Gizi Buruk.docx

  • Uploaded by: Mahlina Nur Laili
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gizi Buruk.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,248
  • Pages: 45
SMF & Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

TUTORIAL

GIZI BURUK

Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Rosdiana 1710029052

Pembimbing: dr. Ahmad Wisnu Wardhana, Sp. A

Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Samarinda, Januari 2019

1

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tutorial tentang “Gizi Buruk pada Anak”. Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Anak Rumah Sakit Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial ini. Akhir kata, semoga tutorial ini berguna bagi penyusun sendiri dan para pembaca.

Samarinda, Januari 2019

Penyusun

2

DAFTAR ISI

Halaman Sampul ............................................................................................................... 1 Kata Pengantar .................................................................................................................. 2 BAB 1 Pendahuluan .......................................................................................................... 4 1.1

Latar Belakang........................................................................................................ 4

BAB 2 Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 5 2.1

Definisi ................................................................................................................... 5

2.2

Klasifikasi ............................................................................................................... 5

2.3

Epidemiologi .......................................................................................................... 7

2.4

Etiologi ................................................................................................................... 8

2.5

Patogenesis ............................................................................................................. 9

2.6

Manifestasi Klinis .................................................................................................11

2.7

Penegakan Diagnosis ............................................................................................12

2.8

Penatalaksanaan ....................................................................................................18

2.9

Komplikasi ...........................................................................................................35

2.10 Prognosis ..............................................................................................................35 Lampiran ..........................................................................................................................38 Daftar Pustaka .................................................................................................................45

3

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Masalah gizi yang timbul dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat, keterbelakangan mental serta dapat meningkatnya Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Anak (AKA). Meskipun prevalensi gizi buruk di Indonesia pada anak balita mengalami penurunan pada tahun 5,4% tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010. Tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih relative besar. Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut saling berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak menderita penyakit infeksi. Secara tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, dan sanitasi / kesehatan lingkungan kurang baik, serta akses pelayanan kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan kemiskinan keluarga. Periode terpenting pertumbuhan dan perkembangan pada anak adalah umur di bawah 5 tahun atau sering disebut golden age. Jika pemberian nutrisi pada anak balita kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya maka pertumbuhan dan perkembangan anak balita akan berjalan lambat. Oleh karena itu, diperlukan tenaga yang mampu mengatasi kasus gizi buruk secara cepat, tepat dan professional yang diikuti dengan penyiapan sarana dan prasarana yang memadai.

1.2. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan Referat ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang gizi buruk dan penatalaksanaan gizi buruk yang terbaru.

4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gizi buruk (severe malnutrition) merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar rata-rata. Gizi buruk atau malnutrisi energi protein adalah keadaan kurang gizi pada anak yang disebabkan oleh kurangnya asupan energi dan protein. Balita usia 6-59 bulan merupaka golongan yang rentan terhadap masalah kesehatan dan gizi, diantaranya adalah masalah malnutrisi energi protein (MEP). Status gizi buruk dibagi menjadi tiga bagian, yakni gizi buruk karena kekurangan protein (disebut kwashiorkor), karena kekurangan karbohidrat atau kalori (disebut marasmus), dan kekurangan kedua-duanya (marasmus-kwashiorkor) (Kemenkes,2013).

2.2. Klasifikasi Penentuan prevalensi MEP diperlukan klasifikasi menurut derajat beratnya MEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai berikut: A.

Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS Tabel 2.1 Klasifikasi MEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS BB/U

BB/TB

Ringan

70-80%

80-90%

Sedang

60-70%

70-80%

Berat

<60%

Klasifikasi MEP

B.

<70%

Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI Klasifikasi malnutrisi MEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB), dan

umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut: Tabel 2.2 Klasifikasi MEP menurut Departemen Kesehatan RI BB/TB (berat menurut tinggi)

TB/U (tinggi menurut umur)

Mild

80 – 90 %

90 – 94%

Moderate

70 – 79 %

85 – 89 %

Severe

< 70 %

<85 %

5

C.

Klasifikasi Menurut McLaren (1967) McLaren mengklasifikasikan MEP berat dalam 3 kelompok menurut tipenya. Gejala

klinis edema disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin atau total protein serum. (Pudjiadi, 2000) Tabel 2.3 Klasifikasi MEP menurut McLaren Gejala klinis / laboratoris

Angka

Edema

3

Dermatosis

2

Edema disertai dermatosis

6

Perubahan pada rambut

1

Hepatomegali

1

Albumin serum atau protein total serum/g % <1,00

<3,25

7

1,00-1,49

3,25-3,99

6

1,50-1,99

4,00-4,74

5

2,00-2,49 2,50-2,99

4,75-5,49 5,50-6,24

4 3

3,00-3,49

6,25-6,99

2

3,50-3,99

7,00-7,74

1

>4,00

>7,75

0

Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap penderita: 0-3 angka

= marasmus

4-8 angka

= marasmic-kwashiorkor

9-15 angka

= kwashiorkor

Cara demikian mengurangi kesalahan-kesalahan jika dibandingkan dengan cara Wellcome Trust, akan tetapi harus dilakukan oleh seorang dokter dengan bantuan laboratorium (Pudjiadi, 2000)

D.

Klasifikasi Menurut Waterlow (1973) Waterlow membedakan antara penyakit MEP yang terjadi akut dan menahun. 6

Waterlow berpendapat bahwa defisit berat terhadap tinggi mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya (Pudjiadi, 2000). Tabel 2.4 Klasifikasi MEP menurut Waterlow

E.

Gangguan Derajat

Stunting (BB/U)

Wasting(BB/TB)

0

>95%

>90%

1

95-90%

90-80%

2

89-85%

80-70%

3

<85%

<70%

Klasifikasi menurut Jelliffe Jelliffe mengklasifikasikan MEP berdasarkan berat badan (BB) menurut umur (U)

sebagai berikut: Tabel 2.5 Klasifikasi MEP menurut Jelliffe Kategori

BB/U (% baku)

MEP I

90 – 80

MEP II

80 – 70

MEP III

70 – 60

MEP IV

<60

2.3. Epidemiologi Berdasarkan Pantauan Status Gizi (PSG) 2017 yang dilakukan Kementerian Kesehatan, bayi usia di bawah lima tahun (Balita) yang mengalami masalah gizi pada 2017 mencapai 17,8%, sama dengan tahun sebelumnya. Jumlah tersebut terdiri dari Balita yang mengalami gizi buruk 3,8% dan 14% gizi kurang.Menurut status gizi berdasarkan indeks Tinggi Badan terhadap Usia (TB/U), Balita Indonesia yang mengalami stunting/kerdil pada tahun lalu mencapai 29,6%. Angka ini lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Dengan rincian 9,8% bayi dengan usia 0-59 bulan tersebut masuk kategori sangat pendek dan 19,8% kategori pendek.Sedangkan menurut indeks Berat Badan terhadap Usia (BB/U) sebanyak 9,5% Balita masuk kategori kurus dan turun dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan 7

Balita yang mengalami kegemukan (obesitas) mencapai 4,6%, juga lebih rendah dari tahun sebelumnya (Kemenkes, 2018).

2.4. Etiologi Penyebab terjadinya gizi buruk adalah inadekuatnya intake protein yang berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain: 1. Pola makan Protein dan asam amino adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kurang energi protein, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI. 2. Faktor sosial Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlansung turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kurang energi protein 3. Faktor ekonomi Kemiskinan keluarga ataupun penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.

8

4. Faktor infeksi dan penyakit lain Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.

2.5. Patogenesis 1.

Respon Metabolik Terhadap Pemasukan Energi Inadekuat Gizi Buruk merupakan hasil dari tidak tercukupinya kebutuhan energi dan nutrisi

dalam waktu yang lama. Manifestasinya tergantung dari beberapa faktor, misalnya umur, infeksi, status nutrisi awal dan kebiasaan mengurangi makan. Pada keadaan puasa terjadi pengurangan lemak dan perubahan endokrin yang mempunyai tujuan untuk menjaga fungsi vital dan bertahan hidup sampai didapatkan lagi energi dari makanan. Akibatnya akan terjadi perubahan-perubahan yaitu berkurangnya aktivitas, pertumbuhan yang lambat dan perubahan komposisi badan. Selain itu akan terjadi penurunan laju metabolisme dan peningkatan total cairan tubuh terutama di ekstaselular. Hormon cortisol akan meningkat pada keadaan kelaparan dan stress. Sekresi insulin akan menurun dan akan terjadi resistensi insulin di perifer. Aktivitas insulin-growth faktor 1 serta efektor metabolik pertumbuhan yang mempengaruhi hormon pertumbuhan juga berkurang. Efek keseluruhan dari perubahan hormon ini adalah mobilisasi lemak, degradasi protein otot, dan penurunan basal metabolic rate. Peningkatan aldosterone yang berperan dalam kehilangan potassium sudah diikuti oleh pengurangan energi dan penurunan sintesis adenosin trifosfat dalam sodium pump. 2.

Adaptasi Terhadap Penurunan Pemasukan Protein Selama kehilangan protein, otot skelet yang hilang akan diganti untuk menjaga

enzim yang penting dan memberikan energi untuk proses metabolisme, sehingga terjadi proses pembentukan protein otot dan peningkatan pemecahan yang akan memberikan asam amino essensial untuk sintesis protein dan glukoneogenesis. Di dalam hepar, terdapat pertukaran laju sintesis dari protein yang berbeda : sintesis albumin, transferrin dan apolipoprotein B akan menurun sedangkan sintesis protein lain akan dijaga. 3.

Perubahan Elektrolit Pada marasmus dan kwashiorkor akan terjadi retensi sodium sehingga akan terjadi

peningkatan total sodium dalam tubuh, meskipun kadar serumnya rendah sedangkan total potasium dalam tubuh akan menurun. Selain sodium dan potasium, elektrolit lain juga akan berubah seperti fosfat , magnesium dan kalsium. Hipofosfatemia ditemukan dalam anak9

anak yang malnutrisi dan berhubungan dengan tingginya angka mortalitas. Kadar fosfat yang rendah berhubungan dengan diare dan dehidrasi. Selain hipofosfatemia, hipokalemia juga bisa menyebabkan hipotonus dan kematian mendadak (sudden death). 4.

Interaksi dengan Infeksi Infeksi dan nutrisi saling berhubungan. Kondisi dimana pemasukan energi dan

protein yang tidak cukup berhubungan dengan kondisi peningkatan bakteri dan mikroba lain. Produk makanan yang berasal dari daging seperti daging merah, daging unggas, ikan, susu dan telur merupakan sumber nutrisi yang penting untuk melawan infeksi. Lemak dibutuhkan untuk memfasilitasi penyerapan dari vitamin seperti E, D dan A serta untuk menjaga infeksi. Selama infeksi, terdapat perubahan metabolik yang akan meningkatkan produksi protein fase akut. Produksi protein fase akut dan perubahan metabolik pada infeksi diperantarai oleh sitokin, lipid-derived factor termasuk prostaglandin, leukotrien, dan platelet aktivating factor. Perubahan endokrin juga berperan; hormon-hormon katabolik juga meningkat seperti glukokortikoid, glukagon, dan epinefrin. Sebagai tambahan bahwa perubahan efek metabolisme terhadap infeksi sesuai dengan status nutrisinya. 5.

Sitokin Sintesin sitokin dipercepat oleh infeksi, trauma, iskemi dan keadaan lain. Sitokin

berperan dalam metabolisme protein dan otot, puasa, dan cachexia pada kanker. Pada anak yang malnutrisi berat didapatkan penurunan reaksi inflamasi dan menumpulnya respon febrile. 6.

Protein Fase Akut Sitokin memodulasi pembentukan protein fase akut. Pembentukan protein tersebut

adalah di dalam hati dan meningkat bila ada stress seperti infeksi. Pada anak malnutrisi berat akan terjadi penurunan protein fase akut negatif seperti albumin, prealbumin, fibronektin dan retinol binding protein. Hal tersebut akan mengakibatkan meningkatnya sistesis protein dalam hepar. 7.

Kwashiorkor Kwashiorkor berhubungan dengan kurangnya diet protein dan edema yang terjadi

adalah akibat dari rendahnya albumin, namun ada pendapat yang mengatakan bahwa kwashiorkor tergantung dari intake energi bukan protein dan edema tidak tergantung dari albumin

10

2.6. Manifestasi Klinis Marasmus

Kwashiorkor

Marasmik Kwashiorkor



Pertumbuhan berkurang  Perubahan mental sampai  Terlihat sangat kurus. atau berhenti apatis  Edema.  Terlihat sangat kurus  Anemia  BB/TB < -3 SD.  Penampilan wajah seperti  Perubahan warna dan  LILA < 11,5 cm orangtua tekstur rambut, mudah  Perubahan mental dicabut / rontok  Cengeng  Gangguan sistem  Kulit kering, dingin, gastrointestinal mengendor, keriput  Pembesaran hati  Lemak subkutan  Perubahan kulit menghilang hingga turgor  Atrofi otot kulit berkurang  Edema simetris pada  Otot atrofi sehingga kedua punggung kaki, kontur tulang terlihat jelas dapat sampai seluruh  Vena superfisialis tampak tubuh. jelas  Ubun – ubun besar cekung  tulang pipi dan dagu kelihatan menonjol  mata tampak besar dan dalam  Kadang terdapat bradikardi  Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sebaya *Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran gejala marasmus dan kwashiorkor

11

Gambar 2.1 Perbedaan marasmus dan kwarshiorkor

2.7. Penegakkan Diagnosis 1.

Anamnesis Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang kurang, anak kurus, atau

berat badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak kurang/ tidak mau makan, sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak pada kedua kaki, kadang sampai seluruh tubuh (IDAI, 2010). Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila: BB/TB atau PB < -3 SD atau <70% dari median (marasmus), (kwashiorkor: BB/TB >-3SD atau marasmik-kwashiorkor: BB/TB <-3SD), Lingkar lengan tengah atas < 115mm atau Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh, Jika BB/TB atau BB/PB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha; tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema. Anak-anak dengan BB/U < 60% belum 12

tentu gizi buruk, karena mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jika ditemukan penyakit lain yang berat (WHO, 2013).

2.

Penilaian Awal Anak Gizi Buruk

Nilailah tanda bahaya atau emergency sign dan lakukan anamnesis yaitu (WHO, 2013):  Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari terakhir  Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit  Riwayat pemberian ASI  Durasi dan frekuens diare dan muntah  Jenis diare (encer/berdarah/berlendir)  Kehilangan nafsu makan  Lingkungan keadaan keluarga  Batuk > 2 minggu  Kontak dengan TB  Kontak dengan pasien campak  Diketahui atau diduga HIV Pada pemeriksaan, cari:  Tanda syok: letargi atau tidak sadar dengan tangan dingin, CRT lambat (> 3 detik), nadi lemah cepat dan tekanan darah rendah  Tanda-tanda dehidrasi  Palmar sangat pucat  Pitting edema bilateral  Tanda-tanda defisiensi vitamin A pada mata:  Konjungtiva atau kornea kering, bercak bitot  Ulserasi kornea  Keratomalacia  Anak-anak dengan defisiensi vitamin A cenderung menjadi fotofobik dan akan tetap bertahan menutup mata. Penting untuk memeriksa mata dengan hati-hati untuk mencegah robeknya kornea.  Tanda-tanda infeksi lokal, termasuk infeksi telinga dan tenggorokan, infeksi kulit atau pneumonia  Tanda-tanda infeksi HIV 13

 Demam (suhu ≥ 37,5 ° C atau ≥ 99,5 ° F) atau hipotermia (suhu rektal <35.5 ° C atau <95.9 ° F)  Sariawan/ mouth ulcers  Perubahan kulit pada kwashiorkor:  Hipo atau hiperpigmentasi  Deskuamasi  Ulserasi (menyebar ke anggota tubuh, kaki, paha, genitalia, lipatan paha dan belakang telinga)  Lesi eksudatif (menyerupai luka bakar parah) sering dengan infeksi sekunder (termasuk Candida).  Lakukan tes nafsu makan:  Periksa apakah anak memiliki nafsu makan dengan menyediakan makanan terapi yang siap pakai.  Pemeriksaan laboratorium dilakukan terhadap Hb atau EVF, terutama jika ada palmar sangat pucat. Gambar 2.2 Alur pemeriksaan Anak Gizi Buruk

14

Tabel 2.6 Penentuan status gizi dapat ditentukan secara klinis dan antropometri: Status gizi

Klinis

Antropometri (BB/TB-PB)

Gizi buruk

Tampak sangat kurus dan atau edema

< -3 SD

pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh. Gizi kurang

Tampak kurus

-3 SD - < -2 SD

Gizi baik

Tampak sehat

-2 SD – 2SD

Gizi lebih

Tampak gemuk

>2 SD

Tabel 2.7 Tata Cara Pemeriksaan Anak Gizi Buruk (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku II, 2013)

15

Table 2.8 Klasifikasi Tanda Bahaya (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku II, 2013)

Tabel 2.9 Tanda Hipotermi (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku II, 2013)

Tabel 2.10 Tanda Hipoglikemia dan Tanda Renjatan/ Syok

16

Tabel 2.11 Tanda-tanda Dehidrasi (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku II, 2013)

3.

Pemeriksaan Penunjang

Penemuan hasil laboratorium sebagai berikut : 1. Konsentrasi total protein serum dan terutama albumin secara nyata berkurang pada KEP edematus, dan normal atau rendah pada marasmus. 2. Hemoglobin dan hematokrit biasanya rendah, terlebih pada kwashiorkor daripada marasmus. 3. Rasio asam amino nonesensial dan esensial plasma meningkat pada kwashiorkor dan biasanya normal pada marasmus. 4. Level Free Fatty Acid (FFA) serum meningkat, terutama pada kwashiorkor. 5. Level glukosa darah normal atau rendah setelah puasa 6 atau lebih. 6. Eksresi urin kreatinin, hidroksiprolin, 3-metil histidin, dan urea nitrogen rendah. Banyak perubahan biokimia lain yang sudah diterangkan pada gizi buruk, meskipun mempunyai sedikit pengaruh pada diagnosis penyakit. Penelitian histopatologis menunjukkan atrofi nonspesifik, terutama pada jaringan dengan angka turn-over sel yang besar seperti mukosa usus, sumsum tulang merah, dan epitel testikular, sedangkan pada vili usus dan enterosit kehilangan penampakan columnarnya. Perubahan kulit terdiri atas atrofi dermal, ekimosis, ulserasi, dan deskuamasi hiperkeratosis, terlihat pada daerah yang iritasi. Hepar pada kwashiorkor besar dengan 17

infiltrasi lemak; lemak periportal terlihat pertama dan berlanjut sejalan dengan meningkatnya kehebatan penyakit.

2.8. Penatalaksanaan Perlu diketahui ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting pada pasien gizi buruk, yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2013)

Kondisi I Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2013) 1. Pasang O2 1-2 L/menit 2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan perbandingan 1:1 (RLG 5%) 3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan dengan 4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT Kondisi II Jika ditemukan: letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2013) 1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB 2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak 50ml 3. 2 jam pertama 

berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB setiap pemberian



catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi III Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana III, dengan 18

tindakan segera, yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2013) 1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT) 2. 2 Jam pertama 

berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB setiap pemberian



catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit

Kondisi IV Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2013) 1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB 2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT sebanyak 50ml 3. 2 jam pertama 

berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan berat badan (NGT)



catat nadi, frekuensi nafas

Kondisi V Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2013) 1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral 2. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran Gizi buruk ditatalaksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti pada tabel dibawah ini (Kemenkes, Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I, 2013)

19

Tabel 2.12 Berikut Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk

Sepuluh Langkah Utama Pada Tata Laksana Gizi Buruk: 1. Pengobatan atau pencegahan hipoglikemia (kadar gula dalam darah rendah) Hipoglikemia merupakan salah satu penyebab kematian pada anak dengan Gizi buruk. Pada hipoglikemia, anak terlihat lemah, suhu tubuh rendah. Tabel 2.13 Cara Mengatasi Hipoglikemia

20

Pemantauan: Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30 menit:  Jika kadar gula darah < 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian larutan glukosa atau gula 10%.  Jika suhu rectal <35,5C atau bila kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia disebabkan oleh hiponatremia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan tangani sesuai keadaan (hiponatremia dan hipoglikemia). Pencegahan:  Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau bila dehidrasi, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang malam.  Meminta ibu untuk memantau keadaan pasien, memberi makan dan menjaga anak agar tetap hangat.  Cek distensi abdomen

2. Pengobatan dan pencegahan hipotermia (suhu tubuh rendah) Tabel 2.14 Cara Mempertahankan dan Memulihkan Suhu Tubuh agar Anak Tidak Hipotermia:

Pemantauan:  Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36,5C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36,5C.

21

 Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, tutup kepala terutama pada malam hari. Untuk mencegah kehilangan panas.  Periksa kadar gula darah bila ditemukan hiponatremi. 3. Pengobatan dan Pencegahan kekurangan cairan (Dehidrasi) Tatalaksana:  Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat dengan syok.  Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat dibanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik. o Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama o Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/jam, berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 4-10 jam. Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang keluar dan apakah anak muntah. o Jika tidak tersedia maka berikan setengah standar dari solusi rehidrasi oral WHO dengan menambahkan kalium dan glukosa sesuai resep ReSoMal, kecuali jika anak menderita kolera atau diare encer. o Jika rehidrasi masih diperlukan pada jam 10, berikan starter F-75 Sebagai ganti ReSoMal, pada saat yang sama. Gunakan jumlah yang sama pada ReSoMal. o Jika syok atau dehidrasi berat tetapi tidak dapat direhidrasi secara oral atau dengan NGT, berikan cairan IV, baik larutan Ringer laktat dengan 5% dekstrosa atau setengah solusi Darrow dengan dekstrosa 5%. Jika tidak tersedia, saline 0,45% dengan dekstrosa 5% dapat digunakan. Catatan: Larutan oralit WHO (WHO-ORS) yang biasa digunakan mempunyai kadar natrium tinggi dan kadar kalium rendah, cairan yang lebih tepat adalah ReSoMal. Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam. Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100 ml setiap buang air besar, usia ≥ 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar.

Resep Pembuatan ReSoMal Menggunakan Standar WHO ORS:

22

a. 2,6 g natrium klorida, 2,9 g trisodium sitrat dihidrat, 1,5 g kalium klorida, 13,5 g glukosa b. Lihat di bawah untuk resep larutan elektrolit / mineral. Jika Anda menggunakan secara komersial siapkan elektrolit dan bubuk mineral, ikuti instruksi dari pabriknya. Jika ini tidak dapat dibuat, gunakan 45 ml larutan kalium klorida (100 g kalium klorida dalam 1 liter air) sebagai gantinya. ReSoMal mengandung sekitar 45 mmol natrium, 40 mmol kalium, dan 3 mmol magnesium per liter.

Larutan Elektolit/mineral (Mineral-Mix) Larutan ini digunakan dalam persiapan formula starter (F-75) dan catch-up feeding (F-100) dan ReSoMal. Jika ini tidak tersedia atau tidak terjangkau, siapkan larutan (2500 ml) menggunakan bahan berikut ini:

Jika ada, tambahkan juga selenium (0.028 g natrium selenat, NaSeO4.10H20) dan iodium (0.005 g kalium iodida) per 2500 ml. o Larutkan bahan ini dalam air matang yang sudah didinginkan. o Simpan larutan dalam botol steril dan taruh di dalam lemari es untuk menghambat kerusakan. Buang jika berubah seperti berkabut. Buatlah larutan baru setiap bulan. o Tambahkan 20 ml larutan mineral-mix pada setiap pembuatan 1000 ml F-75/F-100 Jika tidak mungkin untuk menyiapkan larutan mineral-mix dan juga tidak tersedia larutan siap pakai, beri K, Mg dan Zn secara terpisah. Buat larutan KCl 10% (100 g dalam 1 liter air) dan larutan 1.5% seng asetat (15 g dalam 1 liter air). o Untuk pembuatan ReSoMal, gunakan 45 ml larutan KCl 10% sebagai pengganti 40 ml larutan mineral-mix, sedangkan untuk pembuatan F-75 dan F-100 gunakan 22.5 ml larutan KCl 10% sebagai pengganti 20 ml larutan mineral-mix dalam 1000 ml feed. Berikan larutan Zn-asetat 1.5% secara oral dengan dosis 1 ml/kgBB/ hari. Beri MgSO4 50% IM, 1x/hari dengan dosis 0.3 ml/kgBB/hari, maksimum 2 ml. Pemantauan: 23

Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan gagal jantung dan kematian. Periksalah:  Frekuensi napas  Frekuensi nadi  Frekuensi miksi dan jumlah produksi urin  Frekuensi buang air besar dan muntah Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai ada diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah; cekung mata dan fontanel berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat badan. Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan lakukan penilaian ulang setelah 1 jam. Pencegahan: Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan oralit standar. Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI Pemberian F-75 sesegera mungkin Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.

4. Lakukan pemulihan gangguan keseimbangan elektrolit Pada semua Gizi buruk terjadi gangguan keseimbangan elektrolit diantaranya:  Kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na plasma rendah.  Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) Ketidakseimbangan elektrolit ini memicu terjadinya edema dan, untuk pemulihan keseimbangan elektrolit diperlukan waktu paling sedikit 2 minggu.  Pengobatan dengan diuretik tidak diperbolehkan Tatalaksana:  Berikan kalium ekstra (3-4 mmol / kg per hari).  Berikan magnesium ekstra (0,4-0,6 mmol / kg per hari). 24

 Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan magnesium yang sudah terkandung di dalam larutan mineral-mix yang di tambahkan ke dalam F-75, F-100 atau ReSoMal. Tambahkan 20 ml larutan ini ke 1 liter feed untuk menambah ekstra kalium dan magnesium yang dibutuhkan. Atau, gunakan yang tersedia secara komersial sachet pra-campuran (diformulasikan khusus untuk anak-anak kurang gizi).  Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi  Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).  Bila balita gizi buruk bisa makan berikan bahan makanan yang banyak mengandung mineral (Zn, Cuprum, Mangan, Magnesium, Kalium) dalam bentuk makanan lumat atau lunak. Contoh bahan makanan sumber mineral Sumber Zink

: Daging sapi, hati, makanan laut, kacang tanah, telur ayam

Sumber Cuprum

: Daging, hati.

Sumber Mangan

: Beras, kacang tanah, kedelai.

Sumber Magnesium

: Kacang-kacangan, bayam.

Sumber Kalium

: Jus tomat, pisang, kacang2an, apel, alpukat,

5. Pengobatan dan pencegahan infeksi Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam, seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia merupakan tanda infeksi berat. Tatalaksana: Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:  Antibiotik spektrum luas  Vaksin campak jika anak berumur ≥ 6 bulan dan belum pernah mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi vaksin sebelum berumur 9 bulan. Tunda imunisasi jika anak syok. Pilihan antibiotik spektrum luas  Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri amoxicilin selama 5 hari.

25

 Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, berikan:  Benzylpenicillin (50 000 U/kg IM/IV setiap 6 jam) atau Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan dengan Amoksisilin oral (25-40 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari), ditambah:  Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari. Catatan: Jika anak anuria/oliguria, tunda pemberian gentamisin dosis ke-2 sampai ada diuresis untuk mencegah efek samping/toksik gentamisin yaitu menyebabkan ketulian akibat tumpukan gentamisin.  Jika anak tidak membaik dalam waktu 48 jam, tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV setiap 8 jam) selama 5 hari.

6. Defisiensi zat gizi mikro Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat badannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah infeksi. Tatalaksana: Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:  Berikan vitamin A pada hari 1 dan ulangi pada hari 2 dan 14 hanya jika anak memilikinya tanda-tanda defisiensi vitamin A seperti ulserasi kornea atau riwayat campak o <6 bulan, 50 000 U o 6–12 bulan, 100.000 U o > 12 bulan, 200 000 U  Mulai zat besi dengan 3 mg/kg per hari setelah 2 hari dengan formula catch-up F100. Jangan berikan zat besi pada fase stabilisasi dan jangan memberi zat besi jika anak itu menerima Makanan-terapeutik-siap-saji (RUTF: ready-to-use therapeutic food). 

Jika anak tidak mengonsumsi makanan terapi pra-campuran, berikan yang berikut ini, nutrisi mikro setiap hari selama minimal 2 minggu:



Asam folat 5 mg pada hari 1; lalu 1 mg setiap hari



Sirup multivitamin 5 ml 26



Zinc 2 mg/kg per hari



Tembaga 0,3 mg/kg per hari



Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi)

7. Pemberian makanan awal (Initial Refeeding) Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-hati sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh. Tatalaksana: Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah:  frekuensi setiap 2-3 jam dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun rendah laktosa  Pemberian makan melalui NGT jika anak makan ≤ 80% dari jumlah yang ditawarkan dua feed berturut-turut  Kalori 100 kkal/kg per hari  Protein 1-1,5 g/kg per hari  Cairan 130 ml/kg per hari atau 100 ml/ kg per hari jika anak mengalami edema berat  Selain itu, jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan jumlah F-75 yang ditentukan diberikan:

Keterangan :  Pada anak dengan selera makan baik dan tidak edema, maka tahapan pemberian formula bisa lebih cepat dalam waktu 2-3 hari (setiap 2 jam).  Bila pasien tidak dapat menghabiskan Formula WHO 75/pengganti/Modisco ½ dalam sehari, maka berikan sisa formula tersebut melalui pipa nasogastrik ( dibutuhkan ketrampilan petugas )  Pada fase ini jangan beri makanan lebih dari 100 Kkal/Kg bb/hari  Pada hari 3 s/d 4 frekwensi pemberian formula diturunkan menjadi setiap jam dan pada hari ke 5 s/d 7 diturunkan lagi menjadi setiap 4 jam  Lanjutkan pemberian makan sampai hari ke 7 (akhir minggu 1) Pantau dan catat: 27

 Jumlah yang diberikan dan sisanya  Banyaknya muntah  Frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja  Berat badan (harian) Selama fase ini diare secara perlahan berkurang pada penderita dengan edema, mulamula berat badannya akan berkurang kemudian berat badan naik

8. Tumbuh Kejar (catch- up growth) Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah:  Kembalinya nafsu makan  Tidak ada episode hipoglikemia (Stabil secara metabolik)  Edema minimal atau hilang.

28

Tatalaksana: Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuh-kejar (F100) (fase transisi):  Ganti F-75 awal dengan F-100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75 selama 2 hari berturutan. Berikan formula susu, seperti catch-up F-100 yang mengandung 100 kkal/100ml dan 2,9 g protein per 100 ml atau Makanan-terapeutik-siap-saji (RUTF). 

Pada hari ketiga, naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal ini terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100.

 Setelah transisi bertahap, beri anak: o Pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai kemampuan anak) o Energi: 150-220 kkal/kgBB/hari o Protein: 4-6 g/kgBB/hari. Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup energi untuk menunjang tumbuh-kejar. RUTF yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92 g dapat digunakan pada fase rehabilitasi. Jika menggunakan Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to use therapeutic food = RUTF):

29

 Mulailah dengan jumlah kecil tapi teratur RUTF dan bantu anak untuk melakukannya sering makan (pertama 8 kali sehari, dan kemudian 5-6 kali sehari). Jika anak tidak bisa makan seluruh jumlah RUTF per makanan dalam fase transisi, isi dengan F-75 untuk menyelesaikan makanan, sampai bisa makan semua RUTF.  Jika anak tidak dapat menghabiskan paling tidak setengah dari jumlah RUTF yang disarankan dalam 12 jam, hentikan RUTF dan berikan F-75. Coba perkenalkan RUTF lagi dalam 1-2 hari sampai anak dapat makan dalam jumlah yang memadai.  Jika masih menyusui, berikan ASI terlebih dahulu sebelum setiap pemberian RUTF.  Setelah fase transisi, rujuk anak untuk rehabilitasi dalam perawatan rawat jalan atau ke program feeding komunitas.  Jumlah yang disarankan per hari dari Makanan-terapeutik-siap-saji mengandung 500 kkal:

 Kebutuhan zat gizi anak gizi buruk menurut fase pemberian makanan:

Pemantauan: Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat dan napas cepat, irama jantung gallop, peningkatan tekanan vena jugularis). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik 5x/menit dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturut-turut, maka hal ini merupakan tanda bahaya (cari penyebabnya). 30

Lakukan segera:  Kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam  Kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut: o 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya o 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya o Selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml sebagaimana dijelaskan sebelumnya dan atasi penyebab. Penilaian kemajuan: Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah tahap transisi dan mendapat F-100:  Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan  Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari Jika kenaikan berat badan:  Kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap  Sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi.  Baik (> 10 g/kgBB/hari).

9. Berikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional Pada gizi buruk terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku, karenanya berikan :  Kasih sayang  Ciptakan lingkungan yang menyenangkan  Lakukan terapi bermain terstruktur selama 15 – 30 menit/hari  Rencanakan aktifitas fisik segera setelah sembuh  Tingkatkan keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dsb)

10. Pemulangan dan Tindak Lanjut Anak-anak yang dirawat di rumah sakit dengan gizi buruk akut yang parah dipindahkan ke rawat jalan selama fase rehabilitasi. Faktor sosial, seperti kehilangan penghasilan untuk ibu dan merawat anak-anak lain, juga harus dipertimbangkan, sebagaimana seharusnya mereka yang tidak mengalami komplikasi dapat dikelola sebagai pasien rawat jalan atau di masyarakat. Anak akan membutuhkan perawatan berkelanjutan 31

sebagai rawat jalan untuk menyelesaikan rehabilitasi dan mencegah kekambuhan. Keputusan untuk memindahkan anak-anak ke rawat jalan sebaiknya tidak didasarkan pada pencapaian hasil antropometrik spesifik atau BB/TB atau PB. Anak-anak harus dipulangkan dari rumah sakit ke rawat jalan atau dari gizi program saat:  Mereka telah menyelesaikan pengobatan antibiotik parenteral, dan secara klinis baik  Komplikasi medis teratasi  Nafsu makan telah pulih sepenuhnya dan mereka makan dengan baik  Edema telah berkurang atau teratasi. Penting untuk mempersiapkan orang tua untuk perawatan rawat jalan atau di masyarakat program nutrisi di mana layanan tersebut tersedia. Tanyakan pengasuh untuk membawa anak kembali untuk terapi makanan mingguan, dan pastikan anak menerima vaksinasi dan suplemen vitamin A rutin, yang sesuai. Ibu atau pengasuh harus:  Mempunyai waktu untuk mengasuh anak  Memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis, jumlah dan frekuensi)  Mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak mungkin, nasihati tentang dukungan yang tersedia. Anak-anak dengan gizi buruk akut dikeluarkan dari program perawatan gizi bila:  BB/TB atau PB setidaknya ≥ -2 z skor dan mereka tidak memiliki edema selama minimal 2 minggu, atau  Lingkar lengan tengah atas ≥ 125 mm dan mereka tidak mengalami edema setidaknya selama 2 minggu. Keputusan harus didasarkan pada indikator antropometrik yang sama yang digunakan saat masuk. Jadi, jika lingkar lengan tengah atas digunakan, maka itu harus digunakan untuk menilai dan memastikan pemulihan gizi, dan juga untuk berat badan panjang / tinggi. Persentase kenaikan berat badan tidak boleh digunakan sebagai kriteria pelepasan. Anak harus diberi makan setidaknya lima kali sehari dengan makanan yang mengandung sekitar 100 kkal dan 2-3 g protein per 100 g. Sangat penting untuk sering memberikan makanan dengan kandungan energi dan protein yang tinggi. Penting untuk mempersiapkan orang tua dalam hal perawatan di rumah, Hal ini mencakup:

32

 Pemberian makanan yang sesuai (dan jumlah makanan yang benar) setidaknya lima kali sehari  Berikan camilan berenergi tinggi di antara waktu makan (mis. susu, pisang, roti, biskuit).  Beri anak makanan tersendiri/terpisah, sehingga asupan makan anak dapat dicek  Bantu dan bujuk anak untuk menghabiskan setiap makan  ASI diteruskan sebagai tambahan.

Pemantauan dan Evaluasi Kualitas Perawatan  Kenaikan berat badan pada fase rehabilitasi Lakukan kalibrasi alat dan cara penimbangan di bangsal. Sebelum menimbang jarum harus pada angka 0. Timbang anak pada waktu dan kondisi yang sama (misalnya pagi hari, dengan pakaian minimal, sebelum makan pagi, dst). Penilaian kenaikan berat badan:  Kurang: < 5 g/kgBB/hari  Cukup: 5–10 g/kgBB/hari  Baik: > 10 g/kgBB/hari. Jika kenaikan berat badan < 5 g/kgBB/hari, tentukan:  Apakah hal ini terjadi pada semua kasus yang ditangani (jika ya, perlu dilakukan kaji ulang yang menyeluruh tentang tatalaksana kasus)  Apakah hal ini terjadi pada kasus tertentu (lakukan penilaian ulang pada anak ini seperti pada kunjungan baru).

Nasehatkan kepada orang tua untuk:  Melakukan kunjungan ulang setiap minggu, periksa secara teratur di Puskesmas  Pelayanan di PPG (lihat bagian pelayanan PPG) untuk memperoleh PMT-Pemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran 5) dan berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di posyandu/puskesmas.  pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien yang padat  penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu  Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal  Anjurkan pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000 SI) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan Agustus. 33

11. Penanganan Penyakit Penyerta Jika anak memiliki gejala kekurangan vitamin A:  Berikan vitamin A secara oral pada hari 1, 2 dan 14 (usia <6 bulan, 50.000 IU; usia 6–12 bulan, 100 000 IU; anak yang lebih besar, 200.000 IU). Jika dosis pertama diberikan di pusat rujukan, rawat hanya pada hari 1 dan 14.  Jika mata menunjukkan tanda-tanda kekeruhan atau ulserasi kornea, berikan tambahan perawatan untuk mencegah pecahnya kornea dan ekstrusi lensa:  Teteskan kloramfenikol atau tetrasiklin pada mata empat kali sehari, selama 7-10 hari.  Teteskan tetes mata atropin, satu tetes tiga kali sehari, selama 3-5 hari.  Tutupi mata dengan kasa yang dibasahi salin  Perban mata.

Anemia Berat Transfusi darah diperlukan jika:  Hb < 4 g/dl  Hb 4–6 g/dl dan anak mengalami gangguan pernapasan atau tanda gagal jantung. Pada anak gizi buruk, transfusi harus diberikan secara lebih lambat dan dalam volume lebih kecil dibanding anak sehat. Beri:  Darah utuh (Whole Blood), 10 ml/kgBB secara lambat selama 3 jam,  Furosemid, 1 mg/kg IV pada saat transfusi dimulai. Bila terdapat gejala gagaI jantung, berikan komponen sel darah merah (packed red cells) 10 ml/kgBB. Anak dengan kwashiorkor mengalami redistribusi cairan sehingga terjadi penurunan Hb yang nyata dan tidak membutuhkan transfusi. Hentikan semua pemberian cairan lewat oral/NGT selama anak ditransfusi. Monitor frekuensi nadi dan pernapasan setiap 15 menit selama transfusi. Jika terjadi peningkatan (frekuensi napas meningkat 5x/menit atau nadi 25x/menit), perlambat transfusi. Catatan: Jika Hb tetap rendah setelah transfusi, jangan ulangi transfusi dalam 4 hari.

Lesi Kulit pada Kwashiorkor Defisiensi seng (Zn); sering terjadi pada anak dengan kwashiorkor dan kulitnya akan membaik secara cepat dengan pemberian suplementasi seng. Sebagai tambahan:

34

Kompres daerah luka dengan larutan Kalium permanganat (PK; KMnO4) 0.01% selama 10 menit/hari. Bubuhi salep/krim (seng dengan minyak kastor, tulle gras) pada daerah yang kasar, dan bubuhi gentian violet (atau jika tersedia, salep nistatin) pada lesi kulit yang pecah-pecah. Hindari penggunaan popok-sekali-pakai agar daerah perineum tetap kering.

Diare Persisten Tatalaksana Giardiasis dan kerusakan mukosa usus Jika mungkin, lakukan pemeriksaan mikroskopis atas spesimen feses. Jika ditemukan kista atau trofozoit dari Giardia lamblia, beri Metronidazol 7.5 mg/kg setiap 8 jam selama 7 hari). Intoleransi laktosa Diare jarang disebabkan oleh intoleransi laktosa saja. Tatalaksana intoleransi laktosa hanya diberikan jika diare terus menerus ini menghambat perbaikan secara umum. Perlu diingat bahwa F-75 sudah merupakan formula rendah laktosa. Pada kasus tertentu:  Ganti formula dengan yoghurt atau susu formula bebas laktosa  Pada fase rehabilitasi, formula yang mengandung susu diberikan kembali secara bertahap. Diare osmotik Diare osmotik perlu diduga jika diare makin memburuk pada pemberian F-75 yang hiperosmolar dan akan berhenti jika kandungan gula dan osmolaritasnya dikurangi. Pada kasus seperti ini gunakan F-75 berbahan dasar serealia dengan osmolaritas yang lebih rendah. Berikan F-100 untuk tumbuh kejar secara bertahap.

Tuberkulosis Jika anak diduga kuat menderita tuberkulosis, lakukan: tes Mantoux (walaupun seringkali negatif palsu), foto toraks, bila mungkin. Untuk diagnosis dan tatalaksana sesuai dosis pengobatan TB pada anak

Kriteria Pemulangan dari Ruang Rawat Inap: Bila BB/TB atau BB/PB > -2 SD dan tidak ada gejala klinis dan memenuhi kriteria pulang sebagai berikut:  Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar dan aktif.

35

 BB/PB atau BB/TB > -3 SD.  Komplikasi sudah teratasi .  Ibu telah mendapat konseling gizi.  Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut.  Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan.

Stimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Selama perawatan di PPG anak diberikan stimulasi tumbuh kembang dengan APE sesuai umur dan kondisi anak mulai dari fase stabilisasi, transisi maupun rehabilitasi, karena anak gizi buruk sering terjadi keterlambatan tumbuh kembang seperti gangguan motorik dan sensorik. Kegiatan ini mengacu pada Buku Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar.

Pelaksanaan Rawat Jalan a. Pemberian konseling  Menyampaikan informasi kepada ibu/pengasuh tentang hasil penilaian pertumbuhan anak  Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab kurang gizi  Memberi nasihat sesuai penyebab kurang gizi  Memberikan anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi anak dan cara menyiapkan makan formula, melaksanakan anjuran makan dan memilih atau mengganti makanan b. Pemberian paket obat dan makanan untuk pemulihan gizi  Bila pada saat kunjungan ke puskesmas anak dalam keadaan sakit, maka oleh tenaga kesehatan anak diperiksa dan diberikan obat  Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak gizi buruk dengan dosis sesuai umur pada saat pertama kali ditemukan c. Kunjungan Rumah

d. Rujukan Pelayanan pemulihan anak gizi buruk dilaksanakan sampai dengan anak berstatus gizi kurang (-2 SD sampai -3 SD). Pelayanan anak gizi buruk dilakukan dengan frekuensi 36

sebagai berikut:  3 bulan pertama, anak gizi buruk datang dan diperiksa setiap minggu.  Bulan ke 4 sampai ke 6, anak gizi buruk datang dan diperiksa setiap 2 minggu. Anak yang belum dapat mencapai status gizi kurang (-2 SD sampai -3 SD, dan tidak ada edema) dalam waktu 6 bulan, dapat melanjutkan kembali proses pemulihan, dengan ketentuan, jika:  Masih berstatus gizi buruk, rujuk ke RS atau Puskesmas Perawatan atau Pusat Pemulihan Gizi (PPG).  Sudah berstatus gizi kurang, maka dilanjutkan dengan program pemberian makanan tambahan dan konseling.

2.9. Komplikasi Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain : 

Masalah pada mata



Anemia berat



Lesi kulit pada kwashiorkor



Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi laktosa, diare osmotik)

Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain:  Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler  Diabetes Mellitus tipe-2  Obstruktive sleep apnea  Gangguan ortopedik  Pseudotumor serebri

2.10. Prognosis Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irrever-sibel dari set-sel tubuh akibat under nutrition maupun overnutrition.

37

Lampiran 1: Hasil Pemerikdaan dan Tindakan pada Anak Gizi Buruk

38

Lampiran 2: Rencana 1

39

Lampiran 3 Rencana 2

40

Lampiran 4 Rencana 3

41

Lampiran 5 Rencana 4

42

Lampiran 6 Rencana 5

43

Lampiran 7 Fase Transisi dan Rehabilitasi

44

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk; buku II. Jakarta: Departemen Kesehatan. Depkes. (2008). Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktoral Jendral Bina Kesehatan Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Kemenkes. (2013). Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Direktorat Gizi. Kemenkes. (2018). Masalah Gizi Balita Indonesia. Pudjiadi, S. (2000). Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Jakarta: Edisi 4. WHO. (2011). Buku Saku: Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

45

Related Documents

Iptek Gizi
June 2020 38
Gizi Buruk.docx
December 2019 33
Gizi Pedoman.docx
July 2020 18
Gizi-halomoan
June 2020 21
Gizi 4
October 2019 48
Gizi Balita.ppt
December 2019 40

More Documents from "Novi Ajah"