PLURALISME AGAMA: SOLUSI KONFLIK UMAT BERAGAMA? Oleh: Iqbal Firmansyah BELAKANGAN, kekerasan berlatar belakang agama begitu marak terjadi. Mulai dari konflik yang terjadi antar pemeluk agama, hingga kekerasan yang dilakukan oleh pemeluk agama tertentu terhadap pemeluk agama lainnya. Ironisnya, kesemuanya ini dilakukan dengan mengatas namakan agama. Hal ini tentu berbahaya, karena berpotensi merusak integrasi bangsa. Terhadap fenomena kekerasan berlatar agama ini, bagi sebagian orang, ide pluralisme agama merupakan salah satu alternatif
solusi
yang
dapat
dipergunakan
dalam
usaha
mengeliminasi konflik antar umat beragama yang terjadi di negeri ini. Bagaimanakah Islam memandang ide pluralisme agama ini sebagai salah satu instrumen pengentasan konflik antar umat beragama? Tulisan ini akan mengupas ide ini dari sudut pandang Islam. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan normatifhistoris. Artinya, selain mempergunakan nash-nash ototitatif, sikap Rasulullah terhadap penganut agama lain juga menjadi referensi penting guna mendapatkan gambaran utuh terhadap persoalan ini. *** Apa itu Pluralisme Agama? ENSIKLOPEDI
Wikipedia
menyebut
bahwa
pluralisme
agama
merupakan pandangan dunia yang menyatakan bahwa agama Penulis adalah mahasiswa jurusan Sejarah Peradaban Islam konsentrasi Tafsir-Hadis Program Pasca Sarjana Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah Palembang angkatan 2009. Saat ini penulis berprofesi sebagai staf pengajar pada Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah Palembang dan MAN 3 Palembang
1
seseorang bukanlah sumber satu-satunya yang eksklusif bagi kebenaran. Di dalam agama-agama lain pun dapat ditemukan suatu kebenaran dan nilai-nilai yang benar. Secara implisit, definisi yang dikemukakan ensiklopedi on line terbesar ini, menunjukkan kepada kita adanya paradigm shift (pergeseran paradigma) pada sebagian kalangan. Betapa tidak, dengan munculnya pandangan di atas, tradisi truth claim (klaim kebenaran) yang selama ini identik dengan eksistensi sebuah agama, seakan lenyap begitu saja. Bagi sebagian orang, paradigma berpikir semacam ini sangat berbahaya, karena menimbulkan kekaburan
identitas
suatu
agama.
Kekaburan
identitas
mendatangkan efek lain yang jauh lebih berbahaya, yakni semakin mendangkalnya keyakinan seseorang terhadap agamanya. Jika sudah demikian, lambat laun, orang tersebut bisa jadi tak lagi memercayai Tuhan. Pluralisme Agama menurut al-Qur’an LANTAS, pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimanakah pandangan al-Qur’an terhadap pluralisme agama? Pro dan kontra muncul di kalangan umat dalam merespon pertanyaan ini. Sebagian mendukung, sebagian lainnya menentang. Menariknya, masingmasing mempergunakan ayat al-Qur’an untuk menyerang satu sama lainnya. Jika dilihat sekilas, memang akan muncul kesan adanya pertentangan antara ayat-ayat al-Qur’an. Al-Qu’ran di satu sisi menegaskan bahwa satu-satunya agama di sisi Allah adalah Islam (Q.S. Alu ‘Imran [3]: 19). Al-Qur’an juga menyatakan bahwa setelah datangnya Rasulullah SAW. dengan syariatnya, agama lain menjadi
2
tidak ada artinya (Q.S. Alu ‘Imran [3]: 85). Namun uniknya, di sisi lain, al-Qur’an mengakui orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Shabi’un yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan berbuat kebajikan, akan mendapat pahala di sisi Tuhan dan tidak bersedih (Q.S. al-Baqarah [2]: 62, dan Q.S. al-Maidah [5]: 69). Menyikapi kenyataan ini, pertama-tama marilah direnungkan, adakah ayat-ayat al-Qur’an yang saling bertentangan? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita rujuk Q.S. an-Nisa’ [4]: 82. Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa tidak ada ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an lainnya. Meyakini adanya pertentangan
antara
mendatangkan
satu
dampak
ayat
teologis
dengan yang
ayat
cukup
lain,
akan
serius,
yakni
meragukan kapasitas al-Qur’an sebagai wahyu Allah kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian, dalam konteks ini agaknya lebih tepat dikatakan ayat-ayat yang tampak saling bertentangan, bukan ayat-ayat yang bertentangan. Dari sekian ayat di atas, tampaknya ayat 62 Surat al-Baqarah dan ayat 69 Surat al-Ma’idah yang menjadi pangkal perdebatan. Bagi kelompok pluralis, ayat ini menjadi semacam deklarasi teologis bahwa surganya Allah tidak menjadi hak orang Islam saja. Pemeluk-pemeluk agama lain, tanpa terkecuali, juga akan beroleh pahala dari Allah dan akan masuk surga, jika beriman kepada Allah, Hari
Akhir,
Muhammad
serta (baca:
mau
beramal
memeluk
saleh.
Islam),
Keberimanan
dengan
kepada
demikian,
tidak
menjadi syarat demi mendapatkan pahala dan surganya Allah. Pandangan inilah yang mendasari ekualitas para pemeluk agama di hadapan Tuhan. Benarkah pandangan sedemikian? Sebagian muffasir (ahli
3
tafsir), seperti Sayyid Quthb (Sayyid Quthb, juz I, tt: 932) dan Ibnu Katsir (Ibnu Katsir, juz II, tt: 80) memang berpendapat demikian. Namun perlu digaris bawahi, keduanya dengan tegas mensyaratkan keberimanan kepada Rasulullah SAW. (memeluk Islam). Beberapa riwayat mengenai asbab an-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) yang dikutip Thabathaba’i (Thabathaba’i, juz I, tt: 193) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Yahudi dan Nasrani dalam ayat-ayat di atas tidak mengarah kepada Yahudi dan Nasrani sepanjang zaman, melainkan pada zamannya masing-masing. Memperkuat pendapat-pendapat di atas, riwayat mengenai sabab nuzul Q.S. alBaqarah [2]: 62 mengindikasikan adanya perbedaan nasib yang ditentukan faktor sebelum dan sesudah bi’tsah (pengutusan) Muhammad. Sikap Rasulullah terhadap Pemeluk Agama lain SIKAP Rasulullah dalam pembahasan ini menjadi penting, karena kapasitas beliau sebagai utusan Allah sekaligus sebagai uswah hasanah
(contoh
yang
baik)
bagi
umatnya.
Telah
menjadi
kesepakatan, bahwa hampir seluruh ucapan serta perilaku beliau menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Konsekuensi logisnya, setiap muslim harus mengikuti apa yang dicontohkan olehnya. Sebelum Rasulullah diutus, masyarakat Arab telah memeluk beragam agama. Persinggungan antara Islam sebagai agama baru dengan agama-agama yang telah eksis sebelumnya (dalam hal ini paganisme, Yahudi, dan Nasrani), sempat menimbulkan konflik. Kendati demikian, perlu dicatat bahwa munculnya konflik lebih disebabkan oleh motif-motif non agamis, seperti motif ekonomi dan
4
politik. Dalam kasus kaum Yahudi Madinah misalnya. Perseteruan yang mereka sulut dengan umat Islam lebih disebabkan semakin berkurangnya dominasi politik dan ekonomi dengan kehadiran Islam di sana. Dengan kata lain, Rasulullah tidak memerangi pemeluk agama lain karena perbedaan keyakinan, atau adanya indikasi perseteruan terjadi karena dilandasi motif pemaksaan keyakinan. Begitu menurut keterangan beberapa catatan sejarah (Ali Sodiqin, 2008: 78-79). Sejarah lebih lanjut menerangkan bahwa ketika tak kunjung mendapat respon yang diinginkan, Rasulullah saw. memutuskan hijrah untuk pertama kalinya ke Abessinia (sekarang Ethiopia) yang kala itu diperintah oleh Raja Najasyi (Negus), seorang raja beragama Nasrani. Raja ini beserta masyarakatnya menerima Rasulullah beserta rombongannya, dan memperlakukan mereka dengan baik. Meski diriwayatkan mengagumi dan membenarkan ajaran yang dibawa Rasulullah, Najasyi tidak dikabarkan memeluk Islam. Secara tersirat, ini menunjukkan dakwah Rasulullah kepada para pemeluk Nasrani; dan jika diteruskan, tentu ini menggiring kita untuk berkesimpulan lebih jauh lagi. *** DALAM pemikiran sebagian orang, gagasan pluralisme agama menjadi salah satu alternatif solusi yang dapat ditempuh dalam upaya
menciptakan
kedamaian
dan
kerukunan
antar
umat
beragama. Sepintas lalu, wacana ini memang tampak menjanjikan. Konflik dan kekerasan atas nama agama sudah terlalu sering terjadi. Doktrin masing-masing agama bahwa ia lah yang paling
5
benar, dan mampu membawa pemeluknya menuju kebahagiaan; sementara yang lain salah, dan akan mendatangkan kesengsaraan ditengarai merupakan sebab maraknya tindak kekerasan yang terjadi. Benarkah
demikian?
Uraian-uraian
singkat
di
atas
menunjukkan kepada kita bahwa dalam Islam perbedaan keyakinan bukan merupakan sebab munculnya aksi-aksi anarkhis terhadap agama-agama
tertentu.
Islam
bahkan
melarang
pemeluknya
melakukan diskriminasi terhadap seseorang lantaran agamanya, seperti dapat dilihat dalam Q.S. al-Mumtahanah [60]: 8-9. Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa perbedaan agama tidak menjadi alasan untuk tidak menjalin kerja sama dan mengambil sikap permusuhan. Al-Qur’an sama sekali tidak melarang seorang muslim untuk berbuat baik selama memerangi serta mengusir umat Islam dari negeri-negeri mereka. Dengan demikian, jika terjadi konflik atau kekerasan terhadap pemeluk agama lain, Islam sebagai agama tidak bisa dipersalahkan. Sebab,
berdasarkan
deskripsi-deskripsi
di
atas,
Islam
tidak
memandang rendah umat lain, atau mengajarkan umatnya untuk memerangi umat beragama lain tanpa sebab yang jelas dan dibenarkan agama. Kekerasan-kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia, jika dikaji sedikit lebih dalam, seringkali bertitik tolak dari permasalahan-permasalahan sosial, yang kemudian— dengan sengaja atau tidak—ditarik-tarik ke dalam wilayah agama. Agama kemudian dijadikan kambing hitam. Padahal fakta historissosiologis yang telah diungkap—terkait dengan cara Rasulullah berinteraksi dengan umat lain—menunjukkan bahwa Islam mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dengan damai
6
tanpa harus merumuskan semacam teologi bersama (lihat Q.S. alKafirun [109]: 1-6). Jadi, masih perlukah ber-pluralisme agama?
7