Gayo Lues Warung Diatas Bukit

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gayo Lues Warung Diatas Bukit as PDF for free.

More details

  • Words: 1,641
  • Pages: 7
WARUNG DI ATAS BUKIT OLEH : Drs. H. M. SALIM WAHAB

PADA MASA BELANDA (1927 – 1937) DI GAYO LUES PERNAH ADA WARUNG DI ATAS BUKIT ISINYA ADA NASI GORENG, ROTI, DAN MINUMAN KALENG. WARUNG TIDAK DIJAGA. SIAP MAKAN BAYAR, KALAU TAK ADA UANG, ISI FORMULIR, LETAKKAN DI ATAS MEJA, ATAU JEPIT DI DINDING. AWAL BULAN POTONG GAJI.

Barangkali judul di atas dianggap orang lelucon saja, atau sesuatu yang tak masuk akal, atau perbuatan orang gila. Tetapi benar adanya. Ada warung di kaki gunung Burni Peparik, ada warung di kaki gunung Burni Leme, ada warung di Burni Palok, ada warung di Burni Badak. Isi warung nasi goreng, minuman kaleng dan roti kering. Nasi goreng dijual agar jangan cepat basi, minuman kaleng dijual agar tahan lama dan juga roti kering yang tak cepat berjamur. Tujuan pembuatan warung ini agar serdadu yang operasi setiap hari jangan kelaparan, jangan kehausan. Serdadu yang operasi berangkat pagi pulang sore, berangkat sore pulang pagi dst. Serdadu yang operasi tidak membawa perbekalan yang lengkap. Supaya jangan kelaparan, kehausan, didirikanlah warung, di setiap tempat yang strategis jauh dari tangsi. Semula memang hanya untuk serdadu Belanda, tetapi lama kelamaan juga untuk rakyat jelata. Pagi-pagi sekali orang suruhan serdadu Belanda, mengantar nasi goreng, roti, dan minuman kaleng ke setiap warung. Sesampai di warung, petugas tadi menyusun dengan rapi, nasi goreng, kaleng minuman dan roti pada tempat yang sesuai. Kemudian para petugas pulang, dan mengunci warung. Kunci diletakkan di tempat yang aman dan mudah dilihat orang. Ada juga pintu dikunci dengan kayu, tapi kodenya/cara membukanya diberitahu dengan tulisan. Kalau semua dianggap sudah selesai, serdadu dengan orang suruhan pulang ke tangsi. Jadi warung tidak dijaga?. Betul, warung tidak ada penjaganya. Untuk membantu pelanggan, di sana telah ada daftar harga. Misalnya nasi satu piring 10 sen, ikan satu potong 5 sen, minuman kaleng 1 kaleng 2 ½ sen, dsb. Dengan demikian orang dapat makan dan minum sesuai dengan isi kantongnya, atau kemampuannya. Misalnya pelanggan masuk, lalu makan dan minum. Dia sudah tahu berapa uang yang harus dibayar. Misalnya dia

makan 2 piring nasi dan minum 2 kaleng, maka dia harus bayar 2 x 10 sen + 2 x 2 ½ sen = 20 + 5 sen = 25 sen. Uang dimasukkan ke dalam kotak yang sudah tersedia. Oh itu untuk orang yang ada uang, bagaimana kalau uang tak ada. Jangan takut, ada caranya. Sesudah makan dan minum, lalu dia tulis makanan dan minuman yang sudah dihabiskannya, di satu formulir yang sudah tersedia. Lalu formulir ini disimpan di tempat yang sudah disediakan. Itu kalau pegawai, kalau rakyat biasa yang tak bergaji bagaimana. Jangan binggung, jalan masih terbuka. Misalnya ada seberu/sebujang sedang berutem, kelaparan dan kehausan. Silakan mampir, makan dan minum terus, yang penting harus diingat apa yang dimakan dan diminum. Nanti sore, lapor kepada petugas, dan bulan depan bayar. Bila bulan depan pun uang tak ada, dipakai cara yang agak kasar, yaitu datang ke tangsi, dan jumpai komandan jaga ; “Pak, hari Minggu lalu saya makan dan minum di warung Burni Peparik. Nasi goreng 2 piring, minuman kaleng 2 buah. Saya tak punya uang pak, bagaimana caranya ?” “Kau harus membersihkan / mencangkul tangsi seluas 25 m² “ Atau kalau keberatan mencangkul boleh pilih yang lain, misalnya membawa kayu masak 10 jangkat, atau boleh juga memikul beban serdadu yang operasi selama seminggu, dsb. Lalu timbul pertanyaan, apakah tidak ada penipuan, pencurian, penggarongan. Misalnya, dia makan 4 piring ngaku 1 piring, minum 5 kaleng, dibilang 2, dsb. Atau roti dibawa beberapa bungkus. Hampir 10 tahun keberadaan warung ini, hanya ada satu orang yang menipu,

menurut

pengarang

buku

ATJEH,

H.

C.

ZENTGRAAFF

yang

diterjemahkan dengan judul buku Kisah-kisah Lama Di Daerah Gayo Lues, hal. 59, dilakukan oleh seorang dokter hewan yang lebih banyak sifat hewan di hatinya daripada sifat manusia. Dalam 10 tahun, beribu pelanggan keluar masuk

warung

yang

menipu

hanya

1

orang,

luar

biasa.

Sukses,

mengagumkan. Dasar pemikiran setiap pelanggan adalah kejujuran dan itikat baik. Betul-betul tertanam di dalam hati. Semboyan umum pada waktu itu adalah : “ ASAL JANGAN SAYA YANG MENIPU “ Dan di dinding setiap warung tertulis kata mutiara, “ SAYA TAK AKAN MEMBOHONGI HATI NURANI SAYA “

Kalau saya minum 2 kaleng, saya bilang satu kaleng, maka saya telah membohongi hati nurani. Hati nurani tak dapat dibohongi. Nah, sekarang sudah banyak orang Gayo Lues yang kaya, yang dianggap mampu membuat warung ala Belanda tersebut. Investasi perlu ditanam, dan kalau melihat warung Belanda tersebut, untungnya sungguh menjanjikan, mengiurkan !. Caranya, tak usah malu-malu ikuti saja cara warung Belanda. Kalau boleh saya mengusulkan satu dibuat di BUKIT CINTA, Blangtenggulun. Pada hari minggu atau hari besar lainnya tempat ini penuh muda-mudi, lebih-lebih waktu bulan muda. Satu lagi di BERAWANG LOPAH, di BLANG TASIK, di BLANG SERE, di KALA PINANG, di ATU PELTAK, dan di KACANG MINYAK arah Pining. Ada 3 pihak yang beruntung, yaitu penanam modal, untung besar menanti, rakyat sebagai pelanggan, dan penambahan PAD Pemda. Ah, itu teori. Prakteknya bagaimana. Bisa-bisa, bukan saja nasinya habis, minuman habis, roti habis, juga warungnya bisa hilang. Tapi mari kita coba dulu, jangan pesimis. Belanda yang kafir kok bisa, kita yang muslim kenapa tidak.

BEJAMU NYANGKUL ALA PEJUANG GAYO LUES OLEH : Drs. H. M. SALIM WAHAB Cerita bejamu nyangkul didapat dari catatan para pejuang dan juga dari catatan Belanda. Pada tahun 1925, para pejuang Gayo Lues dibawah pimpinan Muhammad Din, sudah aktif menyusun strategi untuk mengusir Belanda dari Gayo Lues ini. Berbagai akal dicari untuk mengumpulkan teman yang seide. Belanda pada masa itu sangat ketat mengawasi pejuang. Rapat atau pertemuan pejuang sama sekali tidak boleh. Pejuang yang ingin berkumpul pada acara apapun dilarang. Benar ada izin untuk mengadakan perayaan yang bersifat keagamaan, tapi diawasi dengan sangat ketat. Pembicara harus menyampaikan isi pidatonya seminggu sebelum pelaksanaan. Pidato yang sudah disetujui oleh Belanda inilah yang dibacakan pada perayaan itu, apakah perayaan Maulid, Israk Mikraj, atau hari Raya Idul Fitri dll. Bila menyimpang dari yang sudah disetujui pasti berakibat fatal, kurungan dan atau pembuangan menunggu. Rupanya para pejuang tidak kehilangan akal, otak diputar, akal dicari, siasat dijalankan. Untung kata para pejuang, bejamu nyangkul di sawah, bejamu

mematal,

nerlis,

mbinuh,

njik,

ntuyuh,

dll,

tidak

dilarang.

Kesempatan inilah yang digunakan pejuang untuk berkumpul. Seperti diketahui pada saat itu kebanyakan pejuang adalah petani sungguhpun ada sebagian kecil berjualan, menjahit, dll. Bila ada salah seorang pejuang yang akan bejamu nyangkul, misalnya pejuang Bahrin, maka seminggu sebelumnya utusan sudah dikirim ke berbagai daerah untuk mengundang pejuang. Pernah MUSE diutus ke Kutapanjang, untuk menjumpai pejuang yang berasal dari Kutapanjang, yaitu : Genap Rema, Yusuf Tampeng, Panglime Cik Penosan, Ibrahim Peparik Dekat, dll. Pejuang ini diundang, agar dapat hadir nyangkul ke sawah Bahrin pada hari yang telah ditentukan. Bawa kawan-kawan seide, beberapa orang. Demikian juga ke Rikit diutus Gempa untuk mengundang para pejuang dari Rikit, seperti Reje Banta, Reje Burik, Tok Tumo, dll. Pada hari H, yang telah disepakati, para pejuang berkumpul di jamur di sawah bahrin. Mereka bergantian masuk ke sawah, mencangkul. Yang tinggal di jamur, masingmasing mendengarkan ceramah, indoktrinasi, dari pemimpin dan beberapa cerdik pandai, terutama dari Muhammad Din, Bahrin, Zakaria, Muse, dll. Indoktrinasi bisa dilakukan dengan aman, tertib, dan lancar, serta tidak

kurang suatu apapun. Dalam waktu satu jam, peserta yang mencangkul berhenti, diganti oleh peserta yang lain, dan giliran mendengar dan mencatat indoktrinasi dari cerdik pandai, begitu seterusnya. Soal cangkul mencangkul kadang-kadang satu hari hanya siap sedikit, tidak sebanding dengan banyaknya peserta. Yang diutamakan memang indoktrinasi, tukar pikiran dengan pemimpin. Besok atau beberapa hari kemudian, jamu nyangkul diadakan lagi di sawah pejuang lain, dengan acara yang hampir sama. Di waktu lain kumpul berkumpul pada acara lain lagi. Misalnya waktu nerlis, mematal, njik dilakukan jamu berjamu, undang mengundang dengan tujuan utama indoktrinasi. Cara seperti ini luar biasa hasilnya, barangkali lebih besar dari rapat biasa. Rupa-rupanya sepandai-pandai tupai melompat sekali-sekali jatuh juga. Di antara para peserta ada juga membisikkan “rapat” ini kepada Belanda. Dari berpuluh peserta, entah apa sebab musababnya sampai hati membocorkan rahasia ini. Belanda tidak serta merta percaya, dan mengirim mata-mata menjadi peserta tanpa diketahui pejuang. Mata-mata ini cukup cerdik, sehingga banyak peserta yang tertipu. Mata-mata hanya pada malam hari pergi ke tangsi, melaporkan kejadian “jamu nyangkul”, kepada Belanda. Dalam laporan diungkapkan apa isi indoktrinasi, siapa yang berbicara, siapa peserta, dll. Belanda juga cukup cerdik, seolah-olah – sekali lagi – seolah-olah mereka sama sekali tidak tahu, dan membiarkan langkah pejuang ini. Tapi yang sebenarnya segala gerak gerik pemimpin pejuang diawasi sangat ketat, jangankan langkahnya, minum ke warungpun mereka diawasi, dengan siapa dia berbicara juga dicatat. Secara cermat mata-mata Belanda, mendekati pejuang. Kalau pejuang berprofesi tukang jahit, maka mata-mata hampir tiap hari menjahit baju yang (sengaja) dirobek, menjahit celana, kain sarung, dll. Menunggu jahitan siap kadang-kadang cerita soal keadaan tanah air, dll. Sungguh cerdik, dan kalau sudah panas biasanya pejuang buka mulut, dan mata-mata berada di atas angin. Data yang dilapor cukup akurat. Coba bayangkan, penyerbuan ke tangsi yang telah direncanakan secara matang tahun 1927 dapat diketahui Belanda secara detil, sehingga usaha pemberontakan/penyerbuan ke tangsi sama sekali dapat digagalkan dan dalam tempo 2 atau 3 hari hampir seluruh pejuang dapat ditangkap. Nama-nama pejuang sudah ada di tangan Belanda jauh sebelum penyerbuan.

Taktik dan teknik siap tempur para pejuang dibalas oleh Belanda dengan taktik seolah-olah diam, tetapi menghanyutkan. Di satu pihak pejuang satu hari sebelum hari H telah benar-benar siap, tak sabar lagi menunggu hari malam. Sebaliknya Belanda di bawah pimpinan Kapten Agerbeek sudah lebih dari siap. Tangsi biasa-biasa saja seolah-olah Belanda tidak mengetahui akan ada penyerbuan, padahal mereka benar-benar siaga. Kalau pejuang akan bergerak pada tengah malam. Belanda bergerak sebelum tengah malam. Sebelum pejuang bergerak. Belanda sudah mulai mengepung dan mengintip satu persatu anggota pejuang, yang berdomisili di sekitar Blangkejeren. Ketika itulah para pejuang baru sadar bahwa mereka telah dikhianati oleh kawan sendiri. Mereka ditangkap. Selain dibuang ke Digul, Irian, dan beberapa pejuang dibuang ke berbagai penjara di Pulau Jawa.

Sedangkan

pejuang

yang

dikatagorikan

sebagai

dibebaskan dengan kewajiban harus melapor setiap bulan.

anak

bawang

Related Documents

Gayo
November 2019 5
..gayo..
June 2020 6
Warung Kopi.docx
December 2019 40
Warung Burjo
December 2019 36
Warung Bonbin
November 2019 30