HKm, Dari Aspek Konservasi Tanah dan Air Ditulis Oleh administrator
Senin, 21 April 2008
IMPLEMENTASI HKM DI PROVINSI LAMPUNG DITINJAU DARI ASPEK KONSERVASI TANAH DAN AIR Oleh: Irwan Sukri Banuwa (WATALA/Universitas Lampung) Wacana tentang pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan telah ada pada dekade 1970 dan menjadi tema penting dalam Kongres Kehutanan Dunia di Jakarta pada tahun 1978 dengan tema "Forest For People" yang menekankan persoalan kehutanan untuk kesejahteraan masyarakat. Wacana ini terus berkembang karena pendekatan pengelolaan hutan berbasis negara dinilai gagal. Kegagalan pendekatan berbasis negara ini ditandai dengan terus meningkatnya kerusakan hutan setiap tahun. Data menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan terus meningkat dari tahun ke tahun, pada periode tahun 1985-1997 kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,7 juta hektar per tahun (FWI/GFW, 2001), dan pada periode tahun 19972000 kerusakan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. (Badan Planologi Departemen Kehutanan RI, 2003), dan masyarakat sekitar hutan tetap tidak sejahtera. Era reformasi yang dimulai tahun 1997, sebenarnya merupakan loncatan sejarah bagi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lestari dan berkeadilan di Indonesia. Paradigma baru pembangunan kehutanan ini memberi arah mengenai praktik pengelolaan hutan yang berorientasi kepada kelestarian hutan dan berbasis masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan. Salah satu bentuk paradigma baru ini adalah terbukanya akses masyarakat terhadap hutan melalui kebijakan Hutan Kemasyarakatan (HKm) dengan berbagai istilahnya. Terlepas dari adanya pro-kontra tentang kebijakan HKm, Provinsi Lampung termasuk provinsi terdepan dalam menerimannya. Kebijakan HKm di Provinsi Lampung mulai diimplementasikan sejak tahun 1998 melalui SK Menhutbun No. 677/Kpts-/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. (Perubahan kebijakan tentang HKm terus terjadi, SK.No.677/Kpts-II/1998, kemudian SK.No.865/Kpts-II/1999, SK.No.31/Kpts-II/2001 dan terakhir P. 37/Menhut-II/2007). Izin HKm pertama diberikan kepada dua kelompok masyarakat di kawasan hutan Register 19 Gunung Betung pada tahun 2000. Pada tahun 1999 melalui SK No.865/Kpts-II/1999 kebijakan ini menekankan pada pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan negara. Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan HKm pihak kehutanan di Propinsi Lampung menetapkan pencadangan areal HKm seluas ± 291.727 ha yang meliputi Hutan Lindung seluas 198.470 ha, Suaka Alam/Taman nasional seluas 59.627 ha dan Hutan Produksi seluas 33.630 ha yang tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota di Propinsi Lampung (Watala, 2004). Pada umumnya wilayah kawasan hutan tersebut
telah rusak atau telah diusahakan oleh masyarakat sehingga secara teknis menunjukkan bahwa fungsi hutan tersebut tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya (Rahmat, 2002 dalam Watala, 2004). Kebijakan HKm di tahun 1999 ini, mendapat banyak kritik, terutama dari kalangan enviromentalist karena diperbolehkannya Hutan Suaka Alam/Taman Nasional untuk tempat penyelenggaraan HKm. Implementasi HKm di Lampung menimbulkan perbedaan persepsi dan interpretasi ditingkat masyarakat maupun pemerintahan. Perbedaan ini menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif terhadap keberadaan kawasan hutan di Lampung Di beberapa tempat seperti di Kecamatan Sumberjaya dan Way Tenong Kabupaten Lampung Barat implementasi kebijakan HKm dinilai mampu mendorong tumbuhnya kelembagaan masyarakat pengelola hutan yang mampu menjaga hutan alam yang masih tersisa, berupaya merehabilitasi kawasan hutan yang telah rusak serta membangun komunikasi yang erat dengan pihak kehutanan. Di Register 19 Gunung Betung, implementasi kebijakan HKm memunculkan konflik baru antara masyarakat dengan pihak kehutanan akibat ketidaksepakatan mengenai sistem pengelolaan areal HKm (masyarakat ingin menggantikan pohon reboisasi dengan tanaman yang lebih memberikan manfaat sementara pihak kehutanan justru tidak menginginkan hal tersebut) yang pada akhirnya pihak kehutanan keberatan untuk memberikan izin baru HKm. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya kebutuhan untuk mendorong upaya-upaya reformulasi kebijakan kehutanan terutama substansi dan proses kebijakan. Di sebagian wilayah, implementasi HKm justru menimbulkan konflik baik horisontal maupun vertikal. Bahkan banyak oknum yang memanfaatkan kebijakan HKm untuk mencari keuntungan. Aspek lain yang perlu disikapi dalam hal implementasi HKm di Provinsi Lampung saat ini adalah Konservasi tanah dan air. Berdasarkan hasil pengamatan penulis pada saat Studi implementasi HKM di Provinsi Lampung, khususnya di Kabupaten Tanggamus (Kecamatan Tanggamus, Pulau Panggung, dan Ulu Belu), bersama Tim Watala pada tahun 2006, tampak bahwa 100 % responden mengusahakan HKm pada areal dengan kemiringan landai hingga sangat curam, sedangkan perlakuan konservasi tanah dan air yang dilakukan oleh responden sangat minimal dengan rincian: pembuatan guludan 11,11 %, penanaman menurut kontur 65,00 %, pembuatan rorak 11,11 %, dan pembuatan teras 13,33 %. Ditinjau dari kaidah konservasi tanah dan air, upaya konservasi tanah yang dilakukan ini belum atau tidak mampu untuk menekan besarnya erosi yang terjadi, karena wilayah studi didominasi oleh lahan dengan topografi curam hingga sangat curam (kemiringan lereng > 20%). Hal ini diperkuat oleh pendapat Arsyad (2000), yang menyatakan bahwa pada lahan dengan kemiringan lereng lebih dari 12 %, maka pembuatan teras bangku akan mampu menekan erosi hingga di bawah nilai erosi yang masih dapat dibiarkan. Artinya tindakan konservasi tanah dan air tidak akan fektif apabila kaidah-kaidah konservasi tanah dan air tidak diperhatikan. Bukti lain menunjukkan bahwa rata-rata erosi yang terjadi di DAS Sekampung Hulu (Meliputi Kecamatan Pulau Panggung dan Ulu Belu) pada tahun 2003 sebesar 67,50
ton/ha/th (Nippon Koei Co. Ltd., 2003), sedangkan pada tahun 2007 rata-rata erosi telah meningkat sebesar 15,54 ton/ha/th menjadi lebih kurang 83,04 ton/ha/th (Banuwa, 2007). Erosi yang dipercepat ini akan menimbulkan konsekuensi kepada banyak aspek baik pada tempat kejadian erosi (on site) maupun pada lokasi erosi tersebut di endapkan (off site), belum lagi kerusakan fungsi hidroorologis hutan akan sangat terganggu. Berdasarkan kondisi ini jelas bahwa implementasi HKm masih belum mampu menghasilkan hutan yang lestari dengan berbagai fungsinya. Berdasarkan uraian di atas, sangat logis apabila kebijakan HKm saat ini direvitalisasi. Revitalisasi kebijakan HKm ini sangat sesuai dengan program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan (PPK) yang telah dicanagkan oleh dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 11 Juni 2005 yang lalu, dalam rangka pembangunan berkelanjutan. Menurut hemat penulis, salah satu bentuk revitalisasi kebijakan HKm yang perlu diperkuat adalah penerapan agroteknologi yang tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya lahan dan hutan (salah satunya adalah penerapan konservasi tanah dan air) yang dapat diterima (acceptable) dan dikembangkan (replicable) oleh masyarakat pengelola HKm dengan pengetahuan dan sumberdaya lokal yang mereka miliki. Pemutakhiran Terakhir ( Senin, 09 Juni 2008 )
< Sebelumnya
Berikutnya >