Hasil Akhir Imd-spkm

  • Uploaded by: Indonesia Masa Depan - IMD
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hasil Akhir Imd-spkm as PDF for free.

More details

  • Words: 66,401
  • Pages: 313
DAFTAR ISI

1. Rangkuman Hasil Akhir IMD-SPKM 2. Deklarasi Jejaring PPI Eropa 3. Kumpulan Makalah Sumber Daya Alam 4. Kumpulan Makalah Sumber Daya Institusional 5. Kumpulan Makalah Sumber Daya Sosial Ekonomi 6. Kumpulan Makalah Sumber Daya Manusia 7. Kumpulan Makalah Narasumber

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 SALINAN

”Suara Bersama Den Haag 2007” Pertemuan Pelajar Indonesia: Indonesia Masa Depan—Suara dan Peran Kaum Muda Den Haag, 22 - 24 Juni 2007 Kami, kaum muda Indonesia yang hadir dalam Pertemuan Pelajar Indonesia: Indonesia Masa Depan—Suara dan Peran Kaum Muda (PPI: IMD-SPKM) di Den Haag, 22-24 Juni 2007, bersama ini menyatakan: Kami bertemu dan berkumpul di sini dilandasi oleh semangat dan kehendak bersama untuk turut memberikan sumbangan kolektif, dalam bentuk apapun terhadap proses perbaikan kehidupan bersama sebagai negara dan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang. Kami bertemu dan berkumpul di sini dipicu oleh kerisauan kolektif. Berakhirnya rezim dan sistem politik Orde Baru pada 1998 telah membawa perjalanan Republik Indonesia tercinta memasuki babak baru kesejarahannya sejak itulah dimulai proses “reformasi”. Namun hingga kini arah dan pijakan baru yang nyata dan kokoh untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh warga bangsa belum dirumuskan. Tidak dipungkiri bahwa telah dicapai sejumlah hasil penting dan strategis sebagai buah dari proses ”reformasi” yang dihela bersama oleh segenap anak bangsa, di antaranya: kebebasan pers dan kebebasan berorganisasi dan berpolitik, pemilihan umum yang relatif jujur dan adil, otonomi daerah, juga pemilihan pejabat pucuk pemerintahan secara langsung oleh rakyat, baik di tingkat nasional maupun lokal. Kami tidak bisa menutup mata bahwa segenap capaian penting dan strategis tersebut tidak dengan serta merta mengatasi berbagai masalah, terutamaangka kemiskinan massal yang masih cukup tinggi, tingkat kesejahteraan rakyat secara umum juga belum meningkat secara bermakna. Sejumlah warisan buruk rezim lama belum sirna, seperti birokrasi yang korup, kebijakan publik yang tidak berpihak kepada rakyat, serta sistem kepartaian yang elitis. Kerisauan itu makin bertambah ketika kami berpikir dalam konteks strategisdimana kompetisi dengan negara-negara lain dalam tata-dunia global yang tidak adil akan membuat posisi Indonesia semakin terpuruk dalam pergaulan antar bangsa dan negara. Kendati sistem pemilihan pejabat pemerintahan secara langsung menjanjikan meningkatnya proses pertanggungjawaban pejabat publik, namun sistem baru ini masih kurang mengoptimalkan .pemikiran visioner dan gagasan besar yang menjangkau jauh ke depan termasuk rencana pembangunan jangka panjang. Dalam konteks persoalan kebangsaan dan kenegaraan seperti itulah urgensi kejelasan visi dan kemantapan orientasi Indonesia masa depan semakin mengemuka, khususnya buah pemikiran dari kaum muda saat ini, sebagai pewaris syah Republik Indonesia serta mata rantai menuju generasi selanjutnya.

www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

Rangkaian kegiatan PPI: IMD-SPKM ini adalah salah satu wujud tanggung jawab moral dan intelektual kaum muda Indonesia terhadap masa depan bangsa dan negara, khususnya terhadap lebih dari 230 juta jiwa manusia Indonesia. Tanggung jawab tersebut perlu disadari sebagai tanggung jawab kolektif yang hanya akan optimal dengan kolaborasi sehat berbagai pihak secara sinergis. Oleh karena itu, PPI: IMD-SPKM menjadikan usaha-usaha serupa sebelumnya sebagai bahan kajian dan masukan yang berharga. Dengan demikian, kegiatan ini merupakan bagian dari mata rantai upaya membangun Indonesia masa depan yang lebih baik. Hasil dari PPI: IMD-SPKM merupakan pokok-pokok pikiran yang terutama akan kami jadikan bahan rujukan bagi upaya kolektif untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih baik; meskipun bisa menjadi bahan masukan bagi pengambil kebijakan maupun institusi dan organisasi lain terkait. Jiwa yang dikandung dalam kegiatan ini adalah tanggung jawab pelajar dan kaum muda sebagai individu maupun kolektivitas yang ingin memberikan kontribusi bagi bangsa dan negaranya, bukan sekadar mengajukan tuntutan kepada pihak lain. Setelah mengalami proses dialektika gagasan secara kolektif sejak sekitar 6 bulan lalu dan berpuncak pada pertemuan di Den Haag pada 22-24 Juni 2007, maka dengan ini kami merumuskan pokok-pokok pikiran bersama dalam ”Suara Bersama Den Haag 2007” yang mencakup 1. 2. 3. 4.

Hasil Kelompok Kerja Sumber Daya Alam Hasil Kelompok Kerja Sumber Daya Manusia Hasil Kelompok Kerja Sumber Daya Institusi / Kelembagaan Hasil Kelompok Kerja Sumber Daya Sosial-Ekonomi

Den Haag, 24 Juni 2007 Kami, yang bertandatangan di bawah ini: Atas nama seluruh peserta Indonesia Masa Depan 2007, Presidium Pleno Indonesia Masa Depan 2007: PPI Belanda Michael Putrawenas

PPI Rusia Charles Tampubolon

PPI Italia Berly Martawardaya

PPI United Kingdom Muhammad Izzul Hag

PPI Jerman Achmad Aditya

www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 RANGKUMAN PEMBAHASAN 1. Sumber Daya Alam (SDA) Pemberdayaan SDA Indonesia tidak terlepas dari tren perkembangan teknologi dunia. Diawali oleh tantangan pengembangan energi alternatif dan terbarukan, pemanasan global, dan kekurangan pangan, aplikasi bioteknologi dan teknologi hijau yang berkelanjutan dipercaya mampu menjadi salah satu jalan keluar. Selain tantangan global yang Indonesia hadapi, Indonesia masih memiliki beberapa permasalahan dasar yang masih harus ditangani. Ketidakseimbangan antara input sumber daya alam yang besar dengan output sosial ekonomi yang minim menjadi persoalan yang mendasar. Hal ini disertai kurangnya kesadaran stakeholders (aktor-aktor kunci; seperti peneliti, pemerintah, dan industri) akan pentingnya isu-isu yang berhubungan dengan hak paten, publikasi, biopiracy, regulasi (yang belum menjalankan mandat rakyat), dan koordinasi riset dan transfer teknologi. Selain itu, masyarakat Indonesia khususnya generasi muda masih kurang memahami potensi SDA bangsanya dan aktualisasi iptek nasional. Hal ini membuat tindakan semena-mena terhadap bumi Indonesia misalnya penggundulan hutan secara liar dan pencemaran limbah yang mengancam sumber daya bahari. Dalam menjawab segala tantangan yang ada, Indonesia pada dasarnya memiliki banyak sekali potensi yang dapat dimanfaatkan secara strategis, yaitu keanekaragaman hayati dan sumber daya energi alternatif (misal: panas bumi, gelombang laut, angin, dan matahari). Tidak berhenti sampai di sana, potensi ini bila diikuti oleh pengembangan sumber daya manusia seperti peneliti-peneliti kelas kakap dan sarjana manajemen Indonesia diyakini dapat mengkatalisasi hasil riset bangsa yang belum teraplikasikan. Peningkatan kesadaran publik terhadap alam menjadi salah satu kunci strategi realisasi potensi yang dimiliki Indonesia. Dalam strategi ini, koordinasi antara pemerintah, swasta dan sipil (termasuk akademisi di dalamnya) menjadi hal yang krusial. Bagi mereka yang berkarya di dalam struktur pemerintahan diharapkan: 1. memberikan insentif untuk pengelolaan sumber daya alam yang berkesinambungan 2. memberdayakan badan pengawas sumber daya alam 3. mengubah paradigma pengelolaan wilayah dari batas administrasi menjadi batas ekologi gugus kepulauan 4. membangun institusi dan fasilitas pendidikan, riset, termasuk penerapan teknologi yang sesuai dengan potensi alam, kebutuhan, dan sosio budaya di daerah masing – masing Di lain pihak, mereka yang bekerja di bidang swasta pun hendaknya: 1. memberi dukungan modal bagi hasil penelitian dalam negeri yang strategis dan belum diaplikasikan 2. melakukan pemberdayaan perusahaan kecil, menengah dan daerah dalam mengelola sumber daya alam lokal www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 3. tanggung jawab sosial perusahaan termasuk transparansi dalam proses pemanfaatan sumber daya alam dari proses ekstraksi, konsumsi hingga pasca produksi Bagi akademisi dan masyarakat pada umumnya, kerja sama untuk mendukung pemerintah dan swasta serta: 1. Perlunya sosialisasi dan jaringan dalam mengembangkan potensi sumber daya alam Indonesia secara lintas profesi baik di dalam maupun di luar negeri. 2. Pengembangan SDM yang disesuaikan dengan potensi alam dan kebutuhan di daerah masing-masing 3. Pengenalan sedini mungkin kesadaran lingkungan kepada anak-anak 4. Pola konsumsi yang bertanggungjawab dan berkesinambungan Khusus bagi para akademisi untuk mulai mengkomunikasikan hasil riset mereka kepada masyarakat sebagai langkah awal transfer ilmu dan teknologi bagi bangsa dan negara. Sebagai tindak lanjut dan tindak nyata dari hasil diskusi IMD 2007, pelajar Indonesia tidak akan tinggal diam dan memulai realisasi dari strategi yang diusulkan dengan: 1. pembentukan seranai surat (mailing list) guna pertukaran informasi tentang sumber daya alam lintas sektoral dan pemantapan jejaring serta komitmen 2. alih pengetahuan dan teknologi, antara lain dengan: pelatihan, temu ilmiah, penulisan/distribusi artikel 3. kontribusi pemikiran tentang pengembangan pengelolaan sumber daya alam ke instansi dan komunitas terkait 4. memberikan teladan dan mengajak masyarakat sejak dini untuk mengenal lingkungan 2. Sumber Daya Manusia Menyongsong globalisasi yang tidak terelakkan, Indonesia ditantang untuk siap memberi respon akan lintas barann, jasa, dan teknologi. Di sinilah tenaga kerja Indonesia diperhadapkan kepada tingkat yang lebih kompetitif – bersaing dengan negara-negara berkembang dan industri lainnya. Secara umum, SDM bangsa Indonesia dalam pengembangannya memiliki beberapa kendala, yaitu keterbatasan sistem dan pendanaan pendidikan, kurangnya akses kepemudaan serta yang tidak kalah pentingnya adalah mental bangsa Indonesia yang masih lemah. Reformasi mental ini difokuskan dan diharapkan dapat dicapai dengan langkah-langkah strategis yang secara sinergis dalam bidang pendidikan dan kepemudaan. Dalam bidang pendidikan, dikenali beberapa hambatan utama: 1. Alokasi dana pendidikan (APBN <20%) dan penentuan skala prioritas yang masih belum jelas 2. Buruknya koordinasi dan konsistensi penegakan aturan dilapangan misalnya penarikan uang sekolah walaupun sudah dibiayai BOS hingga kecurangankecurangan UAN baru-baru ini (2007) 3. Belum meratanya professional development di Indonesia ditandai dengan program pembelajaran yang statis di kelas dan tidak lagi aplikatif. www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 4. Kurangnya apresiasi pemerintah dan masyarakat kepada tenaga pendidik dan akademisi (termasuk peneliti) yang berujung pada rendahnya kesejahteraan mereka. 5. Tingginya variabilitas kualitas dan kurikulum sekolah khususnya antara sekolah swasta dan negeri yang turut mendukung ketimpangan sosial Sedangkan kepemudaan memiliki tantangannya tersendiri yang dapat dikatakan tidak lepas dari bidang pendidikan: 1. Pudarnya identitas bangsa dan maraknya budaya konsumerisme menyebabkan bangsa Indonesia menjadi bangsa mangsa globalisasi tanpa memiliki produktivitas yang seimbang. Hal ini juga membiaskan identitas 2. Perlunya netralisasi dan konsistensi dari kegerakan pemuda yang membangun, umumnya kegerakan pemuda bersifat jangka pendek dan sebatas monumental 3. Kecilnya jejaring yang dimiliki pemuda untuk mengembangkan diri khususnya dalam dunia internasional, hal ini memperkecil kesempatan memperoleh ilmu ataupun pengalaman di luar negeri Beberapa rekomendasi yang dapat diusulkan dalam bidang pendidikan dan kepemudaan sekaligus adalah: 1. Melakukan dialog tri-partit antara pemerintah (policy makers), industri (commerce) dan institusi pendidikan dalam menyusun kebijakan yang menyelaraskan pendidikan yang aplikatif untuk industri misalnya dalam program magang (internship) 2. Pemberian jaminan akan apresiasi dan kesejahteraan tenaga pendidik dalam kebijakan pemerintah 3. Adanya advokasi publik bagi insitusi pendidikan khususnya sekolah umum dalam mengontrol pungutan dan kurikulum yang ditawarkan 4. Meningkatkan kompetensi (professional development) dan quality control bagi tenaga pendidik yang objektif dan transparan disertai oleh infrastruktur/fasilitas yang memadai 5. Optimalisasi komunikasi sosial antar sekolah untuk memperkecil kesenjangan yang ada, misal pertukaran/pelatihan guru dan pakar antara sekolah khususnya dari kota ke daerah terpencil 6. Mengintegrasikan materi pendidikan moral khususnya anti-korupsi dan antikonsumerisme yang praktis sedini mungkin 7. Peningkatan kerja sama dengan dengan pelajar Indonesia di luar negeri untuk turut melibatkan mereka dalam menyelesaikan isu-isu krusial nasional serta penyebaran informasi mengenai beasiswa dan magang di luar negeri 8. Program CNN (Care, Nation, Networking) sebagai salah satu ide untuk menjaga semangat dan konsistensi kegerakan pemuda bekerja sama dengan LSM, institusi riset, dan berbagai lembaga lainnya 9. Pembuatan basis data akan disertasi, thesis, artikel ilmiah dan informasi pendidikan dari dan untuk pelajar Indonesia 3. Sumber Daya Institusi / Kelembagaan

www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 Masalah pembangunan kelembagaan yang teraktual dan masih akan relevan sampai beberapa periode ke depan adalah bagaimana proses desentralisasi dapat berkontribusi pada pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, seiring dengan meningkatnya potensi konflik sosial, manajemen konflik dan keamanan yang komprehensif menjadi sangat krusial untuk memastikan proses kelembagaan ini berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Dari rumpun-rumpun masalah tersebut, akan dirumuskan visi transformasi dan agenda aksi bagi segenap elemen bangsa yang ada. Masalah-masalah dalam proses desentralisasi yang dapat diidentifikasi adalah: 1. bangun dan format otonomi daerah yang belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat 2. birokrasi yang korup, terkooptasi kepentingan politik dan tidak professional 3. rendahnya akuntabilitas publik 4. rendahnya partisipasi dan kapasitas masyarakat madani dalam berkontribusi pada proses pembangunan khususnya terhadap kinerja pemerintahan daerah 5. kesenjangan pelayanan publik baik menurut wilayah maupun sektor 6. pembangunan daerah yang terfragmentasi dan kurang terkoordinasi. Visi transformasi yang kemudian diformulasikan berdasarkan permasalahan tersebut adalah: melanjutkan pembangunan otonomi daerah dengan perbaikan sistem administrasi yang lebih komprehensif dan koheren, peningkatan dan penguatan pelayanan publik yang didasarkan kepada kebutuhan masyarakat, peningkatan partisipasi publik dalam proses pengawasan, dan mendorong dilakukannnya kerjasama yang efektif di dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah, baik antar hirarki pemerintahan maupun antar wilayah. Sedangkan identifikasi masalah untuk area manajemen konflik dan keamanan adalah: 1. tingginya potensi konflik sosial di Indonesia, baik yang disebabkan oleh kesenjangan sosial-ekonomi maupun rapuhnya integrasi sosial 2. tingginya keterlibatan militer dalam bidang-bidang non-kemiliteran dan rendahnya tingkat profesionalisme militer yang disebabkan oleh strategi dan kebijakan militer yang lebih berorientasi kepada Angkatan Darat 3. struktur, budaya, dan kinerja lembaga kepolisian yang berwatak sentralistik, militeristik korup serta tidak profesional. Dari sisi tersebut, dirumuskan visi transformasi yang meliputi pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi yang menjadi penyebab konflik serta pengembangan budaya perdamaian dan pencegahan konflik, penghilangan peran-peran non-militer oleh lembaga militer serta peningkatan profesionalisme militer melalui pengembangan strategi dan kebijakan pertahanan yang berorientasi maritim dan dirgantara sesuai posisi dan konstelasi geo-strategis Indonesia, pengembangan struktur dan lembaga kepolisian yang berwatak desentralistik serta non-militeristik (sipil), dan pengembangan lembaga kepolisian yang profesional dan akuntabel. Untuk mencapai hal tersebut, dirumuskan agenda aksi bagi setiap komponen bangsa yang ada, sebagai berikut: www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 A. Pembangunan daerah/desentralisasi: 1. Masyarakat madani : a) Meningkatkan partisipasi publik dalam rangka mengawasi kinerja pemerintah untuk meningkatkan akuntabilitas publik pemerintah daerah. b) Melakukan keterlibatan aktif dalam proses penentuan arah pembangunan daerah. 2. Penyelenggara negara: a) Merevisi dan melengkapi perangkat hukum penyelenggaraan otonomi daerah Meningkatkan kualitas institusi pemerintah dalam pelayanan publik melalui perbaikan menyeluruh di bidang struktur, proses, SDM dan relasi pemerintah dan masyarakat b) Mengevaluasi kinerja aparatur pemerintah berdasarkan indikator - indikator yang terukur. c) Meningkatkan penerapan E-government dalam proses penyediaan layanan publik dalam pembangunan daerah. d) Memperbaiki hubungan kerja sama fungsional antara pusat dan daerah dalam rangka menciptakan pembangunan yang sinergis. e) Mengembangkan perangkat yang mampu mendekatkan proses interaksi dan penyediaan layanan publik dari institusi pemerintah kepada masyarakat f) Memperbaiki sistim penerimaan pegawai negeri dalam rangka meningkatkan kualitas birokrasi pemerintahan Indonesia dengan mendasarkan pada kebutuhan ruang lingkup kerja / analisis jabatan (job analysis) 3. Swasta : a) Meningkatkan kemitraan swasta dengan pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan daerah. b) Berkolaborasi dengan masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja pembangunan daerah.

B. Manajemen konflik dan keamanan 1. Penyelenggara Negara a) Melakukan pengurangan tingkat kesenjangan sosial-ekonomi. b) Menjadikan pendidikan perdamaian menjadi bagian dari program di lembagalembaga pendidikan. c) Reformasi kelembagaan dan perundang-undagan yg menempatkan TNI di bawah Dephan dan Polri di bawah Depdagri/Depkeh; Penyusunan ’Buku Putih’ strategi dan kebijakan pertahanan dan keamanan RI yg mengubah titik berat pada sektor maritim/udara. d) Pengembangan lembaga kepolisian melalui reformasi UU, struktur kelembagaan maupun budaya organisasi yg lebih sesuai dengan tuntutan profesionalisme, akuntabilitas dan desentralisme; Reformulasi kebijakan keamanan dalam negeri menyesuaikan dg sistem politik dan pemerintahan yg bersifat desentralistik. 2. Masyarakat Madani www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 a) Meningkatkan program pengurangan kesenjangan sosial-ekonomi melalui penguatan organisasi-organisasi masyarakat. b) Pendidikan perdamaian menjadi bagian dari program kemasyarakatan; menggalakkan upaya-upaya pencegahan konflik di masyarakat. c) Melakukan advokasi bagi dilakukannya reformasi kelembagaan dan perundangundangan menyangkut TNI dan Polri; Peningkatan kapasitas dan kompetensi masyarakat madani untuk melakukan pengawasan terhadap TNI dan Polri. d) Melakukan kajian dan advokasi bagi pengembangan lembaga kepolisian yang profesional, akuntabel dan berorientasi lokal. Melakukan fungsi-fungsi pengawasan dan pemantauan terhadap kinerja lembaga kepolisian, baik di aras nasional maupun lokal; 3. Swasta a) Meningkatkan taraf ekonomi masyarakat dan pendidikan perdamaian menjadi bagian dari program Corporate Social Responsibility. b) Meningkatan kegiatan bisnis di sektor kelautan-perkapalan dan dirgantara. c) Bekerjasama dengan masyarakat madani melakukan advokasi bagi pengembangan lembaga kepolisian yang profesional, akuntabel dan berorientasi lokal. 4. Sumber Daya Sosial Ekonomi Sumber daya ekonomi dan sosial Indonesia masih memiliki beberapa masalah struktural namun namun tetap memiliki banyak potensi untuk diberdayakan. Dengan memanfaatkan potensi-potensi tersebut, pada tahun 2045 diharapkan dapat terwujud suatu masyarakat Indonesia yang maju, berkeadilan, sejahtera, bermartabat dan mandiri. Tidak menutup kemungkinan, di masa depan Indonesia mampu menjadi salah satu kekuatan utama ekonomi dunia. Masalah-masalah struktural itu antara lain adalah: 1. posisi lemah Indonesia di dalam tata ekonomi internasional 2. belum tercapainya demokrasi ekonomi dalam arti yang seluas-luasnya 3. tajamnya kesenjangan ekonomi dan sosial 4. daya inovasi dan kewirausahaan yang rendah 5. institusi dan tata kelola pemerintahan yang tidak kondusif bagi kegiatan ekonomi produktif 6. pengabaian sumber kekuatan ekonomi potensial dan lokal 7. serta pengabaian sejarah dalam perumusan kebijakan ekonomi Masalah-masalah ini begitu kompleks dan saling terkait satu sama lain. Untuk itu, dibutuhkan suatu terobosan kebijakan dan strategi transformasi yang sistematis serta menyentuh titiktitik krusial permasalahan. Basis dari terobosan ini adalah penguatan kelembagaan, demokratisasi ekonomi dengan titik berat pada masalah kesenjangan dan kemiskinan, revitalisasi sektor pertanian dan kelautan, pembangunan struktur industri yang tangguh dan terkait satu sama lain, serta sistem inovasi yang berbasiskan sumber daya dan kebutuhan www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 lokal. Kata kunci berikutnya adalah pendidikan, yang sangat penting dalam proses pemberdayaan sumber daya ekonomi. Segenap hal di atas membutuhkan agenda-agenda aksi yang dijalankan secara sinergis tidak hanya dari pemerintah, tapi juga dari elemen-elemen swasta dan masyarakat. Agenda aksi pemerintah: 1. Memperkuat aspek kelembagaan untuk memfasilitasi situasi ekonomi yang efisien dan produktif, dengan fokus pada birokrasi yang bebas korupsi, melayani publik dan mendukung penguatan masyarakat madani; membangun lembaga peradilan yang independen dan menjamin sistem kepemilikan; dan kebijakan politik yang mendukung kebebasan berusaha 2. Melakukan desentralisasi ekonomi seutuhnya dan mengadopsi kebutuhan, pengetahuan, serta potensi lokal dalam perumusan kebijakan ekonomi. 3. Menyediakan infrastruktur dan suprastruktur yang menjamin berkembangnya struktur industri yang tangguh dan saling terkait dengan berbasiskan teknologi tepat guna dan sistem inovasi yang komprehensif; serta secara khusus melakukan revitalisasi sektor pertanian dan kelautan. 4. Melakukan diplomasi ekonomi secara aktif dengan tujuan mendukung ekonomi dalam negeri yang mandiri seutuhnya. 5. Memfokuskan diri pada peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat 6. Mengoptimalkan potensi ekonomi dalam negeri khususnya perluasan basis pajak Agenda aksi swasta dan masyarakat madani: 1. Melakukan kolaborasi yang sinergis dengan pemerintah, dunia pendidikan tinggi, dan masyarakat lokal dalam pengembangan teknologi dan inovasi dalam sebuah optimalisasi potensi ekonomi yang saling menguntungkan 2. Mampu menyadari dan mengidentifikasi potensi lokal, potensi sektor pertanian dan kelautan, serta mengembangkannya menjadi produk bernilai tambah tinggi. 3. Mampu memanfaatkan aspek positif dari globalisasi dengan menonjolkan kemampuan inovasi berbasiskan sumber daya lokal Di samping itu, peran pendidikan sangat penting dalam optimalisasi sumber daya ekonomi dan sosial. Dalam hal ini, agenda aksi pemerintah dapat diformulasikan sebagai berikut: 1. Meningkatkan anggaran untuk infrastruktur pendidikan dengan cara yang efektif dan transparan 2. Mengakui keberagaman lokal dan mengadopsinya dalam sistem pendidikan 3. Melakukan diversifikasi sekolah yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal dengan titik berat pada berbagai variasi sekolah kejuruan dan politeknik 4. Membangun skema pembiayaan yang tepat guna untuk pendidikan tinggi, dengan cara: penerapan sistem subsidi silang, mendukung pemberdayaan Badan Usaha Milik Kampus, dan peningkatan kerjasama dengan swasta/industri. 5. Menciptakan ”link and match” antara dunia pendidikan pada berbagai strata dengan dunia ekonomi/sektor industri, melalui: riset universitas yang aplikatif, insentif fiskal bagi dunia industri yang terlibat sektor pendidikan/riset, dan kurikulum yang menekankan faktor kewirausahaan. www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 6. Membangun sistem pinjaman (student’s loan) yang komprehensif dan dikelola dengan baik guna meningkatkan akses pendidikan pada semua kalangan. 7. Membangun sistem insentif untuk tetap sekolah guna mensukseskan program wajib belajar 12 tahun Kemudian selanjutnya agenda aksi elemen swasta dan masyarakat madani adalah: 1. Merangkul universitas dan dunia pendidikan pada umumnya untuk pengembangan teknologi tepat guna guna membangun ekonomi yang berbasis pengetahuan 2. Mengoptimalkan potensi pelajar Indonesia di luar negeri untuk membangun jaringan, menarik dana penelitian, dan membuka akses bagi pendidikan dan penelitian nasional pada dunia industri global.

LANGKAH KE DEPAN Dokumen ini maupun rangkaian kegiatan PPI: IMD-SPKM 2007 bukanlah sebuah akhir, melainkan sebuah kontinuum yang berusaha melanjutkan apa yang sudah dimulai sebelumnya untuk semakin dimantapkan –yaitu usaha untuk mewujudkan Indonesia masa depan yang lebih baik. PPI: IMD-SPKM berusaha memperkuat tiga pilar utama dalam usaha tersebut, yaitu: semangat, materi, dan jaringan. Ketiga pilar itulah yang berusaha dirangkum dalam dokumen ini. Suara Bersama Den Haag 2007 merupakan pernyataan semangat kolektif yang menjiwai keseluruhan proses PPI: IMD-SPKM dan proses-proses lain yang saling berkolaborasi. Rangkuman Pembahasan menyiratkan alur materi yang diperkaya dengan makalah-makalah yang masuk. Sementara jaringan yang terbentuk paling tidak mencakup para peserta PPI: IMD-SPKM yang juga terafiliasi dengan organisasi / kelompok pelajar Indonesia di berbagai negara. Langkah ke depan yang perlu ditapaki bersama adalah memperluas dan memperkaya ketiga pilar itu. Semangat membangun Indonesia yang lebih baik tidak akan pernah bisa terlalu kuat. Demikian pula materi konseptual dan intelektual akan selalu terus berkembang. Jaringan individu-individu dan kelompok-kelompok yang siap berkontribusi dan berkolaborasi juga akan selalu butuh diperluas. Satu pilar tanpa pilar-pilar yang lain niscaya akan percuma. Semangat yang tidak diimbangi dengan materi yang kuat dan jaringan yang luas hanya akan tinggal semangat, dan seterusnya. Tapi jika ketiga pilar tersebut semakin kokoh dan sinkron, maka Indonesia Masa Depan yang lebih baik akan semakin dekat menjadi sebuah realita. Bentuk nyata usaha-usaha tersebut bisa berbentuk kajian-kajian lanjutan maupun kritik terhadap produk PPI: IMD-SPKM 2007. Bisa pula dengan menjaga kontak dan mengundang rekan-rekan lain untuk bergabung dengan jaringan Indonesia Masa Depan. Namun yang terpenting adalah dengan mengejewantahkan semangat bersama dalam karya nyata di bidang kompetensi masing-masing.

www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 Akhir kata, kami mengundang siapa saja – lintas generasi, lintas wilayah, lintas sektoral, dan lintas waktu – untuk turut berkontribusi dengan cara dan kompetensinya masing-maisng. Indonesia Masa Depan yang lebih baik akan terus menjadi mimpi dan khayalan jika kita sendiri tidak menggerakkan diri untuk mewujudkannya.

www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007

DAFTAR MAKALAH Data dan kontak para penulis makalah dapat diperoleh dengan menghubungi Sekretariat IMD estela mendapatkan izan tertulis dari yang bersangkutan. Sumber Daya Alam Judul Makalah Bioteknologi di Indonesia : tantangan , prospek dan peluang Sustainable Economic Development Based on Biodiversity Resources in Indonesia Visi Indonesia 2045 : Ekosistem Kepuluan Sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan Fenomena Bioterorisme dan Ancamannya terhadap Ketahanan Pangan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam : Tantangan bagi Tanggung Jawab Korporasi Indonesia SDA dan Perkembangan yang Berkelanjutan (Konsep dan Penerapan Desarrollo Sostenible) Live With Slope Instability Optimasi Pengelolaan Sumber Energi

Penulis Makalah Audrey Clarissa, Hosea Saputro Handoyo, Kalman Emry Wijaya M. Djaeni Dwiko B. Permadi Nurul Hidayah Michael Putrawenas Aristanto Hari Setiawan Jenny Wang Ari Warokka

Sumber Daya Manusia Judul Makalah Indonesia Berangkat Menuju Industrialisasi Pendidikan : Kenapa Tidak ? Transformasi Nilai Kepemudaan Menuju ke Sumpah Pemuda Indonesia III Solusi untuk Program Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia Penghambat Perkembangan Pendidikan Sekolah Dasar, Menengah Pertama, dan Menengah Atas di Indonesia Organizing Media to Accommodate Classroom Management at an Intercultural and Religious Learning Setting : From Philosophy through Policy to Practice Kurangnya Kontrol dan Komitmen Pemerintah terhadap Masalah Merokok Mencari Bentuk Kelas Virtual Sebagai Bagian Integral dari Kelas Presensial : Sebuah Ide Mengenal dan Mengembangkan Bioetika Indonesia

Penulis Makalah Achmad Adhitya, Anwar Sadat Sari Siregar Achmad Adhitya, Fahmi Rizanul Amrullah Tommy Dharmawan Juliansyah Shariati Pratomo Muchammadun Abdullah Chafidh Tommy Dharmawan Advent Tambun Aristanto Hari Setiawan

www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Indonesia masa depan pertemuan pelajar Indonesia - den haag, 2007 Sumber Daya Institusi / Kelembagaan Judul Makalah Akuntabilitas Publik di Indonesia E-Government : Di manakah kita (kini) ? Srategi Pembangunan di Wilayah Rawan Tsunami Berdasarkan Perspektif Ekonomi di Aceh dan Nias Rethinking Indonesian Governance ; Dari Government ke Governance Visi dan Strategi Transformasi Konflik Indonesia Visi dan Strategi Transformasi Politik Pertahanan dan Keamanan Indonesia The Intricate Tapestry of ASEAN Security Tata Pemerintahan Daerah

Penulis Makalah Gde Yoga Prawita Syamsul Ibad Achmad Adhitya Rosdiansyah, Ishak Salim, Wiky Witarni Shiskha Prabawaningtyas Najib Azca Lianita Prawindarti Arif R. Effendy

Sumber Daya Sosial Ekonomi Judul Makalah MNC dan Akuntabilitas Perusahaan Inovasi Inc: Membangun Sistem Inovasi dan Produksi Nasional yang Berkemanusiaan di Indonesia Fenomena Urbanisasi Kota Kecil dan Menengah di Indonesia dan Tantangan Pembangunannya Revitalisasi Industri Peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda Apakah Pengentasan Kemiskinan Sudah Tepat Sasaran ? MNC dan Akuntabilitas Perusahaan Inovasi Inc: Membangun Sistem Inovasi dan Produksi Nasional yang Berkemanusiaan di Indonesia Fenomena Urbanisasi Kota Kecil dan Menengah di Indonesia dan Tantangan Pembangunannya

Penulis Makalah Ari Warokka Berly Martawardaya Fajar Hari Mardiansjah Cahyono Susetyo Anwar Sadat Sari Siregar Ari Warokka Berly Martawardaya Fajar Hari Mardiansjah

www.indonesiamasadepan.org PPI Belanda PPI Italia PPI Jerman PPI Perancis PPI Spanyol PPI Swiss PPI Trondheim PPI United Kingdom

Bioteknologi Indonesia : Tantangan, Prospek dan Peluang oleh 1.

Audrey Clarissa (ITB/IPSF), [email protected]

2.

Hosea Saputro Handoyo (HAN University/GeNeYouS/IBSF/PPI-Arnhem Nijmegen), [email protected] / www.hshandoyo.net

3.

Kalman Emry Wijaya (ITB/IBSF), [email protected]

ABSTRAK Indonesia merupakan negara kepulauan dengan lebih dari 17.500 pulau dan jumlah penduduk 230 juta jiwa. Indonesia sendiri terletak di wilayah khatulistiwa yang cenderung memiliki iklim tropis, oleh karena itu Indonesia memiliki potensi agrikultur dan maritim yang dapat dikembangkan dengan baik. Hal ini merupakan potensi yang menjanjikan sebagai negara berkembang yang memiliki pangsa pasar yang besar dan potensi investasi yang cukup menjanjikan khususnya di bidang bioteknologi. Bioteknologi sendiri merupakan ilmu multidisipliner yang berkembang dalam beberapa dasawarsa ini. Berbagai negara di dunia berlomba-lomba agar tidak tertinggal dalam memajukan bioteknologi di negara mereka masing-masing. Di Indonesia sendiri telah cukup banyak lembaga riset bioteknologi di berbagai bidang, antara lain LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Eijkman Molecular Center, dan juga berbagai perusahaan bio-business swasta juga telah mengembangkan laboratorium riset bioteknologi.

Masyarakat Indonesia sendiri pada dasarnya belum sepenuhnya menyadari akan pentingnya perkembangan bioteknologi. Hanya kalangan yang berpendidikan tinggi-lah yang mengerti akan posisi bioteknologi. Indonesia saat ini sudah memiliki berbagai organisasi profesi yang mendukung di bidang Bioteknologi, antara lain Konsorsium Bioteknologi Indonesia (KBI) yang terdiri atas peneliti yang berkecimpung di bidang Bioteknologi, Indonesian Biotechnology Students’ Forum (IBSF) yang merupakan kumpulan berbagai mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu dan memiliki ketertarikan di bidang bioteknologi.

Terlepas dari hal itu, perkembangan bioteknologi di Indonesia saat ini terbentur dengan kurangnya koordinasi riset dan teknologi transfer baik dari pemerintah, akademisi, hingga praktisi bioteknologi sendiri. Hal ini menyulitkan berbagai peneliti di Indonesia untuk mengembangkan riset mereka, dan membuat berbagai investor enggan dalam menanamkan modal. Hal ini pula menghambat tersedianya sarana/prasarana bioteknologi nasional yang rata-rata berasal dari luar negeri. Karya tulis ini akan mencoba memaparkan beberapa program realistis untuk memajukan Indonesia lewat bioteknologi secara sistematis dan terencana pada tahap awal pembangunan. Kata kunci : bioteknologi Indonesia, prospek bioteknologi Indonesia, pendidikan.

1.

ANALISIS KONDISI

1.1

Analisis permasalahan

Perkembangan bioteknologi Indonesia dimulai pada tahun 1985. Departemen Riset dan teknologi menetapkan bioteknologi sebahai prioritas pengembangan iptek yang kemudian ditindaklanjuti dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Geliat bioteknologi kemudian diawali oleh pembentukan Pusat Antar Universitas (PAU) yang dipusatkan di tiga universitas/institut sebagai centers of excellence yaitu: 1. Bioteknologi kedokteran

: Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan

Universitas Indonesia dan Eijkman Molecular Biology Insitute 2. Bioteknologi industri

: Institut Teknologi Bandung bekerja sama dengan

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 3. Bioteknologi pertanian

: Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan

Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia – Bioteknologi Pemerintah kemudian menugaskan PAU-PAU tersebut untuk menyusun mata kuliah bioteknologi hingga jenjang S-3. Usaha-usaha ini terus ditindaklanjuti dengan menerbitkan jurnal penelitian bioteknologi dengan pusat di UGM dan pembentukan himpunan-himpunan berbasis bioteknologi. Patut disayangkan karena usaha ini terpuruk memasuki krisis ekonomi tahun 1997. PAU-PAU membubarkan diri karena tidak ada

tindak lanjut yang berarti. Secara kasar dapat dikatakan perkembangan bioteknologi menjadi tidak terencana bahkan mentah kembali. Pada tahun 2000, bioteknologi kembali menjadi prioritas dalam Jakstra Ipteknas yang kemudian dilanjutkan Renstra Ipteknas. Sayangnya, program ini hanya dianggap sebagai tindak lanjut program Repelita Orde baru yang sudah mentah. Regulasi riset di Indonesia sebetulnya sudahlah sangat mantap dengan mengadopsi aturan-aturan internasional. Namun demikian aturan-aturan yang ada sebenarnya belum tepat guna untuk diaplikasikan saat ini. Banyak dari aturan tersebut mengikat dan hanya menyangkut berbagai biaya dan persoalan administrasi internasional yang justru menghambat pendanaan riset Indonesia. Disamping hal tersebut, isu-isu negatif dalam masyarakat mengenai produk transgenik (GMO) menyebabkan berbagai investor agro-bioteknologi semakin ragu untuk mengembangkan bisnis mereka. Kekurangpahaman masyarakat akan ilmu bioteknologi ini telah menghambat perkembangan ilmu ini, sehingga penyebaran informasi yang tepat sangat diperlukan. Sekalipun bioteknologi ini menjadi isu yang dinilai penting oleh banyak orang, belum ada tindakan nyata yang diambil oleh pemerintah terutama dengan berbagai konflik dan permasalahan yang ada di Indonesia, sehingga bioteknologi bukanlah prioritas utama. Meskipun demikian, sangatlah penting isu ini tidak lantas kita tinggalkan begitu saja karena bioteknologi akan menjadi kunci berbagai perkembangan di masa depan dan dapat dikatakan bahwa langkah yang kita lakukan saat ini merupakan investasi jangka panjang. Biodiversitas alami yang tinggi di Indonesia merupakan aset tersendiri. Aset ini tentunya merupakan kekayaan yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan Indonesia, tetapi di lain pihak biodiversitas ini pun menjadi suatu ancaman bila tidak kita tangani dengan baik. Berbagai

pihak

akan berusaha mendapatkan kekayaan alam

Indonesia dan

memanfaatkannya bagi keuntungan mereka pribadi. Hal ini tentunya tidak dapat kita biarkan begitu saja dan sekali lagi perlu ditekankan penguatan SDM dan regulasi.

Tantangan terbesar adalah penyediaan SDM terampil dan berwawasan bioteknologi luas. Umumnya bioteknologi di Indonesia berlandaskan bidang keilmuwan pertanian atau ilmu alam baik biologi atau kimia. Sangat sedikit universitas yang berbasis kedokteran sepert di UI. Di luar negeri, negara maju seperti Jepang, bioteknologi bisa saja berbasis keteknikan. Bahkan negara berkembang sekalipun seperti Malaysia, beberapa universitasnya juga memiliki departemen bioteknologi berbasis pertanian dan teknik sekaligus. Universitas di Indonesia masih terhambat masalah pendanaan dan penyediaan fasilitas seperti yang dialami Univeristas Atmajaya. Berdasarkan informasi yang didapat dari mahasiswa Universitas Atmajaya, program bioteknologi Atmajaya lebih berbasis teori dan bukan pada praktik seperti yang diusung oleh negara-negara lainnya. Di Indonesia, para praktisi bioteknologi Indonesia masih sebagian besar mengenyam pendidikan bioteknologi di luar negeri. Di satu sisi, hal ini merupakan peluang yang besar untuk memberikan kontribusi pada negara baik dari sisi pendidikan maupun riset. Di sisi lain, diperlukan pula praktisi bioteknologi yang mengerti akan kondisi domestik Indonesia.

1.2

Analisis Peluang

Apabila perkembangan bioteknologi secara keilmuwan di Indonesia kuat khususnya di bidang pertanian, perkembangan industri/bioindustri Indonesia justru sebaliknya. Seperti contoh di pendahuluan, bioteknologi pertanian dengan pemanfaatan tanaman transgenik oleh perusahaan seperti Monsanto/Monagro Kimia, banyak mendapat tantangan. Sehingga pemanfaatan bioteknologi pertanian kita masih bersandar pada bioteknologi tingkat tua yaitu pemanfaatan pada tingkat seluler bukan molekuler. Contohnya adalah industri kultur jaringan yang berkembang baik dalam industri kehutanan dengan kebutuhan penyediaan bibit tanaman untuk reboisasi maupun untuk estetika seperti bunga-bunga pajangan seperti anggrek ataupun mawar. Ditinjau dari sisi farmasi, perusahaan farmasi nasional baik yang BUMN seperti PT Kimia Farma, Tbk dan PT Kalbe Farma juga mulai melirik kebutuhan produk obat bioteknologi. PT Kimia Farma menggandeng LIPI dan lembaga riset Jerman, Fraunhofer untuk mengembangkan teknologi produksi obat-obat berbasis protein yang lebih murah

dengan teknologi molecular farming. PT Kalbe Farma menggandeng lembaga riset Kuba dan Eropa dengan membentuk anak perusahaan bernama Innogen yang berkantor di Singapura. Dengan uraian di atas, prospek perkembangan bioteknologi di Indonesia terlihat semakin jelas. Pertama, untuk pendidikan S-1, bioteknologi tidak harus berarti memiliki pengalaman eksperimen rekayasa genetika karena fondasi bioteknologi adalah pemanfaatan molekul biologi baik DNA, protein, ataupun selular. Pengalaman di tingkat S-1 bisa ditingkatkan dengan ke tingkat S-2 dan S-3 untuk penguasaan materi bioteknologi yang lebih dalam dan luas. Penelitian bioteknologi bisa dilakukan pada umumnya di lembaga penelitian Indonesia sendiri yang sudah mengarah ke bioteknologi modern seperti LIPI, Eijkman, Balitbiogen, dsb. Dengan mulai masuknya industri farmasi ke ranah bioteknologi, maka peluang memasuki lapangan kerja dengan keahlian bioteknologi semakin besar selain yang sudah ada selama ini untuk industri pangan dan pertanian. Termasuk yang baru adalah industri kosmetika yang juga maju pesat. Lembaga pemerintah terkait produk obat dan pangan yaitu Badan POM dalam penerimaan pegawai tahun 2005 juga mulai mencari alumni bioteknologi yang menunjukkan semakin banyaknya produk obat, termasuk vaksin dan pangan yang berbasis bioteknologi. Dari segi regulasi, Indonesia sudah mulai melakukan langkah-langkah proteksi seperti pengajuan resolusi Bio-Piracy yang disetujui PBB (2007) untuk melindungi biodiversitas Indonesia. Dari sisi tenaga ahli, peneliti Indonesia, Arief Indrasumunar mendapatkan paten atas hasil riset molekuler tanaman kedelai dari perusahaan tempatnya bekerja UniQuest, Australia (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0705/16/humaniora/3533979.htm). Ini menunjukan bahwa SDM Indonesia tidak kalah berkualitas.

2.

ANALISIS TREND

2.1

International

Perkembangan bioteknologi setelah lebih dari 50 tahun diawali dengan teknologi rekayasa genetika dan protein ini menjadi semakin cepat. Rekayasa protein saat ini

menjadi andalan bioteknologi modern karena produk-produk bioteknologi yang beredar luas di masyarakat umumnya seperti hormon, antibodi hingga kosmetika. Teknologi sekunder dari bioteknologi adalah kloning. Teknologi ini cukup kontroversial hingga kini walaupun pada dasarnya sangatlah bermanfaat. Dengan teknologi ini, manusia mampu memsintesis jaringan/organ baru sebagai ganti yang rusak. Bioteknologi khususnya kloning kini dipandu oleh code-of-conducts yang dikenal sebagai bioethics (etika biologi) untuk menghindari usaha-usaha tidak bermoral seperti menciptakan manusia unggulan/mengkloning manusia. Bioteknologi kini terus berkembang dan telah “mengawinkan” diri dengan nanoteknologi hingga menghasilkan nanobioteknologi atau bioteknologi di tingkat nanometer (molekuler) dengan penekanan pada nanomedicine atau penemuan obat-obat baru dan peningkatan efektivitas obat melalui “drug delivery system”.

Perusahaan-perusahaan multinasional kini mulai menggandeng pusat-pusat riset dan universitas untuk meningkatkan kualitas produk dan inovasi terakhir keilmuan di bioteknologi untuk melakukan transfer teknologi dan juga tentunya keuntungan yang besar. Sebagai contoh, Phillips yang bergerak di bidang teknologi kelistrikan kini sejak 2004 sudah mulai beralih pada bioteknologi dengan menjual cabang-cabang perusahaan chips dan mendirikan Biotechnology – Nanotechnology Research and Development Centers di Eropa.

Dari tingkat pemerintahan, negara-negara maju khususnya Eropa telah menyepakati Traktat Lisbon 2010 dimana bioteknologi akan secara permanen menjadi salah satu sumber pendapatan nasional dan alokasi 3% dari GDP Uni Eropa. Mereka mendirikan organisasi yang mengkoordinir riset dan membangun jembatan dengan dunia industri. Mereka juga melengkapi para peneliti muda dengan berbagai fasilitas dan dana untuk mengembangkan diri dan mengikuti perkembangan riset terakhir di dunia bioteknologi hingga nanoteknologi. Setiap tahunnya regulasi penelitian pun diperbaharui untuk mengikuti perkembangan zaman.

2.2

Indonesia

Tren bioteknologi Indonesia secara umum sudah menunjukkan progres yang cukup baik.

Sebagian

masyarakat

Indonesia

sudah

mulai

menerima

produk-produk

bioteknologi modern, seperti krim anti-penuaan-dini dari L’Oreal, Yakult, hingga terapi hormon. Dari segi bio-business, beberapa produk bioteknologi mulai beredar di pasaran Indonesia, antara lain bio-fuel (bio-solar, bio-premium, bio-pertamax), serta berbagai protein terapis lainnya. Berbagai organisasi profesi yang terkait dengan bioteknologi pun cukup banyak, antara lain Konsorsium Bioteknologi Indonesia (KBI), Indonesian Biotechnology Students’ Forum (IBSF). Yang kini menjadi tantangan bagi seluruh pihak yang terkait dengan bioteknologi baik dari pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat adalah koordinasi dan imej dari bioteknologi nasional.

3.

STRATEGI TRANSFORMASI

Memang perlu disadari bahwa prioritas Indonesia kini bukanlah bioteknologi tapi pertumbuhan ekonomi baik mikro maupun makro. Walaupun demikian, persiapan untuk menanggulangi perkembangan bioteknologi yang pesat di dunia tetaplah dibutuhkan. Melakukan perencanaan yang baik adalah salah satu hal yang krusial tetapi perencanaan hingga 25 ataupun 50 tahun dalam bidang bioteknologi adalah tidak masuk akal. Sebagai contoh, Belanda melalui Netherlands Genomics Initiatives sendiri sempat kewalahan melakukan perencanaan 10 tahun di bidang genomic akibat begitu cepatnya perkembangan ilmu dan industri. Oleh karena itu, beberapa strategi yang dapat diusulkan dalam 5 tahun adalah: Tiga tahun pertama: 1. Optimalisasi lembaga ataupun insitutusi yang sudah ada dengan membentuk kembali PAU-PAU yang dikoordinasikan oleh pemerintah (baik melalui DepRisTek, BPPT ataupun LIPI dan lembaga independen seperti KBI.

Tahun keempat dan kelima: 1. Melakukan update mengenai pendidikan bioteknologi di pendidikan tingkat menengah dan mulai membuka program S1 di bidang bioteknologi sebagai jurusan utama di lebih banyak univeristas, bukan materi tambahan. Untuk menanggulangi masalah fasilitas, universitas/lembaga pendidikan dapat bekerja sama dengan luar negeri unutuk mendapatkan peralatan riset “second hand” ataupun training ilmu/teknik terbaru. 2. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai bioteknologi dimulai dari pelajar tingkat SD hingga SMA melalui festival bioteknologi yang diberdayakan melalui

organisasi

kemahasiswaan

di

bidang

bioteknologi

misal

IBSF.

Memanfaatkan media untuk menginformasikan bioteknologi yang tepat dan menarik di masyarakat. 3. Mengadakan simposium/kongres nasional tahunan untuk membentuk network antar peneliti dan industri bioteknologi di Indonesia.

Selain

itu

secara

parallel,

pemerintah

sepantasnya

pengirimkan

duta-duta

pelajar/peneliti pada acara-acara internasional yang menyangkut bioteknologi untuk terus mengikuti perkembangan bioteknologi dan membangun jaringan internasional yang lebih kokoh.

4. VISI MASA DEPAN

1. mempersiapkan SDM handal di bidang bioteknologi dan bidang-bidang lainnya yang terkait. 2. mengembangkan pusat-pusat riset bioteknologi yang lengkap dan bermanfaat, sehingga dapat memfasilitasi ahli-ahli bioteknologi dari Indonesia untuk bekerja bagi Indonesia 3. Memajukan Indonesia melalui biodiversitas kekayaan alam dengan pemanfaatan bioteknologi di segala bidang 4. Membangun komunitas bangsa Indonesia yang paham akan bioteknologi

SIMPULAN Langkah-langkah strategis yang tepat dan terkoordinasi di tingkat nasional maupun internasional menunjang pengembangan bioteknologi di Indonesia. Usaha ini akan sangat membuahkan hasil bila masing-masing stakeholders (pemerintah, swasta, akademisi, hingga masyarakat) mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Sebagai langkah awal adalah mengaktifkan kembali konsep program pembangunan yang telah dicanangkan pada tahun 1985 dengan adapatasi saat ini.

REFERENSI 1. Antara, http://www.antara.co.id/arc/2007/5/13/mahasiswa-indonesia-di-australiaraih-paten-internasional/, akses terakhir: 23 Mei 2007 2. Arief B. Witarto. 2006. Sumbangan Pendapat tentang RUU RPJPN IPTEK, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Pansus RUU RPJPN IPTEK, 9 Maret 2006 3. . Harian Kompas, 17 Juni 2005. 4. Arief B. Witarto. 2005. Kloning terapi makin jadi kenyataan. Harian Kompas, 17 Juni 2005. 5. Witarto, Arief Budi. 2005. Bioteknologi, sebuah gelombang ekonomi baru. Harian Bisnis Indonesia, 14 Juni 2005.

Personal Communication 1. Terry Vrijenhoek, Ketua Genomic Network for Young Scientists (bagian dari Netherlands Genomic Initiatives untuk peneliti muda Belanda, 31 Mei 2007 2. Arief Budi Witarto, Peneliti Bioteknologi LIPI, 31 Maret 2007

FENOMENA BIOTERORISME DAN ANCAMANNYA TERHADAP KETAHANAN PANGAN NASIONAL Nurul Hidayah nurul.hidayah@ wur.nl Warga PPI Wageningen - Belanda

INTISARI Bioterorisme merupakan suatu ancaman atau kekhawatiran baru di masa mendatang. Targetnya bisa berupa manusia, hewan ternak, tanaman pertanian dan sistem lingkungan. Dalam bidang pertanian, bioterorisme ini merupakan ancaman yang dapat mengganggu ketahanan pangan nasional karena infrastruktur pertanian rentan terhadap ledakan penyakit yang dihasilkan dari bioterorisme ini. Bioterorisme merupakan manifestasi dari senjata biologis, yang didefinisikan sebagai mikroorganisme atau substansi bioaktifnya yang tumbuh atau mempengaruhi inang target sehingga menyebabkan inangnya menjadi sakit atau mati. Mikroorganisme ini bisa berupa mikrobia secara alami, strain type liar atau hasil rekayasa genetika. Ancaman bioterorisme terhadap ketahanan pangan nasional seharusnya menjadi perhatian semua pihak, baik itu pemerintah, para ilmuwan (khususnya ahli mikrobiologi fitopatologi) dan konsumen. Untuk itu topik-topik tentang keamanan hayati yang perlu dikembangkan meliputi: kesadaran akan adanya problem ini, keterlibatan diantara para ahli mikrobiologi - fitopatologi, kerjasama antara pemerintah, sektor komersial, organisasi internasional dan universitas, serta pendanaan semua aspek penelitian yang mendukung keamanan hayati, khususnya karakterisasi dan deteksi secara molekuler dan identifikasi patogen.

Kata kunci: bioterorisme, ketahanan pangan.

Live with the slope instability Many times we have read in the newspaper that one the forces of nature which has turned out to be the natural disaster is the slope failure. In Indonesia, we have recorded a long list of slope failure and in many occasion it has cause the lost of property and many lives. One of the triggering factors of the slope instability is the precipitation and the most up-to date issue is the climate change that affects the rainfall pattern. And Indonesia is the in the top of the deforestation issue, and we will have to live with the consequence of our ignorance if we don’t aware of what is happening in our country. Keywords: slope failure, rainfall, deforestation One of the forces of nature that has been a catastrophe in Indonesia is the slope failure. We have a long list of landslide events that happen in Indonesia every year. The lists of the some of the landslides events that occurred in Indonesia: (source:http://gsc.nrcan.gc.ca/landslides/in_the_news_e.php; http://landslides.usgs.gov/recent/archive/)

2007 -

Jan. 12: Deadly landslide hits Indonesia in Sangihe island Feb. 6: Six dead in landslide in Indonesia's West Java Mar. 3: 40 die in Indonesian landslides in Flores Apr. 22: Three killed in Indonesian landslide in Sumatra. May 1. Five killed in Indonesia landslide in West Sulawesi.

2006 Jan. 4: Indonesian landslide buries village in Central Java. 2005 Sep. 2: Death toll in Indonesia's landslide in West Sumatra climbs to 17. 2004 Mar. 29: Landslides in Indonesia kill four, 32 missing in South Sulawesi. The term landslide denotes the movement of a mass of rock, debris or earth down slope (Cruden, 1991). There are many types of landslide according to the types of movement and material (Varnes, 1978) or according to the volume, velocity, etc. of the landslide. Generally, there are two factors that affect the landslide event: -conditioning factors (internal factors): e.g. the condition of the slope -triggering factors (external factors): precipitation and earthquake. The main issue nowadays: - landuse (as a conditioning factor) and then the change of the use of the land. - the climate changing that change the rainfall characteristics. The fact: Almost all the landslides that happened in Indonesia are triggered by the heavy rainfall. With the issue of the climate changing and the deforestation, Indonesia is every day become more susceptible to the slope instability because the climate changing changes the characteristics of the rainfall and increase the intensity of the rainfall. And the deforestation decrease the shear strength of the soil since the root of the vegetation adds some value in the soil cohesion.

The simple explanation: Terzaghi’s theory (1936) of the effective stress of the soil. -

-

Total stress (s): stress that is acting on the soil which is made up of the weight of soil vertically above the plane, together with any forces acting on the soil surface (e.g. the weight of a structure) Effective stress (s’= s-u): It is a measure of the stress on the soil skeleton (the collection of particles in contact with each other), and determines the ability of soil to resist shear stress.

Pore water pressure (u) : the pressure of the water on that plane in the soil.

(Source: http://environment.uwe.ac.uk/geocal/SoilMech/stresses/stresses.htm) Later on, the stress is used to calculate the soil strength, the shear strength. It is the maximum stress that can be applied tangentially on a plane within a soil mass before sliding occurs on that plane. s= c’+ s’ tan f’ c’= effective cohesion (interlocking of the soil) (kPa) s’ = effective stress (kN/m^2) f’ = effective angle of friction (friction intergranular of the soil) (º) Since that we cannot control what will happen in the soil, but we do can do something to control the factor that will cause the landslide, it is recommended that everyone takes his part from now on. Unfortunately, soils are made by nature and not by man, and the products of nature are always complex… As soon as we pass from steel and concrete to earth, the omnipotence of theory ceases to exist. Natural soil is never uniform. Its properties change from point to point while our knowledge of its properties are limited to those few spots at which the samples have been collected. In soil mechanics the accuracy of computed results never exceeds that of a crude estimate, and the principal function of theory consists in teaching us what and how to observe in the field.” (Terzaghi)

The ones we can control then are deforestation and the climate change. Some excerpts to awaken our minds: Landslides are common in Indonesia because of illegal logging and heavy flooding during the rainy season. In November, more than 200 people were killed when a flash flood ravaged the Bukit Lawang resort in North Sumatra. (http://www.theage.com.au/articles/2004/03/27/1080330986586.html) The Guinness World Records had approved a proposal by Greenpeace that Indonesia's forest destruction be included in its 2008 record book … (http://www.stuff.co.nz/stuff/4047151a7693.html Indonesia pays for deforestation with landslides, floods, death (http://www.todayonline.com/articles/93441.asp)

Solution/conclusion: No solution will be offered through this article. But there is something we can do if we want to. Even though if we have a great idea or great theory to develop our country, but when the environment is totally destructed, there aren’t many things we can do. The most important thing is to save the place where we want to build our future. If we keep thinking of becoming industrial country without paying attention to the necessity of the environment, we won’t be able to do what we have been planning. Government and all of us have to realize that deforestation can be controlled by all of us. And though we can’t stop the landslide, but we can control it. With the advance of the technology, we can know the characteristics of the landslide and there are many analyses available to study the slope stability. But we have to realize that with the advance of science, we still can’t predict very well the climate and rainfall pattern. So it will be wiser if we take control of the things that we can do: stop deforestation and respect the nature.

References: www.usgs.gov www.livescience.com www.nationalgeographic.com Abramson L.W., Lee T.S., Sharma S., & Boyce G.M., 1996, Slope Stability and Stabilization Methods, John Wiley & Sons, Canada. Cho S.E. & Lee S.R., Instability of unsaturated soil slopes due to infiltration, 2001, Computers and Geotechnics 28 (2001) 185-208. Fredlund D.G & Rahardjo H. , 1993, Soil Mechanics for Unsaturated Soils, John Wiley &Sons, Inc., Canada. Krejčí, O.; Baroň, I.; Bíl, M.; Hubatka, F.; Jurová, Z.; & Kirchner, K. (2002). Slope movements in the Flysch Carpathians of Eastern Czech Republic triggered by extreme rainfalls in 1997: a case study. Physics and Chemistry of the Earth 27: 1567–1576. Lim T.T, Rahardjo H., Chang M.F. & Ferdlund D.G., Effect on Rainfall on Matric Suctions in a Residual Soil Slope, 1996, en Canadian Geotechnical Journal, 33: 618-628. Rahardjo H. & Fredlund D.G., Mechanics Of Soils With Matric Suction, en Geotropika’92, International Conference on Geotecnical Engineering and Parallel Short Course on Ground Improvement and Foundation Engineering. 21-25 abril 1992, Malasia. Rahardjo H. & Han K. Kwong, Shear Strenght of Saturated Soils As It Applies To Slope Stability Analysis, en Symposium on Unsaturated Soil Behaviour and Applications, Nairobi, Kenya, 22-23 agosto 1995. Rahardjo H., Li X.W., Toll D.G., Leong E.C., The effect of antecedent rainfall on slope stability, 2001, Geotecnical and Geological Engineering 19: 371-399

IMD – SKM 2007

Optimasi Pengelolaan Sumber Energi Ari Warokka

A. Analisis Situasi: Sulit untuk diingkari bahwa Indonesia memiliki aneka ragam sumber daya energi dalam jumlah energi dalam jumlah memadai namun tersebar tidak merata. Permintaan atau konsumsi energi pun tumbuh pesat seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Lebih dari 60% beban konsumsi berada di Jawa, wilayah yang membutuhkan banyak energi, namun yang tidak memiliki sumberdayanya sendiri dalam jumlah memadai. Sebaliknya, banyak sumber energi terdapat di tempat berpenduduk sedikit, seperti Kalimantan dan Sumatra, yang kegiatan ekonominya belum berkembang serta berjarak cukup jauh dari Jawa.

Sementara itu, di tengah kekayaan sumberdaya energi yang dimiliki, konsumsi energi Indonesia masih sangat tergantung pada minyak bumi (Tabel 1). Yaitu jenis sumber energi mahal bila dibandingkan dengan gas bumi maupun batubara. Sehingga tidaklah mengherankan bila potensi sumber energi di Indonesia mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. cadangan energi primer yang besar dan sangat beragam dan ekspor sumber daya energinya berperan vital terhadap ekonomi nasional, b. keterkaitan dengan ekonomi domestik sangat sensitif terhadap fluktuasi harga energi di pasar dunia, dan c. permintaan terhadap energi final pun di dalam negeri tumbuh dengan pesat.

1

IMD – SKM 2007 Tabel 1: Komposisi sumber energi di 10 negara terbesar di dunia, dengan Indonesia sebagai perbandingan (juta ton setara minyak) Ranking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 20

Negara

Minyak Bumi 937.6 308.6 128.5 241.5 119.3 123.6 99.6 94.0 80.8 104.8 54.7

Amerika Serikat China Federal Rusia Jepang India Jerman Kanada Perancis Inggris Korea Selatan Indonesia

Gas Alam 582.0 35.1 361.8 64.9 28.9 77.3 80.5 40.2 88.2 28.4 30.3

Batubara 564.3 956.9 105.9 120.8 204.8 85.7 30.5 12.5 38.1 53.1 22.2

Energi Nuklir 187.9 11.3 32.4 64.8 3.8 37.8 20.5 101.4 18.1 29.6 -

Hydro Electric 59.8 74.2 40.0 22.6 19.0 6.1 76.4 14.8 1.7 1.3 2.5

Total

%

2331.6 1386.2 668.6 514.6 375.8 330.4 307.5 262.9 226.9 217.2 109.6

22.80% 13.60% 6.50% 5% 3.70% 3.20% 3% 2.60% 2.20% 2.10% 1.10%

Sumber: BP Statistical Review of World Energy 2005

Oleh karena itu dibutuhkan komposisi pemanfaatan energi yang ideal bagi Indonesia untuk

mengoptimumkan

sumber-sumber

daya

energi

yang

dimilikinya

dan

memadukannya dengan aneka ragam kebutuhan energi yang terdapat dalam tempattempat yang berbeda.

Energy mix (bauran sumber energi) merupakan suatu konsep/strategi yang dapat dipergunakan sebagai alat (tools) untuk mencapai pembangunan energi dan ekonomi yang berkelanjutan.

Kebijakan bauran energi (energy mix) menekankan bahwa

pemanfaatan energi perlu mengoptimumkan sumber energi yang ada. Indonesia tidak boleh tergantung pada sumber energi tak terbarukan berbasis fosil (minyak, batubara, dan gas), namun harus juga mengembangkan penggunaan energi terbarukan seperti air, panas bumi, tenaga surya, dan seterusnya. Kebijakan bauran energi di Indonesia perlu dikembangkan dengan memperjelas strategi, sasaran penggunaan, jumlah pemanfaatan, dan pengelolaan energi nasional, dengan mempertimbangkan potensi energi, permintaan energi, infrastruktur energi serta faktor lainnya seperti harga energi, teknologi, pajak, investasi, dan sebagainya.

2

IMD – SKM 2007 Gambar 1: Bauran Energi (Energy Mix) Indonesia, 2003

Sumber: Data DESDM, 2003

Beberapa data berikut ini sekiranya dapat menjadi pertimbangan penting dalam menganalisis strategi pengelolaan sumber energi yang dimiliki Indonesia: 1. Cadangan minyak bumi terbukti saat ini diperkirakan sebesar 9 milyar barel, dengan tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barrel per tahun, maka cadangan tersebut dapat habis dalam waktu sekitar 18 tahun. 2. Cadangan yang diperkirakan untuk gas 170 TSCF (trilion standart cubic feed) sedangkan kapasitas produksi mencapai 8,35 BSCF (billion standart cubic feed) yang dibagi untuk ekspor 4,88 BSCF dan untuk domestik 3,47 BSCF. 3. Cadangan batubara di Indonesia diperkirakan ada 57 miliar ton dan merupakan cadangan yang sudah dieksplorasi sebesar 19,3 miliar ton, dengan kapasitas produksi sebesar 131,72 juta ton per tahun. Sehingga jika tidak ada penambahan eksplorasi, cadangan batubara tersebut akan dapat bertahan selama 147 tahun (Lemhanas 2006). Bila dilihat dari segi cadangan, Indonesia masih mempunyai persediaan cukup besar, tetapi permasalahan utama yang kerap kali terjadi di Indonesia adalah kebijaksanaan yang belum dapat memberikan ketahanan energi secara nasional, yaitu: 1. Masih banyak yang belum mendapatkan pasokan energi seperti listrik, 2. Produksi minyak yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga perlu impor,

3

IMD – SKM 2007

3. Harga minyak yang disubsidi memberatkan keuangan pemerintah, dan jika dilakukan penyesuaian dengan harga internasional terjadi gejolak dimasyarakat karena daya beli yang masih rendah dll.

Saat ini ketersediaan listrik di Indonesia baru mencapai 21,6 GW atau 108 watt per orang, hal itu hampir sama dengan di India, yang hanya seperenamnya Malaysia (609 watt/orang) dan jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 1.874 watt/orang. Padahal potensi sumber energi non fosil bagi ketersediaan energi listrik di Indonesia sangat besar, yaitu: Sumber

Daya

Panas Bumi

27 GW

Tenaga Air

75 GW

Biomassa

49 GW

Tenaga Matahari (Surya)

48 KWH/m2/hari

Tenaga Angin

9 GW

Uranium

32 GW

Total

230 GW

Sumber: Data ESDM (2003)

Dan baru dimanfaatkan untuk listrik sebesar 10%. Ketersediaan energi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia masih sangat rendah yaitu 0,467 toe/kapita, dibanding dengan Jepang yang mencapai 4,14 toe/kapita, tetapi dilain pihak terjadi pemborosan yang sangat besar, yaitu 470 toe/juta US dolar, sedangkan Jepang hanya 92,3 toe/juta US dólar (Lemhanas, 2006).

Untuk mengatasi permasalahan di bidang energi, telah dibuat berbagai kebijaksanaan seperti Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) sejak tahun 1981 dan telah dilakukan perbaikan pada tahun 1987, 1991 dan 1998. Kemudian Kebijakan Energi Nasional (KEN) dibuat pada tahun 2003. Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi (Energi Hijau) yang dikeluarkan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral 22 Desember 2003. Seperti tampak berikut ini:

4

IMD – SKM 2007 Gambar 2: Perkembangan Kebijakan Energi

Sumber: Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 - 2025

Kebijaksanaan yang ada tersebut belum dapat menjawab permasalahan secara menyeluruh, sehingga untuk operasional kebijaksanaan tersebut kemudian dibuat Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 yang mencanangkan pemakaian energy mix untuk minyak menjadi 26,2%, gas bumi 30,6%, batubara 32,7%, PLTA 2,4%, panas bumi 3,8% dan yang lainnya sebesar 4,4% merupakan energi: biofuel, tenaga surya, tenaga angin, fuelcell, biomasa, tenaga nuklir dll.

5

IMD – SKM 2007 Gambar 2: Sasaran Energy Mix 2025

Sumber: Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 - 2025

B. Analisis Trend (Global): Pemakaian energi dunia untuk waktu mendatang seperti diperkirakan Energy Information Administration (EIA) hingga tahun 2025 masih didominasi oleh bahan bakar dari fosil: minyak, gas alam dan batubara, sementara untuk energi terbarukan masih relatif sedikit. Dilihat dari segi pemakaian, sumber energi minyak secara global didominasi untuk transportasi, dan ini sampai 2025 diperkirakan masih terus berlanjut meningkat, sedangkan untuk daerah komersial dan tempat tinggal dapat dikatakan tidak banyak perubahan. Kebutuhan listrik dunia diproyeksikan akan meningkat dari 14.275 milyar watt pada tahun 2002 melonjak menjadi 26.018 milyar watt di tahun 2025, dan untuk mendapatkan energi listrik tersebut sebagian besar adalah dari batubara, yaitu hampir 40%, diikuti dengan gas yang semakin meningkat. Sementara di Asia diproyeksikan kebutuhan energi akan meningkat dari 110 quadrilliun Btu (Qbtu) pada tahun 2002 menjadi 221 QBtu di tahun 2025 atau meningkat dua kali lipat dalam jangka waktu 23 tahun. Dari peningkatan yang demikian tinggi tersebut,

6

IMD – SKM 2007

China merupakan negara yang peningkatannya sangat tinggi yaitu dari 43 Qbtu pada tahun 2002 menjadi 109 Qbtu di tahun 2025 (EIA Outlook, 2005).

Dan bila kembali mengamati Tabel 1, sepuluh negara konsumen energi terbesar yang masih didominasi oleh negara-negara industri maju yang tergabung dalam G8, seperti juga kecenderungan yang terjadi di dunia, hampir semuanya menjadikan minyak, batubara dan gas alam sebagai penopang utama kebutuhan energinya, meskipun dengan komposisi yang berbeda-beda. Dari sepuluh negara konsumen energi terbesar tersebut, yang jumlah kesemuanya menempati proporsi 64,76% dari total energi dunia, sebagian besarnya tetap menjadikan minyak sebagai pasokan utama energinya.

Kelima negara yang menjadikan minyak sebagai sumber utama pemenuhan energinya yaitu Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada dan Korea Selatan. Federasi Rusia dan Inggris menjadikan gas alam sebagai pemasok terbesar kebutuhan energi dalam negerinya, sementara Cina dan India menggunakan batu bara sebagia penopang utama pemenuhan kebutuhan energinya.

B. 1. Strategi Pengelolaan Energi yang Ditempuh Negara-negara Maju Tiga negara maju, yaitu Amerika Serikat bersama dengan Jepang dan Korea Selatan tergolong negara-negara yang masih sangat tergantung pada minyak mengingat konsumsi yang sangat tinggi yaitu lebih dari 40% kebutuhan energinya dipasok oleh minyak. Amerika Serikat di lain sisi sudah mengembangkan berbagai sumber energi lainnya baik dari gas alam dan batu bara maupun energi nuklir. Bahkan konsumsi energi nuklir Amerika Serikat merupakan yang terbesar di dunia pada tahun 2004 yaitu setara dengan 187,9 juta ton minyak. Namun demikian, besarnya kebutuhan energi karena industri dan jumlah penduduk yang besar, membuat Amerika Serikat masih menggunakan minyak sebagai sumber utama kebutuhan energinya.

Jika kita mencermati pertumbuhan energi-energi non fosil di Amerika Serikat, tampak negara ini masih tetap akan mengandalkan sumber sumber energi dari fosil sebagai

7

IMD – SKM 2007

pemasok utama kebutuhan energinya. Hal ini dapat dilihat dari tidak terlalu tingginya tingkat pertumbuhan energi non fosil tahun 2004 seperti nuklir yang hanya tumbuh 3,2%, jauh lebih lambat dibandingkan dengan Jepang yang tumbuh 24,3%, Kanada sebesar 21,3% atau Cina 14,1% (BP Statistic, 2005).

Sementara Cina dengan pertumbuhan industri baru yang sangat pesat mampu mengembangkan

batu

bara

sebagai

sumber

energi

alternatif

dengan

tujuan

ketergantungan pada minyak tidak terlalu besar. Disamping itu dengan harga batubara yang lebih murah mampu membuat industri Cina dapat bersaing. Meskipun cadangan batu bara Cina tidak sebesar Amerika Serikat (cadangan Amerika mencapai 27,1% dari seluruh cadangan batu bara di dunia sedangkan Cina memiliki 12,6%), murahnya harga energi batu bara membuat Cina begitu gencar mengintensifkan penggunaan batu bara untuk kebutuhan energinya (EIA Outlook, 2005).

Pendekatan yang menarik dari kebijakan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negerinya juga bisa dilihat pada kasus Rusia atau Prancis. Dengan cadangan gas alam terbesar di dunia (Rusia menguasai 26,7% cadangan gas alam di dunia) Rusia menjadikan gas alam sebagai sumber utama pemenuhan energi dalam negerinya yang mencapai setara 361,8 juta ton minyak atau 54,1% dari total energi yang dikonsumsi negara tersebut. Produksi gas alam yang melimpah yang dilakukan oleh Rusia yang mencapai setara 530,2 juta ton minyak (setara dengan 21,9% dari total produksi gas alam di seluruh dunia yang merupakan produksi gas alam terbesar di dunia), membuat negara ini cukup stabil dalam pemenuhan kebutuhan energinya.

Sementara itu Prancis memiliki caranya sendiri dalam memenuhi kebutuhan energinya. Berbeda dengan Amerika, Cina atau Rusia yang cukup memiliki kekuatan menguasai sumber sumber energi fosil seperti minyak, batu bara ataupun gas alam, Prancis memiliki keterbatasan terhadap sumber sumber energi fosil tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan energinya yang besar, selain mengembangkan perusahaan-perusahaan minyaknya menjadi perusahaan berskala besar untuk menjamin suplai minyak dalam negerinya, Prancis secara serius menggarap sumber energi nuklirnya hingga mampu memproduksi

8

IMD – SKM 2007

setara 101,4 juta ton minyak (jumlah ini merupakan 16,2% dari total energi nuklir di dunia yang merupakan kedua terbesar setelah Amerika). Di Perancis nuklir menjadi sumber energi utama dibandingkan dengan minyak, gas ataupun batubara.

Cara yang sama ditempuh oleh Kanada dengan memperbesar konsumsi gas alam dan sumber energi airnya sehingga jumlah keduanya mencapai 51%, jauh diatas konsumsi minyaknya yaitu 32,4% (Kanada merupakan negara yang memproduksi energi hydro terbesar di dunia yang mencapai 12% dari seluruh energi hydro di seluruh dunia).

Bila kita amati kebijakan energi pada negara-negara konsumen energi terbesar tersebut, terlihat bahwa setiap negara akan mengoptimalkan sumber energi yang mungkin untuk diproduksinya sendiri seperti yang dengan jelas terlihat pada kasus Cina, Rusia, dan Perancis.

Industri energi yang besar dari negara-negara tersebut dan kedekatan dengan negaranegara produsen energi, seperti halnya industri industri minyak dunia yang dimiliki negara-negara konsumen terbesar energi, juga perlu dikelola dengan baik untuk menjamin ketersediaan pasokannya, seperti yang dilakukan oleh Amerika melalui pendekatan politik dan militer pada negara-negara timur tengah. Selain itu membuat perbandingan yang relatif berimbang terhadap sumber sumber energi yang ada membuat ketergantungan sebuah negara terhadap satu sumber energi bisa berkurang.

Strategi Transformasi: Pada kasus di Indonesia, sebenarnya produksi yang ada dari tiap-tiap sumber utama energi yaitu minyak, gas alam, dan batubara, telah melebihi dari konsumsi dalam negerinya. Produksi minyak Indonesia yang sebenarnya melebihi konsumsi dalam negeri (produksi sepanjang 2004 berjumlah 55,1 juta ton lebih tinggi dibandingkan konsumsi yang 54,7 juta ton) terpaksa sebagiannya harus lari ke pihak perusahaan pengelola yang nota bene dimiliki oleh perusahaan asing (kontraktor Bagi Hasil/ KBH).

9

IMD – SKM 2007 Tabel 2: Potensi Energi Nasional 2004

* Hanya di daerah Kalan - Kalbar Sumber: Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025

Data yang sedikit berbeda yang dikeluarkan oleh kementerian ESDM dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional menunjukkan bahwa dengan kondisi produksi minyak saat ini dan perjanjian bagi hasil yang sedang berlaku, Indonesia harus mengimpor minyak mentah sebesar 487 ribu barel per hari dan produk olahan minyak sebesar 212 ribu barel per hari (total 699 ribu barel per hari), melebihi besar ekspor minyak mentahnya sebesar 514 ribu barel perhari.

Kondisi besarnya impor minyak inilah yang membuat kenaikan harga minyak mentah dunia yang sempat menyentuh level 70 US$ per barel menjadi sangat memberatkan APBN di tahun 2005 lalu. Melihat ketergantungan yang sangat tinggi dari minyak, sudah saatnya Indonesia mengikuti pola kebijakan energi seperti yang dilakukan oleh Cina, Rusia ataupun Perancis yang sumber utama energi didapat dari sumber yang pasokannya stabil baik ketersediaan di dalam negeri maupun harganya.

10

IMD – SKM 2007

Optimalisasi penggunaan batubara dan gas alam dalam waktu yang tidak terlalu lama sebagai bagian dari kebijakan energy mix sesungguhnya segera bisa direalisasikan untuk membuat ketahanan energi di Indonesia bisa lebih stabil. Untuk jangka panjang, memfokuskan sumber energi non-fosil untuk dikembangkan secara besar-besaran agaknya perlu dimulai sejak saat ini sebagaimana Jepang yang sangat serius mengembangkan nuklir dan sel suryanya, atau Kanada yang mengembangkan energi hidro secara besar-besaran.

Merujuk pada strategi dan program yang disusun dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 – 2025 (baik program utama dan pendukung), maka beberapa hal perlu dilakukan untuk mengoptimalkan pengelolaan energi nasional: 1. Segera dibuatnya undang undang energi sebagai payung utama dalam hal energi, kemudian penyesuaian undang-undang yang terkait dengan undangundang energi, seperti undang-undang ketenaga nukliran, kelistrikan, panas bumi, migas dll. Undang-undang tersebut perlu diikuti dengan instrumen-instrumen untuk memudahkan pelaksanaan baik dipusat maupun di daerah. Juga perlu ditetapkan program yang jelas, seperti yang tertera dalam blueprint energi yang perlu dilakukan sinkronisasi dengan kebijaksanaan perumahan, transportasi, industri maupun daerah komersial. Hasil blueprint tersebut perlu diformalkan untuk menjadi acuan nasional, sehingga semua kebutuhan yang berkaitan dengan energi harus disesuaikan dengan blueprint tersebut 2. Perlu adanya perbaikan kebijaksanaan dalam harga, selain untuk menekan subsidi juga untuk menekan terjadinya penyelundupan BBM keluar negeri, pencampuran berbagai jenis minyak dll. Dalam hal ini koordinasi secara nasional diperlukan, terutama dengan penegak hukum baik Polisi maupun TNI serta perangkat hukum lainnya. Kebijaksanaan didaerah yang saat ini kebanyakan menunggu kebijaksanaan dari pusat, dengan adanya undang-undang energi dan programnya yang jelas dapat menentukan arah pembangunan energi yang ada didaerahnya sesuai dengan potensi yang ada.

11

IMD – SKM 2007

3. Pengembangan instrumen kebijaksanaan dibidang fiskal yang berkaitan dengan energi, seperti diperlukan adanya berbagai insentif secara adil dan konsisten. Insentif yang diperlukan, diantaranya adalah: a. pemberian

insentif

pajak

berupa

penangguhan,

keringanan

dan

pembebasan pajak pertambahan nilai, serta pembebasan pajak bea masuk kepada perusahaan yang bergerak dibidang energi terbarukan dan konservasi energi; b. penghargaan kepada pelaku usaha yang berprestasi dalam menerapkan prinsip konservasi energi dan pemanfaatan energi terbarukan; c. penghapusan pajak barang mewah terhadap peralatan energi terbarukan dan konservasi energi; d. memberikan dana pinjaman bebas bunga untuk bagian rekayasa teknik pada investasi pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi. 4. Penelitian dan pengembangan di bidang energi alternatif dan konservasi energi perlu diarahkan untuk meningkatkan kemampuan nasional di bidang penguasaan Iptek. Khususnya dalam rangka pengembangan industri yang berkaitan dengan jasa dan teknologi energi terbarukan dan konservasi energi yang dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga atau industri penelitian dan pengembangan unggulan. Selain programnya juga perlu dianggarkan dengan baik beaya untuk penelitian dan pengembangan yang diambil dari pengurangan subsidi, maupun anggaran khusus yang dapat mengurangi kerugian social ekonomi karena permasalahan pemborosan pemakaian energi. Anggaran pemerintah untuk energi alternatif di usulkan 2,5% dari angaran subsidi, baik subsidi untuk minyak maupun subsidi untuk listrik dan dari tahun ketahun diberikan prioritas kenaikan untuk mempercepat penyelesaian permasalahan energi. 5. Instrumen kebijaksanaan pendidikan perlu ditujukan untuk membuka inisiatif masyarakat dalam mengimplementasikan energi alternatif dan konservasi energi. Selain itu diperlukan regulasi keteknikan untuk menjamin penyediaan dan pemanfaatan energi alternatif dan konservasi energi yang berkualitas tinggi, aman, andal, akrab lingkungan.

12

IMD – SKM 2007

6. Juga pemberlakukan standar untuk memberikan jaminan akan kualitas produk, baik produk energi maupun produk peralatan/sistem energi yang diproduksi di dalam negeri ataupun di luar negeri, yang berhubungan dengan energi terbarukan dan konservasi energi. 7. Jika di Malaysia ada SCORE (Special Committee on Renewable Energy) dan Thailand membentuk EPPO (Energy Policy and Planning Office), di Indonesia selain organisasi di Departemen ESDM, telah dibentuk BP Migas. Untuk mengelola khusus energi terbarukan dan konservasi energi, sebaiknya dibentuk badan energi terbarukan dan konservasi energi diluar departemen yang ada. Referensi: •

EIA, World Energy Outlook, 2005



Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005 - 2025, ESDM, 2003



Kristojo, Hari dan Hanan Nugroho, Menuju Pemanfaatan Energi yang Optimum di Indonesia: Pengembangan Model Ekonomi-Energi dan Identifikasi Kebutuhan Infrastruktur Energi, Bappenas, 2003.



Sugiyono, Agus, Perubahan Paradigman Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan, Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I, Pascasarjana FE UI dan ISEI, 2004.

13

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM: TANTANGAN BAGI TANGGUNG JAWAB KORPORASI INDONESIA

Michael C. Putrawenas PPI Rotterdam / PPI Belanda

Kata kunci: Corporate social responsibility, sumber daya, sumber daya alam, tanggung jawab sosial, tanggung jawab korporasi.

Hampir tidak akan ada yang menyangkal bahwa kepulauan Nusantara memiliki sumber daya alam yang berlimpah ruah. Sumber daya mineral, keragaman hayati, kekayaan hasil bumi dan laut tersebar dari Merauke sampai Sabang. Jika kekayaan alam dan jumlah penduduk yang besar ini diasumsikan sebagai input dari suatu proses ekonomi dan sosial, maka output yang bisa diharapkan sebenarnya cukup besar pula. Namun, setelah sekian abad kepulauan Nusantara yang kini bernama Indonesia dikelola oleh berbagai pemerintahan, penduduk yang hidup didalamnya masih jauh dari menikmati potensi yang dimilikinya. Tingkat kemakmuran ekonomi Indonesia masih relatif tertinggal dengan negara tetangganya dan indikator kemajuan sosial tergolong sangat rendah di dunia. Ketidakseimbangan input dan output ini menunjukkan bahwa proses pengelolaan input di negara dengan 220 juta jiwa ini bermasalah serius. Proses pengolahan atau manajemen sumber daya kini perlu dilihat dengan lebih menyeluruh dan disadari bahwa tiga aktor utama bisa dan perlu berperan (lebih) aktif. Tanggung jawab manajemen sumber daya tidak bisa hanya dibebankan kepada aktor pemerintah, tetapi masyarakat sipil dan swasta memiliki tanggung jawab yang setara –namun tidak sama- untuk mengelola Indonesia. Makalah ini akan mencoba membahas peran yang bisa dimainkan aktor swasta dalam mengelola sumber daya nasional dan lokal sebagai wujud tanggung jawab (ekonomi, sosial, dan lingkungan) perusahaan. Makalah ini dimaksudkan sebagai bahan diskusi dan bukan penelitian ilmiah dengan kaidah akademis yang baku. Berbagai penelitian lanjutan dan pengayaan data masih sangat diperlukan.

1. ANALISA MASALAH Tiga masalah utama yang dapat dikuantifikasikan dalam makalah ini bermula dari taraf hidup rakyat yang masih rendah dari berbagai ukuran, pengelolaan sumber daya alam yang jauh dari efisien, dan rendahnya kesadaran tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia sebagai salah satu aktor utama pengelolaan sumber daya. 1.1. Taraf hidup yang masih rendah Gambar 1 Produk Domestik Bruto per kapita (Purchasing Power Parity)

Human Development Index

35,000

1 30,000

0.9 0.8

25,000

0.7 20,000

0.6 0.5

15,000

0.4 10,000

0.3 0.2

5,000

0.1 0

RRC

Indonesia

Jepang

Korea Selatan

Malaysia

Thailand

2005

2004

2003

2002

2001

2000

1999

1998

1997

1996

1995

1994

1993

1992

1991

1990

1989

1988

1987

1986

1985

1984

1983

1982

1981

1980

0

1980 RRC

1985 Indonesia

1990 Jepang

1995

2000

Korea Selatan Malaysia

2004 Thailand

Sumber: World Bank, 2007; UNDP, 2006.

Indikator kemakmuran ekonomi suatu negara yang paling lazim digunakan adalah Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product) per kapita (PDB per kapita). Data yang ditampilkan Gambar 1 adalah PDB per kapita yang sudah dikoreksi dengan perbedaan tingkat harga di setiap negara (purchasing power parity). Perbandingan dengan Republik Rakyat Cina (RRC), Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand dimaksudkan untuk melihat perbandingan antara Indonesia dengan negara-negara maju di Asia (Jepang dan Korea Selatan) serta negara berkembang (RRC) khususnya negara tetangga yang memilki kemiripan karakteristik (Malaysia dan Thailand). Untuk lebih mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh dari tingkat taraf hidup suatu negara, ukuran ekonomi saja tidaklah cukup. Tingkat kesehatan, kualitas hidup, dan pendidikan adalah komponen-komponen penting yang terukur secara komposit dalam human development index (HDI). Diukur dari PDB per kapita dan HDI, performa Indonesia sebagai sebuah negara masih jauh dari potensi yang dimilikinya. Bahkan HDI Indonesia menempati urutan 108 dari 177 negara.

1.2. Defisit Ekologis Peri kehidupan masyarakat Indonesia selama ini banyak disokong oleh sumber daya alam. Tetapi, secara ekologis, Indonesia mengalami defisit ekologis1. Defisit ekologis berarti dengan pola pengelolaan saat ini, sumber daya alam yang tersedia bagi rakyat Indonesia tidak mencukupi. Indonesia mengalami defisit ekologis sebesar 0.1 hektar per kapita sementara Malaysia dengan performa ekonomi yang jauh lebih baik dari Indonesia justru memiliki surplus ekologis sebesar 1.5 hektar per kapita (WWF, 2006). Disparitas anggaran ekologis dua negara ini mengilustrasikan bahwa jumlah sumber daya alam yang dimiliki suatu negara hanya akan dapat berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi dan sosial jika pengelolaannya dapat berjalan baik.

1.3. Rendahnya kesadaran tanggung jawab korporasi Manajemen sumber daya alam bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Pemerintah memang berkewajiban meletakkan dasar kebijakan yang mengarah kepada kesinambungan pengelolaan sumber daya alam (e.g. melalui produk hukum, insentif/dis-insentif, penegakan hukum, penyediaan infrastruktur). Masyarakat sipil sebagai aktor penting lainnya bertugas memberdayakan masyarakat baik pada tingkat nasional maupun lebih penting lagi pada tingkat lokal untuk mengapresiasi sumber daya alam di sekitar mereka. Dengan apresisasi yang kuat, fungsi kontrol masyarakat terhadap pengggunaan sumber daya alam akan semakin efektif dan ketat. Kesadaran dan kemauan masyarakat yang berada langsung di dekat sumber daya alam akan jauh lebih berarti bagi perlindungan alam daripada kesadaran sekelompok sipil yang berada di Jakarta saja. Sumber daya alam tidak akan dapat berkontribusi banyak bagi perikehidupan masyarakat maupun Negara jika tidak diolah untuk menciptakan nilai ekonomi. Penciptaan atau lebih tepatnya penambahan nilai ekonomi sumber daya alam sebagian besar merupakan tugas aktor produksi dan pelaku pasar yang lazim berbentuk perusahaan. Aktor swasta dapat berupa usaha keluarga, perusahaan lokal, perusahaan nasional, maupun perusahaan multinasional. “Pembagian tugas” seperti ini menggarisbawahi pentingnya tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, khususnya dalam mengelola sumber daya alam lokal dan nasional. Masalahnya adalah, persepsi akan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan di Indonesia masih rendah, lagi-lagi dibawah Malaysia, Korea Selatan, RRC dan Thailand (World Economic Forum, 2004: 608).

1

Defisit / surplus ekologis menggunakan satuan hektar per kapita yang mencerminkan konsumsi sumber daya alam dan limbah dari penduduknya dengan juga memperhitungkan pengaruh dari ekspor/impor.

2. ANALISA POTENSI 2.1. Sumber daya alam yang tinggi Kapasitas ekologi2 Indonesia masih berada jauh dibawah Malaysia. Indeks kapasitas ekologi Indonesia adalah 1 hektar per kapita sementara Malaysia 3.7 hektar per kapita (WWF, 2006). Padahal luas wilayah Indonesia adalah 1,9 juta kilometer persegi sedangkan Malaysia hanya 332 ribu kilometer persegi. Fakta ini sekali lagi menekankan bahwa pola pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sangat belum produktif. Tetapi di sisi lain menunjukkan betapa besarnya potensi yang dapat dicapai dengan pola manajemen yang lebih baik. Meskipun perbandingan luas wilayah dengan populasi antara Indonesia dan Malaysia tidak sebanding, kekayaan bumi yang dikandung kepulauan Nusantara menambah potensi alam Indonesia. Selain kekayaan mineral, kesuburan tanah Indonesia memberikan potensi sebagai lumbung pangan dunia. Pertumbuhan populasi dunia yang sangat pesat dan akan terus bertambah membutuhkan pasokan pangan. Pangan adalah sumber daya paling utama untuk kelangsungan hidup manusia dan juga adalah sumber daya terbarukan! (Masukan angka-angka statistik yang dapat mengkuantifikasikan kekayaan alam Indonesia akan sangat berguna di sub-bagian ini).

2.2. Potensi Bahari yang Klasik dan Krusial Meskipun mungkin terkesan klasik, tetapi kekayaan bahari Nusantara adalah kekayaan alam yang masih jauh dari optimal pengelolaannya. Populasi Indonesia belum sanggup menyediakan “pengelola” bahari dalam kuantitas dan kualitas yang memadai. Nelayan-nelayan asing bahkan dipersilakan dengan pintu terbuka untuk beroperasi di lautan Indonesia daripada tidak ada yang beroperasi disana –yang berarti tidak ada yang mengolah sumber daya alam menjadi sumber daya ekonomi. Padahal, tingkat pengangguran yang tinggi (9%) mengindikasikan banyaknya populasi yang membutuhkan pekerjaan dan sisi lain sumber daya bahari yang butuh pekerja untuk mengolahnya. Sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, sudah sangat layak sebenarnya jika muncul perusahaan-perusahaan pengelola kelautan tingkat dunia dari Indonesia seperti perusahaan perikanan, pengelolaan batu karang juga para pakar marine biologist.

2

Kapasitas ekologi meghitung produktivitas pengelolaan alam dari area yang terdapat dalam suatu negara.

2.3. Merebaknya sekolah dan sarjana manajemen dalam dan luar negeri Dalam satu dekade terakhir ini sekolah-sekolah tinggi setingkat universitas yang menawarkan program manajemen muncul secara sporadis terutama di kota-kota besar. Program-program manajemen diminati baik oleh generasi muda yang baru lulus sekolah lanjutan maupun para profesional dan pakar yang kembali ke kampus menempuh program magister. Pelajar dan profesional Indonesia yang berkesempatan menempuh pendidikan di luar negeri pun juga banyak yang memilih untuk mendalami mata kuliah bisnis dan manajemen internasional. Gejala ini menunjukkan bahwa minat untuk mendalami (demand) dan minat untuk berinvestasi (supply) dalam pendidikan manajemen tumbuh drastis. Keadaan ini perlu dioptimalkan dengan menjaga standar kualitas pendidikan manajemen dan pengembangan kurikulum manajemen yang khas Indonesia.

3. ANALISA TREND 3.1. “Pertarungan” akses sumber daya alam Akses terhadap sumber daya alam telah menjadi bahan pemicu konflik antar Negara dan antar bangsa. Semakin lama ketersediaan sumber daya alam tidak bertambah tetapi justru semakin langka. Kelangkaan sumber daya alam ini dalam masa kini dan mendatang perlu dikelola dengan baik untuk menghindari konflik (Klare, 2001). Negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam dalam wilayah mereka akan terus mencoba mengamankan akses ke sumber daya alam di Negara lain. Perilaku ini mengharuskan negara-negara pemilik sumber daya alam untuk menguatkan basis mereka dalam pengelolaan dan perlindungan sumber daya tersebut. Strategi pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam yang mantap perlu melibatkan secara aktif pemerintah, masyarakat sipil, dan swasta. Ini bukan berarti menutup pintu bagi pengelola asing, tetapi mendahulukan pengelolaan lokal yang kompeten dan berkesinambungan.

3.2. Trend tentang “sustainability” Badan-badan dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, World Trade Organization, dan lainnya semakin menekankan pentingnya pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development). Dunia korporasi internasional juga memunculkan berbagai standar, kode etik, dan kesepakatan seputar praktek manajemen dan niaga yang tidak merusak alam dan menjaga keseimbangan ekosistem. Standar mutu pengelolaan alam yang berkembang terlihat akan semakin menjadi baku dan sangat mungkin (bahkan sudah mulai dilakukan) untuk dijadikan prasyarat suatu perusahaan atau negara melakukan perdagangan internasional. Negara atau korporasi yang tidak memenuhi standar tersebut bisa dikenakan sanksi atau ditolak untuk berpartisipasi dalam pasar komoditas.

3.3. Otonomi Daerah Perluasan kekuasaan di tingkat daerah di Indonesia juga berarti perluasan tanggung jawab pengelolaan sumber daya alam di tingkat daerah. Dalam konteks tersebut, pengelolaan sumber daya alam seharusnya menjadi semakin efektif akibat jarak otoritas dengan lokasi sumber daya itu sendiri. Dampak dari manajemen ataupun mismanajemen dari sumber daya alam itu pun akan lebih dirasakan pada tingkat lokal.

4. STRATEGI TRANSFORMASI 4.1. Penumbuhan trend pengelolaan alam yang berkesinambungan Kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan lokal maupun nasional yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam di Indonesia tampaknya masih kurang dibanding perusahaan manufaktur, perbankan, telekomunikasi, dan seterusnya. Memang merek-merek konsumen yang setiap hari kasat mata akan jauh lebih dikenal daripada nama perusahaan penangkap ikan atau agrobisnis. Tetapi persepsi publik yang baik juga sangat berpengaruh terhadap perekrutan tenaga-tenaga kerja terbaik dan investor.

4.2. Pemberdayaan perusahaaan lokal untuk mengelola SDA Sebenarnya sejauh ini sumber daya lokal sudah banyak dilibatkan dalam pengelolaan sumber daya alam. Tetapi peran mereka masih sangat terbatas dalam bentuk perusahaan kecil, buruh tani, nelayan tradisional, dan seterusnya. Keterlibatan sumber daya lokal ini perlu diberdayakan antara lain dengan kemudahan akses (mikro)kredit, insentif fiskal, capacity building, dan jaminan hukum berusaha. Dengan demikian tidak hanya pengelolaan alam yang optimal tercapai, tetapi juga penguatan ekonomi lokal.

4.3. Penyesuaian kurikulum dan pemahaman manajemen Optimalisasi menjamurnya sekolah manajemen di Indonesia bisa dilakukan antara lain dengan penekanan dan pengembangan mata kuliah atau kurikulum corporate social responsibility (CSR) dan “Mengelola Alam Indonesia”. Dalam pembahasan CSR ditekankan pentingnya perilaku bertanggung jawab secara ekonomi, sosial, dan lingkungan bagi perusahaan sebagai bagian dari strategi bisnis – dan bukan sekedar filantropi perusahaan. Sementara pembahasan “Mengelola Alam Indonesia” menelusuri potensi alam Indonesia yang sedang dan dapat diolah menjadi sumber daya ekonomi secara berkesinambungan.

Tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) hendaknya tidak dilihat sebagai sebuah tujuan atau tanggung jawab yang lebih atau kurang penting daripada tanggung jawab ekonomi perusahaan. Sudah seyogyanya perusahaan sebagai aktor ekonomi memiliki tanggung jawab utama untuk mencetak keuntungan sesuai koridor yang ada. Keuntungan yang dicetak perusahaan akan memberikan kontribusi bagi sebuah Negara dan masyarakatnya melalui berbagai cara dari mulai lapangan kerja, setoran pajak, konsumsi perusahaan, dan seterusnya. CSR hendaknya dilihat sebagai sebuah cara perusahaan mencetak laba. CSR harus terintegrasi dalam setiap lini strategi dan operasi perusahaan serta bukan diperlakukan sebagai sebuah program atau kegiatan amal yang terpisah. Praktek CSR harus mendukung strategi operasi perusahaan dan tidak menggerogoti neraca. Jika konsep CSR disinergikan dengan kesempatan bisnis pengelolaan sumber daya alam Indonesia secara berkesinambungan maka peran aktor swasta dalam penciptaan kekuatan ekonomi Indonesia yang sehat akan jauh lebih mantap.

5. VISI MASA DEPAN 5.1. Perusahaan-perusahaan Indonesia yang dikenal dunia memiliki core competence atau kompetensi utama mengelola sumber daya alam secara berkesinambungan. 5.2. 75% sumber daya alam Indonesia dikelola secara bertanggung jawab oleh aktor lokal dan nasional. 5.3. Masyarakat Indonesia yang sungguh bangga dengan kekayaan alamnya tapi lebih bangga lagi dengan pengelolaannya yang berkesinambungan dan mengangkat taraf hidup rakyat.

Referensi Klare, M. (2001) Resource Wars, Henry Holt Company: New York. UNDP (2006) Human Development Report 2006, Palgrave Macmillan: New York. World Bank (2007) World Development Indicator Online, World Bank. World Economic Forum (2005) The Global Competitiveness Report 2005-2006, World Ecoomic Forum: Davos. WWF (2006) Living Planet Report 2006, World Wide Fund for Nature: Gland.

SDA DAN PERKEMBANGAN YANG BERKELANJUTAN (KONSEP DAN PENERAPAN “DESARROLLO SOSTENIBLE”)

“Ketika pembelajaran mengenai rumah dan administrasi rumah dipadukan, dan ketika garis-garis etika dapat dikembangkan dari lingkup lingkungan hidup ke nilai-nilai kemanusiaan, optimisme terhadap masa depan kemanusiaan akan sangatlah mungkin. Konsekuensinya, pembelajaran masa depan yang holistik akan tercapai dengan mempertimbangkan perpaduan tiga faktor penting: Ekologi, Ekonomi dan Etika”1.

“Selalu ada hal yang kita lakukan karena kita mencintainya, dan ada lain hal yang kita lakukan untuk meraih tujuan lain. Salah satu tugas terpenting masyarakar adalah membedakan antara tujuan-tujuan dan mempertimbangkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan tersebut. Pertanyaannya adalah: Apakah bumi itu sekedar sarana produksi atau mempunyai arah dalam dirinya sendiri? Ketika saya mengatakan “bumi”, itu mencakup seluruh ciptaan yang ada di dalamnya”2.

1 2

EUGENE P. ODUM, E.F. SCHUMACHER,

E

c

o

o

L

l

p

o

g

e

í

q

a

u

:

e

b

ñ

a

o

s

e

e

s

s

c

h

i

e

e

n

r

m

t

í

o

f

i

s

c

a

o

, Vedrá, Barcelona, 1992, 271. , Blume, Barcelona, 1978, 89. s

p

a

r

a

u

n

n

u

e

v

o

p

a

r

a

d

i

g

m

a

1

PENGANTAR Sebagai sebuah biosfera, jaringan planet bumi dan mahkluk yang ada di dalamnya, manusia mempunyai peranan dominan, sebagai anggota, tetapi sekaligus penguasa yang menggerakan perubahan. Sentuhan kemanusiaan hadir dan membuah hasil di bumi. Alam sekitar adalah perluasaan dari kemanusiaan. Alam merupakan eksteriorisasi dari dunia batin manusia., adalah cermin dari hidup dan perilaku manusia3. POPPER4 mengatakan bahwa manusia merupakan sebuah laboratorium dengan tiga dunia: material (alam sekitar), pengalaman sadar (indera) dan pengetahuan obyektif (cultura) yang saling berkaitan satu sama lain. Apa yang terjadi di alam mterial, merupakan pengaruh dan berpengaruh terhadap pengalaman sadar dan pengetahuan obyektif; dan kombinasinya. Dan berharapan dengan cara hidup dan perilaku manusia kita masuk dalam tataran etika dan struktur nilai. Masa sekarang kita berhadapan dengan situasi planet bumi yang penuh luka, beberapa bisa dipulihkan dan beberapa tidak bisa dipulihkan. Banyak tokoh lingkungan hidup mengatakan Bumi dan seisinya sedang lelah dan memerlukan istirahat, atau sedang sakit dan memerlukan obat, bahkan mungkin sedang sekarat dan memerlukan obat penenang. Seberapa kritis kondisi ini, ada banyak penafsiran. Masa depan kemanusiaan menentukan dan ditentukan oleh bagaimana kita berperilaku terhadap alam. Dan mengingat kondisi yang ada, kita boleh berhipotesis bahwa ada sesuatu yang tidak benar dalam perilaku kita terhadap alam dan ada yang harus diubah dalam perilaku kita. Kita bertanggungjawab terhadap generasi kita dan generasi mendatang5. Dalam pemikiran konteks sekarang, ALVIN TOFFLER6 mengatakan bahwa kita hidup dalam gelombang ketiga, era informasi dan pemikiran. Gelombang ketiga ini memunculkan tipe hidup sosial yang berbeda: terutama perubahan material dalam pembaharuan ekonomi dan sosial7. Dan beberapa pemikir lain mengatakan bahwa kita berada berada dalam era yang dinamakan globalisasi atau lebih tepat dikatakan gerakan mendunia (mundialisasi)8 yaitu proses interkoneksi keuangan, ekonomi, politik, sosial,

3

Berkaitan dengan tesis ini, dapat dibaca dalam A.KING - B. SCHNEIDER, , Barcelona, 1992. 4 Dikutip dari J.C ECCLES, : Zygon 8 (1973: 3-4) 283. 5 Banyak tesis etika lingkungan hidup sebagai contoh: J. ETXEBERRÍA, , Universidad de Duesto, Bilbao, 1995; H. JONAS, , Círculo de lectores, Barcelona, 1994. E. PARTIDGE, : http://www.gadfly.igc.org/papers/futgens.htm; G.PONTARA, , Ariel, Barcelona, 1996; M. RUBIO, : Studia Moralia 42 (Madrid, 2004) 95-116; M. TOMBOLINA, : Moralía 27 (Madrid, 2004) 91-120. 6 ALVIN TOFFLER, , Madrid, 1996. Gelombang pertama adalah revolusi pertanian, gelombang kedua adalah industria dan gelombang ketiga adalah informasi. 7 BELL, 1973 TOURAINE 1969., CASTELLS, 1995. 8 J. ABAD, : Razón y fe 242 (Madrid, 200) 105-108. B. AMOROSO, , La meridiana, Molfeta, Italia, 1996. U. BECK, , Paidós Ibérica, Barcelona, 1998 o , Suhrkamp, Frankfurt, 1997. G DE LA DEHESA, , Alianza, Madrid, 2000; A. GIDDENS, a

p

r

i

m

e

r

a

r

e

v

o

l

u

c

ó

i

n

m

u

n

d

i

a

l

,

L

P

l

z

a

y

a

J

a

é

n

s

u

l

t

i

v

a

t

e

d

E

v

o

l

u

t

i

o

n

v

B

s

i

o

l

o

g

i

c

a

l

E

v

o

l

u

t

i

o

n

C

é

a

t

i

c

a

a

n

t

e

l

a

c

r

i

s

i

s

e

c

o

ó

l

g

i

c

a

L

E

c

i

v

i

l

z

i

a

c

ó

i

n

t

e

c

n

o

ó

l

g

i

c

l

p

r

i

n

c

i

p

i

o

d

e

r

e

s

p

o

n

s

a

b

i

l

i

d

a

.

d

a

u

t

u

E

r

n

e

s

y

a

G

e

o

n

p

e

a

r

a

r

t

a

i

u

o

n

n

s

a

A

:

F

o

m

p

a

n

i

o

n

t

o

E

n

v

i

r

o

m

e

n

t

a

l

E

t

h

i

c

s

t

C

g

i

c

y

a

É

e

n

e

r

a

c

i

o

n

e

s

f

u

t

u

r

a

G

s

G

T

a

e

r

c

e

r

O

a

l

e

n

e

r

a

c

i

o

n

e

s

f

u

t

u

l

r

a

o

s

b

:

a

l

u

z

i

a

n

r

c

e

ó

i

t

y

n

o

p

a

e

r

c

a

-

o

l

é

t

é

a

t

i

i

c

c

a

a

a

L

o

s

m

a

l

e

s

d

e

l

a

g

l

o

b

a

l

z

i

a

c

ó

i

n

s

e

r

e

m

e

d

i

a

n

c

o

n

á

m

s

g

l

o

b

a

l

z

i

a

c

i

ó

n

L

e

l

l

G

a

l

o

b

a

l

z

i

a

c

ó

i

n

u

D

g

l

o

b

a

l

i

z

a

c

ó

i

n

?

a

l

a

c

i

a

s

¿

d

e

l

g

l

o

b

a

l

i

s

m

,

o

r

e

s

p

u

e

s

t

a

s

d

e

l

a

g

l

o

b

a

l

z

i

a

c

ó

i

é

e

s

a

Q

n

F

W

a

s

I

s

t

G

l

o

b

a

l

i

s

i

e

r

u

n

g

?

I

r

r

o

C

t

m

ü

m

p

e

r

e

r

n

d

d

e

e

G

s

r

l

a

l

o

b

g

a

l

o

l

b

i

s

a

m

u

l

i

z

-

s

a

c

A

i

n

ó

t

w

o

r

t

e

n

a

u

f

G

l

o

b

a

l

i

s

i

e

r

u

n

g

n

n

m

u

n

d

o

U

2

budaya yang diramu oleh teknik informasi dan komunikasi yang menghubungkan beberapa pihak dan organisasi. Dan dalam proses globalisasi, pertumbuhan dan perkembangan disinyalir sudah mengatasi ambang batasnya9. Dengan latar belakang pemikiran global itulah, paper ini dibuat. Paper ini mengangkat tema etika lingkungan hidup dan secara khusus akan membahas salah satu nilai yaitu etika perkembangan yang berkelanjutan (untuk selanjutkan akan disingkat DS, desarrollo sostenible)10. Untuk itu, paper akan disajikan dalam 3 bagian besar. Bagian pertama akan memaparkan secara garis besar situasi perkembangan planet bumi dan perkembangan manusia secara mendunia (mundial – selanjutnya akan digunakan istilah ini), dan akan dilengkapi dengan informasi mengenai situasi dan kondisi lingkungan hidup yang ada di Indonesia. Bagian kedua akan membahas usaha-usaha yang telah dilakukan dan yang sedang dilakukan untuk menggerakkan DS dalam taraf mundial maupun nasional, dan bagian ketiga disajikan strategi etika DS dalam beberapa manifestasinya. Ada beberapa catatan berkaitan dengan paper ini. 1. Paper ini bukan merupakan laporan análisis lingkungan global, baik mundial ataupun nasional, terkalkulasi secara matematis dan kuantitatif. Data diambil seperlunya sebagai titik pijak global etika. 2. Informasi dan pengalaman penulis akan suprastruktur dan infrastrusktur pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia sangat terbatas. Maka proposal etika DS yang ditawarkan mungkin perlu dikontekskan lebih riil lagi, walaupun etika lingkungan hidup juga berciri universal dan mundial. Disini dibedakan bukan substansi etika melainkan exigencia (kebutuhan dan kemendesakannya). 3. Karena merupakan paper etika, paper ini tidak akan menyajikan strategi politik lingkungan hidup praktis, landasan yuridis ataupun blue print, melainkan semacam utopia riil yang memacu untuk memikirkan dan melakukan langkahlangkah strategis masa depan hubungan timbal balik antara alam dan manusia.

d

e

s

b

i

c

a

d

.

o

o

s

e

f

e

c

t

o

s

d

e

l

a

g

l

o

b

a

l

z

i

a

c

ó

i

n

e

n

n

u

e

s

t

r

a

s

v

i

d

a

, Taurus, Madrid, 2000; D. HELD – A MCGREW,

s

L

G

l

o

b

a

l

z

i

a

c

ó

i

n

a

/

n

t

i

g

l

o

b

a

l

9

z

i

D.H. MEADOWS dkk, Proposal etika: AAVV, Madrid, 1992; AAVV,

a

c

ó

i

, Paidos, Barcelona, 2003.

n

, El País, Madrid, 1993. . , Trota, , Trota, Madrid, 1995; V. BELLVER, Ecorama, Granada. H. JONAS, , Barcelona, 1994; E. LEFFE, , S. XXI, Madrid, 1994; R. TAMAMER, , Alianza, Madrid, 1985. C. VELAYOS, Tesis Doctoral, Universidad de Salamanca, Salamanca, 1995 dll. á

s

a

l

á

l

d

e

l

o

s

l

í

m

i

t

e

s

d

e

l

c

r

e

c

i

m

i

e

n

t

o

M

10

e

d

i

o

a

m

b

i

e

n

t

y

e

d

e

s

a

r

r

o

l

l

o

s

o

s

t

e

n

i

b

l

á

e

M

s

a

l

l

á

d

e

l

I

n

f

o

r

m

B

e

r

u

n

d

t

l

a

n

d

M

e

l

a

e

c

o

n

o

m

í

a

a

l

a

e

c

o

l

o

g

í

a

E

c

o

l

o

g

í

a

:

d

e

l

a

D

r

R

z

a

a

o

c

n

i

o

e

n

s

a

a

l

i

l

d

o

s

a

d

d

E

e

a

c

o

l

r

m

o

e

c

b

g

í

h

i

e

.

s

n

y

a

o

t

d

a

l

e

.

o

,

d

s

a

r

e

r

m

o

o

l

l

c

r

a

.

o

c

i

a

a

p

p

o

l

a

é

r

m

t

i

i

c

c

i

p

a

a

s

o

t

b

i

v

r

y

a

e

l

o

d

s

l

.

c

e

í

m

E

s

a

i

r

t

e

r

o

l

s

d

l

o

e

s

l

o

c

s

r

t

e

c

e

i

n

m

i

i

b

e

l

n

c

o

l

o

g

í

a

y

c

a

p

i

t

a

l

.

e

t

o

L

E

t

i

c

a

d

e

l

m

e

d

i

o

a

m

b

i

e

n

t

e

:

e

¿

c

e

s

i

t

a

m

o

s

u

n

a

n

u

e

v

a

é

t

i

c

a

?

N

3

BEBERAPA DEFINISI DASAR SDA

Adalah segala sesuatu yang diambil manusia dari alam: tumbuh-tumbuhan, binatang maupun alam. Berdasarkan pada tingkatannya SDA dibagi menjadi beberapa bagian: • SDA Absolut: elemen atau faktor yang keberadaannya tidak bergantung pada kehendak manusia (gunung, air laut, samudera y sungai, sinar matahari dan iklim). • SDA yang hanya sebagian (tidak absolut). Manusia ikut campur tangan di dalamnya (sebuah bendungan, hutan lindung, lahan pertanian). Berdasarkan pada cirinya, SDA dapat dibedakan dalam 3 bagian: • SDA yang dapat diperbaharui adalah segala sesuatu yang dengan pemeliharaan yang memadai dapat dijaga dan juga dilipatgandakan. Contonya adalah tumbuhan dan binatang. Dalam hal yang sala, tumbuhan dan binatang juga tergantung pada keberadaan SDA yang lain seperti air dan tanah. • SDA yang tidak dapat diperbaharui adalah segala sesuatu yang berada dalam jumlah terbatas dan jika diekploitasi bisa habis. Contohnya: mineral, logam (metal), migas, air bawah tanah. • SDA yang tidak akan pernah habis, seperti: sinar matahari, energi matahari, energi ombak dan angin. PERKEMBANGAN (DESARROLLO)

Istilah “desarrollo” mempunyai kaitan yang erat dengan ekonomia. Dan “desarrollo” tidak akan dapat direduksi hanya sekedar perkembangan ekonomi saja. “Desarrollo” terkait erat dengan pemahaman kemajuan kemanusiaan dilihat dari 3 faktor penting: makna integral dari “desarrollo”; sebuah dialektika dinamis antara “ser” (to be) y “tener” (to have); dan pribadi manusia menjadi aktor pelaku dan utama (protagonista) dalam “desarrollo”11.

YANG BERKELANJUTAN (SOSTENIBILIDAD)

Kata “sostenible” dalam “desarrollo sostenible” mempunyai konotasi dengan kondisi hidup baik secara manusiawi. Kata “sostenibilidad” dalam “desarrollo” mau mengenalkan kepekaan khusus, pilihan-pilihan baru dan strategi baru dalam pemahaman dan praksis “desarrollo”. Kepekaan khusus itu terletak pada pemahaman bahwa 1) “desarrollo” itu tidak tak terbatas, 2) harus dilihat kaitannya dengan lingkungan hidup, punya enfasis pada keadilan, dan merupakan pengembangan dari tanggungjawab manusia12. 11

MARCIANO VIDAL, , Moralia (Madrid, 2004) 164-166. 168. E

l

P

r

i

n

c

i

p

i

o

t

i

c

o

d

e



s

o

s

t

e

n

i

b

i

l

i

d

a

d



n

u

e

v

a

s

r

e

s

p

o

n

s

a

b

i

l

i

d

a

d

e

s

y

n

u

e

v

o

s

e

s

t

i

l

o

s

d

e

É

v

i

12

d

a

I

b

í

d

e

m

,

4

BAGIAN PERTAMA ANALISIS SITUASI SDA 2006 Pada tahun 2000, WWF menyajikan sebuah gambaran sekaligus perhitungan berkaitan dengan situasi dunia masa sekarang dan para tahun 2030. Dikatakan bahwa manusia sekarang sedang mengalami akumulasi defisit 20 % per tahun dari penggunaan SDA yang bisa diperbaharui. Dan berdasarkan pada ektrapolasi perhitungan pertambahan pendidik, perkembangan ekonomi dan perubahaan teknologi, pada tahun 2050 diperhitungkan bahwa manusia akan mengonsumsi antara 180%-220% dari kapasitas biologi bumi. Dan pada tahun 2030 akan terjadi penurunan kesejateraan manusia, harapan hidup, taraf pendidikan dan produk ekonomi13. Dalam cakupan mundial, PBB membahas keprihatian lingkungan hidup ini dalam beberapa pertemuan: La Conferencia de Estocolmo (1972), La Conferencia de Río (1992) yang terkenal dengan “agenda 21” y La Cumbre Mundial Sobre el Desarrollo Sostenible de Johannesburgo (2002). Dan pada tahun 2005, terjadi juga pertemuan di New York. Dalam kesempatan itu PBB memaparkan 8 permasalahan mundial14. Secara ringkas diungkapkan sebagai berikut: 1) Kesetaraan Gender; 2) Lingkungan Hidup; 3) Pendidikan; 4) Perkembangan ekonomi; 5) Kesehatan ibu; 6) Kemiskinan ekstrim dan kelaparan; 7) Kematian Anak dan 8) AIDS. Dalam kaitannya dengan lingkungan hidup dikatakan secara umum bahwa masa depan planet bumi tergantung pada penggunaan SDA secara cermat dan perlindungan ekosistim. Prinsip DS (desarrollo sostenible) belum bisa diterjemahkan secara memadai untuk menjaga lingkungan hidup. Dalam 20 tahun, telah hancur permukaan hutan dunia seluas negara Venezuela. Di bumi terdapat 19 juta m2 daerah dilindungi (13% dari permukaan bumi), namun spesies tumbuhan dan binatang tetap terus menurun, masih ditambah dengan perkembangan penduduk dunia pertahun yang mencapai 100 juta jiwa. Kondisi SDA dalam taraf dunia dapat dipelajari juga dalam Informe Sobre Desarrollo 2007 de PNUD y UNEP (United Nation Environment Programme) dalam Geo years book 2007. Kedua buku itu merupakan rangkuman dari beberapa artikel, berita dan análisis yang dilakukan oleh beberapa badan penelitian alam. Berikut ini akan disajikan beberapa inti sarinya hanya sekedar untuk memberikan gambaran.

13 14

Sumber: www.wwf.com. SANDO POZZI, dalam EL PAIS (Madrid), 13.06.2005,36-37.

5

SEKTOR ENERGI Intensitas penggunaan energi dalam taraf global menurun secara bertahap. Itu berarti bahwa energi digunakan semakin efektif dalam produksi ekonomi, meskipun ada perbedaan jumlah penggunaannya, tergantung dari faktor faktor seperti struktur ekonomi dan kesediaan SDA. Hampir 80% energi yang dikonsumisi di Uni Eropa berasal dari bahan bakar fosil. Meskupun terjadi penghematan energi selama 18% dihitung dari tahun 1990, USA menggunakan lebih energi per PIB dari wilayah lain (kecuali Afrika) Sejak pertengahan tahun 90 an, prosentase penggunaan vahan bakar fosil sebagai sumber energi cenderung stabil dari 86-87% dari seluruh penggunaan sumber energi. Prosentase penggunaan sumber energi yang dapat diperhabarui berkurang secara tipis 13,0% sampai 13,2% dalam tahun 2003 (1990:%). Di antara energi yang dapat diperbaharui, energi kincir angin dan matahari pada awalnya mempunyai prosentase yang rendah, tetapi kemudian meningkat secara cepat seperti nampak dalam grafik. Prinsip promosi energi yang dapat diperbaharui adalah penurunan harga dan penggabungan sumber energi yang dapat diperbaharui, penggunaan teknologi tinggi dan tuntutan ekonomi yang semakin tinggi. Pada tahun 1980-1995, biaya listrik di Eropa berkurang 88.84 dan 50% untuk energi matahari, angin dan biomasa (IEA, 2003). • Di Brasil, diperkirakan bahwa permintaan tebu dan etanol meningkat selama 8 tahun dari 56% sampai 610 juta ton. • 69% kapasitas energi angin yang ada di dunia berada di Eropa Barat. • Permintaan energi matahari meningkat sejak 1998, tetapi hanya menopang sekitar 0.04 % kebutuhan energi dan 0,5% dari energi yang dapat diperbaharui. • Energi kincir angin adalah yang paling berkembang secara cepat, tetapi menopang hanya sekitar 0.03% jumlah kebutuhan energi di dunia.

6

PERUBAHAN CUACA Cuaca di bumi berubah dengan cepat. Pada abad yang baru berlalu, suhu rata-rata permukaan tanah di dunia meningkat mendekati 0,6º C. Diperkirakan akan meningkat 1,4 sampai 5,8 pada akhir abad ini. (IPCC 2001). Efek dari peningkatan suhu global itu adalah kenaikan permukaan air laut, pengikisan glaiser dan es dan perubahan struktur tumbuhan dan keanekaragaman biologis. Salah satu penyebab perubahan alam adalah emisi gas pembakaran (GEI) dari penggunaan Bahan bakar fosil. Emisi total C02 semakin meningkat, meskipun di beberapa daerah relatif cukup kecil. Diperhitungkan bahwa emisi CO2 total dunia mencapai 26 milyar ton dalam tahun 2003 (24,8 dalam tahun 2002). Dalam periode 1990.2004, secara umum, emisi gas seperti C02, N2O, CH4, HFCs, PFCs dan SF6 di beberapa negara industria menurun sampai 3,3%. Meskipun demikian, penurunan itu pada dasarnya bergantung pada penurunan 36,8% emisi ekonomi di Eropa Timur dan Eropa Tengah. • Dalam tahun 2003, jumlah emisi DEI di USA meningkat dari 7094 juta ton menjadi 6768 ton. • Di tahun yang sama, jumlah emisi DEI seluruh eropa adalah 7218 juta ton. Dan kemudian menurun pada tahun 1990 sampai 2005 sampai 7,3%. Pada dua tahun terakhir ini, terjadi indikasi peningkatan. • Secara keseluruhan, Asia Pasifik mengalami peningkatan tajam dari 760 juta ton di tahun 2003, meningkat 7,8% di tahun 2004.

7

SITUASI OZON Penggunaaan HCFC sebagai penganti CFC menurun pada tahun 2000. Pada tahun 2005 mencapai 31700 ton (PAO: potencial agotanmiento ozono) terutama terjadi terutama di Asia Pasifik. Penggunaan BrCH4 yang dilarang oleh perjanjian Montreal 2005 semakin berkurang: 12450 ton PAO untuk seluruh dunia. Para tahun 1015 diharapkan BrCH4 tidak akan digunakan lagi. Konsumsi CFC menurun dalam tahun 2005 mencapai 41000 ton PAO (berkurang 66000 ton PAO dari tahun 2004). Kesulitan yang dialami badan dunia adalah mengurangi produksi dan penggunaan CFC, HCFC dan BrCH4, mengurangi sirkulasinya dan pedanganan illegalnya.

HUTAN Peningkatan jumlah permintaan produk dari kayu dapat membahayakan hutan di dunia. Meskipun tidak ada banyak data kronologis dan perbandingan antara jumlah hutan dan produksi kayu, informasi yang ada menunjukkan peningkatan angka penebangan hutan di banyak tempat di dunia, secara khusus di daerah Afrika, Asia dan Pasifik. Data dari FAO menujukkan bahwa penebangan hutan meningkat sampai 3,5 % di tahun 2005. Dalam sepuluh tahun terakhir, telah diminta secara resmi penebangan sekitar 80 juta hektar di lebih 80 negara sesuatu dengan Lembaga Administrasi Hutan (FSC). Permintaan produk yang bersertifikasi meningkat di USA dan Eropa dua kali lipat.

8

HASIL TANGKAPAN LAUT Tangkapan total ikan, udang dan produk laut lainnya tetap sekitar 80 sampai 87 juta ton sejak 1994. Di tahun 2005, ditangkap sekitar 86 juta ton. Angka yang dinyatakan tidak selalu tepat, karena penangkapan ilegal sangatlah sulit dievaluasi. Meskipun demikian, nampak jelas bahwa batas rumpun ikan berkurang setip kali, dan mewajibakan untuk mengadopsi aturan baru yang lebih keras untuk jumlah dan jenis ikan tangkapan. Jika benar bahwa tangkapan ikan laut itu stabil, kenyataan menunjukkan bahwa perikanan laut di daerah Asia dan Pasifik cukup membayakan ekosistem secara keseluruhan.

BIODIVERSITAS Tekanan yang terus menerus terhadap alam menimbulkan masalah besar bagi usaha untuk konservasi ekosistem dan zona penting. Meskipun di banyak tempat di dunia, perlindungan zona natural diperluas, pengaturannnya diperbaiki dan perlindungannya dikuatkan dalam politik urbanisasi, kehutanan, pertanian dan perikanan, dampak umum dari masyarakat terhadap lingkungan hidup dan keanekaragaman biologi tetap menjadi masalah dasar. Selama beberapa pulun tahun, tidak meningkat jumlah dan luasnya zona dilindungi yang ada di dunia (UICN). Akhir tahun 2006, zona dilindungi di seluruh permukaan bumi dan air adalah 13%.

9

Indikator tidak menentukan ukuran kefektifan perlindungan keanekaragaman biologi di zona dilindungi (UNEP-WCMC 2007)

AIR BERSIH Air bersih, sehat merupakan kebutuhan dasar kesehatan manusia dan perkembangan ekonomi. Akses pembagian air dan penyaluran air bersih semakin menaik.

Tahun 2004, penduduk dunia medapatkan akses air bersih sekitar 83% sampai 59%. Meskipun demikian, dunai belum mempunyai cukup sarana untuk memenuhi apa yang diminta oleh (ODM: objetivos de desarrollo de milenio). Kebutuhan air tetap menjadi kebutuhan lux bagi banyak orang miskin di dunia. Kenyataan menunjukkan bahwa 1100 juta penduduk kekurangan air bersih, sementara 2600 juta kekurangan air sehat. Angka ini meningkat selama beberapa tahun. Migrasi yang terhadi kota-kota besar menimbulkan masalah besar bagi para pemerintah dan penduduk kota dan mewajibkan mereka untuk memperluas akses air bersih dan air sehat. (WHO UNICEF, 2006)

10

KESEPATAKAN PARA PEMIMPIN TINGGI NEGARA Proses penandatangan persetujuan bagi beberapa negara semakin meningkat di tahun 2006. Terhitung ada 700 persetujuan internacional yang berhubungan dengan lingkungan hidup (UNEP 2006b). Banyak konvensi terjadi dan semakin disepakati oleh semakin banyak negara. Konvenio yang menunjukkan peningkatan drastis adalah Konvensi Stockholm, Kovensi Rotterdam, Konvensi Kyoto. Dan direncanakan perjanjian kembali di Kyoto pada tahun 2012.

ANALISIS TREND PERKEMBANGAN KESADARAN DAN KEKUATAN “DS” KONSEP DASAR DS

Analisis trend tercermin sebetulnya dalam beberapa kesepakatan lingkungan hidup baik di tingkat Badan Organisasi Dunia seperti PBB maupun perjanjian antar beberapa asosiasi negara Asia, Afrika, Eropa, Amerika dll. Beberapa perjanjian penting untuk diingat dan diperhitungkan adalah: Perjanjian Stockholm (1972), Konferensi di Rio De Janiero (1992) dan Pertemuan Puncak DS di Johannesburg (2002). Beberapa perjanjian lain merupakan pengembangan dan aplikasi dari konsep-konsep yang dikembangkan dalam pertemuan tersebut di atas. Dari beberapa dokumen itu, dapat ditangkap sebuah analisis trend (dalam arti moral) yang ada yang sekarang masih terus dikembangkan dan diperluas adalah konsep mengenai “Desarrollo Sostenible”.

11

Prinsip DS muncul pada pertengahan abad XIX, dan merupakan cabang dari ilmu alam yang kemudian pada tahun 1866, oleh Ernst Haeckel dijadikan sebuah ilmu yang mempelajari hubungan antara makhluk hidup dan alam sekitarnya15. Sebelumnya, tahun 1798 Thomas Robert Maltus, seorang ekonom inggris, dalam tesisnya Ensayo sobre el principio de la población, memperhitungkan ekologi sebagai pertimbangan untuk pengaturan penduduk: ketidaktersediaan SDA dan kontaminasi. Pada waktu selanjutkan, “sostenibilidad” dimengerti sebagai kemampuan untuk mempertahankan keseimbangan antara faktor biotik dan abiotik. Pada tahun 1992, Goldwin mengungkapkan “sostenibilidad” sebagai konsep yang menghubungkan antara keterbatasan ekosistem dan pertumbuhan yang takterhingga. “Sostenibilidad” hanya tercapai jika pertumbuhan kuantitif perubahan material stabil dan diganti oleh perkembangan kualitatif, dengan mempertahankan SDA, produksi dan konsumsi16. Salah satu representasi ekonomi ekologis adalah Herman Daly yang menggunakan konsep “sostenibilidad” untuk menghubungkan dan merumuskan kesetimbangan antara ekonomi dan ekologi dengan konsepnya: dunia hampa dan dunia penuh berisi.17 Konsep “desarrollo sostenible” diungkap untuk pertama kalinya oleh El Serafy dalam konsepnya “pertumbuhan harus dijaga supaya tetap berada dalam batas aman lingkungan hidup” 18. hal yang sama juga diungkap oleh Robert Constanza dalam definisnya mengenai sostenibilidad sebagai hubungan yang terjadi antara sistem dinamis ekonomi manusia dan sistem ekologi sehingga a) hidup manusia dapat berlangsung terus, b) setiap individu dapat menikmati, c) kebudayaan dapat dikembangkan, d) dampak aktifitas manusia terjaga dalam batas sehingga tidak merusak keanekaragaman, kekompleksan dan fungsi sistem ekologi yang menopang hidup manusia19. Konsep yang selanjutnya berkembang adalah ecodesarrollo. Konsep ini dikemukakan oleh Ignacy Sahc dan Maurice Strong para tahun 1973 yang mencakup 3 konsep dasar: 1) reorientasi konsumsi. 2) solidaritas diakronika (terhadap masa depan) dan 3) efisiensi ekonomi. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Dasmann dalam tiga konsep dasar: kebutuhan dasar, perkembangan yang terkonsentrasi dan kesesuaian ekologis20.

INFORMASI BRUNDTLAND

Latar belakang Informasi Brundlant adalah Konferensi Stockholm 1972 yang membahas masalah Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Konferensi ini memacu terbitnya tiga informasi penting: Los limites de crecimiento (1972), Humanidad en la encrucijada (1975) dan Informe Barney (1977). Dalam Stockholm Declaration on the Human Environment dikatakan bahwa: mempertahankan dan memperbaiki lingkungan hidup untuk generasi sekarang dan yang akan datang harus dipandang sebagai fin imperativo bagi kemanusiaan. 15

E.U. WEIZSÄCKER, 16 AAVV, 32. 17 , 45. 18 47. 19 Ibid. 108. 20 RF. DASMANN, e

d

i

o

a

P

m

o

b

l

i

i

e

t

n

i

c

t

a

d

e

y

e

l

d

e

T

a

s

a

r

i

e

r

r

o

r

l

, Sistema, Madrid, 1993, 270.

a

l

o

s

o

s

t

e

n

i

b

l

.

e

á

M

I

b

i

d

.

I

b

i

d

.

A

c

s

a

l

á

l

d

e

l

I

e

c

n

f

o

r

m

B

e

M

h

i

e

v

i

n

g

t

h

e

s

u

s

t

a

i

n

a

b

l

e

u

s

e

o

f

s

p

e

c

i

e

s

a

n

d

o

s

y

s

t

e

m

r

u

n

d

t

l

a

n

d

, Trotta, Madrid, 1997,

. Landscape Planning, Vol 12, 215.

12

Sementara itu, Gro Harlem Brundtland merumuskan konsep desarrollo sostenible itu dalam Bab 2:21 DS adalah perkembangan yang memennuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa menghalangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Brundtland menerjemahkan konsep DS itu dalam program rekomendasi untuk PBB: • Menerapkan beberapa strategi lingkungan hidup jangka panjang untuk mencapai DS pada tahun 2000. • Merekomendasi supaya kecemasan lingkungan hidup dapat diterjemahkan dalam kerjasama yang semakin baik antara negara-negara dengan memperhitungkan hubungan timbal balik antara manusia, SDA, Lingkungan Hidup dan Perkembangan Ekonomi. • Mengevaluasi apa yang bisa dilakukan oleh negara-negara terhadap lingkungan hidup • Meningkatan kepekaan bersama terhadap masalah lingkungan hidup dan usaha-usaha untuk mengatasinya dalam bentuk program obyektif selama jangka panjang atau periode waktu tertentu. Pada tahun 1989 diterbitkanlah Blueprint for a Green Economy oleh Menteri Lingkungan Hidup Inggris di bawah pemerintahan Margaret Thatcher. Dalam Pertemuan di Rio de Janiero (1992), dititik beratkan pada masalah lingkungan hidup. Diungkapkan pada prinsip 1: bahwa manusia merupakan titik dasar referensi dari DS dan hak DS harus memperhitungkan keselamatan lingkungan hidup, kedamaian internacional dan pengetasan kemiskinan. Konferensi Rio juga menetaskan “Agenda 21”, yang terdiri dari rencana global, nasional dan lokal yang diterima oleh PBB pada pemerintah dan kelompok-kompok pendukung lingkungan hidup Hasil kesepakatan di Rio de Janaiero kemudian dievaluasi pelaksanaanya dan dimatangkan lagi dalam Pertemuan Puncak DS di Johannerburg 2002 yang mencakup rencana kerja, strategi, kesepakatan politik berkaitan dengan kesehatan, perawatan dan pengelolaan lingkungan hidup dan pengentarasa kemiskinan. Ada 37 pokok pernyataan yang menyatakan bahwa martabat manusia adalah pusat dari seluruh proses dari DS. Salah satu tokoh yang merumuskan baik kesadaran dan ruang lingkup DS adalah Jorge Riechmann yang berbicara mengenai pertumbuhan berkelanjutan. Ia mengkategorikan 6 prinsip dari DS22: 1. Prinsip “irreversibilidad cero” berdasarkan pada ketahanan biosfera yang menerapkan pengurangan samapai titik 0 intervensi akumulasi dan kerusakan permanen. 2. Prinsip “recolección sostenible”, mengacu pada SDA yang dapat dibaharui dengan sendirinya, mempertahankan supaya angka pengumpulan SDA yang dapat diperbaharui itu tetap sama dengan angka regenerasi SDA yang bersangkutan. 3. Prinsip “vaciado sostenible” berdasarkan pada proses daur ulang dan konsumo SDA yang tidak dapat diperbaharui, mempertahankan supaya 21 22

CMMAD, AAVV,

u

e

s

t

r

o

f

u

t

u

r

o

c

o

ú

m

n

N

e

l

a

e

c

o

n

o

m

í

a

a

l

a

e

D

p

r

o

b

l

e

m

a

s

d

e

l

a

d

i

a

l

é

c

t

i

c

a

e

D

s

a

r

r

o

, Alianza, Madrid, 1992, 13, 67. , Trotta, Madrid, 1995, 24; . Complutense, Madrid, 1996, 73-84. c

l

o

l

l

o

o

g

-

í

a

e

E

d

i

o

A

m

b

i

e

n

t

c

o

l

o

g

i

a

y

d

e

s

a

r

r

o

l

l

o

.

E

s

c

a

l

a

s

y

e

M

13

angka exploitasi SDA yang tidak dapat diperbaharui itu seimbang dengan angka penciptaan SDA alteratif/pengganti. 4. Prinsip “emisión sostenible”, yang menerapkan kesetaraan antara angka emisi bahan bakar dan kapasitas asimilasi dan autoregenerasi ekosistim. 5. Prinsip “selección sostenible de tecnologías” berdasarkan pada efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, menerapkan pemberian perhatian khusus (privilege) pada teknologi yang mempunyai sedikit dampak lingkungan. 6. Prinsip “precautorio” memilih langkah-langkah yang kurang beresiko dalam situasi sulit yang membawa kepada kerusakan alam. Prinsip DS selalu dipahami dalam konteks kesejahteraan integral manusia secara menyeluruh dan mempunyai beberapa karakteristik: 1. 2. 3. 4. 5.

“Desarrollo” itu terbatas “Desarrollo” selalu muncul sebagai kesadaran akan bahaya kehancuran. “Desarrollo” mempunyai kesadaran ekologis “Desarrollo” mempunyai tekanan kuat pada prinsip keadilan Dan merupakan peluasan dari prinsip tanggungjawab manusia, terhadap generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.

BAGIAN KETIGA LANGKAH STRATEGIS PENGEMBANGAN “DS” KE MASA DEPAN Aktifitas ekonomi merupakan salah satu aktifitas manusiawi yang pada dasarnya mempunyai ciri: bebas dan bertanggungjawab. Aktifitas ekonomi, yang paling mendasar, terletak pada pencarían dan penciptaan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia berpangkal dari kesediaan SDA. Kegiatan ekonomi terpusat pada tiga sektor dasar: aktivitas primer (pertanian, perburuan, dan perikanan), aktivitas sekunder (industri) dan aktifitas tersier (pelayanan jasa)23. Roda ekonomi dilaksanakan dalam sebuah siklus yang terdiri dari: produksi, distribusi, sirkulasi dan konsumsi24: o Produksi. mencakup 4 tindakan-badan ekonomi: SDA, kerja, modal dan perusahaan. o Distribusi: mencakup kerja, modal, kepemilikan barang dan ektifitas perdagangan. o Sirkulasi: terbentuk dalam 3 perubahan: nilai tukar mata uang, kredit, dan perdagangan. o Kosumsi: berkaitan dengan masalah menabung, kebutuhan luz, distribusi pajak. Pada kesempatan ini, disajikan beberapa langkah strategis penopang ekononomi sostenible: Produksi bersih dan konsumsi yang bertanggungjawab.

23 24

MARCIANO VIDAL P. STEVAN, ,

o

M

r

a

l

o

r

a

M

S

o

c

i

a

l

, PS Editorial, Madrid, 1979, p. 286. , edic.2, Madrid 1985, p.206. l

d

e

A

c

t

i

t

u

d

e

s

I

I

I

14

PRODUKSI BERSIH

Produksi bersih mencakup 4 proses: clean process, clean product, close loop system dan Biosociety. Proses produksi bersih ditopang oleh 3 faktor dasar yaitu: konsumsi yang bertanggungjawab, Prinsip Kewaspadaan dan Partisipasi Publik. Secara garis besar dapat dilihat dalam bagan berikut:

Proses bersih

Proses produksi bersih mencakup perawatan bahan baku dan enegeri; penghapusan bahan baku beracun; pengurangan kuantitas emisi dan limbah selama proses. Produksi bersih dalam diterapkan dalam proses manufaktur produksi dan pertumbuhan makanan. Kerap kali disebut sebagai clean technology atau pertanian organik. Untuk proses manufaktur, proses yang bersih menggunakan: • Sistem pencegahan polusi • Rencana pengurangan penggunakan beracun • Ahli dalam bidang produksi bersih Untuk makanan, proses yang bersih mencakup: • Penerapan metode pertanian organik. Produk bersih

Strategi produksi bersih terpusat pada pengurangan dampak selama seluruh siklus produksi dari eksploitasi bahan baku sampai pada barang jadi. Produksi bersih memerlukan sebuah sistim berpikir. Siklus produksi (rantai produksi) mencakup seluruh sistem materi dan energi yang digunakan dalam sistim produksi. Produsen harus bertanggungjawab atas siklus produksi, dan masyarakat, para perkeja dan kelompok masyarakat harus mempunyai akses informasi atas rantai produksi ini. Pekerja yang terinformasi dan para konsumen yang memahami sistem produksi ini merupakan prasyarat dari sistim produksi bersih. Mendapatkan informasi merupakan sebuah tantangan, juga untuk perusahaan masa kini. Masyarakat bisa menuntut akses siklus produksi dan label produksi. Konsumen dan pemerintah harus menggunakan

15

kekuaran politik untuk penerapan sistim ramah lingkungan dan pembayaran pajak tinggi atas barang-barang yang mengandung resiko ekologi. Sistim Pengelolaan Tertutup

Produksi bersih mengedapankan energi yang dapat diperbaharui, bahan-bahan tak beracun dalam sebuah sistim pengelolaan yang tertutup. Sistim ini berarkat dan mengambil bagian dalam siklus produksi dan prinsip kewaspadaan. Sistim pengelolaan tertutup ini mengandaikan bahwa hasil produksi dapat diubah kembali menjadi bahan produksi.

Masyarakat ramah lingkungan

Apapun filsafat, agama, ikatan social, manusia menyadari bahwa kita hiduo dalam planet yang sama dan bertanggungjawab atas kelangsungan hidupnya dan hidup kita. Prinsip biosociety adalah utopia dan tujuan. Masyrakat yang ramah lingkungan mempunyai beberapa cirri: • Sistem alam dikendalikan oleh tenaga surya dan energi yang dapat diperbaharui. • Semua sistem itu dihubungkan satu sama lain; pergantian energi dan material dalam sebuah sistim biologi yang dinamis. • Stabilitas didasarkan atas keanekaragaman biologi. Faktor pendukung dari Clean Production adalah

• Konsumsi yang bertanggungjawab • Prinsip kewaspadaan • Akses publik untuk mendapatkan informasi mengenai sistem produksi yang bersih.

16

PRINSIP KONSUMSI YANG BERTANGGUNGJAWAB25 Konsumsi tidaklah sesuatu yang jelek. Yang kurang bertanggungjawab adalah ideologi konsumismo. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan untuk membentuk

konsumsi yang bertanggungjawab adalah: a. Tuntutan mutu b. Mengkonsumsi dengan prinsip bertanggungjawab. o Bebas dan membebaskan konsumen (tidak dijadikan obyek konsumsi) o Adil dalam arti wajar seperti sebagaimana kebanyakan orang. o Saling bertanggungjawab artinya konsumen mengikutsertakan asosiasi dan istitusi konsumen untuk menuntut hak dan transparansi. o Menggembirakan. c. Bertailan dengan prinsip “sostenibilidad” dengan semangat pengendalian diri d. Dari perilaku konsumsi yang bertanggungjawab menuju perdagangan yang seimbang dan produksi yang adil.

25

MARCIANO VIDAL, : Moralia (2005): pp.188-192. P

E

r

i

n

c

i

p

i

o

é

t

i

c

o

d

e



s

o

s

t

e

n

i

b

i

l

i

d

a

d



n

u

e

v

a

s

r

e

s

p

o

n

s

a

b

i

l

i

d

a

d

e

s

y

n

u

e

v

o

s

e

s

t

i

l

o

s

d

e

L

v

i

d

a

17

Sustainable Economic Development Based on Biodiversity Resources in Indonesia M.Djaeni

1. Background Indonesia is a tropical country that has high potential of biodiversity resources involving forest, marine (sea), and agricultures crops. In addition, the climate with enough intensity of sun light, fertile land, and geothermal and mine resources are additional positive conditions. Conceptually, the potentials give benefits to be used as foodstuff, clothes, cosmetics, medicines, energy and fuel, and other raw materials for industries, and to enhance economical growth or to generate income. Moreover, the population of Indonesia that achieves 250 millions is also potential to be empowered as strong human resources. In line with the condition, we have 2030’s vision: to establish strong economic country and be center of sustainable biomass stocks in Asia. However, the above potentials are not optimally exploited as indicated in the limitation of competitive commercial products can be generated. For example, from palm oil, Indonesia produces only cooking oil and does not develop to other added value products such as glycerol, bio-diesel, polyalcohol compounds, and other fine chemicals. In addition, palm oil shell that is potential as raw material for carbon molecular sieves or phenol is not exploited. As a result, this plantation (cultivation) cannot generate more income. Another examples, is in the case of shrimp and crab or crustacean shell disposed from restaurant or canned sea food industries. The material is only used as a cattle feed. With high technology treatment, the wastes can result higher economic product such as chitin or chitosan. Chitin and chitosan are fine chemicals with high economic value (US $ 7500/kg) that are used in medicine and food industries. Those materials can be prepared from the crustacean shell through demineralization followed by de-acetylation (for chitosan) with the conversion of 15%. With the 40,000 ton/years shrimp shell disposed, it should generate income around US $ 45 millions/years. Furthermore, in spite having many oil, gas, geothermal, coal, and biomass resources, Indonesia still faces problems on energy and fuel crisis. These mean that we cannot do more to exploit and manage our resources well. The above problems are due to the lack of technology and management, low of human resources quality, unavailability of integrated exploitation systems, and unavailability of policy based on sustainable clean production with the concept of waste to product. Even, for many cases, the potentials are only used for short term interest or business such as illegal logging, mangrove and beach reclamation, poisoning the sea for getting larger capacity of catching fish, and synthetic fertilizer and pesticide usage to increase agriculture crops. This is very dangerous since they can threat the existence of resource itself.

Compared to another countries in the ASEAN such as Malaysia and Thailand, the economic level of Indonesia is the lowest as indicated in gross national product (GNP (in US $): Indonesia: 830, Thailand 1995, Malaysia 3400 *). Malaysia and Thailand have developed human resources, sustainable agriculture system, and industrial and chemical product based on renewable resources. For example, they have developed fine chemical from palm oil and its waste, such as poly alcohol, gasoline, phenol, and carbon molecular sieve. They have collaborated with other industrial country to enhance economical growth by exploiting renewable resources. This situation should encourage Indonesia to do something to remedy the micro and macro economic conditions. Industrial country can be given chance to invest Indonesia with simple bureaucracy and build mutual collaboration. Many sectors can be offered such as agribusiness development, marine exploitation, fine chemical based on biomass resources, sustainable and clean agriculture industry, and energy development. 2. SWOT Analysis Based on the above description, Indonesia has potentials biomass resources provided from marine (sea), cattle, agriculture crops, and forestry. However, the potentials are not empowered yet due to the low of human resources, lack of technology and management, un-integrated exploitation, and unavailability of policy for sustainable clean production with the concept of waste to product. As a result, products have low competitiveness and economic value. Besides, the productivity is low, and the sustainability of product stock is not ensured. Moreover, environment problem still appears in production process such as pollution of water, air, soil by chemical emission from big industries and damage of forest, sea and mountain by illegal exploitation. In a brief, the conditions of existing industries and enterprises in Indonesia can be analyzed using SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) as illustrated in figure 1.

* http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/r/rauf-purnama/pertumbuhan.shtml

Strength: 1. availability of forest, sea, cattle and agriculture land in wide areas 2. existence of various small, medium, and big enterprises in the field of agriculture, cattle, sea product, and chemical product 3. high capacity of biomass production 4. high quantity of human resources

Threat: 1. Free trade market 2. Global competition 3. Un-controlled population growth

Biomass resources exploitation in Indonesia: sea, agriculture, forestry, and cultivation (plantation)

Weakness: 1. low of income generation (GNP US $ 830) 2. low economic value of product 3. in-efficient of energy and material usage 4. in-efficient of land usage 5. problem on environment (waste pollution) 6. uncertainty of product stock sustainability 7. no link between small and big industries

Opportunity: 1. Collaboration with industrial country 2. Need on high value product from biomass in global market

Root of Problem: 1. low of human resource quality 2. lack of technology usage 3. lack of management 4. un-availability of sustainable integrated exploitation system 5. low capital investment (less investor)

Figure 1: SWOT analysis of existence biomass exploitation in Indonesia 3. What is the future program? Many activities are required to remedy the exploitation and production of biomass in Indonesia to reach 2030’s vision. The activities involve improving human resources, enhancing technology usage, building link and match (network) among the related industries, implementing sustainable integrated system in agriculture, implementing the proper rule to assure sustainability of bio- and non-bio- resources, and building collaboration and market network with industrial countries. However, due to the broad scope, this essay focuses on the discussion of technology enhancement to increase efficiency and productivity of bio-resources exploitation, sustain biomass production, and to obtain added value product from the biomass waste. The applied technologies consist

of biomass crop enhancement, product diversification, and clean technology development, and sustainable integrated exploitation system. 3.1. Biomass crop enhancement Indonesia has a wide fertile land distributed in more than 13000 islands. However, the land to biomass product ratio is low and biomass crops tend to decrease. This is due to the decreasing fertility of land by synthetic fertilizer, low quality of cultivated plants, no good irrigation system (high dependency on climate) and many useless potential lands. Besides, only main agriculture crops are exploited, whereas the biomass wastes are not recovered or recycled to get added value. These conditions have to be overcome by using organic fertilizer from agriculture and cattle waste in order to retain the fertility of land. The variety of cultivated plants or herbals has to be selected that can generate high quality and quantity of harvest. In addition, farmers are encouraged and educated to cultivate industrial plants such as palm, cane, wood for pulp, clove, herbals and the others that can generate more added value. The waste of agriculture crops has to be also exploited as biomass fuel resources or as raw material for fine chemical product. For example, the organic waste of sugar cane industry can be used as raw material of furfural. Moreover, the useless fertile land has to be used to develop industrial plants such us wood for pulp, palm, cane, cotton, and the others. However, the proportionality between conserved and used land should be considered. 3.2. Product diversification Biomass diversification is important. So, the exploitation of land can optimized by rotating cultivated plants especially for short term plants such as corn with cane, rice with vegetable and the others. The method can generate several products and keep the fertility of land. As a result, farmer can sell not only mono-product but also polyproducts. Beside that, the usage of synthetic fertilizer can be minimized. A lot of kind of product is also potential to produce various industrial goods, such as textiles, medicines, food, pulp, and bio fuel. Hopefully, industrial feedstock and foodstuffs demand can be sustained, and farmer income can be increased.

3.3. Clean Technology Development Clean technology is technology that uses raw material and energy with high efficiency, high profit, high sustainability, and less waste. In this technology, the operational cost and raw material used is minimized, whereas the product and revenue is maximized. In Indonesia, there are many industries using old technology that is inefficient and high pollution. Clean technology is urgently required to enhance the efficiency, save environment, and get side product from the waste (see figure 2 as examples).

Canned shrimp

Shrimps

Cattle feed: Conversion: 80% Price: US $ 1/kg

Canned Food Industries Waste: Shell and head Price: US $ 0.05/kg

Chitin and Chitosan: Conversion: 15-20% Price: US $7500/kg

Flour and bakery Grains, cassava, corn

Hydrolysis to produce glucose

Food Industries

Waste: Solid organic waste

Cooking oil

Palm

Crude Palm Oil

Palm Oil Industries

Fermentation produce ethanol

to

Bio-fuel, polyalcohol

Phenol, carbon molecular sieve Solid waste Pyrolysis Fuel and energy

Figure 2: Clean Technology development: waste to product

3.4. Sustainable Integrated Exploitation System In this method, the agriculture crops as biomass resources are linked with the related industries (see figure 3). The process involve total recycle product that is sustainable, efficient, feasible and environmentally friendly. By this way, it is expected that all unit of enterprises can grow simultaneously. Hence, it can accelerate the micro and macro economics.

Foodstuffs

Raw material

Post harvest

Product

Waste

Agriculture crops

Product

Sorting, Drying

Size reducing

Cattle Processing

Storage

Fishery Cultivating Growing

Industries Fertilizing, Feeding, maintaining

Foods & Nutrition Waste: Organic waste Medicine

Textiles Organic Fertilizer

Bio Fuel

Fine Chemical

Chemicals

Energy Cattle feeds

MARKETS: Domestics World Figure 3: Sustainable Integrated Exploitation System

4. Beneficiary The advantages of the updated technological implementation are: generating various bio-products from sea, agriculture crops, forests and other bio resources, resulting higher value of product (not only for food but also medicines, fine chemical, and energy), obtaining added value from biomass wastes, increasing productivity and quality of land, keeping the sustainability of biomass stock, solving the environment problems by effluent treatment, generating additional income for farmers, small to medium enterprises, and big companies. In addition, the technology development in biomass crop also gives positive social effects including: opening new jobs opportunity as well as producing side product or energy from biomass, increasing the economical growth in the grass root level (farmer, small to medium enterprises) and big companies, encouraging other enterprises correspond to this progress such as workshops, consultants, transportations, insurances, and the others. Hopefully, 2030’s vision can be achieved and gross national product (GNP) can be increased.

Visi Indonesia 2045: Ekosistem Kepulauan sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan Oleh: Dwiko B Permadi1 Abstrak Bagaimana wajah baru Indonesia di tahun 2045, saat memasuki usianya yang ke-100 tahun? Di tengah masa depan yang tidak pasti, permasalahan paling genting yang dihadapi oleh bangsa kita saat ini adalah menciptakan visi bersama tentang cara pandang menuju pembangunan yang berkelanjutan. Visi dan kebijakan yang bersifat kooperatif dan antisipatif untuk menjaga keseimbangan hubungan manusia dan alam merupakan pilihan yang paling rasional dan lentur bagi bangsa ini dengan tetap menjaga optimisme kemampuan teknologi dalam memecahkan problem bangsa ke depan. Wajah baru Indonesia juga harus mencerminkan keadilan dan keseimbangan tujuh gugus ekosistem kepulauan yang selama ini timpang dan mengalami degradasi sebagai akibat strategi pembangunan yang tidak berkelanjutan. Tujuh gugus ekosistem kepulauan merupakan instrumen spasial yang bersifat sosial, ekonomi, dan politis sebagai locus perencanaan strategis jangka panjang pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup sebagai satu kesatuan. Pembangunan berkelanjutan bermakna pertumbuhan ekonomi bukan sebagai panglima tetapi sarana yang ditujukan untuk mendukung perubahan sistem nilai, norma, dan perilaku bangsa ini dalam kurun waktu yang relatif pendek dan kontemporer. Strategi pembangunan berkelanjutan jangka panjang hendaklah bersifat fleksibel dan adaptive agar mampu merespon nilai-nilai normatif yang cenderung berubah lebih cepat. Aspek normatif hendaknya dijabarkan secara bersama oleh pejabat publik, ilmuwan, swasta, dan masyarakat sipil dalam kriteria indikator yang jelas sebagai tolok ukur keberhasilan sistem ketataprajaan yang berjalan dalam siklus politik 5 tahunan. Kata kunci: Indonesia 2045, visi bersama, 7 gugus ekosistem kepulauan, pembangunan berkelanjutan, strategis dan normatif.

1

Mahasiswa Master Forest and Nature Conservation, Wageningen University, the Netherlands; dosen Fakultas Kehutanan UGM

Visi Indonesia 2045: Ekosistem Kepulauan sebagai Basis Pembangunan Berkelanjutan Oleh: Dwiko Budi Permadi2 Pendahuluan Bagaimana wajah Indonesia pada tahun 2045, satu abad setelah kemerdekaan dari hegemoni fisik, sosial, dan ekonomi bangsa lain? Visi bersama (shared vision) menjadi titik penting bagi bangsa Indonesia ditengah ketidakpastian masa depan yang sangat sulit diprediksi. Kekhawatiran masa depan akibat ketiadaan visi bersama ini juga dirasakan pada tingkat global (Constanza, 2000). Jika visi bersama tidak jelas, bisa dipastikan bangsa dan bumi ini akan berlabuh pada suatu ‘tempat lain’ yang kita tidak tahu apakah itu paling baik, lebih baik, lebih buruk atau paling buruk dari kondisi status quo. Tahun 2045 merupakan titik temu semua komponen bangsa karena pada saat itu suasana kejiwaan bangsa berada pada satu garis lurus dalam penghayatan 100 tahun perjalanan kemerdekaan Indonesia. Saat itu, era baru globalisasi tanpa batas telah terlampaui oleh bangsa kita sejak 2030 atau 2020. Paper singkat ini menggagas pentingnya merumuskan visi bersama, mengusulkan instrumen spasial ekosistem kepulauan, dan integrasinya dengan aspek strategis dan normatif pembangunan berkelanjutan sebagai wajah baru Indonesia 2045.

Menciptakan visi bersama Tantangan paling besar bangsa Indonesia saat ini adalah menciptakan visi bersama tentang sebuah masyarakat yang berkelanjutan yang menyediakan kesejahteraan secara permanen. Karena kendala keterbatasan biofisik maka cara-cara yang adil dan seimbang harus diperhatikan untuk memenuhi kebutuhan kita sekarang dan generasi yang akan datang. Terdapat dua cara pandang dunia tentang apa yang saat ini berkembang untuk mencapai visi tersebut, yaitu : a) technological optimist dan b) technological sceptic. Ciri kedua pandangan adalah sebagai berikut (Constanza, 2000):

2

Optimisme Teknologi

Skeptisme teknologi

Kemajuan teknologi dapat mengatasi setiap permasalahan masa depan Kompetisi Sistem bergerak linear, tanpa keterputusan atau berbalik arah Manusia mendominasi alam Hidup untuk individualistik Pasar sebagai sebuah panglima

Kemajuan teknologi bersifat terbatas (tidak antiteknologi) dan kapasitas lingkungan harus dijaga Kerjasama Sistem bersifat komplek, non linear dengan keterputusan dan kadang berbalik arah Manusia bagian dari alam Hidup untuk partnersip Pasar sebagai sarana untuk tujuan yang lebih besar

Mahasiswa MSc Forest and Nature Conservation, Wageningen University, dosen Fakultas Kehutanan UGM

Kita perlu merumuskan pandangan mana yang akan mendominasi arah pembangunan bangsa kita ke depan. Pandangan pertama merupakan arus kuat globalisasi yang saat ini menjadi ’default’ peradaban bangsa-bangsa barat, sedangkan pandangan kedua merupakan arus alternatif yang saat ini juga menjadi harapan bagi masyarakat negaranegara maju. Bagi bangsa kita saya berpendapat prinsip kerjasama, dan mengantisipasi masa depan yang cenderung dicirikan dengan keterbatasan sumber daya alam merupakan pilihan paling rasional dalam menghadapi ketidakpastian sebagai akibat terbatasnya penguasaan teknologi. Resiko terburuk jika pandangan kedua tak terwujud masih jauh lebih baik daripada jika pandangan pertama gagal. Hal ini masih perlu diuji dengan penelitian lebih lanjut apakah memang pandangan kedua merupakan pilihan bagi bangsa kita. Jika kerjasama dan keserasian yang sinergis dengan alam merupakan pilihan bersama, maka menjadi penting memetakan permasalahan berdasarkan instrumen spasial ekosistem kepulauan.

7 Gugus Ekosistem Kepulauan: Instrument Spasial Prinsip ekosistem mengandung makna keunikan hubungan dan ketergantungan antara komponen manusia dan sumber daya alamnya berupa flora, fauna, hutan, lahan, air, udara dan mineral, yang melahirkan keunikan sistem, norma, dan nilai yang bersifat keruangan dalam dimensi sosial, budaya, ekonomi, ekologi, dan teknologi. Indonesia mempunyai 17.000 lebih pulau besar dan kecil yang secara geografis dapat dikelompokan menjadi tujuh gugus ekosistem kepulauan, yaitu: 1. Sumatera, 2. Kalimantan, 3. Sulawaesi, 4. Papua, 5. Jawa, 6. Bali dan Nusa Tenggara, dan 7. Maluku. Meringkas beribu ekosistem pulau menjadi 7 gugus tidak berarti mengurangi keunikan setiap pulau, akan tetapi mengikat mereka menjadi satu kesatuan yang sinergis. Pada setiap gugus, tersusun secara hierarkhis anggota kepulauan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan ukuran: kecil, menengah, dan besar. Indikator-indikator pembangunan berkelanjutan lebih mudah diterapkan mulai dari ekosistem pulau yang terkecil dan akan semakin rumit pada ekosistem pulau yang lebih besar.

Mengapa Eksositem Kepulauan Gagasan pembangunan berbasis ekosistem kepulauan pernah diusulkan oleh Simon (2004) untuk kepentingan membangun kembali hutan nasional. Dalam kontek pembangunan berkelanjutan yang lebih luas, gagasan ini menjadi strategis karena minimal ada dua latar permasalahan sebagai berikut: 1. Ketimpangan Ketimpangan perhatian pembangunan dan konservasi terhadap ketujuh gugus ekosistem kepulauan tersebut merupakan problem yang belum bisa dipecahkan baik oleh pemerintah orde lama, orde baru, maupun yang sekarang. Ketujuh kepulauan tersebut merupakan representasi dari Indonesia tetapi dengan kondisi ketimpangan pembangunan yang mencolok. Selama ini ketimpangan tersebut direduksi dengan istilah Jawa dan luar Jawa, yang pertama representasi kemajuan dan yang kedua keterbelakangan. Padahal permasalahanya berbeda-beda pada ketujuah gugus ekosistem tersebut. Dibentuknya kementrian percepatan pembangunan kawasan tertinggal bukan merupakan solusi cerdas untuk memecahkan masalah ketimpangan tersebut. 2. Degradasi Degradasi dalam arti luas yaitu hilangnya nilai intrinsik sumber daya manusia dan alam yang menjadi ciri keberadaan ekosistem tersebut, terpinggirkannya kearifan lokal dan masyarakat asli, hilangnya biodiversitas, fragmentasi alam, dan efek negatif eksploitasi tambang tanpa nilai kompensasi lingkungan dan sosial yang memadai. Lebih jauh lagi degradasi berlanjut pada keutuhan wilayah NKRI secara politis dan ekonomi, hilangnya pulau-pulau terluar kita akibat tidak mendapat perhatian yang memadai. Kebijakan yang reaktif juga tidak akan mampu mencegah kemerosotan kualitas sumber daya alam kita. Kedua permasalahan tersebut lahir sebagai akibat kebijakan salah urus yang bertumpu semata pada pertumbuhan ekonomi, hubungan ketataprajaan yang tidak jelas, dan lemahnya perencanaan pembangunan berkelanjutan jangka panjang yang sinergis antar daerah dalam satu kepulauan dan antar sektor untuk mengantisipasi dinamika perkembangan sosial dan ekonomi. Berkaca pada permasalahan tersebut, refleksi pembangunan berkelanjutan berbasis ekosistem kepulauan merupakan instrument spasial yang perlu dipertimbangkan dalam merancang bangun visi Indonesia 2045. Gagasan ini menawarkan 7 ekosistem kepulauan sebagai locus integrasi perencanaan, monitoring dan evaluasi pembangunan berkelanjutan.

2 Paradigma: Strategis dan Normatif Terdapat dua paradigma yang bisa digunakan untuk menguatkan gagasan ini, yaitu paradigma strategis dan normatif. Hakel (2002) menggunakan pendekatan dua paradigma ini untuk memahami relevansi perubahan sosial di bidang lingkungan dan kehutanan. Pentingnya dua paradigma ini bisa dilihat untuk memahami eksistensi, kepercayaan dan keberlangsungan suatu entitas, organisasi, atau pun bangsa dalam menghadapi perubahan sosial pada kurun jangka panjang maupun kontemporer.

Paradigma pertama merangkum sebentuk gagasan yang dituangkan dalam tujuan jangka panjang tertentu, rencana dan tindakan untuk memenangkan tujuan tersebut. Kemampuan identifikasi terhadap perkembangan makro dan perubahan tuntutan kebutuhan masyarakat dan sumber daya alam dalam jangka panjang merupakan faktor penting yang menunjukkan existensi sebuah entitas atau bangsa. Dalam merancang strategi jangka panjang, ekosistem kepulauan menjadi locus tertinggi sebagai tempat penilaian indikator makro keberlanjutan pembangunan dan lingkungan di tingkat regional setelah propinsi, kabupaten dan desa. Sebagai contoh indikator pertumbuhan dan penyebaran jumlah penduduk, apakah dikontrol, direduksi atau ditingkatkan berdasarkan kapasitas ekosistem kepulauan. Apakah ekosistem pulau Jawa masih akan mampu menampung penduduk lebih dari 150 juta jiwa, apakah Kalimantan masih memerlukan angkatan tenaga kerja untuk perkebunan dan kehutanan dari daerah lain, dan sebagainya. Kapasitas diukur dalam kontek penguasaan tata ruang kota, desa, industri, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan lain-lain. Pertimbangan paling penting mengapa pembangunan berkelanjutan diukur pada tingkat ekosistem kepulauan adalah karena untuk mencegah fragmentasi ekosistem yang lebih luas yang disebabkan pembangunan berdasar batas administrasi yang lebih sering tidak mengikuti batas ekobioregional. Singkatnya, strategi ini memang mengandung filosofi hubungan antara manusia dan alam yang saling mempengaruhi satu sama lain dengan berorientasi pada tujuan untuk memenuhi kebutuhan masa depan secara optimal. Paradigma kedua, bersifat normatif, apa yang seharusnya dilakukan dalam kontek yang relatif aktual agar baik buruknya, diterima ditolaknya suatu pilihan kebijakan didasarkan pada sistem nilai, norma, dan kebiasaan yang sedang berkembang. Pembangunan berkelanjutan yang diusulkan oleh Otto Soemarwoto (2007) memenuhi kaidah normatif relevan dengan situasi bangsa Indonesia saat ini, yaitu pertumbuhan ekonomi sebagai sarana (means) bukan tujuan (end). Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi diarahkan pada enam norma yang menjadi landasan etik setiap pejabat publik baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Keenam norma tersebut adalah : 1. Pro-negara hukum 2. Pro-NKRI 3. Pro-lingkungan hidup 4. Pro-rakyat miskin 5. Pro-kesetaraan gender 6. Pro-penciptaan lapangan pekerjaan

Publik menilai kredibilitas dan kepercayaan presiden dan kabinetnya, gubernur, bupati, dan anggota legislatif pusat dan daerah dalam siklus politik 5 tahunan berdasarkan tolok ukur norma tersebut. Peran strategis keenam norma tersebut sepenuhnya hanya akan berjalan sinergis dan efektif jika lokus peniliaian tolok ukur kinerja didasarkan pada eksositem kepulauan. Jika semakin banyak pulau yang lepas, hilang, tenggelam, maka mudah untuk memberi rapot merah pada pemerintahan berjalan. Juga jika tingkat pelanggaran hukum, korupsi, dan kejahatan meningkat, indikator tingkat pengagguran, kemiskinan dan ketidakadilan sosial semakin melambung, maka ekosistem kepulauan tersebut berarti dalam keadaan sakit dan perlu penanganan segera jika kredibilitas dan kepercayaan ingin dicapai. Keberhasilan pemerintahan merespon permasalahan yang berhubungan dengan norma dalam masyarakat dalam jangka pendek dan regional akan meningkatkan keberlangsungan pemerintahan berjalan, memberikan peluang berkembangnya siklus politik berikutnya, dan seterusnya. Memperhatikan norma sosial yang berubah dalam jangka relative lebih pendek merupakan esensi dari paradigma pembangunan normatif berkelanjutan.

Penutup Untuk mendesain wajah baru Indonesia 2045, di tengah ketidakpastian masa depan, diperlukan integrasi visi bersama tentang cara pandang menuju pembangunan yang berkelanjutan. Visi dan kebijakan yang bersifat kooperatif dan antisipatif untuk menjaga keseimbangan hubungan manusia dan alam merupakan pilihan yang rasional dan lentur bagi bangsa ini dengan tetap menjaga optimisme kemampuan teknologi dalam memecahkan problem bangsa ke depan. Wajah baru Indonesia juga harus mencerminkan keadilan dan keseimbangan ketujuh gugus ekosistem kepulauan sebagai instrumen spasial untuk mengukur dan menilai keberhasilan strategis jangka panjang dengan analisis yang tepat, dan juga inovasi kebijakan untuk merespon permasalahan normatif kontemporer. Strategi pembangunan berkelanjutan jangka panjang hendaklah bersifat fleksibel dan adaptive agar mampu merespon nilai-nilai normatif yang cenderung berubah lebih cepat. Aspek normatif hendaknya dijabarkan secara bersama oleh pejabat publik, ilmuwan, swasta, dan masyarakat sipil dalam kriteria indikator yang jelas sebagai tolok ukur keberhasilan sistem ketataprajaan yang berjalan dalam siklus politik 5 tahunan.

Bahan bacaan Constanza, R. 2000. Perspective Visions of Alternative (Unpredictable) Futures and Their Use in Policy Analysis. Conservation Ecology 4(1):5. (online) URL:http://www.consecol.org/vol4/iss1/art5 Simon, H. 2004. Membangun Kembali Hutan Indonesia. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta Soemarwoto, O. 2007. Pembangunan Berkelanjutan. Makalah disampaikan dalam diskusi nasional Pengelolaan Lingkungan Hidup: Refleksi dan Visi ke Depan. Diselenggarakan oleh PPI Wageningen di Wageningen. Belanda.

Akuntabilitas Publik Di Indonesia Gde Yoga Prawita PPI Rotterdam Indonesia Masa Depan – Suara Kaum Muda 2007 Draft Akuntabilitas Publik ________________________________________________________________________ Abstrak Maraknya praktek KKN dalam perusahaan-perusahaan BUMN dan departemendepartemen negara pada tingkat daerah maupun pusat menunjukan lemahnya sistem regulasi keuangan di Indonesia. Fakta mengindikasikan lemahnya sistem regulasi keuangan di Indonesia berimplikasi pada rendahnya tingkat akuntanbilitas dan tranparensi dalam laporan keuangan dalam tubuh perusahaan-perusahaan nasional maupun swasta, serta dalam kinerja badan-badan independent keuangan di Indonesia. Makalah ini akan membahas sistem regulasi keuangan, standar akuntansi di Indonesia dan memberikan rekomendasi sesuai dengan trend dan masalah yang ada. ________________________________________________________________________ Kerangka dan Pokok-Pokok Pikiran Analisa Kondisi Analisa Masalah - Standar akuntansi nasional yang tidak dapat disesuaikan dengan standar akuntansi international - Kinerja badan-badan indepedent keuangan yang tidak optimal - Lemahnya struktur regulasi keuangan di Indonesia - (dalam pembahasan) Analisa Potensi - Sumber daya manusia Akuntan publik dari dalam maupun luar negri Sarjana, master dan PhD dari dalam dan luar negri - Program sarjana, pasca sarjana dan doktoral dalam bidang akuntansi & keuangan yang sangat memadai dalam universitas-universitas nasional dan berkembang seiring dengan perkembangan standarisasi akuntansi international - (dalam pembahasan)

Analisa Trend - Tingginya kebutuhan penerapan metode Good Governance atau Tertib Administrasi Keuangan dalam perusahaan-perusahaan BUMN & swasta dan departemen-departemen negara untuk meningkatakan tingkat akuntabilitas & transparansi dan memperbaiki iklim investasi di Indonesia. Metode ini juga akan mengingkatkan tingkat kepercayaan masyarakat pada kinerja pajabat-pejabat negara apabila metode ini diaplikasikan secara disiplin dan optimal. - Meningkatnya tingkat kompleksitas bisnis proces dalam perusahaan-perusahaan nasional dan swasta mengharuskan pemerintah Indonesia untuk meningkat standar akuntansi untuk setiap industri dan membenahi sistem regulasi keuangan di Indonesia seiring dengan meningkatnya standar international. - (dalam pembahasan) Strategi Transformasi - Menetapkan standar akuntasi yang dapat di sesusaikan dengan standar international. - Membenahi sistem regulasi keuangan di Indonesia. contoh; pembentukan badan independent yang beranggotakan birokrat, profesional dan akademisi. - Penyediaan program pelatihan yang diadakan secara rutin dan disiplin sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan standar akuntansi nasional dan international. - (dalam pembahasan) Visi Masa Depan - Sistem regulasi keuangan nasional yang dapat meningkatkan tingkat akuntabilitas dan transparansi (dalam pembahasan) - Sistem regulasi keuangan yang dapat menciptakan iklim investasi yang bersih dan adil (dalam pembahasan)

E-Government: Di manakah kita (kini)? oleh: Syamsul Ibad S.E, B.Ba Abstraksi Kemajuan teknologi, khususnya di bidang telematika, telah menandai abad 21 sebagai era strategi –era di mana berbagai macam displin ilmu berkelindan dan berinterpolasi demi lahirnya strategi dan inovasi baru (Porter, 2001). Demikian pula, teknologi informasi yang dicangkokkan ke dalam sistem pemerintahan pun telah memberikan peluang terhadap transformasi atau perubahan ke arah penerapan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, demokratis, dan efektif. E-government, dalam sudut pandang ini, memiliki keunggulan kompetitif untuk mendukung strategi pemerintahan nasional demi perbaikan di bidang pelayanan publik, finansial, politik, pendidikan, dan bidang-bidang lain.

Pendahuluan Akhir-akhir ini, pembicaraan mengenai utilisasi teknologi informasi di sektor pemerintahan melalui apa yang disebut dengan e-government semakin hangat dibicarakan. Ada pandangan skeptis, pesimis, positif, bahkan apatis dari banyak analis. Kebanyakan berangkat dari sudut pandang ketidaksiapan negara kita dari sisi sumber daya manusia dan infrastruktur telekomunikasi. Benarkah demikian? Padahal, tren yang sedang terjadi saat ini adalah semakin diujinya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan suatu negara. Pemerintah, jika ingin diakui legitimasinya, mau tidak mau akan dihadapkan pada persoalan transparansi ini. Era perdagangan bebas sudah di depan mata. Di level regional, hampir seluruh negara anggota AFTA (Asean Free Trade Agreement) telah berbenah diri untuk semakin meningkatkan Country Specific Advantage-nya, khususnya di bidang pelayanan publik. Malaysia, misalnya, pada awal Februari 2005 telah menguji coba konsep e-village berjuluk “Kampung Cyber Jaya”. Di “kampung” ini, KTP (Kartu Tanda Penduduk) tidaklah cuma berupa selembar kartu yang dilaminasi, melainkan sebuah “kartu pintar” (smart card) yang

memiliki chip semikonduktor yang dapat menampung seluruh data historis si pemilik, di antaranya data-data mengenai identitas pemilik, rekam medik (medical record), rekening bank, asuransi, dan masih banyak lagi (PC Magazine, Januari 2004). Lewat layanan e-government semacam ini, niscaya, kualitas

pelayanan publik

akan semakin meningkat, seiring dengan

tumbuhnya tingkat kepercayaan diri suatu negara untuk berkiprah di pasar bebas. Investor yang ingin menanamkan modalnya, misalnya, cukup menggunakan koneksi internet untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan sebagai bahan analisis kelayakan investasi di suatu negara. Pada saatnya nanti, tidak akan ada kepala negara yang bisa jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih menarik investor. Internetlah yang akan melakukannya. Paper ini akan mengupas beberapa sisi dari e-government: definisinya, tujuan dan manfaatnya, tahapan-tahapannya, faktor-faktor yang mendorong kesuksesannya, dan tentu saja, beberapa contoh aktual dan faktual dari penerapan e-government di negara lain.

Definisi dan Keuntungan dari Penerapan EGovernment Secara singkat, tidak ada rumusan baku mengenai e-government, karena penerapannya

sendiri

amat

tergantung

kepada

lingkup,

struktur

pemerintahan, anggaran, sumber daya, dan visi pemerintah pusat terhadap egovernment itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi yang setidaknya dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai e-government: Persatuan Bangsa-bangsa (PBB): “E-government is defined as utilizing the Internet and the world-wide-web for delivering government information and services to citizens” (www.unpan.org) Bank Dunia: “E-Government refers to the use by government agencies of information technologies (such as Wide Area Networks, the Internet, and mobile computing) that have the ability to transform relations with citizens, businesses, and other arms of government. These technologies can serve a variety of different ends: better delivery of government services to citizens, improved interactions with business and industry, citizen empowerment through access to information, or more efficient government management. The resulting benefits can be less corruption, increased transparency, greater convenience, revenue growth, and/or cost reduction”. (www.worldbank.org). Global Business Dialogue on Electronic Commerce (GBDe): Electronic government (hereafter e-Government) refers to a situation in which

administrative, legislative and judicial agencies (including both central and local governments) digitize their internal and external operations and utilize networked systems efficiently to realize better quality in the provision of public services. (www.gbde.org)

Jadi, apakah sebenarnya e-government itu? Dalam bentuk dan lingkup yang paling sederhana, e-government adalah penggunaan teknologi internet dan web sebagai media untuk menyampaikan informasi dan layanan lainnya bagi rakyat di suatu negara. Mengambil definisi ini, maka kehadiran Departemendepartemen pemerintah (ambil misalnya www.depdiknas.go.id)., situs-situs resmi Pemerintah Pusat (misal www.ri.go.id., www.lin.go.id), maupun Pemerintah

Daerah

sudah merupakan

bentuk

implementasi

dari

e-

government. Itu baru dalam hal penyediaan informasi kepada masyarakat. Lalu bagaimana dengan layanan publik lainnya seperti pengurusan identitas, paspor, surat izin mengemudi (SIM), Izin Membangun Bangunan (IMB), Tanda Daftar Umum Perusahaan (TDUP), atau bahkan pelayanan dan pembayaran pajak? Nah, layanan-layanan publik inilah yang disebut sebagai e-government yang terintegrasi secara penuh. Sejauh mana integrasi yang dilakukan akan sepenuhnya tergantung kepada visi pemerintah sendiri terhadap e-government. Pemerintah Australia, misalnya, sejak tahun 2001 telah mempunyai layanan e-government yang terintegrasi. Menggunakan Closed-circuit Television atau CCTV (kamera pengintai) di tiap-tiap ruas jalan, Polisi Australia dapat dengan mudah menangkap gambar para pelanggar peraturan lalu lintas. Keesokan harinya, datang surat penagihan denda, beserta foto hasil jepretan CCTV kepada si pelanggar yang bisa dia bayar di ATM manapun. Jika si pelanggar tidak membayar denda pada tenggat waktu yang telah diberikan, catatan pajak kendaraannya pada server pusat akan dicabut, yang mana artinya, STNK kendaraan si pelanggar dibekukan. Pemerintah negara bagian Baden-Wuttenberg, Jerman, misalnya lagi, telah meluncurkan satu situs layanan publik yang terintegrasi. Hanya dengan mengunjungi situs tersebut (http://www.service-bw.de) masyarakat dapat memperoleh layanan publik seperti pembuatan dan perpanjangan paspor, akte kelahiran atau pernikahan, pelayanan pajak, dan lain-lain. Di

dalam

negeri,

Departemen

Perpajakan

Indonesia

sendiri

(www.pajak.go.id) telah meluncurkan layanan pembayaran pajak secara on-

line, baik menggunakan e-banking maupun ATM. Berhasil tidaknya layanan ini akan kita ketahui di kemudian hari. Setidaknya, Dirjen Pajak telah mempunyai visi untuk semakin meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat luas. Toh, Pemerintah Indonesia sendiri, telah mempunyai infrastruktur dan landasan hukum yang cukup memadai. Ini dibuktikan dengan diberlakukannya Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Setidaknya, kita telah mempunyai kerangka hukum yang memadai. Apalagi dalam lampirannya, Presiden juga mengarahkan tahapan-tahapan dan strategi yang harus dilakukan. Bisa dikatakan, inilah cetak biru pengembangan e-government di negara kita tercinta ini. Di lain pihak, Rahardjo (2001), mengemukakan beberapa manfaat dari e-government, antara lain: •

Peningkatan aksesbilitas terhadap sumber informasi dan layanan pemerintah yang dapat diakses kapanpun dan di manapun, sepanjang terhubung dengan jaringan internet.



Peningkatan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum. Adanya keterbukaan (transparansi) maka diharapkan hubungan antara berbagai pihak menjadi lebih baik. Keterbukaan ini menghilangkan saling curiga dan salah paham yang mungkin timbul.



Pemberdayaan masyarakat melalui informasi ya ng mudah diperoleh. Dengan adanya informasi yang mencukupi, masyarakat akan belajar untuk dapat menentukan pilihannya. Sebagai contoh, data-data tentang sekolahan (jumlah kelas, daya tampung murid, passing grade, dan sebagainya) dapat ditampilkan secara online dan digunakan oleh orang tua untuk memilihkan sekolah yang tepat untuk anaknya.



Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien. Sebagai contoh, koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melalui email atau bahkan video conferencing. Bagi Indonesia yang luas areanya sangat besar, hal ini sangat membantu. Tanya jawab, koordinasi, diskusi antara pimpinan daerah dapat dilakukan tanpa kesemuanya harus

berada pada lokasi fisik yang sama. Tidak lagi semua harus terbang ke Jakarta untuk pertemuan yang hanya berlangsung satu atau dua jam, misalnya.

Di lain pihak, West (2004), lewat penelitiannya di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa e-government berpotensi untuk (1) memperbaiki kualitas pelayanan terhadap masyarakat, (2) menggalang respon atau umpan balik yang lebih demokratis, (3) meningkatkan aksesbilitas public, dan (4) menumbuhkan keyakinan pada masyarakat bahwa pemerintahannya berjalan dengan efektif.

Tujuan Penerapan E-Government di Indonesia E-government secara umum bertujuan untuk: •

Memberikan akses yang lebih luas pada informasi-informasi pemerintahan



Mempromosikan keterlibatan masyarakat dengan memudahkan masyarakat untuk berinteraksi dengan pemerintah



Membuat pemerintahan semakin accountable lewat pemerintahan yang lebih transparan yang mana akan mengurangi kecenderungan untuk melakukan korupsi.



Memudahkan pemerataan pembangunan dan akses layanan pemerintah, khususnya pada masyarakat urban dan pedesaan.

Hal-hal tersebut di atas senada dengan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003, yang mana pengembangan e-government di Indonesia bertujuan untuk: •

Pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah Indonesia pada setiap saat tidak dibatasi oleh sekat waktu dan dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.



Pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk meningkatkan

perkembangan

perekonomian

nasional

dan

memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan perdagangan internasional. •

Pembentukan

mekanisme

dan

saluran

komunikasi

dengan

lembaga-lembaga negara serta penyediaan fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan negara. •

Pembentukan sistem manajemen dan proses kerja yang transparan dan efisien serta memperlancar transaksi dan layanan antar lembaga pemerintah dan pemerintah daerah otonom.

Dilihat dari semua tujuan di atas, kiranya cukup jelaslah bahwa e-government dapat menjadi mediator bagi terciptanya transparansi, yang lebih jauh lagi, dapat mentransformasi pemerintahan kita menjadi pemerintahan yang lebih efisien dan membumi. Mestinya, jika proses transformasi ini berjalan dengan mulus, masyarakat dapat dengan mudah melakukan kontrol dan audit atas mismanajemen pemerintahan yang (mungkin) terjadi di lapangan. Pemerintah pun akan mampu menuai kepercayaan publik yang pada akhirnya akan meningkatkan legitimasi dan wibawa pemerintah.

Tahapan-tahapan Pengembangan E-Government. United Nations Online Network in Public Administration and Finance (www.unpan.org), yang merupakan organ PBB yang menjembatani studi di bidang administrasi publik dan keuangan, menjabarkan rekomendasi tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh suatu negara dalam pengembangan e-government. Tahapan-tahapan tersebut adalah: 1. Emerging: yaitu, tahapan di mana negara melakukan komitmen awal untuk menjadi pelaku e-government. Beberapa situs internet dibuat untuk menyediakan informasi poliltik dan organisasional pemerintahan.

Situs-situs

ini

menyediakan

informasi

kontak

(contact information) bagi penggunanya, namun pada banyak kasus tidak terdapat fitur FAQ (Frequently Asked Questions) dalam situs tersebut. Situs inipun jarang di-update.

2. Enhanced: yaitu tahapan di mana kehadiran suatu negara di Internet semakin diperkukuh dengan bertambahnya situs-situs departemen

dan

lembaga-lembaga

pemerintahan.

Isinyapun

semakin kaya dengan informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat dan up-to-date. Publikasi pemerintah, legislasi, dan bulettin digital (newsletter) mulai tersedia, lengkap dengan fitur pencarian dokumen, alamat e-mail, dan lain-lain. 3. Interactive: Pada tahapan ini, terbukalah akses yang luas terhadap bermacam-macam situs institusi dan pelayanan pemerintah. Situssitus ini mulai menawarkan interaksi kepada penggunanya yang sedang online lewat e-mail maupun ruang untuk memberikan komentar (chat box). Kapasitas data yang tersedia semakin banyak, dan data-data ini diperbaharui (update) secara teratur. 4. Transactional: pada tahapan ini, telah tersedia layanan yang menyeluruh dan aman untuk digunakan sebagai media transaksi. Masyarakat, misalnya, dapat mengurus paspor, visa, berbagai surat izin, dan dapat melakukan pembayaran pajak dan bukan pajak secara on-line. Tahapan ini membutuhkan infrastruktur internet yang “kebal” terhadap serangan cyber crime yang dilakukan oleh para cracker atau black hackers. 5. Fully Integrated: pada tahapan akhir ini, telah tercapai kapasitas atau

kemampuan

untuk

mendapatkan

seluruh

aspek-aspek

pelayanan pemerintah. Di sini, tidak ada garis pemisah antara departemen

pemerintah

yang

satu

dengan

yang

lainnya.

Pembayaran pajak, misalnya, dapat juga dilakukan pada situs Kepolisian. Layanan akan di-cluster-kan ke dalam kebutuhan masyarakat yang paling umum.

Tahapan yang relatif sama tercantum dalam lampiran Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 yang menyatakan 4 tingkatan dalam pengembangan egovernment, antara lain: I. Tingkat 1 - Persiapan yang meliputi : i.

Pembuatan situs informasi disetiap lembaga;

ii.

Penyiapan SDM;

iii.

Penyiapan sarana akses yang mudah misalnya menyediakan sarana Multipurpose Community Center, Warnet, SME-Center, dll;

iv.

Sosialisasi situs informasi baik untuk internal maupun untuk publik.

II. Tingkat 2 - Pematangan yang meliputi: i.

Pembuatan situs informasi publik interaktif;

ii.

Pembuatan antar muka keterhubungan dengan lembaga lain;

III. Tingkat 3 - Pemantapan yang meliputi: i.

Pembuatan situs transaksi pelayanan publik;

ii.

Pembuatan interoperabilitas

aplikasi

maupun

data dengan

lembaga lain. IV. Tingkat 4 - Pemanfaatan yang meliputi:

i.

Pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat G2G, G2B dan G2C yang terintegrasi.

Kiranya, cukup mudah untuk menyimpulkan bahwa pemerintah kita telah mempunyai tujuan dan strategi yang cukup jelas dan terarah dalam proses pengembangan e-government. Hal ini terbukti dari lengkapnya Instruksi Presiden No. 3 tahun 2003 yang juga mencantumkan arah kebijakan, strategi, tujuan, bahkan kerangka arsitektur baku yang akan digunakan oleh masingmasing instansi maupun lembaga pemerintahan.

Lalu, di Manakah Kita (kini)? Meskipun implementasi e-government memiliki banyak peluang sebagaimana disebut pada bagian-bagian awal paper ini, Swartz (2004) secara skeptis menyebutkan kondisi e-government saat ini yang secara umum sedang berada “di persimpangan jalan” dengan mengungkapkan fakta bahwa meskipun kebanyakan negara telah memiliki situs resmi pemerintahannya, pada kenyataannya, pengguna situs e-government di dunia, jika dirata-rata, tidak lebih dari 20 persen rakyatnya. Parahnya lagi, 60 persen dari seluruh proyek e-government yang dilakukan oleh pemerintah pada negara-negara berkembang mengalami kegagalan total. Walaupun tidak menjelaskan secara

gamblang penyebab kegagalan tersebut, tak pelak, di balik ingar bingar diskusi mengenai e-government, temuan ini cukup mengejutkan. Swartz (2003) juga telah mengemukakan lambatnya pengembangan egovernment di Inggris. Dikembangkan pertama kalinya pada awal 2001 dengan pengguna awal sebesar 15% dari populasi pengguna internet, pada tahun 2003, Inggris Raya hanya mencatat 70% dari seluruh layanan pemerintah yang dapat diakses lewat internet. Inipun hanya diakses oleh sekitar 49% dari total populasi. Di lain pihak, Holliday (2002) melaporkan bahwa dari 190 anggota PBB saat itu, 11% tidak memiliki e-government sama sekali, 17 persennya berada pada tahapan emerging, 34% pada tahapan enhanced, 29% pada fase interaktif, dan selebihnya (9%) telah memasuki pada fase transaksional. Saat itu, belum ada negara yang telah mengintegrasikan e-government secara penuh, termasuk Amerika sendiri sebagai “pemimpin” di bidang egovernment. Pada akhir tulisannya, Holliday (2002) juga mengklasifikasikan tingkat aktifitas berinternet di Asia, yaitu kelompok negara yang aktifitas internet rakyatnya tinggi (Jepang Hongkong, Singapura dan Taiwan), sedang (Brunei Darussalam, Philipina, Korea Selatan, dan Thailand), rendah (Kamboja, Indonesia, Malaysia, China), dan amat rendah (Laos, Myanmar, Korea Utara, dan Vietnam). Memang, berbicara mengenai e-government tidak akan lepas dari aktifitas penggunaan internet oleh rakyat negara bersangkutan. Sesempurna apapun sistem e-government yang dimiliki pemerintah suatu negara tidak akan banyak membantu jika tidak ada orang yang menggunakan atau mengaksesnya. Indonesia sendiri memiliki catatan yang lumayan parah dalam pengembangan internet. Dirjen Postel (www.postel.go.id) sendiri pada tahun 2001 mencatat rendahnya penetrasi jaringan telepon di Indonesia (3 dari 100 orang), minimnya infrastruktur telekomunikasi yang sialnya juga hanya terkonsentrasi di perkotaan, serta nasib rakyat pedesaan yang masih belum terjamah sambungan telepon. Hanya 4 juta orang yang memiliki akses terhadap internet. Meskipun demikian, ada 61 juta pengguna potensial dan jumlah ini terus meningkat secara dramatis. Namun, jumlah sebesar ini hanya mencakup 28% dari total populasi rakyat yang 215 juta. Yang cukup melegakan adalah laporan Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia

(www.apjii.go.id) bahwa jika pada tahun 1995 hanya terdapat 85 situs yang memiliki domain .id (kode top-level domain untuk situs web Indonesia), maka pada tahun 2001, telah terdapat 4270 situs. Ini berarti telah terjadi lonjakan situs berdomain .id sebesar 50 kali lipat dalam kurun waktu 6 tahun. Tak lupa, Dirjen Postel juga mencatat eksistensi aplikasi e-government di 86 lokasi, dan aplikasi e-government yang sifatnya kaya informasi pada 95 unit “Desa Maju”. Dengan demikan, menilik pada kriteria PBB, Indonesia masih berada pada tahapan kedua pengembangan e-government, yaitu fase enhanced. Yang patut disayangkan adalah banyaknya situs-situs pemerintah yang sudah terlalu lama tidak di perbaharui (up-date). Di laih pihak, jika diukur lewat kriteria Inpres No. 3 Tahun 2003 sendiri, e-government kita kiranya masih berada pada tahapan kedua, yaitu pematangan. Djoko Agung, asisten Deputi Bidang Pengembangan EGovernment pada Kementrian Komunikasi dan Informasi, seperti dilansir oleh The Jakarta Post (15 Januari 2003) mengkonfirmasi rendahnya kesiapan kita untuk mengadopsi e-government. Meskipun demikian, program e-government toh telah dicanangkan pada tahun itu juga. Selanjutnya, tinggal kitalah yang akan menyumbangkan kontribusi terhadap eksistensi e-government tersebut, demi mendukung transformasi pemerintahan ke era e-government.

Penutup Teknologi informasi yang dicangkokkan ke dalam sistem pemerintahan telah memberikan peluang terhadap transformasi atau perubahan ke arah penerapan pemerintahan yang lebih transparan, akuntabel, demokratis, dan efektif. Indonesia, dengan segala keterbatasan infrastruktur, sumber daya, dan budayanya, sedang menuju ke arah itu. Dengan landasan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003, tahapan-tahapan menuju e-government dimulai sudah. Ke mana pendulum mengarah, baik itu menuju kesuksesan maupun kegagalan implementasi e-government kiranya bukan melulu tanggung jawab pemerintah. Di balik itu, masyarakat juga dituntut untuk tidak abai terhadap transformasi, karena pada dasarnya, transformasi pemerintahan juga merupakan transformasi citizenship. Pertanyaan selanjutnya adalah: sejauh

mana Anda mau menyumbangkan kontribusi terhadap pengembangan egovernment kita? Lalu, sejauh manakah Anda mampu memanfaatkan layanan e-government tersebut? Hanya kitalah yang mampu mewujudkannya.

/00/

Referensi Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia. URL: http://www.apjii.or.id/news/index.php?ID=2002052301855&lang=ind Dikunjungi pada 30 Mei 2004

Dirjen Pos dan Telekomunikasi Indonesia (2001). Internet Development in Indonesia. URL: www.postel.go.id. Dikunjungi pada 30 Mei 2004

Deputi Sekretaris Bidang Hukum dan Perundang-undangan (2003). Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Jakarta.

Global Business Dialogue on Electronic Commerce (GBDe) URL: www.gbde.org. Dikunjungi pada 30 Mei 2004

Holliday, Ian (2002). Building E-Government in East and South East Asia: Regional Rhetoric and National (In)Action. Public Administration and Development. Vol. 22 (4)

Porter, M. E. (2001). Strategy and the Internet. Harvard Business Review, 79(2), 63-78. Rahardjo,

Budi

(2001).Membangun

E-Government.

Makalah

yang

disampaikan pada Seminar Nasional Jaringan Komputer II, di Makassar. URL: http://www.geocities.com/seminartsc. Dikunjungi pada 30 Mei 2004

Swartz, Nikki (2004). E-Government Around the World. Information Management Journal. Vol 38 (1).

Swartz, Nikki (2003). British Slow to Use e-Government Services. Information Management Journal. Vol. 37 (2).

The Jakarta Post. URL: http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20030115.B01. Dikunjungi pada 30 Mei 2004

The World Bank Group, “E-Government Definition”. URL: http://www1.worldbank.org/publicsector/egov/definition.htm Dikunjungi pada 30 Mei 2004.

United Nations Online Network in Public Administration and Finance. URL: www.unpan.org. Dikunjungi pada 30 Mei 2004

West, D.M (2004). E-Government and the Transformation of Service Delivery and Citizen Attitudes. Public Administration Review. Vol. 64 (1). Washington.

‘Rethinking Indonesian Governance’: Dari Government ke Governance Oleh: Rosdiansyah, Ishak Salim dan Wiky Witarni (PPI Kota Den Haag) Pasca reformasi 1998 dan pengesahan UU Pemerintahan Daerah 1999, yang direvisi dengan UU Pemerintahan Daerah 2004, maka Indonesia kini sudah memasuki era desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dalam struktur birokrasi pusat-daerah. Desentralisasi ini berjalan ditengah pergulatan para aktor di pusat dan daerah, untuk mencari format yang tepat, efektif dan partisipatif, yang kelak bisa menghasilkan produk-produk kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat luas. Namun demikian, reformasi kebijakan, de-sentralisasi kewenangan dan transfer kekuasaan dari pusat ke daerah acapkali terhambat oleh beberapa hal : 1. Struktur mentalitas birokrasi yang belum sepenuhnya menerima kenyataan baru, yakni de-sentralisasi sebagai keniscayaan. Bentuk nyata dari struktur mentalitas ini adalah masih adanya pemikiran, pemahaman dan keyakinan para aktor pemerintah pusat, bahwa kendali pusat masih harus dipertahankan walau sudah terjadi otonomi daerah. 2. De-sentralisasi sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah 2004, pada kenyataannya berjalan di tempat, karena tahap implementasinya belum melibatkan para aktor diluar negara. Para aktor ini masih dianggap sebagai ‘people’ (rakyat biasa), dan bukan sebagai ‘citizen’ (warga yang punya hak). 3. Pemerintah Daerah masih menerapkan model kebijakan ‘top-down’ melalui rencana strategis (renstra), yang semuanya diukur dari perspektif birokrasi daerah. Pelibatan para aktor non-birokrasi hanya bersifat konsultatif, tapi belum pada substantif renstra. 4. Disparitas menyolok antara laju pertumbuhan dan perkembangan pusat dibanding daerah, pada gilirannya menghasilkan kecemburuan sosial dan meningkatnya sentimen kedaerahan. Ditambah lagi, belum adanya konvergensi terhadap pengelolaan keuangan pusat-daerah, maka disparitas ini semakin terbuka lebar. 5. Pemerintah Daerah saat ini justru sibuk dengan upaya pembenahan internal, yang kadang tidak terkait dengan keterlibatan stakeholder non-negara. Ironinya, pembenahan internal itu acapkali diklaim sebagai upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat luas.

1

6. Pemerintah Daerah belum sepenuhnya otonom dalam menentukan model interaksi antar-stakeholder, karena seringkali terjadi intervensi Depdagri selaku promotor de-sentralisasi. Ironinya, aktor-aktor Depdagri sering berada di persimpangan jalan dalam memahami dan mengimplementasikan de-sentralisasi. Muncul fenomena ‘otonomi setengah hati’. Berangkat dari kenyataan itu, maka selayaknya kini para aktor tata pemerintahan (governance) di Indonesia : 1.

Memahami, bahwa tata pemerintahan bersifat luas, melibatkan aktor-aktor nonnegara, dalam konteks ‘Governance’.

2.

Era ‘government’ yang sangat elitis, kaku dan seolah berada di menara gading, kini sudah berakhir dengan adanya UU Pemerintahan Daerah 2004. Pemerintah daerah harus mereformasi mentalitas diri agar memberi ruang bagi akto-akto non-negara dalam pembangunan di tingkat lokal.

3.

Pemahaman terhadap filosofi ‘governance’ harus diupayakan secara menyeluruh, tidak lagi parsial, sekadar mendesak kepada pemerintah daerah, harus akuntabel, transparan dan responsif.

4.

Saat ini, belum ada konvergensi pemahaman yang utuh dan komprehensif terhadap konsep ‘governance’ di Indonesia. Para aktor non-negara mendasarkan pemahamannya atas ‘governance’ pada rujukan dari organisasi internasional seperti World Bank dan UNDP, sebaliknya, para aktor negara justru menggali perspektif ‘governance’ dari model peningkatan pelayanan satu arah, belum menunjukkan itikad mengembangkan feed-back mechanism.

5.

Pemerintah Daerah perlu pula mengembangkan pemahaman baru di berbagai sektor terkait dengan penerapan ‘governance’, sebagaimana pernah diusung oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan konsepnya ‘Ocean Governance’ yang tertuju kepada model pemberdayaan masyarakat pesisir dan masyarakat di pulau-pulau kecil. Dalam model ini, kebutuhan masyarakat setempat menjadi prioritas dalam perumusan kebijakan daerah. Sebagaimana diketahui, de-sentralisasi di Indonesia adalah de-sentralisasi daratan, bukan lautan.

6.

Pengembangan diskursus ‘governance’ di Indonesia harus dilakukan secara merata, tidak lagi semata monopoli para aktor negara atau aktor non-negara. De-sentralisasi dan otonomi akan mencapai hasil maksimal, apabila institusional building yang bertumpu pada ‘path-dependent’ dalam konteks ‘governance’ bisa berjalan baik.

(Draft)

2

Strategi Pembangunan di Wilayah Rawan Tsunami Berdasarkan Perspektif Ekonomi di Aceh dan Nias Oleh : Achmad Adhitya

Abstraksi Strategi penangan bencana di Indonesi yang selama ini memfokuskan pada proses pembangunan kembali wilayah pasca bencana, paradigma baru penanganan bencana adalah pada proses mitigasi untuk mencoba mengurangi dampak bencana dan menekan biaya pembangunan kembali suatu wilayah, dalam hal ini instrumen – instrumen pembiayaan yang didasrkan pada mekanisme pasar harus dioptimalkan.

Pendahuluan Indonesia terletak di 3 lempeng tektonik besar, yakni : Eurasia, Indo – Australia dan Lempeng Pacific. Letak tektoni ini menyebabkan banyak terjadi gempa setiap tahunnya Kebanyakan Gempa bumi berpotensi menyebabkan kehancuran.

Indonesian tectonic setting

Cincin api adalah wilayah paling rawan gempa di dunia, 90% dari gempa bumi yang terjadi di dunia dan 81 % gempa bumi terbesar terjadi disekitar area ini. Wilayah yang rawan gempa berikutnya (56 % terjadi gempa bumi dan 17 % adalah gempa bumi dahsyat yang terjadi) adalah Alpide belt yang terbentang dari Jawa sampai ke Sumatra lalu ke Himalaya, Mediterania dan keluar ke Atlantic.

Indonesia terbentang antara Cincin Api sepanjang kepulauan utara yang berdekatan dan termasuk New Guinea dan Alpide Belt sepanjang selatan dan barat dari Sumatra, Jawa, Bali, Flores dan Timor.

Dikarenakan letak tektonik ini, tercatat di Indonesia terjadi 19 kali gempa bumi dengan kekuatan 4 skala richter dalam periode 1990 – 2006.

Sejauh ini, tsunami yang merusak disebabkan oleh gempa bumi yang luas dan dangkal dengan epicenter atau garis lupatan dekat atau diatas dasar laut. Hal ini biasanya terjadi di wilayah yang dikarakteristikan oleh terusan kedalam sepanjang batas lempeng tektonik.

Tsunami yang paling merusak terjadi pada 26 Desember 2004, ini disebabkan oleh masuknya lempeng tektonik India ke Lempeng Birma, proses ini disebabkan gaya keatas dan menggerakan tsunami. Korban manusia yang disebabkan oleh tsunami ini tercata 300.000 orang meninggal dan menghilang.

Tsunami yang lain terjadi pada 28 maret 2005, epicenter ini berada di dekat Pulau Nias tidak terlalu jauh dari epicenter pertama dimana tsunami sebelumnya terjadi. Tsunami ini disebabkan transfer tegangan dari tsunami sebelumnya. Walaupun tsunami pertama tidak sebesar tsunami sebelumnya tapi rentang waktu tsunami pertama dan kedua yang terjadi menunjukkan bahwa daerah tersebut rawan terkena tsunami.

Tsunami terakhir terjadi pada tanggal 17 juli 2006, epicenter nya berada didekat daerah pantai Pangandraan. Kekuatan dari gempa bumi tersebut mencapai 7,7 skala richter. Korban jiwa tercatat pada tsunami tersebut 600 orang meninggal, 431 orang luka – luka dan 230 orang hilang. Penyebab dari tsunami ini adalah proses berlanjutnya masuknya lempeng India terus kearah selatan dan timur sepanjang parit Sunda.

Sejak SUnami 26 December 2004, banyak pihak menaruh perhatian mendalam pada permasalahan tsunami, Perserikatan bangsa bangsa, UNESCO, menyatakan bahwa Juni 2006 sistim peringantan dini tsunami telah mulai bekerja. Peringatan akan memantau Samudera India dari pusat monitoring tsunami yang telah ada di Hawaii dan Jepang.

System peringatan tsunami memang bekerja, 17 menit setelah terjadi gempa bumi yang menyerang pulau jawa, ilmuwan di pusat peringatan tsunami di pacfic di Hawaii menangkap data seismologic dan mengirimkan kabar ke para ilmuwan di Jakarta, namun tetap saja banyak korban jiwa yang terjadi. Hal ini disebabkan tidak ada guidelines untuk masyarakat untuk menyelamatkan diri mereka dari terjadinya tsunami, lemahnya kewaspadaan publik dan minimunnya perlengkapan semacam sirine untuk mengingatkan masyarakat.

Ada paradigma baru dalam hal manajemen resiko., yang pertama adalah program kontrol resiko dan yang kedua adalah prorgam pembiayaan resiko (Risk Assesment and Management in Local Government Emergency Planning, James A. Gordon, Institute for catastrophic loss reduction) Program pengontrolan resiko berhubungan dengan hal pra bencana dan beragam metode mengurangi resiko yang dapat terjadi disatu wilayah.

Simulasi tsunami adalah bagian dari proses mitigasi yang merupakan bagian dari strategi penangan resiko. Melakukan simulasi tsunami dapat digunakan sebagai titik awal untuk menganalisa dampak dan kerusakan di satu wilayah. Simulasi tsunami juga dapat digunakan untuk membangun struktur perlindungan pesisir.

Korban jiwa dapat dikurangi atau bahkan dihindarkan sama sekali, tapi kerusakan fisik pasti terjadi jika satu wilayah tidak dilindungi dengan baik dari tsunami, bahkan ketika sudah dilindungi dengan baik pun kerusakan fisik masih mungkin terjadi. Masalah utama pasca tsunami yang terjadi disuatu wilayah adalah pembangunan kembali infrastruktur yang terjadi. Pemerintah harus membangun kembali rumah, merelokasi pengungsi dan mengembalikan fasilitas publik untuk memperbaiki ekonomi di satu wilayah.

Ada 3 kemungkinan instrumen yang digunakan untuk melakukan pembiayaan resiko yang dapat digunakan untuk membangun kembali suatu wilayah pasca tsunami, instrumen – instrumen tersebut adalah Pendanaan pemerintah (Pendapatan Bruto), pinjaman internasional dan asuransi. Tiap instrumen memiliki keuntungan dan kekurangan yang berbeda.

Paradigma baru untuk menangani permasalahan bencana adalah dengan memfokuskan diri pada pra bencana sehingga memiliki persiapan lebih baik sebelum bencana, hal ini diharapkan dengan strategi manajemen resiko tidak hanya menghindari dan mengurangi bencana tapi menekan biaya restrukturisasi kembali di satu wilayah.

Asuransi bukan satu satunya instrumen untuk memecahkan masalah, asuransi adalah bagian dari framework nasional untuk menangani tsunami. Disamping asuransi juga harus ada kebijakan yang mendorong dan memberikan pondasi daasr untuk mengikuti strategi lanjutan, semacam pembangunan SDM, kewaspadaan publik. Disamping permasalahan pembiayaan resiko juga harus ada program kontrol resiko yang berhubungan dengan kampanye kewaspadaan tsunami..

Organisasi Pemerintah dan Kebijakan Penanganan Bencana Alam di Indonesia Ada beberapa kebijakan dan hukum yang dikeluarkan untuk memperbaiki manajemen penangan resiko bencana alam di Indonesia, beberapa organisasi dan badan pemerintahan dibentuk dari tahun 1979 sampai 2002, isu yang ditangani oleh organisasi ini pun tidak hanya berkisar pada penanganan bencana alam namun juga pada konflik masyarakat, namun dikarenakan fokus strategi pada setelah terjadinya bencana tidak pada sebelum terjadinya bencana.

Dikarenakan tsunami yang terjadi pada tanggal 26 desember 2004, President mengeluarkan Perpu nomer 2 tahun 2005 tentang pembentukan BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias) melalui Keputusan Presiden no 34 tahun 2005 dijelaskan lebih detil tentang struktur organisasi ini.

Tujuan dari BRR adalah untuk mengembalikan kehidupan sehari – hari dan memperkuat komunitas di Aceh dan Nias dengan mendesain dan meninjau secara menyeluruh rekonstruksi dan pembangunan kembali yang berdasarkan kemandirian komunitas.

Satu tahun setelah tsunami US$ 4.4 billion sudah dialokasikan untuk proyek – proyek tertentu. Pemerintah Indonesia telah mengalokasikan US$ 1.1 billion dan NGOs US$ 1.5 billion and Lembaga Donor US$ 1.8 billion ini adalah kebutuhan minimum untuk rekonstruksi Aceh dan Nias, US$ 775 million sampai akhir November 2005 sudah dihabiskan oleh pemerintah.

Untuk membangun kembali Aceh dan Nias diperlukan US$ 9 billion dan rekonstruksi direncanakan dari tahun 2005 sampai 2009, dikarenakan master plan ini,

jadi baik

Pemerintah, NGO dan Negara – negara donor diharapkan memberikan kontribusi US$ 2.5 – 3.5 billion, jika komitmen ini bisa dipenuhi maka Proses rekonstruki ini akan selesai pada tahun 2009.

Bencana Alam dan Manajemen Resiko Sebuah bencana alam dapat didefinisikan sebagai akibat dari kejadian alam yang luar biasa pada masyarakat yang rentan (ADPC 2000a:1). Jika dampat ini meluas ke wilayah yang lain sehingga dibutuhkan bantuan inter wilayah dan internasional, dapat dikatakan bencana besar telah terjadi ( Munich Re 2002:15).

Faktor – faktor yang mempengaruhi bencana alam adalah : Bahaya, Elemen yang beresiko dan kerawanan. Ketiga faktor ini dapat di formulasikan : Resiko = kemungkinan (bahaya) * kehilangan (kerawanan, elemen yang beresiko)

Manajemen resiko didefinisikan sebagai aplikasi sitematis dari kebijakan – kebijakan manajemen .

Ada 4

prosedur yang harus dilakukan untuk menangani permasalahan manajemen

resiko. Pertama adalah melakukan penilaian dan pengukuran pada kemungkinan resiko tertentu di suatu wilayah, mencoba untuk mensurvey kemungkinan bencana, e.g. kondisi geologi atau geomorphologi pada suatu area tertentu. Kedua, harus ada analisa pada potensi dampak pasca terjadinya bencana . Ketiga harus ada perencanaan dan alternati rencana untuk menyelesaikan kemungkinan resiko yang efektif. Keempat adalah analisa ekonomi pada rencana yang dibuat.

Potential Risk

Potential impact assesment

Designing contingency plan

Economic analysis on designed risk management plan

Mitigation

Risk Financing

Pembiayaan Resiko Ada dua kategori

berdasarkan instrumen pembiayaan resiko, transfer resiko dan

penyebaran resiko sementara. Ada dua instrumen yakni pasar dan non pasar dan pengaturan untuk transfer resiko Instrumen transfer resiko pasar , contohnya adalah asuransi, adalah instrumen pra bencana yang mengatur perusahaan asuransi untuk membayar sejumlah uang setelah terjadinya bencana. Pengaturan ini juga dapat diatur oleh pemerintah secara hukum atau informal, untuk mewajibkan pemerintah untuk memberikan dana setelah terjadinya bencana. Ada pula penyebaran resiko intertemporal, hal ini berarti seseorang atau pemerintah menyimpan dana sebagai cadangan dana jika terjadi bencana. Instrumen ini dapat digunakan dalam waktu yang lama selama belum terjadinya bencana.

Asuransi Asuransi dapat didefinisikan sebagai institusi ekonomi yang mengijinkan adanya transfer pembiayaan resiko pada kelompok tertentu dalam artian kontrak hukum (Kunreuther 1998a:23)

Kelompok yang diasuransikan menerima pengembalian dana jika terjadi kehilangan dari pihak pengasuransi sebagai ganti rugi pembayaran premi. Biasanya

pengembalian ini

ditetapkan melalui rasio tertentu. Pengembalian kehilangan didasarkan pada kontrak asuransi yang dinamakan klaim. (Kunreuther 1998a:23-24)

Solusi penanganan bencana di wilayah tsunami Pemerintah Indonesia telah merubah kebijakan penanganan bencana alam sebanyak 5 kali, yang pertama adalah melalu Keputusan Presiden no. 28 tahun 1979 dan membentuk organisasi yang dinamakan BAKORNAS PBA sampai organisasi terakhir yakni BAKORNAS PBP melalu PD nomer 111 tahun 2001, walaupun secara umum mempromosikan manajemen sebelum bencana namun pada kenyataannya tidak ada program yang dijalankan dalam rentang waktu itu.

Hal ini dapat dilihat bahwa pada tsunami terjadi tanggal 26 desember 2004 daripada mengoptimalkan BAKORNAS PBP, pemerintah membentuk kembali BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) melalui Perpu no 2 tahun 2005.

Pada paradigma penanganan bencana yang baru lebih ditekankan pada proses pengontrolan resiko dan proses pembiayaan resiko. Pada tahun – tahun sebelumnya pemerintah tidak mengoptimalkan instrumen pra bencana alam ini. Asuransi harusnya memainkan peran lebih dalam hal ini.

Pada kasus asuransi di perancis, terdapat pencampuran sistem antara negara dan perusahaan asuransi. Asuransi (e. g tingkat premi dan kehilangan) distandarkan melalu peraturan dan seragam di seluruh wilayah. Seluruh perusahaan asuransi properti di suatu wilayah tertentu diwajibkan mengikutsertakan asuransi atas bencana alam.

Dana penanggulangan bencana adalah metode efektif untuk menyelesaikan masalah pembiayaan resiko untuk menangani bencana alam. Pada kasus Tsunami 26 desember 2004, pemerintah

Indonesia

harus

merevisi

kembali

APBN

dan

memasukan

program

penanggulangan tsunami pada 27 oktober 2005. Hal ini menyebabkan mesti direlokasinya dana belanja negara untuk menanggulangi bencana.

Insurance

Disaster Relief Funds

Disaster Relief

Recovery and Reconstruction

Risk Control Programs

Pre disaster

Disaster

Post Disaster

Integrative Natural Disaster Risk Management Proposal

Referensi Kanda, J. & Nishijima, K. (2005) Scope of Insurance Premium for residential house against seismic risk in Japan: University of Tokyo, Japan. Kaistrenko, V.,Klyachko, M., Nudner, I., & Pelinovsky, E., (2001) A new paradigm of tsunami safety solution: Institute of Marine and Geophysics, Yuzhno-Sakhalinsk, Russia, p. 303 – 313. Jametti, M. & Von Ungern-Sternberg, T. (2004) Disastrous insurance-natural disaster insurance in France: Departement of economics, Mc Master University. Insurance Information Institute (III) (2005) Asian earthquake and Tsunami An insurance perspective Mechler R. & International Institute for Applied Systems Analysis (IIASA) (2005) Financing disaster risks in developing and emerging economy countries: Verlag Versicherungwirtschaft GmbH, Karlsruhe, p. 105 – 148. Bugl, W. (2005) Earthquake risk management policy in Indonesia: Asuransi Maipark, Indonesia, p. 399 – 408.

(Draft 1). Indonesia Masa Depan; Suara Kaum Muda Bidang Tata Pemerintahan Daerah Arif R. Effendy

1. Pendahuluan Seiring dengan Reformasi yang intinya menolak segala bentuk KKN dan desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada warga daerah (bukan hanya eksekutif dan legislatif saja) untuk mengelola berbagai kewenangan yang dimilikinya, maka tuntutan akan adanya perubahan dalam peran pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan semakin besar. Dari sini terlihat bahwa good governance tidaklah terbatas pada bagaimana pemerintah menjalankan wewenangya dengan baik semata, tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi dan mengontrol pemerintah untuk menjalankan wewenang tersebut dengan baik. Untuk itu, dibutuhkan beberapa prasyarat multi-dimensi berikut. Pertama, untuk negara yang secara geografis luas dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia dibutuhkan adanya otonomi yang demokratis ditingkat pemerintah daerah yang memastikan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat ini dapat terjadi secara langsung dan intensif di lingkup yang kecil. Kedua, masyarakat dapat memperoleh akses kepada informasi (transparansi). Tanpa informasi yang simetris, state menguasai data/informasi sementara society tidak memiliknya, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan menjalankan fungsi kontrolnya tidaklah mungkin dijalankan dengan baik. Selain itu, ketertutupan pemerintah inilah yang seringkali dianggap sumber dari berbagai bentuk penyelewengan. Ketiga, terbukanya ruang untuk menyatakan pendapat dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Terjaminnya hak masyarakat untuk menyatakan pendapatnya dan pers yang bebas merupakan prasyarat awal bagi terciptanya masyarakat yang demokratis. Keempat, penegakan hukum. Tanpa adanya sistem peradilan yang kuat dan independen, segala proses kontrol yang dilakukan masyarakat tidaklah berarti. Berbagai hal yang diuraikan di atas pada intinya adalah otonomi daerah yang sesungguhnya, yaitu wewenang berada pada rakyat yang tinggal di daerah tersebut, bukan otonomi pemda, dan juga bukan otonomi bagi "daerah" dalam pengertian suatu wilayah/teritori tertentu di tingkat lokal. Dikarenakan rakyat yang memiliki kedaulatan sesungguhnya dalam implementasi otonomi daerah, maka sudah tentu pemerintah daerah harus dapat membuka ruang bagi seluruh komponen masyarakat untuk dapat terlibat dalam seluruh proses pembangunan. Pelibatan tersebut membutuhkan beberapa prasyarat awal yang harus diimplementasikan oleh pemerintah daerah sendiri, yang khususnya adalah dalam hal transparansi, akuntabilitas, dan responsif terhadap masalah dan masukan masyarakat.

2. Kondisi kekinian tata pemerintahan daerah 2.1. Pemekaran Wilayah Desentralisasi merupakan suatu proses pelimpahan sebagian kewenangan dan pengelolaan administrasi pemerintahan kepada pemerintah daerah, dengan tujuan utama meningkatkan efisiensi dalam penyediaan permintaan pelayanan barang dan jasa publik, mengurangi biaya dan efektif dalam penggunaan sumberdaya manusia; dan secara politik dapat meningkatkan akuntabilitas, menciptakan pelayanan yang lebih dekat dengan “klien”, merupakan arena untuk dapat melatih proses partisipasi masyarakat, dan mengembangkan kepemimpinan elit politik. Dalam proses perjalanannya, persoalan dan tantangan desentralisasi di Indonesia dapat dilihat dari dua perspektif besar yaitu perspektif pemerintah pusat dan perspektif pemerintah daerah. Di Indonesia, beberapa persoalan seolah muncul secara tidak diduga akibat kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah: (a) respon berlebihan terhadap batasan dan lingkup kewenangan tugas yang diserahkan ke daerah otonom tanpa diimbangi dengan kapasitas yang memadai, (b) dampak negatif dari luasnya kekuasaan DPRD dalam pengawasan, pemilihan dan pengangkatan kepala daerah, pengesahan anggaran dan belanja daerah, (c) tidak adanya hirarki antara pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang menimbulkan ketidakharmonisan hubungan kerja vertikal, (d) ketidakjelasan pemahaman terhadap transparansi dan akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik sehingga timbul gerakan masa yang bekelebihan, (e) penyempitan wawasan kebangsaan dan pembatasan proses asimilasi budaya dan interaksi sosial sehingga timbul arogansi kedaerahan. Disamping itu kebijakan desentralisasi mengandung risiko “separatisme”, yang jika tidak disadari akan menggangu kesatuan teritorial negara, memperkuat gejala penyempitan wawasan kebangsaan, dan memperkuat penyalahgunaan kekuasaan di tingkat bawah. Semenjak diberlakukannya undang-undang pemerintahan daerah no. 22/1999 yang lalu kemudian di amandemen dengan UU 32/2004, pemekaran wilayah mulai dari tingkat desa sampai dengan tingkat propinsi menjadi salah satu isu yang cukup dominant disamping persoalan tentang alokasi anggaran dan sharing pembiayaan pembangunan. Persoalan yang lalu kemudian muncul adalah bahwa pemekaran wilayah dilihat sebagai sesuatu yang cenderung berlawanan dengan visi penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi. Sarena salah satu esensi desentralisasi adalah terbangunnya kerjasama yang erat antar daerah untuk penyediaan pelayanan publik dan penyelenggaraan tugas-tugas pembangunan dan pemerintahan daerah. Daerah melihat system penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi adalah sebagai sebuah peluang yang lebih dari sekedar sebuah upaya untuk mendekatkan mekanisme pengambilan keputusan publik sampai ke tingkat akar rumput atau dalam rangka pemulihan iklim pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan secara efektif, efisien dan tepat sasaran. Daerah cenderung melihat system desentralisasi identik dengan “Ada uang yang akan dikelola langsung di daerah”.

Mungkin saja pemekaran memang akan lebih mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya dalam gerbong pembangunan daerah, tapi sejauh ini belum ada satupun pihak yang berani mengklaim atau menunjukan bahwa pemekaran telah secara significant meningkatkan kualitas pelayanan publik, malah justru meningkatkan inefisiensi administrasi keuangan. Ini merupakan salah satu akibat dari adanya celah-celah yang “sengaja” diciptakan seiring diterapkannya otonomi daerah.

2.2. Fungsi dan Kewenangan Restrukturisasi fungsi dan kewenangan pemerintah daerah adalah salah satu poin yang paling mendesak. Baik dalam undang-undang nomor 22/1999 maupun undang-undang 34/2004 hanya memberikan positive list sejumlah kewenangan untuk popinsi maupun kabupaten/kota yang selanjutnya akan dipertajam oleh pemerintah daerah sendiri dalam bentuk perda. Ini sebuah ironi sebenarnya dalam konsep desentralisasi. Betapa tidak, Pemerintah Daerah harus mengidentifikasi sendiri jenis kewenangan yang dapat mereka kerjakan dalam kerangka otonomi daerah selain kewenangan yang sudah menjadi milik pemerintah dan propinsi. Kondisi ini menjadi lebih sedemikian kompleks ketika tugas pembantuan dan tugas dekonsentrasi-pun tidak didukung oleh infrastruktur yang jelas. Peran propinsi dalam memfasilitasi dan mendistribusikan fungsi ini pun tidak optimal bahkan cenderung menjadikan proses yang tidak transparan bagi pemerintah daerah kabupaten dan kota. Dalam konstelasi pembangunan sekarang, nampak bahwa pada dasarnya fungsi-fungsi teknis pembangunan dan pembiayaannya masih merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hal ini dapat diindikasikan dengan kenyataan bahwa begitu banyaknya “anggaran sektoral” yang harus dikejar oleh pemerintah daerah dengan ‘pendekatan-pendekatan khusus” untuk mendapatkan anggaran tambahan bagi pembangunan ditengah2 tahun anggaran berjalan. Dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sebenarnya tidak lebih dari biaya administasi dan operasioanal pembangunan, bukan sebagai biaya konstruksi pembangunan.

2.3. Pembiayaan Pembangunan Pendapatan Asli Daerah PAD akan merupakan sumber pendapatan utama bagi pembangunan daerah untuk masa yang dating yang diperoleh dari pajakm retribusi, keuntungan dari pengelolaan asset dan sumber pendapatan yang sah lainnya. Sekarang kontribusi PAD kurang dari 10% dari total pendapatan pendapatan daerah setiap tahunnya (DRSP, 2006). Artinya sampai sejauh ini bahwa alokasi anggaran dari pemerintah pusat masih menjadi tumpuan utama, meskipun juga sebagaian dari pembiayaan yang dimiliki pemerintah pusat juga berasal dari daerah seperti bagi hasil pajak. Karena objek dan besaran pajak ditentukan oleh pemerintah pusat.

Dana Alokasi Umum Dana alokasi umum (DAU) adalah sumber utama bagi pendapatan daerah dalam rangka keseimbangan secara vertical dan horizontal. DAU berkontribusi rata2 80% bagi penerimaan daerah kabupaten/kota dan 30% bagi penerimaan propinsi setiap tahunnya. Porsi DAU untuk masing-masing daerah akan secara bertahap akan berkurang seiring dengan tuntutan untuk semakin meningkatkan kemandirian daerah. Tentu hal ini bukan merupakan perkara yang mudah, tapi menjadi tantangan yang besar bagi daerah, sebab jangan sampai demi desentralisasi dan otonomi daerah justru akan menjadi beban baru bagi kaum miskin. Karena bisa dipastikan bahwa ketika pemerintah pusat mengurangi porsi bagi daerah, maka dengan dengan sendirinya pemerintah daerah akan menyiapkan berbagai regulasi yang bias meningkatkan pendapatan daerahnya termasuk dari pajak dan retribusi. Dana Dekonsentrasi Mekanisme pengelolaan dana dekonsentrasi yang terlalu besar oleh propinsi pada kenyataannya menimbulkan inefisiensi dan disalokasi anggaran. Praktek pengalokasian yang tidak transparan memberikan berbagai indikasi kolusi dan korupsi pada level daerah. Mekanisme pengelolaan dan hubungan antara propinsi dengan kabupaten/kota sangat tidak jelas, yang ditunjukan oleh tidak adanya informasi yang cukup di tingkat kabupaten/kota tentang proyek-proyek yang bersumber dari dana dekonsentrasi. Pada sisi lain, mekanisme penetapan dan jumlah alokasi yang diberikan kepada daerah kabupaten/kota yang memperolehnya juga tidak dipahami secara baik oleh berbagai pihak. Belum lagi pola pertanggungjawabannya juga menjadi hal yang sangat tidak jelas bagi daerah sementara dana dekonsentrasi diperuntukan bagi daerah dalam kerangka pelaksanaan kewenangan pusat.

2.4. Penyediaan Pelayanan Publik Standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini merupakan suatu loncatan baru untuk memperbaiki kinerja pemberian layanan publik yang prima. Namun sejalan dengan itu, standar pelayanan yang ada tersebut secara berlebihan menitik-beratkan pada standar-standar fisik dan infrastruktur pelayanan. Sementara kapasitas kelembagaan dan sistem dari penyedia layanan maupun interaksi mereka dengan pengguna jasa layanan tersebut (dalam hal ini citizens) adalah masih sangat minim sekali. Sebagai contoh dalam hal ini adalah standar pelayanan minimum bidang kesehatan, lebih banyak mengatur standar ruang perawatan tanpa diikuti oleh pengaturan yang cukup tentang standar peningkatan disiplin kerja dan keahlian tenaga medis dan apoteker.

3. Permasalahan dan Kecenderungan Ada beberapa permasalahan dan kecenderungan yang menyebabkan situasi seperti yang ada sekarang yaitu : - Distribusi kewenangan yang tidak jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten dan kota, bahkan dengan desa sebagai esensi dari otonomi asli. Contoh pertanian diurus mulai dari pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, sampai dengan desa. Pengklasifikasian kewenangan tidak dilakukan secara tegas sehingga ketika ada permasalahan yang muncul pada sektor pertanian saling melempar tanggungjawab antara level pemerintahan tersebut menjadi hal yang utama sementara persoalan di tingkat petani menjadi tidak kunjung selesai. Secara konkrit dapat di sebutkan disini adalah ketika terjadi persoalan hama belalang di Sumba atau gagal panen yang terjadi diberbagai daerah yang menyebabkan semua pihak harus mencari solusi alternatif untuk membantu petani. Yang ada adalah saling lempar tanggung jawab, atau demikian juga yang terjadi di sektor kesehatan ketika penanganan flu burung sampai sekarang belum juga beres. - Peran propinsi yang mendua sebagai wakil pemerintah pusat dan sekaligus sebagai daerah otonom tidak memberikan manfaat yang cukup signifikan bagi masyarakat daerah maupun bagi pemerintah pusat. Justru hanya menyebabkan pemborosan pembiayaan oleh negara. - Perumusan peraturan perundangan-undangan yang hanya berorientasi pada kepentingan kelompok tertentu dan bersifat jangka pendek tanpa memikirkan kepentingan semua komponen bangsa dan tantangan masa depan, menyebabkan terjadinya tambal-sulam bahkan bongkar pasang substansi pengaturan. - Tidak adanya saling percaya diantara lembaga-lembaga pemerintah maupun antara lembaga pemerintah dengan dunia usaha dan masyarakat, terlebih lagi antara lembaga politik dan partai politik dengan masyarakat sipil dan konstituennya.

5. Tujuan umum Mewujudkan otonomi daerah yang transparan dan akuntabel pada tahun 2030. 6. Strategi Umum Untuk mewujudkan tujuan umum tersebut, maka ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan yaitu antara lain : 1. Melakukan kaji ulang dan perubahan undang-undang pemerintah daerah dan berbagai peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelenggaraan otonomi daerah dan desentralisasi yang didahului oleh amandemen UUD 1945 tentang struktur pemerintah khususnya mengenai eksistensi pemerintah propinsi dan pemerintah desa. 2. Reposisi peran propinsi dengan dua alternatif pilihan yaitu sebagai wakil pemerintah pusat saja tanpa ada DPRD dan Dinas teknis. Dalam hal ini propinsi hanya berfungsi sebagai pusat koordinasi wilayah, dan alternatif kedua adalah propinsi dihilangkan, sementara level pemerintahan menjadi hanya terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa/kelurahan. Sementara kecamatan berfungsi untuk melakukan pembinaan dan koordinasi tingkat desa dan kelurahan sebagai wakil pemerintah kabupaten/ kota. 3. Pembagian kewenangan secara jelas dan tegas, tidak ada kewenangan yang bersifat ”abu-abu” antara pemerintah pusat, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa.

Asia

VIEWS

The Intricate Tapestry of ASEAN Security By Lianita Prawindarti Ph.D. candidate at the School of International Studies, University of Trento, Italy.

HREE years after the ASEAN heads of government laid down the foundations for its existence in Bali, the ASEAN Security Community (ASe) remains a mixed bag of uncertainties amid optimism. In Kuala Lumpur last May, the ASEAN defense ministers met for the first time to reinforce the shared objective that peace and stabilityin the region could be achieved on the basis of common interests in the economic, social and cultural fields, or in other words, 'achieving security through non-security roads.' The principle of comprehensive security was adopted, not only because it brings together a wide range of security issues but also because it establishes interlinked relations between security and other sectors. After 40 years of development, ASEAN has arrived at a point where its member states need to talk more openly about security and shift its framework of security onto a higher plane. As globalizafloh~becomes more critical, security can no longer be perceived solely as a single country's domain, but a collective, regional issue. The Asian Economic Crisis: A Point of No Return for Regional Security The 1997 Asian Economic Crisis had significant implications for a number of ASEAN's member states, mainly the exposure to critical problems in human security. The sharp economic downturn caused by the crisis created uncertainties in the region because it undermined the states' capability in maintaining their individual national security. Even for coun8

I

AsiaViews

JULY-AUGUST 2006

tries unaffected by the crisis, such as Brunei, economic security became a concern, albeit their focuswas more on how to create social harmony by minimizing economic disparity among indigenous Bruneians, and how to promote the country's economic diversity, since Brunei cannot always rely on the oil industry. In addition, the crisis taught ASEAN a significant lesson in regionalism: that boundaries between domestic and regional domains had become blurred, creating a more complex and intricate security environment that could only attained by economic interdependency in other fields. In the case of Southeast Asia, non-traditional security issues arising from domestic instability has proven to be the foremost source of regional instability. Thus, countries in this region must shift their perspective on regionalism and develop a willingness to discuss security issues more openly at the regional level. Security and Democracy: a DoubleEdged Sword The political impact of the Asian economic crisis can be described as a double-edged sword. The crisis provoked conflict between the roles of the state versus civil society in the area of security. In Indonesia, the crisis on the one hand put pressure on the political regime which ultimately led to political unrest but, on the other hand, it provided new opportunities for civil society. This phenomenon related to the process of building good governance as well as to the process of re-conceptualizing domestic and regional security in the wake of the crisis. As human security comprises the idea of individual security, the role of civil society becomes eminent, demonstrating the new linkage between security and democracy. This new linkage explains two things. Firstly, that the active role of civil society can help ASEAN and its members deal with the human security issues. Secondly, by

giving more space for civil society to get involved in the process of regional integration, ASEAN is addressing the public interest at the regional level, which will boost the creation of an epistemic community, promote participatory regionalism in the region, and strengthen the sense of "community" within the ASC. In spite of the increasing role of civil society in the field of security, however, most ASEAN countries are still obsessed with the problem of internal security, in which they highlight the threat against the regime survival and national unity as a continuous post-colonization challenge. This has led some countries to apply tight internal political controls with limited room for political dissent in order to guarantee the internal stability necessary for economic development. In the aftermath of September 11,it is also argued that this kind of policy is chosen in response to the increasing threat of terrorism and fundamentalist movements. Malaysia and Singapore are two countries, which apply Internal Security Act. Brunei modeled its strong internal security apparatus after Singapore's Internal Security Department as it also considers terrorism as an immediate threat to the country. Environmental Security and the Problem of Natural Catastrophes

g

~

• Asia Focus

..

,

4 •

Indonesian Navy warship, KRI Patimura 371, patrolling the Malacca Straits.

Indonesia's problem of environmental degradation has also made a regional impact. Her long history of massive forest fires in Kalimantan and Sumatra has become a regional concern as it impacts its closest neighbors, Singapore and Malaysia. It forced the ASEAN environmental ministers to meet and draft a Regional Haze Action Plan because the Association did not have an institutionalized scheme to mount a regional response. The outbreak of some devastating natural disasters in the region, namely the tsunami and the series of earthquakes in Indonesia can be classified as a new security challenge to countries in the region, especially affecting human security. This humanitarian crisis signaled the need for a regional mechanism to overcome the impact of such catastrophes. Once again, it was proven that there is no single country who can resolve the crisis on its own. One could argue that this now is a good starting point for ASEAN to set up a regional mechanism to respond to humanitarian crisis without being influenced by the classic debate of whether it may undermine the principle of non-intervention within the Association.

When Health Problems are Going Regional Trans-border diseases in the region, such as Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) and bird flu, are new and dangerous security threats. In the case of bird flu, Indonesian authorities recently confirmed their country's 40th death from bird flu. Vietnam is still the country worst affected by bird flu, with 42 human deaths since 2003. But Vietnam has been disease-free since December 2005 and has been praised internationally for its quick and comprehensive response. Learning from Vietnam's case, the key lesson is the importance of high-level government commitment. Both cases cannot be considered simply as an health problem as it has wider implications, especially in the economic sector of countries suffered from the diseases. Maritime and Energy Security These two issues also pose crucial challenges to ASEAN's archipelagic countries. Southeast Asia's strategic position makes it particularly prone to maritime piracy. This region is the hub of international trade and energy traffic. Oil from the Middle East is transported by many multinational firms via the Indian Ocean and the Malacca Straits, to be refined in Southeast Asia, before being moved to support industries in Northeast Asia. The Malacca and Singapore ~
tance given to other forms of transnational crime. Although terrorism is classified as a non-conventional threat, how we respond to this threat is directed by conventional configurations of states. It blurs the distinction between national security and regime security, as national governments tend to employ the idea of the war on terrorism as an opportunity to triumph over their political opponents rather than to protect the society per se. The war on terrorism has given states the opportunity to reassert themselves against societal forces. The American model of "homeland security" has been adopted by Singapore and Malaysia and has taken precedence over civil liberties in the Western society and the principle of self-determination in the developing world. Indeed, the war on terrorism affects human security issues both directly and indirectly. It has stirred anti-American passions across Southeast Asia. In addition, US pressure on Southeast Asian governments to tackle terrorist activities within their borders may lead to the radicalization of the Muslim populations within these countries. This could impair governments' ability to function, which in the end may leave a vacuum in which terrorism and internal conflicts can flourish. Furthermore, the indirect effect of the war on terrorism, for instance, will be the diversion of governments' attention and resources from human security issues. Is There ASingle Formula forASEAN's Multiple Security Threats? Many hope that the ASC will be the answer for some contentious security problems, because the concept of a security community envisions a fabric of institutional, social, economic and political linkages among actors within the region. At the end of the day, these linkages are expected to strengthen a common identity among its members, which would make the use of force unlikely. This is the reason why the "community" element of this concept becomes very important. The idea of "community" within the ASC project is in parallel with the emergence of human security issues across the region. The inclusion of the community aspect is a new approach in enhancing regional cooperation. Until recently, ASEAN was an elite-driven organization with a top-down approach to regional cooperation. However, as human security becomes increasingly more important and concerns the security of individuals, ASEAN has to provide more space to society to become actively involved in the process of building regional security cooperation .• JULY-AUGUST 2006

AsiaViews

I9

DRAFT VISI & STRATEGI TRANSFORMASI POLITIK PERTAHANAN & KEAMANAN INDONESIA Muhammad Najib Azca1 PPI Amsterdam Disusun dalam rangka Pertemuan Pelajar Indonesia: “Indonesia Masa Depan – Peran Kaum Muda” di DenHaag, Juni 2007 Abstrak Indonesia pasca Orde Baru menyisakan problem sistemik di bidang politik pertahanan dan keamanan, terutama karena warisan perang kemerdekaan dan watak otoritarian pada rezim-rezim sebelumnya, baik “Demokrasi Terpimpin” pada era Sukarno dan “Birokratik-Otoriter” pada era Suharto. Bidang pertahanan & keamanan yang dimaksud disini adalah bidang politik tata-pemerintahan yang terkait dengan fungsifungsi keamanan dan pertahanan, khususnya menyangkut lembaga kepolisian dan angkatan bersenjata. Tulisan ini berisi gagasan tentang visi dan strategi transformasi di bidang politik pertahanan dan keamanan dalam rangka membangun masa depan Indonesia yang lebih baik. Kata kunci: keamanan, pertahanan, politik, pemerintahan, militer, polisi KERANGKA DAN POKOK PIKIRAN2 Analisa Kondisi Analisa Masalah 1. Residu besar sumber daya politik militer (khususnya Angkatan Darat) dalam bidang-bidang non-pertahanan Sebagai warisan dari keterlibatan dan peran besar militer dalam perjuangan kemerdekaan RI melalui perang gerilya, militer (khususnya Angkatan Darat, AD) memiliki peran dan sumber daya politik dan ekonomi besar di bidang-bidang non pertahanan (defense section). Peran dan sumber daya yang besar ini diteruskan selama kekuasaan Soekarno (’Demokrasi Terpimpin’) dan semakin meluas dan dilembagakan selama rezim Suharto (’Oder Baru’). Peran dan sumber daya politik besar itu antara lain tercermin dalam hal-hal berikut: (1) terlembaganya lembaga dan struktur komando teritorial AD; (2) dominasi militer di lembaga-lembaga intelijen sipil negara; (3) jejaring luas yang dimiliki dan dibangun oleh militer di ranah bisnis (ICG 2002).

1

Penulis adalah anggota PPI Amsterdam, peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP-UGM) dan dosen pasca sarjana Sosiologi UGM yang sedang menempuh program doktoral di Amsterdam School for Social science Research (ASSR), Universitiet van Amsterdam (UvA). Kontak email: [email protected], [email protected], [email protected] 2 Disusun berdasarkan Bagan Dialektika Indonesia Masa Depan – Suara Kaum Muda 2007.

DRAFT 2. Rendahnya profesionalisme dan ketersediaan sarana bagi pelaksanaan fungsi-fungsi pertahanan bagi militer Sebagai akibat dari luas dan besarnya peran-peran non-pertahanan yang dilakukan oleh militer dalam kurun yang panjang, lembaga militer tidak sempat membangun kultur profesional sebagai angkatan bersenjata. Sebagian besar energi dan kapasitas yang dimiliki oleh lembaga militer justru dicurahkan ke dalam bidangbidang non-kemiliteran. Hal ini diperburuk oleh strategi pengembangan peralatan pertahanan yang hanya bertumpu di sektor darat semata, yang mengakibarkan sektor laut dan udara mengalami kemandegan. 3. Struktur dan budaya lembaga kepolisian yang berwatak sentralistik dan militeristik Sebagai akibat dari posisi kelembagaan untuk kurun yang panjang berada di bawah angkatan bersenjata dan sistem pemerintahan yang sentralistis, maka lembaga kepolisian RI memiliki struktur dan budaya lembaga yang berwatak sentralistik dan militeristik. Struktur dan budaya lembaga semacam itu tentu saja tidak kompatibel dengan perkembangan sosial, ekonomi dan politik Indonesia kontemporer yang mengalami perubahan menjadi lebih demokratis dan bercorak desentralistis. 4. Profil dan kinerja lembaga kepolisian yang buruk, korup dan tidak profesional Sebagai akibat turunan dari struktur dan budaya lembaga kepolisian yang berwatak sentralistik dan militeristik, profil dan kinerja lembaga kepolisian RI tergolong buruk, korup dan tidak profesional. Hal ini tercermin pada rendahnya tingkat pelayanan kepada masyarakat, rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian serta tingginya pelanggaran HAM dan hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan (PSKP-UGM 1999).

DRAFT Analisa Potensi 1. Perubahan sistem politik pasca Order Baru yang berorientasi demokratis Sebagai hasil dari dinamika internal maupun eksternal yang tinggi dan panjang, maka telah terjadi perubahan sistem politik di Indonesia dari yang bersifat otoriter dan sentralistik menjadi lebih demokratis dan desentralistis. Perubahan sistem politik ini membuat terbukanya peluang dan ruang partisipasi dan kontrol yang lebih besar dari warga negara dalam proses politik, baik melalui mekanisme kelembagaan politik maupun melalui peran-peran media massa dan masyarakat warga (civil society). 2. Munculnya generasi baru di lembaga militer dan kepolisian yang berorientasi professional dan berwatak demokratis Sebagai hasil dari proses interaksi sosial dan politik yang semakin luas dan intensif dengan perkembangan lingkungan di sekitarnya, muncul generasi baru di lembaga milter dan kepolisian yang berorientasi profesional dan berwatak demokratis. Generasi baru ini bisa menjadi modal dan sumberdaya dalam proses reformasi dan transformasi kelembagaan di lembaga-lembaga tersebut, khususnya melalui proses kerjasama dan kemitraan (partnership) dengan elemen-elemen progresif dari masyarakat warga (civilsociety). 3. Menguatnya kapasitas dan kompetensi dalam kalangan masyarakat warga (civil society) untuk berpartisipasi dalam masalah pertahanan dan keamanan Sebagai hasil proses sosial politik yang panjang, kalangan masyarakat warga (civil society) telah mengalami perkembangan secara cukup signifikan khususnya dalam penguatan kapasitas dan kompetensi pengetahuan dan keahlian dalam bidang pertahanan dan keamanan. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengetahuan dan keahlian dalam bidang keamanan dan pertahanan ini akan menjadi sumberdaya yang penting dalam penyelenggaraan fungsi-fungsi kontrol dan pengawasan (oversight) yang dilakukan oleh warga negara, baik dalam melalui kelembagaan politik maupun melalui kelembagaan kemasyarakatan.

DRAFT Analisa Trend 1. Gelombang demokratisasi global Muncul gelombang demokratisasi berskala masif di aras global telah membuat proses penyebaran dan pengembangan nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokratis menjadi semakin kuat dan kondusif (Huntington 1999). Sementara itu, di sisi lain, penyebaran dan pengembangan nilai-nilai dan lembaga-lembaga otoritarian menjadi semakin mengalami kesulitan dan mendapatkan banyak kendala dan hamabatan. Situasi dan konteks makro ini menjadi arus dan kecenderunan global yang mempengaruhi dan mewarnai perkembangan di bidang keamanan dan pertahanan. 2. Berkembangnya bentuk-bentuk baru gangguan keamanan nontradisional Salah satu bentuk kecenderungan baru di tingkat global di bidang kemanan dan pertahanan adalah berkembangnya bentuk-bentuk baru ancaman keamanan nontradisional (non-traditional security threat). Bentuk-bentuk ancaman keamanan non-tradisional ini, baik dalam bentuk terorisme, kejahatan terorganisir (organised crime), pembajakan (piracy) hingga penyebaran virus HIV dan flu burung, membuat pembauran batas-batas teritori negara-bangsa serta pemisahan urusan pertahanan dan keamanan. Sebagai akibatnya perlu dilakukan redefinisi dan reformulasi pemisahan sektor pertahanan dan keamanan serta peningkatan kerjasama dan kolaborasi melintasi batas-batas negara-bangsa. 3. Meningkatnya kerjasama pertahanan dan keamanan regional Salah satu trend global lain di bidang pertahanan dan keamanan adalah meningkatknya peran kerjasama pertahanan dan keamanan dalam skala regional. Sebagai akibat dari berubahnya konstelasi dan konfigurasi politik internasional pasca Perang Dingin, dari Bi-Polar menjadi Uni-Polar dan/atau Multi-Polar, maka terjadi pula penyusunan keseimbangan politik global yang baru, yaitu menguatnya kerjasama keamanan dan pertahanan di aras regional (regional bloc). Trend penguatan kerjasama pertahanan dan keamanan di aras regional ini diperkirakan akan menjadi konteks makro yang penting dalam perkembangan internasional mendatang. 4. Meningkatnya fungsi intelijen pertahanan di bidang ekonomi Sebagai akibat dari meningkatnya peran sektor ekonomi sebagai determinan dalam perkembangan sosial politik dan proses pengambilam kebijakan, maka fungsi dan kegiatan intelijen yang secara tradisional diperuntukkan bagi tujuantujuan pertahanan dan keamanan pun semakin dilibatkan dalam pencapaian tujuan-tujuan ekonomi. Dengan demikian salah satu trend makro global mendatang adalah terjadinya kolaborasi dan integrasi antara fungsi-fungsi intelijen di bidang pertahanan dan di bidang ekonomi.

DRAFT 5. Antariksa menjadi domain kontestasi politik-militer dan ekonomi yang makin penting Selain matra darat, laut dan udara, ranah antariksa telah dan sedang menjadi domain kontestasi yang makin penting baik secara militer maupun ekonomi. Superioritas penguasaan informasi, yang menjadi elemen kunci dalam strategi militer maupun ekonomi, semakin tergantung pada penguasaan di ranah antariksa. Karena itulah dalam Visi 2020 NASA tercantum agenda untuk menguasai ranah antariksa dari operasi militer dalam rangka melindungi kepentingan dan invetasi nasional Amerika Serikat. Strategi Transformasi 1. Pengembangan strategi dan kebijakan pertahanan yang berorientasi maritim dan dirgantara sesuai posisi dan konstelasi geo-strategis Indonesia Periode Masyarakat warga 20071. Melakukan 2017 advokasi bagi dilakukannya reformasi kelembagaan dan perundang-undangan menyangkut TNI & Polri 2. Peningkatan kapasitas dan kompetensi MW utk melakukan pengawasan dan kontrol thd TNI & Polri 3. Peningkatan kerjasama internasional MW di bidang pemantauan pertahananan & keamanan di tk regional

Penyelenggara Negara 1. Reformasi kelembagaan dan perundang-undagan yg menempatkan TNI di bawah Dephan dan Polri di bawah Depdagri/Depkeh 2. Penyusunan ’Buku Putih’ strategi dan kebijakan pertahanan dan keamanan RI yg mengubah titik berat pada sektor maritim/udara 3. Peningkatan kerjasama internasional di bidang pertahananan di tk regional 4. peningkatan budget pertahanan secara gradual sesuai kemampuan APBN

Sektor Bisnis 1. Peningkatan kegiatan bisnis di sektor kelautanperkapalan& dirgantara 2. Peningkatan kersama dan aliansi bisnis di bidang kelautan-perkapalan & dirgantara di tk regional 3.

DRAFT 2. Pengembangan strategi pertahanan yang diintegrasikan dengan strategi pengembangan ekonomi dan bisnis

Periode Masyarakat warga 20071. Melakukan kajian 2017 & advokasi bagi perubahan kebijakan strategi pertahanan yang diintegrasikan dengan strategi pengembangan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan sosial 2. Melakukan pengawasan dan pemantauan scr kritis & sistematis thd pola integrasi strategi pertahanan dan pengembangan ekonomi 3. Meningkatan kerjasama internasional MW di bidang pemantauan ekonomipertahananan di tk regional

Penyelenggara Negara 1. Mengintensifkan kajian2 interdispliner dlm bidang ’integrasi ekonomi-pertahanan’, khususnya di bidang intelijen ekonomipertahanan 2. Merumuskan kebijakan baru yang lebih mengintegrasikan strategi pertahanan dengan strategi pengembangan ekonomi nasional 3. Meningkatan kerjasama internasional di bidang ekonomipertahananan di tk regional 4. Meningkatan budget kajian& implementasi ekonomi-pertahanan secara gradual sesuai kemampuan APBN

Sektor Bisnis 1. Menyokong scr finansial maupun teknis upaya2 kajian pengintegrasian strategi pertahanan dg strategi pengembangan ekonomi-bisnis. 2. Membentuk gugus strategis intelijen ekonomi di masingmasing lembaga bisnis yg selanjutnya melakukan fungsi2 sinergis 3. Meningkatan kersama dan aliansi strategis di bidang bisnis dlm pengintegrasian strategi pertahanan dan pengembangan ekonomi .

DRAFT 3. Pengembangan lembaga kepolisian yang profesional, akuntabel dan bercorak dan berorientasi lokal (desentralistik) Periode Masyarakat warga 20071. Melakukan kajian 2017 & advokasi bagi pengembangan lembaga kepolisian yg profesional, akuntabel & bercorak & berorientasi lokal 2. Melakukan fungsi2 pengawasan & pemantauan terhadap kinerja lembaga kepolisian, baik di aras nasional mauoun lokal. 3. Peningkatan kerjasama MW baik di aras lokal, nasional maupun internasional dlm bidang pengawasan & pemantauan lembaga kepolisian

Penyelenggara Negara 1. Pengembangan lembaga kepolisian melalui reformasi UU, struktur kelembagaan maupun budaya organisasi yg lebih sesuai dg tuntutan profesionalisme, akuntabilitas & desentralisme 2. Reformulasi kebijakan keamanan dlm negeri menyesuaikan dg sistem politik & pemerintahan yg bersifat desentralistik. 3. Peningkatan kerjasama internasinal dlm peningkatan profesionalisme, akuntabilitas serta penyesuaian dg sistem politik-pemerintahan yg desentralistis

Sektor Bisnis 1. Menyokong upaya2 peningkatan profesionalisme & akuntabilitas lembaga kepolisian yg berorientasi & bercorak lokal. 2. Bekerjasama dg MW melakukan advokasi bagi pengembangan lembaga kepolisian yg profesional, akuntabel & bercorak & berorientasi lokal 3. Bekerjasama dg MW melakukan fungsi2 pengawasan & pemantauan terhadap kinerja lembaga kepolisian, baik di aras nasional mauoun lokal. .

DRAFT Visi Masa Depan

1. Indonesia memiliki system dan lembaga pertahanan yang kuat dalam menjaga kedaulatan negara dan sekaligus menopang pengembangan ekonomi nasional Indikator: (1) Terumuskannya strategi dan kebijakan pertahanan nasional yang berorientasi maritim (2) Tersedianya sarana dan prasarana kemiliteran secara memadai sebagai penunjang pelaksanaan fungsi-fungsi keamanan dan pertahanan nasional (3) Terumuskannya kebijakan strategis pengintegrasian fungsi pertahanan dan fungsi pengembangan ekonomi (4) Terjalinnya kerjasama yang baik antara elemen penyelenggara negara, masyarakat warga dan sektor bisnis dalam penyelenggaraan fungsifungsi pertahanan yang bersinergi dengan pengembangan ekonomi secara akuntabel dan bertanggung jawab

2. Indonesia memiliki system dan lembaga keamanan (kepolisian) yang professional, akuntabel dan bercorak desentralistik Indikator: (1) Terbangunnya sistem dan lembaga kepolisian yang profesional, akutabel dan bercorak desentralistik (2) Meningkatnya profil dan kinerja lembaga kepolisian yang baik, profesional, akuntabel dan bercorak desentralistik (3) Terbangunnya dan terlembaganya peran pemantauan dan kontrol terhadap lembaga kepolisian dari masyarakat warga dan sektor bisnis

DRAFT Literatur Azca, Muhammad Najib. (2004) Security Sector Reform, Democratic Transition, and Social Violence: The Case of Ambon, Indonesia. Bonn: Berghof Research Center for Constructive Conflict Management; available at http://www.berghof-handbook.net Huntington, Samuel, P. (1999). The Third Wave, Democratization in the Late Twentieth Century. Norman and London: University of Oklahoma Press. International Crisis Group (2000b). Indonesia: Keeping The Military Under Control. Available: http://www.crisisweb.org/projects/asia/indonesia/reports/A400054_05092000.pdf [19 April 2001] International Crisis Group (2001). Indonesia: National Police Reform. Available: http://www.crisisweb.org/projects/asia/indonesia/reports/A400054_05092001.pdf [19 April 2001] Kadi, Saurip (2000). TNI-AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Tim Pokja Propatria (2004) Rekomendasi Arah Kebijakan Keamanan Dalam Negeri 2004-2009. Jakarta Propatria Institute (2004) Arah Kebijakan Pertahanan Negara 2004-2009. Jakarta Propatria Institute (2004) Rekomendasi Arah Kebijakan Keamanan dan Ketertiban Umum 2004-2009. Jakarta Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada dan Dinas Penelitian dan Pengembangan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. (1999). Profil Profesionalisme dan Kinerja Polri: Sebuah Riset Eksploratif. Yogyakarta, Jakarta: Author.

Sukma, Rizal & Prasetyono, Edy. (2003). Security Sector Reform in Indonesia: The military and the Police. Working Paper 9. The Hague: Neterherlands Institute of International Relations ‘Clingendael’. United States Space Command (1997) Vision for 2020 Available at: http://www.spacecom.af.mil/usspace

VISI DAN STRATEGI TRANSFORMASI KONFLIK INDONESIA “Peran Pihak Ketiga dalam Membangun Perdamaian” Shiskha Prabawaningtyas PPI Leiden Disusun dalam rangka Pertemuan Pelajar Indonesia: “Indonesia Masa Depan – Peran Kaum Muda” di DenHaag, Juni 2007

Latar Belakang Konflik komunal dan gerakan separatis dianggap sebagai ancaman utama bagi keamanan dan integritas Indonesia. Sebelum reformasi 1998, negara adalah aktor utama dalam menentukan konsepsi keamanan atas nama kepentingan nasional. Namun kini, konsepsi keamanan bukan lagi menjadi monopoli negara, namun telah bergeser pada konsep keamanan manusia. Kondisi ini memberi ruang yang besar bagi peran masyarakat sipil. Kegagalan negara dalam menjamin keamanan individu bagi setiap warga negaranya telah melegitimasi peran pihak ketiga dalam membangun perdamaian. Penegakan hukum dan jaminan pemenuhan terhadap hak asasi manusia menjadi sentral isu dalam membangun perdamaian. Kata kunci : konflik, keamanan manusia, manajemen konflik, membangun kepercayaan

Analisa Kondisi Masalah 1. Meningkatnya konflik kekerasan komunal di masyarakat pasca reformasi, baik konflik vertikal maupun horizontal yang meliputi isu tanah, lingkungan hidup, agama, hubungan karyawan dan perusahaan. Periode transisi menuju negara demokratis diwarnai oleh melunturnya kepercayaan masyarakat terhadap negara yang berdampak pada lemahnya upaya penegakan hukum. Hilangnya repressi negara seakan membuka keran kebebasan untuk berekspressi. Proses desentralisasi seakan 2. Masih berlanjutnya konflik separatisme di Papua 3. Isu terorisme meningkatkan strategi offensive dari militer, polisi, dan intelijen 4. Ketegangan hubungan pusat dan daerah paska desentralisasi

Potensi 1. Meningkatnya kesadaran atas hak asasi manusia di masyarakat 2. Bergulirnya reformasi sektor keamanan 3. Menguatnya peranan masyarakat sipil: kelas menengah 4. Komitmen negara dalam pemberantasan kemiskinan 5. Meningkatnya arus informasi yang mempermudah upaya pendidikan

Analisa Trend 1. Menguatnya arus demokratisasi dan liberalisasi pasar 2. Komitmen dunia (red:UN) dalam pengentasan kemiskanan dunia 3. Munculnya kembali pola-pola keamanan atas dasar referensi negara teruatam untuk mengatas masalah terorism 4. Tumbuhnya kekuatan ekonomi baru: Uni Eropa, China dan Rusia yang akan menantang dominasi Amerika Serikat Strategi Transformasi 1. Peningkatan pendidikan tentang perdamaian 2. Penguatan kapasitas institusi dan pembangunan ekonomi 3. Penguatan simpul-simpul institusi yang berperan sebagai arbiter dalam penyelesaian masalah

Visi Masa Depan 1. Kepastian hukum 2. Institusi yang syarat atas kesadaran hak asasi manusia 3. Instutisi keamanan -- militer, polisi dan intelijen yang professional dan akuntable

Shiskha Prabawaningtyas

Apakah pengentasan kemiskinan sudah tepat sasaran ? Oleh :

Anwar Sadat Sari Siregar Pendahuluan Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

Perhatian pemerintah pasca reformasi terhadap pengentasan kemiskinan terlihat lebih besar , apalagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Namun demikian solusi pengentasan kemiskinan yang di terapkan pemerintah masih saja tidak dapat mengurangi angka porsentase penduduk miskin di Indonesia. Mengacu pada data yang dikeluarkan BPS ( badan pusat statistik) pada 1 September 2006 , porsentase angka penduduk miskin pasca kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) di Indonesia pada bulan Maret 2006 sebanyak 39,05 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk. Dibandingkan dengan kondisi Februari 2005, berarti jumlah penduduk miskin bertambah 3,95 juta orang, dengan catatan 2,06 juta di perdesaan dan 1,89 juta di perkotaan.

Berangkat dari data data tersebut saya melihat bahwa masih banyak pekerjaan pekerjaan rumah yang masih harus diperbaiki agar program-program pengentasan kemiskinan dapat memenuhi target.

Rumpun masalahan •

Tingginya angka masyarakat miskin dari tahun ke tahun



Solusi yang ditawarkan ternyata selama in itidak menyelesaikan masalah



Tidak adanya defenisi atau kriteria masyarakat yang seperti apa yang di sebut miskin

Analisa permasalahan Permasalahan kemiskinan , seharusnya di mulai dari pertanyaaan Siapakah yang dimaksud masyarakat miskin tersebut ?

Program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk masyarakat miskin. Hal itu, antara lain, berupa bantuan beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin dan juga pemberian kompensasi BBM . Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada, karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.

Seharusnya program pengentasan kemiskinan tersebut lebih diarahkan kepada penciptaan budaya mandiri sehingga dapat mengurangi ketergantungan akan bantuan pemerintah secara terus menerus . Hal ini tercermin pada slogan : „ Memberi kail lebih baik daripada memberi ikan“.

Melihat salah satu program kelanjutan yang telah dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) bersama lintas sektoral mulai Juli 2007 akan meluncurkan Program Keluarga Harapan (PKH) berupa pemberian bantuan langsung tunai kepada 500.000 ibu rumah tangga miskin (RTM) yang sedang hamil, memiliki balita atau anak usia sekolah SD-SMP. Hal ini mencerminkan bahwa program pengentasan kemiskinan yang di formulasikan masih menyebabkan ketergantungan yang berkelanjutan.

Menurut Hamonangan Ritonga Kepala Subdit pada Direktorat Analisis Statistik, Badan Pusat Statistik , „faktor lain yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pengentasan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya tentu saja berbeda beda secara lokal“.

Hal ini tentu saja menjadi salah satu faktor penting dikarenakan kondisi NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang sangat bhinneka. Kebhinnekaan ini terlihat dari beragamnya

Usulan solusi permasalahan Melihat permasalan yang ada di sesuaikan dengan kondisi saat ini dan tentunya jangka panjang maka diperlukan satu rumusan penyelesain yang tepat sasaran. Dengan melibatkan komponen pemerintah dan swasta . Usulan strategi penyelesain masalah adalah :

Swasta

Pemerintah

Dialog dua-arah

Hasil Dialog

Lapangan Kerja

Masyarakat Miskin

Bagan usulan strategi

1. pemberdayaaan masyarakat miskin yang difokuskan pada perluasan kesempatan berusaha melalui peningkatan industri swasta 2. adanya kebijakan pemerintah yang mendukung terciptanya lapangn kerja yang bekerjasama dengan pihak swasta , seperti : pengurangan pajak, bantuan modal usaha dan memberikan kemudahan ijin usaha

Kesimpulan Penyelesaian permasalahan kemiskinan tentunya perlu melibatakn element terkait , dalam hal ini pihak industri atau swasta adalah satu pilihan yang baik untuk penciptaaan lapangan kerja . Sehingga dengan terserapnya tenaga kerja yang notabene adalah rakyat miskin, maka diharapkan prosentase angka kemiskinannpun akan menurun secara paralel. Dan juga ketergantungan masyarakat miskin terhadapa pemerintah tidak lagi terjadi. Kerjasama yang dibangun antara pemerintah dan swasta memungkinkan untuk menekan porsentase angka kemiskinan menjadi lebih positif.

Referensi http://kompas.com/kompas-cetak/0609/14/opini/2953305.htm http://www.menkokesra.go.id/content/view/4162/39/ Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 54 tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

Fenomena Urbanisasi Kota Kecil dan Menengah di Indonesia dan Tantangan Pembangunannya Oleh : Fadjar Hari Mardiansjah12 Pengantar Pada akhir dasawarsa ini, lebih dari 50% dari seluruh penduduk Indonesia bermukim di wilayah perkotaan. Sementara itu, hampir 70% di antaranya tinggal di kota-kota kecil dan menengah yang masing-masing kota tersebut berpenduduk kurang dari 500.000 jiwa. Walaupun estimasi tetap memperkirakan bahwa proporsi penduduk kota-kota kecil dan menengah tersebut tetap berada pada sedikit di bawah angka 70%, namun dengan jumlah dan pertambahan jumlah penduduk wilayah perkotaan Indonesia yang cukup tinggi maka, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kota-kota kecil dan menengah tersebut mencapai angka yang cukup tinggi, yaitu sekitar 60,2 juta jiwa di tahun 2000, yang akan menjadi sekitar 86,5 juta jiwa di tahun 2010 dan kemudian menjadi 98,6 juta jiwa di tahun 2015. Diperkirakan angka ini akan terus membesar dengan terus berkembangnya jumlah penduduk perkotaan di Indonesia. Dengan demikian, kota-kota kecil dan menengah Indonesia akan memiliki peran penting dalam membangun masa depan dari bangsa Indonesia. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dapat mengidentifikasi tantangan pembangunan kota-kota kecil dan menengah Indonesia, agar kota-kota tersebut dan hubungan keterkaitan di antaranya serta hubungannya dengan kota-kota lainnya dapat berfungsi sinergis sebagai media peningkatan kualitas hidup dari penduduk perkotaan Indonesia. Selain itu, dalam suatu pandangan yang berbasis pada pendekatan sistem integratif dalam pembangunan, identifikasi terhadap tantangan tersebut juga sangat penting untuk dapat meningkatkan peran kota-kota kecil dan menengah Indonesia untuk mampu berperan sebagai ‘interface’ atau penghubung antara kegiatan di sektor pedesaan dengan kegiatan-kegiatan lainnya di sektor perkotaan, baik yang berada di wilayah kota-kota kecil dan menengah tadi maupun yang berada di wilayah kota-kota lain yang lebih besar. Dengan demikian, peningkatan aktivitas dan pembangunan di wilayah kota-kota kecil juga dapat meningkatkan aktivitas dan pembangunan di wilayah pedesaan di sekitarnya sehongga peningkatan kualitas hidup juga akan terjadi di wilayah pedesaan di sekitar kotakota kecil dan menengah tadi.

1

Staf Pengajar pada Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro, Semarang Indonesia – Pelajar pada Institut Français d’Urbanisme, Université Paris 8, Perancis. 2 Disampaikan pada Konferensi Indonesia Masa Depan – Suara Kaum Muda, yang diselenggarakan bersama oleh Jejaring Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Eropa (PPI Belanda, Jerman, Itali, Perancis dan Spanyol), di Den Haag – Belanda, 22-24 Juni 2007.

1

Untuk dapat memberikan kontribusi terhadap pemahaman tentang tantangan pembangunan kota-kota kecil dan menengah Indonesia, makalah ini pertama-tama akan menguraikan fenomena pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia dengan memberi perhatian pada penduduk kota-kota kecil dan menengah, yang diindikasikan oleh jumlah penduduk perkotaan pada kota-kota dengan jumlah penduduk di bawah 500.000 jiwa untuk setiap kotanya. Kemudian, makalah ini dilanjutkan dengan pembahasan tentang peran kota dalam pembangunan dan pengembangan wilayah serta kebutuhan untuk mampu memenuhi peran sambil menjawab tantangan tersebut. Selanjutnya, makalah ini akan diakhiri dengan perumusan beberapa dimensi tantangan dalam pembangunan kota-kota kecil dan menengah di Indonesia. Prospek Urbanisasi Indonesia: Pertumbuhan Penduduk Kota-kota Kecil dan Menengah Dari sudut pandang demografis, Indonesia telah memasuki suatu babak baru dalam pembangunan nasionalnya. Sejak pertengahan paruh kedua dekade 2000-2010, untuk pertama kalinya, lebih dari 50% penduduk Indonesia telah tinggal dan bermukim di wilayah-wilayah perkotaan Indonesia yang terdiri dari kota-kota besar, kecil dan menengah. Berdasarkan catatan statistik dari Divisi Kependudukan PBB, diperkirakan bahwa 126,6 juta (53,7%) dari 236 juta jiwa penduduk Indonesia akan tinggal di wilayah perkotaan di tahun 2010 (UN Population Division, 2007). Angka tersebut merupakan suatu peningkatan dari 87,9 juta jiwa (42%) dari 209,2 juta jiwa penduduk Indonesia di tahun 2000. Dengan demikian, penduduk perkotaan Indonesia telah berkembang dengan laju pertumbuhan sekitar 3,5% per tahun dengan pertambahan sebesar 38,7 juta jiwa di antara tahun 2000-2010. Sementara itu, penduduk pedesaannya berkurang dari sekitar 121,3 juta jiwa di tahun 2000 menjadi sekitar 109,2 juta jiwa di tahun 2010. Gambar 1. Pertumbuhan Penduduk Indonesia serta Perbandingannya dengan Penduduk Perkotaan dan Pedesaan antara tahun 1950-2030 (dalam juta jiwa) 300 250 200 150 100 50 0 1950

1960

1970 Total

1980

1990

2000

Perkotaan

2010

2020

2030

Pedesaan

Sumber : UN Population Division, 2007. Keterangan : angka setelah tahun 2000 merupakan angka hasil prediksi. 2

Pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut diakibatkan oleh tiga buah faktor. Faktor pertama adalah faktor pertumbuhan alami yang merupakan selisih dari jumlah kelahiran dengan jumlah kematian. Kedua adalah faktor pertumbuhan migrasional, sebagai hasil selisih dari migrasi masuk dengan migrasi keluar wilayah perkotaan. Sementara faktor ketiga adalah faktor reklasifikasi yang dapat didefinisikan sebagai suatu perubahan status kawasan akibat perubahan kondisi kawasan dari kawasan non-perkotaan menjadi suatu kawasan perkotaan di waktu berikutnya sebagai hasil dari kegiatan pembangunan yang dilakukan pada kawasan tersebut. Berdasarkan karakteristik lokasinya, faktor terakhir dapat dibedakan menjadi dua buah kategori, yaitu reklasifikasi akibat perluasan/aneksasi suatu kota yang terjadi pada wilayah pinggiran dari sebuah kota utamanya, dan reklasifikasi yang terjadi sebagai akibat pemunculan suatu kota kecil sebagai akibat dari pertumbuhan dari suatu kawasan pedesaan dan/atau pusat desa menjadi sebuah kawasan perkotaan yang memiliki aktivitas yang semakin intensif dan beragam. Menurut Tommy Firman (2004), seorang perencana gegrafis di ITB, hanya sekitar 35,2% pertumbuhan penduduk perkotaan di antara tahun 1980 ke 1985 yang diakibatkan oleh pertumbuhan alami. Estimasi lainnya untuk antara tahun 1990-1995, memperlihatkan bahwa pertumbuhan alami memberi kontribusi sebesar 37% kepada pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia (Firman, 2004). Sementara itu, sisanya, yaitu sebesar 64,8% di antara tahun 1980-1985 dan 63% di antara tahun 1990-1995, diakibatkan oleh pertumbuhan akibat migrasi dan reklasifikasi (Firman, 2004). Sayangnya tidak terdapat data yang memperlihatkan masing-masing kontribusi dari kedua faktor tadi, yang diakibatkan oleh adanya kesulitan perolehan data yang diperlukan untuk memperhitungkan berapa besar kontribusi dari masingmasing dari kedua faktor terakhir. Juga sayangnya belum terdapat informasi lain yang memperlihatkan kontribusi pertumbuhan penduduk alami kepada pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia untuk waktu terakhir. Namun gambaran tersebut, memperlihatkan bahwa kontribusi pertumbuhan alami pada pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia hanya sekitar 35%. Simpulan ini dapat disampaikan karena pada penelitiannya yang lain Tommy Firman (2003) mengemukakan terdapatnya penurunan tingkat kesuburan (fertility rate) penduduk Indonesia dari 5,7 di tahun 1967-69 menjadi 2,9 di tahun 1994, dan kemudian turun lagi menjadi 2,6 di tahun 2002, dimana apabila dibedakan antara penduduk perkotaan dan penduduk pedesaan, biasanya tingkat kesuburan penduduk perkotaan lebih rendah daripada tingkat kesuburan pada penduduk pedesaan sebagai hasil perbedaan gaya hirup dan pandangan-pandangan sosial yang dianut oleh kedua kelompok masyarakat tersebut.

3

Gambar 2. Pertumbuhan Penduduk Perkotaan Indonesia untuk Setiap Jenis Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk yang Ditampung per Kota, Tahun 1980, 2000, 2010 dan 2015 (dalam juta jiwa)

160 140 120 100 80 60 40 20 0 1980 kurang dari 500 ribu

2000

2010

500 ribu - 1 juta

1 - 5 juta

2015 5 - 10 juta

10 juta lebih

Sumber data: UN Population Division, 2007. Keterangan: angka setelah tahun 2000 merupakan angka hasil prediksi. Apabila ditinjau secara lebih detail untuk jumlah penduduk perkotaan Indonesia untuk tiap jenis kota berdasarkan jumlah penduduknya (lihat Gambar 2), dimana jumlah penduduk kota-kota kecil dan menengah ditunjukkan oleh jumlah penduduk perkotaan untuk kota-kota dengan jumlah penduduk kurang dari 500 ribu jiwa untuk setiap kotanya, maka walaupun proporsinya relatif tetap berada di sekitar angka 68% setelah meningkat dari 58% di tahun 1980 (lihat Tabel 1), namun jumlah absolutnya selalu meningkat dengan pesat. Jumlah penduduk kota-kota kecil dan menengah Indonesia meningkat dengan sangat pesat dari kurang dari 20juta di tahun 1980 menjadi lebih 60 juta di tahun 2000, berarti menjadi lebih dari tiga kali lipatnya hanya dalam waktu 20 tahun. Kemudian, walaupun akan memiliki perlambatan bila dibandingkan dengan pertumbuhan di periode sebelumnya, penduduk perkotaan kecil dan menengah Indonesia akan meningkat menjadi sekitar 68,5 juta di tahun 2010 dan hampir mencapai 100 juta jiwa di tahun 2015. Sayangnya belum terdapat informasi mengenai jumlah kota (aglomerasi perkotaan) untuk kota-kota kecil dan menengah ini. Namun apabila diasumsikan bahwa setiap kota tersebut memiliki jumlah penduduk 500 ribu jiwa maka akan terdapat sekitar 200 buah kota kecil dan menengah. Padahal, jumlah penduduk dari kota kecil dan menengah Indonesia berkisar di antara puluhan ribu jiwa hingga ratusan ribu jiwa penduduk, sehingga dengan demikian maka akan terdapat ratusan buah kota kecil, yang didefinisikan sebagai kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu jiwa, dan kota menengah yang didefinisikan sebagai kota dengan jumlah penduduk antara 250-500 ribu jiwa.

4

Tabel 1. Jumlah dan Proporsi Penduduk Perkotaan Indonesia per Tiap Jenis Kota Tahun 1980, 2000, 2010 dan 2015 (dalam juta jiwa) Jumlah penduduk per jenis kota kurang dari 500 ribu 500 ribu - 1 juta 1 - 5 juta 5 - 10 juta lebih dari 10 juta Total

1980 (juta jiwa) (%) 19,191 57.9 3,255 9.8 4,742 14.3 5,984 18.0 0 0.0 33,172 100.0

2000 (juta jiwa) (%) 60,194 68.5 6,171 7.0 10,431 11.9 0 0.0 11,065 12.6 87,861 100.0

2010 (juta jiwa) (%) 86,483 68.3 6,051 4.8 18,830 14.9 0 0.0 15,206 12.0 126,570 100.0

2015 (juta jiwa) (%) 98,607 68.3 5,810 4.0 17,839 12.4 5,338 3.7 16,822 11.6 144,416 100.0

Sumber data : UN Population Division, 2007. Untuk antara tahun 1980-1990, khusus untuk kasusnya di Pulau Jawa, secara spasial, Tommy Firman (1992) mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk perkotaan Indonesia terutama terjadi di dua buah kelompok lokasi, yaitu wilayah-wilayah kabupaten yang berada di sekitar kota besar, dan kabupaten-kabupaten yang berlokasi di sekitar jaringan jalan regional utama, atau gabungan dari kedua karakteristik lokasi tersebut. Karakteristik lokasi pertama diperlihatkan oleh Kabupaten Kerawang, Bekasi dan Depok di sekitar Kota Jakarta, Kabupaten Bandung di sekitar Kota Bandung, Kabupaten Semarang di sekitar Kota Semarang, Kabupaten Bantul, Sleman dan Klaten di sekitar Kota Yagyakarta, Kabupaten Gresik dan Sidoarjo di sekitar Kota Surabaya, dan Kabupaten Malang di sekitar Kota Malang. Karakteristik lokasi kedua diperlihatkan oleh Kabuaten Indramayu, Cirebon, Tegal, Pemalang dan Pekalongan yang berlokasi di jaringan jalan utama pantai utara Jawa yang menghubungkan antara Jakarta dan Semarang ; Kabupaten Semarang, Boyolali, Klaten Sukoharjo, dan Sleman yang berada di sekitar jaringan jalan regonal utama yang menghubungkan Kota Semarang, Yogyakarta dan Surakarta ; serta Kabupaten Mojokerto, Jombang dan Kediri yang terletak di antara segitiga jaringan jalan regional utama yang menghubungkan Surabaya-Malang-Kediri. Namun demikian juga terdapat beberapa kabupaten yang tidak berada di antara kedua karakterik lokasi di atas seperti Kabupaten Jepara dan Situbondo. Diperkirakan bahwa kasus urbanisasi di Kabupaten Jepara sangat dipengaruhi oleh ketersediaan ‘local genius’ yaitu industri mebel dan perlengkapan rumah tangga lain yang didukung oleh keterampilan dan seni ukirnya yang khas. Aktivitas tersebut yang diperkirakan menjadi pendorong proses urbanisasi dan peningkatan penduduk perkotaan di kabupaten ini. Namun, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti faktor-faktor yang mendorong terjadinya pertumbuhan penduduk perkotaan di wilayahwilayah tersebut, yang dipandang dari dimensi yang lebih luas daripada sekedar dimensi demografis namun juga termasuk dimensi ekonomi, sosial, fisik dan kebijakan. Selanjutnya, dalam analisisnya yang serupa namun untuk tahun yang berbeda yaitu untuk tahun 1990-2000, Tommy Firman (2003) memperlihatkan bahwa fenomena tersebut di atas terus menguat dan mendapat penguatan sehingga proses urbanisasi yang terjadi kemudian juga mengikutsertakan beberapa kabupaten lain di sekitar pusat-pusat konsentrasi urbanisasi wilayah tadi. Beberapa kota yang kemudian terpengaruhi sehingga meningkat laju pertumbuhan penduduknya adalah Kota Bogor yang meningkat pertumbuhan penduduknya dari 0,94% per tahun antara 1980-1990 menjadi 10,98% per tahun antara 1990-2000 sehingga meningkatkan jumlah penduduknya dari 271.341 jiwa di tahun 1990 menjadi 743.086 jiwa di tahun 2000, Kota Sukabumi dari 0,87% menjadi 7,98% dengan penduduk dari 119.938 menjadi 252.025 jiwa, Kota Salatiga dari 1,34% menjadi 4,54% dengan penduduk dari 98.012 5

jiwa menjadi 150.494 jiwa. Sementara kabupaten-kabupaten yang meningkat pertumbuhan penduduk perkotaannya di antara tahun 1990-2000 namun belum mengalami proses urbanisasi pesat di periode sebelumnya adalah Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Sumedang di Propinsi Jawa Barat, serta Kabupaten Demak dan Kabupaten Sragen di Propinsi Jawa Tengah. Dalam demikian, dengan mempelajari kasus yang terjadi di Pulau Jawa, pertumbuhan penduduk kota-kota kecil dan menengah di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh keberadaan kota-kota besar, ketersediaan jaringan jalan rgional dan infrastruktur penunjang kegiatan perkotaan, serta ketersediaan sumber daya aktivitas ekonomi yang ada di wilayahnya. Selanjutnya, dengan berkembangnya proses urbanisasi dan kegiatan ekonomi perkotaan pada kota-kota kecil dan menengah, proses urbanisasi tersebut kemudian menghasilkan suatu percampuran aktivitas perkotaan dan aktivitas pedesaan, seperti tercampurnya kegiatan pertanian tanaman pangan, terutama padi, dengan aktivitas industri, perdagangan dan transportasi. Terry McGee (1990) mengemukakan proses urbanisasi kotakota kecil tersebut sebagai suatu proses yang meliputi pertumbuhan wilayah aktivitas pertanian dan non-pertanian yang dicirikan oleh adanya interaksi intensif dari aliran komoditas dan orang. Dalam artikelnya tersebut, Terry McGee kembali menegaskan pendapatnya sebelumnya yang mengemukakan bahwa urbanisasi kota-kota kecil dan menengah di Asia didorong oleh beberapa karakteristik : pertama, adanya kepadatan penduduk yang sangat tinggi ; kedua, umumnya berupa wilayah pertanian pangan dengan tingkat kepemilikan lahan petani yang relatif sempit ; ketiga, adanya kota-kota besar sebagai pendorong urbanisasi ; keempat, adanya pertumbuhan aktivitas ekonomi yang terampur antara aktivitas pertanian dengan kegiatan non-pertanian yang meliputi industri, perdagangan dan transportasi ; kelima, adanya interaksi antara desa dan kota yang cukup baik ; dan terakhir, adanya percampuran penggunaan lahan yang cukup intensif di dalam lingkungan permukimannya yang meliputi penggunaan lahan pertanian, industri-industri kecil, kawasan industri dan penggunaan lahan permukiman yang berdampingan antara satu dengan lainnya (McGee, 1987). Selain itu, pertumbuhan penduduk dan urbanisasi kota-kota kecil dan menengah tersebut juga didukung oleh perkembangan teknologi yang sangat cepat, terutama teknologi dalam bidang transportasi, informasi dan komunikasi. Dalam konteksnya di Propinsi Jawa Tengah, pertumbuhan penduduk perkotaan di kota-kota kecil yang terdapat di kabupaten-kabupaten di Jawa Tengah terjadi jauh lebih pesat daripada yang terjadi di kota-kota utamanya. Walaupun rerata laju pertumbuhan penduduk perkotaannya telah berkurang dari 6,15% manjadi 5,76% per tahun dari periode 1980-1990 ke periode 1990-2000 (Mardiansjah, 2005b), namun beberapa kabupaten mengalami loncatan laju pertumbuhan yang sangat tinggi. Kabupaten Sragen mengalami loncatan dari 2,17% menjadi 12,7%, sementara Kabupaten Pekalongan mengalami loncatan dari 3,22% menjadi 6,47% dan Kabupaten Pemalang dari 4,21% menjadi 7,01%, pada periode yang sama (Mardiansjah, 2005b). Semantara itu, rerata laju penduduk perkotaan Kota Semarang, ibukota propinsinya, hanya meningkat dari 1,96% menjadi 2,36% untuk perioda waktu yang sama. Selain itu, dari 29 buah kabupaten yang ada di Propinsi Jawa Tengah, dua buah kabupaten yaitu Kabupaten Sragen (12,7%) dan Demak (11,2%) memiliki laju pertumbuhan penduduk perkotaan lebih dari 10% per tahun pada periode 1990-2000, dan 16 kabupaten lainnya memiliki laju pertumbuhan penduduk perkotaan antara 5-10% per tahun (Mardiansjah, 2005b). Hanya satu buah kabupaten, yaitu Kabupaten Wonosobo, yang memiliki laju pertumbuhan penduduk perkotaan di bawah 2,5% per tahun. Sisanya, yaitu 10 kabupaten 6

lainnya, memiliki laju pertumbuhan penduduk perkotaan antara 2,5-5% per tahun di antara tahun tersebut. Walaupun jumlah penduduk perkotaan absolutnya raltif kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk perkotaan di kota-kota utamanya, namun fenomena ini mengindikasikan bahwa proses urbanisasi yang terjadi di kota-kota kecil dan menengah di Jawa Tengah telah terjadi dengan pesat. Akibatnya, jumlah penduduk perkotaan yang terdapat di wilayah Propinsi Jawa Tengah telah menjadi semakin tersebar pada kawasan kota-kota kecil, dan walaupun aktivitas perekonomian perkotaan di propinsi ini pun telah mulai tersebar keluar dari kota-kota utamanya, namun berbagai ‘persoalan perkotaan’ seperti berkembangnya permukiman kumuh, polusi dan penurunan/degradasi lingkungan, dan kurangnya sediaan infrastruktur, juga telah menjadi permasalahan bagi banyak kota-kota kecil di Jawa Tengah. Namun, di sisi lain, kesiapan institusi dari banyak kabupaten di wilayah Jawa Tengah dan juga di wilayah lainnya di Indonesia dalam menghadapi proses urbanisasi kota-kota kecil dan menengahnya perlu mendapat perhatian serius. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Tegal memperlihatkan bahwa Pemerintah Kabupaten Tegal belum menempatkan ancaman dan tantangan proses urbanisasi kota-kota kecil tersebut ke dalam prioritas utama (Mardiansjah dan Waluyo,2005). Penduduk perkotaan di wilayah Kabupaten Tegal yang meningkat dari 262.375 jiwa di tahun 1980 (23,8% dari total penduduknya di tahun 1980), menjadi hampir dua kali lipatnya yaitu 494.077 jiwa di tahun 1990 (40% dari total penduduknya di tahun 1990), dan kembali meningkat menjadi 755.651 jiwa di tahun 2000 (55% dari total penduduknya di tahun 2000) telah menjadikan kabupaten ini menjadi salah satu dari lima kabupaten Jawa Tengah yang penduduk perkotaannya lebih banyak daripada penduduk pedesaannya sejak sebelum tahun 2000, yaitu Kabupaten Sukoharjo, Kudus, Klaten, Tegal dan Jepara (Mardiansjah, 2005b), belum menjadikan kabupaten ini berorientasi untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan perkotaan yang akan dihadapi. Hal ini diindikasikan dari semakin berkembangnya permasalahan-permasalahan perkotaan yang semakin tidak tertangani seperti kemacetan, kurangnya penyediaan sarana dan prasarana lingkungan permukiman, pengkumuhan dan penurunan/degradasi kualitas lingkungan perkotaan, serta polusi linngkungan yang diakibatkan oleh kualitas pengelolaan sampah yang kurang baik. Persoalan-persoalan tersebut semakin diperparah dengan adanya fenomena tidak terkontrolnya konversi lahan pertanian manjadi lahan untuk aktivitas perkotaan dan nonpertanian lainnya. Tanpa suatu upaya pengelolaan pembangunan kota yang lebih baik untuk menghadapi implikasi fenomena urbanisasi di kota-kota kecilnya tersebut, maka dikhawatirkan bahwa permasalahan-permasalahan urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar termasuk bencana-bencana lingkungan dan bencana-bencana kesehatan juga akan terjadi di wilayah kabupaten ini. Apabila hal itu terjadi, maka dalam jangka dekat persoalan-persoalan tersebut akan sangat berpengaruh kepada kualitas hidup warganya, dan dalam jangka panjang akan menjadi salah satu hambatan dalam pembangunan wilayahnya.

7

Peran Kota Kecil dan Menengah dalam Pembangunan Wilayah Kota merupakan tempat yang sangat penting dalam sejarah peradaban manusia di bumi. Sejak awal perkembangannya, kota merupakan tempat yang menawarkan peluangpeluang pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. Dalam hal ini, kota menjadi titik sentral bagi pengembangan banyak kegiatan seperti pertumbuhan ekonomi, pengembangan ilmu pengetahuan dan budaya, peningkatan inovasi, penciptaan peluang kerja, dan lain sebagainya. Selain itu, kota juga merupakan pusat-pusat kehidupan modern bagi lingkungan di sekitarnya yang sekaligus berfungsi sebagai tempat pertemuan dan pertukaran budaya dari masyarakat suatu daerah dengan masyarakat daerah lainnya, sehingga selain menjadi pusat pengembangan aktivitas ekonomi, kota juga merupakan pusat penting bagi pengembangan kehidupan sosial dan budaya. Dalam konteks ini, kota merupakan suatu tempat penting yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan warganya. Selain itu, dengan memandang keterkaitan dan interaksi antar-kota serta antara kota dengan wilayah di sekitarnya, maka kota juga berfungsi sebagai penguat jejaring aktivitas sosial, ekonomi dan budaya sehingga dengan demikian maka kota juga berfungsi sebagai tempat penyebaran kesejahteraan bagi kelompok masyarakat lain yang tidak tinggal di dalam wilayah kota tersebut. Pemusatan kegiatan pada suatu wilayah kota serta kepadatannya yang tinggi, mungkin merupakan suatu hal yang bagus apabila ditinjau dari sudut pandang upaya peminimalan dampak aktivitas manusia kepada lingkungan ekosistem setempat (Cohen, 2006). Hal ini disebabkan karena dengan pemadatan aktivitas tersebut maka upaya mitigasi/penanggulangan dampaknya bisa dilakukan secara lebih efektif dan lebih efisien pada suatu skala ekonomi yang mencukupi. Namun, semakin berkembangnya sebuah kota, maka upaya pengelolaan aktivitas dan pembangunannya akan menjadi semakin kompleks. Barney Cohen (2006) mengemukakan bahwa pertumbuhan perkotaan yang cepat banyak membawa persoalan pelik pada sebagian besar kota di negara berkembang sebagai akibat terbatasnya kemampuan setiap kota dalam memenuhi kebutuhan pelayanan dasar perkotaan warganya yang jumlahnya berkembang dengan pesat. Beberapa hal yang menjadi perlu mendapat perhatian penting di dalamnya adalah penyediaan sarana dan prasarana dasar perkotaan bagi warga kota seperti perumahan, air bersih, sanitasi, listrik, dan lain-lain, serta perhatian terhadap pencegahan bencana perkotaan baik merupakan bencana lingkungan seperti banjir, longsor dan sebagainya maupun bencana kesehatan yang diakibatkan oleh penyebaran penyakit menular seperti demam berdarah, muntaber, flu burung dan lain sebagainya. Persoalan lain yang juga perlu mendapat perhatian adalah kemampuan kota dalam menciptakan kesempatan kerja yang mampu mendukung kehidupan warga kota untuk hidup secara layak, perlindungan terhadap kondisi dan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam perkotaan, dan penciptaan kohesi sosial di antara masyarakat perkotaan. Rendahnya kemampuan teknik dan otoritas dari institusi pengelolaan pembangunan kota, serta kemampuan finansial dan sumber daya manusia bila dibandingkan dengan kebutuhannya, banyak membuat kota-kota di negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi banyak persoalan penting seperti pengangguran, kemiskinan, berkembangnya permukiman kumuh, kemacetan dan tidak terkendalinya pertumbuhan kota serta degradasi lingkungan hidup perkotaan, yang banyak dipengaruhi oleh ketidak-mampuan penyediaan infrastruktur dan fasilitas pelayanan kota lain untuk memenuhi kebutuhan seluruh warganya yang tumbuh dengan pesat.

8

Dalam analisisnya terhadap kebijakan pembangunan perkotaan di Asia, Dennis A. Rondinelli (1991) melaporkan bahwa lebih dari 60% penduduk Kolkata bermukim pada permukiman kumuh yang sebagian besar di antaranya dilakukan secara ilegal. Selain itu, lebih dari 40% penduduk Bombay dan lebih dari sepertiga dari mereka yang tinggal di New Delhi, Dhaka dan Manila juga tinggal di dalam lingkungan permukiman yang jauh di bawah standar yang layak (Rondinelli, 1991). Di bagian lain, Rondinelli (1991) juga mengatakan bahwa sebagai akibat dari rendahnya kemampuan penyediaan air bersih di Jakarta, Bangkok dan Seoul, maka kota-kota tersebut menghadapi permasalahan besar pada kemiskinan dan kesehatan masyarakat. Dalam artikel lainnya, Werlin (1999) mengemukakan bahwa rendahnya penyediaan pelayanan perkotaan di banyak kota negara berkembang telah mengakibatkan kota-kota tersebut memiliki ancaman-ancaman lingkungan yang sangat besar. Kondisi Kota Jakarta yang hanya mampu menyediakan jaringan air bersih kepada kurang dari 20% warganya telah memaksa 45% warga Jakarta untuk bergantung kepada air tanah dangkal dalam pemenuhan air bersihnya (Werlin, 1999), dan lebih dari 11% lainnya bergantung kepada penjaja air (Hendrojogi, 1993). Padahal dengan kondisi pengelolaan limbah tinja rumah tangga di jakarta yang bergantung kepada sistem septik-tank, laporan World Bank (1994) seperti yang dikutip oleh Werlin (1999), mengemukakan bahwa 93% sumur dan pompa air yang mengakses pada kandungan air tanah di Jakarta telah tercemar oleh polusi dan limbah tinja sehingga mengandung bakteri colli dalam tingkat yang melebihi ambang batas yang sehat. Di samping itu, warga yang harus membeli air dari penjaja air juga harus membayar harga air yang antara 5 – 20 kali lebih mahal daripada harga air yang diterapkan oleh PDAM Jakarta (Cosgrove and Rijsberman, 2000). Karena sebagian besar mereka yang tidak terlayani oleh jaringan air bersih PDAM merupakan bagian dari masyarakat miskin kota, hal-hal ini, selain menurunkan kualitas kesehatan dan kualitas hidup dari sebagian besar warga Jakarta, juga menjadi salah satu penghalang warga miskin kota untuk melepaskan diri dari jeratan kemiskinannya. Di samping peran kota untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup warganya seperti yang didiskusikan di atas, peran lain yang juga dimiliki oleh kota, terutama kota-kota kecil dan menengah, adalah fungsinya dalam meningkatkan kualitas pembangunan pedesaan dan pembangunan wilayah di sekitarnya (Rondinelli, 1986). Dari sudut pandang pengembangan kegiatan ekonomi, kota-kota kecil dan menengah berperan dalam melakukan penyediaan dan dukungan penyediaan pelayanan, fasilitas dan kebutuhan-kebutuhan pendukung aktivitas produktif bagi wilayah di sekitarnya. Dalam konteks pengembangan kegiatan pertanian yang merupakan kegiatan penting di negara-negara Asia, kota-kota kecil dan menengah dapat berperan dalam mengembangkan kegiatan industri kecil dan menengah yang mengolah hsail-hasil pertanian di pedesaan dan wilayah sekitarnya, serta memberikan pelayanan pendukung kegiatan pertanian di wilayah sekitarnya, dan menyediakan akses pasar bagi barang-barang hasil pertanian (Rondinelli, 1986). Dari sudut pandang pembangunan sosial dan budaya, kota-kota kecil dan menengah dapat berfungsi sebagai pusat-pusat pelayanan pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kapasitas teknik vokasional dari tenaga kerja yang ada di wilayahnya dan wilayah sekitarnya, serta fasilitas-fasilitas pengembangan dan pembangunan ilmu pengetahuan dan budaya lainnya. Apabila dapat diperkuat secara efektif, maka dari sudut pandang demografis, kota-kota kecil dan menengah dapat berperan sebagai penyangga dari kota-kota motropolitan dan kota-kota besar lainnya, dalam bentuk menyerap penduduk sehingga tidak bermigrasi ke kota-kota besar (Cohen, 2006). Untuk mampu memenuhi peran-peran tersebut, maka kota-kota kecil dan menegah tidak hanya perlu dikembangkan agar memiliki jaringan jalan regional yang menghubungkannya kepada kotakota besar yang berfungsi sebagai pasar dari produk-produk wilayah sekitarnya, namun juga 9

perlu memiliki jaringan jalan dan jaringan infrastruktur komunikasi lain yang mampu membangun suatu keterkaitan dan hubungan yang kuat di antara kota-kota kecil tersebut dengan wilayah-wilayah pedesaan di sekitarnya. Selain itu, juga perlu dikembangkan jaringan infrastruktur fisik dan layanan-layanan lain yang mampu mendukung pengembangan industri pengolahan kecil dan menengah, fungsi-fungsi pendukungan kegiatan pertanian dan aktivitas produksi lain di wilayah sekitarnya, fasilitas-fasilitas pemasaran produk pertanian, serta fasilitas pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan informasi. Dengan demikian, maka dalam konteks ini, diharapkan bahwa kota-kota kecil dan menengah di Indonesia dapat memainkan peranan penting dalam mendukung pengembangan kegiatan pertanian, pembangunan pedesaan dan pengembangan wilayah, serta melakukan penyediaan akses pasar dan pengembangan kegiatan industri kecil dan menengah pengolahan hasil pertanian, dan pengembangan kegiatan sosial dan budaya bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya serta di wilayah sekitarnya. Selain itu, perkembangan tekad dunia untuk mengubah cara pembangunan dan pemanfaatan sumber-sumber daya alam untuk menuju kepada cara-cara yang lebih berkelanjutan, setelah dideklarasikannya Deklarasi Rio tentang Pembangunan Berkelanjutan dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, atau yang dikenal juga sebagai Pertemuan Bumi II di Rio de Janeiro pada tahun1992, juga telah memberi peran baru kepada seluruh kota di dunia, termasuk kota-kota kecil dan menengah di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Perkembangan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang didefinisikan sebagai suatu cara pembangunan yang mampu menjamin “pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dari generasi saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan dari generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya” (WCED, 1987), telah memicu pengembangan konsep pembangunan kota berkelanjutan (sustainable urban development). Da Cunha (2005) mengemukakan bahwa konsep pembangunan kota berkelanjutan melakukan kritik kepada masyarakat perkotaan tentang cara-caranya dalam pengorganisasian dan pemanfaatan ruang kota, cara-cara penduduk kota beraktivitas dan melakukan aktivitas transportasi, cara-caranya mengelola sumber-sumber daya alam dan kondisi-kondisi lingkungan yang wujud, dan dalam cara-cara pencapaian kualitas hidup seluruh warga kota dimana termasuk di dalamnya adalah cara-cara dan pemanfaatan teknologi dalam berproduksi, konsumsi dan bertransportasi. Secara lebih spesifik, Da Cunha (2005) mengemukakan bahwa konsep pembangunan kota berkelanjutan menghendaki dilakukannya pereduksian dalam konsumsi lahan/ruang kota, pembatasan kegiatan transportasi yang berlebihan, dan memperbaiki pola-pola pengkonsumsian energi dan penanggulangan polusi, serta peningkatan kualitas hidup perkotaan. Namun, sebagai suatu ‘organisme’ yang memiliki banyak kebutuhan input serta bahan baku yang juga salah satunya meliputi sumber-sumber alam bagi kelangsungan hidup dan aktivitas warganya, serta sebagai suatu ‘organisme’ yang juga menghasilkan produk serta buangan yang berpotensi untuk mencemari dan menurunkan kualitas lingkungan, dimana ruang wilayahnya relatif terbatas, setiap kota sangat bergantung kepada sejumlah luasan wilayah tertentu yang berada di luar wilayah kotanya, baik sebagai tempat penghasil sumbersumber pemenuhan kebutuhannya maupun sebagai tempat pengelolaan buangan-buangan yang dikeluarkannya. Dari sudut pandang ini, Da Cunha (2005) menyepakati pendapat Satterthwaite (1997) yang menyatakan bahwa pada dasarnya kota bukanlah merupakan suatu ‘organisme’ yang berkelanjutan (sustainable), tetapi kota memiliki peluang untuk berkontribusi kepada keberlanjutan (sustainability). Oleh karena itu, peran tambahan yang 10

dimiliki oleh setiap kota, termasuk di dalamnya kota-kota kecil dan menengah, dari perkembangan tekad dunia untuk menyelenggarakan suatu cara dan paradigma pembangunan berkelanjutan adalah peran untuk mampu berkontribusi kepada keberlanjutan, baik keberlanjutan di dalam skala lingkungan dan masyarakat di dalamnya, dalam skala lokal, regional, nasional dan juga dalam skala global. Tantangan Pembangunan Kota-kota Kecil dan Menengah Indonesia Dari pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa Indonesia telah memasuki suatu babak baru di dalam proses urbanisasi yang terjadi di dalamnya, dimana proses urbanisasi tersebut tidak hanya lagi terjadi di wilayah kota-kota besar namun juga terjadi di wilayah kota-kota kecil yang terdapat di banyak kabupaten di Indonesia. Walaupun kondisi ini dapat menghasilkan sesuatu yang positif, namun fenomena tersebut juga mengandung beberapa tantangan dan ancaman. Tantangan tersebut semakin besar dengan semakin meningkatnya peran dari kota-kota kecil dan menengah tersebut. Setidaknya terdapat tiga buah peran penting dari kota-kota kecil dan menengah Indonesia di masa yang akan datang. Peran pertama adalah untuk menjadi tempat yang mampu membangkitkan dan mendukung pengembangan potensi dan kemampuan seluruh warga kotanya untuk dapat berproduksi secara efektif sehingga mampu memperoleh kualitas kehidupan yang layak. Kedua adalah sebagai tempat yang mampu mendorong, membangkitkan dan mengakomodasi kebutuhan aktivitas dari wilayahwilayah pedesaan di sekitarnya sehingga mampu berkontribusi kepada pengembangan wilayah yang lebih luas. Dan ketiga adalah mampu berkontribusi kepada keberlanjutan, baik keberlanjutan pada level lokal, regional, nasional maupun global. Untuk dapat memenuhi peran-peran tersebut, maka kota-kota kecil dan mengengah di Indonesia tidak hanya dituntut untuk mampu mencukupi pemenuhan kebutuhan sarana dan prasaran dasar penjamin kualitas sanitasi dan kesehatan serta aktivitas ekonomi warga kotanya. Dalam konteks ini, tantangan pengentasan kemiskinan dan penciptaan peluang dan kesempatan kerja serta penyediaan kebutuhan permukiman perkotaan dan infrastruktur lingkungan seperti penyediaan air bersih dan prasarana sanitasi lainnya, dan pemeliharaan kualitas lingkungan hidup perkotaan merupakan tantangan dasar bagi kota-kota tersebut. Lebih daripada itu, kota-kota kecil dan menengah tersebut juga perlu dikembangkan dengan sarana dan prasarana regional serta fasilitas pendukung pengembangan kegiatan pertanian dan pembangunan pedesaan di wilayah sekitarnya. Dimana dalam konteks ini, tantangan peningkatan kemampuan kota-kota tersebut dalam penguatan integrasi wilayah yang lebih besar, baik secara ekonomi maupun sosial, merupakan tantangan berikut bagi kota-kota kecil dan menengah ini. Namun, penyediaan dan pengembangan sarana, prasarana dan fasilitas tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang mampu mengurangi penghamburan pemanfaatan sumber-sumber daya alam dan energi, termasuk dalam pemanfaatan sumbersumber daya lahan yang efektif dan tidak mendorong terjadinya kegiatan transportasi yang berlebihan, sehingga cara-cara pengembangan ini dan kemampuan dari setiap kota kecil untuk berkontribusi kepada keberlanjutan (sustainability) menjadi tantangan lain bagi kota-kota kecil dan menegah di Indonesia.

11

Salah satu permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian adalah belum berkembangnya dan/atau rendahnya kemampuan institusi pengelolaan pembangunan kota, baik pada level kota-kota kecil tersebut maupun pada level kabupaten yang menaunginya. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilancarkan dengan diberlakukannya UU No. 22/1999 yang kemudian direvisi oleh UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberi kewenangan dan otonomi yang lebih besar kepada otoritas pemerintahan di level kabupaten dan kota, tidak secara serta merta meningkatkan kemampuan dan kapasitas institusi, keuangan, teknik dan sumber daya manusia yang ada pada level kabupaten. Padahal banyak kota-kota kecil dan menengah yang terdapat di banyak kabupaten di Indonesia ini yang berupa kecamatan, bagian dari suatu kecamatan, atau gabungan dari bagian dari beberapa kecamatan. Tanpa upaya penguatan desentralisasi dan otonomi yang berupa suatu upaya redesentralisasi beberapa urusan dan kewenangan pembangunan tertentu dari level kabupaten kepada level kota-kota kecil terssebut, dikhawatirkan bahwa persoalan-persoalan perkotaan yang terdapat di kawasan kota-kota kecil tersebut tidak dapat tertangani. Hal ini disebabkan karena institusi pada level kabupaten akan menjadi institusi yang bertanggung jawab dan mengawasi seluruh wilayah kabupaten, yang memiliki beberapa kota kecil yang berkembang dengan pesat, sehingga perhatiannya terhadap permasalahan yang terjadi di setiap kota kecil yang ada belum tentu dapat dilakukan secara intensif. Terlebih bila terjadi suatu bias perhatian pembangunan di dalam institusi pengelolaan pembangunan kota yang tidak menempatkan permasalahan pembangunan perkotaan di kabupatennya ke dalam prioritas perhatian yang memadai, atau bias perhatian yang lebih menempatkan perhatian kepada permasalahan-permasalahan pembangunan perkotaan di wilayah ibukota kabupaten lebih tinggi daripada permasalahan-permasalahan lainnya, seperti yang sering terjadi di banyak pengalaman pengelolaan pembangunan kabupaten di Indonesia. Oleh karena itu, tantangan pengembangan dan penguatan kewenangan dan kemapuan dari institusi di setiap kota kecil di bawah level kabupaten ini menjadi suatu tantangan institusional dalam pembangunan kota-kota kecil ini. Selanjutnya, iklim demokrasi dan kesadaran bahwa aktor-aktor kunci dari pelaksanaan pembangunan di setiap kota kecil tadi bukan hanya berasal dari lingkungan wilayah kotanya saja melainkan juga berasal dari wilayah-wilayah lain dari level pedesaan di sekitar kota kecil tersebut, wilayah lain pada level kota-kota kecil lainnya, level kabupaten atau kabupaten lainnya, hingga pada level nasional atau bahkan internasional, dan kesadaran bahwa potensi dan sumber-sumber daya pembangunan yang tidak hanya terletak pada institusi pemerintah, melainkan lebih banyak terdapat pada institusi swasta dan organisasi non-pemerintah (LSM dan KSM), maka tantangan pengembangan institusi dan pengelolaan pembangunan yang partisipatif (participatory governance) menjadi tantangan lain dalam pengembangan institusi pengelolaan pembangunan perkotaan di kota-kota kecil dan menengah tersebut. Tanpa memperhatikan seluruh tantangan ini, dikhawatirkan bahwa pengalaman-pengalaman buruk yang terjadi pada urbanisasi di wilayah kota-kota besar dapat terreplikasi di wilayah kota-kota kecil ini walau dalam ukuran dan intensitas yang lebih rendah.

12

Daftar Pustaka Badshah, Akhtar A., 1996, Our Urban Future: New Paradigms for Equity and Sustainability, Zed Books Ltd., London & New Jersey. Bai, X. (2007), Integrating Global Environmental Concerns into Urban Management: the scale and readiness arguments, in Journal of Industrial Ecology, Vol. 11, No. 2, pp. 15-29. Colvile, R.N., et al. (2001), The Transport Sector as a Source of Air Pollution, in Atmospheric Environment, Vol. 35, pp. 1537-1565. Cosgrove, William J and Rijsberman Frank R., 2000, World Water Vision: Making Water Everybody’s Business, a report for World Water Council, Earthscan Publication Ltd., London. Finco, A. & Nijkamp, P. (2001), Pathways to Urban Sustainability, in Journal of Environmental Policy & Planning, Vol. 3, pp. 289-302. Firman, T. (2003), The Spatial Pattern of Population Growth in Java, 1990-2000: continuity and change in extended metropolitan region formation, in International Development Planning Review, Vol 25, No 1, pp.53-66. Firman, T. (2004), Demographic and Spatial Pattern of Indonesia’s recent urbanisation, in Population, Space and Place, Vol 10, pp.421-434. Ford, T. (1999), Understanding Population Growth in the Peri-Urban Region, in International Journal of Population Geography, Vol. 5, pp. 297-311. Laganier, R., Villalba, B., & Zuindeau, B. (2002), Le Développement Durable Face au Territoire: Eléments pour une Recherche Pluridisciplinaire, in Revue Développement Durable et Territoire, www.revue-ddt.org. Mardiansjah, Fadjar Hari and Setyo Adhi Waluyo, 2005, Urbanisation in District of (Kabupaten) Tegal and Their Challenges from the Perspective of Local Government Apparatus, (in Bahasa Indonesia) in Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol. 2, June 2005. Mardiansjah, Fadjar Hari, 2003, Analysis on Kampung Improvement Program for Jabotabek Urban Development, in Jurnal Tata Loka, Vol. 5, No. 4, November 2003. Mardiansjah, Fadjar Hari, 2003, Community Participation in Urban Poverty Alleviation (in Bahasa Indonesia), in Jurnal Tata Loka, Vol. 5, No. 3. Mardiansjah, Fadjar Hari, 2005a, Rurbanisation: the other challege of urban development that should be awared (in Bahasa Indonesia) in Buleting URDI. Mardiansjah, Fadjar Hari, 2005b, The Characteristics of Urbanisation in Small and Medium Cities in Central Java (in Bahasa Indonesia) in Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota, Vol. 4, December 2005. McGee, T. & Yao-Lin, W. (1992), La Formation des Mégapoles en Asie, in Mappe Monde, Vol. 4, pp. 2-3. Murphy, P. (2000), Urban Governance for More Sustainable Cities, in European Environment, Vol. 10., pp. 239-246. Rondinelli, D.A. (1986), Metropolitan Growth and Secondary Cities Development Policy, in Habitat International, Vol. 10, No. 12, pp. 263-271. Rondinelli, D.A. (1991), Asian Urban Development Policies in the 1990s: from growth control to urban diffusion, in World Development, Vol. 19, No. 7, pp. 791-803. 13

Rotmans, J., & van Asselt, M.B.A. (2000), Towards an Integrated Approach for Sustainable City Planning, in Journal of Multi-criteria Decision Analysis, Vol 9, pp. 110-124. Satterthwaite, D. (1997), Sustainable Cities or Cities that Contribute to Sustainable Development?, in Urban Studies, Vol. 34, No. 10, pp. 1667-1691. UN Population Division (2005), World urbanization prospects: the 2005 revision population database, pada http://esa.un.org/unup/p2k0data.arp, diakses pada Januari 2007. Werlin, H, 1999, The Slum Upgrading Myth, in Urban Studies, Vol. 36, No. 9, pp. 15231534. Wilbanks, T.J. (1994), Presidential Address: “Sustainable Development” in Geographic Perspective, in Annals of the Association of American Geographers, Vol. 84, No. 4, pp. 541-556.

14

Inovasi Inc: Membangun Sistem Inovasi & Produksi Nasional yg Berkemanusiaan di Indonesia. Berly Martawardaya, S.E, M.Sc Fakultas Ekonomi- Universitas Indonesia dan Department of Economics- Universita’ di Siena, Italy

Pada era knowledge-base-economy dan outsourcing sekarang ini, kekayaan sumber daya alam tidak lagi merupakan komoditas yang mendatangkan kemakmuran secara berkesinambungan. Bahkan dampak ekonomi dan sosial dari SDA seringkali mendatangkan kerugian yang dikenal dengan resource curse. Pengamatan pada Newly Industrialized Countries (NIC) di Asia menunjukkan minimnya SDA sebagai karakter yang umum ditemui. Namun sebaliknya mereka memiliki angkatan kerja dengan pendidikan dan produktivitas tinggi. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji sistem inovasi dan produksi nasional yang diterapkan di negara-negara Eropa, khususnya Italia dan Jerman, pada masa awal industrialisasi dan tranfer teknologi. Langkah berikutnya adalah memberikan tawaran kerangka, yang telah disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, untuk meningkat inovasi dan produksi dengan tetap memperhatikan sisi humanisme dan kemanusiaan. Perhatian khusus diberikan pada aplikasi di sektor pertanian dan kerajinan/fashion. Sistem inovasi dan produksi nasional adalah konsep yang digagas oleh List (1841) yang melingkupi relasi antara riset dalam perusahaan, organisasi sains dan teknologi, termasuk universitas, dan kebijakan publik. Karakter utama sistem ini adalah ko-evolusi antara peranan negara dan kapabilitas individu serta perusahaan dalam negara tersebut. Hambatan utama penerapan sistem inovasi dan nasional adalah stagnasi merintah serta kurangnya tenaga ahli. Hambatan pertama perlu diatasi dengan mengubah sistem insentif di pemerintah, khususnya mekanisme perpajakan dan hubungan ekonomi pusat-daerah. Adapun hambatan kedua memerlukan perencanaan sumber daya manusia secara jangka panjang dengan pendidikan dan beasiswa secara spesifik dan targeted. Masa transisi penerapan sistem ini memerlukan edukasi publik yang intensif demi mendapatkan dukungan yang luas. Ketertinggalan yang dihadapai dari negara tetangga adalah kelalainan kita selama ini dan dapat dikejar dengan pengorganisasian sumber daya dan institusi secara komprehensif. Indonesia 2030 yang inovatif dan produktif siap untuk bersaing dengan negara-negara unggul di dunia.

Inovation Inc: Developing National System of Innovation and Production with a Human Face in Indonesia Berly Martawardaya, S.E, M.Sc Fakultas Ekonomi- Universitas Indonesia dan Department of Economics- Universita’ di Siena, Italy

1. Introduction The quest to exlain why some countries are so rich (and keep getting richer) while some others are so poor (and persistenly so) has been a strong and persistent drive in economics research. The first step often attributed to Solow (1956) in his formalization of economic growth in neoclassical production function and decreasing return of capital. The emphasise on capital later supplemented, but ignore for a long time, by pioneering work of Becker (1962) that extend the analysis to include human capital. The celebrated theorem by Stolper and Samuelson (1941) stated that under assumptions of constant returns, perfect competition, equal technology and complete information, a rise in the relative price of a good will lead to a rise in the return to that factor which is used most intensively in the production of the good, and conversely, to a fall in the return to the other factor. The theorem lead to theory of absolute convergence that predicts poorer country’s economies will grow faster than richer economies. Thus, all economies will eventually converge in terms of per capita income. The deviation of real life situatin lead to conditional convergence where some other conditions are necessary to lead to convergence and not all convergence are equal. Avalability of cross-country data series over long period and seminal paper by Barro (1989), lead to explosion of empirical study of economic growth in the literature. Abreu, de Groot and Florax (2005) conducted a meta analysis over 600 estimates from a random sample of empirical growth studies published in peer reviewed journals and found that it is misleading to speak of a natural convergence rate since estimates of different growth regressions come from different populations. Durlauf, Johnston and Temple (2003) listed 44 categories, almost all with multple sub-catagories, of factors that known to affect growth and convergence. If there are so many factors that could affect development, some economists think that several factors may work together and complement better than separetely.. North (1990) deliver a narrative where economic growth and institution co-evolve over time and events where they do not. He defined institution as the humanly devised constraint that structure political , economic and social interactions consisting of informal constrainsts and formal rules. How institution affect development? Nicolini (2006) catagorized goods according to the number of intermediaries needed to produce, he found a robust relationship between the number of intermediare goods and of level of contractual enforcement and institutional quality. Thus, institution provide a comparative advantage in complex goods production.

1

Amable (2000) found that education complement trade specialization and reinforcing the positive effect on growth caused by export of electronics. Section 2 present theoritical foundation of relationship between development and institutional complementarities. Section 3 linked the theory with circumstances and chalange in Indonesia while section 4 conclude the analysis. 2. An Inquiry into Wealth of Nations North (1995) start with a demarcation between real world and pefect world as projected by neoclassical canonical model. He posited that in a world of instrumental rationality institutions are unncecessary; ideas and idelogies don’t matter, and efficient markets – both economic and political – characterize economies. He continue by citing recent findings from cognitive science where there is no single mental mode and perception of the world that is share equally by all people in the world. Since people view things differently, then idea and ideologies matter. Thus, we observe inefficient market in economics and politics. There are also many other violation from standard assumption from neoclassical canonical model. North focus on incomplete/asymetric/costly information, limited mental capacity to process informatin and enforcement cost that made up transaction costs. Coase (1927; 1960) stated that neoclassical and efficient result could be reached if transaction cost is zero. The notion tend to be over-emphasize while the strict conditions are put aside. North called for research into explanation of inefficient insitution, network externalities, economices of scope and complementarities as explanation of institutinal path dependence. He also pointed the treatment of state in development analysis should be altered from outsider, exogenous and benign actor in development process to distinctive agent with of its own with analysis of incentives and constraints. Sen (2001) analyzed the success of capitalism in East Asia by pointing it is not just due to market mechanism alone, but also on the development of an instititional combinatino of which the market economy is only one part. Before there could be investment, expansion, exchange and capitalism, there should exist sufficient decrese in corruption, trust in other party’s plan, business morality and acceptance of private property right. Even the availability factors of production require some pre-existing conditions; capital and financing need credit institution and sufficient regularity of loan payment, skilled labour neeed provision of education and productivity require virtue of punctuality and work responsibility when contracts are incomplete. Sen proceed to analyzed human capital as institution. The secret of China economy lies in its success in providing wide coverage of basic healthcare, conduct massive land reforms and broad expansion of education. In comparison to India, China make better use of the internaional market and economic globalization when it start to open up in 1979. Social opportunities complement market economy in a surprisingly similar manner to developed countries. He posited that Asian crisis occurred not because of existance of those institutions, but precisely because Asia did not go far enough. There is a need for institutions that provide economic and social security as well as financial and business transparancy. The impacts of crisis are so massive because the shock is share unequally with the poor burdened the biggest portion. If only protective security in the form of social security and unemployment insurance exist, the story will be very different and the rebounce would take shorter period. He goes on to state that protective security is an important instrumental fredom and social arrangement of safety nets are an integral part of a good economy. He round up by focusing

2

on freedom and democracy as reason of lack of transparancy and public scrutiny in fniancial and business arrangements. Thus, a well functioning market economy need institutions that provide protective security and political freedom. Johnson, Edquist and Lundvall (2003) build their analysis on national system of innovation from List’s catching up strategy for Germany in 1841. They question the ability of laissezfaire economy’s economy to fullfilled the required institutional complementarity and accumulation of mental capital and use it to spur economic development. Education and training need to go together with physical infrastructure and the focus is on development of productive force rather than only on allocation. They stressed the need to pay more attention to Veblen and Myrdal’s concept of positive and negative feedbacks, cumulative caussation, of virtous and vicious cycles and of the importance of institutions. They catagorized the system by spatial, sectoral and breadh of activity. The spatial approach is suitable for area with higher degree of coherence or inward orientation and the sectoral approach for limited technology or products. They reserve the last category for intermediete case where spatial and sectoral aspects are both present, thus require a coordination in the form of nasional system of innovation. They defined it as systemic relationship between R&D effort in firms, science and technological organization, including Universities, and public policy. The main characteristics are co-evolution between what countries do and what people and firms in countries know how to do well, assuming tacit knowledge and focus on interactional relationship. They call for employment historical and evolutionary perspective as well as put emphasis on interdependence and non-linearity. The future tendencies according to them are focus on capabilites rather than endowment, focus on knowledge as driving factor and primary importance of institutions. Amable (2000) is an encyclopedic article documenting diversity of social system of innovation and production. He defined institutional complementary as multilateral reinforcement mechanism between institutinal arrangement where each one by its existance permit or facilitas the existance of other. There are three types of insitutional approaches: general purpose, local and intermediete. The SSIP is located in the last catagory. He analyzed post WWII prosperity as result of institutional complementarity between mass consumption and mass production together with wage-labour nexus, oligopolistic competition, stable international relations and welfare state. The main drive of his subsequent argument is internationalization of research and diffusion of technology cause a tranformation to social system of innovation of production (SSIP). The resulting SSIP can be catagorize as market base, social democrat, meso-corporatist and public. The market base’s main actor is private lab and the main action is the race for patents by private firms. It requried strict definition of property right and their enforcement, sophisticated financial market, flexible labour markets, and little skill accumulation. Since firm hold tacit knowledge, it can adjust quickly to enviromental change and uncertainty. It has a stronghold in UK and US. The social democrat characterise by compromise and negoitation between parties with relatively underdeveloped financial market. Social justice and welfare are its main goals. The meso-corporatist is rather similar to market base, it differ with regard to important role of big banks in coordinating direction of industrial firms and putting interest of permanent workers before property right. The real world application of this type is Japan. The last category, mainly practiced by EU, is a system where public institution play determinig role and public regulation affect credit allocation. Public SSIP has a goal to reduce social conflict between groups and legitimizing public authorities related to growth.

3

3. A Innovative and Productive Indonesia North (1995) is on strong ground when he mentioned costly information, rationality and implementation as factors that need to be recognize properly in economic analysis. Together with heterogeneity of analytical mode, they dramatically reduce the robustness of neoclassical analysis. The fact that trade and market is possible must be attributed to institutions, that could differ, between palaces and economies. He did not elabore on the reasons of existance of different institutional arrangement though. There are more than one institutions in one economy, so in order to work and produce development they need to complement each others. Sen (2001) came up with interesting proposition by stating protective security of human capital as institution. We could extend it by stating that the factors that enable provision of factor of production also need to be regarded as institution. Since it is human made then it is covered by North’s definition of institution. He pointed out the secret of East Asia’s economic miracle. Sadly Sen did not applying North’s direction and explain why some governments choose to provide protective security to human capital while some others do not. The same could be said to the institutions that enable the flowering of capitalism that he listed without adequate justification of existance and evolution. He give too little credit to types of regime of capital mobility that play significant role in the spreading of the crisis, thus imcomplete in prescription on what need to be done to prevent another crisis. Johnson, Edquist and Lundvall (2003) put high importance to the role of the state in providing physical and human capital that enabled development and innovation. He came up with novel concept of mental capital, with no method of measurement, that I would interpret as leadership, motivation and can-do attitute that some leader of the state manage to inspire from their citizens (Malaysia and Singapore come first into mind). Their piece is more complete and applied, even though still not toucing on the state motivation, than the first two articles. However, he did not discuss the role of international market and globalization which is crucial to understand the success of failure of a particular system. Amable (2001) begin with a promising start and his institutional approaches is rather similar to Johnson, Edquist and Lundvall (2003). But his catagorization is flawed in many ways. It seem like an effort to put existing countries into different blocks without really explaining the differences. The biggest drawback would be the failure to differentiate between basic reasarch and applied research. In US and UK, the government play a big role in financing basic research and most of the results are in public domain. Conversely, in France and the rest of Europe there are a lot of applied research that conducted by private firms and strongly copy righted. Somehow it seem like a thinly disguised to praise France’s system, his country, compare to other systems. Base on the papers above I tried to contruct a schematic where the complementarities of institution from government policy provide constraints and likely result of development:

4

open economy  Industrialization & export economy high provision NISP close economy  temporary protectionism/import substitution Gov open economy  specialization in primary sector & inequality low provision of NISP

close economy  autarky & inequality To be precise, it is not a binary division and continuum of policy should be acknowledge. The sequence and timing of institutional arrangement is as almost as important as the policy itself. Opening the economy to globalization before adequate provision of system of innovation in place is not recommendable as shown in most of African and oil-exporting countries as it will corner them into production in primary goods, unless they managed to set aside some profit to support investment in human capital and innovation system in time. Due to current limitancies of resources in Indonesia its more optimal not to focused effort on space exploration or theoritical physics, at least not yet. Two potential and still underrated sectors that can used the NSIP with appropriate technology (teknologi tepat guna) are agriculture, tourism and handicraft/fashion. Agriculture could be more intensive in bottling and packing of processed food like Italian and Thai to some extend has done to their products. Indonesia has vast array of local delicasies and many kind of sauces that with high quality control and proper advertisement could become significant export. The food with spice content could be adjusted to suit the taste of sub-tropic consumers. The increasing international demand for organic product is a chance to reduce usage of fertilizer and pesticide while adding extra income to farmer. The handicraft village that produce silk in Thailand and handstitch leather/cloth in Italy is a potential to be realized in Indonesia. Those two countries have a tight partnership between modern sector that provide logistic mangement and creative design with traditional method of production that managed to produce and export significant amount. The tradition is still alive in some places in Indonesia like ulos and songket production and it doesn’t take much to cut through the middle man and set up a modern system. A World Bank (2006) survey on doing business showed that it took about five months to set up new business in Indonesia with cost more than one year of average income. No wonder there is few entrepreneur and most people prefer to be employee. Furthermore it take about a month to export and import from and to Indonesia with seven and ten documents respectively, we only rank forty ninth on ease of international trading. To get the comparison, it took only 6 days with cost of 1 % of income to set up new business in Singapore. To export and import? Just about a week with five and six documents. That’s why they rank number six on ese of trading world wide. On the bright side, since those problems are government made then it can be solved by government. Simplification and one stop service will release the choke from entrepreneurial spirit in Indonesian people.

5

The problem of structural gap in skill and education require more complex solution. Getting the needed skill mean long term planning in human resource with emphasis on engineering. Selected scholarship for short course and degree program with bonds for certain period is the tried and proven method (in all countries at Asean 5 countries except Indonesia) to lure the best and birightest to align their future and society’s. in order to instill sense of encome security, forced saving and insurance for health emergencies, unemployment and retirement is an important underlying arrangement. Teacher’s salary need be sufficient for decent living and inflation adjusted automatically. In the era of decentralization this paper will not be complete without suggestion on centralperiphery relation. The fault so far is compartementalization between region’s need for income to nation’s need for growth. Let’s cancel all region’s imposed fee and replace it with a share of corporate income tax to shift region’s attention on how to attract companies to invest in their region.

4. Conclusion Development can and should be seen as a process of changing set of institutional complementarities. Acknowledgment and active government policies of this have been the key behind western and East Asian country’s stellar economic performance. Even though more research is needed in the precise relationship but the neglect of neoclassical economics is a major weakness that deny massive by historical record and recent economics realities. Some countries ignore, or force to ignore it, at their own perils. Indonesia can still thrive to reach high level of national system of innovation and productiion if resources are used wisely and efficiently. Two sector, agriculture and handicraft in particular hs been single out due to large number of people working in those sectors and its potentials but the list is byno means exhaustive. Other sectors such us education and tax policy has important implication to succes, or failure, to implement it. Let us begin.

6

References Abreu, Maria, Henri L. F. de Groot and R. J. G. M. Florax,“A Meta Analysis of β Convergence: the Legendary 2%,” Journal of Economic Surveys, Volume 19, Issue 3, (2005), pp 389-420. Amable, Bruno, “Institutional complementarity and diversity of social systems of innovation and production;” Review of International Political Economy, Volume 7, Number 4 (December 2000), pp 645–687. _______, “International Specialisation and Growth,” Structural Change and Economic Dynamics, Volume 11, No 4, December 2000, pp. 413-431 Barro, Robert J., Economic Growth in a Cross Section of Countries,” NBER Working Paper 3120, Septermber 1989. Becker, Gary S., “Investment in Human Capital: A Theoretical Analysis,” The Journal of Political Economy, Vol 70 No 5, (962), pp 9-49. Belloc, Marianna, “Institutions And International Trade: A Reconsideration Of Comparative Advantage,” Journal of Economic Surveys, Vol. 20, No. 1, (2006), pp 3-26. Boyer, Robert,” New Growth Regimes, but Still Institutional Diversity,” Socio-Economic Review, (2004), Vol 2, No 1, p. 1-32. Durlauf, S. N., P. A. Johnson and J. R. W. Temple (2004), ``Growth Econometrics'', in S.N. Durlauf and P. Aghion (Eds.), Handbook of Economic Growth, Elsevier. Johnson, Bjorn, Charles Edquist, and Bengt-Åke Lundvall, ”Economic Development and the National System of Innovation Approach, Proceedings of the I GLOBELICS conference, 2003. Lucas, Robert E., “On the Mechanics of Economics Development,” Journal of Monetary Economics, Vol 22 (1988). pp 3-42. Nicolini, Marcella, “Institutional Quality and Comparative Advantage: an Empirical Assessment, “. Mimeo, University of Milan, (2006), unpublished. North , D C, Institutions, Institutional Change and Economic Performance, Cambridge:Cambridge University Press, 1990. ____, Institutions, Journal of Economic Perspectives, Vol &, No 1 (winter 1991), pp 97-112 _______., “The New Institutional Economics and Development” in John Harris (ed) The New Institutional Economics and Third World Development, (1995), Routledge pp 17-26. Sen, Amartya, Development as Freedom, New York: Alfred Knopf Inc. 1999. _______, “Economic development and capability expansion in historical perspective, “Pacific Economic Review. Vol 6 No 2 (June 2001). pp 179-191 - June 2001 Solow, Robert M., “ A Contribution to the Theory of Economic Growth,” Quarterly Journal of Economic, Vol 70 (1956), pp 65-94.

Stolper, Samuelson (1941). "Protection and Real Wages." Review of Economic Studies, 9: 5873.

7

IMD – SKM 2007

MNC dan Akuntabilitas Perusahaan Pendahuluan

Maraknya kasus Buyat – PT Newmont Minahasa Raya (NMR), hancurnya ekosistem/lingkungan hayati di wilayah sekitar pertambangan PT Freeport Indonesia, atau 259 pekerja PT Securicor Indonesia yang dipecat tanpa pesangon, adalah sebagian kecil dari beragam dampak negatif pengaturan perusahaan multinasional di Indonesia yang lemah dan cenderung bersifat koruptif.

Laporan media massa atau LSM-LSM pemerhati lingkungan dan perburuhan tentang pelanggaran dan kerugian yang ditimbulkan dari kegiatan operasional MNC di Indonesia, menambah daftar panjang kebutuhan akan perangkat hukum dan tata kelola (governance) yang lebih ketat dan bersih dari KKN. Dengan tidak mengesampingkan bahwa keberadaan perusahaan multinasional (MNC) juga telah memberikan banyak manfaat atau sumbangan terhadap pembangunan Indonesia. Namun kita pun dapat segera mengetahui bahwa manfaat atau sumbangan yang diterima tersebut lebih banyak “tidak adil” dalam sebuah hubungan kemitraan.

Makalah singkat ini berusaha menyoroti pertanyaan mendasar yang menjadi perbincangan hangat dalam Earth Summit 2002, yaitu “How can multi-national companies be influenced to adopt corporate citizenship and accountability for sustainable development?” Suatu tema yang menuntut pembahasan lanjutan tentang siapa-siapa saja aktor kunci dan kendala-kendala utama yang dihadapi.

1

IMD – SKM 2007

Analisis Situasi:

Pernyataan Direktur Ekekutif Wahana Lingkunan Hidup Indonesia (WALHI) Emma Hafild (Kompas, 23 November 2001) tentang perusahaan multinasional atau transnasional bisa menjadi bencana nasional karena rawan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan bisa menjadi kekuatan penghambat proses demokratisasi di negara-negara sedang berkembang, dapat memberikan gambaran bagaimana polah MNC di dua dekade terakhir ini, khususnya di Indonesia.

Terdapatnya kecenderungan kuat para pemimpin pemerintahan atau negara di negara-negara

berkembang

tunduk

pada

kekuatan

modal

preusan-perusahaan

transnasional, seperti banyak kebijakan pemerintahan soal perburuhan yang lebih berpihak pada kepentingan perusahaan multinasional atau transnasional. Dan fakta menunjukkan pula bahwa perusahaan-perusahaan multinasional selalu berusaha menggunakan celah untuk mendikte norma internasional atau bahkan mampu untuk tidak tunduk pada hukum nasional. Contohnya PT Securicor Indonesia menolak keputusan yang sudah dikeluarkan Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P4P) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) untuk membayar pesangon pada para karyawannya.

Banyak pihak, khususnya para ekonom, yang masih lekat memandang atau berasumsi bahwa investor asing adalah tamu-tamu yang ramah dan memiliki tatakrama yang baik. Suatu asumsi yang bila dilihat kenyataannya saat ini jelas jauh dari kebenaran. Kita patut bersyukur bahwa Multilateral Agreement on Investment (MAI) akhirnya tidak jadi disetujui, yang bila hal tersebut disetujui maka akan membuat kelompok kapitalis global (lewat MNC dan TNC) akan makin merajalela, menundukkan semua institusi apapun yang ada, baik itu lokal maupun global. MAI yang disusun oleh International Chamber of Commerce, sebuah asosiasi pebisnis raksasa tingkat dunia, dan akan dimasukkan dalam WTO, merancang suatu perjanjian yang memungkinkan perusahaan swasta diberi status legal seperti negara, yang dapat mengadakan perundingan setara dengan negara (yang menurut sistem WTO, perjanjian hanya terjadi oleh dan antar negara, tidak antar perusahaan). MNC akan diberi hak untuk membela kepentingannya terhadap keberatan yang diajukan oleh negara. 2

IMD – SKM 2007

Hal mengerikan yang ada dalam rancangan pengaturan MAI tersebut adalah MNC dapat menuntut sebuah negara jika negara mengesahkan undang-undang yang dapat mengurangi keuntungan (profit) yang bakal diperoleh. Peraturan MAI juga mengizinkan investor asing untuk menuntut negara jika negara menyediakan dana bagi program sosial yang mereka anggap dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar bebas (atau kepentingan MNC). Atau bila sebuah pemerintahan ingin mengadakan privatisasi perusahaan milik negara (BUMN), maka negara tidak boleh memberi preferensi pada pembeli domestik. Negara juga dilarang untuk menuntut investor asing (MNC) mendahulukan kandungan domestik, mengangkat staf/pekerja lokal, menetapkan tindakan afirmatif, transfer teknologi, dan sebagainya. Bahkan negara tidak boleh membatasi jumlah keuntungan yang boleh dibawa pulang ke negara asal.

Sementara itu laporan dari Urban Secretariat of UNCHS (2002) menyebutkan bahwa banyak pemerintah saat ini tidak lagi berada dalam posisi menetapkan peraturan yang dibutuhkan untuk mengelola investor asing (MNC). Banyak kepentingan kelompok/tertentu (vested interest) yang menyebabkan kepentingan ekonomi nasional terabaikan. Serta politik kebijakan ekonomi yang bersifat populis, praktis dan jangka pendek makin menegaskan bahwa tata kelola terhadap MNC ini tidak dapat sepenuhnya bergantung pada peraturan pemerintah sebagai suatu solusi.

3

IMD – SKM 2007

Strategi Transformasi:

Sampai dengan saat ini dunia telah memiliki OECD Guidelines for Multinational Enterprise dan UN Global Impact yang berusaha mengatur aktivitas MNC sesuai prinsipprinsip akuntabilitas perusahaan yang baik. OECD Guidelines for Multinational Enterprise yang direvisi pada tahun 2001, telah berusaha mencakup pengaturan yang memberikan perlindungan maksimal pada hak asasi manusia, hak pekerja, dan lingkungan. Pedoman ini secara langsung memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk berpartisipasi langsung dalam hal-hal yang terkait dengan perilaku perusahaan multinasional melalui Titik Temu Nasional (National Contact Point) yang dibentuk di negara tersebut. Badan ini akan menentukan apakah sebuah MNC telah mengadopsi kode etik perilaku yang berlaku dan ditetapkan. Hal yang sama juga tampak dalam UN Global Impact yang berisi sembilan prinsip dasar yang meliputi hak asasi manusia, hak pekerja dan perlindungan lingkungan.

Ironisnya, dalam reorganisasi PBB, Pusat Perusahaan Transnasional (Centre on Transnational Corporation) telah ditutup dan Tata Perilaku (Code of Conduct) yang telah disiapkan oleh PBB untuk mengatur TNC telah hilang dari peredaran. Sementara Dewan Bisnis

untuk

Pembangunan

Berkelanjutan

(Business

Council

for

Sustainable

Development) yang mengadvokasi bisnis yang berkelanjutan tidak beroperasi seperti yang diharapkan (Mohan Matthews, Earth Summit 2002).

Menghadapi semua situasi di atas, nampaknya diperlukan sebuah “Global Deal” yang dapat berupa undang-undang atau legislasi pembangunan berkelanjutan, yang di dalamnya para aktor dari MNC, organisasi kemasyarakatan (civil society organization) dan pemerintah akan duduk bersama membahas sebuah konvensi international yang mengikat atas beberapa isu penting (Pieter van der Gaag – ANPED, Earth Summit 2002). Global Deal akan membuka kesempatan untuk memulai sebuah proses penting yang akan meningkatkan kinerja proyek yang telah dimulai oleh Global Impact, yaitu memperkenalkan keterlibatan pemegang kepentingan yang terkait (stakeholders) dalam desain tata kelola MNC dan memasukkan mekanisme-mekanisme yang berbasis akuntabilitas. 4

IMD – SKM 2007

Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Siapa-siapa saja yang harus segera berperan dan bertindak dalam mengatur tata kelola MNC dan akuntabilitas perusahaan ini? Paling tidak ada dua kelompok besar yang mesti terlibat aktif di dalamnya. Kelompok pertama adalah para investor asing alias MNC. Mereka telah memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi. Untuk itu MNC haruslah: a. mematuhi dan menghargai konvensi ILO yang mencakup hak-hak dasar buruh, selaras dengan Deklarasi HAM PBB (UN Human Rights Declaration) dan Konvensi

Internasional

akan

Lingkungan

(International

Environmental

Convention). Bila MNC tidak mematuhi hal-hal ini, maka mereka pun tidak akan mengakui atau menghargai aturan dan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan hutan, air dan sumber daya hayati lainnya. b. menginvestasikan lebih banyak sumber daya (baik teknis dan finansial) untuk memastikan bahwa implementasi proyek berjalan sesuai dengan penilaian lingkungan (AMDAL) dan dampak sosial yang akan ditimbulkan. c. menunjukkan secara transparan rencana dan niat untuk menginvestasikan kembali (reinvest) keuntungan yang diperoleh, dan d. menghargai hukum nasional. Merupakan kebutuhan mendesak untuk membentuk lembaga pengawas internasional yang menangani hal ini.

Kelompok kedua yang berperan penting dalam hal ini adalah para pelanggan (consumers),

pemerintah

dan

lembaga

pembuat

kebijakan/perundang-undangan,

organisasi kemasyarakatan (LSM), karyawan dan para eksekutif perusahaan di tempat MNC beroperasi. Sebuah perubahan mendasar akan cara berpikir dan alam sadar diperlukan terjadi pada kelompok ini. Pada bagian pemerintah, institusi-institusi baru yang mengawasi proses globalisasi dan tata kelola perusahaan (corporate governance) mestilah segera dibentuk. Sementara di bagian LSM atau organisasi non pemerintah, haruslah belajar bagaimana bermain dalam sebuah “multi-dimensional game”, khususnya ketika menekan perusahaan-perusahaan MNC yang berkinerja buruk, yang pada saat yang sama, secara simultan mampu bekerja dan bermitra dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen untuk melakukan perubahan nyata.

5

IMD – SKM 2007

Anggota lain kelompok kedua ini yang tidak kalah pentingnya adalah peran kunci media yang akan menjadi simpul penting semua upaya perubahan yang dilakukan. Jika media dapat menghukum cepat kegagalan yang dilakukan MNC, namun gagal menghargai secara layak setiap kesuksesan sebuah usaha awal, maka proses perubahan dipastikan akan berjalan lambat atau bahkan mandeg di tengah jalan. Dengan kata lain diperlukan keseimbangan perhatian media atas kegagalan dan kesuksesan usaha perubahan yang dilakukan. Peran media ini tergantung pada kelompok lain non-media seperti kalangan ilmiah, pemerintah dan masyarakat (civil society), untuk belajar bagaimana mereka dapat memanfaatkan media secara positif dan mencapai hasil akhir yang konstruktif. Yaitu bagaimana memahami kompleksitas dan keunikan media serta menggunakan pengetahuan tersebut untuk membantu sampai pada tujuan yang diinginkan.

Kembali pada ide “Global Deal”, Indonesia membutuhkan dengan segera model komprehensif yang mengatur tanggung jawab sosial, baik perusahaan domestik dan khususnya MNC. Model yang dapat dikembangkan dapat berupa sebuah “simbiosis antara entitas bertujuan mencari keuntungan (for profit), nirlaba (non-profit) dan pemerintah”. Tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan yang profitable adalah organisasi kesejahteraan sosial yang paling efektif (the most effective social welfare organization). Perusahaan adalah mesin utama bagi penciptaan dan distribusi kesejahteraan. Penerima kesejahteraan ini adalah pelanggan, pekerja dan juga masyarakat secara keseluruhan melalui kontribusi perusahaan pada pembayaran pajak. Pemerintah tidaklah menciptakan kesejahteraan, namun berperan penting dalam mendistribusikan ulang (redistribusi) pajak tersebut dalam cara-cara yang tepat dan benar (in socially desirable ways). Dan sebagai pendukung model komprehensif ini, adalah perlu dibuat sebuat “sustainability ranking list of MNC” seperti halnya daftar peringkat yang dikenal dalam bidang lain (seperti country risk ranking).

6

REVITALISASI INDUSTRI PENINGGALAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA Oleh : Cahyono Susetyo*

I.

LATAR BELAKANG Bangsa Indonesia menghadapi permasalahan ketenagakerjaan yang sangat besar karena pertumbuhan ekonomi tidak mampu menyerap pertumbuhan angkatan kerja. Pada tahun 2006, angka pengangguran di Indonesia adalah sebesar 10,9 juta jiwa atau 10,3 persen dari total angkatan kerja (BAPPENAS). Angka pengangguran ini dikhawatirkan akan semakin meningkat jika tidak ada upaya yang efektif untuk meningkatkan perekonomian Indonesia. Sektor ekonomi yang mampu memainkan peranan penting untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia adalah Sektor Industri, karena sektor ini memiliki nilai tambah yang relatif besar dan menyerap tenaga dalam jumlah besar jika dibandingkan dengan sektorsektor lainnya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sektor industri di Indonesia sangat sulit untuk berkembang, bahkan ada cenderung menunjukkan penurunan aktifitas. Demonstrasi yang banyak dilakukan oleh buruh dan ketidakpastian hukum mengakibatkan banyak pemilik modal cenderung untuk mengalihkan modalnya ke negara lain yang memiliki stabilitas politik dan kepastian hukum yang lebih baik. Berbagai upaya untuk menarik investasi asing yang dilakukan oleh pemerintah belum dapat menghasilkan dampak yang signifikan terhadap penanaman modal di Indonesia. Bahkan salah satu upaya tersebut, yaitu Indonesia Investment Year, berakhir tragis dengan dipidananya pimpinan kegiatan tersebut karena terbukti melakukan korupsi. Tanpa adanya upaya yang jitu dalam menarik investasi asing, Indonesia akan menjadi pecundang dalam persaingan investasi global. Salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk meningkatkan menarik investasi asing ke Indonesia dan meningkatkan kinerja sektor perindustrian adalah dengan merevitalisasi industri-industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda, yang banyak tersebar di penjuru Indonesia, dan saat ini masih berproduksi meskipun berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Keberadaan industri-industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia merupakan potensi untuk menarik investasi asing, terutama dari pemilik modal dari Belanda maupun negara Eropa lainnya. Adanya ikatan sejarah dan emosional antara Belanda dengan Indonesia diharapkan dapat menjadi katalisator untuk meningkatkan arus investasi dari Belanda. Untuk menarik investasi asing dalam rangka revitalisasi industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda, data dan informasi mengenai industri-industri tersebut harus dapat diakses secara mudah, terutama oleh pemilik modal di Belanda. Warga Negara Indonesia yang berada di Belanda, baik untuk bekerja maupun sebagai pelajar, dapat berperan sebagai jembatan antara pengelola industri peninggalan Belanda dengan pemilik modal. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai permasalahan investasi di Indonesia, potensi dan manfaat revitalisasi industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda, dan membahas strategi yang dapat ditempuh untuk merevitalisasi industri peninggalan Belanda di Indonesia. Diharapkan makalah ini dapat menjadi masukan dalam

*

Staff pengajar di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya

1

rangka upaya peningkatan perekonomian di Indonesia, terutama mewujudkan suatu aktifitas nyata untuk menarik investasi asing.

II.

PERMASALAHAN INVESTASI DI INDONESIA Seperti telah diuraikan sebelumnya, rendahnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh rendahnya nilai Penanamam Modal Asing (PMA) yang masuk ke Indonesia. Rumitnya birokrasi, ketidakpastian politik dan hukum, serta kurangnya promosi potensi Sumberdaya Alam di Indonesia menyebabkan investor asing merasa enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Adapun permasalahan-permasalahan investasi di Indonesia antara lain (Zainuddin, 2007); 1. Rendahnya peringkat daya saing Indonesia di dunia internasional. 2. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat tidak kondusif untuk investasi. 3. Gejolak ketenagakerjaan. 4. Pelaksanaan otonomi daerah yang memperpanjang rantai birokrasi. 5. Birokrasi yang sangat tidak mendukung iklim investasi. Salah satu benang merah yang dapat ditarik dari beragam permasalahan investasi di Indonesia adalah panjangnya rantai antara pemilik modal dengan aktifitas riil industri. Meskipun pemilik modal memiliki minat untuk berinvestasi di indonesia, rumitnya birokrasi dapat menjadi penghambat realisasi investasi asing. Permasalahan lain yang dapat menyebabkan rendahnya investasi asing di Indonesia adalah tidak adanya komunikasi yang baik antara pelaku industri di Indonesia dengan pemilik modal di luar negeri. Pemilik modal pada dasarnya adalah pelaku ekonomi yang selalu berusaha untuk menempatkan investasinya untuk mendapatkan keuntungan paling besar. Di sisi lain, pelaku industri memerlukan investasi untuk mempertahankan ataupun meningkatkan produksinya. Mekanisme ini berlaku secara global, dimana pelaku industri di seluruh dunia pada dasarnya bersaing untuk memperoleh investasi dari pemilik modal. Informasi mengenai industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda pada umumnya sulit diakses oleh pemilik modal di Belanda. Meskipun informasi mengenai industri-industri tersebut dapat diakses melalui internet, akan tetapi informasi tersebut kurang mendetail dan tidak diolah sedemikian rupa untuk dapat menimbulkan minat investasi. Informasi dalam bahasa Belanda juga sangat sedikit, sehingga dapat dikatakan tidak ada upaya khusus untuk menarik pemilik modal di Belanda untuk menginvestasikan dananya pada industri-industri peninggalan kolonial Belanda.

III. INDUSTRI PENINGGALAN PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA DI INDONESIA Pada saat pemerintahan kolonial Belanda, banyak sekali industri yang didirikan di Indonesia. Sayangnya, industri-industri peninggalan Belanda tersebut terkesan dibaikan oleh pemerintah, sehingga pada saat ini, hanya sedikit yang bisa beroperasi secara effisien. Komoditas yang dihasilkan oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda umumnya berupa barang yang dapat diserap secara langsung oleh masyarakat, seperti gula dan kertas. Meskipun telah memiliki permintaan pasar yang jelas, industri-industri tersebut menghadapi berbagai permasalahan yang menghambat aktifitasnya.

2

Contoh permasalahan yang dihadapi pabrik peninggalan pemerintah kolonial Belanda dapat dilihat pada pabrik kertas tertua di Indonesia, PT. Kertas Leces yang dahulu bernama NV Letjes. Pada awal bulan Mei tahun 2007, produksi pabrik ini terhenti total karena 2.000 karyawannya melakukan mogok kerja. Menurut Kepala Satuan Internal PT Kertas Leces, Abdullah Kamal, meski sudah mendapatkan bantuan modal dari anggaran negara sebesar Rp 100 miliar (Rp 75 miliar untuk modal kerja dan Rp 25 miliar untuk restrukturisasi sumber daya manusia), PT Kertas Leces masih merugi. Kerugian yang ditanggung PT Kertas Leces dalam 19 bulan terakhir rata-rata Rp 7-8 miliar per bulan. Solusi yang sudah diajukan oleh pihak manajemen adalah PT Kertas Leces akan mengajukan permohonan mendapatkan modal kerja dari negara Rp 10 triliun. Uang sebanyak itu akan digunakan untuk penyediaan bahan baku dan mengkonversi penggunaan gas ke batu bara (Koran Tempo, 10 Mei 2007). Permasalahan lain yang dihadapi oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda dialami oleh Pabrik Gula Rendeng, yang didirikan maskapai Mirandolie Voute & Co pada tahun 1839. Minimnya pasokan air dan sering rusaknya ketel uap, menurut Administratur Pabrik Gula Rendeng Herry Krismanu, merupakan penyebab utama tidak tercapainya target giling 2002 dan membengkaknya kerugian yang lebih dari Rp 4 miliar (Kompas, 27 April 2003). Meskipun tidak ada jaminan bahwa masuknya investasi akan memperbaiki kinerja pabrik, namun pihak pengelola dapat menggunakan dana tersebut untuk meremajakan dan memperbaiki infrastruktur industri, sehingga proses produksi dapat berjalan dengan lebih efisien. Indonesia merupakan negara pengimpor kertas dalam jumlah yang sangat besar. Menurut ketua umum Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) M Mansur, dalam tahun 2002 terjadi peningkatan impor kertas yang mencapai 1.000 persen. Impor kertas lapis dari Korea Selatan tahun 2002 sudah mencapai 2.962 metrik ton (MT), dan impor kertas lapis dari Finlandia mencapai 4.378 MT. Tahun 2001, impor kertas lapis dari Korsel baru sebesar 770,7 MT dan dari Finlandia sebesar 173 MT. Sedangkan impor kertas HVS non lapis dari Korsel, Finlandia, India, dan Malaysia tahun 2002 mencapai 14.786 MT (Kompas, 21 Januari 2003). Komoditas gula menunjukkan data yang lebih memprihatinkan. Indonesia mengalami kehancuran industri gula sejak jaman penjajahan Jepang. Tercatat sejak menjadi eksportir nomor dua terbesar di dunia di tahun 1930-an, sekarang Indonesia merupakan importir terbesar ke-dua di dunia. Kelemahan mendasar adalah rendahnya tingkat produksi, yang mengakibatkan pasokan gula untuk pasar domestik hanya dapat dipenuhi setengahnya saja. Rendahnya produksi ini, bukan hanya diakibatkan dari tuanya mesin produksi pada hampir 90% pabrik-pabrik gula yang ada di Indonesia, tetapi juga karena berkurangnya produksi tebu baik dari segi lahan yang tersedia maupun dari produktivitas atau budi daya (Indonesian National Sugar Conference, 2004). Data di atas menunjukkan bahwa industri kertas dan gula di Indonesia tidak mampu memenuhi permintaan domestik. Hal ini sangat ironis, karena Indonesia memiliki tanah yang subur, sehingga bahan baku untuk kedua komoditas tersebut mudah untuk didapat. Revitalisasi industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda diharapkan meningkatkan produktifitas pabrik gula dan pabrik kertas peninggalan pemerintah kolonial Belanda sehingga dapat memenuhi permintaan domestik dan mengurangi ketergantungan Bangsa Indonesia terhadap impor kertas dan gula. Dari sudut pandang ekonomi, kepastian akan ketersediaan bahan baku dan permintaan pasar untuk komoditas kertas dan gula merupakan daya tarik yang sangat tinggi untuk berinvestasi. Industri peninggalan Belanda telah memiliki dua komponen tersebut, sehingga dapat dikatakan industri-industri tersebut dapat dikatakan sangat potensial untuk menarik investasi,

3

terutama bagi pemilik modal dari negeri Belanda yang kemungkinan memiliki ikatan emosional dengan industri yang didirikan oleh generasi pendahulunya. Meskipun demikian, tanpa adanya jejaring komunikasi yang baik antara pelaku industri dengan pemilik modal, daya tarik yang dimiliki oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda tidak akan ada artinya sama sekali. Kelebihan lain yang dimiliki oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda adalah pemilihan lokasi pada saat pendirian industri oleh pemerintah Kolonial Belanda tentu tidak dilakukan secara asal-asalan, akan tetapi memperhitungkan berbagai aspek yang terkait, seperti bahan baku, pemasaran, tenaga kerja, dan transportasi. Ciri khas pemilihan lokasi ini adalah industri-industri cenderung tersebar mendekati bahan baku, sehingga banyak industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang terletak di perdesaan. Dari sudut pandang pengembangan wilayah, revitalisasi industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda akan dapat mengurangi kesenjangan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan, karena seperti telah diuraikan sebelumnya, mayoritas industri tersebut berada di wilayah perdesaan. Revitalisasi ini juga akan mengurangi arus tenaga kerja dari kawasan perdesaan ke perkotaan, dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan perekonomian di sekitarnya.

IV. NETWORK BUILDING ANTARA PEMILIK MODAL DENGAN PELAKU INDUSTRI Dari uraian di atas, industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda memiliki potensi yang sangat tinggi untuk menarik investasi asing, terutama dari negeri Belanda. Revitalisasi industri-industri tersebut akan sangat menguntungkan bagi Bangsa Indonesia, baik dari sudut pandang ekonomi maupun dari sudut pandang pengembangan wilayah. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu upaya yang nyata untuk menarik investasi dari pemilik modal di Belanda dengan memanfaatkan daya tarik industri peninggalan generasi pendahulu mereka. Seperti telah disebutkan di atas, potensi dan daya tarik investasi yang dimiliki oleh industri peninggalan pemerintah kolonial Belanda tidak akan bermanfaat tanpa adanya jejaring informasi yang kondusif. Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk menarik investasi asing sebagaimana diuraikan di atas adalah dengan mengembangan jejaring informasi dan komunikasi antara pemilik modal di asing dengan pelaku industri di Indonesia, khususnya pengelola industri peninggalan Belanda. Dengan adanya jejaring ini, jarak antara kedua pihak diatas dapat dipersingkat, dan bahkan diharapkan hambatan birokrasi yang selama ini menghambat investasi asing di Indonesia akan dapat diatasi. Teknologi internet merupakan salah satu media yang dapat dimanfaatkan untuk membangun jejaring informasi dan komunikasi antara pemilik modal dengan pelaku industri. Dengan memanfaatkan internet, pengelola industri peninggalan Belanda dapat menampilkan informasi yang telah diolah sedemikian rupa sehingga dapat menarik minat investasi dari pemilik modal di Belanda, baik secara ekonomi maupun secara emosional. Dengan memanfaatkan jejaring yang sama, pemilik modal dapat langsung berkomunikasi dengan pelaku industri untuk lebih jauh menjajaki kemungkinan investasi. Pengembangkan dan pengelolaan jejaring komunikasi antara pemilik modal dan pelaku industri dapat memanfaatkan komunitas Indonesia yang ada di Belanda ataupun negara Eropa. Dengan berperan sebagai mediator yang bersikap pro-aktif terhadap kedua belah pihak, pemilik modal dan pelaku industri, diharapkan komunitas Indonesia yang ada di Belanda dapat memberikan kontribusi yang nyata terhadap pertumbuhan perekonomian Republik Indonesia.

4

REFERENSI Serikat Buruh Gula, “Deklarasi oleh Serikat-Serikat Buruh Gula: Menuju Satu”, Indonesian National Sugar Conference, Malang, 2004. “APKI Ajukan Petisi Antidumping kepada KADI”, www.kompas.com, 21 Januari 2003. “Pabrik Gula Tua Itu Masih Sangat Dibutuhkan”, www.kompas.com, 27 April 2003 “Produksi Pabrik Kertas Leces Lumpuh”,Koran Tempo, 10 Mei 2007. Muhammad Zaenuddin, “SEZ dan Problematika Investasi “, batampos.co.id, 2007.

5

Indonesia berangkat menuju Industrialisasi Pendidikan, Kenapa tidak ? Oleh : Achmad Adhitya, Anwar Sadat Sari SIregar

Abstraksi Pembangunan harus dipahami sebagai kerja bersama seluruh elemen bangsa, tidak terlepas sektor pendidikan, sektor yang digunakan untuk menciptakan tenaga kerja professional sebagai tulang punggung bangsa sudah selayaknya menjadi sorotan kita bersama. Peran pemerintah untuk menjembatani dan memfasilitasi elemen – elemen lain untuk terlibat dan memberikan payung hukumnya adalah titik awal pembangunan reformasi sektor pendidikan yang berkualitas.

Pendahuluan Pendidikan adalah faktor penting dalam menggerakan roda pembangunan bangsa, pendidikan yang kuat dan berkualitas akan mampu mendorong menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas pula. Penciptaan sumber daya manusia yang berkualitas dengan kompetensi keilmuan tinggi ini tentu adalah salah satu potensi besar yang akan mampu meningkatkan target – target pembangunan bangsa. Hal ini seperti termaktub dalam UU No. 2 tahun 1989, Bab II tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan, pasal 3 yakni :

“Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.” Berangkat dari pendidikan inilah maka kita bisa mulai memproyeksikan masa depan suatu bangsa, oleh karena itu pendidikan yang baik dan berkualitas adalah hak semua masyarakat.

Indonesia adalah negara besar, dengan potensi 200 juta orang penduduk, 200 juta orang sumber daya manusia, 200 juta orang tenaga kerja atau calon tenaga kerja, harus mulai melihat kembali dimana kita memprioritaskan peran pendidikan dalam agenda – agenda pembangunan bangsa. Sudah cukup kah kita memaksimalkan agenda pendidikan ?

Jumlah penduduk yang besar memang selalu seperti pedang bermata dua, dia bisa jadi sangat positif ketika kita bisa memanfaatkan hal ini semaksimal mungkin dalam kacamata tenaga terdidik dan professional atau bisa menjadi sangat negatif bahkan menjadi beban negara ketika jumlah penduduk yang besar ini tidak mampu diberdayakan secara maksimal sebagai tenaga kerja dan roda penggerak pembangunan bangsa.

Dalam kacamata ini sekali lagi pendidikan adalah titik tolak darimana kita akan mulai menggerakan penduduk yang besar ini, apakah jumlah penduduk ini akan menjadi roda penggerak bangsa atau beban negara yang harus diseret – seret dalam pembangunan. Pendidikan memang bukan satu - satunya hal yang menjadi tulang punggung pembangunan bangsa, pendidikan tidak bisa berdiri sendiri sebagai kekuatan penggerak bangsa, tapi pendidikan adalah salah satu pondasi pokok pembangunan bangsa, masyarakat yang cerdas, mandiri dan berdikari baru dapat terbentuk ketika rakyat mendapat pendidikan yang cukup dan memberikan wacana bersama, “Kemana Indonesia akan bergerak ? Dan dimana saya memposisikan diri dalam gerak pembangunan bangsa ini ?” Pertanyaan yang akan mampu dijawab oleh rakyat yang memiliki pencerahan pemikiran melalui pendidikan.

Identifikasi Permasalahan Permasalahan pendidikan harus dimulai dari sebuah pertanyaan “Dimanakah kita sekarang memposisikan peran pendidikan kita dalam pembangunan bangsa ?” Perencanaan anggaran pendidikan 20 persen dalam UUD UUD 45 pasal 31 ayat 4, yang mengatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD adalah komitmen kuat pemerintah dan bangsa Indonesia untuk menempatkan peran pendidikan dalam pembangunan bangsa. Ini tentu adalah suatu hal positif yang patut kita syukuri bersama. Mungkin pemenuhan target anggaran 20 persen ini berarti memotong pendanaan APBN untuk sektor riil, mengurangi pemberian kredit untuk masyarakat kecil, mengurangi dana pembangunan faslitas publik seperti rumah sakit, jalan raya, jembatan atau mungkin mengurangi anggaran dana militer untuk kepentingan pembelian pesawat - pesawat terbang.

Kita harus sadar bahwa ada harga mahal yang harus dibayar bersama sebagai sebuah bangsa, betapa sulitnya memenuhi pemenuhan anggaran 20 persen ini, betapa banyak sektor – sektor pembangunan negara yang lain yang harus dikurangi.

Walaupun pada prakteknya selama dua tahun terakhir ini jumlah anggaran dana 20 persen masih belum bisa dipenuhi oleh pemerintah yakni pada tahun 2006 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 9,7 persen dan pada APBN 2007 sebesar 11,8 persen. Namun komitmen dan arahan ke target pemenuhan anggaran tersebut ada, walaupun memang masih secara bertahap.

Tentu hal ini membuat kita menjadi berfikir, “ Jangan – jangan pemenuhan anggaran 20 persen ini belum tepat”. Kita memang perlu masyarakat yang cerdas dan terdidik, tapi tentu saja kita juga perlu rumah sakit dengan fasilitas yang baik, kita perlu sumbangan beras untuk masyarakat miskin, kita perlu subsidi bahan bakar minyak untuk mengontrol laju harga kebutuhan bahan pokok.

Sangat baik tentunya jika kita melihat kembali permasalahan pemenuhan anggaran pendidikan sebanyak 20 persen ini secara lebih obyektif dan proporsional. Bagaimana kemudian anggaran dana 20 persen ini justru tidak menjadi sarana untuk menciptakan tenaga – tenaga kerja yang menganggur. Supply dan demand dari tenaga kerja ini harus berimbang, karena jika supply lebih besar daripada demand, maka kita patut mengoreksi kembali letak kesalahannya dan meninjau kembali solusi – solusi yang mungkin. Hal ini mengantarkan kita semua pada sebuah pertanyaan : „ Apakah pemberian anggaran dana 20 persen untuk sektor pendidikan justru menciptakan sebuah permasalahan baru, yakni pengangguran ?“ Jumlah tingkat pengangguran yang telah mencapai 10 juta jiwa dengan lapangan kerja yang terbatas, membuat kita harus perlu mengoreksi, pendidikan yang bagaimana yang perlu kita bangun untuk mengefektikan anggaran negara yang terbatas.

Analisa Permasalahan Dalam Identifikasi permasalahan diatas, kita coba menilik bersama betapa ambigunya perencanaan anggaran 20 persen yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 dengan praktek di lapangan. Sangat mungkin bahkan pemberian anggaran dana 20 persen akan menjadi bumerang buat bangsa dan menciptakan permasalahan baru, yakni pengangguran.

Harus disadari secara bersama bahwa pembangunan di bidang pendidikan adalah investasi bangsa jangka panjang, ketika kita berkomitmen membangun sumber daya manusia bangsa, maka kita sedang menanam buah yang hasilnya akan dilihat dalam 10 sampai 20 tahun kedepan. Pembangunan sumber daya manusia tentu tidak seperti membangun jembatan, jalan dan rumah sakit yang bisa terlihat secara instan, tapi melalui proses yang bertahap.

Kita harus menyepakati bersama bahwa Sumber Daya Manusia yang terdidik dan cerdas adalah hal paling krusial dalam mendorong pembangunan bangsa. Tentu sangat miris kalau kemudian kita memiliki mesin produksi yang modern dan canggih, namun kita meminta bangsa asing mengelola mesin – mesin produksi tersebut. Kita memiliki Sumber Daya Alam yang melimpah ruah namun kita mengijinkan pihak asing masuk ke Indonesia mengeruk hasilnya dan melarikan hasil bumi tersebut ke negara asing.

Kita harus berkomitmen bahwa ini harus dihentikan dan kita harus menyerukan bahwa pembangunan sumber daya manusia dimulai dari sekarang. Kita hanya harus berifikir sangat keras bagaimana menciptakan sistim pendidkan yang baik itu. Permasalahannya terletak pada supply tenaga kerja yang berlebihan oleh sektor pendidikan , sedang sektor ekonomi riil tidak mampu menampung limpahan tenaga kerja ini, dimana letak salahnya?

Ada sebuah kesalahan paling mendasar yang selama ini kita buat, kita merasa bahwa proessionalitas sektor adalah hal yang sangat penting, tanpa sadar ternyata hal ini malah mengotakkan kita dalam peran – peran individual dan profesionalitas bangsa. Sektor swasta artinya bertugas mendorong roda perekonomian bangsa, sehingga hal yang berkaitan dengan permasalahan ekonomi menjadi tugas elemen bangsa yang lain. Sektor pemerintah artinya bertugas menjalankan peran birokrasi demi kelancaran administrasi negara.

Sektor pendidikan artinya membuat tenaga kerja terdidik dengan kualitas baik sehingga bisa memasuki lahan – lahan kerja secara lebih profesional dengan kompetensi keilmuan yang tinggi.

Hal tersebut tidak salah namun jangan dilupakan kerja – kerja lintas sektor memegang peranan penting dalam pembangunan bidang pendidikan. Proses penerapan kebijakan BHMN

(Badan Hukum Milik Negara) adalah bentuk

kemandirian perguruan tinggi yang sedang didorong pemerintah untuk mengurangi beban APBN, yang jadi masalah adalah penerapan kebijakan BHMN pada perguruan tinggi ini tidak dibarengi dengan persiapan yang kuat oleh banyak perguruan tinggi, sehingga salah satu cara untuk memenuhi pengurangan subsidi pendidikan oleh pemerintah adalah menaikan uang SPP, uang praktik di Laboratorium, uang buku dll

sebagai sarana untuk meningkatkan

anggaran tiap universitas.

Pada titik inilah sebenarnya pendidikan harusnya menjadi bentuk kolaborasi bersama antara, institusi pendidikan, swasta dan pemerintah. Memang ada beberapa universitas yang telah mampu dengan baik menjalankan kerja sama dengan pihak swasta ataupun institusi pemerintah, namun tanpa kebijakan pemerintah yang mendorong sektor pendidikan dengan kerja sama industri untuk mendapat kesempatan yang sama di setiap institusi pendidikan tentu sangatlah sulit.

Usulan Solusi Permasalahan Melihat permasalahan dan analisa masalah diatas, maka diperlukan adanya formulasi strategi yang terpadu dengan melibatkan tiga elemen penting untuk mendorong sektor pendidikan di Indonesia, yakni : Pemerintah (policy maker), Industri (Commerce) dan Institusi pendidikan. Usulan strategi tersebut adalah : 1. Kebijakan Pemerintah yang mendorong pihak industri dan swasta untuk membangun kerja sama terpadu dengan institusi pendidikan 2. Pembatasan jumlah industri dan swasta yang bekerja sama dengan institusi pendidikan tertentu, sehingga ada proses pemerataan kerja sama antara industri dan institusi pendidikan. 3. Praktik kerja (internship) terpadu dan berkesinambungan antara institusi pendidikan dan industri yang lebih merata.

4. Investasi alat dan tenaga kerja oleh pihak industri di setiap institusi pendidikan. 5. Kebijakan pemerintah yang memudahkan pihak industri untuk berusaha dengan mengurangi beban pajak, sebagai bentuk komitmen industri untuk membantu sektor pendidikan.

Praktik kerja sama industri dan institusi pendidikan ini adalah bentuk simbiosi mutualisme yang sangat baik, karena Institusi pendidikan mampu memperoleh calon – calon tenaga kerja yang professional yang dibutuhkan oleh pihak industri tersebut, kemudahan iklim berusaha dengan kebijakan pemerintah sebagai bentuk kompensasi pemerintah terhadap pihak industri. Institusi pendidikan diuntungkan dengan adanya prasarana modern sehingga mampu mengembangkan iklim penelitian di lingkungan akademisnya, pemenuhan anggaran institusi pendidikan tidak bergantung penuh oleh pemerintah, untuk pemerintah sendiri ini mengurangi beban APBN yang dibantu oleh kolaborasi swasta.

Pemerintah sebagai mediator dan pembuat kebijakan berperan memfasilitasi terjadinya dialog antara pihak industri dan institusi pendidikan sehingga kedua pihak ini mampu saling support untuk mengembangkan sektor pendidikan di Indonesia. Pemerintah (policy maker)

Industri (commerce)

Institusi Pendidikan

Dialog tripartid dalam rangka merumuskan kerja sama

1. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang memberikan jaminan hukum 2. Supply prasarana dan kesempatan pelaksanaan internship oleh pihak industri 3. Supply tenaga kerja terdidik dan profesional dari pihak institusi pendidikan dalam konteks internship Gambar rangkaian kerja sama tripartid di sektor pendidikan

Kesimpulan Perlunya kerja sama menyeluruh dari berbagai pihak untuk menyelenggarakan sektor pendidikan secara maksimal, hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi beban negara yang terlalu berlebihan untuk meningkatkan sektor pendidikan saja sedang masih banyak sektor lain yang juga memerlukan pemaksimalan anggaran belanja negara kita. Kerja sama yang dibangun antara industri dan institusi pendidikan yang terpadu dengan dimoedrasi oleh pihak pemerintah memungkinkan pemenuhan anggaran 20 persen untuk sektor pendidikan tanpa terlalu membebani anggaran belanja negara.

Referensi

UU RI No.20 Thn.2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Febrian, Jack. 2000. Tentang Pendidikan Tinggi di Indonesia. Informatika, pp. 117 Pembangunan Sumber Manusia. 1994. T. Subahan Mohd. Meerah, Rohaty Majzub & Ahmad Jaffni Hassan (sunt.). ISBN 967-942- 294-3 156 hlm. RM25.00

.http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/03/31/prn,20040331-09,id.html

Kurangnya Kontrol dan Komitmen Pemerintah terhadap Masalah Merokok Oleh Tommy Dharmawan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / Sedang menjalani penelitian di Leiden Universiteit Medische Centrum, Leiden, Netherland

Pada Mei 2003, negara-negara anggota organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mengadopsi perjanjian bersejarah mengenai kontrol terhadap tembakau dan merokok yaitu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). FCTC memiliki efek yang potensial untuk mengurangi dampak merugikan akibat merokok. Walau WHO telah memuat FCTC sejak 2003 tapi sampai 2007, Indonesia yang termasuk lima besar negara konsumen rokok di dunia masih belum menandatangani dan meratifikasi FCTC. Hal ini membuktikan bahwa Indonesia masih belum memiliki itikad dan peraturan yang jelas dan tegas mengenai kontrol terhadap tembakau dan masalah merokok. Hal ini sangat mengecewakan karena berarti pemerintah sangat lamban dalam menyelamatkan rakyatnya dari bahaya merokok. Hampir semua negara berkembang di Asia sudah membuat peraturan yang tegas tentang rokok tapi Indonesia masih belum memiliki peraturan yang tegas mengenai kontrol terhadap masalah merokok dan malahan menjadi surga bagi pasar industri rokok.

Mengapa Indonesia belum meratifikasi FCTC? Ada beberapa analisis mengapa pemerintah Indonesia masih belum meratifikasi FCTC. Pertama karena pemerintah takut jika mereka membuat regulasi yang tegas tentang rokok maka pemerintah akan kehilangan sumber pendapatan dari cukai rokok. Kedua, akan banyak buruh industri rokok yang kehilangan pekerjaan jika pemerintah membuat kebijakan besar tentang masalah merokok. Ketiga, kebijakan tentang rokok akan membawa dampak juga pada petani tembakau yang sangat bergantung pada industri rokok. Industri rokok adalah tempat para petani tembakau menjual sebagian besar hasil panen tembakaunya. Apakah analisis tersebut benar?

Memang benar bahwa industri rokok memainkan peranan penting pada ekonomi sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Hampir lebih dari 600 ribu buruh bekerja secara langsung pada 3000 industri rokok di seluruh Indonesia dan hampir 10 juta orang bekerja secara tidak langsung untuk industri rokok. Tapi ternyata dari sisi kesejahteraan buruh, industri rokok hanya berkontribusi sedikit pada pekerjanya. Tetap tidak ada peningkatan kesejahteraan dari buruh walau industri rokok terus mendapatkan keuntungan berlimpah dari penjualan yang semakin meningkat tiap tahunnya. Mayoritas buruh industri rokok bekerja hanya secara kontrak walaupun mereka telah bekerja selama lebih dari 10 tahun. Kondisi yang sama dialami juga oleh para petani tembakau. Survei dari sebuah lembaga swadaya masyarakat di Jawa Timur menunjukkan bahwa mayoritas dari petani tembakau hidup dibawah garis kemiskinan.

Merokok versus kerugian kesehatan dan ekonomi Mengapa pemerintah Indonesia harus membuat kebijakan yang mengatur masalah merokok? Apakah merokok sangat merugikan baik dari segi kesehatan dan ekonomi sebuah negara? Pada sektor kesehatan, jelas terlihat bahwa berdasarkan data dari WHO, rokok membunuh hampir lima juta orang setiap tahunnya. Jika hal ini berlanjut, maka bisa dipastikan bahwa 10 juta orang akan meninggal karena rokok per tahunnya pada tahun 2020, dengan 70% kasus terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Merokok juga merupakan jalur yang sangat berbahaya menuju hilangnya produktivitas dan hilangnya kesehatan. Menurut Tobacco Atlas yang diterbitkan oleh WHO, merokok adalah etiologi bagi hampir 90 persen kanker paru, 75 persen penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), dan juga menjadi 25 persen etiologi dari serangan jantung.

Saat ini, perokok tidak hanya kaum pria. Makin banyak kaum hawa yang menjadi perokok aktif. Peningkatan yang signifikan membuat insidensi kanker yang terkait kebiasaan merokok pada kaum wanita meningkat drastis. Tidak hanya kanker paru tapi juga banyak kanker akhir-akhir ini yang ternyata terkait dengan kebiasaan merokok. Bahkan kanker ginekologi saat ini dikaitkan dengan kebiasan merokok. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan insidensi terkena kanker ginekologi sampai lima kali lipat.

Pada sektor ekonomi, data Bank Dunia tahun 1990 menunjukkan bahwa anggaran pemerintah untuk memberikan pengobatan kuratif bagi penderita penyakit terkait kebiasaan merokok mencapai enam kali lipat lebih besar dari pemasukan yang didapat pemerintah dari cukai rokok. Masih dari data Bank Dunia, cukai rokok yang didapat pemerintah Indonesia mencapai 2,6 triliun rupiah per tahun. Tetapi di sisi lain, kerugian ekonomi terkait masalah merokok mencapai 14,5 triliun rupiah. Pemerintah hanya menghabiskan 1,7 triliun rupiah untuk sektor kesehatan jadi bisa dibayangkan bahwa sisa dana untuk kerugian kesehatan tersebut diambil dari dana pribadi masyarakat sendiri.

Dari ratusan milyar rokok yang diproduksi tiap tahunnya, kira-kira lebih dari 220 miliar batang rokok dikonsumsi oleh rakyat ekonomi lemah. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2001 menyatakan bahwa masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan cenderung untuk mengorbankan anggaran keluarga mereka untuk membeli rokok. Fakta ini menunjukkan rendahnya kualitas kesehatan rakyat Indonesia. Mereka lebih memilih membeli rokok daripada kebutuhan pokok keluarga mereka. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga terjadi di negara berkembang lainnya.

31 Mei, hari tanpa tembakau sedunia Tanggal 31 Mei dikenal sebagai hari tanpa tembakau sedunia. Tiap tahunnya kita memperingati tanggal tersebut dengan kampanye anti rokok dan banyak artikel di koran dan pendapat di televisi. Tapi, tetap masih tidak ada sikap dan peraturan yang tegas dari pemerintah mengenai masalah merokok. 31Mei tahun ini harus menjadi permulaan baru bagi pemerintah Indonesia untuk menunjukkan pada dunia bahwa mereka peduli pada kesehatan rakyatnya sendiri. Pemerintah tidak bisa tinggal diam. Pemerintah dapat memulainya dengan meratifikasi FCTC dan membuat peraturan yang tegas mengenai masalah merokok. Perokok adalah beban bagi bangsa ini di saat Indonesia masih harus berjuang melawan penyakit infeksi. Jadi jika beban tersebut bertambah dengan meningkatnya penyakit terkait masalah merokok maka Indonesia berada pada masalah besar.

Solusi untuk kontrol terhadap masalah merokok Pemerintah harus membuat langkah nyata untuk meminimalkan dampak merokok. Pemerintah dapat memulainya dengan meratifikasi dan mengimplementasikan FCTC serta membuat peraturan yang mengatur konsumsi tembakau dan masalah merokok. Pemerintah dan DPR dapat membuat undang-undang tentang kontrol terhadap konsumsi tembakau dan masalah merokok. Di sektor ekonomi, pemerintah dapat membuat cukai yang progresif untuk rokok. Cukai rokok dapat ditingkatkan sampai 5070 persen seperti yang diterapkan negara maju sehingga pemasukan pemerintah dari cukai rokok tetap tinggi tetapi konsumen rokok akan menurun karena cukai rokok yang tinggi akan meningkatkan harga jual rokok sehingga diperkirakan golongan ekonomi lemah yang menjadi mayoritas perokok akan tidak sanggup membeli rokok. Peraturan yang lebih tegas di semua bentuk media promosi dari rokok adalah salah satu cara dalam kampanye anti rokok di Indonesia. Pemerintah dapat membuat peraturan yang tegas tentang periklanan rokok di media dan dengan bantuan masyarakat maka pemerintah harus bekerja keras menyampaikan pesan bahwa kepada masyarakat tentang dampak berbahaya dari merokok pada aspek kesehatan dan ekonomi rakyat sebuah negara seperti Indonesia.

Tidak hanya pemerintah tetapi juga masyarakat harus memahami dampak berbahaya dari merokok. Masih perlu waktu untuk melihat peraturan mengenai rokok dapat berjalan dan kita tidak bisa tinggal diam. Tidak ada cara lain kecuali melindungi diri dan keluarga kita dari bahaya merokok. Terakhir, Mengapa kita tidak membuat Indonesia bebas dari asap rokok? Bukankah itu lebih baik?

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sedang menjalani program penelitian di Leiden University. Penelitian dalam rangka usaha pencegahan dan tatalaksana kanker leher rahim di negara berkembang dengan fokus Indonesia. Program ini disponsori oleh Asia-Link Female Cancer Program Foundation yang mendapat dana dari Pemerintah Belanda dan Europeaid Cooperation office.

MENCARI BENTUK KELAS VIRTUAL SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI KELAS PRESENSIAL: SEBUAH IDE

LATAR BELAKANG PEMIKIRAN Apakah kita bisa mengahadiri kelas tanpa harus hadir dalam ruang kelas? Jawabannya sangat singkat dan jelas, BISA. Apakah ada sekolah tanpa ruangan kelas? ADA! Apakah ada kurrikulum pengajaran tanpa kehadiran presencial? SEBUAH TANTANGAN. Kehadiran jaringan internet yang memadai adalah syarat utama menciptakan sebuah pengajaran virtual yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas dengan biaya yang jauh lebih murah dan peralatan yang jauh lebih sederhana. “ANDA PUNYA INTERNET ANDA SEKOLAH DI MANA SAJA DAN APA SAJA” MENGAPA INTERNET Internet sudah menjadi bagian integral dalam hidup kita saat ini, sesuatu yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sehari-hari. Internet menawarkan sumber informasi, memberikan ruang bagi hidup komunitas virtual, juga sekolah virtual. Ini adalah kesempatan baik guru maupun siswa untuk membuka peluang sistem pendidikan virtual sebagai bagian dari pendidikan alternatif. Dari program yang awam, seperti yahoo massager, netmeeting dan youtube menjadi alternatif bagi pengambangan pendidikan alternatif. Yang menarik adalah bagaimana mengabungkan program-program yang ada menjadi satu kesatuan yang integral. NILAI LEBIHNYA Pemanfaatan program-program yang ada di internet meniadakan jarak dan tempat, hal ini tentu sangat membatu bagi Indonesia yang adalah negara kepulauan. Seorang siswa dari dataran tinggi Karo, contohnya, bisa mengikuti kelas Prof. X yang sedang mengajar di Surabaya, karena pengajaran tersebut terkoneksi dengan jaringan internet. Menariknya bahwa sang siswa tersebut sedang menjaga adiknya di rumah. (Bagaimana kalau sedang mengembalakan sapi? Ketika masih SMP kami mendengarkan radio saat mengembalakan sapi)

Jika acara pengajaran sang dosen tersebut direkam dengan handycam yang sederhana, lalu dimasukkan ke youtube...maka tidak ada lagi kata terlambat untuk datang ke kelas, bukan? Dan selama ia ada di internet, ia tetap abadi. Jika suatu saat si siswa lupa akan pengajaran tersebut, tinggal klik, dan kembali ke point yang ia ingin dengar dan lihat. Selanjutnya kalau ada pertanyaan yang tidak jelas, si siswa mengirimkan email kepada si dosen. Kontak antara guru dan murid adalah kontak virtual yang tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan kontak lansung dalam ruang kelas. Point ini tentunya perlu diperhatikan karena, kelas virtual tidak bisa mengantikan kelas presencial, tetapi harus saling mendukung. Sistem ini secara langsung menjadi tantangan bagi guru dan pemerhati pendidikan untuk mengantisipasi keinginan siswa dan kebebasan siswa. Perbandingannya adalah, sebuah pengajaran yang bagus ibarat sebuah program televisi yang menarik, jika tidak, maka program tersebut akan ditinggalkan dan diganti dengan program yang lain. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa satu mata pelajaran (mata kuliah) akan diajarkan oleh satu atau dua dosen saja bagi semua universitas. Bagi guru atau dosen, menguasai bahan tidak lagi cukup, tetapi harus mampu membawanya dengan menarik dan dinamis. MENGAJAR ITU GAMPANG, MEMBUATNYA MENARIK ADALAH SENI. MENCARI KURRIKULUM BERBASISKAN KELAS VIRTUAL Ini adalah tugas bagi semua pemerhati pendidikan. BEBERAPA CONTOH YANG SEDANG DIBUAT Berikut ini saya paparkan beberapa contoh yang sudah saya buat sebagai experiment. Bahan yang saya jadikan dasar experiment adalah bahasa spanyol dan kebudayaannya, karena memang itulah bidang saya. http://www.youtube.com/watch?v=Mfc4XQ9FIXE http://www.youtube.com/watch?v=VMAipsMStW0 http://www.youtube.com/watch?v=iC4j5Ghbgg8 Contoh lain: http://www.youtube.com/watch?v=c-GPkPfxO0I&mode=related&search= http://www.youtube.com/watch?v=YDTfz1V9AJI&mode=related&search=

Advent Tambun Studi Master Ensenaza de Espanol como Lengua Extranjera Universidad de Alcala Spain

MENGENAL DAN MENGEMBANGKAN BIOETIKA DI INDONESIA Pengantar Presentasi ini dimaksudkan sebagai gapura untuk mengenal dan menceburkan diri lebih lanjut dalam perkembangan Bioetika di tingkat dunia maupun di tingkat nasional. Ada 3 hal yang akan digarap dalam paper ini. Bagian pertama membahas analisis situasi bioetika baik di tingkat dunia maupun di tingkat nasional. Bagian kedua akan membahas análisis tren, yang memperkenalkan sedikit arah baru perkembangan bioetika di tingkat dunia dan di Indonesia. Dan bagian terkahir, ketiga, akan membahas beberapa prospek pemikiran dan gagasan yang bisa digarap bersama-sama. Masingmasing bagian sebetulnya memerlukan penelitian yang detail dan pendalaman yang tekun. Dan mengingat terbatasnya informasi dan partisipasi penyaji berkaitan dengan pengembangan bioetika di Indonesia, maka paper ini mungkin juga berfungsi sebagai pintu perkenalan dan perjumpaan akademis.

Sejarah Bioetika: Pengertian dan Bidang Kajian Istilah “Bioetika” pertama kali muncul pada tahun 1974, dan diperkenalkan oleh Van Rensselaer Potter dalam bukunya Bioethics: Bridge to the Future (1971). Ia mendifinisikan bioetika sebagai sebuah disiplin ilmu yang mengkombinasikan pengetahuan biologi dengan pengetahuan sistim nilai manusiawi1. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa istilah ini berasal dari praktek masa lampau, seperti etika kedokteran2. Jauh sebelum lahir bioetika, di kebudayaan barat, dikenal Sumpah Hipocrates (abad III dan IV SM) yang berisi implikasi etika kedokteran: kewajiban etika dokter berhadapan dengan guru dan keluarga serta hubungan antara dokter dengan pasien3. Sumpah ini merupakan bagian dari Corpus Hippocraticum, kumpulan tulisan yang dikalifikasikan para Bapak Kedokteran. Di lain budaya, dapat ditemukan juga Sumpah Inisiasi, Caraka Samhita dari India abad I, Sumpah Asaph abad III-IV dan Nasihat kepada seorang dokter abad X yang datang dari dunia arab. Ada juga Lima perintah dan sepuluh tuntutan dari Chen Shih Kung, tabib cina pada abad XVII4. Sintesis dari pedoman etika itu dirangkum dalam konsep latin primum non nocere yang artinya “dari semua, tidak membuat sakit”. Menjelang pada abad XIX, Thomas Percival, Bapak Etika Kedokteran membuat semacam etika dasar untuk praktek

1

V

.

2

C

3

.

C

1

R

E

.

-

a

P

.

f

7

.

,

T

J

1

H

E

L

A

S

:

T

Y

G

.

h

T

A

.

9

t

O

,

O

B

R

F

u

u

R

O

,

E

,

m

a

a

n

o

e

t

L

p

m

i

h

o

t

i

c

s

h

M

i

e

c

s

f

ó

p

d

i

s

C

H

h

o

d

c

c

i

o

i

g

i

e

v

d

l

t

t

é

s

o

e

n

m

t

,

d

n

s

a

e

r

a

g

r

n

B

r

i

o

i

:

r

d

a

.

e

i

p

3

o

n

t

c

o

a

,

t

i

e

o

s

t

n

h

n

,

i

.

2

l

u

a

e

d

o

F

t

l

h

n

i

J

h

n

a

o

u

e

.

n

h

i

i

)

e

o

e

s

7

l

r

(

l

8

g

p

O

a

9

E

t

F

n

1

,

l

A

a

.

e

a

G

t

v

r

n

o

f

d

s

w

e

.

y

)

s

s

,

D

a

d

.

O

4

J

.

G

a

f

o

,

o

.

c

.

,

1

9

.

1

o

i

d

C

o

i

n

l

a

e

l

:

m

a

l

i

S

f

c

a

m

f

(

i

s

t

s

e

t

l

.

n

é

u

N

i

c

i

s

)

1

e

c

a

J

o

n

9

1

s

7

5

3

d

P

1

(

e

H

I

.

l

L

I

P

1

9

9

a

M

F

R

6

)

e

A

7

d

N

i

K

1

c

L

6

i

I

N

.

n

a

W

a

A

c

G

t

L

u

E

a

Y

l

,

,

M

T

h

a

e

d

H

r

i

i

p

d

p

,

1

o

9

c

r

8

a

6

t

i

,

c

kedokteran5. Pada abad XIX bermunculan di berbagai negara banyak Asosiasi o Perserikatan Para Dokter. Dan setelah perang dunia ke II, muncul Hukum Keperawatan6 dan Hukum Nuremburg (1946), Deklarasi Genewa (1948) dalam 2 pertemuan pentingnya th. 1948 dan 1949 dengan mengembangkan Hukum Internasional Etika Kedokteran7. Dengan pengetahuannya Potter menggunakan istilah bioetika untuk pertama kalinya. Tokoh lain yang menggunakan istilah ini adalah André Helleger, bidan belanda yang bekerja di Universitas Georgetown. Enam bulan setelah Potter, Helleger memberikan nama sebuah pusat studi bioetika pertama di USA: Joseph and Rose Kennedy Institute for Human Study of Human Reproduction and Bioethics di Universitas Washington DC pada 1 juli 1971. W.T Reich menegaskan bahwa bioetika lahir di dua tempat, di Madison Wisconsin dan Universitas Georgetown8. Istilah bioetika menunjuk pada 2 hal: ilmu pengetahuan dan pemahaman mengenai kemanusiaan. Selain WT Reich, secara khusus, bioetika di USA mempunyai ¨sejarah” tersendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Alberth R. Jonsen9. Ia memberikan beberapa tahap perkembangan bioetika: Adminission and Policy th 1962 di Pusat Kedokteran Universitas Seattle, New England Journal of Medicine (1966), Komisi Nasional Alabama, Informe Belmont, Havard Medical School, Kasus Karen A Quinlan 1975, dan yang paling berpengaruh kemudian adalah Hasting Center (1969). Dalam sejarah awal ini, bioetika berkutat hanya pada masalah kesehatan dan kedokteran. Sejarah kedua bioetika disebut sebagai sejarah konsolodasi. Itu tercermin dari difinisi yang diberikan. Ensiklopedi Bioetika10 menerjemahkan bioetika sebagai studi sistimatis perilaku dan tindakan yang berhubungan dengan biologi dan kesehatan yang memikirkan nilai-nilai dan prinsip moral. Asosiasi internacional Bioetika mengungkapkan bahwa bioetika adalah studi etika, sosial, hukum, filsafat dll yang berkaitan dengan perawatan kesehatan dan ilmu biologi. L. Feito11 mengatakan bahwa bioetika adalah ilmu baru yang mempelajari tindakan manusia dan ilmu yang berkaitan dengan hidup. Bidang bioetika yang dipikirkan pada tahap ini adalah: Etika Biomedika, Etika Gen Manusia, Etika Binatang dan etika lingkungan hidup.

5

m

h

u

6

7

n

I

d

i

f

l

i

.

f

9

O

r

a

.

R

y

e

F

l

i

.

c

a

a

n

s

g

i

d

a

J

O

N

i

n

O

N

k

S

i

t

u

n

a

r

g

k

a

,

G

l

a

d

p

o

k

k

a

t

n

e

o

r

d

l

e

e

h

n

T

g

a

h

o

n

m

a

a

p

o

s

t

P

e

e

k

r

e

r

c

i

;

v

a

4

l

)

:

1

b

e

)

k

b

e

e

r

r

a

a

p

m

a

a

k

h

t

a

a

s

m

u

a

s

y

n

a

a

n

n

;

g

2

m

)

e

p

r

m

a

e

k

r

l

t

e

u

k

k

L

l

b

t

a

o

r

i

a

d

9

B

B

4

i

g

p

i



9

l

n

m

d

1

a

e

C

r

(

o

n

,

o

m

a

l

a

m

E

t

i

c

a

y

L

e

g

i

s

l

a

c

i

ó

n

,

2

7

-

4

4

.

R

u

m

u

s

a

n

H

u

k

u

m

K

e

p

e

r

1

1

.

L

.

F

r

n

a

é

o

)

o

t

i

t

c

e

i

-

s

m

e

h

9

i

k

d

t

1

h

r

s

e

3

e

e

B

c

3

s

i



3

:

b

o

I

,

u

l

i

i

a

c

s

-

t

o

i

l

h

2

o

r

F

r

3

g

p

:

i

6

n

n

a

B

2

d

g

t

t

3

i

n

é

:

5

B

a

n

a

i

p

H

a

8

s

n

-

u

d

p

r

m

t

i

a

h

n

s

n

e

i

L

i

s

e

p

t

b

i

g

c

i

o

a

a

c

e

N

i

e

t

i

o

s

,

o

k

a

d

3

3

f

t

a

l

4

(

h

o

s

a

m

1

k

9

9

e

o

3

W

n

)

h

t

3

o

e

8

k

9

S

s

-

h

K

4

a

o

1

p

8

e

m

i

s

p

T

E

.

I

T

R

O

E

I

G

C

H

R

(

A

N

e

d

D

.

E

,

)

,

E

P

a

w

i

v

a

e

a

i

r

t

t

a

i

t

m

a

u

b

a

p

n

u

g

n

a

n

t

a

n

i

t

u

d

a

l

a

m

I

t

,

K

e

.

n

t

h

e

L

e

o

p

a

r

d

L

e

g

a

c

y

,

E

a

s

t

L

a

n

s

i

n

g

,

1

9

8

8

n

c

n

o

y

c

r

a

l

o

m

p

e

a

d

h

i

i

a

s

o

t

ó

f

B

r

i

c

i

o

o

e

d

t

e

h

i

l

a

c

s

I

B

i

,

o

T

h

é

t

e

i

c

F

a

r

:

e

M

2

e

P

o

r

r

a

e

l

s

i

a

s

,

2

N

0

e

w

(

M

Y

a

o

d

r

r

k

i

d

1

,

9

1

7

9

.

8

9

7

)

4

6

5

B

i

o

e

t

i

k

a

d

a

p

a

t

.

d

0 W

p

a

.

e

E

4

r

7

t

W

a

e

4

B

e

n

f

4

t

A

h

n

-

a

C

T

r

7

g

E

u

E

0

n

,

o

S

y

4

C

H

J

a

.

s

N

C

c

l

i

A

I

s

i

a

s

R

E

t

h

a

R

h

E

i

m

t

t

a

r

,

d

W

E

A

F

t

o

h

T

o

a

m

)

.

A

h

e

3

m

G

i

t

;

u

.

l

4

m

k

i

8

a

u

J

d

1

d

A

u

d

s

t

.

n

n

e

d

y

I

n

s

t

i

t

u

t

e

Yang terakhir adalah Francesc Abel yang memahami bioetika sebagai studi interdisipliner, yang berorientasi pada pengambilan keputusan etika berdasarkan dari berbagai sistem etika atas kemajuan ilmu kesehatan dan biologi, dalam skala mikro dan makrososial, mikro dan makro ekonomi dan pengaruhnya dalam masyakarat dan sistim nilai, baik untuk masa kini maupun masa mendatang12. Bioetika dimenerti secara lebih luas dan tidak diphami hanya sekedar bioteknologi saja13. Dan definisi ini berkisar secara kuat kepada pengertian dan isi dari “martabat manusia”14. Tema-tema yang dibahas oleh bioetika menjadi sangat beragam. Beberapa di antaranya adalah: asistensi kesehatan, aborsi, teknologi prokreasi, cloning, eutanasia, bunuh diri, hukuman mati, studi klinis manusia, transplantasi organ, manipulasi gen manusia, AIDS, obat-obatan terlarang dan ekologi. Dari masing-masing bidang ini, masih ada beberapa kajian khusus seperti pengawetan sperma dan ovum serta embrio. Keluasan tema ini15. Dari sejarah singkat kelahiran bioetika ini, ada dua perubahan besar dalam etika: yang pertama, etika dibahas dalam kerangka secular bukan dalam kerangka agama; yang kedua, yang menjadi pemeran utama adalah pasien bukan dokter. Kecenderungan ini kemudian menempatkan etika dalam tataran martabat, autonomi dan kebebasan dasarnya atau menyempitkan pengertian etika dalam kerangka hokum, berkaitan dengan masalah hak, kewajiban dan kebebasan pasien.

Pertimbangan etika dasar Pada dasarnya ada beberapa proposal dasar prinsip-prinsip bioetika yang diterima untuk seluruh dunia bioetika. Prinsip pertama muncul beawal dari pembetukan Komisi Bioetika Nasional USA 1974 yang berfungsi meneliti kriteria kriteria yang seharusnya diterapkan dalam penyelidikan tentang manusia dalam bidang ilmu etika dan biomedika. Prinsip etika ini

2

1

F

M

3

1

1

e

r

M

e

E

S

e

n

t

i

i

r

i

d

t

e

u

i

i

a

l

i

n

t

d

i

a

a

I

n

e

.

Á

:

o

i

k

r

i

í

g

e

n

e

s

l

a

a

e

c

o

,

p

r

e

s

e

i

ó

n

s

a

)

b

e

d

a

(

D

B

l

b

l

a

S

,

e

m

a

O

.

n

m

i

C

d

l

n

a

a

m

,

h

e

a

k

e

t

e

y

f

t

e

u

í

k

a

k

t

A

e

r

.

u

r

o

,

n

I

g

d

C

s

.

S

i

m

H

c

t

D

u

a

E

t

i

t

,

n

u

t

A

e

u

B

o

r

j

3

a

a

i

y

n

a

d

l

o

n

a

r

a

n

e

B

i

o

é

t

i

c

a

-

F

u

n

d

a

c

i

ó

n

M

a

p

f

r

e

,

n

a

g

)

B

n

a

m

m

é

m

.

l

s

o

e

a

e

o

i

i

a

a

i

h

h

i

,

d

t

e

y

i

l

m

l

c

v

o

o

s

a

u

i

s

o

y

í

a

a

e

a

y

g

.

.

b

.

J

.

s

p

n

,

e

U

l

r

k

s

c

i

i

i

.

a

i

l

s

0

n

E

l

R

i

7

d

e

m

,

e

c

2

n

i

0

g

E

a

a

e

n

-

D

s

2

s

v

l

p

-

a

e

a

o

s

,

D

A

u

v

,

a

E

d

e

í

N

N

t

N

g

n

n

:

2

a

U

Á

o

U

a

a

R

l

,

e

a

,

t

o

Q

l

a

a

.

o

N

a

O

n

e

h

n

p

M

c

a

c

e

a

Z

e

n

e

e

o

t

E

t

a

r

n

d

u

N

o

m

v

a

Í

i

e

R

a

g

d

n

l

n

y

f

u

:

c

T

B

D

m

e

R

)

y

a

d

.

h

a

s

a

A

d

d

í

a

M

r

a

f

a

r

.

o

d

o

d

y

N

o

i

s

b

a

t

i

:

c

n

o

a

n

a

F

g

t

l

n

i

m

(

l

a

a

l

i

i

a

v

c

l

i

t

a

i

i

l

a

N

F

p

p

t

,

0

a

l

Á

d

a

d

1

a

R

a

c

t

,

d

i

i

k

d

d

O

L

t

m

l

n

M

é

a

)

a

e

Z

n

p

a

,

m

E

o

.

a

d

h

a

d

l

4

N

i

a

r

i

.

k

a

i

i

Í

B

a

u

d

b

,

o

f

C

o

a

d

e

3

d

)

d

,

T

d

o

a

y

c

k

a

i

e

;

.

s

c

8

R

3

d

a

(

n

;

4

u

s

l

A

r

Z

u

e

(

-

9

a

M

o

l

I

9

r

.

h

7

O

a

o

n

5

1

3

c

U

a

2

N

l

d

i

R

n

-

c

,

b

d

N

(

a

a

i

e

:

3

M

7

C

m

b

0

-

r

s

n

O

Z

t

d

i

e

E

3

L

0

N

m

2

r

e

l

a

u

,

a

A

U

b

a

,

g

Q

a

d

.

O

a

a

a

l

j

s

C

n

Z

M

2

L

a

,

a

a

a

Á

t

l

c

E

y

r

s

e

i

d

L

o

p

D

B

a

,

R

a

s

.

n

d

S

k

i

.

m

a

n

M

n

.

i

é

O

J

c

d

a

e

.

g

M

t

e

)

a

.

u

s

i

g

r

t

e

t

C

:

a

D

o

M

m

e

,

l

.

A

s

n

O

n

T

m

R

n

s

a

G

o

,

s

A

e

n

e

,

M

,

a

p

n

s

k

o

n

a

o

.

e

o

d

i

e

a

r

N

n

n

s

o

A

c

r

s

a

M

c

p

C

t

i

r

c

m

t

n

L

o

a

a

i

a

.

l

é

e

E

i

g

a

n

e

s

g

A

D

e

i

m

:

.

p

u

t

o

m

a

n

s

C

a

5

l

e

,

l

a

v

G

e

e

m

n

l

0

t

R

r

a

a

2

d

t

i

y

s

d

a

n

a

A

o

b

d

-

a

n

a

5

E

M

c

a

,

n

,

d

e

s

6

o

i

t

m

a

.

(

k

n

n

r

a

1

n

a

u

c

m

M

s

a

o

v

g

n

i

,

u

i

a

a

d

4

N

g

d

a

m

H

h

i

i

é

0

A

R

l

d

i

l

c

d

m

d

d

D

O

a

m

0

a

a

i

y

u

a

o

o

n

t

a

n

d

2

M

é

c

h

i

d

o

i

e

i

a

b

t

g

b

i

i

Z

a

n

l

r

m

E

a

r

p

N

l

i

d

n

s

n

e

r

Í

c

V

e

T

n

p

i

,

i

g

é

a

g

e

l

i

o

n

d

i

n

D

a

R

e

o

e

,

c

s

D

i

M

I

i

B

.

i

e

n

,

6

B

m

g

E

-

,

n

i

c

,

A

a

h

a

a

5

o

y

g

N

d

e

P

e

l

a

R

B

,

n

d

o

i

A

M

f

5

k

l

F

é

.

r

i

n

o

N

h

t

É

e

k

1

l

T

G

c

s

i

,

A

1

r

t

a

F

0

o

r

n

e

e

I

0

d

e

o

L

2

g

s

v

d

n

e

r

n

i

A

P

e

E

B

r

.

4

D

A

d

R

P

i

.

a

a

l

.

a

n

dikenal dengan nama Informe Belmont 197816. Dalam Informe Belmont ini dipaparkan tiga prinsip etika dasar: 1. Penghormatan kepada pribadi: individu harus diperlakukan sebagai pribadi dan pribadi yang mempunyai autonomi terbatas harus dilindungi. 2. Kebaikan: mencari yang baik bagi pasien menurut kemampuan dan pengetahuan besar dokter. Tidak membuat sakit-merusak. 3. Keadilan: Distribusi. Ada beberapa kriteria mengenai keadilan o berpartisipasi secara sama o sesuai dengan kebutuhan individu o sesuai dengan konstribusi sosial o sesuai dengan kemampunannya o sesuai dengan hukum timbal balik yang bebas.

Informe Beltmon dicoba pada tahun 1978 dan disahkan secara publik pada tahun 1979. Prinsip itu memberikan tekanan tekanan yang penting bagi beberapa tema: otonomi pasien dan persetujuan pasien, evaluasi resiko dan keuntungan, dan kesediaan personal untuk menjadi subyek dari investigasi. Prinsip bioetika yang lain muncul dari seorang filsuf dan teolog, Beauchamp dan Childress, yang mempublikasikan Principles of Biomedical Ethics 197917. Mereka mengemukakan empat prinsip dasar bioetika yang dipikirkan dari beberapa dasar etika Sumpah Hipocrates, Surat hak Pasien, Deklarasi Geneva (1948) yaitu: 1. Otonomi: Dasar dari prinsip otonomi adalah bahwa setiap individu mampu bebas dari obyek personal dan bertindak seturut kebebasannya. Otonomi ini mempunyai 3 syarat dasar: a. mempunyai maksud/intense b. paham akan arti tindakannya c. tidak berada dalam pengaruh luar. 2. Tidak merugikan: “primum non nocere” artinya bahwa tidak diperbolehkan membuat rusak dan kejelekan. Diterjemahkan dalam kata lain: tidak menyebabkan sakit.

6

1

C

U

1

D

O

S

7

.

M

G

T

G

A

M

I

o

L

v

B

R

S

S

e

e

C

I

r

a

I

O

n

u

A

,

N

P

F

m

c

e

a

r

O

m

i

R

n

c

T

n

t

p

i

H

P

d

p

i

E

r

a

o

P

i

n

s

R

n

t

J

y

O

i

F

T

n

m

E

C

g

C

e

T

I

O

h

f

i

l

t

d

N

f

d

o

O

i

r

c

e

e

o

O

,

s

l

F

1

s

,

o

g

H

9

P

í

U

7

r

a

d

M

9

i

A

:

n

l

S

R

A

c

e

N

i

p

U

J

l

e

a

B

B

O

s

N

o

i

E

J

S

f

C

O

o

e

T

N

B

t

S

,

i

o

i

c

O

T

m

a

,

F

B

h

d

I

e

e

4

i

l

M

B

d

a

O

i

c

r

a

a

E

t

l

m

Q

D

I

h

C

o

E

t

L

f

h

u

A

B

i

c

a

A

i

s

d

N

o

,

e

r

D

e

O

n

B

t

x

h

i

f

o

E

H

c

o

s

r

s

C

A

V

,

d

I

O

,

x

N

a

O

p

R

f

o

e

s

A

w

n

L

r

o

R

d

E

,

Y

1

S

E

N

o

e

r

k

9

A

w

,

(

R

C

s

1

1

9

H

,

Y

9

o

9

4

9

1

W

)

a

r

k

.

,

9

s

1

;

h

9

i

9

N

n

A

g

8

t

.

T

o

I

n

O

N

D

A

L

C

,

3. Menguntungkan: harus berbuat baik. Yang diungkapkan dalam: a. Melindungi dan membela hak asasi orang lain b. Mengantisipasi supaya tidak ada yang merugikan orang lain c. Menghilangkan kondisi-kondisi yang dapat memancing prasangka terhadap orang lain d. Membantu orang-orang cacat e. Menyelamatkan orang yang berada dalam bahaya . 4. Keadilan: keadilan distributif: kasus yang sama seharusnya diperlakukan dengan cara sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dengan cara yang berbeda. Dalam bahasa latin disebut: Justitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tibuens.

Kedua prinsip dasar bioetika itu kemudian berkembang secara meluas dan dimodifikasi. Beberapa pendasaran etika yang sampai sekarang masih terus diperkembangankan adalah: 1. Kasuismo: muncul di kalangan pemikiran teologi katolik pada abad XVI yang meletakkan dasar etika pada “perhatian pada kasus khusus dan situasi kongret”18. Pertanyaan yang digunakan: siapa, apa, mengapa, dimana dan kapan. Toulmin dan Jonsen adalah pengembang etika kasuista. Menurut L Feito, etika ini berkembang di daerah anglosaxon19. 2. Teoria mengenai keutamaan (virtues). Etika ini berdasarkan pada nilai-nilai yang secara habitual diungkapkan dalam tindakan. Prinsip: Dengan berbuat baik membentuk pribadi yang baik. Etika ini secara modern diangkat lagi oleh Edmunt Pellegrino dari Universitas Georgetown dan David C Thomasma dari Universitas Loyola Chicago20.

8

1

T

M

t

h

J

5

.

P

E

o

T

L

T

E

G

R

n

a

I

a

r

l

d

L

N

O

N

1

o

i

e

a

r

5

o

s

d

)

o

2

p

i

5

h

s

V

3

y

i

-

o

2

f

l

n

ó

r

r

t

7

u

7

t

e

;

h

-

B

E

e

d

s

D

H

l

A

e

a

E

l

s

i

L

E

r

é

r

I

r

o

i

c

t

i

v

d

e

s

s

i

l

t

,

a

o

h

s

5

l

H

M

o

i

a

e

A

r

S

k

,

a

M

l

A

1

d

t

,

9

P

c

o

h

i

7

7

)

e

i

s

l

o

t

1

i

s

s

i

p

c

8

-

s

h

d

c

a

r

K

l

e

s

3

i

s

h

r

J

1

u

t

i

o

c

u

9

t

o

r

y

d

k

(

r

n

.

I

A

n

H

P

M

d

a

l

l

)

5

i

a

,

(

s

n

1

1

t

o

n

i

9

9

r

n

9

9

y

o

g

f

5

5

.

)

f

o

r

R

A

2

3

7

-

.

.

o

i

d

c

-

s

e

e

i

3

9

f

a

M

r

h

2

7

x

,

i

1

4

O

t

C

e

F

E

)

f

s

,

f

6

o

a

s

o

n

e

C

i

,

o

o

h

9

7

e

s

A

e

9

c

u

,

t

u

4

t

b

R

E

t

(

c

f

E

l

t

9

A

C

a

s

a

e

N

5

r

r

.

i

9

h

E

n

s

P

1

T

P

n

P

A

8

i

e

1

l

h

,

I

i

(

a

l

y

0

c

N

S

d

u

2

i

I

M

C

e

t

d

M

.

o

n

S

e

r

O

Y

t

n

l

a

L

E

n

M

o

U

n

e

a

r

O

a

o

c

o

H

i

i

n

f

w

t

g

T

d

K

M

T

e

o

.

R

m

l

i

c

S

E

c

a

o

C

N

L

u

l

s

i

n

L

d

a

m

e

D

n

r

e

u

E

a

I

D

h

t

n

o

t

?

a

r

e

a

i

n

s

d

V

d

M

T

,

N

G

I

e

m

a

E

F

,

l

a

S

,

)

p

l

O

f

d

i

N

R

e

a

N

e

c

h

O

E

a

t

m

R

P

(

n

T

J

H

d

o

o

C

i

,

,

G

T

r

r

y

i

A

E

g

E

P

t

N

L

n

H

B

M

d

P

e

C

R

A

L

o

a

S

h

F

T

i

e

,

t

u

e

M

a

E

t

s

l

C

L

n

a

O

J

F

e

o

H

o

;

.

C

c

T

n

8

m

f

i

C

a

8

C

e

o

k

9

J

p

t

a

1

m

r

D

a

a

u

k

,

m

t

n

u

y

l

o

h

a

m

e

a

e

a

d

e

l

C

R

m

k

e

d

r

e

i

k

s

o

O

9

d

r

t

e

h

a

i

e

n

v

r

N

w

l

i

i

n

B

T

o

I

9

h

,

,

R

T

(

t

t

n

G

,

P

a

N

i

g

a

a

E

o

n

n

A

P

5

a

r

E

L

m

i

P

e

,

E

s

n

f

t

E

O

P

r

w

I

i

o

o

l

K

u

s

e

.

E

s

a

A

D

L

u

o

r

F

F

a

e

,

J

E

k

R

N

.

L

0

J

E

1

i

l

a

S

9

r

a

C

N

2

2

o

r

e

O

1

e

o

d

,

e

B

N

n

a

n

s

i

e

e

s

w

d

Y

y

o

f

n

I

M

o

s

r

t

e

k

i

d

t

,

u

i

1

t

c

a

9

9

e

o

l

P

3

f

.

E

r

a

E

t

c

.

h

t

i

i

c

D

c

s

e

:

3. Etika Keperawatan. Etika mempunyai awal referensi ke Kohberg21 yang melihat etika perawat untuk wanita dan etika keadilan untuk pria. Secara modern, etika ini dikembangkan oleh Carol Gilligan22, asisten dari Kohlberg dan juga secara kristis dikembangkan oleh Helga Kuhse23 dalam bidang perawatan medis. 4. Etika Tanggungjawab. Etika ini dikembangkan secara baru oleh seorang spanyol, D. Garcia24. Etika ini mempunyai 3 karakteristik: mempunyai aturan normativa, deontologis dan disertai dengan análisis situasi dan konsekuensi. Darii tu bioetika mempunyai beberapa karaktek: harus menjadi etika sekular (bukan langsung etika agama), harus menjadi etika plural, harus menjadi etika yang otonom dan bukan heteronom, harus rasional, mempunyai aspirasi universal dan yang terakhir harus mempunyai sikap kritis terhadap kenyataan plurar. 5. Etika utilitarista. Salah satu etika yang dalam bioetika menjadi semakin semarak dan menjadi vahan kontroversi adalah etika utilitarista dari Peter Singer25, etika yang didasarkan pada antropologi manusia pada bertumpu pada kesadaran dan kemampuan untuk membentuk proyek hidup. Dari sedikit penjelasan di atas, sebetulnya dapat dilihat konteks bioetika, análisis tren bioetika dan yang perlu yaitu analisis strategi etika. Ini sekedar perkenalan, jika suatu saat perlu menggarap bioetika lebih dari segi etika berdasarkan konteks antropologi dan budaya Indonesia yang lebih mendalam dan detail. Mungkin ini adalah Pekerjaan Rumah bagi mereka yang berkecimpung di dunia biologi, kedokteran dan moral untuk mempelajari kembali perdebatan etika modern di tingkat dunia dan membuat semacam proyek bioetika indonesia berdasarkan pada keanekaragaman agama suku dan budaya serta situasi sosial ekonomi penduduk setempat dan kemudian merumuskan garis-garis besar etika yang bisa dikuatkan secara umum dalam undangundang yang flexible dalam bidang biomedis.

2

1

2

L

.

2

1

C

8

3

2

H

-

a

B

i

r

n

u

z

D

q

e

s

G

g

A

,

N

P

s

,

I

i

e

i

c

o

n

9

l

a

o

g

d

i

é

t

i

f

a

f

d

e

c

a

d

l

i

z

a

t

r

e

e

t

a

r

r

l

r

d

i

v

n

i

l

n

d

e

t

s

V

a

o

a

a

e

i

r

c

o

n

n

a

h

a

,

u

m

d

l

r

o

e

l

:

l

P

o

m

s

y

o

c

í

t

i

i

a

c

,

d

x

j

s

,

C

i

t

o

ó

a

t

r

h

o

t

a

l

c

a

C

l

o

,

B

g

,

i

B

a

r

r

c

r

i

c

,

e

l

o

M

s

a

l

b

a

a

l

o

T

,

1

h

o

n

n

e

2

d

r

i

9

o

9

r

9

.

y

a

9

9

n

0

2

d

i

b

W

o

m

e

n

´

s

D

e

v

e

l

o

p

m

e

n

t

,

C

a

m

b

r

i

d

g

e

,

M

a

s

s

,

l

U

n

3

6

«

P

a

9

,

y

i

e

d

t

e

a

i

t

i

a

l

o

r

a

t

i

r

c

i

a

a

9

t

c

t

i

r

9

i

i

2

s

)

s

i

n

d

,

T

o

a

s

e

C

u

a

r

b

,

u

e

M

s

,

r

:

i

a

2

i

c

r

i

1

r

i

d

c

a

n

i

,

i

c

v

a

r

b

8

2

l

r

e

m

9

a

A

i

u

9

í

,

.

n

r

l

a

U

e

d

d

7

h

n

d

r

C

o

e

l

d

M

e

g

a

1

t

i

d

e

a

a

d

c

-

r

e

i

9

t

b

t

1

o

o

t

É

1

r

m

r

n

4

t

s

a

e

t

2

e

u

t

e

2

u

m

r

n

d

)

a

ó

o

n

y

T

,

i

a

e

l

,

c

a

ª

»

o

7

r

i

y

o

t

9

c

a

e

a

a

(

d

r

1

d

p

a

m

c

e

a

c

i

i

s

c

c

v

S

(

i

o

a

e

d

2

m

n

:

s

é

á

l

o

a

e

r

G

t

a

D

p

s

n

r

v

;

a

n

e

a

e

9

c

é

i

u

9

e

t

m

n

p

c

i

p

9

É

R

d

a

1

5

o

v

n

d

,

r

e

s

u

i

5

c

o

:

r

9

9

o

H

l

d

1

.

r

r

a

9

7

P

o

m

d

1

E

;

0

a

i

9

;

a

a

;

0

0

r

9

9

M

d

7

1

8

L

n

,

n

,

9

a

a

o

d

m

n

t

l

r

1

a

a

e

0

d

t

o

,

ó

M

c

1

f

d

l

i

o

,

r

a

a

c

r

a

i

a

a

a

a

x

r

d

r

z

B

O

d

T

n

,

,

,

e

.

a

l

l

c

b

5

i

e

c

a

i

i

8

l

i

c

e

a

n

L

9

i

M

í

.

A

r

h

,

l

4

A

t

a

1

c

a

c

a

8

,

d

E

i

o

r

e

d

t

9

i

B

á

i

c

,

n

é

1

É

e

a

o

a

e

m

a

n

i

É

n

é

d

P

n

a

o

M

r

e

B

l

l

,

i

r

m

e

e

e

o

v

,

a

l

i

i

C

m

d

c

i

v

o

d

s

r

n

a

W

s

a

a

p

,

o

o

B

r

i

s

t

t

,

z

a

c

e

n

n

l

m

i

i

d

e

u

p

a

w

a

o

a

s

e

e

i

C

C

c

r

m

r

a

,

i

u

m

a

A

r

5

É

N

a

d

,

o

8

;

i

a

a

9

a

t

:

d

n

c

i

g

n

u

i

d

5

n

u

F

t

1

9

i

F

;

c

a

r

,

E

9

d

r

a

A

á

,

a

r

c

s

C

I

9

r

n

1

,

C

1

e

o

r

E

p

l

l

S

,

,

t

a

r

R

a

e

s

u

s

I

H

d

c

c

s

e

e

A

a

r

b

L

U

i

i

m

e

L

G

r

t

a

P

i

K

d

É

n

I

.

a

5

l

.

D

M

h

G

2

4

2

o

.

9

2

K

s

i

l

t

e

n

0

,

y

d

U

0

s

e

e

;

0

o

i

a

y

Analisis Situasi Situasi Pengembangan Bioetika di lingkup Dunia Perkembangan bioetika di lingkup dunia sangatlah cepat, luas dan mencakup banyak tema. Jumlah pusat pengkajian bioetika bekembang di Amerika maupun Eropa dengan cepat. Pada tahun 1984 saja di Pusat Bioetika Institut Kennedy diregistrasi sekitar 40.000 judul (10.000 buku dan 30.000 artikel). Bioetika juga muncul dalam kongres, kursus etika untuk untuk formasi dokter, diskusi-diskusi mengenasi legislasi sanitaria, penelitian kedokteran dll. Ketertarikan bioetika nampak semakin nyata dalam pembentukan komisi etika atau bioetika, Komisi etika asesor untuk Dewan Kongres dan beberapa komite etika untuk rumah sakit. Beberapa Pusat pengkajian bioetika: Universitas Goergetown (1971), Hasting Center, Pusat Bioetika di Montreal (1976), Pusat Bioetika di Barcelona San Curgat del Vallés, Universitas Pontificial Comillas Madrid, Universitas Katolik di Lovaina (Belgia), dan beberapa Universitas seperti Düsseldorf (Jerman), Sacro Coure Roma (Italia), Maastrich (Belanda), Institut Katolik Lille (Perancis) yang mengajakan mata kuliah etika kesehatan-kedokteran. Tahun sekarang, jumlah universitas dan pengkajian bioetika semakin bertambah dengan cepat. Beberapa publikasi tentang bioetika juga melimpah dengan cepat sekitar tahun 80-90 an. Dapat disebut beberapa: Anime e Corpi (Italia), Artz un Christ (Jerman, Austria dan Swis), Cahiers de bioéthique (Canada), Catholic Medical Quarterly (Inggris), Ethics in Science and Medicine, Hasting Center Report (USA), Journal of Medical Ethics (London), Journal of Religion and Health, Labor Hospitalaria (Barcelona), Laennec, Linacre Quartely, Man and Medicine, Médicine de l´Homme, Medicina e morale, Res medicae, saint Luc medical-Saint-Lucas Tijdchrift dll. Dalam tingkat internasional, juga dibentuk Komite Bioetika Internasional tahun 1993 oleh 36 tokoh dan mulai tahun 1998 bekerjasama dengan UNESCO. Komisi ini bekerjasama dengan UNESCO untuk mengembangkan etika dalam kesehatan dan penelitian medis. Tahun 1997, PBB mengeluarkan Deklarasi Universal Mengenai Gen Manusia dan HAM (11 november 1997) yang di satu sisi menjaga martabat dan kebebasan manusia, tetapi di lain sisi memberikan ruang gerak bagi penelitian gen manusia. Sebelumnya ada Deklarasi mengenai prinsip-prinsip mengenai praktek investigasi genetika (disah oleh Komisi HUGO di Heidelberg, 21 maret 1996). Pada 16 Oktober 2003 juga dikeluarkan Deklarasi Universal Mengenai Data Genetik Manusia. Dan pada 19 oktober 2005 dikeluarkan Deklarasi Universal Mengenai Bioetika dan HAM. Dibeberapa negara uni-eropa dan Amerika semakin berkutat dengan legalisasi menenegai aborsi, eutanasia, kloning, prokreasi antifisial, penelitian dengan embrion dsb. Dan setiap negara berbeda dalam penanganan etika walaupun tetap memegang prinsip-prinsip etika yang sama.

Situasi Pengembangan Bioetika di lingkup Asean 7

Ditingkat ASEAN juga terdapat beberapa pertemuan tingkat asean, kongres dan diskusi. Salah satu universitas yang cukup berkecimpung dalam pembahasan bioetika adalah Chulalongkorn University, Thailand, Universitas Nasional Vietnam, Universitas Filipina yang dalam proyek Asean-EU Lemlife. Kajian bioetika di tingkat banyak diwarnai oleh pedebatan dan diskusi mengenai pendasaran etika sekular dan agama atas praktek bioetika. Di tingkat Asia dikenal juga Asosiasi Bioetika Asian (ABA) yang berpusat di Thailand, sudah melaksanakan 8 kali konferensi, dan konferensi yang kesembilan nantinya akan diadakan di Yogyakarta pada 3-7 november 2008. Bahanbahan konferensi ini dapat dilihat secara lebih jelas dalam websitenya.

Situasi Pengembangan Bioetika di Indonesia Bioetika di Indonesia belumlah banyak dikenal secara di kalangan akadamis sebagai sebuah disiplin ilmu26. Seminar pertama bioetika terjadi di Universitas Atmajaya pada

tahun 1988 dalam kerjasama dengan beberapa ahli bioetika di Nederland, Begia dan USA. Pada tahun 2000, diadakan seminar nasional pertama yang dikelola oleh Koneferensi Nasional Kerjasama Bioetika dan Humanidades di Universitas Gadjah Mada, dan dilanjutkan dengan konferensi ke II tahun 2002 dan ketiga tahun 2004. Pada tahun 2003, juga diadakan beberapa seminar tentang bioetika dengan beberapa tema aktual: Seminar tentang Genetic Engineering from Islamic Persepctive di Pusat Penelitian Bioetika, Universitas Muhamadiyah, Malang, Seminar mengenai Stem Cells di Sekolah Kedokteran Universitas Indonesia, Seminar mengenai Cloning dan Kesehatan Sosial di Universitas Indonesia, Pernyataan Posisi Indonesia atas Konvensi Ban mengenai Cloning Manusia oleh Kementrian Luar Negeri pada tanggal 4-5 September 2003, dan Seminar mengenai prospek bioetika nasional oleh kementrian Riset dan Teknologi. Selain itu, tidak dilupakan juga kerjasama Kementrian Riset dan Teknologi, yang diwakili oleh LIPI, mengadakan kegiatan-kegiatan dalam kerangka pelaksanaan Deklarasi Universal tentang gen manusia dan HAM. Kementerian Kesehatan dan WHO juga telah mengadakan kerjasama mengenai Riset Komisi Etik di Indonesia dan dari kerjasama itu telah dibentuk 26 sub komite bioetika di 11 propinsi dan pada 29 oktober 2002 dibentuk Komisi Etika Penelitian Kesehatan Nasional. Dan pada 12 oktober 2004 dibentukkan Komisi Bioetika Nasional Indonesia yang merupakan buah kerjasama dari tiga kementrian: Kementrian Riset dan Teknologi, Kementrian Kesehatan dan Kementrian Pertanian dengan misi dan fungsinya.

2

6

n

I

n

e

g

f

a

o

r

r

a

m

-

a

n

e

s

g

i

i

a

n

r

i

a

d

p

i

e

a

m

n

b

a

n

i

d

l

d

a

a

t

r

a

i

n

p

g

r

a

e

n

s

e

k

n

o

t

n

a

v

s

e

i

n

s

I

s

r

i

o

p

i

e

l

S

l

a

a

r

m

a

i

n

g

h

a

a

r

d

n

j

s

8

o

e

d

n

j

a

a

r

t

i

a

D

b

e

i

p

o

a

l

o

r

g

t

e

i

s

m

e

d

i

n

G

P

e

e

n

r

e

v

t

a

a

h

a

5

n

-

9

a

n

d

d

e

s

a

e

l

m

a

m

b

p

e

r

e

2

r

0

t

e

0

m

5

u

.

a

n

Analisis Trend Situasi bioetika pada masa kini sangatlah beragam, tergantung pada tingkat perkembangan bioeteknologi dan praktek-praktek perawatan kesehatan di berbagai negara. Secara umum kita dapat melihat gejolak-gejolak perdebatan itu berdasarkan diskusi hangat yang terjadi di beberapa sekitar tema: konsep awal hidup manusia, intervensi selama kehamilan, tekno-reproduksi (inseminisasi buatan dan FIV (bayi tambung), penyimpanan gamet dan embrión, investigasi dengan embrio, kloning, eutanasia dll. Pada kesempatan ini hanya akan diberikan beberapa garis besar perkembangan trend bioetika masa kini berdasarkan tema.

Analisis trend bioetika di tingkat dunia Etika mengenai inseminasi artifisial dan FIV atas pengembangan teknologi mengatasi sterilitas dan infertilitas.

Masalah sterilitiras dan infertilitas di kalangan pasangan subur dan minimnya angka kelahiran semakin di Eropa Barat dan USA semakin menjadi pusat perhatian banyak kalangan medis untuk meningkatkan teknologi yang inseminasi antifisial dan FIV (Fecundation in Vitro). Dari penelitian tahun 1999, angka sterilitas dan infertilitas mencapai 10% dari jumlah pasangan. Dari 10% itu, 40% dialami oleh pria dan 40% dilamai oleh wanita, dan 20% disebabkan oleh alasan yang sampai sekarang tidak dikentahui27. Tuntutan pasangan muda untuk mengadopsi anak dari Cina ataupun Eropa Timur semakin menurun, diganti dengan usaha untuk mendapatkan anak dengan teknologi. Mengatasi persoalan sterilitas, dapat diusahakan dengan Inseminasi Buatan sementara untuk sterilitas dan infertilitas dapat diusahakan dengan FIV. Inseminasi menggunakan teknik yang sangat muda yaitu memasukkan sperma, yang diusahakan melalui masturbasi, ke leher rahim menuju saluran falopi untuk mendapatkan pembuahan. Inseminasi artificial dapat dibagi menjadi dua bagian: inseminasi dari gamet pasangan atau dari donante. Keberhasilan inseminasi cukup tinggi sekitar 60 % dari pasangan sendiri dan 79% dari pasangan lain. Sebelum menjalani proses dan selama dalam proses, pasangan mendapat bimbingan psikologi dan perlindungan hukum atas pilihan gamet dan kerahasiaan identitas donatur. Persoalan etika yang muncul adalah: masturbasi untuk mendapatkan semen, interfensi medis atas intimitas fekundasi, gamet dari luar pasangan, permintaan untuk janda dan wanita single. Secara etika, terjadi penerimaan luas atas inseminasi dari pasangan. Secara hukum, inseminasi baik dari pasangan ataupun pasangan diterima, dan secara khusus wanita (berpasangan atau tidak) mendapat perlindungan untuk melakukan inseminasi.

2

7

V

É

t

T

H

.

A

i

I

u

r

L

o

C

O

m

A

S

F

S

a

S

e

r

D

n

E

a

,

t

I

i

l

L

,

A

M

i

n

v

z

e

a

S

t

N

a

s

i

t

E

r

g

n

U

d

i

o

i

V

d

a

t

a

A

,

i

n

S

1

o

n

d

T

9

o

A

É

8

C

6

s

N

f

s

I

t

i

C

s

A

t

S

h

e

e

i

d

R

n

R

E

P

f

e

R

e

r

p

O

t

r

D

i

o

U

l

d

C

e

c

u

T

c

O

o

t

R

u

i

A

o

p

l

n

S

e

,

H

f

N

U

o

e

M

r

a

w

A

s

Y

N

A

s

o

S

,

.

9

i

r

t

k

M

e

d

,

c

1

a

o

9

d

9

r

i

n

9

d

c

.

,

e

p

J

1

t

.

9

i

G

8

o

n

A

7

F

;

,

O

d

,

N

i

¿

u

P

H

e

A

v

R

C

a

.

I

s

B

A

R

U

T

I

N

N

é

D

S

M

c

m

E

U

o

N

N

c

,

D

a

A

O

s

t

F

d

E

e

e

L

x

I

R

t

Z

?

e

b

o

P

p

o

R

r

k

O

o

o

L

B

d

u

f

E

c

I

M

c

n

A

i

ó

S

n

Fecundation in Vitro (VIP) yang dikenal di Indonesia sebagai bayi tabung merupakan sarana untuk mengatasi infertilitas. Pembuahan terjadi di luar lahir, dalam sebuah tabung percobaan laboratorium. Proses FIV lebih rumit dari Inseminasi Buatan, karena wanita harus menjalani tiga proses: perawatan hormonal, pengambilan ovum, fekundasi, dan pemindahan embrio ke rahim. FIV dibagi menjadi 2 bagian dari donatur atau dari pasangan baik gamet maupun embrionnya. Keberhasilan FIV mencapai 2025%. Persoalan etika FIV adalah: pembuahan di luar rahim atas intervensi manusia, asal usul gamet dan embrión, apa yang akan dilakukan embrión sisa (karena biasanya diambil 3 embrion). Secara hukum, FIV diterima dengan syarat memasukkan 3 embrion dan pembekuan embrión. Kasus-kasus yang sampai sekarang masih menjadi perdebatan adalah sampai kapan embrión itu bisa disimpan, dibuang atau dipakai untuk investigasi. Kasus selanjutnya adalah munculnya ibu sewaan, pembuatan “embrio” (clonatos) dari kloning: clonatos itu embrión atau bukan? Biotecnologia genetika28

Penelitian genetika muncul ke permukaan pada abad XX 1866 oleh H de Vires, C Correns dan E. Tschermak berdasarkan penemuan Hukum Mendel. Penelitian embrión dan teknologi gen mencapai kemajuan yang pesat sehingga dari embrio dan struktur genpun dapat dideteksi kemungkinan karakter dan penyakit-penyakit yang bisa muncul. Secara hukum, penelitian dengan embrio hanya bisa dilakukan kepada embrio yang cacat dengan maksud penyempurnaan sifat dan embrio yang tidak baik yang diperkiraan akan mati. Manipulasi gen ini lebih berdasarkan pada alasan kesehatan embrión sehingga penting untuk menjaga-menyimpan sel induk dari tali pusat dan ketuban yang pada suatu saat bisa digunakan untuk membentuk jaringan sel yang rusak ketika dalam perkembangan individu ini mengalami penyakit. Secara etika, bioteknologi merupakan sarana yang bisa digunakan untuk penyembuhan dan bukan untuk penelitian dalam dirinya sendiri. Persoalan etis dasar adalah apakah diperbolehkan mengadakan penelitian embrio setelah embrio mencapai usia 14 hari. Sampai sekarang hukumpun menginjinkan penelitian embrio yang kurang dari 14 hari dengan tujuan terapis. Persoalan lain yang muncul adalah apakah akan kehamilan akan dilanjutkan jika embrión diketahui mempunyai penyakit dan kelainan otak, cacat fisik dan mental bawaan yang jika dipaksanakan bayi yang akan lahir hanya 2

8 A

P

E

P

o

r

o

l

E

i

e

m

i

d

A

n

I

s

R

W

k

A

r

i

9

,

l

2

i

R

s

a

9

i

f

i

o

E

S

c

n

l

S

p

C

a

l

,

i

I

´

c

1

h

i

C

n

9

g

8

L

2

,

r

f

e

l

:

l

d

g

c

a

S

T

i

I

9

p

e

e

l

N

F

S

i

O

A

n

n

t

f

i

c

T

o

l

i

l

d

a

l

i

s

U

c

D

d

E

t

1

0

h

V

i

a

,

H

a

m

C

s

i

A

s

u

n

s

P

e

E

s

i

i

p

o

d

l

l

a

a

c

G

L

o

2

,

S

n

1

A

e

O

N

e

e

M

i

i

t

c

n

C

g

I

i

E

n

r

t

D

.

n

g

s

i

r

i

D

h

t

n

I

C

H

,

e

R

s

O

t

(

G

C

E

V

,

.

,

M

w

V

A

A

B

l

c

O

A

M

D

a

i

I

;

I

;

r

h

B

4

S

0

e

i

1

A

o

o

N

e

9

M

i

A

e

2

K

9

y

B

o

N

1

f

N

n

A

,

a

o

I

)

D

k

i

h

D

9

N

r

e

t

E

8

O

o

n

r

E

c

9

S

Y

B

t

1

W

w

G

h

(

D

e

n

T

e

a

E

N

i

M

i

K

,

,

E

r

C

e

m

L

g

a

U

g

l

B

t

B

u

d

O

i

,

r

,

R

p

S

b

c

L

s

H

a

h

o

U

M

t

I

I

H

K

C

E

l

r

,

,

V

T

o

R

d

E

c

b

E

s

n

F

a

G

e

A

a

O

.

N

u

s

Y

I

s

A

i

L

S

m

t

m

m

l

e

T

n

,

l

a

n

S

a

a

d

a

e

E

n

c

d

G

H

a

o

V

a

:

i

s

V

s

e

c

r

A

d

R

o

e

;

a

g

e

a

0

l

n

O

h

l

9

G

i

S

e

1

a

l

I

o

,

e

i

p

M

i

d

i

a

l

S

M

c

i

,

e

,

O

i

c

l

n

N

v

n

a

e

E

r

e

c

g

S

S

e

l

i

n

N

T

s

a

t

O

N

l

V

E

J

E

a

,

.

R

D

a

o

e

I

D

i

n

o

A

,

n

t

a

d

;

H

é

i

s

R

C

i

t

8

R

t

n

m

a

a

9

P

A

g

t

c

-

;

E

n

e

u

n

3

9

S

g

H

e

7

i

i

a

s

E

h

r

m

o

9

L

e

m

,

1

a

n

o

e

f

9

r

e

n

p

s

1

O

,

g

e

x

a

,

o

V

g

n

G

e

Y

H

e

I

o

o

r

w

t

i

b

d

,

c

r

a

e

V

e

b

N

B

y

m

M

B

V

A

r

A

a

f

A

,

A

,

a

r

A

m

I

l

)

n

o

L

u

.

C

i

x

E

d

,

d

,

N

a

D

n

akan bertahan beberapa minggu atau cacat seumur hidup. Apakah tidak baik jika diadakan aborsi sebelum 14 hari (Eugenica)? Eutanasia29

Persoalan eutanasia adalah persoalan yang sudah ada sejak pada masa yunani. Eutanasia dipahami sebagai tindakan medis kepada pasien terminal untuk mengurangi rasa sakit dan mengakhiri hidup sesuai permintaan pasien. Eutanasia dibedakan dengan distanasia (usaha medis untuk memperlama kematian), cacotanasia (usaha medis untuk mengakhiri hidup pasien di luar kehendaknya) dan ortotasia (pengurangan sakit dan penghentian terapi yang tidak memungkinkan atas permintaan pasien atau pertimbangan keluarga jika pasien dalam keadaan tidak sadar) dan juga istilah lain yang muncul adalah assited suicide. Masalah dasar eutanasia adalah pemahaman antropologi dan sosial budaya mengenai kematian. Secara umum diterima bahwa kematian dan mati bukanlah kasus alamiah melainkan merupakan sebuah expresi kebudayaan. Pertanyaannya adalah apa yang dipahami orang yang berada dalam kontek hidup tertentu tentang meninggal secara manusiawi. Secara etika, diterima secara umum, bahwa ortotanasia. Persoalan etika yang sampai sekarang masih diperdebatkan adalah permintaan eutanasia dari pasien yang mengalami kelumpuhan permanen dengan kesadaran penuh, orang-orang tua yang meminta eutanasia, anak-anak bayi yang mengalami cacat dan penyakit terminal atau pasien yang berada dalam keadaan koma (vegetatif). Permasalahan yang tidak kurang perdebatan adalah perlu dan tidaknya UU eutanasia dan legal atau tidaknya eutanasia. Autonomi pasien dalam bidang Kesehatan

Trend yang terjadi setelah perang dunia dan berkat Hukum Nuremberg 1946 yang memberi tekanan kuat pada pertimbangan otonom pasien sebagai hal yang sangat mendasar dalam perawatan kesehatan. Untuk sampai pada tataran ini, memang dibutuhkan relasi yang sehat dan dewasa secara psikologis antara pasien dan dokter. Pasien adalah mereka yang berhak tahu tentang situasi dan kondisi sakit dan apa yang perlu diputuskan berkaitan dengan kesehatan dan sakit yang mereka derita. Persoalan mendasar dari pertimbangan otonom pasien adalah rasa tabu dan perasaan untuk tidak menyakiti pasien. Diperkirakan dengan demikian kegagalan operasi dan kematian pasien diharapkan sebagai kematian yang tidak menakutkan bagi diri pasien. Kode Nuremberg merupakan hal yang semakin diterima secara internasional, baik dalam menjalani operasi, menerima efek samping obat-obatan dan kehendak untuk melakukan

2

9

J

R

M

t

.

e

l

e

h

e

G

i

A

g

i

d

i

N

F

o

c

a

e

O

,

n

l

t

L

a

h

P

e

a

n

r

r

e

d

a

l

c

a

u

t

t

n

t

h

i

c

d

a

n

e

e

s

a

P

u

D

?

,

d

l

s

i

b

l

m

a

l

i

.

E

c

l

D

m

H

H

a

d

e

a

s

t

e

b

s

i

r

a

t

n

i

g

e

t

n

c

e

g

s

h

,

s

C

o

C

C

e

a

h

e

n

l

i

c

n

t

e

a

a

t

m

g

o

e

r

r

R

u

e

,

R

e

r

1

e

p

e

9

p

o

t

9

o

r

t

h

1

r

n

u

;

t

2

o

m

a

M

A

2

2

n

a

J

n

(

1

o

9

1

,

H

2

9

1

M

E

K

,

2

a

N

(

)

,

d

T

1

2

r

E

9

3

i

d

,

N

9

-

2

3

1

H

)

0

9

A

V

3

d

4

l

8

E

-

l

.

9

D

3

;

A

8

R

N

.

H

J

M

A

M

M

A

E

L

V

M

(

W

D

e

E

E

W

d

L

.

I

E

A

)

,

,

A

c

E

C

U

H

T

t

T

i

v

H

E

R

e

A

,

N

E

E

u

A

t

S

u

t

I

h

h

E

a

:

a

n

N

n

a

o

a

s

r

s

i

i

a

m

a

,

a

i

l

n

perawatan kesehatan atau tidak bahkan sampai keputusan untuk membuat testimonio vital dalam kasus eutanasia. Secara etika, otonomi pasien merupakan hal yang paling mendasar. Pasien mempunyai hak atas informasi kesehatan dan perawatan yang dijalaninya. Dan berhak untuk meneruskan perawatan atau menghentikan perawatan. Etika juga memikirkan perlindungan pasien terhadap perlakuan medis yang tidak proporsional dan pendampingan psikologis pasien untuk menerima sakit dan kematian sebagai suatu kenyataan manusiawi. Persoalan lain adalah berkaitan dengan jaminan kesehatan masyarakat. Pertanyaaan dasar bagi negara-negara berkembangan adalah apakah ada jaminan kesehatan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai akses yang cukup untuk menerima perawatan medis dasar. Faktor socio ekonomi merupakan batas bagi sebuah perawatan kesehatan.

Analisis Trend Bioetika di Indonesia Trend di Indonesia dalam bioetika dalam dibagi menjadi 2 bagian: bagian pertama berkaitan dengan jenis tema bioetika yang berkembang di Indonesia dan kedua, berkaitan dengan perkembangan teknobiologi. Dalam hal ini penyaji hanya bisa memberikan garis besar saja, mengingat kurangnya informasi berkaitan dengan kiprah lapangan Komisi Bioetika Nasional dan Kementrian Kesehatan konteks Indonesia. Tema bioetika

Salah satu persoalan yang mendasar dialami oleh masyarakat Indonesia berkaitan dengan bioetika adalah isu mal praktek dokter, produksi dan pengedaran obatobat daftar G secara umum di masyarakat dengan efek samping dan etika medis berkaitan dengan aborsi. Relasi antara pasien dan dokter yang terjadi di Indonesia semakin lama semakin positif, artinya dokter memberikan informasi berkaitan dengan sakit dan apa yang harus dilakukan pasien untuk mendapatkan kembali kesehatannya. Tidak jarang muncul ketidakpuasan di kalangan pasien atas perlakuan dokter dan rekomendasi obat-obat yang harus digunakan oleh pasien. Tidak jarang pula muncul beberapa kasus dimana pasien berkorban banyak secara ekonomi dan meninggal karena salah diagnosa atau salah obat30. Beberapa rumah sakit membuat kebijaksanaan berkaitan dengan penggunaan obat-obatan dan revisi perawatan kesehatan yang mau dirangkum dalam

3

0

C

U

M

1

o

m

e

3

n

u

r

,

i

t

o

h

m

P

a

d

h

.

n

I

h

t

m

k

u

s

d

a

s

a

o

u

t

n

s

C

e

y

i

s

p

i

a

t

a

n

g

o

(

d

M

P

M

i

a

I

m

n

)

u

g

B

a

u

o

t

n

g

d

k

o

u

r

i

s

t

e

u

h

m

m

t

t

p

o

p

o

(

:

/

/

R

w

n

I

S

C

w

t

e

r

M

w

)

.

t

a

k

,

R

e

m

t

i

u

f

a

m

p

t

a

a

o

i

n

2

k

S

t

l

1

s

h

e

a

a

r

a

s

k

k

i

t

u

s

t

P

i

f

.

3

e

c

r

l

o

n

m

u

m

i

P

/

h

a

e

g

h

t

/

a

j

s

m

a

a

k

b

k

a

i

u

r

t

d

r

t

a

a

/

i

n

2

n

I

d

0

a

0

4

d

o

n

/

n

e

R

0

s

u

9

/

i

m

1

a

a

7

:

R

h

/

u

S

b

r

k

m

a

,

a

k

2

i

0

h

t

S

P

0

4

a

a

0

l

9

k

a

i

n

1

t

g

7

-

Rencana Undang Undang Praktek Kedokteran31 yang kemudian disahkan menjadi UU 29/2004. Pendampingan psikologis pasien juga menjadi pertimbangan khusus di rumah sakit di Indonesia. Masalah yang sampai sekarang masih cukup gelap adalah peredaran secara umum obat-obatan daftar G dan obat-obat palsu dan beresiko di kalangan masyarakat. Kementrian kesehatan dalam hal ini BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) dengan rutin mengadakan revisi dan penarikan obat-obat tersebut sebagai konsumsi masyarakat. Tantangan yang dihadapi oleh Kementrian Kesehatan adalah semaraknya pengobatan tradicional dan alternatif yang di sisi medis tidak mempunyai jaminan yang pasti. Sampai sekarang sudah ada langkah-langkah konkret berkaitan dengan labelisasi dan garansi dari Dinas Kesehatan. Tema bieotika yang masih menjadi pembicaraan di kalangan masyarakat adalah tema aborsi. Dari informasi tahun 2000 diketahui bahwa di Indonesia terjadi lebih dari 2 juta aborsi pertahun. Itu masih belum dihitung aborsi yang tidak diregistrasi. Perundangan Aborsi yang sampai sekarang masih berlaku: Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) - dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum, Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan - dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi). Banyak alasan untuk merevisi kembali undang-undang mengenai aborsi mengingat bahwa KUHP ini dibuat berdasarkan konteks tradicional dan belum mengakomodasi pertimbangan etika dan kesehatan pada masa kini. Pengembangan teknologi biologi

Pengembangan teknologibiologi di Indonesia berkisar pada tanaman dan perawatan kesehatan, penemuan terapi dan obat-obat baru untuk menangkal penyangkit terutama yang berasal dari daerah tropis. Mungkin keterbatasan sarana dan teknologi di Indonesia membatasi penelitian kepada manusia. Persoalan kependudukan membuat tema seperti inseminasi buatan dan FIV menjadi tidak ada artinya. Sebalinya, peran penting bagaimana mengatur kehamilan dan angka kelahiran anak secara medis dan etika bertanggungjawab. Dalam hal ini, terbuka kerjasama yang luas antara BKKBN dan KBN untuk kembali memikirkan etika mengenai metode pengaturan kelahiran (kesehatan reproduksi): pemahaman yang benar mengenai sarana dan metode pengaturan kelahiran, kontraseptif atau abortif, sterilisasi, keuntungan dan efek samping.

3

1

P

d

d

A

r

a

a

k

n

a

t

p

i

P

k

e

o

l

K

r

e

a

d

e

m

i

d

i

o

l

a

k

n

k

a

t

n

e

D

r

i

t

a

s

a

r

n

i

p

a

p

l

i

I

a

n

D

d

P

D

I

a

r

P

t

o

a

f

e

R

h

s

d

u

i

a

n

T

2

e

n

n

L

0

a

0

g

B

H

4

d

b

a

M

e

a

k

e

n

a

d

d

i

i

s

t

i

a

k

n

(

P

a

d

D

l

e

P

a

n

n

T

g

g

a

a

M

n

)

. 1

3

n

f

t

e

a

m

k

u

a

l

t

K

a

s

o

d

n

s

a

i

l

l

a

(

m

K

s

o

m

o

a

i

t

l

e

R

)

a

K

n

e

c

d

a

o

n

k

g

t

a

e

n

r

a

U

n

n

I

d

n

a

d

n

o

g

n

-

e

U

s

n

i

a

d

a

(

K

n

K

g

I

)

Penelitian dan investigasi genetika sampai sekarang masih dilakukan terhadap tumbuh-tumbuhan tanaman produksi dan peternakan, belum dilakukan kepada manusia baik untuk kepentingan kesehatan maupun kepentingan hukum.

Strategi Transformasi Ada beberapa stategi transformatif yang bisa dipikirkan dan direcanakan untuk masa depan Indonesia. Secara lebih bertanggungjawab, aspek-aspek strategis ini masih harus digodok lagi secara cermat dan berdasarkan 1. Menempatkan dasar bioetika pada etika sekular dalam cakrawala dialog antar etika agama. Sudah saatnya melihat hidup dan kematian sebagai hal yang tabu dan teknologi sebagai ancaman hidup manusia. Dialog antara etika sekular dan etika agama di Indonesia hendaknya semakin berkembang dan terbuka terhadap argumentasi dan bebas dari pemikiran sempit dan a priori dan berdasarkan kekuasaan. Untuk itu, studi mengenai bieotika secara internasional, partisipasi aktif dalam studi banding yang serius dan pemikiran yang terbuka terhadap kemanusiaan merupakan pintu gerbang bagi perkembangan bieotika di Indonesia. Dalam pertemuan-pertemuan bioetika di tingkat Asean dapat ditemukan beberapa dialog-paper yang berbicara mengenai pemikiran kembali etika Islam, Hindu, Katolik, Kristen dan Budha menganai bioetika. Ini merupakan langkah awal yang mungkin bisa terjadi dilingkup Indonesia. 2. Peningkatan Studi dan kerjasama studi antar Universitas di Indonesia dengan beberapa Pusat Penelitian Bioetika dan Bioteknologia di beberapa negara, baik dalam lingkup Asean maupun dunia dijembatani oleh KBN dan Kementrian Kesehatan untuk melihat dan berpartisipasi secara aktif dalam awal, proses dan final dari penelitian-penelitian bioteknologi dan kesehatan masyarakat. Studi ini tentunya dilanjutkan dengan pemberian informasi masyarakat yang proporsional mengenai bioetika dan bioteknologia baik melalui media masa maupun melalui buletin penelitian ilmiah, dan diskusi-diskusi teknobioteika dan permasalahan etika hukum perawatan kesehatan. 3. Begerakknya Komite Medis Nasional yang bertaraf nasional yang memfasilitasi pertemuan-pertemuan tahunan untuk membahas persoalan-persoanaln biomedis, perawatan kesehatan dan etika medis. Dan sebagai langkah lanjut adalah pembentukan Komisi Asistensi Kesehatan di rumah sakit sebagai control penelitian dan perawatan kesehatan serta pengambilan keputusan dalam kasuskasus kesehatan yang terjadi di rumah sakit yang bersangkutan. Salah satu terobosan adalah Konsil Kedokteran Indonesia (KKAI) yang menjadi proyek menteri kesehatan tahun 2004.

1

4

4. Pembaharuan Perundang undangan dalam cakrawala etika baru. Ada banyak contoh undang-undang yang dapat dijadikan studi perbandingan aspek yuridis dari bioetika. Dalam hal ini harus dibedakan dengan jelas antara status etika dan yuridis. Aspek yuridis tidak akan pernah bisa mengatur etika melainkan justru sebaliknya pertimbangan etika menetukkan beberapa aspek yuridis walaupun tidak identik dan secara langsung. Beberapa tema bioetika yang perlu mendapat perhatian hukum yaitu: -

-

-

-

Jaminan hukum hak masyarakat atas pelayanan kesehatan dari Negara yang merupakan realisasi dari beberapa pasal Undang-Undang Kesehatan, UU 23/1992 dalam Bab III dan IV dan UU 29/2004. Undang-undang perlindungan pasien dan pidana terhadap kesalahan praktek perawatan kesehatan sebagaimana digariskan secara umum dalam UU 23/1992 bab IX dan X dan UU 29/2004. Revisi undang-undang mengenai aborsi: baik KHUP maupun UU dalam konteks kehidupan yang baru. Memikirkan beberapa aturan praktis berkaitan dengan kasus-kasus kedokteran dan jaminan hukum pelaksanaannya. Dalam hal ini adalah sangat baik memikirkan kembali peran dan fungsi tim medis dan etika yang tergabung dalam Komite Etika Rumah Sakit untuk menata prinsip prinsip tindakan medis, otonomi pasien dan tanggungjawab medis dengan memperhitungkan kemampuan dan kondisi pasien serta dokter yang bersangkutan. Ide ini digagas dalam pertemuan bioetika nasional yang ke III di FKUI 2004 dan diterbitkan dalam sebuah buku Bioetika dan Humaniora Kesehatan.

Demikian sumbang pikiran yang saya dapat berikan dalam pertemuan ini. Semoga bermanfaat dan menjadi awal bagi kita semua untuk aktif berkiprah dalam pembangunan etika dan teknobiologi bagi pelayanan kesehatan masyarakat. Bagi rekanrekan yang mempunyai informasi, dimohon dilengkapi análisis situasi, trend dan strategi dalam konteks Indonesia.

Aristanto: Mahasiwa UPCM [email protected]

1

5

Organizing Media to Accommodate Classroom Management at an Intercultural and religious Learning Setting. From Philosophy through Policy to Practice. By: Muchammadun Abdullah Chafidh Abstract Primary education aims at building sustained foundations for learners to know procedures of answering an inquiry. This is done by encouraging them to apply thinking skills, refer to references, make decisions, and express their ideas in the process of teaching and learning.On the other hand, each individual is unique. Therefore, learners can not be treated in the same way. In a more complex situation like a multicultural and religious setting of learning, the learners’ needs are even more varied. To reach the aim, it raises a problem of organizing media of teaching and learning to accommodate good classroom management practice. Teachers must have been able to play and share roles when carrying out their instructional activities. To do so, dynamics of professionalism is the key. A set of strategies including internationalism philosophy, the policy and its techniques will be discussed. At operational level, some recommendations like professional development for teachers, a need of close cooperation among school stakeholders are put forward. Keywords: Internationalism philosophy, methods, management, learners’ diverse needs, demand driven.

techniques,

classroom

Background Primary education aims at building sustained foundations for learners to know procedures of answering an inquiry. This is done by encouraging them to apply thinking skills, refer to references, make decisions, and express their ideas in the process of teaching and learning.On the other hand, each individual is unique. Therefore, learners can not be treated in the same way. In a more complex situation like a multicultural and religious setting of learning, the learners’ needs are even more varied. To reach the aim, it raises a problem of organizing media of teaching and learning to accommodate good classroom management practice. This paper tries to unravel the philosopy of ideal primary education and its challenges to be practised in diverse circumstances of primary schools throughout Indonesia. A need of internationalism Learning is continuous. Human depends on lifelong learning to adjust with changing circumstances. Therefore, the essence of education for young learners, in this case, primary education students, are meant to encourage them to enjoy the process of learning. Apart from uniqueness of each region where schools are located, there must be some standard of primary education, where ISCP-International School Curriculum Project, refers it as internationalism-as it passes across borders. From ISCP point of view, it is a belief, regardless of schools’ location, size, or constitution, strives towards developing a well-balanced person-somebody who can cope with the importance of pgysical and mental balance and personal well being. The outcomes of internationalism are as follows. Students expected Learning Outcomes to be

Development of P A Inquirers Students are nurtured to follow their curiousity. √ They are prepared with necessary skills to answer an inquiry in an enjoyful learning expected to be sustained throughout their lives. Thinkers Students are triggered to apply thinking skills √ critically and creatively to make logical decisions and problem solving. Communicators Students have adequate exercise to express ideas √ confidently in more than one language. Knowledgeable Students spend time to acquire a critical mass of √ significant knowledge. Caring Students develop sensitivity towards needs and √ feeling of others and have a personal commitment to act and serve. Open Minded Students respect other individuals’ views, values, √ and traditions and are accustomed to seeking and considering a range of point of view Reflective Students give thoughtful consdieration to their √ own learning and analyse their personal strength and weaknesses in a constructive manner. Source: modified from ISCP volume two.

Note: P refers to psychological and mental development, whilst A refers to academical develoment. It is, therefore, clear that curriculum should not bound teacher’s creativity out to make those outcome achievements successful. Even better, teachers are free to modify the prescribed curriculum and not to depend on one curriculum. The how to Philosophy Of course, it is merely unfair to set up the above learners’ outcomes without equipping the learners’ with a triggering learning atmosphere. Ideal Learning is to construct meaning. And to construct meaning, modelling is a necessity for young learners.

Therefore, these factors need considering. The school atmosphere The adults and learners

The curriculum

An extent, to which the school offers a safe, secure, and stimulating environment to its learners, accommodates the represented cultures. An extent, to which the school can actively model the learning outmcomes advocated and take advantages of the diversity within the student body. An extent, to which the school can develop essential skills for students to conduct research,communiate effectively, function inn different social contexts, think critically and creatively, and manage their own health and life.

In summary, the approach applied at school really determines the school, atmosphere, culture and operation. It is therefore needed to adopt philospgy which look everywhere reflecting the presence of sensitivity to the special nature of learning.

Method: The Policy level A number of teachers at public school sometimes complained about handling too many students in a class, but their colleagues at international/ national plus schools are also challenged with multiple level classes and more varied background of cultures and learning needs, regarless of less number of students they handle in the class unit. Therefore, the above philosophy is just needed to be jotted down into a method which suits the class circumstance. One way introduced to enable the philosophy is student centered learning. At student centered learning, students’ autonomy is the key. However, as teachers believe in the philosophy of modelling, those who deal with young learners are in a necessity of preparing more concrete planning and make sure learners get clear visualization and instruction. The main objective is to get learners take some significant responsibility for their own learning over and abive responding to responsibility. Seen from pedagogical perspective, learners’ learning autonomy is also suggested. Candy (1988) states that learners demonstrably learn more, and more effectively, when they are consulted about dimensions such as pace, sequence, mode of instruction, and even the content of what they are studying. A very practical argument for promoting it is that a teacher is not always available to assist. Learners will become more efficient to their learning if they do not spend time eaiting for their teacher to solve their problems or to provide information and resources. Further, this practice is also important to prepare learners to rapidly changing circumstances. Knowles (1975) has pointed out that autonomy in learning will be vital for effective functioning in a society. Classes are micro society-sort of laboratories, where learners learn life skills to function at societies. Knowles adds that helping learners become more autonomous in their learning is a way of maximizing their life choices.

How it is fostered? Then we talk about techniques. Once student centered learning and learning autonomy have been a shared belief, the next question is how they are fostered into practise. Some teachers claim to believe them, yet they still regularly subvert the learning by excluding the learners from contributing to decisions of planning, pacing, and evaluating classroom tasks. Here are some components of how theories are put into practices. These illustrations are taken from what happens in instructional management of classes at Sekolah Nusa Alam, Lombok, West Nusa Tenggara, one of founding school of ANPS1, and the first private school in Lombok getting “A” accreditation from the accreditation body of National Education Department of Republic Indonesia. 1. Learners/ Teachers dialogue: As the planning has been settled by teachers before the school days commence, the plan is discussed with learners to accommodate their interest. Input may be put forward and noticed. This dialogue aims at establishing personal relationship among teachers and learners, setting and clarifying learing objectives. 2. Inquiry based. Learning delivered in an integrated way. All subjects are interlinked one another. When learners study Sicence for instance, it has a link with texts studied at Indonesian Studies. There are some key themes enabling students to explore them in an in-depth way rather than learning so many themes of learning at the surface level. 3. Classroom tasks and materials. This technique involves the design of tasks to make learners engaged and know what to do when teachers are busy. The tasks are designed to replicate those which learners confront in real world situation. The teaching of Mathematics is always connected to practical Maths, for instance. Students are encouraged to bring relevant materials from home and share with other learners. There are sometime set up for sharing where students can express their ideas and others can respond and criticize what the presenter presents. 4. Students’ and teachers’ record. These add elements of monitoring to the process of teaching and learning. Students can use some tools like rubrics, benchmarks and port folio to assess themselves and to carry out peer assessment. Port folio encourages learners to develop their ability to judge their perfomance, and help them monitor their competence. In line with them, teacher can use observation, ethnographic diaries, teaching logs and cummulative records to monitor students’ progress.

1

ANPS stands for The Association of Indonesian National Plus School. It is established to accommodate the need of adopting international education for learners. ANPS has been established since 2000 in Jakarta.

5. Self access centre. The suggestopedia2 is the underlying this technique. The learning centre provides a selection of self study materials as well as displays of relevant sources. Learners are encouraged to discuss ways of using the centre with the class teacher to get accostumed to doing things independently and to ensure coherence in class dialogue. The centre provides for learners who have identified needs which they wish to address at an atmosphere they feel most comfortable.3 Conclusion Learning setting is dynamic. To cope with it-as other professionals do, teachers need to progressively develop. Learning philosophy, methods of carrying out the teaching process, and techniques of teaching and learning delivery are issues that need concerns.Therefore, all teachers should have been entitled reguler professional development where they can share their expertise, experiences, and even problems of tackling their tasks. The promotion of student centered learning where teacher asks learners to search, write, present, criticize, and celebrate requires teachers’ expertise, and sharing expertises is one professional developent activity. Along with the learners’ demand driven, it is necessary to facilitate them with need analysis learning programme adjusted with learners’ need. Prior preparation and centres of learning is a necessity to enable students to be independent. Bibliography: Candy, P. 1988. “On the attainment of subject matter autonomy” in D. Boud, D. (ed.) 1988. Developing Student Autonomy in Learning (2nd edition). New York: Kogan Page 1996. Making it Happen in the Classroom: Inquiry Based Curriculum for Students aged 3-12 years. ISCP volume two. Knowles, M.1975. Self Directed Learning: A guide for Learners and Teachers.New York: Association Press. . Techniques: Students are triggered to apply thinking skills critically and creatively to make logical decisions and problem solving: ask ss to … buku biru Autonoomy: discussion time, reflection time, carpet time: inform what to be done, ask input from ss. Access centre: ask nat plus s to coop. wages of info to be forwarded. Give something in return 2

Suggestopedia refers to provision of learning information in anywhere including peripheral class area like display wall. This aims at facilitating learners to read and accessing information easily. 3 At an operational level, teachers’ association can contact parents, stakeholders, and the nearest national plus school to donate (used) reading materials. Close cooperation and direct communication among the two streams of schools are the key.

Penghambat Perkembangan Pendidikan Sekolah Dasar, Menengah Pertama dan Menengah Atas di Indonesia Oleh : Juliansyah Shariati Pratomo

LATAR BELAKANG

Setelah rezim Orde Baru jatuh pada tahun 1998, semakin banyak kita lihat pemerintah Indonesia mencoba untuk melakukan perubahan sistem hampir di semua bidang seperti pada contohnya ekonomi, pendidikan, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan masih banyak lagi yang mungkin tidak bisa disebutkan satu persatu.

Disini kita akan lebih memfokuskan pada perkembangan sistem pendidikan di Indonesia. Negara kita Indonesia apabila kita analisa lebih rinci sebenarnya mempunyai banyak sekali tantangan terhadap perkembangan pendidikan, salah satunya yang sangat penting adalah minat siswa yang kurang dan berbagai kebijakankebijakan baru dan selalu berubah seakan-akan menjadikan siswa sebagai kelinci percobaan, dan juga korupsi yang bukanlah hanya dapat mencuri anggaran negara untuk masa kini, tetapi juga untuk generasi dimasa yang akan datang yang dapat mengurangi anggaran negara untuk memfasilitasi perkembangan pendidikan yang sedang berjalan.

Di tanah air kita Indonesia ini, yang terdiri dari 17,000 pulau lebih, memang harus kita akui bahwa jalur komunikasi yang efektif dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan masih sangatlah sulit. Pengembangannya pun tidak bisa kita pungkiri bahwa masih belum dapat dikatakan adil dan merata, contohnya adalah kota-kota besar biasanya mendapatkan dana yang jauh lebih banyak dan perhatian yang lebih dari pemerintah ketimbang daerah-daerah pedalaman yang seharusnya mendapatkan “special attentions” dari pemerintah tetapi masih belum juga dapat terlaksana.

Kualitas pendidikan di Indonesia pun akan dapat ditingkatkan dengan cepat dan secara signifikan bilamana sumber daya manusia (guru yang berkualitas dan memliki profesionalisme yang tinggi) dan sumber daya lainnya yang sudah terdapat di

Page 1 of 7

Indonesia dapat dimanfaatkan merata. Akan tetapi, semua ini hanya bisa efektif jika suara masyarakat pendidikan secara luas didengarkan dan kemandirian ataupun kepercayaan masyarakat secara luas dapat dicapai.

IDENTIFIKASI & ANALISA PERMASALAHAN Lalu apa yang sebenarnya menjadi penghambat perkembangan pendidikan saat ini? Dan apakah yang harus dihadapi bukan hanya oleh pemerintah saja tetapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat didalam perkembangan pendidikan di negara kita tercinta ini

Ada beberapa hal yang sangat penting yang menjadi pokok permasalahan dari penghambat perkembangan pendidikan terlepas dari masalah alokasi dana pendidikan dari APBN/APBN 20% yang sampai saat ini masih belum jelas sistematika pembagian kewenangannya dan upaya peningkatan sumber daya manusia para pengajar yang merupakan hal penting yang harus diperhatikan dan harus ditindak lanjuti, tetapi akan saya lebih fokuskan kepada 2 hal berikut;

1. Pendidikan di Indonesia belum maksimal mengajak semua pelajar berusaha untuk berfikir mandiri dan kurangnya penerapan ilmu menganalisa sesuatu. Memang pemerintah sudah menerapkan solusi yang masih terbilang baru yaitu sistem KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) pengganti kurikulum 1994 yang menerapkan ilmu menganalisa dan menanamkan kemandirian di setiap pelajar tetapi apakah semua itu berjalan dengan lancar? Sedangkan menurut Drs.Yusuf Rianto, Dinas Pendidikan Kulon Progo, selama ini memang belum ada SK Menteri yang menetapkan pemberlakuan KBK. Jadi selama ini kebijakan KBK tersebut secara yuridis formal memang tidak ada dasar hukumnya. Beliau merasa sekarang ini hanya menjadi kelinci percobaan saja. Kurikulum yang selalu berubah-ubah pada setiap pergantian menteri pendidikan menajamkan pandangan masyarakat bahwa ada unsure politik didalamnya dan membuat masyarakat berasumsi bahwa pemerintah tidak ada mempunya konsistensi terhadap sebuah keputusan yang telah diambil. Pada akhirnya pihak siswalah yang paling dirugikan, pelajar yang dipaksa menerima perubahan yang begitu cepat, tanpa alasan yang memadai. Beliau

Page 2 of 7

juga menegaskan bahwa ini menunjukkan bahwa sikap pemerintah yang sangat ragu-ragu dan mengambil langkah cepat tanpa memikirkan dampakdampak yang akan terjadi, menunjukkan pemerintah dalam hal ini Depdiknas dinilai selalu tergesa-gesa, reaktif, tidak transparan dan partisipatif.

2. Kebijakan Nilai UAN (Ujian Akhir Nasional) / Ujian Akhir Semester atau sejenisnya yang terbilang sangat memaksakan para pelajar. Didalam artikelnya Bapak Achmad Sentosa, seorang advisor untuk Partnership for Governance Reform in Indonesia menyatakan kekhatirannya bahwa UAN hanya akan mememperpanjang deret masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia. UAN mempunyai dampak negatif yang sangat besar terhadap perkembangan mental pelajar Indonesia. Kita dapat mengambil satu contoh nyata, dikutip dari kompas cyber media edisi Juni 2006 seorang siswa SMK di Pontianak memilih jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya lantaran tidak lulus didalam UAN, ini sudah jelas bahwa kebijakan tersebut telah menurunkan selera serta mentalitas pelajar untuk saling berkompetensi dalam menuntut ilmu. Pasal 60 UU No. 39 tahun 1999 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecedasannya. Apabila sistem pendidikan kita melalui kebijakan konversi nilai tidak mampu menghargai siswa sesuai dengan bakat dan tingkat kecedasannya, maka perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM.

William Chang juga menyebutkan dalam artikel yang pernah di muat di media yang sama kompas bahwa, penerapan instrument multiple choice pada UAN juga tidaklah terlalu cukup untuk merepresentasikan kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotorik siswa secara komprehensif dan objektif. Lama kelamaan secara tidak langsung, dari satu sisi, sistem ini akan lebih condong untuk menghargai pelajar yang mempunyai intelektualitas yang tinggi daripada anak-anak yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang dan rendah. Dengan begitu pelajar yang mempunyai tingkat intelektualitas sedang dan rendah akan mengalami suatu perang batin apakah mereka cukup kompeten atau tidak. Dan apabila ini terus berlanjut tidak dapat dipungkiri bahwa akan banyak pelajar Indonesia pada masa mendatang yang akan Page 3 of 7

mengalami penurunan mental yang selanjutnya akan menjadi salah satu pengambat dalam perkembangan pendidikan itu sendiri dan masalah ini sudah bisa digolongkan pada diskriminatif dalam dunia pendidikan formal.

USULAN SOLUSI PERMASALAHAN

Melihat 2 jenis permasalahan dan setelah bersama-sama kita analisa masalah diatas, saya mempunyai beberapa usulan mengenai solusi dari setiap permasalahan diatas, berurutan dari nomor identifikasi permasalahan, yaitu;

1. Memotivasi minat pelajar Indonesia untuk mencintai sekolah. Dengan cara, pelajar dituntun untuk mengikut sertakan dirinya berperan aktif dalam belajar dan mengembangkan kreatifitas pelajar. Sebagai salah satu sample pendidikan negara maju dan saya akan mencoba memberikan sebuah perbandingan dari pendidikan di Finlandia yang menjadi negara dengan sistem sekolah terbaik di dunia, menurut Alex Steffan seorang Direktur Eksekutif World Changing Weblog. Didalam artikel yang dimuat di Website Negara Finlandia penulis Virual Finland yaitu Sarra Korpela, setiap sekolah di Finlandia dianjurkan untuk memiliki ruang tersendiri untuk pembuatan majalah, musik, drama, ilmu pengetahuan seperti laboratorium, pendidikan lingkungan, ruang olahraga dan perpustakaan. Dan kebanyakan memiliki taman yang diisi dengan tempat duduk santai untuk membaca. Kembali ke jam pelajaran, mereka lebih banyak memilih pekerjaan kelompok daripada bekerja secara individu, agar tidak hanya menerima pelajaran tetapi juga bisa mengimplementasikannya. Di web yang sama Alex Steffan mengatakan, “maybe the secret is what they don't do: Finnish students spend less time in class than students in any other industrialized nation”. Dari contoh-contoh diatas kita bisa mengambil gagasan baru bahwa untuk mencapai pendidikan yang aktif dan kreatif sekolah tidak boleh hanya dijadikan tempat untuk sekedar belajar tetapi juga untuk bermain dan tempat yang bisa menunjang pengekspresian minat dan bakat terpendam siswa. Untuk masalah kurikulum yang sedang terjadi menurut saya, pergantian kurikulum yang terus menerus akan merusak tatanan pendidikan yang Page 4 of 7

telahada, dan pada akhirnya akan bingung dimana kurikulum kita sebenarnya berada dana akan dibawa kemana kurikulum kita. Seharusnya pemerintah melakukan reevaluasi dari kurikulum yang ada untuk menghilangkan hal-hal yang tidak relevan dan menambah hal yang masih harus diisi dalam kurikulum tersebut. Sehingga pemerintah tidak lagi melakukan pergantian yang berulangulang.

2. UAN dapat terus dilaksanakan apabila dalam konteks untuk dapat mengetahui pencapaian target pendidikan nasional, dengan begitu pemerintah dapat mengetahui daerah mana yang sudah mencapai target dan daerah mana yang belum agar dapat ditindaklanjuti kemudian. Tetapi, UAN tidaklah perlu dilaksanakan apabila hanya bertujuan untuk standarisasi kelulusan. Saya berikan dua contoh ilustrasi dampak yang akan terjadi apabila UAN menjadi stardarisasi kelulusan. Ada seorang pelajar yang rajin dan pintar, tidak pernah bolos, selalu juara, berkepribadian positif akan tetapi, tetapi karena pada malam sebelum ujian, salah satu keluarganya sakit, sehingga harus masuk rumah sakit dan harus menemani, ketika pagi harinya ujian berlangsung dia mengerjakan

soal

diliputi

dengan

perasaan

was-was,

tidak

dapat

berkonsentrasi penuh dan akhirnya hasil ujiannya dinyatakan gagal. Dan sebaliknya seorang siswa lainnya yang sering bolos, nilainya kurang memuaskan, tetapi pada saat ujian, kebetulan duduk berdekatan dengan anak yang pintar, sehingga dapat mencontek, akhirnya ujiannya dinyatakan lulus. Kita bisa melihat dari dua contoh diatas bahwa sungguh tidak adil apabila Ujian Akhir Nasional harus dijadikan standarisasi kelulusan siswa. Apakah pendidikan seperti ini yang diharapkan pemerintah kita?? Apakah pemerintah terlalu mementingkan sebuah nilai?? Apakah di Indonesia ilmu sudah bisa dibayar dengan sebuah nilai ujian???? Seharusnya pemerintah memberi kesempatan dan otonomi kepada sekolah dalam hal ini adalah guru untuk menentukan kelulusan karena gurulah yang paling mengetahui proses perkembangan siswa selama di sekolah. Menanggapi pendapat dari William Chang, saya mengusulkan agar penerapan instrument ujian untuk Multiple Choice diganti atau ditambahkan dengan penerapan studi kasus dalam ujian dan pembelajaran dan essay untuk meningkatkan ilmu menganalisa siswa. Didalam buku yang ditulis oleh Page 5 of 7

Fredrick G.Brown disebutkan bahwa dengan essay para pelajar dan pengajar dapat mengukur pengetahuan dan ketrampilan siswa atau sebagai dasar untuk mengambil keputusan. Terdapat beberapa alasan mengapa mengukur pencapaian siswa. Sebelum itu kita menuju alasan tersebut mari kita ulas bersama apa yang dimaksud dengan pencapaian siswa. Implikasi kemampuan mengekspresikan pengetahuan ini ke berbagai cara, melihat hubungan dengan pengetahuan lain, dan dapat mengaplikasikannya ke situasi baru, contoh dan masalah. Ketrampilan kita artikan mengetahui bagaimana mengerjakan sesuatu.

Dua statement solusi tersebut ternyata memiliki hubungan yang kuat dan hubungan timbal balik demi mencapai pendidikan Indonesia yang didambakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia yang didukung dengan kurikulum yang transparan. Yang dimaksudkan dengan transparan disini adalah kejelasan proses kurikulum dan memiliki simbiosis mutualisme antara pemerintah dan anggota sekolah (guru dan pelajar).

KURIKULUM YANG TRANSPARAN Essay, studi kasus dan ilmu menganalisa

Memotivasi Siswa untuk aktif dan kreatif Pengembangan kreatifitas siswa dan peran aktif siswa disekolah untuk mengankat mentalitas serta moralitas pelajar

Menciptakan siswa yang memiliki kemampuan yang kognitif, afektif, komprehensif dan objektif. Yang pada akhirnya akan menciptakan pemerintahan yang mempunyai moral dan kepribadian tinggi untuk memimpin bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Pendidikan Indonesia yang didambakan oleh seluruh lapisan Pagemasyarakat 6 of 7

REFERENSI Amriel,Reza Indragiri,2006.“Sekolah dan Kejahatan Kerah Putih“, http://www.kompas.com Kutipan dari sebuah wacana, http://www.polarhome.com/pipermail/nasional-m/2002December/000518.html Kutipan dari Kompas Cyber Media, http://www.kompas.com/utama/news/0606/21/122602_.htm Chang,William,2004.”Uang dalam bingkai Pendidikan Holistik”, http://www.kompas.com http://www.bappenas.go.id/index.php?module=Filemanager&func=download&pathext=ContentExpres s/&view=6/Narasi%20Bab%207%2011072001.pdf http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/08/13/brk,20060813-81781,id.html http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/29/1103.htm http://re-searchengines.com/0906afdhee.html http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/15/jogja/20986.htm http://kompas.com/kompas-cetak/0312/18/dikbud/754064.htm http://www.worldchanging.com/archives/001779.html http://www.finland.fi/netcomm/news/showarticle.asp?intNWSAID=30625 Fredrick,G.Brown,”Measuring Classroom Achievement”.ISBN-13:978-0030524219. Publisher:Hardcourt School.

Page 7 of 7

Solusi untuk Program Pencegahan Kanker Leher Rahim di Indonesia Oleh Tommy Dharmawan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Sedang menjalani penelitian di Leiden Universiteit Medische Centrum, Leiden, Netherland

Bayangkan di seluruh dunia, setiap dua menit satu perempuan meninggal karena kanker leher rahim. Menurut penelitian dari Ferlay, hampir 500.000 kasus baru kanker leher rahim terdiagnosis tiap tahunnya. Delapan puluh persen kasus tersebut terutama terjadi di negara berkembang. Sedikitnya 200.000 perempuan di negara berkembang meninggal tiap tahun karena kanker ini. Fakta-fakta tersebut membuat kanker leher rahim menempati posisi kedua kanker terbanyak pada perempuan di dunia.

Saat ini, kanker leher rahim menjadi kanker terbanyak pada wanita Indonesia yaitu sekitar 34% dari seluruh kanker pada perempuan dan sekarang 48 juta perempuan Indonesia dalam risiko mendapat kanker leher rahim. Dari data rumah sakit Ciptomangunkusumo di tahun 1998, kanker leher rahim menduduki posisi teratas dari sepuluh kanker primer terbanyak pada perempuan. Menurut penelitian dari Asia-Link Female Cancer Program Foundation, sebuah organisasi non pemerintah yang dibiayai oleh Pemerintah Belanda dan Europeaid cooperation office, pada Agustus 2006 jumlah prevalensi kanker leher rahim di Indonesia diperkirakan sekitar 100 pasien per 100.000 penduduk dan ini adalah masalah besar. Jika dibandingkan dengan negara lain semisal Belanda, prevalensinya hanya 9 per 100.000 penduduk. Jadi, Indonesia menghadapi era lain penyakit. Pada satu sisi, Indonesia masih menghadapi era penyakit infeksi seperti tuberkulosis dan flu burung, tetapi di sisi lain Indonesia sudah harus menghadapi era penyakit degeneratif dan keganasan seperti kanker leher rahim.

Alasan utama mengapa kanker leher rahim memiliki mortalitas yang besar adalah karena pasien baru datang memeriksakan diri ke dokter pada stadium lanjut. Sekitar 65% pasien terdiagnosis pada stadium lanjut (lebih dari stadium II B). Apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi? Salah satu alasannya adalah karena 90% dari kasus kanker leher rahim pada stadium dini tidak memiliki gejala khas sehingga penderita tidak mengetahui

adanya kanker di tubuhnya ditambah lagi kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia yang hanya memeriksakan dirinya ke dokter hanya ketika sudah mengalami gejala berat seperti mengalami perdarahan spontan per vaginam. Jika itu terjadi, maka kanker leher rahim sudah berada pada stadium lanjut.

Masalah lain yang menghadang dalam penanggulangan kanker leher rahim di Indonesia adalah masih rendahnya angka cakupan tes deteksi dini atau skrining kanker ini. Skrining adalah salah satu cara untuk menemukan lesi pre kanker dan kanker pada stadium dini. Faktanya, angka skrining kanker leher rahim di Indonesia hanya berkisar kurang dari 5% (idealnya sekitar 80%). Karena rendahnya angka skrining itulah, maka pantas saja 70% pasien kanker leher rahim di Indonesia terdiagnosis pada stadium lanjut. Kondisi ini membuat rendahnya angka kesintasan dan tingginya angka kematian pada pasien kanker leher rahim di Indonesia. Masalahnya berlanjut karena pemerintah tidak mempunyai program nasional resmi untuk skrining kanker leher rahim. Ini adalah sebuah ironi. Mengapa? Karena tes untuk mengetahui kanker leher rahim pada stadium dini mudah dilakukan dan hal tersebut dapat secara drastis menurunkan angka kematian akibat kanker ini.

Kanker leher rahim muncul dari zone transformasi di leher rahim. Zone ini lebih mudah untuk mengalami perubahan ke arah tidak normal dan dapat tumbuh menjadi kanker jika ada infeksi Human Papilloma Virus (HPV) dan jika terdapat faktor risiko lain. Kanker leher rahim dapat berkembang sampai 10 tahun setelah infeksi HPV. Beberapa faktor risiko antara lain memiliki pasangan seksual lebih dari satu, multi paritas (melahirkan lebih dari empat anak), melakukan hubungan seksual pada usia dini, penggunaan obat imunosupresan, infeksi genital (alat kelamin), ketidakseimbangan radikal bebas dan antioksidan, merokok, dan sosial ekonomi lemah. Infeksi HIV juga dapat meningkatkan risiko terkena infeksi HPV sampai sepuluh kali karena menurunnya imunitas pada pasien HIV.

Manifestasi klinis dari kanker leher rahim antara lain perdarahan pasca senggama, sekret vagina, perdarahan antara dua siklus menstruasi, perdarahan pasca menopause, perdarahan spontan per vaginam, perdarahan per vaginam saat buang air besar, dan juga nyeri ketika bersenggama.

Solusi untuk pencegahan dan tatalaksana

Sekarang, mari membahas tentang strategi untuk menurunkan angka kejadian kanker leher rahim. Metode pertama adalah usaha preventif primer. Hal ini mencakup edukasi untuk mengurangi perilaku seksual berisiko tinggi seperti berhubungan seksual dengan banyak pasangan, menghindari atau meminimalkan adanya faktor risiko lain seperti menikah di usia dini, melahirkan anak di usia muda, dan merokok. Vaksin HPV juga termasuk usaha pencegahan primer. Mengapa? Karena salah satu faktor risiko dari kanker leher rahim adalah infeksi HPV. Menurut penelitian dari De Boer di tahun 2006, virus HPV terdeteksi pada 95% kasus kanker leher rahim terutama adalah HPV tipe 16 dan 18. Juga menurut penelitian yang sama, HPV tipe 18 adalah tipe HPV yang lebih dominan di Indonesia. Hal ini berbeda dengan tipe HPV di negara Asia lainnya seperti India dan Korea yang lebih dominan adalah HPV tipe 16. Ini memiliki implikasi pada isi dari vaksin HPV. Vaksinasi HPV adalah salah satu solusi untuk pencegahan kanker leher rahim. Semua tipe vaksin HPV yang beredar seperti vaksin quadrivalen dan bivalen dapat digunakan untuk vaksinasi HPV tipe 16 dan 18. Tapi tentu saja biaya yang diperlukan untuk vaksinasi massal tidaklah murah. Jadi, kita memerlukan strategi lain untuk menghadapi kanker leher rahim. Salah satunya adalah dengan pencegahan sekunder.

Pencegahan sekunder mencakup deteksi dini dan tatalaksana lesi prekanker yang sangat sederhana, mudah, dan efektif. Kata kuncinya adalah cakupan skrining massal untuk mendeteksi lesi pre kanker. Indonesia memerlukan tes skrining yang efektif, aman, praktis, mudah didapat dan mudah tersedia. Ada beberapa metode deteksi dini kanker leher rahim seperti Pap smear dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA). Tes Pap smear tetap menjadi standard utama. Perempuan sebelum awitan aktivitas seksual sampai usia 65 tahun harus mendapatkan tes skrining tersebut. Tes tersebut dilakukan tiap tahun

dan jika hasil 2-3 tes berurutan negatif maka tes Pap smear dilakukan dengan interval antara 3 sampai 5 tahun. Tes Pap smear digunakan secara luas sebagai tes skrining untuk kanker leher rahim tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasannya antara lain karena Indonesia tidak banyak memiliki sumber daya yang dapat menginterpretasi hasilnya. Tetapi ada metode skrining lain yaitu IVA. Walau tes skrining ini bukanlah hal baru yaitu sudah ditemukan oleh Hinselman di tahun 1925, teknik ini sangat tepat untuk diterapkan secara massal di Indonesia. IVA dapat membedakan antara leher rahim yang normal dan tidak normal dengan cara yang murah, mudah tersedia, dan cepat (PATH 2000). Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah salah satu tes untuk mengidentifikasi lesi pre kanker. Caranya adalah dengan memberikan usapan pada leher rahim dengan asam asetat 3-5% lalu hasilnya diamati dengan mata telanjang selama 2030 detik. Pada IVA, Setelah pengusapan dengan asam asetat 3-5% menggunakan aplikator kapas lesi pre kanker di leher rahim akan terlihat secara temporer berwarna lebih putih dari sekitarnya setelah diusap dengan asam asetat. IVA tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium, hasilnya cepat didapatkan, dan tatalaksana dapat dilakukan setelah pemeriksaan. Salah satu hal yang harus dilaksanakan oleh pemerintah adalah pelatihan tentang IVA pada tenaga kesehatan terutama untuk daerah terpencil.

Terakhir, adalah pencegahan tersier seperti tatalaksana untuk kanker seperti terapi bedah dan radiasi. Pemilihannya tergantung pada stadium kanker.

Pendekatan strategis pencegahan kanker leher rahim di Indonesia harus dikembangkan secepatnya. Pendekatan tersebut harus memperhatikan tiga aspek antara perempuan, pelayanan kesehatan, dan teknologi. Menurut langkah pendekatan kebijakan pencegahan oleh WHO tahun 2002, langkah awal untuk pencegahan penyakit adalah mendapatkan komitmen politik, mengikat semua elemen yang terkait, melakukan analisis situasi dan kondisi yang sesuai dengan kondisi daerah, mengembangkan kebijakan yang tepat, dan memaksimalkan akses ke penyedia layanan kesehatan. Fokus dari program adalah untuk memaksimalkan cakupan skrining dan pelayanan kesehatan. Angka kematian akan menurun jika lebih banyak pasien terdiagnosis saat stadium dini. Ini adalah kesempatan untuk menemukan kanker pada stadium dini dan untuk melindungi

wanita dari penyakit yang mematikan ini. Pencegahan tetap menjadi langkah yang lebih tepat dari pengobatan. Jadi, kalau kita bisa menghentikan angka pertumbuhan yang cepat dari kanker leher rahim dengan memaksimalkan cakupan tes skrining. Mengapa kita tidak melakukannya? Bukankah mencegah lebih baik dari mengobati? Penulis adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang sedang menjalani program penelitian di Leiden University. Penelitian dalam rangka usaha pencegahan dan tatalaksana kanker leher rahim di negara berkembang dengan fokus Indonesia. Program ini disponsori oleh Asia-Link Female Cancer Program Foundation yang mendapat dana dari Pemerintah Belanda dan Europeaid Cooperation office.

Transformasi Nilai Kepemudaan Menuju ke Sumpah Pemuda Indonesia III Oleh : Achmad Adhitya, Fahmi Rizanul Amrullah

Abstraksi Pemuda adalah tenaga kerja produktif bangsa, pemuda memiliki peran penting dalam pembangunan karena dia akan menggerakan arah pembangunan bangsa dan menentukan masa depan bangsa. Kegamangan pemuda dalam menghadapi permasalah bangsa dapat mengurangi agresivitas pembangunan bangsa. Pemuda harus kembali mengambil peran peran monumental sehingga menjadi pijakan kokoh untuk langkah pembangunan selanjutnya.

Latar belakang Pasca turunnya Suharto pada bulan mei 1998, Bangsa Indonesia mengalami masa transisi demokrasi yang begitu hebat, setelah selama 32 tahun masyarakat mengalami represi dan ditutupnya suara – suara kritis yang memberi masukan berbeda pada pemerintah. Hal ini menyebabkan terkekangnya banyak potensi masyarakat yang justru sebenernya bisa dijadikan alat kontrol sekaligus pemberi masukan dalam menjalankan roda pemerintahan.

Salah satu kelompok masyarakat ini adalah kelompok pemuda, suara kritis kaum muda kadang dinilai sebagai sebuah problematika pembangunan, hal ini menyebabkan berkurangnya tingkat kekritisan kaum muda, yang menyebabkan adanya disorientasi peran kepemudaan selama rentang waktu pemerintahan orde baru. Tak ada ruang untuk perbedaan cara pandang.

Suara kaum muda menjadi benar kalau kemudian ia menyuarakan kepentingan pemerintah dan melancarkan agenda - agenda pemerintah, sedang diluar itu dia menjadi sebuah “masalah” buat pemerintah.

Krisis moneter pada tahun 1997 seolah menyadarkan kaum muda bahwa mereka harus kembali mengambil peran dalam perubahan, pemuda harus kembali mendorong perubahan itu sesuai dengan aspirasi dan keinginan rakyat, proses penjembatanan suara aspirasi masyarakat dan “telinga” pemerintah yang tersumbat ini menyebabkan kaum muda kembali memenuhi jalan dan bergerak menuntut perubahan.

Perubahan adalah kata kunci dimana peran pemuda menjadi penting, seolah setiap terjadi kekacauan dalam berbangsa maka disaat genting itulah pemuda hadir dan mendorong proses perubahan.

Kemudian rezim Suharto jatuh dan setelah beberapa kali terjadi pergantian rezim , pemuda kembali merasa tertantang untuk ikut mendorong proses pembangunan, tidak dalam posisi berlawanan tapi dalam posisi berdampingan dengan pemerintah mencari solusi terbaik untuk sekelumit permasalahan bangsa.

Kelompok kaum muda menjadi partner pemerintah untuk bergerak bersama, menyusun strategi bersama untuk menyelesaikan banyak permasalahan bangsa.

Identifikasi Permasalahan Dimana posisi pemuda sekarang ? ini adalah pertanyaan kunci yang kadang dipenuhi jawaban gamang dan penuh retorika. Secara filosofis pemuda bisa dikatakan tenaga produktif dari pembangunan, pemuda adalah “mesin” bangsa yang memutar negara ini sesuai dengan kompetensi keilmuannya masing - masing.

Tapi terkadang kita seperti bergerak masing – masing, tanpa tau harus kemana “roda” bangsa ini diarahkan, hal ini membuat akhirnya setiap pemuda yang memiliki semangat nasionalisme tinggi dan ide tentang pembangunan bangsa merasa sendirian dan tidak berada dalam gerbong yang sama atau terkadang ketika berada dalam gerbong yang sama pun ada kesalah pahaman ide yang menyebabkan friksi padahal ada tujuan bersama (common goal) namun hanya strategi dan pembahasaan ide yang berbeda. Salah pengertian dan tidak adanya statement bersama ini yang terkadang memecah belah potensi bersama yang dimiliki.

Selain itu ada semacam kegamangan identitas pemuda, sebagian merasa modernisasi berarti sama dengan diserapnya budaya asing secara mentah sehingga sesuatu yang berasal dari luar adalah suatu nilai yang pasti baik dan diserap mentah mentah, ini berpengaruh terhadap gaya hidup dan pola konsumerisme yang berlebihan, akhirnya Indonesia menjadi tempat transit budaya internasional yang dapat mengikis keberadaan budaya lokal.

Tidak adanya bentuk sinergi dan kerja sama yang jelas, antara pemuda dan pemerintah, konsep “one event one group” seolah menegaskan bahwa peran pemuda selama ini memang selalu dalam jangka pendek (short term), tidak pernah ada sebuah konsep strategi jangka panjang yang jelas dari pemerintah untuk bekerja sama dengan kaum muda. Pemuda hanya dibutuhkan untuk event – event tertentu kemudian selesai tanpa ada proses keberlanjutannya.

Analisa Permasalahan Melihat beberapa permasalahan diatas maka seharusnya kita mulai mendudukan diri kita secara bersama, seluruh pemuda Indonesia untuk merenungkan kembali dimana kita harusnya meletakkan posisi kita dalam roda gerak pembangunan ini.

Pemuda harusnya bisa berperan lebih dari sekedar motor pembangunan namun juga terlibat aktif bersama pemerintah untuk bersama sama mencari solusi atas permasalahan bangsa.

Langkah pertama yang diperlukan adalah sebuah komitmen dan statement bersama bahwa para pemuda Indonesia memang bersatu dan ingin bersatu dalam gerbong pembangunan Indonesia. Statement ini memiliki nilai penting karena memberikan penegasan kepada seluruh elemen bangsa bahwa pemuda Indonesia memang bersatu.

Sumpah Pemuda Indonesia satu dan dua yang pernah dilakukan di masa lampau seolah mengingatkan kita kembali tentang perlunya arti komitmen yang diharapkan dapat meminimalisir atau bahkan menghilangkan sama sekali pengkotak-kotakan ide

atau

pemikiran tentang pembangunan bangsa.

Khususnya buat para pemuda Indonesia yang ada di luar negeri sebenernya kalau kemudian potensi para kaum muda ini dikumpulkan dan disinergiskan dengan agenda agenda kerja pembangunan bangsa maka kita bisa mengakselerasi proses percepatan pemulihan ekonomi bangsa. Menempatkan peran mereka sebagai duta kita di luar negeri untuk memberikan informasi yang benar tentang Indonesia, tentang kondisi sosial masyarakatnya, tentang budaya ataupun tentang isu isu hangat yang sedang beredar di Indonesia.

Selain sebagai duta di luar negeri para pemuda ini juga mampu mencari potensi kerja sama antara berbagai institusi di luar negeri dengan institusi di dalam negeri yang hal strategis semacam ini bisa dilakukan tentunya dengan berjalan bersama pemerintah.

Nilai strategis apa yang akan dibangun tentu disesuaikan dengan nilai potensi kerja samanya dan juga agenda pemerintah yang dapat dibuat oleh para kaum muda.

Statement bersama (Sumpah Pemuda)

Konferensi para pemuda dan Pelajar Indonesia

Pemuda bersama unsur pemerintah dan swasta bertemu

Proses monitoring thd jalannya ide

Memorandum of understanding

Isu – Isu Krusial pada Pembahasan Pertemuan PPI se-dunia Ada beberapa isu krusial yang saya rasa perlu untuk diangkat pada pembahasan pertemuan PPI se Dunia sesuai dengan analisa permasalahan empirik pada topik-topik yang lebih khusus : 1. Permasalahan pendidikan Isu pendidikan pada sebuah bangsa menjadi penting karena tingkat pendidikan akan memberikan parameter seberapa besar kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang besar tentu akan sangat memerlukan potensi sumber daya manusia yang mampu mengolah potensi SDA (Sumber Daya Alam) tersebut. Ketergantungan kita pada asing dalam mengelola sumber daya alam seolah membuat kita tidak independen, tidak bisa berdiri diatas kaki kita sendiri, perlu adanya batasan buat asing untuk mengelola SDA yang kita miliki. Pendidikan adalah langkah awal dalam membentuk SDM yang potensial sehingga kita benar benar mampu berdiri diatas kaki kita sendiri oleh karena itu peran pendidikan dalam pembangunan bangsa sangat penting.

2. Hukum Lemahnya

proses

penegakan

hukum

jelas

menyulitkan

proses

pembangunan, sebenarnya yang jadi masalah bukan hanya pada pengurangan tingkat kriminalitas dalam negara kita, tapi yang paling penting itu adalah “sense of justice” karena hal ini berimbas pada dukungan dan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Kalau rasa keberpemilikan terhadap bangsa dan kepercayaan terhadap pemerintah turun maka rasa antipati dan tak ada dukungan buat pemerintah dalam menjalankan agendanya. Membaiknya proses perbaikan hukum dengan mulai tampaknya proses penegakan hukum memang sudah baik namun harus dimaksimalkan, menyelesaikan urusan mafia peradilan tentu tidak mudah namun dengan pemberian upah yang sesuai sehingga mendorong mereka tidak mudah disogok, tetap perlu proses pemantauan dari beberapa elemen lain : baik pers, mahasiswa ataupun LSM sehingga kita sama sama menjaga proses penegakan hukum dan ini akan berjalan maksimal ketika rasa keadilan itu menyentuh semua golongan.

3. Ekonomi Perlu adanya insentif pada masyarakat bawah dalam melakukan kegiatan ekonomi, pemberian kredit lunak dan bunga yang kecil, pemaksimalan kerjasama industri besar dan industri kecil melalui kebijakan pemerintah yang memfasilitasi dan mendorong hal tersebut. Penggunaan model ekonomi model neo developmentarisme yang pernah diperkenalkan oleh Presiden Suharto waktu itu terbukti membuat kita sangat kesulitan dalam melakukan proses perbaikan ekonomi pasca krisis. Ini harusnya membuat kita mulai sadar bahwa model ekonomi top down memang tidak cocok namun harus bottom up yang berarti penguatan sektor industri kecil dan riil.

Kesimpulan Pertemuan PPI se dunia adalah pertemuan para pelajar cerdas dari seluruh dunia, proses pematangan ide dan pencarian bentuk kerja sama riil adalah hal yang sangat mungkin dilakukan. Efektifitas pertemuan besar dengan level dunia akan sangat bergantung pada proses pembahasan ide sebelum pertemuan itu sendiri, sehingga pertemuan itu sendiri adalah proses finalisasi dari kerja sama yang mungkin dapat dibangun untuk kepentingan bangsa.

Maju terus bangsaku Indonesia !!

Referensi Ilmu Budaya Dasar, Kum. Essay M.Habib Mustopo, Penerbit : Usaha Nasional-SBY-1988 Konsep Dsr. Pddk. Luar Sekolah Pengarang : Soelaiman Joesoef Penerbit : Bumi Aksara JKT - 1992 Catatan Pinggir , Goenawan Moehamad

Related Documents


More Documents from "nurshodiq"