Hidup Enak, Mati Enak TAK semua orang yang hidup enak bisa mati dengan enak. Terbukti banyak ''orang enak'' yang bisa mati secara tidak enak. Tapi Umar Kayam, adalah sedikit dari manusia yang saya duga sanggup memperoleh dua keenakan itu sekaligus. Menatap kehidupan Umar Kayam, adalah menatap kehidupan seorang ''priyagung'', priyayi agung. Priyayi adalah gambaran sebuah kemewahan dan agung adalah gambaran kemewahan lain lagi. Umar Kayam seperti sanggup mengenyam dua kemewahan itu sekaligus. Tapi jangan salah, ia memperoleh kemewahan itu justru ketika ia menganggap yang priyayi dan yang agung itu sekadar dunia main-main dan tak lebih dari humor belaka. Kata agung itu bagi Kayam cuma setara dengan sebutan Ageng untuk nama tokoh dalam kolomnya, yang akhirnya menjadi stereotip dirinya sendiri. Cuma setara dengan sebutan Garuda Yeksa, yakni panggilan untuk Jeep tua yang menjadi kendaraan pribadinya. Artinya, yang priyayi, yang agung dan ageng itu bagi Kayam hanya sebuah dunia main-main, dunia klangenan dalam meledek diri sendiri. Tapi apa boleh buat, akhirnya Kayam malah membesar dengan dunia klangenan-nya itu. Kekuatan kolomnya juga terletak pada gaya yang disebut Sapardi Joko Damono sebagai glenyengen itu, selengekan, tidak sok profesor dan sok guru besar itu. Dengan kepribadiannya itu, akhirnya Kayam malah mencatat keagungannya sendiri. Agung dalam pengertian yang nyaris sebenarnya. Karena jika Kayam ingin menulis novel, ia langsung diungsikan oleh sponsor nyepi ke luar negeri. Jika Kayam berkata ''tidak'' kepada universitas yang hendak mengangkat doktor honoris causa, batal pula rencana ini. Jika Kayam hendak nonton pertunjukkan kesenian, ada panitia yang menyediakan kursi ''kebesaran''. Ketika Kayam pamit pensiun, ia disambut pesta. Ketika ia sembuh dari sakit, semua ikut bersyukur dan bergembira. Fenomena Kayam sebagai budayawan, benar-benar pernah menggentarkan kami, anak-anak muda yang memiliki interest ke arah ini. Secara prbadi, sebagai wartawan pemula, saat itu saya malah sempat menyusun daftar idola yang harus saya buru. Salah satunya adalah Umar Kayam ini. Sepanjang perburuan itu, pengidolaan saya atas Kayam makin menjadi-jadi bukan karena nama besarnya semata, tapi juga karena saya menyaksikan langsung, betapa banyak pihak terhormat menaruh rasa hormat yang nyata pada orang ini. Sambil menunggu diterima oleh Pak Ageng, si penunggang Garuda Yeksa itu untuk giliran wawancara, saya juga melihat P, seorang intelektual, tokoh, ilmuwan yang juga sedang menunggu Kayam dengan gaya anak tengah menunggu bapak. Saya melihat S, tokoh sepuh, yang juga tengah mendatangi Kayam dengan gaya bawahan yang hendak ''sowan''. Jalan pikiran saya sederhana, jika begitu banyak orang terhormat menaruh hormat pada Kayam, lalu kehormatan jenis apa yang dimiliki tokoh ini? Terhadap Kayam, seorang budayawan beken lain bisa ngedumel dengan nada kabur; antara kagum dan iri, antara takut dan segan: ''Alam begitu memanjakan orang ini,'' katanya. Tapi bagi sekadar fans Kayam seperti saya, tokoh ini mengisyaratkan satu hal penting saja: betapa Kayam sanggup menjadi ''priyayi'' tanpa orang ribut apakah ia benar-benar berdarah biru. Sanggup menjadi agung dan ageng tanpa orang berdebat soal kriteria kualitatifnya. Sanggup bertahta di atas singgasana yang singgasana itu cuma berupa cerpen, novel, kolom, humor dan kepribadian dia seluruhnya. Kayam sanggup memiliki kerajaan cuma dengan basis humor dan kepribadian, bukan basis duit atau kekuasaan. Ini sungguh-sungguh sulit untuk tidak disebut mengesankan.
(03) (PrieGS/)