Ibadah Qurban Udhhiyah atau berqurban adalah sesuatu yang disembelih baik itu onta, sapi atau kambing untuk mendekatkan diri pada Allah di hari 'Idul-Adha. Sebagaimana yang disebutkan dalam QS al-Kautsar ayat 2: "Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah." Dan yang dimaksud berkorban di sini ialah menyembelih hewan qurban dan mensyukuri nikmat Allah. Dari sini perlu digarisbawahi bahwa berqurban adalah merupakan sebuah ritul ibadah sehingga hikmah yang ada dan terkandung di dalamnya ada setelah kepasrahan atas makna ta'abbudy, sebagaimana prinsip ibadah-ibadah yang lainnya. Diantara makna yang terkandung di dalamnya adalah menghidupkan arti pentingnya pengorbanan besar yang dilakukan oleh nabi Ibrahim as, ketika beliau as. dicoba oleh Allah untuk menyembelih anaknya nabi Ismail as. namun serta merta digantilah Ismail dengan se-ekor sapi yang besar yang diturunkan Allah kepadanya dan memerintahkan untuk menyembelihnya. Selain itu berqurban merupakan kepedulian social dari si-kaya terhadap himpitan hidup yang dialami si-miskin, sehingga terjalinlah hubungan kemasyarakatan yang erat dan hangat diantara keduanya. a) Hukumnya sunnah muakkadah, namun akan menjadi wajib disebabkan dua perkara: i) Mengisyaratkan pada salah satu hewan ternak miliknya yang masuk kategori hewan kurban dengan mengatakan: "yang ini adalah kurban saya", atau "saya akan berkorban dengan kambing ini". Maka seketika dia wajib hukumnya untuk berkorban dengan yang tadi diisyaratkan. ii) Bernadzar untuk mendekatkan diri pada Allah, seperti perkataan: "saya nadzar untuk berkurban" maka seketika itu kurban bagi dirinya adalah wajib. b) Untuk siapa disunnahkan syari'at berkurban? Yaitu bagi mereka yang memenuhi syarat berikut: i) Muslimin (bukan kafir). ii) Baligh dan berakal. iii) Mampu; yakni sekiranya memiliki harta untuk membeli hewan qurban setelah mencukupi kebutuhan pokok atas mereka yang dinafkahi dari baju, makanan dan tempat tinggal selama hari 'id dan hari – hari tasyriq. c) Hewan yang diqurbankan adalah hewan ternak dari: i) Onta; ketika sudah memasuki umur ke-6 ii) Sapi; ketika sudah memasuki umur ke-3 iii) Kambing; ketika sudah memasuki umur ke-2 Disyarakatkan juga agar tidak terdapat aib yang dapat mengurangi nilai hewan tersebut pada dagingnya (pincang, juling, sakit, telinganya hilang satu. d) Waktu penyembelihan Yakni setelah terbitnya matahari di hari Idul-Adha dan ada selang sekiranya cukup untuk melaksanakan shalat dua rakaat dan dua khutbah kemudian terus berlangsung hingga hari-hari tasyriq (11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Sedangkan waktu afdholnya adalah setelah shalat 'Id. e) Apa yang dilakukan terhadap hewan kurban? i) Jika yang disembelih adalah kurban wajib: yaitu yang dinadzarkan atau yang diisyaratkan (mu'ayyinah) seperti penjelasan yang telah lewat, maka orang yang berqurban dilarang memakan daging qurban itu, demikian juga bagi keluarga yang nafkahnya dia tanggung, jika ada yang memakan dari keluarganya itu maka bagi dirinya dikenakan ghoromah atau gantinya. ii) Namun jika qurbannya sunnah, maka diperbolehkan baginya untuk memakan daging qurban kemudian ia bersedekah dengan daging qurban tadi,
namun lebih afdhalnya adalah jika si-pengurban tadi mengambil sediki dari daging qurbannya sedangkan sisanya dibagikan. Catatan: mereka yang berqurban (masnunah) dibolehkan untuk memakan dan memanfaatkan kulit danging kambing itu, akan tetapi dia dilarang untuk menjualnya , atau memberikan kulit itu kepada si-penjagal meskipun dengan dalih sebagai upahnya. f) Adab dan sunnah – sunnah yang berkaitan dengan berqurban (Udhhiyah) i) Jika telah memasuki 10 Dzulhijjah, dan diantara hari-hari itu ber'azam untuk berqurban disunahkan untuk tidak memangkas sesuatu dari rambut dan kukunya hingga disembelih. ii) Disunnahkan penyebelihannya dilakukan diri sendiri, jika tidak bisa karena alas an tertentu maka hendaknya ia menyaksikan ritual penyembelihannya. iii) Bagi pemerintah (hakim) disunnahkan berqurban untuk rakyatnya. Akikah Dan Qurban Pertanyaan: Bolehkan pemotongan kambing akikah dibarengi dengan niat untuk qurban? Dyah Jawaban: Sebaiknya ketika anda melakukan ibadah apalagi yang berkaitan dengan harta, diniatkan sesuai dengan maksudnya. Artinya bukan digandakan niatnya. Karena masingmasing itu memiliki keutamaan, ketentuan dan tata cara tersendiri. Secara ketentuan, daging aqiqah disunnah dibagikan dalam bentuk makanan matang siap santap. Sedangkan daging hewan qurban disunnahkan untuk dibagikan dalam keadaan mentah. Karena itu sebaiknya anda pastikan untuk apakah hewan yang anda sembelih itu. Agar dalam tata pelaksanaannya tidak terjadi kebingungan. Wallahu a‘lam bishshowab Infaq Qurban : Benarkah Ada Dasarnya ? Pertanyaan: Assalamu'alaikum wr. wb. Tanya Ustadz, di Kantor ada edaran dari Masjid kantor yaitu tentang istilah "Infaq Qurban" bagi yang tidak sanggup berqurban, besarnya berapa saja dan bila sudah tercapai seharga seekor kambing/sapi uang tersebut akan diberikan hewan qurban tersebut. Bahkan setelah diprotes, para pengurusnya mengatakan bahwa hal tersebut adalah Infaq, dan hasil infaq yang terkumpul diberikan kepada fakir/miskin dalam bentuk daging kambing/sapi. Yang jadi pertanyaan : 1. Apakah cara seperti itu ("Infaq qurban") dibenarkan dalam syariat agama? 2. Apakah ada dalil yang menjelaskan hal tersebut? 3. Bisa dibenarkankah, jika para pengurus tersebut menganggap bahwa hal tersebut hanya infaq. tapi pada kenyataannya dibelikan kambing/sapi? 4. Bisakah dana untuk membeli sapi (7 orang) dicampur dengan dana "Infaq Qurban" tersebut? (= maksudnya yang qurban benaran hanya 4 orang, sedangkan sisanya seharusnya 3 orang diambil dari dana "Infaq Qurban) 5. Masjid Kantor tersebut mengeluarkan uang kas masjid untuk membeli 2 ekor kambing, Apakah hal ini bisa dibenarkan juga? Mohon jawaban ustadz, atas perhatian dan bantuan ustadz diucapkan terima kasih. Jazakallah. Wassalam M. Haidar Jawaban: Assalamu `alaikum Wr. Wb. Al-Hamdulillahi Rabbil `Alamin, Washshalatu Wassalamu `Alaa Sayyidil Mursalin, Wa `Alaa `Aalihi Waashabihi Ajma`in, Wa Ba`d Disinilah letak pentingnya pemahaman atas syariah dari ibadah penyembelihan qurban. Barangkali karena terlalu sering kita melihat sisi-sisi luar dari sebuah ibadah sehingga
sisi yang pokok sendiri malah tidak diperhatikan lagi. Yaitu sisi aturan syariah yang terkait dengan ritualnya. Memang tidak bisa disalahkan kalau kita sering membahas sisi hikmah, tujuan, prinsip atau hakikat dari suatu ibadah. Seperti yang ada para qurban, bisa saja kita katakan bahwa esensinya adalah perasaan untuk berbagi dan memberi kepada mereka yang kekurangan. Atau kita katakan bahwa tujuan qurban itu adalah agar timbul rasa kemanusiaan, tolong menolong dan sebagainya. Semua itu boleh-boleh saja kita kupas. Namun jangan sampai kita meninggalkan ketentuan ritual yang bersifat baku dari sisi syariahnya. Sisi ini penting untuk diperhatikan sebab hanya dengan menjalankan ibadah sebagaimana aturan yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW sajalah , maka ibadah itu bisa diterima disisi Allah SWT. Apalagi yang terkait dengan ibadah ritual seperti penyembelihan hewan qurban ini. Sebab kalau sekedar mau didekati secara nalar, seharusnya tidak perlu menyembelih kambing atau sapi, cukup kumpulkan uangnya lalu diberikan kepada fakir miskin sebagai fasilitas kredit non bunga untuk modal usaha agar bisa menuntaskan kemiskinan. Atau diinvestasikan pada sebuah jenis usaha yang menguntungkan dan bagi hasilnya diberikan sebagai tunjangan kehidupan fakir miskin. Teapisekali lagi, ibadah qurban itu punya sisi ritual yang sudah sangat jelas aturannya. Sehingga bila kita menafikannya, meski masih tetap dikatakan sebagai perbuatan baik, namun praktek-praktek seperti yang Anda tanyakan itu tidak berhak lagi disebut ibadah qurban dalam arti yang sesungguhnya. Padahal untuk ibadah ritual, Rasulullah SAW telah mewanti-wanit agar kita tidak berimprofisasi sendiri dengan melakukan banyak variasi. Jadi memang Rasulullah SAW tidak mengajarkan istilah infaq qurban, juga tidak dibenarkan patungan membeli sapi yang seharusnya 7 orang dengan tambahan dari uang ?infaq qurban? itu. Termasuk juga tidak dikatakan sebagai ibadah qurban bila dikeluarkan dari hasil uang infaq masjid yang sebenarnya merupakan uang yang dikumpulkan dari sekian banyak orang. Meskipun semua itu tetap mendatangkan pahala, namun secara formal, bukanlah sebuah ibadah qurban yang dibenarkan sesuai syariat Islam. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh. Kurban Untuk Orang Tua yang Telah Meninggal : Bisakah ? Pertanyaan: Assalamualikum wr wb ba'da tahmid wassholawat langsung saja ..bagaiman jika kita ingin kurban atas nama orang tua kita yang telah meninggal dunia,dan adakah hadist yang menerangkan tentang jariyah (sedekah) yang di keluarkan atas nama org yang telah meninggal ..terima kasih atas perhatian dan jawaban nya wassalamualaikum Yenni Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du, Umumnya para ulama membenarkan dan membolehkan seseorang menyembelih hewan qurban untuk keluarganya yang telah wafat. Kalau pun ada berbedaan diantara mereka, maka sedikit saja permasalahannya.
Apalagi bila ayah Anda semasa hidupnya pernah berwasiat untuk berkurban dari harta yang dimilikinya, maka semua mazhab menerimanya dan berpendapat bahwa berkurban untuk orang yang sudah meninggal itu syah. Sedangkan bila inisiatif itu datang dari Anda sendiri sebagai anaknya dan uangnya juga dari uang Anda sendiri, maka para ulama sedikit berbeda pendapat. Fuqaha dari kalangan Al-Malikiyah mengatakan bahwa hal itu masih tetap boleh tapi dengan karahiyah (kurang disukai). Sebaliknya, kalangan fuqaha dari Al-Hanafiyah, AlMalikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa hal itu boleh hukumnya. Artinya tetap syah dan diterima disisi Allah SWT sebagai pahala qurban. Masalah yang Anda tanyakan ini sebenarnya terkait dengan perbedaan pandangan di kalangan ulama tentang mengirimkan pahala ibadah kepada orang yang sudah wafat. Sebenarnya jumhur ulama umumnya menerima bahwa pahala yang dikirimkan kepada mayit di kubur itu bisa sampai. Terkecuali pendapat kalangan Asy-Syafi'iyah, mereka tidak menerima pandangan itu. Artinya, kalangan fuqaha Asy-Syafi'iyah mengatakan bahwa tidak bisa dikirm pahala kepada orang yang sudah wafat. Kecuali bila memang ada wasiat atau waqaf dari mayit itu ketika masih hidup. Sebenarnya pendapat kalangan Asy-Syafi'iyah ini justru bertentangan dengan perilaku umat Islam dinegeri ini yang mengaku bermazhab Asy-Syafi'iyah. Dan fenomena tahlilan atau mengirim pahala bacaan ayat Al-Quran al-Kariem kepada ruh di kubur justru menjadi ciri khas keagaamaan bangsa ini. Sementara mazhab mereka dalam hal ini Imam Asy-syafi'i justru mengatakan bahwa pengiriman itu tidak akan sampai. Sedangkan dasr kebolehannya adalah bahwa dalil-dalil menunjukkan bahwa kematian itu tidak menghalangi seorang mayit bertaqaruub kepada Allah SWT, sebagaimana dalam masalah shadaqah dan haji.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi SAW dan berkata,?Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya ??. Rasulullah SAW menjawab,?Ya pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu bila ibumu punya hutang, apakah kamu akan membayarkannya ?. Bayarkanlah hutang kepada Allah karena hutang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan.? (HR. Al-Bukhari). Hadits ini menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah haji dengan dilakukan oleh orang lain memang jelas dasar hukumnya, oleh karena para shahabat dan fuqoha mendukung hal tersebut. Mereka di antaranya adalah Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Imam Asy-Syafi`i ra. dan lainnya. Sedangkan Imam Malik ra. mengatakan bahwa boleh melakukan haji untuk orang lain selama orang itu sewaktu hidupnya berwasiat untuk dihajikan. Seorang wanita dari Khats`am bertanya,?Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku seorang tua yang lemah yang tidak mampu tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi haji untuknya ??. Rasulullah SAW menjawab,?Ya?. (HR Jamaah)