Hak Kepemilikan.docx

  • Uploaded by: Abdalia
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hak Kepemilikan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,674
  • Pages: 9
HAK KEPEMILIKAN (PROPERTY RIGHTS) Abdalia Andi Mi’rajusysyakur M

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia terdiri atas 17.502 buah pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan Luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta Km2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta Km2 serta perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta Km2. Fakta tersebut menunjukkan bahwa prospek pembangunan perikanan dan kelautan Indonesia dinilai sangat cerah dan menjadi salah satu kegiatan ekonomi yang strategis Beberapa sumber daya alam di wilayah pesisir dan lautan telah mengalami over exploitasi. Sumberdaya perikanan laut baru dimanfaatkan sekitar 63,49% dari total potensi lestarinya (MSY, Maximum Suistainable Yield), namun di beberapa kawasan perairan beberapa stok sumberdaya ikan telah mengalami kondisi tangkap lebih (over fishing). (Adisanjaya, 2009). Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, seperti pertanian dan peternakan yang sifat kepemilikannya jelas, sumberdaya ikan umumnya terdapat pada rezim akses terbuka (open access). Artinya, siapa saja bisa berpartisipasi tanpa harus memiliki dan bertanggungjawab atas sumberdaya tersebut. Kondisi sumberdaya perikanan yang bersifat akses terbuka cenderung mengindikasikan ketiadaan hak kepemilikan yang jelas. Salah satu penyebab utama terjadinya penangkapan ikan berlebihan (overfishing) di perairan laut dunia, termasuk Indonesia, adalah akses terbuka perikanan (fisheries open access). Akses terbuka perikanan terjadi bila aturan pengelolaan yang diterapkan belum mampu mencegah terjadinya perlombaan menangkap ikan (race to fish). Nelayan terus termotivasi untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya karena jika tidak, maka nelayan lain yang akan menangkapnya. Jika dibiarkan, hal ini dapat berujung pada kepunahan sumber daya laut milik bersama (tragedy of the commons) (Halim A, 2017).

1.2 Tujuan Mengetahui bagaimana Sistem hak kepemilikan sumberdaya perikanan agar dapat efektif

BAB II PEMBAHASAN Hak kepemilikan (property right) merupakan hak yang dimiliki individu, masyarakat, negara atas suatu sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola, memperoleh manfaat, memindah tangankan, bahkan untuk merusaknya (North 1990). Hak kepemilikan merupakan sebuah kelembagaan karena hak kepemilikan mengandung implikasi hubungan antara sumberdaya dengan aktor yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya, artinya apabila aktor berdiri sendiri tanpa ada sumberdaya yang dimanfaatkan, atau sumberdaya yang tersedia tanpa ada aktor yang memanfaatkannya, maka pendefinisian hak kepemilikan tidak diperlukan. Hak kepemilikan ini merupakan kumpulan hak‐hak (bundle of rights) yang diatur melalui aturan tertentu, sehingga North (1990) menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma‐norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Terdapat empat tipe kepemilikan, yaitu : tidak ada pemilik (open access), milik bersama (communal property), milik negara (state property) dan milik pribadi (private property) (KisslingN¨af & Kurt Bisang 2001). Akses terbuka (open access property) Open access property adalah properti yang tata kelolanya tanpa pengaturan, dimana siapa pun dapat menggunakan dan mengambil manfaat dari properti. Properti dalam kondisi akses terbuka ini mrupakan penggunaan yang tanpa kontrol sehingga sering menyebabkan kemunduran / kerusakan dari sumber daya. Jika setiap orang dapat menggunakan sebuah sumber daya maka tidak seorang pun memiliki insentif untuk melakukan konservasi penggunaannya atau melakukan invetasi untuk mengembangkannya. Contoh: daerah penggembalaan, penangkapan ikan dekat pantai, dan hutan. Tiga tipe rezim open access: (1) rezim open access karena kekurangan aturan yang efektif untuk menentukan hak kepemilikan, (2) rezim open access sebagai akibat dari kebijakan publik yang disengaja untuk menjamin akses bagi semua warga untuk menggunakan sebuah sumber daya alam dalam suatu yurisdiksi tertentu, (3) rezim open access yang dihasilkan dari ketidakefektifan pelarangan terhadap mereka yang bukan pemilik oleh entits yang ditugaskan memiliki hak formal kepemilikan terhadap sumber daya tersebut.

Kepemilikan oleh komunal (communal / common property) Kebanyakan definisi tentang common property mencakup elemen-elemen: (a) sebuah kelompok yang terdefinisikan dengan jelas sebagai pemilik bersama, yang (b) mengembangkan atau menganut rejim pengelolaan yang terdefinisikan dengan jelas, dimana (c0 pemilik bisa melakukan pelarangan akses dan mengeluarkan / melakukan pelarangan terhadap yang bukan pemilik dan meliputi (d) hak-hak dan tugas-tugas dari pemilik berkaitan dengan penentuan tingkat penggunaan dari sumber daya comon property tersebut. Ostrom (1990) mengajukan 8 prinsip dalam mempelajari pengelolaan common property: 1. Batas akses dan penggunaan dari common property terdefinisikan dengan jelas 2. Relevansi aturan terhadap kondisi sumber daya lokal 3. Pengaturan piihan kolektif dalam pengambilan keputusan 4. Monitoring efektif terhadap akses dan penggunaan sumber daya common property 5. Sanksi gradual terhadap pelanggar aturan 6. Mekanisme penyelesaian konflik 7. Pengakuan minimal terhadap hak untuk mengelola dari otoritas eksternal. 8. Manajemen jaringan dari sistem pengelolaan common property yang lebih besar (tiap lapisan dario manamejemen berkaitan dengan lapisan manajemen yang lebih tinggi. Common property kerapkali dicampuradukan dengan istilah open access terutama dengan adanya tulisan dari Hardin: “The Tragedy of Common” Kepemilikan oleh negara (state property) Di bawah kepemilikan oleh negara, pemerintah menjadi pemilik hak tunggal dari sumber daya, termasuk akases terhadap sumber daya itu dan menentukan tingkat penggunaannnya. Instrumen yang ada untuk mempengaruhi perilaku individu berkaitan dengan pengelolaan state property adalah zoning, pajak, peraturan-peraturan dan perizinan . Kepemilikan pribadi (private property) Kepemilikan pribadi memberikan hak kepada individu untuk mengeluarkan / melarang pihak lain untuk memperoleh aliran manfaat dari sumber daya itu dan mengggunakannya pada suatu tingkat atau suatu cara yang ditentukan oleh individu yang bersangkutan

Adapun syarat kesempurnaan hak kepemilikan adalah (1) dapat diperjual belikan (tradable), (2) dapat dipindah-tangankan (transferable); (3) dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak (excludable) dan (4) dapat ditegakkan hak‐haknya (enforceable). Hak memindahtangankan (transferable right) di Indonesia dapat dipilah lagi menjadi 2 (dua) hak yaitu hak untuk

memperjualbelikan

dan

untuk

mewariskan

termasuk

menghibahkan.

Dengan

menggabungkan kedua konsep tersebut, untuk konteks Indonesia, maka hak-hak tersebut dapat

dipilah

menjadi

enam

hak

yaitu

hak

untuk

memperjual-belikan,

mewariskan/menghibahkan, mengeksklusi, mengelola, memanfaatkan dan memasuki/akses (Nugroho 2012). Suatubarang (property) yang dapat diperjualkan belikan, maka akan mendorong pemilik barang tersebut untuk mengelolanya dengan baik. Apabila dia gagal mengelola dengan baik, maka harga barang tersebut akan merosot. Begitu pula dengan sifat dapat dipindah‐tangankan misalnya melalui pewarisan. Tata nilai masyarakat akan mendorong untuk memberikan warisan yang

baik kepada penerima warisan. Sementara sifat excludable dan enforceable

mengindikasikan bahwa apabila suatu barang (walaupun dimiliki oleh seseorang, kelompok ataupun negara) dapat dimanfaatkan oleh individu/kelompok lain atau siapa saja yang tidak berhak, maka insentif untuk penghematan dan/atau pengelolaan yang baik akan hilang. Di lain pihak, asset tersebut juga harus mendapat perlindungan baik oleh masyarakat maupun oleh entitas

pelindung

hak‐hak

warga.

Akan

menjadi

sia‐sia

apabila

kepemilikan

seseorang/kelompok tidak dihormati oleh orang/kelompok lain. Kategori dan tipe hak kepemilikan sumberdaya milik bersama yang disampaikan Schlager dan Ostrom (1992), yaitu

1) hak memasuki dan memanfaatkan (access &

withdrawal), 2) hak mengelola (management), 3) hak mengeluarkan (exclution), dan 4) hak memindahtangankan (alienation). Sedangkan menurut Kasper dan Streit (1998) kesempurnaan hak meliputi: 1) hak mengeluarkan (excludability);2) hak memindahtangankan (transferability); 3) hak mendapatkan/persaingan (divisibility/rivalry); dan 4) penegakan hak (enforceability). Kelestarian/keberlanjutan hak kepemilikan didukung oleh aspek legal (de jure rights). Sedangkan hak yang belum mendapatkan pengakuan pemerintah disebut hak de facto rights. Hak yang legal (de jure rights) penting untuk kondisi tertentu, misalnya untuk: 1) menghindari inefisiensi dan alasan kepunahan SDA; 2) dapat disesuaikan dengan pasti dengan kondisi SDA sebenarnya; 3) pengguna akan lebih efektif mengadopsi regulasi yang dibuat sendiri (de facto); dan 4) ongkos monitoring dan exclusion ditanggung oleh beneficiaries (pemanfaat sumberdaya alam).

Konsep hak kepemilikan memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasipemerintah (Fernandez 2006). Konsekuensinya diperlukan persyaratan‐persyaratan tertentu agar hak dapat ditegakkan, yaitu: 1. Adanya pengakuan atas hak dan kewajiban atas sumberdaya. Dalam banyak hal hak kepemilikan merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat atau pengaturan administratif pemerintah, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat dan negara. Dengan demikian, hak seseorang harus mampu menumbuhkan kewajiban orang lain untuk menghormatinya dan hak seseorang harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya yang dimaksud. 2. Memperoleh

perlindungan

komunitas

dan

negara.

Konsep

pengakuan

dan

penghormatan hak perlu diikuti dengan tindakan perlindungan atas hak oleh komunitas dan negara melalui pemberian sanksi‐sanksi atas pelanggarannya. Sepanjang sanksi‐sanksi tersebut tidak dapat dihadirkan dan ditegakkan atau kalau toh ditegakkan memerlukan biaya transaksi dan penegakan hak (transaction and enforcement costs) yang sangat mahal, maka kelembagaan hak kepemilikan yang mengatur hubungan antar individu tersebut akan sia‐sia. Kasper dan Streit (1998) mengingatkan bahwa institusi tanpa sanksi adalah tidak ada artinya (institution without sactions is useless). 3. Hak kepemilikan memerlukan biaya penegakan dan biaya eksklusi (exclusion costs). Semakin mahal biaya‐biaya tersebut, semakin tidak berharga suatu asset/sumberdaya. Demikian pula apabila manfaat yang dapat diperoleh dari sumberdaya tersebut jauh lebih rendah dari biaya penegakan dan eksklusi, maka sumberdaya tersebut akan ditinggalkan dan tidak terurus. 4. Karakteristik manfaat sumberdaya menentukan tingkat kesulitan penegakannya. Menurut North (1990) hak relatif mudah ditegakkan apabila aliran manfaat dapat diketahui dan konstan, atau aliran manfaat bervariasi ‐ tetapi dapat diprediksi. Sebaliknya hak tidak mudah ditegakkan (biaya penegakan hak mahal) apabila aliran manfaat dengan mudah dapat dinikmati pihak lain dan aliran manfaat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, maka biaya untuk menegakkan hak akan sangat mahal, akibatnya masing‐masing pihak akan berlomba mengeksploitasi manfaat tersebut.

Pengelolaan Perikanan berbasis Hak Kepemilikan di Indonesia Sumberdaya ikan Indonesia yang open access dan common property menyebabkan akses dari masyarakat untuk memanfaatkan menjadi tidak terbatas. Hal ini tentunya akan berakibat pada degradasi sumberdaya ikan dan berujung pada overfishing. Tidak adanya sistem hak kepemilikan sumberdaya dan informasi tentang sumberdaya ikan yang tidak tersedia akan menimbulkan masalah pada keberlanjutan sumberdaya ikan. Hal ini disiasati dengan memberlakukan beberapa hal seperti; 1. Kuota yang dapat diperjualbelikan; 2. Pajak; 3. Subsidi; dan 4. Pembayaran layanan ekologis. Luasnya wilayah perairan Indonesia menjadi salah satu penyebab pengelolaan perikanan menjadi tidak efektif. Hal ini dikarenakan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah sangat terbatas oleh anggaran untuk pengadaan sarana dan prasarana. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melibatkan masyarakat dalam upaya pengelolaan perikanan Indonesia. Namun, dalam menerapkan sistem tersebut, terlebih dahulu harus dijelaskan hak pengelolaan masyarakat. Untuk menjelaskan hal tersebut maka konsep Property Right (PR) harus dapat diimplementasikan. Kebijakan penerapan PR ini di satu segi akan mendorong ke arah pemanfaatan sumberdaya

kelautan

secara

berkelanjutan

(sustainability)

dan

di

sisi

lain

dapat

memaksimalkan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat (maximum social welfare) yang di dalammnya terlaksana sistem pengawasan sumberdaya kelautan secara simultan (Sitorus H, 2017). Tietenberg (1998) dalam Sitorus H (2017) menjelaskan bahwa Property Right (PR) adalah hak yang menyatakan tentang pengelolaan, hak istimewa, maupun pembatasan dalam penggunaan sumberdaya alam. Dengan mengetahui hak dan bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku manusia dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan, maka kebijakan pemerintah maupun alokasi pasar dapat direncanakan. Dengan adanya PR yang jelas, maka pemanfaatan sumberdaya hayati laut akan lebih efisien dan berkelanjutan, karena seluruh biaya yang timbul dalam pengelolaan sumberdaya hayati tersebut menjadi tanggungjawab pemilik PR tersebut. Agar PR itu dapat berjalan efektif dalam implementasinya, haruslah dipenuhi 4 kriteria berikut, yaitu : 1) hak pengelolaan harus dapat dinyatakan secara spesifik (universality), 2) semua manfaat dan biaya sebagai konsekuensi dari hak pengelolaan sumberdaya laut tersebut menjadi tanggungjawab pemilik PR (exclusivity), 3) hak pengelolaan laut dapat ditransfer kepada pihak lain tanpa adanya paksaan (transferability), dan 4) hak pengelolaan sumberdaya

kelautan dan perikanan harus terjamin keamanannya dari perampasan dan gangguan pihak lain (enforceability). Sesuai dengan UU Nomor 29 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, khususnya Pasal 3 dan 10 yang menyatakan bahwa kewenangan propinsi dalam pengelolaan laut adalah 4 – 12 mil laut, dan kabupaten/kota 0 – 4 mil laut, maka penerapan PR ini lebih baik diserahkan kepada daerah (desentralisasi kebijakan), sedangkan untuk wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), PR ini sebaiknya diberikan oleh pemerintah pusat karena menyangkut hak dan kewajiban hukum laut internasional (UNCLOS). Undang-undang Perikanan RI No. 45 Tahun 2009 tentang perikanan khusunya Pasal 7 telah memberikan landasan hukum yang kuat dalam penerapan PR ini. Agar sistem dan kebijakan PR ini dapat diimplementasikan lebih cepat, maka seyogianya pemerintah dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Hak Pengelolaan Laut yang di dalamnya mengatur secara detail mengenai PR tersebut. Dalam penerapan PR tersebut, wilayah laut tetap milik negara (state property) sesuai UUD 1945, tetapi hak (izin) pengelolaan diberikan kepada suatu kelompok masyarakat atau kepada pihak swasta. Hal seperti ini telah lama berlangsung di Jepang, Filipina, Amerika Serikat, dan negara lainnya. Sistem yang mereka terapkan pada dasarnya merupakan implementasi dari Ekonomi Biru (Blue Economy) yang diperkenalkan Gunter Pauli (2010) dan secara nyata telah mensejahterakan masyarakat nelayan. Di Jepang, pengelolaan sumberdaya perikanan laut di wilayah perairan tertentu diserahkan kepada Koperasi Nelayan, dan bahkan koperasi itu diberikan hak oleh pemerintah untuk mengeluarkan izin pemanfaatan sumberdaya laut kepada pihak lain dengan aturan yang lengkap. Sistem ini memungkinkan sumberdaya perikanan laut dapat terlindungi dari kegiatan penangkapan ikan ilegal, pembatasan hasil tangkapan (allowable catch) melalui pengaturan waktu penangkapan, ukuran dan jenis ikan yang boleh ditangkap, dan alat tangkap yang dapat digunakan, sehingga sumberdaya laut dapat dimanfaatkan secara efisien, optimal dan berkelanjutan. Demikian juga di Filipina, hak pengelolaan diberikan kepada masyarakat lokal (desa pantai), dan pendapatan dari pajak dan retribusi kegiatan usaha perikanan sebagian dikembalikan ke desa nelayan tersebut untuk biaya pelestarian dan pengawasan sumberdaya pesisir (ikan, terumbu karang dan hutan mangrove). Hal yang sama juga telah lama diterapkan pada pengelolaan perikanan di Canada. Di Indonesia, praktik serupa Hak Pengelolaan Perikanan yang didasarkan pada wilayah penangkapan ikan, seperti sasi di Maluku dan Papua, sudah diterapkan sejak ratusan tahun

lalu. Dalam praktik sasi, kelompok-kelompok masyarakat adat yang bermukim di sekitar Kepulauan Maluku menguasai wilayah-wilayah ulayat (adat) di pesisir laut. Wilayah ulayat yang dimiliki kelompok masyarakat adat tertentu dikenal sebagai Petuanan Laut. Wilayah yang dapat dimanfaatkan bersama disebut wilayah Petuanan Umum. Praktik sasi menunjukkan bahwa konsep hak milik terhadap sumber daya alam, termasuk sumber daya ikan di wilayah tertentu, oleh kelompok masyarakat adat bukan hal yang baru dan bukan hal yang tidak mungkin di Indonesia. Penerapan pengelolaan perikanan berbasis hak di berbagai negara terbukti mampu menghentikan dan bahkan membalikkan kecenderungan laju penurunan sumber daya ikan, mengurangi peluang terjadinya penangkapan berlebihan (overfishing), meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan termasuk batasan jumlah tangkapan, dan menjamin ketersediaan lapangan kerja dan keuntungan bagi nelayan. Hal ini menunjukkan efisiensi menurut Bernard Tania dalam Sondakh J, 2014 yaitu terjaminnya hak kepemilikan dan kualitas lingkungan yang terjaga. Sehingga untuk mendukung penerapan hak pengelolaan perikanan di Indonesia perlu dukungan legal melalui undang-undang dan studi perikanan—seperti dinamika populasi ikan, termasuk di antaranya pendugaan kondisi stok sumber daya ikan yang hendak dikelola. Elemen eksklusifitas dalam hak pengelolaan perikanan harus didukung oleh undang-undang karena implikasinya tidak membolehkan orang lain yang bukan anggota kelompok masyarakat penerima (pemegang) hak pengelolaan perikanan menangkap ikan tertentu di wilayah pengelolaan yang telah ditentukan. Status stok sumber daya ikan yang hendak dikelola, yang bisa menjadi indikator keberhasilan penerapan hak pengelolaan perikanan, harus dapat diduga dengan menggunakan metode yang dapat diterima secara ilmiah dan mudah diterapkan untuk kondisi perikanan dengan data yang terbatas seperti di Indonesia. Dari sisi sains perikanan, pendugaan stok untuk perikanan dengan data yang sangat terbatas seperti di Indonesia, juga telah mengalami kemajuan pesat. Saat ini telah dikembangkan model pendugaan status stok jenis ikan berdasarkan informasi Rasio Potensi Pemijahan (Spawning Potential Ratio, SPR) yang dapat diduga hanya berdasarkan data panjang ikan (length frequency) dan informasi parameter pertumbuhan ikan (growth parameters).

BAB III PENUTUP Pengelolaan perikanan di Indonesia tentunya diharapkan akan menemukan titik terang yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan sumberdaya perikanan. Salah cara yang dapat dilakukan untuk menciptakan pengelolaan yang efisien adalah pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Penetapan hak pengelolaan masyarakat akan memberikan masyarakat hak untuk memanfaatkan sumberdaya dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka serta keinginan untuk melakukan konservasi agar sumberdaya dapat berkelanjutan. DAFTAR PUSTAKA Derek A, Hein M, Le Van An,Melissa M, Truong VT.2012.Do collective property rights make sense? Insights from central Vietnam.International Journal of the Commons Vol. 6, no 1 February 2012, pp. 1–27 Halim A. 2017. Pengelolaan Perikanan Berbasis Hak Berpotensi Mengurangi Penangkapan Ikan Berlebih. [online][ http://theconversation.com/pengelolaan-perikanan-berbasis-hakberpotensi-mengurangi-penangkapan-ikan-berlebihan-85807] diakses pada 17 November 2018 Harlyan, LI. 2015. Modul Manajemen Sumberdaya Perikanan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan. Universitas Brawijaya. Malang Kustanti, Asihing. 2013. Evolusi Hak Kepemilikan Dan Penataan Peran Para Pihak Pada Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Dengan Kemunculan Tanah Timbul. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institute Pertanian Bogor. Sondakh J, 2014, HAK MILIK ATAS TANAH MENURUT HUKUM ADAT (Eksistensi Pemanfaatan dan Tantangannya dalam Hukum Indonesia), Karya Ilmiah, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado Sitorus H. 2017. Hak Pengelolaan Sumberdaya Laut. [online] [https://hasitopan64.wordpress.com/2015/02/10/hak-pengelolaan-sumberdaya-laut/] diakses pada 17 November 2018 https://bebasbanjir2025.wordpress.com/04-konsep-konsep-dasar/property-right/

Related Documents

Hak Hak Tersangka
June 2020 20
Hak-hak Asasi Anak
June 2020 30
Hak Hak Fithrah
October 2019 36
Hak Perawatt.doc
December 2019 16
Hak & Kewajiban
August 2019 49

More Documents from "Ahmad Muchtar"

Hak Kepemilikan.docx
December 2019 16
Tugas Ppt.pptx
December 2019 9