengandung kuning telur. Virus yang dapat ditanam dengan cara ini yaitu Yellow Fever, Viral Arthritis, Hepatitis Infectiosa Canis, Rabies, Rinderpest dan lain-lain. Prosedurnya yaitu telur diteropong untuk menentukan posisi embrio dan kantung udara. Telur disterilkan dengan kapas beralkohol. Telur dilubangi pada bagian kantung udara. Virus kemudian diinokulasi dengan posisi tegak lurus dengan kedalaman jarum 1,2 cm. Lalu lubang ditutup dengan paraffin. Telur diinkubasi dan amati pada 16-18 jam setelah inokulasi untuk memastikan hidupnya embrio.

57

Apabila telah mati maka dapat dipastikan karena adanya trauma pada embrio atau kontaminasi. Untuk embrio yang masih hidup, 48 jam kemudian telur dapat diambil dari inkubator dan disimpan pada suhu 4oC (selama 4 – 24 jam) sampai telur dipanen (Ernawati, dkk, 2008).

Gambar 2.3. Skema inokulasi virus pada Yolk sac TAB.

Inokulasi pada cairan allantois atau chorioallantoic sac (CAS) TAB yang digunakan berumur 8-10 hari. Virus yang dapat ditanam dengan cara ini antara lain yaitu virus New Castle Disease, Avian Influenza, Infectious Bronchitis, Egg Drop Sydrome dan lain-lain. Prosedurnya yaitu telur diteropong telur untuk memastikan tempat injeksi, yaitu pada 3-5 mm di atas batas bawah kantung udara dan jauh dari embrio (Gambar 2.4). Telur disterilkan kemudian dibuat lubang pada tempat injeksi. Virus kemudian diinokulasi virus dan kemudian tutup lubang menggunakan paraffin. Telur diamati pada jam ke 16-18 jam. Apabila embrio mari sebelum 48 jam kemudian

telur

disimpan dalam suhu 4oC (Ernawati, dkk, 2008).

Gambar 2.4. Skema inokulasi virus pada ruang koriolantois TAB.

58

dapat

Inokulasi Virus dengan TAB pada chorioallantoic membrane (CAM)

Gambar 2.5. Skema inokulasi TAB pada bagian membrane allantois.

Telur ayam berembrio atau TAB yang digunakan telur berembrio yang berumur 10–13 hari. Virus yang dapat ditanam dengan cara ini antara lain yaitu virus Cacar, Herpes (Infectious Laryotracheitis), Aujeszky, Infectious Bursal Disease, Viral Arthritis dan lain-lain. Prosedurnya yaitu telur diteropong telur untuk memastikan tempat injeks. Telur dilubangi telur pada ujung kantung udara (lubang ke-1), dibuatlah lubang ke-2 pada lokasi embrio. Dengan menggunakan penyedot, sedot udara melalui lubang kantung udara agar terbentuk rongga

pada

membran. Apabila membran telah turun ke bawah, virus dapat diinokulasikan dengan posisi 45oC. Telur ditutup kedua lubang menggunakan paraffin. Telur dinkubasikan dengan posisi horisontal dan tempat inokulasi berada di atas. Telur diamati pada jam ke 16-18, apabila sebelum 48 jam telur mati kemudian telur dapat disimpan dalam suhu 4oC (Ernawati dkk, 2013). 2.2.2 Hemaglutinasi Test (HA) dan Hemaglutinasi Inhibition Test (HI) Interaksi dari sisi reseptor dan virion membuat aglutinasi sel darah merah menjadi tampak. Enzim virus neuraminidase memecah ikatan antara virus dan sel, dan melepas keduanya ke dalam larutan. Antigen adalah bagian virus yang mengandung ikatan dan antigen dari virus digunakan untuk uji hemaglutinasi. Virion dari beberapa keluarga virus

59

berikatan

dengan

sel

darah

merah

(RBC)

dan

menyebabkan

hemaglutinasi. Prinsip serologis dari hemaglutinasi inhibisi yaitu antibodi menghambat proses hemaglutinasi dari virus. Bila antibodi spesifik dan virus dicampur sebelum ditambah eritrosit, hemaglutinasi akan terhambat. Uji penghambatan hemaglutinasi ternyata sensitif kecuali untuk Togavirus, sangat spesifik, karena uji itu mengukur antibodi yang berikatan pada protein permukaan yang paling gampang mengalami perubahan antigenik. Terlebih lagi, uji ini sederhana, murah, dan cepat. Oleh karena itu, sering digunakan sebagai pilihan prosedur serologis dalam

mengidentifikasi

isolat

dari

virus

yang

menyebabkan

hemaglutinasi. Virus-virus

Avian

dapat

mengaglutinasi

eritrosit,

termasuk

didalamnya NDV (Newcastle Disease Virus), Virus influenza dan virus Adenovirus127. Hambatan dari aglutinasi oleh antibodi spesifik merupakan dasar dari uji HA dan HI cepat pada kaca benda. Uji HA dan HI cepat pada kaca benda merupakan uji yang sesuai dan cepat dilakukan yang penerapannya lebih luas untuk kontrol berbagai penyakit Avian seperti Newcastle Disease maupun Micoplasmosis. Uji HA positif akan menunjukkan adanya suspensi agregat eritrosit yang berkeping-keping. HI cepat pada kaca benda menunjukkan positif apabila tidak terlihat aglutinasi pada cairan korioallantois yang diberi antiserum NDV. Uji HA cepat biasanya dipakai untuk mengidentifikasi virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit ayam. Sedang uji HI cepat biasanya dipakai untuk identifikasi NDV. Uji HA lambat digunakan untuk mengetahui titer virus, kemampuan virus dalam menginfeksi yang ditandai dengan adanya hemaglutinasi eritrosit. Titer virus dapat diketahui dengan melihat sumuran terakhir pada nomor tertinggi (end point) yang menunjukkan adanya hemaglutinasi positif. Hal itu ditandai dengan adanya agregatagregat di dasar sumuran (Gella, 2001). Prinsip dari uji HI lambat adalah mengetahui adanya antibodi yang mampu menghambat proses hemaglutinasi oleh virus. Uji ini untuk menentukan titik antibodi terhadap hemaglutinasi NDV. Bila terdapat

60

antibodi dalam jumlah mencukupi untuk membentuk kompleks dengan virion, hemaglutinasi dihambat, dan eritrosit mengendap. Sebaliknya bila antibodi terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi maka eritrosit diaglutinasi oleh virus dan membentuk endapan. Hemaglutinasi oleh virus ND dapat dihitung dan di bawah kondisi standar dalam cairan dapat di lihat. Reaksi HA dapat di hambat oleh serum immune yang spesifik. Beberapa strain virus ND dapat ditunjukkan virulensinya dalam aktivitas HA dengan eritrosit mammalia dan dalam panas yang stabil. Antigen yang tidak signifikan tidak dapat dilaporkan. Uji hemaglutinasi inhibisi atau yang disebut dengan uji HI telah menjadi metode yang tepat dalam mendeteksi kehadiran antibodi spesifik dalam serum yang terinfeksi atau dari individu yang sembuh/ pulih dari sakit. Selanjutnya, dengan mendilusi (diencerkan) serum, jumlah komparatif dari antibodi dapat ditentukan (Hendrix and Sirois, 2002). Faktor-faktor yan berhubungan dengan terjadinya proses non-spesific hemaglutinasi : 1. Kontaminasi kimia dari tabung atau bahan. Misalnya asam. 2. Substansi inhibitor dalam ekstrak jaringan. 3. Keanehan dari sel darah merah dari individu tertentu. 4. Komponen serum yang labil terhadap panas 5. Enzim dan toksin bakteri 6. Ketidaksesuaian spesies antara sel darah merah yang digunakan dan serum yang diuji.

61

BAB III METODE KEGIATAN 3.1. Tempat dan Waktu Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan PPDH rotasi diagnosa laboratorik dilaksanakan pada tanggal 10–22 Juli 2018 yang bertempat di Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. 3.2 Peserta dan Pembimbing PPDH Peserta koasistensi virologi adalah mahasiswi PPDH FKH Universitas Brawijaya yang berada di bawah bimbingan Dr. Jola Rahmahani, Drh., M.Kes., dengan nama mahasiswi Bona Ari Swasti M (170130100011088). 3.3 Metode Kegiatan 3.3.1 Isolasi Virus Pada TAB (Ernawati dkk, 2011) Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi virus antara lain tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet ukur 1 ml, 5 ml, 10 ml, pipet dropper, yellow tip, spuit, paku pelubang TAB, selotip, inkubator, plate, candling set, gunting, dan scalpel. Bahan yang digunakan untuk isolasi dan identifikasi virus antara lain ayam yang diduga menderita ND (organ yang diambil: limpa, paru-paru, trakea, dan otak), larutan Physiologies Zoulzuur (PZ), antibiotika (penicillin 1000 iu/ml dan streptomycin 1 mg/ml), pasir kwarsa, eritrosit ayam 0,5 %, dan Telur Ayam Berembrio (TAB). Cara kerja a. Isolasi Virus 

Disiapkan peralatan bedah dan organ (limpa, paru-paru, otak dan trakea) yang akan diamati.



Diamati perubahan patologi anatomi yang tampak pada organ tersebut.



Kemudian dibuat suspensi 10% (sampel ditimbang sebanyak 0.4 gram yaitu sampel dihaluskan dengan mortar dan ditambhkan pasir kuarsa steril ditambahkan PZ steril 3,6 ml dan dihomogenkan).



Setelah itu larutan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan disentrifus

62

2500 rpm selama 15 menit. 

Supernatan diambil dan dinjeksikan ke dalam TAB yang sudah diperiksa embrionya.

Inokulasi Virus ke Telur Ayam Berembrio (TAB)

Berikut ini merupakan langkah inokulasi virus ke dalam ruang allantoik: 

Telur disinari dengan bantuan lampu peneropong, diberi tanda batas dengan pensil antara ruang hawa dan isi telur.



Kulit telur pada daerah ruang hawa ±3-5 mm dari tanda batas ruang hawa dibuat lubang dengan bor/paku.



Jarum spuit dimasukkan ke dalam lubang paku sedalam ± 1 cm sejajar dengan sumbu panjang telur.



Suspensi virus disuntikan sebanyak 0,1 ml kedalam telur berembrio.



Lubang paku ditutup dengan selotip. Telur berembrio diinkubasi pada suhu 37ºC selama 4 hari dengan posisi vertikal (ruang hawa sebelah atas). Setiap hari diamati, apabila terdapat embrio mati, telur disimpan didalam kulkas. Telur yang embrionya mati lebih dari 24 jam atau yang masih hidup sampai akhir pengamatan (setelah 4 hari), dimasukkan dalam lemari es untuk pengamatan.



Telur dipecah pada daerah ruang hawa dan dilakukan pengujian terhadap cairan allantois atau perhatikan adanya perubahan pada embrio.

Mengumpulkan Cairan Alantoik (Panen virus) Berikut ini merupakan langkah mengumpulkan cairan allantoik: 1. Letakkan telur di dalami almari es selama beberapa jam atau di dalam peti beku suhu –20°C selama 1 jam. Hal ini bertujuan untuk membunuh embrio serta mengecilkan pembuluh darah supaya pengumpulan cairan yang mengandung virus dilakukan tanpa pencemaran dengan sel darah merah. 2. Bersihkan lapisan cangkang di bagian atas ruang udara telur dengan etanol. Pecahkan cangkang di atas ruang udara dan gunting cangkang hingga

membentuk

lubang.

Gunakan

pipet

Pasteur

untuk

menghindari embrio dan kuning telur, ambil cairan alantoik dengan

63

menggunakan pipet Pasteur lain 3.3.2 Deteksi Antibodi Metode HA – HI Test (Ernawati dkk, 2011) a. Prinsip Uji hemaglutinasi digunakan untuk mendeteksi virus yang memiliki

hemaglutinin.

Adanya

hemaglutinin

akan

dapat

mengaglutinasi eritrosit dari beberapa spesies, seperti unggas, mamalia maupun manusia. Kemampuan mengaglutinasi eritrosit ini disebabkan karena virus mempunyai hemaglutinin. Uji HA dapat digunakan untuk mengetahui titer antigen, juga dapat untuk retitrasi antigen yaitu menguji apakah antigen yang dikehendaki memiliki titer 4 HA Unit. Antibodi spesifik terhadap hemaglutinin virus dapat menghambat terjadinya hemaglutinasi, reaksi penghambatan ini kemudian disebut uji hambatan hemaglutinasi. Uji HI selain bermanfaat untuk mengidentifikasi virus, uji ini dapat digunakan untuk mengetahui titer antibodi baik antibodi hasil vaksinasi maupun hasil infeksi. b. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada uji ini antara lain mikroplate, mikropipet, cawan petri, yellow tip, gunting dan pinset. Bahan yang digunakan untuk uji HA dan HI adalah PZ, Antigen ND sampel, Eritrosit ayam 0,5%. c. Cara Kerja Persiapan membuat eritrosit 0,5% :  Dibuat eritrosit murni dengan cara menambahkan PZ pada darah dan dihomogenkan.  Suspensi disentrifugasi selama 10 menit pada 2500 rpm.  Dibuat supernatant dan buffy coat. Diulangi hingga supernatant bening.  Diambil 0,1 ml eritrosit murni lalu ditambah 19,9 ml PZ dan dihomogenkan. 3.3.3 Uji HA Mikroplate (untuk mendapatkan antigen 4 HA unit)

64

1) Lubang mikroplate nomer 1-6 diisi dengan 25 µl PZ menggunakan mikropipet. Lubang yang diisi sesuai dengan jumlah TAB yang akan diuji. 2) Lubang ke-1 pada masing-masing baris diisi dengan cairan allantois dari TAB sebanyak 25 µl. 3) Selanjutnya dilakukan titrasi dengan cara mengambil dari kolom ke-1 sebanyak 25 µl dan mencampurkannya ke kolom ke-2. Demikian seterusnya sampai kolom ke-6. 4) Dilakukan penambahan eritrosit 0,5% ke semua lubang sebanyak 50 µl. 5) Mikroplate diinkubasi selama 30 menit pada suhu kamar sebelum kemudian membaca titernya. 3.3.4 Uji HI Mikroplate 1) Lubang mikroplate nomer 1-12 dengan 25 µl PZ menggunakan mikropipet. 2) Lubang nomor 1-12 diisi dengan serum ND sebanyak 25 µl dengan pengenceran bertingkat. 3) Lubang nomor 1-12 diisi dengan antigen sampel dari cairan allantois TAB sebanyak 25 µl. 4) Diinkubasi selama 10-15 menit. 5) Eritrosit ditambahkan sebanyak 50 µl pada lubang 1-12. 6) Dilakukan inkubasi pada mikroplate selama 15 menit pada suhu kamar kemudian membaca titernya.

65

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan 4.1.1 Pemeriksaan Patologi Anatomi Organ Ayam Pemeriksaan patologi anatomi pada sampel organ untuk isolasi virus, sudah disediakan oleh Laboratorium Virologi FKH Unair berupa organ otak, trakhea, paru-paru, dan limpa. Organ tersebut digunakan sebagai spesimen karena merupakan organ target dari virus ND. Menurut Kementan (2014) gejala yang timbul pada penyakit ND sangat beragam, mulai dari asimptomatis, gejala pernapasan, saraf dan juga digesti. Sehingga organ trakea dan pulmo mewakili tempat predileksi virus pada saluran pernapasan, otak merupakan organ target yang mewakili sistem saraf, dan limpa merupakan organ limfoid yang menjadi target virus ND.

Gambar 4.1 Gambaran makroskopis sampel organ. (organ paru-paru, trakea, otak, dan limpa) (Dokumentasi Pribadi).

Tabel 4.1. Gambaran Makroskopis Sampel Organ Organ Limpa Trakhea Paru-paru Otak

Perubahan Patologi Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan Tidak ada perubahan

Menurut Kencana dan Kardena (2011), Perubahan patologi anatomi yang patognomonis

pada

penyakit

ND

ditandai

dengan

ptechie

pada

proventikulus, ventrikulus, usus, seka tonsil, trakea, paru-paru dan otak.

66

Menurut Rahman (2009) gejala ND Adanya pembengkakan limpa yang menunjukkan terjadinya splenomegali. Splenomegali dapat disebabkan oleh limpa kausa, yaitu adanya infeksi pada kasus infeksi bakterial yang bersifat akut dengan ukuran limpa yang membesar. Pembesaran terjadi akibat peradangan yang menyebabkan peningkatan infiltrasi sel-sel fagosit dan selsel neutrofil. Jaringan atau sel-sel yang mati akan dicerna oleh enzim, sehingga konsistensi menjadi lembek, apabila disayat mengeluarkan cairan berwarna merah, bidang sayatan menunjukkan warna merah merata. Kemudian adanya gangguan sirkulasi dapat menyebabkan kongesti pembuluh darah pada limpa. Perubahan yang disebabkan oleh virus ND velogenik menunjukkan gejala patognomonis berupa ptechiae pada proventrikulus dan nekrosis pada usus. Kelainan-kelainan pada saluran pernafasan berupa tracheitis atau trakea berwarna lebih merah, rhinitis, laryngitis, pneumonia dengan eksudat katarrhalis sampai mukopurulent. Sedangkan kelainan syaraf berupa degenerasi dan nekrosis otak. Gambaran patologi anatomi pada infeksi ND strain mesogenik yaitu tidak patognomonis karena hanya terbatas pada saluran pernafasan dan juga ditemukan adanya ptechiae pada perikard, subpleura, tembolok, dan usus. Gambaran patologi anatomi pasca infeksi ND strain lentogenik yaitu gejala respirasi ringan seperti warna organ pulmo lebih merah karena adanya peradangan. Apabila dibandingkan dengan gambaran patologis pada organ pulmo ayam yang diduga terinfeksi ND memiliki gejala yang sama. Namun, berdasarkan gambaran patologi anatomi, ND sering dikelirukan dengan penyakit lain seperti Infectious Bronchitis (IB), Infectious Laryngo Tracheitis (ILT), dan Avian Encephalitis (AE) sehingga perlu dilakukan peneguhan diagnosa menggunakan uji virologi dan serologi. Seleksi atau penentuan spesimen yang digunakan untuk tujuan isolasi virus berdasarkan virus yang menginfeksi ayam dan kondisi selama perkembangan penyakit, dimana spesimen diambil dari jaringan yang diperkirakan sebagai tempat replikasi virus yaitu otak, trakea, pulmo dan limpa. Menurut Ernawati dkk., (2011), koleksi spesimen untuk tujuan

67

pemeriksaan virologi yaitu dengan cara mengambil spesimen dari jaringan yang terinfeksi dengan ukuran ± 2- 3 cm. Kemudian spesimen tersebut dilarutkan dengan PZ yang telah ditambahkan dengan antibiotik Penicillin. Spesimen dikoleksi berdasarkan gejala klinis atau tempat virus bereplikasi.

Pengambilan beberapa organ tersebut bertujuan untuk mengetahui organ mana yang terinfeksi virus ND. Gambar 4.2 Organ digerus, kemudian dilarutkan pada NaCl fisiologis yang telah dicampur dengan antibiotik penstrep (penicillin streptomycin). 4.2 Inokulasi Virus pada TAB Isolasi virus dilakukan pada media TAB sehingga dapat diidentifikasi virus penyebab infeksi pada ayam tersebut. Sifat virus yaitu intraseluler yang berarti virus membutuhkan sel hidup untuk tumbuh dan berkembang biak. Pembiakkan virus dapat dilakukan pada beberapa media meliputi hewan coba, kultur sel, dan inokulasi pada telur ayam berembrio. Namun, tidak semua virus dapat tumbuh dengan baik pada masing-masing media tersebut dan bahkan ada virus yang dapat tumbuh hanya pada hospes aslinya. Suspensi virus dari masing-masing organ diinokulasikan pada TAB. TAB digunakan untuk isolasi dan identifikasi dari berbagai virus antara lain IB, EDS, AI, ND dan sebagainya (Maclachlan dan Dubovi, 2011). Umur TAB yang digunakan tergantung tempat inokulasi dan sifat virus. TAB yang digunakan berasal dari induk yang sehat, tidak pernah divaksin atau specific antibody negative (SAN). TAB yang diinokulasikan virus, dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah embrio dalam TAB masih hidup. Hal ini

68

dilakukan dengan cara meneropong TAB menggunakan candler. Embrio yang masih hidup menunjukkan adanya pergerakan embrio yang menjauhi cahaya dan pembuluh darah terlihat dengan jelas. Sedangkan embrio yang mati, menunjukkan embrio tidak bergerak, warna bagian dalam TAB berwarna hitam dan pembuluh darah tidak tampak dengan jelas. Pemilihan umur TAB berdasarkan perkembangan ruang dan cairan allantois yang sedang berkembang dan pada area tersebut menjadi luas dan rute inokulasi pada cairan allantois lebih mudah sehingga lingkungan internal embrio tidak terganggu dan virus mudah menyebar dan melekat pada sel yang memiliki reseptor yang sama (Ernawati dkk., 2008). Gambar 4.3 Telur yang sudah dilakukan candler dan di lanjutkan dengan penanaman sampel ke dalam TAB

Pada pengamatan kali ini, telur ayam berembrio yang sudah diinokulasi dengan sampel organ suspect ND diamati setiap hari dengan candler untuk melihat keadaan embrio. Kemudian suspense organ yang diduga mengandung virus ND diinokulasikan pada cairan allantois TAB sebanyak 15 buah. Pengamatan terhadap pertumbuhan virus dalam TAB dilakukan selama 4 hari. Candling dilakukan setiap hari untuk mengamati pertumbuhan dari virus pada TAB. Embrio yang mengalami kematian, ditandai dengan embrio tidak bergerak dan warna bagian dalam TAB berwarna hitam dan pembuluh darah tidak tampak dengan jelas. Jika embrio ditemukan mati maka segera dipindahkan ke tempat yg memiliki suhu 4ºC. Metode inokulasi virus pada TAB yaitu dengan cara penyuntikan daerah chorioaalantoic sac. Di lapangan isolasi virus dapat berasal dari swab trakea atau kloaka, atau suspensi 10% dari otak atau pulmo-pulmo, dalam larutan NaCl fisiologis yang mengandung

69

antibiotik yang diinokulasikan pada TAB umur 9-12 hari. Adapun lokasi inokulasi virus pada chorioaalantoic sac dapat menyebabkan kematian embrio karena pada allantois merupakan bagian penting proses sirkulasi embrio ayam sehingga virus dapat tumbuh dan menyebar hingga ke embrio ayam. Hal ini sejalan dengan pernyataan Alexander (2001) bahwa isolasi virus ND dilakukan dengan menggunakan TAB umur 9–12 hari dan specific pathogen free. Chorioaalantoic sac sebagai lokasi inokulasi virus dianggap paling peka untuk mengembangkan virus ND. Virus ND dinokulasi pada cairan allantois dimana semua strain virus ND dapat tumbuh pada sel yang melapisi cairan allantois. Virus masuk ke sel untuk bereplikasi. Sel rusak dan virus ND menembus cairan allantois. Beberapa tujuan dilakukan inokulasi virus ND pada cairan allantois yaitu untuk produksi vaksin, menetapkan titer infektifitas suspensi virus ND dan isolasi virus ND dari spesimen yang ditemukan di lapang untuk diagnosa laboratorium (Tabbu, 2000). Tabel 4.2. Waktu Kematian Embrio pada TAB Hasil Inokulasi, Tangal Inokulasi: 14 Juli 2018 ; Jam Inokulasi: 10.45

No Sampel I

II

III

IV

Limpa Trakea Otak Paru-Paru Limpa Trakea Otak Paru-Paru Limpa Trakea Otak Paru-Paru Limpa Trakea Otak

Waktu Kematian TAB (Jam) A B C -

Ket. D -

Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup Hidup

Pada pemeriksaan pada TAB yang diinokulasikan pada cairan allantois embrio tidak mengalami kematian setelah lewat masa inkubasi. Waktu

70

kematian embrio dicatat untuk mengetahui keganasan dari virus yang menginfeksi. Semua embrio tetap hidup mulai pada hari pertama setelah inokulasi hingga hari ke empat pengamatan. Setelah diinkubasi 2-4 hari, telur dimasukkan ke dalam refrigerator 18-24 jam untuk memastikan embrio benar-benar mati, setelah itu, perkembangan virus dapat diamati. Pertama–tama dilakukan desinfeksi bagian yang tumpul dari telur-telur berembrio dengan menggosokkan alkohol 70%. Cara membuka TAB adalah dengan menggunakan pinset, TAB dibuka pada bagian rongga udara, lalu selaput corioallantois dibuka, kemudian cairan allantoisnya diambil dengan menggunakan mikropipet. Hasil panen virus berupa cairan allantois. Cairan allantois yang bagus akan memperlihatkan warna jernih, sedang cairan yang menunjukkan pertumbuhan virus memperlihatkan warna yang keruh dan kadang terjadi hemorrhagi. Berdasarkan menurut Huang (2004), inokulasi virus ND dapat dilakukan di cairan allantois dan kuning telur. Pada lokasi tersebut virus dapat menyebabkan kematian embrio karena pada allantois merupakan bagian penting proses sirkulasi embrio ayam sehingga virus dapat tumbuh dan menyebar hingga ke embrio ayam

Gambar 4.4 TAB yang sudah di inkubasi selama kurang lebih 4 hari, selanjutkan akan dilakukan pengujian HA-HI Masa inkubasi virus ND pada telur ayam berembrio adalah 1-4 hari. Hal ini ditunjukkan dengan kematian embrio mulai hari pertama hingga terakhir setelah inokulasi dilakukan. Virus yang diinokulasikan ke embrio akan menyerang sistem persyarafan yang berakhir kematian embrio (Huang, 2004). Dengan menggunakan metode Mean Death Time didapatkan hasil sebagai berikut, pada hasil uji TAB yang diinokulasikan antigen dari trakea, paru

71

paru, limpa, dan otak tidak mengalami kematian hingga batas waktu inkubasi. Virus ND dikelompokkan menjadi tiga pathotype yaitu: lentogenik, mesogenik dan velogenik. Pengelompokkan tersebut berdasarkan atas waktu kematian embrio, yakni: lentogenik adalah strain virus yang kurang ganas ditandai dengan kematian embrio lebih dari 90 jam, mesogenik antara 60-90 jam, sedangkan velogenik kurang dari 60 jam. Gejala penyakit yang ditimbulkan oleh virus ND tipe lentogenik pada ternak ayam bersifat ringan atau tanpa gejala klinis. Virus ND tipe mesogenik dengan virulensi moderat (sedang) menimbulkan gejala yang dari ringan sampai sedang. Sementara itu, virus ND velogenik adalah tipe yang sangat ganas ditandai dengan penyakit yang bersifat akut dan kematian yang tinggi sampai 100%. Berdasarkan atas predileksinya dan gejala klinis yang ditimbulkan, virus ND velogenik dibedakan lagi menjadi bentuk neurotrofik dengan gejala gangguan syaraf, pneumotrofik dengan kelainan pada sistim pernafasan, dan viscerotrofik dengan kelainan pada sistima pencernaan (Aldous and Alexander, 2001). 4.3 Identifikasi Virus dengan Tes HA-HI Cairan allantois yang diperoleh dari TAB kemudian diidentifikasi menggunakan Hemaglutinasi Test (HA Test). Uji

Hemaglutinasi pada

dasarnya untuk mengetahui virus yang memiliki hemaglutinin seperti pada virus famili Orthomyxoviridae dan Paramyxoviridae. Uji hemaglutinasi antigen atau HA biasanya digunakan untuk mengidentifikasi virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit ayam. Uji HA digunakan untuk mengetahui titer virus, kemampuan virus dalam menginfeksi yang ditandai dengan adanya hemaglutinasi eritrosit. Titer virus dapat diketahui dengan melihat sumuran terakhir pada nomor tertinggi (end point) yang menunjukkan adanya hemaglutinasi positif. Hal ini ditandai dengan adanya agregat-agregat di dasar sumur (Hewajuli dan Dharmayanti, 2011). Uji HA menggunakan cairan allantois dari beberapa suspensi organ didapatkan hasil negative pada organ pernafasan (trakea dan paru-paru) otak, limpa yang ditandai dengan tidak terbentuknya aglutinasi pada lubang dari semua microplate. Hasil positif ditandai dengan terbentuknya aglutinasi pada lubang microplate yang menunjukkan virus yang tumbuh pada cairan allantois

72

mampu

mengaglutinasi

eritrosit.

Kemampuan

virus

tersebut

untuk

mengaglutinasi eritrosit terjadi karena memiliki protein hemaglutinin. Selain itu, sisi partikel virus yang spesifik dapat berinteraksi dengan reseptor mukoprotein pada eritrosit dan permukaan sel lain. Interaksi dari sisi reseptor dan virion dapat mengaglutinasi eritrosit menjadi tampak. Virus-virus yang sering menyerang unggas dan dapat mengaglutinasi eritrosit antara lain Newcastle Disease (ND), Avian Influenza (AI) dan adenovirus 127. Jika hasil Uji HA positif maka Uji HA perlu dikonfirmasi dengan uji HI untuk mengetahui jenis virus. Sebelum dilakukan uji HI, cairan allantois hasil suspensi organ dengan titer tertinggi diencerkan menjadi antigen 4HA unit yang akan digunakan pada uji HI.

Gambar 4.5. Hasil Uji Heamaglutinasi (HA) (Dokumentasi pribadi, 2018).

Tabel 4.3. Hasil Ilustrasi Uji HA pada Sampel Limpa

1

2

3

73

4

5

6

Ket

I II III IV I II III IV I II III IV I II III

Otak

Trakea

Paru - paru

Keterangan:

: tidak terjadi aglutinasi

: terjadi aglutinasi

Selanjutnya dikarenakan tidak terdapat hasil positif, maka tidak dilakukan uji lanjutan HI (Hemaglutination Inhibition), sehingga antigen yang diduga ND tidak perlu dilakukan pengenceran antigen menjadi 4 HA unit. Pada pengamatan uji HI, pengamatan didasarkan pada penilaian kemampuan antibodi dengan pengenceran tertinggi yang masih mampu menghambat aglutinasi dengan sempurna. Bila terdapat antibodi dalam jumlah mencukupi untuk membentuk kompleks dengan virion, hemaglutinasi dihambat, dan eritrosit mengendap. Sebaliknya bila antibodi terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi maka eritrosit diaglutinasi oleh virus dan membentuk endapan. Uji HI biasanya dipakai untuk identifikasi virus ND dan AI.

Uji

HI

didasarkan

pada

kemampuan

virus

(antigen)

untuk

menghemaglutinasi sel darah merah ayam. Antigen yang terikat dengan antibodi tidak dapat menghemaglutinasi sel darah merah sehingga terjadi hambatan haemaglutinasi dan menyebabkan sel darah merah terlepas dan mengendap. Serum yang diperiksa (antibodi) diencerkan dengan seri pengenceran

tertentu

kemudian

direaksikan

dengan

antigen.

Pada

pengenceran seri tertentu ada antigen yang bebas dikarenakan sebab jumlah dari pengenceran antibodi habis 56 sehingga menyebabkan terjadinya ikatan antara sel darah merah yang lepas dengan antigen pengenceran antibodi

74

tertingga yang masih dapat menghambat ikatan antigen dengan sel darah merah secara sempurna. Prinsip dari uji HI adalah mengetahui adanya antibodi yang mampu menghambat proses hemaglutinasi oleh virus

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kegiatan koasistensi yang telah dilaksanakan di Laboarotium Virologi FKH Unair, maka dapat disimpulkan bahwa Inokulasi suspensi virus dari organ pulmo, trakea, limpa, dan otak pada cairan allantois TAB. Tidak terjadi kematian embrio hingga hari ke empat, dan berdasarkan hasil uji hemaglutinasi (Uji HA) tidak terjadi adanya aglutinasi pada semua well. Hasil uji HA menunjukkan hasil negatif. Pengukuran titer antibodi dari sampel tidak dilanjutkan untu diuji dengan uji HI. Hal ini menunjukkan bahwa ayam tersebut tidak terinfeksi virus Newcastle disease.

75

5.2 Saran Pada uji HA dan HI diperlukan ketelitian dalam pengerjaan proses pengujian, agar mendapatkan hasil yang lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA Alexander, D.J. 2000. Newcastle Disease and other Avian Paramyxovirus. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz. Vol. 19, No. 2, Hal. 443-462. Central Veterinary Laboratory, Weybridge, New Haw, Addlestone, Surrey KT15 3NB, United Kingdom Aldous EW, Alexander DJ. 2001 Detection and differential of Newcastle Disease Virus. Avian Pathol. Pp 30, 117-128. Calnek BW, Barnes JH, Beard WC, McDougald RL, Saif MY. 1997. Disease of Poultry. Iowa State University Press. Ames Iowa. USA. Charles RT. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius. Yogyakarta. Indonesia.

76

Charlton BR. 2006. Avian Disease Manual 6th ed. American Association of Avian Pathologists (AAAP). Athens,Georgia. Dormants, J. 2011. Virulence Determinants of Newcastle Disease Virus. GVO drukkers & vormgevers B.V. Ponsen & Looijen B.V. Hal. 13 – 20. Dormants, J. 2011. Virulence Determinants of Newcastle Disease Virus. GVO drukkers & vormgevers B.V. Ponsen & Looijen B.V. Hal. 13 – 20. Ernawati, R., A.P. Rahardjo, N.Sianita, F.A.Rantam, dan Suwarno. 2013. Petunjuk Praktikum Pemeriksaan Virologik dan Serologik. Laboratorium Virologi dan Imunologi. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. 19-24. Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA et al. 1995. Virologi Veteriner. Academic Press Inc. California. Goebel SJ, Taylor J, Barr BC et al. 2007. Isolation of avian paramyxovirus 1 from a patient with a lethal case of pneumonia. J Virol. 81(22): 12709-12714. Gella, F. 1991. Latex Agglutination Procedures in Immunodiagnosis. Pure&App/. Chem. Vol. 63 No.8 Hal. 1131-1134. Hendrix, C.M., dan Sirois, M. 2002. Immunology, Serology, and Molecular Diagnostics dalam Laboratory Procedures for Veterinary Technicians Fifth Editions. Mosby Elsevier. Hal. 271-276. Hewajuli, D.A dan Dharmayanti. 2011. Patogenesitas Virus New Castle Disease Pada Ayam. Wartazoa Vol.21 No.2 Th.2011, 72-80. Huang, Z., A. 2004. The-neuraminidase protein of Newcastle disease virus determines tropism and virulence. J. Virol. 78: 4176-4184. Kencana, G.A.Y. and I.M. Kardena. 2011. Gross pathological observation of acute Newcastle disease in domestic chicken. Prosiding Seminar Internasional Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia (PERMI) dan International Union of Microbiological Societies (IUMS). Denpasar, 2224 Juni 2011. Kommers GD, King DJ, Seal BS, Carmichael KP, Brown CC. 2002. Pathogenesis of Six Pigeon-Origin Isolates of Newcastle Disease Virus for Domestic Chickens. Veterinary Pathology. 39(3): 353-362. Maclachlan, N. J. and E. J. Dubovi. 2011. Fenner’s Veterinary Virology, Fourth Edition. Academic press: Elsevier. Nandi, S. 2009. Paramyxoviridae dalam Veterinary Virology at a Glance. International Book Distributing (Publishing Division). India. Hal. 63-66 [OIE] Office International Des Epizooties. 2013. OIE Terrestrial Manual. Newcastle Disease.http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.03. 14._ND.pdf. [Diakses pada 11 April 2018].

77

OIE World Animal Health Information Database. 2015. Newcastle Disease. http://www.oie.int/ [diakses pada 10 April 2018]. Olesiuk OM. 1951. Influence of Environmental Factors on Viability of Newcastle Disease Virus. Am J Vet Res. 12: 152-155. Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJ, Leonard FC. 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. USA: Blackwell Science. Swayne DE, King DJ. 2003. Avian influenza and Newcastle disease. J Am Vet Med Assoc. 222(11): 1534-1540. Rahayu, Imbang Dwi. 2010. Penyakit viral unggas. Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang. Recco, R., 2011. Neurological Lesions in Chickens Experimentally Infected with Virulent Newcastle Disease Virus Isolates. Journal of Avian Pathology Vol. 40 No. 2 Hal. 145-152. Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius: Yogyakarta.

78

Related Documents

Isi - Bona 2.docx
June 2020 8
Isi - Bona 2.docx
June 2020 6
Bona Lluita1
June 2020 6
Bona Lluita5
June 2020 14
Bona Lluita7
June 2020 9
Bona Lluita4
June 2020 9

More Documents from ""