Daftar isi
Kata Pengantar (1) -HAM & Perampasan Ruang Hidup: Proletarisasi Negara Kesejahteraan (4) -Yang benar-benar mencintai kehidupan adalah Munir (8) -Tariklah Hakku tapi tidak untuk cintaku (Menakar kembali resistansi rakyat Palestina (11) -Manusia atau Manuk-sia? (19) -Kami dianggap berbeda, dan mereka tidak suka perbedaan (21) -Perempuan dan Hak Asasi Manusia (26) -Politik Demagogi: Pembodohan Pendidikan Melalui Hegemoni Negara (30) -Puisi-puisi pilihan dalam merayakan Hari Hak Asasi Manusia (33) -Idealitas dan Realitas HAM atas Subaltern Classes, Dalam perspektif Marhaenisme (40) -Tren Moratorium & Penghapusan eksekusi mati demi Hak untuk Hidup (44) Biodata (46)
1
KATA PENGANTAR Hari Hak Asasi Manusia menjadi gelar hajat tahunan yang diselenggarakan di seluruh dunia pada tanggal 10 Desember. Momentum merayakan dan merefleksikan Human Rights Day dinyatakan oleh International Humanist and Ethical Union (IHEU) sebagai hari resmi perayaan kaum humanis internasional. Dalam konteks ke-Indonesia-an, 10 Desember dirayakan melalui ragam aktivitas. Mulai dari kampanye gender equality dan anti-kekerasan oleh para perempuan, momen untuk mengembalikan memoari kolektif menyoal genosida 65, tuntutan keadilan untuk korban penembakan dan penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 98, persekusi dan kriminalisasi aktivis mahasiswa, buruh dan petani pasca-reformasi, hingga dokumen-dokemen sejarah pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang luput dibaca dan diselesaikan oleh negara. Zine Human Rights Day: A Reflection of Untidar Activist ini adalah sebuah upaya untuk merespon sekaligus merefleksi momentum Hari Hak Asasi Manusia oleh teman-teman Untidar yang masih memiliki fasilitas kebudayaan untuk mengucapkan ulang ingatan tentang pelanggaran HAM.
Krisnaldo Triguswinri menyodorkan keterangan deskriptif menyoal analisis kelas dan disrupsi hak sipil warga dalam banyak titik api konflik ruang yang berlangsung di Pulau Jawa: Temon hingga Gunem. Luqman K.A. mengucapkan orbituari kematian Munir yang ia asumsikan sebagai Cahaya Penegak HAM di Indonesia: ia diracun di atas pesawat saat hendak berangkat studi ke Belanda. Seperti Martin Luther King, Munir adalah pahlawan hak asasi manusia Indonesia. Tio Rivaldi secara spesifik mengurai keinginan terbebasnya Palestina dari kebiadaban ekspansi Zionis-Israel. Kesadaran empiris, kebebasan manusia, kebahagiaan komunitas dan hak hidup dikemas puitis dalam ''The Power of Love From Palestine''. Sedangkan Geronimo secara singkat melempar 10 point menyoal HAM yang teralienasi. tanpa tendeng aling-aling, ia melanjutkannya dengan memberikan pertanyaan ''benarkah HAM memperjuangkan manusia?''.
Elvin Setiawan mencoba memberi sebuah analisis terhadap persoalan HAM dan kaitannya dengan genk kriminal: kejahatan, Yakuza hingga UndangUndang Anti-Konspirasi. Hermowo Pribadi justru balik pada wilayah transendental manusia: Perempuan dan Hak Asasi Manusia. Ia mencoba menggambarkan persoalan patriarki dan mengerikannya tragedi 1965.
2
Siam Khoirul Bahri mengekplorasi hegemoni demagogi para demagog dalam wilayah pendidikan yang berhasil melumpuhkan kesadaran kritis dan konsep humanis para pedagog pendidikan. Sedangkan Reza Pahlevi tampil dengan analisis tajam menyoal puisi-puisi yang inheren dengan perayaan HAM: dari Rendra hingga Maya Angelou. Arief Budianto membicarakan HAM melalui perspektif Marhaenisme sekaligus meminjam konsep Gramscian tentang subaltern classes demi terucapnya problem kemiskinan. Yang terakhir, Rafi Setiawan tiba to the point untuk membicarakan kontroversi eksekusi mati yang dianggap bertentangan dengan hak hidup manusia. Dengan demikian, merayakan Hari Hak Asasi Manusia adalah upaya untuk merayakan peradaban etis manusia. Etis artinya mampu menghargai kebebasan individual, kedamian komunitas, pilihan eksistensial dan martabat manusia. Pada dasarnya, HAM adalah alamiah. Pada intinya, HAM adalah universal. Pada akhirnya, HAM adalah nilai tertinggi yang melekat pada setiap manusia. Happy Human Rights Day!!
Magelang. 11 Desember 2018 Ficky Jihan Ababa
3
HAM & Perampasan Ruang Hidup: Proletarisasi Negara Kesejahteraan Oleh: Krisnaldo Triguswinri
Bagi mereka yang bertahan di Rembang dan Pati, di hadapan rezim bandara di WTT dan Majalengka, di bawah ancaman tambang di Kulon Progo, Lumajang, Sumatera Utara, Jambi hingga Bangka, di bawah bedil di Urutsewu dan Bima, di hadapan rezim konsesi dari Indramayu hingga Moromoro, yang bertahan di hadapan PLTU dari Batang hingga lereng Ciremai, dan sudut-sudut kampung kota yang digempur penggusuran – Morgue Vanguard Hak asasi manusia masih terus diperbincangkan, terutam menyoal agenda politik pembangunan dan ekonomi bisnis negara (investasi) yang berimplikasi pada penggusuran dan perampasan ruang hidup masyarakat. kendati pembangunan menjadi parameter kemajuan sebuah bangsa, faktanya, warga negara menjadi korban setelahnya: menderita dibawah bendera pembangunan. Regulasi pro investasi koheren dengan banalitas program rezim infrastruktur yang terlegitimasi melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Rezim masif mempromosikan pembangunan demi pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan, efisiensi aktivitas ekonomi, dll. Sialnya, pemaksaan kehendak, irasionalitas proyek dan alienasi warga dari ruangnya masih menjadi motif utama pemerintah dalam merampas, sehingga warga mengalami disrupsi atas hak-hak sipilnya. Menurut catatan Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2016 di Pulau Jawa terjadi 450 konflik agraria dengan skop perampasan ruang hidup 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK. Kemudian sepanjang 2017 terjadi 659 konflik agraria dengan skop perampasan ruang hidup 520.491.87 hektar dan melibatkan 652.738 KK. Eskalasi perampasan ruang hidup naik 50% dari tahun 2016 ke 2017 dan kuantitasnya mungkin akan meninggi pada akhir 2018, mengingat beberapa bulan belakang forum IMF-World Bank di Bali banyak membicarakan perluasan investasi bidang ekstraktif di Indonesia, artinya akan lebih banyak lagi tanah petani, hutan adat, dan perkebunan konservasi diprivatisasi oleh the global financial capitalism. Konsekwensinya, rakyat akan kembali kehilangan hak atas ruang hidupnya. Dari diskursus krusial menyoal perampasan ruang hidup, Indonesia memasuki era kapitalisme tata ruang yang dihegemoni oleh kekuatan negara dan aktor non-negara (korporasi) yang, misalnya, pembangunan pabrik semen di 4
Rembang bertentangan dengan hukum lingkungan, namun korporasi yang dibackup oleh pemerintah memanipulasi Cekung Air Tanah (CAT) menjadi wilayah layak industri besar. Kemudian, demi pembangunan New Yogyakarta International Airport, raja rela menggusur 6 desa yang mengakibatkan membesarnya glombang protes ketidakadilan dan kemarahan dari para warga: kejahatan perampasan ruang hidup terjadi karena elite dan pemodal buta huruf terhadap persoalan hak asasi manusia. Permasalahan yang muncul kemudian adalah, terjadinya pengabaian terhadap hak-hak sipil, misalnya, perampasan paksa, intimidasi, manipulasi, kriminalisasi, hingga pemiskinan akibat hilangnya ruang hidup yang adalah lumbung ekonomi warga. Oleh karena itu, potensi terjadinya segala jenis pelanggaran hak asasi manusia (hak ekonomi, sosial, budaya dan politik) bersarang dalam lokasi imanen manusia: perampasan ruang hidup. Proletarisasi Negara Kesejahteraan The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the state – Jurgen Habermas Ide dasar Negara kesejahteraan beranjak dari abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (2000) mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizenz. Bentham menggunakan istilah “utility‟ atau kegunaan untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik, dan sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Seperti Bentham, keadilan pembangunan harus bersifat maksimal. Artinya, bila pembangunan diajukan demi meningkatkan kesejahteraan warga, maka jangan ada penderitaan yang berujung pemiskinan. Dalam utilitarianisme, prefensi kebahagiaan manusia diukur melalui nilai universalitas, bukan mayoritas atau minoritas. Pembangunan diwajibkan membawa 'utility' kepada masyarakat, tidak akumulasi surplus value oleh elit dan pemodal. Di Indonesia negara kesejahteraan kerap diterangkan sebagai transformasi kebijakan publik yang beririsan dengan upaya negara untuk menjamin pelayanan kesejahteraan warga, misalnya, pengurangan kemiskinan. Lebih jauh lagi, negara kesejahteraan berusaha membebaskan warganya dari ketergantungan pada mekanisme pasar untuk mendapatkan kesejahteraan (dekomodifikasi). Saya hendak menguji logical fallacies ini: 5
Pertama, masyarakat Tegaldowo di Pegunungan Kendeng berasumsi bahwa tingkat kesejahteraan bagi mereka adalah makan tiga kali sehari, maka mereka tidak membutuhkan pabrik semen. Yang salah dari negara adalah mendefinisikan tingkat kesejahteraan warga hanya berdasarkan kepimilikan atas properti atau status sosial, katakanlah, warga sejahtera diasosiasikan dengan mereka yang berkerja sebagai pegawai, bukan petani. Sebaliknya, bila kebijakan yang disodorkan pemerintah atas nama kesejahteraan dengan mengalihfungsikan corak ekonomi warga yang agraris menjadi industri, maka logis warga tidak sejahtera, dengan kata lain, kemiskinan akan bertambah. Kedua, Petani di Kecamatan Temon Kulon Progo kehilangan sumber penghidupan akibat penggusuran atas rencana pembangunan New Yogyakarta International Airport. Kendati NYIA diasumsikan menyediakan lapangan pekerjaan, faktanya, warga justru kehilangan kemandirian ekonomi. petani yang terbebas dari dominasi pasar, kini dipaksa mengakses pasar. paradoks pemerintah adalah, menghendaki dekomodifikasi, tetapi komodifikasi yang dilakukan. Dalam hakekatnya negara kesejahteraan dapat digambarkan keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan negara wajib mewujudkan keinginan tersebut. Dalam konteks ini, negara ada dalam tahapan sebaga negara kesejahteraan. Dengan demikian, realitas negara kesejahteraan yang diimplementasikan oleh rezim infrastruktur menggambarkan watak koersif dari kekuasaan kapitalistik dengan menciptakan rasa takut, bukan rasa aman. Menghadirkan keterpecahan, bukan ketentraman. Penderitaan, bukan kesejahteraan. Walaupun ia dijamin oleh konstitusi, negara dan kapitalisme tetap hegemonik. Kapitalisme menghendaki proletarisasi atau proses yang bertujuan memisahkan orang yang memiliki fasilitas produksi untuk masuk pada kerja-kerja upahan. Proletarisasi acap dilakukan melalui perampasan atau dengan difrensiasi kelas. Akumulasi dan ekspansi kapital menjadi instrumen yang melegitimasi proses proletarisasi yang berakhir pada pemiskinan. Menurut Dede Mulyanto (2018), proletarisasi merupakan prasyarat beroperasinya kapital. Tanpa proletariat tidak akan ada kapital, dan tanpa kapital tidak akan ada kapitalis. Proses penciptaan hubungan sosial produksi kapitalis tidak hanya akan membawa slip gaji ke dalam barisan benda kultural kelas pekerja modern, tetapi sering kali juga menorehkan luka darah pada 6
korban-korban di sepanjang proses penciptaannya seperti dikatakan oleh Marx secara puitis, “kapital hadir mengucur deras dari kepala hingga kaki, dari setiap lubang pori-pori, dengan darah dan kotoran” .
Kesimpulan Perampasan ruang hidup adalah masalah fundamental hak asasi manusia. Pemiskinan karena akumulasi berkorelasi dengan arogansi rezim gusur. kontradiksi negara yang giat mempromosikan negara kesejahteraan (welfare state) sebagai bagian primer yang terhubung dengan demokratisasi, dibatalkan oleh membesarnya angka pelanggaran hak asasi manusia korban pembangunan. Happy Human Rights Day. We shall overcome, someday!
7
Oleh: Luqman K. A.
Munir Said Thalib, wajahnya yang kita temukan di setiap sudut-sudut kota. Mulai dari mural, poster, stiker, dan kaos dengan gambar wajah Munir selalu dijumpai dimana pun. Saya sendiri tidak begitu tau tentang Munir. melihat gambar wajahnya sering saya temui disetiap sudut tempat memunculkan rasa penasaran; Siapa Munir dan Mengapa Munir dibunuh? Sepenting apakah munir, sampai-sampai gambar wajahnya tersebar dimana-mana. Wajar sajalah, generasi yang lahir pada angkatan 1997an seperti saya tentu asing dengan sosok Munir. Setelah saya sedikit tau tentang Munir mulailah saya paham dan mengerti kenapa gambar wajah-wajah Munir terpampang dimana-dimana. Dalam kesempatan ini saya akan berusaha menarasikan ulang Munir dengan sederhana menyesuaikan sudut padang generasi milenial. Saya yakin, teman-teman pun sebetulnya menyimpan pertanyaan yang sama dengan saya tentang Munir, dan Kenapa Munir dibunuh? dan membuat gambar wajahnya termpapang disetiap tempat. Munir adalah Cahaya Penegakan HAM di Indonesia Bicara tentang HAM adalah bicara soal kemanusia. Begitupun, bicara tentang Munir bicara soal kemanusian. Munir adalah aktivis HAM di Indonesia yang paling lantang bicara soal HAM pada masa itu dan harus kehilangan nyawa diatas langit Rumania didalam pesawat Garuda Boeing 747-400 dengan nomor penerbangan GA-974 dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol Amsterdam, Belanda pada 7 September 2004. Berdasarakan hasil otopsi yang dilakukan oleh otoritasa Belanda, terdapat 3,1 miligram racun arsenik didalam tubuh Munir. Tentu bukanlah kematian yang wajar! Hingga saat ini kasus pembunuhan Munir belum menemui titik terang. Aktor intelektual dalang pembunuhan Munir hingga sekarang masih belum terungkap. Semasa hidupnya Munir banyak menangani berbagai kasus, terutama kemanusian dan pelanggaran HAM. Menjadi penasehat hukum keluarga korban tragedi Tanjung Priok 1984. Kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah yang diduga tewas di tangan aparat keamanan pada tahun 1994. Hingga menjadi penasehat hukum korban penghilangan orang secara paksa terhadap 24 aktivis dan mahasiswa pada 1997 hingga 1998.
8
Munir memperjuangkan keadilan untuk membela aktivis yang hilang diculik pada masa pemerintahan orde baru dan berhasil mengungkapkannya yang disebut dilakukan oleh TIM Mawar dari Kopassus TNI AD. Dan masih banyak lagi kasus yang pernah ditangani oleh Munir. Sikap beraninya dalam menentang ketidakadilan oleh beberapa pihak pada masa pemerintahan Orde Baru, membuat Munir tidak disukai pemerintah. Bagi generasi saat ini, yang terlahir dalam nikmat demokrasi dan tidak merasakan atau mengalami bagaimana situasi dan kondisi pada masa Orde Baru cenderung tidak memahami kelam dan mengerikannya pada masa Orde Baru. Masa dimana rezim otoriter yang mengamputasi kebebasan masyarakat sipil. Keterlibatan militer dalam penyusunan agenda orde baru yang memang untuk menyiapkan militer memimpin rezim ini, berimbas besar terhadap berbagai lini kehidupan masyarakat sepanjang masa Orde Baru (Prihatanti, Maskun, dan Syaiful M, 2013) Upaya militerisme yang dilakukan pada masa Orde Baru masih menyisakan traumatis bagi negara ini. Berbagai riset sosil psikologis tentang konflik sosial maupun kekerasan menunjukan adanya hubungan antara ingatan (traumatik) sosial dengan kehidupan kebangsaan (Pennebaker, 1997). Kasus pembunuhan munir menambah potret buram penegakan hukum dan HAM di negara ini yang katanya menganut sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan, mengutamakan nilai kemanusiaan, menjamin hak dan keamanan bagi masyarakat warga negara harusnya penegakan Hukum dan HAM di negara ini menjadi prioritas. Sistem demokrasi macam apa yang diterapkan di negara ini? Sistem demokrasi oligarki kah? Yang hanya melindung elit penguasa? Atau negara ini sengaja menutup mata dan tidak mau terkarunia untuk melihat dan menghargai betapa pentingnya HAM dan Kemanusiaan. Terjadinya pergantian penguasa negara juga sama saja dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat. Dan yang paling menjijikan, janji penyelesaian kasus HAM berat masa lalu hanya menjadi omong kosong belaka para calon pemimpin negara ini untuk menarik simpatik dan dukungan massa untuk menjadi penguasa. Meskipun saya tidak mengenal Munir, mengetaui sepak terjang Munir dalam memperjuangkan HAM di Indonesia saya yakin Munir adalah orang baik. Sampai disini saya sudah mulai memahami kenapa Munir begitu penting sampaisampai gambar wajahnya bertebaran dimana-mana. Mau aktivis ataupun bukan, mereka yang peduli tentang HAM dan Kemanusian dan berupaya mengingat Munir dalam berbagai Aksi salah satunya dengan menyebar gambar-gambar wajah Munir sebetulnya merupakan upaya dalam mengingatkan kita; Selama kasus pembunuhan Munir belum terungkap masih ada orang Jahat berada di negara ini yang bebas dan tidak tersentuh hukum atas tindakannya menghilangkan nyawa. 9
Munir adalah peringatan untuk kita semua. Bahwa siapa saja dapat menjadi korban atas congaknya kekuasan. Bagaimana kotornya cara para penguasa melindungi kekuasaannya dengan menebar ketakutan dengan rentetan ancaman. Membuktikan bahwa Munir atas pikiran dan keberaniannya tidak dapat diintervensi oleh rezim yang paling opresi sekali pun. Munir adalah keberanian. Keberanian menyuarakan kebenaran, keberanian melawan rezim yang lalim. Dengan mengingat Munir dan membangun memori tentang Munir, serta turut memperkenalkan pada generasi selanjutnya adalah bagian dari aksi melawan. Bahwa rezim yang paling opresi pun tidak akan bisa membungkam dan melenyapkan kebenaran. Kebenaran akan terus ada dan berlipat ganda. Seperti Munir, akan terus ada dalam ingatan setiap generasi. Bicara tentang Munir hari ini kita bicara tentang perlawanan. Rezim yang otoriter dan sering mengunakan kekerasanlah yang sebetulnya dilawan Munir. Munir adalah orang yang sangat mencintai kehidupan. Tindak kekerasan, penculikan, bahkan pembunuhan yang banyak dilakukan oleh rezim Orde Baru adalah pratik perbuatan yang menghina kemanusian. Tentu buat orang yang benarbenar mencintai kehidupan seperti Munir diam melihat pratik semacam itu adalah pengkhianatan, berontak dan melawan terhadap pratik-pratik keji semacam itu adalah tekad dalam menebas ketidakadilan. Karena sejatinya yang dilakuakan Munir untuk memperjuangan kehidupan bernegara yang humanis tanpa kekerasan. Munir menolak tunduk dan menjadi penentang atas kekuasaan yang mendominasi dengan kekerasan, kesewenang-wenangan penguasa memang harus dilawan. Memilih jalan sunyi dan menerima banyak ancaman, Munir tetap lantang dan gigih melawan memperjuangkan pembebasan atas nama kemanusiaan. Jangan diam! Terus Lawan! Sekalipun hanya dalam pikiran! Sepenggal lirik lagu “Pulanglah” Iwan Fals untuk Munir yang sangat di rindukan Selamat jalan pahlawanku Pejuang yang dermawan Kau pergi saat dibutuhkan saat dibutuhkan Keberanianmu mengilhami jutaan hati Kecerdasan dan kesederhanaanmu Jadi Impian
10
Oleh: Tiorivaldi
merasuk dalam setiap panca indera kita, mengalurkan proses secara kontinu apa yg kita pahami lewat akal sehat. Kesadaran diri beroleh dari pemahaman dan pembelajaran masing-masing individu dalam memandang alam semesta. Karena untuk meningkatkan kesadaran yang lebih luas, kita menemukannya dari setiap pengalaman yang kita alami. Artinya, kesadaran yang lebih luas tersebut dicapai dari pengetahuan yang bukan berasal dari pikiran kita, melainkan berasal dari suatu pembelajaran yang benar akan sebuah pengalaman dalam mempersepsi alam semesta. Sehingga manusia dapat mencapai legitimasi yang cukup ilmiah dalam pernyataannya dari pemahaman secara empiris, terhadap permasalahan yang terjadi berdasarkan pengamatannya langsung di lapangan. Seseorang yang berpijak di lingkungan satu dengan orang lainnya yang berpijak di lingkungan dua, beroleh keadaan yang berbeda. Yang akhirnya terciptalah masing-masing individu yang mempunyai warna yang berbeda dalam kesempatannya menyimpulkan sebuah objek analisa. Ada yang menapakkan kaki di lingkungan bergedung tinggi dan adapun yang menapakkan kaki di lingkungan berhutan rimba. Sama juga, ada yang tiap waktunya melihat langit dalam keadaan cerah tanpa sebuah kemurungan. Dan di waktu yang sama, di medan lain ada yang sering melihat eloknya pesawat meludahi kawasannya. Iya, bukan sembarang ludah berliur yang menyampahi wajah seseorang. Akan tetapi ludahnya bahkan tidak becek, ia berbentuk padat dan keras serta dapat menciptakan kobaran api bagi alam yang menyentuhnya. Maka, tak salah jika tingkat kepedulian dan kedewasaan seseorang terangkum lewat pengalaman lingkungannya masing-masing. Seseorang yang dahulu berdiri dalam keadaan terjajah, akan menimbulkan surplus semangat nasionalis dan berjiwa tidak takut pada kematian. Berbeda dengan mereka yang lahir dalam keadaan damai tanpa keraguan akan kemungkinan tergolek pada kematian, serta tentram tanpa berpikir akan busung lapar tak beroleh asupan makanan. Kondisi yang pertama tidak dipungkiri jika mereka memiliki mentalitas lebih dibanding dengan kondisi yang kedua. Maka dari itu mereka yang pernah berada pada kondisi pertama, akan merasakan simpati kepada bangsa yang masih dalam keadaan keterjajahan. Itulah kesadaran diciptakan lewat proses berinteraksi kepada realitas dirinya di dalam berkehidupan. Dan pada akhirnya kesadaran itulah yang akan menentukan bagaimana seseorang akan bersikap di dalamnya. 11
Indonesia dan Palestina Indonesia berdiri sebagai negara yang pernah beroleh pengalaman terjajah oleh bangsa lainnya. Maka, sudah cukup lah realitas yang di alami secara langsung tersebut menjadi gelora bangsa Indonesia sebagai pengutuk terciptanya penjajahan. Bisa kita lihat dengan dicantumkannya di dalam Pembukaan UndangUndang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pada alinea pertama yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Sudah menjadi kemestian jika dari isi tersebut, Indonesia akan mengutuk setiap penjajahan dan eksploitasi terhadap bangsa lain yang terlingkup dalam lingkungan bumi. Maka Indonesia ikut turut serta mengambil peranan tersebut lewat Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, bahwa Indonesia: “...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Sungguh kenyataan tersebut terangkum kembali dalam sebuah ungkapan cinta dari Sang Proklamator kemerdekaan Indonesia kepada bangsa Palestina: "Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel," (Soekarno, 1962). Dukungan kepada Palestina selain karena kesadaran empiris bangsa Indonesia. Lebih dari itu, dukungan terhadap Palestina bisa dikatakan merupakan hutang yang mesti dibayarkan para pendiri Republik. Mengingat bahwa bangsa Palestina merupakan pihak pertama yang mengakui Indonesia berdaulat. Sebagai contoh, pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan 'ucapan selamat' mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan 'pengakuan Jepang' atas kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut disebar-luaskan, bahkan harian “Al-Ahram” yang terkenal telitinya juga menyiarkan. Selain itu, hal ini ditandai juga dengan penerimaan Syekh Amin Al-Husaini yang berkenan menyambut kedatangan Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia di tahun pertama deklarasi kemerdekaan secara penuh. Banyak masyarakat Indonesia bahkan pejabat pemerintahan Indonesia yang pada saat ini tidak mengetahui tentang hal tersebut. Sehingga tidak mengherankan banyak suara-suara nyaring yang dilontarkan kepada masyarakat Indonesia bahkan cenderung sinis ketika ada anak negeri Indonesia turut membantu perjuangan rakyat Palestina. Saya pun sering menemukan ungkapan “Kenapa kita harus mikirin negara lain? Jika negara sendiri masih banyak yang harus dibenahi”. Ungkapan tersebut memang cenderung ada nilai logis di dalamnya, akan tetapi jika kita melangkah lebih jauh lagi kita mesti menyimpulkan 12
dengan skala prioritas serta wilayah kerja internal dan eksternal. Seseorang di indahkan mengurus wilayah kerja eksternal (di luar dirinya) selama kerja internal (di dalam dirinya) berada pada kondisi yang baik. Saya harus dalam keadaan rajin shalat (internal), jika hendak mengajak orang lain untuk shalat (eksternal). Kemunafikan akan tercipta jika saya mengajak seseorang kepada hal yang bertentangan sendiri bagi jiwaku. Lalu apa korelasi yang bisa kita simpulkan dengan kondisi Palestina? Bahwa bangsa Indonesia saya posisikan sebagai diriku sendiri (internal). Sedangkan, Palestina berada pada posisi yang lainnya (eksternal). Secara internal, saya sudah mempunyai suatu modal untuk dapat melangkah ke wilayah eksternal, yaitu kedaulatan dan kemerdekaan. Jika saya sudah mempunyai modal tersebut, sudah barang mestinya jika saya diperbolehkan untuk ikut turut serta memperjuangkan kemerdekaan diwilayah eksternal. Logika semacam itu yang harusnya kita tangkap. Terlebih lagi, apakah kita tidak merasa malu jika bangsa yang sudah cukup berkontribusi atas kemerdekaan Indonesia itu. Lalu, kita sendiri enggan untuk membalas budinya dengan bentuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Di sinilah pentingnya mengenal dan mengetahui sejarah, sehingga tidak mudah dibodohi orang. Ada sebuah ucapan penuh hikmah, “orang yang tahu sejarah akan punya 'izzah”. Izzah adalah mereka yang memiliki kehormatan, kekuatan, serta kemuliaan. “Orang yang paling banyak bersyukur kepada Allah adalah orang yang paling banyak berterima kasih kepada manusia”. (HR Thabrani). “Tidak dianggap bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia”.(HR Abu Daud). Kartu Merah HAM dari Palestina Penjajahan adalah menyalahi Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) menurut wikipedia adalah prinsip-prinsip moral atau norma-norma, yang menggambarkan standar tertentu dari perilaku manusia, dan dilindungi secara teratur sebagai hak-hak hukum dalam hukum kota dan internasional. Indonesia, menurut Undang-Undang nya Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM bahwa: “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Dalam diri manusia ada tiga hal yang selalu melekat yaitu hidup, kebebasan, dan kebahagiaan. Tiga hal ini termasuk dalam Hak Asasi Manusia yang akan coba kita gelar lebih dalam lagi. 13
Hidup Setiap manusia yang terlahir di bumi telah diberikan setiap perangkat penunjang kehidupannya seperti jantung, paru-paru, ginjal, hati, hidung, mulut dengan fungsinya masing-masing. Jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh manusia, paru-paru yang menukar oksigen dari udara dengan karbon dioksida dari darah, serta ginjal yang menghilangkan kelebihan air dari tubuh, atau mempertahankannya saat dibutuhkan. Tuhanlah yang telah memasukkan semua komponen tersebut untuk bekerja menurut bidang dan fungsinya masing-masing. Namun, manusia telah bersikap buas untuk menghilangkan kehidupan manusia lainnya. Sehingga jantung terputus dari pompa, paru-paru berhenti memproduksi O2 dan CO2, ginjal tak lagi berurusan dengan air. Iya, jangankan untuk mendapatkan jaminan tempat tinggal, makan, minum jika bahkan hidupnya pun tak menentu dapat melihat langit cerah di esok harinya. Bentuk Hak Asasi Manusia paling mendasar yang seharusnya mereka miliki, yaitu hak untuk hidup dan merasakan keamanan terhadap apa yang hendak terjadi pada dirinya. Tak elok mereka peroleh hal tersebut selama senjata api selalu ditodongkan bagi mereka, dan langit masih dipenuhi dengan capung raksasa. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 pada pasal 4 di cantumkan berkaitan asas-asas dasar HAM yang berbunyi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak hak manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan keadaan apapun dan oleh siapapun”.
14
Kebebasan dibagi menjadi kebebasan yang berbentuk materi dan non-materi. Untuk hal yang menyangkut kebebasan materi ini, baik dari kalangan pemuka agama dan pejuang sosial, mereka bersepakat bahwa hal itu harus diperjuangkan. Sehingga penindasan terhadap sesama manusia, pengambilan hak saudara sendiri dan penjajahan di atas dunia merupakan hal yang menjoroki nilai kebebasan materi tiap manusia. Dan itulah yang waktu-waktu ini tak juga rampung terjadi di bumi Palestina, Suriah, dan lain sebagainya. “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan”. (UU RI nomor 39 tahun 1999 pasal 3 ayat 1) Kebahagiaan Manusia, adalah sebuah bentuk cita rasa yang begitu kompleks dalam mempelajarinya. Tak pernah kita benar-benar beroleh pemahaman secara komprehensif dan mutlak terhadap manusia selain diri kita sendiri. Maka, saat memandang sebuah kebahagiaan pun, manusia beroleh rasa dan warna yang berbeda-beda. Kebahagiaan atau kegembiraan adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan yang ditandai dengan kecukupan hingga kesenangan, cinta, kepuasan, kenikmatan, atau kegembiraan yang intens (wikipedia). Ada yang memandang harta sebagai sumber kebahagiaan, ada pula yang beroleh kedudukan adalah kebahagiaan. Para peneliti juga telah mengidentifikasikan beberapa hal yang berhubungan dengan kebahagiaan: hubungan dan interaksi sosial, status pernikahan, pekerjaan, kesehatan, kebebasan demokrasi, optimisme, keterlibatan religius, penghasilan, serta kedekatan dengan orang-orang bahagia lain. Bagi kita yang berada di tanah lapang nan bebas, kebahagiaan bisa diperoleh dari mana saja dan kapan saja. Bahkan hanya dengan menonton video komedi yang tersedia di layar ponsel saja, kita bisa mendapatkan kebahagiaan, tersenyum dan tertawa. Namun, berbeda dengan mereka yang tanahnya selalu dirampas oleh pihak yang rakus. Palestina, mereka adalah saudara-saudara kita semuslim, jika tak sampai bersaudara dalam satu keyakinan minimal kita adalah saudara sesama manusia (humanisme). Kebahagiaan mereka direnggut oleh tentara zionis, senyuman mereka di ambil alih, pesta raya tak lagi disambut dengan dekorasi yang estetis. Bagaimana mungkin mereka bisa begitu saja tertawa lepas, jika melihat dengan mata kepala sendiri keluarga mereka dibunuh satu persatu dihadapan mereka sendiri. Tak juga dapat gembira dengan lahapan makanannya, jika mereka bahkan khawatir apa yang bisa dimakan pada esok hari.
15
The Power of Love from Palestine Hadil Hashlamon? Seorang wanita Palestina yang meninggal ditembak tentara Israel karena alasan menolak melepas cadarnya dan membuka isi tasnya. Di kala itu usia nya masih berkisar 18 tahun, dimana pada usia ini dibelahan bumi lainnya banyak muslimah yang masih bimbang untuk memakai jilbab di setiap aktivitasnya. Dilansir dari Al-Jazeera, Hadil Hashlamon yang kala itu hanya mau membuka kerudungnya di hadapan tentara wanita penjajah justru ditembak tentara Yahudi di perbatasan militer Jalan Syuhada, Barat Kota Kholil, dengan beberapa butir peluru tajam pada Selasa (22/09/2015) sore. Al-Jazeera memperlihatkan jasad Hadil Hashlamon tergeletak kaku di atas tanah, kemudian Zionis menyeret dengan cara menarik kakinya hingga kerudung (jilbabnya) terlepas karena bergesekan dengan tanah. Tidak cukup satu peluru saja bagi Zionis untuk memaksa Hadil Hashlamon membuka cadar dan memperlihatkan isi tasnya. Bahkan serentet tembakan peluru tajam dilepaskan menyerang nya,” terang keterangan Al-Jazeera. Wanita Palestina, bahkan ketika tidurpun masih mengenakan jilbabnya. Bila ditanya, “mengapa masih mengenakan jilbab saat tidur?” mereka menjawab, “kalau setibanya rumah saya dibom, mereka akan menemukan mayat saya masih dalam keadaan menutup aurat”. Itu merupakan sebuah potret gambaran kekuatan cinta yang dimiliki oleh rakyat Palestina sangat mendalam terhadap keyakinannya. Dan karena keyakinan inilah mereka masih kuat menghadapi segala rintangan, yang, belum tentu saya secara pribadi akan dapat bertahan. Seperti yang pernah dinyatakan oleh Hasan Al-Banna: “Pemikiran akan mungkin berhasil diwujudkan manakala kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalan-Nya, bersemangat dalam merealisasikannya, siap beramal dan berkorban demi menjelmakannya”. Ada sebuah lagu dari bumi Palestina yang cukup mewakili perasaan hati yang mereka rasakan, yang selanjutnya lagu ini bahkan di cover oleh Nissa Sabyan bersama Sabyan gambus. Lagu itu di beri judul “Atouna El Toufoule” Jeena N'ayedkon Kami datang dengan Ucapan Selamat Berlibur Bel-Eid Mnes'alkon Dan selama liburan kami bertanya padamu Lesh Ma Fee 'Enna La 'Ayyad Wala Zeineh Kenapa kami dak punya Liburan ataupun Dekorasi ( Perhiasan ) Ya 'Alam Wahai Dunia Ardhi Mahroo'a Tanahku Habis terbakar Ardhi Huriyyeh Masroo'a Tanahku dicuri kebebasannya 16
Samana 'Am Tehlam 'Am Tes'al El-Ayam Langit kami Sedang bermimpi bertanya kepada hari hari Wein Esh-Shames El-Helwe W-Rfouf El-Hamam Dimana matahari yang indah dan di mana kipasan sayap burung merpa ? Ya 'Alam Wahai Duniaa Ardhi Mahroo'a Tanahku Habis terbakar Ardhi Huriyyeh Masroo'a Tanahku dicuri kebebasannya Ardhi Zgheere Metli Zgheere Tanahku Kecil, seper aku, itu kecil Redoulha Es-Salam 'Atouna Et-Tufoole Berikan kedamaian kembali padanya, beri kami masa kecil A'touna Et-Tufoole beri kami masa kecil A'touna Et-Tufoole beri kami masa kecil A'touna Et-Tufoole beri kami masa kecil A'touna 'Atouna 'Atouna Es-Salam Beri Kami, Beri Kami, Beri kami Kedamaian . I am A Child with something to say, Please listen to me! Aku anak kecil dengan sesuatu yang ingin kukatakan, Tolong dengarkan aku! I am a Child Who wants to play, why dont you let me? Aku anak kecil yang ingin bermain, kenapa dak kau biarkan ? My Doors are wai ng, my friends are praying, small hearts are begging Pintuku menunggu(untuk dibuka) , temanku berdoa, ha kecil kami memohon Give us a Chance! Berikan kami kesempatan Sebuah untaian kata yang indah dinyanyikan di dalam lagu tersebut oleh seorang anak kecil. Yang menjelaskan bagaimana akhirnya Hak Asasi Manusia terutama hak-hak anak direnggut untuk mendapatkannya. Bermain, pendidikan, perlindungan, kesehatan tak mereka peroleh begitu saja tanpa adanya rasa ketenangan. Suara ledakan bom lah yang menjadi pendengaran mereka setiap harinya. 17
Pada akhirnya mereka tetap memiliki resistensi yang kuat, dan tidak memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang remeh. Karena kekuatan dari kecintaan mereka terhadap hal diluar dunia, yaitu kehidupan setelah adanya kematian. Mereka pandang dunia sebagai senda gurau, yaitu hanya pemberhentian sebelum menuju lokasi yang dituju. Sehingga mereka tetap istiqomah di jalan-Nya, dan benarlah apa yang difirmankan oleh Allah SWT: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya....” (QS. Al-baqarah: 286)
Jika benar rakyat Palestina diberikan beban tersebut karena sesuai dengan kesanggupannya. Lalu, apakah beban itu tak diberikan kepadaku, karena tak kesanggupanku untuk menjalaninya?
18
Seperti kutipan diatas, kita tahu bahwa HAM menurut beberapa Ahli dikatakan telah melekat pada manusia bahkan sejak mereka lahir. Dan kita tahu betul bahwa HAM telah menjadi suatu tolak ukur atas layaknya kehidupan manusia di suatu lingkungan, Negara, bahkan Dunia. Seakan, HAM dijadikan sebagai pedoman bagi setiap insan di muka bumi ini. Namun, apa yang kita telah saksikan hari ini jauh berbeda dengan Utopia yang disajikan oleh HAM melalui The Universal Declaration of Human Right Tahun 1948. Mirisnya, judul diatas dapat menggambarkan kondisi HAM hari ini. Menurut Jimly Asshidiqqie, bahwa hak asasi manusia pada generasi pertama berkenaan dengan hak-hak sipil dan politik yang mencakup antara lain: 1. Hak untuk menentukan nasib sendiri 2. Hak untuk hidup 3. Hak untuk tidak dihukum mati 4. Hak untuk tidak disiksa 5. Hak untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang 6. Hak untuk peradilan yang adil, independen, dan tidak berpihak 7. Hak untuk berekspresi atau menyampaikan pendapat 8. Hak untuk berkumpul dan berserikat 9. Hak untuk mendapatkan persamaan perlakuan di depan hukum 10. Hak untuk memilih dan dipilih Sekilas, dari 10 poin yang disajikan diatas, aku yakin kalian akan sepakat bahwa 10 poin tersebut tidak terimplementasi dengan semestinya, namun malah menjadi “Senjata Makan Tuan” bagi mereka yang memperjuangkannya.
19
20
Melihat perhatian mereka, dan saudara-saudaraku menghiburku, aku jadi semakin yakin kalau aku melakukan hal yang benar, aku bergaul dengan orang yang tepat, aku bersama orang-orang yang peduli denganku dan perasaanku. −JT Sering kita mendengar istilah “geng”, mungkin di kalangan masyarakat Indonesia yang akrab adalah istilah geng motor. Geng adalah sebuah kelompok individu yang saling berkaitan baik teman dekat maupun kesamaan latarbelakang seperti lingkungan, pekerjaan, hobi, dan sebagainya. Kita bisa mengklasifikasikan geng kedalam bentuk kelompok sosial karena mereka memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi. Namun lebih dari itu geng bisa kita katakan sebagai sebuah organisasi karena geng dibentuk dengan kepemimpinan dan organisasi internal yang jelas. Begitu banyak geng yang terbentuk di seluruh dunia ini, beberapa yang terkenal bahkan bisa disebut sebagai geng internasional antara lain; Mara Sulvatrucha-13, Crips, Bloods, Yakuza, 18th Street Gang, dan lain sebagainya. Biasanya geng merujuk kepada gerombolan orang yang melakukan hal negatif dan ilegal seperti kriminal, penyelundupan, atau narkoba. Kalau kita ingin membicarakan tentang hal negatif yang dilakukan oleh suatu geng, sudah berapa banyak kanal-kanal berita cetak maupun online atau lainnya yang sudah memberitakannya. Pembunuhan oleh kelompok MS-13 atau pemukulan 21
pengunjung klub malam oleh anggota kelompok yakuza, berita semacam itu kerap kita dengar di berbagai media. Namun tanpa mempedulikan hal-hal negatif yang dilakukan itu, “geng” seharusnya dianggap sebagai bentuk kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin hak-haknya dalam Universal Declaration of Human Rights. Walaupun geng-geng terkenal dengan citra kriminalnya, namun akan menarik saat kita tahu bahwa mereka membentuk suatu geng sebagai bentuk Act of self-defense. Act of self-defense adalah tindakan seseorang untuk menggunakan kekuatan yang masuk akal atau kekuatan pertahanan, untuk tujuan membela hidup sendiri (membela diri) atau kehidupan orang lain, termasuk –dalam keadaan tertentu– penggunaan kekuatan mematikan. Para anggota geng Crips contohnya, bergabung dengan Crips sebagai bentuk perlindungan diri dan lingkungan dari lingkungan yang lain. Crips sendiri adalah sebuah geng di Amerika yang mayoritas anggotanya adalah orang kulit hitam. Para anggota Crips kebanyakan lahir dan besar di Amerika, hidup di lingkungan yang menganggap mereka berbeda dan tidak suka perbedaan, begitulah mengapa mereka membuat atau masuk kedalam geng. Dengan masuk kedalam geng, mereka akan merasa terlindungi, ada sesama anggota lain yang melindungi. Akupun meyakini bahwa unsur paling kejam dalam masyarakat bukanlah kekerasan atau semacam itu, unsur paling kejam dalam masyarakat adalah ketidakpedulian. Poppy salah satu anggota geng Crips dalam salah satu wawancara dengan Vice mengatakan, “masalahnya apa yang bisa diperbuat pemerintah dan orang-orang ini –lingkungan– untuk menghentikan masalah ini –diskriminasi kulit hitam– selain menjebloskan kami ke penjara? Beri kami kegiatan, pusat kegiatan masyarakat, beri kami program, akses ke berbagai macam hal, bukannya menangkap dan menjebloskan kami ke penjara. Aku pernah dalam posisi itu, aku dipenjara 2,5 tahun. Jika kalian tak memberi kami apapun, jalan keluar atau semacamnya, kami akan terseret hal-hal buruk. Membentuk geng adalah upaya kami melindungi diri kami, geng sesungguhnya adalah polisi!”. Bukan berarti aku membenarkan tindak kekerasan dan kriminal yang dilakukan oleh geng-geng itu, namun kekerasan sering tumbuh karena kekerasan. Apabila kita berbicara jujur, kita mesti mengakui bahwa setiap orang mempercayai kekerasan 22
dan mempraktekannya, meskipun ia akan mengutuknya apabila hal itu dilakukan oleh orang lain. Bisa dikatakan, Crips adalah kejahatan yang timbul dari kejahatan –yang mereka terima dari lingkungannya. Aku meyakini bahwa kebutuhan dasar seorang manusia adalah sandang, pangan, papan, medis, dan kemanan. Maka dari itu pemerintah pun pasti akan menjaga keamanan warga negaranya, namun tak seharusnya dengan pembatasan hak-hak asasi manusia. Tahun kemarin, pemerintah Jepang mengesahkan Undang-Undang Anti Konspirasi yang isi dari Undang-Undang tersebut sangat jelas bertujuan untuk memberangus kelompok Yakuza. Undang-undang ini dikeluarkan pemerintah dengan alasan keamanan, "UU ini sangatlah penting untuk melindungan masyarakat terutama keamanan mereka dan kita telah melakukannya yang terbaik melindungi kebebasan mereka serta hak asasi mereka. Saya tak akan melupakannya," kata Menteri Kehakiman Jepang, Katsutoshi Kaneda. Yakuza, salah satu geng paling berbahaya di dunia, bahkan kelompok ini sudah disebut sebagai organisasi kriminal transnasional. Kelompok ini dikenal di Jepang dengan julukan Gokudō. Kelompok yang identik dengan tato dan mutilasi jari sebagai lambang keberanian dan hukuman di saat yang sama. Apabila seorang anggota melakukan sesuatu yang menimbulkan masalah atau rasa malu bagi organisasi, anggota tersebut diharapkan langsung memotong jari mereka sendiri sebagai bentuk permintaan maaf. Jarinya dipotong menggunakan pisau belati atau pedang kecil, tradisi yang mencerminkan ketergantungan seorang samurai pada pedang mereka. Agak mengerikan. Dalam Undang-Undang Anti Konspirasi salah satu pasal menyebutkan seluruh kelompok Yakuza bisa didakwa kalau satu anggotanya melakukan tindak kriminal. Undang-undang ini dinilai kontroversial lantaran menempatkan "kejahatan" remeh semacam mengkopi musik dan mencuri jamur di hutan lindung sejajar dengan kejahatan serius semacam ancaman teror. Undang-undang anti konspirasi ini dinilai tidak adil, banyak dugaan bahwa pemerintah jepang bekerjasama dengan korporasi untuk merebut bisnis Pachinko (Judi) yang saat ini dikuasai oleh Yakuza. Namun menurutku ini hubungannya 23
lebih kepada sejarah Yakuza yang penuh kekerasan. Memang Yakuza tidak pernah terlepas dari kekerasan, kekerasan adalah konsekuensi dari pekerjaan yang mereka lakukan. Namun hal menarik dikatakan oleh salah seorang anggota Yakuza dalam sebuah wawancara, ia mengatakan bahwa Yakuza melakukan kekerasan untuk melindungi orang. “Bayangkan deh, misalnya kamu punya bar, lalu ada perkelahian di tempatmu. Kamu lapor polisi, mereka datang, mencatat nama pelakunya, menanyai pelaku dan saksi. Kasihan, malam itu barmu terlanjur kacau balau. Pestanya selesai dan bisnismu berantakan. Beda kejadiannya kalau kalian menghubungi Yakuza, kami cuma akan fokus pada siapa yang memulai perkelahian. Pengunjung lain bisa tetap party-party. Kami bisa tarik keluar pelakunya dan ancam agar tak lagi datang kalau cuma bikin keributan belaka. Kami bisa menangani kasus seperti ini dengan lebih efisien dan cepat, secepat kami memadamkan api”. Yakuza sebagai kelompok yang sering dibilang “kelompok kriminal” memang kerap terlibat dalam aksi-aksi sosial. Dalam Tsunami di Jepang tahun 2011, Yakuza menjadi yang pertama memberikan bantuan kepada korban tsunami. Yakuza diberitakan lebih cepat memberikan bantuan dibandingkan pemerintahan Jepang sendiri. Kebenaran seperti ini progressnya memang lambat, karena terkadang kebenaran akan mengancam sesuatu yang saat ini sudah diyakini, Seperti kebenaran bahwa ganja dapat menyembuhkan penyakit, sedangkan pondasi dari dunia medis adalah antibiotik. Pembatasan-pembatasan hak asasi manusia pada Yakuza oleh pemerintah juga terlihat dari akses-akses yang diberikan pemerintah kepada anggota Yakuza. Pemerintah tak mengizinkan mereka buka rekening bank, mereka tak bisa beli apartemen, mereka tak bisa beli mobil atau bahkan sekadar main golf atau baseball. Anggota Yakuza tak bisa menyekolahkan anak karena tak punya apapun yang dimiliki atas nama mereka. “Anak bengal masa kini lebih suka masuk grup penipu atau geng jalanan daripada masuk Yakuza. Mereka tahu bahwa kami punya peraturan organisasi yang ketat dan pemerintah juga ketat mengawasi kami”. "Orang yang bikin aturan ini mau menang sendiri. Kalau politisi yang bikin perkara, selalu ada jalan keluarnya. Mereka mungkin jauh lebih berbahaya dari Yakuza." 24
Sebenarnya setelah Undang-undang Anti Konspirasi ini disahkan oleh Pemerintah Jepang, mendapat banyak protes dari masyarakat jepang itu sendiri. Undang-undang ini dibuat bukan untuk Yakuza, Yakuza hanya salah satu yang jelas disebutkan didalamnya. Undang-undang itu ditentang karena dinilai terlalu beresiko terhadap orang biasa untuk terjerat hukum karena menempatkan tindakan yang “remeh” sebagai kejahatan. Memang terkadang kita tenggelam pada kejahatan atau kekerasan itu sendiri. Kita tidak benar-benar menanyakan apakah kekerasan itu benar atau salah, kita hanya meyakini apakah itu legal, apakah hukum membolehkannya. Kita tidak mempertanyakan hak pemerintah untuk membunuh, untuk menyita, dan memenjarakan. – Alexander Berkman.
25
menjadi entry point untuk memposisikan perempuan sebagai manusia yang bermartabat. Perbedaan biologis dengan laki-laki bukan menjadi alasan untuk serta merta menjadi manusia kelas kedua. Hal ini juga penting di tegaskan karena dalam situasi tertentu, perempuan merupakan bagian dari kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan adalah korban terbesar pelanggaran hak asasi manusia, ambil contoh ketika terjadinya peristiwa 65 yang mana di dalam buku berjudul G30S 1965, PERANG DINGIN & KEHANCURAN NASIONALISME Karya Tan Swie Ling, yang di dalam beberapa bab-nya diceritakan tentang tidak adanya penghargaan atas harkat dan martabat seorang perempuan, peristiwa 98 yang tercatat sekitar 80 kasus kekerasan seksual dan pemerkosaan masal, atau ketika percetakan Young India tahun 1926 yang mana isu pernikahan dini menjadi isu strategis yang menimbulkan banyak janda-janda baru dan hilangnya masa depan seorang perempuan, dan masih banyak catatan sejarah hingga saat ini menyangkut perempuan. PEREMPUAN DALAM BELENGGU PATRIARKI
“Tidak ada hakim selain diriku yang bisa memutuskan apa aku benar atau salah.” -Max StrinerMenurut Stiner, setiap individu adalah hakim atas dirinya sendiri, yang mana baik kaum laki-laki maupun perempuan mempunyai keputusan terkait benar ataupun salah atas dirinya sendiri. Karena itu setiap individu hanya tunduk terhadap dirinya sendiri bukan terhadap negara, masyarakat maupun sistem. Apa yang di imani oleh Stiner berbanding terbalik dengan realita di masyarakat. Perempuan misalnya, ia di dekte oleh kehendak yang ada di luar kuasanya. Yang sering terjadi di masyarakat kita adalah menempatkan perempuan sebagai manusia kelas dua, dimana perempuan tugasnya hanya sebagai pelayan di kamar, dapur, sumur. Seorang penulis besar kita Pramoedya Ananta Toer pun sangat melawan akan kondisi masyarakat kita, yang mana pernah dia tuliskan di dalam sebuah bukunya berjudul Gadis Pantai yang mana membahas akan kekejaman seorang 26
tokoh Jawa yang menikahi seorang gadis berusia 14 Tahun dan dirampaskan segala hak yang melekat di dalam dirinya. Perempuan tidak dipandang sebagai individu yang merdeka terhadap tubuhnya, segala bentuk pengexpresian diri direpresi masyarakat patriarki itu, sehingga mau tidak mau mereka harus tunduk kepada otoritas di luar dirinya dan hal ini akhirnya yang membuat tubuhnya seolah-olah hanya sebuah objek. Adanya sebuah pembenaran dan pembiaran terhadap patriarki itu tadilah yang membuat perempuan selalu dirugikan pada segala sendi kehidupan. Mereka tidak dibebaskan memilih jenis kehidupan yang mereka mau, mereka diatur cara berpakaian, di diskriminasi, di stigma, bahkan yang sering terjadi mereka ditolak menjadi pemimpin. Di abad 20 yang sangat membelenggu perempuan India pada masanya, dimana perempuan-perempuan India usia 14 tahun sudah diboyong oleh para pria dan banyak menimbulkan janda usia dini. Dan angka pernikahan dibawah umur ini juga dilandasi atas pondasi yang menjijikan, yaitu untuk mendapatkan keberuntungan yang kaum pria peroleh apabila mereka menikah dengan istri yang masih anak-anak. Tetapi dilihat sekarang ini kondisi perempuan tidak se-extream itu, karena Patriarki telah berubah jenis lebih sublim dari pada masa lampau,dan ditambah kesadaran akan hal itu belum terbentuk di dalam tubuh pemikiran kaum perempuan, maka butuh yang namanya pendidikan atau pelatihan terhadap kaum perempuan. Pendidikan adalah satu hal mendasar yang memungkinkan kaum perempuan untuk menegaskan hak-hak dasar mereka, untuk melatih kaum perempuan secara bijaksana dan untuk bisa berkarya bagi perluasan ide-ide mereka. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa umat manusia tanpa pendidikan tidak akan jauh berbeda dengan hewan. Oleh karena itu, pendidikan sangat penting bagi kaum perempuan sebagaimana halnya juga penting dengan kaum pria. Dalam posisi yang utama, sistem pendidikan di negeri kita penuh dengan kekeliruan dan dalam banyak hal justru menghasilkan kejahatan. Sekalipun pendidikan terbebas dari kelemahan-kelemahan yang sekarang ada, saya tidak menganggap bahwa model pendidikan seperti itu sesuai bagi kaum perempuan apabila ditinjau dari berbagai sudut pandang pemikiran. Kaum Perempuan dan Pria itu statusnya setara, tetapi mereka tidak identik. Kaum Perempuan dan Pria adalah pasangan yang tiada bandingnya dalam saling melengkapi antara satu dengan lainnya, masing-masing harus membantu yang lainnya. Oleh karena itu, tanpa eksistensi salah satunya, eksistensi yang lainnya tidak terbayangkan, juga yang penting untuk dipahami bahwa sesuatu yang merusak keberadaan salah satu dari mereka akan mengakibatkan rusaknya kesetaraan antara kaum perempuan dan pria. Kondisi kita hari ini kadang memberikan pengetahuan bahwa ada pembagian kerja yang membelenggu kaum perempuan, ambil contoh ketika seorang pria bisa mengambil peran di luar dan perempuan hanya boleh mengurusi pekerjaan domestik di rumah saja. 27
Maka butuh yang namanya pendidikan atau pelatihan yang intensif untuk diberikan kepada kaum perempuan kita. Tetapi Sistem pendidikan kita hari ini, kalau boleh kita kaji ulang bisa dikatakan masih patriarki sekali, ambil contoh ketika ada seorang perempuan yang hamil diluar nikah, otomatis sekolah yang dia tempati akan mengeluarkan perempuan tersebut, dengan alasan akan merusak moral sekolah dan mencoreng nama baik institusi pendidikan tersebut. Dan beban moril akan dirasakan oleh perempuan tersebut, tanpa dilihat dari duduk perkaranya. Karena selama patriarki masih saja dipertahankan maka selama itu pula dominasi atas perempuan masih terus berjalan, dan yang harus di garis bawahi sekarang ini bukanlah hanya masalah Gender Equality, tetapi dominasi berlebih dari salah satu-nya. Secara grafik keterwakilan di parlemen yang selalu naik katakanlah, yang mana tahun 1995 jumlah kursi kaum perempuan hanya 5,06 % dan angka terus meningkat menjadi 11,4 % ditahun 1997. Hingga tahun 2009 mencapai 18,21 % , tetapi itu bukan tolak ukur utama, karena percumah ketika para perempuan kita memiliki peran besar di dalam sebuah sistem, tetapi produk aturan itu apakah sudah sesuai. Akan tetapi kaum perempuan juga harus melepaskan takhayul-takhayul dan menyadari kekeliruan mereka dan melakukan kerja-kerja yang konstruktif untuk mewujudkan pembaharuan. Persoalan yang kita hadapi adalah pembebasan perempuan, tidak adanya dominasi berlebih atas perempuan, perbaikan ekonomi masyarakat, dan penghargaan atas hak-hak kaum perempuan. PEREMPUAN DAN TRAGEDI 65 Sejarah akan ditulis oleh dia yang menang. Hal itu sudah tercermin atas peristiwa ditahun 1965 silam, dimana banyak perspektif pandangan dan analisis yang diberikan, baik oleh penguasa, akademisi, kurikulum pendidikan, ataupun saksi peristiwa tersebut. Tetapi disini saya bukan bermaksut untuk membedah peristiwa tersebut, tetapi hanya menyinggung sedikit hal mengenai peristiwa tersebut melalui tragedi-tragedi yang di alami para kaum perempuan di waktu itu. Tan Swie Ling, seorang mantan tahanan politik dimasa itu menulis sebuah buku berjudul G30S 1965, PERANG DINGIN & KEHANCURAN NASIONALISME, dia banyak membedah kejahatan kemanusiaan di masa itu, baik dia menceritakan tentang cara pembuatan BAP (Berita acara penangkapan) yang sering di gunakan penulis sejarah kita sebagai patokan penulisan peristiwa 65 itu. Tan menceritakan bahwa BAP ditulis melalui berbagai tekanan yang dilakukan penguasa dengan berbagai macam tekanan dan penindasan, baik melalui kursi listrik, cambuk ekor ikan pari, ayat kursi (Ibu jari yang di injak ujung meja) dll. Tak hanya terkait penindasan fisik yang dilakukan kepada para tahanan politik. 3 Pimpinan PKI, Lukman, Aidit, Njoto dan 3 juta manusia di cap merah pun turut di rampas akan hak hidupnya.
28
Peristiwa 65 adalah menjadi sebuah noda hitam bagi para perempuan kita, yang mana di dalam peristiwa tersebut banyak kaum perempuan yang direnggut hak-haknya, dan hilangnya penghargaan atas harkat dan martabat seorang perempuan. Tan menceritakan bahwa dimasa itu para wanita banyak mengalami pelecehan seksual di dalam penahanan-nya, salah satunya adalah ketika mereka di indikasi bahwa memiliki tato palu arit di pahanya, maka mau tidak mau si perempuan harus membuka rok atau celananya untuk di perlihatkan, tak hanya itu para perempuan gerwani kita yang di tuduh sebagai Undurbown PKI, melakukan tari telanjang di lubang buaya, padahal hal itu sama sekali tidak terjadi, banyak halhal lain juga yang menimpa kaum perempuan dimasa itu hingga pemerkosaan dan pembunuhan pun terjadi di masa itu. Tan juga menceritakan bahwa dimasa itu juga terjadi sebuah diskriminasi ras, yang di tulis di sub judul “Cina jelata yang pernah dimusuhi penguasa''. Ditahun 1966 dia dan banyak kawan nya baik laki ataupun perempuan di introgasi perwira militer dengan pertanyaan : apa suku bangsamu. Kebencian akan RTT dimasa itu memuncak, karena di anggap mendukung peristiwa 65. Ditahun itu juga berlangsung seminar Angkatan Darat ke 2 di Bandung. Salah satu isinya menetapkan pengubahan sebutan “Tionghoa/Tiongkok” menjadi “Cina”. Semua itu tanpa menyadari tingginya kebencian politik rasial yang menjiwai jajaran militer secara umum, dan angkatan darat secara khusus. Tak hanya kebencian yang dimiliki oleh militer, tetapi politik rasial itu pun menimbulkan kebencian di kalangan masyarakat, bagi mereka yang memiliki etnis Tionghoa. Sejarah pun terulang kembali di tahun 98, politik rasial tadi terulang dan banyak para perempuan Tionghoa yang di perkosa, tekanan sikis dll. Jadi bisa dikatakan bahwa intimidasi, penelanjangan, dan penindasan yang di alami oleh kaum perempuan dimasa itu sudah menjadi hal biasa pasca peristiwa 65, seolah perempuan yang di cap sebagai simpatisan PKI tidak mempunyai sedikitpun penghargaan atas dirinya. Maka perlu adanya keseriusan dari negara untuk membuka sejarah kita secara gamblang, pengusutan pelanggaran HAM berat di masa lalu, dan penghargaan atas harkat dan martabat perempuan.
29
Oleh: Siam Khoirul Bahri
Apa yang disebut dengan kebenaran nampaknya sudah menjadi barang mewah yang dikendalikan oleh kekuasaan. Segala bentuk kepemilikkan sejatinya langgeng ditangan Negara, melalui kekuasaan pembenaran terhadap peniadaan hak masyarakat dilegalkan. Sukar rasanya Negara mampu berlaku adil untuk rakyat kecil, berbagai bentuk kebutuhan minim pasokkan dan dibandrol dengan harga mahal. Ada pergeseran paradigma dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat, kebutuhan akan selalu hadir ditengah-tengah perdebatan kebijakan yang mungkin justru membatasi kebutuhan itu sendiri. Jelasnya otoritas pasar menjadi lebih dominan dalam premis ini, ia dengan mudah memonopoli setiap kebutuhan. Belakangan saya tidak bisa berdamai setelah mengetahui ada Bias dalam sektor pendidikan. Hegemoni dalam sektor ini sangat tampak menyesatkan pola pikir masyarakat. Masyarakat dibuat manja kepada urusan pendidikan kecenderungan masyarakat pada umumnya pasrah kepada sekolah. Pola pikir kita dibawa pada realitas bahwa satu-satunya lembaga yang secara ekslusif dikatakan sebagai lembaga pendidik ialah di sekolah. Seseorang dianggap pandai apabila ia memakan bangku sekolah. Atau setidaknya sekolah melegitimasi bahwa kita pernah berpikir. Masyarakat yang tidak sekolah minimal 12 tahun dianggap masyarakat yang terbelakang atau dianggap tidak terpendidik. Ivan ilich berpendapat bahwa sekolah merupakan proses belajar manusia seumur hidup. Akan tetapi, pada realitanya sekolah dibatasi oleh berbagai aspek yang membuat ia tidak dapat diakses dengan mudah. Pertama, ada rentang umur yang membatasi 30
seseorang untuk masuk ruang sekolah, bisa saya contohkan, seorang tua buta huruf dan tak pandai menghitung karena tak pernah sekolah sejak kecilnya tidak diperbolehkan masuk sekolah dasar karena usianya yang telah lanjut, boleh tetapi ia harus mengambil paket ujian kesetaraan. Kedua, sekolah mendehumanisasi manusia seolah menjadi robot yang dituntut hadir tepat waktu, patuh terhadap guru dan kurikulum. Ada batasan yang membuat pola pikir kritis manusia sekalipun dibatasi didalamnya, sekolah lebih mengarahkan peserta didiknya untuk mempertahankan status quo dari apa yang dipelajarinya. Secara tidak langsung sekolah juga membentuk sistem kasta ada grade atau rangking yang membeda-bedakan mana yang pandai ekonomi, matematika, ipa ataupun ips, padahal ada anggapan bahwa kepandaian itu seperti ikan yang tak bisa dipaksakan untuk memanjat pohon ataupun kera yang dipaksa untuk berenang. Selain itu, yang terjadi dalam pendidikan, dapat dipastikan seseorang akan lebih memilih sekolah dengan akreditasi yang baik, sekolah ternama dan bergengsi daripada sekolah swasta atau belum terakreditasi, karena dia yang masuk ke sekolah tersebut dianggap kastanya lebih tinggi dan lebih pandai daripada mereka yang masuk disekolah biasa. Hal ini yang disebut juga oleh Derrida sebagai logosentrisme (simbolisasi) yang dianggap baik padahal belum tentu baik, maka menurutnya kita harus keluar dari persoalan tersebut dan menganggap bahwa ada persepsi lainnya diluar sana. Ketiga, sekolah memiliki jarak dari realitas dimana disekolah lebih dianggap berharga belajar tentang dunia daripada belajar dari dunia, sehingga fenomena yang terjadi di lingkungannya sekalipun belum tentu dapat dibaca seperti apa yang dibunyikan dibukunya. Coba kita lihat ada banyak permasalahan sosial yang terjadi dimasyarakat akan tetapi apakah seorang terpendidik sekalipun yang dikata sarjana dapat menyelesaikan persoalan tersebut? Jawabannya belum tentu, kecenderungan seorang terpendidik saat ini justru malah anti sosial mereka merasa elit untuk mau turun dalam urusan sosialnya gampangnya ia saat ini memiliki sterilitiet (batasan) dengan masyaraat dan lingkungan sosialnya. Keempat, sekolah memonopoli legitimasi keterampilan. Mereka yang memiliki ijazah dianggap memiliki keterampilan daripada yang hanya memiliki pengalaman tetapi tanpa sekolah dan ijazah. Coba tanyakan lebih baik anda kehilangan keterampilan atau ijazah anda? Maka kita dapat memastikan bahwa monopoli legitimasi ini secara tidak langsung juga membuat adanya monopoli pasar dalam jual beli pekerjaan dengan ijazah. Lalu bagaimana dengan mereka yang tak memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan pendidikan, proses mencerdaskan kehidupan bangsa tentu bisa kita anggap tidak merata dan apa yang dinamakan kesejahteraan pun tentu juga tidak akan merata. Karena urusan pekerjaan adalah urusan perut, akan tetapi urusan pendidikan bukanlah soal urusan perut ia adalah urusan proses menjadi lebih terpendidik. Pekerjaan dan perut adalah 31
effect yang hadir setelah mereka memiliki skill dan kualitas SDM yang baik. Belakangan ini sekolah justru menghilangkan hidden curriculum yang sesungguhnya, bahwa sekolah adalah tempat mencari pekerjaan bukan tempat belajar. Kelima, komersialisasi dalam sektor pendidikan semakin menjamur, mereka yang mampu membayar maka akan mendapatkan kursi di sekolah. Pendidikan menjadi pasar komoditi utama yang hanya diberlakukan untuk kalangan menengah keatas. Mereka yang berada di garis kemiskinan harus meminjam uang ke bank menggadaikan sertifikat tanah agar anaknya dapat bersekolah dan membeli kebutuhan peralatan sekolah seperti buku, alat tulis, tas, dan sepatu. Atau mereka yang tak membayar uang SKS per semester tidak diperbolehkan untuk mengikuti kegiatan ujian yang bersifat formalitas, mekanis dan syarat administratif. Pembodohan terhadap sistem pendidikan ini juga tidak hanya berlaku untuk peserta didik akan tetapi bagi para guru dan dosen pun demikian, mereka terbatas atas apa yang harus dijelaskan sesuai dengan kurikulum. Kritik masalah pendidikan ini diakibatkan adanya kebuntuan dalam sistem metode pembelajaran yang ada disekolah. Seperti kata Foucault apa yang disebut panopticon membuat Ruang sekolah, barak, pabrik maupun rumah sakit dianggap sebagai penjara yang mengekang kebebasan serta dapat dijadikan ruang pendisiplinan dan pengawasan, yang kemudian justru menghilangkan esensi bawaan manusia itu sendiri. Dalam model pendidikan yang mengurung kebebasan manusia ini maka seseorang yang dinyatakan lulus dalam ruang pendidikan sekalipun belum tentu bisa dikatakan berarti untuk lingkungan sosialnya. Bahkan untuk dirinya sendiri seharusnya ia merasa bersalah karena lulus berati menjauhkannya dari realita. Kita tidak pernah membayangkan bagaimana politik demagogi itu dijalankan oleh Negara, bahwa hak dan akses terhadap pendidikan sangatlah jauh dari harapan. Kita tidak pernah meminta belas kasihan, akan tetapi menuntut kewajiban Negara untuk dijalankan. Indeks kebahagiaan di Negara Finlandia menjadi nomor urut pertama di dunia, menandakan kesejahteraan, pendapatan dan pendidikan sangatlah terjamin oleh pemerintahannya. Pengakuan dunia pun mengatakan Finlandia merupakan Negara terbaik dalam mengelola sistem pendidikannya, tidak ada pemberlakuan pemeringkatan institusi pendidikan dan merupakan sistem inklusif dimana semua siswa dianggap setara dalam haknya untuk mendapatkan pendidikan dan beban biaya pendidikan sekalipun mendapatkan perhatian khusus serta support penuh dari pemerintah. Kami mendambakan kebahagiaan, bukan pendidikan pembodohan!! Kebaikan satu-satunya adalah pengetahuan dan kejahatan satu-satunya adalah kebodohan, maka Ilmumu bertambah, kualitas dirimu meningkat –Socrates
32
Inilah perasaan yang dituangkan seorang WS Rendra dalam sajaknya berjudul “Sajak Sebatang Lisong”. Kesenian? Apakah arti kesenian yang sebenarnya? Bagi barisan seniman mungkin mereka bisa mendefinisikannya berbeda-beda. Namun kesenian yang dimaksud oleh WS Rendra itu seperti apa?
Sajak Sebatang Lisong sendiri ditulis WS Rendra tahun 1978 ketika berada dibalik jeruji. Mungkin kutipan dari puisi tersebut sudah akrab di telinga beberapa dari kita. Tetapi, mungkin, banyak dari kita, khususnya orang-orang milenial yang tidak menyukai sastra bertanya-tanya, apakah lisong? Lisong sendiri menurut KBBI merupakan rokok yang tembakaunya dicampur dengan kemenyan dan kelembak. WS Rendra menampakkan lisong pada kalimat awal puisinya: menghisap sebatang lisong / melihat Indonesia Raya / mendengar 130 juta rakyat / dan di langit / dua tiga cukong mengangkang / berak di atas kepala mereka. Dengan lugas Rendra menceritakan kenyataan di sekitarnya, atau kondisi dari rakyat indonesia pada saat itu, mengenai kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakatnya serta ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang lemah atau rakyat-rakyat miskin. Seperti kata Aristoteles, seni adalah bentuk yang pengungkapannya dan penampilannya tidak pernah menyimpang dari kenyataan. Seni memiliki beberapa percabangan, salah satunya karya sastra. Karya sastra selalu lahir sesuai dengan perkembangan zamannya. Puisi, sebagai salah satu bentuk karya sastra menjadi salah satu sarana penyampaian krtitik terhadap kondisi sosial masyarakat yang sedang terjadi. Puisi dipilih selain karena memudahkan penyampaian maksud penyair 33
namun juga membuat pembaca memahami maksud tersebut dengan cara yang sederhana. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, bahkan menjadi pemerima Yap Thiam Hien Award 2017 (Sebuah penghargaan di bidang HAM di Indonesia). Orang-orang mengenalinya sebagai ulama, pujangga, pelukis, esais, dan perajin humor. Ikhtiar Gus Mus membela HAM tak melalui panggung hukum dan politik, tetapi melalui gubahan puisi. Kata-kata dengan makna yang disirat Gus Mus turut memberitahu ke publik mengenai masalah sekitar kita dan mengajarkan arti HAM kepada pembaca. Salah satu kritiknya dalam pengisahan Indonesia yang saya suka berada dalam kutipan puisi berjudul “Negeriku”: negeriku menumbuhkan konglomerat / dan mengikis habis kaum melarat / rata-rata pemimpin negeriku / dan handa taulannya / terkaya di Indonesia. Tema-tema kritik dipilih penyair karena realitas sosial masyarakat Indonesia ini masih menunjukkan kesenjangan sosial. Hal tersebut tentu membuat penyair, dalam hal ini pencipta karya, merasa tergelitik mengangkat permasalahan tersebut ke permukaan. Banyaknya tema kritik ini mewakili kondisi masyarakat yang harus menjadi perhatian bersama. Nyoman Darma Putra (2003) mengatakan dalam sajak-sajak protes yang utama adalah penyampaian gagasan, sementara lirik atau irama kurang mendapat prioritas meski tidak terabaikan sama sekali. Puisi dan Kebebasan Berekspresi
Kebebasan berekspresi adalah hak asasi yang telah dijamin dan memiliki
makna esensial dalam demokrasi. Kebebasan ini sebagai suatu hak asasi yang penting dan unik. Kebebasan berekspresi menjadi jembatan bagi pemenuhan hak asasi lain. Pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya maupun sipil dan politik sering dimulai dari kritik-kritik terhadap pemerintah lewat berbagai ekspresi dengan menggunakan sarana-sarana yang ada. Meski juga diakui kebebasan berekspresi bukanlah hak absolut dan bisa dilimitasi. Ekspresi adalah kata yang cukup bermasalah untuk dijelaskan, dan pada umumnya orang masih curiga pada kata ini. Bagi mereka yang besar di jaman Orde Baru tentu sudah sering mendengar ungkapan macam “kebebasan yang bertanggung jawab” atau 34
“berekspresi boleh tapi jangan kebablasan”. Jadilah ekspresi anak muda jaman itu seperti teriakan yang tertahan, ada sesuatu yang ingin dikeluarkan dari dada namun karena tidak boleh kebablasan maka teriakan yang keluar pelan saja bunyinya. Mengapa orang-orang yang memegang kekuasaan tampaknya secara alami senang mengatur kebebasan berekspresi? Karena mereka tahu jika ekspresi seseorang sudah bisa dikendalikan maka itu menjadi pintu masuk untuk mengendalikan hak-hak lainnya yang lebih asasi. Mengatur ekspresi sebetulnya adalah mengatur isi kepala seseorang. Dalam rezim otoriter setiap manusia “dipotong” kepalanya, tidak dibolehkan berpikir yang berbeda, tidak boleh menjadi pribadi yang otentik, harus taat aturan dan adat. Penyeragaman membuat orang jadi mirip satu sama lain, bahkan sampai-sampai penampilannya pun mirip. Melihat realitas yang mengekang menumbuhkan kesadaran untuk memperjuangkan demokrasi, termasuk para sastrawan. Penyair Lekra seperti Agam Wispi dan S. Anantaguna, sang burung merak WS Rendra berbicara sangat lugas melalui puisi tentang kesengsaraan rakyat, disertai dengan ajakan untuk melawan ketidakadilan. Hingga akhirnya ada puisi-puisi yang menarik untuk dibaca kaum buruh dan menjadi mantra dalam setiap aksi turun ke jalan sebagaimana pekik puisi Thukul: Hanya ada satu kata, lawan!
35
Joko Pinurbo Patroli Iring-iringan panser mondar-mandir di jalur-jalur rawan di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap komandan melihat kelebat seorang demonstran yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan. Pasukan disiagakan dan diperintahkan untuk memblokir setiap jalan. Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir dan tiarap seketika. Komandan berteriak, “Kalian sembunyikan di mana penyair kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu? Pena yang baru diasahnya sangat tajam dan berbahaya.” Seorang peronda memberanikan diri angkat bicara, “Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi di sana.” “Sialan!” umpat komandan geram sekali, lalu memerintahkan pasukan melanjutkan patroli. Di huruf terakhir sajakku si jerangkong itu tiba-tiba muncul dari dalam kakus sambil menepuk-nepuk perutnya. “Lega,” katanya. Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak bersorak dan merapatkan diri ke posisi semula. Di kejauhan terdengar letusan, api sedang melahap dan menghanguskan mayat-mayat korban.
36
WS Rendra Sajak Anak Muda Kita adalah angkatan gagap yang diperanakkan oleh angkatan takabur. Kita kurang pendidikan resmi di dalam hal keadilan, karena tidak diajarkan berpolitik, dan tidak diajar dasar ilmu hukum Kita melihat kabur pribadi orang, karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa.
Kita hanya menjadi alat birokrasi ! Dan birokrasi menjadi berlebihan tanpa kegunaan menjadi benalu di dahan. Gelap. Pandanganku gelap. Pendidikan tidak memberi pencerahan. Latihan-latihan tidak memberi pekerjaan Gelap. Keluh kesahku gelap. Orang yang hidup di dalam pengangguran. Apakah yang terjadi di sekitarku ini ? Karena tidak bisa kita tafsirkan, lebih enak kita lari ke dalam puisi ganja.
Kita tidak mengerti uraian pikiran lurus, karena tidak diajar filsafat atau logika. Apakah kita tidak dimaksud untuk mengerti itu semua ? Apakah kita hanya dipersiapkan untuk menjadi alat saja ?
Apakah artinya tanda-tanda yang rumit ini ? Apakah ini ? Apakah ini ? Ah, di dalam kemabukan, wajah berdarah akan terlihat sebagai bulan.
inilah gambaran rata-rata pemuda tamatan SLA, pemuda menjelang dewasa.
Mengapa harus kita terima hidup begini ? Seseorang berhak diberi ijazah dokter, dianggap sebagai orang terpelajar, tanpa diuji pengetahuannya akan keadilan. Dan bila ada ada tirani merajalela, ia diam tidak bicara, kerjanya cuma menyuntik saja.
Dasar pendidikan kita adalah kepatuhan. Bukan pertukaran pikiran. Ilmu sekolah adalah ilmu hafalan, dan bukan ilmu latihan menguraikan. Dasar keadilan di dalam pergaulan, serta pengetahuan akan kelakuan manusia, sebagai kelompok atau sebagai pribadi, tidak dianggap sebagai ilmu yang perlu dikaji dan diuji.
Bagaimana ? Apakah kita akan terus diam saja. Mahasiswa-mahasiswa ilmu hukum dianggap sebagi bendera-bendera upacara, sementara hukum dikhianati berulang kali.
Kenyataan di dunia menjadi remangremang. Gejala-gejala yang muncul lalu lalang, tidak bisa kita hubung-hubungkan. Kita marah pada diri sendiri Kita sebal terhadap masa depan. Lalu akhirnya, menikmati masa bodoh dan santai.
Mahasiswa-mahasiswa ilmu ekonomi dianggap bunga plastik, sementara ada kebangkrutan dan banyak korupsi. Kita berada di dalam pusaran tatawarna yang ajaib dan tidak terbaca. Kita berada di dalam penjara kabut yang memabukkan. Tangan kita menggapai untuk mencari pegangan. Dan bila luput, kita memukul dan mencakar ke arah udara
Di dalam kegagapan, kita hanya bisa membeli dan memakai tanpa bisa mencipta. Kita tidak bisa memimpin, tetapi hanya bisa berkuasa, persis seperti bapak-bapak kita.
Kita adalah angkatan gagap. Yang diperanakan oleh angkatan kurangajar. Daya hidup telah diganti oleh nafsu. Pencerahan telah diganti oleh pembatasan. Kita adalah angkatan yang berbahaya.
Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat. Di sana anak-anak memang disiapkan Untuk menjadi alat dari industri. Dan industri mereka berjalan tanpa berhenti. Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa ?
37
38
39
Dunia adalah dua persimpangan kepentingan, dimana kemiskinan, kesengsaraan dan ketidakadilan adalah satu jalan yang paling banyak di lewati oleh objek negara. Sedang di seberang jalan lainnya, bak surga nan abadi, istana agung kaum borjuasi. Agaknya begitulah interpretasi saya dari apa yang hendak di sampaikan oleh Antonio Gramsci diatas kutipan tersebut. Gerakan kolektifias gramsci menunjukan keadaan riil masyarakat yang kian hari kian ter-eksploitasi oleh ekspansi dan hegemoni budaya Kapital. Maka di dalam adanya dua persimpangan jalan tersebut, gramsci berpendapat, perlunya kesadaran kolektif bagi kaum intelektual organik guna melakukan counter hegemony di tengah-tengah masyarakat kapitalistik. Antonio Gramsci atau lebih dikenal Gramsci adalah seorang Marxis Italia. Gramsci (1891-1937) awalnya adalah seorang wartawan. Kemudian pada awalnya ia adalah anggota partai sosialis Italia dan kemudian menjadi ketua dari Partai Komunis Italia (PCI). Pemikiran Gramsci sangat dipengaruhi oleh filosof besar Italia Benedetto Croce. Dari Croce Gramsci belajar menghargai ilmu sejarah sebagai usaha Intelektual untuk mencakup moralitas, politik, dan seni. Crocemembuatnya memahami keterbatasan yang ada pada positivisme yang hanya mengakui “fakta objektif”. Namun kemudian Gramsci mengkritik bahwa 40
Croce berhenti pada pengertian teoritis demokrat-liberal yang tidak berani menarik konsekuensi untuk praxis revolusioner. Bagi Gramsci Marxisme selalu akan merupakan ”filsafat praxis”. (Magnis Suseno, 2003: 173) Indonesia setidaknya teleh berhasil menuliskan sejarah dalam pergulatan dunia dengan menaruh perhatian khusus kepada mereka yang acap kali di sebut sebagai Subaltern classes. Dalam gramsci punya pandangan, subaltern adalah mereka yang terminoritaskan, termarjinalkan, bahkan terasingkan dari peradaban kemanusiaan. Bukan karena ketidakmampuan mereka secara individu maupun kelompok, namun memang adanya ketidakmampuan Negara dalam mendistribusikan keadilan secara massif. Lebih-lebih lagi, arogansi sistem kapital membatalkan mereka- subaltern untuk tidak biasa mandapatkan pendidikan sebagai kebutuhan primer, sehingga realita yang dialami tidak di sadari sebagai suatu keadaan yang manipulatif, melainkan keadaan dimana seolah-olah Tuhan yang menghendakinya. Adalah para proletar atau kaum buruh, yang menurut hemat saya, dalam konteks ini, representatif dari munculnya kesengsaraan tersebut. Perhatian indonesia akan kelompok ini, hadir dengan pengertiaanya yang lebih komprehensif. Dalam satu kesatuan, kelompok ini adalah mayoritas penduduk yang saat ini ialah Indonesia. Dalam bukunya Penyambung Lidah Rakyat, kemunculan kaum ini sebagai gambaran keadaan sosial, keadaan politik dan ekonmi masyarakat, maka dengan demikian, bersamaan dengan ini, Tuhan hadirkan satu paham, satu asas perjuangan, satu keinsyafan atas hal 'ichwal, satu cita-cita besar, yang menurut hemat saya, adalah Marhaenisme! Marhaen adalah subaltern ala Indoneisa. Secara subtantif, mereka adalah sama, berkedudukan sebagai budak dan berstatus inferior di tanah sendiri. Seorang marhaen adalah orang yang mempunyai alat sedikit. Bangsa kita yang puluhan jiwa yang sudah di melaratkan, bekerja bukan untuk orang lain dan tidak ada orang yang bekerja untuk dia. Marhaenisme adalah sosialisme dalam praktik! (Penyambung Lidah Rakyat hal 38). Marhaen adalah mereka yang di eksplotir oleh karena tidak menguasai 41
faktor produksi. Marhaen adalah kemiskinan dan kesengsaraan itu senediri. Marhaen adalah mereka yang hidup dijalanan, adalah petani, adalah tukang becak, adalah pedagang asongan, adalah tiap-tiap orang yang sekali lagi tereksploitasi oleh sistem.
Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Bahwa Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhaluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, di junjung tinggi, dan di lindungi oleh Negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Menilik penjelasan diatas, munculnya kelas sosial tersebut akibat dari satu keadaan yang di ciptakan atas hasil keserakahan. Urusan rejeki antar bangsa sering kali menghancurkan akal sehat, menggugurkan nurani, hingga menghasilkan kesengsaraan hebat. Dengan demikian dapat di gambarkan secara sederhana realitas dan Idealitas subaltern maupun marhaen sebagai satu Individu dan kelompok sebagai warga Negara dalam kaitannya dengan keberlangsungan hidup Hak Asasi Manusia.
42
Subaltern classes tecipta sebagai status kelas sosial yang tak terjamin hidupnya sebagai warga Negara yang utuh. Political power values sebagai orientasi kapital mengharuskan mereka terpinggirkan dari segala aspek kehidupan. Secara politik, mereka hanya dianggap sebagai objek akumalatif dalam upayanya mengambil keputusan. Sistem politik yang tak lagi berdaulat, pun menambah dampak buruk bagi realtas ekonominya. Tidak adanya penguasaan factor produksi, mengakibatkan hasil produksi rumahan terdesak hingga tanpa hasil yang berarti. Dalam upayanya menempuh pendidkan, kebutuhan ini acapkali tak terjangkau dengan maksimal. Orientasi kapitalistik dari institusi pendidikan, menambah buruk harapan akan berubahnya status sosial mereka. Satu realitas pokok ini, saya yakini masih menjadi keadaan yang sampai saat ini menjalar subur di pintu-pintu dapur setiap keluarga. Bahkan tergantung di atas rumah, hingga esok hari terbuka mata, teringatlah mereka- subalternmarhaen, bahwa segala bentuk ketidakadilan adalah keniscayaan mutlak. Harapan dan idealitas kehidupan kelas sosial ini seakan menjadi bentuk pesimistis dan ketakutan oleh karena ter-delusi pada realitas yang ada. Namun selama Negara bersikseras untuk berdiri sebagai wakil setiap kebahagiaan individu, maka Negara wajib menerima konsekuensi logisnya, bahwa tidak ada Idealitas yang paling sempurna dalam pegeartiannya yang paling sempura, terkecualikan- kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kesimpulan Bahwa Hak Asasi Manusia adalah pesan Tuhan kepada Semesta dan Manusia. Maka bukan Manusia bagi mereka yang merenggut Hak semesta dan isinya. “Penulis merupakan Mahasiswa Fakutltas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Tidar”
43
Pada dekade terakhir setidaknya telah terjadi revolusi terkait kemanusiaan, seiring dengan pesatnya laju arus post-modernist yang melahirkan kemajuan pada bidang-bidang krusial, tak terlewatkan para aktivis hak asasi manusia memanfaatkan kemudahan serta pesatnya globalisasi di bidang media informasi. Organisasi Internasional non-pemerintah yang gentol dalam usahanya mengupayakan tegaknya hak atas hidup, hak atas berserikat, hak atas beragama, dan hak atas hidup yang lebih baik, salah satunya adalah Amnesty International yang didirikan oleh Peter Benenson di Inggris tahun 1961. Kiat-kiat mengupayakan terciptanya kemuliaan atas HAM, Amnesty International secara masive masuk kedalam negara-negara berdaulat atas hukum dan negara yang menjamin hak asasi manusia terhadap masyarakatnya. Mendasari pendapat dari para aktivis HAM yang mengutarakan terkait sudah tidak efektifnya efek yang timbul dari hukuman mati, Institute for Criminal Justice Reform ( ICJR) merilis daftar jumlah negara yang telah menangguhkan kebijakan terkait penjatuhan vonis mati dan beberapa negara malah sudah menghapus vonis mati dalam sistem konstitusinya, setidaknya pada tahun 2017 terdapat 142 negara yang telah mengambil sikap positif terhadap rekomendasi Amnesty International. Indonesia menjadi salah satu negara yang masih kolot dalam menghadapi perubahan yang pesat, masih meraba-raba substansi dalam konstitusi dan belum terlihat keseriusanya dalam merevitalisasi aturan terkait penghapusan hukuman mati tersebut. ICJR merilis data taktis seputar vonis mati di Indonesia, pada tahun 2018 setidaknya telah terjadi 48 penuntutan vonis mati terhadap terpidana di seluruh Indonesia. Sekurang-kurangnya 219 orang narapidana mengantri pada giliran mereka. Namun tak luput dari itu dapat kita apresiasi kinerja Amnesty 44
International di Indonesia yang menjadi rujukan pemerinrah untuk memilah pemberian hadiah amensti terhadap narapidana terpilih. Menengok dasar pemberlakuan vonis mati terhadap terpidana sebenarnya terdapat 13 faktor perbuatan melawan hukum, namun yang paling sering di terapkan di Indonesia adalah penjatuhan hukuman mati terhadap pelaku, pembunuhan berencana, pengedar narkoba, teroris, serta pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Bagaimana dengan nasib koruptor? Dalam undang-undang tipikor sendiri telah mengatur vonis mati terhadap koruptor dalam dua keadaan tertentu yaitu, koruptor pada saat atau terhadap penanganan bencana alam, dan koruptor saat terjadinya krisis moneter. Lantas bagaimana tanggapan kita terhadap perubahan yang datang? Akankah kita dapat berperan aktif dalam pembahasan krusial mengenai hukum dan hak asasi manusia? Kiranya banyak hal yang kita lakukan dalam satu hari yang sama sekali tak merefleksikan kepedulian kita terkait keadaan sekitar dan lingkungan terdekat, kenapa tidak kita berkumpul dan sedikit berbincang tentang hal-hal yang tak berhubungan dengan egosentrisme manusia post-mileniall. Salam waras !!!
“Hanya ketika tahanan hati nurani terakhir telah dibebaskan, ketika ruang penyiksaan terakhir telah ditutup, ketika Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia telah menjadi kenyataan hidup warga dunia, kerja kita bisa dianggap selesai” Peter Benenson.
45
Biodata Penulis Krisnaldo Triguswinri lahir di Jambi, 24 Oktober 1996. Menempuh studi di Fisip Untidar angkatan 2014. Memiliki minat terhadap kajian filsafat politik dan kebijakan publik. memiliki riwayat organisasi sebagai Wakil Ketua BEM FISIP 2014, Presiden Mahasiswa BEM KM UNTIDAR 2016, dan Redaktur Ikan Teri Production. Menyukai Albert Camus dan para intelektual The New Left. Mengagumi buku On Liberty, The Kapital dan The Selfish Gene. Luqman K. A. lahir di Blora, 11 Mei 1997. Menempuh studi di Fakultas Ekonomi Untidar angkatan 2015. Memiliki minat membaca, menggambar dan melamun. Baginya, mengikuti organisasi adalah penyesalan hidup. Mengagumi Soe Hok Gie. Menyukai buku Catatan Seorang Demonstran, Homo Deus dan Bumi Manusia. Tio Rivaldi lahir di Liwa, Lampung, 3 Desember 1996. Menempuh studi di Teknik Untidar angkatan 2015. Memiliki minat pada seni dan literasi. Berpengalaman organisasi di UKAI, Bengkel Seni, Himatra, KAMMI dan BEM KM UNTIDAR 2018. Mengidolakan Nabi Muhammad SAW. Geronimo S lahir di Jakarta, 4 September 1999. Studi di Teknik Untidar angkatan 2017. Meminati apa saja yang membuat gembira. Pengalaman organisasi lebih dari enam. Menyukai Kiritsugu Emiya. Mengagumi buku Fish! Series, Penyambung Lidah Rakyat, dan Saman. Elvin Setiawan lahir di Wonosobo, 15 Juni 1997. Studi di Fisip Untidar angkatan 2015. Hermowo Pribadi lahir di Klaten, 20 Desember 1997. Studi di Teknik Untidar angkatan 2016. Memiliki minat dengan berdiskusi. Pengalaman organisasi Nandur Benih, DPM KM dan Presiden Mahasiswa (aktif) BEM KM UNTIDAR 2019. Mengidolakan banyak tokoh. Mengagumi buku Seni, Politik dan Pembebasan, Dunia Shopie, dan Bukan Pasar Malam. Siam Khoirul Bahri lahir di Jakarta, 31 Januari 1997. Studi di Fisip Untidar angkatan 2015. Minat berfilsafat, membaca, menulis, diskusi, berorganisasi, mendaki gunung, menikmati senja dan mencukupi kebutuhan biologis. Pengalaman organisasi Himpunan Mahasiswa Administrasi Negara, GMNI Magelang, BEM KM 2017, KNPI, Pusat Studi Kerakyatan, DPM Fisip. Mengidolakan Bung Karno dan Nietszche. Membaca Penyambung Lidah Rakyat, Zarathustra, dan Eksistensialisme dan Humanisme. 46
Reza Pahlevi lahir di Kendal, 27 Agustus 1997. Studi di Teknik Untidar angkatan 2015. Memiliki minat tehadap kesenian. Berorganisasi di HMTS, Bengkel Seni, dan Imaken Untidar. Menyukai Wiji Thukul, Soekarno, dan Munir. Mengagumi buku Ibunda, Lelucon Para Koruptor, dan Dunia Sophie. Arief Budianto lahir di Bandung, 15 Maret 1996. Studi di FKIP Untidar angkatan 2014. Minat olahraga pancak silat dan demonstrasi. Organisasi UKM Merpati Putih Untidar, DEP.POL BEM KM 2016, Ketua GMNI Magelang, DPM KM 2017, KNPI Magelang. Menyukai Soekarno, Nabi Muhammad SAW, dan JeanPaul Sartre. Membaca DI Bawah Bendera Revolusi dan Dunia Sophie. Rafi Setiawan lahir di Magelang, 22 September 1996. Studi di Fisip Untidar angkatan 2017. Minat pada musik. Menyukai RM Tirto Adhi Suryo. Membaca Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah. Biodata Penyunting Ficky Jihan Ababa lahir di Temanggung, 18 Juli 1996. Studi di FKIP Untidar angkatan 2014. Selalu berminat membuat orang berbahagia dan hoby mengkritik karya dalam bidang apapun. Public Relation BEM KM 2016, Kelas Fotografi, Sekolah Sadar, Visual Composer Ikan Teri Production dan PSM GST, DP PSM GST. Menyukai Gandhi, Kurt Cobain, dan John Lennon. Buku terbaik Gandhi The Man, The Old Man and The Sea, Wrecking The Journal.
47