Humor yang Mencemaskan Humor tidak hanya bisa tidak lucu, tapi malah bisa juga mencemaskan. Sebuah acara humor candid camera di salah satu stasiun televisi swasta kita adalah jenis humor semacam itu. Sebuah acara yang merekam wajah-wajah orang kaget, tepatnya dibuat kaget dan dibikin bego untuk dipamerkan di televisi. Di atas kemalangan semacam itulah kita mencari kegembiraan. Maka orang-orang di mall, di pasar dan di tempat-tempat umum adalah korban yang harus diburu. Tak peduli siapa mereka, apapun urusannya, mereka boleh dibikin kaget, diblo'onkan dan kita pacak wajah dogol itu di televisi untuk kita nikmati. Betapapun hebat kekagetan mereka, betapapun kasar cara kita pada mereka, kita tetap boleh percaya diri. Boleh yakin bahwa orang-orang itu justru akan senang hatinya karena kita punya janji: akan masuk televisi. Dengan modal jaminan "masuk televisi" itu, kita seperti punya hak otomatis untuk berbuat apa saja karena di benak kita, televisi jauh lebih mulia katimbang orang kaget, jantungan dan kecangar. Bahwa muncul di televisi adalah sebuah berkah. "Dibanding keberuntungan yang kami tawarkan, apalah arti kekasaran kami ini," kata kita. Dengan lain perkataan, betapa masyarakat ini masih kita bayangkan sebagai udik dan bodoh. Masyarakat yang menganggap apapun alasannya, masuk televisi tetaplah sebagai kemewahan. "Masyarakat semacam itu sungguh membuat kami berani untuk mengkasari, meremehkan dan melecehkan," kata kita lagi. Maka terhadap mereka kita bisa pura-pura menjadi reporter televisi yang hendak berwawancara, menyorongkan mike lalu tiba-tiba dari kepala mikrofon palsu itu kita pompakan air yang akan langsung muncrat ke wajah korban! Lucu itu pasti, sepanjang kelucuan cuma ditafsirkan lewat ekspresi kaget seseorang, dari kepanikan dan kemarahan orang lain yang kita rekam diam-diam. Humor memang menyukai kekagetan, kepanikan dan hal-hal yang tragis lainnya. Humor hanya butuh tawa, tidak pernah peduli dari mana kaget dan panik itu berasal. Humor baru menjadi sesuatu yang sensitif, sesuatu yang harus beretika jika ia mulai dihubungkan dengan perasaan. Humor berbasis perasaan itu sungguh tak mudah membuat mulut tertawa karena mulai banyaklah syaratnya. Salah satunya adalah pantang menertawai aib dan penderitaan orang lain, apalagi malah menyiapkan skenario kesialannya. Orang nyungsep dari becak, kecebur got dan lari pontang-panting dikejar anjing sungguh lucu dari aspek visual, tapi sungguh sengsara dari aspek nasib. Dan bangsa ini tak perlu melengkapi kegagalnnya dengan memelihara humor-humor berbasis derita, kecuali jika kita memang telah memutuskan untuk berwatak jahat dan primitif. Jika kita masih bisa dengan tenang menertawakan orang yang tengah sial, mari berkaca apakah kita jenis orang yang sehat mental dan perasaannya. (03) (PrieGS/)