BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kehidupan seks bebas telah merebak ke kalangan kehidupan remaja dan anak sehingga pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi yang lebih trendnya sex education sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang sudah beranjak dewasa atau remaja baik malalui pendidikan formal maupun informal. Ini penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja (Syarif, 2008: 39). Berdasarkan kesepakatan International di Kairo 1994 (The Cairo Consensus) tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184 negara termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi para remaja. Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang upaya untuk mengusahakan dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja (Syarif, 2008: 39) Sementara meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan seks. Sebagian besar masih berpandangan stereotype
1
dengan pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar (Syarif, 2008: 39). Menurut Sofyan, selaku senior Koordinator Central Mitra Remaja (CMR) yang merupakan salah satu unit kegiatan dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyebutkan, selama ini jika kita berbicara mengenai seks, maka yang terbersit dalam benak sebahagian orang adalah hubungan seks. Padahal, seks itu artinya jenis kelamin yang membedakan antara cowok dan cewek atau laki-laki dan perempuan secara biologis (Syarif, 2008: 40) Dari data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI 1997) menyebutkan, dari 1563 perempuan usia subur, terdapat 50,9% melakukan aborsi secara sengaja pada usia 15-19 tahun, sekitar 11,9% melakukan secara tradisional ataupun medis. Cara tradisional yang digunakan untuk aborsi adalah meminum jamu atau ramuan tradisional, jumlah pelakunya sekitar 27,5%. Sementara itu dari penuturan yang disampaikan oleh Mestika (1996) yang merangkum dari hasil penelitian para pengamat masalah sosial remaja dibeberapa kota besar antara lain: Sarwono (1970) meneliti 117 remaja di Jakarta dan menemukan bahwa 4,1% pernah melakukan hubungan seks. Beberapa tahun kemudian, Eko (1983) meneliti 461 remaja dan dari penelitian ini diperoleh data bahwa 8,2% diantaranya pernah melakukan hubungan seks dan 10% diantaranya menganggap bahwa hubungan seks pranikah adalah wajar. Di Semarang, Satoto (1992) mengadakan penelitian terhadap 1086 responden pelajar SMP-SMU dan menemukan data bahwa 4,1% remaja putra dan 5,1% remaja putri pernah melakukan hubungan seks. Pada tahun yang sama Tjitara mensurvei 200 remaja
2
yang hamil tanpa dikehendaki. Survei yang dilakukan Tjitara juga memaparkan bahwa mayoritas berpendidikan SMA ke atas, 23% diantaranya berusia 15-20 tahun dan 77% berusia 20-25 tahun (Syarif, 2008: 41) Dengan begitu banyaknya faktor yang menyebabkan efek pornografi membuat remaja terjerumus ke alam bebas yang tidak bertanggung jawab misalnya, film layar lebar, VCD, DVD, media cetak, sampai assesoris yang mudah didapatkan bahkan tayangan televisipun saat ini mengarah kepada hal yang seperti itu dan juga belum lancarnya komunikasi remaja dengan orang tua yang menyangkut soal seks. Dari data survei yang diambil oleh Synovate Research ke 450 responden dan 4 kota dengan kisaran usia antara 15-24 tahun, mengungkapkan bahwa sekitar 65% informasi tentang seks, mereka dapatkan dari kawan, dan 30% sisanya dari film porno. Ironisnya hanya 5% dari resdponden remaja ini mendapat informasi tentang seks dari orang tuanya ((Syarif, 2008: 41). Kurangnya pengetahuan seks dan kehidupan remaja serta adanya data dan adanya tanggapan bahwa pendidikan seks adalah tabu membuat para remaja bukan menjadi takut tetapi mereka lebih ingin mencari tahu sendiri melalui informasi-informasi yang mudah mereka dapatkan melalui kaset VCD, film layar lebar, gambar-gambar dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuat remaja menjadi penasaran dan terdorong untuk melakukan hubungan seksual di luar nikah tanpa melihat akibat-akibat yang akan ditimbulkan. Hasil penelitian yang dilakukan Armelia, (2007) mengenai pengetahuan siswa tentang pendidikan seks di SMU Kristen Tentena dari 58 responden
3
didapatkan siswa yang memiliki pengetahuan baik 51,7% dan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik adalah 48,3%. SMUN 1 Biromaru merupakan sekolah yang terluas di daerah Biromaru serta belum pernah dilakukan penelitian dan belum pernah diadakan penelitian tentang pendidikan seks untuk itu peneliti tertarik melakukan penelitian di tempat ini, dan ingin mendapatkan gambaran yang jelas dan akurat mengenai pengetahuan dan sikap remaja tentang pendidikan seks (Sex Education). Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk lebih mengetahui “Gambaran Pengetahuan dan Sikap Siswa SMUN 1 Biromaru Tentang Pendidikan Seks (Sex Education) Tahun 2008”. B. Rumusan Masalah Bagaimana tingkat pengetahuan dan sikap siswa SMUN 1 Biromaru tentang pendidikan seks (Sex Education) Tahun 2008. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap siswa SMUN 1 Biromaru tentang pendidikan seks (Sex Education). 2. Tujuan Khusus a. Diketahuinya tingkat pengetahuan siswa SMUN 1 Biromaru tentang pendidikan seks (Sex Education). b. Diketahuinya sikap siswa SMUN 1 Biromaru tentang pendidikan seks (Sex Education).
4
D. Manfaat Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi: 1. Manfaat bagi institusi Sebagai bahan masukan kepada institusi untuk memberikan informasi tentang pentingnya pendidikan seks di sekolah. 2. Manfaat bagi peneliti berikutnya Sebagai bahan referensi atau data bagi penelitian selanjutnya. 3. Manfaat bagi penulis Menambah pengetahuan dan memperluas wawasan keilmuan terhadap pendidikan seks (Sex Education). E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMUN 1 Biromaru pada bulan Juli 2008.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
5
A. Tinjauan Tentang Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003:127). Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behaviour). 1. Proses Adopsi Perilaku (Notoatmodjo, 2003:128) Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Roger (1974) dalam Notoatmodjo, 2003:128 mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku di dalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni: a.
Awareness (kesadaran) yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
b.
Interest, yakni orang mulai tertarik pada stimulus.
c.
Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
d.
Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e.
Adoption,
subjek
telah
6
berperilaku
baru
sesuai
dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus. Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap diatas. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003:128). 2. Tingkat Pengetahuan (Notoatmodjo, 2003:128-130). Pengetahuan yang dicakup dalam dominan kognitif mempunyai 6 tingkatan yaitu: a.
Tahu (know)
Diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. b.
Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c.
Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
7
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). d.
Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut. e.
Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f.
Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian berdasarkan suatu kriteria yang telah ada. B. Tinjauan Umum Sikap (Attitude) 1. Beberapa pengertian tentang sikap adalah sebagai berikut: a. Sikap belum merupakan suatu tindakan nyata, melainkan dapat berupa predisposisi tingkah laku (Allport, 1996: 24). b. Sikap adalah keadaan mental dan syaraf dari kesiapan yang diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh dinamik atau terarah, respon individu pada semua objek dan situasi yang berkaitan dengannya. Sikap itu dinamis dan tidak
8
statis (Notoatmodjo, 1993:96). c. Sikap berperan sangat penting terhadap kesuksesan atau kebahagiaan seseorang (Erwin, 2005:1) d. Sejumlah ilmuwan dari universitas terkemuka di dunia mengungkapkan bahwa manusia dapat menggali potensinya secara lebih mendalam dan luas dengan sikap yang positif. Berdasarkan hasil penelitian terhadap ribuan orang-orang yang sukses dan terpelajar, berhasil disimpulkan bahwa 85% kesuksesan dari tiap-tiap individu dipengaruhi oleh sikap. Sedangkan kemampuan atau technical expertise hanya berperan pada 15% sisanya (Erwin, 2005:2) e. Sikap mempunyai peran yang lebih besar di bidang bisnis jasa maupun bisnis pemasaran jaringan. Sikap berperan pada 99%, jauh lebih besar dibandingkan peran keahlian yang hanya 1%. Dapat dikatakan bahwa mencapai sukses di bisnis jasa maupun bisnis pemasaran jaringan sangatlah gampang, selama dilakukan dengan sikap yang positif. Ada sebuah kata-kata bijak yang menyebutkan, “Your attitude not aptitude determine your altitude – Sikap Anda bukanlah bakat atau kecerdasan, tetapi menentukan tingkat kesuksesan Anda” (Erwin, 2005:2). f. Sikap adalah merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau
9
Stimulus/ Rangsangan
Proses Sikap Stimulus
Reaksi Tingkah Laku
kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek lingkungan
tertentu
sebagai
suatu
penghayatan
terhadap
objek
(Notoatmodjo, 2003:131). Gambar 2.1 Diagram dibawah ini lebih dapat menjelaskan uraian tersebut
Dalam bagian lain, Alfort (1954) menjelaskan sikap itu mempunyai 3 komponen pokok yaitu (Notoatmodjo, 2003:131): a. Kepercayaan
(keyakinan)
ide
dan
konsep terhadap objek. b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek. c. Kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan berpikir, keyakinan dan emosi memegang peranan penting. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu (Notoatmodjo, 2003:132): a. Menerima (receiving)
10
Menerima
diartikan
bahwa
orang
(subjek)
mau
dan
mengerjakan
dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). b. Merespon (Responding) Memberikan
jawaban
apabila
ditanya,
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan dan mengerjakan tugas yang diberikan terlepas dari apakah pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang menerima ide tersebut. c. Menghargai (Using) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat 3. b.
Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya. Segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. 2. Teori sikap (Widiyatun, 1999:222) a. Belajar melakukan : proses asosiasi perlu sikap pengolahan kembali b. Teori keseimbangan Metode keseimbangan dari rasa suka, kemungkinan dua susunan struktur yang tidak seimbang cenderung menjadi struktur yang seimbang melalui perubahan dalam suatu unsur atau lebih. c. Teori atribut
11
Orang bersikap dengan mempertimbangkan kognisi dan afeksi suatu konasi dan psikomotor di dalam kesadaran mereka. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap (Widiyatun, 1999:222-223) a. Faktor intrinsik, yang mempengaruhi sikap individu diantaranya 1) Kepribadian 2) Intelegensia 3) Bakat 4) Minat 5) Perasaan 6) Kebutuhan dan motivasi sosial b. Faktor ekstrinsik yang mempengaruhi sikap individu antara lain yang akan datang dari lingkungan itu sendiri (Widiyatun, 1999:222-223). 4. Pengaruh kekuatan spiritual, impian dan antusiasme terhadap sikap seseorang (Erwin, 2005:3). Sikap positif dapat terus ditingkatkan, tentu saja memerlukan waktu cukup lama dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor spiritual atau kemampuan untuk bersyukur, aspirasi atau kemampuan menciptakan impian dan kekuatan atau semangat dalam diri manusia itu sendiri sangat mempengaruhi sikap seseorang. Faktor-faktor tersebut memberikan kontrol terhadap sikap seseorang dalam memilih respon terbaik atas kejadian-kejadian yang dialami.
12
Kekuatan spiritual berpengaruh terhadap kemampuan seseorang dalam melihat sisi positif dari setiap kejadian. Kekuatan keimanan menjadikan seseorang akan mampu mengartikan semua fenomena hidup ini sebagai pelajaran berharga, yang dapat membangkitkan nilai lebih dalam diri. Selain itu, kekuatan spiritual merupakan kontrol yang sangat efisien terhadap sikap seseorang. Sehingga orang itu tetap memiliki tekad yang kuat untuk berusaha dengan cara-cara yang positif tanpa kenal putus asa. Kekuatan spiritual mengarahkan sikap seseorang dan pikirannya kepada hal-hal yang positif, tidak dihantui oleh rasa tidak percaya diri, malas, dan sikap negatif lainnya. Sikap juga dipengaruhi impian. Seseorang yang selalu dapat memperbaharui impian akan cenderung bersikap berani, rajin, percaya diri atau bersikap lebih positif. Impian yang besar akan menjadikan seseorang berusaha mengadaptasikan sikap mereka menjadi penuh tenggang rasa, jujur, hormat, tegas, inisiatif, berjiwa besar dan lain sebagainya. Orang yang mempunyai impian akan selalu dapat mengendalikan sikap dengan pikirannya. Oleh sebab itu, letakkan satu standar yang lebih tinggi, sehingga potensi diri kita dapat ditingkatkan. William Faulkner, seorang novelis peraih hadiah nobel, mengatakan, “Impikan dan bidiklah selalu lebih tinggi daripada yang Anda sanggupi. Janganlah hanya bercita-cita lebih baik daripada pendahulu atau sesama Anda. Cobalah menjadi lebih baik daripada diri sendiri.” Artinya, kita senantiasa memerlukan impian sebagai kontrol
13
terhadap sikap dan mencapai kemajuan hidup yang berarti. Sikap yang benar-benar didasari oleh faktor-faktor spiritual, impian dan antusiasme yang kuat pada kenyataannya selalu positif. Sikap positif itu sendiri sangat mempengaruhi seseorang untuk dapat mengeksplorasi seluruh potensi diri dan meraih kesuksesan maupun kebahagiaan. Sikap ternyata yang terpenting bagi kemajuan atau kebahagiaan Anda saat ini dan di masa-masa yang akan datang. Oleh sebab itu dikatakan bahwa sikap adalah segalagalanya (Erwin, 2005:4) C. Pengertian dan Tinjauan Pendidikan Seks 1. Pengertian a. Pendidikan seks artinya penerangan yang bertujuan untuk membimbing serta mengasuh tiap-tiap lelaki dan perempuan sejak dari anak-anak sampai sesudah dewasa (Miqdad, 1997: 7). b. Pendidikan seks maksudnya membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti tentang arti, fungsi, dan tujuan seks serta menjelaskan tentang bagaimana perubahan fungsi organ seksual dalam diri mereka di masa remaja sehingga mereka dapat menjalankan atau mempraktekannya secara benar (Miqdad, 1997: 8). 2. Tujuan (Miqdad, 1997: 9) a. Tujuan pendidikan seks secara umum, sesuai dengan
14
kesepakatan Internasional Conference Of Sex Education And Family Planing, tahun 1962, adalah: untuk menghasilkan kehidupan yang bahagia karena dapat menyesuaikan diri dengan
masyarakat
dan
lingkungannya,
serta
dapat
bertanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Ninuk Widyantoro mengemukakan bahwa tujuan akhir pendidikan seks adalah pencegahan kehamilan di luar perkawinan. 3. Manfaat pendidikan seks (Ajen, 2003:5) a. Pendidikan seks dapat membantu para remaja laki-laki dan remaja perempuan untuk mengetahui resiko dari sikap seksual mereka dan mengajarkan pengambilan keputusan seksualnya secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orang tuanya. b. Menambah pengetahuan kepada individu/keluarga tentang seks. c. Agar remaja tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. d. Agar remaja bergaul dengan benar dan menjaga dirinya dengan baik. 4. Pentingnya pendidikan seks (Ajen, 2003:6) a. Agar remaja mengetahui arti seks sebenarnya. b. Tidak menganggap seks sebagai hal yang tabu. c. Karena banyak orang tua masih menganggap seks sebagai hal
15
yang tabu. d. Ketidak pahaman remaja tentang seks dan kesehatan anatomi reproduksi mereka. 5. Kapan pendidikan seks mulai diberikan Waktu pemberian materi pendidikan seks dimulai pada saat anak mulai menyadari tentang seks, agar ia mulai dapat membedakan mana ciri laki-laki dan mana ciri perempuan. Bisa juga pada saat anak mulai bertanya-tanya pada orang tuanya tentang bagaimana bayi lahir. Peran orang tua sangat penting untuk memberikan pendidikan seks pada usia dini. Penggunaan kata-kata yang sangat sopan sebagai kata pengganti payudara, vagina atau penis bahkan dianjurkan. D. Tinjauan Tentang Seks 1. Arti seks (Singgih, 2001: 91). a. Seks artinya jenis kelamin yang membedakan antara cowok dan cewek atau laki-laki dan perempuan secara biologis. b. Seks adalah sesuatu yang muncul dan bisa menimbulkan berbagai masalah apabila tidak dikendalikan, diatur, diredam secara baik c. Seks adalah suatu perbedaan yang mendasar yang berhubungan dengan reproduksi dalam satu jenis yang membagi jenis ini menjadi 2 (dua) bagian yaitu jantan dan betina. Sel sperma pada jantan dan sel telur/ovum pada betina yang diproduksi.
16
d. Sexuality
biasanya
seksual/hubungan
sering
seksual
diartikan
(coitus)
antara
sebagai laki-laki
relasi dan
perempuan. 2. Fungsi dan tujuan seks Secara umum berfungsi sebagai suatu hal yang membedakan jenis kelamin, antara lain dengan perbedaan tingkah laku, atribut (pakaian, dan lainlain), peran sebagai laki-laki dan perempuan.
E. Anatomi Organ Reproduksi (Syaifuddin, 1997: 174 - 178) 1. Organ reproduksi pada laki-laki terdiri dari dua bagian, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Organ reproduksi bagian luar atau disebut “organa genitolia externa” terletak di luar tubuh, sehingga dapat terlihat langsung. a. Organ reproduksi bagian luar laki-laki 1) Penis atau zakar Organ ini terletak di bagian bawah perut dan merekat pada tulang panggul. Di kedua sisi atas penis bagian dalam yang tertutup kulit sepanjang glans atau kepala penis terdapat dua jaringan yang berisi rongga-rongga yang berjumlah banyak dan berisikan darah yang disebut “corpus cavernosum uretra” (corpus), dikenal juga sebagai batang penis. Di dalam batang penis ini terdapat serabut saraf erektor
17
yang berhubungan dengan sum-sum tulang belakang. Saraf akan memberi perintah kepada otak bagian belakang untuk merespon rangsangan seksual yang dirasakan, dengan cara penis akan ereksi atau menjadi tegang dan kaku. Lapisan kulit pada batang penis yang menutupi glans disebut “preputium” atau kulup. Bagian bawah perut di atas penis ditumbuhi oleh sekumpulan bulubulu atau rambut. Pada sebagian orang bulu-bulu ini tumbuh sekitar skrotum atau kantung zakar yang berfungsi untuk melindungi penis dari keringat dan iritasi. Bulu ini dapat dicukur tergantung pada kemauan setiap orang. Bila darah tidak mampu mengaliri pembuluh darah dalam penis maka terjadi (impoten) atau tidak bisa ereksi. Faktor penyebab impoten yaitu penyakit fisik (penyakit kencing manis) atau faktor kejiwaan (tekanan jiwa). 2) Skrotum atau kantung zakar Skrotum ditemukan dalam bentuk dua buah kantung kulit yang fleksibel dan terletak menggantung di bawah penis. Skrotum terdiri dari serabut otot polos yang berfungsi untuk menahan secara otomatis rangsangan seksual dan pengaruh suhu dingin. b. Organ reproduksi bagian dalam laki-laki 1)
Testis atau buah pelir
Testis merupakan organ yang memproduksi sel sperma
18
(spermatozoa) atau sel telur laki-laki dan hormon testosteron, berbentuk seperti telur. Ukuran panjang setiap testis rata-rata 3-5 cm dengan berat sekitar 45-90 gr. Dalam testis terdapat saluran kecil dan sangat licin yang disebut “seminiferous tubulus” berfungsi untuk menghasilkan dan menyimpan sel sperma. Kelainan pada testis disebut “kriptorkhismus” yaitu posisi testis tidak turun dan tetap berada di dalam perut. Kelainan ini dapat menyebabkan seorang laki-laki menjadi mandul atau tidak dapat mempunyai keturunan. Perbaikannya masih bisa dilakukan jika adanya kelainan ini diketahui lebih dini. 2)
Epididymidis
Adalah suatu saluran yang terletak di belakang testis dan menyimpan sel sperma. Kemudian saluran tersebut dialirkan ke kelenjar prostat melalui vas deferens menuju ke uretra. Di dalam kelenjar prostat, sperma tercampur dengan cairan yang menjadi makanan sperma atau semen, dan keluar melalui uretra atau saluran kencing. Peristiwa ini disebut “ejakulasi”. 3)
Vas Deferens
Organ ini berupa sepasang saluran yang mengalirkan air mani menuju uretra, mempunyai panjang sekitar 17 cm. Organ reproduksi laki-laki memiliki beberapa kelenjar sebagai berikut: a) Kelenjar
19
vesiculosa
atau
vesicula seminalis. b) Kelenjar prostat. c) Kelenjar cowperi. 2. Organ reproduksi pada perempuan a. Organ reproduksi bagian luar perempuan (vulva) 1) Tundun (monsvenesis) Bagian yang menonjol meliputi simpisis yang terdiri dari jaringan dan lemak, area ini mulai ditumbuhi bulu pada masa pubertas. Berfungsi untuk melindungi dari iritasi keringat. 2) Labia mayora (bibir besar) Dua lipatan dari kulit diantara kedua paha bagian atas labia mayora, banyak mengandung urat saraf. 3) Labia minora (bibir kecil) Berada di sebelah dalam labia mayora. 4)
Klitoris (klentit)
Sebuah jaringan ikat erektil kecil kira-kira sebesar kacang hijau dimana dapat mengeras dan tegang (erektil) yang mengandung urat saraf. 5)
Vestibulum (serambi)
Merupakan rongga yang ada diantara bibir kecil (labia minora). Muka belakang dibatasi oleh klitoris dan perineum, dalam vestibulum terdapat muara-muara dari:
20
a) Liang senggama b) Uretra. c) Kelenjar bartolini. d) Kelenjar skene kiri dan kanan. 6)
Himen (selaput darah)
Lapisan tipis yang menutupi sebagian besar dari liang senggama, sepanjang 2,54 cm atau lebih. Di tengahnya berlubang supaya kotoran menstruasi dapat mengalir keluar. Letaknya mulut vagina pada bagian ini, bentuknya berbeda-beda ada yang seperti bulan sabit, berbentuk cincin, konsistensi ada yang kaku dan ada yang lunak, lubangnya ada yang seujung jari, ada yang dapat dilalui satu jari. 7)
Perineum (kerampang)
Terletak diantara vulva dan anus, panjangnya lebih kurang 4 cm. b) Organ reproduksi bagian dalam perempuan 1) Vagina (liang kemaluan). 2) Uterus (rahim). Uterus terdiri dari: a) Fundus
uteri
rahim). b) Korpus uteri. c) Servik uteri. d) Ovarium.
21
(dasar
F. Perkembangan Fungsi Organ Seksual (Soetjiningsih, 2004 : 34) 1. Masa remaja awal Pertumbuhan dan perkembangan fisik a. Tinggi Pada anak perempuan, percepatan tumbuh tinggi biasanya mulai segera setelah mulainya pertumbuhan payudara. Pada umumnya dicapai pada usia 10-14 tahun (rata-rata 12 tahun). Pada masa percepatan tumbuh tinggi ini anak perempuan bertambah tinggi rata-rata 25 cm/tahun. Pada anak laki-laki bertambah tinggi rata-rata 28 cm/tahun pada puncak kecepatan pertambahan maksimal pada anak laki-laki adalah 11-15 tahun (rata-rata 13 tahun). b. Berat Pada anak laki-laki telah mencapai 55% dari berat dewasa sedangkan anak perempuan 59%. Kenaikkan berat badan masih sama dengan pada akhir masa anak yaitu 2,0 kg/tahun. c. Reproduksi Indikasi klinis yang pertama bahwa pubertas telah mulai adalah pembesaran dari testes dan ovarium, yang terjadi kira-kira 1 tahun sebelum munculnya tanda pertama dari ciri-ciri sekunder. 1) Ciri-ciri seks “primer” d)
Pada anak laki-laki
(1)Pembesaran testes (testis).
22
(2)Kemampuan berejakulasi, yang terjadi kira-kira 1 tahun setelah pertumbuhan setelah pertumbuhan testes dimulai. (3)Tumbuhnya rambut pubis. (4)Remaja sudah mulai melakukan onani. e) Pada anak perempuan (1)Ovulasi, berkembangnya dan pelepasan dari sel telur dari jolikel ovarium kira-kira setiap 28 hari. (2)Menarche (haid pertama kali).
3) Ciri-ciri seks “sekunder” a) Pada anak laki-laki (1)Tumbuhnya rambut pubis, rambut aksila (kira-kira 1,3 tahun) rambut muka (kira-kira 1 tahun kemudian) mis jenggot, kumis, rambut dada. (2)Munculnya jerawat (akne). (3)Timbulnya bau badan. (4)Pelebaran dari areola dengan disertai pembesaran payudara (gineko mastia) yang transien. b) Pada anak perempuan (1)Pembesaran payudara (buah dada) mulai tampak. (2)Tumbuhnya rambut aksila setelah rambut pubis. (3)Terjadinya penebalan atau pelunakan dari mukosa vagina.
23
(4)Munculnya jerawat (akne). (5)Timbulnya bau badan. 2. Masa remaja menengah (umur 11-14 tahun pada wanita dan 12-15,5 tahun pada laki-laki) Pertumbuhan dan perkembangan fisik a. Tinggi badan dan sistem skeletal Puncak percepatan tinngi pada anak laki-laki dan perempuan terjadi pada usia rata-rata 12 tahun pada anak peremuan dan 14 tahun pada anak laki-laki. Menurut penelitian Harpendin Growth Study dari Tanner dan Marshall (1974), kecepatan tumbuh anak perempuan rata-rata 9,0 cm/tahun sedangkan pada anak laki-laki 10,3 cm/tahun. Akibatnya anak laki-laki tumbuh 1-12 cm dan anak perempuan 6-11 cm pada tahun dimana puncak percepatan tinggi terjadi sehingga selama keseluruhan masa percepatan pertumbuhan ini tinggi anak laki-laki bertambah 28 cm sedangkan anak perempuan 25 cm. Pertumbuhan ini dimulai dari kaki yang diikuti 6 bulan kemudian oleh tungkai dan paha. Panjang tungkai, sehubungan dengan panjang badan secara keseluruhan, lebih besar pada anak laki-laki dari anak perempuan karena pada anak laki-laki umur saat terjadinya percepatan pertumbuhan lebih lama dan masa pertumbuhan prepubertas lebih lama. Sebagian besar tulang muka juga mengalami percepatan tumbuh selama masa remaja menengah ini. b. Berat badan dan pertumbuhan jaringan lunak
24
Pada laki-laki pertambahan berat badan terutama terjadi karena terjadi pertambahan 4 kali lipat dari sel otot. Jumlah lemak pada laki-laki secara relatif dalam tubuh berkurang dari 8 menjadi 7% pada waktu percepatan pertumbuhan terjadi. Pada anak perempuan percepatan berat badan masa pubertas terutama karena menambah besarnya ukuran dan jumlah dari sel adiposit. Kandungan lemak tubuh anak perempuan bertambah dari kira-kira 8% sebelum pubertas menjadi lebih dari 20% pada saat terjadi puncak percepatan kurve berat badan. Pada anak laki-laki, disamping terjadi perubahan struktur dari percepatan pertumbuhan pubertas seperti di paru-paru, jantung dan otot (bertambahnya jumlah dan besarnya sel dan kekuatan otot), juga terjadi perubahan fisiologis seperti melambatnya denyut nadi, meningkatnya tekanan sistole dan meningkatnya konsentrasi hemoglobin. c. Reproduksi 1) Ciri-ciri seks “primer” Pada laki-laki volume testes pada masa remaja menengah berkisar antara 10-14 ml. Terjadinya percepatan pertumbuhan di dalam vesikula seminalis, epididimis dan prostat, dan urin pertama pagi hari seringkali mengandung spermatozoa; sudah mengalami mimpi basah. Pada perempuan ovarium membesar pada tahun sebelum menarche, dimana berat rata-ratanya masing-masing menjadi 6 gr.
25
Tidak lama sebelum menarche, endometrium berkembang, seruiks dan korpus uteri membesar dan kelenjar seruiks mulai mensekresikan cairan menyerupai susu tidak berbau. Cairan vagina juga disekresikan dalam jumlah yang besar dari pada sebelumnya dan PH-nya menjadi asam karena produksi asam laktat oleh basil-basil yang menghuni vagina. 2) Ciri-ciri seks “sekunder” Pada laki-laki umur rata-rata pencapaian (genital) adalah 12 tahun dan masa ini berlangsung sekitar 0,8 tahun (0,2-1,6 tahun). Umur rata-rata pencapaian (rambut pubis) adalah 13 tahun dan bertahan kira-kira 0,4 tahun (0,3-0,5 tahun). Umur pencapaian (genital) adalah 13 tahun dan berlangsung sekitar 14 tahun dan bertahan kira-kira 0,7 tahun (0,1-6,8 tahun). Pada
anak
perempuan
terjadi
pembesaran
payudara,
tumbuhnya rambut aksila setelah rambut pubis, terjadinya penebalan atau pelunakan dari mukosa vagina, munculnya jerawat dan timbulnya bau badan. Pada anak laki-laki suara menjadi dalam sebagai akibat dari rangsangan oleh testosteron terhadap pertumbuhan sel-sel tulang rawan tiroid dan krikoid dan sel-sel otot laring. Kelenjar keringat apokrin mulai berfungsi pada saat bersamaan dengan tumbuhnya rambut aksila. Dengan makin berlanjutnya maturitas seksual, akne pun
26
bertambah banyak. Baik pada anak laki-laki maupun perempuan, areola payudara akan melebar selama pubertas. Pada masa ini, pada kira-kira 30-50% anak laki-laki dapat terjadi juga pembesaran jaringan payudara di bawah areola pada salah satu atau kedua payudara. Keadaan ini biasanya bersifat sementara, berlangsung kurang dari 18 bulan.
3. Masa remaja akhir (pada anak perempuan berkisar antara 13-17 tahun dan pada anak laki-laki antara 14-16 tahun) Pertumbuhan dan perkembangan fisik d. Tinggi badan dan sistem skeletal Pada masa ini yang masih tumbuh biasanya terbatas pada dagu akibat aposisi dari tulang pada simfisis mandibula. Ini kemudian diikuti dengan pertumbuhan ke depan. Secara radiologis, tulang-tulang panjang menunjukkan tusi dan epifisisyg khas yang berlangsung dari tulang-tulang distal ke proksimal. e. Berat badan dan pertumbuhan jaringan lunak Jumlah sel otot dan kekuatan pada anak laki-laki masih terus bertambah setelah pertumbuhan dari bagian-bagian lain berkurang. c. Reproduksi
27
1) Ciri-ciri seks “primer” Pada laki-laki testes (testis) telah mencapai bentuk dewasanya yaitu volumenya kira-kira 25 ml masing-masing dan beratnya 20 gr. Kemampuan bereproduksi penuh dicapai pada masa ini. Pada perempuan normal sudah akan mengalami menarche pada masa ini. 2) Ciri-ciri seks “sekunder” Pada laki-laki getelia eksterna telah berkembang sempurna baik dalam bentuk maupun konfigurasinya. Rambut pubis juga telah mencapai bentuk dewasanya. Pada saat lengkapnya pertumbuhan genitalia eksterna dan rambut pubis ini, biasanya tumbuh rambut di dagu. Pada perempuan, perkembangan payudara memasuki stadium dengan bentuk dewasa yang khas. Seperti halnya pada anak laki-laki (rambut pubis) ditunjukkan dengan tumbuhnya rambut pubis mencapai tekstur dan distribusi dewasa. G. Resiko Melakukan Seks Bebas (Sarwono, 2003:23) 1. Kehamilan Kehamilan remaja bahkan sudah terbukti dapat memberikan resiko terhadap ibu dan janinnya. Resiko tersebut adalah disproporsi (ketidak sesuaian ukuran) janin, perdarahan, prematurilas, cacat bawaan janin, dan lain-lain. Bagi remaja laki-laki, masalah juga timbul karena ketidaksiapan mental dan tanggung jawab mereka sebagai ayah.
28
Sikap Pengetahuan
Pendidikan Seks (Sex Education)
2. Penyakit menular seksual (PMS) Selain hamil, timbulnya penyakit menular seksual pada remaja juga perlu dicermati. Penyakit tersebut ditularkan oleh perilaku seks yang tidak aman atau tidak sehat atau melakukan seks bebas. Misalnya, remaja yang sering berganti-ganti pasangan atau berhubungan dengan pasangan yang menderita penyakit kelamin, misalnya penyakit Go, Sifilis, HIV/AIDS dan lain-lain. Selain akan membawa cacat pada bayi,
menular seks yang
menyerang usia remaja juga dapat mengakibatkan penyakit kronis dan gangguan kesuburan dimasa mendatang. B A B III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL A. Kerangka Konsep Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, variabel yang akan diteliti yaitu tentang tingkatan pengetahuan dan sikap siswa SMUN 1 Biromaru tentang pendidikan seks (Sex Education), yang
secara sistematis dapat digambarkan
dalam kerangka konsep sebagai berikut: Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
29
B. Definisi Operasional 1. Pengetahuan a. Definisi
:
Pengetahuan
adalah
kemampuan
siswa memahami pendidikan seks yang berkaitan dengan pengertian, tujuan, pentingnya pendidikan seks, tinjauan tentang seks, anatomi organ reproduksi, perkembangan fungsi organ seksual dan dampak melakuan seks bebas. b. Cara Ukur
: Wawancara
c. Alat Ukur
: Kuesioner
d. Skala Ukur
: Ordinal
e. Hasil Ukur
: 0 = Kurang Baik (Bila skor < Median)
1 = Baik (Bila skor ≥ Median) 2. Sikap a. Definisi
:
Sikap adalah tanggapan, reaksi siswa
untuk melakukan hal-hal yang positif tentang pendidikan seks misalnya dalam menghindari seks bebas. b. Cara Ukur
:
Wawancara
c. Alat Ukur
:
Kuesioner
d. Skala Ukur
:
Ordinal
e. Hasil Ukur
: 0 = Kurang Baik (Bila skor < Median)
1 = Baik (Bila skor ≥ Median)
30
B A B IV METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk memberikan gambaran secara rinci dari variabel yang diteliti tanpa membuat suatu perbandingan atau hubungan dengan variabel lain (Prasetyo, 2000: 60). B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang akan diteliti (Riduwan, 2006: 8). Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa SMUN 1 Biromaru kelas II dan kelas III sebanyak 298 orang. 2. Sampel
31
298 1 +298 298 (0,01) N 1 + 298(0,1)2 n= 1 + N (d2)
Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih dengan tehnik ‘sampling’ tertentu dilakukan sedemikian rupa sehingga diperoleh sampel yang benar-benar mewakili dan dapat menggambarkan keadaan populasi yang sebenarnya (Riduwan, 2006: 8). Pada penelitian ini sampel diambil dari sebahagian total populasi siswa SMUN 1 Biromaru yang memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut: a. Kriteria Inklusi: 1) 2)
Siswa yang bersedia sebagai responden penelitian.
Siswa yang hadir pada waktu penelitian.
b. Besar Sampel Besar sampel dihitung menggunakan rumus Slovin yaitu sebagai berikut:
Keterangan N
= besar populasi
n
= besar sampel
d
= tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan
Dimana : N
= 298
d
= 10% (0,1)
n
=
n
=
32
298 298 1 +3,98 2,98
25 32 31 298
n
=
n
=
n = 75 sampel Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 75 responden.
c. Tehnik pengambilan sampel Dalam penelitian ini tehnik pengambilan sampel yang penulis gunakan adalah proporsional random sampling. Sampel diambil secara random (acak) dengan terlebih dahulu dilakukan stratifikasi untuk masing-masing kelas atau mengitung proporsi sampel untuk masing-masing kelas. Setelah didapatkan jumlah sampel untuk masing-masing kelas, kemudian sampel diambil dengan cara mengundi secara acak responden di masing-masing kelas. Proporsi sampel tiap kelas: Kelas II IPA 1
:
x
75 = 6
Kelas II IPA 2
:
x
75 = 8
Kelas II IPS I
:
x
75 = 8
33
82 23 42 38 41 82 26 40 450 298 450 298
Kelas II IPS 2
:
x
75 = 7
Kelas III IPA I
:
x 75 = 6
Kelas III IPA 2
:
x 75 = 10
Kelas III IPA 3
:
x 75 = 10
Kelas III IPS 1
:
x 75 = 10
Kelas III IPS 2
:
x 75 = 10
C. Pengumpulan Data 1. Jenis data yang dikumpulkan adalah : a. Data primer Data yang diperoleh melalui wawancara langsung dari siswa SMUN I Biromaru dengan menggunakan kuesioner. b. Data sekunder Data yang diperoleh dari kantor atau bagian tata usaha SMUN I Biromaru. 2. Cara pengukuran Cara pengukuran yang dilakukan adalah dengan menggunakan kuesioner dengan yang berisi pertanyaan tentang pengetahuan 14 pertanyaan serta tentang sikap 11 pernyataan. D. Pengolahan Data
34
f P=
x 100% n
Pengolahan data dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu : 1. Editing Dilakukan untuk memeriksa adanya kesalahan atau kekurangan data yang diperoleh. 2. Coding Dilakukan guna memberikan kode pada nomor jawaban yang telah diisi oleh responden untuk memudahkan peneliti dalam keperluan entry data ke program komputer untuk kebutuhan analisis. 3. Entry Memasukkan data ke program komputer untuk kebutuhan analisis. 4. Cleaning Melakukan pengecekan akhir atas semua data yang telah dimasukkan agar tidak menimbulkan bias dalam analisis. E. Analisa Data Penelitian ini menggunakan analisa data deskriptif, yaitu memberikan gambaran tentang kondisi objek tanpa membuat suatu perbandingan. Analisa yang digunakan adalah analisa univariat dengan menghitung distribusi frekuensi tiap variabel yang diteliti.
Keterangan :
35
P : Proporsi f : Frekuensi n : Sampel F. Etika Penelitian 1. Informed Consent Sebelum melakukan penelitian maka akan diedarkan lembar persetujuan untuk menjadi responden, dengan tujuan agar subyek mengerti maksud dan tujuan penelitian, serta mengetahui dampaknya. Jika subyek bersedia, maka responden harus menanda tangani lembar persetujuan dan jika responden bersedia maka peneliti harus menghormati hak pasien. 2. Anomity (tanpa nama) Menjelaskan bentuk alat ukur dengan tidak perlu mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data. 3. Confidentiality Kerahasiaan informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset. G. Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti adalah: 1. Pada saat pengumpulan data sangat ditentukan oleh kejujuran responden dalam menjawab pertanyaan.
36
2. Kuesioner yang tidak diuji cobakan.
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan juli 2008 dengan jumlah sampel 75 responden, yang dilakukan pada siswa SMUN I Biromaru. Berikut ini, akan disajikan hasil penelitian tentang gambaran pengetahuan dan sikap siswa SMUN 1 Biromaru tentang pendidikan seks (sex education). Adapun hasil penelitian ini akan disajikan dalam bentuk gambar sebagai berikut: 1. Pengetahuan siswa tentang pendidikan seks (Sex Education). Setelah
melakukan
perhitungan
secara
keseluruhan
kemudian
ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median. Median dalam penelitian ini adalah 17, sehingga kategori pengetahuan yang baik tentang pendidikan seks
37
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Baik
Kurang Baik
57,3% 42,7%
dengan skor ≥ 17 dan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang pendidikan seks dengan skor < 17. Untuk
memperoleh
gambaran
distribusi
responden
menurut
pengetahuan responden tentang pendidikan seks dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 5.1 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan siswa tentang pendidikan seks (Sex Education) di SMUN I Biromaru Juli 2008
Sumber: data primer yang diolah Gambar di atas terlihat bahwa dari 75 responden, yang memiliki pengetahuan yang baik tentang pendidikan seks berjumlah 43 responden (57,3%), sedangkan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang pendidikan seks berjumlah 32 responden (42,7%).
38
1.1 Tingkat pengetahuan siswa tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 2, sehingga kategori yang memiliki pengetahuan tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks dikelompokan menjadi dua yaitu pengetahuan yang baik tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks dengan skor ≥ 2 dan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks dengan skor < 2. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut pengetahuan responden tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan siswa tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks (Sex Education) di SMUN I Biromaru Juli 2008 Pengetahuan siswa tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks 1. Kurang Baik 2. Baik Jumlah Sumber: data primer yang diolah. No.
Jumlah
%
30 45 75
40 60 100
Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks berjumlah 45 responden atau (60%), sedangkan
39
siswa yang memiliki tingkat Pengetahuan yang kurang baik tentang apa yang di
maksud dengan pendidikan seks berjumlah 30 responden
(40%). 1.2 Tingkat pengetahuan siswa tentang tujuan pendidikan seks Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 2, sehingga kategori yang memiliki pengetahuan tentang tujuan pendidikan seks dikelompokan menjadi dua yaitu pengetahuan yang baik tentang pendidikan seks dengan skor ≥ 2 dan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang tujuan pendidikan seks dengan skor < 2. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut pengetahuan responden tentang tujuan pendidikan seks dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan siswa tentang tujuan pendidikan seks (Sex Education) di SMUN I Biromaru Juli 2008 Pengetahuan siswa tentang tujuan pendidikan seks 1. Kurang Baik 2. Baik Jumlah Sumber: data primer yang diolah. No.
Jumlah
%
20 55 75
26,7 73,3 100
Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang tujuan pendidikan seks
40
berjumlah 55 responden atau (73,3%), sedangkan siswa yang memiliki tingkat Pengetahuan yang kurang baik tentang tujuan pendidikan seks berjumlah 20 responden (26,7%). 1.3 Tingkat pengetahuan siswa tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder laki-laki dan perempuan. Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 5, sehingga kategori yang memiliki pengetahuan tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder laki-laki dan perempuan dikelompokan menjadi dua yaitu pengetahuan yang baik tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder laki-laki dan perempuan dengan skor ≥ 5 dan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder laki-laki dan perempuan dengan skor < 5. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut pengetahuan responden tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan siswa tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder laki-laki dan perempuan di SMUN I Biromaru
41
Juli 2008 Pengetahuan siswa tentang pertumbuhan dan perkembangan No. fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder 1. Kurang Baik 2. Baik Jumlah Sumber: data primer yang diolah.
Jumlah
%
36 39 75
48 52 100
Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder berjumlah 39 responden atau (52%), sedangkan siswa yang memiliki tingkat Pengetahuan yang kurang baik tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder berjumlah 36 responden (48%). 1.4 Tingkat pengetahuan siswa tentang seks bebas Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 2, sehingga kategori yang memiliki pengetahuan tentang seks bebas dikelompokan menjadi dua yaitu pengetahuan yang baik tentang pendidikan seks dengan skor ≥ 2 dan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang seks bebas dengan skor < 2. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut pengetahuan responden tentang seks bebas dapat dilihat pada tabel berikut:
42
Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan siswa tentang seks bebas di SMUN I Biromaru Juli 2008 Pengetahuan siswa tentang seks No. Jumlah % bebas 1. Kurang Baik 31 41,3 2. Baik 44 58,7 Jumlah 75 100 Sumber: data primer yang diolah. Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang seks bebas berjumlah 44 responden atau (58,7%), sedangkan siswa yang memiliki tingkat Pengetahuan yang kurang baik tentang seks bebas berjumlah 31 responden (41,3%). 1.5 Tingkat pengetahuan siswa tentang manfaat pendidikan seks Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 2, sehingga kategori yang memiliki pengetahuan tentang manfaat pendidikan seks dikelompokan menjadi dua yaitu pengetahuan yang baik tentang pendidikan seks dengan skor ≥ 2 dan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang manfaat pendidikan seks dengan skor < 2. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut pengetahuan responden tentang manfaat pendidikan seks dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.4
43
Distribusi responden berdasarkan pengetahuan siswa tentang manfaat pendidikan seks (Sex Education) di SMUN I Biromaru Juli 2008 Pengetahuan siswa tentang No. Jumlah % manfaat pendidikan seks 1. Kurang Baik 20 26,7 2. Baik 55 73,3 Jumlah 75 100 Sumber: data primer yang diolah. Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang manfaat pendidikan seks berjumlah 55 responden atau (73,3%), sedangkan siswa yang memiliki tingkat Pengetahuan yang kurang baik tentang manfaat pendidikan seks berjumlah 20 responden (26,7%). 1.6 Tingkat pengetahuan siswa tentang resiko melakukan seks bebas Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 4, sehingga kategori yang memiliki pengetahuan tentang resiko melakukan seks bebas dikelompokan menjadi dua yaitu pengetahuan yang baik tentang pendidikan seks dengan skor ≥ 4 dan yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang resiko melakukan seks bebas dengan skor < 4. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut pengetahuan responden tentang resiko melakukan seks bebas dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan siswa tentang resiko
44
90 80 70
60%
60 50
40%
40 30 20 10 0
melakukan seks bebas di SMUN I Biromaru Juli 2008 Baik Kurang baik Pengetahuan siswa tentang resiko No. Jumlah melakukan seks bebas 1. Kurang Baik 36 2. Baik 39 Jumlah 75 Sumber: data primer yang diolah.
% 48 52 100
Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki tingkat Pengetahuan yang baik tentang resiko melakukan seks bebas berjumlah 39 responden atau (52%), sedangkan siswa yang memiliki tingkat Pengetahuan yang kurang baik tentang resiko melakukan seks bebas berjumlah 36 responden (48%). 2. Sikap siswa tentang pendidikan seks. Setelah
melakukan
perhitungan
secara
keseluruhan
kemudian
ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median. Median dalam penelitian ini adalah 33, sehingga kategori yang sikapnya baik tentang pendidikan seks dengan skor ≥ 33 dan yang memiliki sikap yang kurang baik tentang pendidikan seks dengan skor < 33. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut sikap responden tentang pendidikan seks dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 5.2 Distribusi responden berdasarkan sikap siswa tentang pendidikan seks (Sex Education) di SMUN I Biromaru Juli 2008
45
Sumber: data primer Gambar di atas terlihat bahwa dari 75 responden, yang memiliki sikap yang baik terhadap pendidikan seks berjumlah 45 responden (60%), sedangkan yang memiliki sikap yang kurang baik terhadap pendidikan seks berjumlah 30 responden (40%). 2.1 Sikap siswa terhadap pendidikan seks yang diadakan di sekolah. Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 4, sehingga kategori sikap terhadap pendidikan seks yang diadakan di sekolah dikelompokan menjadi dua yaitu sikap yang baik tentang pendidikan seks yang diadakan di sekolah dengan skor ≥ 4 dan yang memiliki sikap yang kurang baik tentang pendidikan seks yang diadakan di sekolah dengan skor < 4. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut sikap responden tentang pendidikan seks yang diadakan di sekolah dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan sikap siswa terhadap pendidikan seks
46
yang diadakan di sekolah di SMUN I Biromaru Juli 2008 Sikap siswa terhadap pendidikan seks yang diadakan di sekolah 1. Kurang Baik 2. Baik Jumlah Sumber: data primer yang diolah. No.
Jumlah
%
36 39 75
48 52 100
Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki sikap yang baik terhadap pendidikan seks yang diadakan di sekolah berjumlah 39 responden atau (52%), sedangkan siswa yang memiliki sikap yang kurang baik terhadap pendidikan seks yang diadakan di sekolah berjumlah 36 responden (48%). 2.2 Sikap siswa terhadap pergaulan bebas yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 4, sehingga kategori sikap terhadap pergaulan bebas yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah dikelompokan menjadi dua yaitu sikap yang baik tentang pergaulan bebas yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah dengan skor ≥ 4 dan yang memiliki sikap yang kurang baik tentang pergaulan bebas yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah dengan skor < 4. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut sikap
47
responden tentang pergaulan bebas yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 5.7 Distribusi responden berdasarkan sikap siswa terhadap pergaulan bebas yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah di SMUN I Biromaru Juli 2008 Sikap siswa terhadap pergaulan bebas No. yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah 1. Kurang Baik 2. Baik Jumlah Sumber: data primer yang diolah.
Jumlah
%
36 39 75
48 52 100
Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki sikap yang baik terhadap pergaulan bebas yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah
berjumlah 39 responden atau (52%),
sedangkan siswa yang memiliki sikap yang kurang baik terhadap pergaulan bebas yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah berjumlah 36 responden (48%). 2.3 Sikap siswa terhadap membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian
48
ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 4, sehingga kategori sikap terhadap membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks dikelompokan menjadi dua yaitu sikap yang baik tentang membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks dengan skor ≥ 4 dan yang memiliki sikap yang kurang baik tentang membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks dengan skor < 4 Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut sikap responden tentang membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.8 Distribusi responden berdasarkan sikap siswa terhadap membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks di SMUN I Biromaru Juli 2008 Sikap siswa terhadap membaca dan menonton film pornografi yang dapat No. merangsang untuk melakukan hubungan seks 1. Kurang Baik 2. Baik Jumlah Sumber: data primer yang diolah.
Jumlah
%
35 40 75
46,7 53,3 100
Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki sikap yang baik terhadap membaca dan menonton film
49
pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks berjumlah 40 responden atau (53,3%), sedangkan siswa yang memiliki sikap yang kurang baik terhadap membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks juga berjumlah 35 responden (46,7%).
2.4 Sikap siswa terhadap hubungan seks masa pacaran Setelah melakukan perhitungan secara keseluruhan kemudian ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 2, sehingga kategori sikap terhadap hubungan seks masa pacaran dikelompokan menjadi dua yaitu sikap yang baik tentang hubungan seks masa pacaran dengan skor ≥ 2 dan yang memiliki sikap yang kurang baik tentang hubungan seks masa pacaran dengan skor < 2. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut sikap responden tentang hubungan seks masa pacaran dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.9 Distribusi responden berdasarkan sikap siswa terhadap hubungan seks masa pacaran di SMUN I Biromaru Juli 2008 Sikap siswa terhadap hubungan No. Jumlah % seks masa pacaran 1. Kurang Baik 20 26,7 2. Baik 55 73,3 Jumlah 75 100 Sumber: data primer yang diolah.
50
Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki sikap yang baik terhadap hubungan seks masa pacaran berjumlah 55 responden atau (73,3%), sedangkan siswa yang memiliki sikap yang kurang baik terhadap hubungan seks masa pacaran juga berjumlah 20 responden (26,7%). 2.5 Sikap siswa terhadap pendidikan seks yang sebaiknya diajarkan sedini mungkin Setelah
melakukan
perhitungan
secara
keseluruhan
kemudian
ditetapkan dua kategori berdasarkan nilai median yaitu 4, sehingga kategori sikap terhadap membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks dikelompokan menjadi dua yaitu sikap yang baik tentang membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks dengan skor ≥ 4 dan yang memiliki sikap yang kurang baik tentang membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks dengan skor < 4. Untuk memperoleh gambaran distribusi responden menurut sikap tentang membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.10 Distribusi responden berdasarkan sikap siswa terhadap pendidikan seks yang sebaiknya diajarkan sedini mungkin di SMUN I Biromaru Juli 2008
51
No.
Sikap siswa terhadap pendidikan seks yang sebaiknya diajarkan sedini mungkin
1. 2.
Kurang Baik Baik Jumlah Sumber: data primer yang diolah.
Jumlah
%
34 41 75
45,3 54,7 100
Tabel di atas terlihat bahwa dari 75 responden, siswa yang memiliki sikap yang baik terhadap pendidikan seks yang sebaiknya diajarkan sedini mungkin berjumlah 41 responden atau (54,7%), sedangkan siswa yang memiliki sikap yang kurang baik terhadap pendidikan seks yang sebaiknya diajarkan sedini mungkin juga berjumlah 34 responden (45,3%). B. Pembahasan 1. Pengetahuan siswa tentang pendidikan seks (Sex Education). Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan siswa yang baik lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan pengetahuan yang kurang baik tentang pendidikan seks akan tetapi perbedaannya tidak begitu jauh, dapat dilihat bahwa pengetahuan yang baik dengan jumlah 57,3%, sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik 42,7%. Ini berarti siswa harus lebih meningkatkan pengetahuannya tentang pendidikan seks karena dengan pengetahuan yang baik diharapkan siswa akan lebih mampu memahami apa yang pernah didengarnya tentang pendidikan seks dan menurut peneliti siswa SMUN I Biromaru sebaiknya lebih banyak menambah pengetahuannya tentang pendidikan seks baik melalui buku-buku atau media lainnya serta bimbingan orangtua dan guru lebih ditingkatkan. Kerana
52
pengetahuan yang baik akan membantu siswa dalam pergaulan sehari-hari. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Miqdad (1997) yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan seks secara umum, sesuai dengan kesepakatan Internasional Conference Of Sex Education And Family Planing, tahun 1962, adalah: untuk menghasilkan kehidupan yang bahagia karena dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya, serta dapat bertanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap orang lain. Ninuk Widyantoro mengemukakan bahwa tujuan akhir pendidikan seks adalah pencegahan kehamilan di luar perkawinan. Pada hasil penelitian yang dilakukan Armelia, (2007) mengenai pengetahuan siswa tentang pendidikan seks di SMU Kristen Tentena, menunjukkan bahwa pengetahuan siswa yang baik lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan pengetahuan yang kurang baik tentang pendidikan seks (Sex Education). Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan Armelia, (2007) sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di SMUN I Biromaru yang menunjukkan bahwa pengetahuan siswa yang baik lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan pengetahuan yang kurang baik. a. Tingkat pengetahuan siswa tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks Hasil penelitian menunjukkan semua siswa memiliki pengetahuan yang baik tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan seks. Ini berarti siswa telah banyak mendapat informasi baik yang didapat dari orang tua,
53
sekolah dan juga teman-teman, juga melalui buku-buku maupun media massa lainnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) yang mengatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihtan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. b. Tingkat
pengetahuan
siswa
tentang
tujuan
pendidikan seks Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki pengetahuan yang baik tentang tujuan pendidikan seks. Ini artinya siswa juga telah banyak mendapat pengetahuan baik dari sekolah maupun orang tua dan melalui buku-buku serta media massa lainnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Notoatmodjo (2003) yang terdapat dalam salah satu dari 6 tingkatan pengetahuan yaitu Memahami yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. c. Tingkat pengetahuan siswa tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki tingkat
54
pengetahuan yang baik tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder lebih besar dari pada yang kurang baik namun perbedaannya tidak begitu jauh. Artinya pengetahuan siswa tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks
primer/sekunder
harus
lebih
ditingkatkan.
Karena
dengan
pengetahuan yang baik tentang pertumbuhan dan perkembangan fisik remaja serta ciri-ciri seks primer/sekunder diharapkan siswa akan lebih memahami perubahan-peruban yang terjadi dalam dirinya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Notoatmodjo (2003) yang terdapat dalam salah satu dari 6 tingkatan pengetahuan yaitu Memahami yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. d. Tingkat pengetahuan siswa tentang seks bebas Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang seks bebas lebih besar dari pada yang kurang baik namun perbedaannya tidak begitu jauh. Artinya pengetahuan siswa tentang seks bebas harus lebih ditingkatkan. Karena dengan pengetahuan yang baik tentang seks bebas para siswa akan mampu menjag diri dan kehormatannya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Notoatmodjo (2003) yang terdapat dalam salah satu dari 6 tingkatan pengetahuan yaitu Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk
55
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). e. Tingkat
pengetahuan
siswa
tentang
manfaat
pendidikan seks Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki pengetahuan yang baik tentang manfaat pendidikan seks. Ini artinya siswa juga telah banyak mendapat pengetahuan baik dari sekolah maupun orang tua dan melalui buku-buku serta media massa lainnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Notoatmodjo (2003) yang terdapat dalam salah satu dari 6 tingkatan pengetahuan yaitu Memahami yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. f. Tingkat
pengetahuan
siswa
tentang
resiko
melakukan seks bebas Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki pengetahuan yang baik tentang resiko melakukan seks bebas. Artinya siswa telah banyak mendapat pengetahuan baik dari sekolah maupun orang tua dan melalui buku-buku serta media massa lainnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Notoatmodjo (2003) yang terdapat dalam salah satu dari 6 tingkatan pengetahuan yaitu Memahami yang diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek
56
yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. 2. Sikap siswa secara umum tentang pendidikan seks Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sikap siswa yang baik tentang pendidikan seks lebih besar dibandingkan dengan yang kurang baik. Hal ini mungkin karena sudah ada penanaman sikap dari orang tua, guru, agama dan kebudayaan mereka, sehingga dari sikap itu sendiri siswa mampu mempertahankan sikapnya yang baik tanpa mudah dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggalnya. Dan bagi siswa yang memiliki sikap yang kurang baik ini dipengaruhi oleh sikap
mereka yang belum mengetahui
pentingnya menjaga perilaku mereka sendiri sehingga tidak mudah terjerumus kehal-hal yang dapat merusak diri mereka. Misalnya bergaul dengan temanteman yang nakal, nonton film porno, baca buku porno, pergaulan bebas dan kurangnya keterbukaan antara anak dan orang tua. Apabila mereka menyadari manfaat pendidikan seks dimana dapat membantu siswa untuk mengetahui resiko sikap seksual mereka dan mengajarkan pengambilan keputusan secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orang lain, bergaul dengan benar dan menjaga dirinya dengan baik. Hal ini didukung oleh pendapat G. W. Alport (1935) dalam Notoatmodjo (2003) yang mengatakan bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup,
57
bukan merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu dalam suatu penghayatan objek. a. Sikap siswa terhadap pendidikan seks yang diadakan di sekolah Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki sikap yang baik terhadap pendidikan seks yang diadakan di sekolah. Ini artinya siswa memahami pentingnya pendidikan seks yang diadakan di sekolah. Karena dengan adanya pendidikan seks yang diadakan di sekolah diharapkan semua siswa mampu menjaga kehormatan diri sendiri maupun orang lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2003) dalam beberapa tingkatan sikap yang salah satunya adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dipilihnya. Segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi b. Sikap
siswa
terhadap
pergaulan
bebas
yang
mengakibatkan hubungan seks di luar nikah Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki sikap yang baik terhadap pergaulan bebas yang mengakibatkan hubungan seks di luar nikah. Ini artinya siswa juga telah banyak mendapat pengetahuan baik dari sekolah maupun orang tua dan melalui buku-buku serta media massa lainnya. Sehingga mempunyai silap yang baik pula. Hal ini sejalan dengan pendapat G. W. Alport 1935) bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan
58
pelaksanaan motif tertentu. c. Sikap siswa terhadap membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki sikap yang baik terhadap membaca dan menonton film pornografi yang dapat merangsang untuk melakukan hubungan seks. Ini artinya siswa juga telah banyak mendapat pengetahuan baik dari sekolah maupun orang tua dan melalui buku-buku serta media massa lainnya. Sehingga mempunyai sikap yang baik pula. Hal ini sejalan dengan pendapat G. W. Alport 1935) bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. d. Sikap siswa terhadap hubungan seks masa pacaran Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki sikap yang baik terhadap hubungan seks masa pacaran. Ini artinya siswa juga telah banyak mendapat pengetahuan baik dari sekolah maupun orang tua dan melalui buku-buku serta media massa lainnya. Sehingga mempunyai sikap yang baik pula. Hal ini sejalan dengan pendapat G. W. Alport 1935) bahwa sikap adalah merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
59
e. Sikap siswa terhadap pendidikan seks yang sebaiknya diajarkan sedini mungkin Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar siswa memiliki sikap yang kurang baik terhadap pendidikan seks yang sebaiknya diajarkan sedini mungkin. Hal ini terjadi karena kurangnya informasi yang diterima oleh siswa sehingga pengetahuan yang mereka milikipun kurang. Dalam hal peran serta orang tua dan guru sangatlah penting untuk memberi penyuluhan mengenai pentingnya pandidikan seks diperkenalkan sedini mungkin. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Notoatmodjo (2003) yang mengatakan bahwa sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek lingkungan tertentu dalam suatu penghayatan objek.
60
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Pada hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum pengetahuan siswa yang baik lebih besar dibandingkan pengetahuan yang kurang baik tentang pendidikan seks (Sex Education). 2. Sikap siswa secara umum yang baik lebih besar dibandingkan dengan siswa memiliki sikap yang kurang baik tentang pendidikan seks. B. Saran
61
1. Untuk sekolah SMUN I Biromaru. Diharapkan agar dapat meningkatkan pendidikan seks (Sex Education) baik melalui bangku sekolah maupun seminar tentang pendidikan seks. 2. Untuk siswa a. Diharapkan agar siswa yang memiliki pengetahuan yang baik tentang pendidikan seks, tetap mempertahankan sikapnya. b. Diharapkan agar siswa yang memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang pendidikan seks, lebih meningkatkan pengetahuannya.
DAFTAR PUSTAKA Ajen Dianawati, 2003, Pendidikan Seks Untuk Remaja. Cetakan 1, Kawan Pustaka, Jakarta. Akhmad Azhar Abu Miqdad, 1997, Pendidikan Seks Untuk Remaja. Cetakan 1, Mitra Pustaka Yogyakarta. Alimun Aziz H, 2003, Riset Keperawatan Dan Tehnik Penulisan Ilmiah, Salemba Medika, Jakarta. Allport,W G. 1996. Attitude . England, Harmondworth: Penguin Book,ltd Garnida Erwin, 2005.
Sikap Adalah Segalanya
Kartono Mohammad, 1998, Kontradiksi Dalam Kesehatan Reproduksi, Cetakan 1, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Notoadmojo Soekidjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-Prinsip Dasar, PT. Rineka Cipta, EGC, Jakarta.
62
Syarif, 2008. Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja. www.halalsehat.com, Monday, 19 May 2008 Robert P. Masland, 1997, Apa Yang Ingin Diketahui Oleh Remaja Tentang Seks, Cetakan 1, Bumi Aksara, Jakarta. Sarwono, 2003. Psikologi Remaja.Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta Singgih D. Gunarsa dan Yulia , 2001, Psikologi Praktis Anak, Remaja Dan Keluarga, Cetakan 6, Gunung Mulia, Jakarta. Soetjiningsih, 2004, Tumbuh Kembang Remaja Dan Permasalahannya, Cetakan 1, Sagung Seto, Jakarta. Syaifudin, 1997, Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, EGC. Jakarta. Widayatun Tri Rusni, 1999. Ilmu Perilaku . Buku Pegangan mahasiswa Akademi Keperawatan, Jakarta
63