HUKUM TAHLILAN MENURUT ALQURAN & HADITS Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk
berdoa
atau
bermunajat
kepada
Allah
SWT
dengan
cara
membaca
kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lainlain. Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ? Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967). Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan)
Ulama
seluruh
madzhab
dan
tak
ada
yang
memungkirinya
apalagi
mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai. Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua
puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”, Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARASAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10). Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir. Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?, Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang mengada ada dari kesempitan pemahamannya. Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada
larangan untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata. Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram, bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727). Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari). Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya. Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw : _ Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”. _ Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
_ Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H _ Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111)
Membaca Al Qur’an di Sisi Kubur Yang sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita, sebagian yang ziarah kubur sering membawa Qur’an –terutama surat Yasin-, lalu membacanya di sisi kubur. Kita sepakat bahwa Al Qur’an adalah kalamullah dan surat Yasin adalah surat yang baik, mengandung pelajaran dan hikmah-hikmah penting di dalamnya. Namun apakah ketika ziarah kubur dituntunkan demikian? Ataukah ada tuntunan atau ajaran lainnya dari Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya, “Apakah membaca Al Qur’an di sisi kubur termasuk amalan yang tidak dituntunkan khususnya surat Fatihah dan Al Baqarah? Karena setahu saya setelah membaca kitab Ar Ruh karya Ibnul Qayyim bolehnya membaca Qur’an ketika pemakaman mayit dan setelah pemakaman. Beliau menyebutkan bahwa para salaf menasehati agar membaca Al Qur’ah ketika pemakaman. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, Membaca Al Qur’an di sisi kubur adalah di antara amalan yang tidak dituntunkan sehingga tidak boleh kita lakukan. Kita tidak boleh pula shalat di sisi kubur karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan seperti itu. Begitu pula hal tersebut tidak pernah dituntunkan oleh khulafaur rosyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali, -pen). Karena amalan tadi hanyalah dilakukan di masjid dan di rumah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُورا ً صالَتِ ُك ْم فِى بُيُوتِ ُك ْم َوالَ تَت َّ ِخذُوهَا قُب َ اجْ َعلُوا ِم ْن “Jadikanlah shalat kalian di rumah kalian dan jangan jadikan rumah tersebut seperti kubur” (HR. Bukhari no. 432 dan Muslim no. 777). Hadits ini menunjukkan bahwa kubur bukanlah tempat untuk shalat dan juga bukan tempat untuk membaca Al Qur’an. Amalan yang disebutkan ini merupakan amalan khusus di masjid dan di
rumah. Yang hendaknya dilakukan ketika ziarah kubur adalah memberi salam kepada penghuninya dan mendoakan kebaikan pada mereka.[1] Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah penguburan mayit, beliau berhenti di sisi kubur dan berkata,
سلُوا لَهُ التَّثْ ِبيتَ فَإِنَّهُ اآلنَ يُسْأ َ ُل َ ا ْست َ ْغ ِف ُروا أل َ ِخي ُك ْم َو “Mintalah ampun pada Allah untuk saudara kalian dan mintalah kekokohan (dalam menjawab pertanyaan kubur). Karena saat ini ia sedang ditanya” (HR. Abu Daud no. 2758. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Beliau sendiri tidak membaca Al Qur’an di sisi kubur dan tidak memerintahkan untuk melakukan amalan seperti ini.. Memang diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar -jika riwayat tersebut shahih- bahwa beliau melakukan seperti itu, alasan ini tidak bisa dijadikan pendukung. Karena yang namanya ibadah ditetapkan dari sisi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam atau dari Al Qur’an. Perkataan sahabat tidak selamanya menjadi pendukung, begitu pula selainnya selain khulafaur rosyidin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai khulafaur rosyidin,
اج ِذ ِ َسنَّ ِة ْال ُخلَف ُ سنَّتِى َو ُ ِفَعَلَ ْي ُك ْم ب َّ اء َ عضُّوا َ َالرا ِشدِينَ ْال َم ْهدِيِين ِ علَ ْي َها بِالنَّ َو “Wajib atas kalian berpegang tegus dengan ajaranku dan juga ajaran khulafaur rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah kuat-kuat ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian” (HR. Tirmidzi no. 2676 dan Ibnu Majah no. 42. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih). Ajaran khulafaur rosyidin bisa jadi pegangan selama tidak menyelisihi ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan sahabat lainnya, maka itu tidak selamatnya bisa menjadi pegangan dalam hal ibadah. Karena sekali lagi, ibadah adalah tauqifiyah, mesti dengan petunjuk dalil. Ibadah itu tauqifiyyah, diambil dari Al Qur’an dan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Adapun perkataan Ibnul Qayyim dan sebagian ulama lainnya, itu tidak bisa dijadikan sandaran. Dalam masalah semacam ini hendaklah kita berpegang pada Al Qur’an dan As Sunnah. Amalan yang menyelisihi keduanya adalah amalan tanpa tuntunan. Jadi,
kita tidak boleh shalat di sisi kubur, membaca Al Qur’an di tempat tersebut, berthawaf mengelilingi kubur, dan tidak boleh pula berdo’a kepada selain Allah di sana. Tidak boleh seorang muslim pun beristighotsah dengan berdo’a kepada penghuni kubur atau si mayit. Tidak boleh pula seseorang bernadzar kepada penghuni kabar karena hal ini termasuk syirik akbar. Sedangkan berdo’a di sisi kubur atau berdo’a pada Allah di sisi kubur termasuk amalan yang mengada-ngada. Lalu Syaikh rahimahullah ditanya oleh salah satu muridnya, “Apalah Imam Ahmad telah rujuk secara perbuatan dari pendapat yang membolehkan berdo’a di sisi kubur? Jazakumullah khoiron, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Diriwayatkan mengenai hal ini, namun aku sendiri tidak mengetahui keshahihannya seandainya beliau rujuk. Namun jika beliau membolehkannya (berdo’a di sisi kubur), maka beliau keliru, sama halnya dengan ulama lainnya. Dan Ibnu ‘Umar sendiri lebih afdhol dari Imam Ahmad. Sekali lagi, pegangan kita dalam ibadah adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Allah Ta’ala berfirman,
ً س ُن ت َأ ْ ِو َّ ِسو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ ب َّ َيءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى يال ُ الر َّ َّللاِ َو َ ْاَّللِ َو ْاليَ ْو ِم ْاآلَ ِخ ِر ذَلِكَ َخي ٌْر َوأ َح ْ فَإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي ش “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).
ْ َو َما َّ َيءٍ فَ ُح ْك ُمهُ ِإلَى َِّللا ْ اختَلَ ْفت ُ ْم فِي ِه ِم ْن ش “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (dikembalikan) kepada Allah.” (QS. Asy Syura: 10).
ع ْنهُ فَا ْنت َ ُهوا ُ الر َّ َو َما آَت َا ُك ُم َ سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.” (QS. Al Hasyr: 7). Amalan ini adalah permasalahan ibadah dan permasalah yang urgent sehingga seharusnya setiap muslim kembalikan pada ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang suci.
Ada yang bertanya lagi pada Syaikh Ibnu Baz, “Apakah engkau berpegang pada madzhab tertentu?” Beliau rahimahullah menjawab, “Fatwa yang kukeluarkan tidaklah berdasarkan pada madzhab tertentu, aku tidak berpegang pada madzhab Imam Ahmad dan imam lainnya. Yang selalu jadi peganganku adalah firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baik pendapat tersebut terdapat pada madzhab Ahmad, Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, atau Zhohiriyah atau pada sebagian ulama salaf di masa silam. Yang selalu jadi peganganku adalah dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Saya tidak selalu berpegang pada madzhab Hambali atau madzhab lainnya. Sandaranku sekali lagi adalah pada firman Allah dan sabda Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang menjadi petunjuk dari kedua dalil tersebut dalam berbagai hukum. Inilah kewajiban yang harus diikuti setiap penuntut ilmu.
Fatwa di atas mengajarkan pada kita suatu pedoman yang penting dalam beragama. Hendaknya kita berpegang teguh pada dalil. Perkataan ulama atau ulama madzhab tidak selamanya bisa menjadi pegangan jika menyelisihi ajaran Al Qur’an dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berbeda dengan sikap sebagian orang yang terlalu fanatik buta pada madzhab tertentu. Padahal para imam madzhab sendiri tidak memerintahkan kita untuk ikut pendapatnya, yang mereka anjurkan adalah ikutilah dalil. Imam Abu Hanifah dan muridnya Abu Yusuf berkata, “Tidak boleh bagi seorang pun mengambil perkataan kami sampai ia mengetahui dari mana kami mengambil perkataan tersebut (artinya sampai diketahui dalil yang jelas dari Al Quran dan Hadits Nabawi, pen).”[2] Imam Malik berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah manusia yang bisa keliru dan benar. Lihatlah setiap perkataanku, jika itu mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka ambillah. Sedangkan jika itu tidak mencocoki Al Qur’an dan Hadits Nabawi, maka tinggalkanlah.[3] Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i berkata, “Jika hadits itu shahih, itulah pendapatku.”[4]
Imam Asy Syafi’i berkata, “Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”[5] Terdapat riwayat shahih dari Imam Asy Syafi’i, beliau sendiri mengatakan, “Jika ada hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi pendapatku, maka beramallah dengan hadits tersebut dan tinggalkanlah pendapatku.” Dalam riwayat disebutkan, “Pendapat (yang sesuai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tersebut itulah sebenarnya yang jadi pendapatku.” Perkataan ini disebutkan oleh Al Baihaqi, beliau mengatakan bahwa sanadnya shahih[6]. Imam Ahmad berkata, “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berarti telah berada dalam jurang kebinasaan.”[7] Sekali lagi ulama dan imam madzhab bukanlah Rasul yang setiap perkataannya harus diikuti, apalagi jika menyelisihi dalil. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Adapun menyatakan bahwa wajib mengikuti seseorang dalam setiap perkataannya tanpa menyebutkan dalil mengenai benarnya apa yang ia ucapkan, maka ini adalah sesuatu yang tidak tepat. Menyikapi seseorang seperti ini sama halnya dengan menyikapi rasul semata yang selainnya tidak boleh diperlakukan seperti itu.”[8] Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Maulid Nabi Menurut 4 Madzhab Bagaimana pendapat ulama imam 4 madzhab tentang peringatan maulid? seperti Imam as-Syafii… Jawab: Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du, Kita semua mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita semua memuliakan beliau. Kami, anda, mereka, semua muslim sangat mencintai dan memuliakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yang menjadi pertanyaan, apakah perayaan maulid merupakan cara benar untuk mengungkapkan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Kita tidak tahu pasti kapan pertama kali maulid ini diadakan. Namun jika kita mengacu pada keterangan al-Maqrizy dalam kitabnya al-Khathat (1/490), maulid ini ada ketika zaman Daulah Fatimiyah, daulah syiah yang berkuasa di Mesir. Mereka membuat banyak Maulid, mulai dari Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Fatimah, hingga maulid Hasan dan Husain. Dan Bani Fatimiyah berkuasa sekitar abad 4 H. Al-Maqrizy adalah ulama ahli sejarah dari Mesir. Wafat tahun 845 H. Mengenai siapa bani fathimiyah, bisa anda pelajari di: Mengenal Kerajaan Syiah Daulah Fatimiyah Inilah yang menjadi alasan, kenapa para ulama ahlus sunah yang menjumpai perayaan maulid, menginkari keberadaan perayaan ini. Karena pada hakekatnya, mereka yang merayakan peringatan maulid, melestarikan kebudayaan daulah Fatimiyah yang beraqidah syiah bathiniyah. Kita akan simak penuturan mereka, [1] Keterangan Tajuddin al-Fakihani (ulama Malikiyah w. 734 H), المتمسكون بآثار، الذين هم القدوة في الدين، وال ينقل عمله عن أحد من علماء األمة،ال أعلم لهذا المولد أصالً في كتاب وال سنة بل هو ِبدعة أحدثها البطالون،المتقدمين Saya tidak mengetahui adanya satupun dalil dari al-Quran dan sunah tentang maulid. Dan tidak ada nukilan dari seorangpun ulama umat ini, yang mereka adalah panutan dalam agama, berpegang dengan prinsip pendahulunya. Bahkan peringatan ini adalah perbuatan bid’ah yang dibuat ahli bathil. (Risalah al-Maurid fi Hukmi al-Maulid, hlm. 1).
[2] Keterangan as-Syathibi (w. 790 H) فمعلوم أن إقامة المولد على الوصف المعهود بين الناس بدعة محدثة وكل بدعة ضاللة Semua paham bahwa mengadakan maulid seperti yang ada di masyarakat di masa ini adalah bid’ah, sesuatu yang baru dalam agama. Dan semua bid’ah adalah sesat. (Fatawa as-Syatiby, hlm. 203). [3] Keterangan as-Sakhawi (ulama Syafiiyah dari Mesir, muridnya Ibnu Hajar al-Asqalani), أصل عمل المولد الشريف لم ينقل عن أحد من السلف الصالح في القرون الثالثة الفاضلة Asal perayaan maulid as-Syarif (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak dinukil dari seorangpun dari ulama salaf yang hidup di tiga generasi terbaik. (al-Maurid ar-Rawi fi al-Maulid an-Nabawi, hlm. 12) [4] Pujian as-Suyuthi terhadap keterangan Abu Amr bin al-Alla’ (w. 154 H) ال يزال الناس بخير ما تعجب من العجب – هذا مع أن الشهر الذي ولد فيه رسول:ولقد أحسن اإلمام أبو عمرو بن العالء حيث يقول فليس الفرح بأولى من الحزن فيه،هللا وهو ربيع األول هو بعينه الشهر الذي توفي فيه Sungguh benar yang dinyatakan Imam Abu Amr bin al-Alla’, beliau mengatakan, “Masyarakat akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka masih merasa terheran. Mengingat bulan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Rabiul Awal, yang ini juga merupakan bulan wafatnya beliau. Sementara bergembira di bulan ini karena kelahirannya, tidak lebih istimewa dari pada bersedih karena wafatnya beliau. (al-Hawi Lil Fatawa, 1/190). Kebahagiaan mereka di tanggal 12 Rabiul awal dengan anggapan sebagai hari maulid, bertepatan dengan hari wafatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mana yang lebih dekat, peringatan kelahiran ataukah peringatan kematian.
[5] Keterangan Imam Ibnul Hajj (w. 737 H) menukil pernyataan al-Allamah alAnshari وسلم من كل ما تقدم ذكره، ونوى به المولد ودعا إليه االخوان، منه – أي من السماع – وعمل طعاما ً فقط-فإن خال – أي عمل المولد إذ إن ذلك زيادة، فهو بدعة بنفس نيته فقط-– أي من المفاسد Jika kegiatan maulid itu bersih dari semua suara-suara musik, hanya berisi kegiatan makan-makan, dengan niat maulid, mengundang rekan-rekan, dan bersih dari semua aktivitas terlarang yang tadi disebutkan, maka status perbuatan ini adalah bid’ah hanya sebatas niatnya. Karena semacam ini termasuk tambahan. (al- Madkhal, 2/312) [6] Pengakuan tokoh sufi, Yusuf ar-Rifa’i, Bahkan seorang tokoh sufi Yusuf Hasyim ar-Rifa’i menyatakan dalam kitabnya bahwa perayaan maulid, termasuk yang bentuknya berkumpul untuk mendengarkan pembacaan sirah nabawi, baru ada jauh setelah para imam madzhab meninggal dunia. Yusuf ar-Rifa’i mengatakan, بل ما ظهر إال في أوائل القرن السادس، أمر استحدث بعد عصر النبوة،إن اجتماع الناس على سماع قصة المولد النبوي الشريف الهجري Orang berkumpul untuk mendengarkan pembacaan kisah maulid as-Syarif, adalah amalan baru setelah zaman kenabian. Bahkan kegiatan ini belum semarak kecuali di awal abad ke-6 hijriyah. (ar-Rad al-Muhkim al-Mani’, hlm. 153). [7] Keterangan Muhammad Rasyid Ridha, وأول من ابتدع االجتماع لقراءة قصة المولد أحد ملوك الشراكسة بمصر،هذه الموالد بدعة بال نزاع Peringatan maulid ini statusnya bid’ah tanpa ada perbedaan diantara ulama. Sementara orang pertama yang membuat bid’ah kumpul-kumpul untuk
menceritakan kisah Maulid adalah salah satu raja Circassians di Mesir. (alManar, 17/111) Maulid Menurut Ulama 4 Madzhab Lalu bagaimana pandangan para ulama imam madzhab, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam as-Syafi’i, dan Imam Ahmad terkait peringatan maulid? Jawabannya: Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkan keterangan dari mereka tentang maulid, sementara peringatan maulid belum pernah ada di zaman mereka.. Allahu a’lam
Dalil Tawassul, Istighosah, & Meminta Syafa’at Rasulullah SAW Allah Azza wa Jalla berfirman :
َسيلَة ِ َّللاَ َوا ْبتَغُوا ِإلَ ْي ِه ا ْل َو َّ يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َ َمنُوا اتَّقُوا “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah ( perantara ) yang bisa mendekatkan diri kepada-Nya”.[1] Makna wasilah adalah apa saja yang dijadikan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan diri di sisi Allah dan penghubung untuk mendapatkan kebutuhankebutuhannya dari Allah. Dengan syarat wasilah ini memiliki derajat dan kemuliaan pada yang ditawassuli, dan lafazh wasilah pada ayat ini bersifat umum,
yaitu
mencakup
semua
tawassul
yang
mempunyai
keutamaan-
keutamaan, seperti para nabi, para wali, dan orang-orang saleh. Di masa hidupnya dan sesudah matinya, dan dengan melakukan amal-amal shalih sesuai
dengan yang diperintahkan. Dari sini dapat diketahui, bahwa tawassul itu terbagi menjadi dua : 1. Tawassul dengan amal-amal saleh.
Jenis tawassul ini
telah
disepakati boleh oleh semua umat Islam. 2. Tawassul
dengan
keutamaan. Jenis mayoritas
umat
orang-orang tawassul
Islam
ini
yang terdapat
memiliki
keutamaan-
perbedaan
memperbolehkannya,
dan
pendapat,
yang
lainnya
melarang. Imam Taqiyyuddin as Subki rahimahullah ta’ala, berkata tentang pengobatan penyakit, “Ketahuilah, bahwa boleh dan baik sekali bertawassul, beristighasah, dan memohon syafaat dengan Nabi SAW untuk memohon kepada Tuhannya Yang Maha Suci dan Maha Agung. Diperbolehkannya tawassul dan dianggap bagus adalah karena termasuk hal-hal yang maklum bagi setiap orang yang beragama, populer dilakukan oleh para Nabi dan para Rasul, shalawatullahi wa salaamuhu alaihim ajma’in, dan perjalanan para ulama salaf yang shalih, para ulama khalaf dan semua kaum muslimin. Dan tidak ada seorangpun ahli agama yang mengingkarinya, dan tidak pernah terdengar orang yang mengingkari tawassul ini dari masa ke masa, sampai datangnya Ibnu Taimiyah yang berbicara tentang tawassul ini dengan pembicaraan yang mengkaburkan kaum muslimin yang lemah dan bodoh, dan dia telah membuat bid’ah yang belum pernah terjadi di seluruh masa. Dan cukuplah untuk diketahui bahwa, keingkaran Ibnu Taimiyah terhadap istighatsah dan tawassul belum pernah diucapkan oleh seorang alim manapun sebelumnya, sehingga Ibnu Taimiyah dengan keingkarannya ini menjadi peringatan bagi ahli Islam”. Makna
tawassul
yaitu
hendaknya
seorang
hamba
memohon
kepada
Allah Ta’ala dengan perantaraan orang yang dipastikan memiliki derajat luhur di sisi Allah, seperti para nabi dan para wali, karena mereka adalah orang-orang yang mempunyai derajat yang tinggi, kedudukan yang mulia, dan pangkat yang agung di sisi Allah. Biasanya, orang yang diyakini seseorang memiliki derajat, sekiranya dia jika dimintai syafaat, akan diterima syafaatnya. Jika diintisabi
(dijadikan penghubung) oleh seseorang yang tidak ada di hadapannya, meminta syafaat dan bertawassul dengan lantaran dia, maka dia menjawab permintaan orang tersebut, sebagai penghormatan terhadap orang yang berintisab kepadanya, meminta syafaat, dan bertawassul dengannya, meskipun dia tidak hadir. Tawassul dengan Nabi SAW, para wali, dan orang-orang saleh ini bukanlah berarti meminta kepada selain Allah Ta’ala dan tidaklah berdoa kecuali hanya kepada Allah. Sesungguhnya meskipun kita meyakini ketinggian derajat mereka, kita tidak meyakini selain bahwa, mereka itu adalah hamba-hamba Allah
yang
dekat dengan
Allah Ta’ala.
Mereka juga memohon
kepada
Allah Ta’ala seperti kita memohon kepada Allah. Hanya saja mereka itu lebih suci ruhnya dari pada kita, dan lebih bersih jiwanya dari pada kita, karena kesempurnaan manusianya yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Meskipun orang-orang awam tidak mampu mengungkapkan apa yang tersimpan di dalam hati mereka karena bagusnya akidah mereka, sesungguhnya tidak ada sekutu bagi Allah dari makhluk-Nya. Imam
al
Hakim
Abu
Abdillah rahimahullah,
telah
meriwayatkan
dalam
kitabnya Al Mustadrak ala ash Shahihain dari hadisnya sahabat Umar bin Khaththab ra. berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Ketika Nabi Adam as. telah melakukan kesalahan, dia berkata ”Wahai Tuhanku, saya memohon kepada-Mu dengan kebenaran Muhammad, ampunilah dosaku”. Maka Allah berfirman, ”Wahai Adam, bagaimana kamu tahu Muhammad, sedangkan Aku belum menciptakan dia?”. Kata Adam as., “Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakan saya dengan kekuasaan-Mu dan Engkau tiupkan kepadaku dari ruh-Mu, saya mengangkat kepalaku, lalu saya melihat di atas tiang-tiang ‘Arsy tertulis lafazh, Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah”, dan saya tahu, bahwa Engkau tidak akan menyambung nama siapapun kecuali nama makhluk yang paling kamu cintai”. Firman Allah , ”Kamu benar, wahai Adam. Sesungguhnya Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai, jika kamu memohon kepadaku
dengan
mengampuni
kamu,
lantaran kalau
kebenaran bukan
karena
Muhammad, Muhammad,
maka
Aku
telah
Aku
tidak
akan
menciptakan kamu’”. Kata Imam Al Hakim rahimahullah, “Ini adalah hadis shahih sanadnya”. [2] Yang mengherankan, bahwa Ibnu Taimiyah yang mengingkari keberadaan hadis dari Nabi SAW dalam makna tawassul ini, mengeluarkan dua hadis untuk dijadikan
dalil
benarnya
tawassul,
katanya,
“Abul
Faraj,
Ibnul
Jauzi,
meriwayatkan hadis melalui sanadnya Ibnu Taimiyah sampai kepada Maisarah, berkata, ”Wahai Rasulullah, sejak kapan engkau menjadi Nabi?”. Jawab beliau SAW, ”Ketika Allah menciptakan bumi dan bersemayam di langit, Allah menciptakan langit menjadi tujuh langit dan menciptakan ‘Arsy, dan Allah menulis di atas ‘Arsy “ األنبياء خاتم هللا رسول محمد/ Muhammad utusan Allah penutup para Nabi”, dan Allah menciptakan surga yang ditempati oleh Adam dan Hawa’, lalu Allah menulis namaku di atas pintu-pintu, daun-daun, kubah-kubah, dan tenda-tenda, sedangkan Adam saat itu berada di antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, maka Adam memandang ‘Arsy, lalu dia melihat namaku, kemudian Allah mengkhabarkan kepada Adam, bahwa Muhammad adalah sayyid-nya anak cucumu. Ketika setan telah menipu Adam dan Hawa’, keduanya bertaubat dan meminta syafaat dengan namaku untuk memohon ampun kepada Allah”. Imam Abu Nu’aim al Hafizh, rahimahullah, meriwayatkan dalam kitab Dala-ilun Nubuwwah, dan melalui sanad Syaikh Abul Faraj, dari Umar bin Kaththab ra. berkata, ”Rasulullah SAW bersabda, ‘Ketika Adam telah melakukan kesalahan, dia mengangkat kepalanya, lalu berkata, ”Wahai Tuhan, dengan kebenaran Muhammad, mohon ampunilah saya”. Maka Allah memberikan wahyu kepada Adam, ”Apa Muhammad dan siapakah Muhammad?”. Jawab Adam as, ”Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau ketika telah menyempurnakan ciptaanku, Engkau mengangkat kepalaku ke ‘Arsy-Mu, ternyata di atas ‘Arsy itu tertulis
kalimat,
ال إله إال هللا محمد رسول هللا, maka saya tahu, bahwa Muhammad adalah
makhluk-Mu yang paling mulia, karena Engkau telah menggandeng namanya dengan nama-Mu”. Firman Allah, ”Ya, dan Aku telah mengampunimu. Dia
adalah Nabi yang terakhir dari keturunanmu, kalau bukan karena dia, saya tidak akan menciptakan kamu”.[3] Ibnu Taimiyah berbicara mengenai dua hadis ini dengan pembicaraan yang baik, dan menetapkan tentang benarnya ucapan tawassul. Dengan ini berarti Ibnu Taimiyah telah membantah dengan bantahan yang jelas terhadap orangorang yang mengira bahwa, tawassul itu syirik dan kufur. Membantah orang yang
mengira
kesucianya.
bahwa,
Ibnu
tawassul
Taimiyah
itu
mencoreng
berkata,
kedudukan
“Sesungguhnya
tauhid
pembicaraan
dan ini
mempunyai arah yang benar”. Maka dikemanakan ucapan Ibnu Taimiyah ini dari pendapat orang-orang yang mengatakan bahwa, tawassul itu keluar dari wilayah Islam, dan menerangkan bahwa, tawassul itu sesat dan syirik, atau bid’ah dan penyelewengan, kemudian mereka mengaku salafi dan taimiy, sungguh mereka itu jauh sekali dari salafiyah dan Ibnu Taimiyah. Dari sini diketahui bahwa, Ibnu Taimiyah menjadi tertuduh
dengan
tuduhan
yang
jelek,
karena
pengakuan
orang
yang
menamakan dirinya pengikut Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Taimiyah terbebas dari mereka.
Prinsip Muwâlâh dan Mu’âdâh dalam Akidah Ahlussunnah
Imam Abu Isa at Tirmidzi rahimahullah, meriwayatkan dalam kitab kumpulan hadis-hadisnya, dalam kitab ad Da’awaat, dari Utsman bin Hanif ra, bahwa ada seorang laki-laki yang buta datang kepada Nabi SAW lalu berkata, ”Berdoalah kepada Allah agar Allah menyembuhkanku! ”. Sabda beliau SAW, “Jika kamu mau, berdoalah kamu, dan jika kamu mau, bersabarlah, karena hal itu akan lebih baik untukmu”. Dia berkata, ”Berdoalah kepada Allah“. Kata perawi, “Maka Rasulullah SAW memerintahkan dia untuk berwudlu dengan sebaik-baiknya, kemudian berdoa dengan doa ini:
“Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dan saya menghadap kepada-Mu dengan lantaran
nabi-Mu,
Muhammad, Nabiyur
Rahmah.
Wahai
Muhammad,
sesungguhnya aku dengan lantaran kamu menghadap kepada Tuhanku agar memenuhi kebutuhanku. Ya Allah, jadikanlah beliau pemberi syafaat dalam menyelesaikan masalahku”.[4] Kata Imam at Tirmidzi, rahimahullah,“Ini adalah hadis hasan shahih gharib”. Imam al Baihaqi rahimahullah, meriwayatkan hadis dalam Dalailun Nubuwwah, yang di akhir hadis menyebutkan, ”Wahai Muhammad, dengan perantaraan kamu saya menghadap kepada Tuhanku, agar diperjelas pandangan mataku. Ya Allah, jadikanlah beliau pemberi syafaat dalam menyelesaikan masalahku dan jadikanlah diriku penolong diriku sendiri”.
Kata Utsman ra, “Demi Allah,
tidaklah kami berpisah dan tidak lama pembicaraan kami sehingga laki-laki itu masuk, seolah dia tidak pernah buta sama sekali.[5] Imam Malik rahimahullah, meriwayatkan dan berkata, “Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra. masyarakat ditimpa masa peceklik, maka datanglah seorang laki-laki ke makam Nabi SAW lalu berkata, “Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena mereka telah binasa. Maka datanglah Rasulullah SAW di dalam tidurnya, kemudian bersabda, ”Datanglah
kepada
Umar
dan
sampaikan
salam
dariku,
dan
kabarkan
kepadanya, bahwa mereka (umat Islam) akan diberi hujan, dan katakan kepada Umar, “Kamu harus menjaga kantong, kantong”. Maka khalifah Umar ra. menangis dan mengatakan, “Tidaklah saya mengabaikan melainkan ini adalah kelemahanku”.[6] Diriwayatkan oleh Abul Jauza’ rahimahullah, bahwa dia berkat “Penduduk Madinah diberi masa peceklik yang berat, kemudian mereka mengadu kepada Sayyidah A’isyah ra., lalu dia berkata, “Lihatlah makam Nabi SAW, buatlah lobang dari makam itu ke arah langit, sehingga tidak ada atap penghalang antara makam Nabi dan langit”. Maka mereka diberi hujan sampai membasahi rumput-rumput
dan onta-ontapun
jadi gemuk
dan
subur
sekali
hingga
menumpuk-numpuk gajihnya. Maka tahun itu disebut tahun kesuburan”.[7]
Dalam doa-doa ma’tsurat yang shahih: ْ َ َوأ.سنَى ْ س َما ِئكَ اْل ُح ْ َ سأَلُكَ ِبأ ْ َ س ٍم ه َُو لَكَ َوأ ْ سأَلُكَ ِبك ُِل ا ْ َأ َّ َسأَلُكَ بِأ َ َّنكَ أ َ ْنت ُ َّللا
“Saya memohon kepada-Mu dengan semua nama-Mu, dan saya memohon kepada-Mu
dengan
nama-nama-Mu
yang
baik,
dan
saya
memohon
bahwa Engkau adalah Allah“. Di dalam kitab Shahih Bukhari dan Muslim ada hadis al Ghar (gua) yang di dalamnya ada doa berwasilah dengan amal-amal shalih dan hadis ini shahih. Tidak ada seorang muslimpun yang berbeda pendapat tentang disyariatkannya tawassul kepada Allah dengan amal-amal shalih, sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Barangsiapa shalat, atau berpuasa, atau membaca Al Quran, atau bersedekah, maka dia bisa bertawassul dengan puasanya, shalatnya, bacaan Al Qurannya, dan sedekahnya. Bahkan tawassul ini lebih bisa diharapkan untuk diterima dan lebih besar harapannya untuk mendapatkan apa yang dia minta. Dalil dari tawassul ini adalah hadisnya tiga orang yang terperangkap di dalam gua. Maka, salah satu di antara mereka bertawassul kepada Allah Ta’ala dengan perbuatan baiknya kepada kedua orang tuanya. Yang kedua bertawassul dengan perbuatan baiknya yang menjauhi zina padahal ada kesempatan untuk melakukannya. Yang ketiga bertawassul dengan perbuatan baiknya dalam menjaga amanah dan menjaga harta orang lain dengan sebaik-baik penjagaan. Akhirnya Allah melepaskan duka yang sedang mereka alami dalam gua. Jenis tawassul ini telah diuraikan secara rinci dan dijelaskan dalil-dalilnya, serta telah di-tahqiq permasalahannya oleh Ibnu Taimiyah di dalam risalahnya pada kaidah yang agung dalam masalah “Tawassul dan Wasilah”. Dan yang dimintai di dalam semua doa-doa ini adalah Allah Yang Maha Esa Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan yang dimintai sebagai perantara itu berbeda, dan tidak menetapkan bahwa itu mensyirikkan Allah atau memohon kepada
selain Allah. Demikian juga memohon dengan perantaraan Nabi SAW, para wali, dan orang-orang saleh, bukan memohon kepada mereka, tapi memohon kepada Allah saja dengan lantaran mereka. Maka bertawassul, memohon syafaat, dan beristighasah dengan perantaraan mereka itu tidak ada artinya di hati umat Islam selain hanya memohon kepada Allah saja, dan tidak ada seorangpun dari mereka yang bermaksud selain hanya kepada Allah. Maka barangsiapa yang belum lega hatinya dengan keterangan tersebut, maka menangislah atas dirinya sendiri. Kami memohon maaf dan afiyah kepada Allah Ta’ala. Berikut ini akan datang hadis tentang syafa’at yang menjelaskan berlindungnya manusia kepada para Nabi as di hari kiamat. Dalam hadis ini ada dalil yang lebih jelas tentang bertawassul dengan para Nabi as. Sesungguhnya setiap orang yang berdosa memohon ampunan kepada Allah Azza wa Jalla dengan bertawassul pada orang yang lebih dekat kepada Allah dari pada diriny. Itu tidak ada seorang pun yang mengingkarinya, dan tidak ada bedanya antara yang
disebut
tasyaffu’
(meminta
syafaat),
tawassul
(berwasilah),
atau
istighatsah (meminta tolong). Hal
ini
tidaklah
seperti
tawassulnya
orang-orang
musyrik
yang
ber-
taqarrub kepada Allah Ta’ala dengan menyembah selain Allah, karena hal itu hukumnya kafir. Sedangkan orang-orang Islam jika mereka bertawassul dengan Nabi SAW, atau dengan lainnya, seperti para Nabi, para wali, dan orang-orang shalih, maka orang-orang Islam yang bertawassul ini tidak menyembah mereka dan tidak mengelurkan mereka dari mentauhidkan Allah Ta’ala. Mereka tetap meyakini bahwa Allah merupakan Tuhan satu-satunya yang bisa memberi manfaat dan bisa mencelakakan. Jika tawassul itu adalah boleh, maka bolehlah ucapan orang yang mengatakan, “Saya memohon kepada Allah Ta’ala dengan perantaraan Rasul-Nya, atau dengan perantaraan wali-Nya”, karena dia memohon kepada Allah Ta’ala, tidak memohon kepada selain Allah.
*Diterjemahkan oleh Ustadz Zainur Ridlo, M.Pd.I. dari kitab Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyidi al-Mursalin karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
[1] Al Maidah ayat 35. [2] Al Mustadrak Alas Shahihain, Imam Al Hakim, dengan ta’liqatnya Imam Adz Dzahabi Fi At Takhlish, jilid 4, halaman 31. [3] Jami’ Ar Rasa’il, jilid 1, halaman 235. [4] Hadis riwayat Imam Tirmidzi dan Imam Baihaqi. [5] Dalailun Nubuwah, Imam Baihaqi, jilid 6, halaman 353. [6] Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar, jilid 3, halaman 441. [7] Hadis riwayat Imam Darimi. Lihat Musnad Ash Shahabah Fil Al Kutub At Tis’ah, jilid 13, halaman 76.
Qunut Shubuh dalam Pandangan Empat Madz-hab Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya: Bagaimana pendapat empat Imam Madzhab mengenai qunut? Syaikh rahimahullah menjawab: Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut. Pertama: Ulama Malikiyyah Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya. Kedua: Ulama Syafi’iyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut nazilah). Ketiga: Ulama Hanafiyyah Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian). Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali) Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at. Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’. Inilah pendapat para imam madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, tidak disyari’atkan qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan ditunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al Hasan bin ‘Ali bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu “Allahummah diini fiiman hadayt …”. Sebagian ulama menshahihkan hadits ini[1]. Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya, juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh Syaikh Muhammad Ash Sholih Al ‘Utsaimin, 7/ 3/ 1398)[2]
Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah disyari’atkan do’a qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada raka’at terakhir shalat shubuh?” Beliau rahimahullah menjelaskan: “Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain do’a “Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.” Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh? Dalam lanjutan perkataannya di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: “Oleh karena itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin. Adapun jika timbul permusuhan dan kebencian dalam perselisihan semacam ini padahal di sini masih ada ruang berijtihad bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini selayaknya tidaklah terjadi. Bahkan wajib bagi kaum muslimin –khususnya para penuntut ilmu syar’i- untuk berlapang dada dalam masalah yang masih boleh ada perselisihan antara satu dan lainnya. ” [3] Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya. Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat
beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati (antar sesama muslim).”[4] apa itu talqin? apabila kita menghadiri pemakaman warga nu , maka kita akan melihat kyai atau ustad memberi tahu kepada mayait yang lagi baru saja di kubur . bahwa dia akan di datangi malaikat mungkar dan nangkir yang akan menanyai tentang : "Siapa tuhan mu ? "Siapa nabi mu ? "Apa tuhan mu ? itulah yang dinamkan talqin . di sini akan memberi tahu sedikit tentang talqin menurut Al-Qur'an dan hadits dan pendapat para ulama besar. baik kita mulai pembahasannya yang sedikit ini .
A. Arti tentang talqin menurut bahasa : 1. Kamus Al Muhith : Memahamkan atau memberi faham . 2. Kamus Al Marbawi : Mengajar dan memberi ingat 3. Kamus Munjid : Memberi peringatan dengan mulut secara berhadap-hadapan . B . Arti menurut syari'at : 1. Mengajarkan kepada orang yang akan mati kalimat tauhid LAILLAHAILLAH . 2. Mengingatkan orang sudah mati dan baru saja dikubur , beberapa hal yang penting baginya untuk menghadapi malaikat mungkar dan nangkir yang akan menanyainya. Masalah kematian , alam kubur ,nikmat dan kubur. a. Firman ALLAH dalam Al-Qur'an : yang artinya :"Setiap diri yang bernyawa , akan mersakan mati dan pahala untukmu, akan di cukupkan pada hari kiamat. maka barang siapa yang di jauhkan dari neraka dan di masukkan ke dalam surga , itulah orang yang beruntung kehidupan di dunia hanya kesenangan sementara yang memperdaya ."(Ali Imran : 185) b. Firman ALLAH yang artinya : "Dan tiap-tiap umat mempunyai ajal, maka ajal itu akan datang mereka tidak dapat minta di undurkan dan tidak dapat di ajukan ".(Al 'Araf : 34) c. Nabi pernah bersabda : yang artinya : "Talqinlah orang yang akan mati dengan kalimah LAILLAHAILLAH ."(HR.Imam Muslim) d. Belliau RASULLAH bersabda : yang artinya : "Bacakan surat yasin orang yang akan mati di antara kamu."(HR.Abu Dawud). Dalil-dalil mengenai talqin : 1.
"Dari Sayyidina Ustman bin Affan Rda, beliau berkata : adlah nabi Muhammad SAW apabila selesai mengubur mayat berhenti sebentar dan bersabda(kepada para sahabat). mintakan ampun saudaramu ini kepada ALLAH dan memintakan tetap dan tabah (dalam menjawab pertanyaan)karena ia baru di tanyai oleh malaikat "Mungkar dan Nangkir."(Hadits Shohih Riwayat Imam Abu Dawud) Hadits ini mengatakan dua hal : yang pertama menyatakan bahwa mayat yang di kubur itu akan di tanyai oleh malaikat Munkar dan Nangkir , yang kedua , bahwa mayat yang di kubur dapat di tolong oran yang ada di dunia. 2. Artinya : "Dan ingatkanlah karena peringatan itu berguna bagi orang-orang mukmin ."(Adz Dzariyat : 55)
3. " Dari sahabat Anas Rda . dari beliau nabi Muhammad SAW bersabda :"Apabila hamba ALLAH telah di letakan dalam kuburnya dan ia telah di tinggalkan , dan teman-temannya telah kembali pulang, sehingga ia mendengar derapsandal mereka , datanglah ketika itu dua orang malaikat lalu keduanya menyuruh mayat itu duduk. keduanya bertanya : Apa pendapat mu tentang orang ini yaitu beliau nabi Muhammad SAW? maka adapun orang mukmin ia menjawab : saya menyaksikan bahwa beliau hamba ALLAH dan rasulnya . maka kedua malaikat :"Lihatlah tempatmu yang semula di neraka , ditukar di tempat di surga , semua melihat ke arah itu . Adapun orang kafir dan munafiq ketika di tanya serupa itu lantas menjawab :"Saya tidak tahu , saya hanya mengikuti kata orang , lalu malaikat-malaikat berkata kepadanya :"kamu tidak tahu dan tidak membaca. kemudian orang itu di pukul dengan palu besi di antara kedua telinganya., sehingga itu di dengar semua mahkluk kecuali manusia dan jin ."(Shohih Bukhori Juz 1 hal 169) penjelasan : 1. Hadits shohih di riwayatkan Imam Bukhori. 2. Yang di kubur mendengar derap kaki para pengantarnya. 3. Sesudah para penggantar pulang akan ada pertanyaan dari malaikat , maka untuk mengingat yang ada di kubur perlu ada peringatan dari yang masih hidup di dunia yaitu dengan di talqin. 4. Artinya :"Dari Anas bin Malik Rda, beliau berkata : Bahwasannya Rosulullah SAW membiarkan mayat orang-orang kafir yang terbunuh dalam perang badar selama 3 hari . kemudian beliau datang kepada mereka di badar. beliau berdiri samnbil memanggil mereka : Hai Abu Jahal bin Hisyam , hai Umayyah bin kholaf , hai Utbah bin Rabi'ah , hai Syaibah bin Raba'ah , apakah kamu tidak mendapatkan janji tuhanmu dengan benar ? Adapun aku telah mendapatkan janji tuhanku dengan benar(kemenangan). setelah Sayyidina Umar bin Khattab mendengar ucapan Rasulullah SAW (bahwa beliau bercakap-cakap dengan orang mati) lalu bertanya : "Hai Rasulullah bagaimana mereka dapat mendengar dan bagaimana mereka dapat menjawab . padahal sudah menjadi bangkai ? Rasulullah SAW menjawab kepada Sayyidina Umar bin Khattab, Demi ALLAH yang memegang jiwaku , mereka mendengar suaraku lebih dari kamu mendengarnya. Hanya mereka tidak dapat menjawab."(Hadits Shohih Riwayat Imam Bukhori dan Muslim) Hadits ini sangat tinggi keshohihannya karena muttafaq 'alaih , yang menjelaskan orang mati mendengar ucapan orang yang masih hidup di dunia , bahkan kata nabi pendengaran mereka lebih tajam . maka siapa yang tidak yakin bahwa talqin itu di dengar , dia menentang hadits ini. Sekian yang dapat saya sampaikan . semoga bermanfa'at. Terimakasih
Cara dan Hukum Talqin Mayit Ketika seorang muslim meninggalkan dunia, maka hal-hal yang wajib dilaksanakan adalah empat perkara. Memandikan, mengkafankan, menyembayangkan dan menguburkan. Sebagaimana kata Ibnu Ruslan di dalam Zubadnya:
عليه ثم الدفن مفروضات# والغسل والتكفين والصالة Dan memandikan, mengkafankan, menyembahyangkan atas mayyit, l,alu menguburkan adalah merupakan fardu. <>Adapun mentalqin mayit tidaklah wajib atau fardhu. Hukum mentalqin mayyit adalah sunnah. Dan waktunya setelah mayit dikuburkan. Tempat mentalqin adalah di atas pekuburan, di mana si mulaqqin (orang yang mentalqin) itu duduk menghadapkan muka mayit, di atas kubur, dan orang-orang lainnya dari pada pengiring mayit berdiri sekeliling kubur. Jika sekiranya mayit tidak ditalqinkan, tidaklah orang yang tahu atas kematiannya itu menjadi berdosa. Karena hukumnya hanya sunnat. Dan tidak perlu kuburan digali kembali, sedang kesunnatan talqin adalah mayyit setelah dikuburkan. Mengenai kesunatan talqin Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in berkata:
وتلقين بالغ ولوشهيدا كما اقتضاه اطالقهم خالفاللزركشى بعد تمام دفن Dan disunnatkan mentalqin mayit dewasa, dan sekalipun ia syahid. Sebagaimana kehendak orang yang diithlaqkan mereka. Menurut Assayyidul Bakri dalam halaman yang sama:
واجوج مايكون العبد الى التذكير فى هذه الحالة. وذكر فان الذكرى تنفع المؤمنين:وذلك لقوله تعالى Dan yang demikian itu karena firman Allah swt: dan beri ingatlah, maka sesungguhynyaperingatan itu berguna bagi orang-orang yang beriman. Dan yang paling dihajati hemba Allah kepada peringatan adalah dalam keadaan seperti ini Dan sebuah hadits yang menerangkan tentang talqin diantaranya adalah riwayat Rosyid bin Sa’ad dari Dlamrah bin Habib, dan dari Hakim bin Umari, ketiga-tiganya berkata:
اذا سوي على الميت قبره وانصرف الناس عنه كانوا يستحبون ان يقال للميت عند قبره يافالن قل الاله اال هللا اشهد ان الاله اال هللا ثالث مرات يافالن قل ربي هللا ودينى االسالم ونبيى محمد صلى هللا عليه )وسلم ثم ينصرف (رواه سعيد بن منصور فى سننه Apabila telah diratakan atas mayit akan kuburnya dan telah berpaling manusia dari paanya adalah mereka para sahabat mengistihbabkan (menyunatkan) bahwa dikatakan bagi mayit pada kuburnya: Ya fulan: katakanlah La Ilaha Illallah, Asyhadu alla Ilaha Illallah, tiga kali. Hai Fulan katakanlah: Tuhanku Allah, Agamaku Islam dan Nabiku Muhammad saw, kemudian berpalinglah ia. Diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dalam sunannya. Dan diriwayatkan pula hadits marfu’ menurut riwayat Atthabrani dan menurut riwayat Abdul ‘Aziz al-Hambali dalam Asy-Syafi’I bahwa Umamah berkata: Apabila aku mati, maka lakukanlah olehmu terhadap diriku, sebagaimana Rasulullah saw pernah memerintahkannya kepada kita agar memperlakukan mayit kita seraya bersabda: apabila mati salah seorang dari saudara-saudara kamu, maka kamu ratakan atas kuburnya, maka hendaklah berdiri salah seorang kamu di atas kepala kuburnya, kemudian hendaklah berkata: hai fulan anak fulananh, maka sesungguhnya ada didengarnya, hanya ia tidak dapat menjawab. Lalu berkatalah: hai fulan anak fulanah, maka sesungguhnya ia duduk melurus kemudian dikatakannya: Hai Fulan anak fulanah, maka sesungguhnya ia menjawab: berilah kami petunjuk, semoga Allah melimpahkan rahmat Nya atasmu… tetapi kamu sekalian tidak mengetahuinya. Maka hendaklah dikatakannya: ingatlah apa yang engkau keluar atasnya dari dunia, yaitu penyaksian bahwa tidak ada Tuhan yang disembah dengan sebanr-benarnya melainkan Allah, dan bahwa Muhammad itu hamba Nya dan utusan Nya. dan sesungguhnya engkau telah ridha Allah sebagai Tuhan. Dan Islam sebagai agama. Dan Nabi Muhammad sebagai Nabi. Dan al-Qur’an sebagai Imam. Maka sesunggugnya Munkar dan Nakir memegang tiap tangan seseorang dan berkata: Mari kita berangkat. Alasan apa lagi kita duduk pada orang yang sudah ditalqin (diajarkan) akan hujjahnya, maka berkatalah seorang laki-laki: Ya Rasulullah. Maka jika tidak dikenal siapa ibunya? Jawabnya: di bangsakannya kepada ibunya: Hawwa, Hai Fulan bin Hawwa. Mengenai hadits ini telah berkata alhafidz dalam attalkhish, dan isnad hadits ini baik dan telah menguatkan dia oleh Addliya’ dalam ahkamnya.
BERITA TERKAIT
Maghrib Dulu atau Isya Dulu? Kapan Kita Boleh Melakukan Shalat Jama'? Menjual Makanan Tidak Ada Label Halal Adzan di Kamar Asrama Bukan di Masjid Syarat Imam Sholat Berjama'ah
Assalamualaikum ustadz,
Singkat saja, saya mau tanya tentangdasar syariah dari dua kali adzan pada rangkaian shalat Jumat.Kabarnya dilakukan di zaman shahabat atau khalifah Utsman bin Affan ra, tapi tidak dikerjakan dizaman RasulullahSAW. Jadi bagaimana kita mensikapinya? Apakah hal ini termasuk bid’ah, atau bukan? Bagaimana dengan istilah bid’ah hasanah? Terimakasih atas bimbingannya Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Memang benar apa yang anda tanyakan, bahwa di zaman Rasulullah SAW, adzan pada shalat Jumat hanya dikerjakan sekali saja, yaitu saat khatib naik mimbar. Kemudian pada zaman khilafah rasyidah, karena pertimbangan tertentu, maka sebelum khatib naik mimbar, jumlah adzan ditambah sebelumnya, dilakukan sebelum khatib naik mimbar dan pada saat khatib naik mimbar. كان النداء يوم الجمعة َّأولُه إذا جلس اإلمام على المنبر على عهد رسول هللا ـ صلى هللا عليه وسلم ـ وأبي بكر:عن السَّائب بن يزيد أنه قال َّ فلما كان عثمان وكثر الناس زاد النداء الثالث على،وعمر ولم يكن للنبي ـ صلى هللا عليه وسلم ـ مؤذِن غير واحد،الز ْوراء
Dari As-Saib bin Yazid ra berkata, "Dahulu panggilan adzan hari Jumat awalnya pada saat imam duduk di atas mimbar, dimasa Rasulullah SAW, Abu Bakar ra dan Umar ra. Ketika masuk masa Utsman dan manusia bertambah banyak, ditambahkan adzan yang ketiga di atas Zaura.Tidak ada di zaman nabi SAW muazzdin selain satu orang. (HR Bukhari) Zaura’ adalah sebuah tempat yang terletak di pasar kota Madinah saat itu. Al-Qurthubi mengatakan bahwa Utsman ra memerinahkan untuk dikumandangkan adzan di suatu rumah yang disebut Zaura’. Saat itu khalifah memandang bahwa perlu dilakukan pemanggilan kepada kaum muslimin sesaat sebelum shalat atau khutbah Jumat dilaksanakan. Menurut para ulama yang mendukung tetap dilaksanakannya dua kali adzan ini, tindakan ini tidak bisa disalahkan dari segi hukum. Karena apa yang dilakukan oleh para shahabat nabi secara formal itu tetap masih berada dalam koridor syariah. Apa yang para shahabat nabi kerjakan secara ijma’ merupakan bagian dari syariah, karena mereka sendiri juga bagian dari sumber syariah. Al-Hafidz Ibnu Hajar sebagaimana dikutip oleh Asy-Syaukani di dala kitab Nailul Authar mengatakan bahwa praktek adzan 2 kali ini dilakukan bukan hanya oleh Khalifah Utsman rasaat itu, melainkan oleh semua umat Islam di mana pun. Bukan hanya di Madinah, melainkan di seluruh penjuru dunia Islam, semua masjid melakukan 2 kali adzan shalat Jumat. Dan meski tidak pernah dilaksanakan di zaman Rasulullah SAW, namun apa yang dipraktekkan oleh para shahabat secara kompak ini tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah yang mendatangkan dosa dan siksa. Lantaran tidak semua perkara yang tidak terjadi di zaman nabi termasuk sesuatu yang buruk. (Lihat Nailul Authar jilid III halaman 278-279). Sebab Khalifah Utsman adalah bagian dari sumber syariah dengan dalil berikut ini: Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya siapa yang hidup setelah ini, maka dia akan menyaksikan perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang besar. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku
dan sunnah para khulafa’ ar-rasyidin setelahkku yang mendapat petunjuk. Gigitlah dengan gerahammu." (HR Abu Daud, At-Tirmizy, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban) Maka tindakan seperti itu tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah, karena dikerjakan oleh semua shahabat nabi SAW secara sadar dan bersama-sama sepanjang masa. Kalau tindakan itu dikatakan bid’ah, berarti para shahabat nabi yang mulia itu pelaku bid’ah. Kalau mereka pelaku bid’ah, maka haram hukumnya bagi kita untuk meriwayatkan semua hadits. Padahal tidak ada satu pun hadits nabi yang sampai kepada kita, kecuali lewat para shahabat. Maka seluruh ajaran Islam ini menjadi batal dengan sendirinya kalau demikian. Sebab semua dalil, baik ayat Quran maupun semua hadits nabi SAW, ternyata tidak ada yang sampai kepada kita, kecuali lewat para shahabat yang dituduh tela melakukan tindakan bid’ah itu. Maka mengatakan bahwa adzan 2 kali sebagai bid’ah sama saja dengan mengatakan bahwa para shahabat nabi SAW seluruhnya sebagai pelaku bid’ah. Dan kalau semuanya pelaku bid’ah, maka agama Islam ini sudah selesai sampai di sini. Yang benar, praktek adzan Jumat 2 kali ini bagian dari sunnah yang utuh dalam syariah Islam, bukan bid’ah yang melahirkan dosa dan adzab. Karena telah dilakukan secara sadar oleh semua shahabat nabi SAW radhiyallahu ‘anhum. Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Penjelasan Hukum Adzan Dalam Jum'at Dan Disunahkannya Khotib Memegang Tongkat Sejatinya mengenai adzan sekali atau dua kali dalam shalat Jumat lebih utama untuk tidak diperdebatkan, apalagi dipersalahkan. Karena sejatinya lebih banyak agenda lain umat yang lebih urgen. Terlebih sejatinya masalah ini telah lama diperdebatkan di kalangan ulama. Adzan merupakan syari’at untuk mengingatkan kaum muslimin akan masuknya waktu shalat. Sementara iqamat disyari’atkan sebagai pertanda shalat segera ditunaikan. Adzan menjadi bagian dari syari’at Islam yang merangkai pada shalat dimulai pada tahun pertama hijriah. Sejak itu adzan dikumandangkan sebagai pertanda masuk waktu shalat, dan dilanjutkan dengan iqamah. Masing-masing sekali dalam setiap shalat, demikian berlaku pada masa Nabi, Abu Bakar, dan Umar, juga berlaku pada adzan untuk shalat Jumat. Adapun adanya adzan dua kali pada shalat Jumat, disebutkan dalam riwayat bahwa mulai berlaku pada masa Utsman bin Affan ra. Ketika itu, Utsman memandang bahwa umat Islam semakin banyak dan diperlukan adanya pemberitahuan adzan untuk shalat Jumat lebih dari sekali, maka jadilah adzan dalam shalat Jumat dua kali.
ُّ ع ْن َّ ُع ْبد ُِب بْنَ يَ ِزيدَ يَقُو ُل إِ َّن ْاألَذَانَ يَ ْو َم ْال ُج ُمعَ ِة َكانَ أ َ َّولُه ُ َُّللاِ قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا يُون َ سمِ ْعتُ السَّائ َ س َ َحدَّثَنَا ُم َح َّمدُ ْبنُ ُمقَاتِ ٍل قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا َ الز ْه ِري ِ قَا َل ْ َّ ي َّ صلَّى َّ سو ِل ع ْن ُه َما فَلَ َّما َكانَ فِي خِ َالفَ ِة ُ سلَّ َم َوأَبِي بَ ْك ٍر َو ُ ع ْه ِد َر ُ حِ ينَ يَجْ ل َ ُ َّللا ِ ع َم َر َر َ َُّللا َ علَى المِ ْنبَ ِر فِي َ اإل َما ُم يَ ْو َم ْال ُج ُمعَ ِة َ علَ ْي ِه َو َ َِّللا ِ ْ ِس َ ض ُ ْ ْ ْ َ َّ َ َ ُ ْ ْ َ َ َّ َ ْ َّ َ َ ُان َ َّ ُ ر م األ ب ث ف ر و الز ى ل ع ه ب ذ أ ف ث ل ا ث ال ان ذ األ ب ة ع م ج ال م و ي م ُث ع ر م أ وا ر ث ك و ه ن ع َّللا ي ض ر ف ع ْن ب م ُث ع َن ِ ِ َان َان َعلَى ذَلِك َت ِاء ِ ِ ِ ُ ُ ْ ُ ُ َ ُ َ َ َ ِ َ ِ َ ْ ِ َ َ َ َ َ ِ َ َ َ ْ َ ِ َ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami Yunus dari Az Zuhri berkata, Aku mendengar As Sa'ib bin Yazid berkata, "Pada mulanya adzan pada hari Jum'at dikumandangkan ketika Imam sudah duduk di atas mimbar. Yaitu apa yang biasa dipraktekkan sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar dan 'Umar? radliallahu 'anhu. Pada masa Khilafah 'Utsman bin 'Affan? radliallahu 'anhu ketika
manusia sudah semakin banyak, maka pada hari Jum'at dia mememerintahkan adzan yang ketiga. Sehingga dikumandangkanlah adzan (ketiga) tersebut di Az Zaura'. Kemudian berlakulah urusan tersebut menjadi ketetapan." [HR Bukhari 3:448 No 865, Abu Daud 3:293 No 919, Nasa’i 5:236 No 1375, Al Baihaqi 3:205] Dalam memahai hadits di atas terjadi dua pendapat apakah adzan Jum’at itu sekali atau dua kali, maka saya akan paparkan kedua pendapat tersebut beserta alasannya. Pendapat 1 Kelompok ini meyakini bahwa adzan Jum’at adalah sekali, dengan berhujjah kepada keumumman dalil tentang adzan, dan kenyataan pada Zaman Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar ra. Tidak mengamalkan adzan dua kali untuk Jum’atan. Pendapat 2 Yang dimaksud dengan adzan yang ketiga adalah adzan yang dilakukan sebelum khatib naik ke mimbar. Sementara adzan pertama adalah adzan setelah khathib naik ke mimbar dan adzan kedua adalah iqamah. Dari sinilah, Syaikh Zainuddin al-Malibari, pengarang kitab Fath al-Mu'in, mengatakan bahwa sunnah mengumandangkan adzan dua kali. Pertama sebelum khatib naik ke mimbar dan yang kedua dilakukan setelah khatib naik di atas mimbar :
ي ُ ََان ل ِْل ُج ْمعَ ِة أ َ َحدُ ُه َما بَ ْعد ُ َان ِل ِ صعُ ْو ِد الخَطِ ْي َ َُوي َ َ آخر بَ ْعدَهُ فَإِن اقَت ْ ب المِ ْنبَ َر َواألَخ َُر الَّ ِذ ِ ْح َواحِ ٍد قَ ْب َل الفَجْ ِر َو ِ َوأَذَان,ُص َر فَاأل َ ْولَى بَ ْعدَه ِ س ُّن أَذَان ٍ صب ُ"قَ ْبلَهDisunnahkan adzan dua kali untuk shalatShubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah dua adzan untuk shalat Jum'at. Salah satunya setelah khatib naik ke mimbar dan yang lain sebelumnya". (Fath al-Mu'in: 15) Meskipun adzan tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW, ternyata ijtihad Sayyidina Utsman RA. tersebut tidak diingkari (dibantah) oleh para sahabat Nabi SAW yang lain. Itulah yang disebut dengan “ijma sukuti”, yakni satu kesepakatan para sahabat Nabi SAW terhadap hukum suatu kasus dengan cara tidak mengingkarinya. Diam berarti setuju pada keputusan hukumnya. Dalam kitab alMawahib al-Ladunniyyah disebutkan :
س ُك ْوتِيا ً ِألنَّ ُه ْم الَ يُ ْن ِك ُر ْونَهُ َعلَ ْي ِه ُ ث ُ َّم إِ َّن فِ ْع َل ُ ً ي هللاُ َع ْنهُ َكانَ إِجْ َماعا ِ عثْ َمانَ َر َ ض "Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ustman ra. itu merupakan ijma' sukuti (kesepakatan tidak langsung) karena para sahabat yang lain tidak menentang kebijakan tersebut” (al-Mawahib al Laduniyah, juz II,: 249) Apakah itu tidak mengubah sunah Rasul? Tentu Adzan dua kali tidak mengubah sunnah Rasulullah SAW karena kita mengikuti Utsman bin Affan ra. itu juga berarti ikut Rasulullah SAW. Beliau telah bersabda: ِي ُ سنَّتِ ْي َو ُ ِفَعَلَ ْي ُك ْم ب َّ ِسنَّ ِة ال ُخلَفَآء ْ الرا ِش ِديْنَ مِ ْن بَ ْعد "Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal) Apalagi adzan kedua yang dilakukan sejak zaman Utsman bin Affan RA itu, sama sekali tidak ditentang oleh sahabat atau sebagian dari para sahabat di kala itu. Jadi menurut istilah ushul fiqh, adzan Jum’at dua kali sudah menjadi “ijma’ sukuti”. Sehingga perbuatan itu memiliki landasan yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma' para sahabat. Perbedaan ini adalah perbedaan dalam masalah furu’iyyah yang mungkin akan terus menjadi perbedaan hukum di kalangan umat, tetapi yang terpenting bahwa adzan Jum’at satu kali atau dua kali demi melaksanakan syari’at Islam untuk mendapat ridla Allah SWT.
Dua Alasan Utsman -radhiallohu anhu- Adzan Dua Kali. Dapat kita ketahui bersama dari hadits di atas bahwa Utsman -radhiallohu anhu- menambahkan adzan yang pertama karena dua alasan yang sangat masuk akal: Ø 1). Semakin banyaknya manusia, dan Ø 2). Rumah-rumah mereka yang saling berjauhan. Barang siapa memalingkan pandangan dari dua alasan ini dan berpegang teguh dengan adzan Ustman radhiallohu anhu- secara mutlak, maka dia tidak mengikuti petunjuk beliau -radhoallohu anhu-, bahkan ia menyalahi beliau, sebab dia tidak mau mengambil pelajaran dari dua alasan tersebut, yang mana jika keduanya tidak ada niscaya Ustman -radhiallohu anhu- tidak akan menambah Sunnah Rasulullah shollallahu alaihi wa sallam- dan dua khalifah sebelumnya Abu Bakar dan Umar radhiallohu anhuma. Dan dua sebab tersebut hampir tidak terwujudkan pada masa sekarang. Apalagi hampir seluruh masjid yang ada sudah menggunakan speaker untuk mengumandangkan adzan, sehingga semuanya dapat mendengarkan adzan jum’at baik yang dekat maupun yang jauh. Bahwa persoalan Ibadah / keagamaan mesti bercermin kepada contoh teladan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana dinyatakan di dalam al-Qur’an:
َّ َّللاَ َو ْاليَ ْو َم ْاآلَ ِخ َر َوذَك ََر َّ سنَةٌ ِل َم ْن َكانَ يَ ْر ُجو َّ سو ِل يرا ُ لَقَدْ َكانَ لَ ُك ْم فِي َر ً َِّللاَ َكث َ َّللاِ أُس َْوة ٌ َح Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab :21)
۷/الحشر
َّ َّللاَ إِ َّن َّ سو ُل فَ ُخذُوهُ َو َما نَ َها ُك ْم َع ْنهُ فَا ْنتَ ُهوا َواتَّقُوا .ب َ ََّللا ُ الر َّ و َما آَت َا ُك ُم ِ شدِيد ُ ْال ِعقَا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia.Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr :7) Dengan demikian, semua persoalan keagamaan (Ajaran Islam) wajib dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai dua sumber kebenaran. Bahkan dalam persengketa pun tidak boleh lari dari kedua sumber tersebut.
َّ ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى َّ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آَ َمنُوا أ َ ِطيعُوا َ سو َل َوأُو ِلي ْاأل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم َفإ ِ ْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِي َسو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُون ُ الر ُ الر َّ َّللاِ َو َّ َّللاَ َوأَ ِطيعُوا ْ ْ َ ً سنُ ت َأ ِو َّ ِب ٥٩/ النساء. يال َ ْاَّللِ َواليَ ْو ِم ْاآلَ ِخ ِر ذَلِكَ َخي ٌْر َوأح Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (alQur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59) Berbeda dengan urusan keduniaan yang diperbolehkan melakukan inovasi dan kreativitas di dalamnya, sebagaimana pernah disabdakan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits berikut ini.
َّ صلَّى ي َ َ ِإ ْن َكان:سلَّ َم َ َِع ْن َعائ َ َّللاُ َعلَ ْي ِه َو ِ شةَ َر َ ي ِ ش ْيئًا ِم ْن أَ ْم ِر دُ ْنيَا ُك ْم فَشَأْنُ ُك ْم ِب ِه َو ِإ ْن َكانَ ِم ْن أ ُ ُم َّ َور دِينِ ُك ْم فَإِل َّ قَا َل النَّ ِب،ي هللاُ َع ْن َها َ ض سنن ابن ماجهDari Aisyah – semoga Allah meridhainya – bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Jika sesuatu itu termasuk urusan keduniawianmu, maka itu urusan kamu (kamu yang lebih mengetahuiny), tetapi jika termasuk urusan agamamu maka harus kembalikan kepadaku.” (H.R. Ibn Majah 7:333 No 2462) Untuk itu, di dalam urusan keagaaman berlaku qaidah di bawah ini:
ْ ص ُل فِي ْال ِعبَادَةِ ْالب .وم دَ ِلي ٌل َعلَى اْأل َ ْم ِر ُ يف َواْ ِإلتِبَا ِ ِص ُل فِي ْال ِعبَادَةِ الت َّ ْوق ْ َ ا َ ْأل: ارةٍ أ ُ ْخ َرى ْ َ اَأل َ َ َوبِ ِعب. ع َ ُُطالَنُ َحتَّى يَق Pada dasarnya pokok masalah dalam ibadah adalah berdiam diri dan mengikuti. Atau dengan ungkapan lain, asal dalam ibadah itu batal sehingga ada dalil yang memerintahkan. Berkaitan dengan dua adzan ketika shalat Jum’at sebenarnya harus berpegang pada dalil-dalil dan qaidah di atas. Apakah di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi atau tidak? Ada baiknya kita perhatikan beberapa dalil dan qaul di bawah ini:
َّ صلَّى َّللاُ َعلَ ْي ِه َ ُي هللا ِ َِع ْن السَّائ ِ ب ب ِْن يَ ِزيدَ َر َ ِ اإل َما ُم َعلَى ْال ِم ْنبَ ِر َعلَى َع ْه ِد النَّبِي َ َ َكانَ النِدَا ُء يَ ْو َم ْال ُج ُمعَ ِة أ َ َّولُهُ إِذَا َجل:َ قَال،ُع ْنه ِْ س َ ض َ ْ َّ ث َعلَى َ اس زَ ادَ النِدَا َء الثَّا ِل َّ ي َّ ي قَا َل أبُو َعبْد.اء ُ ََّللاُ َع ْن ُه َما فَلَ َّما َكان ُ سلَّ َم َوأ َ ِبي بَ ْك ٍر َو ِ الز ْو َر ُ ََّّللاُ َع ْنهُ َو َكث ُ َر الن ِ عث َمانُ َر ِ ع َم َر َر َ َو َ ض َ ض ْ َّ َّ – ق بِال َمدِينَ ِة ِ الز ْو َرا ُء َم ْو:َِّللا ِ ض ٌع بِالسُّو
Dari Saib ibn Yazid – semoga Allah meridhainya – ia berkata, “Adalah adzan pada hari Jum’at yang pertama (terjadi) berlangsung ketika Imam telah duduk diatas mimbar pada masa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar ibn al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma.Maka tatkala zaman Utsman ibn Affan dimana orang-orang semakin banyak, maka beliau menambah panggilan (adzan) ketiga di Zaura.” Dan Abu Abdillah mengatakan bahwa Zaura itu suatu tempat di pasar Madinah. (H.R. Bukhari3:440 No 861)
Tambahan panggilan (adzan) ketiga maksudnya, menambah satu lagi panggilan karena pada prakteknya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah ada dua panggilan, yaitu adzan dan iqamah ketika hendak menunaikan shalat Jum’at. Iqamah (qamat) pun disebut nida` yang berarti panggilan. Dengan demikian, penambahan adzan pada Utsman ibn Affan bukan adzan ketiga melainkan adzan kedua, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Hajar rahimahullah di dalam kitabnya sebagai berikut:
) ( زَ ادَ النِدَاء الثَّالِث: ُ قَ ْولُه َّ َونَحْ وه لِل، ان ْاأل َ َّول ار ك َْونه َم ِزيدًا َ فِي ِر َوايَة َوكِيع ِ َ َو َال ُمنَافَاة بَيْنه َما ِألَنَّهُ ِبا ْعتِب، شافِ ِعي ِ مِ ْن َهذَا ْال َو ْجه ِ َع ْن اِب ِْن أ َ ِبي ِذئْب فَأ َ َم َر عُثْ َمان ِب ْاألَذ َ َ ْ ْ ً ْ َ َ َ َ َ َّ عقِيل ْاآلتِ َية َب ْعد َبا َبي ِْن " أ َ َّن التَّأْذِين ِبالثَّانِي أ َ َم َر ِب ِه ة ي ا و ر ظ ف ل و ، ال و أ ى م س ي ة م ا ق اإل و ان ذ األ ى ل ع ا م د ق م ل ع ج نه َو ك ار ب ت ع ْ ُ َ ِ ِ ُ َ َ َ ِ َ ً ُ ْ ِ َ َو ِبا، س َّمى ثَا ِلثًا َّ َّ َ َ ِ َ َ ُي َ ْ ْ َ َ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َّ َ )۳۱۸ ص/ ۳ (ج- – فتح الباري البن حجر. اإلقا َمة ِ عُث َمان " َوتسْمِ يَته ثانِيًا أ ْيضًا ُمت ََو ِجه بِالنظ ِر إِلى األذان ال َحقِيقِي ال Perkataan: “Dan menambah panggilan ketiga” Menurut riwayat Waki` dari Ibn Abi Dzi’b, maka Utsman menyuruh adzan pertama. Dan senada dengan itu menurut riwayat Imam Syafi’i dari sanad tersebut. Tidak ada saling menafikan diantara keduanya, karena ungkapan tambahan itu disebut (juga) tsalits (ketiga), sebagai ungkapan untuk muqaddimah (permulaan) bagi adzan dan iqamah, maka disebut (adzan) awal. Sedangkan lafal dari riwayat ‘Aqil yang akan dating setelah dua bab ini dinyatakan dengan phrase “Bahwa adzan kedua diperintahkan oleh Utsman”, dan penyebutan adzan kedua juga karena ditinjau kepada makna adzan secara hakiki, bukan bermakna iqamah. (Ibn Hajar al-Asqalaniy, Fath al-Bariy, Juz. III, hlm. 318)
Berikut ini keterangan lain mengenai kedudukan adzan kedua:
، ُت ْال َحا َّجةُ ِب َكثْ َرةِ ْال ُم ْس ِل ِمينَ َو َعدَ ِم ت َ ْب ِكي ِْر ِه ْم ِإلَى ْال َمس ِْج ِد َعلَى نَحْ ِو َماكَانُوا يَ ْف َعلُونَ فِي زَ َم ِن َم ْن قَ ْبلَه ِ َ عثْ َمانَ َو َحدَث ُ ُفَلَ َّما َكانَ زَ َمان ْ َ َ َ َّ ْ ٦٤ : ۱ ، – اإلبداع. اء ِ أ َم َر أن ي َُؤ ِذنَ بِ ِه ْم ِلل ُج ُمعَ ِه َعلى الز ْو َر Maka ketika masa Utsman ibn Affan dan adanya kebutuhan karena bertambahnya kaum muslimin dan ketidakadaan sikap bersegera menuju ke masjid sebagaimana yang terjadi pada zaman sebelumnya, maka Utsman menyuruh untuk mengumandangkan adzan (pertama) untuk (mengingatkan) shalat Jum’at di Zaura (sebuah pasar di Madinah). (Lihat kitab al-Ibda’, Vol. I, hlm. 64) Adapun lafal-lafal yang tidak pernah bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau menyimpan adzan pada suatu tempat yang keluar dari maqasidnya termasuk pemberitahuan yang hukumnya bid’ah. (Lihat kitab al-Ibda’,. I, hlm. 64) Bahkan Imam Asy Syafi’i yang merupakan Ulama Mujaddid pada Jamannya memberi komentar tentang masalah adzan Jum’at, beliau berkata :
(قال الشافعي) وأحب أن يكون االذان يوم الجمعة حين يدخل االمام المسجد ويجلس على موضعه الذى يخطب عليه خشب أو جريد أو منبر أو شئ مرفوع له أو االرض فإذا فعل أخذ المؤذن في االذان فإذا فرغ قام فخطب ال يزيد عليه Imam as-Syafi’i -rahimahullah- berkata: “Dan saya menyukai adzan pada hari jum’at dikumandangkan ketika imam masuk masjid dan duduk di atas mimbar dari kayu atau tanah atau sesuatu yang lebih tinggi diatas bumi. Apabila imam telah melakukan hal itu, maka muadzdzin memulai adzan. Bila telah usai, maka imam berdiri dan menyampaikan khutbahnya, dan tidak boleh ditambah-tambahi (adzan lain) lagi.” Al Umm 1:224
َّ (قَا َل ال ي – األم ُ علَى َع ْه ِد َر َ ي) َوأَيُّ ُه َما َكانَ فَ ْاأل َ ْم ُر الَّذِي َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ِسو ِل هللا َّ َسلَّ َم أ َ َحبُّ ِإل ُّ شافِ ِع Imam Syafi’i berkata, “Diantara dua perkara itu, maka perkara yang terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (adzan hanya satu kali) itu lebih aku cintai.” (Syafi’i, al-Umm, 1 :224) Adapun adzan 3x dalam hadits Bukhari, Imam Asy Syafi’i berkata dalam kitab dan halaman yang sama:
(قال الشافعي) وأحب أن يؤذن مؤذن واحد إذا كان على المنبر ال جماعة مؤذنين أخبرنا الربيع قال أخبرنا الشافعي قال أخبرني الثقة عن الزهري عن السائب بن يزيد أن االذان كان أوله للجمعة حين يجلس االمام على المنبر على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم وأبى بكر وعمر فلما كانت خالفة عثمان وكثر الناس امر عثمان بأذان ثان فأذن به فثبت االمر على ذلك (قال الشافعي) وقد كان عطاء ينكر أن يكون عثمان أحدثه ويقول أحدثه معاوية وهللا أعلم (قال الشافعي) وأيهما كان فاالمر الذى على عهد رسول هللا صلى هللا عليه وسلم أحب إلى (قال الشافعي) فإن أذن جماعة من المؤذنين واالمام على المنبر وأذن كما يؤذن اليوم أذان قبألذان المؤذنين إذا جلس االمام على المنبر كرهت ذلك Imam Syafi’i berkata : aku suka jika Adzan seorang muadzin sekali, yaitu apabila khotib naik mimbar, tidak boleh berkumpul dua muadzin. Telah mengabarkan kepada kami Ar Rabi’ ia berkata telah mengabarkan kepada kami Syafi’i, ia berkata telah mengabarkan kepadaku Ats tsiqah dari Zahuri dari Saib bin Yazid bahwasanya adzan untuk Jum’at dimulai ketika imam duduk di atas mimbar, sesuai petunjuk Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar Radhiyallahu anhuma, Ketika pada masa Khalifah Utsman, jumlah manusia semakin banyak, maka Utsman memerintahkan adzan ke dua, maka jadilah adzan ke dua itu sebagai ketetapan.
Imam Syafi’i berkata : dan sesungguhnya dahulu Atho` mengingkari bahwa Utsman yang memulainya dan ia berkata: ‘Yang memulainya adalah Mu’awiyah. Wallahu a’lam. Imam Syafi’i berkata : di antara perkara itu (adzan dua kali ), maka perkara yang terjadi di Zaman Rasulullah saw (adzan sekali) itu lebih aku Cintai. Imam Syafi’i berkata : Maka apabila muadzin mengumpulkan dua adzan sedangkan imam berada di atas mimbar, bagaikan muadzin adzan sebelum adzan di satu hari apabila imam duduk di atas mimbar, aku benci yang demikian. Lalu beliau berkomentar lagi bahwa’ Siapapun yang memulainya (adzan 2kali), maka perkara yang telah ada pada masa Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam- tentu lebih aku cintai.” Takhtimah Dalil yang menerangkan adzan jum’at dalam al-Qur’an surat al-Jumu’at ayat 9;
َّ صالَ ِة ِم ْن َي ْو ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َع ْوا ِإلَى ِذ ْك ِر )9( ََّللاِ َوذَ ُروا ْال َب ْي َع ٰذ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَّ ُك ْم ِإ ْن ُكـ ْنـت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون َّ ِي ِلل َ َيا أَيُّ َها الَّ ِذيْنَ آ َمنُ ْوا ِإذَا نُ ْود Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah Swt. dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Al-Jumu’at ayat 9). Dua adzan yang dilaksanakan sebelum shalat jum’at pertama kali dilaksanakan pada zaman sahabat Utsman ra., karena pada saat itu semakin bertambahnya jumlah penduduk dan jarak pemukiman penduduk dengan masjid yang jauh serta aktifitas perdagangan yang semakin pesat, sehingga adzan yang semula satu kali (dikumandangkan saat imam di atas mimbar) menyebabkan banyak dari mereka ketinggalan shalat jum’at. Dengan pertimbangan di atas, kemudian sahabat Utsman menambah adzan lagi di tempat lain yang tinggi (menara). Hal ini diterangkan dalam kitab shahih Bukhari
ُّ َع ِن س اْ ِال َما ُم يَ ْو َم ْال ُج ْمعَ ِة َعلَى ُ ى هللاُ َع ْنهُ يَقُ ْو ُل ا َِّن اْالَذَانَ يَ ْو َم ْال ُج ْمعَ ِة َكانَ ا َ َّولُهُ ِحيْنَ يَجْ ِل َ ِس ِم ْعتُ السَّائ ِ ب ب ِْن يَ ِز ْيدَ َر َ الز ْه ِرى قَا َل َ ض ْ َّ َّ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ َ ي هللاُ َع ْنهُ َو َكثَ ُر ْوا ض ر م ث ع ة ف ال خ ى ف ك ا م ل ف ا م ه ن ع هللا ي ض ر ر م ع و ر ك ب ى ب ا و م ل س و ه ي ل ع هللا ى ل ص ى ب ن ال د ه ع ى ف ر ْ َان َان ِ َّ َ ُ َ ُ َ ِ َ ٍ َ ُ َ ٍ َ ِ َ َ َ َ ِ َ ُ ْ َ ِ ِ ْال ِم ْن َب َ ِ ِ َ ِ َ َ ُ ِ ِ ِ ُ ْ َ َّ َّ َّ علَى رقم315 ص1 اء فَثَبَتَ اْالَ ْم ُر َعلَى ذَلِكَ (صحيح البخاري الجزء ِ ان الثا ِل ُ ا َ َم َر ِ الز ْو َر َ ث فَأذنَ بِ ِه ِ َعثْ َمانُ يَ ْو َم ال ُج ْمعَ ِة بِاْألذ )916 Dari al-Zuhri, ia berkata; saya mendengarkan dari Saib bin Yazid ra. Beliau berkata . sesungguhnya pelaksanaan adzan pada hari jum’at pada masa Rasulullah Saw, sahabat Abu Bakar dan Umar hanya satu kali, yaitu dilakukan ketika imam duduk di atas mimbar. Namun ketika masa khalifah utsman dan kaum muslim semakin banyak, maka beliau memerintahkan agar diadakan adzan yang ketiga. Adzan tersebut dikumandangkan di atas Zaura’ (nama pasar) maka tetaplah perkara tersebut sampai sekarang (Shahih al-Bukhari, juz 1 halaman 315 hadits nomor 916). Dengan demikian disunnahkan adzan dua kali sebelum shalat jum’at, yakni adzan pertama sebelum khatib naik mimbar dan adzan kedua pada saat khatib sudah naik mimbar. Hal ini merupakan hasil ijtihad sayidina Utsman ra. dengan pertimbangan supaya tidak ada yang tertinggal dalam shalat jum’at. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Fathu al-Mu’in.
ب ْال ِم ْنبَ َر ِ صعُ ْو ِد ْالخ ِ صبْحٍ َو ُ ََان ِل ْل ُج ْم َع ِة اَ َحدُ ُه َما بَ ْعد ُ َان ِل ِ َط ْي َ َُوي َ َ احدٌ قَ ْب َل ْالفَجْ ِر َواَخ َُر بَ ْعدَهُ فَا ِِن ا ْقت ِ ص َر فَاْالَ ْولَى بَ ْعدَهُ َواَذَان ِ س ُّن اَذَان َّ ْ َ )15 َواالَخ َُر الذِى قَ ْبلهُ (فتح المعين Disunnahkan adzan dua kali untuk shalat shubuh, yakni sebelum fajar dan setelahnya. Dan jika hanya mengumandangkan satu kali, maka yang utama dilakukan setelah fajar. Dan sunnah adzan dua kali untuk shalat jum’at. Yang pertama setelah khatib naik ke mimbar dan yang ke dua sebelumnya. (Fathu al-Mu’in, hal.15)
Ibnu Hajar al-Asqalani, dalam Fath al-Bârî berkata,
"وكل ما لم يكن في: إلى أن قال."ع األمر َ والذي يظهر أن الناس أخذوا بفعل عثمان في جميع البالد إذ ذاك؛ لكونه خليفةً مطا وتبين بما مضى أن عثمان، ومنها ما يكون بخالف ذلك، لكن منها ما يكون حسنا، يسمى بدعة-صلى هللا عليه وآله وسلم- زمنه وأبقى خصوصيتها باألذان بين يدي، فألحق الجمعة بها،سا على بقية الصلوات ً أحدثه إلعالم الناس بدخول وقت الصالة؛ قيا وفيه استنباط معنى من األصل ال يبطله،الخطيب "Secara eksplisit, ketika itu semua orang di seluruh wilayah negara Islam mengambil pendapat Utsman, karena dia adalah seorang khalifah yang ditaati." Ibnu Hajar juga mengatakan, "Segala sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah saw. adalah perbuatan bid'ah, tapi ada yang bid'ah hasanah dan ada yang tidak demikian. Dari kisah yang diriwayatkan dalam atsar di atas, nampak jelas bahwa Utsman melakukan perbuatan yang baru itu (bid'ah) guna memberitahu masyarakat tentang masuknya waktu shalat. Hal ini diqiyaskan dengan azan untuk shalat-shalat lainnya, sehingga shalat Jum'at dimasukkan ke dalamnya. Lalu dia tetap mempertahankan kekhasan shalat Jum'at itu dengan azan yang dilakukan ketika khatib telah menaiki mimbar. Dalam kasus ini terdapat penyimpulan sebuah makna dari sebuah dalil tanpa membatalkan dalil tersebut." Dari penjelasan di atas, kita mengetahui bahwa azan kedua adalah sunah yang dilakukan oleh Utsman r.a., dimana Nabi saw. pernah bersabda,
ْ سيَ َرى َالرا ِش ِديْن ِ َسنَّ ِة ْال ُخلَف ُ سنَّتِي َو ُ ِ فَعَلَ ْي ُك ْم ب،اختِالَفًا َكثِي ًْرا َّ َاء ْال َم ْه ِديِيْن ْ َم ْن يَ ِع َ َش ِم ْن ُك ْم َب ْعدِي ف "Barang siapa dari kalian yang masih hidup setelahku akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang pada Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk." (HR. Ibnu Hibban dan Hakim). Utsman radliyallahu 'anh adalah salah satu dari para khalifah yang mendapat petunjuk itu (al-khulafâ` almahdiyyîn ar-râsyidîn). Dan dari zaman para sahabat sampai hari ini, telah tercapai ijmak amali (bersifat perbuatan) atas penerimaan adzan yang kedua. Sehingga, barang siapa yang menyalahkan adzan kedua itu, berarti dia telah menyalahkan ijmak dan syiar-syiar Islam yang diridhai oleh para ulama sepanjang sejarah. Orang yang menganggap adzan kedua sebagai bid'ah maka dia telah menyimpang dari hadits yang diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah SAW. bahwa umat ini tidak akan bersepakat dalam kesesatan. Kesimpulannya adalah bahwa adzan dua kali pada hari jum’at itu bukan merupakan bid’ah, sebab perbuatan itu memiliki landasan atau dalil yang kuat dari salah satu sumber hukum Islam, yakni ijma’ para sahabat dan Para tabi'in. Dasar Hukum Pelaksanaan Shalat Sunnat Qobliyah Jum’at dan Khotbah dengan Memegang Tongkat Kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah mengamalkan shalat sunat qobliyah Jum’at ini berdasarkan sunnah qouliyyah dan sunnah fi’liyyah (sabda dan perilaku Nabi SAW), sebagaimana yang tersebut dalam kitab Ahkamul Fuqoha’ masalah no. 4 dengan mengutip keterangan dari kitab karangan Syaikh Kurdi ala Bafadlol, sebagai berikut :
وأقوى ما يتمسك به مشروعية الركعتين قبل الجمعة ما صححه ابن حبان من: قال الكردي على بافضل في باب صالة الجمعة ورأيت نقال: وقال الكردي أيضا. قاله في فتح الباري. ما من صالة إال وبين يديها ركعتان: حديث عبد هللا بن الزبير مرفوعا وقد جاء بسند جيد كما قاله العراقي إنه صلى هللا عليه وسلم كان يصلي قبلها: عن شرح المشكاة لمال على القاري ما نصه اهـ.أربعا
“Dalil yang paling kuat sebagai pedoman bagi dianjurkannya shalat qobliyah Jum’at dua rakaat ialah hadits shahih riwayat Ibnu Hibban dari Abdillah bin Zubair Marfu’ sampai Rasulullah SAW. : “Tidak ada satu pun shalat fardlu kecuali sebelumnya dilakukan shalat sunat dua rakaat”. Demikian keterangan kitab Fathul Bari. Syaikh Kurdi juga mengatakan : “saya melihat ada sebuah riwayat syarah Misykah karangan Syaikh Mula Ali Qori, demikian teksnya : “telah datang sebuah riwayat dengan sadad yang bagus sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-‘Iroqi bahwa Rasulullah Saw. melakukan shalat sebelum Jum’atan empat rakaat”. Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah shalat sunnah mutlak,
َ َط َّه ُر َما ا ْست َ َ َويَت، ( الَ يَ ْغت َ ِس ُل َر ُج ٌل يَ ْو َم ْال ُج ُمعَ ِة: قَا َل النَّبِي صلى هللا عليه وسلم: ار ِسي رضي هللا عنه قَا َل ع ِم ْن َ طا َ عن ِ َس ْل َمانَ ْالف َّ ْ َ ُ ُ ُ ُ َ َ ُ ْ ْ َ َ ْ ْ ْ ُ َ َ َ ُن ُت َّ ُ ُ اإل َما ُم م ل ك ت ا ذ إ ص ن ي م ث ، ه ل ب ت ك ا م ى ل ص ي م ث ، ْن ي ن َ ث ا ي ب ق ر ف ي ال ف ، ج ر خ ي م ث ه ت ي ب ب ي ط ن م س م ي و أ ، ه ن ه د ن م ه د ي و ، ْ َْن ُ ُ ُ ِ ِ ِ ُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ُ َ َ َ ُّ َ َ َ ِ ِ ْ َّ َّ َ َ َّ ِ ِ َ ِ ِ َ َ ط ْه ٍر ُ ْ َّ َ ْ ُ إِال، . )883( غ ِف َر لهُ َما بَ ْينَهُ َوبَيْنَ ال ُج ُمعَ ِة األخ َرى ) رواه البخاري Dari Salmaan Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia bersuci semampu dia, lalu ia memakai minyak atau ia memakai wewangian di rumahnya lalu ia keluar, lantas ia tidak memisahkan di antara dua jama’ah (di masjid),kemudian ia melaksanakan shalat yang ditetapkan untuknya, lalu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa yang diperbuat antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang lainnya.” (HR. Bukhari no. 883)
أخرجه مالك في. وعن ثعلبة بن أبي مالك أنهم كانوا في زمان عمر بن الخطاب يصلون يوم الجمعة حتى يخرج عمر .)550/4( ”) وصححه النووي في “المجموع103/1( ”“الموطأ Dari Tsa’labah bin Abi Malik, mereka di zaman ‘Umar bin Al Khottob melakukan shalat (sunnah) pada hari Jum’at hingga keluar ‘Umar (yang bertindak selaku imam). (Disebutkan dalam Al Muwatho’, 1: 103. Dishahihkan oleh An Nawawi dalam Al Majmu’, 4: 550).
) لمصنف عبد329/8( ” عزاه ابن رجب في “فتح الباري. كان ابن عمر يصلي قبل الجمعة اثنتي عشرة ركعة: وعن نافع قَال . الرزاق Dari Naafi’, ia berkata, “Dahulu Ibnu ‘Umar shalat sebelem Jum’at 12 raka’at.” (Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya 8: 329, dikuatkan oleh Ibnu Rajab dalam Fathul Bari). Adapun khotbah dengan memegang tongkat ini dasar hukumnya adalah Fi’lun Nabi SAW. sebagaimana yang ditulis oleh imam Suyuthi dalam kitab Al-Jami’us Shoghir hal 245:
] [رواه ابن ماجه والحاكم والبيهقي.كان إذا خطب في الحرب خطب على قوس وإذا خطب في الجمعة خطب على عصا “Adalah Rasulullah SAW. ketika berkhutbah dalam rangka perang beliau berkhutbah dengan memegang pedang, dan jika berkhutbah untuk shalat Jum’at beliau berliau berkhutbah dengan memegang tongkat” (HR. Ibnu Majah, Hakim dan Baihaqi) Dalam hal ini adalah pendapat jumhur yang didasarkan oleh banyak riwayat, diantaranya:
َّ ق ال ُ َحدَّث َ ِني،اش سو ِل ُ َج َل ْستُ ِإلَى َر ُج ٍل لَهُ صُحْ َبةٌ ِم ْن َر:َ َقال،ي ٍ َحدَّثَنَا ِش َهابُ ْبنُ ِخ َر،ور ُ س ِعيد ُ ْبنُ َم ْن َ َحدَّثَنَا ٍ ص ٍ ش َعيْبُ ْبنُ ُز َر ْي ُّ طا ِئ ِف ْ ْ َّ َّ َ َ َّ َّ ُ َ َ َ َ َ َّ سو ِل َّ سابِ َع َ ي فَأ ْن ُ َوفَدْتُ إِلى َر:َ قَال، يُ َح ِدثنَا،شأ َ سل َم َ صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َ صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َ َِّللا َ َِّللا ُّ ال َح َك ُم ْبنُ َح ْز ٍن ال ُكل ِف:ُسل َم يُقَا ُل له ْشأْنُ ِإذ َّ ش ْيءٍ ِمنَ التَّ ْم ِر َوال َّ ع َّ سو َل َ أ َ ْو أَ َم َر َلنَا ِب، فَأ َ َم َر ِبنَا،َّللاَ لَنَا ِب َخ ْي ٍر ُ ْ ُز ْرنَاكَ فَاد،َِّللا ُ َيا َر: فَقُ ْلنَا، فَدَخ َْلنَا َعلَ ْي ِه،ٍ أ َ ْو ت َا ِس َع تِ ْس َعة،ٍس ْب َعة َ
ٌ ذَاكَ د َّ َ فَ َح ِمد،صا أ َ ْو قَ ْو ٍس َّ سو ِل َّللاَ َوأَثْنَى َ ُون فَأَقَ ْمنَا ِب َها أَيَّا ًما ُ ش ِهدْنَا فِي َها ْال ُج ُم َعةَ َم َع َر ً ام ُمت ََو ِكئًا َعلَى َع َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ َِّللا َ َسلَّ َم فَق ُ َ َ َ ُ ُ َ ْ َ ُ َ َ ُ ُ ُ ُ َ َّ َّ ْ ْ ْ ٍ ت طيِبَا ٍ ت َخ ِفيفَا ٍ َعلَ ْي ِه َك ِل َما " س ِددُوا َوأ ْبش ُِروا ُ أيُّ َها الن:َ ث َّم قال،ٍاركَات َ إِنك ْم لن ت ِطيقوا أ ْو لن تَفعَلوا ك َّل َما أ ِم ْرت ْم بِ ِه َول ِكن،اس َ َت ُمب Telah menceritakan kepada kami Sa'iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Syihaab bin Khiraasy : Telah menceritakan kepadaku Syu'aib bin Zuraiq Ath-Thaaifiy, ia berkata : Aku pernah duduk di samping seseorang yang punya status kebershahabatan dengan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Namanya Al-Hakam bin Hazn Al-Kulafiy. Lalu ia bercerita kepada kami. Ia berkata : "Aku pernah diutus menemui Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersama dengan tujuh atau sembilan orang. Kami masuk menemui beliau. Kami berkata : "Wahai Rasulullah, kami telah mengunjungimu, maka doakanlah kebaikan untuk kami". Maka beliau memerintahkan supaya kami disuguhi kurma. Waktu itu kondisinya paceklik. Kami pun tinggal di Madinah beberapa hari. Kami mengikuti pelaksanaan shalat Jum'at bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Beliau berdiri dengan bersandar/berpegangan pada tongkat atau busur, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan beberapa kata yang ringkas, baik lagi penuh barakah. Beliau bersabda: "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mampu – atau : tidak akan dapat mengerjakan - semua yang diperintahkan kepada kalian. Akan tetapi bertindaklah yang benar dan berilah kabar gembira” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1096]. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/212, Ibnu Khuzaimah 2/352 no. 1452, dan Al-Baihaqiy 3/206; semuanya dari jalan Syihaab. Sanad hadits ini hasan, dan dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud1/302.
َّ ام ِر ب ِْن َع ْب ِد َّ ُ أ َ ْخ َب َرنَا َع ْبد: قَاال،ٍس ِعيد َّ يز ْبنُ َع ْب ِد ِ َع ْن َع،ِ َع ْن أَ ِبي األَس َْود،ََّللاِ ْبنُ لَ ِهي َعة َِّللا َ ُ َوقُت َ ْي َبةُ ْبن،ي ِ أ َ ْخ َب َرنَا َع ْبد ُ ْال َع ِز ُّ َّللاِ األ ُ َو ْي ِس َّ َّ َ َ ُ ُّ ب ِْن " ص َرةٍ فِي يَ ِد ِه َ صلى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ سل َم َكانَ يَ ْخطبُ بِ ِم ْخ َ ي َّ ِ أ َّن النَّب، َع ْن أبِي ِه،الزبَي ِْر
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah Al-Ausiy dan Qutaibah bin Sa’iid, mereka berdua berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Lahii’ah, dari Abul-Aswad, dari ‘Aamir bin ‘Abdillah bin Az-Zubair, dari ayahnya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa berkhuthbah dengan tongkat pendek ditangannya [Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 1/181]. Sanad riwayat ini hasan. Ibnu Lahii’ah adalah seorang yang shaduuq, namun bercampur hapalannya setelah kitabnya terbakar. Haditsnya yang diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa’iid darinya adalah hasan, karena Qutaibah mengambil riwayat dari kitab ‘Abdullah bin Wahb dan kemudian mendengarnya dari Ibnu Lahii’ah. Adapun ‘Abdullah bin Wahb mendengar hadits Ibnu Lahii’ah sebelum kitab-kitabnya terbakar. Hadits di atas diriwayatkan juga oleh Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 2211, Abusy-Syaikh dalam Akhlaaqun-Nabiy hal. 128, dan Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1070; dari beberapa jalan, semuanya dari Ibnu Lahii’ah. Dalam hadits panjang tentang Jassaasah yang bercerita tentang Dajjal, disebutkan :
َينَة
َط ْيبَةُ يَ ْع ِني ْال َمدِينَة َ َه ِذ ِه،ُط ْيبَة َ َه ِذ ِه،ُط ْيبَة َ َه ِذ ِه،ص َرتِ ِه فِي ْال ِم ْنبَ ِر َ سلَّ َم َو َّ سو ُل ُ قَا َل َر َ ُصلَّى هللا َ علَ ْي ِه َو َ طعَنَ بِ ِم ْخ َ َِّللا
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda sambil menusuk-nusukkan tongkat pendeknya ke mimbar : “Inilah Thaibah, inilah Thaibah – yaitu Madiinah….” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2942].
ُ الز َبي ِْر َي ْخ ُّ ََّللاِ بْن َّ َ " َرأَيْتُ َع ْبد:َ قَال،َ َع ْن ِهش َِام ب ِْن ع ُْر َوة،ِ َع ِن الث َّ ْو ِري " صا ً َو ِفي َي ِد ِه َع، ُطب Dari Ats-Tsauriy, dari Hisyaam bin ‘Urwah, ia berkata : “Aku melihat ‘Abdullah bin Az-Zubair berkhuthbah sementara di tangannya memegang tongkat” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5659; sanadnya shahih].
َ َع ْن،َحدَّثَنَا َو ِكي ٌع ،ُ َوأَنِيبُوا إِلَى َربِ ُك ْم َوأَ ْس ِل ُموا لَه:يز " يَ ْق َرأ ُ َوه َُو َعلَى ْال ِم ْنبَ ِر ُ ُس ِم ْعت َ " :َ قَال،ط ْل َحةَ ب ِْن يَحْ يَى ِ ع َم َر بْنَ َع ْب ِد ْالعَ ِز " صا ً َوفِي يَ ِد ِه َع
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Thalhah bin Yahyaa, ia berkata : Aku mendengar ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz membaca ayat di atas mimbar : ‘Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya’ (QS. Az-Zumar : 54) – sedangkan di tangannya memegang tongkat [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 5274; sanadnya hasan].
َ سلَّ َم يَقُو ُم إِذَا َخ َ َ قُ ْلتُ ِلع:َ قَال،ٍَع ِن اب ِْن ُج َريْج َكانَ يَ ْعت َِمدُ َعلَ ْي َها، نَعَ ْم:َصا؟ قَال ً ب َعلَى َع َ ط َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ي ُّ ِ " أ َ َكانَ النَّب: ٍطاء " ا ْعتِ َمادًا
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : “Apakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam jika berkhuthbah beliau berdiri berpegangan tongkat ?”. Ia menjawab : “Ya, beliau memang bersandar kepadanya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5246].
Riwayat ini mursal, dan shahih hingga ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah. Maknanya, ‘Athaa’ berpendapat bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa memegang tongkat apabila berkhuthbah. Dijelaskan oleh Imam Syafi'i di dalam kitab al-Umm:
َ َوقَدْ قِ ْي َل َخ.صى َ سلَّ َم َكانَ إِذَا َخ َّ قَا َل ال ب ُم ْعت َِمدًا ُ ي َر ِح َمهُ هللاُ تَعَالَى) بَلَغَنَا أ َ َّن َر َ ط َ ب اِ ْعت َ َمدَ َعلَى َ ط َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ع َ ِس ْو َل هللا ُّ شافِ ِع َ ث َع ْن َع َّ الر ِب ْي ُع قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا ال ٍ ي قَا َل أ َ ْخبَ َرنا َ ِإب َْرا ِه ْي ُم َع ْن لَ ْي س ْو َل ُ َعلَى ُ طاءٍ أ َ َّن َر َّ أ َ ْخبَ َرنَا.ع ْنزَ ةٍ َو َعلَى قَ ْو ٍس َو ُك ُّل ذَالِكَ اِ ْعتِ َمادًا ُّ شافِ ِع َّ َّ َ َ َ َ ْ َ عنزَ تِ ِه اِ ْعتِ َمادًا ُ ب يَ ْعت َِمد ُ َعلى َ سل َم كانَ إِذا َخط َ صلى هللاُ َعل ْي ِه َو َ ِهللا Imam Syafi'i RA berkata: Telah sampai kepada kami (berita) bahwa ketika Rasulullah saw berkhuthbah, beliau berpegang pada tongkat. Ada yang mengatakan, beliau berkhutbah dengan memegang tongkat pendek dan anak panah. Semua benda-benda itu dijadikan tempat bertumpu (pegangan). Ar-Rabi' mengabarkan dari Imam Syafi'i dari Ibrahim, dari Laits dari 'Atha', bahwa Rasulullah SAW jika berkhutbah memegang tongkat pendeknya untuk dijadikan pegangan". (al-Umm, juz I, hal 272)
َ ق ال ُ َع ْن صا أَ ْوقَ ْو ٍس َ طا ِئ ِفي ِ قَا َل ُ ش ِهدْنا َ ِف ْي َها ال ُج ْم َعةَ َم َع َر َ ام ُمت ََو ِكئًا َعلَى ِ س ْو ِل ِ ش َع ْي َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َ ع َ هللا ٍ ب ب ِْن ُز َر ْي َ َسلَّ َم فَق
Dari Syu'aib bin Zuraidj at-Tha'ifi ia berkata ''Kami menghadiri shalat jum'at pada suatu tempat bersama Rasulullah SAW. Maka Beliau berdiri berpegangan pada sebuah tongkat atau busur". (Sunan Abi Dawud hal. 824). As Shan’ani mengomentari hadits terserbut bahwa hadits itu menjelaskan tentang “sunnahnya khatib memegang pedang atan semacamnya pada waktu menyampaikan khutbahnya”. (Subululus Salam, juz II, hal 59)
َ فَإِذَا فَ َر َ الم ْنبَ ِر َك ْي الَ َي ْع َب ث َّ اس ِب َوجْ ِه ِه الَ يَ ْلتَ ِفتُ َي ِم ْينًا َوالَ ِش َماالً َويُ ْش ِغ ُل يَدَ ْي ِه ِبقَائِ ِم ال ِ ْف أَ ْو العُ ْنزَ ةِ َو ِ سي ِ َّام ُم ْق ِبالً َعلَى الن َ َغ ال ُم َؤ ِذّنُ ق َ َ ض َع إِحْ دَا ُه َما َعلى اآلخ َِر َ َبِ ِه َما أ ْو ي Apabila muadzin telah selesai (adzan), maka khatib berdiri menghadap jama' ah dengan wajahnya. Tidak boleh menoleh ke kanan dan ke kiri. Dan kedua tangannya memegang pedang yang ditegakkan atau tongkat pendek serta (tangan yang satunya memegang) mimbar. Supaya dia tidak mempermainkan kedua tangannya. (Kalau tidak begitu) atau dia menyatukan tangan yang satu dengan yang lain". (Ihya' 'Ulum al-Din, juz I, hal 180)
Bagi ulama yang menganjurkan menggunakan tongkat ketika berkhutbah, menyatakan bahwa itu sifatnya anjuran. Artinya, tidak ada hubungannya dengan keabsahan khutbah. Namun ada saran lain dari mereka untuk posisi tangan. Kita simak keterangan as-Syafii,
وإن ترك االعتماد أحببت له أن يسكن يديه وجميع بدنه وال يعبث بيديه إما أن يضع اليمني على اليسرى وإما أن يسكنهما وإن لم يضع إحداهما على األخرى وترك ما أحببت له كله أو عبث بهما أو وضع اليسرى على اليمنى كرهته له وال إعادة عليه
Jika khatib tidak bersandar dengan memegang apapun, saya menganjurkan agar tangannya diam, demikian pula seluruh badannya. Dan tidak main-main dengan tangannya. Bisa dengan dia letakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Atau dia lepaskan dan diam. Namun jika meninggalkan semua yang saya anjurkan, atau main-main tangan atau meletakkan tangan kiri di atas tangan kanan, maka saya tidak menyukainya, meskipun khutbahnya tidak perlu diulang (sah). (al-Umm, 1/238). Hikmah dianjurkannya memegang tongkat adalah untuk mengikat hati (agar lebih konsentrasi) dan agar tidak mempermainkan tangannya. Demikian dalam kitab Subulus Salam, juz II, hal 59). Jadi, seorang khatib disunnahkan memegang tongkat saat berkhutbah. Tujuannya, selain mengikuti jejak Rasulullah SAW juga agar khatib lebih konsentrasi (khusyu’) dalam membaca khuthbah. Asy-Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Al-Bassaam rahimahullah berkata:
، أن ذلك أربط لقلب الخطيب: - وهللا أعلم- الحكمة في ذلك.قوس أو عصا ٍ يدل الحديث على أنه يندب للخطيب متوكئا على ، وأبعد له عن العبث بيده،وأثبت لقيامه “Hadits tersebut menunjukkan dianjurkannya bagi khathiib untuk bersandar/memegang busur panah atau tongkat. Hikmah dari anjuran tersebut – wallaahu a’lam – adalah hal tersebut lebih mengikat hati khathiib, lebih mengokohkan berdirinya, lebih menjauhkan baginya dari bermain-main dengan tangannya” [Taudliihul-Ahkaam, 2/624]. Asy-Syaikh Yahyaa Al-Hajuuriy hafidhahullah berkata:
من السنة أن يعتمد الخطيب حال خطبته قائ ًما على عصا “Termasuk sunnah adalah khathiib bersandar pada tongkat saat berdiri dalam khuthbahnya” [AhkaamulJum’ah]. Adapun perkataan sebagian ulama bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah bersandar pada tongkat setelah dibuatkan mimbar untuk beliau, maka ini tidak benar, karena riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa tetap bersandar pada tongkat atau yang sejenisnya saat berkhuthbah di atas mimbar. Seandainya tidak ada tongkat, maka apapun yang dapat dijadikan pegangan untuk mengokohkan berdirinya khathiib tetap disyari’atkan (seperti berpegang pada tiang, tembok, atau yang lainnya). Dalilnya adalah:
َ َع ْن َع، َسلَ ْي َمان ُش ِه ْدت َّ ع ْن َجا ِب ِر ب ِْن َع ْب ِد َّ و َحدَّثَنَا ُم َح َّمد ُ ْبنُ َع ْب ِد َ :َ قَال،َِّللا ُ َحدَّثَنَا َع ْبد ُ ْال َم ِل ِك ْبنُ أَ ِبي، َحدَّثَنَا أ َ ِبي،َّللاِ ب ِْن نُ َمي ٍْر َ ، ٍطاء ْ ْ ْ َ َ َّ ُ َ َ ً َ َ َ َ َ َ َ ُ َ َّ سو ِل ام ُمت ََو ِكئا َعلى ُ َم َع َر َّ فبَدَأ بِال،ِصالة َ يَ ْو َم ال ِعيد َّ سل َم ال َ صلَّى هللاُ َعل ْي ِه َو َ َِّللا ٍ صالةِ ق ْب َل الخطبَ ِة بِغَي ِْر أذ َ ث َّم ق،ٍان َوال إِقا َمة .............ِب َال ٍل Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, dari ‘Athaa’, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku hadir bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Ied. Beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamat. Kemudian beliau berdiri dengan bersandar kepada Bilaal..... “ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 885 (4)].
َّ عبَ ْي ِد ، ٍَّللاِ ب ِْن أَن َِس ب ِْن َمالِك ُ ُص ْبن ُ َع ْن، َحدَّثَنِي أ َ ِخي:َ قَال،َُحدَّثَنَا إِ ْس َما ِعيل ُ أ َ ْخبَ َرنِي َح ْف:َ قَال،ٍس ِعيد َ ،سلَ ْي َمانَ ب ِْن بِ َال ٍل َ ع ْن يَحْ يَى ب ِْن َّ ي َّ س ِم َع َجا ِب َر بْنَ َع ْب ِد سلَّ َم َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو ِ َّللاِ َر َ ُأَنَّه َ ي ُّ " َكانَ ْال َمس ِْجد ُ َم ْسقُوفًا َعلَى ُجذُوعٍ ِم ْن ن َْخ ٍل فَ َكانَ النَّ ِب:ُ َيقُول،َّللاُ َع ْن ُه َما َ ض ْ ْ ْ َّ ْ ْ َ َ َ َ ُ َ َّ ً َ ْ ْ َّ َ َ ص لى ِ ص ْو ُ فل َّما،ب يَقو ُم إِلى ِجذعٍ ِمن َها َ إِذَا َخط َ صنِ َع لهُ ال ِمنبَ ُر َو َكانَ َعل ْي ِه ف َ ي َ ص ْوتا َك َ ِس ِم ْعنَا ِلذلِكَ ال ِجذع ِ ت ال ِعش ُّ َِار َحتى َجا َء النب ْ س َكن " َت َ سلَّ َم فَ َو َ َض َع يَدَهُ َعلَ ْي َها ف َ هللاُ َعلَ ْي ِه َو Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku saudaraku, dari Sulaimaan bin Bilaal, dari Yahyaa bin Sa’iid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Hafsh bin ‘Ubaidillah bin Anas bin Maalik, bahwasannya ia mendengar Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa berkata : “Dahulu masjid (Nabawi) tiang-tiangnya dibuat dari batang-batang pohon kurma. Apabila Nabi shallallaahu alaihi wa sallam berkhuthbah, maka beliau berdiri (berpegangan) pada salah satu batangnya. Ketika beliau telah dibuatkan mimbar dan beliau tengah berkhuthbah dengan berdiri di atasnya,maka kami mendengar suara dari batang kayu tersebut (seperti tangisan) bagaikan suara onta yang hampir beranak. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam datang menghampirinya kemudian meletakkan tangan beliau pada batang kayu tersebut hingga akhirnya batang kayu itu diam (berhenti menangis)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3585]. Dengan demikian warga kita mengerti bahwa tuduhan BID’AH yang dialamatkan kepada kita itu menjadi batal dalam hukum, karena kuatnya dalil-dalil syar’i yang mendukung kebenaran-kebenaran amaliyah kita tersebut. Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda