Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu as PDF for free.

More details

  • Words: 8,418
  • Pages: 27
Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat dan Rakyat: Mungkinkah Pergeseran Tipe Wakil Rakyat Dari Partisan ke Politico1? Abstrak Oleh Bilal Dewansyah2 A. Pendahuluan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2009 mengubah sistem Pemilu DPR dan DPRD yang dianut dalam UU No. 10 Tahun 2008. Walaupun Putusan MK tersebut hanya membatalkan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008, namun sistem Pemilu DPR dan DPRD yang ditegaskan dalam UU No. 10 Tahun 2008 berupa sistem proporsonal terbuka di mana penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan BPP dan nomor urut, menjadi suara banyak. Dilihat dari aspek hak-hak konstitutional calon anggota DPR dan DPRD, adanya penentuan calon terpilih atas dasar suara terbanyak dinilai sangat tepat karena dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.3 Bahkan penentuan calon terpilih dengan suara 30% BPP dan nomor urut dianggap melanggar makna susbtantif kedaulatan rakyat.4 Putusan tersebut ditanggapi secara pro dan kontra oleh beberapa pihak.5 Mereka yang pro mengatakan bahwa putusan tersebut sangat baik karena akan menciptakan fair competition di kalangan para caleg. Sementara itu, bagi yang kontra, putusan MK tersebut dipandang bisa mengakibatkan melemahnya loyalitas para kader di partai-partai politik. Para anggota partai bisa jadi akan enggan berjuang dengan keras karena kerja keras mereka belum tentu dapat mengantar mereka menjadi anggota DPR/D. Mereka yang selama ini duduk di DPR/D karena posisinya yang menguntungkan di daftar caleg termasuk dalam 1 Dipresentasikan pada Seminar Internasional ke-IX, Dinamika Politik Lokal: ”Representasi Kepentingan Rakyat Pada Pemilu Legislatif 2009”, diselenggarakan oleh Lembaga Percik, di Kampoeng Percik, Salatiga, 28- 31 Juli 2009. 2 Penulis Adalah Peneliti Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH-Unpad) Bandung, Dosen Magang pada Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unpad. 3Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2009, Hlm. 105. www.mahkamahkonstitusi.go.id 4 Ibid. 5 Wahidah Zein Br Siregar,”Dampak Putusan MK Tentang Suara Terbanyak Tak Ramah Bagi Caleg Perempuan”, Jawa Pos, 10 Januari 2009.

kelompok yang khawatir atas putusan MK itu. Sebagian politisi dan aktivis perempuan juga khawatir putusan MK tersebut akan berimbas pada menurunnya jumlah keterwakilan perempuan di DPR/D.6 Bahkan Hakim Konstitusi Maria Indrati Soeprapto dalam dissenting opinion-nya mengatakan bahwa Putusan MK tersebut dianggap tidak konsisten dengan tindakan afirmatif (affirmative action) terhadap caleg perempuan.7 Secara normatif-teoritis, konsekuensi langsung dari perubahan sistem tersebut adalah bahwa kehendak Partai Politik (Parpol) dalam penentuan calon terpilih tidak lagi dominan. Caleg-caleg “unggulan” Parpol yang mendapat nomor urut kecil, tidak lagi mendapatkan privilege menduduki kursi wakil rakyat, mendahului caleg-caleg berurutan besar. Hal ini tentu saja berbeda dengan konsekuensi yang timbul dengan hasil Pemilu 2004 di mana presentase BPP dan nomor urut Caleg menjadi kriteria keterpilihan.8 Satu hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut adalah implikasi perubahan sistem Pemilu tersebut terhadap pola hubungan wakil rakyat dan konstituen atau tipe wakil rakyat yang akan dihasilkan dalam Pemilu 2009. Setelah perubahan sistem Pemilu akibat Putusan MK dalam Pemilu 2009, ada yang menganggap terjadinya pergeseran tipe wakil rakyat dari tipe partisan ke tipe politico atau delegate9. Dalam Pemilu-Pemilu sebelumnya, tipe wakil rakyat yang dihasilkan adalah tipe partisan di mana wakil rakyat lebih bertindak mengikuti garis partai, dibandingkan konstituennya. Hal ini disebabkan dominannya Parpol dalam penentuan nomor urut pada masa Pemilu. Jika dilihat dari penentuan keterpilihan Caleg, sistem Pemilu saat ini seperti mematahkan oligarki Parpol dengan tidak diberlakukannya nomor urut sebagai kriteria keterpilihan Caleg. Namun demikian, pola hubungan wakil rakyat dan konstituennya tidak hanya dipengaruhi oleh sistem Pemilu. Terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi tipe wakil rakyat hasil Pemilu 2009, seperti 6 Ibid. 7 Lihat Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2009, op.cit., hlm. 112. 8 Syarat Keterpilihan Caleg Dengan Presentase BPP Dalam UU Pemilu Sebelumnya (UU No. 12 Tahun 2003) Adalah 100% Dari BPP, Lebih Berat Dibandingkan Dengan Syarat Presentase BPP Dalam UU Pemilu Yang Baru (UU No. 10 Tahun 2008) Sebelum Dibatalkan Oleh MK. 9 Misalnya Pendapat Dari Hanta Yuda A.R, Peneliti The Indonesian Institute. Lihat Hanta Yuda A.R., “Suara Terbanyak Dan Kualitas Keterwakilan”, Opini, Harian Jurnal Nasional, 7 Januari 2009.

pelembagaan fraksi dalam sistem pengambilan keputusan baik dalam DPR, maupun DPRD10, adanya hak recall dalam wujud penggantian antar waktu (PAW) yang ada di tangan Parpol11. Dalam makalah ini, penulis akan menunjukkan bahwa perubahan sistem Pemilu DPR dan DPRD akibat Putusan MK di atas, tidak serta merta mengubah pola hubungan wakil rakyat dan konstituennya dari partisan ke tipe lainnya. Secara normatif-teoritis, tipe wakil rakyat Partisan akan tetap menjadi tipe yang dominan bagi Parlemen hasi Pemilu 2009 jika tidak dilakukan perubahan sistemik lainnya. B. Beberapa Pandangan Tentang Pola Hubungan Wakil Rakyat – Konstituen Teori-teori tentang orientasi peranan wakil rakyat yang mencerminkan pola hubungan wakil rakyat dan konstituennya, berkisar pada perdebatan antara tipe wakil rakyat trustee (wali) dan delegate (perutusan). Hal tersebut menyebabkan studi mengenai keterwakilan, didominasi penelitian-penelitian mengenai peran (tipe) wakil rakyat (representational role).12 Perdebatan konkret dua model ini terlihat jelas antara Edmund Burke (1774) yang memperjuangkan tipe trustee dan kelompok anti- Federalis yang dianggap mewakili pembela tipe delegate. dalam pembentukan Konstitusi Amerika Serikat.13 Burke dianggap sebagai tokoh yang mengintroduksikan model trustee, walaupun Burke sendiri tidak pernah mengatakan bahwa tipe wakil rakyat yang dimaksudkan disebut tipe trustee.14 Pandangan tipe trustee menurut Burke pada 10 Pengaturan Fraksi Dalam UU No. 22 Tahun 2003 Tentang SUSDUK Hanya Dalam Pasal 98 Ayat (6). Namun Demikian, Dalam Pengambilan Keputusan, Misalnya Pembahasan UU/ Perda, Pendapat Fraksi Menjadi Dominan Dibandingkan Pendapat Anggota DPR/ DPRD Secara Individu. 11Salah Satu Alasan Dilakukannya PAW Anggota DPR, DPRD Adalah Diusulkan Oleh Parpol. Lihat Pasal 85 Ayat (1), Pasal 91 Ayat (1) Dan Pasal 94 Ayat (1) UU SUSDUK. 12 Seperti Dikatakan Oleh Malcom E.Jewell, Bahwa “The Largest Proportion Of Research On Legislative Role Orientations Has Been Devoted To Representational Roles, Perhaps Because The Distinction Between Delegate And Trustee Roles Is So Central To The Study Of Representation. Jewell, Malcolm E. “Legislator-Constituency Relations And The Representative Process”, Legislative Studies Quarterly, Vol. 8, No. 3 (Aug., 1983), Hlm. 310 -311. 13 Rehfeld, Andrew, , “Representation Rethought: On Trustees, Delegates, And Gyroscopes In The Study Of Political Representation And Democracy”, American Political Science Review Vol. 103, No. 2, Mei 2009, Hlm. 217. 14 Dikatakan Oleh Rehfeld Bahwa “Given The Attribution Of “Trustee” To

intinya sebagai berikut: (1) pembentukan undang-undang nasional harus bertujuan pada kepentingan nasional (2) wakil rakyat dalam hubungannya dengan wakil rakyat lainnya bertindak atas dasar penilaiannya sendiri dalam membangun kepentingan nasional, (3) wakil rakyat tidak banyak dibebani sanksi pemilihan yang didorong oleh keinginan masyarakat. Sementara itu, tipe delegate (utusan) dari kelompok anti-Federalis pada dasarnya menganggap bahwa: (1) dalam pembentukan undang-undang didasarkan pada kebaikan dari kelompok konstituen tertentu; (2) warga negara merupakan sumber dari pembenaran keputasan wakil rakyat yang menentukan bahwa keputusan tersebut baik dan; (3) wakil rakyat sudah seharusnya diberikan ancam dengan sanksi.15 Sebelum perdebatan antara Burke dan kelompok anti- Federalis tentang tipe trustee dan delegate, terdapat perdebatan serupa antara teori mandat imperatif dipelopori oleh Jean Jacques Rousseau, muncul di Perancis sebelum revolusi teori mandat bebas dan mandat representatif. Teori mandat imperatif Rousseau, mengajarkan bahwa si wakil bertugas dan bertindak di lembaga perwakilan sesuai instruksi yang diberikan oleh yang diwakilinya. 16 Si wakil tidak boleh bertindak di luar instruksi tersebut dan apabila ada hal-hal baru yang tidak terdapat dalam instruksi tersebut, maka si wakil harus mendapat instruksi baru dari yang diwakilinya, kemudian baru dapat melaksanakannya.17 Jika dilihat lebih lanjut, teori mandat imperatif Rousseau beranjak dari gagasannya tentang gagasan kedaulatan rakyat. Kedaulatan dibentuk oleh individu-individu yang mengisi negara. Individu sebagai bagian dari lembaga yang berdaulat.18 Dikatakan oleh Rosseau bahwa “it is impossible for a body wish to hurt all of its members, and, as we shall see, it cannot hurt any particular member”.19 Di sisi lain individu juga berperan sebagai anggota dari negara yang merupakan subjek yang menempatkan dirinya, tunduk pada hukum negara (put Burke’s Conceptions, It May Come As Some Surprise That He Never Uses The Term In His Speech To The Electors At Bristol, Keeping The Parts More Clearly Separate. But Two Centuries Later, Those Views Have Been Conflated Into The Designation “Trustee.” Ibid., Hlm. 218. 15 Ibid. 16 Saragih, Bintan R., Sistem Pemerintahan Dan Lembaga Perwakilan Di Indonesia, Perintis Press, Jakarta, 1985, Hlm. 101 17 Ibid. 18 Roussueau, J.J., “The Social Contract”, Disarikan Dalam Dahl, Robert A Dkk. (Eds), The Democracy Sourcebook, MIT Press, Cambridge, 2003, Hlm.3. 19 Ibid.

themselves under the laws of the state).20. Dalam perannya sebagai anggota negara, tunduknya individu-individu pada hukum yang dibentuk negara, karena Rousseau

menganggap

bahwa

individu

secara

perseorangan

memiliki

kepentingan pribadi (private interest) yang berbeda dan mungkin bertentangan dengan kehendak umum.21 Namun demikian, pandangan Rousseau yang memandang wakil rakyat (sebagai perwujudan kedaulatan rakyat dalam demokrasi perwakilan) harus tunduk pada keinginan konstituen yang memilihnya terkait dengan asumsi positifnya bahwa kedaulatan “has not….any interest contrary to theirs”

22

. Asumsi tersebut menafikkan individu secara perseorangan

yang memiliki kepentingan pribadi yang berbeda-beda dan keberpihakan wakil rakyat pada kelompok yang mencalonkan atau mendukungnya dalam kompetisi perebutan kursi parlemen. Teori mandat bebas, sebagai antitesa teori mandat imperatif dipelopori oleh Abbe Sieyes di Perancis dan Black Stone di Inggris.23 Teori mandat bebas, mengajarkan bahwa si wakil dapat bertindak tanpa tergantung dari instruksi yang diwakilinya.24 Menurut teori ini, si wakil adalah orang-orang yang terpercaya dan terpilih serta memiliki kesadaran hukum masyarakat yang diwakilinya, sehingga si wakil dapat bertindak atas nama mereka yang diwakilinya atau atas nama rakyat, sehingga si wakil dapat bertindak sebagai anggota lembaga perwakilan.25 Sementara itu, dalam teori mandat representatif, si wakil dianggap bergabung dalam suatu lembaga perwakilan (parlemen). 26 Rakyat memilih dan memberikan mandat pada lembaga perwakilan (parlemen), sehingga si wakil sebagai individu tidak ada hubungan dengan pemiliknya dan tidak ada pertanggungjawaban.27 Lembaga perwakilan (parlemen) yang bertanggungjawab kepada rakyat.28 Antara tipe wakil rakyat trustee dan menurut teori mandat bebas memiliki substansi yang sama, yaitu bahwa pembenaran tindakan wakil rakyat berasal dari pendapatnya sendiri. Perbedaannya, tipe trustee dari Burke, juga melihat aspek tujuan dari tindakan wakil, rakyat, yaitu untuk kepentingan masyarakat 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Ibid., Hlm. 2. Ibid. Ibid., Hlm. 3. Saragih, Bintan R., Loc.Cit. Hlm. 101. Ibid. Ibid. Ibid., Hlm. 102. Ibid. Ibid.

keseluruhan (kepentingan nasional), sementara teori mandat bebas hanya melihat dari perspektif sumber pembenaran tindakan wakil rakyat. Tipe delegate dan tipe wakil rakyat menurut teori mandat imperatif Rousseau juga sama-sama menginginkan wakil rakyat bertindak sesuai dengan keinginan atau kepentingan konstituen. Perbedaannya, teori mandat imperatif, sama halnya dengan teori mandat bebas,tidak melihat aspek tujuan dari tindakan wakil rakyat dan sanksi jika tindakan wakil rakyat tidak sesuai dengan kepentingan konstituen. Yang menarik adalah tipe wakil rakyat dari teori mandat representatif yang bertitik-tolak bahwa hanya ada hubungan antara rakyat dengan lembaga perwakilan. Teori ini, dari segi sumber pembenaran tindakan wakil rakyat, sama dengan tipe wakil rakyat trustee, namun hanya menekankan pada aspek pertanggungjawabannya saja. Dengan demikian, teori ini hampir sama namun lebih sempit dari teori mengenai tipe trustee. Baik Burke, kelompok anti – Federalis, Rosseau dan pembela teori mandat bebas dan mandat representatif, mengidealkan tipe wakil rakyat tertentu, tanpa melihat bahwa tipe-tipe tersebut sangat mungkin berkembang secara konkret di berbagai

ranah,baik

lembaga

perwakilan

pusat,

negara

bagian

atau

pemerintahan lokal. Selain pendapat-pendapat mengenai tipe wakil rakyat ideal, juga terdapat studi pola hubungan wakil rakyat dengan konstituennya yang tidak mengidealkan tipe wakil rakyat tertentu, namun berupaya menemukan tipe-tipe wakil rakyat yang berkembang secara nyata dalam konteks konkret. Hal tersebut misalnya dilakukan oleh Wahlke, Eulau, Buchanan, and Ferguson (1962) dalam penelitiannya terhadap lembaga legislatif di negara bagian Amerika Serikat.29 Wahlke dkk, menambahkan tipe politico sebagai sebuah kategori antara (intermediary category) untuk menyebut tipe wakil rakyat yang kadang kala bertindak sebagai seorang wali (trustee), namun dalam waktu yang berbeda bertindak sebagai seorang utusan (delegate).30 Munculnya tipe politico didasari pada anggapan bahwa pengamatan mengenai tipe wakil lebih baik dimulai dengan sudut pandang empiris dari konsep motivasi politisi dalam masyarakat politik tertentu, dari pada berasumsi bahwa pembedaan antara delegate dan trustee dapat diterapkan pada semua lembaga legislatif.31 Artinya, dalam keadaan nyata, sebagian masyarakat 29 Donley T. Studlar, Ian Mcallister, Loc.Cit., Hlm. 70 30 Ibid., Hlm. 71. 31It Is Preferable To Start With An Empirically Grounded Concept Based On

menginginkan wakil rakyat dalam lembaga perwakilan dapat bertipe campuran dari dua model/tipe tersebut (mixed model).32 Tipe wakil rakyat delegate atau trustee sangat bergantung persepsi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik dalam konteks yang berbeda-beda, dan dalam hubungannya dengan anggota masyarakat tertentu akan menyukai tipe trustee, jika ia tidak setuju pandangan dengan anggota masyarakat lainnya yang sama pandangan dengan seorang wakil rakyat, sedangkan tipe delegate akan disukai jika anggota masyarakat tersebut setuju dengan pandangan wakil rakyat yang berbeda dengan pandangan anggota masyarakat lainnya.33 Selanjutnya pakar lain yang sering menjadi rujukan dalam hal tipe wakil rakyat adalah Hoogerwerf. Selain, trustee, delegate, político, Hoogerwerf mengemukakan adanya tipe/model wakil rakyat lain, yaitu model kesatuan, model diversifikasi.34 Model kesatuan, anggota parlemen dilihat sebagai wakil seluruh rakyat, sementara model diversifikasi (penggolongan), anggota parlemen dilihat sebagai wakil dari kelompok teritorial, sosial atau politik tertentu.35 Walaupun Hoogerwerf membedakan kelima model/ tipe wakil rakyat tersebut, namun

satu dengan lainnya memiliki persaman. Dari segi tujuan yang akan

dicapai wakil rakyat, model kesatuan memiliki kesamaan dengan model trustee, yaitu untuk kepentingan seluruh rakyat. Begitu pula model delegate dan model diversifikasi yang tujuan dari tindakan/keputusan wakil rakyat untuk kepentingan konstituen/golongan. Memang model diversifikasi dari Hoogerwerf sangat terlihat dalam hal suatu negara melembagakan perwakilan fungsional dalam struktur lembaga perwakilan, misalnya adanya utusan golongan dalam MPR pada masa sebelum perubahan UUD 1945, atau di Afrika Selatan pada masa Apartheid.36 Politicians' Motivations In A Particular Polity Rather Than Assuming That The Delegate/Trustee Distinction Will Be Meaningful In All Legislature. Ibid. 32 Jarvis, Matthew J. “Ideology In Major Legislation And Public Opinion: Which Is The Chicken, And Which Is The Egg?”, Prepared For Delivery At The Colloquium On American Politics, October 31, 2005, Hlm. 1. 33 Dikatakan Oleh Matthew J. Jarvis Bahwa “In Practice, It Is Likely That People Want Both A Trustee And A Delegate Out Of The Same Person (A Trustee When They Disagree With Their Neighbors, And A Delegate When They Agree)”. Ibid., Hlm. 2, Footnote No. 1. 34 Saragih,Bintan R., Ibid., Hlm.105. 35 Ibid. 36 Di Afrika Selatan Pasca Amandemen Ketiga (1983 – 1994), Struktur Badan Perwakilan Berdiri Atas Dasar Politik Apartheid. Dalam Hal Ini Organisasi Parlemen Terdiri Dari House Of Assembly/Volksraad Sebagai ”Lower House Of Parliament” Yang Merupakan Golongan Kulit Putih, House Of Representatives/ Raad Van Verteenwoordigers Yang Merupakan Unsur Golongan Kulit Hitam

Namun demikian, hal tersebut tidak berlaku jika sistem perwakilan yang dianut tidak mengakomodasi perwakilan fungsional.37 Dengan demikian, tipe wakil rakyat yang diungkapkan Hoogerwerf masih dipengaruhi oleh pembedaan antara tipe trustee, delegate dan bentuk antaranya (politico). Pakar lain yang mengemukakan pendapatnya mengenai tipe wakil rakyat adalah Gilbert Abcarian. Menurut Gilbert Abcrarian, terdapat tipe wakil rakyat (hubungan wakil rakyat dengan konstituennya), yaitu trustee (wakil), delegate (utusan), politico, dan partisan.38 Tipe partisan yang merupakan tipe baru dibandingkan dengan pendapat-pendapat sebelumnya, melihat kecenderungan si wakil bertindak bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai (organisasi) si wakil.39 Setelah si wakil dipilih oleh pemilih yang diwakilinya, maka lepas hubungan dengan pemilihnya tersebut dan mulailah hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut.40 Tipe partisan jarang sekali dikaji dalam melihat tipe wakil rakyat dalam suatu lembaga perwakilan, seperti dikatakan oleh Malcom E.Jewell, bahwa The partisan role might be expected to vary among legislatures and among parties within legislatures, and a limited number of studies have examined such variations.41 Dengan memunculkan tipe partisan, Abcarian juga memperhitungkan adanya entitas Parpol, dalam hubungan rakyat dengan wakilnya. Sebagaimana diketahui bahwa Parpol dalam konteks kekinian menjadi prasyarat demokrasi perwakilan. Bahkan Parpol dianggap sebagai prasyarat berjalannya sistem demokrasi.42 Hal ini terkait dengan salah satu fungsi Parpol sebagai sarana (Coloured) Dan House Of Delegates/ Raad Van Afgevaardigdes, Yang Merupakan Unsur Dari Golongan Indian. Lihat Radian Salman, ”Stuktur Badan Perwakilan Dan Check And Balances Dalam Fungsi Legislasi”, Dalam Komisi Hukum Nasional, Penyempurnaan Amandemen UUD 1945, Masihkah Perlu?, Kumpulan Makalah Seminar Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta 25 – 26 Agustus 2008, Footnote No.6, Hlm 157. 37 Secara Umum, Pelembagaan Keterwakilan Rakyat Dalam Konteks Lembaga Perwakilan Paling Banyak Mengakomodasi 2 Macam Perwakilan,Yaitu Perwakilan Politik Dan Perwakilan Regional (Negara Bagian) Dalam Sistem Perwakilan Dua Kamar. 38 Gilbert Abcarian Dalam Saragih, Bintan. R., Op.Cit., Hlm. 104. 39 Ibid. 40 Ibid., 104 – 105. 41 Jewell, Malcom E., Op.Cit., Hlm. 313. 42 Seperti Dikatakan Oleh Jimly Asshiddiqie Bahwa “Sistem Demokrasi Tidak Mungkin Berjalan Tanpa Adanya Partai Politik”. Jimly Asshiddiqie, “Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi”, Dalam Jurnal Konstitusi, Vol.3, No. 4, 2006, Hlm. 7.

rekrutmen politik, di mana Parpol berperan besar dalam proses seleksi baik pejabat maupun substansi kebijakan.43 Tipe partisan merupakan kemungkinan tipe wakil rakyat yang merupakan salah satu konsekuensi dari besarnya peran Parpol pada masa kini, khususnya dalam rekrutmen perwakilan politik.44 Lalu apakah kecenderungan tipe partisan merupakan tipe wakil rakyat yang tepat? Hal tersebut sangat terkait dengan kemunculan Parpol pada masa-masa awal di negara-negara Eropa Barat. Seperti digambarkan oleh Miriam Budiarjo bahwa pada permulaannya, kegiatankegiatan politik di negara-negara Eropa Barat, seperti Inggris dan Perancis berpusat

dalam

parlemen

sehingga

bersifat

elitis

dan

aristokratis,

mempertahankan kepentingan-kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutantuntutan raja.45 Dengan meluasnya hak pilih, kegiatan politik juga berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia-panitia pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya menjelang masa Pemilu.46 Kelompokkelompok politik dalam Parlemen berusaha mengembangkan, dan dengan demikian terjalinlah suatu hubungan tetap antara kelompok-kelompok politik dalam

Parlemen

dengan

panitia-panitia

pemilihan

yang

sepaham

dan

sekepentingan dan lahirlah Parpol.47 Dengan demikian, secara historis, titik perhatian yang muncul pertama kali adalah keterwakilan rakyat (konstituen) oleh wakil rakyat. Sementara itu, hubungan antara wakil rakyat dengan Parpol merupakan hubungan turunan setelah munculnya pelembagaan keterwakilan rakyat dalam lembaga perwakilan. Dalam hal keterkaitan antara wakil rakyat, konstituen dan Parpol, terdapat beberapa hubungan (hukum) yang terjadi.48 Pertama, yang dimiliki wakil rakyat adalah dengan partai yang bersangkutan, jika seorang wakil rakyat dalam pencalonannya adalah melalui Parpol dan harus menjadi anggota Parpol 43 Mac Iver Dalam Jimly Asshiddiqie, Ibid. 44 Bahkan Kecenderungannya, Studi Mengenai Partisan Role, Merupakan Studi Tersendiri, Seperti Dalam Studi Davidson (1969) Mengenai Peran Partisan Anggota Kongres Amerika Serikat, Dengan Kategori/Tipe: Loyalist, Superloyalist, Neutral, Dan Maverick. Jewell, Malcom E., Op.Cit, Hlm. 314. Hal Ini Dapat Dipandang Bahwa Dalam Hal Rekrutmen Anggota Legislatif Selalu Terdapat Hubungan Antara Anggota Legislatif Dan Parpol-Nya. 45 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, 1993, Hlm. 160. 46 Ibid. 47 Ibid. 48 Lihat Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, Hlm. 25 - 26.

(hubungan hukum antara wakil rakyat dengan Parpol). Kedua, dengan terpilihnya wakil rakyat berarti rakyat telah memberikan amanatnya untuk memperjuangkan aspirasi menjadi kebijakan publik (hubungan wakil rakyat dengan konstituen). Hubungan antara wakil rakyat konstituen, dan Parpol memiliki relevansi dengan tipe wakil rakyat yang akan tercermin. Kemungkinan wakil rakyat menitikberatkan

pada

kepentingan

konstituen

akan

mencerminkan

kecenderungan wakil rakyat bertipe delegate (utusan). Sementara itu, wakil rakyat yang menitikberatkan pada kepentingan Parpolnya, akan mencerminkan tipe partisan. Kemungkinan tipe trustee (wali), juga mungkin terjadi, di luar kedua hubungan di atas, dengan dengan kecenderungan terjadi pada wakil rakyat yang “…well educated and have more legislative experience”.49 Sementara itu, tipe politico juga mungkin terjadi dengan asumsi bahwa tipe trustee dan delegate, dilakukan secara simultan dalam praktek.. C. Sistem Pemilu, Putusan MK, dan Suara Terbanyak Pembicaraan mengenai tipe wakil, dalam praktek politik, berhubungan erat dengan sistem Pemilu yang dianut oleh suatu negara,50 Bagian ini menganalisis sistem Pemilu yang diterapkan di Indonesia pasca Putusan MK yang membatalkan ketentuan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e, f UU No. 10 Tahun 2008. Dengan demikian, analisis hanya ditujukan pada sistem Pemilu anggota DPR/ DPRD, tidak termasuk sistem Pemilu anggota DPD. Sistem pemilu yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 bagi pemilihan anggota DPR dan DPRD (provinsi,kabupaten/kota) adalah sistem proporsional terbuka.51 Istilah “terbuka” juga terkait dengan sistem daftar (list system) berupa Daftar Calon Tetap Anggota DPR/ DPRD.52 Dalam model-model sistem proporsional dengan list system, terdapat tiga model yang menentukan keterpilihan Caleg yaitu sistem daftar tertutup (closedlist system), sistem daftar terbuka (open-list system), dan sistem daftar semiterbuka (partly open-list system).53 terbuka ini identik dengan sistem open 49 Jewell, Malcom E., Op.Cit, Hlm. 311. 50 Dahlan Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2000, Hlm. 62. 51 Pasal 5 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008. 52 Lihat Pasal 51 Sampai Dengan Pasal 65. 53Liphart, Arrend, Pattern Of Democracies: Government Forms And

proportional system, di mana pemilih mengetahui calon-calon anggota legislatif di daerah pemilihannya.54 Dalam sistem daftar tertutup, pemilih hanya dapat memilih

daftar

sebagai

satu

kesatuan,

dan

tidak

dapat

menunjukkan

preferensinya kepada calon legislatif tertentu yang ada di dalam daftar.55 Dalam sistem daftar terbuka, pemilih menjatuhkan pilihannya kepada calon tertentu dalam daftar (misalnya di Finlandia).56 Sementara itu, dalam sistem daftar semiterbuka, walaupun pemilih dapat menunjukkan preferensi terhadap calon tertentu, namun nomor urut yang disajikan oleh Parpol lebih menentukan (misalnya di Belanda dan Belgia).57 Dalam

UU

No.

10

Tahun

2008,

sistem

daftar

yang

diterapkan

dikombinasikan dengan nomor urut. Bahkan nomor urut menjadi salah satu ukuran keterpilihan seorang calon menjadi anggota legislatif. Hal ini dapat dlihat dari mekanisme keterpilihan calon menjadi anggota DPR/DPRD dalam Pasal 214 huruf a, b,c, d,e UU No. 10 Tahun 2008: sebagai berikut: Dalam ketentuan tersebut, terdapat 5 mekanisme penetapan calon terpilih, yaitu: calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan

berdasarkan

calon

yang

memperoleh

suara

sekurang-

kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP; dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang

memenuhi

ketentuan

sekurang-kurangnya

30%

(tiga

puluh

perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP; Performance In Thirty Six Countries, New Heaven And London, Yale University Press, Footnote No. 3, Hlm. 147. 54 Ibid. 55 Ibid. 56 Ibid., Hlm. 148. 57 Ibid.

dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut; dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut; Pada dasarnya penetapan calon terpilih didasarkan pada pemenuhan BPP (minimal 30 %). Sistem BPP ini memang formula utama dalam sistem proporsional dalam menentukan jumlah kursi yang didapatkan Parpol dalam Pemilu. Keterpilihan calon terpilih dengan sistem ini, beranjak pada asumsi bahwa seorang wakil rakyat mewakili jumlah pemilih tertentu. Dibandingkan dengan UU Pemilu sebelumnya (UU No. 12 Tahun 2003), presentase BPP seorang calon untuk dapat terpilih berdasarkan UU No.10 Tahun 2008 lebih ringan.58 Namun demikian, UU No.10 Tahun 2008 lebih menerapkan penetapan calon terpilih dengan sistem nomor urut jika syarat 30 % BPP tidak terpenuhi atau ada dua atau lebih calon yang memenuhi 30 % BPP. Dengan sistem nomor urut, nomor urut kecil mendapatkan kesempatan yang lebih dahulu untuk menjadi calon terpilih. Berdasarkan pemaparan di atas, walaupun secara normatif sistem Pemilu DPR/ DPRD disebut sebagai sistem proporsional terbuka, namun dilihat dari penetapan calon terpilih lebih cenderung mengarah pada sistem proporsional dengan sistem daftar semi-terbuka di mana sistem nomor urut lebih dominan, ketika keterpilihan atas dasar presentase BPP tidak terpenuhi. Alasan pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara, beberapa orang Caleg dan seorang pemilih mengajukan pengujian UU No. 10 Tahun 2008 ke Mahkamah Konstitusi.59 Caleg yang mengajukan Pengujuan UU ini adalah Caleg DPR-RI dari PDIP (Mohammad Soleh), dan Caleg DPR-RI dari Partai Demokrat (Sutjipto, Septi Notariana), dan seorang pemilih (Jose Dima Satria). Permohonan 58 Pasal 107 Ayat (2) Huruf A UU No.12 Tahun 2003 Memberikan Syarat Bahwa “Nama Calon Yang Memenuhi Angka BPP Ditetapkan Sebagai Calon Terpilih”. 59 Caleg Yang Mengajukan Pengujuan UU Ini Adalah Caleg DPRD Provinsi Jawa Timur Dari PDIP (Mohammad Soleh), Dan Caleg DPRD Provinsi Jawa Timur Dari Partai Demokrat (Sutjipto, Septi Notariana), Dan Seorang Pemilih (Jose Dima Satria). Lihat Putusan Mahakamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUUVI/2009.,Op.Cit, Hlm.1-2.

tersebut diajukan dalam dua perkara berbeda. Mohammad Saleh meminta MK membatalkan Pasal 55 ayat (2) mengenai porporsi 30% Caleg perempuan dan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e mengenai penetapan calon terpilih. 60 Sementara itu, Sutjipto, Septi Notariana, dan Jose Dima Satria memohon kepada MK untuk membatalkan Pasal 205 ayat (4), (5),(6), (7) mengenai pembagian kursi sisa dan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008.61 Dengan demikian, terdapat 10 ketentuan yang dimintakan diuji kepada MK ( 5 huruf/ bagian dari pasal, dan 5 ayat). Dalam putusannya, MK hanya mengabulkan permohonan pembatalan Pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e, sementara itu permohonan lainnya ditolak.62 Terhadap Pasal 55 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008, MK berpendapat bahwa hal tersebut merupakan bentuk affirmative action/ reverse discrimination/ diskriminasi positif, sehingga tidak bertentangan dengan konstitusi.63 Sementara itu, terhadap Pasal 205 ayat (4), (5), (6), dan (7), MK berpendapat bahwa hal tersebut “…adalah berkaitan dengan perolehan kursi Parpol dan tidak berhubungan dengan terpilihnya calon… Dengan demikian, dalil tersebut tidak berkenaan dengan konstitusionalitas karena tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.”64 Sementara itu, pertimbangan dibatalkannya Pasal 214 huruf a – e, pada intinya karena ketentuan tersebut: bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945), dengan penekanan “Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif maupun eksekutif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan”.65 bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dengan argumen utama “…jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya

60 61 62 63 64 65

Ibid., Hlm. 12. Ibid., Hlm. 24. Putusan MK…,Op.Cit., Hlm. 108. Ibid.,Hlm. 97, 99. Ibid., Hlm. 100. Ibid., Hlm. 102

lebih kecil..”.66 bertentangan dengan prinsip “kesamaan kedudukan hukum dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan (equality and opportunity before the law)” (Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945), artinya setiap calon anggota legislatif mempunyai kedudukan dan kesempatan yang sama di hadapan hukum, memberlakukan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama adalah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama”.67 MK menegaskan dalam pertimbangan hukum putusan tersebut bahwa putusan tersebut besifat self executing dan dapat langsung laksanakan oleh KPU berdasarkan Pasal 213 UU No. 10 Tahun 2008.68 Hal tersebut ditegaskan kembali dalam konklusinya. bahwa: “bahwa secara teknis administratif pelaksanaan putusan Mahkamah diyakini tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena Pihak Terkait Komisi Pemilihan Umum pada Sidang Pleno di Mahkamah

Konstitusi

tanggal

12

November

2008

menyatakan

siap

melaksanakan putusan Mahkamah jika memang harus menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak”.69 Selanjutnya, dalam amar putusannya, MK membatalkan ketentuan Pasal 214 tersebut.70 Dari putusan tersebut, MK secara tidak langsung mengubah mekanisme penetapan calon terpilih yang sebelumnya menggunakan BPP dan nomor urut menjadi suara terbanyak. Padahal, ketika MK menyatakan dalam amar putusannya bahwa suatu ketentuan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, maka terjadi “kekosangan peraturan perundang-undangan” (wet vacuum). MK mengatakan bahwa putusan tersebut tidak terjadi kekosongan hukum, dengan dalih suara terbanyak, dan KPU dapat 66 Ibid., Hlm. 105. 67 Ibid., Hlm. 106. 68 Dikatakan Dalam Putusan MK Bahwa “….Hal Tersebut Tidak Akan Menimbulkan Kekosongan Hukum, Walaupun Tanpa Revisi Undang-Undang Maupun Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Putusan Mahkamah Demikian Bersifat Self Executing. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Beserta Seluruh Jajarannya, Berdasarkan Kewenangan Pasal 213 UU 10/2008, Dapat Menetapkan Calon Terpilih Berdasarkan Putusan Mahkamah Dalam Perkara Ini.” Ibid., Hlm. 107. 69 Ibid., Hlm. 70 Dengan Istilah “Bertentangan Dengan UUD 1945” Dan Pasal Tersebut “Tidak Mempunyai Kekuatan Hukum Mengikat”.

langsung melaksanakan tanpa pembentukan Perpu atau perubahan UU. Alasan tersebut hanya dapat diterima jika terdapat “norma baru”, yaitu mekanisme suara terbanyak. Padahal dalam Putusan MK sebelumnya, dikatakan bahwa: “Bahwa dalam menjatuhkan amar putusan, meskipun Mahkamah berwenang menyatakan suatu norma hukum yang tercantum dalam suatu UndangUndang inkonstitusional atau bertentangan dengan UUD 1945 dankarenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat [vide Pasal 57 ayat (1) UU MK], namun Mahkamah tidak berwenang untuk membuat rumusan baru suatu norma Undang-Undang.”71 Mekanisme “suara terbanyak” memang tidak ditegaskan dalam amar putusan MK namun ditegaskan dalam pertimbangan hukum yang mendasari putusan. Dengan demikian, hal tersebut tidak dianggap membentuk “norma baru”. Namun demikian, substansinya MK tetap menganggap bahwa suara terbanyak menggantikan mekanisme penetapan calon terpilih dengan BPP dan nomor urut. Terhadap putusan tersebut, terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Selain, Hakim Mahkamah Konstitusi Maria Farida yang dalam dissenting opinionnya menganggap bahwa putusan tersebut inkonsisten dengan pendapat MK bahwa ketentuan mengenai affirmative action terhadap caleg perempuan tidak bertentangan dengan UUD 1945, ada pula pendapat yang menganggap bahwa MK sudah memasuki ranah legislasi dan memungkikan terjadi sengketa antar Caleg. Seperti dikatakan oleh Mohammad Fajrul Falaakh bahwa List-PR system yang (mulai) dibuka memang memicu pertentangan antarcaleg dalam parpol dan rekonsiliasinya di ranah legislasi, serta desain sistem pemilu memang bukan wewenang MK.72 Fajrul juga mengatakan bahwa “Caleg atau parpolkah yang akhirnya memperoleh kursi? Mana formula untuk mengonversi suara, kepada parpol maupun kepada caleg, menjadi kursi? Memenangkan caleg dengan 100 persen BPP dan threshold 30 persen BPP, kembali ke UU Pemilu 2003, atau berdasarkan

nomor

urut

belaka?”.73

Secara

implisit

pendapat

terakhir

menegaskan bahwa putusan tersebut tidak self-executing,namun diperlukan pengaturan lebih lanjut. Putusan ini juga seperti sapu jagat karena menghapus

71 Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian UU No. 10 Tahun 2008 Dan UU No. 12 Tahun 2008, Hlm. 79. Www.Mahkamahkonstitusi.Go.Id 72 Mohammad Fajrul Falaakh, “Kisah Pembongkaran Sistem Pemilu”, Kompas, 5 Januari 2009. 73 Ibid.

semua kriteria penetapan calon terpilih, termasuk ketentuan mengenai keterpilihan berdasarkan BPP.74 Padahal, MK dapat saja memutuskan tidak membatalkan ketentuan mengenai 30% BPP dan hanya membatalkan ketentuan yang menyangkut keterpilihan calon berdasarkan nomor urut, sehingga suara terbanyak dapat diterapkan jika tidak ada calon yang memenuhi 30% BPP. Terlepas dari kontroversi putusan MK tersebut, dapat dipastikan bahwa mekanisme suara terbanyak menggeser sistem pemilu yang diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008. Sistem Pemulu DPR/DPRD tetap

merupakan sistem

proporsional, namun menjadi sepenuhnya terbuka (open-list system).

75

Sistem

suara terbanyak biasanya dipakai dalam sistem pemilu distrik dengan prinsip majority atau plurality.76 Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pemilu pasca putusan MK, juga memiliki aspek sistem distrik.

D. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat – Konstituen Bagi sebagian pihak, perubahan penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak dalam kaitannya dengan pola hubungan wakil rakyat-konstituen memiiki dampak positif. Adanya pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut menyebabkan kontrol Parpol terhadap kadernya (yang menjadi wakil rakyat) semakin melemah.77 Setelah terpilih, wakil rakyat akan lebih mementingkan aspirasi konstituen yang memilihnya dari pada instruksi Parpol.78 Bahkan ada ada yang berasumsi positif bahwa putusan MK tersebut mendorong terjadinya 74 Seperti Dikatakan Oleh Ramlan Surbakti Bahwa “Meskipun Pasal 214 UU No 10/2008 Tentang Pemilu Itu Multitafsir Atau Campur Aduk, Lanjut Ramlan, Bukan Berarti MK Harus Menganulir Semua Ayat Dalam Pasal Tersebut. Sebab Yang Perlu Diluruskan Dalam Pasal 214 Adalah Ayat B. Bukan Semua Ayat Seperti Dalam Putusan MK Yakni Ayat A, C, D, Dan E.” Dikutip Dalam Djibril Muhammad, “Putusan MK Suara Terbanyak Amburadul”, Berita Politik, 24 Desember 2008. http://www.inilah.com/berita/politik/2008/12/24/71166/putusan-mk-suaraterbanyak-amburadul/, Diakses Tanggal 3 Juli 2009. 75 Bayu Dardias Kurniadi, “MK: Arsitek Politik Indonesia”, Tanggal 19 Juni 2009, http://bdardias.staff.ugm.ac.id/index.php/2009/06/19/mk-arsitek-politikindonesia/, Diakses 3 Juli 2009. 76 Lipjhart, Arrend, Op.Cit, Hlm. 146. 77 Bayu Dardias Kurniadi, Loc.Cit. 78 Ibid.

pergeseran pola hubungan anggota legislatif dengan pemilih, dari tipe partisan ke tipe politico atau delegate, yaitu adanya keterikatan wakil rakyat dengan pemilihnya.79 Mekanisme suara terbanyak juga dianggap akan mendorong sinergisitas kepentingan wakil rakyat dengan konstituennya dan kecendengan wakil rakyat untuk memelihara dukungan untuk menghindari tidak dipilih lagi pada Pemilu berikutnya.80 Adanya asumsi pergeseran tipe wakil rakyat dari partisan ke tipe lain, tentunya didasari bahwa sebelumnya tipe wakil rakyat yang terjadi adalah tipe partisan. Selain karena persepsi masyarakat terhadap tipe yang terjadi saat ini, hal ini tentu saja berkaitan dengan mekansime hubungan wakil rakyat dengan Parpol yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Setidaknya ada 2 hal yang berkaitan dengan hal ini, yaitu adanya pranata recall oleh Parpol atau yang disebut PAW dan pelembagaan fraksi. Kedua pranata tersebut masih terlembaga dalam undang-undang. Pertanyaannya adalah apakah dengan penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak, namun dengan tetap mempertahankan kedua pranata tersebut, dapat terjadi pergeseran tipe wakil rakyat? 1. Recall Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk, anggota DPR/ DPRD dapat berhenti antar waktu atas usulan Parpol yang bersangkutan (selain karena meninggal dunia atau mengundurkan diri),81 atau atas dasar penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan (BK) DPR/ DPRD82 atas sebab-sebab tertentu (terutama mengenai integritas, kewajiban dan pemenuhan syarat-syarat wakil rakyat). Usulan pemberhentian oleh Parpol tersebut bersifat mengikat karena tidak perlu melalui mekanisme BK DPR/ DPRD, namun cukup dengan peresmian oleh Presiden/Gubernur/ Bupati/Walikota setelah disampaikan oleh Pimpinan DPR/ DPRD.83 79 Hanta Yuda A.R., Loc.Cit. 80 Hanta Yuda Mengatakan Bahwa “Penggunaan Sistem Suara Terbanyak Juga Akan Mendorong Anggota Legislatif Terpilih Untuk Tetap Terus Bersinergi Dengan Kepentingan Konstituen Di Dapil Yang Diwakilinya. Jika Tidak Pandai Memelihara Dukungan Publik, Memungkinkan Muncul "Pemakzulan" Dari Publik Atau Setidaknya Tidak Dipilih Lagi Di Pemilu Berikutnya.” Ibid. 81 Pasal 85 Ayat (1), Pasal 91 Ayat (1), Pasal 94 Ayat (1) UU No. 22 Tahun 2003. 82 Pasal 85 Ayat (4), Pasal 91 Ayat (4), Pasal 94 Ayat (4) UU No. 22 Tahun 2003. 83 Pasal 85 Ayat (5), Pasal 91 Ayat (5), Pasal 94 Ayat (5) UU No. 22 Tahun

Mekanisme tersebut sebelumnya juga telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol. Parpol diberikan hak untuk mengusulkan penggantian antarwaktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.84 Alasan pemberhentian tersebut adalah karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART).85 Sebenarnya ketentuan PAW oleh Parpol dalam kedua UU di atas, pernah diajukan pada MK pada tahun 2004. Namun demikian, MK menganggap menolak permohonan tersebut, dengan pertimbangan tidak melanggar hak konstitusional warga negara86 dan tidak melanggar demokrasi.87 MK memandang bahwa dalam praktek demokrasi perwakilan, hak recall dapat terjadi berbagai variasi penggunaannnya, (namun) hal tersebut tidaklah berarti menghilangkan makna sistem demokrasi perwakilan.88 Pertanyaannya, apa hakikat kemunculan hak recall, apakah memang dapat dilakukan oleh Parpol? Dalam praktek kemunculannya, recall diwacanakan pertama kali, namun tidak terwujud, pasca Revolusi Perancis untuk memberhentikan deputy (anggota chamber of deputy) oleh pihak yang memilihnya.89 Recall diterapkan pertama kali di Los Angles - Amerika Serikat tahun 1903.90 Di California hanya terdapat 4 kali penggunaan hak recall yang berujung pada pemungutan suara, dari 107 pengajuan hak recall, sejak tahun 1911 sampai dengan 1994.91 Prakteknya, recall di Amerika Serikat hanya diterapkan pada jabatan publik, baik legislatif maupun eksekutif pada tingkat negara bagian atau minisipal (kota praja).92di 2003. 84 Pasal 8 Ayat Huruf F UU No. 31 Tahun 2002. 85 Pasal 12 Huruf B UU No. 31 Tahun 2002. 86 Hak Konstitusional Warga Negara Yang Diajukan Batu Uji Oleh Pemohon Adalah Setiap Orang Berhak Untuk Memajukan Dirinya Dalam Memperjuangkan Haknya Secara Kolektif Untuk Membangun Masyarakat, Bangsa, Dan Negaranya (Pasal 28 C Ayat (2) Perubahan Kedua UUD 1945). Iihat Dalam M. Hadi Subhan, “Recall: Antara Hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik Anggota Parpol”, Analisis Putusan, Jurnal Konstitusi, Vol. 3 No.4, Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, Hlm. 37. 87 MK Juga Berpendapat Bahwa Hak Recall Pada Hakikatnya Tidaklah Bertentangan Dengan Demokrasi, Tetapi Justru Dimaksudkan Untuk Tetap Menjaga Adanya Hubunganantara Yang Diwakili Dengan Yang Mewakili. Ibid. 88 Ibid. 89 Strong, C.F., Modern Political Constitution, English Language SocietySidwijk & Jackson Limited, London, 1966, Hlm. 229. 90 Banhu, Vinod, “Recall Of Parliamentarians: A Prospective Accountability”, Economic & Political Weekly, Mumbai (India), 29 Desember, 2007, Hlm. 21. 91 Ibid. 92 Lihat R,M. Ananda B. Kusuma, “Tentang Recall”, Kolom Wacana Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Op.Cit, Hlm. 157.

India, recall dilakukan oleh Parlemen93, sementara di Uganda diajukan oleh 2/3 pemilih dalam daerah pemilihan atau kelompok kepentingan melalui Parlemen berdasarkan alasan tertentu.94 Sementara itu, di Guyana recall diajukan oleh Parpol kepada pimpinan Parlemen (National Assembly) dengan alasan wakil rakyat tersebut tidak lagi menjadi anggota Parpol bersangkutan.95 Ketentuan di Guyanan, sama dengan ketentuan PAW atas usul Parpol di Indonesia. Dari gambaran di atas, tergambar jelas bahwa pada awalnya recall hanya dapat dilakukan oleh pemilih (konstituen), namun dalam perkembangannya ada juga yang melembagakannya sebagai hak Parpol atau kewenangan Parlemen. Indonesia dapat dikatakan menerapkan dua pola recall, yaitu oleh Parpol dan lembaga perwakilan. Recall oleh DPR/DPRD merupakan pengaruh dari berkembangnya rezim etik pada jabatan publik (termasuk keanggotaan parlemen).96 Namun demikian, perlu dicatat bahwa secara historis, recall merupakan hak konstituen untuk mengontrol perilaku wakil rakyat. Terlepas dari beragamnya model recall, namun diberikannya hak recall kepada Parpol dapat menyebabkan kecenderungan wakil rakyat untuk mengikuti kehendak Parpol. Memang jika dikaitkan dengan Pasal 12 huruf b UU No.31 Tahun 202, PAW oleh Parpol didasarkan pada hilangnya keanggotan dalam Parpol karena melanggar AD/ART. Namun demikian, tidak ada mekanisme hokum yang dapat ditempuh oleh wakil rakat ter-recall untuk membela apakah yang bersangkutan melanggar AD/ART atau tidak. Hal itu dapat menyebabkan Parpol dapat menjustifikasi bahwa semua tindakan yang tidak disukai oleh pimpinan Parpol (atau kebijakannya) dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar AD/ART Parpol.97 PAW atas usul Parpol dapat dianggap sebagai bentuk sanksi Parpol terhadap wakil rakyat yang juga kader dari Parpol tersebut. Hal itu menyebabkan, wakil rakyat akan lebih “takut” pada ancaman PAW atas usul 93 Ibid., Hllm. 20. 94 Alasan-Alasan Tersebut Adalah Ketidakmampuan Fisik Atau Mental (Physical Or Mental Incapacity), Perilaku Menyimpang (Misconduct Or Misbehaviour), Tidak Mempedulikan Kepentingan Pemilih Karena Alasan Yang Rasional. Banhu, Vinod, Loc.Cit., Hlm. 21. 95 Ibid. 96 Rick Stapenhurst, Riccardo Pelizzo, “Legislative Ethics And Code Of Conduct”, Working Paper, World Bank Institute, Washington DC, 2004, Hlm. 5. 97 Misalnya Ancaman Recall Terhadap Anggota DPR, Yudi Krisnandi Oleh Parpolnya (Golkar), Ketika Yang Bersangkutan Ikut Mengajukan Hak Angket BBM.

Parpol, dari pada ancaman sanksi tidak terpilih lagi pada Pemilu berikutnya. Mekanisme ini efektif dilakukan jika seorang wakil rakyat tidak bersepahaman dengan pendapat Parpol, seperti terjadi pada masa Orde Baru, dan pasca Reformasi setelah pemberlakuan UU No. 22 Tahun 2003.98 Walaupun pasca Reformasi terdapat beberapa kasus wakil rakyat di (ancam) PAW oleh Parpol, namun

dengan

mekanisme

ini

wakil

rakyat

cenderung

tidak

memilki

independensi jika berhadapan dengan pendapat Parpol. 2. Pelembagaan Fraksi di DPR/DPRD UU No. 22 Tahun 2003 menentukan bahwa anggota DPR/ DPRD wajib berhimpun dalam fraksi.99 Fraksi sendiri bukan alat perlengkapan DPR/DPR, dan tidak hanya dapat terdiri dari wakil rakyat satu Parpol, namun dapat dapat terdiri dari beberapa Parpol untuk memenuhi syarat pembentukan fraksi.100 Maksud pembentukan fraksi, tidak lain, dalam rangka optimalisasi dan keefektifan pelaksanaan tugas, wewenang, dan hak DPR.101 Hal tersebut memiliki relevansi kuat dengan keinginan untuk memudahkan atau mempercepat pengambilan keputusan di DPR. Secara formal, fraksi bertugas mengkoordinasikan kegiatan anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang, hak dan kewajiban DPR.102 Fraksi memiliki peran yang kuat, bahkan dalam hal pelaksanaan hak-hak anggota DPR. Dalam persetujuan terhadap usulan hak angket, terlebih dahulu harus mendengarkan pandangan fraksi sebelum diputusakan dalam Rapat Paripurna.103 Hal yang sama juga diatur dalam hal pengajuan hak menyatakan pendapat, fraksi diberikan kesempatan untuk memberikan pandangannya, 98 99 Pasal 98 Ayat (6) Mengatakan Bahwa “Anggota-Anggota DPR, DPRD Provinsi, Dan DPRD Kabupaten/Kota Wajib Berhimpun Dalam Fraksi”. 100 Lihat Penjelasan Pasal 98 Ayat (6). UU No. 22 Tahun 2003. Pasal 15 Tatib DPR 2005 mengatur bahwa ”fraksi mempunyai jumlah anggota sekurangKurangnya 13 (Tiga Belas) orang. Sementara Itu, dalam konteks DPR mengenai komposisi dan keanggotaan fraksi, Pasal 16 Tatib DPR menegaskan: ayat (1) “Fraksi dibentuk oleh anggota Partai Politik Hasil Pemilihan Umum”; Ayat (2) “Fraksi dapat juga dibentuk oleh gabungan anggota dari 2 (dua) atau lebih Partai Politik Hasil Pemilihan Umum yang memperoleh kurang dari 15 (Lima Belas) orang atau bergabung dengan fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”. 101 Pasal 14 Tatib DPR. 102 Pasal 17 Ayat (1) Dan (2) Tatib DPR. 103 Pasal 179 Ayat (2) Dan (3), Tatib DPR.

sebelum pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna.104 Bahkan dalam hal pembahasan rancangan undang-undang (RUU), fraksi mendapatkan hak untuk memberikan pandangan atau pendapat baik dalam pembicaraan Tingkat I maupun Tingkat II (pandangan akhir).105 Kecenderungan memberikan peran “istimewa”kepada fraksi memberikan dampak bahwa individu anggota lembaga perwakilan tidak dapat menunjukkan sikapnya

secara

leluasa.

Oleh

karena

pandangan-pandangan

fraksi

dilembagakan, tiap-tiap wakil rakyat berkecenderungan untuk menyesuaikan pandangannya.

Dengan

pelembagaan

fraksi,

mekanisme

pengambilan

keputusan diharapkan akan lebih efisien, terutama dalam hal waktu. Namun demikian, misalnya, dalam praktek pembahasan RUU, cepat atau tidaknya proses tersebut sangat relatif,106 karena sangat bergantung pada sikap Pemerintah dan kemampuan anggota DPR secara individu. Dibentuknya fraksi juga merupakan salah satu konsekuensi dari sistem multi partai yang dianut. Dalam sistem multi partai, mekanisme untuk melakukan agregasi kepentingan penting diatur, salah satunya dengan pelembagaan fraksi. Namun demikian, fraksi dalam prakteknya merupakan kristalisasi kepentingan Parpol dalam tubuh lembaga perwakilan. Dilembagakannya kepentingan Parpol dalam lembaga perwakilan, pada tahap yang ekstrim juga melembagakan oligarki Parpol. Hubungan antara wakil rakyat dengan konstituen menjadi semakin rumit dengan adanya pelembagaan fraksi dalam lembaga perwakilan. Oleh karena wakil rakyat dihadapkan pada dua pihak, fraksi di satu pihak dengan pandangan-pandangannya,

dan

konstituen

di

pihak

lain

menjadi

yang

mendudukan seorang calon menjadi wakil rakyat. 3. Antara Partisan, Delegate, Trustee, dan Politico Pasca Putusan MK Masih melembaganya lembaga PAW dan fraksi, secara normatif mencerminkan bahwa tipe wakil rakyat yang mungkin terjadi adalah tipe partisan. 104 Lihat Pasal 185 ayat (3) dan (4) Tatib DPR. 105 Lihat Pasal 137 Dan Pasal 138 Tatib DPR. 106 Misalnya Pada Tahun 2006, DPR (Dan Pemerintah) Memprioritaskan 76 RUU Untuk Diselesaikan Selama Satu Tahun. Dari 76 RUU Tersebut, 33 Di Antaranya Merupakan Limpahan Tahun 2005. Pada Akhir 2006 DPR Melaporkan 39 UU Yang Dihasilkannya, Namun 16 UU Di Antaranya Adalah UU Pemekaran Wilayah. Lihat Bivitri Susanti (Et Al), Bobot Kurang Janji Masih Terutang, Catatan PSHK Tentang Kualitas Legislasi 2006, PSHK – Konrad Adenaeur Stiftung, Jakarta, 2007, Hlm. 37.

Kalaupun penetapan calon terpilih dilakukan dengan suara terbanyak, namun sangat mungkin, wakil rakyat terpilih akan cenderung mengikuti sikap dan pandangan Parpolnya. Mekanisme suara terbanyak hanya merupakan entry point untuk mengeser tipe wakil rakyat dari partisan ke tipe lain yang lebih responsif

terhadap

kepentingan

mekanisme

kelembagaan

mekanisme

keterkaitan

konstituen.

dalam

antara

lembaga

Parpol

Tanpa

perubahan

perwakilan

dengan

dan

anggotanya

sistemik

pengaturan di

lembaga

perwakilan, maka sistem suara terbanyak tidak memberikan dampak signifikan, selain dari aspek hak-hak berpolitik yang dijamin konstitusi. Kalau pun perubahan dilakukan, tipe yang realistis tercermin adalah tipe politico yang merupakan tipe campuran antara trustee dan delegate. Asumsinya bahwa minimalisasi peran Parpol dalam mengintervensi kegiatan politik wakil rakyat, akan menyebabkan wakil rakyat lebih dekat dengan kepentingan konstituen. Di samping itu, tipe trustee juga mungkin terjadi, khususnya di DPR, mengingat tingkat pluralitas kepentingan masyarakat yang begitu tinggi, baik dari aspek wilayah maupun kelompok sosial. Jika terjadi konflik kepentingan yang begitu kompleks, maka dapat saja wakil rakyat bertindak sebagai trustee. Penulis menganggap bahwa pergeseran tipe wakil rakyat dari partisan ke politico hanya dapat terjadi dimulai dengan perubahan mekanisme PAW oleh Parpol dan fraksi di DPR. Perubahan mekanisme PAW pasca Putusan MK sempat diwacanakan, bahkan dari kalangan politisi. Ali Masykur Musa,107 misalnya, memberikan catatan dalam pembahasan RUU Susduk. Masykur mengatakan bahwa pimpinan parpol tidak dapat secara sepihak memutuskan PAW anggotanya di DPR, meski terdapat perbedaan politik di internal parpolnya.108 Masykur sendiri bersikap bahwa Pasal 85 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2003 masih bisa dipertahankan, yaitu (PAW dengan alasan) berhalangan tetap sebagai Anggota DPR; tidak memenuhi persyaratan calon Anggota DPR; melanggar sumpah/janji, kode etik DPR, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai Anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan badan kehormatan DPR; melanggar larangan rangkap jabatan; dan terpidana serendah-rendahnya lima tahun penjara.109 Bahkan Masykur, menginginkan bahwa PAW dapat dilakukan 107 Ali Masykur Musa, “PAW Pasca Putusan MK”, Opini, Harian Merdeka, 10 Februari 2009. 108 Ibid. 109 Ibid.

jika

konstituen

meminta

penggantian,

sebagai

bukti

bahwa

konstituen

mempunyai kontrol langsung terhadap wakil mereka di parlemen.110 Usulan PAW oleh konstituen tersebut dilengkapi dengan persyaratan besaran konstituen yang merasa dikecewakan, yaitu sekurang-kurangnya 20% jumlah konstituen pemilih di dapil.111 Persoalannya, dalam pembahasan RUU Susduk, usul tersebut tidak tercermin. PAW atas usulan Parpol masih dipertahankan, sehingga ketakutan wakil rakyat terhadap ancaman PAW (the fear of recall) masih mewarnai sikap wakil rakyat dalam DPR/ DPRD periode 2009 – 2014. Begitu pula dengan pelembagaan fraksi, masih dipertahankan dalam RUU Susduk, Bahkan beberapa pihak dari luar lembaga perwakilan mengajukan alternatif untuk memperketat/ memperbesar jumlah keanggotaan fraksi untuk memperbesar koalisi di lembaga perwakilan.112

Jika hal tersebut diakomodasikan, maka

oligarki Parpol menjadi lebih terlembagakan. Artinya, keterikatan antara wakil rakyat dengan konstituen menjadi lebih renggang, walaupun penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak. Mendorong wakil rakyat menjadi bertipe delegate, trustee atau politico dengan mengubah mekanisme recall dan penghapusan pelembagaan fraksi, tidaka akan terwujud dengan sempurna, karena sistem pemilu yang digunakan adalah sistem proporsional. Seperti diketahui bahwa salah satu kekurangan sistem proporsional adalah wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada Parpol dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya.113 Hal ini disebabkan oleh karena dianggap bahwa dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol peranannya dari pada kepribdian seseorang. namun juga perlu dipertimbangkan untuk mendesain ulang sistem pemilu dari proporsional menjadi sistem distrik.114 Walaupun penetapan calon terpilih dilakukan dengan mekanisme suara terbanyak, namun kursi DPR/DPRD yang didapat, dihitung berdasarkan keseluruhan suara yang didapatkan Parpol berdasarkan pemenuhan BPP. Perlu 110 Ibid. 111 Ibid. 112 Catatan Kritis PSHK Dan Koalisi NGO Untuk Penyempurnaan Paket UU Politik Menjelang Pembahasan Ruu Susduk Pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2008-2009, Mei 2009, hlm. 3. www.parlemen.net 113 Miriam Budiaro, op.cit. hlm. 179. 114 Ibid.

dicatat juga bahwa, pemilih dapat saja memilih Parpol tanpa memilih nama Caleg. Artinya, Parpol secara institusi juga berperan dalam perolehan suara pemilih. Dengan demikian, keterikatan wakil rakyat dengan Parpol cenderung erat dan tipe yang sangat dominan adalah tipe partisan. E. Penutup Harapan untuk mengeser tipe wakil rakyat dari tipe partisan ke tipe politico tidak akan terwujud dengan hanya mengandalkan penetapan calon terpilih atas dasar suara terbanyak, tanpa memperbaiki sistem PAW dan mengkoreksi peran fraksi. Tanpa perbaikan sistem PAW dan fraksi, maka wakil rakyat yang akan mewarnai DPR/ DPRD 2009 – 2014 cenderung bertipe partisan. Untuk mendorong perubahan tipe wakil rakyat tersebut, mekanisme PAW harus diubah, begitu pula dengan pemberian peran kepada fraksi. Idealnya, PAW oleh Parpol dihapus, sehingga PAW diajukan oleh konstituen dengan presentase tertentu

untuk

diputuskan

oleh

DPR/DPRD.

Sebelum

diputuskan

oleh

DPR/DPRD, usulan PAW oleh konstituen diverifikasi oleh Badan Kehormatan DPR/DPRD, sehingga PAW dilakukan dengan mekanisme keparlemenan dengan alasan-alasan yang diatur dengan undang-undang. Hal itu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum kepada wakil rakyat. Jika pandangan di Amerika Serikat menganggap recall hanya dapat dilakukan di negara bagian dan kota dengan anggapan waktu 2 tahun masa jabatan dirasa cukup untuk menilai sikap wakil rakyat dalam Pemilu selanjutnya115, maka masa jabatan 5 tahun bagi anggota DPR/DPRD Indonesia merupakan masa lebih panjang, sehingga mekanisme recall oleh konstituen sangat diperlukan. Jika mekanisme PAW oleh Parpol tetap dipertahankan karena adanya hubungan hukum antara wakil rakyat dengan Parpo, maka hal tersebut tetap harus diusulkan oleh sejumlah konstituen untuk menjamin prinsip kedaulatan rakyat. Dalam hal ini, wakil rakyat terpilih dianggap sebagai representasi rakyat, bukan mewakili Parpol, namun tetap memiliki hubungan dengan Parpol sepanjang mengenai keanggotaan Parpol. Artinya,

PAW

konstituen

melalui

Parpol

hanya

ditujukan

dalam

hal

pemberhentian sebagai anggota Parpol. Pelembagaan fraksi dalam lembaga perwakilan juga sebaiknya dihapuskan, 115 R.M. Ananda B.Kusuma, Op.Cit., Hlm. 156.

walaupun dengan sistem multi partai, hal tersebut mungkin mempebesar divergensi kekuatan Politik. Namun demikian, dengan memperkuat kewenangan dan menata ulang alat kelengkapan DPR/ DPRD, paradigma koalisi pragmatis akan bergeser pada profesionalitas keterwakilan. Idealnya, penghapusan fraksi juga diikuti dengan perubahan sistem kepartaian menjadi sistem yang lebih sederhana

melalui

penyederhanaan

Parpol

secara

demokratis

dengan

menerapkan sistem threshold, yang mengarahkan Parpol yang kalah bergabung dengan Parpol yang menang. Tidak dengan menerapkan aturan bahwa setiap Parpol yang mengikuti Pemilu, berhak mengikuti selanjutnya.116 Jika sistem ini dikembangkan, maka secara berangsur-angsur, sistem kepartaian Indonesia menjadi sistem dua partai. Redesign sistem Pemilu untuk Pemilu berikutnya juga menjadi penting dilakukan agar tidak terjadi lagi tambal sulam sistem Pemilu, seperti terjadi dalam penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak melalui Putusan MK. Jika sistem proporsional cenderung memunculkan wakil rakyat bertipe partisan, maka sistem distrik dapat menjadi alternatif agar tipe wakil rakyat dapat bergeser menjadi delegate, trustee atau politico. Hal ini disebabkan dalam sistem distrik, wakil rakyat akan memiliki keterikatan yang erat dengan konstituen karena konstituenlah yang lebih berperan menentukan keterpilihan seorang Caleg karena faktor personalitas dan kepribadiannya.117 Jika upaya mendorong pola hubungan wakil rakyat dan konstituen yang lebih erat dianggap sebagai satu hal yang penting, maka perubahan sistem pemilu menjadi sistem distrik menjadi pilihan terbaik.

116 Lihat Pasal 8 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008. 117 Seperti dikatakan oleh Miriam Budiarjo bahwa “karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenaloleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Op.cit.,hlm. 178.

DAFTAR PUSTAKA Ali Masykur Musa, “PAW Pasca Putusan MK”, Opini, Harian Merdeka, 10 Februari 2009. Banhu, Vinod, “Recall Of Parliamentarians: A Prospective Accountability”, Economic & Political Weekly, Mumbai (India), 29 Desember, 2007. Bivitri Susanti (Et Al), Bobot Kurang Janji Masih Terutang, Catatan PSHK Tentang Kualitas

Legislasi 2006, PSHK – Konrad Adenaeur Stiftung,

Jakarta, 2007. Bayu Dardias Kurniadi, “MK: Arsitek Politik Indonesia”, Tanggal 19 Juni 2009, http://bdardias.staff.ugm.ac.id/index.php/2009/06/19/mk-arsitek-politikindonesia/, Diakses 3 Juli 2009. Dahl, Robert A Dkk. (Eds), The Democracy Sourcebook, MIT Press, Cambridge, 2003. Dahlan Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2000. Djibril Muhammad, “Putusan MK Suara Terbanyak Amburadul”, Berita Politik, 24 Desember

2008.

http://www.inilah.com/berita/politik/2008/12/24/71166/putusan-mk-suaraterbanyak-amburadul/, diakses tanggal 3 juli 2009. Hanta Yuda A.R., “Suara Terbanyak Dan Kualitas Keterwakilan”, Opini, Harian Jurnal Nasional, 7 Januari 2009. Jarvis, Matthew J. “Ideology In Major Legislation And Public Opinion: Which Is The Chicken, And Which Is The Egg?”, Prepared For Delivery At The Colloquium On American Politics, October 31, 2005. Jewell, Malcolm E. “Legislator-Constituency Relations And The Representative Process”, Legislative Studies Quarterly, Vol. 8, No. 3 (Aug., 1983). Jimly Asshiddiqie, “Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi”, Dalam Jurnal Konstitusi, Vol.3, No. 4, 2006. Liphart, Arrend, Pattern Of Democracies: Government Forms And Performance In Thirty Six Countries, New Heaven And London, Yale University Press, Footnote No. 3, Hlm. 147. M. Hadi Subhan, “Recall: Antara Hak Partai Politik Dan Hak Berpolitik Anggota Parpol”, Analisis Putusan, Jurnal Konstitusi, Vol. 3 No.4, Mahkamah

Konstitusi, Jakarta, 2006. Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, 1993. Mohammad Fajrul Falaakh, “Kisah Pembongkaran Sistem Pemilu”, Kompas, 5 Januari 2009. Radian Salman, ”Stuktur Badan Perwakilan Dan Check And Balances Dalam Fungsi Legislasi”, Dalam Komisi Hukum Nasional, Penyempurnaan Amandemen UUD 1945, Masihkah Perlu?, Kumpulan Makalah Seminar Pengkajian Hukum Nasional, Jakarta 25 – 26 Agustus 2008. Rehfeld,

Andrew, “Representation Rethought: On Trustees, Delegates, And

Gyroscopes In The Study Of Political Representation And Democracy”, American Political Science Review Vol. 103, No. 2, Mei 2009. Rick Stapenhurst, Riccardo Pelizzo, “Legislative Ethics And Code Of Conduct”, Working Paper, World Bank Institute, Washington DC, 2004. Saragih, Bintan R., Sistem Pemerintahan Dan Lembaga Perwakilan Di Indonesia, Perintis Press, Jakarta, 1985.. Strong, C.F., Modern Political Constitution, English Language Society- Sidwijk & Jackson Limited, London, 1966. Wahidah Zein Br Siregar,”Dampak Putusan MK Tentang Suara Terbanyak Tak Ramah Bagi Caleg Perempuan”, Jawa Pos, 10 Januari 2009.

Related Documents

Pemilu
August 2019 51
Pemilu
May 2020 36
04_tabel Implikasi
May 2020 10