BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Gastroenteritis akut merupakan peradangan pada lambung dan usus yang ditandai dengan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering
kali
disertaipeningkatansuhutubuh.Diareyangdimaksudkanadalahbuangairbesar berkali-kali (dengan jumlah yang melebihi 4 kali, dan bentuk feses yang cair, dapat disertai dengan darah atau lendir. (Suratun,2010) Penyakit diare hingga kini masih merupakan salah satu penyakit utama yang menjadi masalah kesehatan masyasakat di Indonesia karena memiliki insidensi danmortalitasyangtinggi.Diperkirakanterdapatantara2050kejadiandiareper100 penduduk setahunnya. Kematian terutama disebabkan karena penderita mengalami dehidrasi berat. Antara 70-80% penderita terdapat pada mereka dibawah 5 tahun. Data Departemen Kesehatan menunjukan, diare menjadi penyakit pembunuh kedua bayi dibawah 5 tahun atau balita di Indonesia, setelah radang paru ata pneumonia (Makara, 2010). Etiologi
gastroenteritis
akut
menurut
World
Gastroenterology
Organisation global guideslines 2005 dibagi 4 : bakteri, virus, parasit dan non-infeksi.
Bakteri
yangpalingseringmenyebabkandiareakutiniadalah:Escherichiacolipathogen, Shigella
sp.,
Salmonella
sp.,Vibrio
cholera,
Pseudomonas
sp.,
Staphylococcus aureus,Streptococcussp.,Klabsiellasp..Virus:rotavirus,adenovirus,Norwalk virus, CMV. Parasit: Entamoeba histolitica, Giardia lamblia. Cacing:Ascaris lumbricoides, cacing tambang. Fungus:kandida/moniliasis. Selain itu, dapat disebabkan oleh non-infeksi : imunodefisiensi (hipogamaglobulinemia), terapi obat antibiotik, kemoterapi, antasida. (Anggraini. Wenny.2008) 1
Penyakit ginjal kronik / Chronic Kidney Disease adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, beruapa dialisis atau transplantasi ginjal. CKD merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan imsidens penyakit ginjal kronik diperikirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negaranegara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-50 kasus perjuta penduduk pertahun.3 Sel darah merah (SDM) atau eritrosit adalah cakram bikonkaf tidak berinti yang kira-kira berdiameter 8µm, tebal bagian tepi 2 µm dan ketebalannya berkurang di bagian tengah menjadi hanya 1 mm atau kurang. Karena lunak dan lentur maka selama melewati mikrosirkulasi sel – sel ini mengalami perubahan konfigurasi. Stroma bagian luar membran sel mengandung antigen golongan darah A dan B serta faktor Rh yang menentukan golongan darah seseorang.Komponen utama SDM adalah hemoglobin protein (Hb), yang mengangkut sebagian besar oksigen dan sebagian kecil fraksi karbon dioksida dan mempertahankan pH normal melalui serangkaian dapar intraselular. Molekulmolekul Hb terdiri atas 2 pasang rantia polipeptida (globin) dan 4 kelompok heme, masing-masing mengandung sebuah atom besi. Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sesuai.4 Rata- rata orang dewasa memiliki jumlah SDM kira-kira 5 juta per milimeter kubik,masing-masing SDM memilki siklus hidup sekitar 120 hari. Keseimbangan tetap dipertahankan antara kehilangan dan penggantian normal sel darah
sehari-hari.
Produksi
SDM
dirangsang
oleh
hormon
glikoprotein,eritropoietin, yang diketahui terutama bersal dari ginjal, dengan 10% 2
berasal dari hepatosit hati. Produksi eritropoietin dirangsang oleh hipoksia jaringan ginjal yang disebabkan oleh perubahan – perubahan tekanan 02 atmosfer, penurunan kandungan 02 darah arteri, dan penurunan konsentrasi hemoglobin. Eritropoietin merangsang sel-sel induk untuk memulai proliferasi dan maturasi sel-sel darah merah. Maturasi bergantung pada jumlah zat-zat makanan yang adekuat dan penggunaannya yang sesuai, seperti vitamin B12, asam folat,protein, zat besi dan tembaga.Dalam keadaan adanya penyakit ginjal atau tidak adanya ginjal, anemia menjadi sangat berat karena hati tidak dapat memasok cukup eritropoetin. (Guyton, 2001)
1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Case report session ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Solok dan diharapkan agar dapat menambah pengetahuan penulis serta sebagai bahan informasi bagi para pembaca. 1.2.2 Tujuan Khusus Tujuan penulisan dari case report session ini adalah untuk mengetahui defenisi, etiologi, patofisiologi, gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan dan diskusi mengenai kasus gastroenteritis akut,penyakit ginjal khronis dan anemia 1.3 Metode Penulisan Case report session ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DIARE AKUT 2.1.1. DEFINISI Diare adalah buang air besar ( defaksi ) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah padat ), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam. Definisi lain memakai kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. Diare akut yaitu diare yang berlangsung kurang dari 15 hari. Sedangkan menurut World Gastroenterology Organisation global guidelines 2005, diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja yang cair/lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari. Diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 15 hari. Sebenarnya para pakar di dunia telah mengajukan beberapa kriteria mengenai batasan kronik pada kasus diare tersebut, ada yang 15 hari, 3 minggu, 1 bulan, dan 3 bulan, tetapi di Indonesia dipilih waktu lebih dari 15 hari agar dokter tidak lengah, dapat lebih cepat menginvestigasi penyebab diare dengan lebih tepat. Diare persisten merupakan istilah yang dipakai di luar negri yang menyatakan diare yang berlangsung 15 – 30 hari yang merupakan kelanjutan dari diare akut ( peralihan antara diare akut dan kronik, dimana lama diare kronik yang dianut yaitu yang berlangsung lebih dari 30 hari). Diare infektif adalah bila penyebabnya infeksi. Sedangkan diare non infektif bila tidak ditemukan infeksi sebagai penyebab pada kasus tersebut.Diare organik adalah bila ditemukan penyebab anatomik, bakteriologik, hormonal, atau toksikologik. Diare fungsional bila tidak dapat ditemukan penyebab organik.
4
2.1.2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit gastroenteritis di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survey morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Gastroenteritis, Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit gastroenteritis 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 426/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) juga masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 23 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB gastroenteritis di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 orang, dengan jumlah kematian 73 orang (CFR 1,74%). (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2011). Prevalensi diare dalam Riskesdas 2007 diukur dengan menanyakan apakah responden pernah didiagnosis diare oleh tenaga kesehatan dalam satu bulan terakhir. Responden yang menyatakan tidak pernah, ditanya apakah dalam satu bulan tersebut pernah menderita buang air besar >3 kali sehari dengan kotoran lembek/cair. Responden yang menderita diare ditanya apakah minum oralit atau 5
cairan gula garam.Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi NAD (18,9%) dan terendah di DI Yogyakarta (4,2%). Beberapa provinsi mempunyai prevalensi diare klinis >9% (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua) yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini. 2.1.3. KLASIFIKASI Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan: 1. Lama waktu diare: akut atau kronik, 2. Mekanisme patofisiologis: osmotik atau sekretorik,dll 3. Berat ringan diare: kecil atau besar, 4. Penyebab infeksi atau tidak: infektif atau non-infektif,dan 5. Penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional. 2.1.4. ETIOLOGI Diare akut disebabkan oleh banyak penyebab antara lain infeksi (bakteri, parasit, virus), keracunan makanan, efek obat-obat dan lain-lain. (Tabel 1. )Menurut World Gastroenterology Organisation global guidelines 2005, etiologi diare akut dibagi atas empat penyebab: bakteri, virus, parasit, dan non-infeksi.
6
2.1.5. KEADAAN RISIKO DAN KELOMPOK RISIKO TINGGI YANG MUNGKIN MENGALAMI DIARE INFEKSI 1. Baru saja bepergian/melancong : ke negara berkembang, daerah tropis, kelompok perdamaian dan pekerja sukarela, orang yang sering berkemah (dasar berair) 2. Makanan atau keadaan makanan yang tidak biasa: makanan laut dan shell fish, terutama yang mentah, Restoran dan rumah makan cepat saji (fast food), banket, piknik 3. Homoseksual, pekerja seks, pengguna obat intravena, risiko infeksi HIV, sindrom ususs homoseks (Gay bowel Syndrome) sindrome defisiensi kekebalan didapat (Acquired immune deficiency syndrome) 4. Baru saja menggunakan obat antimikroba pada institusi: intitusi kejiwaan/mental, rumah-rumah perawatan, rumah sakit.
2.1.6. PATOFISIOLOGI/PATOMEKANISME Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi/patomekanisme sebagai berikut: 1. Osmolaritas intraluminal yang meninggi, disebut diare osmotik; 2. Sekresi cairan dan elektrolit meninggi, disebut diare sekretorik; 3. Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak; 4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit; 5. Motilitas dan waktu transit usus abnormal; 6. Gangguan permeabilitas usus; 7. Inflamasi dinding usus, disebut diare inflamatorik; 8. Infeksi dinding usus, disebut diare infeksi. Diare osmotik: diare tipe ini disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralimen dari usus halus yang disebabkan oleh obat-obat/zat kimia yang hiperosmotik (a.l.MgSO4, Mg(OH)2),malabsorpsi umum dan defek dalam absopsi mukosa usus misal pada defisiensi disararidase, malabsorpsi glukosa/galaktosa.
7
Diare sekretorik: diare tipe ini disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus, menurunnya absorpsi. Yang khas pada diare ini yaitu secara klinis ditemukan diare dengan volume tinja yang banyak sekali. Diare tipe ini akan tetap berlangsung walaupun dilakukan puasa makan/minum. Penyebab dari diare tipe ini antara lain karena efek enterotoksin pada infeksi Vibrio cholerae, atau Escherichia coli, penyakit yang menghasilkan hormon (VIPoma), reseksi ileum (gangguan absorpsi garam empedu), dan efek obat laksatif dioctyl sodium sulfosuksinat dll). Malabsorpsi asam empedu, malabsorbsi lemak: Diare tipe ini didapatkan pada gangguan pembentukan/produksi micelle empedu dan penyakit-penyakit sala\uran bilier dan hati.Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di enterosit: diare tipe ini disebabkan adanya hambatan mekanisme transport aktif Na+K+ATP ase di enterosit dan abrsorpsi Na+ dan air yang abnormal. Motilitas dan waktu transit usus abnormal: diare tioe ini disebabkan hipermotilitas dan iregularitas motilitas usus sehingga menyebabkan absorpsi yang abnormal di usus halus. Penyebab gangguan motilitas antara lain: diabetes melitus, pasca vagotomi, hipertiroid. Gangguan permeabilitas usus: diare tipe ini disebabkan permeabilitas usus yang abnormal disebabkan adanya kelainan morfologi membran epitel spesifik pada usus halus. Inflamasi dinding usus (diare inflamatorik): diare tipe ini disebabkan adanya kerusakan mukosa usus karena proses inflamasi, sehingga terjadi produksi mukus yang berlebihan dan eksudasi air dan elektrolit kedalam lumen, gangguan absorpsi air-elektrolit. Inflamasi mukosa usus halus dapat
dapat disebabkan infeksi
(disentri Shigella) atau non infeksi (kolitis ulseratif dan penyakit Crohn) Diare infeksi: infeksi oleh bakteri merupakan penyebab tersering dari diare. Dari sudut kelainan usus, diare oleh bakteri dibagi atas non-invasif (tidak merusak mukosa) invasif (merusak mukosa). Bakteri non-invasif menyebabkan ndiare karena toksin yang disekresi oleh bakteri tersebut, yang disebut diare toksigenik. Contoh diare toksigenik a.1. kolera (Eltor). Enterotoksin yang dihasilkan kuman 8
Vibrio cholare/eltor merupakan protein yang dapat menempel pada epitel usus, yang lalu membentuk adenosin monofosfat siklik (AMF siklik) di dinding usus dan menyebabkan sekresi aktif anion klorida yang diikuti air, ion bikarbonat, kation natrium, dan kalium. Mekanisme absorpsi ion natrium melalui mekanisme pompa natrium tidak terganggu karena itu keluarnya ion klorida (diikuti ion bikarbonat, air, natrium, ion kalium) dapat di kompensasi oleh meningginya absorpsi ion natrium (diiringi oleh air, ion kalium, ion bikarbonat, klorida). Kompensasi ini dapat dicapai dengan pemberian larutan glukosa yang diabsorpsi secara aktif oleh dinding sel usus. 2.1.7. PATOGENESIS Yang berperan pada terjadinya diarekut terutama karena infeksi yaitu faktor kausal (agent) dan faktor penjamu(host). Faltor penjamu adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap organisme yang menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor-faktor daya tangkis atau lingkungan internal saluran cerna antara lain: keasaman lambung, molaritas usus, imunitas dan juga lingkungan mikroflora usus. Faktor kausal yaitu daya penetrasi yang dapat merusak sel mukosa, kemampuanmemproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan usus halus serta daya lekat kuman. Patogenesis diare karena infekti bakteriparasit terdiri atas: Diare karena bakteri non-invasif (enterotoksigenik). Bakteri yang tidak merusak mukosa misal V.cholerae Eltor, Enterotoxigenic E.coli (ETEC) dan C. Perfringens. V. Cholerae eltor mengeluarkan toksin yang terikatpada mukosa usus halus 15-30 menit sesudah diproduksi vibrio. Enterotoksin
ini
menyebabkan
kegiatan
berlebihan
nikotinamid
adenin
dinukleotid pada dinding sel usus, sehingga meningkatkan kadar adenosisn 3’,5’siklik monofosfat (siklik AMP) dalam sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida kedalam lumen usus yang diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation natrium, dan kalium.
9
Diare karena bakteri/parasit invasif (enterovasif). Bakteri yang merusak (invasif) antara lain Enteroinvasive E. coli (EIEC), Shalmonella, yersinia, C. Perfringens tipe C. Diare disebabkan oleh kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercampur lendir dan darah. Walau demikian infeksi kumankuman ini dapat juga bermanifestasi sebagai diare koleriformis. Kuman Salmonella yang sering menyebabkan diare yaitu S. Paratyphi B, Styphimurium, S enterriditis, S choleraesuis. Penyebab parasit yang sering yaitu E. Histolitika dan G. Lamblia. 2.1.8. DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 2.1.8.1.Anamnesis Pasien dengan diare akut datang dengan berbagai gejala klinik tergantung penyebab penyakit dasarnya. Keluhan diarenya berlangsung kurang dari 15 hari. Diare karena penyakit usus halus biasanya berjumlah banyak, diare air, dan sering berhubungan dengan malabsorpsi, dan dehidrasi sering didapatkan. Diare karena kelainan kolon seringkali berhubungan dengan tinja berjumlah kecil tetapi sering, bercampur darah dan sensasi ingin ke belakang. Pasien dengan diare akut infektif datang dengan keluhan khas yaitu nausea, muntah, nyeri abdomen, demam, dan tinja yang sering, bisa air, malabsorptif, atau berdarah tergantung bakteri patogen yang spesifik. Secara umum, patogen usus halus tidak invasif, dan patogen ileokolon lebih mengarah keinvasif. Pasien yang memakan toksin atau pasien yang mengalami infeksi toksigenik secara khas mengalami nausea dan muntah sebagai gejala prominen bersamaan dengan diare air tetapi jarang mengalami demam. Muntah yang mulai beberapa jam dari masuknya makanan mengarahkan kita pada keracunan makanan karena toksin yang dihasilkan. Parasit yang tidak menginvasi mukosa usus, seperti Giardia lamblia dan Cryptosporidium, biasanya menyebabkan rasa tidak nyaman di abdomen yang ringan. Giardiasis mungkin berhubungan dengan steatorea ringan, perut bergas dan kembung. 10
Bakteri invasif seperti Campylobacter, Salmonella, dan Shigella, dan organisme yang menghasilkan sitotoksin seperti Clostridium difficile dan Enterohemorrhagic E coli (serotipe O 157: H7) menyebabkan inflamasi usus yang berat. Organisme Yersinia seringkali menginfeksi ileum terminal dan caecum dan memiliki gejala nyeri perut kuadran kanan bawah, menyerupai apendisitas akut. Infeksi Campylobacter jejuni sering bermanifestasi sebagai diare, demam dan kadang kala kelumpuhan anggota badan dan badan(sindrom Guillain-Barre). Keluhan lumpu pada infeksi usus ini sering disalah tafsir sebagai malpraktek dokter karena ketidaktahuan masyarakat. Diare air merupakan gejala tipikal dari organisme yang menginvasi epitel usus dengan inflamasi minimal, seperti virus enterik, atau organisme yang menempel tetapi tidak menghancurkan epitel, seperti enteropathogenic E coli, protozoa, helminths. Beberapa organisme seperti Campylobacter,
Aeromonas,
Shigella,
dan
Vibrio
species
(misal,
V
parahemolyticus) menhasilkan enterotoksin dan juga menginvasi mukosa usus pasien, karena itu menunjukkan gejala diare air diikuti diare berdarah dalam beberapa jam atau hari. Sindrom Hemolitik-uremik dan purpura trombositopenik trombotik
(TTP)
dapat
timbul
pada
infeksi
denagan
bakteri
E
coli
enterohemorrhagic dan Shigella, terutama anak kecil dan orang tua. Infeksi Yersinia dan bakteri enterik lain dapat disertai sindrom Reiter (artritis, uretritis, dan konjungtivitis), tiroiditis, perikarditis atau glomerulonefritis. Demam enterik, disebabkan Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi, merupakan penyakit sistemik yang berat yang bermanifestasi sebagai demam tinggi yang lama, prostrasi, bingung dan gejala respiratorik, diikuti nyeri tekan abdomen, diare dan kemerahan (rash). Dehidrasi dapat timbul jika diare dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil ndengan warna urine gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada keadaan berat, dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala.
11
Dehidrasi menurut keadaan klinisnya dibagi atas 3 tingkatan: a. Dehidrasi Ringan (hilang cairan 2-5% BB): Gambaran klinisnya tugor kurang, suara serak (vox cholerica), pasien belum jatuh dalam presyok. b. Dehidrasi Sedang (hilang cairan 5-8%BB): Turgor buruk, suara serak, pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas cepat dan dalam. c. Dehidrasi Berat (hilang cairan 8-10% BB): Dehidrasi sedang ditambah kesadaran menurun (apatis sampai koma), otot-otot kaku, sianosis. 2.1.8.2.Pemeriksaan Fisis Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur tubuh dan tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupaka hal yang penting. Adanya dan kualitas bunyi usus dan adanya atau tidak adanya distensi abdomen dan nyeri tekan merupakan “clue” bagi penentu etiologi. 2.1.8.3.Pemeriksaan Penunjang Pada pasien yang mengalami dehidrasi atau toksisitaas berat atau diare berlangsung lebih dari beberapa hari, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan tersebut
a.1.
pemeriksaan darah
tepi
lengkap
(hemoglobin, hematokrit, leukosit, hitung jenis leukosit), kadar elektrolit serum, Ureum dan kreatinin, pemeriksaan tinja dan pemeriksaan Enzym-linked immunosorbent assay (ELISA) mendeteksi diargiarsis dan test serologic amebiasis,dan foto x-ray abdomen.
12
Pasiendengan diare karena virus, biasanya memiliki jumlah dan hitung jenis leukosit yang normal atau limfositosis. Pasien denganinfeksi bakteri terutama pada infeksi baketri yang invasif ke mukosa, memiliki leukositosis dengan kelebihan darah putih muda. Neutropenia dapat timbul pada salmonellosis. Ureum dan kreatinin diperiksa untuk memeriksa adanya kekurangan volume cairan dan mineral tubuh. Pemeriksaan tinja dilakukan untuk melihat adanya leukosit dalam tinja uang menunjukan adanya infeksi bakteri, adanya telur cacing dan dewasa. Pasien yang telah mendapat pengobatan antibiotik dalam 3 bulan sebelumnya atau yang mengalami diare di rumah sakit sebaiknya diperiksa tinja untuk pengukuran toksin Clostridium difficile. Rektoskopi atau sigmoidoskopi perlu dipertimbangkan pada pasien-pasien yang toksik, pasien dengan diare berdarah, ataupasien dengan diare akut persisten. Pada sebagian besar pasien, sigmoidoskopi mungkin adekuat sebagai pemeriksaan awal. Pada pasien dengan AIDS yang mengalami diare, kolonoskopi dipertimbangkan karena kemungkinan penyebab infeksi atau limfoma didaerah kolon kanan. Biopsi mukosa sebaiknya dilakukan jika mukosa terlihat inflamasi berat. 2.1.9. PENENTUAN DERAJAT DEHIDRASI Derajat dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan: 1. Keadaan klinis: ringan, sedang dan berat (telah dibicarakan diatas) 2. Berat Jenis Plasma: Pada dehidrasi BJ plasma meningkat a) Dehidrasi berat: BJ plasma 1,032-1,040 b) Dehidrasi sedang: BJ plasma 1,028-1,032 c) Dehodrasi ringan: BJ plasma 1,025-1,028 3. Pengukuran Central Venous Pressure (CVP): Bila CVP +4s/d+11cm H2): normal Syok atau dehidrasi maka CVP kurang dari +4cm H2O
13
2.1.10. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan diare akut antara lain: Rehidrasi Bila pasien keadaan umum baik tidak dehidrasi, asupan cairan yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, sup dan keripik asin. Bila pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi, penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula atau starch haarus diberikan. Terapi rehidrasi oral murah, efektif dan lebih praktis daripada cairan intravena. Cairan oral antara lain: pedialit, oralit, dll. Cairan diberikan 50-200 ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan status hidrasi. Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu derajat dehidrasi. Dehidrasi terdiri dari dehidrasi ringan, sedang, dan berat. Ringan bila pasien mengalami kekurangan cairan 2-5% dari Berat Badan. Sedang bila pasien kehilangan 5-8% cairan dari Berat Badan. Berat bila pasien kehilangan 8-10% dari Berat Badan. Prinsip dari menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan: 1. BJ plasma dengan rumus: Kebutuhan Cairan : Bj Plasma-1,025
x BB x 4ml
0,001
2. Metode Pierce berdasarkan klinis: Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% X Berat Badan(kg) Dehidrasi Sedang, kebutuhan cairan = 8 X Berat Badan(kg) Dehidrasi Berat, kebutuhan cairan = 10 X Berat Badan(kg)
14
3. Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis a.1. (Lihat Tabel 5)
Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan peroral (sebanyak mungkin sedikt demi sedikit). Bila skor lebih atau sama 3 disertai syok diberikan cairan perintravena. Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang nasogastrik atau intravena. Bila dehidrasi sedang atau berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infus pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan/sedang pada pasien masih dapat diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik, kecuali bila ada kontra indikasi atau oral/saluran cerna atas tak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g Natrium Bikarbonat dan 1,5 g KCl setiap liter. Contoh oralit generik, renalyte, pharolit dll. Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas: a) Dua jam pertama ( tahap rehidrasi inisial ): jumlah total kebutuhan cairan menurut rumus BJ plasma atau skor Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai rehidrasi optimal secepat mungkin. b) Satu jam berikut/jam ke-3 ( tahap kedua ) pemberian diberikan berdasarkan kehilangan cairan selama 2 jam pemberian cairan rehidrasi
15
inisial sebelumnya. Bila tidak ada syok atau skor Daldiyono kurang dari 3 dapat diganti cairan per oral. c) Jam berikutnya pemberian cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan Insensible water loss (IWL) Diet Pasien diare tidak dianjurkan puasa, kecuali bila muntah-muntah hebat. Pasien dianjurkan justru minum minuman sari buah, teh, minuman tidak bergas, makanan mudah dicerna seperti pisang, nasi, keripik dan sup. Susu sapi harus dihindarkan karena adanya defisiensi laktase transien yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Minuman berkafein dan alkohol harus dihindari karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus. Obat anti-diare a) Yang paling efektif yaitu derivat opioid misal loperamide, difenoksilatatropin dan tinktur opium. Loperamide paling disukai karena tidak adiktif dan memiliki efek samping paling kecil. Bismuth subsalisilat merupakan obat lain yang dapat digunakan tetapi kontraindikasi pada pasien HIV karena dapat menimbulkan ensefalopati bismuth. Obat anti motilitas penggunaannya harus hati-hati pada pasien disentri yang panas (termasuk infeksi Shigella) bila tanpa disertai anti mikroba, karena dapat memperlama penyembuhan penyakit.3 b) Obat yang mengeraskan tinja: atapulgite 4X 2 tab/hari, smectite 3X 1 saset diberikan tiap diare/BAB encer sampai diare berhenti.
16
c) Obat anti sekretorik atau anti enkephalinase: Hidrasec 3 x 1 tab/hari.
Obat anti-mikroba Karena kebanyakan pasien memilki penyakit yang ringan, self limited disease karena virus atau bakteri non-invasif, pengobatan empirik tidak dianjurkan pada semua pasien. Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien-pasien yang diduga mengalami infeksi bakteri invasif, diare turis (traveler’s disease) atau imunosupresif. Obat pilihan yaitu kuinolon (misal siprofloksasin 500 mg 2x/hari selama 5-7 hari). Obat ini baik terhadap bakteri patogen invarsif termasuk Campylobacter, Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Aeromonas species. Sebagai alternatif yaitu kotrimoksazol (trimetoprim/sulfametoksazol, 160/800 mg 2x/hari, atau eritromisin 250-500 mg 4x/hari). Metronidazol 250 mg 3x/hari selama 7 hari diberikan bagi yang dicurigai giardiasis. Untuk turis tertentu yang bepergian ke daerah risiko tinggi, kuinolon ( misal siprofloksasin 500 mg/hari) dapat dipakai sebagai profilaktik yang memberikan perlindungan sekitar 90%. Obat profilaktik
lain termasuk trimetoprim-
sulfametoksazol dan bismuth subsasilat. Patogen spesifik yang harus diobati a.1. vibrio cholerae, Clostridium difficile, parasit, traveler’s diarrhea, dan infeksi 17
karena penyakit seksual (gonorrhea, sifilis, klamidiosis, dan herpes simpleks). Patogen yang mungkin diobati termasuk vibrio non kolera, Yersinia, dan Campylobacter, dan gejala lebih lama pada infeksi Aeromonas, Plesiomonas, dan E coli enteropathogenic. Obat pilihan bagi diare karena Clostridium difficile yaitu metronidazol intravena diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi pemberian per oral.
18
2.2. Penyakit Ginjal Kronik 2.2.1. Definisi Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) mendefinisikan gagal ginjal kronik adalah kerusakan pada organ ginjal di mana terjadi penurunan tingkat filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate – GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih. Apapun etiologi yang mendasari, penghancuran massa ginjal dengan sclerosis ireversibel dan hilangnya nefron menyebabkan penurunan progresif GFR. Kriteria penyakit gagal ginjal kronik: Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : - Kelainan patologis - Tedapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin , atau kelainan dalam tes pencitraan ( imaging test) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/ 1,73m² selama 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal. 2.2.2. Anatomi Ginjal 1. Makroskopis Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang peritonium (retroperitoneal), didepan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih beratnya antara 120-150 gram. Ginjal Bentuknya seperti biji kacang, dengan lekukan yang menghadap ke dalam. Jumlahnya ada 2 19
buah yaitu kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari pada ginjal wanita. Ginjal kanan biasanya terletak sedikit ke bawah dibandingkan ginjal kiri untuk memberi tempat lobus hepatis dexter yang besar. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak (lemak perirenal dan lemak pararenal) yang membantu meredam guncangan. Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat cortex renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan cortex. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari lubang-lubang kecil disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal. Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul. 2. Mikroskopis Ginjal terbentuk oleh unit yang disebut nephron yang berjumlah 1-1,2 juta buah pada tiap ginjal. Nefron adalah unit fungsional ginjal. Setiap nefron terdiri dari kapsula bowman, tumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan diri keduktus pengumpul. Unit nephron dimulai dari pembuluh darah halus / kapiler, bersifat sebagai saringan disebut Glomerulus, darah melewati glomerulus/ kapiler tersebut dan disaring sehingga terbentuk filtrat (urin yang masih encer) yang berjumlah kira-kira 170 liter per hari, kemudian dialirkan melalui pipa/saluran yang disebut Tubulus. Urin ini dialirkan keluar ke saluran Ureter, kandung kencing, kemudian ke luar melalui Uretra. Nefron berfungsi sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara menyaring darah, kemudian 20
mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan tubuh. Molekul dan sisa cairan
lainnya
akan
dibuang.
Reabsorpsi
dan
pembuangan
dilakukan
menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil akhir yang kemudian diekskresikan disebut urin. A. Vaskularisasi ginjal Arteri renalis dicabangkan dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra lumbalis II. Vena renalis menyalurkan darah kedalam vena kavainferior yang terletak disebelah kanan garis tengah. Saat arteri renalis masuk kedalam hilus, arteri tersebut bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan diantara piramid selanjutnya membentuk arteri arkuata kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun paralel dalam korteks. Arteri interlobularis ini kemudian membentuk arteriola aferen pada glomerulus. Glomeruli bersatu membentuk arteriola aferen yang kemudian bercabang membentuk sistem portal kapiler yang mengelilingi tubulus dan disebut kapiler peritubular. Darah yang mengalir melalui sistem portal ini akan dialirkan kedalam jalinan vena selanjutnya menuju vena interlobularis, vena arkuarta, vena interlobaris, dan vena renalis untuk akhirnya mencapai vena cava inferior. Ginjal dilalui oleh sekitar 1200 ml darah permenit suatu volume yang sama dengan 20-25% curah jantung (5000 ml/menit) lebih dari 90% darah yang masuk keginjal berada pada korteks sedangkan sisanya dialirkan ke medulla. Sifat khusus aliran darah ginjal adalah otoregulasi aliran darah melalui ginjal arteiol afferen mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat merubah resistensinya sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah arteri dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus tetap konstan. B. Persarafan Pada Ginjal Menurut Price (1995) “Ginjal mendapat persarafan dari nervus renalis (vasomotor), saraf ini berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk kedalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal”.
21
Gambar 1: Anatomi Ginjal 2.2.3. Epidemiologi CKD merupakan masalah kesehatan yang mendunia dengan angka kejadian yang terus meningkat, mempunyai prognosis buruk dan memerlukan biaya perawatan yang mahal. Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan imsidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-50 kasus perjuta penduduk pertahun. Dua penyebab utamanya adalah diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 serta hipertensi. . Jumlah penderita gagal ginjal di Indonesia sekitar 150 ribu orang dan yang menjalani hemodialisis 10 ribu orang. 22
2.2.4 Klasifikasi Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi . Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus kockcroft- Gault sebagai berikut : LFG (ml/mnt/1,73m² = (140-umur) x berat badan 72x kreatinin plasma (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85 Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit. Derajat
Penjelasan
LFG (ml/mnt/1,73m²)
1
kerusakan ginjal dengan LFG ≥90 normal atau
2
kerusakan ginjal dengan LFG 60-89 ringan
3
Kerusakan ginjal dengan LFG 30-59 sedang
4
Kerusakan ginjal dengan LFG 15-29 berat
5
Gagal ginjal
≤ 15
2.2.5 Etiologi 3 Etiologi penyakit gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain . sedangkan perhimpunan nefrolohi indonesia (pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia. Penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik diamerika serikat (1995-1999)
Diabetes mellitus
44 %
Tipe 1 (7%) 23
Tipe 2 (37%)
Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar
27%
Glomerulonefritis
10%
Nefritis intersisialis
4%
Kista dan penyakit bawaan lain
3%
Penyakit sistemik ( missal, lupus dan vaskulitis)
2%
Neoplasma
2%
Tidak diketahui
4%
Penyakit lain
4%
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia Th 2000 Glomerulonefritis
46,39%
Diabetes mellitus
18,65%
Obstruksi dan infeksi
12,85%
Hipertensi
8,46%
Sebab lain
13,65%
Dikelompokan pada sebab lain diantaranya,nefritis lupus,nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui. 2.2.6. Patofisiologi gagal ginjal
24
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif , walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi . adanya peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron , sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β(TFG-β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit gagal kronik adalah albuminuria., Hipertensi, Hiperglikemia, Dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron ynag progresif, yang diandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik ), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia,badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan . sampai pada LFG dibawah 30% pasien memperlihatkan gajala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang ebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi penggati ginjal (renal replacement 25
therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal. Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : - Anemia Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis - Sesak nafas Menurut saya disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi NaCl dan air volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) volume cairan berlebihan ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer LVH peningkatan tekanan atrium kiri peningkatan tekanan vena pulmonalis peningkatan tekanan di kapiler paru edema paru sesak nafas - Asidosis Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH 26
darah. Apabila penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis - Hipertensi Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah. - Hiperlipidemia Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia. - Hiperurikemia Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan nyeri - Hiponatremia Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.
27
- Hiperfosfatemia Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus) - Hipokalsemia Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan
perangsangan
yang terus-menerus
ini,
kelenjar
paratiroid
mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat keadaan hipokalsemia - Hiperkalemia
28
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental. - Proteinuria Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga
molekul
protein
berukuran
besar
seperti
albumin
dan
immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebut dengan sindrom nefrotik. - Uremia Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma uremikum.
29
2.2.7. Gejala gagal ginjal
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi
traktus
urinarius,
batu
traktus
urinarius,
hipertensi,hiperurikemi, lupus eritomatosus sistemik (LES) dan lain sebagainya.
Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,nokturia, kelebihan volum cairan (volum overload), neuropati perifer, pruritus uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
Gejala komplikasi lainnya, Hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan keseimbangan elektrlit (sodium,kalium,khlorida).
2.2.8. Penatalaksanaan Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi : Terapi spesifik terhadap penyakitnya Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition) Memperlambat perburukan ( progression) fungsi ginjal Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular 30
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya. Rencana tatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya.
Derajat 1 LFG ≥90 (ml/mnt/1,73m²) Terapi
penyakit
dasar,
kondisi
komorbid,
evaluasi
pemburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskular.
Derajat 2 LFG 60-89 (ml/mnt/1,73m²) Menghambat pemburukan (progession) fungsi ginjal
Derajat 3 LFG 30-59 (ml/mnt/1,73m²) Evaluasi dan terapi komplikasi
Derajat 4 LFG 15-29 (ml/mnt/1,73m²) Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
Derajat 5 LFG < 15 (ml/mnt/1,73m²) Terapi pengganti ginjal
Tatalaksana untuk mencegah progesivitas PGK Kontrol tekanan darah Target tekanan darah : <130/ 80 mmHg (tanpa proteinuria), ,125/75
mmHg
(dengan
proteinuria).
Antihipertensi
yang
disarankan ialah menghambat ACE, ARB, (angiotensin receptor blocker) dan CCB ( calcium channel blocker) non dihidropiridin. Retriksi asupan protein Untuk mencegah resiko malnutrisi. Rekomendasi asupan protein : - PGK pre- dialisis : 0,6-0,75 g/kgBB ideal /hari - PGK- Hemodialisa : 1,2 g/kgBB ideal /hari - PGK- dialisis peritoneal : 1,2-1,3 g/kgBB ideal /hari 31
- transplantasi ginjal : 1,3 g/kgBB ideal /hari pada 6 minggu pertama pasca transplantasi dilanjutkan 0,8-1 g/kgBB ideal /hari. Protein yang dipilih adalah yang memiliki kandungan biologis tinggi (protein hewani) . minimal 50% Kontrol kadar glukosa darah berdasarkan pilar penatalaksanaan diabetes melitus Retriksi cairan Rekomendasi asupan cairan pada PGK adalah : - PGK pre-dialisis : cairan tidak dibatasi dengan produksi urin yang normal. - PGK- Hemodialisis : 500ml/hari + produksi urin - PGK –dialisis peritoneal : 1500-2000 ml/hari, lakukan pemantauan harian. - Transplantasi ginjal Pada
fase
akut
pasca
transplantasi,
pasien
dipertahankan
euvolemik/sedikit hipervolemik dengan insensible water loss diperhitungkan sebesar 30-60 ml/jam.untuk pasien normovolemik dan graft berfungsi baik,asupan cairan dianjurkan minimal 2000ml/hari. Untuk pasien oliguria asupan cairan harus seimbang dengan produksi urin ditambah insensible water loss 500-750 ml. Retriksi asupan garam Rekomendasi asupan NaCl per hari - PGK pre-dialisis : <5 g/hari - PGK- Hemodialisis : 5-6 g/hari - PGK –dialisis peritoneal : 5-10 g/hari - Transplantasi ginjal : <6-7 g/hari Natrium hanya dibatasi pada periode akut pasca operasi dimana mungkin terjadi fungsi graft yang buruk atau hipertensi pasca transplantasi. Terapi dislipidemia Targe LDL <100 mg/dl Apabila trigliserida ≥200 mg/dl. Target kolesterol non HDL < 130 mg/dl.kolesterol non HDL adalah kadar kolesterol total dikurangi 32
kadar HDL. Terapi dislipidemia dapat menggunakan statin serta pola makan rendah lemak jenuh.asupan lemak dianjurkan 25-30% total kalori dengan lemak jenuh dibatasi <10%. Apabila ada dislipidemia asupan kolesterol dalam makanan dianjurkan <300 mg/hari. Modifikasi gaya hidup Indeks masa tubuh ideal (20-22,9 kg/m²)dilakukan pengaturan berat badan dan olahraga 30 menit minimal 3 hari dalam seminggu. Serta berhenti merokok. Edukasi Pasien mengerti tentang PGK. Faktor progesivitas, pilihan modalitas terapi pengganti ginjal.
2.2.9. Komplikasi PGK Komplikasi PGK meliputi penyakit tulang dan mineral terkait PGK (CKDMBD/ cronic kidney disease-mineral bone disease) kejadian kardiovaskular (perikarditis,
penyakit
jantung
koroner,
henti
jantung)
komplikasi
neurologis,infeksi, serta komplikasi nutrisi dan saluran cerna, anemia, hiperparatiroid-ismesekunder. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik.
33
2.3. ANEMIA 2.3.1 DEFINISI Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atu hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit.Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi , perdarahan akut dan kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia,jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal seta keadaan fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.(Aru. W.Sudoyo, 2009) 2.3.2 KRITERIA ANEMIA Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit.Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 gr/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka berbeda yaitu 12 gr/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu
34
Kelompok
Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki Dewasa
< 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil
< 12 g/dl
Wanita Hamil
< 11 g/dl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut. Oleh karena itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India dipakai angka 10-11 g/dl. 2.3.3 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA Klasifikasi Derajat Anemia Menurut WHO yang dikutip dalam buku Handayani W, dan Haribowo A S, (2008) : 1.Ringan sekali Hb 10,00 gr% -13,00 gr% 2. Ringan Hb 8,00 gr% -9,90 gr% 3. Sedang Hb 6,00 gr% -7,90 gr% 4. Berat Hb < 6,00 gr% Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) 3)
Proses
penghancuran
eritrosit
dalam
tubuh
sebelum
waktunya(hemolisis),gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat di bawah : Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 35
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a. Anemia defisiensi besi b. Anemia defisiensi asam folat c. Anemia defisiensi vitamin B12 b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik c. Kerusakan sumsum tulang a. Anemia aplastik b. Anemia mieloptisik c. Anemia pada keganasan hematologi d. Anemia diseritropoietik e. Anemia pada sindrom mielodisplastik Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik B. Anemia akibat hemoragi a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia akibat perdarahan kronik C. Anemia hemolitik 1)
Anemia Hemolitik intrakorpuskular a. Gangguan membran eritrosit (membranopati) b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
2)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular a. Anemia Hemolitik autoimun b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks 36
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan : 1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg: 2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg: 3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl. Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada tabel di bawah ini : Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi I.
Anemia hipokromik mikrositer a. Anemia Defisiensi Besi b. Thalasemia Mayor c. Anemia akibat Penyakit Kronik d. Anemia Sideroblastik
II.
Anemia normokromik normositer a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gagal ginjal kronik f. Anemia pada sindrom mielodisplastik g. Anemia pada keganasan hematologik
III.
Anemia makrositer a) Bentuk megaloblastik 1. Anemia defisiensi asam folat 2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa b) Bentuk non-megaloblastik 1. Anemia pada penyakit hati kronik 37
2. Anemia pada hipotiroidisme 3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.
2.3.4 GEJALA ANEMIA Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : anoksia jaringan, mekanisme kompensasi tubuh terrhadap berkurangnya daya angkut oksigen,
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada a. Derajat penurunan hemoglobin, b. Kecepatan penurunan hemoglobin c. Usia d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu : 1) Gejala umum anemia Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafasdan dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7 gr/dl). 2) Gejala Khas masing-masing anemia Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh : 38
Anemia defisiensi Besi : disfagia,atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku sendok (koilonychia). Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12. Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi 3) Gejala penyakit dasar : timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya paa anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid. Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pameriksaan laboratorium. 2.3.5 PEMERIKSAAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA Pemeriksaan Laboratorium Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan penyaring (screening test): 2) Pemeriksaan darah seri anemia; 3)Pemeriksaan sumsum tulang; 4)Pemeriksaan khusus. Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut. Pemeriksaan Darah Seri Anemia Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
39
Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada bebrapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan hematologik yang dapat mensupresi sistem eritroid. Pemeriksaan Khusus Pemeriksaanini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada sumsum tulang ( Perl’s stain).
Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan tes Schiling.
Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain –lain.
Juga
Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang diperlukan
pemeriksaan
non-hematologik
tertentu
seperti
nisalnya
pemeriksaan faal hati, faal ginjal atau faal tiroid. 2.3.6 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit, (disease entire), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis anemia, tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit dasar yang menyebabkan anemia tersebut.Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah :
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan
ada
atau
tidaknya
penyakit
penyerta
yang
akan
mempengaruhi hasil pengobatan. 40
Algoritme pendekatan diagnosis anemia
ANEMIA
Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV,MCH,MCHC)
Anemia hipokromik mikrositer
Anemia normokromik normositer
Anemia makrositer
41
Algoritme Pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer
ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER
Besi serum
normal
menurun
Feritin normal TIBC
TIBC
FERITIN
FERITIN
Elektroforesis Besi sumsum tulang negatif
Besi sumsum tulang positif
Hb
Ring sideroblast dalam sumsum tulang
Hb A2 HbF
Anemia defisiensi besi
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
Thalasemia beta
Gambaran eritrosit pada anemia hipokromik mikrositer
42
Algoritme Diagnosis Anemia normokromik normositer ANEMIA NORMOKROMIK NORMOSITER
Retikulosit
Meningkat
Riwayat Perdarahan Akut
Tanda hemolisis positif
Sumsum Tulang
Hipoplastik
Tes coomb
negatif
Normal/menurun
positif
Tumor ganas hematologi (leukimia,mi eloma)
Riwayat keluarga positif
Anemia aplastik
Enzimopati, Membranopati
displastik
Anemia pada leukimia akut/mieloma
infiltrasi
Limfoma kanker
Faal ginjal
Penyakit kronik
Anemia mieloptisik Anemia pada GGK Penyakit Hati Kronik Hipotiroid peny.kronik
Hemaglobinop ati
A.mikroangio pati obat/parasit
Faal hati
Faal tiroid
AIHA
Anemia pasca perdarahan akut
Normal
Anemia pada sindrom mielodisplastik
43
Gambaran eritrosit di bawah mikroskop pada anemia normokromik normositer
44
Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer ANEMIA MAKROSITER
Retikulosit
Normal/Menurun
Meningkat
Riwayat Perdarahan akut
Sumsum tulang
Megaloblastik
Anemia Pasca Perdarahan akut
B12 serum rendah
Anemia Defisiensi besi
Non Megaloblastik
Asam folat rendah
Anemia Defisiensi asam folat
Faal Tiroid Anemia pada Hipotiroidisme Faal hati
Anemia Defisiensi Besi/asam folat dalam terapi
Anemia pada penyakit hati Displastik Sindrom mielodisplastik 45
Gambaran eritrosit pada anemia makrositer
2.3.7. Anemia pada penyakit gagal ginjal kronis 2.3.7.1. Defenisi Anemia pada penyakit ginjal kronik adalah jenis anemia normositik normokrom, yang khas selalu terjadi pada sindrom uremia. Bisanya hematokrit menurun hingga 20-30% sesuai derajat azotemia. Komplikasi ini biasa ditemukan pada penyakit ginjal kronik stadium 4, tapi kadang juga ditemukan sejak awal stadium 3. 2.3.7.2. Etiologi Penyebab utama anemia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah kurangnya produksi eritropoietin (EPO) karena penyakit ginjalnya. Faktor tambahan termasuk kekurangan zat besi, peradangan akut dan kronik dengan gangguan penggunaan zat besi (anemia penyakit kronik), hiperparatiroid berat dengan konsekuensi fibrosis sumsum tulang, pendeknya masa hidup eritrosit akibat kondisi uremia. Selain itu kondisi komorbiditas seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia. Untuk lebih lengkapnya, perhatikan Tabel 2.
46
Tabel 2. Etiologi Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik3 Etiologi
Penjabaran etiologi
Penyebab utama
Defisiensi relatif dari eritropoietin
Penyebab tambahan
Kekurangan zat besi Inflamasi akut dan kronik Pendeknya masa hidup eritrosit Bleeding diathesis
Hiperparatiroidisme/ fibrosis sumsum tulang Kondisi komorbiditas
Hemoglobinopati, hipotiroid, hipertiroid, kehamilan, penyakit HIV, penyakit autoimun, obat imunosupresif
2.4.7.3.Pofisiologi Ketika terjadi gangguan pada glomerulus maka fungsi ginjal pun terganggu, termasuk fungsi endokrinnya. Anemia pada penyakit ginjal kronik dikaitkan dengan konsekuensi patofisiologik yang merugikan, termasuk berkurangnya transfer oksigen ke jaringan dan penggunaannya, peningkatan curah jantung, dilatasi ventrikel, dan hipertrofi ventrikel.4 Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan penyakit ginjal yang berat. Defisiensi eritropoetin merupakan penyebab utama anemia pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik. Para peneliti mengatakan bahwa sel-sel peritubular yang menghasilkan eritropoetin rusak sebagian atau seluruhnya seiring dengan progresivitas penyakit ginjalnya. Selanjutnya pada penelitian terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang
tidak 47
adekuat.Inflamasi kronik,menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan
terjadi
defisiensi
erotropoetin.
Proses
inflamasi
seperti
glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal, pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif. Defisiensi eritropoetin relatif pada penyakit ginjal kronik dapat berespon terhadap penurunan fungsi glomerulus. Selain itu, telah terbukti juga bahwa racun uremik juga dapat menginaktifkan eritopoietin atau menekan respon sumsum tulang terhadap eritropoietin. Dalam hal pengurangan jumlah eritropoetin, penghambatan respon sel prekursor eritrosit terhadap eritropoetin dianggap sebagai penyebab dari eritropoesis yang tidak adekuat pada pasien uremia. Terdapat toksin-toksin uremia yang menekan proses ertropoesis yang dapat dilihat pada proses hematologi pada pasien dengan gagal ginjal terminal setelah terapi reguler dialisis. Ht biasanya meningkat dan produksi sel darah merah yang diukur dengan kadar Fe yang meningkat pada eritrosit,karenapenurunankadareritropetinserum.Substansi yang menghambat eritropoesis iniantara lain poliamin, spermin, spermidin, dan PTH. Spermin dan spermidin yang kadar serumnya meningkat pada gagal ginjal kronik yang tidak hanya memberi efek penghambatan pada eritropoesis tetapi juga
menghambat
granulopoesis
ketidakspesifikan,leukopenia,
dan
dan
trombopoesis.
trombositopenia
bukan
Karena merupakan
karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit ginjal kronikKadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder, tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakan bahwa PTH memberikan efek penghambatan pada eritropoesis. Walaupun menurut penelitian, dilaporkan paratiroidektomi menyebabkan peningkatan dari kadar Hb pada pasien uremia, peneliti lain mengatakan tidak ada hubungan antara kadar PTH dengan derajat anemia pada pasien uremia. Walaupun efek langsung penghambatan PTH pada eritropoesis belum dibuktikan secara final, akibat yang lain dari peningkatanPTH seperti fibrosis sumsum tulang dan penurunan masa hidup eritrosit ikut bertanggung jawab dalam hubungan antara hiperparatiroid dan anemia pada gagalginjal. 48
Pasien-pasien dengan penyakit ginjal kronis memiliki risiko kehilangan daraholeh karena terjadinya disfungsi platelet. Penyebab utama kehilangan darah pada pasien-pasien ini adalah dari hemodialisis. Pada suatu penelitian, dibuktikan pasien-pasien hemodialisis dapat kehilangan darah rata-rata 4,6 L/tahun. Kehilangan darah melalui saluran cerna, sering diambil untuk pemeriksaan laboratorium dan defisiensi asam folat juga dapat menyebabkan anemia. Kekurangan asam folat bisa bersamaan dengan uremia, dan bila pasien mendapatkan terapi hemodialisis, maka vitamin yang larut dalam air akan hilang melalui membran dialysisKecendrungan terjadi perdarahan pada uremia agaknya disebabkan
oleh
gangguan
kualitatif
trombosit
dan
dengan
demikian
menyebabkan gangguan adhesi. Kekurangan zat besi dapat disebabkan karena kehilangan darah dan absorbsi
saluran
cerna
yang
buruk
(antasida
yang
diberikan
pada
hiperfosfatemia juga mengikat besi dalam usus). Selain itu, proses hemodialisis dapat menyebabkan kehilangan 3 -5 gr besi per tahun. Normalnya, kita kehilangan besi 1-2 mg per hari, sehingga kehilangan besi pada pasien- pasien dialisis 10-20 kali lebih banyak. Homeostasis besi tampaknya terganggu pada penyakit ginjal kronik. Untuk alasan yang masih belum diketahui (kemungkinan karena malnutrisi), kadar transferin pada penyakit ginjal kronik setengah atau sepertiga dari kadar normal, menghilangkan
kapasitas
sistem
transport
besi.
Situasi
ini
yang
49
kemudian mengganggu kemampuan untuk mengeluarkan cadangan besi dari makrofag dan hepatosit pada penyakit ginjalkronik Masa hidup eritrosit pada pasien gagal ginjal hanya sekitar separuh dari masa hidup eritrosit normal. Peningkatan hemolisis eritrosit ini tampaknya disebabkan oleh kelainan lingkungan kimia plasma dan bukan karena cacat pada sel darah itu sendiri. Hemolisis pada gagal ginjal terminal adalah derajat sedang. Pada pasien hemodialisis kronik, masa hidup eritrosit diukur menggunakan 51Cr menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu hidup yang memendek, ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal ditransfusikan kepada resipien yang sehat memiliki waktu hidup yang normal. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupakan mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-obatan. Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler. Hyperparatiroidism dapat menekan produksi sel darah merah melalui 2 mekanisme.yang pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan
kadar
PTH,
telah
banyak
dibuktikan
melalui
percobaanpadahewan.Yangkedua,efeklangsungpadaosteitisfibrosa,yangmengur angi respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Terdapat laporan penelitian yang menyatakan adanya peningkatan Hb setelah dilakukan paratiroidektomi pada pasien dengan uremia.
50
Mekanisme lainnya yang menyebabkan peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada gagal ginjal adalah penurunan fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3- diphosphoglycerate (DPG). Hemolisis dapat timbul akibat kompliksai dari prosedur dialisis atau dari interinsik imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi hemoglobin, penghambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenisme merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna. Penyebab lain yang mempengaruhi eritropoiesis pada pasien dengan gagal ginjalterminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serumnya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. 51
Akumulasi aluminium dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsumtulang. 2.3.8 PENDEKATAN TERAPI Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah : 1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan terlebih dahulu 2) Pemeberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan 3) Pengobatan anemia dapat berupa : a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut akibT nemia aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang disertai gangguan hemodinamik b. Terapi suportif c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut. 4) Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis 5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat seperti furosemid sebelum
transfusi
52
BAB III LAPORAN KASUS 3.1
3.2
Identitas Pasien Nama
: Tn. J
Umur
: 57 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Bukit Kandung
Pekerjaan
: Petani
Agama
: Islam
Status
: Menikah
Nomor Rekam Medis
: 125317
Tanggal masuk rumh sakit
: 18 Oktober 2017
Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan cara autoanamnesa dan alloanamnesa pada tanggal 20 Oktober 2017 di bangsal Interne Pria RSUD Solok a. Keluhan Utama Buang air besar cair sejak ±8 hari sebelum masuk rumah sakit b. Riwayat Penyakit Sekarang -
Buang air besar cair sejak ±8 hari sebelum masuk rumah sakit.
-
Bab cair mulai saat pasien pergi kedukun kampung dan meminum rebusan daun kina karena demam
-
Bab >10 x setiap harinya, dan banyaknya ± 250 cc setiap Bab dan hanya berisi air yang keluar seperti air keran
-
Bab warna kuning (+) ampas (-) darah (-) lendir (-)
-
Nyeri saat akan bab disekitar anus (+)
-
Pada hari pertama bab cair pasien pergi kepuskesmas dan diberikan obat lalu bab agak berkurang menjadi bab cair 5 x/hari. ( pasien lupa nama dan merek obat nya)
-
Bab cair membuat pasien tidak bertenaga sehingga tidak mampu melakukan aktivitas sehari hari 53
-
Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati sejak ± 8 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
-
Nyeri dirasakan tumpul seperti keram.
-
Nyeri tidak menjalar namun nyerinya dirasakan hilang timbul.
-
Nyeri berkurang saat ditekan dan saat diberikan obat promagh selama 30 menit, namun selanjutnya nyeri kembali lagi.
-
Saat telat makan atau makan makanan pedas nyeri tidak ada.
-
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sejak ± 8 hari sebelum masuk rumah sakit,
-
Muntah dialami pasien setiap setelah makan.
-
Dalam satu hari muntah sampai >3x, dengan banyaknya ±250 cc tiap muntah dan berisi air dan makanan yang dimakan.
-
Muntah tidak disertai darah
-
Keluhan diperingan saat minum obat dari puskesmas (pasien lupa nama dan merek obatnya)
-
Buang air kecil berkurang dari biasanya sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
-
Bisanya pasien buang air kecil kurang lebih 5 x sehari, namun sejak 1 bulan smrs bak menjadi 3 x sehari.
-
Volume bak juga berkurang sekitar kurang lebih 350 cc tiap bak.warna kuning (+) buih (-) darah (-)
-
nyeri saat bak tidak ada
-
Demam tidak ada
-
Nyeri kepala tidak ada
-
Sesak nafas tidak ada
-
Batuk tidak ada
-
Flu tidak ada
-
Nyeri dada tidak ada
-
Sakit pinggang tidak ada
c. Riwayat Penyakit Dahulu -
Riwayat dengan keluhan yang sama disangkal
-
Riwayat asam urat sejak ± 2 tahun, obat : Allopurinol 54
-
Riwayat Penyakit Ginjal Kronik stadium 5 sejak ± 1 bulan
-
Riwayat hipertensi disangkal
-
Riwayat diabetes melitus disangkal
-
Riwayat minum OAT disangkal
-
Riwayat jantung disangkal
-
Riwayat dirawat di RS 2x dengan asam urat.
d. Riwayat Penyakit Keluarga -
Riwayat dalam keluarga dengan keluhan yang sama disangkal
-
Riwayat asam urat dikeluarga disangkal
-
Hipertensi dalam keluarga disangkal
-
Diabetes Melitus dalam keluarga disangkal
-
Penyakit ginjal dalam keluarga disangkal
e. Riwayat Pekerjaan dan Kebiasaan -
Pasien berusia 57 tahun sudah menikah dan memiliki 2 orang anak (laki-laki dan perempuan), pasien tinggal bersama istri dan anaknya dan bekerja sebagai petani
-
Pasien mempunyai kebiasaan kurang minum dengan banyaknya <5 gelas perhari.
-
Pasien tidak mempunyai kebiasaan merokok
-
Pasien mempunyai kebiasaaan minum kopi 1 gelas/hari sejak 30 tahun yang lalu dan mulai berhenti sejak 1 tahun ini
-
Pasien tidak mempunyai kebiasaan minum alkohol
3.3 Pemeriksaan Fisik -
Status Generalisata -
Keadaan umum
: Sedang
-
Kesadaran
: Composmentis cooperative
-
Tekanan darah
: 100/70 mmHg
-
Nadi
: 70 kali/ menit, reguler
-
Nafas
: 18 kali/menit
-
Suhu
: 36,7 55
-
Tinggi Badan
: 165 cm
-
Berat badan
: 55 kg
-
IMT
: 20,22 (Normoweight)
STATUS GENERALISATA
Kulit : sianosis (-) turgor kulit menurun, ikterik (-)
Kepala : bentuk bulat, ukuran normochepal, rambut tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik(-/-), pupil isokor, refleks cahaya +/+
Telinga: Dalam batas normal
Hidung: Dalam batas normal
Mulut : Mukosa bibir tidak kering, bibir pucat (-) lidah tidak kotor
•
Leher : Kelenjer tiroid tidak membesar, trakea ditengah, JVP (5 – 2 cmH2O),
•
KGB : Tidak terdapat pembesaran KGB pada leher, axilla dan inguinal
•
Thorax : ▫
Inspeksi: Bentuk dada normochest, pergerakan dada simetris kiri dan kanan dalam keadaan statis dan dinamis
▫
Palpasi : Focal fremitus kiri=kanan
▫
Perkusi:Sonor pada seluruh lapang paru, Batas Paru Hepar di RIC VI linea midclavicularis dextra Batas Paru Lambung RIC VIII di linea axillaris anterior sinistra
▫
Auskultasi
:Vesikular, Rh -/-, Wh -/-
▫ 56
•
Jantung
:
▫
Inspeksi
: Ictus Cordis tidak terlihat
▫
Palpasi
:Ictus Cordis teraba 2 jari medial dari LMCS RIC V
▫
Perkusi ▫
: Batas kiri
: RIC V sejajar linea midclavicula sinistra 2 jari kearah medial
-
▫
Batas kanan
: RIC IV linea sternalis dexstra
▫
Batas atas
: RIC III linea parasternalis sinistra
Auskultasi
: reguler, murmur (-), gallops (-)
Abdomen •
Inspeksi
: Perut membuncit (-), Ikterik(-), sikatrik (-), spider navy (-), venektasi (-)
•
Palpasi : ▫
Superficial : supel, nyeri tekan(-), nyeri lepas(-), murphy sign (-)
▫
Profunda :
Hepar dx dan sin tidak teraba.
Lien tidak teraba
Ballotement ginjal (-)
Ginjal Bimanual (-)
CVA (-)
57
•
Extremitas Superior Inspeksi
: Edema (-/-), Sianosis (-), clubbing
finger
(-/-), palmar eritem (-/-) Palpasi : Pulsasi A. Radialis, A. brachialis, dan A.
axilaris (+/+)
Sensibilitas halus dan kasar (+/+) •
Extremitas Inferior Inspeksi
: Edema (-/-), sianosis (-), akral hangat.
Palpasi
: Pulsasi A. dorsalis pedis, A. tibialis
posterior, dan A.poplitea (+/+),
Sensibilitas
halus dan kasar (+/+) Refleks Refleks Fisiologis
Kanan
Kiri
Biceps
++
++
Triceps
++
++
Brachioradialis
++
++
Patologi
Kanan
Kiri
Hoffman-tromer
-
-
58
Refleks Fisiologis
Kanan
Kiri
Patella
++
++
Cremaster
++
++
Achiles
++
++
Patologis
Kanan
Kiri
Babynski
-
-
Gordon
-
-
Oppenheim
-
-
Schaefer
-
-
Caddocks
-
-
3.4. Pemeriksaan Penunjang Tanggal 18-10-2017 Laboratorium Darah rutin
- Kimia Klinik
Hb
: 7,8 gr/dl
Ureum
: 112 mg/dl
Ht
: 22,7 %
Creatinin
: 7,20 mg/dl
MCV : 82 µm3
(LGF :8,8 ml/mnt/1,73m²)
MCH: 27.2 pg
GDR
: 132 mg/dl
MCHC : 34.4 g/dl Wbc
: 12.090/mm3
Plt
: 487.000/mm3
Pemeriksaan urinalisa dan feses tidak dilakukan 59
PEMERIKSAAN EKG (18-10-2017)
FOTO THORAX PA (11-09-2017) Deskripsi: Cor CTR <50% Aorta dan Mediastinum superior tidak melebar Trakea ditengah Tidak tampak infiltrat dikedua paru Hemidiagragma licin Sinus kostofrenikus kanan kiri baik Kesan Saat ini tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo
60
USG WHOLE ABDOMEN(14-09-2017) Deskripsi : -Hepar
:
kesan
membesar,
tidak
ekostruktur
parenkim
kanan
kesan
homogen.
Tidak
tampak
dilatasi
duktus
bilier
intrahepatik -Kandung Empedu : dinding tidak menebal, tidak tampak batu/studge. dilatasi
Tidak
tampak
duktus
bilier
ekstrahepatik. -Pankreas : kesan baik, tidak tampak lesi -Limpa : Ukuran dan bentuk kesan baik, tidak tampak lesi -Ginjal
kanan
:
Ukuran
mengecil diferensiasi korteksmedulla kesan suram. Curiga lesi hiperekoik kecil-kecil
-Tidak tampak struktur ginjal normal difossa renalis kiri, tampak struktur hiperekoik dengan
postrerior
acoustic
shadow berbagai ukuran -Buli : dinding tidak menebal. Tidak tampak batu
61
Kesan -Chronic Parenchymal Renal Disease -kanan dengan nefrolithiasis -Tidak tampak struktur ginjal normal di fossa renalis kiri, tampak struktur hiperekoik dengan posterior acoustic shadow berbagai ukuran, batu?
USG WHOLE ABDOMEN (20-10-2017)
Deskripsi : -Hepar : kesan tidak membesar, ekostruktur parenkim kanan kesan homogen.
Tidak
tampak dilatasi duktus bilier intrahepatik -Kandung
Empedu
:
dinding tidak menebal, tidak
tampak
batu/studge.
Tidak
tampak dilatasi duktus bilier ekstrahepatik. -Pankreas : kesan baik, tidak tampak lesi -Limpa : Ukuran dan bentuk kesan baik, tidak tampak lesi -Ginjal Bilateral : Ukuran mengecil (kanan ±7,3cm dan kiri ±8cm). Diferensiasi korteks-medulla suram terutama kiri. Tidak tampak dilatasi sistem pelviokalises. Tidak tampak batu maupun kista -Buli : dinding tidak menebal. Tidak tampak batu
62
Kesan - Kedua ginjal mengecil dengan diferensiasi korteks-medulla kiri suram. Suspek CKD. 3.5. Diagnosis : Diagnosis utama
: Gastroenteritis akut dengan dehidrasi ringan-
sedang e.c. virus Diagnosis sekunder
: - CKD stg V e.c. nefrolitiasis - Anemia Sedang Normositik Normokrom
Diagnosis Banding
: Gastroenteritis akut e.c. malabsorbsi Gagal Ginjal Akut
3.6. Penatalaksanaan 1. Nonfarmako terapi - Bedrest - IVFD Nacl 0,9% 6 j/kolf - Diet Rendah garam II Rendah Protein 40 gram
2. Farmako terapi ▫
Ceftriaxone 2x2 gr iv
▫
Ranitidine 2x50 mg iv
▫
Transamin 3x500 mg iv
▫
Vitamin K 3x10 mg iv
▫
Bic Nat 3x500 mg peroral
▫
As. Folat 3x400mcg peroral
▫
Transfusi PRC 1 unit/ hari sampai hb >10 gr/dl
Rencana pemeriksaan - USG abdomen ulang
63
3.7.Prognosis Quo ad sanationam
: dubia ad malam
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
3.8.Follow Up TANGGAL
PERKEMBANGAN
TERAPI
19-10-2017
PERAWATAN HARI 1
P/
S/- bab cair (-)
IVFD Nacl 0,9% 6 j/kolf
- nyeri ulu hati (+)
Diet RGII RP 40 gram
-sesak nafas (-) Ceftriaxone 2x2 gr iv
- bak (+) O/ KU TSS
KES
TD
N
CMC 100/60 80
P
T
19 36.5
Ranitidine 2x50 mg iv Transamin 3x500 mg iv
Mata : konjungtiva anemis (+/+) sklera Vitamin K 3x10 mg iv ikterik(-/-) Bic Nat 3x500 mg peroral Paru :Vesikular, Rh-/-; Wh -/As. Folat 3x400 mcg peroral Jantung: reguler, murmur (-), gallops (-) Abdomen : BU (+) menurun
N. Turgor kulit Transfusi PRC 1 unit/ hari sampai hb >10gr/dl
Ext : pitting edema (-/-) akral hangat (+/+)
ANJURAN :
Usg abdomen belum keluar
Cek ulang USG abdomen A/Primer : Gastroenteritis akut dengan besok dehidrasi ringan-sedang e.c. virus Sekunder :-CKD stage V e.c. nefrolithiaisis -Anemia
Sedang
Normositik
Normokrom e.c gagal ginjal kronik
20-10- 2017
PERAWATAN HARI 2 S/ - bab cair (-)
- nyeri ulu hati (+)
P/ IVFD Nacl 0,9% 6 j/kolf Diet RGII RP 40 gram Ceftriaxone 2x2 gr iv 64
-sesak nafas (-)
Ranitidine 2x50 mg iv
- bak (+)
Transamin 3x1 iv
O/ KU
KES
TSS
TD
N
CMC 100/70 82
P
T
18 36.5
Vitamin K 3x1 iv
Mata : konjungtiva anemis (+/+) sklera Bic Nat 3x1 peroral ikterik(-/-)
As. Folat 3x1 peroral
Paru :Vesikular, Rh-/-; Wh -/Jantung:, reguler, murmur (-), gallops (-)
Transfusi PRC 1 unit/ hari sampai hb >10gr/dl
Abdomen : BU (+) N. Turgor kulit (n)
Anjuran
Ext : pitting edema (-/-)akral hangat (+/+) LABORATORIUM
USG abdomen hari ini
Hasil Pemeriksaan Darah rutin tanggal 20- Cek darah rutin 10- 2017 Hb : 8,4 gr/dl
WBC : 11.050/mm3
Ht :24,6%
PLT : 374.000/mm3
A/ Primer
: Gastroenteritis akut dengan
dehidrasi ringan-sedang e.c. virus Sekunder :-CKD stage V e.c. nefrolithiaisis -Anemia
Sedang
Normositik
Normokrom e.c gagal ginjal kronik
21-10- 2017
PERAWATAN HARI 3
P/ IVFD Nacl 0,9% 6 j/kolf
S/ - bab cair (-)
Diet RGII RP 40 gram
- nyeri ulu hati (-)
Ceftriaxone 2x2 gr iv
-sesak nafas (-)
Ranitidine 2x50 mg iv
- bak (+) O/ KU TSS
KES
TD
N
CMC 110/70 82
P
T
19 36.5
Mata : konjungtiva anemis (+/+) sklera ikterik(-/-)
Bic Nat 3x500 mg peroral As. Folat 3x400 mcg peroral Transfusi PRC 1 unit/ hari
65
Paru :Vesikular, Rh-/-; Wh -/-
sampai hb >10gr/dl
Jantung: reguler, murmur (-), gallops (-)
Anjuran:
Abdomen : BU (+) N. Turgor kulit (n) Ext : pitting edema (-/-) akral hangat (+/+)
Cek darah rutin besok
A/ Primer
: Gastroenteritis akut dengan
dehidrasi ringan-sedang e.c. virus Sekunder :-CKD stage V e.c. nefrolithiaisis -Anemia
Sedang
Normositik
Normokrom e.c gagal ginjal kronik
22-10-2017
PERAWATAN HARI 4
P/ IVFD Nacl 0,9% 6 j/kolf
S/ - bab cair (-)
Diet RGII RP 40 gram
- nyeri ulu hati (-)
Ceftriaxone 2x2 gr iv
-sesak nafas (-)
Ranitidine 2x50 mg iv
- bak (+)
Bic Nat 3x500 mg peroral O/ KU TSS
KES
TD
N
CMC 110/70 80
P
T
As. Folat 3x400 mcg peroral
19 36.5
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik(-/-) Paru :Vesikular, Rh-/-; Wh -/Jantung: reguler, murmur (-), gallops (-) Abdomen : BU (+) N. Turgor kulit (n) Ext : pitting edema (-/-) akral hangat (+/+) Laboratorium tanggal 22-10-2017 Hb : 11,3 gr/dl
WBC : 10740/mm3
Ht : 32,2%
PLT 319.000/mm3
Ureum : 94 mg/dl
Creatinin : 5,6 mg/dl
A/ Primer
: Gastroenteritis akut dengan
dehidrasi ringan-sedang e.c. virus 66
Sekunder :-CKD stage V e.c. nefrolithiaisis -Anemia
Sedang
Normositik
Normokrom e.c gagal ginjal kronik
23-10-2017
PERAWATAN HARI 5
P/
S / - pasien meracau (+) O/ KU
KES
IVFD Nacl 0,9% 6 j/kolf
TD
N
TSS Smnln 130/80 80
P
T
19 36.5
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera
Diet RGII RP 40 gram Ceftriaxone 2x2 gr iv Ranitidine 2x50 mg iv
ikterik(-) Paru :Vesikular, Rh-/-; Wh -/-
Bic Nat 3x500 mg peroral
Jantung: reguler, murmur(-), gallops(-)
As. Folat 3x400 mcg peroral
Abdomen : BU (+) N. Turgor kulit (n)
Protab hipoglikemia
Ext : pitting edema (+/+) akral hangat (+/+)
Anjuran:
Laboratorium tanggal 23-10-2017 Na : 149 mEq/L
Cl : 100mEq/L
Cek elektrolit CITO GDR CITO
K : 3,4 mEq/L GDR : 60 mg% A/ Primer
: Gastroenteritis akut dengan
dehidrasi ringan-sedang e.c. virus Sekunder :-CKD stage V e.c. nefrolithiaisis -Anemia Sedang Normositik Normokrom e.c gagal ginjal kronik - Encefalopati uremicum - Hipoglikemia e.c low intake
67
Selasa 24-10-2017
PERAWATAN HARI
P/
S/ - pasien meracau (+) O/ KU
KES
IVFD Nacl 0,9% 6 j/kolf
TD
N
TSS Smnln 150/90 88
P
T
19 36.5
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera
Diet RGII RP 40 gram Ceftriaxone 2x2 gr iv Ranitidine 2x50 mg iv
ikterik(-) Paru :Vesikular, Rh-/-; Wh -/-
Bic Nat 3x500 mg peroral
Jantung: reguler, murmur(-), gallops(-)
As. Folat 3x400 mcg peroral
Abdomen : BU (+) N. Turgor kulit (n) Ext : pitting edema (+/+) akral hangat (+/+)
Anjuran: Cek elektrolit CITO
Laboratorium tanggal 24-10-2017 Na : 149 mEq/L
Cl : 99mEq/L
K : 3,5 mEq/L
GDR: 147 mg%
GDR CITO Pasang NGT
A/ Primer
: Gastroenteritis akut dengan
dehidrasi ringan-sedang e.c. virus Sekunder :-CKD stage V e.c. nefrolithiaisis -Anemia Sedang Normositik Normokrom e.c gagal ginjal kronik - Encepalopati uremicum - Hipoglikemia e.c low intake
68
Rabu
PERAWATAN HARI 7
R/
25-10-2017
IVFD Nacl 0,9% 6 j/kolf S/ - pasien meracau (+) O/ KU
KES
TD
N
P
TSS Smnln 120/80 88
T
20 36.5
Diet RGII RP 40 gram Ceftriaxone 2x2 gr iv
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera
Ranitidine 2x50 mg iv
ikterik(-)
Bic Nat 3x500 mg peroral -
-
Paru :Vesikular, Rh /-; Wh /Jantung: reguler , murmur(-), gallops (-)
As. Folat 3x400 mcg peroral
Abdomen : BU (+) N. Turgor kulit (n) Ext : pitting edema (+/+) akral hangat (+/+) A/ Primer
: Gastroenteritis akut dengan
dehidrasi ringan-sedang e.c. virus Sekunder :-CKD stage V e.c. nefrolithiaisis -Anemia Sedang Normositik Normokrom e.c gagal ginjal kronik - Encepalopati uremicum - Hipoglikemia e.c low intake
69
BAB IV ANALISIS KASUS Telah dilaporkan seorang pasien laki laki berusia 57 tahun dirawat di RSUD solok masuk bangsal penyakit dalam pria pada tanggal 18 oktober 2017 dengan diagnosa gastroenteritis akut e.c. Virus dengan CKD stage V e.c. Nefrolithiasis dan anemia sedang normositik normokrom Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan Buang air besar cair sejak ±8 hari sebelum masuk rumah sakit. Bab cair mulai saat pasien pergi kedukun kampung dan meminum rebusan daun kina karena demam. Bab >10 x setiap harinya, dan banyaknya ± 250 cc setiap Bab dan hanya berisi air yang keluar seperti air keran. Bab warna kuning (+) ampas (-) darah (-) lendir (-). Nyeri saat akan bab disekitar anus (+) . Pada hari pertama bab cair pasien pergi kepuskesmas dan diberikan obat lalu bab agak berkurang menjadi bab cair 5 x/hari. (pasien lupa nama dan merek obat nya). Bab cair membuat pasien tidak bertenaga sehingga tidak mampu melakukan aktivitas sehari hari, Pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati sejak ± 8 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Nyeri dirasakan tumpul seperti keram, Nyeri tidak menjalar namun nyerinya dirasakan hilang timbul, Nyeri berkurang saat ditekan dan saat diberikan obat promagh selama 30 menit, namun selanjutnya nyeri kembali lagi, Saat telat makan atau makan makanan pedas nyeri tidak ada. Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah sejak ± 8 hari sebelum masuk rumah sakit, Muntah dialami pasien setiap setelah makan. Dalam satu hari muntah sampai >3x, dengan banyaknya ±250 cc tiap muntah dan berisi air dan makanan yang dimakan. Muntah tidak disertai darah, Keluhan diperingan saat minum obat dari puskesmas (pasien lupa nama dan merek obatnya). Buang air kecil berkurang dari biasanya sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Bisanya pasien buang air kecil kurang lebih 5 x sehari, namun sejak 1 bulan smrs bak menjadi 3 x sehari. Volume bak juga berkurang sekitar kurang lebih 350 cc tiap bak.warna kuning (+) buih (-) darah (-), nyeri saat bak tidak ada. Demam tidak ada, Nyeri kepala tidak ada, Sesak nafas tidak ada, Batuk tidak ada, Flu tidak ada, Nyeri dada tidak ada, Sakit pinggang tidak ada
70
Dari RPD didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat penyakit asam urat sejak ± 2 tahun, dengan mengonsumsi obat allopurinol dan pasien didiagnosa dengan CKD stage V e.c. Nefrolithiasis sejak 1 bulan yang lalu. Dari Riwayat Penyakit Keluarga tidak ada yang memiliki penyakit asam urat, ginjal, DM dan hipertensi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit sedang dengan kesadaran CMC, tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 70x/menit reguler, pernafasan 18x/menit dan suhu 36,7 c, dari status generalisata didapatkan mata konjungtiva anemis(+/+), pada abdomen turgor kulit menurun sementara kepala, leher, paru, jantung, hepar, lien dan ginjal dalam batas normal. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan Hb 7,8 gr/dl, Ht 22,7 %, Wbc 12.090/mm3, Plt 487.000/mm3, Ureum 112 mg/dl, Creatinin 7,20 mg/dl, GDR 132 mg/dl. Tindakan selanjutnya yang diberikan pada pasien ini adalah rehidrasi untuk mengatasi dehidrasi nya akibat gastroenteritis, kemudian pemberian transfusi prc 1 unit/ hari sampai hb >10 gr/dl untuk mengatasi anemia sedang normositik normokrom. Selain itu didapatkan juga keadaan leukositosis sehingga diberikan antibiotik untuk mengontrol sumber infeksi lain akibat bakteri Sementara itu karena pasien juga didiagnosa dengan ckd stage V dimana terapi yang dianjurkan adalah hemodialisa. Dan untuk terapi supportif nya pasien ini juga diberikan ranitidin, asam folat, natrium bicnat, transamin, vit k
71
BAB V PENUTUP
1.1.KESIMPULAN Gastroenteritis akut merupakan peradangan pada lambung dan usus yang ditandai dengan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah, dan sering kali disertai peningkatan suhu tubuh. Diare yang dimaksudkan adalah buang air besar berkali-kali (dengan jumlah yang melebihi 4 kali, dan bentuk feses yang cair, dapat disertai dengan darah atau lendir). Terjadinya peningkatan pengeluaran cairan dari tubuh dibandingkan asupan mengakibatkan dehidrasi. Dengan derajat dehidrasi tergantung dengan manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI) mendefinisikan gagal ginjal kronik adalah kerusakan pada organ ginjal di mana terjadi penurunan tingkat filtrasi glomerulus (Glomerular Filtration Rate – GFR) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam kurun waktu 3 bulan atau lebih. Apapun etiologi yang mendasari, penghancuran massa ginjal dengan sclerosis ireversibel dan hilangnya nefron menyebabkan penurunan progresif GFR. Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu atas dasar derajat (stage) penyakit yang berdasarkan LFG dan atas dasar diagnosis etiologi . Komplikasi PGK meliputi penyakit tulang dan mineral terkait PGK (CKD-MBD/ cronic kidney disease-mineral bone disease) kejadian kardiovaskular (perikarditis, penyakit jantung koroner, henti jantung) komplikasi neurologis,infeksi, serta komplikasi nutrisi dan saluran cerna, anemia,
hiperparatiroid-ismesekunder.
Penyakit
kardiovaskular
merupakan
penyebab kematian terbanyak pada pasien-pasien penyakit ginjal kronik Penatalaksanaan pada penyakit ginjal khronik adalah terapi spesifik, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition), memperlambat perburukan ( progression) fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, 72
terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal dan perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya.
73
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton dan Hall. 2007. Buku Ajar FISIOLOGI KEDOKTERAN Edisi II. EGC: Jakarta 2. Price Sylvia A,dkk, 2005,Patofisiologi edisi 6.Jakarta : EGC 3. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. 4. Sumantri,Rahmat,dkk. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi Medik. Bandung : FK Unpad 5.Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115. 6. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and stratification, New York National Kidney Foundation, 2002. 7. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi:2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503 8. National Kidney Foundation. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, classification and stratification. Am J Kidney Dis 39: suppl 1,2012. 9. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser AL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of internal medicine. 18th ed. United States of
America: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2012. 10. Wilson LM. Penyakit ginjal kronik. In: Hartanto H, Susi N, Wulansari P, Mahanani DA, editors: Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. 6nd ed. Jakarta: EGC; 2012.p. 912- 45. 11. Singh AK. Anemia of Chronic Kidney Disease. Clin J Am 2008; vol. 3
74
75
76
77