Gunung Srandil.docx

  • Uploaded by: Sakti
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gunung Srandil.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 995
  • Pages: 3
1. Annida Zakiyah 16141.284 2. Devi Mustika 16141.290 GUNUNG SRANDIL Salah satu yang menarik di Ponorogo yang akan kita bahas kali ini adalah sebuah makan atau pesarean yang terletak di puncak sebuah bukit. Pesarean ini terletak di Desa Srandil, Kecamatan Jambon, atau tepatnya 11 KM ke barat dari pusat kota Ponorogo sendiri. Yang terkenal dengan Astana ( pesarean ) Srandil.

Posona wisata religi Astana Srandil Itulah yang menjadikan bukit ini terkenal, yaitu dengan adanya sebuah makam yang terdapat di puncak bukit. Keunikan dari makam ini sendiri salah satunya letak. Terletak pada lokasi goegrafis yang terdapat di puncak sebuah bukit bernama Bukit Srayu berartikan “ Sugeng Rahayu “ atau bukit pembawa keselamatan. Desain dari pemakaman ini secara arsitektur masih bercirikan arsitek lama seperti pintu gerbangnya yang mirip candi dan bentuk pemakaman ini yang berbentuk tradisional Jawa ( limas ). Dan jika dilihat dari tata letaknya, pesarean Srandil terletak diareal perbukitan yang menganut pola pembagian pelataran yang dibagi menjadi tiga halaman. Halaman pertama pada makan ini terletak di luar gedung, sedangkan halaman kedua dan ketiga berada di dalam gedung. Pola pembagian ini merupakan salah satu tradisi atau budaya Indonesia yang menyerupai punden berundak. Punden Beundak sendiri merupakan tempat pemujaan terghadap roh nenek moyang yang berbentuk piramida berteras. Dimana bagian belakang lebih tingi dari bagian depannya. Pada umumnya dalam penataan seperti ini yang menduduki bagian belakang merupakan sebuah makan yang paling dikeramatkan atau makam seorang tokoh penting dalam daerah tersebut. Hal ini terbukti dalam situs Astana Srandil ini dimana selain terdapat makam Raden Mertokusumo yang tidak lain sebagai cikal bakal Pesarean Srandil, dibagian belakang makam iin juga terdapat dua makam Bupati Sumoroto yaitu, Raden Mas Brotodirjo ( Bipati Sumoroto III ) dan Raden Mas Adipati Brotodiningrat ( Bupati Sumoroto IV ). Sedangkan Bupati Sumoroto yang pertama yaitu Raden Mas Tumenggung Prawiradirja terletak di Pesarean Setono Ponorogo dan Bupati Sumoroto yang kedua Raden Mas Tumenggung Sumonagoro terletak di Ampelgading Surabaya.

Menurut cerita, tokoh pertama yang dimakamkan dan yang menjadi cikal bakal berdirinya pesarean ini yaitu Raden Mertukusumo yang tidak lain adalah Patih dari Kabupaten Polorejo pendukung Pangeran Diponegoro ketika melawan penjajah Belanda. Dalam carita itu dikisahkan bahwa, setelah Raden Mas Tumenggung Brotonegoro ( Bupati Polorejo ) gugur dalam melawan penjajah Belanda, Patihnya yang bernama Raden Dipotaruno berhasil meloloskan diri ke salah satu Desa ( yang sekarang dikenala dengan Desa Srandil ) dan bersembunyi di Goa Batu yang ada di bukit Ngrayu. Selama beberapa waktu setelah sekiranya situasi mulai aman, baliau pun mencoba memberanikan diri mencoba keluar dari tempat persembunyiannya. Dan sejak saat itu demi menghindari pengejaran dari prajurit Belanda, beliau diperkirakan juga berganti nama menjadi Raden Mertukusumo. Hingga saat ini pun nama Raden Mertukusumo lebih dikenal oleh masyarakat Srandil dari pada Raden Dipotaruno. Setelah kejadian itu, Raden Mertukusumo menjadi sesepuh dan panutan masyarakat Srandil bersama Kyai Mohibat, putra Kyai Kasan Yahya dari Tegalsari yang menjadi tokoh pertama pembabat Desa Srandil. Dan kedua tokoh tersebut sampai sekarang masih dihormati oleh masyarakat Srandil. Hingga sebelum Raden Mertokusumo meninggal dunia, beliau berpesan kepada masyarakat Srandil agar kelak jika beliau meninggal dunia, jenazahnya dimakamkan di Bukit Srayu. Karena ia beranggapan atas pertolongan Allah, di bukit itu beliau berhasil diselamatkan dari kejaran prajurit Belanda. Sekitar tahun 1830-an ketika Kabupaten Sumoroto masih diperintah oleh Raden Mas Tumenggung Sumonagoro ( Bupati Sumoroto II ), beliau sempat mengajukan permohonan kepada Raja Surakarta Sunan Pakubuwono IV agar Desa Srandil yang memiliki luas sekitar 70 Hektar ini dijadikan daerah Perdikan ( bebas pajak ) untuk menjaga dan memelihara pesarean Srandil dan sekaligus dijadikan pemakaman para keturunan Bupati Sumoroto. Hingga akhirnya permohonan tersebut dikabulkan oleh Sunan Pakubuwono IV. Dan sejak pengajuan itu, mungkin pembuatan pagar keliling makam yang berukuran 24m x 24m ini sudah dimulai paa masa pemerintahan Raden Mas Tumenggung Sumonagoro, yang kemudian disempurnakan pada tahun 1931 sesuai petunjuk yang tertera pada papan nama yang terdapat pada pesarean Srandil. Namun jika dibandingkan dengan makam - makam Islam yang lain yang ada di Nusantara, makan Srandil termasuk pemakaman yang digolongkan masih relatif muda usianya. Karana dibangun pada abad ke19. Akan tetapi ciri khas dari “makam Islam Nusantara” masih tetap melakat pada arsitek bangunannya,

MASJID TEGALSARI Masjid Tegalsari adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang didirikan sekitar abad ke-18. Masjid ini terletak di desa Tegalsari kecamatan Jetis kabupaten Ponorogo. Masjid ini merupakan peninggalan Kyai Ageng Hasan Besari, seorang ulama besar yang hidup sekitar tahun 1742 pada zaman pemerintahan Pakubuwono II. Di dalam masjid tersimpan kitab yang berumur antara 150-170 tahun yang ditulis oleh Ronggo Warsito. Komplek masjid ini sekarang menjadi tujuan wisata religius di Kabupaten Ponorogo Masjid Tegalsari merupakan pusat penyiaran agama Islam terbesar di wilayah Kabupaten Ponorogo pada masa itu. Di masjid itu pula didirikan Pesantren Tegalsari yang amat tersohor dan mempunyai ribuan santri, berasal dari seluruh tanah Jawa dan sekitarnya.

Di antara santri-santrinya yang terkenal adalah Raden Ngabehi Ronggowarsito seorang Pujangga Jawa yang masyhur dan tokoh Pergerakan Nasional H.O.S. Cokroaminoto. Masjid Tegalsari diperkirakan dibangun sekitar pertengahan abad ke-18 oleh Kyai Ageng Hasan Besari. Pada awalnya ukuran masjid itu masih relatif kecil. Bangunan masjid diperluas lagi oleh cucu Kyai Ageng Hasan Besari, yaitu Kyai Kasan Besari agar menampung jumlah jamaah yang lebih banyak. Kyai inilah yang berhasil mengislamkan masyarakat Ponorogo sampai lereng Gunung Lawu. Menurut cerita dari masyarakat setempat, pembangunan masjid ini diwarnai dengan sedikit masalah. Konon, tiang yang terbuat dari kayu jati tidak dapat berdiri tegak. Dengan kesaktian yang dimiliki Kiai Kasan Besari, kayu itupun ditampar. Aneh, tiba-tiba kayu itu berdiri yang akhirnya menjadi tiang utama dari Masjid Tegalsari. Rupanya masalah tak kunjung usai. Salah satu tiang masjid yang berada di pojok tidak dapat ditancapkan ke tiang yang lain. Pasalnya, tiang itu kurang tajam ujungnya. Lagilagi dengan kesaktian yang dimiliki Kyai Kasan Besari memijat kayu itu hingga ujung tiang menjadi lancip. Alhasil, tiang itupun dapat ditancapkan lagi ke tiang utama tanpa memakai paku. Masjid ini berarsitektur jawa dan memliki 36 tiang dan atap berbentuk kerucut. Jumlah tiang mengandung arti jumlah wali/wali songo (3+6=9) yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dan atap berbentuk kerucut mengambarkan keagungan Allah swt.

Related Documents

Gunung
June 2020 33
Gunung Rinjani
October 2019 42
Sangkan Gunung
July 2020 23
Gunung Tua.docx
October 2019 25
Gunung Kelud
November 2019 26
Gunung Srandil.docx
December 2019 26

More Documents from "Sakti"

Gunung Srandil.docx
December 2019 26
Final Pondasi.docx
May 2020 4
Readme.fpga.txt
April 2020 16
Swift.txt
April 2020 13