BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cairan tubuh total secara umum dibagi ke dalam 2 kompartemen utama, yaitu cairan intraseluler dan cairan ekstraseluler. Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat beberapa kation dan anion yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Ada dua kation yang penting, yaitu natrium dan kalium. Keduanya mempengaruhi tekanan osmotik cairan intaraseluler dan ekstraseluler dan berhubungan langsung dengan fungsi sel. Kation utama dalam cairan ekstraseluler adalah natrium dan kation utama dalam cairan intrasel adalah kalium. Cairan dan elektrolit menciptakan lingkungan intraseluler dan ekstraseluler bagi semua sel dan jaringan tubuh, sehingga dapat terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit jika terdapat penyakit dalam tubuh. Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Konsentrasi normal dari Na+ dalam serum adalah 135-145 meq/L. Kadar natrium dalam plasma bergantung pada hubungan antara jumlah natrium dan air pada cairan tubuh. Kadar yang tidak seimbang antara natrium dan air akan berakibat pada terjadinya kondisi hipernatremia dan hiponatremia. Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma kurang dari dari 135 mEq/L.1 Hiponatremia merupakan gangguan elektrolit yang paling sering dijumpai di rumah sakit yaitu sebanyak 15-20 %.2 Berdasarkan konsentrasinya hiponatremia terbagi atas tiga yaitu, hiponatremi ringan, sedang dan berat. Insidensi hiponatremia ringan ( natrium plasma < 135 mEq/L) yaitu sebanyak 15-22 %, hiponatremia sedang ( natrium plasma < 130 mEq/L) 1-7 % dan hiponatremia berat ( natrium plasma < 120 mEq/L) yaitu sekitar < 1% dari pasien yang berobat ke rumah sakit.3 Hiponatremia ringan-sedang biasanya bersifat asimptomatik. Kondisi hiponatremi penting untuk diketahui karena (1) hiponatremia akut berat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas, (2) peningkatan mortalitas pada pasien yang memiliki penyakit dengan kondisi
1
hiponatremia dan (3) terapi yang terlalu cepat pada pasien hiponatremia kronik dapat menyebabkan kerusakan neuron dan kematian. 1.1
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma lebih rendah dari 135 mEq/L. Hiponatremi dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok: 1. Berdasarkan Osmolalitas Plasma a. Hiponatremia Isotonik Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu 280-285 mOsm/Kg/H2O.
b. Hiponatremia Hipotonik Jika konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu < 280 mOsm/Kg/H2O. Hiponatremia hipotonik selalu menggambarkan ketidakmampuan ginjal dalam mengekskresikan cairan yang masuk. Berdasarkan jumlah cairan intravaskular hiponatremia hipotonik dapat dibagi menjadi 3 yaitu: 1. Hipovolemik Hiponatremia hipotonik hipovolemik dapat terjadi akibat kehilangan natrium renal atau ekstrarenal, dan penyebab kehilangan dapat dibedakan berdasarkan konsentrasi natrium urin. Pada kondisi ini terjadi penurunan jumlah CES dan deplesi solut. Hiponatremia dengan deplesi volume dapat terjadi pada berbagai keadaan. Gejala klinis dari deplesi volume yaitu penurunan tekanan darah ortostatik, peningkatan denyut nadi, keringnya membran mukosa dan turgor kulit menurun. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan peningkatan blood urea nitrogen (BUN), kreatinin dan peningkatan asam urat.
Gangguan gastrointestinal Diare dan muntah yang berlebihan dan tidak langsung diberi cairan pengganti dapat menyebabkan kehilangan sejumlah cairan dan natrium. Pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan
3
penurunan natrium urin pada keadaan diare, tetapi mungkin dapat meningkat pada pasien dengan muntah yang berlebihan sehingga pemeriksaan laboratorium yang baik dalam menggambarkan deplesi volume yaitu pemeriksaan klorida.
Keringat yang berlebihan Aktifitas fisik yang berlebihan seperti maraton dapat menyebabkan deplesi volume, kehilangan natrium dan klorida pada keringat yang berlebihan.
Penggunaan diuretik yang berlebihan Menurut literatur, 73 % kasus hiponatremi disebabkan karena penggunaan thiazid, 20% karena kombinasi thiazid dengan antikaliuretik dan 7 % disebakan oleh furosemid.
Cerebral salt wasting syndrome (CSWS) CSWS merupakan suatu sindroma yang terjadi setelah prosedur neurosurgikal ataupun setelah terjadi trauma kepala. Pada kondisi ini AVP disekresikan karena stimulasi baroresptor.
Defisiensi mineralokortikoid Pada kondisi ini terjadi kegagalan dalam menekan pelepasan AVP akibat hipoosmolalitas.
2. Euvolemik Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut pemeriksaan osmolalitas urin. Hal ini terjadi karena intake cairan yang berlebihan sedangkan ginjal tidak mampu untuk mengeksresikan. Hal ini dapat terjadi pada keadaan dibawah ini:
4
SIADH (syndrome inappropiate anti diuretic hormon): Konsentrasi natrium yang rendah karena kelenjar hipofisis di dasar otak mengeluarkan terlalu banyak hormon antidiuretik.
Sindroma nefrogenik.
Defisiensi glukokortikoid.
Hipotiroid : Pada hipotiroid terjadi peningkatan resistensi vaskular dan penurunan curah jantung yang menyebakan gangguan perfusi ginjal.
Keringat yang berlebihan.
Intake cairan yang rendah.
Polidipsia primer : Polidipsia primer terjadi pada 20 % pasien psikiatrik khususnya skizofrenia. Pada kondisi ini intake cairan berlebihan tidak diikuti dengan diuresis.
3. Hipervolemik Hiponatremia hipotonik hipervolemik terjadi akibat adanya peningkatan total cairan tubuh yang selanjutnya dapat dibedakan dengan pemeriksaan konsentrasi natrium pada urin. Dapat terjadi karena kegagalan ginjal dalam mengkeksresikan cairan. Pada pasien ini ditemukan edema karena retensi cairan dan natrium.
Gagal jantung Hiponatremia hipervolemik pada gagal jantung pada awalnya terjadi akibat penurunan curah jantung dan tekanan darah, yang menstimulasi vasopressin, katekolamin dan renin-angiotensinaldosteron. Kadar vasopressin yang meningkat telah dilaporkan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri sebelum gagal jantung muncul. Pada pasien gagal jantung yang memburuk, berkurangnya stimulasi mekanoreseptor di ventrikel kiri, sinus karotis, arkus aorta dan arteriol aferen ginjal memicu peningkatan aktivitas simpatis, system RAA, dan pelepasan vasopressin tanpa rangsang osmotik, ditengah-tengah berbagai neurohormon lain. Walaupun total air tubuh meningkat, peningkatan aktivitas simpatis ikut menyebabkan
5
retensi natrium dan air. Pelepasan vasopresin yang bertambah menyebabkan bertambahnya jumlah saluran akuaporin di duktus koligentes ginjal. Ini memacu retensi air yang bersifat abnormal dan hiponatremia hipervolemik.
Sirosis Hiponatremi yang terjadi pada pasien sirosis dikarenakan gagal jantung, pelepasan AVP.
Sindroma nefrotik, gagal ginjal akut dan kronik.
c. Hiponatremia hipertonik Jika konsentrasi natrium plasma <135 mEq/L dan osmolalitas plasma normal yaitu >285 mOsm/Kg/H2O. Contoh : hiperglikemia dan pemberian cairan hipertonik seperti manitol.
2. Berdasarkan konsentrasi natrium plasma: Hiponatremia ringan Konsentrasi natrium plasma < 135 mEq/L Hiponatremia sedang Konsentrasi natrium plasma < 130 mEq/L Hiponatremia berat Konsentrasi natrium plasma < 120 mEq/L.2
3. Berdasarkan konsentrasi ADH a. Hiponatremia dengan ADH meningkat Peningkatan ADH dikarenakan deplesi volume sirkulasi efektif yang menyebabkan Na keluar berlebihan dari tubuh yaitu ginjal (diuretik, saltlosing nephropaty, hipoaldosteron) dan non ginjal seperti diare. Peningkatan ADH tanpa disertai deplesi volume misalnya pada SIADH. b. Hiponatremia dengan supresi ADH fisiologis Polidipsia primer atau gagal ginjal merupakan keadaan dimana eksresi cairan lebih rendah dibanding asupan cairan yang menimbulkan respons fisiologis untuk supresi sekresi ADH.
6
4. Berdasarkan waktu a. Hiponatremia akut Disebut akut bila kejadian hiponatremi berlangsung kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga hiponatremi simptomatik atau hiponatremi berat. b. Hiponatremia kronik Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat yaitu lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran ataupun kejang. Gejala yang terjadi seperti mengantuk dan lemas. Kelompok ini disebut juga hiponatremi asimptomatik atau hiponatremi ringan.
2.2 Patofisiologi hiponatremia Osmolalitas tubuh diatur oleh sekresi arginin vasopresin (AVP) dan rangsangan haus. AVP merupakan hormon antidiuretik yang dihasilkan oleh hipotalamus dan di transportasikan melalui axon ke hipofisis posterior. AVP berperan dalam mengatur homeostasis. Aktivasi reseptor AVP menyebabkan ekskresi cairan berkurang, regulasi AVP juga diatur oleh baroresptor di sistem saraf pusat dan sistem kardiopulmonal. Natrium serum merupakan hasil bagi dari jumlah natrium dengan volume plasma. Osmolalitas plasma normal yaitu 280-285 mOsm/Kg/H20. 1. Hiponatremia Isotonik Pada kondisi ini jumlah natrium plasma sebenarnya dalam keadaan normal. Isotonik hiponatremi terjadi pada keadaan hiperlipidemia ataupun hiperproteinemia. Plasma tersusun atas cairan dan solut (zat terlarut). Hiperlipidemia dan hiperproteinemia meningkatkan solut plasma dan menurunkan jumlah cairan plasma, sehingga pada keadaan ini terjadi pseudohiponatremi. Dimana denominator dalam penghitungan jumlah natrium plasma menjadi lebih tinggi sehingga kadar natrium plasma menjadi turun.
7
2. Hiponatremia Hipotonik Osmolalitas antara cairan intraseluler sama dengan cairan ekstraseluler. Pada keadaan hiponatremi hipotonik, jumlah cairan plasma lebih besar dibandingkan jumlah solut sehingga osmolalitas plasma menjadi turun. a) Hiponatremia Hipotonik Euvolemik Hiponatremia hipotonik euvolemik berhubungan dengan adanya kelompok sindroma klinis yang selanjutnya harus dibedakan menurut pemeriksaan osmolalitas urin. Kondisi euvolemik dengan osmolalitas urin <100 mOsm/kg menunjukkan kondisi seperti polidipsia psikogenik dan low-solute potomania. Polidipsia psikogenik (polidipsia primer) muncul paling sering pada pasien skizofrenik, terlihat dari adanya intake air yang berlebihan, dan biasanya melebihi 10 l/hari. Kondisi euvolemik dipertahankan dengan supresi osmotik terhadap pelepasan AVP dan eksresi ginjal terhadap H2O bebas. Sehingga, urin terdilusi dan osmolalitas rendah (biasanya < 100 mOsm/kg). Mekanisme hiponatremia masih belum jelas, namun dapat berhubungan dengan adanya reduksi osmotik threshold
untuk
pelepasan AVP dan disregulasi stimulus osmotik terhadap rangsangan haus. Terlebih lagi, pada penggunaan antipsikotik tipikal dapat memperburuk polidipsia, sehingga lebih dianjurkan penggunaan antipsikotik atipikal pada pasien seperti ini.
8
Low-solute potomania disebabkan adanya intake yang berlebihan terhadap cairan rendah solut yang menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik. Contohnya adalah konsumsi alkohol yang berlebihan yaitu bir, yang rendah solut (seringkali < 5 mEq/L dari natrium). Cairan rendah solut dapat menyebabkan dan memperburuk hiponatremia terutama pada pasien sirosis alkoholik, dimana seringkali mengalami peningkatan sirkulasi AVP dan memiliki insufisiensi ginjal. Meskipun begitu potomania sendiri seringkali tidak sufisien untuk mengakibatkan kondisi hiponatremia, sehingga adanya disregulasi dan gangguan pada ekskresi ginjal dibutuhkan untuk dapat menyebabkan kondisi hiponatremia. Reset osmostat syndrome (osmolalitas urin bervariasi) and cerebral salt-wasting syndrome (CSWS; osmolalitas urin tinggi) juga dilaporkan dapat menyebabkan hiponatremia pada pengguna alkohol. Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan osmolalitas urin >100 mOsm/kg menunjukkan kondisi dimana terdapat peningkatan AVP yang mengakibatkan adanya urin yang kurang terdilusi. Kondisi lainnya seperti endokrinopati dan syndrome of inappropriate antidiuresis (SIADH), dimana adanya sindroma sekresi hormon antidiuretik yang tidak apropriat dan sindrom nefrogenik antidiuresis yang tidak apropriat. Selain itu, pada SIADH terdapat peningkatan ekskresi asam urat pada urin dan kalkulasi dari fraksi ekskresi asam urat yang dapat memberikan tanda untuk diagnosis, dimana pada pasien normal fraksi ekskresi asam urat kurang dari 10 %. Endokrinopati, termasuk gangguan tiroid dan adrenal, penting untuk diperhatikan sebagai diagnosis banding terhadap hiponatremia
hipotonik
euvolemik
karena
mengakibatkan peningkatan sirkulasi AVP.
juga
dapat
Hipotiroid jarang
menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik, namun dapat bermanifestasi sebagai hiponatremia berat (105–110 mEq/L), dan
9
meskipun mekanisme penyebabnya masih belum jelas, adanya peningkatan sirkulasi AVP yang tidak sesuai dapat menjadi penyebab adanya retensi cairan. Hipokortisol dapat menyebabkan hiponatremia hipotonik euvolemik, meskipun mekanisme penyebabnya masih kurang jelas dan juga berhubungan dengan insufisiensi adrenal dan peningkatan plasma AVP. SIADH, mengakibatkan kondisi hiponatremia hipotonik euvolemik dan gangguan ekskresi H2O bebas dengan tidak ditemukannya insufisiensi renal, insufisiensi adrenal, ataupun adanya stimulus pelepasan AVP lainnnya. SIADH
ditemukan
beberapa
tahun
sebelum
teridentifikasinya AVP sebagai hormon penyebab. Awalnya, pelepasan AVP diperkirakan menjadi penyebab independen terhadap osmolalitas plasma, namun hal ini tidak ditemukan pada semua pasien SIADH. Contohnya pada pasien hiponatremia dengan urin yang terdilusi, pelepasan AVP biasanya tersupresi walaupun pada konsentrasi natrium plasma dibawah normal, kondisi yang disebut reset osmostat syndrome. Selain itu, kasus SIADH ditemukan karena adanya mutasi genetik yang menghasilkan adanya urin yang terkonsentrasi dengan tidak adanya pelepasan AVP, fenomena yang disebut NSIAD. Contohnya adanya aktivasi mutasi dari reseptor V2, mutasi pada gen yang mengkontrol ekspresi saluran aquaporin air pada tubulus kolektivus ginjal, dan mutasi yang memproduksi molekul yang memiliki mimik AVP. Terdapat kriteria spesifik untuk diagnosis SIADH. Untuk dapat terdiagnosis dengan SIADH, pasien harus euvolemik, memiliki osmolalitas urin lebih dari 100 mOsm/kg dan memiliki efektivitas osmolalitas plasma yang rendah. Selain itu, intake air yang berlebihan dibutuhkan untuk terjadinya hiponatremia.
10
Penyebab SIADH sangat bervariasi. Obat yang memiliki aksi mimik AVP. Menstimulasi untuk pelepasannya. Atau menguatkan aksi AVP dapat menyebabkan SIADH. Termasuk AVP analog, narkotik, atau antipsikotik. Contohnya oksitosin yang memiliki AVP-like effect yang dapat menyebabkan intoksikasi air. Inhibitor reuptake serotonin selektif juga dapat meningkatkan efek AVP, terutama pada lansia, dan wanita, pengguna diuretik, atau pada konsentrasi plasma natrium yang rendah. Exercise-associated hiponatremia juga menjadi kriteria diagnosis esensial pada SIADH. Konsumsi cairan hipotonik pada saat olahraga yeng berlebihan mengakibatkan adanya absorbsi yang tertunda, mengakibatkan elevasi sirkulasi AVP yang memanjang dan retensi air. Intake air yang berlebihan dan perubahan hormon saat olahraga merupakan faktor
utama
dibandingkan
faktor-faktor
lainnya.
Stimuli
nonosmostik lainnya juga berhubungan saat olahraga yang cukup lama. Meskipun volume intravaskular diperbaiki, rangsangan nonosmotik terus merangsang pelepasan AVP. Pada akhirnya, regulasi normal volume cairan ekstraseluler dan translokasi natrium yang aktif pada sirkulasi ke tempat penyimpanan tidak dapat terjadi.
Tabel 2. Penyebab Syndrome of Inappropriate Antidiuresis Neoplasma
-Paru-paru (karsinoma paru small cell, mesotelioma) -Karsinoma pada saluran gastrointestinal, saluran urogenital, prostat, and endometrium -Lainnya (timoma, limfoma, Ewing’s sarkoma)
Paru-paru
-Infeksi (pneumonia, tuberkulosis, empiema) -Gangguan ventilasi (gagal napas akut, penyakit paru obstruktif kronis)
11
-Inflamasi (meningitis, systemic lupus erythematosus)
Kondisi intracranial
-Trauma, massa atau cairan (operasi, tumor, perdarahan subaraknoid, hidrosefalus) -Lainnya (sklerosis multipel, Guillain-Barré syndrome, delirium tremens)
Obat-obatan
-Analog AVP (vasopresin, desmopresin, oksitosin) -Obat
yang
menstimulasi
mengaugmentasi teofilin,
AVP
amiodaron,SSRIs,
pelepasan
AVP
atau
(Klorpropamid,meperidin, antidepresan
trisiklik,
karbamazepin, klorpromazin,klozapin, siklofosfamide vinkristin, angiotensin-converting enzyme inhibitors, nikotin, 3,4-methylenedioxymetamfetamine) Lainnya
-Mutasi genetik (AVP atau reseptor, water channels) -Postoperatif (nyeri, mual, administrasi cairan yang tidak sesuai) -Berhubungan dengan olahraga (maraton, suhu yang ekstrim,atlet) -AIDS -Idiopatik
Hiponatremia hipotonik euvolemik pada pasien dengan osmolalitas urin yang bervariasi, mungkin berperan dalam terjadinya reset osmotat syndrome, terutama jika osmolalitas urin meningkat secara progresif akibat respons terhadap restriksi cairan. Sindrom menunjukkan adanya pola pelepasan AVP dalam respons terhadap pemberian infus NaCl hipertonik. Pelepasan AVP dapat terjadi cepat dan progresif, sehingga menghasilkan urin yang
12
terdilusi. Meskipun tidak normal, kadar AVP terkait erat hubungannya
dengan
peningkatan
osmolalitas
plasma,pada
osmolalitas plasma yang sangat rendah pelepasan AVP tersupresi. Namun, saat osmolalitas plasma kembali mendekati normal, pelepasan AVP tampak tidak sesuai karena ambang osmotik yang normal telah diturunkan. Pelepasan AVP pada ambang subnormal ini sebenarnya sesuai tapi dikalibrasi untuk batas dibawah normal. Urin yang terdilusi sesuai masih bisa dicapai, hanya pada osmolalitas plasma yang rendah. Reset osmotat syndrome ini sering terlihat pada orang tua, pasien dengan penyakit paru (misalnya, tuberkulosis), dan malnutrisi. Reset osmotat syndrome dapat terjadi secara fisiologis selama kehamilan, menyebabkan osmolalitas plasma turun sekitar 10 mOsm / kg air. b) Hiponatremia Hipotonik Hipovolemik Dalam kondisi deplesi total natrium tubuh, terjadi peningkatan AVP meningkat dan retensi H2O bebas untuk mempertahankan volume intravaskular. Namun, retensi H2O bebas saja tidak cukup untuk mengembalikan volume ekstraseluler cairan pada keadaan hipovolemia. Selain itu, penggantian kehilangan natrium dan H2O dengan H2O bebas dapat mempotensiasi peningkatan kadar plasma AVP yang tidak sesuai, yang dapat memperburuk hiponatremia. Hipovolemia dengan natrium urin kurang dari 20 mEq / L atau FENa kurang dari 1% menunjukkan retensi natrium ginjal yang aktif untuk mengkompensasi kehilangan ekstrarenal, seperti kehilangan pencernaan atau insensible water loss dengan penggantian H2O bebas. Pasien hipovolemik dengan natrium urin melebihi 20 mEq / L atau melebihi FENa 1% menunjukkan adanya kehilangan natrium ginjal akibat pemberian diuretik, osmotik diuresis,
salt-losing
nephropaty,
alkalosis
metabolik,
atau
insufisiensi adrenal.
13
Sebagian besar kasus dari natriuresis primer disebabkan oleh pemberian diuretik thiazide dibandingkan dengan loop-diuretics. Diuretik thiazide dapat menyebabkan kehilangan natrium ginjal yang berlebihan dan deplesi volume, sehingga timbul hiponatremia berat segera setelah mulai terapi. Yang termasuk Salt losing nephropathy yaitu tubular asidosis ginjal, penyakit polikistik ginjal, dan uropati obstruktif. Baik tubular asidosis ginjal tipe II dan alkalosis metabolik menyebabkan hiponatremia sebagai akibat dari bikarbonaturia, yang menimbulkan ekskresi natrium. Kedua insufiensi adrenal primer dan sekunder dapat mengakibatkan
defisiensi
glukokortikoid
dan
/
atau
mineralokortikoid, yang mengakibatkan hiponatremia. Tabel 3. Penyebab hiponatremia hipovolemik Renal loss of sodium with water retention
Extrarenal loss of sodium with water retention
Diuretic therapy
Cerebral salt wasting
o
Vomiting
Mineralcorticoid deficiency
o
diarrhea
o
Autoimmune
Adrenal only
Polyglandular
o
Meningococcemia
Idiopathic
Infection
TB
Fungus
cytomegalovirus
Bowel obstruction
Adrenal hemorrhage
Third space losses o
endocrinopathy o
Gastrointestinal losses
o
Pancreatitis
o
Muscle trauma
o
burns
Sweat losses o
Endurance exercise
14
o
Adrenal enzyme deficiencies (congenital adrenal hyperplasia)
Salt wasting nephropaty
Bicarbonaturia, glycosuria, ketonuria
c) Hiponatremia Hipotonik Hipervolemik Pasien hipervolemik dengan natrium urin >20 meEq/L atau ekskresi fraksi natrium (FENa) >1 tipikal pada pasien dengan gagal ginjal berat. Sedangkan pada pasien hipervolemik dengan natrium urin < 20 mEq/L atau FENa < 1% tipikal pada kondisi edema, termasuk CHF, sirosis, dan sindroma nefrotik. Hiponatremia dengan adanya edema mengindikasikan adanya peningkatan pada TBW yang lebih besar dibandingkan total natrium pada tubuh. Meskipun begitu, pada CHF dan sirosis keadaan ini menunjukan adanya kondisi volume sirkulasi yang terdeplesi. Retensi natrium dan air pada kondisi edema biasanya terjadi karena mediasi oleh baroreseptor dengan pengeluaran AVP dan aktivasi dari sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang responsnya terutama untuk mempertahankan perfusi jaringan. Pasien dengan sindroma nefrotik mengalami reduksi pada volume intravaskular yang sama. Tabel 4. Penyebab hiponatremi euvolemik dan hipervolemik Impaired renal free water excretion Euvolemic
SIADH o
Tumor
Pulmonary/mediastinal (bronchogenic carcinoma mesotheliom a,thymoma)
15
Nonches (duodenal carcinoma, pancreatic carcinoma, ureteral,uterine carcinoma, nonpharyngeal carcinoma, leukemia)
o
CNS disorders
Mass lesion (tumors, brain abcesses, subdural hematoma)
Inflammatory diseases (enchepalities, meningitis, SLE)
Degenerative/demyelinative disease (SGB, spinal cord lesions)
Miscellaneous (SAH, head trauma, acute psychosis, delirium tremens, pituitary stalk section, hydrochepalus)
o
Drug induced
Stimulated AVP release (nicotine, phenotiazines, tricyclics)
Direct renal effect and ot potentiation of AVP effects (DDAVP, oxytocin, prostaglandin synthesis inhibitor)
Mixed or uncertain action (ACE inhibitors, carbamazepine and oxcarbazepine, chlorpropamide, clofibrate, clozapine, 3,4-methylendioxymethamphetamine (ectasy), omeprazole, serotonin reuptake inhibitors, vincristine)
o
Pulmonary disease
Infection (TB, pneumonia,aspergilosis, empyema)
Mechanical/ventilator (acute respiratory failure, COPD, positive pressure ventilation)
o
Other
AIDS and ARC
Prolonged strenuous exercise (marathon)
Senile atrophy
Idiopathic
Glucocorticoid defisiensy
Hypothyroidsm
Decreased urinary solute excretion o
Beer potomania
o
Very low protein diet
16
Hypervolemic
CHF
Chirrosis
Nephrotic syndrome
Renal failure o
Acute
o
Chronic
Excessive water intake
Primary polydipsia
Dilute infant formula
Freshwater drowning
3. Hiponatremia Hipertonik Terjadi jika osmolalitas plasma > 285 mOsm/Kg/H2O. Hipertonisitas bisa terjadi karena peningkatan zat terlarut yang tidak bebas keluar masuk kompartemen, contohnya glukosa manitol, gliserol, atau sorbitol sehingga terjadi perpindahan cairan dari ICF ke ECF sehingga menurunkan kadar natrium ECF. Hiponatremia jenis ini biasanya dihubungkan dengan peningkatan osmolalitas. Contohnya, pada pasien hiperglikemia setiap kenaikan glukosa 3 mmol/L, natrium serum turun 1 mmol/L.
2.3 Manifestasi klinis hiponatremia Gejala klinis hiponatremia tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Secara umum gejala klini pada hiponatremia dapat dilihat dibawah ini.
17
Sistem tubuh Sistem Saraf Pusat
Hiponatremia Sakit kepala, confusion, hiper atau hipoaktif refleks tendon dalam, kejang, koma, peningkatan tekanan intrakranial.
Muskuloskeletal
Weakness, fatigue, muscle cramps/twitching
Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomiting, diare cair
Cardiovascular
Hipertensi dan bradikardia secara signifikan meningkatkan tekanan intrakranial
Jaringan
Lakrimasi, salivasi
Ginjal
Oligouria
Tabel 5. Manifestasi klinis menurut sistem yang dipengaruhi
2.4 Diagnosis Manifestasi klinis dari hiponatremia biasanya akibat adanya edema otak, yang menyebabkan gejala neurologis dan sistemik. Pada kondisi kronik (CHF, Sirosis), hiponatremia dapat asimtomatik akibat adanya adaptasi sel dengan mempertahankan gradien osmolar dan melindungi dari terjadinya edema serebri. Pada hiponatremia akut (postoperatif, drug-induced), gejala tidak spesifik dan sangat luas. Gejala awal yaitu adanya anoreksia, kesemutan, mual, muntah, sakit kepala, iritabilitas, disorietasi, konfusi, fatigue, dan letargi, dimana gejala lanjut yang dapat ditemukan adalah adanya gangguan status mental, kejang, koma, dan gagal napas, dan dapat menyebabkan kematian. Saat gejala neurologis dari hiponatremia muncul, disebut sebagai ensefalopati hiponatremia. Hiponatremia
terklasifikasi
berdasarkan
osmolalitas
plasma
yang
ditentukan melalui pemeriksaan penunjang laboratorium dan status volume yang ditentukan melalui pemeriksaan fisik. Penentuan hiponatremia secara sistematik diperlukan untuk menentukan penyebab dan terapi yang akan diberikan. Dapat
18
dilakukan pengukuran osmolalitas plasma, status volume, konsentrasi natrium urin dan osmolalitas. Osmolalitas plasma, pertama dilakukan untuk menyingkirkan hiponatremia hipertonik >295 mOsm/kg dan pseudohiponatremia, hiponatremia isotonik, 280– 295 mOsm/kg. Sedangkan pada penurunan osmolalitas plasma, hiponatremia hipotonik < 280 mOsm/kg diperlukan penentuan volume status yang akurat. Meskipun begitu, pengukuran osmolalitas plasma seringkali kurang akurat dan tidak dapat digunakan sebagai penentuan terapi. Cara perhitungan osmolaritas plasma yaitu: Osmolaritas plasma (mOsm/kg) = [Na+] x 2 + (glukosa/18) + (BUN/2,8). Pengukuran konsentrasi natrium urin merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dan paling dapat digunakan untuk menentukan diagnosis banding. Status volume diklasifikasikan secara klinis sebagai hipervolemik, euvolemik, atau hipovolemik, dan merupakan pemeriksaan penunjang yang baik dilakukan untuk diagnosis akurat dan terapi yang adekuat. Manifestasi klinis pada kondisi hipervolemik seperti edema, crackles pada paru, tekanan vena jugular leher terdistensi, dan terdapat S3 pada auskultasi jantung. Manifestasi klinis pada kondisi hipovolemik yaitu adanya hipotensi orthostatik, takikardia, dan oliguria/anuria. Jika tidak ditemukan tanda-tanda diatas, status volume dikategorikan sebagai keadaan euvolemik. Monitor ketat dan evaluasi serial diperlukan pada hiponatremia.
Tabel 6. Langkah Diagnosis dan Terapi Hiponatremia Langkah 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik (termasuk penentuan status volume) Langkah 2. Pengukuran osmolalitas plasma Hiponatremia hipertonik
(POsm > 295 mOsm/kg)
Hiponatremia isotonik
(POsm 280–295 mOsm/kg)
Hiponatremia hipotonik
(POsm < 280 mOsm/kg)
19
Langkah 3. Pengukuran natrium urin dan osmolalitas (ditambahkan informasi status volume) Hiponatremia hipotonik hipervolemik UNa > 20 mEq/L or
Azotemia (gagal ginjal kronis)
FENa > 1% UNa < 20 mEq/L or
Edema (CHF, sirosis, sindroma nefrotik)
FENa < 1%
Hiponatremia hipotonik euvolemik UOsm < 100 mOsm/kg
Polidipsia (primer) Psikogenik Low-solute (beer) potomania
UOsm > 100 mOsm/kg
Peningkatan AVP or mimic Syndrome of inappropriate antidiuresis Endokrinopati
UOsm bervariasi
Reset osmostat syndrome
Hiponatremia hipotonik hipervolemik UNa > 20 mEq/L atau
Natriuresis primer (renal)
FENa > 1% UNa < 20 mEq/L atau
Kehilangan natrium ekstrarenal
(dengan FENa < 1% penggantian dengan H2O bebas) Langkah 4. Terapi Inisial Hiponatremia hipertonik
Hiponatremia isotonik
Memperbaiki kondisi hiperglikemia
Mengobati penyebab gangguan metabolisme protein atau lipid
Hiponatremia hipotonik
Pemberian cairan ± diuretics, restriksi H2O Pemberian obat farmakoterapi
Langkah 5. Reevaluasi dan penyesuaian terapi
20
2.5 Penatalaksanaan Hiponatremia Penentuan osmolalitas plasma memberikan dasar terapi inisial hiponatremia. Pada hiponatremia hipertonik, tatalaksana diberikan langsung pada penyebabnya. Tidak ada terapi spesifik pada hiponatremia isotonik selain memberikan terapi pada gangguan metabolisme lipid dan protein yang mendasari. Untuk hiponatremia hipotonik diberikan secara simptomatis,dan berdasarkan status volume.2,7 Pada hiponatremia hipotonik, gejala biasanya semakin terlihat saat konsentrasi plasma natrium <120 mEq/L. Tergantung pada status volume, terapi hiponatremia hipotonik diberikan bertahap, dari pemberian salin hipertonik pada kasus berat sampai pemberian salin isotonik pada kasus ringan dan sedang, dan restriksi H2O bebas pada kasus asimtomatik. Pada kasus berat pemberian salin hipertonik atau isotonik harus diberikan secara agresif untuk pencegahan komplikasi neurologis yang mengancam nyawa. Salin hipertonik hanya diberikan pada kasus berat dengan konsultasi ahli dan hanya dalam waktu singkat. Diuretik dapat diberikan untuk mengobati kemungkinan adanya potensial volume overload. Saat gejala sudah berkurang, terapi harus dikurangi dan terfokus pada koreksi penyebab dari ketidakseimbangan air dan natrium. Reevaluasi serial dan tappering down harus dilakukan secara hati-hati sampai tercapai kondisi normonatremia euvolemik. Hiponatremia hipotonik akut, memiliki onset < 48 jam, dan dapat terkoreksi secara cepat. Meskipun begitu, koreksi dari hiponatremia kronik asimptomatik terkadang tidak diberikan, seperti pada pasien sirosis atau reset osmostat syndrome. Terlebih lagi, tata laksana yang berlebihan dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas. Kerusakan batang otak yang permanen dapat muncul akibat osmotic myelinolysis syndrome, yang terlihat dari adanya central pontine myelinolysis akibat osmotically-induced demyelination. Secara umum, pada satu setengah dari total defisit dapat digantikan dalam 12 jam pertama, dengan 0.5 mEq/L/jam (12 mEq/L/hari). Rumus
21
dibawah dapat digunakan dalam mengestimasi efek 1 L infus natrium dalam konsentrasi plasma natrium. Perubahan dalam natrium plasma = (Natrium pada infus – Natrium plasma) (Total body water + 1) Total body water (l) dikalkulasi dengan mengkalikan berat badan (kg) dengan 0.5 pada perempuan, 0,6 pada laki-laki, 0,45 pada lansia wanita, dan 0,5 pada lansia pria. Koreksi natrium: -
Maintanance = 2-4 meq x BB
-
Koreksi = 0,6 x BB x (135- Na sekarang (serum))
-
Kebutuhan Na = maintanaance + koreksi
-
Na yang diperlukan = (Kebutuhan Na /kaandungan Nacl) x 1000
Konsentrasi natrium pada infus yaitu pada salin 3% = 513 mEq/L, salin 0.9% =154 mEq/L, salin 0.45% = 77 mEq/L. Rumus lainnya juga ada yang memperhitungkan infus natrium yang mengandung kalium dan elektrolit lainnya. Nonpeptide arginine vasopressin reseptor (AVP-R) antagonis adalah kelas obat baru yang mempromosikan aquaresis, istilah yang digunakan untuk menggambarkan ekskresi air bebas elektrolit tanpa ekskresi natrium atau kalium. Sering disebut sebagai "vaptans" atau "aquaretics" untuk menunjukan efek mereka yang kontras dengan diuretik, AVP-R antagonis menghambat aksi AVP pada reseptornya secara langsung, khususnya menargetkan pada V1A reseptor pembuluh darah sel-sel otot dan reseptor V2 pada sel duktus kolektivus ginjal. Saat ini hanya conivaptan aquaretic yang disetujui oleh Food and Drug Administration AS, diindikasikan untuk pengobatan simtomatik dan hiponatremia hipervolemik dan euvolemik pada
22
pasien rawat inap, khusus SIADH dan CHF. Karena haus adalah salah satu efek samping dari obat ini, diperlukan restriksi cairan.
Tabel 7. Farmakoterapi untuk Hiponatremia Hipotonik. Nama Obat
Indikasi
Mekanisme
Demeklosiklin
Gagal restriksi air
Inhibisi cAMP
(antibiotik)
pada hiponatremia hipotonik euvolemik kronis (cth. SIADH)
Dosis
Idiosinkronasi
2 x 300-600
menginduksi
mg
diabetes insipidus nefrogenik
Furosemid
hiponatremia
Inhibisi
Dosis
hipotonik
kotransport
bervariasi
hipervolemik kronis
renal Na+/K+/Cl
(cth : CHF)
pada loop of
hiponatremia hipotonik euvolemik kronis (cth : SIADH)
henle asendens dan tubulus distal
40 mg IV dalam 1-2 menit; dapat diulang jika respons tidak sesuai
Meningkatkan
Per oral
ekskresi dari
untuk
H2O bebas
maintenance
bersama dengan natriuresis dan kaliuresis
23
Conivaptan
hiponatremia
Antagonis AVP- 20 mg IV
hipotonik
R
loading dose
hipervolemik
dalam 30
simtomatik (cth :
menit;
CHF) hiponatremia hipotonik euvolemik kronis (cth : SIADH)
Meningkatkan
selanjutnya
ekskresi dari
20 mg IV
elektrolit- H2O
selama 24
bebas
jam
Dapat ditingkatkan sampai 40 mg selama 24 jam; maksimal dalam 1-4 hari Fludrokortison
Cerebral salt-
Meningkatkan
1 x 0,05-0,2
wasting syndrome
reabsorbsi
mg perhari
natrium dan kehilangan kalium pada tubulus distal ginjal
Tatalaksana Hiponatremia Hipervolemik Hipotonik Tujuan tatalaksana pada pasien hiponatremia hipervolemik hipotonik adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma dengan 1 sampai 2 mEq / L / jam baik menggunakan salin hipertonik atau salin isotonik, kadang-kadang dalam kombinasi dengan diuretik, sampai gejala mayor (misalnya, perubahan status mental yang berat, kejang) mereda.
24
Yang penting untuk diperhatikan adalah salin hipertonik merupakan kontraindikasi relatif pada hipervolemia, sehingga penggunaan salin isotonik lebih direkomendasikan pada pasien sebagai terapi inisial. Sekali gejala mayor membaik, pengobatan harus kemudian menjadi kurang agresif dan diarahkan pada memperbaiki penyebab dasar hiponatremia. Akhirnya, restriksi cairan adalah pengobatan pilihan, dengan batas 0,5 sampai 1 L / hari, dengan atau tanpa diuretik, mengoreksi tidak lebih dari 0,5 mEq/ L/jam. AVP-R antagonis dapat diperlukan pada pasien simptomatik dengan CHF. Perawatan awal pasien asimtomatik adalah restriksi air bebas dengan atau tanpa diuretik untuk memperbaiki hiponatremia dan meningkatkan status volume.
Tatalaksana Hiponatremia Hipotonik Euvolemik Tatalaksana yang diberikan pada pasien dengan gejala hiponatremia hipotonik euvolemik adalah untuk memperbaiki konsentrasi natrium plasma dengan 1 sampai 2 mEq/ L/ jam menggunakan salin hipertonik sampai gejala mayor mereda, kemudian beralih ke salin isotonik 0,5-1 mEq/ L/ jam setelahnya. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi kelebihan cairan selama pengobatan, tetapi penggunaannya harus diminimalkan. Setelah kondisi telah asimtomatik, tata laksana dapat diganti menjadi restriksi air bebas. Tatalaksana inisial pada pasien asimptomatik adalah restriksi cairan 0,5-1 L / hari, dengan koreksi tidak lebih dari 0,5 mEq / L / jam selama jangka waktu beberapa hari. Terdapat manifestasi klinis yang luas dan bervariasi pada SIADH karena spektrum luas dari penyebab yang teridentifikasi menyebabkan disfungsi osmoregulator. Akibatnya, perbedaan respon terapi terhadap masing-masing individu cukup signifikan. Pengobatan SIADH dapat berkisar dari restriksi air bebas pada pasien asimtomatik, sampai pemberian infus salin isotonik hipertonik pada pasien simtomatik berat, dan juga farmakoterapi pada kasus tertentu. Untuk pasien yang tidak terdapat respons atau tidak dapat mematuhi pembatasan air dapat diberikan farmakoterapi
25
dengan demeclocycline. Agen ini memberikan efek antagonis AVP pada tubulus distal, pada dasarnya dapat menginduksi diabetes insipidus nefrogenik. Namun, demeclocycline memiliki onset lambat,sehingga membatasi kegunaannya pada SIADH kronis. antagonis AVP-R diindikasikan untuk pasien rawat inap dengan SIADH simptomatik. Tabel 8. Tata Laksana pada Hiponatremia Hipotonik berdasarkan Volume dan gejala. Semua Pasien
Mengobati penyakit penyebab Reevaluasi serial status volume Step down saat gejala telah teratasi Pengukuran serial terhadap elektrolit Pemberian farmakoterapi sesuai indikasi (tabel c)
Status Volume
Simtomatik berat
Salin hipertonik ± diuretik Rate koreksi : 1-2 mEq/l/jam sampai gejala mayor mereda
Hipervolemik
Simtomatik ringan atau sedang
Salin isotonik ± diuretik
Asimtomatik
Restriksi H2O bebas sampai 0,5-1 l/hari ± diuretik
Rate koreksi : 0,5-1 mEq/l/jam sampai asimtomatik
Rate koreksi : 0,5 mEq/l/jam Euvolemik
Asimtomatik
Restriksi H2O bebas sampai 0,5-1 l/hari Rate koreksi : 0,5 mEq/l/jam
Hipovolemik
Asimtomatik
Salin isotonic Rate koreksi : 0,5 mEg/l/jam
26
2.6. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Hiponatremia 1. Dasar Data Pengkajian Pasien Umum a. Aktivitas/Istirahat Gejala
: Malaise Kelemahan umum, pingsan, kram otot
b. Integritas Ego Gejala
: Ansietas
Tanda
: Gelisah,, ketakutan
c. Makanan/cairan Gejala
: Mual, anoreksia, haus Diet rendah natrium
d. Neurosensori Gejala
: Sakit kepala, penglihatan kabur, vertigo
Tanda
: Kehilangan koordinasi, stupor, koma Penggunaan agen hipoglikemia, diuretic poten, NSAID
e. Sirkulasi Tanda
: Hipotensi, takikardia Penurunan nadi perifer
f. Eliminasi Gejala
: Kram abdomen, diare
Tanda
: Penurunan haluaran urine
g. Makanan/cairan Gejala Tanda
: Anoreksia, mual/muntah : Turgor kulit buruk ; bola mata cekung, membrane mukosa kering, penurunan saliva/keringat
h. Neurosensori Tanda
: Kedutan otot Letargi, gelisah, kacau mental, stupor
i. Pernapasan Tanda
: Takipnea
27
j. Keamanan Tanda
: Kulit kemerahan, kering, panas, demam
k. Sirkulasi Tanda l. Eliminasi
: Hipertensi, edema umum : Peningkatan haluaran urine
Kekurangan Natrium Hebat a. Sirkulasi
: Hipotensi dengan kolaps vasomotor Nadi cepat, kulit dingin/lembab, sianosis
b.
Neurosensori Tanda
: Hiperefleksia Kacau mental/koma
2. Pemeriksaan Diagnostik (Tergantung pada kadar cairan) a. Natrium serum : Menurun, kurang dari 135 mEq/L (namun, tanda dan gejala tidak terjadi sampai kadar kurang dari 120 mEq/L). b. Natrium urine : Kurang dari 15 mEq/L menandakan konversi ginjal terhadap natrium karena kehilangan natrium dari sumber nonrenal kecuali ada pembuangan nefropati. Natrium urine lebih besar dari 20 mEq/L menandakan SIADH c. Kalium serum : Mungkin turun sesuai upaya ginjal untuk menghemat natrum pada kalium sedikit. d. Klorida/ bikarbonat serum : Mungkin menurun, tergantung pada ion mana yang hilang dengan natrium. e. Osmolalitas
:
Umumnya
redag,
tetapi
mungkin
normal
(pseudohiponatremia)atau tinggi (HHNC) f. Osmolalitas urine : Biasanya kurang dari 100 mOsmol/L kecuali ada SIADH dimana kasus ini akan melebihi osmolalitas serum. g. Berat jenis urine : Mungkin turun (kurang dari 1,010) atau meningkat (lebih besar dari 1,020) bila ada SIADH.
28
h. Ht : Tergantung pada keseimbangan cairan, mis., kelebihan cairan versus dehidrasi.
3. Intervensi Tindakan/intervensi Mandiri 1. Identifikasi pasien beresiko terhadap hiponatremia dan
Rasional 1. Memberikan petunjuk untuk intervensi dini.
penyebab khusus, mis; kehilangan natrium atau kelebihan cairan 2. Pantau masukan dan
2. Indikator keseimbangan cairan
haluaran. Hitung
adalah penting, karena baik
keseimbangan cairan.
kehilangan atau kekurangan
Timbang berat badan setiap
cairan dapat terjadi karena
hari.
hiponatremia
3. Kaji tingkat
3. Kekurangan natrium dapat
kesadaran/respons
mengakibatkan penurunan
neuromuskular.
mental (pada titik koma), serta kelemahan otot umum/kram, kacau mental.
4. Pertahankan lingkungan
4. Menurunan stimulais ssp dan
yang tenang; berikan
resiko cedera dari komplikasi
kewaspadaan
neurologis misalnya kejang
keamanan/kejang. 5. Terjadi bersama hipokloremia 5. Perhatikan frekuensi dan kedalaman pernafasan.
dapat menimbulkan pernafasan lambat/dangkal saat tubuh mengkompensasi alkalosis metabolik
29
6. Dorong makanan dan cairan
6. Kecuali kekurangan natrium
tinggi natrium mis. Susu,
menyebabkan gejala serius yang
daging, telur, wortel, bit,
memerlukan penggantian IV
dan seledri. Gunakan jus
segera, pasien mendapat
buah dan kaldu sebagai
keuntungan dari pergantian yang
pengganti air biasa.
lebih lambat melalui metode oral atau pembuangan pembatasan garam sebelumnya.
7. Irigasi selang NGT (bila di
7. Irigasi isotonik akan
gunakan) dengan salin
meminimalkan kehilangan
normal sebagai pengganti
elektrolit GI
air Kolaborasi 1. Bantu dalam identifikasi/pengobatan
1. Rujuk pada daftar faktor predisposisi/pemberat
penyebab dasar 2. Pantau elektrolit dan osmolalitas serum dan urine 3. Berikan/batasi cairan
2. Evaluasi kebutuhan/keefektifan terapi 3. Pada adanya hipovolemia,
tergantung pada status
kehilangan volume diganti
volume cairan.
dengan salin isotonik (mis. Salin normal) atau kadang-kadang larutan hipertonik (NaCl 3%) bila hiponatremia mengancam hidup. Pada adanya kelebihan volume cairan, atau SIADH, pembatasan cairan diindikasikan
4. Pemberian obat-obatan sesuai indikasi, mis: a. Furosemid (lazix)
4. Pemberian obat-obatan sesuai indikasi: a. Efektif pada penurunan kelebihan cairan untuk
30
memperbaiki b. Natrium klorida
natrium/keseimbangan air b. Digunakan untu menggantikan kekurangan/mencegah kekambuhan pada adanya kehilangan kronis/terus
c. Klorida kalium
menerus c. Memperbiaki kekurangan kalium, khususnya bila
d. Demeklosiklin (Declomycin)
digunakan diuretik d. Bermanfaat dlam mengatasi SIADH kronis, atau bila pembatasan air berat tidak ditoleransi, mis., PPOM. Catatan: mungkin kontraindikasi pada pasien dengan penyakit hepar saat terjadinya nefrotoksisitas
e. Kaptopril (Capoten)
e. Dapat digunakan dalam kombinasi dengan diuretik loop (mis. lasix) untuk memperbaiki kelebihan volume cairan khususnya pada adanya GJK
5. Siapkan/bantu dengan dialisis sesuai indikasi
5. Dapat dilakukan untuk memperbaiki keseimbangan Na tanpa meningkatkan kadar cairan bila hiponatremia berat atau respons terhadap terapi diuretik tidak adekuat.
31
BAB III KESIMPULAN Hiponatremia adalah suatu kondisi dimana kadar natrium dalam plasma lebih rendah dari 135 mEq/L. Secara garis besar hiponatremia dapat diklasifikasikan menurut osmolalitas plasma yaitu hiponatremia isotonik, hipotonik, dan hipertonik. Dimana pada hiponatremia hipotonik dibagi lagi menurut status volumenya, yaitu hipovolemik, euvolemik, dan hipervolemik.
32
DAFTAR PUSTAKA
Guyton AC, Hall JE.Textbook of medical physiology. 9th ed. Pennsylvania: W.B. Saunders company. 1997 Brenner B, Singer G. Fluid and electrolyte disturbances. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci A, et al, editors. Harrison’s principles of internal medicine. 16th ed. New York: McGraw-Hill; 2005:251–63. Reynolds RM, Padfield PL, Seckl JR. Disorders of sodium balance. BMJ 2006; 332:702-5. Horacio
J.Adrogue,
Nicolaos
E.Madias.
The
Challenge
of
Hyponatremia.JASN.2012 Rudolph et al. Hyponatremia. Hospital Physician. January 2009; 23–32. Parikh C, Berl T. Disorders of water metabolism. In: Feehally J, Floege J, Johnson RJ, editors. Comprehensive clinical nephrology. 3rd ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2007:97. Richard H.Sterns, Sagar U. The Treatment of Hyponatremia.UPHS.2009. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 4rd ed. Jakarta:pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran universitas indonesia; 2006: 136-137 Price SA. Wilson LM. Patofisiologi Konsep klinis proses-proses penyakit. 6td ed. Jakarta: EGC,2005; 335-339 Arto Y.Soeroto, Rudi Supriyadi, Ika Prasetya Wijaya, Laniyati Hamijoyo. Prosiding Naskahlengkap Workshop KOPAPDI 2015. Bandung: pusat informasi ilmiah (PII) Departemen SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNPAD/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.
33