PORTOFOLIO
KASUS ETIK
Oleh :
dr. Nofrina Indra Priska
Pendamping : dr. Yulfi Aneta
RSUD KOTA PARIAMAN 2016
Borang Portofolio Kasus Etik
No. ID dan Nama Peserta
dr. Nofrina Indra Priska
No. ID dan Nama Wahana
RSUD Kota Pariaman
Topik
Kasus Etik
Tanggal (kasus)
14 Juli 2016
Nama Pasien
Ny. A
Tanggal Presentasi
18 Oktober 2016
Tempat Presentasi
Poli THT RSUD Kota Pariaman
Pendamping
dr. Yulfi Aneta
Objektif Presentasi □ Keilmuan
□ Keterampilan
□ Penyegaran
□ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik
□ Manajemen
□ Masalah
□ Istimewa
□ Anak
□ Dewasa
□ Lansia
□ Neonatus
□ Bayi
□ Deskripsi
Dr. X melakukan pelanggaran Etik dan Disiplin Kedokteran
□ Tujuan
Mengetahui jenis pelanggaran etik dan disiplin kedokteran beserta sanksinya
Bahan Bahasan
Cara Membahas
□
Tinjauan
Pustaka □ Diskusi
□ Remaja
□ Riset □
Presentasi
Diskusi
Nama RS : RSUD Kota Pariaman
Telp :
dan
□ Kasus
□ Audit
□ E-mail
□ Pos
□ Bumil
Terdaftar sejak :
Data Utama untuk Bahan Diskusi : Seorang dokter X di RSUD Pariaman memberikan surat keterangan sakit kepada A tanpa melihat dan memeriksa pasien terlebih dahulu, dengan alasan pasien sudah ke bidan (di bidan diberi neurodex 1x1) dan ingin istirahat dari kerja (kepala sekolah). Daftar Pustaka : 1. Adam K, Hadad T, Rafly A, dkk. 2007. Penyelenggaraan Praktik Kedokteran yang Baik di Indonesia. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 3. Hanafiah, Jusuf dkk. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Edisi 3. EGC. Jakarta. 1999. 4. http://astaqauliyah.com/2013/10/26. Etika kedokteran indonesia dan penanganan pelanggaran etika di
Indonesia. 5. Konsil kedokteran Indonesia. Himpunan Peraturan tentang Majelis Kehormatan Disiplin kedokteran Indonesia. Jakarta. 2006. Diunduh dari http://inamc.or.id/download/Buku/MKDKI.pdf Hasil Pembelajaran : 1.
Sanksi yang diperoleh terhadap pelanggaran etika kedokteran
2.
Penjelasan mengenai Kode Etik Kedokteran Imdonesia
3.
Penjelasan mengenai Undang-Undang Perlindungan Pasien
Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio Kasus : Seorang dokter X di RSUD Pariaman memberikan surat keterangan sakit kepada A tanpa melihat dan memeriksa pasien terlebih dahulu, dengan alasan pasien ingin istirahat. Dokter X memberikan kenal dekat dengan keluarga A.
Pembahasan Kasus : Tindakan yang dilakukan dokter X tersebut melanggar KODEKI pasal 7 mengenai seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. Kasus pada dokter X ini, tidak hanya kasus etik tetapi juga kasus disiplin profesi. Pada pedoman penegakan disiplin profesi kedokteran, yang merupakan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran pada kasus ini terdapat pada point 6, bahwa dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah sehingga dapat membahayakan pasien. Maksud dari pasal 7 ini adalah hamper setiap hari kepada seorang dokter diminta keterangan tertulis mengenai bermacam-macam hal antara lain : a. Cuti sakit dan cacat Keterangan cuti sakit dan keterangan tentang tingkat cacat waspadalah terhadap sandiwara
(simulasi)
kecelakaan kerja. b. Kelahiran dan kematian
melebih-lebihkan
(aggravi)
mengenai
sakit
atau
c. Visum et repertum (pro justicia) d. Keterangan kesehatan untuk asuransi jiwa, untuk lamaran kerja untuk kawin dan sebagainya e. Lain-lain
Sanksi yang dapat dikenakan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Bab XII Tentang Pemalsuan Surat. Pasal 263 “Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak perikatan atau pembebasan utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun” Pasal 267 “1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun 2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya disitu, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan 3. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai kebenarannya”
TINJAUAN PUSTAKA
ETIKA PROFESI KEDOKTERAN
Etik profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh penguasa
pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct bagi dokter. World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menghasilkan sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional.Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri.Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsipprinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral.Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis.Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis. Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence (melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme (pengabdian profesi). IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit (Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi) kedokteran.
Etika Kedokteran mempunyai 3 (tiga) azas pokok, yaitu :
1. Otonomi Seorang dokter dianggap memiliki kompetensi (kemampuan) pada keilmuannya, memiliki pengertian yang adekuat pada tiap-tiap kasus yang dipersoalkan dan memiliki kemampuan untuk menanggung konsekuensi dan keputusan yang secara atonomi atau secara mandiri telah di ambil sehingga dokter dapat memberi perlindungan dalam pemeliharaan, perwalian, pengasuhan kepada anak-anak, para remaja dan orang dewasa yang berada dalam kondisi yang lemah dan tidak mempunyai kemampuan otonomi (mandiri).
2. Bersifat,bersikap dan berbudi baik Seorang dokter dalam menjalani profesinya hendak bersifat, bersikap dan berbudi baik terhadap semua pasiennya.
3. Keadilan Seorang dokter wajib memperlakukan setiap pasien dengan sebaik-baiknya, tidak mengambil imbalan yang tidak wajar, dan tidak mengorbankan kepentingan suatu golongan untuk kepentingan golongan lain.
Kode Etik Kedokteran Indonesia diuraikan dalam pasal-pasal berikut :
KEWAJIBAN UMUM
Pasal 1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah dokter. Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Pasal 3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi. Pasal 4 Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri. Pasal 5 Tiap perbuatan atau nasihat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh persetujuan pasien. Pasal 6 Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat. Pasal 7 Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknik dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang dan penghormatan atas martabat manusia. Pasal 7b Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien. Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien. Pasal 7d Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi makhluk insani. Pasal 8 Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh, baik fisik maupun psikososial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya. Pasal 9 Setiap dokter dalam bekerjasama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN
Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai kehlian dalam bidang tersebut.
Pasal 11 Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah laainnya. Pasal 12 Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya terhadap seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia. Pasal 13 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain beredia dan mampu memberikannya.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP TEMAN SEJAWAT
Pasal 14 Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan. Pasal 15 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawatnya, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP DIRI SENDIRI
Pasal 16 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik. Pasal 17 Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan. Untuk menetapkan sanksi atas pelanggaran Kode Etik Kedokteran, dibutuhkan pedoman penegakan disiplin profesi kedokteran. Konsil Kedokteran Indonesia telah menetapkan pedoman tersebut pada tahun 2006. Pada pedoman penegakan disiplin profesi kedokteran, yang merupakan bentuk pelanggaran disiplin kedokteran adalah : 1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten. 2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi sesuai. 3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. 4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetesi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut. 5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten dan dapat membahayakan pasien. 6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab
profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah sehingga dapat membahayakan pasien. 7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien. 8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis, dan memadai kepada pasien atau keluarganya dalam melakukan praktik kedokteran. 9. Melakukan tindakan medic tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya. 10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekammedic, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi. 11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi. 12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya. 13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan atau teknologi yang belum diterima atau di luar tata cara praktik kedokteran yang layak. 14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh persetujuan etik dari lembaga yang diakui pemerintah. 15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya. 16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi. 17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundangundangan atau etika profesi. 18. Membuat keterangan medic yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut. Berkaitan dengan KODEKI pasal 7.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan atau eksekusi hukuman mati. 20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, NAPZA, yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau etika profesi. 21. Melakukan pelecehan sexual, tindakan intimidasi, atau tindakan kekerasan kepada pasien di tempat praktik. 22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya. 23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan. 24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan yang tidak benar/menyesatkan. 25. Ketergantungan pada narkotika, NAPZA, alkohol, serta zat adiktif lainnya. 26. Berpraktik dengan meggunakan STR/SIP yang tidak sah. 27. Ketidak jujuran dalam menentukan jasa medic. 28. Tidak memberikan informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya yang diperlukan
Sanksi terhadap disiplin tersebut ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada pasal 69 ayat 3, yaitu : 1. Pemberian peringatan tertulis. 2. Rekomendasi pencabutan STR/SIP. Pencabutan dapat dilakukan minimal 1 tahun, maksimal selama-lamanya. 3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di Institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi. Dapat berupa pendidikan formal, atau berupa pelatihan atau magang di Institusi pendidikan kedokteran minimal 3 bulan atau maksimal 1 tahun.
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari pembuatan
keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.