Apa yg harus dilakukan saat kita sdang bertamu,lalu disiapkan hidangan oleh tuan rumah padahal kita sedang berpuasa sunnah? Di dalam Minhajul Muslim disebutkan bahwa termasuk adab dalam bertamu adalah hendaknya tidak menunda-nunda dengan alasan karena sedang berpuasa, akan tetapi hendaknya bersegera. Jika yang mengundang menjadi gembira dan senang karena tamunya mau memakan hidangannya, maka hendaknya ia berbuka. Karena menggembirakan seorang muslim adalah termasuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika ia tetap bersikukuh untuk meneruskan puasanya maka yang diperintahkan adalah mendoakan, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa salllam: “Jika kalian mendapatkan undangan hendaknya menghadirinya, jika dalam keadaan puasa hendaknya ia mendoakan yang mengundangnya dan jika memutuskan berbuka hendaknya ia memakan jamuannya”. (HR Muslim) Diriwayatkan dari Anas radhiyaulahu anhu dia berkata : Suatu ketika Nabi shalallahu alaihi wa sallam berkunjung ke rumah Ummu Sulaim, kemudian ia menghidangkan kurma dan samin kepada beliau, lalu beliau bersabda:" simpan kembali samin dan kurmamu,karena aku sedang berpuasa." Kemudian Nabi shalallahu alaihi wa sallam berdiri di salah satu ruangan dalam rumah itu untuk melaksanakan shalat sunnah. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mendoakan kebaikan untuk Ummu Sulaim dan keluarganya. Kata Ummu Sulaim, Ya Rasulullah! Saya mempunyai permintaan khusus. Rasulullah shalallahu alaihi wa salllam bertanya, apa permintaanmu? Ummu Sulaim mengatakan,doakan Anas,pelayan Anda. Kata Anas: maka Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam ,tidaklah meninggalkan kebaikan akherat dan dunia melainkan beliau mendoakannya untuk saya. Beliau mendoakan saya, Ya Allah! Karuniailah dia harta,anak dan keberkahan! Dengan doa itu saya kemudian menjadi orang Anshar yang terkaya dan saya diberitahu oleh Umainah,anak perempuan saya bahwa ketika Al Hajjaj (panglima Abdul Malik bin Marwan,dari dinasti Umayyah) menyerbu Bashrah,keturunan saya yang terbunuh lebih dari 120 orang. (HR Bukhari)
Demikianlah sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wa salllam. Maka seorang tamu yang dalam keadaan berpuasa mendapatkan pilihan apakah ia ingin tetap meneruskan puasanya atau ia memilih berbuka. Tidak ada cela antara keduanya, orang yang berbuka ia akan menjadikan saudaranya senang dan itu adalah baik.
Di dalam Minhajul Muslim disebutkan bahwa termasuk adab dalam bertamu adalah hendaknya tidak menundanunda dengan alasan karena sedang berpuasa, akan tetapi hendaknya bersegera. Jika yang mengundang menjadi gembira dan senang karena tamunya mau memakan hidangannya, maka hendaknya ia berbuka. Karena menggembirakan seorang muslim adalah termasuk amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jika ia tetap bersikukuh untuk meneruskan puasanya maka yang diperintahkan adalah mendoakan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Jika kalian mendapatkan undangan hendaknya menghadirinya, jika dalam keadaan puasa hendaknya ia mendoakan yang mengundangnya dan jika berbuka hendaknya memakan jamuannya”. (HR Muslim) Demikianlah sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Maka seorang tamu yang dalam keadaan berpuasa mendapatkan pilihan apakah ia ingin tetap meneruskan puasanya atau ia memilih berbuka. Tidak ada cela antara keduanya, orang yang berbuka ia akan menjadikan saudaranya senang dan itu adalah baik. Wallahu’alam. Sumber: majalah ar-Risalah no 56/Tahun V Muharam 1427/Februari 2006 hal 25-26.
HIJAZ.ID Silaturahim merupakan salah satu aktivitas yang dianjurkan. Ada beberapa riwayat hadits yang menyebutkan bahwa silaturahim bisa menjadi salah satu sebab terbukanya pintu rezeki. Maka, memperbanyak bertamu dengan niat silaturahim menjadi suatu perkara yang tidak boleh ditinggalkan.
Terkait hal itu, seringkali ada yang bertanya mengenai kondisi orang yang bertamu yang kebetulan sedang dalam keadaan shaum sunnah, apakah puasanya dibatalkan ataukah dilanjutkan? Berikut ini penjelasan dari Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ْ َص ِل َوإِ ْن َكانَ ُم ْف ِط ًرا فَ ْلي طعَ ْم َ ُصائِ ًما فَ ْلي َ َى أ َ َحدُ ُك ْم فَ ْلي ُِجبْ فَإِ ْن َكان َ إِذَا دُ ِع “Jika salah seorang di antara kalian diundang makan, maka penuhilah undangan tersebut. Jika dalam keadaan berpuasa, maka do’akanlah orang yang mengundangmu. Jika dalam keadaan tidak berpuasa, santaplah makanannya.” (HR. Muslim no. 1431) Manfaatnya ada tiga jika seseorang membatalkan puasa sunnah saat diundang makan: 1. Menyenangkan tuan rumah yang mengundang
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ُِف َع ْنه ُ َّللا تَعَالَى ٌ س ُر ِ ََّّللا تَعَالَى أ َ ْنفَعُ ُه ْم ِللن ِ َّأ َ َحبُّ الن ُ أ َ ْو ت َ َكش, ور تُد ِْخلُهُ َعلَى ُم ْس ِل ٍم ِ َّ َوأ َ َحبُّ األ َ ْع َما ِل إِلَى, اس ِ َّ اس إِلَى ف فِي َهذَا َ ُ أ َ ْو ت َْط ُرد, ضي َع ْنهُ دَ ْينًا ِ أ َ ْو ت َ ْق, ًُك ْربَة َ ي ِم ْن أ َ ْن أ َ ْعت َ ِك َّ َخ فِي َحا َج ٍة أ َ َحبُّ إِل َ َوأل َ ْن أ َ ْمش, ع ْنهُ ُجو ًعا ِ َ ِي َم َع أ ش ْه ًرا َ ْال َمس ِْج ِد يَ ْعنِي َمس ِْجدَ ْال َمدِينَ ِة “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling memberikan manfaat bagi manusia. Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beri’tikaf di masjid ini -masjid Nabawi- selama sebulan penuh.” (HR. Thabrani di dalam AlMu’jam Al-Kabir no. 13280, 12: 453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana disebutkan dalamShahih Al-Jaami’ no. 176). Imam Nawawi berkata, jika sampai orang yang mengundang merasa tidak suka jika orang yang diundang tetap berpuasa, maka hendaklah yang diundang membatalkan puasanya. Jika tidak ada perasaan seperti itu, maka tidak mengapa tidak membatalkan puasa saat itu. Lihat penjelasan Imam Nawawi ini dalam Syarh Shahih Muslim, 9: 210. Ibnu Taimiyah dalam Fatawa Al-Kubra (5: 477), وأعدل األقوال أنه إذا حضر الوليمة وهو صائم إن كان ينكسر قلب الداعي بترك األكل فاألكل أفضل وإن لم ينكسر قلبه فإتمام الصوم أفضل وال ينبغي لصاحب الدعوة اإللحاح في الطعام للمدعو إذا امتنع فإن كال األمرين جائز فإذا الزمه بما ال يلزمه كان من نوع المسألة المنهى عنها “Pendapat yang paling baik dalam masalah ini, jika seseorang menghadiri walimah(undangan makan) dalam keadaan ia berpuasa, jika sampai menyakiti hati yang mengundang karena enggan untuk makan, maka makan ketika itu lebih utama. Namun jika tidak sampai menyakiti hatinya, maka melanjutkan puasa lebih baik. Akan tetapi, tidaklah pantas bagi tuan rumah memaksa yang diundang
untuk makan ketika ia enggan untuk makan. Karena kedua kondisi yang disebutkan tadi sama-sama boleh. Jika jadinya memaksa pada hal yang sebenarnya bukan wajib, itu merupakan bagian dari pemaksaan yang terlarang.” 2. Lebih menyembunyikan amalan sunnah (terjaga keikhlasan) Ma’ruf Al-Karkhi yang terkenal dengan kezuhudannya ditanya, “Bagaimana engkau berpuasa?” Lantas Ma’ruf memutar-mutar jawaban sambil mengatakan, “Puasa Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti ini dan seperti itu. Puasa Daud seperti ini dan seperti itu.” Yang bertanya terus mendesak agar Ma’ruf memberikan jawaban. Ma’ruf kemudian berkata, “Di pagi hari aku berpuasa. Jika ada yang mengundangku makan, maka aku makan. Aku tidak mau mengatakan aku sedang puasa.” (Siyar A’lam AnNubala’, 9: 341) Apa alasan Ma’ruf tidak mau mengungkap bahwa ia berpuasa? Biar amalan puasa sunnahnya terjaga. Subhanallah …. Sungguh, para ulama masa silam benar-benar menjaga keikhlasannya dalam beramal. Ibrahim bin Adham berkata, “Janganlah engkau bertanya pada saudaramu apakah ia berpuasa atau tidak. Jika ia memberi jawaban bahwa ia berpuasa, dirinya akan berbangga (ujub). Jika jawabannya bahwa ia tidak berpuasa, hatinya akan bersedih. Dua-dua ini merupakan tanda riya’. Pertanyaan seperti itu hanya menelanjangi dan membuka kesalahannya (aibnya) pada yang bertanya.” Ibrahim bin Adham juga ketika diundang makan dan ia dalam keadaan puasa, ia tetap makan (membatalkan puasanya) dan ia tidak menyatakan, “Aku sedang berpuasa.” (Ta’thir Al-Anfas, hlm. 236) 3. Mendahulukan yang wajib dari yang sunnah Sebagian ulama menyatakan menghadiri undangan makan adalah wajib, tidak khusus untuk walimah nikah seperti pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Jika puasa yang
dilakukan masih puasa sunnah apalagi masih ada waktu lain untuk melakukannya, maka mendahulukan yang wajib lebih utama. Wallahu a’lam bish shawab. Referensi utama: Siyar A’lam An-Nubala. Cetakan kedua, tahun 1435 H. Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabiy. Penerbit Muassasah Ar-Risalah. Ta’thir Al-Anfas min Hadits Al-Ikhlas. Cetakan pertama, tahun 1421 H. Dr. Sayib bin Husain Al-‘Afaniy. Penerbit Maktabah Mu’adz bin Jabal.