Lab/SMF Ilmu Syaraf
Referat
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
GUILLAIN-BARRE SYNDROME
Oleh MAHLINA NUR LAILI NIM. 1810029041
Pembimbing dr. H. Luthfi Widyastono, Sp.S
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium/SMF Ilmu Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2018
LEMBAR PERSETUJUAN
GUILLAIN-BARRE SYNDROME
REFERAT Sebagai suatu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Saraf
Oleh: MAHLINA NUR LAILI 1810029041
Pembimbing,
dr. H. M. Luthfi Widyasnoto, Sp.S 19661018 199903 1 003
2
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat tentang “Guillain Barre Syndrome”. Referat ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Syaraf Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Luthfi Widyastono, Sp.S selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari masih terdapat banyak ketidaksempurnaan dalam referat ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhir kata, semoga referat ini dapat berguna bagi para pembaca.
Samarinda, 14 Desember 2018 Penulis,
Mahlina Nur Laili
3
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2 DAFTAR ISI ................................................................................................................. 4 BAB I ............................................................................................................................ 5 PENDAHULUAN ........................................................................................................ 5 1.1
Latar Belakang ............................................................................................... 5
1.2
Tujuan ............................................................................................................. 6
BAB II ........................................................................................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................... 7 2.1
Definisi Guallain Barre Syndrome ................................................................. 7
2.2
Epidemiologi Guallain Barre Syndrome ........................................................ 7
2.3
Klasifikasi Guallain Barre Syndrome ............................................................. 8
2.4
Etiologi Guillain Barre Syndrome .................................................................. 9
2.5
Struktur dan Fungsi Normal Saraf ................................................................ 10
2.6
Patofisiologi Guillain Barre Syndrome ........................................................ 13
2.7
Manifestasi Klinis Guallain Barre Syndrome............................................... 18
2.8
Penegakan Diagnosis Guallain Barre Syndrome .......................................... 23
2.9 Diagnosis Banding ............................................................................................ 27 2.10 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome ..................................................... 28 2.11 Komplikasi ...................................................................................................... 31 2.12 Prognosis ......................................................................................................... 31 BAB III ....................................................................................................................... 32 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 32 3.1
Kesimpulan ................................................................................................... 32
3.2 Saran .................................................................................................................. 32 References ................................................................................................................... 33
4
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Guillain–Barré Syndrome (disingkat GBS) atau radang polineuropati
demyelinasi akut adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun, di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Sindroma ini juga dapat dikatakan sebagai sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit sistemik. Saraf yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa (1; 2) Angka kejadian Guillain–Barré Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 11,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan ada yang berpendapat bahwa terdapat hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu (1; 2) Etiologi Guillain–Barré Syndrome belum diketahui secara umum, tetapi beberapa penelitian yang ada menduga bahwa ada beberapa faktor pencetus dan beberapa dari faktor ini terdapat pada pelayanan kesehatan primer. Vaksinasi, infeksi virus, dan beberapa jenis keracunan makanan adalah contoh dari faktor pencetus Guillain–Barré Syndrome. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya Guillain–Barré Syndrome, antara lain infeksi,
5
vaksinasi, pembedahan, kehamilan atau dalam masa nifas, penyakit sistemik seperti: keganasan, sistemik lupus eritematosus, tiroiditis, penyakit Addison (1; 3; 2) Sampai saat ini belum ada terapi spesifik untuk Guillain–Barré Syndrome. Sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Namun demikian Guillain–Barré Syndrome memerlukan perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi terutama pada keadaan akut yang dapat menimbulkan gagal napas akibat kelemahan otot pernapasan dan bisa berlanjut pada kematian . Oleh karena itu, penderita Guillain–Barré Syndrome memerlukan pengawasan dan perawatan yang baik untuk mempercepat pernyembuhan dan mencegah komplikasi (1; 2) 1.2
Tujuan Tujuan umum pembuatan referat ini adalah untuk dapat mengetahui penegakan
diagnosis dan penatalaksanaan “Guillain Barre Syndrome” berdasarkan mekanisme atau etiologinya. Serta diharapkan dapat menambah wawasan penulis tentang materi serta tata cara melakukan penulisan referat secara baik dan benar.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Guallain Barre Syndrome Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain– Barré Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu infeksi (1; 2) Parry mengatakan bahwa Guillain–Barré Syndrome adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis (1; 3) Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
2.2
Epidemiologi Guallain Barre Syndrome Angka kejadian Guillain–Barré Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara 1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 7
tahun. Namun tidak jarang juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3 bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan ada yang berpendapat bahwa terdapat hubungan antara frekuensi penyakit ini dengan suatu musim tertentu (1; 2) 2.3
Klasifikasi Guallain Barre Syndrome (4; 5; 6) 1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) Yang merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel schwann. 2. Acute motor axonal neurophaty (AMAN) Atau sindroma paralitik Cina: menyerang nodus motorik ranvier dan sering terjadi di cina dan meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsungdengan cepat. Didapati antibody Anti GD1a, sementara antibody anti- GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN. 3. Acute moyor sensory axonal neurophaty (AMSAN) Mirip dengan AMAN , juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna. 4. Fisher’s syndrome (MFS) Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralysis desendens ,berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai otot otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala yakni: oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibody Anti GQ1b 90% kasus.
8
5. Acute panautonomia Merupakan varian GBS yang paling jarang: dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskuler dan disritmia. 6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff (BBE) Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia , ataksia, gangguan kesadaran ,hiperrefelksia atau refleks babinski. Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan irregular terutama pada batang otak seperti pons, midbrain, dan medulla spinalis. Meskipun gejalanya berat namun prognosis BBE cukup baik. 2.4
Etiologi Guillain Barre Syndrome Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain: (7; 8)
1. Infeksi 2. Vaksinasi 3. Pembedahan 4. Kehamilan atau dalam masa nifas 5. Penyakit sistemik a. Keganasan b. Systemic Lupus Erithematous c. Tiroiditis d. Penyakit Addison
9
Tabel 1. Infeksi akut yang berhubung dengan Guillain–Barré Syndrome Infeksi
Definite
Probable
Possible
Virus
CMV EBV
HIV Varicella- Zoster Vaccinia/Smallpox
Influenza Measles Mumps Rubella Hepatitis Coxsackie Echo
Bakteri
Campylobacter Jejeni Mycoplasma Pneumonia
Typhoid
Borreila B Paratyphoid Brucellosis Chlamydia Legionella Listeria
Infeksi bakteri yang paling sering mencetuskan Guillain–Barré Syndrome adalah infeksi Campylobacter jejuni. Bakteri dari genus Campylobacter diidentifikasi sebagai yang paling umum menjadi sumber gastroenteritis bakteri di Amerika Serikat melebihi Salmonella dan Shigella. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, kultur dan serum menunjukkan bukti adanya infeksi pendahulu Campylobacter jejuni pada 26-45% pasien Guillain–Barré Syndrome (1). 2.5
Struktur dan Fungsi Normal Saraf Fungsi utama neuron adalah menerima, memadukan, dan menyalurkan
informasi ke sel lain. Neuron terdiri dari tiga bagian: dendrit, yaitu tonjolan memanjang yang menerima informasi dari lingkungan atau dari neuron lain; badan sel, yang mengandung nukleus dan akson, yang panjangnya dapat mencapai 1 meter dan menghantarkan impuls ke otot, kelenjar, atau neuron lain. Sebagian besar neuron bersifat multipolar, yang mengandung satu akson dan beberapa dendrit. Neuron bipolar memiliki satu dendrit dan satu akson dan ditemukan di ganglion
10
cochleare dan vestibulare, retina, serta mukosa olfaktorik. Ganglion sensorik spinal mengandung neuron-neuron pseudounipolar yang memiliki suatu tonjolan yang keluar dari badan sel dan terbagi menjadi dua cabang, satu memanjang ke medula spinalis dan yang lain memanjang ke perifer. Akson dan dendrit biasanya bercabang-cabang secara ekstensif di bagian ujungnya. Percabangan dendrit dapat sangat rumit, dengan akibat bahwa satu neuron dapat menerima ribuan masukan. Setiap cabang akson berakhir di sel berikutnya di sinaps, yakni suatu struktur khusus untuk menyalurkan informasi dari akson ke otot, ke kelenjar atau ke neuron lain. Sinyal merambat secara elektris di sepanjang akson. (9) Mielinisasi meningkatkan kecepatan hantaran potensial aksi. Mielin terutama terdiri dari lipid. Selaput mielin berfungsi sebagai insulator, sperti karet yang membungkus kabel listrik, untuk mencegah arus bocor menembus bagian membran yang bermielin. Mielin sebenarnya bukan bagian dari sel saraf tetapi terdiri dari sel-sel pembentuk mielin terpisah yang membungkus diri mengelilingi akson seperti kue bolu gulung. Hilangnya mielin memperlambat transmisi impuls pada neuron yang terkena. Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan kerusakan mielin dapat juga merusak akson dibawahnya yang semakin menggangu perambatan potensial aksi. (10) Susunan saraf mempunyai reaksi imunologik terhadap antigen-antigen yang berasal dari susunan saraf itu sendiri. Autoantigenik neural ini tidak patologik selama toleransi imunologik masih ada. Tetapi karena suatu sebab, toleransi imunologik itu dapat dihilangkan dan timbullah proses auto-imunopatologik yang mengakibatkan timbulnya kerusakan jaringan. Apa yang dinamakan sel T itu ternyata sebuah limfosit yang mempunyai struktur kimiawi lipopolisakarida. Menurut teori yang diuraikan maka beberapa penyakit nerologik disebabkan oleh proses imunopatologik dan auto-imunopatologik. Namun demikian yang dianggap imunologik atau autoimunologik dapat diperbaiki dengan farmaka yang dinamakan imunosupresor. (8)
11
Gambar 1. Sel Saraf
Gambar 2. Jenis-jenis sel saraf
12
2.6
Patofisiologi Guillain Barre Syndrome Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Guillain–Barré Syndrome masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah (11): 1.
Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2.
Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan
3.
Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi. Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain–Barré Syndrome dipengaruhi oleh
respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran (11) Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta TNFα (11) Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan
13
alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin (12) Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan (12) Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat (12)
Gambar 3. Proses demielinisasi saraf tepi pada sindrom Guillain Barre
14
Pada Guillain–Barré Syndrome, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Selsel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Akibatnya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh (12; 13) Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,termasuk berjalan (13)
Limphosit bermigrasi & bertransformasi ke dlm serabut saraf, myelin & axon belum rusak.
Sel limphosit & sel makrofag >>, mulai terjadi segmental demyelinisasi, axon belum rusak.
kerusakan selubung myelin & axon, Terjadi kromatolisis sentral inti sel saraf atropi & denervasi.
Kerusakan axon >> proximal, kerusakan irreversible regenerasi sel saraf (-)
Patologi
Gambar 4. Perjalanan kerusakan sel saraf tepi pada poliradiculoneuritis
15
Pada Guillain–Barré Syndrome, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama (12) Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisiasi imunitas humoral maka selT merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf (12)
Gambar 5. Patogenesis infeksi Campylobacter jejuni terhadap kerusakan sel saraf tepi
16
Guillain–Barré Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer (14; 12) Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat (14) Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, sarafsaraf kranialis dapat juga ikut terlibat (14)
Gambar 6. Derajat kerusakan sel saraf dan manifestasi klinik
17
2.7
Manifestasi Klinis Guallain Barre Syndrome Guillain–Barré Syndrome terjadi pada orang yang relatif sehat yang mengalami
infeksi beberapa hari sampai minggu sebelum timbul gejala Guillain–Barré Syndrome. Infeksi yang paling sering dilaporkan pada kasus Guillain–Barré Syndrome adalah gastroenteritis dan infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi kira-kira 1-3 minggu sebelum gejala neurologi muncul. Sekitar 20% dari pasien Guillain–Barré Syndrome pernah mengalami bentuk gastroenteritis sebelum diagnosis Guillain–Barré Syndrome (1; 3)
Orang dengan Guillain–Barré Syndrome mengalami onset bertahap simetris dari parestesia dan mati rasa yang dimulai di kaki dan naik pada tingkat yang bervariasi. Hal ini juga dapat mencakup tangan dan kaki naik dari distal ke proksimal yang menyebabkan kelemahan motorik dan akhirnya menjadi paralisis (1; 3) Disfungsi sensoris dan otomatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak selalu hadir pada semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada banyak variasi seperti hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala lainnya (1; 3) Gejala klinis pada penderita Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut: a. Kelemahan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadangkadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat juga terpengaruh. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot
18
bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi (14; 12) b. Keterlibatan saraf kranial Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otototot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus (14) Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), diplopias, dysarthria, disfagia, ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari Guillain–Barré Syndrome adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial (12) c. Perubahan Sensorik Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau
perubahan
sensorik
serupa. Gejala
sensorik
sering
mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir. Sensibilitas
19
ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik (14; 12) d. Nyeri Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome, 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan Guillain–Barré Syndrome pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut (14) Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus) (14) e. Perubahan otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita Guillain–Barré Syndrome. Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia, bradikardia, facial flushing, hipertensi paroksimal, hipotensi ortostatik, anhidrosis dan /atau diaphoresis (14)
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu (14; 12) f. Pernapasan
20
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita (14) Empat puluh persen pasien Guillain–Barré Syndrome cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, dan bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka (12) g. Papil Edema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang (14) Manifestasi klinik yang paling sering terjadi adalah kelemahan dan nyeri pada anggota tubuh. Nyeri dialami oleh hampir 90% pasien. Nyeri digambarkan seperti “kuda charlie” yaitu nyeri yang timbul hanya dengan perubahan kecil yang seharusnya tidak menyebabkan nyeri, biasanya disebut juga dengan hipersensitif atau hiperalgesia (1; 3)
Walaupun Guillain–Barré Syndrome adalah neuropati perifer, tetapi dapat juga terdapat keterlibatan nervus kranialis. Kebanyakan yang terjadi adalah kelumpuhan wajah. Pasien-pasien sindrom Guillain-Barre dengan perjalanan penyakit yang didahului infesi Campylobacter jejuni menunjukkan tanda dan gejala keracunan makanan yang klasik, yang paling umum adalah mual, muntah, nyeri abdomen, dan diare (3) Penelitian telah dilakukan untuk membandingkan adanya Campylobacter jejuni di sel mononuklear darah perifer pasien yang didiagnosis dengan gastroenteritis akibat
21
Campylobacter jejuni dan di pasien kontrol sehat yang tidak terpapar bakteri. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa DNA Campylobacter didapatkan dan stabil dalam darah pasie kira-kira selama satu hingga dua tahun (3) Infeksi pendahulu kedua terbanyak yang dilaporkan adalah cytomegalovirus (CMV). Pasien yang didahului diagnosis CMV akan memiliki bentuk Guillain–Barré Syndrome yang berbeda dibandingkan pasien yang didahului infeksi C. jejuni. Pasien Guillain–Barré Syndrome dengan riwayat infeksi CMV akan cenderung mengalami kelemahan nervus fasialis bilateral, memiliki komplikasi di sistem pernafasan yang berat (misalnya sampai memerlukan ventilasi mekanis), dan kehilangan fungsi sensoris yang berat (3) Perjalanan alamiah Guillain–Barré Syndrome, skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita Guillain–Barré Syndrome. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, yaitu
(12)
:
1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampaigejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus Guillain–Barré Syndrome yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan Guillain–Barré Syndrome yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala (12) 2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perludilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
22
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan (12) 3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, sertamengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi (12) 2.8
Penegakan Diagnosis Guallain Barre Syndrome A. Kriteria Diagnosis Diagnosis Guillain–Barré Syndrome terutama ditegakkan secara klinis. Kriteria
diagnosis yang umum dipakai adalah kriteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu (1; 3; 2): 1. Kelumpuhan progresif dari lengan dan tungkai. Mungkin diawali oleh kelumpuhan di ekstremitas bawah saja, gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu dan 90% dalam 4 minggu. 2. Arefleksia (penurunan refleks tendon).
23
3. Ditemui hal-hal yang memperkuat prognosis: a. Progresi dari gejala dalam 4 minggu atau kurang b. Gejala relatif simetris c. Ada gejala sensoris yang ringan d. Ada keterlibatan saraf kranial. Gejala saraf kranial ±50% terjadi paresis nervus VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan e. Disfungsi otonom: takikardi, aritmia, hipotensi, hipertensi dan gejala vasomotor f. Nyeri biasanya sering terjadi g. Terdapat protein dengan konsentrasi tinggi, serta kelainan pada CSF yang khas. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosis: - Protein cairan serebrospinal: meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada lumbal pungsi serial - Jumlah sel cairan serebrospinal <10MN/m3 - Varian: tidak ada peningkatan protein cairan serebrospinal setelah 1 minggu gejala, jumlah sel cairan serebrospinal 11-50 MN/m3 h. Ada gambaran elektrodiagnosis yang spesifik. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal. Hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan akan diagnosis adalah sebagai berikut (15)
;
a. Disfungsi paru berat dengan kelemahan tungkai yang terbatas pada awal penyakit b. Tanda sensoris yang berat dengan kelemahan pada awal penyakit c. Disfungsi kandung kemih atau disfungsi usus d. Demam e. Progresi lambat dengan kelemahan terbatas tanpa keterlibatan sistem respirasi f. Kelemahan asimetri yang menetap g. Disfungsi kandung kemih dan usus yang menetap h. Peningkatan jumlah sel mononuklear dalam CSF (> 50 x 106/L) i. Adanya sel polimorfonuklear di CSF.
24
B. Pemeriksaan Neurologis Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan (14) C. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone) (14; 12) 2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Guillane Barre Syndrome merupakan suatu kelainan pada konduksi pada saraf dan EMG dapat menjadi suatu penilaian yang baik untuk mengkonfirmasi diagnosis, identifikasi dari segmen saraf yang rusak dan memperkirakan prognosis. Ada sejumlah laporan temuan elektrodiagnostik dalam kasus ini beberapa menunjukkan sedikit perubahan pada konduksi saraf dengan adanya kelemahan yang parah, mengarah ke kesimpulan oleh beberapa bahwa tidak ada korelasi antara gejala klinis dan studi konduksi saraf. Perubahan patologis pada saraf perifer terdiri dari infiltrasi sel mononuklear dan demielinasi segmental di motor dan akar sensorik, akhirnya melibatkan seluruh panjang neuraxis.probably lesi jerawatan, ada kemungkinan lebih besar dari disfungsi
25
dan dominan lebih besar dari gejala klinis dalam otot distal, yang mencerminkan probabilitas yang lebih besar bahwa semakin lama akson individu pada risiko lebih besar kemungkinan akan terpengaruh pada satu titik lebih sepanjang jalurnya. degenerasi aksonal dapat terjadi pada kasus yang parah dan secara tradisional dianggap sekunder untuk proses inflamasi berhubungan dengan demielinasi. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis Guillain–Barré Syndrome adalah kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat. Distal motor retensi memanjang kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada
segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk
mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis
penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa
penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna (14; 12) 3. Pemeriksaan Darah Tepi Dapat didapati polimorfonuclear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjaadi limfositosis, eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah (LED) dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala (14; 12) 4. Test hipersensitivitas Dapat dijumpai hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgM, dan IgA, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis virus yang akut atau sedang berlangsung; umumya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun aibat infeksi CMV ataupun EBV (14; 12) 5. Elektrokardiografi (EKG) Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardi. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering (14; 12) 6. Tes fungsi respirasi
26
Dikenal juga dengan pengukuran kapasitas vital paru ini, akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending) (14; 12) 7. Pemeriksaan Patologi Anatomi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur (14; 12) Asbury, dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson (14; 12) 2.9 Diagnosis Banding Gejala klinis Guillain–Barré Syndrome biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus dibedakan dengan keadaan lain Guillain–Barré Syndrome harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut (16; 11) 1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita Guillain–Barré Syndrome tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia. 2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari Guillain–Barré Syndrome dimana pada Guillain–Barré Syndrome, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas 27
gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski 3. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang terinfeksi. Gejala dimulai dengan diplopia disertai dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien Guillain– Barré Syndrome (17) 4. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit. 5. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik. 2.10 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi) (15) Perawatan intensif di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai adalah hal yang paling penting. Selain pencegahan dan pengobatan terhadap komplikasi umum, diperlukan juga perawatan aktif (15) Sebuah review dari database Cochrane menunjukkan bahwa plasma exchange (PE) atau pengobatan dengan immunoglobulin intravena (IVIg) memiliki efektifitas yang ekuivalen dalam upaya penyembuhan pasien Guillain–Barré Syndrome jika pengobatan diberikan dalam 2 minggu setelah onset kelemahan. Sekitar 10% pasien membutuhkan pemberian pengobatan ulangan karena mereka mengalamikelemahan sekunder setelah keadaan membaik setelah pemberian terapi dengan plasma exchange (PE) atau IVIg yang pertama (15)
28
Dalam banyak kasus karena alasan praktis ( misalnya karena resiko yang rendah dan aplikasi yang mudah), pengobatan dengan IVIg saat ini menjadi terapi lini pertama pada pasien Guillain–Barré Syndrome (15) Hal lain yang penting adalah memulai fisioterapi pada fase awal untuk mencegah berbagai permasalahan sekunder seperti kekakuan sendi. Rehabilitasi adalah sangat penting dan harus dilakukan setelah pasien stabil dan memungkinkan untuk melakukan berbagai macam gerakan dan mengikuti program latihan (15) 1. Terapi Farmakologi A. Kortikosteroid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB (1) B. Plasmaparesis Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada Guillain–Barré Syndrome memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama) (1)
C. Pengobatan imunosupresan (1): a. Imunoglobulin IV Pengobatan
dengan
gamma
globulin
intervena
lebih
menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh (1)
29
Pada penelitian tentang terapi immunoglobulin intravena pada kasus Guillain– Barré Syndrom pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al. ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada kasus ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi memberikan peningkatan pada kecepatan onset perbaikan klinis (18) Efek samping IVIg pada percobaan tersebut dikatakan ringan tetapi tidak sering terjadi. Reaksi alergi, gangguan fungsi hati yang bersifat sementara, hipertonik, meningitis aseptik, proteinuria, gangguan fungsi ginjal, dan peningkatan viskositas serum dilaporkan pada orang dewasa dan anak yang mendapat terapi dengan IVIg (18) b. Obat sitotoksik Pemberian obat sitotoksik yang dianjurkan adalah: -
merkaptopurin (6-MP)
-
azathioprine
-
cyclophosphamid Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopesia, muntah, mual dan sakit kepala
(18) Manajemen nyeri cukup sulit tapi karbamazepin atau gabapentin dapat membantu. Dosis untuk karbamazepin yaitu 300mg/hari, dan untuk gabapentin 15mg/kgBB/hari. Asetaminofen atau obat NSAID dapat dicoba sebagai terapi pertama pada sindrom Guillain-Barre tetapi biasanya kurang efektif (3; 17) 2. Terapi Suportif A. Monitor respirasi, bila perlu lakukan trakeostomi. Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga telahterjadi paralysis otototot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila didapati keadaan seperti ini (17)
B. Pasang NGT
30
Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan dan cairan (17) C. Fisioterapi Fisioterapi aktif menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan fungsi alat gerak, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan keseimbangan. Fisioterapi pasif setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot (19) 2.11 Komplikasi Guillain–Barré Syndrome merupakan salah satu penyebab terbanyak dari paralisis neuromuskular. Kebanyakan pasien Guillain–Barré Syndrome meninggal dikarenakan gangguan otonom; henti jantung menjadi penyebab paling sering, bertanggung jawab pada 20-30% kematian
(1)
2.12 Prognosis Kajian yang dilakukan oleh Berger dan Pulley, (2000) memperlihatkan bahwa prognosis SGB tergantung pada progresivitas penyakit, derajat degenerasi aksonal, dan umur pasien. Faktor prediktor prognosis yang buruk dalam penelitian Lyu dkk, (1997) adalah : (1) usia > 40 tahun, (2) amplitudo CMAP yang rendah, dan (3) perlunya ventilasi mekanik. Sebuah penelitian prospektif lain dengan waktu follow-up 1 tahun terhadap 79 pasien SGB dilakukan oleh Ress dkk, (1998) memperlihatkan bahwa usia tua (>=60 tahun) merupakan faktor prediktor prognosis yang buruk untuk tidak tercapainya pemulihan sempurna (p=0.05; odds ratio 0.35; 95% CI 0.12-1.00). Penelitian lain oleh Kuwabara dkk, (2001) menunjukkan bahwa refleks tendo yang positif merupakan salah satu prediktor tercapainya pemulihan SGB yang cepat (skala Hughes meningkat 2 skor dalam waktu 14 hari) (44% : 9%, p=0,01 (20)
31
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Diagnosis Guillain–Barré Syndrome terutama ditegakkan secara klinis Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simptomatik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. 3.2 Saran Sebagai dokter umum, sebaiknya kita mampu mengenali gejala serta dapat mendiagnosis secara dini Guallain Barre Syndrome. Pendeteksian secara dini mencegah terjdinya kerusakan saraf
lebih lanjut serta menurunkan tingkat
komplikasniya.
32
Daftar Pustaka
1. The epidemiology of guillane-barre syndrome worldwide. McGrogan , A, et al. 2009, Neuroepidemiology, Vol. 32, pp. 150-163. 2. Gullain-Barre syndrome. Erasmus, MC. 2004, Orphanet Encyclopedia, Vol. 1, pp. 1-5. 3. Recognizing Guillain-Barre Syndrome in primary care setting. Mantay, KC, Parish, T and Armeau, E. 1, 2007, The Internet Journal of Allied Heath Sciences and Practice, Vol. 5, pp. 1-8. 4. Davids, HR. Guillain-Barre Syndrome. [Online] 2012. [Cited: 12 7, 2018.] http://emedicine.medscape.com/article/315632-overview.. 5. Lewis, RA. Chronic Inflamatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy. [Online] 2009. [Cited: 12 06, 2018.] http://emedicine.medscape.com/article/1172965overview.. 6. Menkes, JH, Sarnat, HB and Moser, FG. Child Neurology 6th Ed. London : Williams & Wilkins, 2000. 7. Adams, RD, Victor, M and Ropper, AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA : McGraw Hill, 2005. 8. Mardjono, M and Sidharta, P. Neurologi Klinis Dasar. 8. Jakarta : Dian Rakyat, 2000. 9. Ganong, F William and Mcphee, Stephen J. Patofisiologi Penyakit: Pengantar Menuju Kedokteran Klinis Edisi 5. Jakarta : EGC, 2007. 10. Sherwood, Laurale. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC, 2010. 11. Guillan-Barre sundrome. Burns, TM. 2, 2008, Thieme Medical Journal, Vol. 28, pp. 152-167. 12. Ropper, H A and Brown, H R. Principles of Neurological 8th Ed. USA : Adam's and Victoe, 2005. 13. Bradley, WG, et al. Neurology in clinical practice: the neurological disorders 2nd edition. USA : Butterworth-Heinemann, 1996.
33
14. Fauci, AS, Kasper, DL and Longo, DL. Harrison's principles of internal medicine 17th Ed. New York : McGraw-Hill, 2008. 15. Guillain-Barre Syndrome. Vaan Doorn, PA. s.l. : University Medical Center Rotterdam, 2004, Orphanet Encyclopedia, pp. 1-5. 16. Clinical features, pathogenesis and treatment of Guillain-Barre syndrome. Van Doorn, PA, Ruts, L and Jacobs, B. 2008, Lancet Neurol, Vol. 7, pp. 939-950. 17. Guillain-Barre syndrome and vaccination: usually unrelated. Grabenstein, JD. 2, 2000, Hospital Pharmacy, Vol. 36, pp. 199-207. 18. Intravenously Administering Immunoglobulin in the Treathment of Chillhood Guillain-Barre Syndrome: A Randomized Trial. Korinthenberg, R, et al. 2005, Pediatrics, Vol. 116, pp. 8-14. 19. Amparo, Gutierrez and Sumner, Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. [book auth.] ME Selzel, et al. Textbook of neural repair and rehabilitation. UK : Cambridge University Press, 2006, pp. 49-55. 20. Rizaldy, Pinzon. Sindrom Guillan-Barre: Kajian Pustaka. Jakarta : Dexa Medica, 2007.
34