1
“Di mana saya?” “Anda sudah sadar? Anda jangan cemas, Anda berada di kamar saya di Obbeyville.” “Obbeyville? Mengapa saya berada di sini?” “Saya yang membawa Anda kemari.” “Mengapa? Apa yang telah terjadi pada diri saya sehingga saya berada di sini?” “Anda tidak ingat apa yang terjadi pada Anda?” “Tidak, saya tidak mampu mengingat apa pun.” “Siapakah nama Anda?” tanyanya penuh perhatian, “Saya akan menghubungi keluarga Anda.” “Nama saya…,” gadis itu termenung. Wanita itu semakin cemas dibuatnya. “Saya tidak ingat. Saya tidak dapat mengingat apa pun. Bahkan nama maupun masa lalu saya,” jawab gadis itu dengan sedih setelah terdiam untuk beberapa saat. Wanita tua itu memandang sedih pada gadis itu. Gadis itu tampak pucat sekali ketika ia menemukannya tergeletak pingsan di tepi Sungai Alleghei yang mengalir di tepi timur Obbeyville. Saat itu ia sedang berjalan-jalan di pagi hari di tepi sungai yang berada di dekat rumahnya itu, seperti biasanya. Belum jauh ia berjalan dari pondoknya, ia melihat seseorang tergeletak pingsan di tepi sungai itu. Di sekeliling orang itu tampak sesuatu yang bersinar keemasan. Segera ia mendekat dan ia menemukan seorang gadis pingsan di tepi sungai itu. Rambut panjang gadis itulah yang bersinar keemasan tertimpa sinar matahari pagi di awal musim panas. Sekujur tubuh gadis itu basah oleh air sungai yang jernih itu. Wajahnya tampak pucat sekali dan suhu tubuhnya panas sekali. Ia segera memanggil seseorang untuk membantunya membawa gadis itu ke pondoknya. Ia merawat gadis yang pingsan itu dengan penuh perhatian. 1
Gadis itu tak sadarkan diri selama beberapa hari. Selama itu sering suhu tubuhnya tiba-tiba menjadi tinggi sekali sehingga membuatnya panik. Penduduk
Obbeyville
menjadi
gempar
tatkala
mendengar
berita
diketemukannya gadis itu di sungai yang mereka anggap suci. Penduduk Obbeyville merupakan sebagian penduduk Kerajaan Zirva yang masih mempercayai mitos. Bagi penduduk Obbeyville, Sungai Alleghei yang bermata air di Holly Mountain merupakan sungai suci tempat para dewa mereka mengirimkan anugerahnya kepada manusia. Mereka juga percaya sungai itu dibuat oleh para dewa dari Holly Mountain menuju tempat tinggal manusia. Sedangkan Holly Mountain itu sendiri dipercayai penduduk Obbeyville sebagai tempat tinggal pada dewa. Karena itu mereka mengkeramatkan sungai itu. Konon Holly Mountain dijaga oleh makhluk halus agar tidak seorangpun yang dapat mencapai puncaknya yang berkabut. Di balik kabut yang diciptakan para dewa untuk melindungi tempat itu; terdapat tempat yang sangat indah yang dipercaya sebagai tempat tinggal para dewa tersebut. Mereka juga percaya bila awan di puncak Holly Mountain hitam pertanda para dewa sedang marah. Tetapi bila awan di puncak Holly Mountain cerah artinya para dewa tidak sedang marah. Penduduk Obbeyville sering mengadakan upacara persembahan di Sungai Alleghei. Korban yang diberikan kepada para dewa biasanya berupa hasil panen selama setahun. Korban itu dibakar hingga berupa abu kemudian abu itu disebarkan di sungai. Upacara itu diadakan beberapa kali dalam setahun. Namun yang selalu dilakukan tiap tahun adalah saat tahun baru, awal musim semi dan akhir musim semi. Pada
saat tahun
baru,
mereka
berdoa
untuk
keselamatan
dan
kebahagiaan mereka sepanjang tahun yang akan datang juga bersyukur atas perlindungan dewa kepada mereka selama tahun yang baru berlalu. Selain mengadakan upacara persembahan, mereka juga mengadakan pesta di sepanjang sungai itu untuk memeriahkan tahun baru. Tidak jarang pula mereka mengadakan perlombaan yang tidak hanya diikuti oleh penduduk Obbeyville juga penduduk Blueberry. Di awal musim semi mereka mengharapkan berkat para dewa agar hasil panen mereka sepanjang musim itu berlimpah. Kemudian di penghujung 2
musim, mereka mengadakan upacara untuk bersyukur atas berkat yang diberikan para dewa sehingga panen mereka berlimpah. Di Sungai Alleghei banyak sekali ikan, namun tak seorangpun yang berani mengusik ikan itu apalagi memancing ikan itu. Mereka percaya ikanikan itu adalah suruhan para dewa. Ikan-ikan itu mengantarkan anugerah dewa kepada manusia sekaligus menjaga Sungai Alleghei agar tidak dikotori manusia. Penduduk Obbeyville mulai menduga-duga asal usul gadis itu. Sebagian dari mereka menduga gadis itu adalah utusan dewa. Sebagian orang yang tidak mempercayai mitos percaya gadis itu hanyut di sungai itu. Ia memandang gadis itu dan mengagumi kecantikan serta keanggunan yang terpancar dari wajahnya yang cantik walaupun wajah itu tampak pucat. Rambutnya yang selalu bersinar tampak seperti emas yang indah di atas bantal. Matanya yang berwarna keunguan itu memandang sedih sekeliling ruangan itu. Sewaktu ia menemukannya, ia mengenakan gaun yang indah sekali, seuntai kalung emas yang indah melingkari lehernya yang putih itu. Ia menduga umur gadis itu sekitar dua puluh tahunan. “Saya turut menyesal. Anda jangan bersedih karenanya, saya yakin suatu saat nanti ingatan Anda akan pulih kembali,” kata wanita tua itu. “Kalau boleh saya tahu, siapakah Anda?” “Semua orang memanggil saya Mrs. Vye, saya pengurus rumah tangga di keluarga Sidewinder,” jawab Mrs. Vye. “Terima kasih telah merawat saya selama saya tak sadarkan diri, Mrs. Vye,” kata gadis itu, ”Maaf saya telah merepotkan Anda, keluarga tempat Anda bekerja tentunya marah kepada Anda karena Anda telah menolong saya, gadis yang tak dikenal ini.” “Anda tidak perlu khawatir mengenai hal ini, bagi saya ini memang sudah menjadi kewajiban saya untuk menolong sesama saya. Keluarga Sidewinder juga tidak mencela tindakan saya,” kata wanita itu. “Anda beristirahatlah dulu. Saya akan mengambilkan sesuatu untuk Anda makan. Anda baru sadar setelah beberapa hari tak sadarkan diri tentunya Anda merasa lapar,” saran wanita itu. “Anda belum menceritakan kepada saya apa yang terjadi pada saya sehingga saya berada di pondok Anda,” kata gadis itu mengingatkan. “Jangan cemas, saya pasti akan menceritakannya pada Anda. Sekarang 3
Anda beristirahatlah dulu, Anda baru saja sadar,” kata Mrs. Vye. Kemudian tanpa menunggu jawaban gadis itu, ia lekas meninggalkan gadis itu sendirian. Ia merasa bersalah kepada gadis itu karena telah membohonginya. Sebenarnya Baroness Lora, majikannya mencelanya karena telah menolong gadis itu. Ia telah mengetahui sebelumnya, bahwa Baroness Lora akan marah bila mengetahui ia membawa seorang gadis tak dikenal ke pondoknya. Tetapi ia juga tidak dapat menyembunyikan hal ini dari majikannya tersebut.
Pondok
tempat
tinggalnya
berada
di
atas
tanah
keluarga
Sidewinder. Pondok yang terletak tak jauh dari rumah utama keluarga Sidewinder itu, diberikan padanya sebagai tempat tinggalnya saat ia mulai menjabat sebagai pengurus rumah tangga di keluarga itu. Lady Debora, putri keluarga Sidewinder sering mendatangi pondok mungilnya
yang
terbuat
dari
kayu
itu.
Itu
sebabnya
ia
tak
dapat
menyembunyikannya dari Baroness Lora. Selain itu seluruh penduduk Obbeyville membicarakan gadis itu sejak ia menemukannya pingsan di tepi Sungai Alleghei. Ketika Mrs. Vye baru tiba di Sidewinder House, seorang wanita cantik dengan wajahnya yang menampakkan permusuhan, tiba-tiba menghadang jalan. Wanita itu melipat kedua tangannya di depan dadanya kemudian ia menatap Mrs. Vye dengan tatapan yang tajam dan penuh permusuhan. Mrs. Vye diam saja. Ia tahu apa yang akan ditanyakan majikannya yang cantik itu. “Bagaimana gadis itu? Apa ia sudah sadar?” tanya Baroness Lora tanpa terdengar sedikitpun nada prihatin. “Sudah, Yang Mulia,” jawab Mrs. Vye. “Kalau begitu ia dapat segera dipulangkan ke keluarganya,” kata Baroness Lora. “Maaf, Yang Mulia. Saya rasa Anda tidak dapat melakukan hal itu, gadis itu hilang ingatan,” kata Mrs. Vye. “Apa! Apa katamu tadi?” seru terkejut Baroness Lora. “Gadis itu tidak dapat mengingat masa lalunya. Ia hilang ingatan,” jelas Mrs. Vye. Baroness terdiam. Kedua tangannya tampak bergerak gelisah – tanda ia sedang memikirkan sesuatu yang sangat serius. 4
Mrs. Vye memperhatikan wanita yang dipandang semua orang sebagai bidadari namun dalam pandangannya bidadari berhati iblis itu sibuk berpikir. Ia menanti kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulut wanita itu. “Tidak bisa! Aku tidak mengijinkan gadis itu ada di sini. Aku tidak peduli apakah ia hilang ingatan atau tidak. Yang pasti ia harus segera meninggalkan tempat ini,” tegas Baroness Lora. “Anda tidak bisa melakukan hal sekeji itu padanya,” Mrs. Vye terkejut mendengar keputusan Baroness Lora. “Mungkin saja gadis itu utusan dewa.” “Omong kosong! Aku tidak percaya kepada hal-hal semacam itu.” “Anda tetap tidak boleh melakukannya.” “Mengapa tidak? Akulah yang berkuasa di sini sejak suamiku meninggal dan kata-kataku harus dituruti, termasuk kau!” kata Baroness Lora. “Anda tidak dapat melakukan hal sekeji itu padanya. Kita harus membantu gadis itu,” kata Mrs. Vye mencoba membela gadis yang ditolongnya itu. “Lakukan apa yang kukatakan! Aku tidak peduli apa yang terjadi pada gadis miskin itu.” “Anda jangan berkata seperti itu. Memang kita tidak tahu siapa dia, tetapi mungkin saja ia seorang putri bangsawan.” “Putri bangsawan katamu?” kata Baroness Lora mengejek. “Saya yakin ia seorang putri bangsawan. Gaun yang dikenakannya sewaktu saya menemukannya itu sudah cukup membuktikan bahwa saya benar.” “Mengapa aku harus percaya terhadapmu? Bisa saja ia mencuri gaun itu kemudian mengenakannya,” kata Baroness Lora terus mengejek gadis yang ditemukan Mrs. Vye tergeletak pingsan di tepi Sungai Alleghei. “Kalau Anda yakin itu gaun curian, mengapa Anda merampas gaun itu dari gadis itu?” tantang Mrs. Vye. “Aku tidak merampasnya, gaun itu tidak cocok dipakai olehnya. Lagipula gaun itu hanya cocok dipakai putri bangsawan sejati seperti anakku.” “Anda merampasnya dari gadis itu! Apa yang akan Anda lakukan seandainya gadis itu ingat akan gaunnya?” “Dia tidak akan mengingatnya,” kata Baroness Lora, “Kalaupun kelak ia ingat, aku tidak peduli. Ia pasti akan sadar bahwa gaun itu tidak cocok dikenakannya. Gaun itu hanya cocok bagi putriku. Sekarang lakukan apa yang kukatakan. Bawa gadis itu pergi dari tempat ini!” 5
“Saya tidak akan melakukannya,” kata Mrs. Vye keras kepala. “Lakukan apa yang kukatakan! Atau kupecat kau,” ancam Baroness Lora. “Anda tidak dapat memecat saya,” kata Mrs. Vye mengingatkan. “Mengapa tidak? Akulah yang berkuasa di sini?” “Anda ingin kehilangan harta keluarga Sidewinder?” Mrs. Vye terus menentang Baroness Lora. Baroness
Lora
terkejut
mendengar
kata-kata
Mrs.
Vye
yang
mengingatkannya pada wasiat suaminya yang menyatakan ia harus tetap mempertahankan Mrs. Vye di keluarga ini bila ingin memperoleh warisannya. Baron Marx Sidewinder menyayangi Mrs. Vye seperti menyayangi ibunya sendiri. Karena itu ia tidak ingin Baroness Lora melakukan hal yang buruk terhadapnya. Sewaktu ia masih hidup, Baroness Lora tidak berani mencelanya. Tetapi Baron Marx Sidewinder tahu istrinya tidak menyukai Mrs. Vye. Demikian pula Mrs. Vye tidak menyukai Baroness Lora. Walaupun begitu Mrs. Vye tetap bersikap sopan kepada Baroness Lora karena Mrs. Vye masih memandang wanita itu sebagai istri Baron Marx Sidewinder. Andaikata Baroness Lora bukan istri anak asuh yang disayanginya, ia takkan mau bersikap hormat sekali pun dipaksa. Sejak kematian Baron Marx Sidewinder, permusuhan yang selama ini mereka pendam mulai tampak dan akhir-akhir ini menjadi semakin panas sejak Mrs. Vye menemukan gadis itu. Perang dingin telah berubah menjadi perang panas yang siap meledak setiap saat. Ia
mengumpat
memecatmu.
Tapi
marah
aku
dan
bisa
berkata,
melakukan
“Aku
memang
tidak
dapat
tindakan
yang
lainnya
untuk
mengeluarkan gadis itu dari tanahku.” Sekarang giliran Mrs. Vye yang terkejut mendengar ancaman Baroness Lora. Ia tidak mengira Baroness Lora akan nekat mengeluarkan gadis malang itu dari tempat ini. Sejak Baroness Lora tahu ia menemukan seorang gadis di Sungai Alleghei dan merawatnya,
Baroness Lora terus-menerus menyuruhnya
mengeluarkan gadis itu. Baroness Lora mengatakan gadis itu hanya akan membebani keluarga Sidewinder yang hartanya semakin menipis setiap harinya. Namun karena Mrs. Vye mengatakan bahwa semua orang akan 6
memandang rendah pada Baroness Lora bila ia tidak mau membantu gadis malang itu, maka Baroness Lora mengijinkan gadis itu tinggal. Tetapi hanya hingga gadis itu sadar. Setiap hari Baroness Lora menanyakan keadaan gadis itu kepada Mrs. Vye hanya karena ia ingin segera mengeluarkan gadis itu dari rumahnya. Mrs. Vye memandang Baroness Lora sebagai seorang wanita berwajah bidadari tetapi berhati iblis. Baroness Lora sangat cantik, rambutnya yang merah bersinar cerah mengimbangi sinar matanya yang hijau. Mrs. Vye percaya Baroness Lora memanfaatkan kecantikkannya untuk mendapatkan harta berlimpah dengan memikat Baron Marx Sidewinder. Ia juga mencurigai Baroness Lora berada di balik peristiwa pembunuhan Baron Marx Sidewinder. Sejak Baroness Lora memasuki rumah ini, pengeluaran keluarga ini terus membengkak. Baroness Lora sangat menyenangi pesta, hampir tiap hari ia mengadakan pesta besar di rumah ini. Ia juga senang menghamburkan uang untuk membeli gaun baru. Hampir setiap hari pula, Baroness Lora pergi membeli gaun baru. Sewaktu Baron Marx Sidewinder masih hidup, mereka masih dapat mengatasi jumlah pengeluaran yang terus membengkak itu. Namun sejak kematian Baron Marx Sidewinder, keuangan keluarga
Sidewinder mulai
kacau. Baroness Lora dengan terpaksa mengurangi kebiasaannya membeli gaun baru dan mengadakan pesta. Ternyata sifat Baroness Lora menurun pada putrinya. Lady Debora juga senang pergi ke pesta dan membeli gaun baru. Itulah sebabnya mengapa gaun gadis itu diambil oleh Baroness Lora. Lady Debora langsung menyukai gaun itu sewaktu ia melihat Mrs. Vye menjemur gaun itu. Lady Debora mengatakan kepada ibunya bahwa ia menyukai gaun yang dijemur Mrs. Vye. Baroness Lora segera pergi melihat gaun yang dijemur Mrs. Vye karena ia tidak mempercayai kata-kata putrinya. “Gaun yang dijemur Mrs. Vye itu sangat indah. Benar-benar indah, gaun itu gaun paling indah yang pernah kulihat. Kainnya pun sangat halus. Aku ingin mempunyai gaun sebagus itu,” kata Lady Debora kepada ibunya. Dari sinilah Baroness Lora mengetahui bahwa Mrs. Vye telah menolong seorang gadis yang tak dikenal. Ia mencela tindakan Mrs. Vye. Setelah itu ia mengatakan akan membawa gaun itu dan memberikannya kepada putrinya. Mrs. Vye sudah mencoba mempertahankan gaun itu, namun malang ia tidak 7
dapat berbuat jauh. Lady Debora sangat senang ketika mendapat gaun itu dan segera memamerkannya kepada teman-temannya. Lady Debora menjadi semakin senang ketika teman-temannya memuji gaun barunya itu. Mrs. Vye merasa bersalah pada gadis itu karena telah membiarkan mereka mengambil gaunnya sewaktu ia tak sadarkan diri. Tetapi Mrs. Vye juga merasa lega karena ia tidak menunjukkan kalung emas yang melingkari leher gadis itu pada mereka. Bila ia menunjukkannya pada mereka, tentunya mereka juga akan mengambilnya dari gadis itu. Sekarang
hanya
kalung
itulah
satu-satunya
benda
yang
dapat
membantu gadis itu untuk mengingat masa lalunya. “Kau dengar tidak apa yang kukatakan? Lekas cepat keluarkan gadis itu dari rumahku,” perintah Baroness Lora tak sabar. Mrs. Vye baru akan mencoba memberikan pembelaan terhadap gadis itu ketika Lady Debora muncul. “Bagaimana Mrs. Vye, apakah gadis itu sudah sadar?” tanya Lady Debora. “Sudah, Tuan Puteri. Hanya saja gadis itu tidak dapat mengingat masa lalunya,” jawab Mrs. Vye. “Ia hilang ingatan?” tanya Lady Debora terkejut. “Bagaimana ia bisa hilang ingatan kalau hanya hanyut di sungai? Seseorang akan hilang ingatannya bila kepalanya membentur benda dengan keras.” “Saya tidak tahu, Tuan Puteri. Tapi mungkin kepalanya membentur sesuatu sewaktu hanyut di sungai.” “Mungkin saja kepalanya membentur sesuatu sewaktu hanyut di sungai dan menyebabkannya tak sadarkan diri,” ulang Lady Debora. “Aku tidak peduli apa yang kalian bicarakan. Sekarang cepat keluarkan gadis itu dari sini,” kata Baroness Lora semakin tidak sabar melihat Mrs. Vye tidak segera melakukan perintahnya. “Jangan, Mama. Biarkan saja gadis itu di sini,” kata Lady Debora. “Untuk apa kita membiarkan gadis itu di sini? Ia hanya membuat pengeluaran kita semakin membengkak saja. Semakin cepat ia keluar dari rumah ini semakin baik. Dengan demikian kita tidak perlu mengeluarkan biaya yang tidak perlu hanya untuk memelihara gadis miskin itu.” Mrs. Vye sangat marah mendengar kata-kata Baroness Lora yang jelas 8
sekali menunjukkan kebenciannya pada gadis yang sama sekali tidak mereka kenal itu. Entah apa yang membuat mereka membenci gadis tak dikenal itu. Mrs. Vye menduga kedua wanita di hadapannya ini tidak menyukai gadis itu karena gadis itu cantik. Bagi Mrs. Vye gadis malang itu jauh lebih cantik dari kedua majikannya dan ia yakin semua orang akan mengatakan hal yang sama. Walaupun hatinya telah dipenuhi kemarahan namun Mrs. Vye menahan amarahnya mengingat kedudukannya di situ hanya sebagai seorang pengurus rumah tangga. Baroness Lora dengan mudahnya mengatakan membiarkan gadis itu berada di keluarga Sidewinder berarti menghambur-hamburkan uang. Ia tidak melihat kenyataan bahwa sesungguhnya ia sendirilah yang menghamburhamburkan uang dengan berfoya-foya setiap harinya. “Aku bisa memanfaatkan gadis itu, Mama.” “Memanfaatkan untuk apa?” tanya Baroness Lora tak mengerti. “Untuk menarik perhatian Alexander. Bila kita membiarkan gadis itu di sini, keluarga Blueberry akan menganggap kita ini baik dan nilai kita di hadapan mereka akan naik. Dengan demikian usahaku untuk mendapatkan Alexander menjadi semakin mudah,” jelas Lady Debora. “Ide bagus! Tapi apa yang harus kita lakukan pada gadis itu, apakah kita akan membiarkannya tinggal di sini tanpa melakukan apa pun?” tanya Baroness Lora. “Tentu tidak, Mama. Aku akan menjadikannya sebagai pelayanku. Dengan demikian aku tidak hanya mendapatkan kemudahan untuk menarik perhatian Alexander, tetapi juga akan membuatku semakin terlihat berkuasa,” kata Lady Debora bangga. “Engkau memang pintar. Mama setuju denganmu,” kata Baroness Lora. Mereka merencanakan suatu rencana jahat tanpa mempedulikan Mrs. Vye yang mendengar semuanya dengan sangat jelas dari tempatnya berdiri. Ia merasa marah mendengarnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia merasa tidak ada jalan lain yang dapat dilakukannya selain itu, walaupun itu jalan yang paling buruk. Tetapi ia tidak tahu apakah gadis itu akan mengerti bila ia mengatakan hal ini kepada gadis itu. “Kau dengar, Mrs. Vye? Gadis itu boleh tinggal di sini asalkan ia mau menjadi pelayan Debora,” kata Baroness Lora. “Berikan baju pelayan 9
kepadanya.” “Katakan kepada kami apabila ia sudah cukup sehat untuk menjadi pelayanku,” kata Lady Debora. “Aku mengharapkan agar ia cepat sehat. Semakin cepat, semakin baik.” “Saya akan melaksanakan perintah Anda,” kata Mrs. Vye. “Bagus. Sekarang cepat urus dia,” kata Baroness Lora kasar. Mrs. Vye meninggalkan Ruang Besar. Dengan bergegas, ia menuju dapur, dan menyiapkan apa yang dipikirkannya ketika ia berjalan menuju Sidewinder House. Mrs. Vye segera kembali ke pondok mungilnya dengan membawa sebuah nampan dengan berbagai macam hidangan di atasnya. Ia tidak peduli Baroness Lora akan marah bila melihatnya membawa hidangan mewah untuk gadis itu. Ia berada di antar perasaan senang dan marah. Ia senang gadis itu masih dapat tinggal bersamanya, tetapi ia juga marah karena Baroness Lora serta Lady Debora memperlakukan gadis itu dengan tidak sewajarnya. Menurut pendapatnya, sebaiknya gadis itu diperlakukan secara layak seperti halnya seorang putri bangsawan. Ia sangat yakin bahwa gadis itu putri bangsawan. Kesopanan dalam tutur katanya yang lemah lembut, yang ditunjukkan
gadis
itu
padanya
–
membuatnya
semakin
meyakini
pendapatnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu melindungi gadis itu tanpa mempedulikan apa yang akan dikatakan atau dilakukan oleh Baroness Lora. Mrs. Vye ingin melindungi gadis malang itu bukan hanya karena gadis itu kehilangan ingatan tetapi juga karena rasa sayang yang telah tumbuh di hatinya sejak ia merawat gadis itu. Sebuah senyuman menghiasi wajah Mrs. Vye ketika ia berpikir betapa mudahnya ia menyayangi gadis yang tak dikenalnya itu. Mrs. Vye mengakui kalau gadis itu mampu membuat siapa saja menyayangi dirinya. Beberapa orang yang melihatnya membawa nampan, menghampirinya dan bertanya pertanyaan yang sama, “Apakah gadis itu sudah siuman?” Ia juga selalu memberikan jawaban yang sama kepada mereka, “Ya. Tetapi ia hilang ingatan.” Kemudian mereka menyatakan simpatinya kepada Mrs. Vye atas keadaan gadis tak dikenal itu. Segera, berita mengenai keadaan gadis itu yang kehilangan ingatannya 10
tersebar luas ke seluruh penjuru Obbeyville. Secepat menyebarnya berita diketemukannya gadis itu di Sungai Alleghei oleh Mrs. Vye. Tanpa mempedulikan penduduk yang berbisik-bisik, ia terus berjalan ke pondok mungilnya. Tatkala membuka pintu, ia mendengar suara dari dalam kamar. Bergegas ia menuju kamar tempat gadis itu terbaring. Mrs. Vye terkejut tatkala melihat gadis itu berusaha berdiri ketika mendengar langkah kakinya. Ia segera meletakkan nampan di sebuah meja kecil di samping tempat tidur kemudian ia memaksa gadis itu berbaring kembali. “Mengapa Anda meninggalkan tempat tidur?” tanya Mrs. Vye. “Saya ingin melihat tempat ini,” jawab gadis itu. “Anda akan dapat melakukannya bila Anda telah sembuh benar. Sekarang Anda harus banyak beristirahat agar segera sembuh. Saya akan mengantar Anda berjalan-jalan di sekeliling tempat ini bila Anda telah sehat.” “Terima kasih atas kebaikan hati Anda.” “Anda tidak perlu berterima kasih, sudah kewajiban saya menolong sesama yang membutuhkan pertolongan.” “Anda baik sekali seperti…,” gadis itu tiba-tiba berhenti. Ia berusaha memikirkan kelanjutan kata-katanya tetapi seakan-akan masa lalunya berada di balik kabut yang sangat tebal, di dalam kegelapan yang pekat. “Jangan bersedih! Perlahan-lahan ingatan Anda akan kembali,” kata Mrs. Vye menghibur gadis itu. Gadis itu tersenyum untuk meyakinkan Mrs. Vye. Sebenarnya, ia merasa sedih tidak dapat mengingat masa lalunya. Ia tidak ingin membuat Mrs. Vye ikut menjadi sedih karena itu ia menyembunyikannya dari Mrs. Vye. “Tampaknya kita akan menemui kesulitan bila Anda tidak mempunyai nama. Mulai sekarang saya akan memanggil Maria pada Anda. Apakah Anda menyukainya?” “Saya senang sekali dengan nama itu. Siapa yang tidak senang memiliki nama yang sama dengan Bunda Maria, Perawan Suci?” kata gadis itu – tersenyum. “Putri saya juga menyenangi nama itu,” kata Mrs. Vye. “Ia selalu merasa bangga dengan namanya itu.” “Saya ingin berkenalan dengan putri Anda.” “Putri saya meninggal beberapa tahun lalu karena sakit,” kata Mrs. Vye 11
sedih. “Maafkan saya, saya tidak berniat mengungkit kesedihan Anda. Saya turut berduka cita,” kata gadis itu. “Tidak apa-apa. Saya sudah dapat menerima kenyataan bahwa putri saya telah meninggalkan saya untuk selama-lamanya,” kata Mrs. Vye. “Sekarang Anda harus makan kemudian meminum obat yang diberikan dokter. Dan beristirahat yang banyak agar lekas sehat.” Mrs. Vye merawat Maria dengan penuh kasih sayang. Ia berusaha menjaga gadis itu siang malam. Mrs. Vye menyelesaikan tugas rutinnya dengan cepat kemudian ia kembali ke sisi Maria. Ia melarang gadis itu meninggalkan tempat tidurnya sebelum sembuh benar. Ia selalu mengajak gadis itu bercakap-cakap untuk menghilangkan kebosanan gadis itu dan ia senang bercakap-cakap dengan gadis itu. Banyak yang diceritakan Mrs. Vye kepada Maria dan ia terkejut tatkala mengetahui pengetahuan gadis itu yang luas. “Pengetahuanmu luas sekali. Lebih luas dari Tuan Puteri,” kata Mrs. Vye ketika ia bercerita kepada gadis itu mengenai mitos yang ada di Obbeyville. “Terima kasih. Saya merasa pernah mendengar mitos itu karena itu saya mengetahuinya,” kata Maria merendahkan diri. Mrs. Vye tersenyum melihat kerendahan hati Maria. Baginya, sifat yang dimiliki gadis itu sama seperti pemilik namanya yaitu Bunda Maria. Ia semakin menyayangi gadis itu dalam waktu yang singkat. Ia telah menganggap gadis itu sebagai putrinya sendiri. Beberapa kali Lady Debora menjenguk gadis itu, ia tampak sangat senang ketika melihat keadaan gadis itu yang mulai membaik. Ketika gadis itu telah benar-benar sembuh, Mrs. Vye merasa kebingungan. Ia tidak tahu bagaimana menyampaikan pembicaraannya dengan Baroness Lora dan Lady Debora kepada gadis itu. Tetapi ia tetap memutuskan untuk memberi tahu segalanya pada gadis itu. “Maria, aku ingin engkau mengetahui sesuatu. Tetapi sebelumnya aku minta maaf kepadamu karena telah menyembunyikan hal ini darimu. Engkau boleh marah kepadaku, aku merasa itu yang seharusnya aku terima,” kata Mrs. Vye. Maria tersenyum pada Mrs. Vye. Ia sangat menyayangi Mrs. Vye yang dirasanya mirip seseorang dari masa lalunya, seseorang yang sangat dekat dengannya. 12
Walaupun belum lama Maria berada di dekat Mrs. Vye tetapi ia merasa seperti telah lama mengenal wanita itu. Maria menduga itu karena ia merasa Mrs. Vye mirip dengan seseorang dari masa lalunya yang gelap. “Anda sangat baik kepada saya. Tidak pantas bila saya marah kepada Anda. Anda tidak perlu meminta maaf atas apa pun, walaupun Anda telah menyembunyikan sesuatu dari saya. Saya percaya Anda melakukannya untuk kebaikan saya.” “Engkau tidak hanya memiliki pengetahuan yang luas tetapi juga sangat bijaksana. Aku senang mendengar kata-katamu,” kata Mrs. Vye, “Aku akan mulai dari waktu aku menemukanmu.” Maria merasa senang karena akhirnya ia dapat mengetahui di mana dan kapan Mrs. Vye menemukannya. Namun ia menyembunyikan kesenangan hatinya itu sebab ia mengetahui Mrs. Vye sedang membicarakan sesuatu yang penting. “Engkau telah mengetahui bahwa aku mempunyai kebiasaan berjalanjalan di tepi Sungai Alleghei di pagi hari, bukan?” Maria memandang wajah Mrs. Vye yang tampak suram. Ia menduga ada sesuatu yang sangat menyedihkan yang disembunyikan Mrs. Vye darinya. Dengan tenang, ia terus menanti cerita Mrs. Vye. “Pada suatu pagi, aku melihatmu tergeletak pingsan di tepi sungai itu. Saat itu aku masih belum jauh dari pondokku, aku segera menghampirimu dan melihat wajahmu yang sangat pucat. Aku segera meminta bantuan untuk membawamu ke pondokku ini. Kemudian aku segera memanggil dokter.” Mrs. Vye melihat wajah Maria. Wajah gadis itu tampak tenang mendengar ceritanya kemudian ia melanjutkan ceritanya, “Saat aku menemukanmu, engkau mengenakan seuntai kalung emas yang indah. Gaunmu juga tidak kalah indahnya dari kalungmu. Kain gaun itu sangat halus seperti sutra, jahitannya sangat lembut. Benangnya yang berwarna kuning cerah seperti rambutmu tampak seperti emas di kain yang putih itu. Namun karena itulah engkau kehilangan gaun itu,” katanya dengan sedih. “Sewaktu aku menjemur gaun itu, Tuan Puteri datang. Ia melihat gaun itu dan menyukainya. Ia kembali ke rumahnya dan tak lama kemudian Tuan Puteri menemuiku bersama Yang Mulia. Mereka marah terutama Yang Mulia marah sekali ketika mengetahui aku telah menolongmu.” Mrs. Vye memperhatikan wajah Maria yang masih tetap tenang sebelum 13
ia melanjutkan dengan sedih, “Kemudian mereka mengambil gaun itu, mereka mengatakan gaun itu tidak pantas untukmu. Aku minta maaf kepadamu karena tidak dapat mempertahankan gaun itu.” Entah mengapa Maria tidak terkejut mendengar cerita itu. Apa yang diceritakan Mrs. Vye juga tidak membuat Maria merasa marah kepada Baroness serta putrinya yang telah mengambil gaunnya saat ia tak sadarkan diri. “Tidak apa-apa, Mrs. Vye. Saya tidak marah kepada Anda, Anda jangan meminta maaf lagi. Saya telah menduga Anda berbohong kepada saya ketika Anda mengatakan bahwa keluarga Sidewinder tidak memarahi Anda,” kata Maria – tersenyum pengertian. “Saya mengerti Anda sengaja berbohong kepada saya karena Anda tidak ingin saya merasa sedih. Saya semakin percaya hal itu ketika saya melihat Lady Debora, ia tampak sangat angkuh.” Maria teringat pada penampilan Lady Debora sewaktu wanita itu menjenguknya. Lady Debora mengenakan gaun yang indah seperti hendak ke pesta, rambut merahnya yang digelung tinggi-tinggi dihiasi rangkaian muntiara yang menambah kesan mewah pada dirinya. Mata hijaunya menatap rendah padanya. “Bolehkan saya melihat kalung itu?” tanya Maria. “Tentu. Kalung itu milikmu. Tunggulah sebentar,” kata Mrs. Vye. Mrs. Vye menuju kamarnya yang terletak di samping kamar Maria. Ia membuka sebuah laci yang terdapat di dalam lemari pakaiannya. Diraihnya sebuah kalung emas yang terletak di sudut paling dalam dari laci itu. Kemudian ia bergegas kembali ke kamar Maria. “Inilah kalung yang melingkari lehermu sewaktu aku menemukanmu,” kata Mrs. Vye. Maria terdiam memandangi kalung yang berada di tangannya. Rantai kalung itu sangat halus, sebuah leontin emas berbentuk hati yang sangat indah menghiasi kalung itu. Permata yang berada di tengah-tengah leontin itu, tampak berkilau-kilau tertimpa matahari sore. Ia berusaha mengingat sesuatu yang berkaitan dengan kalung itu. “Saya merasa kalung ini sangat penting bagi saya. Tetapi saya tidak tahu mengapa,” kata Maria perlahan. “Jangan bersedih, Maria! Waktu akan memulihkan ingatanmu,” kata Mrs. Vye, “Engkau tidak boleh menunjukkan kalung itu kepada siapa pun. 14
Saya khawatir mereka akan menduga engkau mencurinya. Bila Tuan Puteri mengetahui
engkau
mempunyai
kalung
emas
yang
indah,
ia
akan
menggunakan segala cara untuk memperoleh kalung itu.” “Saya merasa kalung ini sangat penting karena itu saya tidak ingin siapa pun mengambil kalung ini,” kata Maria sambil mengenakan kalung itu. “Kalung itu merupakan kalung terindah yang pernah kulihat seumur hidupku. Tetapi aku merasa kalung itu menjadi lebih indah di lehermu.” “Terima kasih atas pujian Anda. Saya merasa kalung ini tampak lebih indah bila berkilau di bawah sinar matahari.” “Sayang, gaun itu diambil oleh Tuan Puteri. Bila engkau mengenakan gaun itu juga, engkau tentu tampak semakin cantik,” kata Mrs. Vye sedih. Maria tersenyum lembut, “Janganlah Anda merasa bersalah hanya karena gaun itu. Nyawa saya yang telah Anda selamatkan jauh lebih penting daripada gaun yang hilang itu. Anggaplah saya tidak mengenakan gaun itu ketika Anda menemukan saya.” “Aku selalu merasa sedang berbicara dengan orang bijak bila berbicara denganmu.” “Anda jangan berkata seperti itu. Saya masih hijau dibandingkan Anda yang telah puluhan tahun menghuni dunia ini,” kata Maria merendahkan diri. Mrs. Vye tersenyum. Tiba-tiba raut wajahnya menjadi serius lagi dan ia berkata: “Aku masih harus menyampaikan sesuatu kepadamu. Engkau telah mengetahui keluarga Sidewinder marah ketika mengetahui aku merawatmu. Mereka ingin segera mengusirmu, tetapi aku bersikeras mempertahankanmu. Mereka akhirnya memperbolehkan aku merawatmu sampai engkau sadar.” Mrs.
Vye
menghela
napasnya
seperti
berusaha
mengendalikan
perasaannya. Ia melanjutkan ceritanya, “Kami kembali bertengkar ketika aku mengatakan bahwa engkau hilang ingatan. Aku tidak pernah menyukai Yang Mulia, karena itu aku dengan gigih menentangnya. Ia marah sekali, tetapi ia tidak dapat memecatku. Sebab bila ia melakukannya, ia akan kehilangan harta keluarga Sidewinder. Kemudian Tuan Puteri muncul, ia mengusulkan engkau boleh tinggal asalkan engkau mau menjadi pelayannya.” “Saya mengerti, Mrs. Vye. Saya tidak marah kepada Anda, Anda tidak perlu meminta maaf. Saya telah merepotkan Anda dan membawa Anda ke dalam kesulitan karena itu saya tidak ingin Anda merasa bersalah,” kata 15
Maria ketika melihat Mrs. Vye merasa bersalah. “Saya berterima kasih kepada Anda yang telah merawat saya walaupun dilarang oleh keluarga Sidewinder. Saya dengan senang hati akan menerima persyaratan mereka.” Mrs. Vye tampak terharu mendengar kata-kata Maria, “Engkau sangat bijaksana
walau
engkau
masih
muda.
Engkau
pasti
seorang
putri
bangsawan.” “Saya tidak mengetahui siapa diri saya di masa lalu. Yang saya ketahui sekarang adalah saya, seorang gadis tak dikenal yang beruntung dapat bertemu wanita sebaik Anda.” Maria tersenyum lembut pada Mrs. Vye. “Masih ada yang harus kauketahui. Tuan Puteri memintamu menjadi pelayannya karena didorong dua hal yang sangat menguntungkannya. Atau dengan kata lain, ia memanfaatkanmu.” Sekali lagi Mrs. Vye berhenti bercerita untuk memperhatikan Maria. Gadis itu tampak sangat tenang, seolah-olah apa yang dikatakan Mrs. Vye tidak berarti sama sekali baginya. “Pertama, ia berpikir dengan membiarkanmu tinggal di tempat ini, ia akan lebih mudah mendapatkan perhatian Tuan Muda Alexander. Kedua, dengan membawamu sebagai seorang pelayan ke mana pun ia pergi, ia merasa semakin berkuasa.” “Siapakah Alexander?” tanya Maria. “Ia putra Duke of Blueberry. Ia sangat tampan dan baik hati, engkau akan segera menyukainya seperti gadis-gadis lainnya bila telah bertemu dengannya,” Mrs. Vye tersenyum menggoda pada Maria. “Namun aku yakin Tuan Puteri berusaha mendapatkan perhatian Tuan Muda Alexander bukan karena ia mencintainya. Tetapi karena ia mengejar harta
keluarga
Blueberry,
seperti
ibunya
yang
dulu
menikah
untuk
mendapatkan harta keluarga Sidewinder.” “Mendengar cara Anda berbicara mengenai keluarga Sidewinder, tampaknya Anda sangat membenci mereka,” kata Maria. “Aku memang tidak menyukai mereka baik Yang Mulia maupun Tuan Puteri. Mereka memiliki sifat yang sama, mereka senang berfoya-foya. Itulah sebabnya mereka mengincar orang kaya. Saya percaya Yang Mulia juga berperan dalam peristiwa pembunuhan suaminya,” kata Mrs. Vye geram. “Apa yang terjadi pada Baron Marx Sidewinder?” “Sepuluh tahun yang lalu, ketika ia berburu ia ditemukan meninggal. 16
Pelakunya telah tertangkap, tetapi aku tetap merasa Yang Mulia juga terlibat dalam peristiwa itu. Aku sangat menyayanginya, akulah yang mengasuhnya sejak kecil. Ia juga menyayangiku,” kata Mrs. Vye dengan sedih. “Ia mengetahui di antara aku dan istrinya terdapat permusuhan, karena itu ia menulis wasiat yang bunyinya Yang Mulia tidak boleh memecatku ataupun bertindak kasar kepadaku bila ia masih menginginkan harta keluarga Sidewinder.” Mrs. Vye berhenti sebentar untuk meredakan kemarahannya kemudian melanjutkan, “Semula, harta keluarga Sidewinder berlimpah. Namun karena mereka berdua berfoya-foya setiap hari, harta keluarga itu mulai menipis. Yang Mulia mulai merasa risau, namun ia mempunyai akal yang licik. Ia merusak kehormatan keluarga Sidewinder, ia mulai berkencan dengan priapria yang kaya.” “Maafkan
saya,
tentunya
kedatangan
saya
makin
memperburuk
hubungan Anda berdua,” kata Maria menyesal. “Aku benar-benar tidak menyukainya sejak dulu. Karena itu engkau tidak perlu merasa bersalah. Bila engkau melihat kami bertengkar, jangan cemas. Itu sudah menjadi bagian dari kehidupan kami. Tetapi aku masih menghormatinya sebagai nyonya keluarga Sidewinder.” “Kapankah saya memulai pekerjaan itu? tanya Maria. “Tuan Puteri ingin engkau memulainya setelah engkau sembuh,” jawab Mrs. Vye. “Baiklah, saya mengerti. Besok saya akan memulainya.” “Apakah engkau benar-benar menerimanya?” tanya Mrs. Vye ragu-ragu. “Saya menerimanya dengan senang hati,” kata Maria meyakinkan. “Tetapi engkau…,” Mrs. Vye tampak semakin ragu-ragu. “Mrs. Vye, saya tidak tahui siapa saya di masa lalu. Saat ini hanya satu yang saya ketahui. Saya seorang gadis yang beruntung dapat bertemu wanita sebaik Anda. Saya tidak ingin membuat Anda mengalami kesulitan lagi. Saya dengan senang hati menerima syarat yang diajukan mereka,” kata Maria meyakinkan Mrs. Vye. Mrs. Vye tampak ragu-ragu terhadap keputusan Maria. Ia tampak berusaha menemukan jalan keluar yang terbaik dari masalah ini tanpa perlu menjadikan gadis itu sebagai pelayan Lady Debora. “Saya akan merasa bosan bila tidak ada yang dapat saya kerjakan. Menjadi seorang pelayan bukanlah hal yang memalukan. Saya akan 17
menyukainya.” Mendengar keputusan Maria yang telah mantap, Mrs. Vye akhirnya mengangguk mengerti. Ia menghargai segala keputusan yang dibuat gadis itu. “Apakah Anda dapat menunjukkan kepada saya sungai tempat Anda menemukan
saya?”
tanya
Maria
mengganti
topik
pembicaraan
yang
dirasanya membuat Mrs. Vye semakin banyak berpikir. “Tentu saja.” “Apakah sungai itu berada tak jauh dari sini? Setiap hari saya mendengar suara air mengalir,” kata Maria. “Ya. Sungai itu sangat dekat dari sini.”
18
2
Keesokan paginya Mrs. Vye terkejut tatkala melihat Maria tengah sibuk di dapur. Ia tak menduga gadis itu akan bangun pagi-pagi. “Selamat pagi, Mrs. Vye,” kata Maria sambil tersenyum. “Apa yang kaulakukan? Mengapa engkau berada di dapur?” tanya Mrs. Vye. “Saya sedang membuat teh untuk kita berdua. Apakah Anda menyukai teh? Saya tidak menemukan cokelat atau yang lain di sini selain teh.” “Ya, aku sangat menyukainya. Aku tidak pernah meminum kopi atau cokelat karena itu aku tidak memilikinya. Apakah engkau menyukai cokelat hangat? Bila engkau menyukainya, aku dapat mengambilkannya untukmu dari Sidewinder House.” “Anda tidak perlu susah payah melakukan itu. Saya juga menyukai teh,” kata Maria, “Apakah kita akan pergi sekarang?” Mrs. Vye tersenyum kemudian berkata, “Aku menyukai semangatmu yang tinggi itu. Tetapi saat ini masih terlalu dini untuk berjalan-jalan di tepi Sungai Alleghei. Tunggulah hingga matahari mulai menampakkan dirinya.” “Saya senang melihat matahari terbit. Setiap hari saya bangun pagipagi kemudian menuju…,” kata-kata Maria terhenti. “Menuju… menuju…,” katanya sambil berusaha menyingkapkan tabir kegelapan yang pekat di ingatannya. Mrs. Vye mendekati gadis itu dan memegang lengannya. “Jangan sedih,” kata Mrs. Vye, “Perlahan-lahan ingatanmu akan pulih kembali.” Maria menganggukkan kepalanya kemudian ia tersenyum pada Mrs. Vye. “Apakah Anda mau secangkir teh?” tanya Maria. Mrs. Vye dan Maria duduk berhadap-hadapan di meja kayu yang terdapat di ruang itu. Mereka bercakap-cakap sembari menanti matahari meninggalkan peraduannya. “Hari mulai terang,” kata Maria, “Saya akan mengganti gaun ini dengan baju yang Anda berikan kemarin malam.” “Untuk apa engkau mengenakan baju pelayan itu sekarang? Bila 19
matahari telah tinggi, engkau baru memulai pekerjaan itu,” kata Mrs. Vye terkejut. “Saya berencana berjalan-jalan di tepi Sungai Alleghei hingga tiba waktunya bagi saya untuk melayani Tuan Puteri.” “Tetapi mengapa engkau memilih mengenakan baju itu? Kenakanlah gaun yang aku berikan padamu. Nanti bila engkau akan ke Sidewinder House, barulah engkau mengenakan baju itu,” saran Mrs. Vye. “Terima kasih, Mrs. Vye. Saya akan menuruti saran Anda.” “Mari kubantu,” kata Mrs. Vye mengikuti Maria. “Terima kasih, Mrs. Vye. Tetapi maafkan saya, saya bisa melakukannya sendiri,” Maria menolak halus. “Sudahlah. Biarkan aku membantumu,” kata Mrs. Vye. Maria tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mencegah Mrs. Vye. Wanita tua itu telah menutup pintu kamarnya dan mulai membantunya mengenakan gaun yang diberikannya kepada gadis itu. Gaun putih yang sederhana itu menambah kesan keanggunannya. Leher
gaun
itu cukup tinggi sehingga
dapat
menutupi kalung yang
dikenakannya. Mrs. Vye tampak senang melihatnya dalam gaun itu. “Engkau cantik sekali,” kata Mrs. Vye. “Terima kasih.” Maria melihat Mrs. Vye akan merapikan rambutnya. Ia segera berkata. “Tidak perlu, Mrs. Vye. Saya akan membiarkan rambut saya terurai.” “Tetapi rambutmu yang panjang ini akan membuat engkau terganggu,” kata Mrs. Vye sambil menyentuh rambut panjang Maria. Maria tersenyum. “Saya senang membiarkan rambut saya terurai. Saya tidak akan terganggu karenanya.” “Baiklah,” kata Mrs. Vye mengalah, “Sekarang aku akan bersiap-siap. Tunggulah aku. Aku tidak akan lama.” Mrs. Vye segera menghilang dari hadapan Maria. Sesaat kemudian mereka berdua meninggalkan pondok mungil Mrs. Vye. Berdua mereka berjalan menuju Sungai Alleghei kemudian menyusuri tepi sungai itu. Sinar matahari yang menyilaukan perlahan-lahan muncul di antara kerimbunan pohon yang berada di seberang Sungai Alleghei. Embun pagi berkilau-kilau seperti permata. Tetes demi tetes embun itu 20
mengalir jatuh dari dedaunan. Pohon-pohon tinggi di seberang sungai tampak seperti menghalangi matahari memancarkan sinar paginya yang lembut ke seluruh permukaan dunia. Udara pagi yang sejuk membuat perasaan menjadi damai. Air Sungai Alleghei mengalir tenang. Beberapa ekor ikan tampak berenang-renang riang menyambut datangnya hari baru di sungai yang jernih itu. Air sungai yang cukup dalam itu tampak mulai berkilau-kilau tertimpa cahaya matahari ketika mereka tiba di tepi sungai itu. “Sungai ini indah sekali. Benar-benar sungai anugerah,” kata Maria. “Engkau pun bagai anugerah bagiku. Selama ini aku tinggal sendiri di sini tetapi setelah engkau datang, aku tidak kesepian lagi.” “Terima kasih, Mrs. Vye. Saya juga senang tinggal bersama Anda.” “Penduduk Obbeyville menjadi gempar ketika aku menemukanmu tergeletak pingsan di sungai ini. Mereka menduga engkau utusan pada dewa, tetapi ada beberapa orang yang menolak anggapan itu,” kata Mrs. Vye. “Tampaknya kedatangan saya yang tak terduga ini membuat banyak masalah,” kata Maria dengan menyembunyikan kesedihannya di balik senyumannya yang menawan. Ia merasa sedih telah menimbulkan banyak masalah bagi Mrs. Vye juga bagi penduduk Obbeyville. “Aku merasa akan timbul masalah yang lebih besar lagi bila mereka telah melihatmu. Kecantikkanmu sama seperti keindahan sungai tempat kau ditemukan ini,” kata Mrs. Vye, “Bahkan mungkin engkau lebih cantik dari sungai ini.” “Anda jangan membesar-besarkan,” kata Maria merendahkan diri, “Saya hanyalah seorang gadis biasa bukan utusan para dewa. Saya terlalu hina untuk menjadi utusan para dewa yang agung.” Mrs. Vye tersenyum mendengar kerendahan hati Maria, “Mereka akan semakin percaya bahwa engkau adalah bidadari utusan pada dewa bila melihatmu mengenakan gaun itu. Engkau semakin mirip bidadari dengan gaun putih itu. Aku merasa senang dapat berjalan di samping gadis secantik engkau.” “Anda jangan memuji saya terlalu tinggi. Saya bukan seorang bidadari yang cantik jelita. Saya hanyalah manusia biasa yang berdosa. Bagi saya, cantik tidaknya seseorang bukan dilihat dari wajahnya. Tetapi dari hatinya,” kata Maria. 21
“Engkau memang cantik baik wajah maupun hatimu seperti Bunda Maria.” “Saya makhluk berdosa ini tidaklah berarti apa-apa di hadapan Bunda Maria yang suci. Karena itu Anda jangan menyamakan saya dengan Bunda Maria.” “Baiklah.
Aku
tidak
akan
melakukannya
lagi
bila
engkau
tidak
menginginkannya,” kata Mrs. Vye. Tak lama kemudian kata-kata Mrs. Vye menjadi kenyataan. Mereka terus menyusuri tepi sungai itu. Beberapa orang yang berjumpa dengan mereka tampak terkejut sewaktu melihatnya. Mereka semakin percaya bahwa Maria adalah bidadari utusan dewa ketika melihat wajah gadis itu yang cantik dan keanggunannya. “Ia benar-benar bidadari utusan dewa,” bisik beberapa orang. Penduduk Obbeyville menjadi gempar lagi tatkala gadis itu keluar rumah untuk pertama kalinya itu. Sebelumnya ia hanya berada di pondok Mrs. Vye. Setiap hari ia hanya berbaring untuk memulihkan kesehatannya. Sebelumnya hanya mereka yang telah menolongnyalah yang melihat wajahnya. Saat itu mereka tidak sempat memperhatikan wajahnya. Mereka sibuk menolongnya. Hingga pagi ini hanya Mrs. Vye dan Lady Debora yang telah melihatnya. Mrs. Vye selalu memuji kecantikkan Maria, sedangkan Lady Debora tidak pernah mempedulikan kata-kata Mrs. Vye yang memuji kecantikkan Maria karena ia menganggap dirinya paling cantik di kerajaan ini. Tetapi sebenarnya Lady Debora juga merasa iri melihat rambut Maria yang selalu bersinar cemerlang. Namun keangkuhan Lady Debora tidak mengijinkannya untuk menunjukkan perasaan irinya itu dengan jelas. Sebagai pelampiasan atas kekesalannya melihat rambut Maria yang indah, ia memperlakukan gadis itu sebagai orang yang lebih rendah kedudukannya dari dirinya. Ia membenci Maria. Kebenciannya kepada Maria memang tidak pernah diutarakannya secara langsung tetapi sikapnya membuat Maria mengetahui perasaan benci dan iri pda wanita itu. Walaupun telah mengetahui hal itu Maria tetap diam. Ia hanya tersenyum bila melihat wajah Lady Debora yang berusaha menutupi kebenciaannya bila mereka bertemu. Maria menduga kebencian Lady Debora itu karena ia telah membuat 22
keadaan keluarga Sidewinder semakin sulit. Mereka terus berjalan sambil menikmati udara pagi musim panas yang hangat hingga Mrs. Vye berhenti. Saat itu mereka tak jauh dari pondok. “Di sinilah aku melihatmu tergeletak pingsan,” kata Mrs. Vye. Maria memandangi tepi sungai yang ditunjuk Mrs. Vye. Tepi sungai itu tampak lebih dangkal daripada tepi sungai yang lainnya. Beberapa ikan berenang di antara bebatuan di dasar sungai. Airnya yang jernih berkilaukilau memantulkan cahaya matahari. Mrs. Vye melihat Maria tampak berusaha mengingat sesuatu, “Jangan sedih. Lambat laun ingatanmu akan pulih kembali. Mari kita melanjutkan perjalanan panjang kita.” Mereka berdua berjalan menyusuri tepi sungai sambil bercerita mengenai keindahan Sungai Alleghei. Mereka tidak mempedulikan orangorang yang berbisik di belakang mereka. Mereka tampak menikmati keindahan sungai itu. Matahari telah menyingkapkan langit gelap di barat. Langit biru tampak cerah berhiaskan awan putih. Mrs. Vye terkejut melihat langit telah terang. “Aku harus segera pergi ke Sidewinder House. Aku telah terlambat. Bila engkau ingin terus menyusuri tepi sungai ini, berhati-hatilah jangan terlalu dekat ke tepi sungai,” kata Mrs. Vye. Maria menganggukkan kepala mendengar pesan itu. Ia memandangi punggung Mrs. Vye yang semakin menjauh. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya lagi. Sesekali
ia
memandang
permukaan
sungai
yang
memantulkan
bayangan langit biru dan pepohonan di seberang sungai. Angin pagi musim panas yang hangat bertiup perlahan menerpa tubuhnya. Ia menghentikan langkah kakinya ketika melihat ikan-ikan berenang dengan lincahnya di sungai itu. Ikan-ikan itu tampak tidak terganggu dengan kedatangannya. Mereka terus berenang ke sana ke mari, berkejar-kejaran di antara bebatuan di dasar sungai. Maria merasa senang melihat ikan-ikan itu berenang ke sana ke mari di dasar sungai, sesekali mereka melompat ke permukaan air. Ia berdiri mematung di tepi sungai memandangi gerakan lincah ikanikan itu. Ia tenggelam dalam dunianya sendiri hingga tidak menyadari seseorang tengah terpesona di belakangnya. Pria itu terpesona pada seorang wanita yang berdiri di tepi Sungai 23
Alleghei. Wanita itu berdiri mematung seperti sedang memandangi sesuatu. Rambut wanita itu sangat panjang, panjangnya mencapai lutut. Baru sekali ini ia melihat rambut sepanjang rambut wanita itu. Rambut itu tampak bersinar seperti sinar matahari pagi. Ia senang melihat rambut panjang wanita itu melambai-lambai tertiup angin. Wanita itu berdiri dengan anggun di tepi sungai itu seperti ingin menyatu dengan alam. Ia ingin melihat wajah wanita itu, namun wanita itu terus berdiri memunggunginya walau kuda yang ditungganginya meringkik. Ia terus melihat wanita itu dari atas kudanya, ia tidak ingin mendekati wanita itu karena takut mengganggunya. “Hati-hati! Tepi sungai itu licin,” serunya ketika melihat wanita itu berjalan perlahan-lahan ke tengah sungai. Maria terkejut mendengar seruan itu, ia memandang ke arah asal seruan itu. Ia lebih terkejut ketika melihat seorang pria duduk di atas kudanya sembari
memandangi
wajahnya.
Dengan
cepat,
Maria
menghilangkan
keterkejutannya. Kemudian dengan tenang ia memandangi wajah pria itu. Wajah pria itu tampan, mata kelabunya memandang ramah kepadanya. Usia pria itu sekitar dua puluh lima tahunan. Ia melihat rambut hitam pria itu melambai tatkala ia turun dari atas kudanya. Pria itu semakin terpesona padanya ketika wanita itu memalingkan wajahnya. Wanita itu lebih muda dari yang diduganya. Wajah gadis itu tampak tenang, namun sesaat yang lalu ia melihat gadis itu terkejut. Mata yang keunguan jernih itu memandang tenang kepadanya seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Mata itu tampak serasi dengan wajah klasiknya yang cantik maupun rambut panjangnya yang bersinar seperti sinar matahari pagi. Ia segera turun dari kudanya dan mendekati gadis itu. Ketika ia semakin mendekat dengan gadis itu, ia menyadari mata gadis itu tidak lagi tampak keungunan melainkan benar-benar berwarna ungu. Wajah gadis itu tidak hanya memancarkan kecantikannya tetapi juga keanggunan. “Tepi sungai ini licin. Anda bisa terjatuh ke dalam sungai yang cukup dalam ini bila Anda terlalu dekat,” kata pria itu. “Terima kasih atas peringatan Anda,” kata Maria sembari tersenyum, 24
“Rupanya saya tidak sadar telah semakin mendekati sungai itu ketika memandang ikan-ikan itu.” “Suara Anda sangat merdu,” katanya. Pipi Maria memerah mendengar pujian pria itu. Ia merasa aneh ketika pria itu memujinya. “Terima kasih,” katanya tersipu. “Apakah saya boleh mengetahui nama Anda?” “Maafkan saya. Saya tidak dapat memberi tahu Anda, saya tidak dapat mengingat nama saya di masa lalu.” Pria itu terkejut. Ia telah mendengar berita diketemukannya seorang gadis oleh Mrs. Vye, ia juga telah mendengar gadis itu kehilangan ingatan. Sepanjang jalan, ia mendengar orang-orang berbicara mengenai gadis itu. “Saya senang sekali dapat bertemu Anda. Sepanjang jalan tadi, saya mendengar
orang-orang
membicarakan
Anda,”
katanya,
“Mereka
mengatakan Anda cantik sekali seperti seorang bidadari, beberapa di antara mereka percaya Anda adalah bidadari. Semula saya tidak mempercayai mereka. Namun setelah bertemu dengan Anda sendiri, saya percaya kepada mereka. Anda jauh lebih cantik dari yang mereka katakan.” “Terima kasih. Saya merasa tersanjung mendengar pujian Anda,” kata Maria. “Namun saya bukan seorang bidadari, saya hanyalah seorang manusia biasa seperti Anda.” “Anda
jangan
merendahkan
diri.
Anda
memang
pantas
mendapatkannya. Semua penduduk Obbeyville pasti setuju dengan pendapat saya.” “Saya, seorang gadis tak dikenal tidak pantas mendapatkannya,” kata Maria merendahkan diri. “Anda jangan berkata seperti itu. Penduduk Obbeyville telah mengenal Anda sebagai bidadari utusan dewa. Mereka membicarakan Anda sejak Mrs. Vye menemukan Anda tergeletak pingsan di sungai ini.” “Rupanya kedatangan saya yang tidak terduga ini membuat banyak masalah,” kata Maria dengan menyembunyikan kesedihannya di balik senyumnya yang menawan. Pria itu menggelengkan kepala, “Anda tidak membuat masalah apa pun. Penduduk daerah ini tidak mempermasalahkan kedatangan Anda yang tidak terduga ini. Mereka hanya membicarakan Anda sebab ini pertama kalinya ditemukan seorang gadis tergeletak pingsan di Sungai Alleghei yang dianggap 25
suci oleh penduduk.” “Saya berharap setelah saya tidak ada lagi yang mengalami hal ini.” Pria itu tersenyum padanya. “Saya juga berharap seperti itu,” katanya. Maria memandangi ikan-ikan yang berenang di dasar sungai. Ia terkejut ketika melihat bayangan matahari mulai tampak di permukaan sungai itu. Ia menengadahkan kepala ke langit biru dan melihat matahari bersinar menyilaukan di pucuk pohon. “Maafkan saya, saya tidak dapat berbicara lebih lama lagi dengan Anda. Saya harus terburu-buru agar tidak terlambat,” kata Maria. “Saya akan mengantar Anda pulang,” kata pria itu menawarkan bantuan. “Anda baik sekali, tetapi maafkan saya. Saya lebih menyukai berjalan menyusuri tepi sungai,” Maria menolak halus. “Saya dapat mengantar Anda dengan menyusuri sungai ini,” pria itu menawarkan bantuannya lagi. Sekali lagi, Maria menolak bantuan pria itu, “Terima kasih, tetapi saya lebih menyukai berjalan kaki menyusuri sungai yang indah ini.” Ia
mengucapkan
selamat
tinggal
kepada
pria
itu
kemudian
membalikkan badan dan berlari menuju pondok Mrs. Vye. Ia tidak ingin terlambat pada hari pertamanya. Dengan tergesa-gesa ia mengganti gaunnya dengan baju pelayan yang diberi Mrs. Vye malam sebelumnya. Baju pelayan itu sama seperti yang dikenakan Mrs. Vye. Baju itu berwarna hitam berhiaskan warna putih pada ujung lengannya yang panjang dan lehernya yang tinggi. Rambutnya yang panjang dikepangnya kemudian digelung rapi olehnya. Ia merasa aneh tatkala melakukan pekerjaan itu, seperti telah biasa melakukannya. Setelah merasa dirinya cukup rapi, Maria berjalan menuju Sidewinder House yang tak jauh dari pondok Mrs. Vye. Sehari sebelumnya, Mrs. Vye telah bercerita kepadanya mengenai rumah itu, ia juga berpesan agar Maria masuk melalui pintu belakang. Rumah yang cukup besar itu tampak tak terawat. Tumbuh-tumbuhan liar tumbuh di sekitar rumah itu. Sekilas rumah itu tampak seperti rumah tak berpenghuni. Warna putih pada dindingnya tampak mulai memucat. Daun ivy yang 26
tumbuh di dindingnya, masih menghijaukan dinding itu di beberapa tempat. Di beberapa tempat lainnya, daun ivy telah menguning. Atapnya tampak coklat kekuningan oleh lumut yang kering di musim panas. Maria mencoba membayangkan rumah itu di musim semi. Rumah itu akan tampak hijau oleh ivy yang menutupi dindingnya serta lumut. Tumbuhan-tumbuhan liar menambah kesan suramnya rumah itu. Sidewinder House akan tampak rimbun di musim semi tetapi tampak gersang dan tak terawat di musim panas. Tidak dapat dibayangkan oleh Maria seperti apakah rumah itu di musim dingin. Rumah itu akan tampak putih dan sepi tanpa tumbuhan yang bertahan hidup. Seluruh halaman Sidewinder House yang luas akan tampak putih rata tanpa ranting semak-semak yang belum menghilang. Suasana Sidewinder yang tampak dari luar seperti menggambarkan musim yang sedang berjalan. Di musim semi rumah itu tampak rimbun oleh tumbuhan liar. Di musim panas tumbuhan mulai berkurang dan puncaknya adalah di musim gugur, di mana hampir semua tanaman mati. Di musim dingin rumah itu akan tampak putih oleh salju. Dari keseluruhan yang tampak dari luar, hanya pintu depan yang terlihat masih baik. Pintu kayu itu berdiri dengan kokoh di tempatnya. Di sekujur tubuhnya terdapat ukiran yang indah. Pegangan pintu yang terbuat dari besi berwarna keemasan itu tampak indah. Maria ingin memperhatikan lebih teliti Sidewinder House dari luar tetapi ia tidak melakukannya. Ia tidak ingin terlambat tiba di kamar Lady Debora. Ia segera memutar ke belakang rumah itu dan dengan mudah ia dapat menemukan pintu belakang rumah itu. Ia terkejut ketika membuka pintu itu dan mendapati dirinya berada di sebuah dapur yang gelap. Maria melihat sekeliling dapur yang tampak kotor di bawah siraman sinar matahari. Sebuah meja beserta kursi-kursi tua yang mengelilinginya. Meja itu tampak seperti akan hancur bila sebuah benda diletakkan di meja jati itu. Peralatannya yang juga kuno tampak tak terawat. Suara langkah kaki yang akhir-akhir ini dikenalnya sebagai langkah kaki Mrs. Vye, terdengar semakin mendekati dapur. Mrs. Vye terkejut sewaktu melihatnya. “Selamat pagi, Mrs. Vye.” 27
“Apa yang kaulakukan di sini?” tanya Mrs. Vye. “Saya tidak ingin terlambat tiba di kamar Tuan Puteri,” jawab Maria. Mrs. Vye tertawa mendengar jawaban Maria seolah-olah jawaban yang diberikan Maria itu lucu. Maria
kebingungan
melihat
Mrs.
Vye
tertawa,
namun
ia
menyembunyikan kebingungannya di balik wajahnya yang tenang. “Apakah Anda mau memberi tahu mengapa Anda tertawa?” tanya Maria sopan. “Jangan khawatir, saya tidak menertawakanmu. Pergilah berjalan-jalan lagi.” “Mengapa Anda menyuruh saya berjalan-jalan lagi? Bukankah saya harus melayani Tuan Puteri bila ia bangun?” “Pergilah berjalan-jalan lagi. Hari masih pagi, Tuan Puteri masih tidur.” “Matahari telah tinggi di langit yang cerah. Sinarnya juga telah merata di seluruh permukaan bumi ini pertanda hari telah siang.” “Rupanya aku lupa memberi tahumu,” kata Mrs. Vye, “Bagi mereka, saat ini masih terlalu pagi untuk bangun. Mereka biasa bangun sekitar pukul sebelas. Engkau harus mengerti bahwa kedua majikan kita itu pemalas.” Mrs. Vye duduk di sebuah kursi kayu yang tampak tua sekali. Ia melihat Maria sedang memandangi sekeliling dapur. “Keadaan rumah ini telah banyak berubah. Dulu rumah ini sangat indah, terindah di Obbeyville. Namun sekarang keadaannya tampak menyedihkan.” Mrs. Vye mendesah sedih kemudian melanjutkan: “Dulu di sini banyak pelayan. Ada yang bertugas merawat halaman, ada yang khusus membersihkan Ruang Besar, dan masih banyak pelayan dengan tugasnya masing-masing. Namun sejak kematian Baron Marx Sidewinder, segalanya berubah. Perlahan-lahan jumlah pelayan menurun karena dipecat Yang Mulia. Ia mengatakan mereka tidak berguna dan masih banyak alasan lagi yang diberikan pada saya.” Mrs. Vye berhenti untuk meredakan amarahnya kemudian melanjutkan ceritanya, “Kini pelayan di rumah ini hanya beberapa orang. Aku yang bertugas sebagai pengurus rumah tangga merangkap sebagai koki. Seorang pelayan pribadi Yang Mulia dan dua pelayan lain yang bertugas menjaga kebersihan rumah ini, mereka juga merangkap sebagai tukang kebun.” “Saat ini pelayan di rumah ini bertambah lagi satu,” kata Maria tersenyum. 28
Mrs.
Vye
mengangguk
sedih
membenarkan
kata-kata
Maria.
Sebenarnya, ia tidak rela Maria menjadi pelayan Lady Debora tetapi karena tidak ada lagi jalan untuk membuat Baroness Lora membiarkan gadis itu tetap tinggal di pondoknya. Maka ia terpaksa menyetujuinya. “Saat ini engkaulah yang paling muda di antara kami. Kami semua sudah tua,” kata Mrs. Vye. “Apakah engkau mau sarapan? Aku akan menyiapkannya untukmu.” Maria belum mengatakan apa-apa tatkala Mrs. Vye sudah berdiri dan mulai menyiapkan sarapan baginya. Maria duduk di kursi yang mengelilingi sebuah meja kayu. “Apakah saya boleh mengelilingi rumah ini? Saya ingin melihat-lihat keadaan rumah ini,” tanya Maria setelah menghabiskan sarapan paginya. “Tentu saja. Saya akan mengantarmu mengelilingi rumah ini,” kata Mrs. Vye. Mereka meninggalkan dapur melalui pintu tempat Mrs. Vye keluar tadi. Di balik pintu itu terdapat sebuah lorong. Sinar matahari yang menerobos masuk melalui gorden-gorden yang belum dibuka, menyebabkan suasana di dalam lorong itu menjadi remang-remang. Gorden itu tampak indah, kainnya yang
berwarna
jingga
tampak
sejiwa
dengan
sinar
matahari
yang
menimpanya. “Matahari telah tinggi, tetapi mengapa gordennya belum dibuka?” tanya Maria. “Yang Mulia tidak menyukai sinar matahari masuk bila ia belum bangun. Ia mengatakan sinar matahari itu mengganggu tidurnya. Walaupun kamar Yang Mulia berada di tingkat dua, tetapi ia tetap melarang kami membuka gorden bila ia belum bangun,” kata Mrs. Vye menjelaskan. Maria memandang tembok yang membatasi lorong itu di sisi lainnya. Ia melihat warna tembok itu lebih muda dari yang lainnya di beberapa tempat. Warna tembok yang lebih muda itu berbentuk sebuah kotak. “Ke mana perginya lukisan-lukisan yang menggantung di tembok ini?” tanya Maria. Mrs. Vye terkejut mendengar pertanyaannya. “Bagaimana engkau tahu dulu di tembok ini tergantung banyak lukisan?” tanya Mrs. Vye. “Beberapa
bagian
yang
berwarna
lebih
muda
dari
tembok
ini
membentuk sebuah kotak,” jawab Maria. “Saya menduga dulu tergantung lukisan di sini.” 29
“Ya, engkau benar dulu di sini tergantung banyak lukisan. Satu per satu lukisan itu diambil oleh Yang Mulia,” kata Mrs. Vye dengan sedih. “Ia tidak pernah mengatakan apa-apa kepadaku, namun aku tahu ia menjual lukisan itu untuk dapat berfoya-foya.” Mereka melanjutkan perjalanannya. Tiap ruang yang mereka masuki tampak lenggang. Mrs. Vye mengatakan barang-barang di rumah ini juga telah habis dijual Baroness Lora. Ia tampak sangat sedih ketika menceritakan keadaan tiap ruang itu sewaktu Baron Marx Sidewinder masih hidup. Hanya Ruang Perpustakaan yang tidak tampak lenggang. Beberapa rak masih dipenuhi buku. Satu-satunya yang janggal di ruang itu adalah tidak adanya meja ataupun kursi. Yang ada hanyalah rak-rak yang mengelilingi ruang itu. Mrs. Vye mengatakan dari dulu keluarga Sidewinder suka membaca buku karena itu mereka membuat Ruang Perpustakaan menjadi ruang terbesar di rumah ini. Baroness Lora tidak pernah memasuki ruangan ini. Ia hanya pernah sekali masuk ke ruang ini yaitu ketika ia memerintahkan beberapa pelayan untuk mengeluarkan meja dan kursi yang terdapat di ruang itu. Maria melihat buku-buku yang terdapat di ruang itu. Ia berharap dapat membaca buku-buku itu suatu saat. Ia merasa senang membayangkan membaca buku-buku yang jumlahnya tak seberapa banyak itu tetapi ia juga merasa sedih ketika melihat buku-buku itu tampak tak terawat. Kemudian mereka menuju ruang yang lain. Kata Mrs. Vye ruang itu adalah Ruang Duduk. Walaupun di ruangan itu terdapat beberapa kursi dan sebuah meja yang tampak antik, namun ruang itu tetap tampak lenggang. Di ruangan itu tidak tampak benda yang lain selain kursi-kursi antik dan sebuah meja yang terletak di tengah ruangan. Kaki kursi-kursi itu terbuat dari kayu yang dipahat sangat halus dan indah. Demikian pula meja antik itu. Meja itu tampak sangat indah. Ukiran kaki meja itu berbentuk seekor ular. Lidah ular itu tampak menjulur sedikit di lantai. Ekornya menyangga permukaan meja yang pada tepinya terukir daundaun ivy yang indah. “Yang Mulia menerima selalu tamunya di sini, karena itu ia tidak menjual meja itu,” kata Mrs. Vye. Pada salah satu sisi ruang itu terdapat sebuah pintu, Mrs. Vye membuka pintu itu. Pintu itu berderit tatkala Mrs. Vye membukanya. 30
“Ini adalah Ruang Besar,” katanya kemudian ia mengajak Maria memasuki ruang itu. Seorang wanita yang sedang membersihkan tangga yang menuju tingkat dua, menoleh sewaktu mendengar pintu terbuka. Wanita tua itu tampak berkeringat setelah bersusah payah membersihkan tangga itu. Wanita itu lebih muda beberapa tahun dari Mrs. Vye. Rambutnya telah memutih seperti Mrs. Vye. Wajahnya tampak terkejut ketika melihat Maria. Wanita itu mendekat. “Selamat pagi, Mrs. Vye. Apakah ia gadis yang sering kauceritakan itu?” tanya wanita itu sambil memandang Maria. “Ya. Bagaimana? Aku tidak berbohong, bukan?” kata Mrs. Vye. “Ya, engkau benar. Ia cantik sekali seperti bidadari. Pantas saja penduduk Obbeyville menjadi gempar tadi pagi. Mereka semakin percaya gadis ini utusan para dewa. Aku juga semakin percaya,” kata wanita itu. “Terima kasih. Tetapi saya bukan bidadari, saya manusia biasa seperti Anda.” “Engkau benar lagi, Mrs. Vye. Ia benar-benar rendah hati,” wanita itu kemudian bertanya kepada Maria, “Siapa namamu?” “Mrs. Vye memberi nama Maria pada saya,” kata Maria. “Maria? Nama yang sama dengan nama putrimu?” kata wanita itu terkejut. Mrs. Vye menganggukkan kepala. “Maria, ini Mrs. Fat. Sebenarnya namanya bukan Mrs. Fat, kami memanggilnya begitu karena tubuhnya yang gemuk ini. Ia dan Mr. Liesting bertugas menjaga kebersihan rumah ini,” kata Mrs. Vye memperkenalkan Mrs. Fat kepada Maria. Maria mengulurkan tangannya kepada Mrs. Fat. Mula-mula Mrs. Fat tampak ragu melihatnya, tetapi kemudian ia menjabat tangan Maria. “Senang berkenalan dengan Anda, Mrs. Fat,” kata Maria sembari tersenyum. “Senang berkenalan denganmu juga,” kata Mrs. Fat, “Jangan terlalu sopan pada saya. Saya tidak biasa menghadapi orang yang bersikap sopan kepada saya.” Mrs. Vye tersenyum pada Maria kemudian berkata, “Engkau tidak akan dapat menghentikannya, Mrs. Fat. Aku juga telah memintanya agar tidak terlalu sopan terhadapku. Tetapi ia selalu bersikap sopan.” “Sudah sewajarnya saya bersikap sopan kepada orang yang lebih tua dari saya,” kata Maria merendahkan diri. 31
“Aku akan memanggil Mr. Liesting. Ia pasti senang dapat bertemu denganmu, Maria. Setiap hari ia selalu mengharapkan dapat bertemu denganmu. Tetapi Mrs. Vye melarangnya menjengukmu,” kata Mrs. Fat. “Saat itu Maria belum sembuh. Aku ingin kalian bertemu dengannya bila ia sudah sembuh,” kata Mrs. Vye. “Itulah yang sering kaukatakan kepada kami,” katanya, “Tunggulah di sini. Aku rasa ia ada di halaman.” Mrs. Fat membuka pintu berat yang dilihat Maria dari luar Sidewinder House. Wanita itu tampak senang sekali dapat memanggil temannya untuk menemui Maria. Maria melihat sekelilingnya setelah Mrs. Fat meninggalkan ruangan itu. Ia memandang teras yang terdapat di balik pintu itu. Beberapa pilar menyangga langit-langit teras depan. Pada batang tubuh pilar itu merambat dedaunan, menyebabkan pilar itu tampak berwarna hijau di bagian bawah. Halaman yang terdapat di depan rumah tampak lebih tak terawat dibandingkan yang terlihat Maria tadi. Tumbuhan-tumbuhan liar tumbuh dengan suburnya mengelilingi pohon yang sengaja ditanam di halaman. Berbagai bunga liar musim panas tampak bermunculan di antara selasela warna hijau dedaunan. Bunga itu menambah warna halaman depan Sidewinder House. Dari kejauhan, Maria merasa bunga itu akan tampak cantik bila dirangkai dalam sebuah jambangan. Kemudian Maria melihat sekeliling Ruang Besar. Ruang Besar ini tampak lebih bersih dari ruangan yang lain. Maria menduga karena Mrs. Fat baru membersihkan ruang ini. Ia tertarik pada salah satu sudut ruangan itu. Pada sudut itu seperti pernah diletakkan sebuah benda yang sangat besar. Tembok sudut itu tampak lebih muda dari tembok yang lain. Lantai sudut itu tampak seperti tergores sebuah benda. “Dulu di situ ada sebuah piano,” kata Mrs. Vye dengan sedih ketika mengetahui Maria melihat sudut kiri ruangan itu. Mrs. Vye tidak mengatakan apa yang terjadi pada piano itu. Tetapi Maria telah mengetahuinya.
Kemudian ia memandang
tangga
yang sedang
dibersihkan Mrs. Fat sewaktu mereka tiba di ruang ini. Tangga kayu itu berdiri dengan kokoh di tempatnya. Pada tepi kanan-kiri tangga itu terdapat pagar yang indah. Sepanjang pagar itu terukir badan seekor ular, di ujung ukiran berbentuk kepala ular. Motif yang sama seperti 32
meja antik yang terdapat di Ruang Duduk. Sekali lagi Maria melihat pintu depan. Sekali lagi pula ia melihat ukiran ular. Pada daun pintu terukir seekor ular cobra sedang mengintai mangsanya di balik kerimbunan rumput. Lidah ular itu terjulur seolah-olah menikmati mangsanya. Taringnya yang tajam tersembul di antara lidahnya yang panjang, siap menerkan mangsanya. Mata ular itu menatap tajam kepada mangsanya. Membuat Maria teringat pada tatapan tajam namun ramah pria yang ditemuinya di tepi Sungai Alleghei pagi tadi. Maria teringat wajah pria itu dan senyumannya. Maria merasakan suatu perasaan aneh tumbuh dalam hatinya tatkala ia bertemu pria itu. Maria merasa malu dan segera menghilangkannya dari pikirannya. Kemudian melanjutkan penelitiannya terhadap ukiran daun pintu itu. Kini diperhatikannya tubuh sang ular. Sisik ular itu tampak seperti sisik asli.
Sisik
itu
diukir
dengan
teliti
sehingga
menyerupai
ular
yang
sesungguhnya. Sang pengukir sepertinya bermata tajam sehingga tidak ada suatu bagian pun dari tubuh sang ular yang terlewat. Sebelumnya Maria telah menyadari kemiripan nama keluarga ini dengan nama seekor ular. Namun kali ini ia baru memahaminya dengan baik. Ia menduga keluarga ini memiliki lambang berbentuk ular. Hampir semua ukiran kayu yang ditemukannya di rumah ini berbentuk ular. Maria menyadari kemiripan sifat Baroness Lora dan Lady Debora dengan seekor ular. Tajam, berbisa, tidak pernah puas, selalu tampil dengan segala kemegahannya. Mata ular di daun pintu depan yang menatap tajam pada mangsanya, membuatnya semakin merasakan kemiripan kedua orang itu dengan seekor ular. Mata kedua wanita itu juga selalu menatap lekat-lekat mangsanya. Perbedaannya adalah seekor ular mengincar tubuh sang mangsa, sedangkan Baroness Lora dan Lady Debora mengincar harta sang mangsa. Sisik ular yang selalu berganti bila telah tua bagaikan Baroness Lora yang berganti orang setelah harta orang itu habis. Sisik di sekujur tubuh ular yang berkilauan bagaikan mereka berdua yang selalu tampil dengan segala kemewahan. Seseorang
tampak
berjalan
mendekat
ketika
Maria
memandang 33
halaman depan rumah. Di samping orang itu adalah Mrs. Fat. Wajah orang yang berjalan di sisi Mrs. Fat tampak berseri-seri. Pria itu juga tampak tua. Rambutnya yang tipis telah memutih semuanya. Janggutnya yang lebat dan memutih.
34
3
“Selamat pagi,” sapa pria tua itu ketika memasuki Ruang Besar. “Selamat pagi, Tuan,” balas Maria sembari menganggukkan kepalanya dengan hormat. “Ia benar-benar mengagumkan,” kata pria itu. “Terima kasih, Tuan. Saya merasa tersanjung mendengar pujian Anda,” kata Maria. “Sayang Mrs. Dahrien tidak ada di sini,” kata Mrs. Fat, “Ia tidak dapat bertemu Maria sebelum Tuan Puteri bangun.” Mrs. Vye membesarkan hati Mrs. Fat, “Jangan khawatir! Esok ia akan dapat bertemu dengan Maria sebelum Tuan Puteri bangun. Nanti ia juga dapat bertemu dengannya.” “Apakah engkau yakin, Mrs. Vye?” kata Mrs. Fat ragu-ragu. “Aku tidak tahu persis. Tetapi kurasa mereka akan dapat bertemu,” kata Mrs. Vye meyakinkan Mrs. Fat. Dari percakapan kedua wanita itu, Maria menduga Mrs. Dahrien sedang melayani Baroness Lora. Ia juga menduga Lady Debora jarang berada di rumah dan ia sebagai pelayan Lady Debora, harus mengikuti ke mana pun perginya sang majikan. Pria tua yang sedari tadi mengamati Maria itu tampak terkejut sewaktu menyadari Maria sedang mengenakan pakaian pelayan yang sama seperti yang dikenakan Mrs. Vye dan Mrs. Fat. “Mengapa engkau mengenakan pakaian pelayan padanya?” tanyanya pada Mrs. Vye. “Ia mulai hari ini bekerja sebagai pelayan Tuan Puteri,” kata Mrs. Fat. “Apa!” seru pria tua itu terkejut. “Rupanya aku lupa menceritakan hal ini kepadamu. Aku memang pelupa,” keluh Mrs. Vye, “Tuan Puteri meminta ia menjadi pelayannya bila ingin tetap tinggal di sini. Semula aku tidak setuju tetapi apa yang dapat kulakukan. Maria tidak dapat mengingat masa lalunya dan aku tidak dapat membiarkannya tanpa arah.” “Mereka benar-benar kejam,” kata pria tua itu geram. 35
“Tetapi ia tetap tampak cantik,” kata Mrs. Fat, “Baju pelayan yang berwarna hitam ini membuat kulitnya menjadi tampak lebih putih. Ia tetap tampak anggun dalam baju itu.” “Ya, ia tetap tampak lebih cantik dari Tuan Puteri walau ia mengenakan baju pelayan.” “Aku terlalu membesar-besarkan seperti yang kalian katakan, bukan? Ia memang lebih cantik dari Tuan Puteri. Aku berani mengatakan ia gadis tercantik di kerajaan ini,” kata Mrs. Vye. “Kalian jangan terlalu memuji saya. Saya tidak secantik yang Anda katakan. Masih banyak gadis yang lebih cantik dari saya,” kata Maria merendahkan diri. “Jangan terlalu merendahkan diri, Maria,” kata Mrs. Fat, “Engkau memang cantik. Tidak seorangpun yang meragukannya.” “Bila ada yang tidak mengatakan engkau cantik, ia pasti buta,” tambah Mr. Liesting. “Sayang aku tidak dapat melihat rambutmu yang panjang itu. Kata Mrs. Vye rambutmu sangat panjang dan indah. Aku percaya rambutmu sangat indah. Walaupun engkau menyanggulnya, tetapi rambutmu masih tampak berkilauan seperti sinar matahari yang terang.” “Mengapa engkau menyanggulnya?” tanya Mrs. Vye. “Saya lebih senang menyanggulnya bila hendak bekerja.” “Apakah
engkau
menyanggulnya
sendiri?”
tanya
Mrs.
Vye
lagi,
“Mengapa engkau tidak memberi tahu aku? Aku bisa menyanggulkan rambutmu.” “Terima kasih, lain kali saya akan mengingatnya. Tetapi saya tidak ingin merepotkan Anda, saya sudah biasa menyanggul sendiri rambut saya.” “Aku sependapat dengannya. Engkau sudah cukup repot mengurus rumah ini dan Tuan Puteri. Lagipula ia pandai menyanggul. Aku yakin engkau tidak dapat menyanggul seperti itu.” “Apakah Anda juga melayani Tuan Puteri selain kedua tugas Anda?” “Tuan Puteri takkan mau bila ia diminta mengurus dirinya sendiri. Ia meminta Mrs. Dahrien melayaninya juga. Tetapi karena Mrs. Dahrien sudah sangat tua, ia tidak dapat melayani dua orang dalam satu waktu.” “Karena itu aku mengambil alih tugasnya. Mrs. Fat dan Mr. Liesting sudah kesulitan membersihkan rumah yang besar ini. Satu-satunya orang yang dapat melakukannya hanya aku.” 36
“Apakah Mrs. Dahrien pengasuh Baroness Lora sejak kecil?” Mrs. Fat tersenyum pada Maria. “Rupanya Mrs. Vye memang sudah sangat tua. Ia lupa memberi tahumu bahwa Mrs. Dahrien adalah pelayan yang paling lama tinggal di sini dari kami semua. Ia juga lebih tua dari Mrs. Vye.” “Yang Mulia bukan berasal dari keluarga kaya. Ia putri seorang petani kecil di Obbeyville. Dan ia sangat beruntung dapat mewujudkan keinginannya sejak kecil, menjadi kaya dan berkuasa.” “Lebih baik kita berbicara di dapur saja. Di sini kurang leluasa,” usul Mr. Liesting melihat Mrs. Vye dan Mrs. Fat tidak akan berhenti bercerita pada Mrs. Vye. Mr. Liesting mengajak Maria kembali ke dapur. Kali ini mereka tidak melalui Ruang Duduk melainkan melalui sebuah lorong di dekat tangga yang berhubungan dengan dapur. Lorong itu terus memanjang di bagian belakang rumah hingga dapur. Mereka mengatakan kepada Maria bahwa lorong ini dibuat untuk memudahkan para pelayan bila dipanggil. Para pelayan biasanya berkumpul di dapur bila tidak ada yang dapat dilakukan. Mereka berbicara banyak kepada Maria dan seperti halnya Mrs. Vye, mereka juga senang berbicara kepada gadis itu. Mereka juga terkejut tatkala mengetahui pengetahuan Maria yang sangat luas. Ketiga orang itu telah dibuat kagum oleh Maria dengan pembicaraannya mengenai mitos yang ada di Obbeyville. Maria seperti berasal dari mitos itu sendiri. Ia lebih banyak mengetahui mengenai mitos itu daripada ketiga orang itu yang telah tinggal di Obbeyville selama puluhan tahun. “Aku ragu-ragu engkau seorang manusia. Aku rasa engkau benar-benar seorang bidadari yang berasal dari Holly Mountain,” kata Mr. Liesting. “Engkau lebih banyak mengetahui mengenai mitos itu daripada kami bertiga yang telah tinggal puluhan tahun di sini,” kata Mrs. Vye. “Apakah engkau berasal dari Holly Mountain?” tanya Mrs. Fat. “Apakah engkau benar-benar utusan para dewa?” tanya Mr. Liesting. Maria
tersenyum
mendengar
ketiga
orang
itu
terus
menerus
mengajukan pertanyaan dan pendapatnya tanpa memberi kesempatan padanya untuk mengajukan pendapatnya sendiri. Gadis itu ingin mereka menghentikan pujiannya, namun mereka 37
sepertinya tidak ingin berhenti memujinya. Maria diam saja. Ia bukan menyukai pujian mereka tetapi karena ia tahu tidak sopan bila ia menyela pembicaraan mereka. Ia tidak mendengarkan perkataan mereka. Ia sibuk melamunkan orang yang bertemu dengannya di tepi Sungai Alleghei tadi pagi. Maria ingin bertemu dengan pria itu dan berbincang-bincang lagi. Ia merasa pembicaraan mereka belum selesai. Suara bel mengejutkan mereka. Maria lebih terkejut daripada tiga orang yang sibuk bercakap-cakap. Ia tersentak ketika bel itu berulang-ulang berbunyi dengan nyaring. “Tuan Puteri sudah bangun. Lebih baik engkau segera menemuinya,” kata Mrs. Fat. Maria beranjak dari kursinya dan hendak menuju kamar Lady Debora ketika Mrs. Vye berkata, “Bawalah serta sarapan untuk Tuan Puteri. Ia senang sarapan di atas tempat tidurnya.” “Duduklah dulu sembari menanti Mrs. Vye selesai menyiapkan sarapan untuk Tuan Puteri.” “Terima kasih, Mrs. Fat. Tetapi saya lebih menyukai membantu Mrs. Vye daripada menanti.” Maria mendekati Mrs. Vye dan mulai membantunya. Mrs. Vye terperangah ketika tangan gadis itu dengan trampil mengiris roti yang ada di dekatnya. Sekali lagi ia membuat ketiga orang itu kagum padanya. Ia sangat terampil di dapur seakan-akan ia sering menghabiskan waktunya dengan berada di dapur. Mereka juga melihat Maria menata segalanya di nampan dengan manis. “Sebenarnya siapakah engkau?” tanya Mr. Liesting. Maria tersenyum pada Mr. Liesting. “Saya tidak tahu siapakah saya. Saya hanya mengetahui bahwa saya seorang gadis yang bernama Maria.” Sekali lagi bel berbunyi nyaring. Mrs. Vye segera mengajak Maria ke kamar Lady Debora yang berada di tingkat dua. Mereka melalui lorong yang menuju dekat tangga. Mrs. Vye membawa nampan yang baru mereka siapkan. Sepanjang jalan wanita tua itu memperingati dan berpesan kepada Maria yang memperhatikan segala yang dikatakannya. Tidak ada suatu pesanpun yang luput dari pendengaran Maria. 38
Maria menjinjing sedikit ujung bajunya tatkala ia menaiki tangga. Baju yang kebesaran sedikit itu membuatnya agak kesulitan sewaktu menaiki tangga kayu itu. Di ujung tangga atas itu ada sebuah pintu berukiran ular yang sedang mengerami anak-anaknya. Ular betina itu melingkari telur-telurnya erat-erat dengan tubuhnya. Matanya mengawasi sekitarnya untuk melindungi anaknya yang belum menetas dari bahaya. Berdasarkan ukiran pada pintu itu, Maria menduga kamar itu adalah kamar Baroness Lora. Ukiran pada pintu itu bagaikan Baroness Lora yang selalu menjaga putrinya dengan baik. Maria dapat merasakan Baroness Lora menyayangi Lady Debora dengan cara yang salah. Di sebelah kamar itu ada sebuah pintu yang berukiran ular juga. Beberapa ular kecil mengelilingi seekor ular betina yang menjaga mereka dengan matanya yang tajam. Beberapa ular kecil itu tampak bercanda dengan induk mereka. Seluruh pintu di rumah ini berukiran berbagai tingkah laku ular dan mereka yang menempati ruang itu memiliki sifat yang sesuai dengan ukiran ular di pintu kamar mereka. Ular yang diukir pada pintu kamar Baroness Lora maupun Lady Debora benar-benar membuat kedua orang itu makin jelas kemiripannya dengan ular. Maria merasa geli menyadari semua itu. Seolah-olah pendiri Sidewinder House
telah
meramalkan
masa
depan.
Kelak
di
keturunan
keluarga
Sidewinder akan ada yang benar-benar memiliki sifat seperti seekor ular yang buas. Dan kedua orang itu entah sadar atau tidak telah menempati kamar yang ‘khusus’ untuk mereka. Sebelumnya ia telah mendengar dari Mrs. Vye bahwa seluruh keturunan Sidewinder memang memiliki karakter seperti ular. Namun Maria merasa kedua wanita itu lebih mirip ular daripada keturunan Sidewinder yang lain. Mrs. Vye mengetuk perlahan pintu kamar yang berukiran ular-ular kecil dan seekor induk ular. Tak lama kemudian terdengar jawaban enggan dari dalam kamar. Maria mengikuti Mrs. Vye masuk ke kamar Lady Debora. Di balik wajah Maria yang tenang tersembunyi keterkejutannya melihat keadaan kamar Lady Debora. Kamar itu tampak suram. Sebuah permadani yang lembut menutupi seluruh permukaan lantai kamar Lady Debora. Tirai jendela yang terletak tepat di samping tempat tidur Lady Debora belum dibuka. Sinar matahari 39
tampak bersusah payah menembus tirai tebal itu. Sebuah meja rias yang antik terletak tak jauh dari tempat Lady Debora berbaring. Di tepi kaca yang terletak di meja terukir dua ekor ular yang saling mengelilingi tepi kaca bulat itu. Seekor ular dari tepi kiri dan yang lain dari tepi kanan. Kepala mereka saling melilit di ujung atas. Sebuah kursi tanpa sandaran berada di bawah meja itu. Kursi bulat itu memiliki ukiran yang sama dengan kaca rias. Sedangkan di atas meja rias terdapat beberapa hiasan rambut emas yang berbentuk bunga daisy. Sebuah meja lain terletak di tengah kamar. Permukaan meja itu tampak halus dan mengkilat. Sisik-sisik ular mengelilingi tepi meja itu. Ukiran kaki meja itu sama seperti ukiran pada meja di Ruang Duduk. Di atas meja itu berserakan beberapa barang. Sebuah perhiasan emas berkilauan tertimpa sinar matahari yang memaksa menerobos masuk. Liontin kalung itu berbentuk bunga besar dengan sebuah batu ruby merah di tengahnya. Kalung itu membuat Maria merasa heran bagaimana Lady Debora bisa mengenakannya. Bila Lady Debora mengenakannya, tentu lehernya tampak tertelan oleh liontin yang sebesar bunga mawar kecil itu. Di sampingnya, sebuah topi berwarna jingga tampak menyala tertimpa sinar matahari. Topi itu tampak indah sekali dengan sebuah bulu berwarna biru yang menghiasinya. Sebuah gaun yang indah juga terletak di meja itu. Gaun yang berwarna biru terang itu diletakkan sembarangan di meja. Seakan-akan sudah tidak berguna lagi. Selain itu masih ada sebuah pakaian berkuda yang terletak di atas meja itu dan sebuah cambuk berwarna hitam. Empat buah kursi mengelilingi meja persegi itu. Keempat kursi yang saling berhadap-hadapan itu berukiran ular piton pada kakinya dan kepala ular cobra pada sandarannya. Kepala ular itu tampak hidup. Mulutnya menengadah ke langit-langit kamar seakan-akan siap melahap apa pun yang jatuh dari langit-langit. Lidahnya yang panjang terjulur keluar untuk meneliti keadaan sekitarnya. Matanya yang tajam menatap langit-langit tanpa henti. Kemudian Maria memandang Lady Debora. Wanita itu memandang malas padanya dan Mrs. Vye, tanpa berusaha bangkit dari berbaringnya. Tubuhnya masih terbungkus selimut rapat-rapat. Rambutnya yang merah tergerai di atas bantalnya yang putih. Ia terlihat masih enggan membuka 40
matanya untuk memulai hari baru. Dengan malas ia bertanya, “Jam berapa sekarang?” “Hampir tengah hari,” jawab Mrs. Vye sambil meletakkan nampan di meja rias. “Apa!?” seru Lady Debora terkejut. “Sekarang hampir tengah hari,” ulang Mrs. Vye. “Mengapa engkau tidak membangunkan aku?” tanya Lady Debora panik. “Anda tidak berpesan apa-apa kepada saya.” Lady Debora sangat panik sehingga tidak melihat keberadaan Maria di kamarnya yang dengan tenang memperhatikan kejadian di depannya. Ia menduga hal ini biasa terjadi sebab Mrs. Vye tidak tampak gelisah melihat kepanikan Lady Debora. Ia juga menduga Lady Debora berjanji berkuda bersama seorang pria pagi ini tetapi ia lupa memberi tahu Mrs. Vye untuk membangunkannya pagi-pagi. Lady Debora menggerutu kesal. “Jangan banyak bicara lagi! Sekarang lekas bantu aku mempersiapkan diriku,” katanya sambil bangkit dari tempat tidurnya. Maria dengan cepat meraih pakaian berkuda yang ada di atas meja. Ia hendak membantu Lady Debora mengenakan pakaian itu, tetapi Mrs. Vye mengambil pakaian itu dari tangannya dan membantu Lady Debora. Mrs. Vye melakukannya dengan cepat sehingga Maria tidak dapat berbuat apa-apa untuk menghentikan wanita tua itu. Kemudian Mrs. Vye menyanggul rambut Lady Debora dan memberinya hiasan berbentuk daisy yang terletak di meja rias. Tanpa mengucapkan apa-apa, Lady Debora segera beranjak ke pintu setelah Mrs. Vye melakukan tugas-tugasnya. Maria memperhatikan Lady Debora yang tampak mencolok dengan topi bulu serta kalung yang semula terletak di atas meja di tengah kamar yang telah menjadi terang setelah tirai jendela dibuka oleh Mrs. Vye. Di pintu, ia berhenti dan menoleh pada Mrs. Vye. “Buang gaun yang ada di meja itu,” katanya. Mrs.
Vye
mengangguk
tanpa
mengatakan
apa-apa.
Ia
tidak
menghentikan Lady Debora meninggalkan kamarnya untuk sarapan. Ia meraih gaun yang terletak di meja tengah ruangan. “Sayang bila gaun ini dibuang. Ambillah dan kenakanlah,” kata Mrs. Vye 41
kepada Maria. Maria menggeleng. “Tuan Puteri mengatakan kepada kita untuk membuang gaun itu. Ia pasti marah bila kita tidak membuangnya,” katanya. “Ia tidak akan peduli bila gaun ini engkau kenakan. Ia tahu aku mengumpulkan
gaun-gaun
yang
dibuangnya,
tetapi
ia
tidak
pernah
mengatakan apa-apa kepadaku. Baginya gaun yang telah dibuang olehnya berarti sudah tidak berguna lagi,” kata Mrs. Vye. Maria menerima gaun yang disodorkan Mrs. Vye kepadanya. Ia belum mengatakan apa-apa ketika Mrs. Vye telah meninggalkan kamar Lady Debora. Ia mengikuti Mrs. Vye dengan membawa gaun itu. Mrs. Vye mengajak Maria ke sebuah ruangan di dekat dapur tempat ia menyimpan semua gaun yang telah dibuang Lady Debora dan Baroness Lora. Kata Mrs. Vye, sebelum Baroness Lora memasuki Sidewinder House, kamar itu adalah kamar pelayan. Namun karena jumlah pelayan yang semakin menurun, kamar itu tak terpakai. Kemudian ia menggunakan kamar itu untuk menyimpan semua gaun yang Baroness Lora dan Lady Debora buang. Sebuah lemari besar terletak di sudut ruangan yang kecil itu. Lemari yang berukiran ular itu tampak mencolok di kamar yang sempit itu. Almari itu seperti memenuhi kamar. Maria terkesima melihat gaun yang berjajar dalam almari itu. Walaupun almari itu besar, namun masih tidak dapat menampung seluruh gaun yang ada. Sebagian gaun itu dipindahkan Mrs. Vye ke almari yang lebih kecil yang terletak tepat di samping almari itu. Semula ia tidak dapat memahami mengapa kedua wanita itu memilih membuang gaun-gaun yang indah itu walaupun gaun itu masih dapat mereka kenakan. Namun setelah ia teringat pada ucapan Mrs. Vye mengenai kegemaran kedua wanita itu, ia mulai memahaminya. Tak
satu
gaunpun
yang
berwarna
lembut,
semuanya
berwarna
mencolok. Beberapa gaun berwarna putih tampak menonjol di antara gaungaun yang berwarna cerah. Mrs.
Vye
mengambil
salah
satu
gaun
putih
itu
kemudian
memberikannya kepada Maria. “Sudah sejak lama aku ingin memberikan gaun ini kepadamu. Aku tidak tahu apakah engkau akan menyukainya, tetapi aku berharap engkau mau mengenakannya.” 42
Gaun yang ditunjukkan Mrs. Vye kepada Maria tidak benar-benar putih. Gaun itu tampak berwarna putih dari kejauhan, namun sebenarnya gaun itu berwarna nila yang lembut. Gaun itu dicobakan Mrs. Vye padanya. “Gaun ini sesuai dengan tubuhmu yang langsing,” kata Mrs. Vye, “Sayang lengannya terlalu panjang dan pinggangnya terlalu besar. Aku akan menjahitnya sesuai dengan ukuranmu.” “Tidak apa-apa, Mrs. Vye. Biarkan gaun ini apa adanya. Saya lebih menyukai gaun ini apa adanya.” “Aku harus menjahitnya kembali, Maria. Ukuran pinggang gaun ini terlalu besar untukmu. Aku tidak menyangka Tuan Puteri lebih gemuk darimu,” kata Mrs. Vye memberi pengertian pada Maria. Maria tersenyum. “Rupanya gaun saya yang besar ini membuat saya tampak lebih gemuk.” “Tidak, bukan itu maksudku,” bantah Mrs. Vye, “Semula aku menyangka ukuran gaunmu sama seperti Tuan Puteri.” Maria terus memandang Mrs. Vye tanpa menghilangkan senyuman yang menghias wajahnya yang cantik. “Aku menduga usia kalian tidak terpaut terlalu jauh. Aku tidak tahu berapa usiamu dan aku tidak dapat menduganya lagi. Wajahmu seperti gadis yang berusia dua puluh tahunan, tetapi engkau bijaksana seperti orang yang telah berusia puluhan tahun.” Mrs. Vye menghela napasnya sebelum melanjutkan kata-katanya. “Sewaktu aku menemukanmu, aku menduga engkau berusia sekitar dua puluh tahun. Tetapi setelah beberapa hari tinggal bersamamu, aku menjadi tidak yakin engkau berusia sekitar dua puluhan, seperti dugaanku yang pertama.” “Mungkin saya benar-benar berasal dari Holly Mountain,” kata Maria bercanda. “Ya, itulah satu-satunya yang ada di dalam pikiranku mengenai asal usulmu. Aku tidak dapat menebak yang lain,” kata Mrs. Vye berterus terang, “Engkau tampak sangat misterius dan sering membuatku terkejut sekaligus kagum.” “Saya tidak merasa telah membuat Anda kagum pada saya. Apa yang saya lakukan terasa biasa bagi saya,” kata Maria merendahkan diri. “Mungkin engkau tidak merasakannya, tetapi engkau telah benar-benar 43
membuatku terkejut dan kagum.” Mrs. Vye tersenyum pada Maria, “Aku tidak pernah menduga engkau sangat ahli di dapur. Entah apa lagi kemampuanmu, tetapi yang pasti aku tidak dapat menebaknya.” “Saya tidak memiliki keahlian apa-apa di dapur, tadi saya hanya membantu Anda. Tanpa petunjuk dari Anda, saya tidak akan dapat melakukannya dengan baik,” kata Maria. “Jangan merendahkan diri lagi. Tadi engkau melakukannya tanpa petunjuk dariku. Engkau sendiri yang melakukannya dengan sangat baik,” kata Mrs. Vye – tersenyum. “Terima kasih. Tetapi saya merasa saya masih kalah dari Anda.” “Percayalah kepadaku, Maria. Tidak hanya aku yang menganggap apa yang kaulakukan di dapur tadi lebih baik dariku. Engkau menata hidangan sedemikian rupa hingga dapat membuat tiap orang berselera melihatnya.” “Terima kasih.” “Sekarang engkau tidak memiliki pekerjaan apapun. Kembalilah ke pondok dan bersenang-senanglah,” kata Mrs. Vye sembari menyerahkan gaun nila itu. “Mrs. Vye, biarkan gaun ini apa adanya. Lagipula pinggangnya tidak terlalu besar untuk saya,” kata Maria mengingatkan. “Kita akan membicarakan masalah itu nanti. Sekarang bersenangsenanglah, Tuan Puteri tidak akan kembali sebelum senja.” Maria meninggalkan Sidewinder House. Sepanjang jalan ia bertemu banyak orang. Ia mengangguk hormat pada mereka. Sebuah senyum yang menawan hati tiap orang terukir di wajahnya. Orang-orang itu tampak malu dan bingung melihatnya. Mereka dengan malu-malu menganggukkan kepala kepada Maria, seperti yang Maria lakukan kepada mereka. Kemudian mereka berkumpul dan berbisik-bisik. Sekelompok anak mendekatinya. Mereka tampak senang berjumpa dengannya. Pandangan mata mereka menunjukan kekaguman mereka pada Maria. “Apakah Anda benar-benar berasal dari Holly Mountain?” tanya seorang anak kecil. “Saya tidak tahu,” kata Maria. Beberapa anak berbisik-bisik. “Mengapa?” tanya anak yang lain. “Karena saya tidak dapat mengingatnya. Saya lupa.” Maria menjawab 44
sederhana agar mudah dimengerti oleh anak-anak itu. “Bila saya melupakan sesuatu, ibu saya akan memarahi saya. Apakah Anda tidak dimarahi orang tua Anda?” tanya anak itu lagi. Maria tersenyum manis pada mereka. Ia berlutut agar mereka tidak menengadahkan kepala untuk dapat melihatnya. Gaun-gaun yang dibawanya diletakkan sedemikian rupa di lengannya hingga tak menyentuh tanah. “Tidak. Sebab saya lupa siapa orang tua saya.” Anak-anak itu memandang sedih padanya. “Anda pasti sedih tidak dapat mengingat orang tua Anda,” kata seorang anak perempuan. “Saya juga merasa sedih bila jauh dari orang tua saya.” “Apakah Anda mau bermain bersama kami? Kami ingin berkenalan dengan Anda,” kata seorang anak anak yang sejak tadi berbisik-bisik dengan temannya. “Saya akan senang sekali. Tetapi maafkan saya, saya harus melakukan sesuatu. Bila saya telah selesai, saya akan mencari kalian. Saya akan menerima ajakan itu,” kata Maria. Anak-anak itu tampak kecewa mendengar jawaban Maria. Wajah mereka yang semula ceria, kini tampak murung. Maria merasa sedih melihat mereka kecewa. “Jjangan bersedih. Saya akan bermain dengan kalian bila saya telah menyelesaikan tugas saya.” “Kapan tugas Anda selesai?” tanya anak-anak itu serempak. “Saya tidak tahu. Tetapi saya berjanji akan segera menyelesaikannya agar dapat bermain bersama kalian. Di mana saya dapat menemukan kalian?” “Kami biasanya bermain di sekitar rumah ini terutama di pondok Mrs. Vye yang terbuat dari kayu oak itu,” jawab mereka serempak. Maria tersenyum melihat kekompakkan anak-anak itu. Mereka seperti telah sepakat untuk menjawab pertanyaan Maria bersama-sama. “Baik. Saya akan mencari kalian di sekitar Sidewinder House bila saya telah menyelesaikan tugas saya,” kata Maria. Anak-anak itu berseru kegirangan mendengar pernyataan Maria. Maria bangkit kembali. “Sekarang saya akan pergi memulai tugas itu. Kalian pergilah bermain, saya akan segera menyusul kalian.” “Kami ikut Anda. Kami akan menemani Anda ke Sidewinder House,” kata mereka serempak. “Aku akan pergi ke rumah itu bila aku telah meletakkan gaun ini di 45
pondok Mrs. Vye. Mrs. Vye menyuruhku meletakkan gaun-gaun ini di pondoknya,” kata Maria menunjukkan gaun yang dibawanya kepada anakanak itu. “Kami ikut,” kata mereka. “Baiklah. Tetapi kalian jangan nakal,” kata Maria. Maria berjalan beriringan dengan anak-anak itu ke pondok Mrs. Vye. Sepanjang perjalanan mereka bercakap-cakap. Mereka membuat orangorang terperangah melihat keakraban mereka. Setelah meletakkan gaun yang dibawanya di almari pakaian di kamarnya, Maria bersama anak-anak itu kembali ke Sidewinder House. “Mengapa engkau kembali? Bukankah aku telah mengijinkanmu untuk bersenang-senang. Pergilah berkeliling Obbeyville. Bukankah sejak semula engkau ingin berkeliling Obbeyville?” kata Mrs. Vye terkejut melihatnya muncul di dapur. Maria berjalan mendekati Mrs. Vye yang sibuk memasak. “Saya ingin membantu Anda terlebih dulu.” Maria mulai membantu Mrs. Vye tanpa mempedulikan larangannya. Mrs. Vye terkejut melihat keahlian memasak Maria. Gadis itu dengan cepat membuat bumbu untuk ayam panggang yang akan disajikannya untuk makan siang Baroness Lora. Ia tidak memberi tahu apa pun kepada gadis itu apa yang harus dilakukannya. Tetapi gadis itu dengan cekatan telah menyelesaikan tugas memasak yang seharusnya dilakukannya. Sebuah nampan berisi ayam panggang yang harum dan gurih tersaji di atas meja di Ruang Makan dalam waktu yang singkat, bersama nampannampan lain yang diatur sedemikian rupa oleh Maria. Hidangan di dalam nampan itu juga diatur Maria dengan ahli. “Hidangan itu terlalu indah untuk dimakan,” kata Mrs. Vye melihat Maria menata hidangan itu. Maria tersenyum pada Mrs. Vye dan meneruskan pekerjaannya. Ia kini membuat minuman yang tampak segar. Minuman itu dibuatnya dari sari apel dan tomat yang segar. “Baru kali ini aku melihat minuman seperti itu,” kata Mrs. Vye. “Minuman ini enak sekali. Jauh lebih segar dari sari jeruk. Bila Anda mau, silakan mencobanya,” kata Maria. Mrs. Vye menerima segelas minuman yang diberikan Maria kepadanya. 46
“Enak sekali. Dari mana engkau mempelajarinya?” “Saya tidak ingat. Saya membuatnya sesuai dengan apa yang saya pikirkan.” “Apakah engkau juga tidak dapat mengingat asal bumbu ayam panggang itu? Ayam itu tampak gurih dan harum,” kata Mrs. Vye. “Maafkan saya telah mengecewakan Anda. Tetapi saya benar-benar tidak dapat mengingatnya. Saya seperti telah mengetahui apa yang harus saya lakukan pada ayam itu ketika saya membuatnya. Bila Anda ingin, saya akan memberi tahu bumbunya kepada Anda,” kata Maria. “Engkau tidak perlu melakukannya. Aku ingin engkau terus lebih pandai memasak daripada aku,” kata Mrs. Vye. “Anda jangan berkata seperti itu. Saya tidak mengetahui banyak mengenai masak-memasak seperti Anda. Anda jauh lebih pandai dari saya, saya harus belajar banyak dari Anda,” kata Maria. “Baiklah, daripada kita bertengkar seperti ini lebih baik kita membuat perjanjian. Aku akan mengajarimu hal-hal yang tidak engkau ketahui. Tetapi aku ragu engkau tidak mengetahui apa yang kuketahui. Engkau tampak seperti koki yang ahli di dapur.” “Terima kasih. Saya akan memberi tahu Anda apa yang saya ketahui.” “Tidak. Itu tidak perlu. Aku merasa puas melihat engkau lebih pandai memasak daripada aku.” Mrs. Vye meyakinkan Maria, “Aku akan lebih bangga mengatakan kepada semua orang bahwa engkau lebih pandai memasak dari aku daripada mengatakan kepada mereka bahwa aku lebih pandai dari engkau.” Maria tersenyum pengertian kepada Mrs. Vye. Akhirnya ia mengalah pada keinginan wanita tua yang disayanginya itu. Mrs. Vye meminta Maria untuk memanggil Baroness Lora, tetapi Maria menolaknya. Ia lebih memilih membersihkan dapur daripada memanggil Baroness Lora bukan karena ia tidak menyukai Baroness Lora. Tetapi karena ia tidak ingin membuat Mrs. Vye semakin repot, ia ingin membantunya membersihkan dapur. Dengan beberapa bujukan, akhirnya Mrs. Vye setuju dengan keinginan Maria. Ia mengingatkan Maria untuk tidak membersihkan dapur seorang diri. Setelah
kepergian
Mrs.
Vye,
Maria
memulai
pekerjaannya
membersihkan dapur dengan cepat. Ia membersihkan seluruh ruangan itu hingga ruangan itu tampak lebih bersih. Peralatan memasaknya juga dicuci 47
bersih olehnya. Ia telah selesai membersihkan dapur sebelum Mrs. Vye tiba di dapur. Maria tidak tahu apa yang sedang dilakukan Mrs. Vye sehingga wanita itu tidak segera kembali ke dapur. Maria menduga Mrs. Vye sedang melayani Baroness Lora bersama Mrs. Dahrien hingga tak segera muncul. Tetapi ia bersyukur karena Mrs. Vye tidak melihatnya membersihkan seluruh ruangan itu. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan Mrs. Vye bila melihat ia melanggar larangannya. Sebenarnya, Maria tidak ingin melanggar larangan Mrs. Vye. Tetapi karena ia tahu Mrs. Vye akan mengalami kesulitan dalam membersihkan dapur itu, maka ia memutuskan untuk melanggar larangan Mrs. Vye. Di samping itu, Maria tidak tahan melihat keadaan ruangan yang kotor ini. Ia meninggalkan dapur dan menuju Ruang Besar. Ruang Besar telah dibersihkan, Maria tidak melihat Mrs. Fat di sana. Ia menduga Mrs. Fat sedang membersihkan Ruang Duduk. Mrs. Fat membersihkan Ruang Duduk sambil bersenandung kecil. Tangannya
seperti
menari-nari
di
permukaan
meja.
Wanita
itu
tidak
menyadari suara pintu yang berderit di belakangnya. Maria mengetuk perlahan pintu yang menghubungkan Ruang Besar dengan Ruang Duduk. “Ada apa, Maria?” tanya Mrs. Fat. “Engkau membuatku terkejut.” “Bila Anda tidak keberatan, saya ingin membantu Anda.” “Tentu saja aku tidak keberatan,” kata wanita itu senang mendengar bantuan yang ditawarkan Maria. Maria mendekati Mrs. Fat. Tatkala ia hendak mulai membersihkan Ruang Duduk, Mrs. Fat berseru terkejut. “Tidak! Tidak! Engkau tidak boleh melakukannya. Aku lupa engkau harus melayani Tuan Puteri.” “Tuan Puteri sedang berkuda bersama seseorang.” “Aku tahu. Aku melihatnya meninggalkan rumah dengan terburu-buru,” kata wanita itu, “Aku yakin Mrs. Vye tidak akan setuju bila melihatmu melakukan pekerjaan ini. Pergilah berjalan-jalan!” Maria ragu-ragu melihat wanita tua itu. Ia tahu Mrs. Fat lebih muda dari Mrs. Vye dan ia mampu membersihkan rumah ini sendirian. Sebelum kedatangan Maria, mereka telah mengurus rumah ini sendirian dalam usia mereka yang tidak muda lagi. 48
Maria percaya mereka dapat melakukannya sendiri tanpa bantuannya, tetapi ia tidak tega melihat mereka yang seharusnya menikmati hari tuanya, bekerja keras membersihkan rumah yang besar ini. “Aku dapat melakukannya sendiri,” kata Mrs. Fat, “Aku peringatkan kepadamu, aku tidak suka bila seseorang tidak menuruti apa yang kukatakan. Pergilah!” Dengan enggan, Maria meninggalkan Ruang Duduk. Kemudian ia menemui Mr. Liesting di halaman Sidewinder House. Pria yang sedang merawat bunga liar musim panas itu, memalingkan kepalanya tatkala mendengar langkah kaki Maria. “Ada apa, Maria?” tanya Mr. Liesting. “Tidak ada yang dapat saya kerjakan. Saya ingin membantu Anda merawat halaman ini.” “Engkau bisa bermain bersama anak-anak itu. Sejak tadi mereka menunggumu,” kata Mr. Liesting, “Mereka menyukaimu.” “Saya juga menyukai mereka.” Maria memandang anak-anak yang bermain di dekat Sidewinder House sambil mengawasi kemunculannya. “Pergilah bermain bersama mereka sebelum senja datang.” Anak-anak itu berlari mendekat ketika melihat Maria berjalan ke arah mereka. Mereka berseru senang sewaktu Maria mengajak mereka bermain. Maria mengajak anak-anak itu menuju tepi Sungai Alleghei. Walaupun tidak mengerti mengapa ia membawa mereka ke tepi Sungai Alleghei, tetapi mereka tetap mengikuti gadis itu. Mereka telah mengetahui mitos Sungai Alleghei dari orang tua mereka. Orang tua mereka melarang anak-anak itu bermain tepi Sungai Alleghei. Kata mereka, para dewa akan marah bila anak-anak itu bermain di Sungai Alleghei. Para dewa tidak ingin ketenangan mereka terganggu oleh suara anak-anak. Itulah yang sering dikatakan penduduk Obbeyville pada anak-anak mereka. Maria telah mengetahui hal itu dari Mrs. Vye, tetapi ia tetap membawa anak-anak itu ke Sungai Alleghei. Anak-anak itu juga tidak terlihat takut ketika mereka menuju Sungai Alleghei. Rupanya mereka telah sangat percaya bahwa Maria adalah bidadari yang diutus para dewa. Mereka percaya para dewa tidak akan marah bila mereka bermain di sungai itu bersama Maria. 49
Ketika mereka tiba, Maria segera mencari tempat yang teduh. Ia duduk pada sebatang pohon yang tumbang. Anak-anak memandang heran padanya. “Kalian telah mengetahui cerita mengenai Sungai Alleghei?” tanya Maria walaupun ia telah mengetahui jawaban anak-anak itu. “Ya, kami mengetahuinya dari orang tua kami,” kata anak-anak. “Kalian tahu mengapa saya membawa kalian ke mari?” “Tidak, tetapi kami percaya para dewa tidak akan marah walaupun kami bermain di Sungai Alleghei karena kami bersama Anda,” kata seorang anak. “Para dewa tidak akan marah bila kalian tidak mengganggu ikan-ikan yang ada di Sungai Alleghei,” kata Maria sembari tersenyum, “Hari ini kita kemari bukan karena kita akan bermain di Sungai Alleghei tetapi karena saya akan menceritakan suatu dongeng yang berkaitan dengan sungai ini.” “Apakah bedanya dongeng dengan mitos?” tanya anak itu lagi. “Banyak sekali perbedaannya. Bila mitos dipercayai setiap orang, maka dongeng merupakan khayalan saja,” kata Maria menjelaskan. “Maksud Anda dongeng adalah cerita yang sering Ibu ceritakan pada saat saya hendak tidur?” “Ya, seperti itu. Tetapi tidak semua dongeng merupakan cerita khayalan, ada beberapa dari mereka yang dipercayai benar-benar terjadi seperti yang akan saya ceritakan pada kalian,” kata Maria. “Apakah dongeng itu benar-benar terjadi?” tanya anak-anak. “Saya tidak dapat menjawabnya. Kalian sendiri yang akan menjawab pertanyaan itu setelah kalian mendengar dongeng itu. Kalian yang akan menilai apakah dongeng itu benar-benar terjadi atau tidak.” “Dapatkah Anda memulai menceritakan dongeng itu pada kami?” tanya mereka serempak. “Duduklah dengan tenang dulu, baru saya akan memulai dongeng saya.” Anak-anak duduk di sekitar Maria. Mereka duduk sambil memandangi Maria. Beberapa dari mereka ada yang duduk di samping Maria. Ada pula yang duduk sambil bertopang dagu. “Dongeng yang saya ceritakan ini ada hubungannya dengan mitos Sungai Alleghei dan Blueberry.” “Blueberry? Setahu saya di Blueberry tidak ada dongeng yang berhubungan dengan mitos Sungai Alleghei,” kata anak yang bertanya 50
perbedaan mitos dan dongeng. Maria merasa anak itu menyukai mitos. Karena Maria tidak ingin mitos-mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva punah, ia menceritakan mitos itu pada anak-anak itu. Tetapi ia tidak menduga ada seorang anak yang mengetahui cukup banyak mengenai mitos Sungai Alleghei. “Apakah engkau menyukai mitos?” tanya Maria pada anak itu. “Saya sangat menyukainya. Saya ingin mengetahui segala sesuatu mengenai mitos itu, tetapi orang tua saya tidak tahu banyak. Karena itu saya sering membaca buku-buku mengenai mitos, tetapi tidak ada di antar bukubuku itu yang bercerita bahwa di Blueberry ada dongeng yang berhubungan dengan mitos yang ada di Obbeyville,” kata anak itu. Maria tersenyum pada anak itu. “Kemarilah,” katanya lembut. Anak itu berjalan mendekat kemudin duduk tepat di depan Maria. “Siapakah namamu?” “Nama saya Ityu. Orang tua saya adalah pendeta yang sering menjadi pemimpin dalam tiap upacara di Sungai Alleghei.” “Ityu, saya senang engkau menyukai mitos. Tetapi apa yang kauketahui tidak cukup banyak. Bila saya mempunyai waktu, saya akan menceritakannya padamu.” “Sungguh?” tanya Ityu tak percaya. “Benar, saya akan menceritakan padamu mitos yang tidak engkau ketahui. Berapakah mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva?” “Satu yaitu mitos Sungai Alleghei,” jawab Ityu dengan yakin. Maria telah menduga Ityu seperti orang-orang umumnya yang hanya mengetahui satu mitos yang paling terkenal di Kerajaan Zirva. “Sesungguhnya, Ityu, di Kerajaan Zirva ada banyak mitos tetapi yang paling terkenal ada tiga. Salah satunya adalah mitos Sungai Alleghei,” kata Maria. “Saya tidak pernah mendengar kedua mitos yang lain,” kata Ityu mengakui. “Karena salah satu mitos itu hampir punah dan yang lainnya sengaja disembunyikan,” kata Maria menerangkan. “Mengapa mitos itu disembunyikan?” tanya anak-anak yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan Maria dengan Ityu. “Saya
tidak
dapat
menjawabnya
karena
jawaban
saya
akan 51
berhubungan dengan mitos yang disembunyikan itu,” kata Maria tanpa memberikan alasan yang sesungguhnya. “Saya tidak mengerti mengapa mereka menyembunyikan mitos itu,” kata Ityu. “Kelak bila memungkinkan, aku akan mengatakannya padamu. Tetapi untuk saat ini engkau cukup mengetahui bahwa ada tiga mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva.” “Kedua mitos yang lain mengenai apa?” tanya Ityu. “Mitos yang kedua mengenai nama asli Blueberry,” jawab Maria. “Apakah Blueberry bukan nama asli tempat itu?” “Bukan,
Ityu.
Blueberry
mempunyai
nama
asli.
Saya
akan
menceritakannya padamu suatu saat nanti. Sekarang saya akan memulai dongeng saya sebelum saya kembali ke Sidewinder House.” Anak-anak gembira mendengar kata-kata Maria kecuali Ityu. Maria tahu anak itu sibuk memikirkan kedua mitos yang lain. “Datanglah
ke
pondok
Mrs.
Vye
setiap
sore
dan
saya
akan
menceritakannya padamu di sana. Bila orang tuamu tidak menyetujuinya, saya yang akan memintakan ijin kepada mereka. Saya percaya mereka akan menyetujui hal ini,” bisik Maria pada anak itu. Ityu tersenyum senang mendengar janji Maria. Maria tersenyum pada anak itu dan memulai ceritanya. “Dongeng ini mengenai peperangan antara dewa dengan setan di dekat sini.”
52
4
Terdengar suara kuda mendekat kemudian berhenti di dekat Maria yang sedang memandang sungai. Maria memalingkan kepala dan merasa senang melihat pria yang dinanti-nantikannya muncul. “Selamat pagi,” katanya mendekati Maria. “Selamat pagi,” kata Maria dengan tersenyum. “Saya mendengar engkau kini menjadi idola anak-anak Obbeyville,” kata pria itu. “Rupanya berita di Obbeyville juga cepat tersebar ke Blueberry.” “Bagaimana Anda tahu saya berasal dari Blueberry?” tanya pria itu keheranan. “Siapa pun yang melihat pakaian Anda, tidak akan mengatakan Anda berasal dari Obbeyville. Karena satu-satunya keluarga yang kaya di sini adalah keluarga Sidewinder.” “Bagaimana bila baju ini saya peroleh dari mereka?” “Suatu khayalan yang takkan pernah terjadi apalagi memimpikannya.” Pria itu memandang tajam wajah Maria. Dari sorot matanya, Maria tahu pria itu tidak mengerti arti kata-katanya. “Hal itu tidak akan pernah terjadi. Semua penduduk Obbeyville telah mengenal baik watak Baroness Lora dan putrinya yang seperti itu.” “Seperti apakah watak mereka?” “Anda
tidak
mengetahuinya,
itu
berarti
asal
Anda
bukan
dari
Obbeyville.” Maria tersenyum pada pria itu. “Mereka senang berfoya-foya hingga harta keluarga Sidewinder hampir habis. Itu yang paling diketahui penduduk Obbeyville. Mereka memberikan sesuatu kepada orang lain hanya bila mereka menginginkan sesuatu dari orang itu. Hal inilah yang membuat saya percaya Anda berasal dari Blueberry. Selain itu masih ada yang membuat saya tahu Anda berasal dari Blueberry.” “Dapatkah Anda memberi tahu saya sebab yang lain?” “Di Obbeyville tidak ada keluarga yang memiliki kuda selain keluarga Sidewinder.
Kalaupun
penduduk
yang
lain
mempunyai,
mereka
tidak 53
menggunakannya untuk berkuda.” “Mengapa Anda yakin akan pendapat Anda? Bagaimana bila ternyata saya berasal dari Obbeyville?” tanya pria itu. “Karena
saya
mengetahuinya
dengan
pasti
dan
Anda
telah
membenarkan kata-kata saya,” jawab Maria sembari tersenyum pada pria itu. “Apakah Mrs. Vye yang memberi tahumu?” Maria menggelengkan kepalanya. “Saya mengetahuinya dalam ingatan saya. Walau saya tidak dapat mengingat masa lalu saya tetapi saya masih dapat mengingat segala seluk beluk mengenai Obbeyville juga Blueberry.” “Sungguh?” tanya pria itu tak percaya. Maria tersenyum dan mulai meyakinkan pria itu, “Kota yang terletak di kaki bukit dengan suhunya yang sejuk itu menjadi lahan yang baik untuk tanaman Blueberry. Sehingga kota penghasil utama Blueberry di Kerajaan Zirva itu terkenal dengan nama Blueberry sejak dulu kala.” “Anda pasti baru membacanya dari perpustakaan keluarga Sidewinder sehingga masih dapat mengingatnya dengan tepat,” kata pria itu tak percaya. Maria meyakinkan pria itu lagi. “Tanaman itu dibawa masuk dari Asia dan mulai dikembangkan di Blueberry oleh nenek moyang keluarga Duke of Blueberry. Sebagian besar perkebunan Blueberry dimiliki oleh Duke of Blueberry yang kini bernama Shaw. Ia memiliki seorang putra dari istrinya, Chancy yang bernama Alexander. Mereka tinggal di tepi Blueberry yang terletak kurang lebih tiga mil dari Obbeyville.” “Anda dapat mengetahuinya dari Mrs. Vye.” “Bagaimana bila ini? Blueberry memiliki suatu mitos yang hingga kini hanya sedikit orang yang mengetahuinya dan mitos itu berhubungan dengan mitos yang ada di Obbeyville. Mitos tentang nama asli Blueberry, Blackblood.” Pria itu terkejut mendengar kalimat terakhir Maria. “Bagaimana Anda mengetahuinya?” tanyanya, “Hingga kini orang yang mengetahui mitos itu hanya beberapa orang, termasuk saya. Tetapi saya tidak mengetahuinya sejauh yang Anda ketahui. Sebelumnya saya tidak mengetahui nama asli Blueberry.” “Saya telah mengatakan tidak tahu pada Anda. Saya tidak ingat dari mana saya mengetahuinya, tetapi di dalam ingatan saya hal itu masih ada.” Maria menyembunyikan keterkejutannya di balik sikapnya yang tenang. Ia merasa terkejut pada dirinya sendiri yang berusaha meyakinkan pria itu 54
bahwa ia mengetahui banyak mengenai Blueberry. Ia tidak mengerti mengapa ia melakukannya. Biasanya ia tidak berusaha meyakinkan orang bila dipandangnya tidak perlu. Ia mencoba menemukan jawaban atas pertanyaan yang bergaung di kepalanya. “Dapatkah Anda menceritakan lebih banyak lagi kepada saya mengenai mitos yang Anda ketahui?” Maria memperhatikan sungai yang mengalir tenang di hadapannya. Kemudian ia memandang wajah pria itu. “Apakah Anda mengetahui mitos sungai ini?” tanyanya. Pria itu menganggukkan kepala. “Di samping mitos yang ada di Obbeyville dan Blueberry, masih ada sebuah mitos lagi yang tidak dapat saya ceritakan kepada Anda. Tetapi saya dapat mengatakan kepada Anda bahwa ketiga mitos yang hampir hilang itu saling berkaitan.” Maria
memandang
Sungai
Alleghei
lagi.
Ikan-ikan
yang
semula
bersembunyi, mulai meninggalkan tempat persembunyiannya seolah-olah mereka ingin mendengarkan cerita gadis itu. “Mitos Blueberry bercerita mengenai pertempuran antara para dewa dari Holly Mountain dengan setan. Sebenarnya para dewa itu bukan melawan setan. Pertempuran dashyat yang berlangsung selama berminggu-minggu itu, membuat dunia berguncang. Setelah pertempuran itu selesai dengan kemenangan para dewa dari Holly Mountain, tanah tempat mereka bertempur menjadi merah kehitam-hitaman.” “Sebelum Anda melanjutkan cerita Anda, tolong jelaskan kepada saya siapakah yang melawan para dewa dari Holly Mountain?” sela pria itu. “Saya tidak dapat memberi tahu Anda. Mitos ketiga itu disembunyikan dari semua orang kecuali suku itu. Tolong jangan bertanya lagi mengenai mitos ketiga itu.” Walaupun pria itu masih ingin mengetahui lebih banyak mengenai mitos ketiga yang tak pernah didengarnya itu, tetapi ia menjawab, “Baiklah.” “Dari tanah itu, muncullah beribu-ribu bunga yang berwarna merah kehitam-hitaman, yang kini tinggal beberapa tangkai. Penduduk percaya bunga itu adalah jelmaan darah para dewa dan setan yang meninggal dalam pertempuran. Karena itu mereka memberinya nama Blackblood dan tanah tempat mereka tumbuh juga dinamai Blackblood. Kemudian mereka mulai melestarikan bunga yang mereka percayai suci itu,” kata Maria. 55
“Mereka menanam bunga itu di halaman rumah mereka. Karena mereka percaya dengan berbuat seperti itu, mereka akan terhindar dari mala petaka.” “Bagaimana mitos itu dapat menghilang?” “Sejak
nenek
moyang
Duke
of
Blueberry
membawa
dan
mengembangkan Blueberry di sana, mitos itu secara perlahan menghilang di balik kesibukan mereka. Mereka mulai memelihara Blueberry daripada Blackblood.” “Apakah Anda menyalahkan keluarga Duke of Blueberry yang membawa dan mengembangkan tanaman itu?” Maria mendengar nada yang aneh dalam suara pria itu namun ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya dapat menduga pria itu takut ia tidak menyukai segala yang berhubungan dengan kota asalnya, Blueberry. “Saya tidak menyalahkan mereka. Duke of Blueberry pertama telah melakukan sesuatu yang benar. Bila ia tidak memperkenalkan tanaman itu kepada penduduk Blueberry, mungkin hingga kini mereka tidak akan mencapai kemakmuran seperti ini.” Mata Maria bertemu dengan mata pria itu. Jantungnya berdebar lebih keras daripada semula. Ia ingin terus menatap mata kelabu yang menatap tajam namun ramah itu. Tetapi ia tahu ia harus meneruskan ceritanya. Ia memalingkan kepalanya kepada Sungai Alleghei. “Sifat penduduk Blackblood yang praktislah yang membuat mitos itu semakin hilang sejalan dengan punahnya bunga Blackblood. Setelah memberi nama pada bunga dan tanah tempat tumbuhnya bunga itu, mereka jarang menyebutnya Blackblood. Mereka sering menyebut bunga itu ‘BB’ yang merupakan kependekkan dari Blackblood. Dan tanaman Blueberry, bila dipendekkan juga menjadi ‘BB’.” Maria berhenti bercerita. Ia memandang sedih pada Sungai Alleghei. Ia sedih akan nasib mitos yang ada di Blueberry. “Itulah sebabnya nama Blackblood secara perlahan tetapi pasti berubah menjadi Blueberry,” katanya mengakhiri ceritanya yang panjang. “Apakah engkau memberi tahu orang lain mengenai mitos ketiga itu kepada orang lain?” tanya pria itu. Maria menggelengkan kepala. “Saya tahu mereka telah turun-temurun menyembunyikan mitos itu dari orang luar. Saya tidak ingin merusak apa yang mereka percayai itu.” 56
Pria itu tampak lega mendengar jawaban Maria. “Dari mana Anda mengetahuinya?” gumamnya. “Saya tidak ingat.” “Apakah Anda berasal dari Holly Mountain?” tanya pria itu. “Saya tidak tahu.” “Anda seolah-olah berasal dari mitos itu. Anda mengetahui lebih banyak mengenai mitos itu daripada kami.” “Saya tidak mengerti mengapa saya mengetahui banyak mengenai mitos itu. Tetapi saya merasa saya telah mengetahuinya sejak dulu, jauh sebelum saya berada di Obbeyville.” “Kapan Anda mengetahuinya?” tanya pria itu ingin tahu. “Saat Mrs. Vye menceritakan mitos sungai ini kepada saya. Saya sendiri juga tak mengerti mengapa saya lebih mengetahui dari ia yang telah tinggal puluhan tahun di Obbeyville.” “Mungkin Anda berasal dari Holly Mountain. Tidak ada yang dapat saya pikirkan mengenai asal usul Anda selain Holly Mountain. Anda sangat memenuhi syarat sebagai penghuni Holly Mountain.” Maria tidak menghiraukan kata-kata pria itu, ia memandang langit yang semakin cerah. Sinar matahari telah memenuhi langit yang biru. Ia tidak segera kembali ke Sidewinder House sebab ia yakin Lady Debora belum bangun. Kemarin Lady Debora pergi sepanjang hari dan baru tiba ketika hari menjelang malam. Pria itu memperhatikan Maria yang sedang memandang langit. Ia tidak ingin gadis itu segera pergi menuju Sidewinder House seperti kemarin. Ia ingin bercakap-cakap dengannya, ia senang berbicara dengan gadis itu. “Apakah yang Anda sukai dari anak-anak?” Perlahan-lahan Maria memalingkan kepala dan mendapati mata kelabu itu sedang memandangnya dalam-dalam seolah-olah ingin menahan dirinya. “Pribadi anak-anak sangat unik. Mereka menyenangkan dan lucu,” jawab Maria. “Mereka selalu mengatakan apa yang mereka pikirkan, yang mereka inginkan. Tidak pernah ada kebohongan di antara mereka.” “Bagaimana dengan anak-anak yang senang berbohong?” “Mereka yang suka berbohong tidak mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tuanya. Mungkin orang tua mereka terlalu sibuk sehingga kurang memperhatikan anak-anaknya.” “Apakah
Anda
hendak
mengatakan
pertumbuhan
seorang
anak 57
dipengaruhi orang tua anak tersebut?” “Pertumbuhan seorang anak tidak hanya dipengaruhi orang tua, tetapi juga lingkungan. Tidak ada gunanya orang tua mengajarkan hal-hal yang baik kepada anaknya, tetapi lingkungan tidak mendukung ajaran orang tua,” kata Maria, “Anak-anak mudah terpengaruh lingkungan.” “Anda membuat saya terkejut sejak pertemuan kita yang pertama. Saya tidak tahu apa yang akan Anda perbuat untuk mengejutkan saya lagi,” kata pria itu dengan tersenyum. “Saya tidak pernah dengan sengaja membuat Anda terkejut. Saya juga tidak merasa berbuat sesuatu yang dapat membuat Anda terkejut.” “Anda tidak menyadari bahwa Anda membuat saya terkejut sejak pertemuan pertama kita.” “Dapatkah Anda memberi tahu saya apa yang saya lakukan sehingga Anda terkejut?” tanya Maria ingin tahu. “Pertama, saya tidak pernah menduga Anda sangat cantik. Benar-benar seperti bidadari.” Maria menundukkan kepala mendengar pujian itu. Ia tidak mengerti pada dirinya sendiri yang merasa senang mendngar pujian pria itu. Ia sering menerima pujian dari orang-orang di sekitarnya tetapi ia tidak pernah merasa senang seperti ini. Rasanya seperti mendapatkan sesuatu yang sangat langka dan berharga. Pria itu tersenyum melihat pipi Maria bersemu merah, “Saya tidak tahu manakah yang lebih cantik, saat wajah Anda memerah atau saat Anda tersenyum manis. Tetapi Anda telah membuat saya tidak dapat tidur semalam.” “Maafkan saya. Saya tidak tahu bahwa saya membawa masalah kepada Anda,” Maria memandang pria itu dengan tatapan yang menampakkan penyesalannya. “Anda tidak bersalah atas kesukaran tidur saya. Saya merasa senang dapat membayangkan wajah Anda yang cantik sepanjang malam.” Pria itu tersenyum melihat Maria menundukkan kepalanya lagi, “Kedua, saya tidak menduga Anda akan menjadi idola anak-anak. Ketiga, saya tidak menyangka Anda sangat mengetahui mengenai mitos itu. Dan terakhir, Anda mengejutkan saya dengan kata-kata Anda mengenai anak-anak.” “Mengapa Anda tidak menyangka bahwa saya akan disukai anak-anak?” tanya Maria. 58
“Saya bukan tidak percaya Anda akan disukai anak-anak. Saya sering melihat teman wanita saya lebih memperhatikan dirinya sendiri daripada anak-anak. Karena itu saya terkejut ketika mendengar Anda disukai anakanak.” “Rupanya kekasih Anda tidak menyukai anak-anak sedangkan Anda menyukai anak-anak,” kata Maria dengan perasaannya yang aneh. “Saya tidak mempunyai kekasih sejak saya lahir hingga kini,” kata pria itu, “Saya menyukai anak-anak, tetapi saya tidak mengetahui banyak tentang mereka seperti Anda. Saya akan percaya bila Anda mengatakan Anda seorang bidadari yang berasal dari Holly Mountain.” “Maaf saya mengecewakan Anda. Benar saya tidak ingat dari mana saya berasal, tetapi saya merasa asal saya bukan dari gunung, walau saya merasa tempat asal saya sangat tinggi dan sejuk seperti gunung.” “Mungkin Anda berasal dari Istana para dewa di Holly Mountain.” “Saya tidak tahu. Saya tidak dapat menembus kabut pekat yang menyelubungi masa lalu saya. Saya merasa seperti berada di dalam kegelapan yang kelam bila saya berusaha menyibakkan kabut itu.” Maria berusaha berbicara dengan tenang untuk menyembunyikan kesedihannya. “Jangan sedih, ingatan Anda akan pulih walau membutuhkan waktu yang lama,” hibur pria itu. “Anda beruntung masih dapat hidup hingga kini.” “Ya, saya sangat beruntung dapat diselamatkan oleh wanita sebaik Mrs. Vye. Saya merasa mengenal seseorang yang mirip Mrs. Vye. Orang itu juga baik hati seperti Mrs. Vye dan ia juga sangat menyayangi saya.” “Mungkin orang itu adalah ibu Anda.” “Saya tidak ingat, tetapi hal itu mungkin benar. Seorang anak lebih dekat dengan ibunya daripada orang lain.” “Hubungan seorang anak memiliki hubungan batin dengan ibunya.” “Anda juga mengetahuinya.” “Saya hanya mengetahui sedikit,” kata pria itu. Maria
melihat
langit
yang
makin
terang.
Sinar
matahari
telah
menyentuh seluruh permukaan bumi. Langit sebelah barat juga telah terang. Awan-awan putih telah berlari-lari di langit yang biru. “Apakah Anda akan kembali?” tanya pria itu cemas. Pria
itu
semakin
cemas
tatkala
Maria
tidak
segera
menjawab
pertanyaannya. 59
Gadis itu terus memandang awan yang berkejar-kejaran. Ia ingin mengenal gadis itu lebih jauh. Ia ingin Maria menemaninya di tepi sungai ini sambil bercakap-cakap. Entah mengapa sejak pertemuannya yang pertama dengan gadis itu, ia tidak dapat melupakannya. Ia tidak dapat memikirkan yang lain tentang gadis itu selain ia berasal dari Holly Mountain. Ia juga tidak dapat membayangkan gadis itu berada di tempat lain. Ia merasa gadis itu sangat cocok dengan pemandangan tepi Sungai Alleghei yang indah di pagi hari. Gadis itu tampak seperti menyatu dengan alam ketika berada di tepi Sungai Alleghei. “Saya harus kembali. Saya harus membantu mereka.” Akhirnya Maria menjawab pertanyaan pria itu setelah terdiam cukup lama. “Apakah Anda tidak dapat menunda kepergian Anda?” Pria itu bertanya dengan tenang, namun Maria tahu pria itu berharap ia dapat menunda kepergiannya. “Saya juga ingin berbicara dengan Anda lebih lama lagi tetapi saya harus membantu mereka. Mereka benar-benar membutuhkan bantuan saya,” kata Maria tenang. Pria itu terdiam kemudian berkata, “Baiklah, saya tidak akan memaksa Anda. Perkenankan saya untuk mengantar Anda.” “Saya khawatir saya akan menolaknya. Saya ingin berjalan kaki,” kata Maria sembari tersenyum. Pria itu tidak mau ditolak. Ia tahu tidak ada gunanya ia memaksa Maria, tetapi ia ingin mengantar Maria kembali ke pondok Mrs. Vye. Ia berharap sambil mengantar Maria, ia dapat berbicara lebih banyak dengannya. Ia mempunyai cara lain, tetapi ia tidak tahu apakah gadis itu akan menyukainya. “Maafkan saya,” bisik pria itu sembari mengangkat tubuh Maria. Maria terkejut hingga tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolak pria itu.
Ia
membiarkan
pria
itu
membopongnya
ke
kudanya
kemudian
menaikkannya ke punggung kuda itu. Jantung Maria berdebar sangat kencang sewaktu pria itu mengangkat tubuhnya. Maria tidak menyadari tangannya telah melingkari leher pria itu ketika pria itu membawanya ke kudanya. Ia menundukkan kepala, ingin menyembunyikan wajahnya yang terasa panas ketika tangan kekar pria itu mengangkat tubuhnya. 60
Maria merasa detak jantungnya semakin cepat ketika pria itu duduk di belakangnya. Tangan kiri pria itu memeluk pinggangnya yang ramping serta menarik tubuhnya mendekat. Sedangkan tangannya yang lain memegang tali kendali kuda. “Mengapa Anda terus menundukkan kepala?” bisik pria itu di telinga Maria, “Apakah Anda merasa malu karena penduduk Obbeyville melihat kita?” Maria baru menyadari penduduk mulai berbisik-bisik di sekitarnya melihat mereka berdua ketika pria itu bertanya kepadanya. Ia tidak merasa malu karena dilihat penduduk Obbeyville. Ia merasa aneh sejak pria itu mengangkat tubuhnya. “Apakah saya membuat Anda takut?” tanya pria itu ketika Maria tidak segera menjawab pertanyaannya. Maria menggelengkan kepalanya, tetapi ia tetap menundukan kepala. Ia ingin melihat wajah pria itu, tetapi ia takut menganggu perhatian pria itu ke kudanya. “Apakah ini pertama kalinya Anda berkuda terutama bersama pria?” “Saya tidak tahu,” kata Maria, “Saya merasa ini bukan pertama kalinya saya berkuda tetapi…” “Tetapi apa?” tanya pria itu. “Saya tidak dapat mengerti perasaan saya dan diri saya sendiri. Saya merasa kembali berada di dalam kabut pekat itu.” “Mungkin sebelum ini Anda sering berkuda bersama pria,” kata pria itu. Maria memalingkan kepalanya ke wajah pria itu ketika mendengar nada bicaranya yang aneh. Sesaat ia melihat mata pria itu tampak sedih dan terkejut pada gerakannya yang tiba-tiba. Pria itu memandang menuduh padanya. “Hati-hati! Anda dapat jatuh bila Anda bergerak tiba-tiba seperti ini,” katanya dengan mengetatkan pelukannya pada pinggang Maria. “Maafkan saya,” kata Maria lirih. Dengan perlahan, Maria memalingkan kepalanya ke arah jalanan. Ia baru menyadari kuda itu berjalan lambat tatkala ia memandang jalanan. Rupanya sejak tadi ia tidak menyadari hal yang lain kecuali debaran jantungnya yang semakin cepat dan perasaannya yang aneh, perasaan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. “Mengapa kita berjalan lambat?” tanyanya. Pria itu diam saja. Ia ragu menjawab pertanyaan Maria, tetapi akhirnya 61
ia menjawab, “Maafkan saya. Saya sengaja melambatkan kuda ini karena saya masih ingin berbicara dengan Anda.” Tanpa disadarinya, kepalanya telah bersandar pada bahu pria itu. “Kita dapat bertemu lagi esok pagi.” “Apakah kita tidak dapat bertemu selain pagi hari?” “Saya kira kita tidak dapat bertemu di lain waktu selain pagi hari. Waktu luang saya hanya pagi hari. Sepanjang hari saya sibuk.” “Apakah yang membuat Anda sibuk?” tanya pria itu. “Anda sibuk membantu Mrs. Vye atau bermain dengan anak-anak?” “Keduanya,” jawab Maria singkat. Pria itu diam saja mendengar jawaban Maria. Kemudian ia memacu kudanya lebih kencang. Ketika pondok Mrs. Vye terlihat di kejauhan, ia merasa sedih harus berpisah dari gadis itu.
62
5
Mereka berjalan meninggalkan Sidewinder House. Langit barat masih memerah. Bulan bersinar pucat diiringi bintangbintang di balik awan hitam yang menutupi langit malam. Lolong serigala terdengar di kejauhan, di bukit yang tak jauh dari Obbeyville. Angin malam bertiup kencang mempermainkan daun-daun di kegelapan malam. Bunyi gemerisik dedaunan membuat suasana di kota kecil yang sepi itu semakin mencekam. Bayangan pepohonan terus memanjang ke Sungai Alleghei. Dari kejauhan, sungai itu tampak mencekam. Permukaan airnya berkilau-kilau tertimpa cahaya bulan yang sesekali menampakkan diri dari balik awan gelap yang menyelimuti langit malam. Melihat keindahan Sungai Alleghei di malam hari itu, Maria ingin pergi ke sana, tetapi ia tahu Mrs. Vye tidak akan mengijinkannya. Mrs. Vye sangat mempercayai mitos dan takhayul seperti umumnya penduduk Obbeyville. Tiada canda tawa anak-anak yang senantiasa menambah maraknya kota kecil itu. Tiada anak-anak yang senantiasa berkeliaran di segala sudut Obbeyville. Anak-anak telah kembali ke rumah masing-masing. Penduduk menutup rapat pintu rumah mereka. Mereka takut keluar pada malam hari di musim panas. Sesaat sebelum matahari menyembunyikan wajahnya, mereka telah mengunci diri di rumah mereka masing-masing. Mereka mempercayai awan gelap yang senantiasa menghiasi langit malam musim panas merupakan suatu tanda dari para dewa bagi mereka agar bersembunyi dari kejaran para setan. Siang hari yang panas merupakan angin yang dibawa para setan dari neraka yang panas, sedangkan malam musim panas adalah saat yang tepat bagi para setan untuk menghasut manusia. Saat di mana manusia sedang lengah. Saat manusia tidak sesibuk musim semi. Saat matahari bersinar memerah seperti api di ujung barat. Dari arah matahari yang memerah itulah para setan itu datang. 63
Demikianlah yang mereka percayai. Mereka berjalan cepat tanpa banyak bicara. Mrs. Vye tampak sangat tegang berjalan menembus kegelapan malam yang semakin pekat. Langit barat terasa semakin kelam setiap kali mereka menapakan kaki. Berlainan dengan Maria yang tampak sangat tenang. Gadis itu berjalan teramat tenang membuat Mrs. Vye merasa heran melihatnya. Wajahnya yang senantiasa ceria tidak tampak tegang sedikitpun. Maria segera menuju dapur sesampainya mereka di pondok. Ia memulai mengerjakan apa yang menjadi tugasnya akhir-akhir ini. Seperti biasanya, ia mengerjakannya dengan cepat dan terampil. Mrs. Vye yang memandang Maria dari tempatnya menanti tampak terpesona oleh tangan gadis itu yang cekatan dan sangat terampil. Ia tersenyum melihat gadis itu. Ia merasa sangat beruntung dapat bertemu dengannya. “Mengapa Anda tersenyum, Mrs. Vye?” tanya Maria sambil meletakkan seteko teh di tengah meja. “Aku merasa sangat beruntung sekali dapat berjumpa denganmu,” kata Mrs. Vye. Maria membalas senyuman Mrs. Vye. “Saya juga merasa beruntung dapat bertemu dengan wanita sebaik Anda, Mrs. Vye.” “Andaikan engkau putriku,” gumam Mrs. Vye. “Saya telah menganggap Anda sebagai ibu saya. Anda telah merawat dan menjaga saya seperti merawat putri Anda sendiri, karena itu anggaplah saya ini putri Anda,” kata Maria, “Saya memang tidak sama dengan putri Anda, tetapi saya berharap saya tidak membuat Anda kecewa.” “Engkau membuatku sangat bangga. Engkau juga sering membuatku merasa terkejut, heran dan segala macam perasaan yang membuatku harus berpikir.” Mrs. Vye tersenyum seolah-olah tersenyum pada dirinya sendiri. “Saya benar-benar menyesal membuat Anda merasakan perasaan seperti itu. Saya tidak pernah menduga bahwa saya akan mengusik ketenangan batin Anda.” “Jangan menyesal apalagi meminta maaf. Ini semua bukan salahmu. Aku merasa seperti mendapat hiburan dari perasaan itu. Aku yang biasanya selalu merasa marah kepada Baroness Lora, kini tidak lagi. Aku mulai dapat mengendalikan emosiku kepadanya.” “Bukan karena sayalah perasaan Anda dapat Anda kendalikan, sejak 64
semula Anda pandai menguasai perasaan.” “Tidak hanya aku yang merasakan perubahan sejak kedatanganmu. Mrs. Fat, Mr. Liesting, dan Mrs. Dahrien juga merasakan perubahan itu. Tadi pagi mereka mengatakan kepadaku bahwa kehidupan yang semula terasa membosankan
di
Sidewinder
House
kini
terasa
lebih
hidup
sejak
kedatanganmu.” “Anda semuanyalah yang telah menghidupkan suasana di rumah itu. Saya hanya berperan kecil.” “Peranmu tidak kecil, Maria. Sejak hari pertama kedatanganmu di sana, engkau telah mulai membersihkan seluruh ruangan di Sidewinder House. Engkau melarang kami mengerjakan tugas yang kaukatakan terlalu berat bagi orang setua kami tetapi kami merasa hal itu telah menjadi bagian hidup kami.” “Sudah sewajarnya saya membantu Anda. Bukankah setiap orang harus saling tolong menolong,” kata Maria merendahkan diri. Maria menatap lembut wajah Mrs. Vye. “Saya tidak tega melihat Anda yang seharusnya duduk tenang menikmati hari tua tetapi bekerja keras pada keluarga yang seperti itu. Mereka tidak hanya kikir tetapi juga tidak memperhatikan kesehatan para pelayannya.” “Kami telah berkerja puluhan tahun di sana sejak kami masih muda. Aku telah bekerja pada keluarga itu sejak aku berusia enam belas tahun. Bekerja keras telah menjadi bagian dari kehidupan kami, karena itu janganlah membantu kami bila engkau tidak mempunyai tugas. Pergilah bermain bersama anak-anak atau berjalan-jalan di sepanjang sungai.” “Saran Anda bagus sekali, tetapi saya tidak dapat menahan diri untuk tidak membantu Anda yang berusaha keras memenuhi segala keinginan Baroness
Lora
dan
putrinya
sementara
saya
merasa
mampu
mengerjakannya.” “Engkau memang baik hati dan pengertian. Tetapi biarlah apa yang telah berjalan terus berjalan.” “Saya harus belajar banyak dari Anda. Anda sangat setia pada keluarga Sidewinder,” kata Maria mengganti topik. Ia tidak ingin Mrs. Vye terus mendesaknya agar berhenti membantu mereka. Bila Mrs. Vye telah memutuskan sesuatu, akan sulit untuk membuatnya merubah pikiran. 65
Maria yang mulai mengenal pribadi Mrs. Vye dalam waktu yang tak lebih dari dua minggu ini, telah mengetahui baik hal itu. Tetapi Maria harus mengakui bahwa tidak jarang pula ia berhasil membuat Mrs. Vye merubah keputusannya. Mrs. Vye tersenyum menyadari gadis itu sengaja mengganti topik. “Aku tidak merasa engkau harus belajar dariku, aku merasa akulah yang harus belajar banyak hal darimu.” “Saya masih hijau di dunia ini dibandingkan Anda yang telah puluhan tahun menghuni dunia ini. Saya belum mengetahui apa-apa.” Mrs. Vye tersenyum mendengar kata-kata gadis itu yang terdengar sangat tulus. “Engkau membuatku terkejut dengan segala yang telah engkau lakukan.” Maria telah menduga Mrs. Vye akan terkejut. Wanita tua itu berdiri di depan Sidewinder House ketika pria itu mengantarnya ke pondok Mrs. Vye. “Aku tidak pernah menduga engkau pandai memasak. Aku juga tak pernah membayangkan engkau amat terampil mengurus rumah,” kata Mrs. Vye sambil memandang wajah Maria lekat-lekat. Maria terkejut mendengar kata-kata wanita tua itu, namun dengan segera ia menguasai perasaannya lagi. Ia tidak menduga itulah yang dimaksudkan Mrs. Vye. Dengan tenang, ia membalas tatapan mata Mrs. Vye. “Tanganmu yang selalu cekatan dan terampil dalam mengurus rumah membuat engkau seolah-olah terbiasa mengurus rumah. Aku semakin tidak dapat menduga siapakah engkau di masa lalu.” Mrs. Vye menggeleng sedih, “Terlalu banyak kenyataan yang berbeda dengan apa yang kuduga. Hal-hal yang saling bertentangan dalam dirimu terlalu banyak sehingga membuat aku semakin merasa bingung.” “Janganlah Anda bingungkan masa lalu saya, saya juga tidak tahu siapa saya di masa lalu. Biarkanlah waktu membuat segalanya jelas bagi saya maupun bagi Anda.” “Engkau benar. Kita hanya dapat berusaha sambil menanti waktu yang telah ditentukan para dewa bagimu untuk mengingat kembali masa lalumu.” “Masa lalu saya saat ini masih berada di dalam kegelapan, tetapi saya percaya para dewa akan menunjukkan jalan bagi saya untuk menyibakkan kegelapan itu,” kata Maria meyakinkan Mrs. Vye. “Menurutku tak lama lagi Mrs. Dahrien akan sering mengajakmu berbicara.” 66
Mrs. Vye menjawab keheranan yang tercermin pada mata Maria, “Ia senang berbicara dengan orang yang bijak.” “Saya kurang bijak dibandingkan Anda semua termasuk Mrs. Dahrien sendiri,” kata Maria merendahkan diri. “Bagi Mrs. Dahrien engkau sangat bijaksana melebihi siapa pun. Ia juga mengatakan bahwa ia harus banyak belajar darimu agar dapat sebijak engkau,” kata Mrs. Vye dengan tersenyum. “Saya juga harus banyak belajar dari Mrs. Dahrien agar menjadi sebijak ia. Tiap orang juga harus banyak belajar agar menjadi lebih bijak. Belajar tidak mengenal usia dan waktu.” “Apa dikatakan Mrs. Dahrien memang benar. Sedikitpun aku tidak meragukannya’” kata Mrs. Vye pada dirinya sendiri. Mereka berdiam diri. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Maria memandang keluar jendela. Tetapi ia tidak memperhatikan apa yang tampak dari balik jendela. Ia memikirkan pria itu lagi, entah berapa kali ia memikirkan pria itu sejak pertemuan pertama mereka. Tak dapat dimengertinya mengapa ia selalu memikirkan pria itu. Ia hanya menduga mungkin karena ia baru pertama kali berjumpa dengan pria yang sebaik dia sejak ia berada Obbeyville. Penduduk Obbeyville juga baik terhadap Maria, namun mereka tidak pernah menganggapnya sebagaimana yang diinginkannya. Mereka memperlakukannya seperti seorang dewi walau pun ia telah berkali-kali mengatakan kepada mereka bahwa ia seorang manusia seperti mereka juga. Berbeda dengan pria itu. Pria itu juga menganggapnya sebagai bidadari tetapi ia tidak memperlakukannya seperti orang suci yang bilamana melakukan sesuatu di luar kebiasaan akan segera membicarakannya. Seperti penduduk Obbeyville umumnya yang suka membicarakan dirinya. Walaupun mereka tidak pernah membicarakan segala perbuatannya di depan matanya, tetapi Maria tahu mereka membicarakan dirinya. Ia menganggap hal itu wajar karena ia seorang gadis tak dikenal yang tiba-tiba muncul tanpa diundang di Sungai Alleghei yang dikeramatkan mereka. Terutama ketika mereka mengetahui ia kehilangan ingatannya. Masa lalunya yang berada di dalam kegelapan itu membuat dirinya menjadi misterius di mata penduduk Obbeyville, terutama Mrs. Vye. Segala tindakan Maria sejak ia muncul dari pondok Mrs. Vye, membuat 67
Maria menjadi semakin penuh misteri. Bukan hanya itu saja yang disukai Maria dari pria yang tak dikenalnya itu. Pria itu juga sangat menyenangkan bila diajak berbicara. Mata kelabunya selalu menatap tajam tetapi ramah pada dirinya setiap kali mereka bertemu. Maria merasa wajahnya memanas saat ia teringat tangan pria itu yang memeluknya erat-erat di punggung kudanya. Hingga
kini
ia
tak
mengerti
mengapa
ia
membiarkan
pria
itu
membopong tubuhnya kemudian mengantarnya pulang dengan kuda coklat yang juga ditungganginya saat mereka bertemu untuk pertama kalinya. “Siapa pria itu?” tanya Mrs. Vye tiba-tiba. Jantung Maria serasa berhenti berdetak mendengar pertanyaan itu. Ia tahu siapa yang dimaksudkan oleh Mrs. Vye tetapi ia tetap bertanya. “Pria yang mana, Mrs. Vye?” Jantungnya berdetak cepat. “Pria yang tadi pagi kulihat mengantarmu,” jawab Mrs. Vye tanpa menyadari perubahan yang terjadi pada wajah Maria. Wajah Maria terasa kian memanas dan memerah mendengar kata-kata Mrs. Vye. Ia berusaha keras agar wajah serta suaranya tenang walau sebenarnya bergejolak. “Saya tidak mengenalnya,” jawab Maria jujur. “Mengapa
engkau
membiarkan
pria
itu
mengantarmu
dengan
kudanya?” sela Mrs. Vye sebelum Maria melanjutkan kata-katanya. “Kemarin pagi kami telah bertemu. Saya tidak mengetahui namanya, tetapi saya tahu ia berasal dari Blueberry. Ia baik hati, saya yakin ia tidak mempunyai maksud yang buruk terhadap saya,” jawab Maria. “Blueberry?” ulang Mrs. Vye. Maria menganggukkan kepalanya. Ia berusaha untuk bersikap setenang mungkin. “Di manakah kalian bertemu?” “Kami bertemu di tepi Sungai Alleghei.” “Mengapa aku tak pernah bertemu dengannya? Selama dua hari ini engkau dan aku pergi bersama-sama menyusuri sungai itu,” kata Mrs. Vye. “Kami bertemu tak lama setelah Anda pergi ke Sidewinder House,” jawab Maria. “Seperti apakah pria itu?” tanya Mrs. Vye. “Saya khawatir saya tidak dapat menggambarkan pria itu dengan baik. Saya hanya dapat mengatakan pria itu ramah terhadap saya, ia juga seorang 68
yang penuh pengertian.” Tak puas dengan jawaban Maria, Mrs. Vye bertanya lagi, “Apakah pria itu tampan?” Sekali lagi Maria mengangguk perlahan. “Siapakah pria itu?” tanya Mrs. Vye pada dirinya sendiri. Kemudian Mrs. Vye menatap tajam Maria. “Apakah ia tidak memberi tahumu namanya?” “Apakah ia mengetahui namamu?” tanya Mrs. Vye ketika melihat Maria menggelengkan kepalanya. Sekali lagi Maria menggelengkan kepala. “Aneh,” kata wanita itu heran, “Apa yang kalian lakukan selama di sana?” “Kami hanya berbicara tentang banyak hal. Tak seorangpun dari kami yang membicarakan mengenai diri kami masing-masing. Pria itu menanyakan mengenai diri saya pada pertemuan kami yang pertama.” “Apa yang kaukatakan padanya?” sela Mrs. Vye. “Saya menjawab bahwa saya hilang ingatan sehingga saya tidak dapat menjawab pertanyaannya.” “Bagus. Saat ini kita tidak tahu siapa dia, apakah ia orang baik atau orang jahat. Berhati-hatilah padanya,” nasehat Mrs. Vye. “Saya mengerti, Mrs. Vye. Saya akan selalu berhati-hati bila berjumpa dengannya.” “Bagus,” kata Mrs. Vye puas. “Bagaimana dengan pekerjaan barumu?” “Saya menyukainya,” jawab Maria. “Bagaimana engkau bisa menyukainya bila engkau harus melayani wanita yang sombong seperti Tuan Puteri,” kata Mrs. Vye heran. “Saya senang bisa membantunya. Seburuk apapun sifatnya, saya tidak akan mempedulikannya. Saya akan terus berusaha membantunya sejauh yang saya bisa.” “Bagaimana bila ia memakimu? Bila engkau sudah lama bekerja padanya, sikapnya tidak akan sebaik sekarang.” “Bila ia memaki saya tentu ada kesalahan yang telah saya perbuat. Saya akan menghindari kesalahan yang sama,” kata Maria tenang. “Engkau tidak mengerti. Tuan Puteri dan Yang Mulia tidak hanya memaki bila engkau melakukan kesalahan. Kadang-kadang mereka marahmarah tanpa alasan yang jelas.” “Saya akan mengambil tindakan yang tepat yaitu tidak memasukkan 69
makian mereka ke dalam hati bila demikian halnya. Biarlah mereka memaki saya sekehendak hati mereka asalkan saya tidak merasa benci kepada mereka, saya akan berusaha mengubah keburukan hati mereka.” “Tidak akan berguna bila engkau berniat mengubah sifat mereka. Mereka tidak akan mau mendengarkan kata-katamu. Mereka hanya mau bergaul dengan orang yang kaya seperti mereka.” “Setiap orang tidak boleh berputus asa sebelum mencobanya, Mrs. Vye. Walaupun mereka tidak mau mendengarkan saya, saya tidak akan berhenti sebelum mereka mau berubah.” “Aku mengerti engkau bermaksud baik. Tetapi ikutilah nasehatku, jangan mencoba merubah sifat buruk yang telah mendarah daging pada diri mereka,” kata Mrs. Vye dengan menggengam tangan Maria di permukaan meja, “Biarkanlah hati mereka dipenuhi oleh kebencian asalkan hatimu tidak dipenuhi kebencian.” “Kita tidak dapat membiarkan orang lain terus terjerumus ke dalam dosa, Mrs. Vye. Setiap orang mempunyai tugas menuntun kembali sesamanya yang tersesat ke jalan yang benar, seperti yang diajarkan Yesus sendiri.” “Baiklah, Mrs. Vye. Aku tidak akan mencoba menghentikanmu lagi, tetapi jangan terlalu memaksakan diri. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu.” “Terima kasih, Mrs. Vye. Saya berjanji akan berusaha sebaik mungkin tanpa menyinggung perasaan mereka.” “Engkau harus memegang teguh janjimu. Bila terjadi sesuatu padamu, Mr. Liesting, Mrs. Fat serta Mrs. Dahrien akan marah padaku. Mereka sangat menyayangi engkau,” kata Mrs. Vye. Maria tersenyum pada Mrs. Vye, “Saya juga menyayangi mereka semua termasuk Anda dan segala yang ada di Obbeyville. Saya mencintai suasana di sini, keindahannya, cuacanya. Saya mencintai segalanya.” “Andaikan Tuan Puteri dan Yang Mulia sepertimu,” gumam Mrs. Vye. “Saya yakin mereka juga mencintai tempat ini. Bukankah mereka juga berasal dari Obbeyville?” “Aku tidak yakin. Walaupun mereka berasal dari Obbeyville, tetapi mereka lebih menyukai kota-kota besar seperti Blueberry.” “Mengapa mereka seperti itu? Bukankah setiap orang mencintai tanah tempat tinggalnya, tanah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.” “Tetapi itulah kenyatannya. Mereka sering mengeluh karena harus 70
tinggal di kota kecil seperti ini. Mereka menjadi semakin sering mengeluh akhir-akhir ini. Ingin rasanya aku memaki mereka, tetapi apa yang dapat dilakukan oleh pengurus rumah tangga tua seperti aku,” keluh Mrs. Vye. “Anda tidak boleh memarahi mereka. Betapa pun besarnya kesalahan mereka tetapi kita tidak boleh memarahi mereka sekali pun mereka bukan majikan kita,” kata Maria, “Kita harus dapat memberi pengertian kepada mereka. Kita harus bersabar dalam menghadapi segala hal.” “Berkepala dingin dalam menghadapi segala hal, maksudmu?” Maria menganggukkan kepala. “Pantas saja engkau selalu tampak tenang dalam segala hal. Walaupun tadi pagi kudengar Tuan Puteri marah-marah,” kata Mrs. Vye. “Ia marah karena ia terlambat bangun lagi. Katanya janjinya yang kemarin dindur hingga hari ini, tetapi karena ia terlambat bangun maka mau tidak mau janjinya harus mundur lagi,” Maria menerangkan kepada Mrs. Vye. “Ia memang selalu begitu. Ia tidak pernah mengatakan secara jelas perintahnya kepada orang lain tetapi ia ingin hasil yang sempurna baginya,” kata Mrs. Vye. Maria hanya menganggukkan kepalanya mendengar kata-kata Mrs. Vye. Dalam beberapa hari ini ia telah mengenal sifat Baroness Lora maupun Lady Debora. Dan ia membenarkan kata-kata Mrs. Vye. Baik sifat maupun rupa kedua orang itu sangat mirip. Keduanya sering meninggalkan rumah. Kadang pagi-pagi sekali mereka pergi dan baru larut malam mereka pulang. Tidak ada yang tahu mereka pergi ke mana. Yang jelas mereka pergi ke pertemuan penting bagi mereka. Mereka selalu mengenakan pakaian mewah baik bila meninggalkan Sidewinder House maupun di dalam Sidewinder House. Tatanan rambut mereka pun tak mau kalah dari orang-orang kaya lainnya. Maria bersyukur Lady Debora menyukai tatanan rambut yang diaturnya. Wanita itu tak pernah mengeluh pada tatanan rambutnya. Maria selalu berusaha menyisir rambut wanita itu dengan rapi dan sesuai selera wanita itu. Ia juga memaklumi sikap Lady Debora yang seperti tidak peduli akan tatanan rambutnya yang diakui Mrs. Vye lebih baik dari yang bisa dilakukan Mrs. Vye sendiri. Tanpa disadarinya, ia semakin membuat Mrs. Vye merasa bingung padanya, terutama dirinya di masa lalu. Semakin hari Mrs. Vye semakin tidak 71
dapat menebak diri Maria. Andaikan Maria seorang putri bangsawan, mengapa gadis itu sangat pandai dalam merawat rumah? Tidak mungkin seorang putri bangsawan yang selalu dikelilingi banyak pelayan akan tampak seperti biasa mengurus rumahnya sendiri. Walaupun bila sang putri itu sendiri menginginkannya, orang tuanya pasti tidak akan mengijinkannya ikut mengerjakan tugas pelayan. Hal itu tak disangsikan oleh siapa pun. Tetapi bila gadis itu bukan putri bangsawan, mengapa ia mempunyai keanggunan bangsawan? Sikap dan tutur katanya yang sopan menunjukkan ia berasal dari keluarga bangsawan. Gaun serta kalung yang ditemukan bersamanya juga memperkuat dugaan itu. Kemungkinan lain yang pernah timbul dalam benak Mrs. Vye adalah Maria berasal dalam lingkungan keluarga yang tidak memiliki pelayan tetapi masih memiliki darah bangsawan. Kemungkinan ini juga tidak cocok. Mengapa Maria memiliki kalung dan gaun yang sangat indah bila ia berasal dari keluarga yang tidak sekaya bangsawan umumnya? Gadis itu tidak mungkin mendapatkan gaun dan perhiasan itu dari orang lain. Mrs. Vye telah mengenal baik sifat Maria dalam beberapa hari ini yang selalu menolak halus pemberian yang ditujukan padanya. Ia percaya Maria adalah gadis yang sangat disayangi oleh semua orang karena
kebaikan
hatinya.
Gadis
itu
selalu
tahu
di
mana
ia
harus
menempatkan dirinya dalam situasi apa pun. Gadis itu telah menawan hati semua orang di Obbeyville baik tua atau muda bahkan anak-anak dalam dua hari sejak kesembuhannya. Mrs. Vye benar-benar kebingungan memikirkan masa lalu Maria. Satusatunya yang memenuhi segala syarat itu hanyalah Maria berasal dari Holly Mountain. Gadis itu adalah bidadari yang cantik, anggun, bijaksana, rendah diri, rajin serta disukai banyak orang. Hanya itulah yang kini ada di benak Mrs. Vye. Seperti hari sebelumnya, Maria terus membayangkan pria itu hingga menjelang tidur. Bahkan di dalam mimpi pun ia melihat pria itu. Tidak dapat dimengertinya mengapa ia terus memikirkan pria yang tidak diketahui namanya itu. 72
Pagi ini pun ia berharap dapat bertemu dengan pria itu lagi. Pagi ini Maria tampak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Rambutnya yang panjang semakin terlihat bercahaya karena baru saja dicucinya. Rambutnya
panjangnya
yang
bercahaya
itu
membuat
Mrs.
Vye
terkagum-kagum. “Rambutmu benar-benar indah, selalu bersinar seperti sinar matahari pagi. Aku ingin sekali mempunyai rambut seperti ini yang lembut seperti sutra dan bersinar seperti cahaya matahari.” kata Mrs. Vye sambil terus menyisir rambut panjang Maria. “Rambut saya menjadi halus dan bersinar seperti ini karena baru dicuci,” kata Maria merendahkan diri. “Rambutmu selalu terlihat indah dalam keadaan seperti apa pun,” kata Mrs. Vye dengan senyuman yang menghiasi wajah bulatnya yang keriput. “Terima kasih, Mrs. Vye,” kata Maria, “Saya yakin rambut Anda waktu Anda masih muda juga sangat indah.” “Rambutku dulu juga indah tetapi tidak pernah seindah rambutmu. Sekarang rambutku sudah memutih semuanya, tidak terlihat indah lagi,” kata Mrs. Vye. “Anda jangan berkata seperti itu,” kata Maria, “Keindahan seseorang tidak hanya dilihat dari rambutnya, tetapi hatinya.” “Apakah engkau selalu menilai orang melalui hatinya?” tanya Mrs. Vye ingin tahu. Maria menganggukkan kepala. “Saya selalu menilai orang lain dengan melihat hatinya. Bagi saya tidak akan ada artinya bila seseorang itu cantik atau tampan tetapi hatinya buruk.” “Engkau benar-benar bijaksana memilih menilai orang tidak melalui penampilan tetapi hatinya. Aku harus menirumu dalam hal ini,” kata Mrs. Vye. “Hal itu sudah ditanamkan orang tua saya pada diri saya sejak saya masih kecil,” kata Maria. Ia terkejut akan ucapannya sendiri. Ia berusaha mengingat wajah orang tuanya serta nasehat-nasehat mereka, tetapi ia masih tidak dapat membuka tabir yang menutupi masa lalunya itu. “Jangan sedih, Maria. Ingatanmu perlahan-lahan akan pulih kembali,” kata Mrs. Vye menghibur, “Sudah suatu kemajuan engkau dapat mengingat nasehat orang tuamu. Aku yakin mereka adalah orang tua yang baik.” “Saya juga merasakan hal itu,” kata Maria. 73
Kemudian Mrs. Vye berbicara mengenai mitos malam musim panas pada Maria untuk mengalihkan perhatian gadis itu dari masa lalunya yang kini berada di balik kegelapan. Ia senang Maria mendengarkan setiap kata-katanya dengan cermat dan selalu menanggapinya bila ada mitos yang salah. Berulang kali Maria membetulkan cerita mitos malam musim panas yang diketahui Mrs. Vye. Begitulah Maria, gadis itu selalu seperti berasal dari mitos itu sendiri bila telah berbicara mengenai mitos itu. Ia lebih banyak mengetahui mengenai mitos itu dari semua penduduk Obbeyville. Bahkan seluruh penduduk Kerajaan Zirva, menurut Mrs. Vye. Maria selalu mendengarkan baik-baik segala yang dikatakan orang lain kepadanya. Tanpa mempedulikan kata-kata itu penting atau tidak, ia selalu mengingat semua kata orang lain dalam benaknya. Sesuatu dalam dirinya selalu mengingatkan untuk selalu mencatat segala yang dikatakan orang lain di dalam benaknya, tidak peduli kata-kata itu penting atau tidak. Mrs. Vye merasa enggan saat ia harus kembali ke Sidewinder House. Ia tidak ingin meninggalkan Maria seorang diri di sungai itu. Ia ingin mengetahui pria yang telah mengantar Maria pulang kemarin. Walaupun gadis itu tidak menolak bila Mrs. Vye terus menemaninya hingga pria itu muncul, tetapi sesuatu telah membisikkan ke telinganya untuk membiarkan Maria berdua dengan pria itu. Sebagai orang yang mempercayai mitos, Mrs. Vye percaya bisikan itu berasal dari para dewa di Holly Mountain. Ia semakin percaya pria itu tidak bermaksud buruk kepada Maria ketika mendengar bisikan itu. “Aku percaya pria itu bukan orang jahat, tetapi engkau tetap harus berhati-hati,” pesan Mrs. Vye sebelum meninggalkan Maria. Maria menganggukkan kepalanya dan memandang Mrs. Vye yang terus berjalan menjauh. Ketika
membalikkan
badan
untuk
melanjutkan
perjalanannya,
ia
terkejut ketika melihat pria itu telah berdiri di sisinya. Pria itu berdiri sangat dekat darinya. Jantung Maria kembali berdebar ketika ia menyadari jarak mereka yang sangat dekat itu. Ia percaya bila tadi ia membalikkan badan sambil melangkah, ia akan menubruk pria itu. “Anda
membuat
saya
terkejut,”
kata
Maria
setelah
menguasai 74
perasaannya lagi. “Rupanya saya selalu terlambat,” kata pria itu. “Anda terlambat sedikit bila Anda ingin bertemu dengan Mrs. Vye. Ia baru saja kembali ke Sidewinder House. Tetapi Anda dapat menemuinya di Sidewinder House. Sepanjang hari Mrs. Vye berada di sana,” kata Maria. “Bukan itu yang saya maksudkan. Saya tidak ingin bertemu dengan Mrs. Vye untuk saat ini,” kata pria itu. “Bila demikian halnya, mengapa Anda mengatakan Anda selalu terlambat?” tanya Maria tak mengerti. “Saya selalu terlambat untuk menjemput Anda di pondok Mrs. Vye.” Wajah Maria memerah mendengar kalimat itu, “Mengapa Anda ingin menjemput saya?” “Saya ingin lebih lama berbicara dengan Anda. Saya berharap bila saya dapat menjemput Anda di pondok Mrs. Vye, waktu saya untuk berdua dengan Anda semakin lama,” kata pria itu. Maria mendengar nada kecewa dalam kata-kata pria itu. Ia tidak melakukan yang lain selain memandang wajah pria itu. “Dapatkah Anda memberitahu saya pukul berapa Anda bangun pagi?” tanya pria itu dengan sopan, “Saya merasa hari ini saya datang lebih pagi dari kemarin tetapi saya masih terlambat.” “Saya selalu bangun pagi-pagi sekali. Saya bangun sekitar pukul tiga pagi,” jawab Maria. Maria telah menduga pria itu terkejut mendengar jawabannya. Ia terus memandang tenang melihat keterkejutan di mata kelabu itu. “Mengapa Anda bangun pagi-pagi sekali?” tanya pria itu. “Karena saya selalu melihat matahari terbit mengawali datangnya hari baru. Tetapi di sini saya tidak dapat melihat matahari terbit,” jawab Maria. “Rupanya Anda senang melihat matahari terbit. Mengapa Anda tidak melihat matahari terbit dari Sidewinder House? Rumah itu cukup tinggi untuk dapat melihat matahari terbit tanpa dihalangi pohon-pohon tinggi ini.” “Saya juga pernah berpikir mengenai itu, tetapi saya lebih suka melihat matahari terbit tanpa dihalangi pepohonan. Dari lantai teratas Sidewinder House, saya melihat matahari yang terbit masih terhalangi pucuk-pucuk pepohonan.” “Saya tahu di mana Anda dapat melihat matahari terbit tanpa terhalangi pepohonan,” kata pria itu. 75
“Sungguh,” seru Maria senang. “Besok saya akan menjemput Anda pagi-pagi sekali.” “Mengapa?” tanya pria itu melihat keragu-raguan di mata Maria. “Saya…saya… tidak bisa,” kata Maria ragu-ragu. “Mengapa?” tanya pria itu lagi. Melihat Maria diam saja, pria itu bertanya, “Apakah Anda tidak mau pergi bersama saya? Apakah Anda tidak mempercayai saya?” “Saya… saya mempercayai Anda. Tetapi…” Pria itu diam saja. Ia tahu Maria masih ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya, tetapi gadis itu pasti akan menyelesaikan kalimatnya. “Tetapi… saya ragu Mrs. Vye akan mengijinkan saya. Selain itu saya tidak biasa pergi bersama pria lain selain…” Kembali Maria menghentikan kata-katanya. Kali ini ia tidak berhenti karena ragu-ragu tetapi karena tak dapat menemukan lanjutan kata-katanya yang terdapat di balik kegelapan yang pekat. “Saya tidak dapat pergi bersama pria yang tidak saya kenal baik,” kata Maria mengganti kalimatnya. Pria itu tersenyum aneh, “Apakah ini berarti Anda masih kurang mempercayai saya?” “Tidak,” kata Maria tenang, “Saya tidak mengatakan saya tidak mempercayai Anda, saya sangat mempercayai Anda. Saya mengenal Anda sebagai orang baik. Tetapi Anda harus mengerti saya tidak dapat pergi hanya bersama Anda.” “Mengapa? Apakah Mrs. Vye melarang Anda bertemu dengan saya?” “Ia tidak melarang saya bertemu dengan Anda. Saya hanya tidak biasa pergi berdua dengan pria selain… selain… dengan pria yang tidak dapat saya ingat.” “Baiklah. Saya tidak akan memaksa Anda,” kata pria itu, “Bagaimana bila saya mengajak serta Mrs. Vye? Apakah Anda mau?” “Saya ragu apakah Mrs. Vye bersedia.” “Saya percaya Mrs. Vye akan setuju. Saya dan Mrs. Vye saling mengenal baik,” kata pria itu, “Seperti saya mengenal baik bidadari cantik yang ditemukannya ini.” “Saya senang melihat wajah Anda memerah, Maria,” kata pria itu. Semula Maria tidak menyadari pria itu menyebut namanya, ia hanya diam saja. 76
“Bagaimana Anda mengetahui nama saya?” tanyanya ketika menyadari hal itu. Ia merasa tidak pernah menyebutkan namanya kepada pria itu, “Anda mengetahuinya dari mereka?” “Dari pembicaraan penduduk Obbeyville? Ya,” kata pria itu mengakui. “Saya
menjadi
ragu
pada
Anda.
Jangan-jangan
Anda
senang
membicarakan segala perbuatan seseorang seperti penduduk Obbeyville,” kata Maria bergurau. “Bila
saya
senang
bersikap
seperti
itu,
bagaimana
saya
harus
menghadapi Anda?” kata pria itu menanggapi gurauan Maria. “Anda harus bersiap-siap dulu sebelum bertemu saya karena mungkin saya akan menjadi lebih berbahaya bila telah mengetahui apa yang akan Anda katakan sebelum Anda mengatakannya.” “Benarkah itu?” tanya pria itu tertarik. “Mengapa tidak? Bila Anda senang membicarakan segala tingkah laku saya selama ini, tentu saya dapat dengan mudah menebak apa yang akan Anda katakan,” kata Maria, “Dan sebelum Anda mengatakan sesuatu saya mungkin akan menyerang Anda dulu dengan kata-kata yang sangat tajam dan menyakitkan.” “Saya ragu Anda akan berbuat seperti itu, Maria.” “Bagi saya hal itu mungkin saja. Seseorang yang telah tersakiti hatinya akan sangat memungkinkan untuk mengucapkan kata-kata kasar yang belum pernah mereka katakan sebelumnya,” kata Maria. “Bagaimana Anda mengetahuinya?” tanya pria itu, “Apakah Anda pernah disakiti seseorang?” “Walaupun saya tidak pernah disakiti tetapi saya mempercayai hal itu. Semua orang akan mengucapkan segala kata-kata kasar yang tidak pernah mereka katakan sebelumnya. Tetapi ada pengecualian untuk mereka yang terbiasa mengucapkan kata-kata seperti itu dalam kehidupan sehari-harinya.” Pria itu tersenyum “Anda juga termasuk suatu pengecualian. Saya yakin Anda tidak akan mengucapkan kata-kata sekasar itu walaupun disakiti orang lain.” “Jangan terlalu yakin dengan pendapat Anda. Siapa pun bisa menjadi tak terduga,” kata Maria memperingatkan. “Saya setuju denganmu. Anda adalah salah satu orang yang tak pernah terduga itu. Saya tidak pernah membicarakan orang lain di belakangnya 77
tetapi ada seseorang yang selalu memberi tahu saya segala berita yang ada di Obbeyville.” “Rupanya pengasuh Anda tidak pernah kehilangan suatu berita pun. Saya yakin ia juga telah memberi tahu Anda mengenai segala yang telah saya lakukan di Sidewinder House.” “Saya terkejut mendengarnya, Maria. Saya tidak pernah menduga Anda pandai menebak,” kata pria itu. “Saya hanya secara kebetulan saja menebak dengan tepat,” kata Maria merendahkan diri. “Rasanya tidak adil bila hanya saya yang mengetahui nama Anda,” kata pria itu, “Panggillah saya Al dan saya akan memanggil Anda Maria agar kita tidak terlalu formal seperti ini.” Maria terdiam. Ia merasa pernah mendengar nama itu. Ia sering mengucapkannya
di masa
lalu,
ia
sangat
menyayangi
nama
itu. Ia
menyayangi pemilik nama itu. Pria itu juga sangat menyayanginya dan selalu melindunginya. Pria itu selalu memperhatikannya dan memberikan yang terbaik baginya. Tetapi siapa orang itu? Dan bagaimana rupa orang itu? Apa hubungan pria itu dengannya? Pertanyaan itu terus bergaung di telinganya saat Maria berusaha menyibakkan tabir yang menutupi masa lalunya. Suatu perasaan rindu muncul di dadanya saat ia terus berusaha menyibakkan masa lalunya yang berada di balik kegelapan yang sangat pekat itu. “Ada apa?” tanya pria itu cemas. Entah kapan Maria telah berada di dalam pelukan pria itu, tetapi saat gadis itu mendapatkan kesadarannya kembali, ia telah berada di pelukan pria itu. “Tidak ada apa-apa. Terima kasih,” kata Maria sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu. Pria itu mempererat tangannya yang merangkul pundak Maria. “Jangan terlalu sopan lagi terhadapku, Maria,” katanya berbisik, “Apa yang terjadi, Maria? Mengapa wajahmu memucat? Engkau tampak seperti akan pingsan, apakah engkau kurang sehat?” Jantung Maria berdetak semakin cepat ketika pria itu mempererat pelukannya. Dengan hati-hati ia berusaha melepaskan diri dari pelukan pria 78
itu. Ia merasa kehilangan sekaligus lega ketika tangan pria itu menjauh dari tubuhnya. Dengan tenang ia berkata, “Tidak apa-apa. Terima kasih. Saya hanya merasa sesuatu yang aneh saat Anda mengucapkan nama Anda. Saya… saya… merasa sering menyebut dan mendengar nama itu. Tetapi saya menyadari saya berada di kegelapan itu saat saya berusaha menemukan orang yang sering saya panggil… Al.” “Aku terkejut ada orang yang bernama sama denganku,” kata pria itu, “Jangan sedih, Maria. Ingatanmu pasti akan kembali lagi.” “Saya percaya ingatan saya akan kembali walau memakan waktu yang lama,” kata Maria. “Mengapa engkau menerima tugas menjadi pelayan Lady Debora, Maria?” tanya Al mengganti topik pembicaraan agar tidak membuat Maria menjadi semakin sedih mengingat masa lalunya yang berada di kegelapan yang pekat itu. “Mengapa Anda mempertanyakan hal itu?” Maria bertanya kepada pria itu, “Apakah menurut Anda menjadi seorang pelayan adalah hal yang memalukan?” Pria itu terdiam. Ia terkejut mendengar pertanyaan Maria yang sukar dijawab itu. “Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Aku hanya merasa heran mengapa engkau mau menerima syarat mereka padahal mereka tidak menyukaimu terutama Baroness Lora.” “Saya merasa sangat berterima kasih kepada mereka terutama Mrs. Vye yang telah merawat saya selama saya tidak sadarkan diri,” kata Maria tenang. “Tetapi mereka membencimu, Maria. Mengapa engkau sangat baik hati? Engkau tidak hanya menjadi pelayan Lady Debora tetapi juga menjadi pelayan rumah itu.” “Saya menyenangi pekerjaaan itu. Saya senang dapat membantu Mrs. Vye
dan
ketiga
pelayan
lainnya.
Mereka
sudah
terlalu
tua
untuk
membersihkan rumah itu. Saya tidak tega melihat mereka, di samping itu saya juga cepat merasa bosan bila tidak ada yang dapat saya lakukan.” Pria itu tersenyum. “Engkau benar-benar seorang bidadari yang sempurna di mata semua orang.” “Tidak ada yang sempurna di dunia ini, tidak ada makhluk yang tak bercela,” kata Maria merendahkan diri. 79
“Engkau sempurna di mataku, Maria.” “Itu karena ini pertama kalinya Anda menemukan seorang gadis tak dikenal membuat Anda merasa terkejut berulang kali dengan hal-hal yang tak pernah Anda duga sebelumnya,” kata Maria dengan tersenyum. “Kuakui ini memang pertama kalinya bagiku, seorang gadis mampu membuatku mengalami berbagai macam perasaan seperti ini,” kata Al, “Tetapi aku tidak dapat membuat engkau bersikap tidak terlalu sopan kepadaku. Sikapmu yang terlalu sopan membuatku merasa bingung harus berbuat bagaimana terhadapmu.” “Wajar bila saya bersikap sopan terhadap Anda. Anda lebih tua dari saya,” kata Maria merendahkan diri. “Apakah itu berarti engkau menganggapku sebagai seorang kakek yang sudah sangat renta?” tanya pria itu merajuk. Maria ingin tertawa melihat wajah cemberut pria itu, tetapi ia tahu hal itu tidak sopan. Ia hanya tersenyum saja melihat tingkah pria itu untuk menghiburnya, “Saya merasa Anda lebih muda dari saya bila Anda bertingkah seperti anak kecil yang sedang merajuk.” “Lalu apa yang akan kaulakukan terhadapku yang seperti anak kecil ini?” tanya Al. “Saya akan memperlakukan Anda seperti saya memperlakukan anakanak lainnya. Saya akan mendongeng untuk Anda,” jawab Maria dengan tersenyum. “Engkau mengingatkanku pada sesuatu yang patut kupertanyakan padamu,” kata Al tiba-tiba. Maria melihat keseriusan di mata pria itu, tetapi ia tetap bersikap tenang. Ia menanti kalimat pria itu. “Mengapa engkau menceritakan mitos itu kepada Mrs. Vye dan yang lainnya, tetapi tidak kepadaku?” tanya Al tajam. Maria tersenyum. Dengan tenang ia berusaha mmeberikan pengertian kepada pria itu, “Saya tidak akan pernah menceritakan mitos ketiga yang disembunyikan dari orang luar selain suku itu. Yang saya ceritakan kepada mereka adalah mitos mengenai nama asli Blueberry.” “Ayolah, jangan bersikap seperti anak kecil yang sedang marah. Anda membuat saya ingin tertawa melihat tingkah Anda yang seperti ini,” bujuk Maria melihat pria itu tidak mempercayai kata-katanya, “Apa yang saya katakan ini benar.” 80
“Aku sering melihatmu tersenyum tetapi aku belum pernah melihatmu tertawa. Aku ingin melihatmu tertawa,” kata pria itu. Wajah Maria kembali memerah. Ia memandang langit yang telah terang. Ia terkejut menyadari mereka telah berbicara cukup lama. Tak terasa hari telah terang. Maria memandang wajah pria itu dan sebelum ia mengatakan sesuatu pria itu telah berkata, “Engkau akan pergi sekarang?” tanyanya. “Saya harus kembali secepatnya. Saya harus membangunkannya pagipagi. Ia memiliki janji berkuda dengan seseorang,” kata Maria, “Kemarin ia terpaksa mengundurkan janji yang sangat dinanti-nantikannya itu. Hari ini ia tidak ingin terlambat bangun lagi.” “Lady Debora memiliki janji berkuda dengan seseorang tetapi mengapa ia baru bangun sesiang ini?” tanya pria itu heran. Maria tersenyum geli. “Bagi mereka saat ini masih terlalu dini untuk bangun. Kata Mrs. Vye, mereka terbiasa bangun tengah hari sekitar pukul sebelas.” “Perbedaan yang sangat mencolok,” kata Al. Maria tidak tahu siapa yang dibandingkan Al dengan Lady Debora, dan ia tidak memikirkannya. Ia merasa harus segera sampai di Sidewinder House. “Bila Anda tidak keberatan, saya akan pergi ke Sidewinder House sekarang.” “Aku
keberatan
sekali
bila
engkau
tidak
mengijinkanku
mengantarkanmu,” kata pria itu. “Dan aku tidak ingin engkau menolak tawaranku ini,” kata pria itu menegaskan kata-katanya. Maria tersenyum, “Hal ini lebih tepat disebut suatu tawaran yang memaksa atau paksaan. Kata tawaran tidak cocok untuk keinginan Anda yang memaksa itu.” “Aku merasa aku selalu harus memaksamu agar mau menuruti keinginanku. Engkau terlalu berhati-hati dan terlalu sopan terhadap siapa saja. Aku ingin mengetahui dirimu di masa lalu. Apakah engkau bidadari yang memiliki aturan ketat?” “Saya khawatir dugaan Anda meleset jauh. Bila melihat apa saja yang telah saya lakukan dalam hari-hari terakhir ini, rasanya sukar mengatakan saya adalah bidadari.” “Apa pun yang kaulakukan, tidak akan membuat orang mengurangi 81
kepercayaan mereka bahwa engkau bidadari yang diutus para dewa Holly Mountain.” “Sebaiknya pembicaraan ini kita tunda dulu. Saya harus segera tiba di Sidewinder House. Banyak pekerjaan yang menanti saya,” kata Maria. “Apakah engkau menerima tawaranku?” “Tidak mungkin bagi saya untuk menolak keinginan Anda yang sangat tulus
itu,”
kemudian
Maria
menambahkan
dengan
tersenyum,
“Dan
memaksa.” Pria itu tiba-tiba mengangkat tubuhnya dengan sangat cepat. Ia tidak dapat melakukan apa-apa untuk mencegah gerakan tangan yang tiba-tiba karena terkejutnya. “Sebagai hukuman karena engkau mengatakan aku memaksamu,” kata Al pura-pura serius melihat wajah Maria yang memerah. “Anda sendiri yang mengatakan bahwa Anda terpaksa memaksa saya agar menuruti tawaran Anda,” kata Maria mengingatkan. “Apakah aku mengatakannya? Aku lupa,” kata Al. Maria tidak mengatakan apa-apa untuk menghentikan pria itu. Ia menundukkan kepalanya, ia mengulurkan tangannya untuk berpegangan pada leher Al. Al meletakkan tubuh Maria dengan lembut di punggung kudanya. Kemudian ia dengan cepat melompat di punggung kudanya. Walaupun Maria tidak melihat gerakan pria itu, tetapi ia merasa yakin pria itu sering berkuda. Al dengan luwesnya melompat ke atas kudanya. Tangan Al menarik tubuh Maria mendekat. Maria menurut pada gerakan tangan itu. Ia mengerti Al takut ia jatuh. Ia berusaha tetap tenang saat punggungnya menyandar di tubuh pria itu. Seperti biasanya mereka kembali ke pondok Mrs. Vye sambil bercakapcakap. Al turun dari kudanya kemudian mengangkat tubuh Maria ketika mereka tiba di pondok Mrs. Vye. “Terima kasih,” kata Maria, tetapi tangan pria itu tidak segera beranjak dari pinggang Maria setelah Maria mengucapkan terima kasih, seperti kemarin. Pria itu membungkuk dan membisikkan sesuatu di telinga Maria, “Besok akan kujemput engkau pagi-pagi sekali.” Al
masih
enggan
melepaskan
pelukannya
walau
pesan
telah 82
disampaikannya. Tangan kanannya mengangkat dagu Maria yang tertunduk dan mengecup perlahan bibirnya. Maria terkejut dengan tindakan pria itu. Ia melepaskan diri dari pelukan pria itu dan berlari memasuki pondok Mrs. Vye. Al
terkejut
melihat
wajah
Maria
yang
memerah
sambil
berlari
menjauhinya. Gadis itu tampak terkejut dengan sikapnya. Sebelumnya Al tidak menduga Maria belum pernah dicium. Gadis itu tampak
dewasa
sekali
sehingga
sukar
baginya
untuk
memikirkan
kemungkinan bahwa gadis itu belum pernah dicium. Caranya tadi mengatakan apa yang akan dilakukan seseorang bila sakit hati membuatnya semakin yakin. Gadis itu benar-benar tidak dapat diduga. Kini ia bingung bagaimana harus menghadapi gadis yang tak terduga itu? Al meyakinkan dirinya untuk lebih mempercayai perasaannya daripada apa yang dilihatnya. Perasaannya mengatakan gadis itu masih polos dan sangat muda dalam pengalaman. Tetapi kenyataan yang dilihat berbeda dengan perasaannya. Gadis itu bijaksana dalam segala hal seperti orang yang telah berpengalaman dalam hidup.
83
6
Pagi itu Maria baru bangun saat ia mendengar suara kereta datang mendekat. Ia berusaha menembus kegelapan pagi melalui jendela kamarnya agar dapat melihat kereta yang baru datang itu. Dalam keremangan pagi itu, ia melihat sebuah kereta yang sangat indah berdiri dengan anggun di depan pondok Mrs. Vye. Kuda-kuda yang menarik kereta itu tampak masih mengantuk demikian pula kusirnya yang tampak enggan membuka mata. Seorang pria yang berpakaian lengkap turun dari kereta. Pria itu tampak gagah dalam kemejanya yang putih di pagi yang masih gelap itu. Maria terkejut menyadari pria itu tak lain adalah Al. Maria tidak menduga Al bersungguh-sungguh ketika mengatakan akan menjemputnya pagi-pagi untuk mengantarnya ke tempat di mana ia bisa melihat matahari terbit tanpa dihalangi pepohonan. Pagi ini masih sangat dini untuk melihat matahari terbit. Bintangbintang masih bersinar terang di langit malam walau bulan telah menghilang di balik bukit. Maria menduga tempat itu sangat jauh dari Obbeyville sehingga mereka harus berangkat sepagi ini agar dapat melihat matahari terbit. Ia mendengar pintu diketuk perlahan. Ia tidak beranjak dari kamarnya untuk membukakan pintu itu bagi Al. Ia masih merasa malu atas kejadian kemarin pagi saat Al mengantarnya pulang. Terdengar
langkah
kaki
Mrs.
Vye
yang
menuju
pintu
untuk
membukanya. Dari kamarnya, Maria dapat mendengar seruan senang bercampur terkejut Mrs. Vye melihat Al. Maria percaya pria itu mengatakan yang sebenarnya bahwa ia mengenal baik Mrs. Vye. Semula Maria dapat mendengar semua permbicaraan mereka, namun mereka semakin lama berbicara semakin perlahan sehingga Maria tidak dapat mendengarnya. Tetapi Maria dapat menduga Al meminta ijin kepada Mrs. Vye untuk membawanya ke sebuah tempat di mana ia dapat melihat matahari terbit dengan jelas. 84
Maria menanti hasil pembicaraan Mrs. Vye. Walaupun ia tahu Mrs. Vye akan mengijinkan Al membawanya pergi tetapi ia tidak mengganti gaun tidurnya dengan gaun yang pantas untuk bepergian. Ia menghampiri almari gaunnya dan memilih gaun biru terang yang diperolehnya dari Lady Debora pada hari pertamanya bekerja sebagai pelayan Lady Debora. Gaun yang tak berbahu itu telah dibetulkan oleh Mrs. Vye sesuai dengan ukuran tubuhnya. Kerutan-kerutan sepanjang dadanya masih tampak indah walau bagian pinggangnya telah dikecilkan. Muntiara-muntiara kecil yang berwarna putih menghiasi kerutan itu di bagian tengah dada gaun itu. Kainnya yang terbuat dari sifon terasa sangat lembut di tangannya. Dengan hati-hati diletakkannya gaun itu di tempat tidurnya kemudian ia duduk dan mulai menyisir rambutnya. Ia masih duduk di tepi tempat tidur sembari menyisir rambutnya dengan santai ketika Mrs. Vye memasuki kamarnya. “Mengapa
engkau
masih
diam
saja?
Lekaslah
bersiap-siap
ia
menunggumu,” kata Mrs. Vye terkejut tanpa mempermasalahkan Maria yang telah menyembunyikan ajakan pria itu dari pengetahuan Mrs. Vye. “Saya tidak dapat pergi,” kata Maria. “Mengapa?” tanya Mrs. Vye heran, “Apakah engkau khawatir aku tidak mengijinkanmu? Jangan khawatir aku mengijinkanmu pergi bersamanya. Aku memang salah telah melarangmu bertemu dengannya. Seharusnya aku percaya ia memang orang yang baik seperti katamu, sekarang aku tidak menyangsikannya lagi. Pergilah, aku tidak akan melarang.” “Bukan itu yang saya khawatirkan. Saya ingin Anda turut serta,” kata Maria, “Saya tidak biasa pergi seorang diri bersama pria.” Mrs. Vye tersenyum mendengar permintaan Maria dan berkata, “Tadi ia telah mengajak aku turut serta tetapi kupikir lebih baik engkau pergi berdua bersamanya. Bila engkau juga menghendakinya, aku tidak dapat menolak lagi.” Mrs. Vye mengambil gaun yang diletakkan Maria di tempat tidur kemudian membantu Maria mengganti gaun tidurnya dengan gaun itu. “Gaun ini cocok sekali untukmu,” kata Mrs. Vye, “Engkau pandai memilih gaun. Gaun ini sangat tepat dikenakan sambil melihat matahari terbit.” 85
“Terima kasih, Mrs. Vye. Saya hanya kebetulan saja melihat gaun ini dan tertarik untuk mengenakannya pagi ini.” “Duduklah, Maria. Aku akan menata rambutmu.” “Tidak perlu, Mrs. Vye. Saya senang mengurai rambut saya.” “Rambutmu yang panjang bisa mengganggu penglihatanmu,” kata Mrs. Vye menasehati Maria. “Tidak apa-apa, Mrs. Vye. Saya lebih suka melihat matahari terbit dengan rambut terurai,” lalu Maria menambahkan dengan bercanda, “Agar saya bisa membandingkan sinar rambut saya dengan sinar matahari pagi.” “Bandingkanlah,
Maria.
Dan
engkau
akan
mendapati
rambutmu
memiliki warna yang sama seperti sinar matahari pagi.” “Terima kasih, Mrs. Vye. Saya akan berusaha membandingkan keduanya dengan teliti,” kata Maria menanggapi gurauan Mrs. Vye. “Bawalah serta mantel, Maria. Di luar udara sangat dingin,” kata Mrs. Vye, “Beginilah cuaca di Obbeyville. Walaupun sudah musim panas tetapi pagi hari masih banyak kabut dan udaranya sangat dingin.” “Baik, Mrs. Vye.” Sebelum Maria menuju almari, Mrs. Vye telah menarik keluar sebuah mantel dari almari itu. Mrs. Vye menyodorkan mantel bulu yang berwarna abu-abu kekuningan pada Maria. Maria enggan menerima mantel yang menurutnya terlalu mewah itu, “Lebih baik saya mengenakan mantel lainnya, Mrs. Vye. Saya kurang menyukai mengenakan mantel bulu.” “Di sini tidak ada lagi mantel yang lain selain mantel bulu ini,” kata Mrs. Vye, “Kenakan saja mantel ini daripada engkau sakit. Aku khawatir engkau sakit terkena udara yang sangat dingin ini.” “Saya benar-benar tidak menyukainya, Mrs. Vye. Mengenakannya membuat saya merasa seperti menggantungkan hewan mati di pundak saya.” Maria melihat kekecewaan di mata Mrs. Vye. “Maafkan saya yang telah mengecewakan Anda, Mrs. Vye. Saya tidak dapat mengenakannya seperti yang Anda harapkan. Saya tidak ingin mengenakan mantel yang terbuat dari kulit hewan itu. Kasihan nasib serigala yang terpaksa harus mati karena kulitnya dibuat menjadi mantel.” “Ini bulu hewan asli?” tanya Mrs. Vye terkejut. “Ya, itu bulu serigala asli. Ini adalah bulu serigala hutan yang mulai 86
dilindungi di kerajaan
ini. Lady Debora bisa dihukum bila ketahuan
mengenakan mantel bulu serigala asli.” “Mantel ini seperti tidak terbuat dari bulu asli,” gumam Mrs. Vye sembari mengamati mantel yang berwarna kelabu kekuningan di tangannya itu. “Benar, mantel bulu ini seperti buatan, bukan yang asli. Pembuat mantel ini sangat pandai, ia mampu menipu mata Istana. Tetapi ia tidak dapat menipu mata saya, beberapa tahun yang lalu ia ditangkap dan dipenjarakan di penjara bawah tanah yang terletak di kota paling barat kerajaan ini, Xoechbee.” “Aku tidak pernah mendengarnya sebelumnya. Hingga kapankah pria itu ditahan?” tanya Mrs. Vye semakin tertarik mendengar cerita Maria. “Akan saya ceritakan nanti saja,” kata Maria, “Mungkin Al sudah tidak sabar lagi menanti kita. Saya seperti mendengar langkah kakinya yang gelisah di lantai kayu ini.” “Bagaimana dengan mantel ini?” “Saya tidak ingin mengenakannya, Mrs. Vye.” “Baiklah, aku tidak akan memaksamu lagi. Tetapi di sini tidak ada mantel yang lain. Aku tidak dapat mengambilkan mantel yang lain untukmu dari Sidewinder House sebab
kalau aku mengambilkannya sekarang, kita
akan terlambat.” Maria menganggukkan kepalanya, “Terima kasih telah membantu saya, Mrs. Vye. Sekarang Anda bisa bersiap-siap.” “Temuilah pria itu, Maria,” kata Mrs. Vye sebelum meninggalkan kamar Maria, “Aku akan segera siap.” Maria meninggalkan kamarnya untuk menemui pria itu. Perlahan-lahan ia menutup pintu kamarnya dan berjalan menuju ruang duduk yang menjadi satu dengan ruang makan. Pria itu berdiri dengan gelisah di ruang kecil itu. Tubuhnya yang tinggi seperti akan menyentuh langit-langit pondok. Al memandang lega bercampur kagum ketika melihatnya mendekat. “Maafkan saya telah membuat Anda menunggu,” kata Maria. “Engkau tampak cantik sekali pagi ini, Maria. Seperti peri air yang baru muncul dari laut dalam yang indah,” kata Al. Maria tersipu mendengar pujian itu. “Terima kasih. Saya berharap saya tidak mengecewakan Anda.” 87
“Engkau tidak pernah mengecewakan aku.” “Anda jangan berbohong. Anda sebetulnya kecewa karena saya tidak lekas bersiap-siap sehingga Anda harus menunggu lama, bukan?” kata Maria dengan tersenyum, “Saya tidak menyangka Anda akan menjemput saya sepagi ini. Langit masih sangat gelap. Mungkin saat ini baru pukul setengah empat.” Pria itu membalas senyuman Maria. “Bukan mungkin lagi, Maria. Saat ini memang pukul setengah empat tepat.” “Apakah tempat itu sangat jauh dari Obbeyville?” Al belum menjawab pertanyaannya ketika Mrs. Vye muncul. Wanita itu telah mengenakan gaun pelayan khas keluarga Sidewinder yang berwarna hitam kecuali pada bagian lehernya yang tinggi serta ujung lengannya yang panjang. Wajah Mrs. Vye tampak berseri ketika melihat mereka berdua bercakapcakap dengan akrab. Maria merasa lega Mrs. Vye tidak menyadari bahwa ia telah melepas kalungnya. “Mari kita berangkat sekarang,” kata Mrs. Vye. Maria tersenyum melihat Mrs. Vye mengajak mereka berangkat dengan penuh semangat. Wanita tua itu tidak mempedulikan Maria dan Al yang tidak segera mengikutinya menuju kereta kuda yang telah menanti mereka. Al memenggang lengan Maria dan menuntunnya meninggalkan pondok Mrs. Vye yang kecil itu. Udara terasa dingin menusuk kulit ketika Maria berada di luar dan kabut masih menghiasi alam Obbeyville. Sekeliling mereka tampak samar-samar karena kabut yang cukup tebal itu. Di dalam kabut itu, Maria dapat melihat kusir kuda membantu Mrs. Vye naik ke kereta. Maria tersenyum melihat semangat wanita tua itu yang menggebu-gebu. Dalam beberapa hari ini, ia telah mengenal watak Mrs. Vye yang periang seperti Mrs. Fat. Walaupun ia telah lanjut usia tetapi Maria tidak menyangkal wanita itu masih lincah. Mrs. Vye dapat bergerak cepat dengan tubuh gemuknya bila diperlukan. Maria berdiri di samping Al yang sedang menutup pintu pondok Mrs. Vye. Ia melihat kereta kuda yang menjemputnya itu. Kusir kudanya yang mirip dengan Mr. Liesting masih berdiri di depan pintu kereta yang masih terbuka. 88
Rambutnya yang memutih tersamar dalam kabut pagi. Tiba-tiba tubuh Maria menggigil karena udara pagi yang dingin menusuk kulit itu. Tanpa disadarinya, kedua tangannya memeluk tubuhnya yang kedinginan. Al yang melihat Maria kedinginan segera melepas jasnya yang berwarna hitam. “Kenakanlah ini,” kata Al sambil menyampirkan jasnya ke pundak Maria yang telanjang. “Terima kasih,” kata Maria sembari berusaha menguasai tubuhnya yang seperti tidak mau berhenti menggigil. Al menyadari Maria masih kedinginan walau telah mengenakan jasnya. Ia memeluk gadis itu dengan satu tangannya dan menuntunnya mendekati kereta. “Mengapa engkau tidak mengenakan mantel?” tanyanya. “Karena mantel yang ada hanyalah mantel bulu dan saya tidak senang mengenakan mantel bulu,” jawab Maria tenang. “Engkau
membuatku
heran,
Maria.
Biasanya
wanita
senang
mengenakan mantel bulu apalagi bila mantel itu terbuat dari bulu asli.” “Saya merasa seperti menggantung hewan mati di pundak saya bila saya mengenakan mantel bulu. Selain itu saya merasa kasihan kepada hewan yang harus mati hanya karena kita hendak mengambil bulunya.” Al mengangkat tubuh Maria sesampainya mereka di pintu kereta yang terbuka itu, agar gadis itu dapat dengan mudah memasuki kereta kemudian ia menyusul Maria setelah memberikan perintah kepada kusir kuda. Mrs. Vye tampak gembira sekali. Senyuman gembira selalu menghiasi wajahnya yang bulat itu tampak semakin lebar ketika Al duduk di samping Maria. Maria duduk meringkuk di pojok kereta itu seperti seorang anak kecil yang baru dimarahi. Tangannya masih memeluk erat-erat tubuhnya yang kedinginan. Al tanpa ragu-ragu menarik tubuh Maria ke dalam pelukannya untuk membuat gadis itu merasa hangat. Maria yang selalu merasa jantungnya berdebar-debar tiap kali pria itu menyentuh tubuhnya segera menyembunyikan wajahnya yang memerah dengan menundukkan kepala. “Mengapa engkau tidak memberi tahuku sebelumnya, Maria?” tanya 89
Mrs. Vye, “Bila engkau memberi tahuku sebelumnya, aku sapat mencarikan mantel yang lain untukmu.” “Ia tidak mempercayai Anda akan mengijinkannya pergi dengan saya, Mrs. Vye,” kata pria itu. “Saya tidak menduga Al bersungguh-sungguh ketika mengatakan akan mengajak saya ke tempat di mana saya bisa melihat matahari terbit,” jawab Maria jujur, “Lagipula saya tahu di Sidewinder House yang ada hanyalah mantel bulu asli.” “Ya, engkau benar. Kurasa tidak mungkin mereka memiliki mantel bulu buatan,” kata Mrs. Vye, “Mereka harus ditangkap seperti katamu.” “Mereka tidak akan ditangkap bila polisi yang melihat mantel itu. Mereka tidak dapat membedakan mantel bulu yang asli dan yang tidak.” “Mengapa engkau berkata seperti itu, Maria? Bukankah polisi yang menangkap pembuat mantel bulu serigala asli itu?” “Memang
mereka
yang
menangkap
tetapi
bukan
mereka
yang
menyadari mantel itu terbuat dari bulu asli serigala hutan yang dilindungi.” “Hingga kapankah pria itu ditahan?” tanya Mrs. Vye. “Karena ia masih membunuh banyak serigala hutan ketika peraturan itu dikeluarkan, ia dihukum selama tiga puluh tahun,” kata Maria. “Kasihan orang itu, ia masih harus tinggal di penjara bawah tanah kota Xoechbee yang terkenal paling menakutkan di Kerajaan Zirva selama dua puluh tujuh tahun lagi. Penjara itu sangat gelap, sinar matahari hampir tidak dapat menembus dinding batunya.” “Bagaimana engkau mengetahuinya, Maria?” tanya Al terkejut akan pengetahuan Maria mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Kerajaan. Semula ia menduga Maria hanya mengetahui mengenai mitos saja. Tidak pernah diduganya Maria akan mengetahui juga mengenai penjara bawah tanah Kerajaan Zirva yang terkenal paling menakutkan. Kerajaan Zirva sangat memperhatikan hukum. Dulu Istana sering memberikan hukuman mati, tetapi sejak bertahun-tahun yang lalu hukuman itu telah dihapus dan diganti dengan hukuman penjara yang lama. Dan di penjara itu, ditahan orang-orang yang dianggap berbahaya. Biasanya mereka yang melakukan kejahatan fatal seperti membunuh, membunuh binatang yang dilindungi; ditahan di sana. Sedangkan mereka yang dianggap melakukan kejahatan biasa seperti mencuri, ditahan di kota-kota yang memiliki rumah tahanan. 90
Pengawasan
di
penjara
itu
sangat
ketat.
Tidak
seorang
sanak
keluargapun yang boleh menjenguk mereka yang ditahan di sana tanpa ijin Raja. Dan untuk mendapatkan ijin itu sendiri, memerlukan waktu yang sangat lama dengan prosesnya yang sulit. Di sekeliling tempat itu, didirikan pagar yang sangat tinggi. Tidak seorangpun yang dapat mendekati tempat itu apalagi mengetahui keadaan di dalamnya. Ia tidak dapat membayangkan Maria mengunjungi saudaranya yang ditahan di sana sebab ia menduga Maria adalah bidadari bukan seorang manusia seperti dirinya. “Saya tidak tahu,” jawab Maria. “Jangan dipikirkan, Maria. Suatu saat nanti engkau akan dapat mengingatnya,” kata Mrs. Vye ketika melihat Maria berusaha mengingat masa lalunya lagi. Al tidak menanyakan apa-apa lagi mengenai penjara itu. Ia merasa kata-kata
Mrs.
Vye
benar.
Untuk
mengalihkan
perhatian
Maria,
ia
menceritakan tempat yang akan mereka datangi. Sepanjang jalan Maria terus bersandar di tubuh pria itu sambil mendengarkan pembicaraan pria itu dengan Mrs. Vye. Ia tidak banyak berkata-kata, ia menikmati rasa hangat yang menjalari tubuhnya karena pelukan Al sambil berusaha mengingat perasaan yang sama dengan masa lalunya. Maria tahu ia sering diperlakukan seperti ini tetapi kapan dan oleh siapakah itu ia tidak tahu. Ia hanya ingat perasaan hangat waktu itu sama seperti perasaan hangat kali ini. Begitu sibuknya Maria berusaha menyikap kabut pekat yang menutupi masa lalunya hingga ia tidak sadar mereka telah tiba. Gerak cepat Mrs. Vyelah yang membuatnya sadar. Mrs. Vye segera melompat turun dari kereta ketika mereka telah sampai di tempat yang mereka tuju. Al tersenyum melihat Mrs. Vye yang tampak bersemangat sekali. Ia turun dari kereta dan membantu Maria. Tangan Al memegang pinggang Maria untuk memudahkan gadis itu turun dari kereta. Tangan Maria memegang pundak Al dan dengan kaki yang masih berada di kereta, ia memandang laut dan mendapati apa yang dikatakan Al 91
mengenai tempat yang mereka datangi itu benar-benar tepat. Air laut masih tampak biru kehitam-hitaman walau bintang-bintang telah menyembunyikan wajahnya. Sejauh mata memandang, ia melihat laut itu berhiaskan ombak-ombak putih yang saling berkejar-kejaran, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Ombak yang kecil membaur dengan ombak yang besar untuk kemudian bersama-sama menerjang pantai. Di sepanjang pantai yang berpasir putih itu tidak tampak batu-batu karang yang besar. Seluruh pantai itu tampak bersih dari batu-batu karang. Pasirnya yang putih menghampar luas di tepi pantai. Tidak ada seorangpun di pantai yang terletak di sebelah timur Obbeyville itu kecuali mereka. Mrs. Vye telah berdiri di pantai yang sunyi itu. Wanita tua itu tampak terpesona pada pemandangan di sekitarnya. Entah berapa lama Maria terus berada dalam posisi itu sambil memandangi laut. Pria itu tidak mengeluh sedikitpun, ia terus memegang pinggang Maria yang ramping. Maria merasa senang ketika melihat laut di garis cakrawala mulai memerah tanda matahari akan segera terbit. Dengan lincahnya, ia melompat ke dalam pelukan pria itu kemudian berlari seperti anak kecil ke pantai. Ia bermain-main dengan ombak sambil terus memandang garis cakrawala. Mrs. Vye tidak mengatakan apa-apa melihat tingkah Maria yang seperti anak kecil. Dengan mengangkat ujung gaunnya ia bermain dengan ombak yang mencapai pantai. Angin yang bertiup tidak mengganggunya yang sedang bermain ombak. Maria seperti tidak merasakan keberadaan angin itu. Jas Al yang dikenakannya terlalu besar untuknya, tetapi ia tidak mempedulikannya walau lengannya yang terlalu panjang sering membuatnya kesulitan menggerakkan jari-jari tangannya. Pria itu berdiri di sampingnya seperti ingin melindunginya. Ia juga bermain-main dengan ombak. Sesekali Al menyiram wajah Maria dengan air laut yang berhasil ditampung tangannya. Tiap kali Maria menghindari air itu, rambutnya yang berkibar-kibar bersinar seperti sinar matahari. Ia tertawa riang sambil membalas Al. Mereka terus saling menyiramkan air laut hingga hampir semua permukaan laut memerah. 92
Maria menghentikan perlawanannya dan memandangi langit yang semakin memerah. Matahari muncul perlahan-lahan seolah-olah muncul dari dalam laut. Sinarnya yang pertama membuat semua orang silau kecuali Maria. Wajah gadis itu tampak memucat. Ia merasakan suatu perasaan aneh ketika ia memandangi matahari yang muncul perlahan-lahan itu. Ia merasa seperti kembali ke masa lalunya yang kini berada di balik kegelapan. Maria pernah melihat sinar matahari yang merah seperti itu. Merah itu seperti merah darah demikian pula langit di sekitarnya. Maria melihatnya bukan pada saat ia melihat matahari terbit seperti kebiasaan yang diingatnya tetapi di suatu tempat. Sesuatu yang sangat penting seakan-akan terbangkitkan kembali bersama bangkitnya matahari dari balik malam. Tetapi apakah itu, Maria tidak dapat mengingatnya. Maria hanya merasakan satu hal yaitu takut! Sebuah ketakutan dan kengerian yang sangat dalam membuatnya semakin pucat. Dan akhirnya tepat ketika matahari telah menampakkan keseluruhan dirinya, Maria jatuh pingsan. Al yang berada di samping gadis itu segera menangkapnya. Al segera membopong gadis itu ke kereta. Ia sangat mencemaskan gadis itu. Badan gadis itu terasa sangat panas. Wajahnya sangat pucat dan bibir memutih. Ia mulai menyalahkan dirinya yang mengajak gadis itu bermain ombak sehingga gadis itu jatuh pingsan. Mrs. Vye dan kusir kuda berlari-lari mendekat ketika melihat Maria tibatiba jatuh pingsan. Wajah mereka menampakkan kecemasan. “Apa yang terjadi padanya?” tanya Mrs. Vye dengan kecemasan yang tampak jelas dari nada bicaranya. Wanita tua itu mengikuti dengan cemas di samping Al. Ia terus melihat wajah Maria yang semakin memucat. “Saya tidak tahu, Mrs. Vye. Ia tiba-tiba pingsan.” Kusir kuda segera berlari ke kereta dan membuka pintunya lebar-lebar ketika mereka semakin mendekati kereta yang terletak tak jauh dari pantai itu. Mrs. Vye dengan bantuan kusir kuda naik ke kereta kemudian membantu Al. Dari dalam kereta, ia membantu meletakkan tubuh gadis yang 93
pingsan itu ke dalam posisi yang nyaman bagi gadis itu. Kemudian Mrs. Vye memegang dahi Maria. Ia sangat terkejut ketika menyentuh dahi Maria yang sangat panas. “Ada apa, Mrs. Vye?” tanya Al. “Suhu tubuhnya tinggi sekali, seperti waktu saya menemukannya.” “Waktu Anda menemukannya suhu tubuhnya juga seperti ini?” tanya pria itu tak percaya. “Ya, suhu tubuhnya sangat tinggi. Kadang-kadang suhu tubuhnya turun tetapi tiba-tiba tinggi lagi. Ia benar-benar membuat saya sangat khawatir.” “Lebih baik kita segera membawa Maria ke dokter,” kata Al. Kusir kuda yang sejak tadi berdiri di pintu kereta segera menutup perlahan pintu kereta kemudian mulai menjalankan kereta itu, ketika mendengar majikannya mengatakan kalimat itu. Walaupun Al tidak menyebutkan ke mana mereka harus pergi. Tetapi kusir kuda itu tidak bertanya seolah-olah ia tahu dokter mana yang dimaksud Al. Dan memang demikian. Sebagai kusir kuda yang telah bekerja puluhan tahun di keluarga pemuda itu, ia telah mengetahui tempat-tempat yang sering mereka kunjungi termasuk dokter pribadi mereka. Mrs. Vye menyarankan kepada Al untuk memangku gadis itu. Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu segera melakukannya sebab hal itu telah ada di pikirannya sebelum Mrs. Vye mengatakannya. Di
balik
napasnya
yang
terputus-putus,
ia
mendengar
Maria
mengucapkan sesuatu. Kata-kata yang diucapkan gadis itu sangat lirih, tetapi masih terdengar olehnya. “Al… di mana… engkau? Al… Al…, jangan bersembunyi…. Aku… aku takut…, Al. Al… di… sini dingin… sekali. Al… aku kedinginan. Al… Al….” Al memandangi wajah Maria yang terkulai lemah di bahunya. Wajahnya yang tampak semakin pucat tidak mengurangi kecantikkannya. Bulu matanya yang hitam tampak panjang dan lentik. Bibirnya yang memutih membuka sedikit dan berkata-kata lirih. Maria terus mengingau lirih. Karena Al sangat mencemaskan keadaan gadis itu, ia tidak memikirkan Al yang mana yang dimaksudkan gadis itu. Dirasakannya tubuh Maria bergetar kedinginan di pelukannya. Ia mengetatkan pelukannya dengan harapan dapat membuat gadis itu merasa 94
hangat, namun sepertinya gadis itu terus kedinginan di hawa pagi yang dingin menusuk kulit. Pepohonan yang rimbun di sepanjang jalan yang mereka lalui tidak memberi kesempatan kepada matahari untuk menyinari kereta itu. Angin yang berasal dari hutan sekeliling mereka terus bertiup. Dalam tidurnya, Maria merapatkan tubuhnya ke tubuh pria itu seperti anak kecil yang tidak berdaya melawan rasa dingin yang terus menerpa tubuhnya yang mungil. “Ia sangat luar biasa, bukan?” tanya Mrs. Vye memecahkan lamunan pria itu. Al yang sejak tadi asyik memandangi wajah Maria, terkejut mendengar kata-kata Mrs. Vye yang tiba-tiba itu. Mrs. Vye yang melihat keterkejutan di wajah Al segera mengulangi katakatanya. “Ya, ia sangat luar biasa,” jawab Al. “Apakah Anda menyukainya?” tanya Mrs. Vye ingin tahu. “Saya rasa takkan ada orang yang tidak menyukai gadis ini. Ia sangat ramah dan baik hati.” “Ia tampak semakin cantik dengan senyum manisnya yang selalu menghiasi wajahnya, bukan?” Sambil terus memandangi wajah Maria, Al menjawab pertanyaan Mrs. Vye. “Ia sering tersenyum tetapi tidak pernah tertawa. Ia lebih cantik bila ia tertawa, namun sayang ia tidak pernah tertawa. Sejak saya bertemu dengannya baru sekali saya melihatnya tertawa.” “Anda benar. Saya juga tidak pernah melihatnya tertawa. Walaupun bersama anak-anak, ia tidak pernah tertawa. Ia selalu tersenyum. Apakah ia bersedih karena tidak dapat mengingat masa lalunya?” “Saya tidak tahu, Mrs. Vye. Ia gadis yang sulit ditebak. Ia sering membuat saya terkejut dengan tindakan-tindakannya yang di luar dugaan saya,” kata Al. Mrs. Vye tersenyum pada pria itu dan berkata, “Ia tidak hanya membuat banyak kejutan terhadap Anda. Penduduk Obbeyville dan saya juga sering dikejutkannya dengan segala kemampuannya.” “Kita tidak tahu kemampuan apa lagi yang dimiliki Maria.” “Ia seorang gadis yang bijaksana. Saya yang telah tua ini tidak dapat menyaingi kebijaksanaannya. Mrs. Dahrien, pelayan yang paling tua di 95
keluarga Sidewinder juga mengatakan Maria memiliki kebijaksanaan yang lebih tinggi dari kami.” “Mrs. Dahrien sangat menyayangi Maria, ia menyukai kata-kata Maria yang terdengar seperti kata-kata orang bijak.” “Bagi saya, ia gadis yang sempurna,” kata Al. “Tidak hanya bagi Anda, Tuan Muda. Kami juga menganggapnya sempurna hingga tidak ada seorangpun dari kami, penduduk Obbeyville yang menyangkal bahwa Maria adalah bidadari.” “Harus saya akui baru pertama kali ini saya bertemu gadis yang membuat saya bingung. Kadang saya merasa canggung bila berhadapan dengannya. Ia selalu bersikap sopan, bahkan kadang-kadang saya merasa ia terlalu sopan.” “Mungkin sejak kecil ia telah diajari untuk bersikap sopan terhadap siapa saja,” kata Mrs. Vye sambil tersenyum. “Mungkin karena sikapnya yang lain daripada gadis yang lain itulah yang membuat saya semakin bingung seperti ini.” “Saya juga dibuat bingung oleh Maria. Saya tak mengerti darimana ia memperoleh kemampuan seperti itu. Ia sangat pandai dalam urusan rumah tangga.” Al memandang wajah Maria. Dalam keadaan yang lemah seperti ini, gadis itu benar-benar tampak seperti seorang anak yang lemah. Tetapi bila ia mulai mengatakan sesuatu, sulit menebak usianya yang sebenarnya. Kata-katanya sering mengejutkan. Sering kali kata-katanya sangat bijaksana seperti orang tua. Hilangnya masa lalu gadis itu membuat gadis itu menjadi seorang gadis misterius di Obbeyville. Wajahnya yang selalu tenang semakin menambah kesan kemisteriusan dirinya. Lebih-lebih segala tindakannya yang diluar dugaan siapa saja, sering membuat semua orang berpikir seribu kali mengenai gadis itu. Hingga kini tidak ada seorangpun yang dapat memberi jawaban yang tepat mengenai segala kemisteriusan gadis itu. Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan semua penduduk Obbeyville adalah gadis itu adalah bidadari yang dikirim para dewa. Gadis itu menjadi cerita misterius tersendiri bagi penduduk Obbeyville. Bagi mereka yang baru mengenal gadis itu setelah gadis itu sadar dari pingsannya, gadis itu adalah Maria, putri Mrs. Vye. Dan tidak seorang pun 96
tahu siapakah Maria di masa lalunya, semua orang hanya dapat menebak baik yang percaya pada mitos maupun yang tidak. Kereta berhenti tepat di depan rumah dokter pribadi keluarga Al. Rumah
berdinding
batu
itu
berdiri
tegak
di
perbatasan
antara
Obbeyville dan Blueberry. Taman di sekitar rumah tampak rapi dan terawat. Dedaunan yang telah menguning menghampar di rumput yang kekuningan. Bunga-bunga musim panas yang bermekaran tampak indah di taman itu. Sebelum kusir kuda membukakan pintu, Al telah keluar dari kereta itu dengan membopong Maria. Mrs. Vye mengikuti di belakangnya. Dokter yang menyambut kedatangan mereka sangat terkejut melihat keadaan Maria. “Baru pertama kali ini saya melihat wajah pasien yang sepucat wajah gadis ini,” kata dokter yang bernama Roe itu. Dokter Roe segera mengantar mereka memasuki rumahnya dan memeriksa Maria di sebuah kamar yang khusus disediakannya bagi pasien yang berobat ke rumahnya. Al menanti dengan cemas di pintu kamar itu sementara Dokter Roe memeriksa Maria. Suara Mrs. Vye yang sedang menjawab segala pertanyaan Dokter Roe terdengar dari balik pintu yang membatasi ruangan tempat kerja Dokter Roe dengan Ruang Pemeriksaan. Al merasa seperti menunggu kemunculan dokter itu selama berabadabad. Setelah beberapa lama, Al dapat menarik napas lega. Dokter itu keluar dari ruangan tempat ia memeriksa Maria dengan wajah lega. “Bagaimana keadaannya, Dokter?” tanya Al dengan cemas. “Jangan khawatir, ia tidak separah yang saya duga. Ia hanya terkena demam biasa,” kata Dokter Roe. “Wajahnya terlalu pucat bila ia hanya terkena demam biasa,” kata Al tidak yakin akan kata-kata dokter itu. “Jangan cemas, Tuan Muda. Ia hanya terkena demam biasa. Wajahnya yang
sangat
pucat
itu
tidak
perlu
Anda
khawatirkan.
Saya
telah
memeriksanya dengan teliti dan saya tidak melihat ia memiliki penyakit yang lain selain demam,” kata dokter itu dengan senyumannya yang mampu membuat semua anak tertawa. 97
Al masih ingat, ia selalu tertawa bila ia melihat dokter yang berwajah lucu itu tersenyum. Namun ini bukan saatnya bagi Al untuk tersenyum atau tertawa. Ia terlalu mencemaskan keadaan Maria sehingga tidak mampu memperhatikan hal-hal yang lain. Dokter Roe memang memiliki perawakan yang lucu. Rambutnya putihnya yang tipis membuat ia tampak botak. Keriput wajahnya membuat ia tampak lucu dengan rambutnya yang hampir habis itu. Kacamatanya yang kebesaran itu juga membuatnya tampak semakin lucu. Tubuhnya yang pendek gemuk seperti tong itu tidak membuat dirinya merasa rendah diri. Sebaliknya Dokter Roe sering bergurau mengenai kegemukan tubuhnya itu. Namun di balik kelucuannya itu, ia sebenarnya seorang dokter yang sangat terkenal di Blueberry. Ia terkenal pandai mengobati segala macam penyakit. Dengan gayanya yang santai, dokter itu duduk di meja kerjanya dan mulai menulis. Al duduk di hadapan Dokter Roe sambil terus mengawasi tangan dokter itu yang bergerak-gerak di atas kertas. “Ia gadis itu?” tanya Dokter Roe setelah selesai menulis. Al tahu apa yang dimaksudkan Dokter Roe. “Ya, ia gadis yang ditemukan di Sungai Alleghei,” jawabnya. “Dan wanita tua itu adalah Mrs. Vye?” Dokter Roe bertanya lagi. “Ya. Wanita tua itulah yang menemukan gadis itu di tepi Sungai Alleghei.” “Gadis itu memang seperti yang penduduk Obbeyville katakan. Bahkan gadis itu lebih cantik dari yang mereka katakan. Sudah lama saya ingin bertemu dengannya, tetapi saya tidak berani berharap sebab pekerjaan saya banyak.” “Menurut Anda, siapakah gadis itu?” tanya Al. “Saya tidak dapat memberikan jawaban yang tepat atas pertanyaan itu. Untuk sementara ini, saya hanya dapat menduga gadis itu memang bidadari, seperti yang penduduk Obbeyville katakan.” “Ia sangat luar biasa. Tidak hanya kecantikannya yang membuat Obbeyville mengatakan gadis itu bidadari utusan para dewa, tetapi juga kebaikan hatinya dan keramahannya.” 98
“Anda telah lama mengenalnya?” “Tidak, saya baru beberapa hari mengenalnya. Dan selama itu ia sering membuat saya merasa terkejut. Ia gadis yang sulit diduga. Kita tidak tahu apa lagi yang akan dilakukannya untuk menggemparkan Obbeyville.” “Saya merasa yakin ia berbeda dari wanita-wanita yang telah Anda kenal,” kata Dokter Roe sambil tersenyum memandangi wajah Al. Al menyetujui kata-kata Dokter Roe. Dari semua wanita yang telah dikenalnya, Maria memang berbeda dari mereka. Sebagai pria yang berpengalaman dalam menghadapi wanita, ia dapat dengan mudah menebak segala yang ada di pikiran wanita-wanita itu. Tetapi ia tidak dapat menebak dengan tepat pikiran Maria. Segala yang ada pada diri Maria sulit ditebak. Seolah-olah ada sesuatu yang melindungi gadis itu sehingga tidak seorang pun dapat menebak pikirannya. Dari luar, ia tampak seperti gadis yang lugu dan polos. Tetapi katakatanya seperti orang yang sangat berpengalaman dalam hidup ini. Kebijaksanaan gadis itu serta kesopanannya membuat semua orang mengaguminya. Gadis itu memiliki sesuatu yang jarang ditemui pada gadisgadis lainnya, sesuatu yang membuat gadis itu menonjol di antara semua wanita. Keanggunan serta tutur katanya yang lemah lembut membuat Al semakin mengagumi gadis itu. Al percaya tidak akan ada orang yang berani menganggu Maria walau gadis cantik itu terlihat seperti orang yang mudah diganggu. Ada sesuatu pada diri gadis itu yang membuat semua orang bersikap hormat kepadanya, seperti gadis itu menghormati orang di sekitarnya. Semua orang harus berpikir berkali-kali sebelum menganggu ketenangan Maria. Ketenangan gadis itu juga membuat Al kagum. Gadis itu selalu dapat menjaga sikapnya setenang mungkin dalam keadaan seperti apa pun, seperti orang yang telah terlatih untuk menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin. “Ia sangat berbeda dari mereka. Walaupun saya lebih tua darinya, tetapi kadang-kadang saya merasa ialah yang lebih tua. Baru kali ini saya bertemu dengan seorang gadis yang sangat bijaksana.” “Saya juga baru kali ini menjumpai gadis yang sangat cantik seperti gadis itu. Kecantikannya seperti menambah kesan kemisteriusan gadis itu.” 99
“Maria selalu dikelilingi kemisteriusan dengan tindakannya yang tidak dapat diduga.” “Maria? Indah sekali nama itu. Mrs. Vye pandai memberi nama.” Menyadari pembicaraan mereka telah jauh menyimpang dari masalah yang kini mereka hadapi, Al segera berkata, “Apakah ia benar-benar tidak apa-apa, Dokter? Mrs. Vye mengatakan gadis itu sepucat saat ini ketika ia menemukannya tergeletak pingsan di tepi Sungai Alleghei. Dan selama itu sering suhu tubuhnya tiba-tiba berubah.” “Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, Tuan Muda, Anda tidak perlu khawatir. Gadis itu hanya demam biasa. Bila Anda masih kurang yakin, Anda bisa menanyakan keadaan gadis itu pada Dokter Donter.” “Saya rasa saat ini ia sedang sibuk, ia orang yang selalu sibuk. Entah siapa yang dirawatnya saat ini. Orang tua saya pernah hendak memeriksakan diri ke Dokter Donter, tetapi dokter itu sibuk di Istana. Apa yang dilakukannya di Istana, saya tidak tahu. Mungkin ia sedang merawat Raja atau keluarga Raja yang lain.” “Kita memang sulit menemui Dokter Donter. Tetapi percayalah kepada saya, gadis itu hanya demam. Dokter Donter pernah bercerita kepada saya bahwa ia memiliki seorang pasien yang memiliki penyakit sangat aneh.” “Penyakit apa?” tanya Al. “Katanya, pasien itu tidak tahan udara dingin. Bila terkena udara dingin sang pasien akan jatuh sakit selama berhari-hari dan selama itu suhu tubuhnya sangat tinggi. Kadang-kadang suhu tubuhnya turun, tetapi tidak jarang suhu tubuhnya tiba-tiba naik lagi.” “Keadaannya sama seperti yang dikatakan Mrs. Vye,” kata Al, “Apakah Anda yakin Maria tidak apa-apa?” “Ya, saya sangat yakin. Gadis yang dirawat Dokter Donter masih hidup dengan tenang di tengah-tengah keluarganya. Kata Dokter Donter, gadis itu sering mengatakan kepada dirinya: ‘Saya ini orang yang aneh. Setiap orang melarikan diri dari bahaya, tetapi saya melarikan diri bukan dari bahaya tetapi dari cuaca.’ Gadis itu jarang berada di rumah. Pada musim ini ia berada suatu tempat. Di musim yang lain, ia berada di tempat yang lain pula.” “Siapakah gadis itu? Apakah mungkin Maria adalah gadis itu?” kata Al seolah-olah pada dirinya sendiri. “Hal itu sangat tidak mungkin, Tuan Muda. Mereka bukan gadis yang 100
sama. Dari yang saya ketahui dari Dokter Donter, gadis itu pada musim ini berada di rumah musim panasnya di balik Death Rocks.” “Di samping itu, Tuan Muda, keluarga gadis itu sangat kaya. Tidak mungkin seorang gadis yang kaya seperti dia mau merendahkan dirinya dengan melakukan tugas pelayan.” “Ya, Anda benar. Kata Mrs. Vye, Maria pandai mengatur rumah. Mereka bukan gadis yang sama,” kata Al membuang pikirannya tentang kemungkinan gadis yang diceritakan Dokter Roe dan Maria adalah gadis yang sama. “Tidak baik saya menahan Anda terlalu lama. Sebaiknya Anda segera mengantar Maria. Gadis itu membutuhkan banyak istirahat,” kata Dokter Roe sambil mengulurkan resep obat. Al menerima kertas itu, “Terima kasih, Dokter. Sekali lagi maafkan saya yang telah mengganggu Anda sepagi ini.” “Seorang dokter memang harus siap kapan pun diperlukan. Saya senang bisa membantu Anda,” kata Dokter Roe. “Sebenarnya saya masih tidak mengerti mengapa Anda mengajak gadis itu bepergian sepagi yang dingin seperti ini.” “Maria mengatakan ia ingin melihat matahari terbit, maka saya dengan ijin Mrs. Vye mengajak gadis itu pergi ke pantai yang terletak di timur Obbeyville untuk melihat matahari terbit,” kata Al, “Mrs. Vye juga ikut bersama kami, jadi Anda jangan berpikir yang tidak-tidak. Antara saya dan Maria tidak ada apa-apa.” “Saya mengerti gadis itu memang berbeda dari wanita-wanita saat ini yang tingkahnya persis seperti wanita pelacur. Setiap hari mereka hanya mengejar harta orang-orang kaya,” kata Dokter Roe. “Yang paling mencolok saat ini adalah Baroness Lora dan putrinya tentu saja. Saya percaya Maria tidak akan terjangkit penyakit yang menjijikkan itu walau mereka tinggal di tempat yang sama.” Al tertawa mendengar nada bicara Dokter Roe yang jelas-jelas menunjukkan ketidak sukaannya pada tingkah dua wanita dari Obbeyville yang mengejar pria-pria kaya. Entah berapa kali Baroness Lora terlibat skandal yang menggemparkan Obbeyville. Beratus-ratus kali rasanya wanita itu terlibat skandal dengan berbagai macam pria dari kalangan bangsawan. Tetapi wanita itu tidak jerajera juga. Bahkan hal itu telah menurun pada putrinya. Banyak pria yang telah terperosok dalam jerat Lady Debora. Wanita itu 101
pandai menggunakan kecantikan wajahnya untuk menjerat pria kaya. Walaupun Maria bekerja sebagai pelayan Lady Debora, tetapi Al percaya Maria tidak akan tertular penyakit yang dikatakan Dokter Roe. Gadis itu telah menunjukkan sikapnya yang berbeda dari wanita-wanita lainnya. “Maria tidak akan terjangkit penyakit itu, Dokter. Walaupun ia masih sangat muda dan polos, tetapi ia sangat bijaksana dalam menentukan langkah-langkahnya.” Al dan dokter itu menuju ruang tempat Maria berbaring. Mrs. Vye duduk di tepi pembaringan sambil terus mengawasi wajah Maria yang pucat. Wanita tua itu mengangkat kepalanya ketika Dokter Roe membuka pintu ruang itu. Mrs. Vye segera beranjak dari tempat duduknya ketika Al mendekat. Wanita tua itu seperti tahu apa yang akan dilakukan Al. Ia memandang wajah Maria yang masih pucat, mata gadis itu masih terpejam. Kemudian dengan hati-hati, pria itu mengangkat tubuh Maria dari pembaringan. Dokter Roe mengantar mereka hingga ke pintu depan. Setelah mengucapkan terima kasih kepada Dokter Roe, Mrs. Vye segera menuju kereta yang telah menanti mereka. “Terima kasih atas bantuan Anda, Dokter,” kata Al. “Jangan pernah menyakiti hati gadis itu, Tuan Muda. Jagalah ia baikbaik. Ia satu-satunya gadis yang tepat untuk Anda. Saya percaya ia akan menjadi istri yang baik,” kata Dokter Roe menggoda Al. “Saya yakin ialah yang Anda cari selama ini.” Al tersenyum mendengar kata-kata Dokter Roe. “Saya pasti akan menjaganya dengan baik.” Dokter Roe tersenyum. Ia memandangi punggung Al yang menjauh kemudian menghilang di dalam kereta. Entah mengapa ia merasa gadis misterius itu benar-benar tepat untuk Al yang terkenal sulit didekati. Banyak wanita yang ditolak pemuda itu. Pemuda itu seperti enggan menghabiskan masa mudanya. Sementara itu, orang tua pemuda itu menginginkan anaknya yang tahun ini berusia dua puluh tujuh tahun itu, segera menikah. Orang tua pemuda itu juga merasa kesulitan terhadap tingkah anaknya yang pemilih itu. Al menolak semua wanita yang disodorkan orang tuanya. 102
Mereka tidak mengerti wanita seperti apakah yang diinginkan anaknya. Akhirnya mereka memilih untuk membiarkan anak mereka memilih sendiri wanita yang akan dinikahinya. Mereka tidak pernah mendesak pemuda itu lagi. “Maafkan saya telah membuat Anda terlambat, Mrs. Vye,” kata Al. “Jangan khawatir, Tuan Muda. Mereka tidak akan tahu saya terlambat. Mereka takkan bangun sebelum tengah hari.” “Saya heran ternyata ada juga wanita sangat malas seperti mereka. Saya tidak dapat membayangkan wanita yang bangun di tengah hari.” “Anda pasti juga tidak dapat membayangkan ada gadis yang bangun pagi-pagi buta seperti Maria.” “Ya, saya juga merasa sukar mempercayainya. Saya kira ia terlalu membesar-besarkan saja,” kata Al mengakui. “Ia tidak membesar-besarkan, Tuan Muda. Ia selalu bangun pukul tiga,” kata Mrs. Vye meyakinkan Al, “Pada mulanya saya juga tidak mempercayai ia bangun sepagi itu, saya menduga ia tidak dapat tidur. Tetapi lama kelamaan saya mengakui Maria berbeda dari gadis-gadis lainnya.” “Sangat berbeda. Ia sangat berbeda dari semua wanita yang saya kenal,” kata Al menyetujui pendapat Mrs. Vye. “Apakah Anda tidak lelah? Dari tadi Anda memangku Maria,” tanya Mrs. Vye tiba-tiba. “Tidak, saya tidak lelah. Maria sangat ringan. Saya merasa seperti memangku seorang anak kecil,” jawab Al. “Anda memang terlihat seperti seorang ayah yang memangku anaknya yang sedang tidur,” kata Mrs. Vye. “Lebih tepat bila Anda mengatakan seorang kakak yang memeluk adiknya,” kata Al mengkoreksi. “Apakah Maria pernah menyebut tentang keluarganya kepada Anda?” “Tidak, ia tidak pernah mengatakan apa-apa.” “Apakah ia pernah mengingau sewaktu Anda menemukannya?” tanya Al lagi. “Tidak. Mengapa Anda menanyakan hal itu?” tanya Mrs. Vye heran. “Ia tadi mengingau,” jawab Al. “Benarkah itu? Mengapa saya tidak mendengarnya?” sela Mrs. Vye. “Ia mengingau sangat lirih hampir tidak terdengar oleh saya.” “Apakah yang ia ingaukan?” tanya Mrs. Vye. 103
“Ia mengatakan ia kedinginan dan ketakutan. Hanya itu, tidak ada lagi yang disebutkannya.” “Kasihan Maria. Saya berharap ia lekas sembuh. Saya sedih bila ia sakit. Suasana di Sidewinder berubah sejak kedatangannya,” kata Mrs. Vye sedih. “Tidak
hanya
di
Sidewinder
House
saja.
Maria
juga
membawa
perubahan di Obbeyville,” kata Al ketika mereka telah memasuki Obbeyville. Kereta berhenti tepat di depan pondok Mrs. Vye. Suasana di Obbeyville masih lenggang. Tidak banyak orang yang lalu lalang di jalan. Al melewati Mrs. Vye yang membukakan pintu baginya. Dengan hatihati ia melewati pintu kecil itu. Mrs. Vye memegang kepala Maria agar tidak terantuk pintu. Ia membimbing Al menuju kamar Maria. Setelah menyingkapkan selimut yang menutup tempat tidur, ia meminta Al meletakkan Maria di pembaringan. Al meletakkan tubuh Maria dengan lembut di atas pembaringan. Dengan satu tangannya ia menyangga kepala gadis itu kemudian meletakkan bantal dibawah kepalanya. “Tampaknya Maria tidak akan sadar dalam waktu dekat ini,” kata Al. “Dulu ia pingsan hampir satu minggu lamanya. Mungkin kali ini ia segera sadar.” “Ya, saya juga berharap begitu,” kata Al, “Selama Maria sakit, siapakah yang menjaganya?” “Saya. Tetapi saya tidak bisa terus menerus menjaganya, saya juga harus menyelesaikan pekerjaan yang telah menanti di Sidewinder House.” “Ijinkanlah saya menjaga Maria selama Anda tidak berada di sini,” kata Al. “Jangan merepotkan diri Anda sendiri dengan menjaga Maria. Anda masih memiliki banyak tugas. Saya dapat merawatnya sendirian.” “Jangan khawatir, Mrs. Vye. Papa pasti mengerti bila saya mengatakan hal ini. Saya akan merasa sangat senang bila Anda mengijinkan. Lagipula karena sayalah Maria menjadi seperti ini.” “Baiklah, Anda boleh membantu saya menjaga Maria. Saya memang tidak dapat membiarkan Maria sendirian selama ia sakit,” kata Mrs. Vye setelah terdiam beberapa lama. Setiap pagi, Al tidak lagi menemui Maria di tepi Sungai Alleghei. Ia menggantikan tugas Mrs. Vye menjaga Maria. 104
Seperti halnya Mrs. Vye, ia merasa khawatir pada Maria yang masih belum sadar walaupun hari-hari telah berlalu. Dokter Roe mengatakan Maria baik-baik saja, tetapi hal itu tidak mengurangi kecemasan Al dan Mrs. Vye. Hingga pada hari ketiga mereka masih belum dapat bernapas lega melihat Maria yang masih tertidur. Al memandangi Maria yang masih belum sadar. Rambut panjangnya berserakan di atas bantal putih. Dengan tangannya yang terlipat di dadanya, gadis itu nampak seperti putri tidur dalam dongeng anak-anak. Duduk di tepi pembaringan sambil mengawasi Maria telah menjadi pekerjaan sehari-harinya dalam dua hari terakhir ini. Hari ini merupakan hari ketiganya, ia menjaga Maria. Selama itu, Lady Debora tidak pernah mengunjungi Maria walaupun hanya sekali. Al telah menduga hal itu dan ia merasa sangat beruntung tidak berjumpa dengan wanita itu selama ia menjaga Maria. Dengan demikian ia dapat menjaga Maria dengan tenang, mengawasi wajah cantik yang tertidur itu. Bulu mata Maria yang terpejam tiba-tiba bergetar. Detik berikutnya mata yang indah itu membuka perlahan-lahan. Al sangat senang melihat Maria telah sadar dari tidur panjangnya. “Al? Mengapa Anda di sini?” tanya Maria lirih. “Aku senang engkau sudah sadar,” kata Al, “Rasanya seperti berabadabad engkau menjadi putri tidur, padahal sejak kemarin lusa engkau tidak sadarkan diri.” “Maafkan saya telah merepotkan Anda,” kata Maria. “Maria, engkau tidak pernah membuatku repot. Engkau tertidur sangat nyenyak sehingga tidak menyulitkan apa-apa.” “Di mana Mrs. Vye?” tanya Maria. “Ia di Sidewinder House,” jawab Al. Teringat tugasnya di Sidewinder House, Maria segera bangkit, namun pria itu mencegahnya. “Tidurlah, Maria. Engkau membutuhkan banyak istirahat,” kata Al sambil meletakkan tubuh Maria. “Jangan mengkhawatirkan tugasmu. Kata Mrs. Vye, Lady Debora mengerti akan keadaanmu.” 105
“Mrs. Vye sangat baik. Andaikan tubuh saya tidak lemah, saya akan membantunya,” kata Maria lirih. “Karena itu, Maria, engkau harus banyak istirahat agar tubuhmu kembali pulih.” “Saya mengerti, saya harus banyak beristirahat agar segera pulih,” kata Maria. Mrs. Vye sangat senang ketika melihat Maria telah sadar. Ia sangat senang hingga hampir lupa memberi obat kepada Maria. Walaupun Maria telah sadar, tetapi Mrs. Vye dan Al masih bergantian menjaga Maria. Mereka berdua terus menjaganya hingga gadis itu sembuh benar. Setiap hari, Al membawakan bunga untuk Maria. Maria merasa senang mendapat berbagai macam bunga musim panas yang indah.
106
7
Entah
karena
bunga-bunga
itu
atau
karena
orang
yang
membawakannya, Maria lebih cepat pulih dari yang diperkirakan. Dua hari kemudian,
Maria
telah
cukup
sehat
untuk
mengerjakan
tugasnya
di
Sidewinder House. Seperti biasa, Maria dan Mrs. Vye pergi berjalan-jalan di sepanjang Sungai Alleghei pagi itu. Penduduk Obbeyville tampak senang melihat Maria muncul dari pondok mungil itu setelah selama beberapa hari gadis itu tidak muncul. Beberapa dari mereka mengajak Maria bercakap-cakap. Maria merasa sangat senang pagi itu. Ia sengaja berjalan lambat agar dapat menikmati pemandangan tepi Sungai Alleghei yang hilang darinya selama beberapa hari. Tak lama setelah Mrs. Vye kembali ke Sidewinder House, Maria meninggalkan tempat itu. Ia ingin segera berjumpa Mr. Liesting, Mrs. Fat, dan Mrs. Dahrien. Ia menduga mereka pasti senang melihatnya seperti penduduk Obbeyville lainnya yang senang melihatnya muncul dari pondok mungil Mrs. Vye. Seperti yang telah diperkirakan Maria sebelumnya, Mrs. Fat, Mr. Liesting serta Mrs. Dahrien gembira melihat kedatangannya. Mereka mengajak Maria bercakap-cakap di dapur. “Engkau membuat kami khawatir, Maria,” kata Mrs. Dahrien. “Maafkan saya. Saya tidak bermaksud membuat Anda khawatir.” “Mengapa engkau telah berada di sini pagi-pagi, Maria? Biasanya engkau masih berada di Sungai Alleghei,” tanya Mrs. Vye. “Saya merindukan kalian,” kata Maria. “Anak-anak Obbeyville juga merindukanmu. Mereka mencarimu, mereka sangat sedih karena tidak dapat menemukanmu,” kata Mrs. Fat. “Saya juga merindukan mereka.” “Sayang Mrs. Vye tidak mengijinkan mereka menemuimu.” “Aku harus melakukannya, Mr. Liesting. Aku tidak dapat membiarkan mereka mengganggu istirahat Maria. Ia membutuhkan banyak istirahat,” kata 107
Mrs. Vye. “Aku mengerti, Mrs. Vye. Aku juga setuju pada tindakanmu. Mereka akan mengganggu istirahat Maria selama ia sakit.” “Mengapa engkau tidak menemui mereka?” tanya Mrs. Fat. “Saya ingin menemui mereka setelah saya menyelesaikan tugas saya.” “Lupakanlah tugasmu, Maria. Engkau baru saja sembuh. Jangan melakukan pekerjaan yang berat. Kami bisa melakukannya,” kata Mrs. Dahrien. “Lebih bijaksana bila saat ini engkau pergi menemui anak-anak itu,” kata Mrs. Fat. “Itu bukan bijaksana, Mrs. Fat, tetapi tindakan yang lebih baik. Biarlah saya membantu Anda sebentar kemudian saya akan menemui mereka. Saya merasa seluruh tubuh saya kaku selama beristirahat di atas tempat tidur.” “Renggangkanlah badanmu dengan bermain dengan anak-anak. Jangan dengan melakukan pekerjaan yang berat. Engkau baru sembuh,” kata Mrs. Dahrien. “Sejak kemarin mereka berkeliaran di sekitar rumah ini. Yang Mulia dan Tuan Puteri dibuat marah karenanya,” kata Mr. Liesting. “Apakah mereka melakukan sesuatu yang tidak baik?” tanya Maria cemas. “Tidak, mereka tidak melakukan apa-apa. Mereka hanya berkeliaran di sekitar rumah ini,” kata Mr. Liesting. “Baroness Lora dan Lady Debora pasti merasa risau melihat banyak anak berkeliaran di sekitar rumah mereka,” kata Maria dengan tersenyum, “Saya akan menemui mereka sekarang. Saya tidak ingin mereka dimarahi kedua wanita itu.” “Ya, itu yang paling baik. Temuilah mereka dan bersenang-senanglah hingga tengah hari nanti,” kata Mrs. Fat. Maria meninggalkan Sidewinder House melalui pintu belakang yang berada di dapur tempat mereka bercakap-cakap itu. Ia tidak melihat seorang anak pun di sekitar rumah itu. Suasana di sekitar rumah itu masih tampak lenggang seperti ketika ia datang. Hanya beberapa orang yang melintasi jalan di depan Sidewinder House. Mereka menuju Blueberry. Maria menduga mereka adalah petani yang bekerja di kebun Blueberry Duke of Blueberry. 108
Dari Mrs. Vye, Maria mengetahui tidak sedikit penduduk Obbeyville yang bekerja pada Duke. Tetapi juga tidak sedikit penduduk Obbeyville yang bekerja di tanah pertanian mereka sendiri. Petani-petani menggembalakan ternak mereka. Beberapa di antara mereka ada yang menanam bibit di tanah pertanian mereka yang tandus. Semua bekerja dengan giat dan penuh semangat. Di
kejauhan
tampak
Sungai
Alleghei
yang
berkilauan
seperti
menyambut kedatangannya. Daun-daun bergemirisik tertiup angin pagi. Daun-daun yang menguning menghiasi tanah. Matahari masih bersembunyi di balik pepohonan. Awan-awan putih telah berkejar-kejaran ke sana ke mari di langit yang biru. Ketika Maria memandang jalan yang menuju Sidewinder House, ia melihat anak-anak berjalan mendekat. Wajah anak-anak itu tampak ceria. “Mengapa Anda tidak menemui kami?” tanya mereka. “Saya harus beristirahat. Maafkan saya, sekarang saya akan menebus kesalahan saya,” kata Maria. “Anda belum menyelesaikan dongeng yang Anda ceritakan,” kata seorang anak. “Ya, saya masih ingat. Mari kita pergi ke Sungai Alleghei. Saya akan melanjutkan cerita saya di sana. Kalian tidak ingin dimarahi Baroness Lora lagi, bukan?” kata Maria. “Ya, Baroness Lora sangat jahat. Ia memarahi kami padahal kami tidak melakukan apa-apa. Kami hanya mencari Anda di sini,” kata anak-anak itu. “Hari ini kalian tidak perlu mencari saya karena saya akan menemani kalian hingga tengah hari nanti. Tetapi tidak di sini, saya akan menemani kalian bermain di tempat yang lain.” Anak-anak itu berseru senang. Mereka senang dapat bermain dengan Maria sepanjang hari. Itulah yang mereka harapkan sejak kemarin, tetapi Maria tidak muncul sehingga mereka harus menahan rasa kecewa mereka. “Jangan ribut, nanti Baroness Lora marah kepada kalian lagi,” kata Maria menenangkan anak-anak itu. Setelah anak-anak itu diam, Maria mengajak mereka meninggalkan Sidewinder House. Mereka berebut menggandeng Maria. Dengan tersenyum, Maria melerai mereka dan membiarkan anak-anak itu menggandeng tangannya beramai109
ramai. Belum jauh, Maria dan anak-anak itu meninggalkan Sidewinder House ketika Maria melihat Al datang mendekat dengan kudanya. Al tersenyum ketika melihat Maria berjalan beramai-ramai dengan anakanak menuju Sungai Alleghei. Tetapi hal itu tidak mengurangi kekecewaan yang tampak di wajahnya. Maria mencoba menerka kekecewaan apa yang ditahan Al. Dan ketika ia menemukan jawabannya, ia merasa bersalah. “Kelihatannya engkau dan anak-anak itu hendak menuju Sungai Alleghei. Apakah ini sebabnya engkau tidak menemuiku di sana seperti biasanya?” tanya Al. “Maafkan saya telah membuat Anda kecewa. Pagi ini saya merasa ingin segera berjumpa dengan Mr. Liesting, Mrs. Fat dan Mrs. Dahrien serta anakanak ini karena itu saya segera meninggalkan Sungai Alleghei setelah kepergian Mrs. Vye. Saya tidak bermaksud menghindari Anda,” kata Maria. “Aku mengerti, Maria. Sekarang apakah engkau mengijinkan aku ikut dalam rombonganmu?” “Bila Anda mau turun dari kuda Anda.” Al melompat dari punggung kudanya kemudian mendekati Maria. “Anda tidak keberatan mendapat perlakuan yang tidak Anda harapkan? Saya tidak akan memperhatikan Anda, saya akan lebih memusatkan perhatian saya pada anak-anak ini. Saya tidak ingin terjadi sesuatu pada mereka selama mereka bersama saya,” kata Maria. “Jangan khawatir, aku tidak akan kecewa. Aku akan membantumu mengawasi anak-anak itu. Aku khawatir mereka terlalu nakal sehingga membuat engkau kerepotan,” kata Al sambil memandangi anak-anak yang berada di sekeliling Maria. Anak-anak marah mendengar kata-kata Al. Mereka menatap Al dengan wajah cemberut, tetapi pria itu yang pura-pura tidak tahu. “Kami tidak nakal. Benarkan?” kata mereka sambil memandang Maria. Maria tersenyum melihat kemarahan anak-anak itu. “Saya tahu kalian anak yang baik,” kata Maria, “Sekarang, mari kita pergi. Matahari semakin tinggi di langit.” Bersama beberapa anak, Maria melangkah meninggalkan mereka yang masih marah pada Al. Al mengikuti di samping Maria. Tangan pria itu memegang kendali kuda 110
yang berjalan di sampingnya. Setelah agak jauh berjalan, Maria berhenti dan membalikkan badan kepada anak-anak yang belum beranjak dari tempat mereka. “Bila kalian tetap tinggal di sini, saya tidak akan mengulang cerita yang akan saya ceritakan pada teman-teman kalian,” kata Maria pada mereka. Mereka menanti anak-anak yang berlari mendekat itu. Setelah semua anak telah berkumpul kembali, mereka melanjutkan perjalanannya kembali. “Mereka marah kepada Anda,” kata Maria pada Al yang berjalan di sisinya. “Aku tahu. Mereka sangat lucu ketika marah,” kata Al. “Anda akan menyesal bila dibenci anak-anak.” “Mengapa demikian?” tanya Al heran. “Pikiran anak-anak masih polos. Apa yang mereka pikirkan, mereka rasakan tidak pernah mereka sembunyikan. Mereka selalu mengatakan apa yang mereka pikirkan, rasakan. Jangan sampai mereka membenci Anda, karena anak-anaklah yang membuat kita lebih merasakan kebahagiaan dunia.” “Sejujurnya, Maria, aku kurang mengerti yang kaukatakan.” “Anak-anaklah kebahagiaan dunia. Canda tawa mereka yang menghiasi dunia membuat dunia semakin ceria.” “Kau benar. Tanpa canda tawa mereka, dunia ini terasa sepi.” Seperti biasa, penduduk Obbeyville berbisik-bisik melihat Maria berjalan beramai-ramai dengan anak-anak menuju Sungai Alleghei dengan didampingi seorang pria. Namun tak seorang pun dari mereka yang mempedulikan hal itu. Mereka terus berjalan menuju Sungai Alleghei. Anak-anak tampak sangat bersemangat, mereka menanti kelanjutan dongeng yang diceritakan Maria. Telah berhari-hari mereka menanti saat itu. Mereka terus menanti dengan tekun hingga gadis itu muncul dari pondok Mrs. Vye. Maria duduk di bawah pohon besar di tepi Sungai Alleghei. Anak-anak duduk di sekitarnya sedangkan Al berdiri di belakang mengawasi mereka dan kudanya yang sedang merumput. “Hingga di mana cerita saya?” tanya Maria. “Ketika para dewa merencanakan untuk menyerang setan-setan,” kata anak-anak itu serempak. 111
Maria tersenyum melihat anak-anak Obbeyville yang kompak. Mereka seperti telah diajarkan sejak kecil untuk selalu rukun. Sejak kedatangan Maria di desa kecil ini, ia tidak pernah mendengar anak
yang
bertengkar.
Mereka
selalu
bermain
bersama-sama
tanpa
mempedulikan perbedaan usia. Kakak menjaga adik, adik menjaga kakak, seperti itulah kerukunan mereka. Maria mengaggumi cara penduduk Obbeyville dalam mendidik anakanak mereka agar rukun satu sama lain. Antara anak-anak itu telah terjalin hubungan yang akrab sehingga mereka mau saling membantu bila ada yang kesulitan. Melihat kerukunan mereka, seperti tiada kecurigaan dan iri hati di antara mereka. Mereka bermain dalam satu keluarga besar, anak-anak Obbeyville. Satu hal yang membuat Maria adalah bila Baroness Lora benar-benar berasal dari Obbeyville. Mengapa wanita itu enggan bergaul dengan penduduk lainnya? Bila sejak kecil Baroness Lora diajarkan untuk hidup rukun seperti anakanak itu, mengapa kebencian masih dapat berada di hati wanita itu? Walaupun penduduk Obbeyville sering membicarakan segala sesuatu mengenai Maria di belakang gadis itu. Tetapi mereka tidak menyimpan kebencian kepada Maria di hati mereka seperti Baroness Lora. Tiada dimengerti oleh Maria mengapa Baroness Lora membenci dirinya. Seolah-olah Maria telah melakukan suatu kesalahan besar terhadap wanita itu. Sering kali pula Maria mencoba menemukan kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap wanita itu. Tetapi ia tidak dapat menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Baik di masa kini maupun di masa lalunya yang tertutup kabut tebal. Walaupun Maria tidak dapat mengingat masa lalunya, tetapi ia masih dapat merasakan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan Baroness Lora serta putrinya sebelumnya. Ini adalah pertama kalinya Maria berada di Obbeyville. Benar
Maria
tidak
dapat
mengingatnya,
tetapi
perasaan
Maria
mengatakan ia belum pernah berada di Obbeyville sebelumnya dan Maria percaya hal itu. “Para dewa yang mengetahui rencana setan-setan itu, mulai menyusun rencana untuk menghentikan setan-setan itu sebelum mereka melaksanakan 112
rencana jahat mereka,” kata Maria memulai ceritanya. Sesungguhnya yang diceritakan Maria pada anak-anak itu, bukanlah dongeng tetapi mitos peperangan antara para dewa dengan setan di Blueberry. Karena Maria tidak ingin anak-anak itu terlalu terpengaruh mitos yang diceritakannya, maka ia tidak mengatakan kepada anak-anak itu bahwa apa yang diceritakannya kepada mereka sesungguhnya adalah mitos bukan dongeng. Mitos yang benar-benar ada di masyarakat khususnya penduduk Blueberry. Mitos yang pernah terkenal di Kerajaan Zirva dan masih diketahui sedikit orang. Walaupun semakin sedikit orang yang mengetahui mitos nama asli Blueberry, tetapi mitos itu masih tetap hidup seperti mitos yang dimiliki penduduk Obbeyville. Dan Maria mempercayai hal itu. Ia tidak ingin mitos itu hilang tertelan kemajuan peradaban. Melalui ‘dongeng’ yang diceritakannya kepada anakanak itu, ia berharap mitos itu masih akan tetap dan terus hidup. Sesungguhnya, Kerajaan Zirva memiliki tiga mitos yang paling terkenal di antara mitos-mitos lainnya. Tetapi hanya dua mitos yang diketahui penduduk, hanya orang-orang tertentu yang mengetahui mitos ketiga itu termasuk Maria. Di antara kedua mitos yang diketahui penduduk itu hanya mitos Sungai Alleghei yang paling terkenal. Sedangkan mitos Blackblood hampir punah. Walaupun Maria tidak dapat mengingat segala masa lalunya, namun Maria masih dapat mengingat bahwa mitos ketiga itu sengaja disembunyikan dari masyarakat luas selain suku tempat mitos itu berasal. “Kurasa kalian harus menghentikan dongeng kalian di sini. Hari telah siang dan Maria harus segera kembali ke Sidewinder House,” kata Al menghentikan dongeng Maria. Anak-anak mengeluh kecewa karena tidak dapat mendengar kelanjutan dongeng yang mereka sukai itu. “Jangan kecewa seperti itu. Besok Maria pasti akan melanjutkan dongengnya yang belum selesai,” kata Al. “Sekarang saya harus segera kembali ke Sidewinder House. Besok saya akan melanjutkan dongeng saya, bila mungkin nanti sore saya akan 113
melanjutkan dongeng tersebut,” kata Maria membenarkan kata-kata Al. “Aku khawatir sore ini engkau tidak dapat melanjutkan dongengmu, Maria.” “Saya tidak mempunyai rencana apa-apa untuk sore ini. Lady Debora akan pergi sore ini seperti sore-sore lainnya dan baru tiba tengah malam,” kata Maria. “Bagus,” kata pria itu senang, “Sekarang lebih baik kita mengantar anak-anak ini dan aku akan memberi tahumu sesuatu.” “Kami bisa pulang sendiri bila Anda berdua ingin bercakap-cakap,” kata anak yang paling tua di antara anak-anak lainnya itu. “Tidak perlu. Saya akan mengantar kalian, saya bertanggung jawab terhadap kalian selama kalian bersama dengan saya.” “Serahkanlah tanggung jawab itu kepada saya. Saya sudah cukup besar untuk mengawasi anak-anak lainnya,” kata anak itu lagi. “Ya, Anda tidak perlu mengantar kami. Kami masih ingin bermain,” kata anak-anak yang lain menyakinkan Maria. “Biarkanlah mereka kembali sendiri, Maria. Aku yakin anak itu cukup mampu menjaga teman-temannya,” kata Al ikut membujuk Maria. “Saya harap kalian berhati-hati. Jangan sampai terjatuh! Perhatikanlah langkah kalian,” kata Maria. Anak-anak segera berlari meninggalkan Maria dan Al setelah Maria menyatakan keputusannya. Mereka tidak menuju Obbeyville, tetapi ke tanah pertanian milik penduduk Obbeyville yang terletak tak jauh dari Obbeyville. “Engkau sangat pandai, Maria. Engkau menceritakan mitos itu kepada anak-anak dalam bentuk dongeng,” kata Al setelah anak-anak itu menghilang di balik pepohonan. “Saya hanya menggunakan cara yang tepat untuk membuat mereka menyukai mitos itu tanpa membuat mereka terpengaruh mitos itu,” kata Maria. “Ya, mereka mungkin takut bila mengetahui darah para setan itu telah menjelma menjadi bunga Blackblood.” “Bunga Blackblood sangat indah namun ia bisa terlihat menakutkan di malam hari. Bunga itu pada siang hari tampak indah seperti bunga-bunga lainnya, tetapi di malam hari ia tampak menakutkan dengan warnanya yang menyerupai darah.” “Sayang bunga itu telah semakin langka seperti mitos itu sendiri.” 114
Maria mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Ia merasa sedih bunga Blackblood yang indah namun menakutkan itu mulai langka. Di hutan-hutan Blueberry sekalipun jarang dijumpai bunga itu. Bunga itu menghilang bersamaan dengan menghilangnya mitos mengenai bunga itu sendiri. “Dapatkah Anda mengatakan apa yang ingin Anda beri tahukan kepada saya?” “Aku ingin mengajakmu pergi sore ini,” kata Al. Al tidak memberi kesempatan pada Maria untuk menolak ajakannya, “Mrs. Vye telah mengijinkan aku mengajakmu sore ini. Aku yang mengatakan hal itu kepadanya dan ia memberiku ijin untuk membawamu pergi sore ini. Bila engkau tidak percaya, engkau dapat bertanya pada Mrs. Vye sendiri.” “Saya percaya Anda mengatakan yang sebenarnya. Ke manakah Anda akan mengajak saya?” “Aku ingin mengajakmu ke pesta dansa yang diadakan oleh keluargaku sore ini.” “Saya khawatir, saya tidak dapat ikut beserta Anda,” kata Maria, “Saya tidak mempunyai gaun yang cocok untuk pergi ke pesta dansa itu.” “Jangan khawatir, Maria. Aku telah mempersiapkan segalanya,” kata Al, “Bila tidak ada hal yang menghalangi, engkau akan mendapat kiriman siang ini.” “Kiriman dari siapa? Untuk apa?” tanya Maria tak mengerti. “Engkau akan mengerti nanti siang bila kiriman itu telah sampai padamu. Apakah engkau menerima undanganku?” kata Al. “Apakah ada kemungkinan bagi saya untuk menolaknya?” tanya Maria. “Tidak,” jawab Al tegas. “Artinya saya tidak memiliki pilihan yang lain selain menerimanya,” kata Maria sambil tersenyum manis, “Saya berharap saya tidak membuat Anda merasa malu di pesta dansa itu.” “Tidak akan, Maria. Engkau tidak akan pernah membuat malu siapapun termasuk aku. Aku akan merasa bangga sekali nanti sore, pergi ke pesta dengan ditemani gadis yang sangat cantik sepertimu.” “Saya berharap demikian,” kata Maria tersipu-sipu. “Tetapi Anda dan saya sendiri tidak mengetahui apakah saya bisa berdansa dengan baik.” “Engkau tidak pernah mengecewakan aku, Maria, dan aku yakin engkau dapat berdansa dengan baik bila melihat gerakanmu yang anggun dan lemah 115
gemulai itu. Sekarang biarkanlah aku mengantarmu,” kata Al, “Hari telah siang dan engkau tidak ingin terlambat, bukan?” Seperti hari-hari sebelumnya, Maria menurut saja ketika Al mengangkat tubuhnya ke punggung kuda dan mengantarnya ke Sidewinder House. Lady Debora masih belum bangun ketika Maria tiba di tempat itu. Sambil menanti Lady Debora bangun, Maria membantu Mrs. Fat membersihkan ruangan-ruangan di Sidewinder House. Seperti hari-hari sebelumnya, Mrs. Fat menolak bantuan Maria. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika gadis itu telah mulai membantunya. Betapa pun kerasnya Mrs. Fat menolak bantuan Maria, akhirnya wanita itu terpaksa mengalah pada keinginan Maria. Tanpa dapat berbuat apa-apa untuk melarang gadis itu, akhirnya Mrs. Fat kembali melanjutkan pekerjaannya. Maria sangat senang dapat melakukan apa yang telah dinantinantikannya selama ia terbaring di tempat tidur. Dengan
hati
yang
riang, ia membersihkan
Ruang Perpustakaan
sementara Mrs. Fat membersihkan ruang yang lain. Ruang Perpustakaan tampak semakin lenggang dari terakhir kalinya Maria memasuki ruangan itu, sebelum ia jatuh sakit. Rak buku yang berjajar di dinding sudah tidak sebanyak dari saat terakhir kalinya Maria memasuki ruangan itu. Dengan sedih, ia memandang buku-buku yang semakin langka di Ruang Perpustakaan. Rasanya aneh Ruang Perpustakaan besar tapi tanpa buku yang banyak. Tanpa diberi tahu, Maria dapat menduga perginya buku-buku itu. Entah digunakan untuk apa buku-buku itu oleh Baroness Lora tapi Maria percaya wanita itu tidak mengambil buku-buku itu dari Ruang Perpustakaan untuk dibaca. Tidak mungkin wanita itu meluangkan waktunya yang sangat berharga untuk membuka buku-buku kuno yang kebanyakan berupa sejarah keluarga Sidewinder serta mitos-mitos yang ada di Kerajaan Zirva. Bagi Baroness Lora serta putrinya, Lady Debora buku itu tidak berharga, tetapi bagi Maria yang senang membaca buku, buku-buku itu sangat berarti. Satu per satu dibukanya buku-buku yang tersisa dan dibersihkannya dari debu yang melekat dengan hati-hati. Pada saat membersihkan rak yang terakhir, Maria melihat sebuah buku kuno. Dengan hati-hati dibersihkannya sampul buku itu dari debu. 116
Judul buku itu tertulis dalam bahasa yang aneh, namun Maria dapat membacanya. ‘Mitos-mitos terkenal Kerajaan Zirva’ demikian judul buku itu. Maria merasa ia pernah membaca buku itu. Walaupun Maria masih dapat mengingat isi buku itu, tetapi ia tetap mengambil buku itu dari Ruang Perpustakaan. Ia tidak ingin buku itu menghilang dari Ruang Perpustakaan, seperti buku-buku lainnya. Dibukanya
buku
kuno
itu.
Lembaran-lembaran
buku
yang
telah
menguning itu terasa lembab. Semua tulisan yang berada di lembaran itu tertulis dalam tulisan yang aneh menyerupai tulisan Mesir Kuno. Maria mencoba mengingat di mana ia pernah membaca buku itu dan mengapa ia dapat memahami bahasa yang digunakan di buku yang telah berusia puluhan tahun itu. Sekali lagi gadis itu berusaha menyingkapkan kegelapan yang menutupi masa lalunya. Suara pintu yang berderit membuat Maria menyadari tempat ia berada saat ini. Ia memandang ke arah pintu dan melihat Mrs. Vye muncul dari balik pintu kayu yang berukir seekor ular sedang meremukkan mangsanya dengan lilitan tubuhnya. “Temuilah Tuan Puteri, Maria. Ia sudah bangun,” kata Mrs. Vye. “Baik, Mrs. Vye,” kata Maria. Mrs. Vye mendekati Maria dan melihat buku yang berada di tangan gadis itu. Wanita itu mengambil buku itu dari tangan Maria. “Buku apa ini?” tanyanya sambil mengamati buku itu. “Buku itu merupakan kumpulan naskah kuno yang bercerita mengenai mitos-mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva termasuk mitos yang ada di Obbeyville,” jawab Maria. “Tulisan buku ini aneh sekali. Seperti bukan tulisan saja, tetapi berupa gambar,” kata Mrs. Vye, “Mengapa engkau membawa buku ini?” “Saya bermaksud membacanya sebelum buku itu menghilang seperti buku-buku lainnya.” “Engkau mengerti bahasa yang digunakan buku ini?” tanya Mrs. Vye terkejut. Maria menganggukkan kepalanya. “Dari mana engkau mempelajarinya?” “Saya tidak dapat mengingatnya, Mrs. Vye,” kata Maria, “Di manakah saya dapat menjemur buku ini?” 117
“Engkau dapat meletakkannya di jendela itu. Untuk apa engkau menjemurnya, Maria?” “Kertas
buku
ini
telah
menguning
dan
lembab.
Saya
harus
menjemurnya dulu agar buku ini tidak rusak bila saya membukanya.” “Aku akan menjemurnya. Pergilah menemui Tuan Puteri,” kata Mrs. Vye, “Sarapan Tuan Puteri telah kuantarkan, engkau tidak perlu pergi ke dapur.” “Terima kasih, Mrs. Vye. Saya akan menemui Lady Debora sekarang.” Maria bergegas menuju kamar Lady Debora. Ia tidak tahu apa yang telah menantinya di sana, tetapi ia dapat menduga Lady Debora akan marah padanya karena telah melalaikan tugas selama beberapa hari. Ketika sampai di ujung tangga, Maria bertemu Baroness Lora. Ia berhenti untuk memberi hormat pada wanita itu. “Apa yang kaulakukan sehingga tidak datang selama beberapa hari?” tanya Baroness Lora marah. “Maafkan saya, Yang Mulia. Saya harus beristirahat selama beberapa hari,” jawab Maria tenang menghadapi kemarahan Baroness Lora yang memuncak. “Segera temui putriku. Ia pasti telah menantimu,” kata Baroness Lora tanpa mempedulikan jawaban Maria seolah-olah jawaban itu tidak ada artinya baginya. Dan memang demikian, Baroness Lora tidak mau menghiraukan keadaan Maria. Yang ia ingin ketahui adalah Maria melaksanakan tugasnya dengan baik. Sekali lagi Maria membungkuk hormat pada Baroness Lora sebelum ia meninggalkan wanita yang masih memedam kemarahannya itu. Baroness Lora tidak pernah mau berbicara terlalu lama dengannya. Entah apa yang menyebabkan wanita itu sangat menjauhi Maria. Setiap kali mereka bertemu, Baroness Lora selalu terlihat seperti berusaha menghindar dari gadis itu. Bila Baroness Lora mengajak Maria bercakap-cakap, kata-kata wanita itu selalu terdengar kasar dan menyakitkan hati, tetapi Maria tidak pernah menghiraukan kata-kata yang menyakitkan hati itu. Sikap permusuhan Baroness Lora terhadap dirinya membuat Maria merasa ia telah melakukan kesalahan besar terhadap wanita itu tanpa mengetahui kesalahan apa yang telah diperbuatnya. Maria mengetuk perlahan pintu kamar Lady Debora. 118
Setelah mendapat jawaban dari Lady Debora, Maria memasuki kamar itu. Lady Debora memandang enggan bercampur kesal kepada Maria dari tempat tidurnya. Mengetahui apa yang dirasakan wanita itu, Maria segera berkata, “Maafkan saya. Beberapa hari yang lalu saya jatuh sakit sehingga saya tidak dapat melayani Anda.” “Tidak ada gunanya engkau meminta maaf sekarang,” kata Lady Debora marah, “Sekarang cepat ambil nampan ini dan kerjakan tugasmu.” Maria yang telah terbiasa dengan perintah-perintah Lady Debora segera melakukan apa yang diinginkan wanita itu darinya. Setelah mengambil nampan dari pangkuan wanita itu, ia segera membuka tirai yang berada di samping tempat wanita itu berbaring. Dengan cekatan, Maria merapikan kamar Lady Debora. Gaun-gaun yang berserakan di meja yang terletak di tengah ruangan itu dirapikannya pula. Tiap gaun dilipatnya dengan rapi dan ditumpuk menjadi satu. Dan seperti gaun-gaun Lady Debora yang lain, gaun-gaun itu juga tampak mewah dengan hiasan mutiara atau permata atau sulamannya yang berwarna terang. Di antara gaun-gaun itu, Maria melihat sebuah gaun yang berwarna hijau yang menarik perhatiannya. Gaun hijau itu sangat berbeda dengan gaun-gaun Lady Debora yang lainnya. Gaun yang berwarna hijau daun itu, tidak bertaburan muntiara atau yang lain. Gaun itu bentuknya sederhana. “Buanglah gaun hijau itu dan yang lainnya berikan pada Mrs. Vye. Katakan kepada Mrs. Vye agar segera mencuci gaun-gaun yang lainnya. Aku ingin segera mengenakannya kembali,” kata Lady Debora ketika Maria mulai merapikan gaun itu. “Baik, Tuan Puteri,” kata Maria. Maria segera meninggalkan kamar itu dengan nampan di tangan kanannya dan gaun-gaun di tangannya yang lain. Ketika sedang menuruni tangga kayu dengan hati-hati, Mrs. Dahrien muncul dari balik pintu kamar Baroness Lora. Maria menghentikan langkah kakinya dan menyapa Mrs. Dahrien. “Selamat siang, Mrs. Dahrien.” “Selamat siang, Maria. Mari kubantu membawakan barang-barang itu,” kata Mrs. Dahrien sambil mengambil nampan dari tangan Maria. 119
“Terima kasih, Mrs. Dahrien.” “Gaun-gaun itu hendak kau bawa ke mana?” tanya Mrs. Dahrien ketika melihat tumpukan gaun di tangan Maria. “Tuan Puteri mengatakan gaun-gaun ini harus diserahkan pada Mrs. Vye.” “Dan Tuan Puteri mengatakan Mrs. Vye harus segera mencuci gaungaunnya itu?” Maria tersenyum pada Mrs. Dahrien yang tampak marah. “Seperti yang Anda ketahui,” kata Maria menanggapi kata-kata Mrs. Dahrien. Mrs. Dahrien mengeluh dan berkata dengan kesal, “Yang Mulia dan Tuan Puteri sama saja. Setiap pagi mereka selalu memberi tumpukan gaun yang harus segera dicuci. Entah apa yang mereka pikirkan. Apakah mereka tidak menyadari bahwa kami sudah terlalu tua untuk melakukan pekerjaan dengan cepat.” “Walaupun Mrs. Vye seorang yang lincah, tetapi ia sudah tidak muda lagi. Mrs. Vye tidak akan dapat menyelesaikan tugas yang diberikan Tuan Puteri itu.” “Saya mengerti akan hal itu, Mrs. Dahrien. Saya telah memutuskan untuk membantu Mrs. Vye, seperti saya membantu kalian,” kata Maria. “Memang itu merupakan keputusan yang bijaksana, Maria. Tetapi engkau tidak patut melakukan itu. Seharusnya engkau mendapatkan segala sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kauterima saat ini.” “Apa yang saya dapatkan saat ini lebih baik dari yang saya berani saya harapkan.” “Tidak, Maria. Engkau seharusnya tidak perlu menjadi pelayan, engkau seharusnya mendapat perlakuan yang lebih baik dari mereka agar dapat memulihkan ingatanmu.” “Saya merasa lebih baik saya bertemu dengan orang yang baik seperti Anda daripada bertemu orang kaya. Untuk apa saya menyukai orang kaya bila saya tidak merasa bahagia,” kata Maria. “Apa yang kaukatakan itu memang benar, Maria. Tetapi apa yang dikatakan
Mrs.
Vye
mungkin
benar.
Engkau
mungkin
seorang
putri
bangsawan,” kata Mrs. Dahrien bersikeras. “Mrs. Dahrien, saat ini saya tidak mengetahui diri saya di masa lalu. Yang saya ketahui adalah saat ini saya berada di Obbeyville.” “Memang saat ini engkau berada di Obbeyville sebagai pelayan. Tetapi 120
pekerjaan itu tidak cocok untukmu, Maria. Menurut pendapatku, engkau seharusnya mendapatkan yang lebih baik dari ini.” “Sudahlah, Mrs. Dahrien. Jangan Anda pikirkan hal itu. Siapa pun saya di masa lalu, saya tetap merasa senang dengan apa yang saya terima saat ini. Biarkanlah waktu membuktikan apakah yang dikatakan Mrs. Vye benar atau tidak. Sekarang saya hanya dapat berusaha memulihkan ingatan saya sambil menjalani apa yang telah ditetapkan para dewa bagi saya.” “Engkau terlalu baik dan bijaksana, Maria. Engkau selalu memandang semua hal dengan kedua matamu.” Maria tersenyum mendengar pujian itu, “Saya tidak sebijaksana yang Anda katakan, Mrs. Dahrien. Saya hanya mengatakan apa yang ada di pikiran saya. Saya selalu berusaha tidak hanya menuruti kata hati saya tetapi juga pikiran saya.” “Orang seperti itulah yang disebut bijaksana. Orang bijaksana tidak hanya memandang suatu masalah dari satu sisi tetapi dari banyak sisi.” “Saya berharap saya bisa sebijaksana yang Anda katakan, Mrs. Dahrien. Saya harus belajar banyak agar menjadi bijaksana.” Mrs. Dahrien ingin mengatakan sesuatu ketika Mrs. Fat tiba-tiba muncul di dapur. Mrs. Fat terlihat sangat kagum seperti baru melihat sesuatu yang sangat luar biasa. “Luar biasa, Maria. Sangat luar biasa,” kata Mrs. Fat. “Apakah yang terjadi, Mrs. Fat?” tanya Mrs. Dahrien tidak mengerti. “Segera temui Mrs. Vye di pondoknya, Maria. Ada kejutan untukmu,” kata Mrs. Fat. “Apa yang kaukatakan, Mrs. Fat? Engkau seperti bergurau.” “Tidak, Mrs. Dahrien. Saya tidak bergurau, ini memang benar-benar luar biasa. Baru saja ada kereta yang mengirimkan sesuatu untukmu, Maria. Kereta itu sangat indah, jauh lebih indah dari kereta keluarga ini” “Cepat temuilah Mrs. Vye di pondoknya, Maria. Jangan khawatir mengenai Tuan Puteri, saya akan melayaninya,” kata Mrs. Dahrien tidak kalah kagumnya dengan Mrs. Fat. Maria teringat pada kata-kata Al. Tadi pagi pria itu mengatakan tentang kiriman. Ia menduga kiriman inilah yang dimaksudkan pria itu. Mrs. Fat mengambil tumpukan gaun di lengan Maria. Setelah berpamitan pada kedua wanita yang masih kagum pada kiriman 121
yang diperuntukkan baginya, Maria segera menuju pondok Mrs. Vye. Dalam perjalanan menuju pondok mungil Mrs. Vye, Maria terus memikirkan mengenai kiriman itu. Ia tidak dapat menebak apa yang dikirimkan oleh Al. Mrs. Vye duduk di dapur sambil memandangi sebuah kotak yang besar di atas meja. Kotak besar itu hampir menutupi seluruh permukaan meja dapur Mrs. Vye yang kecil. Wanita itu menoleh ketika Maria mendekat. “Lihatlah kotak ini, Maria! Aku tidak tahu siapa yang megnirimkannya tetapi aku merasa isi kotak ini sangat luar biasa,” kata Mrs. Vye bersemangat, “Bukalah kotak itu, Maria.” Maria segera membuka kotak itu. Ia dan Mrs. Vye sama-sama terkejut ketika melihat isi kotak itu. “Indah sekali gaun ini, Maria. Gaun ini sehalus gaun yang kaukenakan sewaktu aku menemukanmu. Tuan Puteri pasti akan iri bila melihat gaun ini,” kata Mrs. Vye sambil menyentuh gaun itu. Secarik surat terjatuh ketika Maria mengeluarkan gaun merah muda itu dari kotak. Mrs. Vye memungut surat itu dan memberikannya pada Maria. Maria meletakkan kembali gaun itu ke kotaknya sebelum ia menerima surat yang beramplop putih itu dari tangan Mrs. Vye. Kemudian dengan ketenangan yang membuat Mrs. Vye merasa bingung, ia membuka surat itu. Seperti yang diduga Maria sebelumnya, isi surat itu pendek tetapi cukup jelas menyatakan maksudnya mengirimkan gaun yang cantik itu. Dan tepat seperti yang diduganya sebelumnya, surat itu dan gaun itu dari Al. Kini mengertilah Maria pada kata ‘kiriman’ yang dikatakan pria itu tadi pagi. “Apa isi surat itu, Maria?” tanya Mrs. Vye ingin tahu. Maria membaca surat itu untuk Mrs. Vye. Bidadariku yang cantik, Kuharap engkau menyukai gaun ini dan sudi mengenakannya dalam pesta nanti sore. Aku akan menjemputmu tepat pukul lima petang. Al “Rupanya Tuan Muda benar-benar menyukaimu, Maria. Ia bahkan mengirim sebuah gaun yang sangat indah untuk kaukenakan di pesta dansa 122
sore hari ini,” kata Mrs. Vye. “Ia terlalu baik. Saya merasa tidak pantas mendapatkan ini semua,” kata Maria. “Tidak, Maria. Engkau pantas mendapatkannya,” kemudian dengan nada bersalah, Mrs. Vye meneruskan, “Yang tidak pantas adalah engkau harus menjadi pelayan Tuan Puteri,” “Jangan sedih, Mrs. Vye. Saya merasa sangat senang dapat berjumpa dengan Anda. Jangan risaukan lagi masalah itu.” Sebelum Mrs. Vye berkata, Maria telah mendahuluinya, “Dan jangan risaukan masa lalu saya. Saya tidak tahu siapa diri saya di masa lalu. Yang saya ketahui adalah saya berada di sini sambil berusaha memulihkan ingatan saya.” “Kau benar, Maria. Tuhan menentukan dan manusia menjalaninya sambil terus berusaha,” kata Mrs. Vye membenarkan kata-kata Maria. “Itulah yang hendak saya katakan, Mrs. Vye.” “Sekarang mari kita coba gaun yang dibelikan Tuan Muda untukmu,” kata Mrs. Vye dengan bersemangat melihat gaun yang berada di kotak. Wanita itu mengeluarkan gaun itu dari kotak dan semakin mengagumi gaun itu ketika ia membentangkan gaun itu di hadapannya. Kain gaun yang berwarna merah muda itu berkilau-kilau tertimpa sinar matahari yang masuk melalui jendela. Gaun itu mirip gaun biru yang dikenakan Maria sewaktu ia pergi melihat matahari terbit bersama Al dan Mrs. Vye. “Gaun ini mirip sekali dengan gaun biru yang kaukenakan waktu itu,” kata Mrs. Vye. “Ya, Mrs. Vye. Gaun ini sangat mirip hanya kainnya yang berbeda. Kain ini lebih halus dari gaun biru itu dan gaun ini dilengkapi dengan sarung tangannya yang panjang yang berwarna merah muda juga.” Mrs. Vye terkejut seolah tidak percaya pada kata-kata Maria. Ia melihat ke dasar kotak dan melihat masih ada sepasang sarung tangan berwarna merah muda yang terletak dengan rapi di dasarnya dan secarik syal warna putih yang transparan. Ia meletakkan gaun itu di meja dan mengambil sarung tangan serta syal itu. Dari cara Mrs. Vye memandang kedua benda itu, Maria tahu Mrs. Vye kagum pada gaun pemberian Al. 123
“Gaun ini benar-benar luar biasa. Engkau pasti tampak semakin cantik dengan gaun ini,” kata Mrs. Vye sambil membentangkan syal putih yang lebar dan panjang itu. “Rupanya Tuan Muda sangat memperhatikan engkau, Maria. Ia tidak lupa mengirimkan syal beserta gaun ini agar engkau tidak kedinginan,” kata Mrs. Vye, “Walau syal ini tidak setebal yang kuharapkan, tetapi syal ini akan cukup menghangatkanmu dan membuatmu semakin cantik.” “Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan pada Al mengenai gaun ini. Gaun ini lebih indah dari yang saya bayangkan.” “Jangan berkata seperti itu, Maria. Gaun ini memang cocok untukmu.” “Saya berharap demikian,” kata Maria lirih sambil terus memandangi gaun yang diletakkan Mrs. Vye di meja. “Aku akan merapikan gaun ini agar siap engkau kenakan nanti sore.” “Bagaimana nanti saya dapat menghindari Lady Debora dan Baroness Lora?” tanya Maria tiba-tiba. “Apa maksudmu?” tanya Mrs. Vye tak mengerti. “Baroness Lora dan Lady Debora pasti juga hadir di pesta tersebut dan bagaimana saya bisa menghindari mereka?” “Jangan khawatir, Maria. Aku akan membuatmu semakin cantik sehingga mereka tidak akan dapat mengenalimu.” “Saya khawatir hal itu tidak dapat mengelabuhi mata Baroness Lora yang jeli. Satu-satunya hal yang bisa saya lakukan adalah menghindari mereka selama di pesta itu.” “Mungkin itu yang terbaik yang engkau dapat lakukan. Aku sendiri sangsi apakah kita dapat mengelabuhi mata Yang Mulia.” “Hanya itu yang dapat saya lakukan. Saya harap Al mengerti.” “Jangan khawatir, Maria. Ia akan mengerti. Tuan Muda orang yang penuh pengertian,” kata Mrs. Vye, “Sekarang engkau hendak melakukan apa?” “Saya harus kembali ke Sidewinder House. Saya khawatir Lady Debora sedang marah-marah saat ini.” Mrs. Vye tertawa. “Ya, ia pasti marah-marah bila tahu engkau meninggalkan rumah itu. sekarang pergi dan temuilah dia.” Maria meninggalkan Mrs. Vye tepat ketika Ityu datang mendekat. “Ada apa, Ityu?” tanya Maria pada anak itu. “Saya ingin bertanya apakah Anda dapat memintakan ijin untuk saya 124
kepada orang tua saya. Mereka mengatakan saya telah boleh mengganggu Anda, itu tidak benar bukan?” “Tidak, Ityu. Engkau tidak menggangguku. Saya merasa senang sekali dapat meluangkan waktu untuk menceritakan mitos-mitos itu kepadamu,” kata Maria. “Benarkah? Dapatkah Anda mengatakan hal itu kepada orang tua saya? Mereka tidak akan percaya bila saya yang mengatakannya.” “Maafkan saya, Ityu. Saya tidak dapat menemui orang tuamu hari ini karena hari ini saya sibuk sekali. Saya berjanji akan menemui mereka besok pagi.” “Saya akan senang sekali bila Anda tidak ingkar janji.” “Saya tidak pernah mengingkari janji saya,” kata Maria meyakinkan. “Sungguh? Apakah Anda mengetahui rumah saya?” “Tentu. Rumahmu terletak di dekat sungai itu, bukan? Kata Mrs. Vye, ayahmulah yang membantunya ketika Mrs. Vye menemukan saya. Saya juga harus berterima kasih padanya.” “Saya menunggu kedatangan Anda besok pagi.” “Berjanjilah kepadaku, Ityu. Engkau tidak akan mengatakan kepada orang tuamu bahwa besok pagi aku akan datang berkunjung.” “Baiklah tetapi mengapa?” “Saya ingin memberi kejutan kepada mereka.” Ityu menganggukkan kepalanya kemudian berlari senang meninggalkan Maria. Setelah anak itu menghilang, Maria melanjutkan perjalanannya ke Sidewinder House. Sepanjang jalan ia tidak dapat berhenti memikirkan bagaimana bila ia bertemu dengan Baroness Lora maupun putrinya di pesta dansa itu. Ia tahu Baroness Lora dan Lady Debora selalu diundang dalam pestapesta terutama bila pesta itu diadakan di Blueberry. Hampir tidak ada suatu pesta pun tanpa mereka berdua. Karena itu ia sangsi mereka berdua tidak hadir dalam pesta dansa nanti sore. Walaupun belum pernah ke pesta dansa itu, Maria tahu pesta dansa itu pasti bukan pesta dansa sembarangan. Ia merasa yakin banyak orang terkenal yang akan diundang dalam pesta itu. Tidak ada seorang pun yang menceritakan kepadanya bagaimana rupa pesta itu, tetapi Maria dapat membayangkan pesta itu akan berlangsung 125
meriah menilik gaun yang dikirim Al. Menurutnya, gaun itu terlalu mewah bila dikenakan untuk pesta dansa biasa. Ia menduga Lady Debora akan sangat sibuk mempersiapkan dirinya sendiri untuk pergi ke pesta dansa itu seperti hari-hari lainnya. Dapat dibayangkannya Mrs. Dahrien sedang kerepotan melayani Lady Debora dan Baroness Lora. Dan ia merasa bersalah telah meninggalkan Sidewinder House terlalu lama. Dan benarlah dugaannya itu, Mrs. Dahrien dan Mrs. Fat dibuat kerepotan oleh dua wanita itu. Ketika ia datang, didengarnya Baroness Lora sedang marah-marah karena tidak ada gaun yang mewah yang dapat memenuhi keinginannya untuk tampil mewah di pesta dansa keluarga Al. Lady Debora lebih merepotkan lagi. Wanita itu sibuk membongkar almari pakaiannya untuk mencari gaun yang mewah sambil mencari perhiasan yang akan dikenakannya dalam pesta itu. Didengarnya juga Lady Debora kebingungan akan tatanan rambutnya. Melihat kebingungan Maria dan Lady Debora yang bagai menghadapi bencana yang datang tiba-tiba, Maria dapat menduga keluarga Al adalah keluarga yang cukup berpengaruh di Blueberry. Lady Debora tidak mempedulikan kedatangan Maria di kamarnya, ia terus
membongkar
kamarnya
dan
terus
mencari
gaun
yang
akan
dikenakannya di pesta itu. “Tuan Puteri, serahkan urusan gaun itu pada saya. Saya akan membuatkan gaun yang berbeda dari gaun-gaun Anda yang lain,” kata Maria. Lady Debora membelalakkan matanya pada Maria, “Jangan bercanda! Sekarang bantu aku mencari gaun yang cocok untuk kukenakan dalam pesta dansa nanti sore.” “Saya tidak bercanda. Saya dapat menyediakannya dengan cepat lagipula saya tidak akan merubah gaun itu, saya hanya akan menambahkan beberapa hiasan yang akan membuat gaun itu menjadi semakin cantik,” kata Maria meyakinkan Lady Debora. Lady Debora yang telah putus asa akhirnya berkata, “Kerjakan sekarang juga! Dan aku ingin gaun itu telah siap sebelum pukul empat sore hari ini juga.” Maria mengundurkan diri dari kamar Lady Debora yang berantakan dan mulai mencari barang yang dibutuhkannya di Sidewinder House yang besar. 126
Seperti yang telah diduganya, barang-barang itu disimpan Mrs. Vye di ruangan yang sama dengan gaun-gaun Baroness Lora dan Lady Debora yang mereka buang. Setelah menemukan apa yang dicarinya, Maria duduk di dapur dan mulai mengerjakan gaun hijau yang hendak dibuang Lady Debora hari ini. Ia duduk seorang diri di sana. Tidak ada yang tahu apa yang dikerjakannya dengan gaun hijau daun itu. Mrs. Vye sedang sibuk menyiapkan gaun untuk Maria sedangkan Mrs. Fat dan Mrs. Dahrien sibuk melayani Baroness Lora dan Lady Debora yang seperti menghadapi bencana yang datangnya tiba-tiba. Dan seperti biasanya, Mr. Liesting sibuk dengan halamannya. Kedua wanita itu masih terdengar marah-marah ketika Maria mulai mengerjakan gaun itu. Ketika keributan kedua wanita itu telah mereda. Maria masih sibuk menyelesaikan gaun itu. ia mengerjakan gaun itu dengan tenang tanpa terburu-buru tetapi dengan kecepatan yang sangat menakjubkan. Diam-diam, Maria membayangkan reaksi Mrs. Vye serta dua wanita lainnya yang kini sedang sibuk menghadapi ‘perang’ Baroness Lora dan Lady Debora, bila melihat apa yang dilakukannya dengan gaun itu. Seperti yang telah dikatakan Maria sebelumnya, ia tidak mengubah gaun hijau daun itu. Ia hanya menambahkan beberapa sulaman yang halus di ujung gaun itu dan itu membutuhkan waktu yang tidak lama. Tepat ketika Maria menyelesaikan sulaman terakhir, Mrs. Fat dan Mrs. Dahrien muncul di dapur dan berseru terkejut melihat apa yang dilakukan Maria pada gaun hijau daun yang polos itu. “Engkaukah yang menyulam ini?” tanya Mrs. Fat sambil meraih ujung gaun itu. “Siapa lagi bila bukan dia, Mrs. Fat?” kata Mrs. Dahrien, “Lihatlah jarum dan benang-benang itu.” Mrs. Fat tidak melihat arah yang ditunjuk Mrs. Dahrien, wanita itu terus mengagumi pekerjaan Maria. “Bagaimana engkau melakukannya, Maria? Sulaman ini halus sekali. Bila engkau mau, ajarilah aku caranya,” katanya. “Mengapa engkau memberikan gambar ular, Maria?” tanya Mrs. Dahrien. “Karena ular itu lambang keluarga ini dan saya merasa hanya itulah satu-satunya gambar yang tepat untuk diletakkan di gaun hijau daun itu.” 127
“Ya, engkau memang pandai. Ular itu tampak semakin hidup dengan gaun hijau itu. Aku yakin Tuan Puteri merasa sangat senang bila ia menerima gaun ini. Gaun ini bukan untuk dia, bukan?” “Sayang sekali, Mrs. Dahrien. Gaun itu saya buat untuk Tuan Puteri,” kata Maria. “Sayang sekali. Aku merasa gaun ini akan lebih cocok untuk kulitmu yag putih itu,” kata Mrs. Dahrien, “Aku merasa Mrs. Vye memang benar. Engkau memiliki kecantikan dan keanggunan seorang putri bangsawan.” “Saya tidak tahu harus mengatakan apa mengenai hal itu, Mrs. Dahrien. Karena saat ini saya tidak dapat mengingat masa lalu saya. Saya hanya berharap saya akan segera dapat mengingat kembali masa lalu saya dan menilai pendapat Anda berdua. Apakah saya seorang bidadari atau seorang putri
bangsawan
atau
yang
lain?”
kata
Maria
sambil
memberikan
senyumannya yang paling manis yang pernah dilihat kedua wanita itu. “Engkau seorang putri bangsawan yang berjiwa bagai bidadari,” kata Mrs. Dahrien membalas senyuman Maria. “Saya khawatir tidak ada orang yang seperti itu, Mrs. Dahrien,” kata Maria , “Tidak ada orang yang sempurna di dunia ini.” “Memang tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang tidak berdosa. Tetapi aku yakin engkau tidak banyak melakukan perbuatan yang salah.” “Saya khawatir Anda salah dalam hal ini, Mrs. Dahrien. Mungkin saja di masa lalu saya telah membuat banyak dosa,” kata Maria. Mrs. Dahrien tertawa seolah-olah menertawakan dirinya sendiri. “Tiap kali aku memujimu, selalu aku tidak dapat memujimu seperti yang ingin kulakukan. Engkau selalu merendahkan diri dan membuat aku merasa sukar mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kekagumanku padamu, Maria.” “Saya berharap Anda tidak terlalu mengagumi saya seperti penduduk Obbeyville yang menganggap saya sebagai orang yang suci.” “Mereka akan selalu begitu, Maria. Engkau sangat tepat untuk disebut sebagai orang yang suci,” kata Mrs. Dahrien. Mrs. Dahrien tidak dapat menghentikan senyum gelinya pada dirinya sendiri karena ia tahu Maria akan merendahkan diri lagi dengan kata-kata yang sopan yang membuatnya kesulitan mengungkapkan kekagumannya. Dan seperti yang telah diduga Mrs. Dahrien, Maria berkata, “Saya lebih 128
khawatir disebut sebagai orang yang suci. Saya khawatir kelak saya akan mengecewakan sebagai orang yang suci.” Mrs. Dahrien tidak mengatakan apa-apa, ia hanya tertawa geli. Maria tahu Mrs. Dahrien sedang menertawakan dirinya sendiri dan ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menatap sinar kegelian di mata wanita tua itu. “Coba kenakanlah gaun ini, Maria,” kata Mrs. Fat yang dari tadi mengagumi gaun hijau itu. “Maafkan saya. Saya tidak dapat melakukannya, saya harus segera menyerahkan gaun ini kepada Tuan Puteri.” “Sayang sekali,” keluh Mrs. Fat sambil menyerahkan gaun itu kepada Maria. Setelah merapikan gaun itu, Maria berpamitan kepada kedua wanita itu dan menemui Lady Debora. Seperti yang telah dikatakan Mrs. Dahrien, Lady Debora sangat senang ketika menerima gaun itu dari Maria. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi senyum kegembiraan yang penuh kemenangan di wajahnya membuat Maria mengetahui bahwa wanita itu sangat senang namun tidak berniat menampakkan kegembiraannya itu padanya.
129
8
Baroness Lora dan Lady Debora sangat sibuk sejak makan siang. Mereka kembali marah-marah sambil mempersiapkan dirinya untuk hadir dengan cantik dan anggun di pesta dansa sore itu. Suara mereka yang bergema di sepanjang koridor depan kamar mereka menunjukkan betapa mereka sangat menantikan saat ini terutama Lady Debora. Wanita itu terlihat sangat antusias menanti datangnya saat ini. Sewaktu makan siang tadi, wanita itu tampak tidak sabar untuk segera menghabiskan hidangan yang dibuat Mrs. Vye bersama Maria. Baroness Lora yang melihat putrinya tampak terburu-buru berkata, “Jangan terlalu bersemangat seperti itu.” “Bagaimana aku tidak bersemangat, Mama? Aku sangat menantikan pesta ini sejak undangannya kita terima. Aku ingin tampil cantik malam ini dan aku akan membuat semua pria yang hadir terutama Alexander terpesona padaku,” kata Lady Debora bersemangat. Mrs. Vye yang mendengar pembicaraan mereka tersenyum. “Tuan Puteri akan kalah cantik dari Maria,” bisiknya pada Mrs. Dahrien yang berdiri di sampingnya. “Apakah Maria juga akan hadir di pesta itu?” tanya Mrs. Dahrien terkejut namun tetap berbicara dengan suara perlahan. “Oh, ternyata aku telah menjadi pelupa akhir-akhir ini. Aku lupa mengatakan padamu bahwa Maria diajak ke pesta itu dan kotak yang tadi siang itu berisi gaun yang sangat indah untuk dikenakan Maria dalam pesta itu.” “Aku yakin
Tuan Puteri akan sangat kecewa bila mengetahui ia tidak
dapat menjadi pusat perhatian,” bisik Mrs. Dahrien. “Aku percaya engkau akan menjadi pusat perhatian di pesta itu, anakku,” kata Baroness Lora dengan senyum penuh keyakinan, “Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kecantikkanmu.” “Tentu saja, Mama. Tidak akan ada orang yang dapat menandingi kecantikkan yang kuwarisi dari Mama ini. Aku sangat bangga mempunyai 130
Mama yang cantik,” kata Lady Debora. “Tentu saja, engkau harus bangga memiliki wajah yang cantik. Sedikit sekali orang yang bisa mendapatkan perhatian dari banyak orang dengan kecantikkannya.” Mrs. Dahrien berbisik, “Maria lebih banyak mendapatkan perhatian daripada Tuan Puteri bukan saja karena ia lebih cantik tetapi juga karena kebaikan hatinya.” Mrs.
Vye
menganggukkan
kepalanya,
“Ya,
Maria
sering
berkata
kecantikan seseorang dinilai bukan saja dari wajahnya tetapi lebih pada kecantikan hatinya.” “Maria mengatakan itu?” tanya Mrs. Dahrien terkejut. Mrs. Vye mengangguk lagi. “Seharusnya aku telah menduganya, gadis itu memang berbeda dari semua gadis yang pernah kukenal bahkan semua gadis keturunan keluarga ini tidak ada yang pernah berkata seperti itu.” “Bagiku ia tidak hanya memiliki kecantikan wajah saja tetapi juga kecantikkan hati. Aku ingin tahu siapakah dia.” “Tidak hanya engkau saja, Mrs. Vye. Semua orang juga berkata seperti itu dan semua orang ingin mengetahui siapakah gadis itu. Apakah benar gadis itu berasal dari Obbeyville?” Kedua wanita tua itu kembali memperhatikan majikannya yang masih sibuk menyelesaikan makan siangnya sambil bercakap-cakap. “Aku tahu, Mama. Aku sangat beruntung,” kata Lady Debora. “Ingat, putriku. Apapun yang terjadi engkau harus berusaha sedekat mungkin dengan Alexander dan menarik perhatiannya. Engkau harus berusaha mendapatkannya,” kata Baroness Lora mengingatkan putrinya. “Tentu saja, Mama. Sejak dulu aku memang ingin mendapatkannya. Aku akan membuktikan kepada semua orang bahwa akulah satu-satunya orang yang dapat menguasai hati Alexander yang terkenal dingin itu.” “Engkau juga harus dapat menarik perhatian orang tua Alexander. Aku yakin bila orang tua Alexander menyukaimu, mereka juga akan membantumu mendapatkan Alexander,” kata Baroness Lora. “Tentu saja, Mama. Aku akan berusaha dengan cara apapun untuk mendapatkan pria itu,” kata Lady Debora, “Dan sekarang, Mama. Ijinkanlah aku untuk mempersiapkan diriku secantik mungkin.” “Berdandanlah
secantik
mungkin,”
kata
Baroness
Lora
sambil 131
tersenyum. Lady Debora segera meninggalkan Baroness Lora yang masih belum menyelesaikan makan siangnya menuju kamarnya. Di sana telah menanti Maria. Gadis itu masih sibuk merapikan kamar yang dibuat berantakan oleh Lady Debora. Ketika Lady Debora membuka pintu, ia menoleh dan tersenyum padanya. “Siapkan air mandiku sekarang juga. Aku ingin bersiap-siap sekarang,” perintahnya pada Maria. Maria segera melakukan apa yang diperintahkan Lady Debora. Lady
Debora
sebenarnya
kagum
pada
kesigapan
Maria
dalam
mengerjakan perintah-perintahnya namun ia enggan mengakuinya. Ia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa itu adalah keharusan Maria sebagai pelayannya untuk selalu siap menerima perintah-perintahnya dan mengerjakannya dengan baik. Walaupun pada kenyataannya ia tidak hanya mengagumi kesigapan Maria, namun ia enggan memuji Maria. Ia masih tetap terpesona pada sulaman yang dibuat Maria pada gaun hijaunya. Gaun itu yang semula tampak biasa di matanya kini tampak menarik. Gaun hijau itu sebenarnya pemberian seorang pria. Walaupun enggan menerima gaun yang menurutnya ketinggalan jaman itu, tetapi ia tetap menerimanya dengan tujuan menarik perhatian pria kaya itu. Menurutnya, pria itu kaya tetapi tidak mengetahui selera wanita dan ia berniat untuk membuka mata pria itu akan hal itu. Lady
Debora
membuang
pikirannya
mengenai
Maria
dan
mulai
memikirkan cara untuk mendapatkan perhatian Alexander. Ia berniat mendapatkan hati pria yang terkenal sangat dingin kepada wanita itu sejak ia bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu dalam pesta yang sama. Saat
itu
Alexander
tidak
memandangnya
bahkan
tidak
memuji
kecantikkannya seperti pria-pria lainnya yang juga hadir di pesta itu. Pria itu tidak sedikitpun meliriknya apalagi mengajaknya berdansa. Pria itu hanya duduk di samping jendela yang terbuka sambil mengawasi setiap orang yang sibuk di hadapannya. Sejak ia tiba di pesta itu, ia tidak pernah melepaskan pandangannya 132
dari Alexander yang terlihat sangat angkuh itu. Hal itu membuatnya geram dan sejak saat itu ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa ia akan mendapatkan hati pria itu bagaimanapun caranya. Pada awalnya keinginan untuk mendapatkan hati pria itu sangat kuat. Tetapi ketika ia menyadari betapa kayanya pria itu, ia lebih tertarik untuk mendapatkan kekayaannya daripada hati pria itu sendiri. Dan mulailah Lady Debora mendekati orang tua Alexander. Ia sangat senang ketika orang tua Alexander memberinya sambutan yang hangat dalam tiap pertemuan mereka. Ia menduga mereka menyukainya. Lady Debora tidak mengetahui bahwa ia salah besar dalam hal itu. Duke dan Duchess of Blueberry selalu menerima Lady Debora dengan tangan terbuka karena mengingat hubungan kedua keluarga itu bukan karena mereka menyukainya. Setelah mengetahui skandal mereka berdua terutama Baroness Lora setelah kematian Baron Marx Sidewinder, Duke dan Duchess of Blueberry merasa enggan untuk bertemu mereka. Tetapi hubungan kedua keluarga yang telah lama terjalin membuat mereka selalu menerima kedua wanita itu dengan tangan terbuka. Sebenarnya
dalam
pesta
dansa
kali
ini,
mereka
juga
enggan
mengundang keluarga Sidewinder. Namun karena mereka selalu mengundang mereka dalam tiap pesta yang mereka selenggarakan, mereka terpaksa mengundang Baroness Lora dan Lady Debora juga. Duke dan Duchess of Blueberry sedikit banyak telah mengetahui keinginan Lady Debora untuk merebut hati putra mereka. Mereka tidak pernah
mengatakan
apa-apa
kepada
Alexander,
tetapi
mereka
yakin
Alexander akan dapat menjauhkan dirinya dari wanita itu. Lady Debora duduk di depan kaca sambil terus membayangkan pesta itu sementara Maria menata rambutnya. Maria yang telah mengetahui Lady Debora suka menata rambutnya tinggi-tinggi,
segera
menata
rambut
merah
wanita
itu.
Setelah
ia
menyelesaikannya, ia segera memberi hiasan berupa lambang keluarga Sidewinder yang berbentuk dua ekor ular Sidewinder yang saling melilitkan badannya. Lady Debora menatap puas bayangannya di cermin. “Saya menyarankan Anda mengenakan kalung Anda yang bermata jamrud hijau agar terlihat serasi dengan gaun Anda,” kata Maria. 133
“Akan lucu sekali kelihatannya. Serba hijau seperti rumput liar,” kata Lady Debora mengejek namun di dalam hatinya ia merasa apa yang dikatakan Maria benar. “Tentu tidak, Tuan Puteri. Anda akan terlihat bagai bunga musim panas yang indah bila Anda juga mengenakan kalung itu. Saya yakin semua pria akan semakin tertarik melihat Anda datang dengan kesan serba hijau yang cerah,” kata Maria. “Percuma,
Maria.
Engkau
tidak
akan
dapat
membujukku
untuk
mengenakan kalung itu. Aku tidak ingin tampil dengan satu warna malam ini. Aku ingin terihat cantik, mengerti?” katanya dengan kasar. “Anda akan terlihat sangat segar dan bersemi seperti musim semi bila Anda megenakan kalung itu juga dan Anda akan terlihat semakin cantik. Bila Anda tidak mempercayainya, Anda dapat mencobanya sekarang,” kata Maria. Maria meraih kalung emas yang mengelilingi untaian jamrud-jamrud hijau kecil yang membentuk nuansa dedaunan yang indah dan segar seperti daun pepohonan di musim semi. “Bagaimana
pendapat
Anda,
Tuan
Puteri?”
tanya
Maria
setelah
memasangkan kalung itu. Lady Debora pura-pura enggan melihat bayangannya di cermin. Sebenarnya ia merasa kata-kata Maria benar. Ia melihat dirinya seperti bunga musim semi yang segar dalam nuansa serba hijau itu. Lady Debora berkata dengan malas, “Baiklah kali ini aku menurut karena aku sudah tidak sabar segera tiba di pesta itu.” “Jangan khawatir, Tuan Puteri. Mr. Liesting telah memanggil kereta untuk Anda berdua,” kata Maria, “Anda dapat menunggu dengan tenang di sini. Tak lama lagi Mr. Liesting akan datang.” “ Aku juga berharap seperti itu. Aku tidak ingin terlambat,” kata Lady Debora. “Bila Anda mengijinkan, Tuan Puteri, saya ingin menemui Mrs. Vye di dapur untuk menanyakan apakah Mr. Liesting telah tiba,” kata Maria. “Pergilah.” Maria membungkuk hormat sebelum meninggalkan kamar Lady Debora dan segera menemui Mrs. Vye di dapur. “Mengapa engkau lama sekali, Maria?” tanya Mrs. Vye cemas. “Maafkan saya, Mrs. Vye. Saya harus membujuk Tuan Puteri.” “Lupakan Tuan Puteri. Sekarang engkau harus segera bersiap-siap. Satu 134
jam lagi Tuan Muda akan menjemputmu,” kata Mrs. Vye. “Apakah Mr. Liesting telah tiba?” tanya Maria. “Belum, tetapi aku yakin tak lama lagi ia telah tiba. Sangat mudah mencari kereta kuda sewaan di Obbeyville. Walaupun desa ini kecil, tetapi banyak kereta kuda yang dapat ditemui di sini.” “Saya harap Mr. Liesting tidak terlalu lama. Lady Debora terlihat sangat tidak sabar, ia ingin segera tiba di pesta itu.” Mrs. Vye tertawa. “Ia lebih tidak sabar segera mendapatkan gelar sebagai Duchess of Blueberry daripada hadir di pesta itu. Tetapi ia tidak akan berhasil.” “Mengapa Anda yakin sekali? Saya dengar keluarga itu telah lama bersahabat dengan keluarga Sidewinder.” “Sudahlah, Maria. Sekarang mari kita mendandanimu dengan cantik agar dapat menyaingi Lady Debora,” kata Mrs. Vye. “Tanpa didandani, ia sudah lebih cantik daripada Tuan Puteri apalagi bila ia didandani. Ia akan terlihat seperti bidadari yang baru turun dari Holly Mountain,” kata Mrs. Dahrien yang muncul dari balik pintu dapur. “Selamat sore, Mrs. Dahrien. Anda sudah selesai melayani Baroness Lora?” kata Maria. “Mereka baru saja berangkat,” kata Mrs. Dahrien. “Oh, saya tidak mendengar kedatangan kereta kuda,” kata Maria. “Mungkin karena tawa Mrs. Vye yang memenuhi ruangan kecil ini,” kata Mrs. Dahrien. “Ya, mungkin saja. Sekarang kita harus segera mendandanimu, Maria,” kata Mrs. Vye. “Aku akan membantumu, Mrs. Vye,” kata Mrs. Dahrien. “Tidak perlu, saya bisa melakukannya sendiri,” kata Maria. “Tidak apa-apa, Maria. Kami ingin mendandanimu secantik mungkin,” kata Mrs. Dahrien. “Mari kita pergi ke pondokku.” “Aku jangan kalian lupakan,” kata Mrs. Fat yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Mrs. Fat mendekat. “Aku juga ingin membantu.” “Tentu saja. Kita akan mendandani Maria secantik mungkin,” kata Mrs. Vye. Maria tersenyum, “Saya merasa seperti seorang putri raja yang 135
memiliki banyak pelayan.” “Memang seharusnya engkau memiliki banyak pelayan yang siap melayanimu. Bukan menjadi pelayan,” kata Mrs. Vye sambil membuka pintu dapur yang menuju halaman Sidewinder House. Maria merasa ketiga wanita itu lebih antusias daripada dirinya ketika mereka mendandaninya. Ketiga wanita itu sangat sibuk tanpa mempedulikan kata-kata Maria yang melarang mereka untuk membantunya. Karena tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah ketiga wanita tua itu,
akhirnya
Maria
menurut
saja.
Ia
membiarkan
ketiga
wanita
itu
memperlakukannya seperti putri raja yang harus didandani secantik mungkin. Ketika mereka melepaskan sanggul Maria, Mrs. Fat berseru kagum. “Rambutmu
panjang
sekali.
Jauh
lebih
panjang
dari
yang
aku
bayangkan,” kata Mrs. Fat. “Engkau pasti seorang putri bangsawan, Maria. Walaupun rambutmu sangat panjang, tetapi rambutmu terlihat sangat indah dan lembut,” kata Mrs. Dahrien turut menimpali. “Sudahlah. Sekarang apa yang akan kita lakukan dengan rambut Maria?” kata Mrs. Vye menghentikan kata-kata kedua wanita itu. Maria diam saja. Ia tahu apapun yang dikatakannya tidak akan didengar oleh mereka. ia duduk dengan patuh menanti ketiga wanita itu. “Bagaimana
bila
kita
mengikatnya
tinggi-tinggi
kemudian
membentuknya menjadi gelungan-gelungan kecil,” kata Mrs. Fat. “Itu terlalu sederhana, Mrs. Fat. Kita harus membuat Maria tampak cantik.” “Bagaimana bila kita menyanggul sebagian rambut atasnya dan menggelung sisa rambutnya.” “Apa maksudmu, Mrs. Dahrien?” tanya Mrs. Vye dan Mrs. Fat bersamaan. “Turutilah apa yang saya katakan,” kata Mrs. Dahrien sambil menyisir rambut Maria. Walaupun keheranan dan bingung, namun kedua wanita itu menurut pada perintah-perintah Mrs. Dahrien. Dan mereka sangat mengagumi hasil kerja mereka ketika mereka akhirnya selesai menata rambut Maria. “Berdirilah, Maria,” kata mereka serempak. 136
Maria menurut. Ia berdiri di depan kaca dan memandangi bayangannya sendiri. Gaun merah muda itu tampak serasi dengan kulitnya yang putih. Kulitnya terlihat lebih berseri dalam gaun itu. Bahunya yang telanjang ditutupi sehelai syal putih yang tipis. Kedua ujung syal yang panjang dan lebar itu terulur ke bawah. Rambutnya
yang
selalu
bersinar
seperti
sinar
matahari
pagi
membuatnya tampak semakin berseri. Mrs. Vye menyampirkan ujung syal putih itu ke tangan Maria dan berkata, “Engkau terlihat seperti bidadari yang baru turun dari Holly Mountain.” “Aku benar, bukan? Ia benar-benar sangat cantik jauh lebih cantik dari biasanya.” “Ia akan menjadi pusat perhatian di pesta itu,” kata Mrs. Fat. Tiba-tiba Mrs. Vye tertawa, “Aku yakin bila penduduk Obbeyville melihat Maria. Mereka akan segera berlutut kepadanya karena menduga ia adalah bidadari yang baru turun dari Holly Mountain.” “Engkau membuatku teringat pada Mr. Liesting, Mrs. Vye. Aku akan memanggil Mr. Liesting. Aku yakin ia akan merasa senang melihat Maria,” kata Mrs. Fat. “Benar. Cepatlah, Mrs. Fat. Karena tak lama lagi Tuan Muda akan tiba,” kata Mrs. Vye. Sebelum Maria mencegah, Mrs. Fat telah berlari menuju Sidewinder House. Ia hanya dapat memandangi punggung Mrs. Fat yang menghilang di balik pintu. “Sayang kita tidak memiliki perhiasan untuk menghiasi lehermu yang cantik itu, Maria,” kata Mrs. Dahrien. Mrs. Vye melihat kepada Maria dan terkejut menyadari Maria tidak mengenakan kalung. “Ke mana kalungmu, Maria?” tanyanya. “Saya
menyimpannya,
Mrs.
Vye.
Saya
tidak
ingin
ada
yang
mengetahuinya. Kalung itu sangat berharga bagi saya,” kata Maria. “Apakah engkau mempunyai kalung, Maria?” tanya Mrs. Dahrien tak percaya pada apa yang didengarnya. “Sewaktu
aku
menemukannya,
Mrs.
Dahrien,
ia
tidak
hanya
mengenakan gaun yang diambil Tuan Puteri tetapi juga seuntai kalung yang sangat indah. Kalung paling indah yang pernah kulihat,” kata Mrs. Vye. 137
“Engkau menyembunyikan kalung itu, Mrs. Vye?” tanya Mrs. Dahrien. “Ya. Saya tidak memberi tahu mereka. Dan saya merasa beruntung kalung itu tidak diambil oleh Tuan Puteri atau pun Yang Mulia. Sekarang hanya kalung itulah satu-satunya barang Maria yang berhubungan dengan masa lalunya.” “Bolehkan aku melihat kalung itu, Maria?” tanya Mrs. Dahrien. Maria belum menjawab ketika terdengar suara langkah kaki kuda diiringi bunyi roda yang mendekat. “Itu pasti Tuan Muda,” kata Mrs. Vye sambil menuju pintu. Mrs. Dahrien mengikuti Mrs. Vye menyambut tamu yang baru datang itu. Maria yang kini tinggal sendirian di kamarnya merasa sedikit cemas pada pesta dansa itu. Ia khawatir akan bertemu dengan Lady Debora dan Baroness Lora di pesta itu. Tetapi ia lebih khawatir Al akan kecewa bila melihatnya. Ia takut pria itu tidak senang pada dandanannya. Terdengar suara ketiga orang itu bercakap-cakap dengan perlahan seolah-olah tidak ingin terdengar oleh Maria. Maria
terus
duduk
diam
menanti
sambil
membuka
buku
yang
ditemukannya di Ruang Perpustakaan tadi pagi. Maria merasa ia kembali ke masa lalunya ketika ia membuka buku itu. Ia merasa ia pernah membaca buku itu, membaca sambil menanti seperti saat ini. Ia berusaha mengingat apakah yang sedang dinantikannya. Seseorang ataukah yang lain. Tetapi ia tidak dapat mengiingatnya. Sambil terus membuka halaman demi halaman buku itu, ia berusaha mengingat masa lalunya yang berada di kegelapan. “Mari, Maria.” Kata-kata Mrs. Vye mengejutkan Maria. Ia menutup buku itu dan memandangi Mrs. Vye. “Tuan Muda menantikanmu,” kata Mrs. Vye sambil menggandeng tangan Maria. Maria menurut saja ketika ia dituntun Mrs. Vye. Saat itu pikirannya masih berada di kegelapan masa lalunya dan mitos itu. Ia masih belum kembali ke alam nyata ketika Mrs. Vye menyerahkannya kepada Al. 138
“Jagalah Maria baik-baik, Tuan Muda,” kata Mrs. Vye. “Tentu, Mrs. Vye. Saya akan menjaganya dengan baik. Percayakanlah ia kepada saya.” Suara Al yang ramah dan tegas membuatnya menyadari bahwa sekarang ia berada di dekat pria itu. Pria itu mengenakan pakaian malam yang berwarna hitam kebiru-biruan yang membuatnya nampak semakin gagah dan tampan. Al meraih tangan Maria yang terbalut sarung tangan yang panjangnya hingga ke siku tangannya. Pria itu mendekatkan tangan Maria ke bibirnya dan menciumnya dengan lembut. Maria terkejut. Ia teringat kembali saat Al menciumnya untuk pertama kalinya. Walaupun ia tidak dapat mengingat masa lalunya, tetapi ia tahu ciuman Al waktu itu adalah ciuman pertama baginya. “Anda telah mendandaninya sangat cantik sehingga ia terlihat seperti bidadari,” kata Al. “Bidadari yang baru turun dari Holly Mountain,” kata Mrs. Dahrien mengkoreksi. “Kami ingin ia terlihat sangat cantik dalam pesta itu,” kata Mrs. Vye. “Ia akan menjadi gadis yang paling cantik dalam pesta itu,” kata Al. “Itulah yang kami harapkan, Tuan Muda,” kata Mrs. Dahrien. “Saya khawatir Anda salah. Masih banyak wanita yang lebih cantik dari saya,” kata Maria yang dari tadi diam saja. “Secantik apa pun mereka. Engkaulah yang paling cantik, Maria,” kata Al. “Lebih baik kalian lekas berangkat daripada kalian terlambat,” kata Mrs. Vye. Al menuntun Maria menuju kereta kuda yang telah menantinya. Kereta kuda itu adalah kereta kuda yang sama dengan kereta ketika merka pergi melihat matahari terbit. Kereta kuda yang mengkilat di bawah matahari petang itu telah menarik perhatian penduduk Obbeyville yang lalu lalang di depan pondok Mrs. Vye. Namun mereka lebih tertarik melihat Maria yang muncul dengan anggun dan cantik. Seperti biasanya, mereka berbisik-bisik melihat Maria. Dan seperti biasanya pula, Maria tidak menghiraukan hal itu. Ia 139
tersenyum sambil menganggukkan kepala kepada mereka yang kebingungan membalas anggukan itu. Ketika Al membantu Maria naik ke kereta. Mrs. Fat muncul dengan terengah-engah. “Lihatlah, Mr. Liesting. Engkau hampir saja terlambat.” “Maafkan aku, Mrs. Fat. Aku harus menyelesaikan tugasku dulu,” kata Mr. Liesting dengan terengah-engah pula. Maria yang telah berada di dalam kereta, tersenyum mendengar pembicaraan kedua orang itu. Ia memandang keluar melalui jendela kereta dan berkata, “Selamat sore, Mr. Liesting. Saya minta maaf karena Mrs. Fat telah menyusahkan Anda dengan terburu-buru membawa Anda ke mari.” “Selamat sore, Maria. Jangan merasa bersalah, ia memang selalu menyusahkan saya. Lagipula saya juga ingin melihatmu dan mengantar kepergianmu,” kata Mr. Liesting sambil menatap kagum pada wajah Maria. “Anda berkata seolah-olah saya akan pergi untuk selamanya,” kata Maria sambil terus tersenyum. “Bila engkau pergi meninggalkan Obbeyville, Maria. Aku akan merasa sangat kesepian sekali dan anak-anak akan merasa kehilanganmu.” “Saya tidak akan lama, Mr. Liesting. Saya akan segera kembali.” “Oh, jangan, Maria. Bersenang-senanglah. Jangan terburu-buru kembali. Tuan Muda pasti juga tidak ingin engkau lekas pulang,” kata Mr. Liesting sambil menatap Al. “Selamat sore, Mr. Liesting,” kata Al. “Selamat sore, Tuan Muda. Maaf saya tidak segera menyapa Anda.” “Tidak apa-apa, Mr. Liesting. Saya harus terbiasa bila saya bersama Maria karena saya yakin semua orang akan memperhatikan dirinya dulu daripada saya,” kata Al sambil tersenyum. “Saya tidak mengharapkan itu. Saya tidak suka menjadi perhatian orang seperti saat itu, saat…,” Maria merasa kembali masuk ke masa lalunya yang gelap. Al menyadari hal itu dan segera berkata, “Kami permisi dulu. Kami tidak ingin terlambat.” “Ya, pergilah. Kalian tidak boleh terlambat,” kata Mrs. Vye. Maria melambaikan tangannya pada mereka sebelum kereta semakin menjauhi pondok Mrs. Vye. 140
“Apakah engkau baik-baik saja, Maria?” “Ya. Saya baik-baik saja,” kata Maria menyembunyikan kegugupannya karena berdua dengan Al. “Engkau yakin? Engkau terlihat sangat pucat,” kata Al. “Ya. Saya hanya merasa kembali ke alam kabut gelap itu tadi, tetapi sekarang saya merasa lebih baik,” kata Maria dengan tenang. “Engkau cantik sekali, Maria. Walaupun engkau tidak mengenakan perhiasan apa pun. Aku yakin engkau akan menjadi pusat perhatian nanti di pesta itu.” “Tentang pesta itu…” “Ada apa, Maria?” tanya Al lembut. “Saya berharap Anda mengerti bila saya enggan bertemu dengan Lady Debora dan Baroness Lora,” kata Maria. “Jangan khawatir tentang itu. Aku telah mengatur segalanya sehingga engkau tidak perlu cemas akan bertemu dengan Lady Debora ataupun Baroness Lora.” “Mereka pasti tidak senang bila tahu saya juga hadir di pesta itu.” “Mereka pasti akan sangat marah bila tahu engkaulah yang menjadi pusat perhatian di pesta itu,” kata Al dengan tersenyum. “Saya tidak akan menjadi pusat perhatian, karena Lady Debora juga ada di sana. Lady Debora sangat cantik.” “Percayalah kepadaku, Maria.” “Saya berterima kasih kepada Anda atas gaun yang Anda kirim ini.” “Aku senang engkau menyukainya. Aku tadi sempat khawatir engkau akan menolak mengenakan gaun itu.” “Saya sangat menyukainya. Dan saya merasa gaun ini terlalu mewah,” kata Maria. Al tersenyum lembut pada Maria. “Engkau memang berbeda dengan wanita-wanita yang lain. Andai wanita lain yang menerima gaun ini, mereka akan menolak menerimanya.” “Mengapa demikian? Gaun ini sangat indah.” “Karena menurut mereka gaun ini kurang mewah.” “Lucu sekali mereka. Gaun seindah ini masih dikatakan kurang mewah. Tentunya mereka lebih menyukai gaun yang bertaburan permata dan berlian,”
kata
Maria,
“Bila
saya
diberi gaun
seperti
itu, saya
akan
menolaknya.” 141
“Mengapa engkau menolaknya?” tanya Al. “Karena saya merasa lucu dengan gaun seperti itu. Seperti burung merak,” kata Maria sambil tersenyum geli. “Burung merak?” kata Al tak mengerti. “Burung merak memiliki bulu yang sangat indah sehingga dia menjadi sombong tetapi ia tidak berani terbang karena takut kehilangan bulunya yang indah.
Sama
seperti
wanita-wanita
yang
senang
mengenakan
gaun
bertaburan permata. Mereka tidak berani bergerak banyak karena mereka takut permata-permata itu jatuh.” Al tertawa mendengar perbandingan yang diberikan Maria pada wanitawanita yang senang pada gaun yang bertaburan permata dengan burung merak. “Mereka akan sangat tersanjung bila mendengarnya,” kata Al. “Tentu, saya tidak menyangsikannya.” “Aku beruntung tidak memberimu gaun seperti itu.
Mulanya aku
sempat khawatir engkau menolak gaun ini karena tidak bertaburan permata.” “Saya justru akan menolak menerima gaun itu,” kata Maria sambil tersenyum, “Saya lebih menyukai gaun yang membuat saya merasa seperti seekor burung yang siap terbang.” “Bila demikian, aku akan selalu memberikan gaun yang seperti ini untukmu,” kata Al. “Saya juga akan menolaknya.” “Mengapa?” tanya Al keheranan. “Karena saya tidak ada alasan bagi saya untuk menerimanya,” jawab Maria. “Bagaimana bila aku memaksamu menerimanya?” “Saya ragu Anda akan melakukannya. Walaupun Anda tidak pernah ditolak, tetapi saya yakin Anda tidak akan memaksa saya. Lagipula saya tidak suka bila harus menerima sesuatu karena terpaksa.” “Aku memang tidak akan pernah memaksamu. Katakan kepadaku Maria, bagaimana perasaanmu saat ini?” “Saya merasa sangat senang sekali. Juga sedikit cemas,” kata Maria mengakui perasaannya. “Jangan cemas, Maria. Engkau tidak akan membuatku merasa kecewa dan engkau juga tidak akan bertemu dengan Baroness Lora maupun Lady Debora di pesta itu,” kata Al berjanji. 142
Kereta bergerak semakin mendekati rumah Al. Kedua
orang
itu
bercakap-cakap
tanpa
menyadari
kereta
telah
memasuki halaman rumah Al.
143
9
Maria tidak terkejut melihat rumah Al yang megah. Rumah itu lebih besar dari Sidewinder House. Dan tampak lebih indah dari Sidewinder House. Dindingnya yang putih tampak berseri dengan halamannya yang semarak oleh tumbuh-tumbuhan. Dedaunan yang rontok tidak tampak di antara rerumputan yang menghampar. Beberapa tukang kebun terlihat masih sibuk membersihkan dedaunan yang berjatuhan dari ranting pohon. Di antara pepohonan dan semak-semak, Maria melihat beberapa bunga musim panas bermekaran dengan indah. Mereka telah tiba di pintu rumah itu yang atasnya berbentuk setengah lingkaran. Seorang
pelayan
membukakan
pintu
bagi
mereka.
Pelayan
itu
menerima mantel Al dan menanti Maria menyerahkan syalnya. Menyadari hal itu, Maria menggeleng perlahan dengan tersenyum kepadanya. Pelayan itu mengangguk mengetahui arti isyarat itu dan membungkuk hormat ketika mereka berjalan menuju Ruang Besar yang telah dipenuhi banyak orang, sambil terus mengawasi kepergian mereka dengan ekor matanya. Seorang pelayan yang berdiri di depan pintu menuju Ruang Besar menyerahkan sebuah topeng kepada mereka masing-masing. Al menyadari kebingungan Maria ketika menerima topeng itu, berbisik kepadanya, “Aku sengaja menyediakan topeng ini. Semua orang yang hadir dalam pesta ini harus mengenakan topeng, dengan demikian engkau tidak akan dikenali.” “Anda telah memikirkan segala sesuatunya dengan baik,” kata Maria sambil tersenyum. “Tentu saja. Aku ingin membuatmu menikmati pesta ini.” Maria
mengangguk
sambil
tersenyum
kepada
pelayan
yang
membukakan pintu itu bagi mereka sebelum melangkah memasuki Ruang 144
Besar tempat pesta itu diselenggarakan. “Pesta dansa ini akan menjadi pesta dansa bertopeng yang pertama sepanjang sejarah keluarga ini,” kata Maria. “Jangan jauh-jauh dariku, Maria. Walaupun aku akan selalu dapat mengenalimu dalam kerumunan orang-orang ini, tetapi aku tidak ingin engkau pergi dari sisiku,” kata Al. “Saya juga tidak ingin berpisah dari sisi Anda.” “Lihatlah, Maria. Apa yang kukatakan memang benar, bukan? Semua orang itu telah melihatmu sejak engkau memasuki ruangan ini. Aku percaya mereka tidak akan dapat melepaskan pandangan mata mereka darimu,” kata Al sambil menyelipkan tangan Maria di lengannya. Maria memandangi orang-orang yang telah berada di ruangan itu. Mereka semua memandanginya. Di balik topeng mereka, Maria tahu mata itu bersinar penuh kekaguman tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia berjalan di samping Al yang membawanya mendekati sepasang orang yang tidak pernah melepaskan pandangan matanya dari mereka berdua. Maria menduga kedua orang itu adalah orang tua Al. Ibu Al terlihat masih cantik walau telah tua. Gaun hitam yang dikenakannya membuat ia tampak lebih anggun. Ayah Al juga terlihat masih muda walaupun rambut putih telah muncul di antara rambutnya yang hitam. Wajah kedua orang itu tampak berseri ketika melihat mereka berjalan mendekat. Al mencium kedua pipi ibunya dan mengangguk hormat kepada ayahnya sebelum berkata, “Papa, Mama, aku ingin mengenalkan seseorang pada kalian. Ini Maria. Maria mereka orang tuaku.” “Senang berkenalan dengan Anda,” kata Maria sambil mengangkat gaunnya dan membungkuk hormat pada mereka. Al serta kedua orang itu terkejut dengan tindakan Maria. “Jangan bersikap seperti di dalam Istana seperti itu,” kata ayah Al. “Bersikaplah yang santai. Saat ini kita tidak berada di dalam Istana yang senantiasa harus bersikap sopan,” kata wanita yang berdiri di sampingnya. “Percuma, Mama. Ia selalu bersikap sopan. Aku juga tidak dapat menghentikan ia bersikap seperti itu kepadaku,” kata Al. “Apakah engkau selalu diharuskan bersikap sopan kepada siapapun di 145
keluargamu?” tanya wanita itu kepada Maria. “Saya tidak dapat mengingat apakah saya selalu diharuskan bersikap seperti itu di keluarga saya. Tetapi saya tidak dapat tidak bersikap sopan kepada Anda yang lebih tua dari saya,” kata Maria dengan tersenyum. “Ia adalah gadis yang sekarang menjadi bahan pembicaraan di Obbeyville, Mama,” kata Al memberi penjelasan. “Aku senang sekali dapat bertemu denganmu. Apa yang mereka katakan mengenai dirimu berbeda jauh dengan apa yang kulihat. Engkau lebih cantik dari yang mereka katakan,” kata wanita itu. “Anda terlalu berlebihan. Saya tidak seperti yang mereka katakan,” kata Maria merendahkan diri. “Engkau memang tidak seperti yang mereka katakan, Maria. Engkau lebih baik dari yang penduduk Obbeyville katakan,” kata Al. “Inikah gaun yang kaubeli tadi siang?” kata wanita itu sebelum Maria mengucapkan apa pun untuk menanggapi kata-kata Al. “Ya, Mama. Bagaimana pendapat Mama?” “Aku hanya dapat mengatakan seleramu terhadap pakaian baik sekali. Gaun ini cocok sekali dengannya. Dan aku bangga padamu, Al.” “Apakah benar kata penduduk Obbeyville bahwa engkau mengetahui mitos Blueberry ?” tanya ayah Al. “Saya hanya mengetahui sedikit mengenai itu. Bila Anda ingin mengetahuinya lebih banyak lagi, Anda dapat mencarinya di buku yang berisikan kumpulan naskah kuno mitos-mitos yang terkenal di Kerajaan Zirva.” “Aku mempunyai buku yang tidak dapat kumengerti tulisannya. Tulisan itu menyerupai tulisan Mesir Kuno,” kata pria itu lagi. “Bila Anda tidak keberatan, saya ingin melihat buku itu.” “Ya, tentu saja. Aku akan mengambilkannya untukmu.” “Jangan, Papa. Saat ini bukan saatnya kita membicarakan hal itu, sekarang adalah saat kita untuk berpesta,” kata Al menghentikan ayahnya yang hendak meninggalkan mereka. “Benar. Aku terlalu senang hingga lupa.” “Pergilah menemui tamu-tamu yang lain dan perkenalkanlah Maria kepada mereka.” “Tentu, Mama. Aku yakin mereka akan semakin kagum padanya setelah mengenalnya seperti aku. Aku benar-benar dibuat terpesona olehnya,” kata Al 146
sambil tersenyum pada Maria. Orang tua Al yang melihat hal itu saling berpandangan penuh arti. Mereka tersenyum bahagia. Entah apa yang dirasakan kedua orang itu, Maria tidak tahu. Tetapi ia menduga
keduanya
merasa
senang
karena
putranya
dapat
bertemu
dengannya. Dan memang demikian. Kedua orang itu sangat senang ketika melihat putra mereka datang bersama seorang gadis yang menarik. Semua orang memandang Maria sejak gadis itu tiba. Senyum yang selalu menghias wajahnya, membuat gadis itu semakin menarik hati. Cara bicara dan tingkah laku Maria yang sopan membuat kedua orang itu semakin menyukai Maria. Ketika Maria dan Al menjauh, wanita itu berkata, “Ia gadis yang luar biasa. Aku yakin ia bukan orang sembarangan, seperti yang penduduk Obbeyville katakan, ia memang seorang bidadari.” “Aku
juga
percaya
akan
hal
itu.
Lihatlah,
semua
orang
terus
memandangi gadis itu sejak kedatanganya. Lady Debora tampak kecewa sekali karena tidak menjadi pusat perhatian lagi.” “Dibandingkan dengan Lady Debora, Maria jauh lebih cantik. Lady Debora tidak dapat menyaingi kecantikkan dan keanggunan Maria. Aku ingin tahu siapakah Maria yang sebenarnya?” “Aku juga tidak tahu, tetapi aku yakin ia bukan sembarang orang,” kata suaminya sambil mengajak mendekati tamu-tamu mereka yang telah menanti. Al memperkenalkan Maria kepada teman-temannya. Maria tahu Al sengaja tidak memperkenalkannya kepada semua tamu karena tidak ingin Maria bertemu Lady Debora ataupun Baroness Lora. Al menepati janjinya. Ia tidak menyebutkan nama Maria kepada mereka selain orang tuanya. Dan Al selalu berusaha menjaga jarak dari Lady Debora yang selalu mendekat. Setiap kali wanita itu terlihat mendekat, Al mengajak Maria ke tempat lain. Hal ini membuat Maria tersenyum geli. Ia merasa seperti sedang bermain kejar-kejaran dengan Lady Debora. Lady Debora tampak kesal sekali atas sikap Al yang selalu menjauh. Tetapi wanita itu tidak berhenti mengejar hingga seorang pria mengajaknya 147
berbicara. Dari jauh, Maria dapat melihat Lady Debora tersenyum senang kepada pria itu. Lady Debora tampak senang sekali berbicara dengan pria itu hingga melupakan tujuannya yang semula. Al mengajak Maria menuju ke sudut Ruang Besar yang dekat sepi. Al mengambil sebuah kursi yang berukiran sangat indah yang berada di dekatnya. “Duduklah, Maria. Engkau pasti lelah sekali berjalan terus di Ruang Besar ini,” kata Al sambil mendudukkan Maria di kursi itu. “Terima kasih. Anda tidak duduk?” kata Maria. “Aku tidak lelah. Aku telah terbiasa berkeliling sepanjang hari tanpa duduk walaupun sebentar.” “Lebih baik Anda duduk juga. Saya merasa seperti seorang putri raja dengan pengawalnya bila Anda berdiri di samping saya sementara saya duduk,” kata Maria sambil berharap. “Tentu, Yang Mulia Tuan Puteri. Hamba akan melakukan titah Paduka,” kata Al sambil tersenyum. Pria itu mengambil kursi yang sama seperti kursi yang diambilkannya untuk Maria, kemudian duduk di samping Maria yang mengawasi kerumunan orang di depannya. “Seperti yang telah kukatakan sebelumnya, Maria. Mereka sejak tadi terus memandangimu sejak engkau tiba.” “Saya merasa bersalah pada Lady Debora karenanya.” “Mengapa?” tanya Al tak mengerti. “Lady Debora sangat berharap ia menjadi pusat perhatian di pesta ini. Tadi siang ia sangat ribut karena tidak dapat menemukan gaun yang cocok,” kata Maria. “Kata Mrs. Dahrien, engkau yang membuat gambar ular di gaun yang dikenakan Lady Debora itu,” kata Al, “Engkau telah membuatku merasa terkejut dengan kemampuanmu yang baru muncul ini. Tidak akan ada seorangpun yang menduga engkau pandai menyulam juga.” “Anda jangan berkata seperti itu.” “Seperti apa?” “Seperti orang yang baru saja menemui hal ini. Sudah seharusnya setiap wanita pandai melakukan itu,” kata Maria, “Saya berharap saya tidak terlalu memberi kesan kejam pada Lady Debora dengan gambar itu.” 148
Al tersenyum, “Tidak, Maria. Engkau memberikan gambar yang tepat pada Lady Debora. Ular adalah lambang keluarga Sidewinder.” “Dan sifat Lady Debora juga seperti ular,” tambah Maria. “Seperti ular?” “Ya.
Mereka
seperti
ular
yang
selalu
tampil
dengan
segala
kemewahannya dan senang berganti-ganti pasangan seperti ular yang sering menanggalkan kulitnya yang telah tua. Mata mereka selalu menatap lekatlekat mangsanya seperti seekor ular.” Al tertawa mendengar kata-kata Maria. “Kelebihanmu yang lain adalah engkau pandai membandingkan orang dengan tingkah laku hewan.” “Saya tidak membandingkan mereka. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya. Kadang kala tingkah laku manusia memang seperti hewan.” “Ya, kadang kala manusia memang bisa bersikap lebih buruk dari hewan,” kata Al setelah meredakan tawanya. “Memang seperti itulah manusia. Manusia adalah makhluk yang serakah sehingga mereka terlihat lebih buruk dari hewan yang keji sekali pun. Tetapi tidak semua orang seperti itu. Masih banyak orang yang dapat mengendalikan keserakahan mereka.” “Dan hanya sedikit orang yang mampu melakukannya,” kata Al. Maria tersenyum membenarkan kata-kata Al dan berkata, “Memang mereka yang mampu mengendalikan keserakahan juga banyak tetapi tidak sebanyak orang yang serakah.” “Engkau termasuk di antara yang sedikit.” “Saya berharap demikian,” kata Maria , “Sulit untuk melakukannya karena pada dasarnya manusia itu memang serakah dan tidak pernah puas dengan apa yang diperolehnya.” Seorang pria yang mendekat membuat mereka berhenti bercakapcakap. Maria tidak senang melihat cara pria itu memandang dirinya. Pria itu memandang dirinya seakan-akan Maria adalah miliknya. Mata di balik topengnya selalu menatap lekat-lekat wajah Maria. Demikian pula Al. Al tampak tidak senang atas gangguan pria itu. Walaupun begitu ia tidak menampakkannya. “Selamat malam, Alexander,” kata pria itu. Sesaat Al memandang wajah Maria. Ia khawatir Maria terkejut mendengar nama lengkapnya. Dan ternyata ia sendirilah yang terkejut. 149
Al terkejut melihat wajah Maria yang tetap tenang, seolah-olah telah mengetahuinya dari awal perjumpaan mereka. “Rupanya Andalah bidadari yang selalu bersinar sejak kedatangan Anda. Saya mengagumi sinar yang Anda nampakkan dalam setiap gerakan Anda. Baik melalui gaun Anda yang sangat serasi untuk kulit Anda yang putih itu maupun rambut Anda yang mempesona,” kata pria itu. Kemudian pria itu mengulurkan tangannya hendak mencium tangan Maria. Al terkejut ketika Maria menyambut uluran tangan pria itu dan membiarkan pria itu mencium punggung tangannya. Al menduga Maria melakukannya untuk kesopanan bila mengingat sikap Maria yang selalu menjaga kesopanan. Maria merasa pria itu mencium tangannya terlalu lama karena itu ia menarik tangannya dengan sopan. “Mengapa engkau menyembunyikan bidadari secantik ini di pojok ruangan yang gelap ini, Alexander?” kata pria itu. “Aku tidak menyembunyikannya. Aku hanya mencarikan tempat yang sepi untuknya agar bisa duduk dengan tenang,” kata Al. “Kukira engkau pandai menghadapi wanita, Alexander. Tetapi ternyata dugaanku salah. Engkau dapat kukatakan tidak mengerti apa-apa tentang wanita. Bidadari yang selalu bersinar seperti dia kau letakkan di sudut ruangan yang gelap,” kata pria itu mengejek. Maria tersenyum pada pria itu, “Bidadari yang selalu bersinar akan selalu bersinar sekali pun berada di tempat yang gelap.” Sesaat pria itu terkejut mendengar kata-kata Maria, tetapi ia segera menyembunyikannya dengan berkata, “Tepat seperti yang kuduga. Engkau memiliki suara yang merdu. Sangat sesuai dengan gerakan Anda yang anggun dan kecantikkan Anda yang selalu bersinar.” “Terima kasih. Saya berharap saya tidak terlalu bersinar sehingga menyilaukan mata semua orang.” Kata-kata Maria yang seperti memancing pujian selanjutnya membuat Al terkejut. Ia telah mengetahui sifat Maria yang selalu merendahkan diri setiap kali dipuji. Tidak pernah diduganya Maria akan berkata seperti itu. Apa yang dikatakan Al terbukti. “Engkaulah bidadari yang akan selalu menyilaukan mata semua orang 150
sehingga tidak ada orang yang akan mengalihkan pandangan mereka dari sinar Anda yang menyilaukan,” kata pria itu. “Bila demikian, Anda tidak perlu khawatir bila saya duduk di pojok Ruang Besar yang luas ini,” kata Maria dengan tenang namun membuat pria itu terkejut dan tidak dapat berkata apa-apa. Al tersenyum mendengar perkataan Maria yang tepat itu. Sekarang ia mengerti mengapa Maria sengaja memancing pujian selanjutnya dari pria itu. “Saya rasa kita belum berkenalan. Siapakah nama Anda?” kata pria itu menyembunyikan ketidakmampuannya membalas kata-kata Maria yang tenang dan sopan namun mengenai sasaran yang tepat. “Siapakah nama saya menurut Anda?” kata Maria balas bertanya. Priai tu tersenyum, “Saya tidak tahu nama apa yang tepat untuk bidadari secantik Anda. Menurut saya nama yang tepat untuk Anda adalah bidadari yang selalu bersinar.” “Itulah namanya, Marcel. Bidadari yang selalu bersinar di hatiku,” kata Al
seperti
yang
selalu
dikatakannya
kepada
teman-temannya
yang
diperkenalkan kepada Maria. Kemudian ia berkata dengan tegas, “Dan sekarang bila engkau tidak keberatan, maukah engkau menjauh. Aku tidak ingin diganggu.” “Apakah ia calon istrimu, Alexander? Iakah yang akan kaujadikan Duchess of Blueberry berikutnya.” “Sayang sekali. Ia terlalu mulia untuk kedudukan itu.” “Engkau salah, Alexander. Ia sangat pantas menerima kedudukan yang setinggi mungkin,” kata Marcel. “Kedudukan yang paling tinggi bagi saya adalah di hati pria yang mencintai saya,” kata Maria. “Anda seorang bidadari yang romantis rupanya,” kata Marcel memuji Maria lagi, “Ia memang pantas untuk menerima gelar kebangsawanan setinggi mungkin.” “Apakah Anda tidak merasa bahwa Anda telah menyimpang terlalu jauh dari tujuan Anda semula?” Marcel dan Al memandang heran pada Maria yang menatap lurus ke depan. Al mengikuti arah mata Maria dan mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu. Maria mengamati Lady Debora yang berdiri dengan kesal di kejauhan 151
sambil
terus
menatap
mereka.
Sikap
berdirinya
menampakkan
kejengkelannya. “Lady Debora telah menanti hasil penyelidikan Anda,” kata Maria memberi tahu dengan tenang. Merasa telah ketahuan tujuannya, Marcel segera pergi menjauh tanpa mengatakan apa-apa. Setelah kepergian pria itu, Al tersenyum geli pada Maria. “Hari ini aku telah menemukan kelebihanmu yang lain,” kata Al, “Engkau sangat pandai menghadapi pria seperti dia.” “Marcel sangat senang mempermainkan wanita. Ia sangat sesuai untuk Lady Debora,” kata Maria. “Bagaimana engkau mengetahuinya?” “Ia terlalu pandai memuji. Mungkin pujian-pujiannya itu akan berhasil pada wanita yang lain tetapi tidak pada saya.” Al mengakui kebenaran ucapan Maria. Ia merasa gadis itu benar-benar berbeda dengan gadis lainnya. Maria dapat mengendalikan sikapnya agar tetap sopan walaupun ia tidak menyukai orang itu. Dan ia sangat pandai dalam menghadapi pria seperti Marcel yang memiliki banyak skandal seperti Baroness Lora. “Apakah yang membuatmu menduga Lady Debora menyuruh Marcel menyelidiki dirimu?” “Tadi saya melihat mereka berdua berbicara. Lady Debora tampak sangat bersemangat ketika berbicara dengan pria itu. Apalagi yang dapat membuatnya sangat bersemangat seperti ketika ia akan menghadiri pesta ini selain mendekati Anda.” “Sudah kuduga Lady Debora akan sangat senang bila diundang ke pesta ini. Seperti katamu, ia memang selalu berusaha mendekatiku,” kata Al. “Ia
akan
selalu
berusaha
menyingkirkan
saingannya
untuk
mendapatkan Anda.” Al mengangguk dan berkata, “Aku mengagumi ketenanganmu, Maria. Engkau tidak nampak terkejut sama sekali ketika mengetahui aku adalah putra Duke of Blueberry.” “Saya telah mengetahuinya sebelumnya,” kata Maria. Al keheranan dengan kata-kata Maria. “Kapan?” tanyanya. “Tadi sewaktu kita memasuki rumah ini. Di pintu rumah ini tergambar lambang
keluarga
Blueberry,
sepasang
daun
Blueberry
dengan
buah 152
Blueberry di antara mereka. Dan sebelumnya saya telah menduga Anda tidak memberikan nama lengkap Anda.” “Aku menebak engkau mengetahui lambang keluargaku dari masa lalumu.” “Ya, Anda benar,” kata Maria, “Apakah Al nama panggilan Anda?” “Ya, keluargaku selalu memanggilku Al. Kata mereka lebih mudah memanggilku Al daripada Alexander. Aku ingin engkau terus memanggilku Al bukan Alexander,” kata Al menegaskan. Suara bel yang menggema di ruangan itu membuat Maria memandang semua orang yang mulai meninggalkan Ruang Besar. Alexander tidak mengajak Maria berdiri dan mengikuti orang-orang itu. Ia terus memandangi mereka, seperti Maria. Dan ketika tamu-tamu yang lain telah menghilang dari Ruang Besar, Duchess of Blueberry menghampiri mereka. Alexander
membantu
Maria
berdiri.
Kemudian
mereka
berjalan
mendekati Duchess. “Mari kita pergi ke Ruang Makan, Maria,” kata Duchess sambil mengulurkan tangannya. Maria menyambut uluran tangan itu dan membiarkan wanita itu menuntunnya dengan akrab seakan-akan Maria adalah putri kandungnya. Alexander tersenyum melihat keakraban kedua wanita itu. Ia mengikuti di belakang mereka sambil mendengarkan percakapan mereka. “Semua tamu-tamu selalu memperhatikanmu sejak kedatanganmu, Maria,” kata Duchess. “Saya berharap saya tidak selalu menjadi pusat perhatian. Saya khawatir saya salah tingkah karenanya,” kata Maria merendahkan diri. “Jangan berkata seperti, Maria. Engkau sangat tenang walaupun engkau menjadi pusat perhatian tamu-tamuku khususnya para lelaki. Sikapmu seperti orang yang telah terbiasa menjadi pusat perhatian,” kata Duchess. “Sejujurnya,
saya
memang
merasa
saya
sering
menjadi
pusat
perhatian. Sepanjang hidup saya, saya selalu diperhatikan dengan sungguhsungguh bahkan berlebihan, menurut saya tetapi mereka mengatakan hal itu memang layak untuk saya,” kata Maria. “Siapakah mereka itu, Maria? Apakah penduduk Obbeyville? Penduduk Obbeyville
memang
selalu
memperhatikan
tiap
gerakanmu.
Mereka
menganggapmu sebagai bidadari yang dikirim para dewa dan mereka selalu 153
membicarakanmu.” “Bukan penduduk Obbeyville yang saya maksudkan. Tetapi mereka yang berada di masa lalu saya dan saya tidak dapat mengingat siapakah mereka itu,” kata Maria. “Oh, Maria. Jangan terlalu kaupikirkan hal itu. Ingatanmu akan pulih kembali. Percayalah kepadaku.” “Saya selalu percaya ingatan saya akan pulih suatu hari nanti.” Alexander tersenyum menyadari kebenaran ucapan Marcel. Rambut
Maria
yang
panjang
selalu
bersinar
mengiringi
setiap
gerakannya yang gemulai seperti gaunnya yang juga selalu bersinar dalam setiap gerakan Maria. Syal putih yang panjang dan lebar yang selalu melambai setiap gerakan Maria, membuat gadis itu tampak semakin menarik perhatian. Alexander tidak mempercayai bahwa ada seorang gadis yang sangat sempurna seperti Maria. Ia masih takut mempercayainya. Takut bahwa itu semua hanya karena perasaannya yang untuk pertama kali membuatnya bingung. Pelayan membukakan pintu Ruang Makan untuk mereka. Tamu-tamu yang seluruhnya berjumlah sekitar dua puluh lima orang telah duduk mengelilingi meja makan yang besar itu menoleh ketika mereka memasuki ruangan itu. Mereka terpesona pada sikap Duchess yang sangat akrab terhadap Maria, gadis yang baru pertama kali mereka lihat. Duchess menyerahkan tangan Maria yang sejak tadi dipegangnya kepada putranya sebelum ia duduk di tempat yang telah ditentukan untuknya, di dekat suaminya. Alexander menarikkan kursi untuk Maria di tempat yang sangat jauh dari Lady Debora maupun Baroness Lora. Kemudian ia duduk di samping Maria. Maria dapat melihat kejengkelan Lady Debora karena Alexander tidak duduk di dekatnya Wanita itu memandang cemberut kepadanya seperti anak kecil kepada Maria tetapi kemudian Lady Debora segera mengalihkan perhatiannya ketika pria yang duduk di sampingnya mengajaknya bicara. Maria menduga telah menjadi kebiasaan bagi pesta dansa keluarga Blueberry untuk menyajikan hidangan malam sebelum pesta tersebut dimulai. 154
Hidangan yang disajikan sangat bervariasi. Mulai dari makanan pembuka hingga makanan penutup semuanya terlihat sangat lezat. Sepanjang acara makan malam itu, Maria terlihat sangat diam. Ia terkejut ketika menyadari ia pernah duduk di meja makan yang besar seperti ini bersama-sama tamu yang banyak pula. Hidangan yang disajikan juga sangat bervariasi. Tamu-tamu pria juga sibuk membicarakan masalah kerajaan seperti Al dan pria yang duduk di seberangnya, juga seperti pria yang duduk di samping kanannya. Sedangkan tamu-tamu wanita sibuk membicarakan pakaian, tatanan rambut, pesta-pesta dan segala hal yang menarik perhatian mereka. Di mana ia melakukan hal yang sama, Maria tidak dapat mengingatnya. Tetapi Maria yakin situasi saat itu sama seperti situasi sekarang. Yang berbeda adalah jumlah tamu. Pada pesta yang diingat Maria, jumlah tamunya lebih banyak dari pesta dansa keluarga Blueberry. Alexander tidak memperhatikan Maria yang diam sejak hidangan pertama disajikan karena ia sibuk membicarakan masalah kerajaan dengan tamu yang duduk di dekatnya. Semua tamu wanita saling berbisik membicarakan Maria sedangkan tamu-tamu pria sibuk dengan pembicaraan mereka. Tidak ada yang memperhatikan Maria. “Mengapa Anda diam saja sejak tadi?” tanya pria setengah baya yang duduk di samping kanan Maria. Maria
menatap
wajah
pria
itu
dan
berkata,
“Saya
sedang
mendengarkan pembicaraan mereka.” “Apakah Anda menyukai masalah politik?” tanya pria itu. “Cukup menyukainya,” jawab Maria. “Bagaimanakah pendapat Anda mengenai penjara bawah tanah kota Xoechbee?” tanya pria itu. “Penjara itu sangat gelap, sinar matahari hampir tidak dapat menembus dinding batunya yang kokoh,” kata Maria. “Saya rasa Kerajaan Zirva sangat keterlaluan dalam hal hukum. Mereka terlalu keras,” kata pria itu dengan jengkel. “Memang pada awalnya mereka sangat keras. Namun sekarang pemerintah
telah
memperlunak
sanksi
hukuman,”
kata
Maria
sambil 155
tersenyum. “Mereka masih terlalu keras,” kata pria itu dengan jengkel, “Keponakan saya
yang
hanya
bersalah
karena
telah
melangggar
Undang-Undang
Perburuan saja dihukum selama tiga puluh tahun di penjara itu. Dan saya sebagai pamannya tidak diijinkan berkunjung.” “Siapakah nama keponakan Anda itu?” tanya Maria. “Golbert Mantrix,” jawab pria itu. “Dan Anda tentunya adalah Eisench Mantrix yang sejak Golbert Mantrix dihukum
selalu
berusaha
meminta
ijin
dari
Raja
untuk
mengunjungi
keponakan Anda itu,” kata Maria. “Bagaimana Anda mengetahuinya?” tanya Eisench Mantrix terkejut. “Saya tidak tahu. Tetapi saya tahu keponakan Anda dihukum selama itu bersalah karena masih terus membunuh serigala hutan yang dilindungi dan mengambil bulunya
untuk
dijadikan
mantel
walaupun
Undang-Undang
mengenai itu telah dikeluarkan.” “Ya, saya juga menyadari kesalahan keponakan saya. Tetapi keterlaluan sekali. Hanya karena melanggar Undang-Undang perburuan dihukum tiga puluh tahun di penjara yang paling menakutkan pula.” “Anda harus memaklumi sikap Raja. Hukuman itu diberikan berdasarkan kitab Undang-Undang yang telah diperbarui oleh Raja Croi I, sekitar delapan puluh tahun lalu,” kata Maria. “Kitab itu masih harus diperbaharui lagi. Hukumannya masih terlalu berat,” kata Eisench Mantrix. “Anda jangan khawatir karena kini Raja sedang berusaha memperbarui kitab tersebut yang sejak jaman Raja Croi I belum diperbaharui sejak sekarang. Kemungkinan hukuman keponakan Anda diperpendek sangat luas.” “Aku tidak percaya kitab itu akan menjadi lebih lunak daripada sekarang.” “Percayalah kepada saya,” kata Maria sambil tersenyum, “Raja telah merencanakan untuk memperlunak hukuman itu sejak beberapa tahun yang lalu. Tetapi hal itu masih belum terwujud karena masih banyak menteri yang menolak usul itu.” “Ya, menteri-menteri yang kuno itu. Mereka tidak mengerti betapa hukuman itu sangat keras,” kata Eisench Mantrix dengan jengkel. “Hukuman yang keras dan tegas memang diperlukan untuk mengatur penjahat yang kejam,” kata Maria, “Dan Anda harus menanti sebentar lagi 156
agar dapat mengunjungi keponakan Anda karena permohonan Anda telah sampai di tangan Menteri Pertahanan, mungkin saat ini sudah berada di tangan Menteri Kehakiman. Dan setelah itu akan diserahkan kepada Paduka Raja.” “Bagaimana engkau mengetahuinya?” tanya Al keheranan mengetahui pengetahuan Maria yang sangat dalam mengenai hukum Kerajaan Zirva. Maria
tidak
menyadari
semua
tamu
membelalak
terkejut
pada
perkataannya yang sangat politis. Bahkan Duke of Blueberry serta Duchess yang duduk di ujung meja yang lain membelalak terkejut. Rupanya semua orang menghentikan pembicaraan mereka ketika Maria mulai berbicara mengenai masalah hukum. Sehingga pembicaraan mereka terdengar hingga ke ujung meja yang lain. Tidak ada seorang pun di antara tamu itu yang menduga gadis itu mengetahui cukup dalam mengenai urusan hukum Kerajaan Zirva. Bahkan Al! Baru kali ini pria itu menjumpai seorang wanita yang masih muda pula yang mengetahui banyak mengenai urusan hukum. Demikian pula tamu-tamu yang lain yang tertarik mendengar pembicaraan Maria dengan Eisench Mantrix. “Saya tidak tahu. Kata-kata itu seperti meluncur begitu saja dari ingatan saya,” kata Maria dengan tenang. “Apakah Anda tahu banyak mengenai politik?” tanya pria yang tadi berbicara dengan Alexander. “Tidak sebanyak yang Anda ketahui,” kata Maria sambil tersenyum, “Karena politik sangat sukar dipelajari, tetapi bila kita mau berusaha kita dapat melakukannya. Manusia harus berusaha bila ingin berhasil.” “Siapakah Anda?” tanya pria itu. “Saya bukan siapa-siapa. Saya hanyalah makhluk tak bernama yang kebetulan saja hadir di sini,” kata Maria dengan tersenyum. Pria
itu
tertawa
mendengar
jawaban
Maria
yang
sengaja
menyembunyikan namanya. “Anda sangat pandai menyembunyikan nama Anda, tetapi tidak apaapa. Siapa tahu Anda sedang menyamar. Saya Trown Townie.” “Saya senang dapat berjumpa dengan Anda. Nama Anda sangat terkenal di Kerajaan Zirva,” kata Maria. “Anda mengetahui saya rupanya,” kata Trown Townie. “Siapa yang tak kenal Anda yang terkenal sebagai tokoh politik yang 157
pertama kalinya mengecam politik perdagangan Blueberry Kerajaan Zirva,” kata Maria sambil tersenyum. “Pengetahuan Anda membuat saya khawatir suatu hari nanti Anda lebih terkenal daripada saya,” goda Trown Townie. Maria tersenyum pada pria yang mirip Mr. Liesting dengan janggut putihnya yang lebat, “Bila suatu saat nanti hal itu menjadi kenyataan, saya berharap kita akan bertemu kembali agar saya dapat mengetahui apakah saya telah lebih unggul dari Anda.” “Anda pasti akan lebih pandai dari saya. Dalam usia semuda ini Anda telah mengetahui banyak hal apalagi bila Anda telah semakin dewasa,” kata Trown Townie. “Saya tidak akan menjadi sepandai Anda karena saya selalu jauh dari Istana sehingga saya tidak mengetahui banyak mengenai politik.” “Anda dapat mengetahui banyak walaupun Anda jauh dari Istana apalagi bila Anda tinggal di Istana Plesaides,” kata Trown Townie. “Saya kira saya tidak akan pernah diijinkan tinggal terlalu lama di Istana Plesaides,” kata Maria. “Ya, Istana itu memiliki banyak ruangan tetapi kebanyakan kosong. Saya pernah tinggal di sana ketika membantu Raja menyelesaikan masalah perdagangan
Blueberry.
Saya
sendiri
tidak
mengerti
mengapa
Raja
memanggil saya saat itu walaupun hal itu bukan bidang saya.” “Tentu karena kecaman Anda atas politik perdagangan Blueberry kerajaan ini,” kata Al. “Ya, mungkin karena itu,” kata Trown Townie, “Ada suatu hal yang sangat aneh di Istana Plesaides.” “Apakah itu?” tanya Eisench Mantrix. “Di lantai teratas Istana Plesaides, lantai empat ada sebuah ruangan yang tidak boleh dimasuki tanpa ijin.” “Apa yang aneh dari ruangan itu? Aku rasa tidak aneh bila ada ruangan yang tidak dapat dimasuki secara bebas di Istana,” tanya Eisench Mantrix, “Mungkin saja ruangan itu kamar Raja atau keluarga Raja yang lain.” “Memang tidak aneh, tetapi yang membuatku heran adalah mengapa ruangan itu terpisah dari ruangan lain yang tidak dapat dimasuki secara bebas. Kamar Raja dan Pangeran serta berbagai ruangan lain yang tidak dapat dimasuki secara bebas semuanya terletak di lantai pertama dan lantai kedua. Hanya ruangan itu yang terletak di lantai teratas Istana Plesaides.” 158
“Aku
rasa
tidak
ada
yang
aneh,
mungkin
saja
Raja
sengaja
menyendirikan ruangan itu dari ruangan-ruangan lainnya yang terlarang,” kata Eisench Mantrix. “Memang hal itu mungkin saja. Tetapi yang membuatku merasa ruangan itu aneh adalah ijin untuk dapat memasuki ruangan itu.” “Tidak ada yang aneh bila untuk memasuki suatu ruangan di Istana memerlukan ijin khusus dari Raja,” kata Eisench Mantrix. “Di situlah keanehannya, Mantrix. Untuk memasuki ruangan itu kita harus meminta ijin dari Pangeran bukan dari Raja.” “Mungkin saja Raja memberi tugas pada Pangeran untuk memberi ijin orang yang ingin memasuki ruangan itu,” gumam Al. “Tidak, hal itu memang aneh sekali. Bila aku bercerita pada kalian aku yakin kalian tidak mempercayaiku.” “Coba
ceritakan
kepada
kami,”
kata
Duke,
“Mungkin
kami
mempercayainya.” Trown Townie mulai bercerita pengalamannya di Istana, “Ketika Kepala Pengawal Istana mengantarkanku mengelilingi Istana, ia hanya melalui ruangan itu. Aku bertanya kepadanya, “Mengapa kita tidak memasuki pintu itu?” “Maafkan saya, saya tidak dapat mengajak Anda memasuki ruangan itu karena untuk memasukinya memerlukan ijin Pangeran dan saat ini Pangeran sedang sibuk di kebun.” Aku keheranan mendengar kata-kata Kepala Pengawal itu. “Apa yang dilakukan Pangeran di kebun bunga itu?” tanyaku. “Pangeran sedang memetik bunga untuk menghiasi ruangan ini.” Jawaban Kepala Pengawal itu semakin membuatku merasa heran dan bingung. Tidak mungkin rasanya bagiku Pangeran yang gagah mencari bunga untuk menghiasi kamarnya. Tetapi kamar itu bukan kamarnya karena kamarnya terletak di lantai dua, di samping kamar Raja. Dan pertanyaan-pertanyaanku itu terjawab ketika pada sore harinya aku menyempatkan diri untuk menuju ruangan di lantai empat itu. Tujuanku yang semula adalah untuk melihat ukiran pintu yang menarik hatiku itu. Pintu itu berukiran seorang bidadari sedang memegang seikat bunga yang besar dan beberapa peri kecil di sekelilingnya. Ukiran itu demikian indahnya sehingga aku ingin terus memandanginya. Saat itu aku melihat Pangeran membuka pintu itu dengan sepasang 159
keranjang besar yang berisi berbagai macam bunga di tangannya. “Selamat sore,” sapa Pangeran. “Selamat sore, Pangeran,” balasku. “Apakah Anda yang tadi hendak memasuki ruangan ini?” tanya Pangeran. Aku heran mengapa Pangeran tahu aku tadi siang ingin sekali memasuki ruangan itu. Aku menduga Kepala Pengawal Istana yang memberi tahu Pangeran. Tanpa menanti jawabanku, Pangeran membuka sepasang pintu itu lebar-lebar dan mengajak aku masuk. Aku terkejut sekali ketika berada di dalam ruangan itu. Ruangan itu sama seperti ruangan lainnya yang dihias dengan mewah. Tetapi menurutku, ruangan itu lebih sederhana dibandingkan ruangan-ruangan yang lain. Dan yang lebih membuatku merasa sangat terkejut adalah ruangan itu penuh berisi bunga. Hampir di setiap sudutnya ada pot-pot bunga yang berisikan berbagai macam bunga segar. Aku heran sekali dari mana Pangeran memperoleh bunga-bunga itu padahal waktu itu adalah musim gugur. Rupanya Pangeran mengerti kebingunganku karena ia berkata, “Bungabunga ini didatangkan dari berbagai tempat. Khusus untuk menghias ruangan ini.” Aku diam saja memandangi bunga-bunga yang ada di ruangan yang sangat besar itu. Ruangan itu terdiri dari tiga buah kamar tidur dan sebuah kamar duduk. Masing-masing kamar dihias bunga yang jumlahnya sangat banyak sehingga membuat ruangan yang besar itu wangi. Aku bersyukur sekali karena aku tidak mempunyai alergi terhadap serbuk bunga karena dengan demikian aku bisa mengamati ruangan yang mengagumkan itu. Ada sebuah piano putih kuno dari jaman Bartolome Cristofori di sudut ruangan duduk yang dilengkapi dengan sofa yang indah dan perapian yang besar. Besar perapian itu juga membuatku merasa heran karena perapian itu lebih besar dibandingkan perapian pada umumnya. Aku tidak sempat memasuki kamar tidur yang lain karena aku terlalu sibuk memperhatikan ruang duduk. Salah satu sisi ruangan duduk itu ada dua 160
kamar dan di sisi lainnya hanya satu kamar yang terus memanjang hingga serambi. Tetapi aku sempat melirik kamar tidur yang terletak di depan dua kamar tidur lainnya itu ketika Pangeran memasuki ruangan itu. Sekilas, aku melihat kamar tidur itu sangat indah dan seperti ruang duduk, kamar itu penuh dengan berbagai macam bunga. Tempat tidurnya yang besar berwarna putih dengan tiang-tiang besi yang berwarna keemasan. Kamar
tidur
itu
sangat
indah
sehingga
sukar
bagiku
untuk
menggambarkannya dengan tepat. Tetapi aku yakin kalian akan terpesona juga pada ruangan di lantai empat yang tidak semewah ruangan lainnya tetapi penuh bunga. Aku yakin ruangan lainnya lebih mewah tetapi tidak seindah ruangan di lantai empat itu. Ketika aku berada di ruangan itu. Aku merasa sangat damai dan tentram dan itu membuat aku ingin terus berada di sana. Aku terlalu terpesona pada ruangan itu sehingga tidak sempat bertanya pada Pangeran mengenai ruangan itu lebih jauh.” “Aneh sekali,” gumam Alexander. “Ya, memang aneh sekali. Dan yang lebih aneh lagi adalah setiap pagi dan sore, Pangeran selalu memeriksa ruangan tersebut. Dan tiap kali Pangeran memeriksa ruangan itu, Pangeran selalu membawa seikat besar bunga, padahal ruangan itu sudah penuh bunga.” “Apakah orang yang pernah menempati ruangan itu sudah meninggal dan arwahnya bergentayangan sehingga tidak ada orang yang berani tinggal di ruangan itu dan ruangan itu selalu dipenuhi bunga untuk mencegah arwah itu mengganggu penghuni Istana Plesaides yang lain?” tanya Eisench Mantrix. “Tidak, Mantrix. Menurut Kepala Pengawal Istana yang waktu itu mengantarku berkeliling Istana, ruangan itu ada yang menempati. Tetapi selama aku di sana, aku tidak pernah melihat orang lain memasuki ruangan itu selain Pangeran.” “Pasti arwah orang yang dulu tinggal di situ yang kini masih menempati ruangan itu,” kata Eisench Mantrix dengan yakin. “Tidak, Mantrix. Karena Pangeran sendiri mengatakan bahwa ruangan itu ditempati adiknya bersama pengasuhnya,” kata Trown Townie sambil menggelengkan kepala. “Adik Pangeran!” seru tamu-tamu yang terkejut mendengarkan kalimat 161
terakhir Trown Townie. “Setahuku Pangeran tidak mempunyai adik,” kata Eisench Mantrix. “Engkau salah lagi, Mantrix. Pangeran mempunyai seorang adik perempuan hanya saja kita tidak pernah mendengar namanya maupun melihatnya,” kata Trown Townie. “Apakah engkau yakin, Townie?” tanya Duke. “Aku yakin sekali. Karena yang memberi tahuku adalah Kepala Pengawal Istana.” “Mengapa Princess tidak pernah muncul?” tanya Eisench Mantrix. “Aku tidak tahu. Aku tidak sempat bertanya pada Pangeran. Kepala Pengawal Istana yang kutanyai tidak tahu menahu tentang itu. Ia hanya mengatakan Putri jarang berada di Istana.” “Ke manakah Princess bila ia sedang tidak berada di Istana?” “Aku tidak tahu, Mantrix. Jangan bertanya lebih banyak lagi kepadaku mengenai Princess kita yang tidak pernah muncul itu karena aku sendiri juga tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari Kepala Pengawal Istana.” “Apakah engkau tidak bertanya pada penghuni Istana yang lain?” tanya Eisench Mantrix. “Pelayan-pelayan lainnya juga tidak menjawab banyak pertanyaan yang muncul di benakku. Mereka tidak memberi tahu lebih banyak kepadaku selain mereka selalu merindukan Princess, yang kata mereka sangat cantik tak tertandingi, seolah-olah mereka sengaja ingin menyembunyikannya.” “Aneh sekali,” kata Duke. “Hingga kapan pun, Istana Plesaides akan selalu menyimpan misteri. Seperti menyimpan misteri politik dan sebagainya,” kata Maria. Trown Townie tertawa mendengar kata-kata Maria. “Anda benar. Istana Plesaides akan selalu menyimpan rahasia Kerajaan Zirva.” “Di manapun, Istana adalah tempat penyimpanan rahasia suatu negara.” “Saya senang berbicara dengan Anda, pengetahuan Anda membuat saya kagum,” kata Trown Townie. “Apa yang saya ketahui masih kalah jauh dibandingkan Anda,” kata Maria merendahkan diri. “Mengapa kita membicarakan urusan Kerajaan di pesta ini?” kata Duke dari ujung meja, “Saat ini kita berkumpul di sini untuk bersenang-senang bukan untuk membicarakan masalah politik.” 162
“Maafkan saya. Saya terlalu terpesona pada gadis ini,” kata Trown Townie. “Kita semua juga terpesona padanya sejak kedatangannya. Kita tidak tahu siapa dia. Mungkin hanya Alexander saja yang mengetahui siapa gadis yang mempesona ini sebenarnya,” kata Eisench Mantrix. “Sejujurnya, saya juga tidak tahu siapa dia. Ia terlalu membingungkan dan tidak dapat ditebak. Saat ini ia sudah memberi banyak kejutan pada saya, saya tidak tahu apalagi yang akan dilakukannya untuk membuat saya semakin terpesona,” kata Alexander sambil tersenyum pada Maria. “Mari kita kembali ke Ruang Besar dan melanjutkan pesta kita sebelum hari semakin malam,” kata Duke. Semua tamu berdiri dan mengiringi Duke menuju Ruang Besar. Maria dan Alexander masih duduk menanti semua tamu meninggalkan ruangan itu. Duchess juga masih menanti semua tamu meninggalkan ruangan. Eisench Mantrix telah beranjak meninggalkan meja makan. Tetapi Trown Townie masih tetap berada di ruangan itu. Ketika semua tamu telah meninggalkan ruangan, Alexander membantu Maria bangkit dari kursinya kemudian menanti Duchess dan Trown Townie. “Engkau sangat mengejutkanku, anakku,” kata Duchess pada Maria. “Maafkan saya bila saya terlalu mengejutkan Anda,” kata Maria. “Jangan berkata seperti itu. Aku sangat senang bertemu dengan gadis seperti engkau. Tidak seorang pun yang menduga engkau mengetahui banyak mengenai politik, kecuali Al.” “Sejujurnya, Mama, aku sendiri juga terkejut,” kata Al, “Seperti kataku, ia selalu membuat aku terkejut.” “Sebenarnya siapakah Anda?” tanya Trown Townie. “Saya tidak mengetahui siapa saya yang sebenarnya. Saya tidak dapat mengingat masa lalu saya,” kata Maria. “Oh, saya turut menyesal. Di manakah Anda tinggal?” tanya Trown Townie. “Anda pernah mendengar bidadari yang ditemukan di Sungai Alleghei?” tanya Duchess sebelum Maria menjawab pertanyaan Trown Townie. “Saya hanya sekali mendengarnya yaitu ketika kusir kuda yang saya sewa menceritakan bahwa penduduk Obbeyville mendapatkan seorang bidadari yang sangat cantik dari dewa-dewi di Holly Mountain. Ia mengatakan 163
gadis itu ditemukan di Sungai Alleghei.” “Bidadari itu sekarang berdiri di hadapan Anda,” kata Duchess. Trown Townie berseru terkejut. “Saya tidak pernah membayangkan akan bertemu sendiri dengannya. Saya sangat senang sekali dapat bertemu dengan Anda. Saya merasa kusir itu berlebihan ketika menceritakan hal itu tetapi sekarang saya merasa kusir itu kurang tepat menggambarkannya, ia jauh lebih baik dari yang diceritakan.” “Dapatkah saya meminta Anda berjanji untuk tidak mengatakannya kepada siapapun yang hadir di pesta ini?” kata Alexander. “Mengapa?” tanya Trown Townie keheranan. “Karena Maria tidak ingin siapa pun mengetahui ia hadir di pesta ini. Tentunya Anda mengerti bila ia menghindari penduduk Obbeyville yang selalu membicarakan segala tindakannya.” “Tentu, Alexander. Aku berjanji akan merahasiakan hal ini dari siapa pun.” “Terima kasih, Mr. Townie,” kata Maria. “Jangan terlalu sopan seperti itu, Maria,” kata Trown Townie, “Jangan memanggilku seperti itu, panggil aku dengan nama depanku saja, Trown.” Duchess tertawa mendengar kata-kata Trown Townie yang sama seperti yang pernah diucapkannya kepada Maria. “Anda tidak akan berhasil. Ia selalu sopan terhadap siapa pun walaupun telah dilarang,” kata Duchess. “Itulah kelebihannya yang lain, Mama. Ia masih mempunyai banyak kelebihan lain yang tidak akan Mama percayai.” “Tidak, saya tidak mempunyai kelebihan apa-apa. Apa yang saya lakukan adalah wajar, tidak dapat dikatakan kelebihan,” kata Maria. “Ini salah satu kelebihannya yang lain, Mama.” “Aku jadi tertarik untuk mengenal engkau lebih jauh, Maria. Aku ingin mengetahui apa saja kelebihanmu dan apakah yang dikatakan Al benar.” “Tentu saja benar, Mama. Bila Mama telah cukup lama mengenal Maria, Mama akan mengetahui kelebihannya yang lain,” kata Alexander, “Saya ingin Mama sendiri yang menemukan kelebihan Maria yang lain.” “Engkau gadis yang menyenangkan, Maria,” kata Trown Townie. Maria
tersenyum
mendengar
pujian
Trown
Townie,
“Anda
juga
menyenangkan, Mr. Townie. Saya senang berbicara dengan Anda.” “Aku juga senang berbicara dengan gadis yang berpengetahuan luas 164
sepertimu,” kata Trown Townie. “Pengetahuan saya tidak seluas yang Anda katakan. Saya tidak mengerti mengenai segala hal yang disukai wanita seperti Baroness Lora. Saya tidak mengerti mengenai gaun-gaun dan segala macam permata,” kata Maria sambil tersenyum. “Itulah yang membuat dirimu berbeda dengan wanita-wanita yang lain, anakku,” kata Duchess sambil menggandeng Maria, “Sekarang bukan saatnya kita membicarakan masalah politik. Sekarang saatnya kita menuju Ruang Besar.” Trown Townie tertawa, “Anda benar, Duchess. Tetapi saya harus mengatakan bahwa saya senang sekali membicarakan masalah politik bersama Maria. Ia dapat menambah pengetahuan saya.” “Bukan Anda, Mr. Townie. Tetapi sayalah yang akan bertambah pengetahuannya.” Alexander membukakan pintu untuk mereka dan berkata, “Mari kita menuju Ruang Besar. Para tamu pasti telah menanti kehadiran kita.”
165
10
Duchess berjalan bergandengan dengan Maria menuju Ruang Besar. Pembicaraan mereka yang sangat akrab seperti seorang ibu dengan putrinya, membuat Maria merasakan sesuatu yang aneh. Maria merasa sangat bahagia bila berbicara dengan Duchess yang sangat lembut padanya. Suatu perasaan yang tidak pernah muncul di hatinya selama ia berada di Obbeyville. Maria merasa seperti berjalan dan berbicara dengan akrab bersama ibu kandungnya.
Cara
Duchess
memperlakukannya,
cara
memandangnya,
caranya tersenyum pada dirinya, membuat Maria merasa seperti berhadapan dengan ibu kandungnya. Teringat akan ibu kandungnya, Maria berusaha mengingat
wajah
ibunya.
Dan
seperti
biasanya,
Maria
tidak
dapat
menyingkap lebih jauh kabut gelap yang menyelubungi masa lalunya. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa ibu kandungnya sangat mirip seperti Duchess of Blueberry. Ibu kandungnya sangat cantik dan anggun seperti Duchess. Matanya selalu tersenyum pada setiap orang. Tutur kata Duchess yang lemah lembut juga mirip dengan cara ibunya berbicara. Ibunya yang cantik, yang baik, dan sangat menyayanginya. Semua yang ada di diri Duchess mengingatkan Maria pada ibunya yang tidak dapat diingat wajah juga namanya. Ia merasakan kerinduan yang sangat dalam merasuk ke hatinya. Ia merindukan ibunya, ayahnya dan keluarganya. Tidak ada yang menyadari perasaan Maria. Ketika mereka tiba di Ruang Besar, pesta dansa telah dimulai. Beberapa pasangan telah mulai berdansa di Ruang Besar yang luas itu dengan diiringi musik yang lembut. Duchess segera membaur di antara tamu-tamunya. Alexander membawa Maria ke pojok ruangan yang dekat jendela. Mereka berdiri di sana sambil memperhatikan tamu-tamu. Di seberang tempat mereka berdiri, adalah tempat mereka berada sebelumnya ketika Marcel mencoba mendekati Maria. Tirai jendela yang berwarna hijau cerah melambai-lambai tertiup angin 166
malam yang menerobos masuk Ruang Besar dari halaman yan luas. Maria mendekati jendela itu dan memandang halaman Blueberry House yang terhampar di depannya. Pintu gerbang Blueberry House yang tak sempat diperhatikan Maria ketika ia tiba kini tampak bersinar dengan warna putihnya di antara kegelapan malam dan menampakkan bentuknya yang unik. Bagian atas gerbang putih yang tinggi itu menyirip seperti daun dan ujung-ujungnya yang runcing yang mengelilingi ujung pintu gerbang yang meruncing itu membuat pintu gerbang itu tampak seperti daun Blueberry yang bergerigi. Pada
bagian
tengahnya
tergambar
lambang
keluarga
Blueberry,
sepasang daun Blueberry dengan buah Blueberry tepat di tengahnya. Halaman Blueberry House tidak kalah indahnya dengan pintu gerbang putih itu. Dari dalam Blueberry House, Maria dapat melihat lebih jelas halaman itu. Mawar-mawar dengan berbagai macam warna yang tetap tumbuh di musim panas, bermekaran dengan indahnya dan menyemarakkan Blueberry House. Demikian pula bunga-bunga lainnya dan pepohonan yang terus bertahan hidup di musim panas. Langit malam itu sangat cerah, berbeda dengan malam-malam musim panas sebelumnya. Bintang-bintang di langit seolah-oleh tersenyum pada Maria demikian pula bulan purnama yang menghiasi langit malam yang cerah itu. Sinar mereka menghiasi langit malam yang kelam dan menyejukkan hati setiap orang yang memandangnya. Maria tidak menyadari dirinya yang sedang memandang langit malam itu tampak cantik sekali dengan rambut panjangnya yang melambai-lambai tertiup angin malam musim panas yang nakal. Alexander berdiri di samping Maria sambil terus memandangi wajah gadis itu dari samping. Ia merasa Maria tetap terlihat sangat cantik dalam keadaan apapun. Dilihat dari manapun ia selalu terlihat cantik. Mulutnya yang mungil tersenyum lembut. Matanya memandang takjub pada langit malam. Alexander percaya andai topeng yang menutup mata gadis itu dilepas, ia akan melihat mata ungu itu bersinar indah dan akan membuat semua orang yang ada di ruangan ini terpesona. Maria sangat asyik dengan pemandangan malam yang dilihatnya hingga tak menyadari bukan hanya Alexander yang terkagum-kagum pada 167
dirinya yang saat itu terlihat sangat agung seperti bidadari. “Ia cantik sekali dalam keadaan seperti itu,” kata Trown Townie, “Sejak tadi aku memperhatikanya dan aku yakin tidak ada yang lebih cantik dari Maria dalam keadaan seperti ini. Ia terlihat seperti bidadari yang ingin kembali ke kahyangan.” Alexander terkejut mendengar suara Trown Townie yang tiba-tiba mendekatinya, “Ya, ia sangat cantik.” “Engkau sangat beruntung, Alexander. Andai aku lebih muda darimu, aku akan merebutnya darimu,” kata Trown Townie pura-pura menyesali dirinya. “Harus saya akui ia wanita tercantik yang pernah saya temui dan saya kenal.” “Apakah
engkau
menyadari
sejak
tadi
tamu-tamu
pria
lainnya
memandangi Maria terutama Marcel?” “Ya, bahkan Marcel telah mencoba merayu Maria sebelum makan malam tadi. Tetapi Maria dapat mengatasinya dengan mudah. Ia membuat Marcel merasa malu sekali dan membuat saya ingin tertawa melihat apa yang dikatakannya pada Marcel.” “Ia tidak mengatakan kata-kata yang kasar, bukan?” tanya Trown Townie dengan cemas. “Tentu saja tidak. Maria terlalu sopan untuk mengatakan kata-kata itu. Ia hanya mengatakan suatu kebenaran dengan tenang dan sopan. Tetapi itulah yang membuat Marcel kesulitan membalasnya. Bagaimana kita dapat membalas seseorang yang berkata dengan tenang dan sopan tetapi tepat mengenai kita?” “Aku tidak percaya ada orang seperti itu,” seru Trown Townie. “Saya juga sukar mempercayai tindakan Maria terhadap Marcel. Ia seperti sangat pandai menghadapi orang seperti Marcel ketika itu. Saya yakin Anda akan sependapat dengan saya bila Anda mengetahuinya,” kata Alexander. “Bila demikian engkau harus menjaganya sebaik mungkin, jangan sampai ia jatuh ke tangan pria lain. Aku juga yakin ia satu-satunya gadis yang berhasil
menundukkan
kekerasan
hatimu
atau
lebih
tepat
kukatakan
kedinginanmu,” kata Trown Townie sambil tersenyum. Seperti orang-orang lainnya, Trown Townie telah mengetahui juga bahwa Alexander bukan orang yang mudah bila berhadapan dengan wanita. 168
Banyak sekali bahkan terlalu banyak wanita yang dibuatnya patah hati. Alexander jarang terlihat bersama wanita lain selain ibunya. Dan tentu saja apa yang terjadi hari ini membuat semua tamu menjadi terkejut. Alexander datang bersama seorang gadis yang sangat cantik dalam kemisteriusannya. Gadis itu telah menyita perhatian semua tamu sejak kedatangannya dan membuat Lady Debora yang biasanya selalu menjadi pusat perhatian, menjadi marah dan jengkel karena kedudukannya telah terebut oleh gadis itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Lady Debora sangat ingin menjadi Duchess of Blueberry. Berbagai usaha dilakukan wanita itu untuk menarik perhatian Alexander. Namun gadis misterius itu tanpa melakukan apa-apa telah berhasil membuat semua orang di pesta dansa itu terpesona padanya terutama Alexander. Dan itu membuat Lady Debora semakin marah. Ketika kedua orang itu muncul dan mengejutkan semua tamu, Trown Townie mendengar wanita itu berkata dengan marah, “Siapa wanita itu? Mengapa ia berani sekali muncul bersama-sama Alexander?” “Tenanglah, anakku. Mungkin wanita itu tamu kehormatan Duke dan Alexander ditugasi oleh Duke untuk menjemput dan mengawal wanita itu selama di pesta ini,” kata Baroness Lora membesarkan hati putrinya. “Mengapa bukan aku yang menjadi tamu kehormatan Duke, Mama?” rujuk Lady Debora. “Mungkin saja wanita itu putri teman Duchess akrab atau Duke,” kata Baroness Lora. “Tetapi aku juga putri teman Duke. Bukankah keluarga kita telah berteman lama dengan keluarga Duke?” “Aku tidak tahu. Semoga Alexander hanya menjemput wanita itu dan tidak terus menerus berada di sisi wanita itu,” kata Baroness Lora. “Lihat, Mama!” pekik Lady Debora, “Ia mengajak wanita itu menemui Duke.” Saat itu Alexander sedang memperkenalkan Maria kepada orang tuanya. Semua tamu terkejut melihat sambutan hangat kedua orang tua Alexander kepada gadis itu terutama Duchess. Dan mereka semakin terkejut ketika gadis itu membungkuk seperti menghormat pada keluarga Raja. “Aku akan menemui Alexander sekarang,” kata Lady Debora sambil 169
mendekati Alexander yang memperkenalkan gadis itu pada tamu-tamu yang lain. Trown Townie melihat Lady Debora mendekati Alexander dengan cemburu. “Ya, ia sangat sempurna. Jauh lebih sempurna dari yang kubayangkan sehingga saya takut itu semua hanya khayalanku,” kata Alexander. “Tetapi ia nyata, bukan? Percayalah Alexander, orang yang sedang jatuh cinta akan merasa semuanya menjadi sempurna,” kata Trown Townie sambil meninggalkan Alexander. Gelak tawa Trown Townie masih terdengar ketika pria itu mendekati seorang wanita dan mengajaknya berdansa. Duchess mendekat, “Mengapa engkau tidak berdansa bersama Maria, Al?” “Maria sedang sibuk memandangi langit, Mama. Aku tidak ingin mengganggunya,” kata Alexander. “Ajaklah ia berdansa,” kata Duchess. “Aku tidak yakin ia akan setuju,” kata Alexander. “Mengapa?” “Ia mengatakan padaku bahwa dirinya tidak yakin ia bisa berdansa,” jawab Alexander. “Dan engkau mempercayainya?” tanya Duchess. “Aku tidak tahu, Mama.” “Baiklah,” kata Duchess, “Sekarang dengarkan, anakku. Ia bukan gadis biasa. Ia memiliki keanggunan yang sangat berbeda dengan wanita-wanita lainnya dan ia memiliki kepandaian yang tak mungkin kautemui pada wanita lainnya. Aku memang baru mengenalnya, tidak selama engkau, tetapi aku yakin ia bukan gadis sembarangan. Aku sependapat dengan penduduk Obbeyville, ia memang seorang bidadari.” “Ia memang sangat berbeda dengan wanita lain yang pernah kutemui,” kata Alexander. Mendengar nada keragu-raguan dalam kata-kata putranya, Duchess berkata,
“Baiklah,
anakku,
bila
engkau
tidak
percaya,
aku
akan
membuktikannya untukmu.” “Bagaimana caranya, Mama?” tanya Alexander ingin tahu. “Engkau akan tahu, tetapi sekarang engkau harus mengajaknya berdansa dan aku yakin ia akan berdansa jauh lebih baik dari wanita-wanita 170
lainnya termasuk aku.” “Mama jangan merendahkan diri seperti itu. Kita semua tahu Mama pandai berdansa. Dulu Mama menang dalam lomba dansa yang diadakan di Blueberry dan membuat Papa jatuh cinta,” kata Alexander. “Sudahlah, itu sudah lama sekali. Saat itu aku masih muda sekarang aku telah tua,” kata Duchess sambil tersenyum. Duchess selalu tersenyum bila diingatkan pada masa lalunya. Saat itu ia masih sangat muda ketika ia mengikuti lomba dansa di musim semi yang selalu diadakan penduduk Blueberry setiap tahunnya. Sebagai penduduk Blueberry, ia turut serta dalam lomba itu ketika ia sudah menginjak usia dewasa. Sebagai salah satu peserta yang termuda, ia merasa putus asa ketika melihat kemahiran wanita-wanita lainnya. Tetapi ia segera membesarkan hatinya sendiri dengan mengatakan, “Aku pasti bisa melakukannya lebih baik dari mereka.” Dan benar, saat itu Duchess sangat senang dan terkejut ketika juri memutuskan dialah pemenangnya. Sungguh suatu hal yang tidak pernah diduganya. Saat itu pula ia bertemu dengan Duke dan jatuh cinta padanya. Duke seorang yang romantis karena itu ia selalu menceritakan kepada putranya bagaimana ia dulu bertemu dengan Duchess. Karena telah sering mendengar cerita itu, Alexander sering pula menggoda ibunya yang sangat disayanginya itu. “Sekarang cepat ajak Maria,” perintah Duchess. Alexander tersenyum pada ibunya dan mendekati Maria yang masih asyik memandangi langit malam. “Mereka tersenyum untukmu, Maria,” kata Alexander. Maria menoleh dan tersenyum manis pada Alexander, senyuman yang akan membuat siapa pun terpesona, “Mereka seperti menyambut saya.” “Mereka memang menyambutmu dan akan selalu menyambutmu,” kata Alexander, “Tetapi sekarang aku tidak mengijinkan engkau terus menerima sambutan mereka. Engkau bisa jatuh sakit bila terus berada di sini.” “Anda benar,” kata Maria menyadari kesalahannya, “Maafkan saya.” “Aku ingin mengajakmu berdansa,” kata Alexander. “Saya tidak yakin bisa berdansa.” “Kita akan membuktikannya, Maria,” kata Alexander sambil
meraih 171
tangan Maria yang berada pada tepi jendela itu. Maria menurut saja ketika Alexander membawanya ke tengah ruangan dan mengajaknya berdansa. Alexander tidak terkejut ketika Maria dengan mudah mengikuti iringan lagu yang lembut itu. Beberapa tamu yang duduk di sekeliling Ruang Besar memandang terpesona pada gerakan Maria yang gemulai. Gaun gadis itu semakin bersinar-sinar seperti rambutnya setiap kali ia bergerak. Syal putih panjang itu selalu melambai-lambai. Nuansa yang diciptakan gadis itu dengan gerakannya membuat tamutamu tidak dapat melepaskan pandangannya dari tengah Ruang Besar. Maria tidak menyadari semua pandangan mata itu. Maria hanya tahu ia kembali berada di masa lalunya. Ia merasa sering berdansa bersama pria yang juga tinggi dan gagah seperti Alexander. Ia seperti melihat wajah pria itu tersenyum padanya dan mengatakan sesuatu, “Engkau semakin hari semakin pandai berdansa,…” Tidak ada yang dapat diingatnya lagi selain sepatah kata itu. Sesuatu di dalam hatinya mengatakan kata-kata pria dalam ingatannya itu tidak semuanya diingatnya. Masih banyak kata yang diucapkan pria itu tetapi ia tidak dapat mengingatnya. “Apakah engkau lelah, Maria?” Suara Alexander yang dalam itu membuat Maria menyadari ia berada di Ruang Besar keluarga Blueberry bukan di ruangan dalam ingatan Maria yang jauh lebih besar dari ruangan ini. Ruangan dalam ingatan Maria sangat besar dan banyak lukisan yang besar di dindingnya yang putih. Ia tertawa riang di pelukan pria yang terus menerus memuji dan menggodanya itu. Kini setelah ia menyadari tempatnya berdiri, ia merasakan kembali kerinduan di dalam hatinya. Kerinduan itu seakan menyesakkan dadanya dan ingin sekali ia pulang ke pelukan pria dalam ingatannya itu. Maria menggelengkan kepalanya. “Apakah engkau yakin?” tanya Alexander. Sebenarnya, Alexander tidak perlu khawatir karena tak lama kemudian lagu itu berhenti. Alexander segera membimbing Maria ke tempat duduk yang masih kosong sebelum lagu baru dimainkan. 172
“Kita telah membuktikan bahwa engkau pandai berdansa,” kata Alexander. Maria mengangguk tanpa berkata apa-apa. “Tampaknya engkau tidak terlalu senang menyadarinya, Maria.” “Tidak, saya senang sekali. Hanya saja saya merasa seperti kembali ke masa lalu saya ketika saya berdansa dengan Anda.” “Apakah pria itu pria yang memiliki nama sama denganku?” tanya Alexander. “Saya tidak tahu. Saya tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas,” kata Maria sambil tersenyum. “Aku yakin tidak lama lagi engkau akan segera mengingat masa lalumu dan engkau akan kembali ke keluargamu,” kata Alexander. “Saya juga berharap seperti itu,” kata Maria. “Bila engkau kembali ke keluargamu, Maria. Apakah engkau masih akan berkunjung ke Obbeyville?” tanya Alexander. “Tentu,” jawab Maria dengan yakin, “Saya mencintai tempat ini dan walaupun saya telah mengingat kembali masa lalu saya, saya akan sering pergi ke Obbeyville.” “Apakah engkau juga akan berkunjung ke Blueberry?” “Tentu saja. Blueberry tidak akan pernah terpisahkan dari Obbeyville.” “Apakah
engkau
hendak
mengatakan
mitos
Obbeyville
tidak
terpisahkan dengan mitos Blueberry?” tanya Alexander sambil tersenyum. “Saya rasa bukan hanya itu saja. Obbeyville hingga kapan pun tidak akan pernah terpisah dari Blueberry karena banyak penduduk Obbeyville yang bekerja di kebun Blueberry Anda,” kata Maria balas tersenyum. “Aku rasa bukan hanya itu saja alasannya,” kata Alexander memancing Maria berkata lebih banyak. “Benar. Masih ada beberapa alasan lainnya. Dan beberapa di antaranya ada hubungannya dengan mitos-mitos itu.” “Apakah alasan ini ada hubungannya dengan mitos ketiga?” tanya Alexander. “Tidak.” “Engkau mau mengatakannya padaku?” “Tentu saja.” “Kalau begitu tunggulah sebentar, Maria. Aku akan memanggil ayahku, ia pasti akan senang bila engkau menceritakan hal itu kepadanya. Sejak dulu 173
ayahku memang menyukai segala hal yang berhubungan dengan mitos,” kata Alexander. “Jangan, biarkan saya yang ke sana dan menceritakannya pada mereka,” cegah Maria. “Tidak apa-apa, Maria. Papa lebih menyukai datang menemui orang itu sendiri bila ia membutuhkan sesuatu darinya daripada meminta orang itu datang kepadanya,” kata Alexander dan segera beranjak dari duduknya sebelum Maria mencegahnya. Maria tersenyum memandangi Alexander yang menyeberangi Ruang Besar menuju tempat orang tuanya duduk. Ia memperhatikan beberapa pasangan yang masih berdansa di tengah Ruang Besar. Lady Debora berdansa bersama Marcel. Sebelum itu ia berdansa bersama seorang pria yang kini tengah berbicara dengan Baroness Lora. Entah apa yang mereka bicarakan, Maria tidak dapat mendengarnya di tengah musik yang mengalun dan suara orang yang berisik walaupun mereka berdiri tak jauh dai tempat Maria duduk. Seorang
wanita
muda
merampas
perhatian
Maria.
Wanita
itu
mengenakan batu jamrud hijau yang besar di lehernya dan gaunnya yang terbuat dari kain satin bertaburan permata kecil. Wanita itu tampak berkilauan ketika berjalan mendekatinya. Ketika wanita itu semakin dekat, Maria menyadari wanita itu tidak semuda
yang
dibayangkannya.
Rambutnya
juga
tidak
semerah
yang
dilihatnya dari kejauhan. “Selamat malam,” sapa wanita itu sambil duduk di kursi yang tadi diduduki Alexander. “Selamat malam,” kata Maria sambil menganggukkan kepalanya. “Saya mengucapkan selamat kepada Anda,” kata wanita. Maria melihat wanita itu dan kini ia ingat di mana ia pernah melihat wanita muda itu. Wanita muda itu tadi duduk di hadapan Lady Debora selama makan malam. Dan selama itu sikap keduanya seperti dua orang musuh yang terpaksa berhadapan di meja yang sama. “Selamat atas apa?” tanya Maria tak mengerti. “Anda telah berhasil mengalahkan Lady Debora.” “Maafkan saya. Saya tidak mengerti apa yang bicarakan,” kata Maria. “Anda jangan berpura-pura tidak mengerti. Semua tamu wanita yang 174
hadir di sini sudah mengetahui bahwa Anda berhasil menarik perhatian semua tamu yang hadir di sini. Bahkan Alexander yang terkenal sulit didekati dapat dengan mudah Anda tundukkan,” kata wanita itu. Maria mulai memahami apa yang hendak dikatakan wanita itu. Cara wanita itu mengatakan nama Lady Debora menampakkan kebenciannya. Maria pernah mendengar Lady Debora dengan mudahnya menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Dan hal itu membuat wanita lainnya menjadi iri. Lady Debora juga tak jarang merebut teman pria wanita-wanita itu. Dan wanita yang duduk di sisi Maria itu satu dari sekian banyak wanita yang dibuat marah oleh Lady Debora. Kebencian yang tampak dari cara memandangnya kepada Lady Debora sewaktu di Ruang Makan tadi telah cukup membuktikan dugaan Maria. “Al selalu berada di sisi saya karena ia telah berjanji kepada orang tua saya untuk selalu menjaga saya,” kata Maria. “Anda
pandai
sekali
menggunakan
orang
tua
untuk
mendekati
Alexander,” kata wanita itu. “Saya tidak pernah menggunakan orang tua untuk kepentingan saya. Al sendiri yang berkata seperti itu kepada mereka.” “Saya tidak peduli lagi apa alasan Anda. Tetapi saya mengucapkan selamat kepada Anda karena telah berhasil mengalahkan Lady Debora. Menurut kami semua, Anda lebih pantas menjadi Duchess of Blueberry daripada Lady Debora. Dan kami merasa kagum pada pengetahuan Anda dan kecantikan Anda. Saya ingin mengatakan Andalah wanita tercantik yang pernah saya lihat.” “Terima kasih. Anda jauh lebih cantik dari saya,” kata Maria. Wanita itu tertawa senang, “Anda memang pandai mengambil hati orang. Tak salah bila Alexander jatuh cinta pada Anda. Saya masih ingin berbicara dengan Anda tetapi saya masih punya urusan penting.” Wanita itu meninggalkan Maria dalam keadaan bersemu merah. Maria tidak mengerti mengapa wanita itu berkata seperti itu. Mungkin karena ia dan Al selalu berdua sejak mereka tiba. Setelah kepergian wanita itu, seorang pria mendekati Maria dan duduk di tempat yang sama. Maria tersenyum memikirkan hal itu. Ia merasa seperti orang penting yang selalu mendapatkan teman berbicara walaupun ia duduk seorang diri. 175
“Mengapa Anda duduk sendirian di sini?” tanya pria itu sambil tersenyum. “Saya sedang menanti Al,” jawab Maria. “Bagaimanakah hubungan Anda yang sebenarnya dengan Alexander?” “Kami teman,” kata Maria sambil tersenyum memikirkan semua orang salah menduga. Ia percaya semua orang yang hadir di situ memiliki dugaan yang sama seperti pria itu dan wanita yang baru saja berbeicara dengannya. “Mereka menduga aku adalah kekasih Alexander. Tetapi itu tidak benar,” kata Maria pada dirinya sendiri. Saat itu juga Maria menyadari apa yang dikatakannya tidak benar. Ia tidak mengerti mengapa hati kecilnya berkata seperti itu. “Apakah Anda sudah lama berteman dengan Alexander?” “Tidak. Kami baru beberapa hari berkenalan.” “Saya kagum Anda dapat membuat Alexander tertarik pada Anda hanya dalam beberapa hari. Dan Anda telah membuat saya jatuh cinta hanya dalam beberapa jam,” kata pria itu. Maria tidak menyukai arah pembicaraan pria itu. Ia merapatkan syal putih itu ke bahunya yang terbuka dan beranjak bangkit dari situ. “Maafkan saya. Saya harus menemui Alexander. Saya rasa ia pergi terlalu lama,” kata Maria. “Lupakan saja Alexander. Berdansalah bersama saya,” kata pria itu sambil beranjak berdiri. “Terima kasih, tetapi saya lebih suka mencari Alexander. Saya tidak pandai berdansa,” kata Maria. “Anda jangan merendahkan diri seperti itu. Tadi saya melihat Anda berdansa dengan gemulai. Tadi Anda nampak seperti seorang bidadari yang sedang menari dan saya terpesona karenanya.” “Terima kasih. Saya akan senang sekali dapat berdansa dengan Anda di lain waktu. Saat ini saya harus mencari Al,” kata Maria. “Alexander sedang bersama orang tuanya,” kata pria itu sambil menunjuk Alexander yang sedang berbicara bersama kedua orang tuanya di tepi Ruang Besar. “Karena itulah saya harus ke sana. Saya berjanji pada Al untuk menemui Duke.” “Tidak dapatkah Anda meluangkan waktu untuk berdansa dengan 176
saya?” “Maafkan saya. Saya tidak dapat,” kata Maria. Maria berjalan meninggalkan pria itu. Ia hendak menuju ke tempat Alexander berada ketika seorang pria lain mencegatnya di tengah Ruang Besar. “Apakah Anda mau berdansa bersama saya?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangannya. “Saya akan senang sekali tetapi saat ini saya harus menemui Duke,” kata Maria dengan tenang melihat teman pria itu mendekat. Tak lama kemudian Maria telah dikerumuni pria, tetapi ia tetap tenang sambil berjalan mendekati Alexander. Seolah ada sesuatu pada diri Maria yang membuat pria-pria itu memberi jalan kepadanya. Mereka yang semula hendak mengajak Maria berdansa menepi ketika gadis itu terus melangkah dengan anggun, tanpa sempat mengutarakan keinginan mereka. Alexander tersenyum ketika Maria mendekat. Tangannya terulur pada Maria. “Engkau
membuatku
semakin
kagum,”
kata
Alexander
sambil
mengangkat tangan Maria ke mulutnya dan menciumnya. Jantung Maria berdebar karena tindakan Alexander yang tidak terduga itu. Ia tidak menyadari pipinya memerah karenanya. “Apa
yang
kaukatakan
pada
mereka
sehingga
mereka
tidak
menggodamu?” tanya Duchess ingin tahu. “Saya tidak mengatakan apa-apa kepada mereka. Saya hanya terus berjalan ke mari dan mereka memberi jalan kepada saya,” jawab Maria. “Engkau memiliki sesuatu yang membuat semua orang tidak berani menganggumu,” kata Duke. “Itulah kharisma. Setiap orang memiliki kharisma sendiri-sendiri. Ada yang memiliki kharisma yang membuat orang itu disegani orang lain ada pula kharisma yang membuat orang itu tampak bersinar di tengah orang lain,” kata Maria. “Siapakah yang mengatakannya kepadamu?” tanya Duchess kagum pada kata-kata Maria. “Saya tidak dapat mengingatnya,” kata Maria. “Kharisma apa yang terlihat dari kami semua yang ada di sini, Maria?” tanya Trown Townie yang duduk di dekat orang tua Alexander. 177
“Seperti yang
saya
katakan
sebelumnya,
setiap
orang memiliki
kharisma sendiri-sendiri yang berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Anda, Mr. Townie, memiliki kharisma yang membuat semua orang senang berbicara dengan Anda,” kata Maria. Trown Townie tertawa mendengar kata-kata Maria. “Engkau pandai mengambil hati orang, Maria.” “Saya tidak mengambil hati siapa pun. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya,” kata Maria sambil tersenyum. “Engkau selalu mengatakan yang sebenarnya tetapi hampir semua kebenaran yang kaukatakan membuat semua orang menyukaimu,” kata Trown Townie. “Tidak semua kebenaran yang saya katakan itu menyenangkan semua orang. Anda sebenarnya memiliki sesuatu yang membuat sebagian orang kurang menyukai Anda.” “Katakan kepadaku apakah itu, Maria?” kata Trown Townie. “Apakah Anda yakin mau mendengarnya?” tanya Maria. “Katakanlah Maria. Aku menyukai kebenaran.” “Saya tahu Anda tidak menyukai kebohongan. Tetapi saya harus mengatakan kepada Anda apa yang akan saya katakan ini akan sangat menyakitkan hati Anda.” “Tidak apa-apa, Maria. Ia tidak akan pernah marah,” kata Duke. “Itulah hal yang kurang disukai sebagian orang dari Anda, Mr. Townie. Anda
selalu
santai
menghadapi
setiap
masalah.
Bahkan
terkesan
menganggapnya sebagai suatu lelucon. Hal itu membuat sebagian pejabat Istana kurang menyukainya.” Trown Townie tertawa lagi mendengar kata-kata Maria. “Aku telah menduganya, Maria. Menteri-menteri yang kuno itu memang selalu menganggap serius setiap masalah. Menurutku setiap masalah jangan dianggap terlalu serius atau kita akan menjadi cepat tua karenanya.” “Tidak semua menteri beranggapan seperti itu. Masih banyak pejabat yang menyukai cara Anda memandang suatu masalah,” kata Maria, “Memang dalam hidup ini selalu saja ada orang yang menyukai kita dan membenci kita.” Trown Townie terkejut mendengar kalimat terakhir Maria demikian pula Duke dan Duchess. Maria menyadari keterkejutan mereka bertiga dan berkata, “Apakah 178
yang saya katakan salah?” “Jangan cemas seperti itu, Maria. Mereka hanya terkejut pada katakatamu yang seperti orang yang telah berpengalaman dalam hidup ini,” kata Alexander. “Ya, engkau mengatakan itu seperti orang yang telah berpengalaman dalam hidup ini,” kata Duke. “Engkau mengejutkanku, anakku,” kata Duchess sambil menarik Maria mendekat, “Aku tidak menduga engkau akan berkata seperti itu. Aku yakin engkau juga telah membuat Mrs. Vye bahkan seluruh penduduk Obbeyville menjadi terkejut dengan kata-katamu yang seperti orang bijak itu.” “Ia memang telah mengejutkan Mrs. Vye, Mama. Mrs. Vye mengatakan padaku Maria sangat bijaksana untuk ukuran gadis seusianya. Kata-katanya selalu terkesan seperti orang yang sangat berpengalaman di dunia ini,” kata Alexander. “Suatu
hari
nanti
aku
akan
memintamu
untuk
mengajariku
kebijaksanaan yang lain. Engkau mau bukan?” goda Trown Townie. “Saya khawatir saya akan mengecewakan Anda. Saya tidak mempunyai banyak waktu di siang hari dan sebentar lagi saya akan selalu sibuk mulai dari pagi hingga malam,” kata Maria. “Apa lagi yang hendak engkau lakukan, Maria? Bukankah engkau selalu mempunyai banyak waktu di sore hari,” kata Alexander. “Mulai esok saya tidak akan mempunyai banyak waktu lagi. Saya telah berjanji pada Ityu untuk menceritakan mitos-mitos itu padanya di sore hari,” kata Maria. “Ityu salah satu dari anak-anak itu?” “Ya, ia sangat tertarik pada mitos. Tetapi yang diketahuinya hanya satu. Saya berjanji padanya akan menceritakan semua mitos itu.” “Apakah engkau juga akan menceritakan mitos ketiga itu padanya?” “Mengenai itu saya masih ragu. Suku itu telah beratus-ratus tahun menyimpannya dari pengetahuan orang lain.” “Sebenarnya berapakah mitos yang ada di Kerajaan Zirva?” tanya Duke yang tertarik mendengar percakapan Alexander dengan Maria. “Banyak sekali tetapi hanya tiga yang terkenal. Dan buku yang Anda katakan itu mungkin berisi semua mitos yang ada di Kerajaan Zirva.” “Sayang saat ini kita sedang berpesta bila tidak aku akan memintamu untuk membacakannya untukku. Aku sama sekali tidak mengerti tulisan buku 179
itu yang bagiku lebih menyerupai huruf Mesir Kuno daripada huruf Latin.” “Besok aku akan mengajak Maria ke sini lagi,” kata Alexander berjanji pada ayahnya. “Besok
saya
tidak
mempunyai
banyak
waktu,”
kata
Maria
mengingatkan. “Jangan khawatir, Maria. Aku dapat mengatasinya.” “Sebenarnya siapakah engkau, Maria? Dan apa saja yang engkau ketahui? Mungkin lebih tepat apa yang tidak engkau ketahui. Aku percaya engkau
lebih
banyak
mengetahui
daripada
tidak
mengetahui
segala
sesuatunya,” kata Trown Townie. “Ia lebih tepat menjadi bidadari dari Holly Mountain daripada yang lain,” kata Duchess. “Aku akan percaya sekali bila ia mengatakan ia berasal dari Holly Mountain,” kata Alexander menambahkan. “Anda jangan melihat seseorang dari luarnya saja. Hati seseorang bisa lebih buruk dari yang terlihat,” kata Maria memperingatkan. “Engkau tidak hanya menampakkan kecantikanmu yang terlihat dari luar, Maria, tetapi juga kecantikkan hatimu,” kata Alexander. “Engkau memiliki hati yang cantik, anakku,” kata Duchess sambil tersenyum ,”Itulah yang membuat engkau berbeda dengan wanita-wanita lainnya.” “Bagaimana pendapatmu mengenai diriku?” tanya Trown Townie. “Saya menyukai Anda dan cara Anda menghadapi hidup ini. Setiap orang memiliki cara sendiri-sendiri untuk menghadapi hidup yang penuh tantangan ini,” kata Maria. “Aku senang mendengarnya,” kata Trown Townie, “Sejak tadi aku khawatir engkau tidak menyukaiku.” “Saya menyukai Anda terutama kecaman Anda terhadap politik perdagangan Blueberry,” kata Maria. “Politik perdagangan Blueberry kerajaan ini memang buruk sekali waktu itu, tetapi sekarang menjadi lebih baik,” kata Trown Townie. “Aku setuju denganmu yang tidak menyukai cara Istana menjual Blueberry ke luar negeri. Dulu Istana memang lebih menyukai menjual seluruh persediaan Blueberry ke luar negeri daripada membusuk di gudang penyimpanan. Tetapi sekarang kita dapat mengubahnya menjadi selai dan itu tidak akan membuat Blueberry menjadi cepat membusuk,” kata Alexander. 180
“Memang seharusnya dari dulu itulah yang dilakukan pemerintah. Tetapi apa boleh buat saat itu yang memerintah Raja Croi I dan ketika Raja Croi II menggantikan ayahnya, peraturan itu diubah. Tetapi Raja tidak segera mengubahnya, baru setelah aku memberikan kecaman yang cukup keras, Raja mengubahnya,” kata Trown Townie. “Saat itu Raja masih sibuk mengadakan pembaharuan di berbagai bidang. Di samping itu Raja juga menghadapi menteri-menteri yang masih berpikiran kuno seperti Raja Croi I. Dan setelah sebagian besar menteri itu diganti, Raja bisa mengadakan pembaharuan di bidang perdagangan,” kata Alexander. “Ya, perjuangan yang sangat berat dari Raja Croi II telah berhasil membuat kerajaan kita menjadi lebih dikenal penduduk dunia. Kerajaan kita telah cukup lama terkurung di sekitar pegunungan Skandinavia,” kata Trown Townie. Selama beratus-ratus tahun Kerajaan Zirva tidak berhubungan dengan dunia luar melalui daratan karena pegunungan Skandinavia yang tinggi itu. Baru
setelah
Perancis
di
bawah
pemerintahan
Napoleon
Bonaparte
mengadakan perluasan wilayah, jalan ke Kerajaan Zirva terbuka. Kerajaan Zirva sangat beruntung karena Napoleon tidak tertarik pada kerajaan yang letaknya cukup terpencil ini. Armada laut Kerajaan Zirva menjadi semakin kuat setiap tahunnya karena selama beratus-ratus tahun mereka berhubungan dengan dunia luar hanya melalui lautan yang terletak di sebelah barat kerajaan. Sebagai kerajaan yang cukup terpencil, tidaklah mengherankan bila banyak penduduk Kerajaan Zirva yang berpikiran kuno. Sejak pemerintahan Raja Croi I telah banyak diadakan perubahan di segala bidang. Dan baru pada masa pemerintahan Raja Croi II perubahan itu terasa sangat nyata dan berdampak cukup besar bagi perekonomian Kerajaan Zirva. Raja Croi I kurang mampu menghadapi para menteri yang kebanyakan masih berpikiran kuno itu. Dan itulah yang menyebabkan perubahan yang dilakukannya kurang terasa. Sedangkan Raja Croi II mampu menghadapi menteri-menteri yang kuno itu. Raja Croi II mengambil tindakan yang cukup tegas ketika ia memutuskan mengganti menteri yang kuno dengan menteri-menteri yang berpandangan modern. 181
Langkah pertama yang diambil Raja Croi II ketika ia naik tahta cukup mengejutkan penduduk Kerajaan Zirva. Namun banyak dari penduduk Kerajaan Zirva yang telah mengenal pendidikan di luar Kerajaan Zirva, yang menyetujui usul itu. Tidak semua menteri diganti oleh Raja Croi II. Sebagian dari menteri yang masih muda dan bermanfaat bagi kerajaan tetap digunakan. Sebagian lainnya diganti dengan menteri baru. Sejak perubahan yang dilakukan Raja Croi II pada pemerintahannya, perubahan-perubahan yang lain terjadi. Raja Croi II telah banyak membuat perubahan di segala bidang. Dan kini yang sedang diperdebatkan adalah Undang-Undang Hukum Kerajaan Zirva. Masih banyak orang yang ragu mengganti hukum yang keras itu dengan hukum baru yang lebih lunak. Selama ini Kerajaan Zirva terkenal damai dengan hukumnya yang keras. Banyak orang yang khawatir kedamaian yang selama ini tercipta dengan hukum yang keras menjadi rusak bila hukuman itu diperingan. “Aku rasa kita bisa memulainya setelah lagu ini selesai,” kata Duchess. “Kurasa lagu ini akan selesai tak lama lagi,” kata Duke. Maria tak mengerti apa yang sedang dibicarakan Duke dan Duchess. Tetapi Alexander dan Trown Townie tampaknya mengerti apa yang dibicarakan Duke dan Duchess. Tak lama kemudian lagu itu selesai. Tetapi tidak ada lagu yang menggantikan lagu terakhir itu. Duchess berjalan ke depan menuju ke sebuah piano yang terletak di dekat tempat itu. Saat itulah Maria menyadari keberadaan piano itu. Mungkin warna piano yang hitam itulah yang membuat Maria tidak menyadari keberadaan piano itu. “Mama pandai bermain piano dan ia selalu memainkan beberapa lagu di setiap pesta dansa yang diadakan,” bisik Alexander sambil mengajak Maria mendekati piano itu. Duchess tidak duduk di depan piano itu seperti yang diduga Maria. Duchess berdiri di tepi piano itu. Ia tersenyum pada Maria dan Alexander yang semakin mendekat. Tangannya terulur pada Maria. Maria tidak mengerti apa yang akan dilakukan Duchess. 182
“Ulurkan tanganmu, Maria,” bisik Alexander. Maria menerima uluran tangan Duchess. Duchess menarik Maria hingga gadis itu berdiri tepat di depan piano itu. “Mainkanlah lagu untuk kami semua, Maria,” kata Duchess kemudian ia berdiri di samping Alexander. Maria tidak mengatakan apa-apa, ia hanya memandang wajah Duchess sebelum ia mengalihkan perhatiannya ke piano itu. Maria meletakkan jari-jarinya yang terbungkus sarung tangan di atas piano itu. Tangannya bergerak perlahan di permukaan piano itu, seperti menyentuh sesuatu yang sangat halus dan menakjubkan. Tidak ada yang bersuara sedikitpun. Semua menanti tegang tindakan yang akan dilakukan Maria. Perlahan-lahan, Maria membuka tutup piano itu yang menutupi tuts-tuts tetapi ia tidak segera memainkan piano itu. Ia menyentuh permukaan tutstuts itu. Perasaan aneh menjalari tubuhnya. Ia merasa rindu. Bukan rindu memainkan piano tetapi kerinduan yang lain. Saat jari-jarinya menyentuh piano itu, ia merasakan kerinduan yang sangat dalam pada sesuatu yang tak dapat diketahuinya dengan pasti. Ia
merasa
rindu
pada
orang-orang
yang
selalu
mendengarkan
permainannya di ruangan yang besar. Ia merindukan suasana yang ia ciptakan dengan permainannya. Ia merindukan semuanya. Tergerak perasaannya, Maria duduk di depan piano itu dan mulai menekan tuts-tuts yang sejak tadi hanya disentuhnya. Tidak ada perasaan ragu ketika ia mulai menekan satu per satu tuts itu. Lagu pertama yang dimainkannya merupakan lagu Gereja karya Mozart. Duchess tersenyum pada Alexander. “Tepat seperti yang kukatakan, bukan? Ia pandai bermain piano dan ia bukan gadis sembarangan,” katanya pada Alexander. Semua tamu yang memandang Maria merasa kagum mendengar permainan Maria yang merdu dan penuh perasaan itu. Permainan piano Maria sangat jernih dan merdu seakan-akan menggambarkan sifatnya yang selalu tenang dan disukai banyak orang. Mendengar permainan Maria yang berisi pujian kepada Bunda Perawan Maria, Alexander teringat kembali perbincangan ayahnya dan tamu yang lain. Ia sedang mengawasi Maria yang tengah berbicara dengan seorang 183
wanita ketika ayahnya tiba-tiba berkata, “Aku masih tidak percaya Pangeran mempunyai adik.” Trown Townie menyahut, “Memang sukar dipercaya. Walaupun Pangeran sendiri yang memberitahuku tetapi aku sejujurnya sendiri masih ragu.” “Itu benar. Pangeran mempunyai adik yang sangat cantik,” kata pria yang juga duduk di dekat kedua orang tua Alexander. “Cara bicara Anda seperti telah melihat sendiri Princess.” Pria tua itu membalas senyuman Duchess dan berkata, “Anda benar, Duchess. Aku pernah bertemu dengannya.” Pernyataan pria itu membuat orang-orang yang berada di sekelilingnya terkejut. “Sungguhkah itu?” tanya Duke dan Trown Townie hampir bersamaan sedangkan Duchess hanya terpana mendengar ucapan itu. Alexander
yang
semula
melihat
ke
Maria
juga
menoleh
ketika
mendengar ucapan yang mengejutkan itu. “Benar. Saat itu Princess masih kecil tetapi ia telah tampak menarik tentu sekarang ia jauh lebih menarik,” kata pria itu. Mereka terdiam. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Pria itu melanjutkan ceritanya, “Saat itu aku dipanggil Raja untuk membantunya menangani suatu urusan yang sangat penting dan rahasia. Ketika
aku
dan
Raja
serta
beberapa
menteri
lainnya
telah
menyelesaikan pertemuan kami, Raja mengajak kami semua berkumpul di suatu ruangan. Sampai saat ini aku masih ingat kejadian yang tak pernah kuduga sebelumnya yang terjadi di ruangan itu.” Pria itu berhenti dan mengenang kembali saat ia mengunjungi Istana Plesaides. “Ratu dan Pangeran sedang bercanda ketika kami tiba. Mereka tampak seperti sedang menanti sesuatu. Tak lama setelah kami terlibat pembicaraan yang menarik, seorang gadis cilik yang sangat cantik membuka pintu. Ketika melihat gadis itu aku menduga ia adalah anak pelayan. Tetapi ketika ia menyapa Raja dan Ratu, aku terkejut sekali terlebih lagi ketika semua menteri menyapanya, “Selamat siang, Putri kecil.” Aku sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa gadis itu adalah Princess.” 184
Pria
itu
terdiam
lagi
dan
tersenyum
seolah
menertawakan
kebodohannya sendiri. Trown Townie menggunakan kesempatan ini untuk bertanya, “Mengapa ketika engkau melihatnya, engkau tidak menduga ia adalah Princess?” “Karena saat itu Princess tidak mengenakan gaun yang seharusnya dikenakan putri raja,” jawab pria itu. “Gaun
apa yang
dikenakannya? Apakah Raja
tidak menyayangi
Princess?” tanya Duchess tak mengerti. “Tidak, Duchess. Raja dan Ratu juga Pangeran serta semua orang di Istana sangat mencintai Princess.” “Lalu mengapa Anda tidak mengenalinya sebagai putri raja?” tanya Duchess. “Saat itu Princess muncul dengan rambut terkepang dua seperti gadis desa dan sebuah nampan besar di tangannya. Bukan hanya itu saja yang membuatku menduga ia anak salah seorang pelayan Istana. Saat itu sebuah celemek menutupi gaun sederhana yang dikenakan Princess. Apalagi ketika ia memasuki ruangan itu, beberapa pelayan wanita yang juga membawa nampan di kedua tangan mereka, masuk. “Kali ini apa yang kaubawa?” tanya Pangeran sambil mendekati Princess. Princess mengelak ketika Pangeran hendak mengambil kue yang ada di atas nampan itu. “Engkau tidak boleh mengambilnya dulu,” kata Princess menggoda Pangeran sambil berlari menjauh dari Pangeran yang terus mengikutinya. Aku keheranan melihat semua itu tetapi semua orang di sana hanya tersenyum melihat tingkah kedua putra raja itu. “Musim semi adalah musim cerianya Istana Plesaides,” kata seseorang kepadaku. Princess berlari mendekati Raja dan Ratu. “Papa Mama, ambillah dulu sebelum dia,” kata Princess sambil melirik menggoda pada Pangeran. “Kue apa yang kali ini engkau buat?” tanya Raja menggoda Princess, “Apakah kue ini enak? Warnanya seperti kue yang hangus.” “Papa coba saja. Kue ini sangat enak. Mrs. Wve juga mengatakan kue ini enak.” “Kali ini siapa yang mengajarimu membuat kue ini?” tanya Ratu. 185
“Seorang nenek tua di dekat Small Cottage yang mengajariku,” kata Princess sambil tersenyum, “Cobalah. Kue ini sangat enak.” “Apa namanya?” tanya Ratu. “Nenek itu tidak tahu namanya.” “Karena warnanya seperti kue hangus, aku akan menamakannya ‘Kue Hitam’,” kata Ratu. “Nama yang lucu. Cobalah, Mama. Jangan khawatir akan rasa kue ini,” kemudian ia berkata kepada kami, “Kalian juga harus mencobanya.” Pangeran cemberut, “Begitu, ya. Aku diletakkan yang paling akhir.” Princess meletakkan nampan-nampan yang dibawanya di atas meja kemudian mendekati Pangeran dan memeluknya. “Jangan berkata seperti itu. Aku menyayangimu. Tetapi aku tidak boleh mendahulukan orang lain sebelum orang tuaku dan itu termasuk engkau,” katanya. Aku terkejut mendengar kata-kata Princess itu. Ia berkata seperti orang yang telah dewasa padahal waktu itu ia masih sangat kecil, mungkin usianya tak lebih dari lima atau enam tahun. Pangeran tersenyum dan menggendong adiknya. “Aku selalu kesepian bila engkau tidak ada.” “Apa yang dapat kulakukan? Aku hanya dapat berada di sini selama musim semi. Setelah musim semi berakhir, aku harus pergi dan kembali lagi pada musim semi berikutnya. Aku sendiri tak ingin pergi tetapi aku harus,” kata Princess. Sekali lagi aku terkejut mendengar kata-kata Princess yang seperti orang dewasa itu. “Aku mengerti,” kata Pangeran sambil menurunkan Princess. Princess
segera
berlari
mengikuti
pelayan-pelayan
yang
telah
meninggalkan ruangan itu setelah mencium pipi Pangeran. “Mereka selalu seperti itu,” kata Ratu padaku, “Mereka tidak dapat dipisahkan tetapi apa yang dapat kami lakukan.” “Adikku hanya berada di Istana Plesaides selama musim semi. Dan setiap musim semi adalah musim ceria Istana Plesaides,” kata Pangeran. “Setiap kali ia ada di sini, ia selalu mengumpulkan kami di ruangan ini. Setiap hari ia mengajak kami untuk mencoba kue yang dibuatnya. Aku percaya bila ia mau menulisnya, ia akan membuat buku resep yang sangat tebal.” “Putri kecil sangat pandai membuat kue. Aku tidak tahu ia belajar dari 186
mana. Kue yang selalu dibuatnya bukan berasal dari koki Istana. Mungkin ia mendapatkan resep kue itu dalam setiap petualangannya,” kata Ratu. “Ambillah, Mathwe. Kue ini cukup untuk kita semua,” kata Raja. “Jangan khawatir. Kue buatan Putri kecil selalu enak, Mrs. Wve selalu membantunya setiap kali Putri kecil membuat sesuatu di dapur,” kata Menteri Luar Negeri melihat keragu-raguanku. Aku hingga saat ini masih merasa tak percaya bila mengingat hal itu. Rasanya aneh bagiku seorang putri kecil bisa menarik seperti itu. Kalian akan mengatakan aku berlebihan bila aku mengatakan Putri kecil itu tidak hanya membuatku kagum akan kecantikkannya dan keanggunannya tetapi juga semua orang yang tinggal di Istana Plesaides.” “Aku tidak percaya,” kata Trown Townie. “Kenyataannya memang seperti itu. Aku pernah mendengar berita kelahiran Princess tetapi setelah itu aku tak pernah mendengar lagi. Jadi aku mengira
berita
itu
hanya
kabar
burung
saja.
Dan
aku
juga
tidak
mempercayainya pada mulanya tetapi semua itu nyata bukan karanganku belaka,” kata Mathwe. “Mengapa Princess jarang berada di Istana?” tanya Duke of Blueberry. “Aku tidak tahu, aku lupa menanyakannya karena saat itu aku terlalu terpesona pada Putri kecil yang lincah,” pria itu terdiam dan mengenang masa lalu. “Hingga saat ini aku masih ingat bagaimana wajah Putri kecil yang cantik dan rambut panjangnya yang terkepang dua serta gerakannya yang gemulai. Tetapi lebih dari itu, aku masih ingat jelas tutur katanya yang lembut dan seperti orang dewasa.” Ketika lagu pertama selesai dimainkan Maria, semua tamu bertepuk tangan. Namun Maria tidak berhenti, ia terus melanjutkan permainannya. Sementara jari jemarinya terus menari-nari di atas
tuts piano,
pandangan Maria menerawang ke depan ke dinding di hadapannya. Namun pikirannya melayang jauh ke belakang ke masa lalunya. Topeng yang menutupi mata Maria membuat tiada seorangpun yang mengetahui pandangan mata Maria yang menerawang itu. Maria
merasa
seperti
mendengar
kata-kata
seseorang
yang
menggodanya sementara ia terus bermain piano putih yang sangat unik karena kekunoannya. Di samping suara pria itu, ia mendengar suara orang 187
lain yang marah pada orang yang menggodanya. Pria itu mendekatinya dan memegang pundaknya, ia menghentikan permainannya dan menatap wajah orang itu. Tetapi wajah orang itu kabur, ia tidak dapat melihat wajah orang itu juga wanita yang memarahi pria itu. Wajah mereka seperti tertutup kabut. Tetapi ia masih dapat melihat samar-samar tempat ia bermain piano putih itu. Ruangan tempatnya bermain piano berdinding putih yang cerah, di sampingnya ada dinding besar berpintu dua yang terbuka lebar. Tirainya yang berwarna putih tipis tertiup angin. Sesekali tirai itu menerpa wajahnya. Langit yang cerah dengan awan-awan putihnya seperti tersenyum mendengar permainannya. Angin sejuk yang menerobos masuk membawa harum bunga-bunga. Sentuhan tangan seseorang di pundaknya, membuatnya terhenyak. Alexander menyadari keterkejutan Maria. Sekilas mata gadis itu tampak menerawang ketika menatapnya. Sekilas Maria melihat wajah pria yang dilamunkannya ketika ia memalingkan wajahnya. Duchess yang berdiri di belakang Alexander sekilas juga terlihat seperti wajah seorang wanita yang memarahi pria yang menggodanya ketika ia sedang bermain piano. “Beristirahatlah, Maria. Engkau pasti lelah,” kata Alexander. Maria menggelengkan kepalanya. “Tidak, saya tidak lelah.” “Engkau
telah
memainkan
banyak
lagu.
Engkau
pasti
lelah.
Beristirahatlah atau engkau lebih baik pulang, hari telah larut malam. Engkau tidak ingin kemalaman, bukan?” kata Alexander. Maria terkejut. Ia tidak menyadari telah banyak lagu yang dimainkannya ketika ia melamun. “Biarkanlah saya memainkan lagu terakhir sebelum saya kembali,” kata Maria sambil tersenyum. Alexander tersenyum dan menepi untuk memberi Maria kesempatan memainkan lagu terakhirnya. Maria kembali meletakkan jari-jarinya yang lentik di atas tuts-tuts piano dan mulai memainkan lagu Polonaise karya Johann Sebastian Bach yang berisi pesan kepada istrinya dan ketiga belas putranya. Ketika ia telah menyelesaikan lirik terakhir dari lagu itu, ia segera bangkit dan mendekati Duchess. “Engkau memang seperti yang kuduga, Maria. Permainanmu sangat 188
merdu dan menyejukkan hati,” kata Duchess. “Anda terlalu berlebihan, Duchess,” kata Maria merendah. “Aku tidak berlebihan, Maria.” Sebelum ibunya sempat mengatakan lebih banyak lagi, Alexander segera berkata, “Sudahlah, Mama. Aku ingin mengantar Maria sekarang. Ia tidak ingin kemalaman.” “Engkau akan pulang sekarang?” tanya Duke yang telah berdiri di samping Duchess. “Ya, saya tidak ingin membuat Mrs. Vye menanti saya terlalu lama. Mungkin saat ini ia cemas menanti saya,” kata Maria. “Sayang sekali engkau harus cepat pulang. Aku harus mengatakan aku menyukai lagu terakhirmu, Maria. Lagu yang indah di pesta dansa seperti ini,” kata Duchess, “Datanglah kemari besok atau kapanpun engkau suka.”
189
11
Maria berjalan sendirian di tepi Sungai Alleghei. Mrs. Vye hampir saja bangun kesiangan andaikata Maria tidak membangunkannya. Maria merasa bersalah telah membuat wanita tua itu menantinya hingga larut malam. Saat ia tiba di pondok Mrs. Vye, waktu menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Wanita itu tampak sangat lelah pagi ini, karena itu ia tidak ikut Maria berjalan-jalan di tepi sungai Alleghei. Sebenarnya Mrs. Vye merasa enggan tidak pergi ke Sungai Alleghei seperti biasanya, tetapi karena tubuhnya sangat letih, ia dengan terpaksa memilih untuk tidak pergi berjalan-jalan. Walaupun Mrs. Vye tidak tampak menyesal apalagi marah pada Maria karena pulang larut, tetapi Maria merasa bersalah. Pagi tadi ketika Mrs. Vye mengatakan ia akan tinggal di rumah, Maria ingin menemani wanita itu. Mrs. Vye menggelengkan kepala dan menyuruh Maria pergi sendirian. Maria mulanya merasa enggan tetapi ketika ia teringat janjinya pada Ityu, ia akhirnya memutuskan untuk pergi sendirian menyusuri sungai yang cukup besar itu sebelum menuju rumah Ityu. Kini ketika Maria memandangi sungai yang bercahaya tertimpa sinar mentari pagi itu, Maria teringat kembali perjalanan pulangnya dari rumah Alexander. Malam itu, mereka tidak langsung menuju pondok Mrs. Vye. Mereka berhenti sebentar di tepi Sungai Alleghei. Ketika mereka melewati sungai itu, Maria memandang terus sungai yang tertimpa cahaya lembut sang dewi malam. Seperti mengetahui pikiran Maria, Alexander segera menyuruh kusir kereta menghentikan kereta dan mengajak Maria menuju sungai itu. Maria merasa sangat senang. Selama ini ia selalu ingin menikmati keindahan sungai itu di malam hari. Tetapi karena mengetahui kepercayaan penduduk Obbeyville, ia memilih untuk mengikuti kepercayaan itu. Maria tidak pernah mengatakan keinginannya itu kepada siapa pun. Dan 190
kini tanpa diberitahu Alexander mengajaknya menuju sungai itu. “Sungai ini selalu terlihat indah dan bercahaya,” kata Maria. “Seperti engkau,” timpal Alexander. Maria yang asyik memandang permukaan Sungai Alleghei yang memantulkan cahaya bulan, menatap Alexander. “Mengapa Anda berkata seperti itu?” tanyanya. Alexander tersenyum dan berkata, “Karena memang demikian yang kulihat. Seperti sungai ini, engkau selalu terlihat bercahaya di manapun dan kapan pun juga.” “Tidak
sama,
Al,”
kata
Maria,
“Sungai
ini
bercahaya
karena
kejernihannya dan terlebih lagi karena sinar yang selalu menyertainya baik di siang hari yang panas maupun di malam hari yang dingin.” “Aku melihat engkau menyerupai sungai ini. Engkau tampak menarik di manapun engkau berada,” Alexander mengulurkan tangannya. Maria terkejut ketika Alexander menyentuh pundaknya yang telanjang. Tangan pria itu menaikkan syal putih yang terjatuh dari pundaknya. Walaupun sentuhan itu sesaat, tetapi sudah dapat membuat Maria merasa pipinya memerah dan jantungnya berdebar-debar. “Apakah engkau kedinginan?” tanya Alexander kemudian ia meraih tubuh Maria, “Engkau mengigil.” Maria menggeleng di pelukan Alexander namun tidak berusaha melepaskan diri. Sikap melindungi yang ditunjukkan Alexander membuatnya teringat pada pelukan yang sama dari seseorang di masa lalunya yang selalu melindunginya dan menjaganya dari apa pun. “Apakah engkau yakin?” “Ya,” jawab Maria lirih. Mendengar jawaban yang hampir seperti bisikan itu, Alexander berkata, “Sebaiknya aku mengantarmu pulang sekarang. Udara malam musim panas di sini sangat dingin, aku tidak ingin engkau jatuh sakit karenanya. Di samping itu besok engkau mempunyai banyak pekerjaan.” Seperti biasanya, Alexander mengangkat tubuh Maria tanpa meminta ijin Maria terlebih dahulu. Dan sesuai yang dikatakannya, Alexander mengantar Maria kembali ke sisi Mrs. Vye yang telah menantinya. Maria membelok ke sebuah rumah batu yang beratap jerami yang berdiri tak jauh dari Sungai Alleghei. 191
Ketika Maria akan melangkah masuk ke dalam pagar semak-semak yang mengelilingi rumah itu, pintu rumah itu terbuka dan seorang anak berlari dengan riang menyambut kedatangannya. “Saya senang sekali Anda mau datang. Saya khawatir Anda tidak datang,” kata anak itu. Maria tersenyum pada Ityu, “Aku telah berkata padamu aku akan datang.” Suara kuda yang mendekat membuat keduanya memalingkan kepala. Dengan senyum yang menghias wajahnya, Alexander mendekati mereka. ia turun dari kudanya ketika ia semakin dekat dengan Maria. “Selamat pagi,” kata Maria. “Selamat pagi,” balas Alexander sambil menuntun kudanya mendekat. Kemudian is berkata kepada Ityu, “Di mana saya dapat meletakkan kuda ini?” “Di sana,” jawab Ityu sambil menunjuk tempat menambatkan tali kekang kuda di bawah sebatang pohon yang mulai mengering. Menyadari kebingungan Ityu, Maria segera berkata, “Ia teman saya, namanya Alexander.” Ityu
mengangguk
tetapi
sorot
matanya
masih
memancarkan
kebingungan. Maria hanya tersenyum melihat sorot mata anak itu. “Aku melihat engkau menuju rumah ini maka aku memutuskan untuk mengikutimu. Engkau tidak keberatan, bukan?” kata Alexander. “Sama sekali tidak. Tetapi saya tidak tahu bagaimana dengan ayah Ityu.” “Ayah tidak akan keberatan,” kata Ityu dengan cepat, “Silakan masuk.” Maria mengikuti Ityu memasuki rumah yan cukup besar itu. Alexander mengikuti di belakang Maria. Suasana di rumah itu terasa sangat sunyi. Perabotannya yang sederhana namun memiliki kekhasan asli suku asal mitos ketiga, membuat Maria tersenyum. Pada saat yang bersamaan, Maria merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada sesuatu di ruangan itu yang membuat ia merasa seperti berada di masa lalu. Anehnya, Maria tidak merasa berada di masa lalunya yang sekarang berada di balik kabut yang pekat tetapi seperti berada ke relung ingatannya yang tak tertutup kabut. Alexander memandang Maria dengan cemas, “Ada apa, Maria? Engkau 192
baik-baik saja?” “Ya, saya baik-baik saja,” jawab Maria. “Engkau terlihat aneh.” “Saya
saat
ini
memang
merasa
aneh,”
kata
Maria
mengakui
perasaannya, “Saya merasa seperti pernah ke sini sebelumnya. Dan berbeda dengan biasanya, saya tidak merasa seperti berada di masa lalu saya yang sekarang berada di kabut pekat itu.” “Apakah engkau telah ingat siapa dirimu?” tanya Alexander penuh harapan dan kecemasan. “Tidak. Saya masih belum dapat mengingat siapa saya di masa lalu. Saya hanya ingat saya pernah berada di ruangan yang persis seperti ini. Saya juga masih ingat rumah itu dengan baik,” kata Maria. Maria memalingkan kepalanya ketika ia mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Ityu muncul dari dalam rumah dengan menggandeng ayahnya. Ayah Ityu terkejut ketika melihat Maria berdiri di ruangan itu dengan memeluk sebuah buku di dadanya, seperti anak sekolah yang siap menerima pelajaran dan Alexander yang berdiri di dekat pintu seperti seorang pengawal yang menjaga putrinya. “Saya merasa tersanjung Anda bersedia datang ke rumah saya yang sempit ini,” kata ayah Ityu. “Saya berharap kedatangan saya tidak terlalu pagi, Quiya,” kata Maria dengan tersenyum. Alexander mengangkat alisnya tanda tak mengerti ketika mendengar panggilan yang ditujukan Maria pada ayah Ityu. Ityu juga memandang Maria tak mengerti. Ayah Ityu terlihat terkejut mendengar panggilan itu. “Jangan panggil saya dengan sebutan itu. Saya merasa tidak pantas dipanggil ‘Quiya’ oleh Anda,” katanya. “Mengapa? Anda seorang dari pendeta itu,” kata Maria bersikeras, “Saya tidak melihat ada yang salah bila saya memanggil Anda seperti itu.” “Ya,” kata pria itu sambil mengangkat bahunya, “Saya memang salah satu dari mereka tetapi saya merasa kurang pantas bila seorang bidadari yang dikirim dewa memanggil saya seperti itu.” Maria tersenyum, “Saya telah menduganya. Biarkanlah saya memanggil Anda seperti itu sebagai tanda penghormatan saya kepada Anda sebagai 193
pendeta yang sama seperti pendeta suku itu.” “Suku itu?” tanya pria sambil memegang janggut putihnya yang panjang. “Suku yang dulu ada di Death Rocks tetapi sekarang telah banyak dari mereka yang menyebar ke beberapa daerah di kerajaan ini,” kata Maria, “Dan membentuk keluarga dengan orang di luar suku mereka.” “Ya, saya ingat,” kata pria itu, “Saya memang suka lupa bila menyangkut mereka.” “Saya mengerti. Mereka memang telah lama menyembunyikan diri mereka seperti mereka menyembunyikan mitos mereka. Dan sekarang hanya sedikit sekali keturunan suku itu yang masih memiliki hubungan kental dengan nenek moyang mereka. Termasuk Anda, saya kira,” kata Maria. Pria itu terkejut. “Saya tidak dapat mempercayai ini. Anda telah mengetahuinya sebelum saya mengatakannya. Tak salah lagi Anda pasti kiriman dewa.” Maria menggelengkan kepalanya, “Bukan. Saya yakin saya bukan kiriman para dewa yang agung itu. Saya mengetahuinya dari ukiran-ukiran kursi di rumah Anda yang masih sangat kentara menunjukkan ciri mereka.” “Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan,” kata Ityu sambil menggelengkan kepalanya dengan bingung. Maria mendekati anak itu. “Jangan khawatir, Ityu. Tak lama lagi engkau akan mengerti. Aku telah memutuskan untuk memberi tahumu mengenai suku itu dan bila mungkin mitos mereka.” “Mitos ketiga?” Ityu berseru senang ketika melihat Maria menganggukkan kepalanya. Maria menatap Alexander yang masih berdiri di pintu. Kedua tangan pria itu terlipat di dadanya sementara itu badannya menyandar pada pinggiran pintu. Matanya tak pernah lepas dari Maria. Sorot matanya yang penuh tanda tanya itu menampakkan dengan jelas bahwa ia tidak mengerti sama sekali apa yang sedang dibicarakan Maria dengan ayah Ityu. Sekali lagi Maria merasa sikap berdiri pria itu mengingatkannya pada seseorang.
Seseorang
yang
juga
sering
bersikap
seperti
itu
sambil
mengawasinya. Maria tersenyum pada Alexander sebelum ia memalingkan kepalanya kepada Ityu. 194
“Saya membawakan sebuah buku untukmu,” kata Maria sambil menunjukkan buku itu pada Ityu. Ityu mengambil buku itu dan mengamatinya. Anak itu tidak membuka isinya, ia hanya melihat sampul buku itu sambil berusaha membaca tulisan yang tertulis di sana. Karena
tak
dapat
membacanya,
Ityu
mendekati
ayahnya
dan
menunjukkan buku itu padanya. Sang ayah mengerti keinginan anaknya. Ia meraih buku itu dari tangan Ityu dan berusaha membaca tulisan itu. “Tulisan ini adalah tulisan terkuno suku itu,” kata Quiya pada putranya, “Maafkan aku. Aku tidak dapat membacanya.” Ityu kecewa mendengar jawaban ayahnya itu. Ia berjalan mendekati Maria yang masih terus berdiri di tengah ruangan itu. “Tolong bacakan buku ini untuk saya,” kata Ityu sambil menyodorkan buku itu. Maria tersenyum dan menerima buku itu. Dengan mudah ia membaca judul buku itu. “Anda mengerti tulisan kuno itu?” kata Quiya tak percaya. “Dari mana engkau mempelajari tulisan ini?” tanya Alexander yang telah berdiri di belakang Maria. Alexander mengambil buku itu dari tangan Maria. Setelah mengamati halaman demi halaman buku itu ia berkata, “Tulisan ini mirip tulisan Mesir Kuno. Aku pernah melihat buku seperti ini di Perpustakaan. Mungkinkah buku yang dikatakan ayahku adalah buku yang sama dengan buku ini?” “Mungkin saja.” Hampir saja Alexander melupakan pertanyaannya yang belum terjawab oleh Maria. “Engkau belum menjawab pertanyaanku, Maria.” “Saya tidak ingat dari mana saya mempelajarinya,” jawab Maria. “Dapatkah aku mempelajarinya?” tanya Ityu penuh harap. “Tentu saja,” kata Maria. Suasana di ruangan itu menjadi hening ketika seorang wanita tinggi yang telah tua memasuki ruangan itu dengan nampn di tangannya. “Ibu,” kata Ityu sambil mendekati wanita itu. “Jangan nakal, Ityu,” katanya kepada Ityu yang berlari mendekat kemudian ia berpaling kepada Maria, “Saya berharap anak saya tidak 195
merepotkan Anda.” “Tidak, ia tidak senakal yang Anda katakan,” kata Maria sambil tersenyum menatap Ityu yang cemberut mendengar kata-kata ibunya. “Saya tidak menduga Anda akan datang kemari,” kata wanita itu, “Dan saya minta maaf karena suami saya dan anak saya ini tidak dapat menjadi tuan rumah yang baik, mereka tidak mempersilakan Anda berdua untuk duduk.” Wanita itu memandang marah pada Quiya yang tersenyum dan Ityu yang tertunduk malu menyadari kecerobohannya. Kemudian ia berpaling kepada Maria yang masih tersenyum melihat wanita itu. Wanita itu tampak terbiasa menghadapi kecerobohan suaminya dengan sikap yang tegas. “Silakan duduk,” kata wanita itu. “Terima kasih, Quiyi,” kata Maria. Wanita itu mengerutkan kening mendengar panggilan yang diberikan Maria. “Jangan memanggil saya seperti itu, saya memang istri seorang pendeta upacara mitos itu, tetapi saya merasa tidak pantas dipanggil seperti itu oleh Anda,” katanya. Maria memperhatikan wanita itu meletakkan nampan yang dibawanya di atas meja di hadapan Maria dan Alexander. Kemudian ia duduk di hadapan mereka. “Sudah seharusnya keluarga pendeta upacara mitos dipanggil Quiya dan Quiyi,” kata Maria sambil tersenyum. Wanita itu tertawa, “Sepertinya Anda tidak dapat dihentikan.” “Anda telah mengetahuinya,” kata Maria. Quiyi tertawa lagi. “Adakah yang dapat kami lakukan untuk Anda sehingga Anda datang kemari,” katanya setelah tawanya mereda. “Saya hanya ingin memintakan ijin untuk Ityu. Anda tentu sudah mengerti apa yang saya katakan,” kata Maria. Wanita itu mengangguk, “Saya mengerti. Tetapi saya tidak dapat mengijinkan Ityu menganggu Anda.” “Saya
tidak
merasa
terganggu
oleh
Ityu,”
kata
Maria
sambil
memandangi Ityu yang berdiri penuh harapan. “Anda tentunya telah mengerti bahwa bagi penduduk Obbeyville, 196
khususnya kami, Anda adalah bidadari yang tidak boleh diganggu,” kata Quiya sambil duduk di samping istrinya. “Saya mengerti. Tidak dapatkah Anda mengijinkan Ityu sekalipun bidadari itu yang memintanya?” tanya Maria sambil tersenyum. Alexander melihat senyum Maria yang penuh keyakinan itu. Sebuah senyum kemenangan yang sangat manis yang akan meluluhkan hati setiap orang yang melihatnya. Alexander melihat wajah kedua orang tua Ityu tampak bimbang, tetapi ia telah mengetahui jawaban keduanya. Ia tahu kedua orang itu takkan mengatakan ‘Tidak’ terhadap pertanyaan Maria yang tepat itu ditambah dengan senyum kemenangannya yang manis. “Saya tidak tahu harus berbuat apa,” kata Quiya sambil mengangkat bahunya. “Anda hanya perlu melakukan satu hal, mengijinkan Ityu. Saya akan menjaganya selama ia bersama saya dan bila Anda masih tidak percaya, saya dapat datang setiap pagi,” kata Maria meyakinkan kedua orang tua Ityu. Sekali lagi Quiya mengangkat bahunya dan berkata, “Itu akan semakin merepotkan Anda. Sepertinya saya hanya dapat mengatakan ‘Ya’ terhadap ijin yang Anda inginkan itu.” Sekali lagi senyum kemenangan menghiasi wajah Maria. Ityu berseru kegirangan dan berlari mendekati ayahnya. Kemudian memeluk erat-erat ayahnya. “Aku senang sekali, Ayah. Aku senang Ayah mengijinkanku.” Melihat tindakan Ityu itu, Maria merasakan suatu perasaan bergejolak di dadanya. Perasaan yang sangat aneh seperti melihat dirinya sendiri melakukan hal yang sama ketika ia masih kecil. “Tetapi Ityu, engkau harus ingat, engkau tidak boleh menganggu bila…, ” kata Quiyi, “Bolehkah saya memanggil Anda Maria?” “Silakan, saya tidak tahu Anda harus memanggil saya dengan apa selain nama itu.” Entah untuk keberapa kalinya wanita periang itu tertawa mendengar kata-kata Maria, “Anda menyenangkan sekali. Anda membuat saya selalu ingin tertawa mendengar kata-kata Anda.” “Tertawa itu sehat. Tetapi saya berharap saya tidak membuat Anda sakit perut karenanya,” kata Maria sambil tersenyum. “Ya, tentu saja,” kata Quiyi meyakinkan, “Ityu, engkau boleh pergi ke 197
pondok Mrs. Vye dengan syarat engkau tidak menganggu Maria.” “Tentu,” kata Ityu riang, “Dapatkah kita memulainya hari ini?” “Tentu. Pagi ini aku berniat untuk meminjamkan buku ini kepadamu,” kata
Maria
kemudian
ia
berkata
kepada
Quiya,
“Anda
tentu
dapat
membacanya, Quiya, walaupun sedikit.” “Tetapi saya tidak akan dapat menerjemahkan bahasa itu dengan tepat seperti Anda,” kata Quiya. “Anda
dapat?”
tanyanya
pada
Quiyi,
“Mungkin
Anda
dapat
membacanya. Anda salah satu dari keturunan suku itu yang masih memiliki hubungan kental dengan nenek moyang mereka, bukan?” Wanita itu memandang heran pada Maria, “Bagaimana Anda tahu?” “Anda memiliki ciri khas wanita suku itu. Anda telah menunjukkan sikap Anda yang penuh kekuasaan terhadap keluarga Anda. Seperti wanita suku itu bila menghadapi sikap suami mereka yang sering ceroboh.” Wanita itu tertawa mendengar kata-kata Maria, “Anda tepat. Pria suku Deady memang ceroboh. Mereka tidak akan dapat bertahan bila tidak ada wanita yang suka memerintah.” “Anda mau mencoba membacanya?” tanya Maria sambil menyerahkan buku itu kepada Quiyi. Wanita itu meraih buku itu dan membacanya. Kerutan yang menghiasi dahinya bertambah banyak ketika ia membuka buku kuno itu. “Anda mendapatkannya dari mana?” “Dari Sidewinder House.” “Ya, tentu saja. Di sini tidak ada yang memiliki buku itu selain keluarga Sidewinder,” gumam Quiyi, “Dulu ketika saya masih kecil, ayah saya pernah membacakan buku ini untuk saya. Saya masih ingat sedikit arti tulisan-tulisan ini.” “Sudah saya duga, Anda dapat membacanya,” kata Maria. “Ya, tentu saja. Wanita suku Deady lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menenun permadani yang bertuliskan tulisan kuno suku Deady daripada kaum pria,” kata Quiya. “Tentu saja,” kata ibu Ityu membanggakan dirinya, “Wanita suku Deady terkenal pandai membuat permadani yang bertuliskan huruf ini.” “Sedangkan prianya terkenal sebagai pemburu yang ulung,” sahut Quiya. Maria tersenyum. “Dua masalah telah terselesaikan sekarang,” katanya 198
pada Ityu, “Engkau dapat meminta ibumu membaca buku itu untukmu. Dan di malam hari, aku akan mengajarimu bahasa itu dan memberitahu lebih banyak tentang segala hal yang ingin kauketahui sejauh menyangkut mitos itu.” “Anda akan kembali sekarang?” tanya Ityu kecewa mendengar nada bicara terakhir Maria seperti orang yang telah menyelesaikan tugasnya dan siap kembali untuk melapor hasilnya pada sang komandan. “Saya masih mempunyai banyak waktu. Tetapi lebih baik saya segera kembali,” kata Maria. “Tidak dapatkah Anda tinggal lebih lama? Saya ingin sekali berbincangbincang dengan Anda,” kata Quiya. “Saya khawatir saya tidak dapat mengimbangi pembicaraan Anda,” kata Maria. “Justru sayalah yang merasa khawatir tidak dapat mengimbangi pembicaraan Anda,” kata Quiya, “Anda mengetahui lebih banyak daripada saya.” “Tentang mitos itu?” tanya Maria tak percaya. Quiya mengangguk. “Saya tidak mengerti apa-apa mengenai mitos ketiga itu walaupun saya salah satu keturunan yang masih memiliki hubungan kental dengan leluhur kami.” “Yang membuat kami heran adalah bagaimana Anda mengetahuinya? Satu-satunya jawaban yang terpikirkan oleh kami hanya satu, Anda berasal dari Holly Mountain,” tambah Quiyi. “Saya tidak ingat darimana saya mengetahuinya, yang pasti bukan dari buku
itu
walaupun
hal
itu
termuat
di
dalamnya.
Seseorang
sering
menceritakannya kepada saya jauh sebelum saya membuka buku itu,” jawab Maria. “Siapakah orang itu?” tanya Alexander yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan Maria dengan kedua orang tua Ityu. “Saya tidak ingat,” kata Maria. “Apa yang dikatakan orang itu kepadamu mengenai mitos itu?” tanya Alexander. “Mitos itu berhubungan erat dengan kehidupan suku Deady, karena itu saya tidak boleh mengatakannya kepada siapa pun dengan sembarangan. Dan diterimanya suku Deady di masyarakat luas dipengaruhi juga oleh mitos yang disembunyikan itu.” “Mitos itu disembunyikan hingga kami pun yang masih memiliki 199
hubungan kental dengan leluhur kami, tidak mengetahuinya,” kata Quiya. “Sekarang hanya suku Deady yang tinggal di Death Rocks yang mengetahui mitos itu dan orang yang dapat membaca buku itu,” kata Maria. “Mengapa
engkau
dapat
mengetahuinya?
Kurasa
engkau
bukan
keturunan suku Deady yang tinggal di Death Rocks,” kata Alexander. “Saya tidak tahu.” “Engkau tidak berasal dari Death Rocks, bukan?” tanya Quiyi pada Maria. “Tidak,” kata Maria dengan yakin. “Mengapa orang itu memberi tahumu yang bukan suku itu?” kata Alexander seperti kepada dirinya sendiri. “Saya tidak mengerti dan tidak dapat mengingatnya, Al. Yang saya mengerti dan saya ingat saat ini adalah saya berada di Obbeyville sebagai gadis yang bernama Maria.” “Hari
semakin
siang,
apakah
engkau
tidak
segera
kembali
ke
Sidewinder House?” tanya Alexander. “Apakah Anda tidak dapat menundanya?” tanya Ityu. “Sayang sekali, saya tidak dapat. Saya harus segera kembali ke Sidewinder House. Mereka membutuhkan saya,” kata Maria. “Jangan engkau ganggu Maria, Ityu. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan, tidak seperti engkau yang hanya sibuk bermain tetapi tidak pernah mau belajar,” tegur Quiyi sebelum anaknya sempat mencegah kepergian Maria. “Bila engkau selalu bermain, Ityu, aku khawatir engkau tidak akan dapat mempelajari bahasa itu,” kata Maria. “Tidak, saya berjanji tidak akan banyak bermain lagi. Saya akan giat belajar. Saya pasti bisa,” kata Ityu meyakinkan Maria. Maria tersenyum. “Aku senang mendengarnya.” “Sayang sekali Anda harus segera kembali padahal masih banyak yang ingin saya bicarakan dengan Anda,” kata Quiya. “Kita dapat berjumpa kembali esok atau kapanpun,” kata Maria. “Selama Anda masih berada di Obbeyville,” tambah Quiyi. “Ya, selama saya masih berada di Obbeyville,” ulang Maria perlahan. Keluarga itu mengantarkan Maria dan Alexander sampai ke depan pintu rumah mereka. Ityu melambaikan tangannya dengan penuh semangat pada Maria. 200
Maria membalasnya dengan senyuman. Ketika mereka telah cukup jauh dari rumah Quiya, Alexander berkata, “Selama ini engkau tidak pernah membicarakan masa lalumu.” “Saya cukup sering mengatakan kepada Anda apa yang saya ingat menyangkut masa lalu saya,” kata Maria. “Ya, engkau sering mengatakannya. Tetapi yang kumaksud dalam hal ini adalah sejauh mana engkau dapat mengingat masa lalumu itu.” “Saya hanya mengingat sedikit sekali. Setiap kali saya berusaha mengingat masa lalu saya, selalu saja ada sesuatu yang sepertinya menahan saya untuk mengingatnya seolah tidak ingin saya ingat masa lalu saya.” “Apa saja yang kauingat?” tanya Alexander. “Sebuah ruangan putih dan samar-samar wajah seorang pria dan seorang wanita, hanya itu yang muncul ketika saya berusaha mengingat masa lalu saya itu.” “Sudah sebulan lebih sejak engkau ditemukan Mrs. Vye di Sungai Alleghei tetapi engkau masih belum dapat mengingat sesuatu pun. Aneh sekali,” kata Alexander. “Karena ada sesuatu yang menghalangi saya itu, maka saya tidak dapat membuka tirai kegelapan yang menutupi masa lalu saya itu.” Ketika melihat Alexander ingin membicarakan masa lalunya lagi, Maria segera berkata, “Mengapa Anda tadi seperti ingin saya segera meninggalkan rumah itu?” “Karena aku ingin berdua saja denganmu. Aku sama sekali tidak menduga engkau akan pergi ke rumah Ityu pagi ini.” “Maafkan saya. Saya lupa mengatakannya kepada Anda.” “Aku sedang berpikir, Maria. Sejak aku mengenalmu, berapa kali engkau meminta maaf kepadaku, sedangkan aku rasanya tidak pernah meminta maaf kepadamu,” kata Alexander sambil tersenyum. “Apakah itu salah?” tanya Maria. Alexander tersenyum lagi, “Tidak, Maria. Engkau tidak salah.” “Saya senang mendengarnya. Sekarang saya telah berdua dengan Anda, apa yang akan kita atau tepatnya Anda lakukan?” “Aku tidak mempunyai rencana apa-apa selain menemuimu seperti biasanya di tepi Sungai Alleghei dan memenuhi janjiku pada Papa untuk membawamu ke Blueberry House hari ini.” “Anda telah tahu saya tidak dapat meninggalkan Sidewinder House di 201
siang hari,” kata Maria mengingatkan. “Jangan khawatir tentang itu, Maria. Aku telah mengaturnya dengan rapi dan sekarang engkau boleh pergi menemui Mrs. Vye.” Maria memandang Sidewinder House yang berdiri di depannya. suasana di rumah itu masih tampak sunyi seperti rumah kuno yang tak berpenghuni. “Sebenarnya apa yang sedang Anda rencanakan? Sikap Anda tidak seperti biasanya,” kata Maria. “Seperti biasanya bagaimana, Maria?” “Biasanya Anda selalu berusaha mencegah saya bila saya hendak kembali ke Sidewinder House tetapi pagi ini Anda seperti mendorong saya untuk segera ke rumah itu.” “Percayalah kepadaku, Maria. Aku tidak mempunyai rencana apa-apa di luar yang telah kukatakan kepadamu.” Maria
berjalan
beberapa
langkah
mendekati
Sidewinder
House
kemudian membalikkan badannya dan memandang Alexander yang tengah mengawasinya. Kini pria itu sudah siap mengarahkan kudanya kembali ke Blueberry. Pria itu tersenyum kepadanya sebelum melarikan kudanya. Setelah pria itu menghilang, Maria kembali melangkahkan kakinya menuju Sidewinder House dan tugas-tugas yang telah menantinya. Maria segera menemui Mrs. Vye di dapur. Wanita itu sedang duduk di meja sambil menanti masakannya mendidih ketika Maria tiba di sana. “Mengapa engkau sudah kembali, Maria?” “Seperti biasanya, Mrs. Vye. Saya ingin membantu kalian,” kata Maria sambil menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Walaupun tadi Alexander telah mengatakan untuk mempercayainya, tetapi Maria tetap sukar mempercayai pria itu. Ia merasa ada sesuatu yang sedang direncanakan Alexander. Hal itu membuat ia merasa risau. “Hari ini aku tidak menemukan sesuatu untuk kaukerjakan, Maria. Engkau telah menyelesaikan semuanya selama beberapa hari ini. Engkau membantu Mrs. Fat dan Mr. Liesting membersihkan rumah ini dan engkau telah banyak membantuku di dapur.” “Belum semuanya, Mrs. Vye. Saya masih belum membantu Mr. Liesting merawat halaman Sidewinder House.” “Engkau jangan melakukan itu, Maria. Engkau tidak boleh…” 202
Suara Mrs. Vye menghilang ketika pada saat yang bersamaan Maria ingat ia pernah mendengar kata-kata yang bernada sama, “Jangan lakukan itu! Anda tidak boleh terkena sinar matahari…” Wanita itu mengucapkannya dengan penuh kecemasan seperti Mrs. Vye. “Tidak apa-apa. Aku akan mengenakan topi,” jawab Maria. Maria ingat jawaban yang diberikannya pada Mrs. Vye sama seperti jawaban yang diberikannya pada wanita di masa lalunya. “Baiklah, aku akan mencarikanmu topi yang cukup lebar untuk mencegah matahari menyengatmu,” kata Mrs. Vye. Yang dikatakan selanjutnya berbeda dengan yang dikatakan wanita di masa lalu Maria. Wanita di masa lalu Maria tidak mengijinkan Maria walaupun ia telah berusaha membujuknya. Setelah membujuk cukup lama, barulah wanita itu mengijinkannya. Sedangkan Mrs. Vye segera mengijinkannnya. Mrs. Vye menghilang di balik pintu dapur tetapi tak lama kemudian ia muncul lagi dengan sebuah topi bertali yang cukup lebar. “Lucu sekali topi ini,” kata Maria, “Seperti topi boneka yang bertali apalagi bila diberi renda di tepinya.” “Pendapatmu tentang topi ini berbeda dengan pendapat Lady Debora. Ia tidak pernah mengenakan topi ini, entah dari mana ia mendapatkannya. Tetapi begitu ia membawanya, ia segera menyuruhku membuangnya.” “Terima kasih atas topi ini,Mrs. Vye,” kata Maria sambil mengenakan topi itu. Setelah ia mengikat tali topi itu kuat-kuat di bawah dagunya, ia meninggalkan dapur dan mendekati Mr. Liesting yang sibuk membersihkan halaman. Pria itu terkejut ketika melihatnya. “Selamat pagi, Mr. Liesting,” sapa Maria. “Selamat pagi, Maria. Engkau hendak pergi ke mana?” “Tidak kemana-mana. Saya hanya ingin membantu Anda merawat bunga-bunga ini,” jawab Maria. “Aku tahu tidak ada gunanya aku melarangmu karena itu aku tidak mengatakan apa-apa,” kata Mr. Liesting sambil tersenyum mengawasi Maria yang sudah sibuk dengan bunga-bunga liar di depannya. Tak lama kemudian Mr. Liesting juga menyibukkan dirinya dengan 203
membersihkan halaman Sidewinder House yang dipenuhi daun-daun kuning yang berguguran. Ketika sebuah kereta mendekat, Maria tidak menyadarinya. Ia masih sibuk dengan bunga-bunga di hadapannya. Entah sudah berapa tangkai bunga yang layu dan kering yang ia tarik dari tanah, tampatnya semula. Mr. Liesting yang lebih dulu menyadari kedatangan kereta itu segera menyambutnya. “Inikah keahlianmu yang lain?” tanya seseorang di belakangnya. Maria terkejut mendengar suara yang telah biasa didengarnya itu, ia segera memalingkan kepalanya. Alexander tersenyum padanya sambil mengulurkan tangan. “Terima kasih tetapi saya tidak ingin mengotori tangan Anda,” kata Maria menolak uluran tangan itu. “Tidak
apa-apa,”
kata
Alexander
dan
sebelum
Maria
sempat
mengatakan apa-apa untuk menolaknya, ia memegang tangan Maria dan membantunya berdiri. “Sekarang engkau tidak perlu khawatir lagi karena aku telah memegang tanganmu,” kata Alexander sambil tersenyum. “Senyum Anda itu mengingatkan saya pada seseorang,” kata Maria tiba-tiba. “Siapakah dia? Selama ini aku selalu mengira senyumanku tidak ada yang dapat menyamainya,” kata Alexander pura-pura sedih. “Senyuman Anda memang tidak pernah ada yang dapat menyamainya. Tetapi bila Anda tersenyum nakal seperti itu, Anda membuat saya teringat akan seseorang.” “Aku ingin tahu siapakah dia. Rasanya engkau sering mengatakan aku mirip seseorang, aku ingin tahu apakah mereka orang yang sama.” “Saya memang sering merasa demikian, Anda mirip dengan seseorang tetapi saya tidak ingat siapa dia.” “Apakah dia tunanganmu?” tanya Alexander dengan curiga. “Saya tidak ingat, tetapi kita jangan membicarakan hal itu lagi. Anda datang kemari tentu ada tujuannya bukan?” “Ya, aku ingin menemui Lady Debora,” kata Alexander. “Saya rasa Lady Debora masih tidur.” “Aku percaya, ia akan segera bengkit dari tidur panjangnya bila 204
mendengar aku mencarinya,” kata Alexander. Maria mengantar Alexander memasuki Sidewinder House. “Tunggulah sebentar di sini, Al. Saya tidak bisa segera menemui Lady Debora, ia pasti marah bila melihat saya dalam keadaan seperti ini,” kata Maria. “Tentu saja. Ia pasti tidak senang bila mengetahui engkau tidak hanya memperhatikan dirinya.” Maria segera menuju dapur untuk membersihkan tangannya yang penuh tanah. Tak lama kemudian ia telah kembali di Ruang Besar. Alexander tersenyum melihatnya. Maria menapaki satu per satu anak tangga tanpa menyadari mata Alexander yang terus mengawasinya bahkan ketika ia memasuki kamar Lady Debora. Seperti yang telah diduganya, Lady Debora masih tertidur. Mula-mula Maria tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk membangunkan wanita itu, tetapi ia terus saja mendekati wanita itu. Ketika ia melihat tirai yang terutup itu, ia mempunyai ide. Maria menarik tirai tebal itu sehingga matahari dapat memasuki kamar Lady Debora. “Apa yang kaulakukan?” bentak Lady Debora ketika sinar matahari mengenai matanya. “Maafkan saya, Tuan Puteri tetapi Tuan Muda Alexander menunggu Anda di bawah. Ia berkata ingin menemui Anda secepat mungkin karena ada keperluan yang mendesak,” jawab Maria. “Biarkan saja. Aku tidak peduli. Seharusnya ia tahu saat ini adalah waktuku untuk tidur. Semalam aku baru tiba jam dua malam. Siapapun dia, katakan kepadanya aku tidak ingin diganggu dan sekarang tutup kembali tirai itu,” kata Lady Debora. “Baik, Tuan Puteri, saya akan mengatakannya kepada Tuan Muda Alexander.” “Cepat katakan kepada Alexander,” tiba-tiba Lady Debora terdiam. “Alexander katamu?” serunya terkejut seakan baru menyadari pria yang sedang menantinya adalah pria yang tengah diincarnya. “Ya, Tuan Puteri. Tuan Muda Alexander, putra Duke of Blueberry,” kata Maria. Seperti yang telah dikatakan Alexander, wanita itu segera bangkit dari 205
tempat tidurnya. “Apa yang dilakukannya di sini? Kemarin aku kesulitan berbicara dengannya gara-gara wanita itu tetapi sekarang ia mencariku. Ia pasti telah menyadari bahwa aku lebih baik dari wanita yang kurang ajar itu. Wanita itu telah berani merebut semua perhatian tamu terutama Alexander tetapi hari ini ia kalah, Alexander menemuiku bukan menemuinya,” katanya kepada dirinya sendiri dengan penuh kemenangan. Lady Debora memandang Maria yang menahan perasaan bersalahnya, “Katakan kepadanya, aku akan segera siap.” “Baik, Tuan Puteri.” Maria meninggalkan Kamar Lady Debora dengan perasaan bersalah. Ia telah menduga sebelumnya Lady Debora akan membenci dirinya karena ia telah menghalangi niat wanita itu untuk berdua dengan Alexander. Maria tidak menduga kebencian wanita itu demikian besarnya hingga mengetahui Alexander mencarinya membuat dirinya menjadi sangat senang. Entah apa yang akan dilakukan Lady Debora yang memang telah tidak menyukainya bila ia mengetahui Marialah wanita yang dimakinya. Maria segera mengatakan pesan Lady Debora kepada Alexander kemudian
kembali
ke
kamar
Lady
Debora
untuk
membantunya
mempersiapkan diri. Seperti biasanya, Lady Debora selalu ingin tampil menarik. Tetapi pagi ini Maria merasa keinginan Lady Debora untuk tampil menarik berlebihan. Wanita itu memintanya untuk menyanggul rambutnya dan menghiasinya dengan butiran-butiran permata kecil yang sangat indah. Selebihnya, Lady Debora sendiri yang mempersiapkannya. Ia melarang Maria membantunya apalagi mengajukan pendapatnya. Maria merapikan kamar Lady Debora ketika wanita itu turun untuk menemui Alexander yang sejak tadi telah menantinya. Sambil
merapikan
kamar
yang
seperti
tertiup
badai
itu,
Maria
memikirkan berapa jam yang telah dihabiskan Alexander untuk menanti wanita itu tampil secantik mungkin. Maria tersenyum geli membayangkan Alexander yang memang bukan orang penyabar menanti sekian lama sementara Lady Debora membuat badai di kamarnya sendiri. Baru saja Maria selesai merapikan hampir seluruh ruangan itu ketika Lady Debora muncul kembali dengan wajah berseri-seri tetapi ketika melihat 206
Maria, ia menutupinya. “Apa yang kaulakukan?” tanyanya. “Saya sedang merapikan kamar Anda,” jawab Maria. “Kerjakan itu nanti saja sekarang cepat bantu aku mempersiapkan diri. Duchess ingin menemuiku pagi ini,” kata Lady Debora sambil duduk di depan meja rias. Maria keheranan melihat tingkah wanitai tu. Ia tidak mengerti mengapa wanita itu ingin berdandan lagi sedangkan ia baru saja berdandan tidak lebih dari setengah jam yang lalu. Seperti biasanya, Lady Debora mengeluarkan perintah-perintahnya dengan cepat dan Maria menyelesaikannya dengan cepat pula. Setelah merasa penampilannya menarik, Lady Debora meninggalkan kamarnya. Maria baru saja hendak merapikan ruangan itu lagi setelah dua kali dibuat berantakan oleh Lady Debora dalam waktu yang hampir bersamaan, ketika wanita itu muncul lagi di ambang pintu. “Tinggalkan pekerjaanmu,” perintah wanita itu. Maria memandang wanita itu yang kini tampak sangat jengkel. Maria benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan Alexander sehingga membuat wanita itu tampak riang beberapa saat yang lalu dan kini tampak sangat jengkel. “Apa lagi yang kautunggu. Tinggalkan pekerjaanmu dan segera ikuti aku ke Blueberry House,” bentaknya. “Baik, Tuan Puteri.” Setelah mendengar jawaban Maria, Lady Debora membanting pintu itu keras-keras. Maria mulai dapat menduga rencana Alexander. Ia menduga pria itu sengaja mengundang Lady Debora ke rumahnya agar dirinya dapat diajak serta dan Duke dapat bertemu dengannya tanpa khawatir Lady Debora curiga padanya. Secepat mungkin menyelesaikan pekerjaannya yang hampir tuntas dan kemudian segera meninggalkan kamar itu. Ketika ia menutup pintu kamar itu, ia melihat Lady Debora sedang menaiki tangga dengan kesal. “Cepat! Jangan santai-santai saja, Duchess ingin menemuiku sesegera mungkin,” katanya. 207
“Baik, Tuan Puteri. Saya sudah siap berangkat,” kata Maria sambil tersenyum melihat Lady Debora yang tidak sabar ingin segera tiba di Blueberry House. Lady Debora segera meninggalkan Maria yang masih menuruni tangga itu. Di luar, Maria melihat Alexander masih berdiri di luar sedangkan Lady Debora telah berada di dalam kereta. Alexander tersenyum ketika melihatnya. Ia membantu Maria naik kereta kuda itu sebelum ia memberi perintah kepada kusirnya. Ketika melihat Alexander membantu Maria menaiki kereta kuda yang besar itu, Lady Debora menahan marah yang bergejolak di dadanya. Sikap permusuhan yang ditampakkan oleh matanya, membuat Maria memilih duduk di hadapan wanita itu, tetapi itu juga salah karena Alexander juga memilih duduk di hadapan wanita itu. Tetapi Lady Debora tidak putus asa, ia memanfaatkan waktu sebaikbaiknya. Selama perjalanan ia mencoba merayu Alexander. Maria diam saja. Ia hanya memandang keluar kereta sambil menikmati pemandangan yang terus berlalu lalang di hadapannya dan angin yang menerpa wajahnya. Ia tidak lagi mendengar kata-kata manja Lady Debora yang semula membuat dirinya merasa jenuh, ketika Sungai Alleghei terlihat di antara rumah-rumah penduduk dan pohon-pohon tinggi yang mengelilinginya. Sungai Alleghei yang memanjang seperti pita dan bersinar membuatnya teringat sesuatu. Sesuatu yang juga memanjang seperti pita dan bersinar di antara hijaunya dedaunan. Angin sejuk yang menerpa wajahnya membuatnya teringat sejuknya udara ketika ia melihat pita putih kebiru-biruan yang bersinar itu. Ketika mereka tiba di Blueberry House, Maria masih teringat akan kenangan yang tiba-tiba muncul itu. Alexander yang menyadari hal itu berkata, “Sebaiknya aku segera mengantarmu menemui Mama.” Alexander membawa mereka ke Ruang Besar di mana Duchess telah menanti. “Selamat datang, Lady Debora,” kata Duchess. “Terima kasih, Duchess. Saya merasa tersanjung atas undangan Anda yang tak terduga ini,” kata Lady Debora. 208
Duchess tersenyum pada Lady Debora tetapi matanya mengawasi wajah Maria, “Jangan berkata seperti itu, Lady Debora. Persahabatan di antara keluarga kita sudah terjalin puluhan tahun. Tak ada yang perlu merasa tersanjung bila kita saling mengundang.” Kemudian Duchess berkata kepada Maria, “Al, antarkan ia ke ruang yang lain. Aku ingin berbicara berdua dengan Lady Debora.” Alexander pura-pura terkejut, “Mengapa Mama berkata seperti itu? Bukankah tadi Mama yang meminta agar aku juga membawa pelayannya karena Mama ingin mengenalnya?” “Ya, tetapi baru saja aku berubah pikiran. Aku tiba-tiba teringat sesuatu yang harus kubicarakan berdua saja dengan Lady Debora.” “Baik, Mama,” kata Alexander. “Ayo, Maria,” bisiknya. Tanpa mengatakan apa-apa Maria segera mengikuti Alexander. Gadis itu tahu Lady Debora merasa cemburu melihat ia berjalan berduaan dengan Alexander yang tampan. Setelah mereka menutup pintu Ruang Besar, barulah Alexander berbicara, “Inilah yang kurencanakan, Maria. Aku telah merencanakan agar Lady Debora dapat berdua dengan Duchess sedangkan aku dan Papa bisa mendengar ceritamu.” “Bila Anda terus-menerus menipu Lady Debora dengan cara seperti ini, ia pasti akan sadar juga pada akhirnya.” “Aku telah menyiapkan berbagai macam cara untuk itu, Maria.” “Apakah Duchess tidak berkeberatan untuk menemai Lady Debora?” tanya Maria. “Mengapa engkau berkata seperti itu, Maria?” “Karena tadi saya melihat Duchess sebenarnya enggan menemani Lady Debora.” Alexander tertawa mendengarnya, “Aku jadi ingin tahu, Maria, apakah engkau bisa membaca pikiran orang? Engkau memang benar. Ketika Mama tahu apa yang harus diperankannya, ia tidak menyukainya karena seperti halnya aku dan Papa, ia lebih senang bersamamu daripada dengan Lady Debora. Tetapi demi aku dan Papa, ia setuju.” “Saya merasa bersalah membuat Duchess melakukan hal yang sebenarnya tidak diinginkannya,” kata Maria. “Tidak perlu merasa seperti itu, Maria. Karena kami telah membagi 209
tugas. Mama tidak akan selalu menemani Lady Debora.” Duke sedang duduk sambil membalik-balik sebuah buku di hadapannya. Ia tampak berusaha keras mengerti isi buku itu. Ketika melihat mereka datang mendekat, ia menoleh. “Selamat siang,” sapa Maria. “Selamat siang, Maria. Duduklah dan akan kutunjukkan buku yang kemarin malam aku maksudkan,” kata Duke. Maria memandang sekelilingnya dan ia merasa kagum melihat bukubuku yang ada di Ruang Perpustakaan itu. Walaupun Ruang Perpustakaan itu tidak sebesar yang ada di Sidewinder House. Keadaan
kedua
Ruang
perpustakaan
itu
berbeda.
Di
Ruang
Perpustakaan yang dilihat Maria, semua almarinya penuh berisi buku. Sedangkan di Ruang Perpustakaan di Sidewinder House sebaliknya. “Ruang Perpustakaan ini memang tidak sebesar yang ada di Sidewinder House tetapi aku yakin buku-buku yang ada di sini tidak kalah dari yang ada di sana.” “Ruang Perpustakaan di Sidewinder House memang lebih besar dari Ruang Perpustakaan ini tetapi bukunya lebih banyak di ruang ini,” kata Maria. Duke menatap terkejut kepada Maria. “Ruang Perpustakaan di sana hampir kosong, sudah tidak pantas lagi disebut Ruang Perpustakaan,” kata Maria menerangkan. “Aku tak percaya. Padahal sejak dulu keluarga Sidewinder paling gemar mengumpulkan buku. Kami semua percaya Ruang Perpustakaannya berisi banyak
buku
dan
hampir
sebanding
dengan
jumlah
buku
di
Ruang
Perpustakaan Istana Plesaides.” “Segalanya berubah sejak Baron Marx Sidewinder meninggal sepuluh tahun yang lalu,” kata Maria. “Ini buku yang aku katakan kemarin malam,” kata Duke sambil menyerahkan buku yang semula dibukanya tanpa dapat dimengerti olehnya. “Ini buku yang sama seperti yang ada di Sidewinder House,” kata Maria sambil menatap Alexander. “Ya, buku ini dan buku yang di Sidewinder House berasal dari nenek moyangku. Nenek moyangku memberikannya sebuah kepada keluarga Sidewinder,” kata Duke, “Aku tidak mengerti mengapa ia membeli buku yang belum tentu dapat dibaca keturunannya. Ayahkupun tidak dapat membaca buku itu.” 210
“Ia dapat membacanya, Papa,” kata Alexander. “Benarkah?” tanya Duke. “Ya, aku telah mengetahuinya,” kata Alexander meyakinkan Duke. “Dapatkah engkau membacakan untukku apa yang tertulis di dalam buku itu?” kata Duke antusias melihat Maria menanggukan kepalanya, “Percuma mempunyai buku tetapi tidak mengerti isinya.” “Tentu saja.” Maria
menghabiskan
waktunya
sepanjang
hari
itu
di
Ruang
Perpustakaan bersama Duke dan Alexander sementara Duchess menghadapi Lady Debora. Duke terkejut ketika mendengar Maria membaca setiap baris tulisan itu tanpa mengalami kesulitan, tetapi ia juga merasa senang ketika mengetahui isi buku itu. Beberapa kali Alexander menemui Duchess di Ruang Besar agar Lady Debora tidak curiga, tetapi ia tidak pernah lebih dari sepuluh menit menemui kedua wanita itu. Rencana Alexander benar-benar sempurna, selama beberapa kali ia mengajak Lady Debora dan Maria ke rumahnya dengan berbagai alasan, wanita itu tidak nampak curiga. Sebaliknya wanita itu tampak semakin antusias. Demikian pula Baroness Lora ketika mengetahui apa yang telah terjadi. Wanita itu semakin memberi semangat putrinya untuk terus berusaha. Maria menduga itu karena wanita itu menduga rencananya hampir berhasil. Memikirkan kemungkinan rencana wanita itu berhasil, hati Maria menjadi sedih. Tetapi ia tidak menyadari perasaan apa yang membuatnya merasa demikian. Hari-hari Maria semakin dipenuhi kesibukan. Di pagi hari ia berjalan-jalan bersama Mrs. Vye kemudian berbicara bersama Alexander kadang-kadang mereka juga mengunjungi rumah Ityu. Di siang hari Maria menemani Lady Debora ke Blueberry House dan bercerita tentang mitos itu kepada Duke dan di malam hari ia juga bercerita lagi mengenai mitos itu kepada Ityu ditambah mengajari anak itu bahasa yang sulit itu. Tetapi itu semua tidak membuat Maria lelah ataupun bosan. Gadis itu tampak sangat menikmati kesibukannya. Suatu hal yang membuat Mrs. Vye dan ketiga pelayan lainnya di Sidewinder House merasa heran. 211
12
“Aku tidak percaya!” seru Lady Debora dari atas tempat tidurnya. Maria yang sibuk merapikan meja rias segera memalingkan wajahnya dan menatap heran kepada wanita itu. Lady Debora mengangkat tinggi-tinggi koran yang dibacanya dan kemudian membacanya kembali. “Lihatlah ini, Maria. Aku tidak dapat mempercayainya,” kata Lady Debora sambil menyerahkan koran itu pada Maria. Maria menerima koran itu dan melihat di halaman terdepan koran itu tertulis sederet huruf yang besar. PRINCESS MINERVA MENGHILANG Seluruh warga Xoechbee sedang berduka karena menyebarnya kabar yang mengatakan Princess Minerva yang mereka sayangi menghilang. Tidak ada yang tahu dari mana asal berita angin itu. Selain itu beredar pula kabar yang menyatakan Raja dan Ratu menjadi sedih karenanya dan Ratu jatuh sakit ketika mendengar berita ini. Kabar lain menyatakan Princess menghilang dalam kecelakaan kereta. Saat itu Princess dalam perjalanan pulang dari Castil yang berada di balik Death Rocks menuju Istana bersama pengasuhnya. Dalam kecelakaan itu, pengasuh Princess dan kusir kuda mengalami luka-luka yang cukup parah tetapi
mereka
masih
dapat
diselamatkan
sedangkan
Princess
sendiri
menghilang dalam kecelakaan itu. Keberadaan Princess Minerva yang hanya diketahui oleh warga Xoechbee membuat seluruh warga kota itu menjadi gempar ketika kabar ini menyebar. Sebagian dari Kerajaan Zirva yang tidak mengenal Princess bertanyatanya siapakah Princess Minerva itu? Tetapi hingga kini pihak Istana masih belum mengatakan apa-apa untuk menjelaskan apa yang telah dan tengah terjadi saat ini dan mengapa Princess Minerva tidak pernah terlihat hingga saat ini? 212
Dari seorang yang kami tanyai, kami mendapat informasi bahwa Princess jarang berada di Xoechbee sehingga menyebabkan ia jarang terlihat. Dari penduduk Xoechbee yang lain, kami mendapat keterangan bahwa untuk menjaga kesehatannya, maka Princess sering menghabiskan waktunya di luar Xoechbee. Pangeran Alcon yang mendapat banyak pertanyaan dari rakyat sewaktu ia mengunjungi penjara bawah tanah juga tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum. Tetapi dari seorang polisi yang menjaga penjara itu, berkata, “Seluruh polisi dan tahanan yang berada di penjara ini juga bertanya hal yang sama kepada Pangeran tetapi beliau hanya tersenyum saja. Kami semua, polisi dan tahanan, sangat menyayangi Princess, beliau amat baik dan kami merasa sedih ketika Princess dikabarkan menghilang.” Seorang warga yang cukup berpengaruh di Xoechbee yang enggan disebut namanya mengatakan, “Warga Xoechbee dan penghuni penjara bawah tanah Xoechbee telah memutuskan suatu tindakan tanpa menanti keterangan dari pihak Istana. Kami memutuskan untuk mencari Princess di Death Rocks. Tetapi karena sulitnya perjalanan untuk mencapai Death Rocks, kami memutuskan untuk menyediakan hadiah bagi siapa saja yang berhasil menemukan Princess yang kami sayangi tersebut.” Ketika ditanya bagaimana bila pihak Istana melarang tindakannya, ia mengatakan, “Kami tidak takut apa yang akan dilakukan oleh Istana. Mengapa hingga kini mereka tidak segera menangani urusan yang sangat penting ini?” Pria itu juga mengatakan, “Saya pernah sekali bertemu dengan Princess dan saya terpesona padanya. Saya akan selalu mengingat Princess. Siapapun yang bertemu dengan Princess tidak akan dapat melupakannya, mereka
akan
segera
menyayanginya
karena
kebaikan
hati
yang
ditunjukkannya.” Ketika ditanya bagaimana ciri-ciri Princess, pria itu berkata, “Princess memiliki rambut pirang dan wajah yang cantik, selebihnya sukar dikatakan. Tetapi yang pasti, Princess selalu disayang siapa pun.” Pria itu menegaskan siapa pun yang menemukan orang yang tak dikenal diharapkan segera mengatakannya kepada dirinya agar bisa dikenali apakah itu benar Princess atau bukan. 213
Maria melipat kembali koran itu dan menyerahkannya kepada Lady Debora. “Bagaimana? Luar biasa bukan?” kata Lady Debora, “Aku pernah mendengar
tentang
Princess
dalam
pesta
dansa
keluarga
Blueberry.
Bayangkan, Maria bila aku berhasil menemukan Princess. Aku akan mendapat hadiah yang sangat banyak.” “Tetapi, Tuan Puteri, Anda tidak pernah bertemu Princess dan siapa yang akan mengantar Anda ke sana? Death Rocks sangat jauh dari sini,” kata Maria. “Princess pasti bisa segera cocok denganku, aku yakin itu dan jangan ikut campur urusanku, Maria. Dengan siapa aku akan pergi, itu bukan urusanmu. Sekarang cepat panggil Mr. Liesting, aku mempunyai rencana.” Maria meninggalkan Lady Debora dan segera memanggil Mr. Liesting yang seperti biasanya sibuk membersihkan halaman. “Ada apa, Maria?” tanya Mr. Liesting ketika melihat Maria mendekat. “Tuan Puteri memanggil Anda,” jawab Maria. “Baiklah, aku akan segera ke sana.” Tak lama kemudian, Maria kembali lagi ke kamar Lady Debora bersama Mr. Liesting. Sebelum memasuki ruangan itu, Maria mengetuk pintunya dan mendapat sambutan yang penuh semangat dari Lady Debora. Wanita itu sudah turun dari tempat tidurnya. Ia sedang menyisir rambutnya di depan meja rias. “Mr. Liesting, aku ingin engkau segera menyampaikan surat ini,” katanya sambil menyerahkan sehelai surat. “Baik, Tuan Puteri,” kata Mr. Liesting sambil menerima surat itu. Setelah Mr. Liesting meninggalkan kamar itu, Lady Debora berkata, “Sekarang bantu aku, Maria. Jangan lamban seperti itu. Aku harus sesegera mungkin bersiap-siap.” Maria segera melayani wanita itu dengan terampil. Kali ini Maria tidak banyak mengatakan apa-apa tentang pendapatnya, perhatian Maria terpecah karena berita itu. Maria merasa sedih karena berita itu. Ia merasa kasihan pada seluruh warga Xoechbee yang kehilangan Princess yang mereka sayangi. Ketika Maria telah menyelesaikan tugasnya, Lady Debora segera meninggalkan kamarnya. Kemudian Maria merapikan kamar Lady Debora. Tak lama kemudian, Lady Debora muncul lagi dengan wajah yang kesal. 214
“Ada apa, Tuan Puteri?” tanya Maria. “Aku tidak percaya!” kata Lady Debora marah. Maria terkejut melihat kemarahan Lady Debora yang baru pertama kali ini dilihatnya. Walaupun wanita itu sering marah-marah padanya, tetapi baru kali ini ia melihat wajah Lady Debora penuh dengan kemarahan. “Ada apa?” tanya Baroness Lora yang tiba-tiba muncul mendengar teriakan kemarahan putrinya, “Apa yang kaulakukan pada anakku, Maria?” “Saya tidak melakukan apa-apa,” jawab Maria. Lady Debora membalik badannya dan memeluk ibunya, “Aku tidak percaya, Mama. Alexander menolak ajakanku.” “Apa yang terjadi?” tanya Baroness Lora tak mengerti, “Ke mana engkau akan mengajak Alexander di hari sepanas ini?” Maria mengambil surat kabar yang diletakkannya di tempat tidur Lady Debora dan menyerahkannya kepada Baroness Lora. Baroness Lora menerimanya dengan kasar. Dan seperti halnya Lady Debora, ia membelalak terkejut ketika membaca berita yang tertulis di halaman depan koran itu. “Luar biasa! Bayangkan bila kita menemukan Princess terlebih dulu, kita akan mendapat hadiah yang sangat besar,” kata Baroness Lora. “Itulah Mama yang ingin aku lakukan. Tetapi Alexander menolak ajakanku, ia mengatakan lebih baik kita menunggu berita selanjutnya karena mungkin saja Princess sudah ditemukan atau berita itu hanya kebohongan saja.” Baroness Lora terdiam. “Mungkin Alexander ada benarnya. Death Rocks bukan tempat yang mudah ditempuh, tempat itu sangat terjal. Aku pernah mendengarnya dari Papamu, katanya tempat itu sangat berbahaya.” “Tetapi, Mama, bagaimana bila kita didahului oleh orang lain. Aku tidak ingin orang lain mendahuluiku. Aku ingin menjadi sahabat karib Princess dan bila mungkin aku ingin menjadi istri Pangeran.” “Pasti menyenangkan sekali bila engkau menjadi Ratu. Tetapi berbahaya bila engkau pergi ke tempat itu tanpa rencana lebih dulu,” kata Baroness Lora. Maria ingin mengatakan sesuatu tetapi ketika melihat tatapan Baroness Lora yang penuh kemarahan kepada dirinya, ia tidak jadi mengatakannya. “Sekarang biarkanlah Alexander yang merencanakannya dan kita akan menanti berita selanjutnya,” kata Baroness Lora menenangkan putrinya. 215
“Baiklah, Mama.” Walaupun Lady Debora telah menyetujui usul ibunya, tetapi sepanjang hari itu Lady Debora tidak dapat melepaskan bayangannya dari kemungkinan itu. Sepanjang hari Lady Debora tampak sangat gelisah seperti ingin segera menanti hari esok tiba. Maria juga tidak dapat melepaskan pikirannya dari pembicaraan kedua wanita itu. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Alexander bila mengetahui hal ini. Sejak Alexander mengundang mereka ke rumahnya, Maria tahu pria itu menyadari sesuatu yaitu dirinya tidak sebanding dengan Lady Debora maka ia memilih Lady Debora. Sering kali ia berusaha mengusir perasaan itu, tetapi ia tidak dapat melakukannya. Dugaan itu terus terngiang di benaknya. Di samping itu ia juga tidak dapat membiarkan Lady Debora memasuki Death Rocks dengan sembarangan. Terlalu berbahaya memasuki Death Rocks dengan sembarangan, tempat itu adalah tempat suci bagi suku Deady. Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada Lady Debora maupun Baroness Lora karena kedua wanita itu tidak mempercayai mitos. Satu-satunya harapannya untuk mencegah Lady Debora mendekati tempat itu adalah Alexander. Maria tidak berharap dapat melakukannya saat Alexander mengajak mereka pergi seperti kebiasaannya akhir-akhir ini sejak pesta itu. Apa yang diduga Maria memang benar. Ia sama sekali tidak dapat berbicara dengan Alexander tanpa kehadiran Lady Debora. Lady
Debora
sama
sekali
tidak
mau
meninggalkan
Alexander.
Tangannya terus menggandeng mesra tangan Alexander. Selama perjalanan ke Blueberry House, Maria sama sekali tidak melihat ke Alexander maupun ke Lady Debora. Ia merasa hatinya bergejolak karena suatu perasaan yang tak dikenalnya setiap kali ia melihat kedua orang itu. Hari ini Maria sama sekali tidak dapat berhenti memikirkan berita yang dibacanya di koran tadi pagi. Tulisan-tulisan itu terus terbayang di matanya. Perhatian Maria yang biasanya selalu terpaku pada keindahan Sungai Alleghei yang mereka lalui kini tampak menerawang. Tidak ada yang nampak di mata Maria selain pandangannya yang menerawang. 216
“Hingga kapan engkau akan duduk di sana?” Maria terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia segera menyadari kereta yang mereka tumpangi telah sampai di House. Maria segera turun dan kereta dan seperti biasanya ia segera pergi ke Ruang Perpustakaan setelah mengantar Lady Debora menemui Duchess di Ruang Besar. “Hari ini aku mempunyai kejutan untukmu,” kata Alexander. Maria
memandang
tak
mengerti kepada
Alexander
yang
hanya
tersenyum. Alexander masih tersenyum ketika ia membukakan pintu Ruang Perpustakaan untuk Maria. Maria melihat seseorang duduk di depan Duke. Ia merasa pernah melihat pria yang duduk membelakangi pintu itu. Kedua orang itu segera menghentikan percakapan mereka ketika Maria dan Alexander memasuki ruangan itu. Maria terkejut ketika pria yang duduk di depan Duke memalingkan kepalanya. Pria itu berdiri dan menyambut Maria. Sebelum Maria sempat berkata apa-apa, pria itu menarik tangan Maria dan menciumnya. “Senang dapat berjumpa dengan Anda lagi, Mr. Townie,” kata Maria dengan tersenyum. “Aku juga senang dapat berjumpa denganmu, Maria,” kata Trown Townie. Trown Townie mengamati wajah Maria. “Aku tidak percaya gadis inilah yang kutemui di pesta dansamu, Shaw. Ia jauh lebih cantik dari yang kulihat. Dan matanya membuatku merasa kagum,” kata Trown Townie. “Telah kukatakan kepadamu ia memiliki mata yang sangat indah. Mata ungu yang bening dan jernih,” kata Duke. “Aku percaya jika saat itu Maria tidak mengenakan topeng, ia akan jauh lebih menarik perhatian tamu-tamu. Matanya benar-benar mengagumkan,” kata Trown Townie. “Anda terlalu berlebihan, Mr. Townie. Tidak ada yang menarik dari mata saya, Anda sendiri yang membuatnya terasa menarik,” kata Maria merendah. “Duduklah, Maria. Jangan kaubiarkan Trown membuatmu terus berdiri,” kata Duke. 217
Trown Townie menarikkan kursi untuk Maria. Maria mengangguk dan tersenyum kepadanya kemudian duduk. “Hari ini aku mempunyai kabar yang pasti akan membuat kalian merasa terkejut,” kata Trown Townie antusias. “Kabar apa?” tanya Duke. Trown Townie segera menjawab cepat dan penuh semangat, “Princess hilang!” Duke tertawa mendengar jawaban itu. “Engkau terlambat. Hari ini seluruh penduduk Kerajaan Zirva mengetahui berita itu. Lihatlah ini.” Trown Townie mengambil koran yang diberikan Duke padanya. Setelah membaca koran itu, Trown Townie mengeluh. “Aku terlambat. Aku terburu-buru berangkat ke sini tadi pagi sehingga tidak sempat membaca koran,” keluh Trown Townie, “Maksudku menjadi orang pertama yang memberi tahu kalian mengenai kabar ini ternyata koran ini telah mendahuluiku. Tetapi tidak apa, aku yakin kalian pasti masih bingung dengan berita ini.” “Ya, aku memang bingung. Mengapa ini semua bisa terjadi,” kata Duke sambil menunjuk koran. “Aku mendengar berita hilangnya Princess ini ketika aku kembali ke Xoechbee. Saat itu masyarakat ribut sehubungan dengan menyebarnya kabar hilangnya Princess Minerva. Kudengar dari beberapa orang, Princess sedang dalam perjalanan pulang dari Foentza saat itu.” “Aku tahu itu. Di koran telah disebutkan,” sela Duke. “Aku juga tahu tetapi diam dan dengarkanlah apa yang akan kukatakan ini karena kalian pasti akan terkejut mendengarnya seperti halnya aku ketika mengetahuinya,” kata Trown Townie. “Baik. Teruskan ceritamu, aku tidak akan menyela,” kata Duke. “Saat itu seharusnya Princess tidak berada di Foentza.” “Mengapa Princess berada di Foentza? Bukankah seharusnya ia berada di Istana Plesaides pada musim semi?” kata Duke. Trown Townie terkejut. “Dari mana engkau mengetahuinya?” “Mathwe yang mengatakannya kepadaku,” jawab Duke. Sekali lagi Trown Townie mengeluh, “Tidak ada lagi yang akan kuceritakan kepada kalian. Semua yang semula akan mengejutkan kalian ternyata telah kalian ketahui.” “Bagaimana keadaan pengasuh Princess dan kusir kudanya?” tanya 218
Maria cemas. “Kudengar mereka terluka cukup parah tetapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan selain hilangnya Princess. Luka-luka kedua orang itu telah sembuh tetapi sang putri belum ditemukan,” kata Trown Townie. Maria merasa bingung pada perasaan lega yang muncul di dadanya setelah mendengar jawaban itu. Alexander memanfaatkan keheningan yang muncul di antara mereka, “Kurasa percakapan kita hari ini cukup. Aku ingin mengajak Maria pergi bila kalian tidak keberatan.” “Tentu tidak,” kata Duke dan Trown Townie bersamaan. “Ayo, Maria,” kata Alexander sambil membantu Maria berdiri. Maria mengikuti Alexander tanpa banyak berkata apa-apa. “Kita akan ke mana?” tanya Maria pada akhirnya. “Aku ingin mengajakmu berkuda. Selama engkau berada di Obbeyville, engkau tidak pernah berkuda, bukan?” kata Alexander. “Tetapi saya tidak tahu apakah saya bisa berkuda,” kata Maria cemas. “Jangan khawatir. Kita akan membuktikannya,” kata Alexander. Maria diam saja bahkan ia tetap diam ketika mereka bertemu dengan Lady Debora dan Duchess yang sedang melangkah meninggalkan Ruang Besar. Lady Debora memandang curiga pada Maria. Alexander menyadari hal itu dan segera berkata, “Di sini engkau rupanya. Aku baru saja menyuruh Maria untuk mencarimu. Tetapi ia tidak dapat menemukanmu, maka aku membantu Maria mencarimu.” “Mengapa engkau mencariku?” tanya Lady Debora. “Aku ingin bertanya apakah engkau mau berkuda denganku? Kurasa sayang sekali bila kita melewatkan hari yang indah ini,” kata Alexander. Lady Debora tersenyum senang, “Tentu saja bila Duchess tak keberatan aku meninggalkannya.” Duchess cepat-cepat berkata, “Tidak, aku sama sekali tidak keberatan. Pergilah, Al benar sayang sekali bila hari secerah ini dilewatkan begitu saja.” “Mari kira pergi,” kata Alexander. Lady Debora melirik tajam ketika Maria juga mengikuti mereka. Alexander cepat-cepat bertindak sebelum Lady Debora merasa semakin curiga, “Aku memintanya untuk ikut dengan kita. Kurasa ada baiknya kita mengajaknya.” 219
Lady Debora pura-pura tersenyum senang padahal di dalam hatinya ia merasa jengkel karena gangguan yang ditimbulkan oleh Maria. Lady Debora memalingkan pandangannya dari Maria dengan angkuh dan ia segera merangkulkan tangannya di lengan Alexander. Maria berusaha mengalihkan pandangannya dari pemandangan yang membuatnya merasa tidak enak itu. Alexander menyuruh pelayan menyiapkan kuda bagi mereka. Sambil menanti, Maria memperhatikan halaman Blueberry House yang tampak indah dengan daun-daun yang mulai menguning. “Engkau tidak ikut berkuda?” tanya Alexander. “Terima kasih tetapi saya khawatir saya tidak dapat mengendarai kuda,” jawab Maria. “Cobalah dulu. Siapa tahu engkau dapat,” kata Alexander. Maria menggelengkan kepalanya lagi. Lady Debora yang telah duduk di atas kuda berkata, “Biarkanlah ia, Alexander. Ia pasti tidak dapat mengendarai kuda. Lebih baik kita segera berangkat selagi hari masih belum terlalu panas.” Alexander tidak mempedulikan ucapan Maria, ia terus mencoba membujuk Maria. “Cobalah, Maria.” “Tuan Puteri benar, Tuan Muda. Lebih baik Anda berdua segera berangkat selagi hari masih belum terlalu panas,” kata Maria menolak bujukan Alexander. “Aku tidak tega membiarkanmu terus berdiri di sini sambil menanti kami. Lebih baik engkau duduk di depanku selagi aku mengendalikan kuda,” kata Alexander. “Tidak. Saya lebih suka menanti di sini.” “Aku tidak tega membiarkanmu berdiri di sini, Maria.” “Tidak apa-apa. Saya dapat menanti di dalam.” “Sudahlah, Alexander. Ia tidak mau ikut, jangan engkau paksa,” kata Lady Debora jengkel. Sekali lagi Alexander mengabaikan Lady Debora, “Bila engkau tidak ikut, Maria, aku tidak jadi pergi.” Maria terkejut mendengar perkataan Alexander dan sebelum Lady Debora sempat berkata apa-apa, ia segera bertindak. “Baiklah, saya akan ikut. Saya tidak akan ikut di kuda Anda, saya akan naik kuda lain.” 220
Jawaban yang diberikan Maria membuat Alexander tersenyum senang dan Lady Debora menahan marah. Tanpa
mempedulikan
Lady
Debora
yang
sejak
tadi
memendam
kemarahannya, Alexander segera menaikkan Maria ke atas kuda. Maria merasa gaun pelayan yang dikenakannya terasa menganggu ketika ia berada di atas kuda. Tetapi perasaan itu segera digantikan perasaan lain yang tiba-tiba muncul saat ia mulai menyentakkan tali kendali kuda itu. Mula-mula Maria seperti halnya Alexander dan Lady Debora, merasa terkejut melihat kemampuannya mengendarai kuda. Tetapi tak lama kemudian Maria merasakan kerinduan yang akhir-akhir ini sering muncul di dadanya. Maria merasa rindu pada masa lalunya pada kenangan-kenangan masa kecilnya yang terlupakan. Maria ingin sekali segera mengingat semuanya tetapi sepertinya semua masa lalunya takkan pernah muncul kembali. Maria telah lama berada di Obbeyville dalam keadaan hilang ingatan tetapi hingga kini ia tidak dapat mengingat apa pun. Hanya potonganpotongan kecil dari masa lalunya saja yang pernah muncul dalam benaknya tetapi tetap tidak dapat diingat Maria.
221
13
Ketika Maria bertemu dengan Alexander keesokan harinya, Maria telah merencanakan untuk membicarakan masalah hilangnya Princess Mincerva segera setelah ia bertemu. Kemarin ketika mereka berada di Blueberry House tidak ada yang dapat dilakukan Maria untuk membuat ia dan Alexander hanya berdua. Dan pagi ini Maria tidak mau membuang waktu yang ada. “Selamat pagi,” kata Maria. “Selamat pagi, Maria.” “Anda telah mendengar berita itu?” tanya Maria walaupun ia telah tahu jawabannya. “Ya. Engkau juga telah membacanya bukan? Aku terkejut sekali ketika membacanya. Aku rasa semua orang juga terkejut mendengarnya terutama setelah berita kemarin.” “Saya hanya ingin memperingatkan Anda untuk tidak menuju Death Rocks. Lebih baik Anda menghindari tempat itu bila Anda ingin selamat.” “Engkau berkata seperti aku akan menghadapi pasukan iblis bila aku ke Death Rocks.” “Itulah yang Anda hadapi bila Anda ke sana,” kata Maria. “Aku ingin ke sana. Aku ingin melihat tempat kecelakaan yang menimpa Princess.” “Saya juga ingin ke sana tetapi tempat itu terlalu berbahaya untuk didekati
dengan
sembarangan,
bila
Anda
bersikeras
ke
sana,
saya
mengusulkan untuk pergi di pagi hari,” kata Maria. “Mengapa demikian, Maria?” “Karena ada yang harus saya lakukan sebelum Anda ke sana. Saya harus mempersiapkan kedatangan Anda di sana. Katakanlah memintakan ijin kepada penghuni tebing itu. Dan satu pesan saya, kembalilah sebelum matahari tenggelam.” Alexander tersenyum mendengar kata-kata Maria, “Engkau telah mengingat sesuatu yang penting? Engkau bersikeras mencegahku ke Death Rocks.” 222
“Saya tidak dapat mengatakannya kepada Anda, tetapi memang benar tempat itu berbahaya dan saya seharusnya mencegah Anda ke tempat itu.” “Tetapi engkau tidak dapat menghentikan saya bukan?” “Ya, karena Anda memang tidak dapat dihentikan,” kata Maria sambil tersenyum. “Akhirnya…” “Akhirnya?” tanya Maria keheranan. “Akhirnya engkau tersenyum,” kata Alexander sambil menarik tubuh Maria, “Sejak tadi engkau berbicara dengan serius sekali tidak seperti Maria yang selama ini kukenal senang tersenyum.” Maria tersenyum geli, “Karena hal itu memang sangat serius, maka saya harus mengatakannya dengan serius pula.” “Kalau engkau tersenyum, engkau sangat cantik. Tetapi lebih cantik lagi bila engkau tertawa. Dan sayang sekali aku tidak dapat membuatmu tertawa, engkau hanya pernah sekali tertawa yaitu ketika kita melihat matahari terbit, setelah itu tidak pernah lagi,” kata Alexander. Alexander menunduk tetapi kemudian segera melepaskan Maria. “Aku ingin menciummu tetapi engkau sekarang telah menjadi bidadari. Aku baru saja menyadarinya,” kata Alexander, “Benarkah itu, Maria? Jarang ada orang yang mengetahui itu. Walaupun hampir seluruh buku itu telah kauartikan untuk kami, tetapi aku tidak mengetahui masalah larangn mendekati Death Rocks itu.” “Saya tidak ingat, saya hanya ingat saya harus mencegah orang yang hendak ke sana.” “Engkau pasti bidadari yang diutus untuk mencegah kami semua mendekati Death Rocks. Dan Bila tugasmu telah usai, engkau akan kembali ke Holly Mountain.” “Saya tidak tahu,” kata Maria. “Sekarang
katakan
kepadaku
apa
yang
harus
kulakukan,”
kata
Alexander. “Hanya satu yang hendak saya katakan kepada Anda, jangan pergi ke Death Rocks hari ini pergilah ke sana esok pagi,” kata Maria. “Hanya itu?” tanya Alexander, “Aku merasa engkau masih ingin mengatakan yang lain dan banyak yang akan kaukatakan.” “Untuk sementara hari ini cukup ini saja,” kata Maria. “Tidakkah engkau menyadari, Maria, engkau menjadi seorang yang 223
sangat berbeda dari Maria yang biasanya bila engkau berbicara dengan serius,” kata Alexander. “Apa yang saya katakan ini memang penting karena ini menyangkut keselamatan Anda bila Anda ingin selamat,” kata Maria. “Engkau akan ke mana?” tanya Alexander ketika melihat Maria sejak tadi hendak pergi. Maria tersenyum. “Menyelesaikan tugas terakhir saya.” “Dan setelah itu engkau akan menghilang?” tanya Alexander cemas. “Saya tidak tahu. Tolong jangan cegah saya melakukan tugas terakhir saya di pagi ini,” kata Maria melihat Alexander hendak mencegahnya pergi. “Tetapi kita baru saja bertemu, Maria. Dan engkau seperti ingin segera menghindar dariku. Apakah ini semua karena berita yang menggemparkan itu?” “Saya tidak tahu. Tetapi saya memang harus segera menyelesaikan tugas terakhir saya di pagi hari ini bila saya tidak ingin menyesal di kemudian hari.” “Semua orang sibuk membicarakan Princess,” kata Alexander. “Saya tahu. Semua orang pasti terkejut bila mendengar nama seseorang yang penting yang tidak pernah didengarnya apalagi bila ia adalah putri raja,” kata Maria. “Aku ingin tahu apakah berita itu benar,” kata Alexander. Maria tersenyum, “Seperti yang Anda katakan. Kita hanya dapat menanti berita selanjutnya. Saya kira berita tentang Princess akan terus berlangsung hingga semuanya menjadi jelas. Bahkan mungkin ketika semuanya menjadi jelas, mereka tidak akan berhenti membicarakan dirinya.” “Aku juga menduga seperti itu,” kata Alexander, “Aku yakin Trown Townie sangat tertarik mendengar berita pagi ini.” “Mengingat betapa semangatnya ia kemarin saat menceritakan hal itu kepada kita, saya menduga ia pasti juga ikut dalam rombongan orang yang ingin menemukan Princess,” kata Maria. “Apakah aku harus menemukannnya dan mencegahnya pergi?” tanya Alexander sambil tersenyum. Maria tahu Alexander bertanya tidak dengan sungguh-sungguh tetapi Maria menganggap pertanyaan itu serius apalagi di keadaan seperti ini. Di mana semua orang ingin pergi ke Death Rocks yang sebenarnya merupakan tempat berbahaya. 224
“Bila Anda bertemu dengannya, cegahlah ia,” kata Maria dengan tersenyum, “Dan sekarang jangan menghalangi saya lagi.” Walaupun Maria telah meminta Alexander untuk tidak menghalanginya, tetapi pria itu tetap menghalangi Maria. Alexander menarik tangan Maria ketika gadis itu hendak pergi. “Engkau akan ke mana?” tanya Alexander, “Aku akan mengantarmu.” Maria menggeleng dan tersenyum, “Anda akan menyesal bila ikut saya.” “Aku tidak akan menyesal, Maria. Aku telah cukup mengenalmu dan selama ini engkau tidak pernah membuatku merasa menyesal,” kata Alexander bersikeras. “Saya tahu Anda memang tidak dapat dicegah dan Anda tidak ingin dicegah siapa pun bila Anda memiliki suatu keinginan,” kata Maria. “Engkau telah mengetahuinya karena itu engkau harus mengijinkan aku mengantarmu.” “Baiklah,” kata Maria mengalah, “Saya ingin menemui Quiya.” “Untuk menyelesaikan ‘ijin’ku?” “Hanya itu yang dapat saya lakukan untuk saat ini,” kata Maria. Alexander mengantar Maria ke rumah Quiya. Tidak ada yang berbicara ketika mereka berjalan mendekati rumah itu. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing. Quiya dan Quiyi terkejut ketika melihat Maria datang bersama Alexander.
Sedangkan
Ityu
tampak
sangat
senang.
Anak
itu
berlari
menyambutnya. “Selamat pagi,” kata Ityu. “Selamat pagi, Ityu. Bagaimana pelajaranmu? Apakah engkau sudah menguasai apa yang aku ajarkan kepadamu?” kata Maria. “Hampir. Saya akan belajar terus sampai saya bisa membaca dengan lancar seperti Anda,” kata Ityu. “Selamat pagi, Quiya. Dapatkah saya berbicara berdua saja dengan Anda?” kata Maria dengan tegas. Ketegasan Maria mengeluarkan setiap patah kata membuat Alexander merasa terkejut. Selama hampir tiga bulan ia mengenal Maria, ia selalu mendengar tutur kata gadis itu selalu lembut. Tidak pernah terdengar ketegasan di dalam nada bicaranya tetapi apa yang dikatakannya selalu diperbuat orang lain. 225
Alexander hanya dapat menduga apa yang akan dibicarakan Maria dengan Quiya adalah sesuatu yang sangat penting sehingga Maria berkata tegas. “Tentu saja,” kata Quiya. Quiya segera membawa Maria ke sebuah ruangan kecil yang penuh peralatan yang sering digunakannya untuk melakukan upacara di Sungai Alleghei. Dalam keadaan biasa, Maria akan memperhatikan alat-alat itu. Tetapi kini ia tidak dapat memusatkan perhatiannya kepada hal yang lain. Ia sangat mencemaskan keselamatan Alexander bila pria itu tetap bersikeras ke Death Rocks. “Adakah yang dapat saya bantu?” tanya Quiya. “Anda telah mengetahui Death Rocks dan mitos yang terpendam di sana?” “Saya kurang tahu mengenai itu,” jawab Quiya. “Anda telah mendengar berita menghilangnya Princess di Death Rocks?” tanya Maria lagi. “Ya. Berita itu membuat saya sempat terkejut.” “Apakah
Anda
menyadari
bahaya
yang
timbul
bila
orang-orang
memaksa diri mereka ke Death Rocks?” Melihat Quiya tidak mengerti apa yang dikatakannya, Maria berkata lagi, “Kali ini saya akan menceritakan mitos ketiga itu kepada Anda. Sebagai salah satu dari suku Deady dan sebagai seorang dari ketiga Quiya Anda berhak mengetahuinya.” Quiya duduk diam menatap wajah Maria yang tetap tenang namun serius. “Di Obbeyville, penduduk percaya ketika sinar matahari di musim panas telah memerah di ujung barat, mereka harus segera menyembunyikan dirinya karena dari sanalah para iblis itu muncul. Di ujung barat tempat matahari tenggelam itu adalah Death Rocks. Dan dari sanalah para iblis berasal.” “Death Rocks adalah tempat tinggal para iblis?” kata Quiya tak percaya. “Itulah
sebabnya
berbahaya
bila setiap
orang
dengan
gegabah
mendekati tempat itu. Dan itu pula sebabnya mitos ketiga itu disembunyikan. Suku Deady takut bila penduduk lainnya mengetahuinya, mereka tidak akan diterima di manapun karena mereka dianggap sebagai ‘anak-anak setan’.” 226
“Dulu mitos itu tidak disembunyikan. Banyak orang selain suku itu yang juga mengetahuinya karena itu ada buku kuno itu yang menceritakan keseluruhan mitos yang ada di Kerajaan Zirva.” “Mengapa
kemudian
suku
Deady
memutuskan
untuk
menyembunyikannya?” tanya Quiya. “Hal itu terjadi ketika suku Deady memiliki musuh, suku Hodly yang tinggal di Holly Mountain. Kedua suku itu bermusuhan seperti para dewa di Holly Mountain dengan setan di Deady. Semula kedua suku itu hidup rukun, tetapi segalanya berubah ketika nafsu serakah manusia tidak terbendung lagi. keduanya mulai bersaing dalam segala hal dan akhirnya menimbulkan permusuhan yang sangat hebat. Seperti para dewa dan setan, mereka juga saling berperang.” “Aku tidak pernah mendengar nama suku Hodly,” kata Quiya. “Suku itu punah,” kata Maria sedih, “Berbeda dengan perang antara dewa dengan iblis, suku itu mengalami kekalahan total. Tidak seorang pun di antara suku itu yang tersisa dan mitos di sana tidak pernah terdengar.” “Tragis sekali,” kata Quiya. Maria mengangguk. “Setelah perang itu selesai, suku Deady mulai menyadari bahwa mitos yang ada di antara mereka itu tidak menguntungkan, karena itu mereka berusaha menyembunyikan mitos itu dari pengetahuan orang di luar suku itu. Mereka tidak ingin seorangpun tahu bahwa mereka tinggal di Death Rocks yang merupakan tempat bersemayamnya para iblis. Mereka tidak ingin mendapat sebutan seperti yang diberikan suku Hodly, ‘anak-anak setan’.” “Sekarang saya mengerti mengapa mitos itu disembunyikan dari pihak manapun
di
luar
suku
itu,”
kata
Quiya,
“Tetapi
mengapa
Anda
mengetahuinya?” “Hingga saat ini saya tidak dapat mengingatnya,” kata Maria, “Saya juga harus mengatakan kepada Anda bahwa sesungguhnya iblis yang tinggal di Death Rocks adalah dewa yang menentang dewa-dewa yang tinggal di Holly Mountain.” “Cerita ini sangat luar biasa hingga saya merasa sukar untuk mempercayainya.” “Apa yang saya katakan ini adalah yang saya ketahui. Saya tidak mengkhayal,” kata Maria tenang, “Suku Deady benar-benar masih ada di pedalaman Death Rocks dan mereka terus menyembunyikan mitos itu dari 227
orang di luar mereka sendiri.” “Setelah mereka menyembunyikan mitos itu, sebagian dari mereka menyebar ke berbagai penjuru dan sebagian menyembunyikan diri di Death Rocks?” “Ya, demikianlah yang terjadi.” “Orang tua saya telah lama berada di luar Death Rocks tetapi keduanya sama-sama keturunan asli suku itu, di antara nenek moyang mereka belum ada percampuran dengan suku lain. Sedangkan ayah istri saya asli dari Death Rocks. Walaupun begitu, ia tidak pernah bercerita apa-apa mengenai itu.” “Sekarang banyak suku Deady yang membaur dengan suku lain dan semakin sedikit orang yang benar-benar keturunan suku itu. mungkin itulah yang membuat ayah Quiyi kurang mempercayai Anda,” kata Maria. “Ya, sekarang saya tahu itu. Dan apakah yang dapat saya bantu? Anda tiba-tiba memutuskan untuk menceritakannya kepada saya tentu karena Anda ingin saya membantu Anda?” “Anda benar, Quiya. Saya bukan orang dalam suku Deady karena itu saya tidak dapat berbuat banyak tetapi saya tahu Anda bisa melakukannya. Dapatkah Anda mengadakan upacara untuk melindungi mereka yang pergi ke Death Rocks?” tanya Maria. “Anda memang seorang bidadari yang diutus untuk menolong orangorang yang akan ke Death Rocks,” kata Quiya. “Saya tidak tahu tentang itu, tetapi saya ingin mengetahui apakah Anda dapat melakukannya hari ini dan di dalam rumah ini?” Quiya berpikir sambil melihat sekeliling ruangan, “Saya tidak tahu. Sukar untuk mengatakannya. Selama ini upacara yang saya adakan selalu diadakan di luar ruangan selain itu Anda memintanya dengan sangat mendesak.” “Saya berharap kepada Anda, Quiya. Keselamatan mereka tergantung pada Anda,” kata Maria. Quiya
mengangkat
bahunya,
“Bila
Anda
memaksa,
saya
akan
mencobanya.” “Terima kasih, Quiya. Saya tahu Anda dapat melakukannya,” kata Maria. Melihat kelegaan yang terpancar di mata Maria, Quiya tersenyum, “Rupanya
Anda
sangat
mencintainya
sehingga
Anda
sangat
mencemaskannya.” “Dia?” tanya Maria tak mengerti. 228
“Pria yang sering bersama Anda. Sejak penduduk Obbeyville melihat Anda berduaan dengannya, penduduk Obbeyville sering membicarakan Anda berdua.” Maria tersenyum, “Mereka akan lebih membicarakan saya bila mereka tahu apa yang saya katakan ini kepada Anda. Tetapi saya percaya mereka tidak akan tahu karena Anda juga tidak akan menceritakannya kepada siapa pun.” “Tentu, saya berjanji.” Maria meninggalkan ruangan itu dengan perasaan lega bercampur bingung. Ia
mencoba
menyadari
perasaannya
yang
sebenarnya
kepada
Alexander. Tetapi ia masih sukar menjawab pertanyaan yang terus menggema di telinganya sejak percakapannnya dengan Quiya. “Apakah memang benar aku mencintai Alexander?” tanya Maria pada dirinya sendiri, “Apakah itu bukan karena Alexander mirip seseorang di masa laluku? Apakah aku menyukai Alexander karena ia mirip dengan pria di masa laluku itu?” Sampai hari telah berganti, Maria masih tidak dapat menjawab pertanyaan yang terus menggema itu sehingga membuat ia sukar tidur. Ketika Maria bangun, hujan tengah mengguyur tanah. Tidak ada yang dapat dilakukan Maria di dini hari yang dingin itu, karenanya Maria duduk menghadap jendela sambil terus memikirkan masa lalunya dan pertanyaan yang terus bergaung di telinganya. Untuk pertama kalinya sejak ia berada di Obbeyville, Maria bertanya kepada dirinya sendiri, “Sebenarnya siapakah aku? Mengapa aku mengetahui banyak tentang mitos itu? Apakah yang dikatakan Quiya memang benar? Apakah aku seorang bidadari?” Maria terus memikirkan semuanya sambil mengawasi hujan yang terus turun dengan derasnya. Di akhir musim panas, alam tengah mempersiapkan datangnya musim yang baru, musim gugur. Hujan telah mulai mengguyur bumi bahkan tak jarang menyebabkan badai. Tak terasa hampir tiga bulan Maria berada Obbeyville tanpa sedikitpun ia dapat mengingat masa lalunya, seolah-olah masa lalunya telah benarbenar terkubur di kegelapan yang pekat. Maria tidak tahu apakah ia akan terus berada di Obbeyville bila 229
Alexander dan Lady Debora menikah. Memikirkan kemungkinan itu, membuat Maria sedih dan ingin menangis tetapi kebiasaannya yang selalu menahan perasaan membuatnya tidak melakukannya. Bahkan ketika Maria memikirkan kemungkinan itu, ia tidak dapat menyadari perasaannya yang sebenarnya kepada Alexander. “Apakah aku sedih karena Al mirip dengan pria di masa laluku? Apakah aku sedih karena bila Al menikah bagiku itu sama seperti pernikahan pria di masa laluku?” tanya Maria pada dirinya sendiri. “Pria di masa laluku, siapakah engkau? Mengapa aku tidak dapat mengingatmu bahkan tidak pernah dapat melihat wajahmu dengan jelas setiap kali aku merasa seperti berada di sisimu? Aku sangat merindukanmu, pria masa laluku.” Perasaan rindu yang terus memenuhi dadanya sejak ia mengingat keberadaan pria itu, tidak terbendung lagi. Untuk pertama kalinya pula sejak Maria berada di Obbeyville, ia meneteskan air mata. “Aku tidak mengerti semua ini seakan-akan tidak ada seorangpun yang ingin aku mengingat kembali masa laluku,” bisiknya pada hujan di luar yang mulai mereda. “Pria di masa laluku, bantulah aku. Aku tidak tahan dengan semua ini, aku tahu engkau selalu menjagaku, selalu melindungiku. Kini aku berharap engkau melindungi aku pula. Aku ingin semua ini segera berakhir. Aku tidak tahu apakah aku benar-benar mencintai Alexander ataukah aku mencintainya karena ia mirip denganmu,” kata Maria sambil menggenggam erat-erat kalung yang melingkari lehernya. “Apakah kalung ini juga darimu, pria di masa laluku?” tanya Maria pada sosok pria yang muncul di balik kabut masa lalunya. Maria melihat hujan telah mereda. Tetes air di dedaunan yang menguning berjatuhan ke tanah diselingi dengan jatuhnya dedaunan di tanah yang basah. Maria menyeka air mata yang masih tersisa di pipinya. Tetapi ia tidak bangkit dari tepi jendela itu. Ia tetap duduk di sana sambil mengawasi suasana pagi hari. “Aku takut,” kata Maria pada dirinya sendiri, “Pagi ini mereka akan ke Death Rocks dan aku tidak tahu apa yang akan menimpa mereka. Aku tidak 230
ingin mereka pergi ke sana di pagi yang basah seperti ini. Tentu perjalanan ke Death Rocks akan menjadi semakin sulit karenanya.” Maria terdiam sambil mengawasi kereta kuda milik keluarga Blueberry yang mendekati Sidewinder House. “Apa yang dapat kulakukan. Mereka akan pergi. Terlalu terlambat untuk mencegah mereka.” “Mengapa aku sangat ingin mencegah mereka pergi ke sana?” tanya Maria. Maria terdiam tetapi pandangan matanya tetap terpaku pada sosok pria yang tengah menuruni kereta kuda itu. “Tentu karena aku tidak ingin sesuatu yang tak kuharapkan terjadi pada mereka.” Jawaban yang dibuat Maria untuk menjawab pertanyaannya sendiri tidak membuat ia merasa puas. Ia merasa jawaban itu tidak tepat. Ketika ia melihat Lady Debora keluar dari Sidewinder House dengan berseri-seri di sisi Alexander, ia mengetahuinya. “Aku tidak ingin mereka pergi berdua. Mengapa?” Pertanyaan yang baru saja muncul membuat Maria terdiam entah untuk ke berapa kalinya sejak gadis itu duduk merenung di depan jendela. “Itu karena engkau mencintainya tetapi engkau enggan mengakuinya karena engkau takut menyadari cintamu tak terbalas,” kata suara hati kecilnya. Maria sadar apa yang dikatakan hati kecilnya itu memang benar. Ia mencintai Alexander sejak pertama kali mereka bertemu tetapi ia enggan mengakuinya karena tidak ingin sakit hati. Ia tidak ingin sakit hati melihat Lady Debora dan Alexander tampak semakin akrab setiap harinya sejak Alexander mengundang mereka ke rumahnya, karena itu ia tidak pernah mengakuinya. Maria kembali menitikkan air mata. “Percuma. Semuanya telah terlambat. Lady Debora memang lebih pantas untuk Alexander daripada aku, Alexander pasti telah menyadari hal itu. Aku tidak ingin melihat mereka pergi berdua. Aku takut menghadapi hari ini.” Maria memandang sayu pada langit yang terus menurunkan hujan dan mencoba membayangkan wajah seseorang yang sering muncul di tiap mimpinya tetapi tak pernah dapat dilihatnya dengan jelas, seolah-olah pria itu 231
berada di dalam kabut yang pekat seperti masa lalunya. “Pria di masa laluku, datanglah dan lindungilah aku, aku takut sekali. Aku takut menghadapi hari ini. Sejak aku bangun, aku melakukan sesuatu yang tak pernah kulakukan sejak aku kecil, aku merenungkan diriku sendiri.” Maria mempererat genggamannya pada leontin kalungnya. “Selama ini aku tidak pernah melakukannya tetapi hari ini aku melakukannya dan aku tidak pernah takut menghadapi hari-hari yang harus kujalani tetapi pagi ini aku merasa taku. Aku merasa sesuatu akan terjadi hari ini, sesuatu yang tidak dapat kuhindari.” Setelah menyeka air matanya yang terus mengalir di pipinya, Maria berkata dengan penuh keyakinan. “Jika ini memang yang telah ditakdirkan dewa, maka aku akan menjalaninya seperti biasanya. Biarlah aku terus mencintai Al walaupun ia tidak mencintaiku. Akan kujaga baik-baik perasaanku ini.” “Tetapi belum tentu ia tidak menyukaimu, mungkin saja ia seperti Duchess. Sebenarnya ia enggan melakukannya tetapi karena ia ingin mengajakmu pergi, maka ia beralasan ingin mengajak Lady Debora pergi,” kata hati kecilnya memberinya harapan, “Selain itu engkau harus ingat Lady Debora mempunyai niat untuk menikahi Pangeran bila ia berhasil menemukan Princess.” “Ya, itu mungkin saja. Aku terlalu mudah putus asa,” kata Maria meyakinkan dirinya sendiri, “Tetapi aku tidak dapat berharap lebih bila mengingat sikap kedua orang itu.” Maria menyeka air mata yang kembali membasahi pelupuk matanya dan membulatkan tekad untuk melihat ke halaman Sidewinder House. Ia terkejut ketika melihat kereta itu masih berada di sana. Suara ketukan di pintu kamarnya, membuat Maria segera bengkit dari tempatnya semula. “Maria, Alexander mengajakmu pergi. Engkau harus segera bersiap,” kata Mrs. Vye. Tanpa menanti apapun kata Maria, wanita itu segera menyiapkan Maria untuk pergi. Maria diam saja. Ia tidak berusaha mencegah Mrs. Vye, bahkan ketika ia dibawa Mrs. Vye ke sisi Alexander. “Aku rasa gaunmu kali ini cukup tebal sehingga aku tidak perlu khawatir engkau kedinginan,” kata Alexander. 232
“Sayang sekali hujan terus mengguyur bumi sejak tadi sehingga jalanjalan menjadi licin. Anda harus berhati-hati agar tidak terjadi apa-apa selama perjalanan Anda ke Death Rocks.” “Karena itulah engkau aku ajak. Aku tahu engkau pasti mengetahui apa yang harus kulakukan di pagi yang basah ini,” kata Alexander. “Anda harus memutari tebing itu. Bila dari Obbeyville kita terus berjalan ke barat, kita akan segera sampai ke Death Rocks tetapi jalan itu berbahaya terutama di jalan yang licin setelah hujan semalam. Satu-satu jalan yang paling aman adalah memutari Death Rocks dan dari Foentza kita menuju ke tujuan kita semula. Memang jalan itu lebih membutuhkan waktu lebih lama tetapi lebih aman,” kata Maria. “Aku tahu engkau dapat mengatasi masalah ini,” kata Alexander. Selama
perjalanan,
Maria
menyibukkan
diri
dengan
menatap
pemandangan yang mereka lalui. Tetapi perhatiannya tidak benar-benar tercurah ke sana. Maria teringat pada pagi sebelumnya ketika Lady Debora membaca koran dengan penuh semangat. Dan ketika wanita itu menemukan apa yang dicarinya, ia berseru senang. “Berita itu memang benar. Panggilkan Mr. Liesting, Maria,” katanya. Maria segera meninggalkan kamar itu dan kembali bersama Mr. Liesting. “Antarkan surat ini,” kata Lady Debora sambil menyerahkan sepucuk surat kepada Mr. Liesting. Setelah menerima surat itu, Mr. Liesting segera menghilang. Maria telah menduga kepada siapa Lady Debora mengirimkan surat itu. Kali ini Lady Debora tidak terburu-buru menyiapkan dirinya. Wanita itu hanya duduk di depan meja rias sambil mencari-cari perhiasan. Maria meraih koran yang diletakkan Lady Debora di tempat tidurnya dan membaca halaman pertama yang bertuliskan besar-besar. PRINCESS MINERVA RESMI DINYATAKAN MENGHILANG Akhirnya Istana mengeluarkan penjelasannya setelah melihat reaksi masyarakat terhadap berita hilangnya Princess Minerva. Menteri Dalam Negeri dalam pidatonya di depan Istana Plesaides mengatakan Princess Minerva telah menghilang di Death Rocks sejak tiga 233
bulan yang lalu. Princess menghilang dalam kecelakaan kereta yang menimpanya di Death Rocks. Saat itu Princess dalam perjalanan menuju Small Cottage dari Castil Yonga di balik Death Rocks. Menteri Dalam Negeri juga menjelaskan sebab Princess jarang terlihat. “Princess bukan ingin menghindari kita tetapi Princess harus menghindar dari cuaca yang dapat menyebabkannya sakit. Sebenarnya Princess juga tidak ingin sering meninggalkan Xoechbee tetapi karena kondisi kesehatannya, maka ia terpaksa melakukannya.” Selain itu, melalui Menteri Dalam Negeri, pihak Istana juga meminta masyarakat tetap tenang karena usaha pencarian Princess sudah dilakukan sejak kecelakaan itu dan masih terus dilakukan hingga kini. Pangeran Alcon yang juga hadir dalam acara pidato itu mengatakan, “Aku percaya adikku masih hidup karena itu kalian tidak perlu khawatir. Kami telah mengusahakan mencarinya tetapi kami tidak menolak bantuan kalian. Kami akan sangat senang bila salah seorang dari kalian yang menemukan seorang gadis tak dikenal di antara kalian, segera melaporkan kepada kami.” Ketika
masyarakat
yang
berkumpul
di
depan
Istana
Plesaides
menanyakan keadaan Ratu, Pangeran menjawab, “Paduka Ratu memang terkejut ketika mendengar berita ini tetapi beliau sehat-sehat saja hanya agak terguncang. Kalian tidak perlu khawatir. Paduka Raja juga sehat-sehat saja.” Setelah mendengar penjelasan singkat dari Istana, masyarakat tampak lega. Dengan demikian Istana telah secara resmi menyatakan Princes Minerva menghilang sejak tiga bulan yang lalu dan hingga kini belum ditemukan. Berita kedua mengenai Princess Minerva membuat penduduk Kerajaan Zirva yang kebingungan dengan kebenaran berita yang terdahulu merasa lega. Maria yakin setelah keluarnya pernyataan resmi Istana, banyak penduduk yang mencoba menemukan Princess di Death Rocks. Maria merasa lega ketika Quiya mengatakan ia telah melakukan apa yang diminta Maria sebelumnya dan ia berharap orang-orang yang pergi ke sana akan selamat seperti harapannya. Seperti yang dikatakan Maria, perjalanan menuju Death Rocks dengan memutar terlebih dahulu membuat perjalanan itu menjadi semakin lama 234
tetapi lebih aman. Maria terlalu sibuk dengan pemandangan yang terlihat olehnya dan pikiran-pikirannya sehingga ia tidak menyadari ketika mereka telah tiba di tempat itu. “Engkau tidak turun?” Pertanyaan Alexander membuatnya terkejut. Ia memalingkan wajahnya dan menatap wajah Alexander yang berada sangat dekat darinya. Walaupun jantungnya berdebar sangat keras, Maria tetap berkata tenang, “Saya akan segera turun.” “Lekaslah bila engkau ingin melihat pemandangan di luar. Lebih indah pemandangan yang tampak jelas daripada yang kita lihat melalui jendela,” kata Alexander. Maria menatap ke tempat duduk di depannya yang telah kosong. Maria tidak menyadari Lady Debora telah meninggalkan kereta itu. “Lady Debora sangat bersemangat sekali. Sejak tadi ia menanti tidak sabar saat-saat ini. Ia segera melompat turun ketika kita tiba,” kata Alexander. Alexander membantu Maria turun dari kereta. Maria tidak memperhatikan Lady Debora yang segera menyambut mesra Alexander yang baru saja turun dari kereta. Perhatian Maria kini sepenuhnya tercurah kepada pemandangan yang terhampar di depannya. Angin
dingin
yang
meminkan
rambutnya
tidak
membuat
Maria
bergeming ketika ia berdiri hampir di ujung tebing yang curam itu. Holly Mountain yang menjulang tinggi tepat di hadapannya masih tertutup kabut putih dari puncak hingga kaki gunung. Sungai Alleghei yang bermata air di Holly Mountain tampak berkilauan tertimpa sinar matahari. Sungai itu terus memanjang membentuk pita. Saat Maria memandang sungai itu, Maria ingat ia pernah ke tempat ini. Pita putih kebiru-biruan di antara hijaunya dedaunan yang diingatnya ketika ia dalam perjalanan menuju Blueberry House bersama Lady Debora dan Alexander, adalah Sungai Alleghei yang terlihat dari Death Rocks. Sungai itu mendekati Death Rocks tetapi ketika jaraknya semakin kecil, pita itu menjauh dan terus mengalir tenang seolah enggan menyentuh Death Rocks. Atap-atap rumah penduduk yang menyembul di antara hijaunya hutan 235
tampak seperti titik kecil yang menodai warna hijau permadani. Maria terus menatap pemandangan di depannya sambil terus berusaha mengingat masa lalunya. Maria tahu bila ia dapat mengetahui mengapa ia merasa ngeri ketika ia berdiri dan menatap pemandangan yang indah itu, ia akan mampu menyingkap kabut masa lalunya. Tetapi seperti biasanya, sesuatu menghalangi Maria. Kali ini halangan itu lebih kuat dari sebelumnya. Maria terus mencoba membuka tirai itu. Maria seolah-olah melihat sesuatu yang berwarna kemerahan menyelubungi puncak Holly Mountain yang berkabut. Udara yang dingin menerpa tubuhnya yang terasa ringan. Maria merasa tubuhnya seperti meluncur ke bawah tanpa ada yang menahannya. Sesaat kemudian Maria benar-benar jatuh. Maria hampir saja jatuh menimpa tanah jika Alexander tidak segera menangkapnya. Alexander sejak tadi mengawasi Maria dan ia menyadari wajah Maria yang terus memucat. Ia tidak dapat berbuat apa-apa karena Lady Debora merangkul erat-erat tangannya. Ketika gadis itu jatuh, Alexander segera menyentakkan tangan Lady Debora dan menangkap Maria sebelum tubuh gadis itu menyentuh tanah. Lady Debora sangat terkejut dengan tindakan Alexander yang cepat itu dan ia menjadi jengkel ketika melihat Alexander telah membopong Maria ke kereta. “Sebaiknya kita segera pulang saat ini, Lady Debora,” kata Alexander. Lady
Debora
menjadi
semakin
jengkel
ketika
Alexander
tidak
membantunya naik kereta. Pria itu naik lebih dulu ke kereta dan ketika ia tiba di dalam kereta, ia melihat Alexander sedang memangku Maria seperti memangku anak kecil. Alexander sama sekali tidak mempedulikan Lady Debora bahka ketika wanita itu bertanya, “Apa yang terjadi pada Maria?” Wajah Maria yang sangat pucat membuatnya terlalu cemas untuk memikirkan yang lain. Ia khawatir Maria akan pingsan selama berhari-hari lagi. Kusir kuda menjalankan keretanya tidak melewati Foentza tetapi melalui jalan yang lebih pendek menuju Obbeyville, seperti yang diperintahkan Alexander. 236
Lady Debora merasa marah karena tidak dipedulikan oleh Alexander. Alexander terus memperhatikan Maria sejak tadi dan menganggap di sana tidak ada orang lain selain mereka berdua. Alexander tidak menyadari keberadaan Lady Debora di kereta yang sama dengannya. Lady Debora yang mengetahui hal itu hanya diam menahan amarah. Ia tahu percuma ia berusaha menarik perhatian Alexander dari Maria bila ia telah menganggap kata-katanya hanya sebagai angin lalu. Ketika
mereka
semakin
mendekati
Obbeyville,
Maria
membuka
matanya. “Aku khawatir engkau akan terus menutup matamu,” kata Alexander tidak menyadari keberadaan Lady Debora. “Terima kasih. Saya sudah lebih baik sekarang. Anda pasti lelah memangku saya selama perjalanan yang panjang,” kata Maria. Permohonan untuk dibiarkan meninggalkan pelukan yang diberikan Alexander tersirat di matanya ketika ia memandang pria itu. Alexander menyadarinya tetapi ia pura-pura tidak peduli bahkan ketika Lady Debora berkata, “Ia sudah sadar sekarang. Kurasa engkau bisa berhenti memangkunya,” kata wanita itu. “Ia masih sangat pucat dan lemah, Lady Debora. Aku tidak ingin ada yang jatuh sakit selama bersamaku,” kata Alexander. Lady Debora memandang penuh kebencian kepada Maria yang memilih untuk menyembunyikan pandangan matanya ke langit-langit kereta yang berwarna hitam. “Apakah engkau merasa pusing?” tanya Alexander. Maria menggelengkan kepalanya. “Sebaiknya engkau segera beristirahat setibanya kita di Obbeyville. Mrs. Vye pasti sedih bila engkau sakit,” kata Alexander dengan kelembutan yang membuat Lady Debora semakin jengkel. “Saya sudah tidak apa-apa. Saya merasa lebih baik sekarang dan saya tidak merasa membutuhkan istirahat,” kata Maria menolak usul itu. “Dengarkan, Maria. Engkau masih lemah dan jangan terlalu banyak bergerak agar engkau tidak jatuh sakit.” Maria tersenyum, “Anda berbicara seakan-akan Anda ini dokter.” Alexander membalas senyuman Maria dan berkata, “Saat ini aku 237
memang menjadi doktermu.” Keduanya berbicara tanpa ingat keberadaan Lady Debora di antara mereka. Lady Debora memandang jengkel kepada mereka berdua tanpa melakukan apa-apa. Ia tahu seandainya ia berteriak, ia tetap tidak akan dapat membuat Alexander melepaskan Maria. Lady Debora merasa sangat lega ketika mereka telah tiba di Obbeyville. Baginya, dengan tibanya mereka di Obbeyville berarti ia dapat merebut kembali perhatian Alexander. Dan ia sangat kecewa ketika Alexander tidak membantunya turun dari kereta. Pria itu masih sangat cemas dengan keadaan Maria. Alexander membopong Maria ke pondok Mrs. Vye sekalipun Maria menolaknya. Setelah yakin Maria tidak akan meninggalkan kamarnya, Alexander kembali menemui Lady Debora yang tampak jengkel. “Mengapa engkau memperhatikan dia?” tanya Lady Debora. “Ia memang memerlukan perhatian,” jawab Alexander. “Baiklah,
ia
memang
memerlukan
perhatian.
Tetapi
bagaimana
denganku, apakah aku tidak memerlukan perhatian?” “Engkau telah mendapat cukup banyak perhatian dan Maria lebih membutuhkan banyak perhatian saat ini,” kata Alexander. “Apa baiknya ia dibandingkan dengan aku?” tanya Lady Debora. “Maafkan saya, saya tidak ingin membicarakannya. Sekarang saya mohon diri untuk pulang,” kata Alexander dengan kedinginan yang sopan. Lady Debora menahan amarahnya ketika melihat Alexander menuju kereta kudanya dan menghilang di balik pintu kereta itu. Dengan langkah kesal, ia menaiki tangga dan membanting pintu kamarnya. Saat itu Baroness Lora tidak berada di Sidewinder House sehingga ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Tak lama setelah Lady Debora membanting pintu kamarnya, Maria muncul di ujung bawah tangga itu. Ia mendengar suara pintu itu ketika ia tiba di depan pintu masuk Sidewinder House. Mrs. Vye tidak tahu ia berada di sana. Seperti halnya Alexander, ia menduga Maria sedang tertidur. Maria pura-pura tidur ketika Alexander dan Mrs. Vye menemaninya. Ia 238
tahu mereka tidak akan pergi sebelum yakin ia tidak akan pergi sebelum yakin ia akan beristirahat. Tetapi mereka tidak mengetahui Maria hanya pura-pura tidur. “Ia telah tertidur,” kata Mrs. Vye. “Sebaiknya kita meninggalkannya agar ia bisa tidur dengan tenang,” kata Alexander. Mrs. Vye segera meninggalkan kamar Maria sedangkan Alexander masih mengawasi Maria yang pura-pura tidur. Maria tahu Alexander masih berada di kamarnya dan ia khawatir Alexander tahu ia hanya pura-pura saja. Alexander mendekati Maria. Ia menyentuh wajah Maria sebelum mencium pipi gadis itu. Setelah itu ia meniggalkan kamar Maria. Maria terkejut sekali dengan tindakan Alexander yang tidak diduganya. Jantungnya masih berdebar keras ketika terdengar suara Mrs. Vye dan Alexander menjauhi pondok itu. Sesaat setelah kepergian mereka, ia segera bangkit dan meninggalkan pondok Mrs. Vye setelah kereta kuda Alexander menghilang. Maria beruntung tidak ada yang melihatnya meninggalkan pondok Mrs. Vye. Ia baru akan menuju kamar Lady Debora ketika pintu depan diketuk seseorang. Maria membuka pintu itu dan terkejut melihat Marcel berdiri di sana. Maria beruntung pria itu tidak mengenalinya. “Selamat siang. Adakah yang dapat saya bantu?” tanya Maria. “Aku ingin bertemu Lady Debora,” kata Marcel. Maria memandang ke tangga kemudian berkata, “Masuklah. Saya akan segera memanggil Lady Debora.” Tanpa berkata apa-apa Marcel segera mengikuti Maria memasuki Ruang Besar. Setelah membungkuk hormat, Maria segera menuju kamar Lady Debora. Dengan cemas, ia mengetuk pintu kamar itu. “Masuk,” bentak Lady Debora dari dalam. “Apa yang kauinginkan?” bentak Lady Debora ketika melihatnya muncul dari balik pintu. “Tuan Muda Marcel ingin menemui Anda, Tuan Puteri. Ia sedang menanti 239
di Ruang Besar.” “Marcel datang!?” tanya Lady Debora antusias. “Ya, Tuan Puteri.” “Cepat bantu aku berdandan,” kata Lady Debora tanpa mempedulikan lagi kejengkelannya pada Maria. Setelah yakin penampilannya menarik, Lady Debora bersiap-siap menemui Marcel. Ia membuka pintu dan hendak melangkah keluar ketika ia tiba-tiba berhenti. “Jangan biarkan siapapun menggangguku!” katanya. “Tetapi Tuan Puteri bagaimana bila Tuan Muda Alexander juga ingin menemui Anda?” tanya Maria tanpa mengerti mengapa ia bertanya seperti itu. “Ia tidak akan datang. Dan bila ia datang, jangan engkau ijinkan untuk bertemu denganku. Mengerti?” “Mengapa Anda bisa memilih dua pria dalam waktu yang bersamaan?” tanya Maria. “Untuk apa engkau turut campur. Lakukan saja apa yang kukatakan. Ingat, aku tidak ingin diganggu.” Maria menggelengkan kepalanya, “Saya heran mengapa seorang wanita bisa tertarik pada dua pria pada waktu yang bersamaan. Sebenarnya siapakah yang yang Anda cintai di antara mereka?” “Itu bukan urusanmu, anak kecil. Siapapun yang aku cintai itu bukan urusanmu,” kata Lady Debora sambil membanting pintu. Maria mencoba menasehati Lady Debora tetapi ia gagal. Ia tahu sifat menurun Lady Debora yang diperolehnya dari Baroness Lora tidak dapat dirubah. Maria tidak dapat berbuat apa-apa karenanya. Suara ketukan pintu yang terdengar beberapa saat kemudian membuat Maria segera berlari membuka pintu itu. Maria terkejut sama seperti pria itu yang terkejut melihatnya. “Mengapa engkau di sini, Maria? Bukankah engkau kusuruh tidur?” tanya Alexander. “Maafkan saya, tetapi saya tidak dapat melanggar kewajiban saya. Mengapa Anda kembali?” “Aku ingin bertemu Lady Debora. Apakah ia ada?” “Ia ada di Ruang Duduk tetapi saat ini ia tidak ingin diganggu,” kata Maria. 240
“Aku harus menemuinya,” kata Alexander bersikeras. “Jangan! Lady Debora telah berulang kali mengatakan kepadaku bahwa ia tidak ingin diganggu,” Maria mencoba mencegah Alexander. “Maria,
engkau
telah
tahu
aku
tidak
dapat
dicegah.
Sekarang
minggirlah aku ingin menemuinya,” kata Alexander sambil mendorong lembut Maria ke sampingnya. “Jangan, Anda tidak boleh menemuinya,” cegah Maria. Maria
mencoba
mencegah
pria
itu
membuka
pintu
yang
menghubungkan Ruang Besar dengan Ruang Duduk, tetapi terlambat. Maria melihat wajah Alexander tampak tegang. Ia tidak berani melihat apa yang telah dilihat Alexander sehingga pria itu tampak sangat marah tetapi ia tetap melihatnya. Maria terkejut ketika melihat Lady Debora sedang merangkulkan tangannya dengan mesra di sekeliling leher Marcel. Maria menatap cemas Alexander. Pria itu tampak geram sekali. Topi yang dibawanya dilemparkan ke dalam ruangan itu dan mengejutkan kedua orang itu. Topi yang dikenakan Lady Debora ketika ia pergi ke Death Rocks jatuh di dekat kaki Lady Debora. Wanita itu menatap pintu yang terbuka dan terkejut. Alexander bergegas meninggalkan ruangan itu. Maria mengejar pria itu. Ia cemas sekali melihat kemarahan pria itu. Alexander membalikkan badan ketika melihatnya mendekat. “Seharusnya sejak dulu aku sadar siapa engkau. Engkau sama saja seperti Lady Debora. Kalian tak lebih dari wanita yang hanya mengincar harta pria kaya.” “Tetapi, Al…” kata Maria mencoba membela dirinya. “Jangan memanggilku Al!” bentak Alexander, “Cukup sudah aku engkau bodohi dengan wajah cantikmu. Semua wanita sama saja, berwajah cantik tetapi berhati iblis.” “Engkau tidak mengerti,” kata Maria dengan sedih. “Ya, sejak awal aku memang tidak mengerti siapa sebenarnya dirimu tetapi sekarang aku tahu. Engkau tidak lebih dari wanita murahan. Aku mengucapkan selamat untukmu, engkau berhasil membuatku yakin engkau adalah bidadari. Ya, mungkin engkau memang bidadari tetapi bidadari yang berhati iblis,” kata Alexander tajam. Maria
terkejut
mendengar
kata-kata
kasar
itu.
Ia
tidak
pernah
mengharapkan cinta Alexander tetapi ia juga tidak mengharapkan pria itu 241
mengatakan kata-kata sekasar itu kepadanya. “Mengapa? Engkau tidak dapat membela dirimu lagi karena aku telah membuka kemisteriusan yang selama ini menutupimu. Aku curiga engkau sejak awal tidak pernah hilang ingatan, engkau hanya pura-pura saja.” Maria tidak menyadari air mata mulai membasahi mata ungunya. “Percuma saja menangis! Aku tidak akan terpengaruh. Aku tidak ingin melihatmu lagi.” Alexander membuktikan ucapannya dengan menaiki kereta kudanya dan segera menghilang di jalan. Maria menghapus air matanya yang tak mau berhenti turun. Hatinya terasa bagaikan teriris-iris. Ia merasa sedih mendengar katakata kasar yang ditujukan Alexander padanya. Ia ingin menangis tersedu-sedu tetapi suara langkah kaki seseorang membuatnya tidak melakukannya. Marcel segera meninggalkan Sidewinder House seperti Alexander. Lady Debora berteriak-teriak di depan pintu memanggil Marcel tetapi pria itu tidak peduli. “Marcel, engkau hendak ke mana?” seru Lady Debora tanpa mendapat jawaban dari Marcel. Marcel terus melangkahkan kakinya meninggalkan Sidewinder House. Dan ketika pria itu mengendarai kudanya menjauh dari Sidewinder House, Lady Debora masuk ke dalam rumah. Maria segera berlari mengikuti Lady Debora yang dengan marah-marah memasuki Sidewinder House. Lady
Debora
membalikkan
badannya
ketika
mengetahui
Maria
mengikutinya. “Apa lagi yang kauinginkan?” bentaknya. “Maafkan saya. Saya….” “Cukup sudah engkau merusak semua rencanaku,” potong Lady Debora. Maria mendekati Lady Debora yang hampir tiba di ujung tangga dan berkata, “Saya telah mencoba melarang…” Sekali lagi Lady Debora memotong perkataan Maria, “Ya, engkau telah melarang. Melarang apa? Melarang Alexander mencintaiku? Padahal aku yakin
Alexander
sudah
hampir
jatuh
cinta
padaku
tetapi
engkau
mengacaukannya. Aku muak melihatmu. Pergi!” Tindakan Lady Debora yang tak diduga itu membuat Maria tidak dapat 242
menjaga keseimbangannya sehingga tubuhnya terhempas begitu saja dari ujung tangga itu. Lady Debora tidak peduli melihat jatuh terguling dari tangga itu, ia terus melangkahkan kakinya ke kamarnya dan membantingnya dengan keras. Mrs. Vye yang berada di tempat itu memanggil cemas Maria yang terus terguling di tangga kayu yang keras itu. “Maria… Maria…. Oh, Maria…, Maria….”
243
14
Panggilan Mrs. Vye terus bergema di telinga Maria. Mula-mula panggilan itu terdengar jelas, “Maria… Maria… Maria.” Tetapi tak lama kemudian panggilan itu terdengar lain. Maria berusaha menangkap panggilan yang terasa tak asing lagi di telinganya itu. “Maria… Maria… Mar… Ma… Mi… Miner… Minerva… Princess Minerva…. Bangun Princess. Anda berkata ingin melihat matahari terbit dari puncak Death Rocks.” Princess Minerva membuka matanya perlahan-lahan dan melihat langit yang mulai memerah di sekitar Holly Mountain. “Indah sekali, Mrs. Wve.” “Tentu saja, Princess Minerva. Ini pertama kalinya Anda melihat matahari terbit dari Death Rocks di musim semi,” kata Mrs. Wve. “Aku ingin waktu berhenti di sini agar aku dapat terus melihat keindahan ini. Tetapi bila keinginanku itu terkabul, segalanya akan berubah bukan?” Mrs. Wve tertawa mendengarnya. “Para dewa pasti akan berkenan memberi kesempatan kepada Anda untuk melihat pemandangan ini." Mrs. Wve memperhatikan Princess Minerva yang asyik memandang langit di belakang Holly Mountain yang mulai terang. “Sayang sekali tahun ini kita tidak dapat pulang ke Istana,” kata Mrs. Wve. Princess Minerva menatap sedih pada Mrs. Wve, “Maafkan aku, Mrs. Wve. Sebenarnya aku juga ingin pulang tetapi aku
tidak dapat. Andai Al
menuruti pesanku, kita pasti dapat pulang ke Istana tahun ini.” “Jangan berkata seperti itu, Princess Minerva. Pangeran pasti sedih, ia melakukannya karena ia menyayangi Anda.” “AKu mengerti, Mrs. Wve. Aku sedang berpikir bagaimana aku membuat semua menteri dan semua orang di Istana kebingungan karena aku tiba-tiba memutuskan tidak pulang ke Istana tahun ini.” “Semua orang pasti kecewa, Princess. Anda tiba-tiba memutuskan 244
untuk pergi ke Castil Yonga,” kata Mrs. Wve. Princess Minerva tersenyum, “Aku percaya padamu, Mrs. Wve. Aku menyesal telah membuat mereka semua kecewa tetapi mereka telah mengetahui sebelumnya bahwa aku tidak ingin diadakan pesta besar. Aku telah menegaskannya sebelumnya. Sebulan sebelum aku kembali, aku telah mengirim surat itu tetapi mereka tetap mempersiapkannya.” “Kami semua ingin merayakan secara besar-besaran pesta ulang tahun Anda yang kedelapan belas, Princess.” “Aku tahu, Mrs. Wve. Tetapi mereka mengabaikan permintaanku, maka aku juga tidak dapat disalahkan bila secara tiba-tiba aku meminta Durant mengarahkan kereta ke Castil Yonga,” kata Princess Minerva. “Saat itu kita belum memasuki kota Xoechbee, jadi kita masih beruntung. Tidak ada penduduk yang menyadari Anda membelokkan arah kereta sehingga mereka tidak sempat mencegah Anda.” “Al sangat marah ketika ia tiba di Castil, Mrs. Wve.” “Itu wajar, Princess, Anda telah membuat semua rencananya gagal.” Princess Minerva tersenyum, “Al mengatakan aku adalah pengacau rencana orang lain nomor satu di Kerajaan Zirva. Katanya, aku telah membuat Istana gempar ketika surat keduaku dari Death Rocks tiba, mereka yang telah mempersiapkan pesta untukku terpaksa membatalkannya.” “Saya merasa geli ketika melihat Pangeran lebih marah daripada Raja maupun Ratu,” kata Mrs. Wve. “Itu tidak aneh, Mrs. Wve. Ialah yang merencanakan semua ini.” Princess Minerva tersenyum ketika membayangkan kembali kemarahan kakaknya karena Princess Minerva yang akan dikejutkan ternyata telah mengejutkan kakaknya terlebih dulu. “Mengapa engkau diam-diam pergi ke Castil?” tanya Alcon saat melihatnya. “Karena aku tidak ingin ada pesta besar untuk ulang tahunku,” jawab Princess Minerva sambil tersenyum manis. Walaupun
Alcon ingin sekali
memeluknya
tetapi
ia
tetap
tidak
melakukannya. “Ini ulang tahunmu yang kedelapan belas, Minerva. Dan setelah ini kami tidak dapat memanggilmu putri kecil lagi. Karena itu kami ingin merayakannya dengan besar-besaran.” “Al, aku telah menulis surat kepadamu sebulan yang lalu.” “Ya, aku telah menerimanya tetapi aku tidak dapat melakukan apa yang 245
kauminta.” Princess
Minerva
tersenyum
lagi,
“Karena
engkau
tidak
dapat
menolakku dan karena engkau tidak ingin aku merayakan ulang tahunku yang kedelapan
belas
ini
dengan
pesta
biasa,
maka
engkau
diam-diam
merencanakan pesta besar itu dan mengusahakannya agar aku tidak tahu sebelum ulang tahunku.” Alcon mengangguk, “Dari mana engkau mengetahuinya?” “Aku telah menduga sebelumnya ketika aku melihat suasana di Xoechbee berbeda dari biasanya. Aku merasa kota itu lebih meriah dibandingkan
sebelumnya,
maka
kemudian
aku
meminta
Durant
mengantarku ke sini,” kata Princess Minerva. Alcon tersenyum menuduh, “Dan engkau membuat aku kebingungan ketika menerima suratmu yang menjelaskan engkau tidak pulang ke Istana tahun ini tetapi ke Castil Yonga.” Princess Minerva tersenyum melihat kemarahan kakaknya yang hampir meledak. “Dan karena itu pula aku terpaksa membatalkan semua rencanaku dan akhirnya harus ikut mengungsi ke Castil Yonga untuk merayakan ulang tahunmu.” Alcon menatap menuduh wajah adiknya, “Selain itu aku juga harus membatasi orang yang kuundang ke pestamu.” “Maafkan aku, Al. Tetapi engkau tahu aku tidak suka menjadi pusat perhatian,” kata Princess Minerva, “Karena itu pula tahun ini aku tidak ke Istana seperti biasanya.” “Tidak apa-apa, Minerva. Seharusnya aku yang minta maaf bukan engkau,” kata Alcon sambil memeluk adiknya. “Sejak tadi aku ingin sekali melakukan ini tetapi aku masih harus marah kepadamu,” kata Alcon sambil tersenyum. “Aku tahu engkau akan marah bila bertemu denganku, Al.” “Sayang sekali kita tidak dapat mengundang banyak orang,” kata Alcon, “Sebenarnya Castil ini sangat luas tetapi sayang Death Rocks sangat terjal dan sulit didekati sehingga aku hanya dapat mengundang sedikit orang yang berani mengambil resiko jatuh di sana selain itu aku masih harus menghadapimu bila aku berani mengundang banyak orang ke Castil ini.” “Al, aku senang engkau masih ingat apa yang kukatakan,” kata Princess Minerva sambil mempererat pelukannya. 246
Alcon tertawa, “Aku pasti ingat semua yang kaukatakan. Aku masih ingat ceritamu tentang tebing itu.” “Engkau selalu merebut Minerva,” tegur Raja yang sejak tadi diam memandang kedua putranya. Ratu tersenyum melihat kejengkelan suaminya, melihat kemesraan yang ditunjukkan kedua putranya. Alcon menahan adiknya yang ingn menyambut kedua orang tuanya. Ia tersenyum nakal kepada ayahnya ketika ia membopong adiknya memasuki Castil. Princess
Minerva
masih
memperhatikan
matahari
yang
mulai
menunjukkan keseluruhan dirinya ketika tiba-tiba kereta berguncang sangat keras. “Apa yang terjadi, Mrs. Wve?” tanya Princess Minerva. “Saya tidak mengerti, Princess. Saya akan menanyakannya pada Durant,” kata Mrs. Wve. Sebelum Mrs. Wve bertanya, Durant telah berseru, “Jangan khawatir! Kerikil di sini sangat besar tetapi aku bisa mengatasinya. Kalian berpegangan saja.” “Anda harus berpegangan yang erat, Princess,” kata Mrs. Wve. Princess Minerva menuruti perkataan Mrs. Wve. Ia memegang erat-erat tepi jendela tanpa melepaskan matanya dari matahari yang semakin nampak bulat. Tiba-tiba kereta yang ditumpanginya miring dan sesudah itu segalanya berjalan dengan cepat. Princess Minerva merasa pintu di sampingnya membuka. Ia tidak siap menghadapi itu dan merasakan tubuhnya terhempas keluar dari kereta itu. Ia melihat Mrs. Wve mengulurkan tangannya berusaha untuk menariknya. Princess Minerva juga mengulurkan tangannya tetapi jarak mereka terlalu jauh sehingga tangan mereka tidak dapat saling bersentuhan. Menyadari hal itu, Princess Minerva tersenyum pada Mrs. Wve dan Durant yang diikuti tertiupnya tubuhnya oleh angin keras yang tiba-tiba bertiup. Sebelum segalanya menjadi gelap, Princess Minerva melihat matahari bersinar kemerahan seperti darah di ufuk timur dan ia merasa tubuhnya sangat ringan. Ia juga melihat keretanya terjatuh dari tepi Death Rocks tetapi dahan pohon yang tumbuh di sisi tebing itu menahan kereta itu. Princess Minerva memalingkan kepalanya ke puncak Holly Mountain 247
yang selalu terlihat megah kemudian menutup matanya dan merasakan tubuhnya yang terus meluncur ke bawah. Sebelum semuanya benar-benar menjadi gelap, Princess Minerva masih memanggil nama seseorang. “Maria! Maria!” Suara orang yang terus menerus memanggilnya membuat Princess Minerva tersadar. Ketika Princess Minerva membuka matanya, Princess Minerva tidak tahu di mana ia berada. Princess Minerva melihat sekeliling ruangan itu dan melihat seorang wanita duduk dengan cemas di sisi tempat tidurnya. “Engkau baik-baik saja, Maria?” tanya wanita itu. “Maria?” ulang Minerva bingung. Perlahan-lahan ingatannya kembali. Ia ingat ia telah terdampar di tempat ini dan ditemukan oleh Mrs. Vye. Ia telah berada dalam perlindungan wanita itu sebagai seorang gadis yang hilang ingatan bernama Maria. Sekarang ia berada di kamarnya di pondok Mrs. Vye, wanita yang telah menjaganya selama ia tidak dapat mengingat masa lalunya. Princess Minerva mengangguk perlahan. “Oh, syukurlah. Aku sangat cemas ketika melihat engkau jatuh dari ujung tangga itu. Apakah engkau yakin engkau baik-baik saja, Maria?” Sekali lagi Princess Minerva mengangguk perlahan. “Tunggulah di sini, Maria. Aku akan melihat apakah Mr. Liesting telah kembali,” kata Mrs. Vye, “Setelah memanggil beberapa orang untuk membawamu ke sini, ia segera pergi memanggil dokter.” “Tidak perlu!” bentak seseorang yang tiba-tiba membuka pintu kamar. Princess Minerva tidak terkejut ketika melihat Baroness Lora berdiri dengan wajah yang penuh dengan kemarahan dan kemenangan. Sebaliknya Mrs. Vye terkejut sekali ketika melihat wanita itu muncul dengan wajahnya yang menakutkan. “Sekarang juga engkau harus meninggalkan rumahku,” kata Baroness Lora, Engkau telah mendengar sendiri dari anakku, ia tidak ingin melihatmu lagi.” “Tetapi…,” sela Mrs. Vye. “Sekarang juga!” kata Baroness Lora dengan lantang. “Tetapi, Yang Mulia, ia baru saja jatuh dari tangga,” kata Mrs. Vye yang mulai marah. 248
“Itu kesalahannya sendiri mengapa ia berani merusak rencana putriku dan sekarang ia harus meninggalkan rumah ini. Aku tidak sudi memelihara orang yang tidak berguna lagi.” “Tetapi Maria belum dapat mengingat masa lalunya,” kata Mrs. Vye. Princess Minerva mendengar nada kemarahan yang ditahan oleh Mrs. Vye. Ia mengulurkan tangannya hendak menenangkan wanita itu tetapi kepalanya yang tadi terbentur tangga sewaktu ia jatuh, tiba-tiba sakit membuat ia terpaksa menarik kembali tangannya. “Apa hubungannya denganku? Sejak semula aku memang telah mengatakan ia bukan gadis baik-baik tetapi karena putriku menginginkan ia tinggal maka aku mengijinkan dia tinggal. Tetapi sekarang putriku tidak lagi membutuhkannya. Dan itu artinya ia harus pergi.” “Ke mana Maria harus pergi?” “Aku tidak peduli. Sekarang juga ia harus meninggalkan rumahku. Aku tidak ingin wanita murahan di rumahku,” bentak Baroness Lora. Mrs.
Vye
ingin
membela
Maria
lagi
tetapi
wanita
itu
telah
mendahuluinya. “Lakukan sekarang juga! Ingat aku yang berkuasa di sini sekarang,” kata Baroness Lora sambil membanting pintu. “Jangan kaudengarkan wanita itu, Maria,” kata Mrs. Vye, “Aku tidak akan membiarkan ia menyakitimu.” Walaupun Mrs. Vye telah berkata seperti itu tetapi Princess Minerva membuat keputusan lain. “Tolong panggilkan kereta untuk saya, Mrs. Vye,” kata Princess Minerva. “Untuk apa, Maria? Ia tidak akan dapat menyakitimu selama aku masih ada,” kata Mrs. Vye bersikeras. “Mrs. Vye, tolong jangan bersikeras lagi. Anda telah mendengar sendiri mereka tidak ingin melihat saya lagi. Tolong panggilkan kereta untuk saya,” kata Princess Minerva. Mrs. Vye terdiam. Princess Minerva menggunakan kesempatan itu untuk membujuk Mrs. Vye lagi, “Tolonglah, Mrs. Vye. Saya membutuhkan kereta itu sekarang juga.” “Aku tahu,” kata Mrs. Vye tiba-tiba, “Engkau dapat pergi ke Blueberry House. Tuan Muda Alexander pasti dapat membantumu.” Mendengar nama itu disebut, hati Princess Minerva terasa pilu. Bagaimana ia dapat meminta bantuan kepada pria yang juga menolak 249
bertemu dengannya, dengan pria yang membuat hatinya hancur. “Tolonglah, Mrs. Vye,” kata Princess Minerva tanpa mengatakan yang lain. “Tunggulah sebentar, Maria. Aku pasti akan menemukan kereta kuda untukmu,” kata Mrs. Vye. Setelah kepergian Mrs. Vye, Princess Minerva bangkit dari tempat tidur. Kepalanya yang masih terasa sakit membuat ia tidak dapat bergerak dengan bebas. Dengan perlahan-lahan ia berusaha mendekati almari. Sambil menanti kedatangan Mrs. Vye, ia mengganti gaun pelayan yang dikenakannya dengan gaun putih milik Lady Debora yang belum pernah dipakainya. Ketika ia melihat gaun merah muda pemberian Alexander, ia menangis. “Sekarang semuanya telah jelas, Al hanya mencintai Lady Debora,” katanya pilu sambil menyentuh gaun itu. Princess Minerva segera menyeka air matanya ketika mendengar suara Mrs. Vye di depan pondok. Setelah menutup kembali almari itu, ia segera membuka pintu kamarnya. Mrs. Vye terkejut ketika melihat Princess Minerva berdiri di dekat pintu. “Apakah engkau akan pergi sekarang?” tanyanya. Princess Minerva tersenyum. Walaupun hatinya sedih, tetapi ia tetap dapat tersenyum manis seperti biasanya. “Anda telah mendengar apa yang dikatakan Baroness Lora.” “Tunggulah aku, Maria. Aku ikut denganmu,” kata Mrs. Vye. “Saya akan senang sekali, Mrs. Vye. Tetapi perjalanan yang akan saya lakukan ini sangat jauh,” kata Princess Minerva. “Tidak apa-apa, Maria. Aku tidak ingin engkau pergi sendirian dalam keadaan seperti itu,” kata Mrs. Vye bersikeras. “Saya baik-baik saja, Mrs. Vye.” Tiba-tiba kepala Princess Minerva yang tadi terbentur kembali terasa pening. Princess Minerva memegang pegangan pintu. Princess Minerva memegangnya dengan sangat erat sehingga jarijarinya tampak memutih. Rambut panjang Princess Minerva menutupi wajahnya yang tiba-tiba memucat. Mrs. Vye mendekati Princess Minerva dan memegang tangannya, “Ada apa denganmu, Maria? Engkau pucat sekali.” Princess Minerva memaksa dirinya menggeleng, “Tidak apa-apa, Mrs. 250
Vye. Saya baik-baik saja.” “Engkau
yakin,
Maria?”
kata
Mrs.
Vye
tak
percaya,
“Aku
ikut
denganmu.” Princess Minerva
menyentuh
tangan
Mrs. Vye
yang
memegang
tangannya dan berkata, “Tidak, Mrs. Vye. Perjalanan ini sangat jauh.” “Justru karena jauh itulah, maka aku harus ikut. Aku tidak ingin sesuatu yang tak kuharapkan terjadi padamu. Aku akan ikut denganmu sekali pun engkau akan menuju ujung dunia,” kata Mrs. Vye bersikeras. “Tidak, Mrs. Vye. Semua orang yang ada di sini membutuhkan Anda.” Princess Minerva melepaskan pegangannya pada pintu kamarnya dan mulai melangkahkan kaki. “Ke mana engkau akan pergi, Maria?” Princess Minerva menjawab pertanyaan itu dengan tersenyum. “Kusir kuda itu telah menanti saya, Mrs. Vye. Saya tidak boleh membuatnya menunggu saya terlalu lama.” Ketika Princess Minerva membuka pintu depan pondok itu, Mrs. Vye tiba-tiba berseru, “Tunggu, Maria. Aku akan ikut. Aku tidak peduli ke mana engkau akan pergi. Aku akan dan harus ikut denganmu. Aku tidak dapat membiarkan engkau pergi dalam keadaan seperti itu. Engkau bisa sakit dalam perjalanan nanti.” “Semua orang di sini membutuhkan Anda, Mrs. Vye,” kata Princess Minerva mengingatkan. “Tidak akan ada yang membutuhkan aku. Yang Mulia pasti senang bila aku dapat meninggalkan tempat ini. Sejak dulu ia sangat mengharapkan aku pergi jauh dari Obbeyville.” “Bagaimana dengan Mrs. Fat, Mrs. Dahrien, dan Mr. Liesting?” Mrs. Vye terdiam. “Mereka memang akan kehilangan diriku bila aku pergi tetapi mereka akan memarahiku bila membiarkanmu pergi dalam keadaan seperti ini. Mereka pasti mengerti. Aku dapat menemui mereka lagi setelah mengantarmu.” “Bagaimana bila Anda tidak dapat kembali?” tanya Princess Minerva. Mrs. Vye terdiam lagi. Princess Minerva memanfaatkan keheningan itu untuk membuka pintu dan
berkata,
“Selamat
tinggal,
Mrs.
Vye.
Maafkan
saya
yang
telah
merepotkan Anda selama ini.” 251
Princess Minerva melangkahkan kakinya meninggalkan pondok Mrs. Vye. “Apakah Anda dapat mengantarkan saya ke tempat yang sangat jauh dari sini?” tanya Princess Minerva kepada kusir kuda yang berdiri di depan pintu kereta. “Ke mana Anda akan pergi?” tanya kusir kuda itu. “Saya ingin pergi ke Xoechbee,” jawab Princess Minerva. Pekikan
terkejut
di
belakangnya
membuat
Princess
Minerva
membalikkan badannya. “Engkau akan ke sana? Tunggulah aku,” kata Mrs. Vye. Sebelum Princess Minerva berkata apa-apa untuk mencegah wanita tua itu, Mrs. Vye telah berlari ke dalam rumah. Princess Minerva kebingungan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Apakah ia harus menunggu atau pergi sebelum Mrs. Vye muncul. Sebelum Princess Minerva memutuskan tindakannya, Mrs. Vye telah muncul dengan membawa sebuah mantel yang tebal di tangannya. Princess Minerva hendak mengatakan sesuatu tetapi Mrs. Vye telah mendahuluinya. “Eido, engkau mau mengantarkan Maria, bukan?” kata Mrs. Vye. “Tentu, Mrs. Vye.” “Tempat itu sangat jauh. Anda terpaksa meninggalkan keluarga Anda bila Anda bersedia,” kata Princess Minerva. “Jangan khawatir, Miss. Saya tidak mempunyai keluarga lagi, kedua orang tua saya telah meninggal sejak saya masih kecil dan satu-satunya orang yang merawat saya sejak kematian orang tua saya juga baru meninggalkan saya,” kata pria itu. Princess Minerva terpana, “Maafkan saya.” “Tidak apa-apa, Miss. Naiklah dan saya akan segera mengantarkan Anda.” Pria itu hendak membantu Princess Minerva naik tetapi Princess Minerva menolakkanya. Princess Minerva memilih untuk menaiki kereta itu sendiri daripada dibantu. Mrs. Vye mengikuti Princess Minerva naik ke kereta. Princess Minerva terkejut. “Mrs. Vye, Anda?” “Sekarang engkau tidak dapat lagi melarangku, Maria. Aku harus ikut denganmu. Perjalanan yang kautempuh ini sangat jauh,” kata Mrs. Vye 252
dengan tersenyum. “Bagaimana dengan keluarga Sidewinder, Mrs. Vye?” “Jangan khawatir, Maria. Aku telah menjelaskannya kepadamu, mereka tidak akan merasa kehilangan aku.” “Tetapi bagaimana dengan Mrs. Fat, Mrs. Dahrien, dan Mr. Liesting?” Mrs. Vye memegang tangan Maria. “Sudahlah, Maria. Mereka pasti akan mengerti lagipula setelah mengantarmu aku dapat menemui mereka lagi. Sekarang duduklah yang nyaman dan pejamkan matamu. Engkau tampak semakin pucat.” Mrs. Vye duduk di samping Princess Minerva dan berkata kepada kusir kuda, “Mari kita berangkat, Eido.” Kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan pondok Mrs. Vye. Princess Minerva memandangi pondok Mrs. Vye yang mulai menghilang di balik Sidewinder House. Matanya terus mengawasi Sidewinder House yang semakin mengecil dan akhirnya menghilang. Saat itu ia tahu sangat kecil kemungkinan ia dapat ke tempat ini lagi, tempat yang telah merebut tempat di hatinya. Sejak tinggal di Obbeyville, Princess Minerva tahu ia tertarik dengan keindahan tempat ini. Dengan pohon-pohonnya yang mulai menguning di awal musim panas. Dengan bunga zinnianya yang indah. Princess Minerva tahu ia akan merindukan Sidewinder House dan suasananya yang penuh kegembiraan di tengah pelayan lainnya dan kemarahan-kemarahan baik Baroness Lora maupun Lady Debora yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama tiga bulan terakhir ini. Ia akan kehilangan semua yang telah menjadi bagian kehidupannya di Obbeyville. Keindahan Obbeyville tak akan dapat dilihatnya lagi. Princess Minerva tidak akan dapat melihat wajah Obbeyville di musim panas lagi. Ia tidak akan dapat melihat lagi keindahan bunga zinnia yang bermekaran di tepi Sungai Alleghei. Ia tidak akan dapat melihat halaman Sidewinder House yang ditatanya bersama Mr. Liesting. Tidak juga dedaunan yang selalu berserakan di atas rumput yang menguning. Ia tidak akan dapat menemui Ityu lagi dan bercerita banyak tentang mitos-mitos yang ingin diketahui anak itu. Princess Minerva juga tahu ia tidak akan dapat bermain lagi dengan anak-anak Obbeyville di tepi Sungai Alleghei yang selalu bersinar. Princess Minerva menutup matanya sebelum air matanya menetes. Tetapi ia segera membukanya lagi ketika bayangan seseorang muncul saat ia 253
menutup matanya. Dari semua rasa kehilangan yang turut bersamanya, Princess Minerva merasa paling kehilangan Alexander. Sejak menyadari ia mencintai pria itu, Princess Minerva tidak pernah mengharapkan cinta Alexander. Ia mengerti bila Alexander memilih Lady Debora daripada dirinya. Walaupun Lady Debora mirip dengan ular betina yang buas tetapi tidak dapat disangsikan lagi kecantikan wanita itu. Lady Debora sangat cantik secantik ibunya, Baroness Lora. Tidak mengherankan bila Alexander mencintainya. Kata-kata kasar Alexander yang ditujukan kepadanya dengan penuh kemarahan masih terngiang jelas di telinga Princess Minerva. Masih terbayang jelas bagaimana wajah Alexander yang dipenuhi kemarahan. Mata Alexander yang dingin tampak semakin dingin. Mata itu menatap tajam padanya dan mengiringi kata-katanya yang menyayat hatinya, seakanakan Alexander tidak hanya melukainya melalui kata-kata saja tetapi juga melalui tatapannya yang tajam. Wajah Alexander yang biasanya selalu tersenyum tampak sangat menakutkan. Terkenang saat-saat bahagianya dengan Alexander, Princess Minerva ingin menangis. Tetapi Princess Minerva juga tahu tidak ada yang dapat dilakukannya untuk mengembalikan saat-saat itu. Ketika Alexander berkata tajam ‘Aku tidak ingin melihatmu lagi’ dengan penuh
kemarahan,
Princess
Minerva
tahu
pria
itu
benar-benar
tidak
mengharapkan lagi dan tidak pernah ingin bertemu lagi dengannya. Princess Minerva tahu walaupun ia dapat kembali ke Obbeyville di harihari yang akan datang, tetapi saat itu akan sangat berbeda dengan saat-saat yang telah ia lalui di Obbeyville. Ia tidak akan dapat menemui Alexander lagi walaupun ia ingin bertemu dengannya. Alexander pasti akan menolak bertemu dengannya. Princess Minerva percaya Alexander akan memilih untuk pergi jauh daripada bertemu dengannya, gadis yang dianggapnya hina. Princess Minerva semakin sedih bila ia mengingat wajah Duchess yang penuh kasih sayang seperti ibunya juga Blueberry House yang indah dengan bunga-bunga mawarnya dan pintu gerbang putihnya yang megah. Princess
Minerva
bisa
saja
tetap
tinggal
di
Obbeyville
tanpa
mengatakan ia telah mengingat semua masa lalunya, tetapi ia tidak dapat mengabaikan ibunya yang dikabarkan jatuh sakit. 254
Princess Minerva tidak dapat mengabaikan perasaan rindunya pada kakaknya, Pangeran Alcon dan semua orang yang ada di Istana Plesaides. Apalagi pengasuhnya, Mrs. Wve yang pasti juga akan merasa sangat kehilangan dirinya. Princess Minerva tahu ia harus kembali ke Istana Plesaides agar tidak membuat Mrs. Wve terutama Durant, kusir kuda yang mengantarkannya ketika kecelakaan itu terjadi
merasa bersalah karena telah menyebabkan
kecelakaan itu terjadi sehingga ia menghilang. Princess Minerva menutup matanya yang mulai membasah dan mencoba tertidur serta berhenti memikirkan kesedihan yang tidak akan dapat dengan mudah dihapuskan dari hatinya.
255
15
Setelah melalui perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya mereka memasuki kota Xoechbee. Sesaat setelah mereka meninggalkan Obbeyville, cuaca masih terang. Tetapi beberapa saat kemudian hujan deras terus menerus menganggu perjalanan mereka ditambah lagi keadaan Princess Minerva yang semakin memburuk. Selama beberapa kali, Mrs. Vye menghentikan kereta di penginapan dan memaksa Princess Minerva untuk tinggal beberapa hari tetapi Princess Minerva selalu menolaknya. Princess
Minerva
bersikeras
segera
pergi
ke
Xoechbee
tanpa
menjelaskan apa-apa kepada Mrs. Vye maupun kepada Eido. Hanya hujan deraslah yang membuat Princess Minerva terpaksa membatalkan perjalanan panjangnya. Kadang-kadang keadaan Princess Minerva terus memburuk sehingga gadis itu menjadi sangat lemah. Saat itulah Mrs. Vye memanfaatkan keadaan untuk berhenti dan menginap selama beberapa hari di penginapan yang mereka temui hingga Princess Minerva pulih kembali. Bila Princess Minerva mulai pulih, Mrs. Vye tidak segera memutuskan untuk berangkat walaupun Princess Minerva telah memaksanya. Princess Minerva tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu kondisinya semakin memburuk karena udara yang dingin dan terus berubah. Mantel tebal yang dibawa Mrs. Vye untuk mencegahnya jatuh sakit karena udara dingin bila hari hujan juga tidak membantu apa-apa. Dengan semakin melemahnya tubuh Princess Minerva, perjalanan berjalan semakin lambat. Perjalanan yang biasanya dapat ditempuh selama beberapa hari kini menjadi berminggu-minggu karena banyaknya halangan yang harus mereka hadapi. Bahkan ketika mereka memasuki Xoechbee, halangan itu tetap ada. Hujan deras mengguyur bumi ketika mereka memasuki Xoechbee. Ketika menyadari kereta telah memasuki Xoechbee, Princess Minerva berkata perlahan kepada Mrs. Vye, “Tolong antarkan saya ke Istana 256
Plesaides.” Mrs. Vye terkejut tetapi ia tidak bertanya apa-apa kepada Maria. Ia berteriak mengalahkan gemuruh hujan deras, “Ke Istana Plesaides, Eido.” Mrs. Vye tahu Eido pasti sama terkejutnya dengan dirinya. Selama perjalanan, Mrs. Vye telah banyak menceritakan mengenai Maria
kepada
Eido.
Dan
seperti
penduduk
Obbeyville,
pria
itu
juga
mengagumi gadis itu. Mrs. Vye menatap Princess Minerva yang tampak sangat pucat dan mulai menebak diri gadis itu yang sebenarnya. Mrs. Vye telah membaca berita hilangnya Princess Minerva di koran dan ia mulai menduga Marialah sang putri yang hilang itu. Semua yang ada pada gadis itu sangat tepat bila ia adalah seorang putri, kecantikkan, keanggunan, keramahan serta kepandaian Maria, kecuali satu hal, kepandaian memasak gadis itu dan mengurus rumah. Kepandaian memasak Maria membuat Mrs. Vye kembali berpikir apakah benar Maria adalah putri yang hilang itu. Terlalu janggal bagi Mrs. Vye bila Maria sebagai seorang putri yang tak pernah kekurangan pelayan dapat memasak dan melakukan pekerjaan lainnya yang tak sesuai dengan kedudukannya seperti menata rumah. Hal itu telah terbukti. Selama berada di Obbeyville, Maria telah menunjukkan kepandaiannya menata rumah. Selama berada di Obbeyville, Maria tidak diam saja melihat Sidewinder House yang sepi. Gadis itu meramaikan suasana di dalam Sidewinder House dengan bunga-bunga musim panas. Di beberapa ruangan gadis itu telah melakukan perubahan yang membuat ruangan itu jauh lebih menarik dari keadaan semula. Gadis itu juga merubah penampilan halaman Sidewinder House menjadi lebih menarik. Mrs.
Vye
benar-benar
kebingungan.
Terlalu
banyak
hal
yang
membingungkan pada diri gadis itu bahkan sejak ia menemukan gadis itu. Ketika kereta berhenti setelah beberapa saat mengelilingi Xoechbee untuk menemukan Istana Plesaides, Mrs. Vye tahu segalanya akan menjadi jelas. Mrs. Vye menanti di dalam kereta tetapi tidak terjadi apa-apa. Mrs. Vye mulai merasa cemas. Setelah tak sabar menanti akhirnya ia memutuskan untuk turun. Setelah menutupi tubuh Princess Minerva yang bersandar lemah pada sisi kereta, ia turun. 257
Tanpa
mempedulikan hujan
yang
menerpa
tubuhnya,
ia segera
menemui Eido yang tengah berdebat bersama dua orang prajurit yang menjaga pintu gerbang. “Ada apa, Eido?” tanya Mrs. Vye. “Mereka tidak mengijinkan kita memasuki Istana, Mrs. Vye,” jawab Eido. “Mengapa kalian tidak mengijinkan kami masuk dan menemui Raja?” tanya Mrs. Vye pada kedua prajurit itu. “Kami bertugas menghadang semua orang yang tidak dikenal yang ingin memasuki Istana,” jawab salah satu prajurit itu. “Biarkan kami masuk dan menemui Raja. Ini penting sekali,” kata Mrs. Vye bersikeras. Prajurit yang tadi menjawab pertanyaan Mrs. Vye berkata, “Katakan dulu kepada kami urusan apa?” “Kami harus menemui Raja sekarang juga,” kata Eido ikut-ikutan berbantah. Prajurit yang satunya berkata dengan sabar, “Kami bertugas untuk menjaga pintu gerbang ini karena itu kami tidak dapat menjaga siapapun yang ingin memasuki Istana tanpa tujuan yang jelas.” “Kami membawa Princess,” kata Mrs. Vye. Jawaban Mrs. Vye mengejutkan ketiga pria itu. Suasana menjadi hening hingga tawa prajurit yang tadi berbantah dengan Mrs. Vye memecahkan keheningan itu. “Princess
kami
hilang
bagaimana
kalian
dapat
menemukannya?
Tunjukkan dulu buktinya kepada kami,” kata prajurit itu. Mrs. Vye mulai marah, “Princess sekarang berada di kereta. Cepat ijinkan kami masuk karena ini menyangkut nyawa Princess kalian. Bila terjadi sesuatu pada Princess, kalianlah yang akan disalahkan.” “Maafkan kelancangan saya tetapi teman saya benar, kami tidak dapat melakukan apa-apa bila Anda tidak dapat menunjukkan buktinya kepada kami,” kata prajurit yang lebih muda dan lebih sabar itu. “Princess berada di ambang kematian tetapi kalian masih tidak mengijinkan kami menemui Raja,” kata Mrs. Vye marah. “Maafkan kami, kami hanya menjalankan tugas,” kata prajurit yang sabar itu lagi. “Baiklah,” kata Mrs. Vye sambil melangkah ke kereta. Mrs. Vye merasa ragu apakah benar Maria adalah Princess yang hilang 258
itu. Walaupun ia telah berulang kali menyebut Maria sebagai Princess, tetapi ia sebenarnya merasa ragu apakah itu benar. “Apakah di luar hujan lagi?” tanya Princess Minerva lirih ketika ia melihat Mrs. Vye memasuki kereta dengan tubuh yang basah. “Ya, Maria. Musim gugur selalu dipenuhi hujan,” kata Mrs. Vye. Nada bicara Mrs. Vye yang seperti orang baru bertengkar hebat membuat Princess Minerva bertanya, “Ada apa, Mrs. Vye?” Untuk sesaat Mrs. Vye ragu-ragu tetapi akhirnya ia berkata, “Mereka tidak mengijinkan kita masuk.” Princess Minerva tersenyum lemah selemah gerakan tangannya yang menyentuh
kalungnya.
Setelah
melepas
kalung
itu,
Princess
Minerva
menyerahkannya kepada Mrs. Vye. “Mintalah kepada penjaga-penjaga itu untuk menunjukkan kalung ini pada Pangeran Alcon,” kata Princess Minerva. Mrs. Vye menerima kalung itu dengan ragu-ragu. Princess Minerva menyadari keragu-raguan itu dan berkata, “Tolonglah, Mrs. Vye.” Mrs. Vye membawa kalung itu di tangannya dan menemui prajuritprajurit itu. “Princess meminta kalian menunjukkan kalung ini pada Pangeran,” kata Mrs. Vye sambil menunjukkan kalung itu. Prajurit yang kasar itu tertawa. Temannya yang lebih sabar menegurnya, “Jangan tertawa!” “Mengapa aku tidak boleh tertawa? Lucu sekali menunjukkan bukti dengan seuntai kalung yang bisa didapatkan siapa saja di manapun.” “Princess berkata seperti itu dan engkau meragukannya,” kata Eido. “Maafkan temanku. Ia memang seperti itu,” kata prajurit yang lebih sabar. “Apakah aku salah bila bersikap seperti ini?” tanya prajurit yang satunya. Prajurit yang lebih sabar mengacuhkannya dan berkata kepada Mrs. Vye, “Saya akan membawa kalung itu dan menunjukkannya pada Pangeran Alcon.” Teman prajurit itu tertawa lagi, “Bagaimana bila gadis yang dikatakan wanita ini bukan Princess?” “Itu adalah urusan nanti. Sekarang aku hanya melakukan apa yang 259
harus kulakukan,” kata prajurit itu sambil menerima kalung itu. Sebelum temannya berkata apa-apa, prajurit itu membuka pintu gerbang yang tinggi dan besar itu dan berlari memasuki halaman Istana yang luas. -----0----Suasana di Ruang Tahta terasa sangat sunyi dan mencekam. Semua yang ada di sana tampak termenung memikirkan sesuatu. “Apakah tidak ada kabar?” tanya Pangeran Alcon. Menteri Dalam Negeri yang ditanya berkata, “Hingga saat ini belum ada kabar mengenai Princess, Pangeran.” “Sudah hampir empat bulan berlalu tetapi mengapa masih belum ada kabar,” kata Pangeran dengan cemas. “Maafkan saya, Pangeran. Saya telah memerintahkan beberapa orang untuk mencari Princess di sekitar Death Rocks tetapi hingga kini kami belum menemukannya. Kami juga telah mencarinya ke sekitar Foentza tetapi tetap tak dapat menemukan Princess.” “Bagaimana perkembangan terakhir usaha pencarian itu?” tanya Raja. “Hingga saat ini saya telah mengirim banyak orang dan banyak pula bantuan dari masyarakat yang ingin menemukan Princess tetapi tetap saja Princess belum ditemukan,” jawab Menteri Dalam Negeri. “Apakah engkau telah mencari di sekitar Death Rocks terutama di bawah tebing itu?” tanya Pangeran. “Saya telah mencari Princess di bawah Death Rocks hingga jarak yang memungkinkan sebagai tempat jatuhnya Princess,” jawab Menteri Dalam Negeri. “Tetapi Pangeran….” “Tetapi apa, Kendsley?” tanya Pangeran Alcon tak sabar. “Menurut saya, sangat kecil sekali kemungkinan Princess masih hidup. Death Rocks sangat curam dan terjal selain itu tempat itu sangat tinggi. Mustahil Princess masih selamat setelah jatuh dari tebing yang sangat curam itu.” “Tidak mungkin!” seru Pangeran, “Bila Minerva telah meninggal, kita pasti masih dapat menemukan jasadnya tetapi hingga kini kita tidak menemukan apa-apa selain kuda-kuda yang mati itu dan kereta yang hancur. Minerva masih hidup. Ia pasti masih hidup, aku yakin itu.” 260
“Alcon, apa yang dikatakan Kendsley ada benarnya. Mustahil Minerva masih hidup setelah jatuh dari tebing yang tinggi itu. Mrs. Wve sendiri telah mengatakan Minerva terlempar terluar dari kereta dan ia sempat melihat Minerva jatuh ke bawah,” kata Raja. “Tidak mungkin, Papa. Minerva pasti masih hidup. Apakah Papa percaya Minerva telah meninggal?” Raja berkata sedih, “Aku juga tidak percaya, tetapi hal itu mungkin saja. Sangat mustahil Minerva masih hidup, mengingat tebing itu sangat curam.” “Bagaimana dengan Mama, apakah Mama percaya Minerva masih hidup?” “Mama tidak tahu, Alcon. Mama ingin mempercayai Minerva masih hidup tetapi Kendsley benar tidak mungkin Minerva masih hidup. Mama tidak mengharapkan Minerva telah meninggal tetapi bila benar itu yang terjadi, kita tidak dapat berbuat apa-apa, Alcon, selain menerimanya,” kata Ratu tak kalah sedihnya dengan Raja. “Tidak, Minerva masih hidup. Aku tidak akan percaya Minerva telah meninggal sampai aku bertemu kembali dengannya. Aku yakin Minerva masih hidup di suatu tempat,” kata Pangeran melawan pendapat semua orang yang ada di ruangan itu. “Alcon!” tegur Ratu. “Maafkan aku, Mama. Tetapi aku tidak akan pernah percaya Minerva telah meninggal sebelum aku melihat jasadnya. Aku percaya Minerva masih hidup.” Pangeran berjalan mondar-mandir di ruangan itu dan hampir menabrak seorang prajurit yang memasuki ruangan itu dengan terburu-buru. Prajurit itu berlutut di depan Raja yang duduk di kursi kebesarannya dan hendak berkata sesuatu tetapi Pangeran telah mendahuluinya. “Tidak perlu terlalu formal. Katakan apa yang hendak kaulaporkan,” kata Pangeran tegas. “Seorang dari penjaga gerbang meminta ijin untuk bertemu,” kata prajurit itu. “Apakah terjadi sesuatu di luar?” tanya Raja. “Maafkan saya, saya tidak mengetahuinya.” Pangeran mengambil tindakan lebih dulu, “Suruh dia masuk.” “Baik.” Sesaat setelah kepergian prajurit itu, seorang prajurit yang berbaju 261
basah memasuki Ruang Tahta. Sekali lagi sebelum prajurit itu berkata apa-apa, Pangeran Alcon mendahuluinya, “Tidak perlu bersikap formal dan segera katakan apa yang hendak kaulaporkan.” “Alcon!” tegur Ratu. “Maaf, Mama. Aku benar-benar merasa gila karena hilangnya Minerva,” kata Pangeran. “Itulah yang hendak saya laporkan, Pangeran. Di luar ada seorang wanita tua yang bersikeras masuk, katanya ini menyangkut hidup matinya Princess,” kata prajurit itu hati-hati. Semua orang terkejut mendengar perkataan prajurit itu. “Katakan sekali lagi,” kata Pangeran tak percaya. “Di luar ada seorang wanita tua yang mengaku membawa Princess,” ulang prajurit itu. “Apakah engkau yakin ia adalah Princess?” tanya Menteri Dalam Negeri. “Saya tidak tahu. Tetapi wanita itu berkata Princess meminta saya untuk menunjukkan
kalung
ini
kepada
Pangeran,”
kata
prajurit
itu
sambil
mengangkat kalung itu. Leontin kalung yang berbentuk hati itu terayun-ayun dan berkilauan tertimpa sinar yang memenuhi ruangan itu. Melalui rantainya yang halus, air dari tangan prajurit itu menetes hingga menyentuh lantai. Air itu terus menetes seperti air mata. Semua orang memandang kalung yang terayun-ayun itu tanpa ada yang berkata apa-apa. Pangeran Alcon membelalak terkejut. Ia mengambil kalung itu dari tangan prajurit itu dan mengamatinya. “Tidak salah lagi ini kalung yang kuberikan pada Minerva pada ulang tahunnya yang kedelapan belas,” kata Pangeran dengan penuh semangat. “Apakah engkau yakin, Alcon?” tanya Raja. “Aku yakin sekali, Papa. Kalung ini hanya ada satu di dunia. Kalung ini dibuat khusus untuk Minerva. Di mana mereka?” tanya Pangeran. “Mereka di luar gerbang, Pangeran.” Pangeran menggenggam kalung itu dan berlari meninggalkan Ruang Tahta. Sesaat sebelum ia mencapai pintu, Raja bertanya, “Engkau hendak ke mana, Alcon?” 262
“Aku ingin menemui Minerva.” Pangeran terus berlari tanpa menghiraukan prajurit dan pelayan yang terkejut melihatnya berlari seperti orang yang dikejar setan. Pangeran Alcon juga tak menghiraukan hujan yang menerpa tubuhnya. Ia terus berlari menembus hujan. Kemunculan Pangeran yang mendadak dengan tubuh basah kuyup membuat tiga orang yang menanti di gerbang, kebingungan dan terkejut. Mrs. Vye terkejut melihat seorang pria yang mirip dengan Maria muncul dengan berlari-lari dan terus berlari ke kereta tanpa menghiraukan mereka yang terpaku di tempatnya. Pangeran Alcon membuka kereta dan melihat adiknya tersenyum lemah padanya. “Minerva!” seru Pangeran girang. “Aku pulang, Al,” kata Princess Minerva lirih sambil tersenyum lemah. Pangeran memasuki kereta dan saat itulah ia menyadari keadaan adiknya. Napas Princess Minerva terputus-putus, seperti orang yang berada di ambang maut. Rambut yang menutupi wajahnya yang pucat, tidak bersinar lagi. Mata Princess Minerva memandang lemah pada kakaknya seakan-akan ia kehilangan tenaganya untuk membuka mata. “Engkau pucat sekali,” kata Pangeran Alcon, “Aku lupa engkau tidak tahan udara dingin. Pasti perjalanan ini membuatmu jatuh sakit.” Pangeran Alcon mengangkat tubuh Princess Minerva yang lemah dan membawanya meninggalkan kereta. Princess Minerva merasa lelah. Ia telah berusaha keras agar lekas sampai di Istana Plesaides dan kini setelah ia sampai, ia merasa tidak bertenaga
lagi.
Semua
tenaganya
telah
digunakannya
untuk
mempertahankan dirinya agar tidak pingsan selama perjalanan. Kelelahan dan kelegaan yang menerpa tubuhnya membuat Princess Minerva jatuh pingsan saat Pangeran membawanya meninggalkan kereta. Pangeran kembali berlari tanpa mempedulikan ketiga orang yang masih terkejut. Pangeran berlari menembus hujan sambil melindungi tubuh adiknya dari tetesan hujan dengan tubuhnya sendiri. Pangeran terus berlari ketika ia melihat Raja dan Ratu serta beberapa orang berjalan di halaman dengan payung besar yang melindungi mereka dari hujan deras. 263
“Sekarang engkau akan ke mana?” tanya Raja. “Aku akan membawa Minerva ke kamarnya,” kata Pangeran sambil terus
berlari
meninggalkan
sekelompok
orang
yang
terkejut
dengan
jawabannya itu. Seluruh Istana gempar dengan munculnya putri mereka. Ratu dan Mrs. Wve menangis gembira ketika mendengar putri mereka yang hilang telah kembali. Mungkin tidak hanya Ratu dan Mrs. Wve saja yang menangis gembira tetapi juga beberapa pelayan yang menyayangi Princess Minerva. Dalam waktu singkat seluruh Istana disibukkan oleh keadaan Princess Minerva yang parah. Sebagian bingung mencari dokter, sebagian lagi bingung membuat Princess Minerva merasa hangat. Raja memerintahkan untuk membawa Mrs. Vye dan Eido masuk setelah melihat putranya membawa adiknya masuk ke dalam Istana. Kedua orang itu terkejut ketika mengetahui Maria benar-benar Princess yang hilang itu terutama Mrs. Vye. Tetapi kebingungan wanita itu masih belum hilang semuanya. Ia masih tidak mengerti mengapa Princess Minerva memiliki banyak kepandaian yang sangat tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang putri raja. Pelayan-pelayan Istana menyambut Mrs. Vye dan Eido dengan penuh suka cita. Mereka membawakan baju ganti bagi kedua orang itu dan menyuruh mereka mengganti baju mereka yang basah. Prajurit yang semula berbantah dengan Mrs. Vye dan prajurit yang menunjukkan
kalung
Princess
Minerva
pada
Pangeran
terkejut
ketika
mengetahui berita itu seperti halnya Mrs. Vye yang menyadari Maria adalah putri yang hilang itu. Tadi sewaktu berdiri di depan pintu gerbang sambil menanti prajurit yang membawa masuk kalung Maria, ia sempat memperhatikan wajah Istana. Istana itu tampak seperti Istana negeri dongeng dengan dindingnya yang putih dan halamannya yang luas dan indah. Beberapa ujung menara yang runcing tampak bersinar setiap kali ada petir yang menggelegar di langit. Bendera yang berkibar-kibar di ujung menara itu basah oleh air hujan demikian pula patung-patung yang menghiasi halaman Istana. Dengan tersebarnya kabar bahwa Princess Minerva telah kembali, Mrs. Vye merasa senang karena telah membuat prajurit yang kasar itu menjadi merasa malu. Mrs. Vye tidak menyukai prajurit kasar itu, ia lebih menyukai 264
prajurit satunya yang sabar. Setelah mengganti gaunnya yang basah dan menghangat dirinya, Mrs. Vye dibawa pelayan menemui Princess Minerva di kamarnya. Mrs. Vye terpesona pada kamar Princess Minerva yang luas. Saat Mrs. Vye memasuki ruangan itu, ia mencium bau harumnya bunga dan saat ia berada di dalam, barulah ia menyadari bau harum itu berasal dari bunga-bunga yang memenuhi ruangan yang luas itu. Udara di ruangan itu hangat. Api di perapian yang besar, menyala dan menimbulkan bunyi kayu yang terbakar. Sofa yang indah dan antik dengan mejanya yang tak kalah indahnya terletak di depan perapian menambah indahnya ruangan itu. Sofa itu terlihat sangat nyaman bila diduduki. Sebuah jendela panjang menghubungkan ruangan itu dengan serambi. Tirai putih yang panjang menutupi jendela itu sehingga Mrs. Vye tidak dapat melihat keadaan serambi itu. Tetapi Mrs. Vye dapat menebak serambi itu juga tampak indah dengan pemandangannya yang indah pula. Piano putih yang berada di dekat jendela menarik perhatiannya. Piano itu tampak antik dan anggun. Sebuah bangku yang indah berada di depan piano itu. Seorang wanita yang setua diri Mrs. Vye muncul dari balik sebuah pintu yang berada di dalam ruangan tempatnya berdiri. Wanita itu menghampirinya dan berkata, “Terima kasih Anda telah membawa kembali putri kami.” Mrs.
Vye
menggelengkan
kepalanya,
“Tidak,
bukan
saya
yang
membawa Princess. Ia sendirilah yang membawa dirinya kembali ke Istana, saya hanya mengikutinya.” “Saya pengasuh Princess Minerva, Mrs. Wve,” kata wanita itu. “Saya Mrs. Vye,” kata Mrs. Vye memperkenalkan dirinya. “Andakah yang merawat Princess selama ini?” tanya Mrs. Wve. Mrs. Vye menganggukkan kepalanya. “Terima kasih Anda telah merawat Princess dengan baik. Saya tidak tahu harus berkata apa selain itu. Saya benar-benar berterima kasih karenanya.” “Jangan berkata seperti itu. Saya tidak dapat menjaga Princess dengan baik buktinya sekarang ia jatuh sakit,” kata Mrs. Vye. “Tidak apa-apa. Princess memang tidak tahan dengan udara dingin, tidak ada yang menyalahkan Anda. Saya tetap berterima kasih pada Anda.” 265
Pangeran muncul dari balik pintu yang sama dengan pintu tempat munculnya Mrs. Wve. Pangeran tersenyum pada Mrs. Vye dan berkata, “Saya berterima kasih atas bantuan Anda. Anda telah menjaga Minerva dengan baik.” Mrs. Vye melihat kemiripan senyum Pangeran dengan Maria dan ia membalas senyuman itu, “Anda terlalu melebihkan.” “Silakan
bila
Anda
ingin
menemui
Minerva.
Setelah
itu
saya
mengharapkan kedatangan Anda di Ruang Tahta. Kami membutuhkan keterangan Anda,” kata Pangeran. “Baik,” jawab Mrs. Vye. Pangeran tersenyum lagi. “Tolong kauantarkan Mrs. Wve.” “Baik, Pangeran,” kata Mrs. Wve. Setelah Pangeran meninggalkan ruangan itu, Mrs. Wve membawa Mrs. Vye memasuki ruangan tempat terbaringnya Princess Minerva. “Apakah pria itu adalah Pangeran Alcon?” tanya Mrs. Vye. “Ya, ia kakak Princess.” “Ia mirip sekali dengan Princess.” “Tentu saja, mereka bersaudara,” kata Mrs. Wve. Sekali lagi Mrs. Vye terpesona pada ruangan tempatnya berada. Seperti ruangan sebelumnya, ruangan itu terus memanjang hingga ke serambi. Antara serambi dan ruangan itu juga terpisah oleh jendela panjang yang bertirai putih tipis. Tepat di tengah ruangan itu ada sebuah tempat tidur antik yang besar yang bertiang emas. Tirai-tirai putih yang menutupi tempat tidur itu menyentuh permadani hijau cerah yang menutupi lantai di sekitar tempat tidur. Di setiap kaki tiang-tiang emas itu terletak sebuah pot bunga yang berisi berbagai macam bunga. Tidak hanya di kaki tiang itu saja yang dihiasi bunga tetapi hampir di setiap sudut kamar itu. Sebuah meja rias yang juga terlihat indah dalam keantikkannya terletak tidak jauh dari tempat tidur. Di sampingnya berdiri sebuah almari besar. Selain benda-benda itu dan pot-pot yang penuh berisi bunga, di ruangan itu tidak ada apa-apa lagi sehingga ruangan itu tampak lebih luas dari yang sebenarnya. Mrs. Wve dan Mrs. Vye mendekati tempat tidur yang terletak tepat di tengah ruangan itu. Mrs. Wve menyingkap tirai itu. Mrs. Vye terkejut melihat seorang gadis yang hampir tidak dapat 266
dikenalinya sebagai Maria yang telah tinggal bersamanya selama lebih dari tiga bulan di Obbeyville, tengah terbaring di sana. Wajah Princess Minerva tampak pucat sekali, jauh lebih pucat dari saat Mrs. Vye menemukannya. Rambutnya yang panjang berserakan di sekeliling kepalanya. Selimut putih yang lembut dan hangat menutupi sekujur tubuhnya yang telah mengenakan gaun tidur yang indah. Mata gadis itu terpejam erat. Napasnya tersengal-sengal. Keringat dingin yang bermunculan di dahinya membasahi rambut di sekitar dahinya. Mrs. Wve menyadari kekhawatiran yang muncul di benak Mrs. Vye. Ia berkata, “Jangan khawatir, Mrs. Vye. Princess memang selalu begini setiap kali ia pingsan.” “Tetapi napasnya terputus-putus seperti orang yang berada di ambang maut,” kata Mrs. Vye cemas. “Jangan khawatir, Mrs. Vye. Princess memang selalu seperti ini setiap kali ia kedinginan. Kami sedang berusaha menghangatkan ruangan ini agar Princess tidak kedinginan lagi,” kata Mrs. Wve. Mrs. Vye dan Mrs. Wve memperhatikan wajah Princess Minerva yang tampak terus memucat. Tiba-tiba Mrs. Wve berkata, “Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan bila Princess tidak kembali. Aku sangat menyayanginya.” “Aku juga sangat menyayangi Maria,” sahut Mrs. Vye. “Maria?” tanya Mrs. Wve tak mengerti. “Itu nama yang kuberikan padanya ketika aku menemukannya,” kata Mrs. Vye menjelaskan. Mrs. Wve memandang tak mengerti kepada Mrs. Vye. “Saya ingin bertanya banyak kepada Anda tetapi lebih baik sekarang kita segera menemui Pangeran. Di sana Anda dapat menceritakan semua yang telah terjadi tanpa perlu mengulanginya berkali-kali,” kata Mrs. Wve sambil menutup kembali tirai yang mengelilingi tempat tidur Princess Minerva. “Sebenarnya apa yang terjadi sehingga kecelakaan itu terjadi?” Mrs. Wve menarik tangan Mrs. Vye meninggalkan kamar itu, “Aku akan menceritakannya nanti. Sekarang kita lebih baik membiarkan Princess beristirahat. Kita masih harus menemui Pangeran.” “Apakah baik bila kita meninggalkan Princess sendirian dalam keadaan seperti ini?” 267
“Kita tidak akan meninggalkan Princess sendirian. Di luar pasti ada seseorang.” Apa yang dikatakan Mrs. Wve memang benar. Di Ruang Duduk mereka melihat seorang pelayan pria sedang memasukkan beberapa batang kayu ke dalam perapian yang menyala terang. “Tolong panggilkan seseorang untuk menemani Princess,” kata Mrs. Wve pada pelayan itu. “Anda hendak ke mana, Mrs. Wve?” tanya pelayan itu. “Pangeran memintaku mengantar Mrs. Vye menemuinya di Ruang Tahta,” jawab Mrs. Wve. “Baik,
Mrs.
Wve.
Saya
akan
segera
meminta
seseorang
untuk
menemani Princess. Anda tidak perlu khawatir.” “Tolong segera engkau carikan. Kami tidak akan lama.” “Baik, Mrs. Wve.” “Mari, Mrs. Vye,” kata Mrs. Wve sambil membuka pintu. Mrs. Vye berjalan di samping Mrs. Wve yang tidak berbicara apa-apa selama perjalanan. Mrs. Wve mengerti Mrs. Vye mengagumi Istana. Dan ia memberi kesempatan kepada wanita itu untuk mengamati setiap bagian Istana yang mereka lalui. Walaupun banyak pertanyaan yang ingin diajukannya tetapi Mrs. Wve tetap tidak berbicara apa-apa, ia hanya berjalan pelan-pelan di samping Mrs. Vye yang sibuk mengamati setiap bagian Istana yang mereka lalui. Setelah melakukan perjalanan yang cukup lama dari kamar Princess Minerva yang terletak di lantai empat menuju Ruang Tahta yang terletak di lantai dasar, akhirnya mereka tiba juga di Ruang Tahta. Prajurit yang melaporkan kedatangan mereka berdua kepada Raja, muncul tak lama kemudian. Prajurit itu membukakan pintu Ruang Tahta bagi mereka dan menutupnya kembali setelah kedua wanita itu memasuki Ruang Tahta. Pangeran Alcon serta Raja dan Ratu sedang bercakap-cakap dengan Eido ketika mereka memasuki ruangan itu. Mereka segera menghentikan percakapan mereka ketika melihat Mrs. Wve dan Mrs. Vye datang mendekat. “Kami mengucapkan terima kasih pada Anda yang telah membawa putriku pulang kembali,” kata Raja. “Saya tidak membawanya kembali, Paduka. Princess sendiri yang 268
membawa dirinya kembali ke Xoechbee, saya hanya mengikutinya,” kata Mrs. Vye. “Tidak apa-apa. Kami tetap mengucapkan terima kasih kepada Anda yang telah menjaga Minerva selama perjalanan.” “Sudah merupakan kewajiban saya untuk menjaga Princess yang saya sayangi bahkan sebelum saya mengetahui ia adalah putri yang hilang itu.” “Sekarang kami ingin mengetahui apa yang telah terjadi pada Minerva selama ia berada di sisi Anda,” kata Pangeran, “Teman Anda, Eido, tidak dapat memberi banyak keterangan pada kami. Kata Eido, Andalah yang telah menemukan Minerva dan merawatnya selama ini.” Mrs. Vye menganggukkan kepala, “Benar. Saya menemukan Princess tergeletak pingsan di tepi Sungai Alleghei ketika saya sedang berjalan-jalan di sepanjang sungai itu.” “Sungai Alleghei!?” seru Pangeran Alcon terkejut. “Ya, saya menemukan Princess di Sungai Alleghei,” ulang Mrs. Vye. “Ya, Tuhan. Itu tidak mungkin. Sungai itu jauh sekali dari kaki Death Rocks. Tidak mungkin Minerva terlempar dari tebing itu hingga mencapai Sungai Alleghei yang mengalir jauh di bawahnya,” kata Pangeran. “Itu mungkin saja, Pangeran. Angin bertiup sangat keras ketika Princess tiba-tiba
terlempar
keluar
dari
kereta.
Mungkin
angin
itulah
yang
menerbangkan tubuh Princess ke Sungai Alleghei yang mengalir jauh dari kaki Death Rocks,” kata Mrs. Wve. “Pantas saja kita tidak dapat menemukan Minerva walaupun kita telah mencari di sekitar tebing itu bahkan dalam jarak sekitar lima mil dari tebing itu,” kata Raja, “Tidak kuduga ternyata Minerva terlempar ke Sungai Alleghei yang jaraknya kurang lebih sepuluh mil dari kaki tebing itu.” “Kita harus bersyukur berkat itulah Minerva kembali tanpa kehilangan suatu apapun. Kita benar-benar harus berterima kasih pada Tuhan yang telah melindungi Minerva hingga kini. Dan sekarang kita harus berusaha agar Minerva segera sadar kembali,” kata Ratu. “Jangan khawatir, Paduka Ratu. Saya telah mengutus orang untuk memanggil Dokter Donter,” kata Menteri Dalam Negeri. “Baiklah, itu mungkin saja. Teruskan cerita Anda, Mrs. Vye,” kata Pangeran. “Princess tidak sadarkan diri selama beberapa hari dan ketika ia sadar kembali ia tidak dapat mengingat masa lalunya juga namanya,” kata Mrs. Vye 269
melanjutkan ceritanya. Kembali Pangeran Alcon memutus cerita Mrs. Vye. “Minerva hilang ingatan!?” “Jadi itu sebabnya Minerva tidak segera kembali bahkan setelah berita itu muncul,” timpal Raja ikut memutuskan cerita Mrs. Vye. “Jangan memutus cerita Mrs. Vye!” tegur Ratu, “Kalian memang selalu begini setiap kali ada masalah yang menyangkut Minerva.” “Mama telah mengerti sifat kami bila mengatasi masalah yang berhubungan dengan Minerva, karena itu Mama harus mengerti bila kami sering memutus cerita Mrs. Vye,” kata Pangeran Alcon sambil memberikan senyuman yang manis tetapi nakal kepada Ratu. “Engkau tidak pernah berubah bila menyangkut adikmu, Alcon,” kata Ratu. “Maafkan kami, Mrs. Vye. Silakan melanjutkan cerita Anda,” kata Raja. Mrs. Vye kembali melanjutkan ceritanya. “Baroness Lora, majikan saya sangat marah ketika ia mengetahui saya menemukan seorang gadis. Ia ingin sekali saya segera mengusir Princess Minerva tetapi saya memaksanya membiarkan Princess tinggal hingga ia sadar kembali. Baroness Lora tetap ingin mengeluarkan Princess Minerva walaupun ia tahu Princess kehilangan ingatannya.” “Sungguh keterlaluan Baroness Lora. Bagaimana ia bisa berbuat setega itu pada seorang gadis yang hilang ingatan?” kata Ratu. Pangeran
Alcon
tersenyum
pada
Ratu
yang
tanpa
sadar
telah
memotong cerita Mrs. Vye. “Baroness Lora memang sangat keterlaluan. Bagaimana ia bisa berbuat seperti itu?” “Saya juga tidak mengerti mengapa ia berbuat seperti itu. Ia berkata Princess hanya akan menambah pengeluarannya, tetapi sebenarnya dia sendirilah yang membuat pengeluaran keluarga Sidewinder membengkak dan hampir hilang semuanya terutama sejak kematian Baron Marx Sidewinder,” kata Mrs. Vye. “Saya tahu sepak terjang Baroness Lora. Ia memang bukan wanita yang baik,” kata Menteri Dalam Negeri, “Saya tidak menyukainya. Dan saya percaya wanita itu tega melakukan hal yang sangat keji pada seorang gadis yang tak berdaya.” “Baroness Lora memaksa saya untuk mengeluarkan Princess, tetapi saya tetap bersikeras mempertahankan Princess. Baroness Lora sangat marah 270
dan berjanji akan melakukan segala cara untuk mengeluarkan Princess. Saya sangat ketakutan waktu itu, saya tidak tega membayangkan Princess yang hilang ingatan harus pergi tanpa arah.” “Walaupun Baroness Lora tidak dapat memecat saya, tetapi saya tahu ia bisa membuat Princess meninggalkan Obbeyville. Tetapi untunglah putri Baroness Lora, Lady Debora tidak menginginkan Princess meninggalkan tempat itu,” kata Mrs. Vye melanjutkan ceritanya. “Apakah Baroness Lora menyetujui permintaan putrinya itu?” tanya Mrs. Wve. “Tentu saja Baroness Lora menyetujuinya. Baroness Lora sangat menyayangi Lady Debora. Tetapi baik Lady Debora maupun Baroness Lora tidak begitu saja menerima kehadiran Princess.” Mrs. Vye ragu-ragu untuk melanjutkan ceritanya. “Teruskan cerita Anda, Mrs. Vye,” kata Raja. “Lady Debora meminta Princess menjadi pelayannya,” kata Mrs. Vye. Semua orang tercengang mendengar kalimat terakhir Mrs. Vye. Akhirnya kesunyian itu terpecahkan oleh seruan kemarahan Pangeran Alcon, “Wanita keji! Bagaimana ia bisa melakukan itu?” “Baroness Lora bisa melakukan apa saja. Ia bahkan mengambil gaun yang dikenakan Princess sewaktu saya menemukannya. Saya telah mencoba mempertahankan gaun itu tetapi mereka tetap mengambilnya. Untunglah mereka tidak mengetahui Princess mengenakan kalung yang indah saat saya menemukannya. Setelah mengambil gaun itu, Baroness Lora masih menjelekjelekan Princess, ia mengatakan Princess bukan gadis baik-baik.” “Wanita kejam, aku tidak akan memaafkannya. Bagaimana ia bisa berkata seperti itu padahal ia belum tahu siapa sebenarnya Minerva itu? Apakah ia tidak mempunyai perasaan? Bagaimana ia bisa mengambil barang yang bukan miliknya dan setelah itu menjelek-jelekkan orang itu?” kata Pangeran Alcon geram. “Alcon! Jangan marah seperti itu,” tegur Ratu. “Maafkan aku, Mama. Tetapi aku benar-benar marah sekali kepada kedua
wanita
itu,”
kata
Pangeran
Alcon
tanpa
mengurangi
nada
kemarahannya. Ratu menggelengkan kepalanya dan berkata, “Teruskan cerita Anda, Mrs. Vye.” “Princess menerima syarat yang diajukan Lady Debora dengan senang 271
hati. Princess sama sekali tidak pernah mengeluh apa-apa ketika ia bekerja untuk Lady Debora.” “Princess Minerva memang bukan orang yang suka mengeluh. Princess pasti melakukan pekerjaannya dengan sangat baik,” kata Mrs. Wve. “Ya, ia mengerjakan segala sesuatunya dengan sangat baik. Bahkan ia telah membuat saya tercengang dengan kepandaiannya mengurus rumah dan kepandaian memasaknya. Tetapi lebih dari itu Princess telah membuat saya dan pelayan-pelayan lainnya yang masih bekerja di Sidewinder House tercengang akan kebijaksanaannya.” Pangeran Alcon tersenyum, “Pasti Minerva telah membuat penduduk Obbeyville menjadi gempar.” Mrs. Vye tersenyum, “Ya, ia membuat penduduk Obbeyville menjadi gempar sejak saya menemukannya di Sungai Alleghei yang kami anggap keramat. Kami menganggapnya sebagai seorang bidadari yang dikirim para dewa kepada kami melalui Sungai Alleghei. Tidak ada di antara kami yang meragukan hal itu apalagi setelah mendengar segala yang diketahui Princess mengenai mitos itu.” Semua tercengang mendengar perkataan Mrs. Vye. “Luar biasa!” seru Pangeran Alcon kagum, “Minerva pasti telah membuat semua yang tidak mungkin menjadi mungkin.” “Bagaimana Minerva bisa mengingat kembali masa lalunya, Mrs. Vye?” “Saya kurang tahu apa yang terjadi hari itu. Saya hanya melihat Lady Debora sedang memarahi Princess dari ujung tangga dan tiba-tiba ia mendorong Princess. Ketika Lady Debora mendorong Princess Minerva hingga terjatuh di tangga, Princess pingsan. Dan setelah ia sadar, Baroness Lora muncul dan memarahinya.” “Kasihan Princess,” kata Mrs. Wve, “Mengapa Lady Debora tega melakukan itu?” “Mereka pasti tega, Mrs. Wve. Aku tahu mereka akan selalu tega menyakiti orang lain untuk kepentingan mereka sendiri,” kata Pangeran Alcon geram. “Tetapi mungkin berkat itu ingatan Minerva kembali,” kata Raja. Ratu yang sejak tadi hanya membiarkan mereka menyela cerita Mrs. Vye akhirnya berkata, “Lanjutkan cerita Anda, Mrs. Vye.” Mrs. Vye melanjutkan ceritanya, “Princess tidak mengatakan apa-apa, ia hanya meminta saya untuk memanggilkan kereta untuknya. Semula ia tidak 272
setuju saya ikut dengannya tetapi saya berhasil memaksa ikut dan akhirnya Princess tidak berkata apa-apa untuk melarang saya.” “Selama di perjalanan Princess jatuh sakit dan kami terpaksa berhenti selama beberapa hari di penginapan yang kami temui. Selain itu hujan lebat juga sering menghalangi perjalanan kami. Karena itulah perjalanan ini lebih lama dibandingkan yang seharusnya,” kata Mrs. Vye mengakhiri ceritanya. “Benar-benar luar biasa!” seru Pangeran, “Benar-benar petualangan yang panjang. Apakah selama itu Minerva terus berada di Obbeyville?” “Tidak, beberapa kali Tuan Muda Alexander mengajaknya ke Blueberry. Tetapi Tuan Muda tidak hanya membawanya tetapi juga mengajak Lady Debora,” kata Mrs. Vye. “Siapakah Alexander itu?” tanya Ratu. “Ia putra Duke of Blueberry,” jawab Mrs. Vye. “Aku tahu Alexander. Aku pernah mendengar namanya. Kudengar ia seorang pria yang sulit didekati wanita. Bila ia mengajak pergi Minerva dan Lady Debora maka ada dua kemungkinan ia menyukai Minerva atau menyukai Lady
Debora. Tetapi
bila mengingat
kedinginan sikap
Alexander
bila
menghadapi wanita, maka sangat besar kemungkinan ia menyukai Minerva,” kata Pangeran Alcon. “Aku ingin bertemu dengannya,” kata Raja. “Apakah kita harus mengumumkan kepada masyarakat mengenai kembalinya Princess?” tanya Menteri Dalam Negeri. “Tentu saja. Kita harus mencegah penduduk terus mencemaskan keadaan Minerva,” kata Raja. “Tetapi, Papa, bila kita mengumumkannya sekarang pasti banyak penduduk yang ingin bertemu dengan Minerva. Sedangkan Minerva sendiri masih belum sadar,” kata Pangeran. “Jangan
khawatir,
Pangeran.
Saya
hanya
akan
mengumumkan
penduduk tidak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan Princess,” kata Menteri Dalam Negeri. “Apakah mereka akan menerima berita itu?” tanya Ratu. Kendsley terdiam. “Menurut saya, kita harus menambahkan bahwa Princess sedang sakit dan meminta mereka tidak menganggu Princess hingga ia sembuh,” katanya. “Itu juga sulit, Kendsley. Penduduk pasti ingin mengunjungi Minerva,” kata Raja, “Dan kita tidak tahu apakah Minerva masih berada di sini setelah ia 273
sadar.” “Bagaimana
bila
kita
mengadakan
pesta
untuk
itu?
Kita
tetap
mengumumkan kepada semua penduduk bahwa Minerva telah kita temukan dan berjanji akan memperlihatkan Minerva kepada penduduk dalam pesta itu. Dengan demikian semua masalah akan selesai,” kata Pangeran. “Tetapi,
Pangeran,
Princess
Minerva
tidak
suka
menjadi
pusat
perhatian,” kata Mrs. Wve. “Jangan
khawatir,
Mrs.
Wve.
Minerva
pasti
mengerti
bila
aku
menerangkan segala sesuatunya dan kali ini ia tidak dapat kabur lagi dari pesta yang akan kuselenggarakan,” kata Pangeran. “Sebenarnya masih banyak yang tidak saya mengerti,” kata Mrs. Vye, “Saya tidak mengerti mengapa Princess Minerva pandai memasak? Mengapa Princess Minerva jarang berada di Istana?” Sebelum ada yang menjawab pertanyaan Mrs. Vye, seorang prajurit muncul bersama seorang pelayan. “Ada apa?” tanya Pangeran. “Sebaiknya
Anda
segera
menemui
Princess,
Pangeran.
Princess
memanggil-manggil nama Anda dalam tidurnya sejak tadi,” kata pelayan itu. “Terima kasih, aku akan segera ke sana,” kata Pangeran. Kemudian Pangeran berpaling kepada Mrs. Vye dan berkata, “Mengenai pertanyaan Anda tadi, Mrs. Vye. Saya rasa Mrs. Wve akan menjawabnya dengan senang hati. Anda dapat bertanya segala hal yang tidak Anda mengerti kepadanya.” Pangeran terdiam kemudian berkata, “Apakah Anda berdua berkenan tinggal di sini setidaknya hingga Minerva sadar kembali. Aku yakin Minerva akan mencari Anda bila ia sadar.” “Engkau jangan lupa, Alcon, Mrs. Vye dan Eido masih mempunyai keluarga di Obbeyville. Di samping itu keluarga Sidewinder pasti mencari Mrs. Vye,” tegur Raja. “Paduka tidak perlu khawatir mengenai itu, saya tidak mempunyai keluarga lagi. Jadi tidak ada masalah bila saya tinggal di sini hingga Princess sadar,” kata Eido. “Saya juga tidak berkeberatan bila harus tinggal di sini. Keluarga Sidewinder tidak akan mencari saya. Mereka pasti senang saya telah meninggalkan rumah itu. Sejak dulu Baroness Lora memang tidak menyukai saya, ia terus berharap dapat mengeluarkan saya dari rumahnya tetapi ia 274
tidak dapat melakukannya bahkan setelah suaminya meninggal,” kata Mrs. Vye. “Baiklah kini semua masalah telah selesai kecuali satu, sadarnya Minerva,” kata Pangeran Alcon, “Sekarang aku permisi dulu. Aku ingin menemui Minerva.”
275
16
Pangeran memasuki kamar Princess Minerva dengan hati-hati. Ia berusaha untuk tidak menimbulkan suara. Udara di ruangan itu telah menjadi lebih hangat dari saat Pangeran memasuki
meninggalkan
kamar
itu.
Tetapi
seorang
pelayan
tetap
memasukkan beberapa batang kayu ke perapian yang telah menyala terang. Pelayan itu segera bangkit ketika mendengar langkah Pangeran. “Tolong kau terus hangatkan ruangan ini. Kamar ini harus benar-benar hangat agar Minerva tidak kedinginan,” kata Pangeran Alcon sebelum pelayan itu menyapanya. “Baik, Pangeran,” kata pelayan itu. Pangeran Alcon melanjutkan perjalanannya ke kamar Princess Minerva. Sebelum ia membuka pintu yang tidak tertutup rapat itu, seorang pelayan telah membukanya lebih dulu. Pelayan itu mengangguk hormat kepada Pangeran dan berkata, “Cepatlah, Pangeran. Keadaan Princess semakin memburuk dan ia terus memanggil nama Anda.” Pelayan itu menepi untuk memberi jalan kepada Pangeran yang segera memasuki Ruang Tidur adiknya. Pangeran mendekati tempat tidur adiknya yang tertutup tirai putih. Perlahan-lahan Pangeran Alcon membuka tirai putih itu dan melihat adiknya yang terbaring di ranjang yang besar itu. Pangeran menatap sedih pada Princess Minerva yang terbaring lemah di sana. Princess Minerva tampak sangat kecil di ranjang yang besar itu. Seuntai kalung tampak menghiasi lehernya yang putih. Di balik napasnya yang terputus-putus, Princess Minerva berkata-kata lirih. Pangeran duduk di tepi tempat tidur yang besar itu dan mendekatkan wajahnya sambil berusaha mendengar bisikan Princess Minerva. “Al…, jangan… pergi…. Ja… ngan… pergi…. Al… Al…” Pangeran Alcon menggenggam erat tangan Princess Minerva dan berbisik di telinga Princess Minerva, “Jangan khawatir, sayang, aku akan 276
selalu di sini. Aku akan selalu berada di sisimu.” “Al…, jangan… pergi…. Jangan ting… galkan… aku…, Al.” Kedua tangan
Pangeran menggenggam tangan Princess Minerva
semakin erat. Pangeran meletakkan tangan yang dingin itu ke mulutnya dan berkata, “Aku tidak akan pergi, Minerva. Aku janji aku akan selalu di sisimu.” Pangeran Alcon menggosokkan tangan Princess Minerva ke pipinya sambil terus meyakinkan Princess Minerva seakan-akan dengan demikian Princess Minerva akan mengerti. Tangan Pangeran yang satu menggenggam erat tangan Princess Minerva dan tangannya yang lain mengusap dahi Princess Minerva yang dipenuhi keringat dingin. Pangeran terus memandangi wajah Princess Minerva yang masih memucat hingga ia mendengar suara yang mendekat. Mrs. Wve dan Mrs. Vye tersenyum ketika melihat Pangeran Alcon yang duduk di tepi adiknya sambil menggenggam tangan Princess Minerva. “Anda sudah mengerti semuanya, Mrs. Vye?” tanya Pangeran. “Belum. Mrs. Wve belum menjawab pertanyaan saya.” Pangeran ganti menatap Mrs. Wve, “Mengapa engkau belum menjawab pertanyaan Mrs. Vye, Mrs. Wve?” “Saya tidak tahu harus menjawab apa. Anda tidak memberi tahu saya bagaimana saya harus menjawabnya. Apakah saya harus mengatakan semuanya ataukah hanya bagian-bagian yang penting saja,” kata Mrs. Wve. “Engkau dapat menjawab sesuai dengan yang sebenarnya.” “Saya
juga
ingin
melakukan
itu,
tetapi
biasanya
Anda
selalu
memutuskan segala sesuatu mengenai Princess dan saya tidak tahu harus berbuat apa,” kata Mrs. Wve. “Aku telah memberi wewenang kepadamu untuk menjawab pertanyaan Mrs. Vye,” kata Pangeran sambil tersenyum. Mrs. Wve membalas senyuman itu dan berkata, “Saya mengerti, Pangeran. Tetapi saya pikir lebih baik bila Anda sendiri yang menjawab pertanyaan Mrs. Vye.” “Baiklah, Mrs. Wve, aku tidak akan berdebat denganmu lagi. Minerva pasti tidak senang melihat kita berdebat.” Mrs.
Wve
tersenyum,
“Princess
Minerva
memang
tidak
pernah
menyukai perdebatan kita. Menurut Princess kita bukan berdebat tetapi bertengkar.” “Tetapi tidak ada yang dapat disalahkan, Mrs. Wve, kita memang selalu 277
berbeda pendapat mengenai Minerva,” kata Pangeran. “Ya, saya juga mengakui itu. Pendapat Anda dan saya bila menyangkut Princess memang selalu berbeda, Pangeran.” “Kukira, Mrs. Wve, kita membuat Mrs. Vye semakin tidak mengerti apa yang kita bicarakan,” kata Pangeran, “Saya akan menjelaskan semua yang tidak Anda mengerti, Mrs. Vye.” “Sebelum Anda mulai menjawab semua pertanyaan saya, saya ingin Anda berhenti bersikap sopan kepada saya, jika Anda tidak keberatan. Anda selalu bersikap sopan kepada saya seperti Maria yang selalu bersikap sopan kepada semua orang di Obbeyville,” kata Mrs. Vye. “Maria?” tanya Pangeran tak mengerti. Mrs. Vye menjawab ragu-ragu, “Itu nama yang saya berikan pada Princess ketika ia masih belum dapat mengingat masa lalunya.” “Nama yang indah. Minerva pasti menyukai nama itu,” kata Pangeran. “Ya, Princess sangat menyukai nama itu seperti putri saya.” “Di manakah putri Anda, Mrs. Vye?” tanya Mrs. Wve. “Ia sudah meninggal.” “Aku turut menyesal, Mrs. Vye.” “Terima kasih, Mrs. Wve. Aku telah menerima hal itu. Memang berat rasanya ketika aku kehilangan dia,” kata Mrs. Vye sedih. “Aku mengerti perasaanmu, Mrs. Vye. Aku juga merasa sangat sedih ketika Princess menghilang. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan bila Princess tidak kembali. Aku merasa bersalah telah menyebabkan peristiwa itu terjadi,” kata Mrs. Wve. “Aku merasa seperti orang gila ketika Princess masih belum ditemukan walaupun kecelakaan itu telah berlalu selama lebih dari satu bulan dan aku merasa benar-benar menjadi orang gila ketika Princess tak ditemukan juga hingga hari ini Anda membawanya kembali ke Istana.” Mrs. Wve menghela napas lega dan tersenyum bahagia, “Sekarang aku merasa Tuhan telah mengabulkan doa yang selalu kupanjatkan kepadanya setiap malam dan aku benar-benar bersyukur karenanya. Setiap malam aku terus berdoa dan mengenang peristiwa naas yang tidak dapat kulupakan itu. Aku terus mengingat senyuman Princess yang terakhir kali sebelum ia menghilang. Saat itu Princess tersenyum manis yang pasrah seperti orang yang pasrah terhadap apa yang akan menimpanya.” “Mengapa
engkau
bisa
selamat,
Mrs.
Wve,
sedangkan
Princess 278
terdampar di Sungai Alleghei?” tanya Mrs. Vye ingin tahu. “Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku dan Durant bisa selamat sedangkan Princess bisa terjatuh dari Death Rocks. Hanya satu yang kuingat saat kecelakaan itu terjadi. Saat itu kereta tiba-tiba miring dan pintu kereta di samping Princess membuka. Princess yang tidak siap menghadapi itu terlempar keluar.” “Aku berusaha menangkap Princess tetapi jarak kami terlalu jauh. Saat itulah aku melihat Princess tersenyum pasrah. Setelah itu aku tidak melihat Princess lagi karena tiba-tiba kereta kami yang jatuh dari Death Rocks.” Mrs. Wve menghela napasnya lagi seperti orang yang bersyukur akan nasibnya, “Kami masih beruntung dahan pohon yang cukup kuat menahan jatuhnya kereta kami sehingga kami tidak mengalami luka fatal. Durant dan aku sendiri hanya luka memar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keadaan kami selain terlemparnya Princess dari kereta.” “Apakah kalian tidak berusaha mencari Princess setelah kecelakaan itu?” Pangeran Alcon yang sejak tadi hanya menjadi pendengar dari pembicaraan kedua wanita tua itu menjawab, “Setelah peristiwa kecelakaan itu terjadi, kami secara diam-diam mencari Minerva di sekitar Death Rocks hingga jarak lima mil dari kaki tebing itu. Tidak seorangpun dari kami yang menduga Minerva jatuh ke Sungai Alleghei kemudian terdampar di Obbeyville sebagai gadis yang hilang ingatan.” “Benar-benar keajaiban Tuhan, Princess Minerva tidak kehilangan apapun setelah jatuh dari tebing yang curam itu. Aku benar-benar bersyukur pada Tuhan yang telah melindungi Princess,” kata Mrs. Wve penuh syukur pada Tuhan. “Sebelum bertemu kembali dengan Princess, aku tidak sanggup membayangkan
apa
yang
terjadi
pada
Princess
tetapi
saat
ini
aku
membayangkan Princess mengalami suatu petualangan yang menarik bagi Princess sendiri di Obbeyville.” “Minerva memang mengalami petualangan yang sangat menarik di Obbeyville,” kata Pangeran. “Saya tidak mengerti mengapa Princess sangat pandai mengurus rumah sedangkan di sini ia mempunyai banyak pelayan yang selalu siap 279
melayaninya?” kata Mrs. Vye. “Sebelum Anda mengerti semuanya, Mrs. Vye. Lebih baik kami memberi tahu Anda mengapa Minerva jarang berada di Istana dan di mana saja ia berada bila ia tidak berada di Istana,” kata Pangeran. Pangeran memandang Princess Minerva yang masih tertidur nyenyak. “Lebih baik kita pindah ke Ruang Duduk agar tidak menganggu Minerva,” usul Pangeran. Pangeran
Alcon bangkit dan menutup kembali tirai putih yang
mengelilingi tempat tidur Princess Minerva. Pangeran mendahului kedua wanita itu menuju Ruang Duduk. Mrs. Wve yang berjalan paling akhir membiarkan pintu kamar Princess Minerva terbuka agar udara hangat terus mengalir ke dalam kamar itu. Pangeran mempersilakan Mrs. Vye duduk dengan tangannya kemudian ia duduk di depan perapian. Tidak ada orang lain di Ruang Duduk itu selain mereka bertiga. Pelayan yang semula menambah kayu di perapian kini telah pergi meninggalkan perapian yang menyala terang. Cahaya api dari perapian yang besar itu menerangi seluruh Ruang Duduk. Bahkan sinarnya mencapai Ruang Tidur Princess Minerva yang terbuka. Setelah mereka duduk dengan posisi yang mereka anggap nyaman, Pangeran memulai ceritanya, “Minerva tidak tahan udara dingin. Ia juga tidak dapat bertahan di cuaca yang sangat panas. Dan bila ia memaksakan diri berada di cuaca yang terlalu dingin maupun terlalu panas, ia akan pingsan dan selama ia pingsan suhu tubuhnya akan terus berubah.” “Apakah itu tidak berbahaya?” tanya Mrs. Vye. “Tidak, Mrs. Vye. Kata Dokter Donter, suhu tubuh Minerva yang terus berubah itu karena tubuhnya sedang menyesuaikan diri dengan udara di sekitarnya,” kata Pangeran, “Sungguh aneh memang, Minerva lahir di Istana ini pada musim semi dan hanya pada musim semi saja ia berada di Istana Plesaides.” “Di manakah Princess berada bila ia tidak berada di Istana Plesaides?” tanya Mrs. Vye lagi. “Di musim panas, ia berada di Castil Yonga yang terletak di balik Death Rocks. Di musim gugur dan musim dingin, ia berada di Small Cottage yang berada di pulau Clayment di laut barat yang tetap hangat walaupun di musim 280
dingin.” Mrs. Vye memikirkan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Setelah tidak dapat menemukan jawabannya, ia bertanya, “Bagaimana dengan pendidikan Princess?” “Minerva hanya mendapat pendidikan khusus saat ia berada di Istana. Tetapi Minerva selalu belajar setiap hari walaupun ia jauh dari Istana. Karena di manapun Minerva berada, ia selalu mempunyai guru.” “Menarik sekali!” kata Mrs. Vye kagum, “Seakan-akan keberuntungan selalu menyertai Princess.” “Ya, aku kadang merasa seperti itu. Princess selalu mempunyai guru yang baik di manapun ia berada,” kata Mrs. Wve. “Di Castil Yonga, Princess mempunyai Quiya yang mengajarinya mengenai sejarah Kerajaan Zirva dan bahasa Boudibt serta mitos-mitos Kerajaan Zirva. Di Clayment, Princess mempunyai Granny yang selalu mengajarinya
filsafat
dan
kebijaksanaan
serta
segala
sesuatu
yang
berhubungan urusan rumah.” “Karena itulah Minerva menjadi seorang gadis yang sangat menarik. Ia tidak hanya mengerti mengenai sejarah Kerajaan Zirva tetapi juga mitosmitosnya, ia juga menjadi seorang gadis yang bijaksana dan kata-katanya sering mengejutkan,” kata Pangeran mengakhiri cerita Mrs. Wve. “Princess Minerva juga menjadi seorang gadis yang terampil dalam urusan menata rumah walaupun sebenarnya ia seorang putri raja,” tambah Mrs. Vye. “Ya, tetapi menurutku Minerva memang mempunyai bakat itu. Semua orang yang mengajari Minerva baik itu Quiya maupun Granny hanya mengembangkan bakat itu dan membuat bakat itu nampak,” kata Pangeran, “Minerva seorang gadis yang bijaksana seperti arti namanya, kebijaksanaan.” “Ia mewarisi bakat-bakat itu dari raja dan ratu sebelumnya, seperti bakat menata rumahnya yang diwarisinya dari nenek kami. Mrs. Vye. Nenek kami, Ratu Gorie, juga pandai menata rumah. “Ialah yang membuat Istana ini menjadi menarik seperti saat ini. Tetapi menurutku Minerva memiliki bakat sendiri. Minerva lebih berbakat dari Ratu Gorie, ia telah membuktikan itu. Minerva tidak hanya pandai menata rumah, ia juga pandai memasak,” kata Pangeran. “Hanya itu yang dapat saya katakan. Sisanya Mrs. Wve yang lebih mengetahuinya daripada saya,” kata Pangeran mengakhiri cerita panjangnya. 281
“Saya tahu Princess memang pandai memasak. Sejak kedatangannya yang tidak terduga, ia selalu membantu saya memasak makanan bagi Baroness
Lora. Walaupun
Baroness
Lora maupun
Lady
Debora
tidak
mengatakan apa-apa tetapi saya tahu mereka menyukai masakan yang dibuat Princess,” kata Mrs. Vye, “Saya ingin sekali bertemu dengan Granny.” “Anda akan dapat menemuinya, Mrs. Vye bila Anda ikut Minerva pergi ke Clayment. Aku tidak tahu apakah tahun ini Minerva pergi ke sana atau tidak. Saat ini ia belum sadar dan kita tidak tahu kapan ia akan sadar bila melihat keadaannya yang jauh lebih parah dari yang sudah-sudah,” kata Pangeran. “Apakah Anda yakin Princess baik-baik saja?” tanya Mrs. Vye, “Napas Princess tersenggal-senggal.” “Aku percaya pada apa yang dikatakan Dokter Donter. Keadaan Minerva yang seperti ini karena ia sedang menyesuaikan suhu tubuhnya dengan suhu lingkungannya. Tanpa Dokter Donter, tentu Minerva tidak akan menjadi seperti yang sekarang. Dokter Donterlah yang mengusulkan agar Minerva selalu menghindari cuaca yang dapat menyebabkannya jatuh sakit,” kata Pangeran. “Hingga kapan Princess Minerva tidak sadarkan diri?” tanya Mrs. Vye. “Entahlah, Mrs. Vye. Biasanya Minerva pingsan bisa sampai berhari-hari dan bila melihat kondisinya yang seperti ini tampaknya Minerva akan terus dalam keadaan seperti ini hingga musim mendatang,” kata Pangeran. Mrs. Vye memekik tertahan, “Lama sekali! Saya pasti akan merindukan senyum dan suara Princess bila harus menunggu selama itu.” “Aku selalu merindukan Princess sejak menghilangnya Princess dan aku semakin merasa rindu sejak aku bertemu kembali dengan Princess. Aku sama sekali tidak menduga Princess akan kembali dalam keadaan seperti ini,” kata Mrs. Wve. “Ada satu lagi yang belum saya mengerti. Mengapa pada musim semi tahun ini Princess tidak berada di Istana Plesaides seperti biasanya?” tanya Mrs. Vye. Pangeran tersenyum. “Pertanyaan yang selalu diucapkan oleh semua orang yang mengetahui mengapa Minerva jarang berada di Istana yang kemudian
mengakibatkan
ia
jarang
muncul
di
depan
masyarakat,”
gumamnya. “Saya juga tidak mengerti tentang itu. Mengapa hanya penduduk 282
Xoechbee
dan
penghuni
penjara
bawah
tanah
Xoechbee
saja
yang
mengetahui Princess?” Pangeran tersenyum lagi, “Tahun ini Minerva tidak berada di Istana sebagaimana seharusnya karena ia berusaha menghindari pesta ulang tahunnya yang kuselenggarakan secara diam-diam untuknya.” Mrs. Wve ikut bercerita, “Sebulan sebelum ulang tahunnya yang kedelapan belas…” “Delapan belas!?” sela Mrs. Vye. “Ya, tahun ini Princess Minerva berumur delapan belas,” ulang Mrs. Wve. “Aku tidak percaya. Selama ini aku selalu mengira Maria telah berusia lebih dari dua puluh,” kata Mrs. Vye. Pangeran dan Mrs. Wve tertawa. “Minerva selalu tampak lebih dewasa dari wajahnya. Ia selalu membuat semua orang mengira ia lebih tua dari usianya yang sebenarnya,” kata Pangeran. “Aku tidak percaya. Maria selama ini selalu tampak seperti gadis yang telah dewasa tetapi ternyata ia belum genap dua puluh tahun. Bahkan baru saja menginjak usia dewasa,” kata Mrs. Vye. Pangeran mengangguk. “Ya, karena ini ulang tahun yang sangat penting bagi Minerva, aku merencanakan membuat suatu pesta besar tanpa sepengetahuan Minerva.” “Sebulan sebelum Princess kembali ke Istana, ia telah mengirimkan surat yang menyatakan ia tidak ingin diadakan pesta apapun untuk menyambut ulang tahunnya,” kata Mrs. Wve meneruskan kalimatnya yang terpotong oleh seru terkejut Mrs. Vye. “Sebelumnya aku tahu Minerva pasti tidak ingin aku membuat pesta ini tetapi aku tetap menjalankan rencana yang telah kubuat selama bertahuntahun. Bahkan ketika surat itu datang,” kata Pangeran. “Entah bagaimana Minerva mengetahuinya sehingga tahun ini ia tidak menuju ke Istana Plesaides dari Clayment tetapi menuju Foentza. Dari Foentza, Minerva kembali mengirim surat. Kali ini surat Minerva menyatakan ia tidak pulang ke Istana Plesaides tahun ini.” “Kemudian apa yang terjadi?” tanya Mrs. Vye ingin tahu. “Pangeran tidak membatalkan pesta itu bahkan Pangeran menyusul Princess di Foentza. Bersama-sama dengan Raja, Ratu dan beberapa orang 283
yang diundang Pangeran, kami mengadakan pesta ulang tahun Princess di Castil Yonga,” jawab Mrs. Wve. Pangeran mengeluh sedih. “Sebenarnya aku mengharapkan orang yang hadir di pesta ulang tahun Minerva lebih banyak dari yang datang itu. Tetapi satu-satunya jalan terdekat menuju Foentza sangat berbahaya dan hari ulang tahun Minerva semakin dekat, maka aku dengan terpaksa membatasi jumlah orang yang kuundang.” Pangeran melanjutkan ceritanya, “Setelah pesta itu, para undangan segera kembali ke Xoechbee. Sedangkan kami masih tetap berada di Foentza untuk menemani Minerva.” “Mengapa Princess tidak kembali ke Istana setelah pesta itu?” tanya Mrs. Vye ingin tahu. “Karena ini pertama kalinya Princess melewatkan musim seminya di Foentza. Princess ingin menikmati keindahan Foentza pada musim semi,” jawab Mrs. Wve. “Andai aku tidak bersikeras mengadakan pesta itu, tentu Minerva tidak akan mengalami kejadian ini,” keluh Pangeran. “Anda jangan berkata seperti itu, Pangeran. Saat itu kita semua tidak tahu apa yang akan terjadi,” kata Mrs. Wve. Pangeran Alcon mengeluh lagi. “Andai saja waktu itu aku pulang bersama Minerva, aku yakin peristiwa ini tidak akan terjadi.” “Saat
kecelakaan
itu
terjadi
Anda
berada
di
mana?
Bukankah
seharusnya Anda pulang bersama-sama Princess?” tanya Mrs. Vye. “Saat itu aku sudah berada di sini. Minerva berencana menghabiskan musim semi tahun ini di Castil dan akan segera berangkat ke Clayment setelah musim panas berakhir. Tetapi aku membujuknya agar pulang ke Istana setelah musim semi berakhir,” kata Pangeran. “Apakah Princess menyetujuinya?” tanya Mrs. Vye ingin tahu. Pangeran mengangguk. “Minerva memang menyetujuinya tetapi ia tidak setuju ketika aku memutuskan untuk kembali ke Istana bersamanya. Ia mengingatkan kami akan tugas-tugas yang menanti kami di Istana Plesaides maka aku dan Papa serta Mama kembali dulu. Baru setelah musim semi berakhir, Minerva menyusul kembali ke Istana.” “Setiap tahun Princess selalu melakukan perjalanan, apakah ia tidak merasa bosan atau lelah?” gumam Mrs. Vye. 284
“Princess tidak pernah mengeluh. Ia selalu menikmati perjalanan kami, walaupun kami harus selalu berpindah setiap pergantian kami,” kata Mrs. Wve. “Apakah
engkau
selalu
ikut
bersama
Princess
dalam
setiap
perjalanannya?” tanya Mrs. Vye. “Ya, aku selalu bersamanya. Selain aku, Durant juga selalu mengikuti perjalanan kami,” jawab Mrs. Wve. Mrs. Vye memandang tak mengerti pada Mrs. Wve. Sejak tadi ia sering mendengar
Mrs.
Wve
menyebut-nyebut
nama
Durant
tetapi
ia
tak
menjelaskan siapa orang itu. Karena rasa keingintahuannya yang besar, Mrs. Vye bertanya, “Siapakah Durant itu?” “Ia kusir kuda yang selalu mengantar kami ke manapun kami pergi,” jawab Mrs. Wve. Mrs.
Vye termenung.
“Kasihan
Princess,
ia selalu
terpisah
dari
keluarganya dan hanya pada musim semi ia dapat berkumpul kembali dengan keluarganya,” kata Mrs. Vye. “Ya, musim semi adalah musim cerianya Istana Plesaides,” kata Pangeran. Mrs. Vye memandang tak mengerti pada Pangeran. “Di manapun Princess berada, ia selalu membawa keceriaan dengan senyumnya yang menawan hati,” kata Mrs. Wve. “Senyum Princess memang menawan hati. Aku senang sekali melihat Princess tersenyum,” kata Mrs. Vye, “Selama di Obbeyville, wajah Princess selalu dihiasi dengan senyumannya itu.” “Princess selalu tersenyum. Granny mengatakan Princess memiliki senyum yang paling manis yang pernah dilihatnya.” Pangeran Alcon yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan Mrs. Wve dan Mrs. Vye mulai merasa bosan. Baginya pembicaraan kedua orang itu tidak akan pernah berakhir. Ia bangkit dari kursi dan berkata, “Silakan kalian melanjutkan pembicaraan kalian. Aku akan menjaga Minerva.” Pangeran segera menghilang ke dalam Ruang Tidur Princess Minerva sebelum kedua wanita itu sempat berkata apa-apa. Cahaya api dari perapian yang menerobos masuk ke dalam Ruang Tidur Princess Minerva membuat ruang itu menjadi terang. Tirai-tirai putih yang menutupi tempat tidur Princess Minerva memantulkan bayang-bayang Princess Minerva yang sedang tertidur. 285
Pangeran Alcon bersandar di dinding dekat pintu dan tersenyum melihat bayang-bayang tubuh adiknya muncul di tirai itu. Pangeran berpikir saat itu Princess Minerva benar-benar tampak seperti seorang putri tidur yang menanti kecupan sang Pangeran agar dapat bangun kembali dari tidur panjangnya. Suara perlahan yang seperti bisikan yang berasal dari tempat tidur besar itu membuat Pangeran segera mendekat. “Al…, aku kedinginan…. Al…, di sini dingin sekali….” Pangeran segera memeluk Princess Minerva yang terbaring lemah. “Jangan khawatir, Minerva. Aku akan memelukmu sehingga engkau tidak kedinginan,” kata Pangeran, “Tidurlah yang nyenyak. Aku akan terus menjaga agar engkau merasa hangat.” Setelah
merasa
Princess
Minerva
agak
tenang,
Pangeran
Alcon
meletakkan tubuh Princess Minerva dengan hati-hati. Saat Pangeran meletakkan kepala Princess Minerva di atas bantal, Princess Minerva kembali berkata, “Al…, jangan pergi…. Al…, jangan… tinggalkan aku.” Pangeran
memeluk
Princess
Minerva
lagi
sambil
berusaha
menenangkannya. Setelah merasa adiknya benar-benar tenang, Pangeran Alcon kembali meletakkan tubuh Princess Minerva ke tempat tidur yang menantinya. Kali ini Princess Minerva benar-benar tenang. Ia kembali tertidur dengan tenang walau napasnya masih terputus-putus. Pangeran meletakkan tangannya di dahi adiknya dan merasakan suhu tubuh Princess Minerva sangat panas seperti panasnya api yang membara di perapian. Pangeran menarik kursi meja rias ke samping tempat tidur Princess Minerva dan duduk di sana sambil terus mengawasi Princess Minerva yang tetap terbaring lemah. “Selamat malam, Pangeran.” Pangeran terkejut mendengar sapaan itu. Ia segera memalingkan kepalanya dan melihat Dokter Donter tengah tersenyum padanya. Pangeran bangkit dari kursinya, “Selamat malam, Dokter Donter. Kami menanti Anda sejak tadi.” “Princess tampaknya sangat menderita,” kata Dokter Donter sambil melihat ke Princess Minerva yang tetap terbaring sambil bernapas terputusputus. 286
“Ya, sejak tadi ia begini.” “Apakah wanita tua di luar itu yang membawa Princess kembali?” tanya Dokter Donter. “Ya dan tidak.” Jawaban yang diberikan Pangeran Alcon membuat Dokter Donter menjadi bingung. “Apa maksud Anda?” tanya Dokter Donter kebingungan. “Wanita itu mengatakan Minerva pulang atas kehendaknya sendiri dan ia hanya mengikuti Minerva,” kata Pangeran memberikan penjelasan. “Ya, saya mulai mengerti. Untung sekali wanita itu mau mengantar Princess. Entah apa yang akan terjadi bila wanita itu tidak mengikuti Princess selama perjalanan,” kata Dokter Donter. “Sebaiknya Anda segera memeriksa Minerva, Dokter Donter. Pasien yang Anda tinggalkan pasti tidak sabar menanti Anda,” kata Ratu yang muncul dari balik pintu. Dokter Donter tersenyum, “Ia pasti mengerti bila saya menjelaskan saya
sedang
merawat
Princess
Minerva
yang
telah
kembali
setelah
menghilang selama satu musim lebih.” “Baiklah, Dokter Donter, saya tidak akan menganggu Anda. Silakan Anda memeriksa Minerva,” kata Pangeran. Pangeran segera meninggalkan ruangan itu. Setelah melihat Pangeran muncul dari Ruang Tidur Princess Minerva, Mrs. Wve dan Mrs. Vye memasuki kamar itu. Pangeran Alcon menanti dengan cemas di Ruang Duduk. Ia berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Princess Minerva sambil berusaha menangkap suara yang terdengar dari kamar Princess Minerva. Setelah beberapa saat akhirnya Dokter Donter muncul. Pangeran menyambutnya dengan setumpuk pertanyaan. “Bagaimana keadaan Minerva, Dokter Donter?” Dokter Donter tersenyum melihat kecemasan yang muncul di wajah tampan Pangeran. Kadang-kadang Dokter Donter berpikir apakah rasa sayang Pangeran kepada Princess Minerva melebihi rasa sayang Pangeran kepada kedua orang tuanya. Tetapi tidak ada yang dapat disalahkan bila itu memang benar. Pangeran Alcon memang selalu terlihat lebih mencemaskan keadaan Princess Minerva dibandingkan yang lain. “Duduklah dulu, Pangeran. Kita akan berbicara dengan santai,” kata 287
Dokter Donter. Pangeran mengangguk. Dengan isyarat tangannya ia meminta Dokter Donter duduk di depannya. Tanpa
membuang-buang
waktu,
Pangeran
segera
bertanya,
“Bagaimana keadaan Minerva?” “Seperti biasanya Princess akan terus begini hingga suhu tubuhnya turun.” “Kapankah saat itu tiba?” tanya Pangeran tidak sabar. Dokter Donter menyandarkan punggungnya di sofa dengan pasrah. “Saya tidak tahu, Pangeran. Baru kali ini keadaan Princess separah ini. Ia benar-benar telah berjuang keras agar dapat sampai di sini,” kata Dokter Donter. “Minerva telah berusaha sampai di sini walau udara sangat dingin,” kata Pangeran. Dokter Donter menggelengkan kepalanya, “Bukan itu yang hendak saya katakan, Pangeran.” Pangeran Alcon bertanya tak mengerti, “Lalu apa yang hendak Anda katakan?” “Dari wanita tua itu, saya ketahui bahwa selama perjalanan ke Istana, perjalanan mereka sering dihambat oleh hujan deras. Hal ini membuat Princess menjadi demam dan semakin lemah setiap harinya tetapi Princess tetap bertahan agar tidak pingsan hingga ia tiba di Istana,” kata Dokter Donter. “Minerva telah berjuang keras melawan sakitnya agar ia tiba di sini dan sekarang ia tidak sadarkan diri,” kata Pangeran mengulangi perkataan Dokter Donter. “Itulah yang saya hendak saya katakan, Pangeran. Princess telah menghabiskan seluruh tenaganya untuk melawan sakitnya dan kini kita tidak tahu kapan ia akan sadar. Saya khawatir ia tidak akan sadar hingga musim ini berakhir.” “Saya juga menduga hal itu. Tetapi saya tidak berharap dugaan itu menjadi kenyataan. Saya merindukan Minerva selama ia menghilang.” “Saya juga merindukan Princess. Selama ia menghilang, kita benarbenar telah dibuatnya khawatir dan setelah ia muncul kembali, kita tetap mengkhawatirkannya,” kata Dokter Donter. “Setidak-tidaknya sekarang kita tidak perlu khawatir akan keberadaan 288
Minerva. Kita hanya perlu mengkhawatirkan kesehatannya.” Dokter Donter mengangguk, “Menghilangnya Princess menjadi suatu misteri. Saya tidak percaya ia bisa sampai ke Obbeyville.” “Demikian pula saya, Dokter Donter. Saya tidak percaya ia bisa jatuh di Sungai Alleghei kemudian terdampar di Obbeyville. Sungguh tidak dapat dipercaya ia dapat jatuh di sungai itu dari Death Rocks yang tinggi tanpa kehilangan apapun.” Dokter Donter menatap lekat-lekat wajah Pangeran yang menampakkan kelegaan sekaligus rasa tak percayanya. “Tuhan telah melindungi Princess sehingga ia tetap selamat walaupun terlempar dari Death Rocks,” katanya. Pangeran mengangguk. “Saya benar-benar bersyukur pada Tuhan. Saya tidak tahu apa yang harus kulakukan bila Minerva benar-benar tidak kembali. Ia sangat berharga bagiku bahkan lebih berharga dari nyawaku sendiri.” “Princess
Minerva
berharga
bagi
kita
semua,
Pangeran.
Semua
penduduk Kerjaan Zirva terutama penduduk Xoechbee mencintai Princess,” kata Dokter Donter. “Saya tahu, Dokter Donter. Mereka telah menunjukkan besarnya rasa cinta mereka pada Minerva ketika berita hilangnya Minerva dimuat di koran,” kata Pangeran, “Saya tidak akan pernah lupa saat penduduk berbondongbndong ke Istana untuk menanyakan keadaan Minerva.” “Apakah
Anda
telah
memutuskan
untuk
memberitahukan
berita
kembalinya Princess?” tanya Dokter Donter. Pangeran menatap pintu kamar Princess Minerva yang terbuka. “Aku tidak tahu. Saat ini Minerva masih belum sadar. Saya memang telah memutuskan untuk mengumumkan hal ini tetapi tanpa membuat penduduk menjadi khawatir.” “Apakah Anda bermaksud hanya mengatakan kepada penduduk bahwa Princess telah kembali?” “Itulah yang hendak kulakukan tetapi itu sulit. Penduduk pasti ingin bertemu Minerva sedangkan Minerva masih tidak sadarkan diri. Saya juga tidak dapat mengatakan Minerva sedang tidak sadarkan diri karena itu akan membuat penduduk mejadi khawatir. Tetapi saat ini saya telah memikirkan satu jalan pemecahannya,” kata Pangeran. “Pemecahan yang bagaimanakan yang Anda maksudkan, Pangeran?” tanya Dokter Donter ingin tahu. “Saya berencana mengadakan pesta untuk memperkenalkan Minerva 289
kepada penduduk. Tetapi saya tidak tahu kapan saya dapat mengadakannya bila melihat keadaan Minerva yang seperti itu,” kata Pangeran, “Mungkin setelah Minerva sadar saya baru dapat memutuskan kapan pesta itu akan saya selenggarakan.” “Apakah Princess tidak akan menghindari pesta itu, Pangeran?” tanya Dokter Donter. “Minerva pasti mengerti bila aku menjelaskannya. Selain itu hal ini untuk mencegah terulangnya peristiwa ini. Aku tidak ingin kehilangan Minerva lagi. Dan juga aku ingin melihat wajah wanita yang telah menghina Minerva.” Dokter Donter terkejut mendengar kemarahan dalam suara Pangeran. Wajah Pangeran tampak penuh kemarahan. Matanya menatap dingin dan tajam ke depan seakan-akan ingin membunuh siapa saja yang dilihatnya. Dokter Donter berdiri. “Saya tidak dapat berlama-lama lagi, Pangeran. Masih ada pasien yang harus saya tangani,” katanya. Pangeran juga berdiri. “Maafkan kami, Dokter Donter. Kami pasti telah membuat Anda merasa cemas dan pasien Anda merasa jengkel karena harus menanti Anda yang terburu-buru berangkat ke Istana.” Dokter Donter tersenyum, “Tidak apa-apa, Pangeran. Pasien saya pasti rela bila saya mengatakan saya terpaksa meninggalkannya karena saya harus memeriksa Princess. Tetapi Anda benar saat ini ia pasti merasa jengkel. Karena terburu-buru, saya tidak sempat menjelaskan hal ini. Atau mungkin karena saya terlalu senang mendengar kembalinya Princess sehingga saya lupa menerangkan hal ini kepadanya.” “Seperti halnya Anda, Dokter Donter, semua orang pasti akan senang bila mengetahui Minerva telah kembali,” kata Pangeran. “Saya ingin tahu bagaimana reaksi masyarakat bila mendengar Princess telah kembali. Apakah mereka akan kembali menjadi gempar seperti ketika berita menghilangnya Princess menyebar,” kata Dokter Donter sambil tersenyum. “Mungkin mereka akan menjadi gempar. Kembalinya Minerva di Istana ini saja telah membuat seluruh Istana menjadi gempar apalagi masyarakat.” Pangeran mengantarkan Dokter Donter hanya sampai depan kamar Princess Minerva. “Maafkan kami, Dokter Donter. Karena Minerva Anda harus terburu-buru kemari dan berjalan jauh agar sampai di kamar ini,” kata Pangeran. “Tidak apa-apa, Pangeran. Saya senang dapat melakukannya. Bila 290
dihitung-hitung, berjalan dari lantai dasar Istana hingga ke kamar Princess yang terletak di lantai teratas Istana ini merupakan olahraga yang cukup baik terutama bagi saya yang sudah tua ini,” kata Dokter Donter. Pangeran menatap lorong depan kamar Minerva yang sepi. “Minerva menyukai ketenangan karena itu ia menyukai kamar ini. Selain itu kamar ini satu-satunya kamar yang memiliki perapian yang besar.” Dokter Donter tersenyum, “Saya tidak dapat tinggal lebih lama lagi. Tolong katakan kepada saya bila Princess sudah sadar. Saya merindukan kuenya.” Pangeran berusaha keras menahan tawanya. “Saya juga merindukan kuenya. Kurasa semua orang di Istana ini juga merindukan kuenya.” “Dan permainan pianonya,” tambah Dokter Donter. Pangeran menatap piano putih di pojok Ruang Duduk yang tampak kesepian. “Ya, permainan pianonya juga. Kita merindukan segala sesuatunya tentang Minerva.” Sebelum Dokter Donter pergi, ia berkata, “Di setiap obat yang saya berikan untuk Princess, saya memberinya obat tidur.” Sekali lagi Pangeran berusaha keras menahan tawanya. “Tindakan Anda sangat tepat, Dokter Donter. Minerva sangat sulit disuruh diam. Sedetikpun ia tidak mau diam terbaring di atas tempat tidurnya. Hanya obat tidur saja yang mampu membuatnya terbaring diam.” Setelah Dokter Donter menghilang di lorong panjang itu, Pangeran kembali ke tempat adiknya terbaring. Tiga wanita yang mengelilingi tempat tidur Princess Minerva sibuk bercakap-cakap
sehingga
mereka
tidak
memperhatikan
kedatangan
Pangeran. Entah apa yang dibicarakan mereka. Mereka tampak menikmati pembicaraan mereka sehingga rasanya pembicaraan mereka tidak akan berakhir. Pangeran yang semula hendak menjaga adiknya segera membatalkan keinginannya. Perlahan-lahan ia meninggalkan kamar Princess Minerva dan segera mencari Menteri Dalam Negeri untuk menyelesaikan urusan pengumuman kembalinya Princess Minerva di Istana. Menteri Dalam Negeri sedang bercakap-cakap bersama Raja di Ruang Tahta ketika Pangeran tiba di sana. 291
Seakan-akan tahu apa yang akan dikatakan Pangeran, Menteri itu segera mendekati Pangeran. Pangeran menjelaskan singkat keinginannya. Setelah mendengar penjelasan itu, Menteri Dalam Negeri mengangguk dan berkata, “Saya mengerti, Pangeran. Besok saya akan mengumumkan kembalinya Princess tanpa menerangkan yang lain.” “Umumkan itu besok pagi. Agar di siang hari aku dapat mengetahui bagaimanakah reaksi masyarakat,” kata Pangeran tegas. “Baik, Pangeran.” Seperti yang diminta Pangeran, Menteri Dalam Negeri mengumumkan hal itu keesokan paginya. Reaksi masyarakat ketika mendengar berita kembalinya Princess Princess Minerva ke Istana Plesaides tidak meleset dari dugaan Pangeran Alcon. Mula-mula masyarakat khususnya penduduk Xoechbee senang tetapi tak lama kemudian mereka berbondong-bondong ingin bertemu Princess Minerva yang masih belum sadar. Sejak pagi Pangeran Alcon berada di kamar Princess Minerva. Dari situ pula ia melihat kerumunan penduduk yang ingin melihat adiknya yang terus terbaring lemah di atas tempat tidurnya. Pangeran bersandar di jendela kaca sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya dan mengawasi Princess Minerva. Tirai-tirai yang semalam menutup tempat tidur Princess Minerva telah disibakkan oleh Mrs. Wve. Sinar matahari pagi yang hangat menyinari wajah Princess Minerva. Pangeran tersenyum melihat wajah Princess Minerva yang tampak semakin cantik di bawah siraman sinar matahari pagi. Pangeran percaya wajah Princess Minerva yang tersenyum di bawah sinar matahari pagi akan membuat gadis itu tampak semakin cantik. Suara Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang sedang bercakap-cakap di Ruang Duduk terdengar di ruangan itu. Suara kedua wanita itu terhenti oleh suara ketukan di pintu. Pangeran tetap tidak bergerak. Ia terus bersandar di jendela sambil mengawasi Princess Minerva. Sesaat kemudian Menteri Dalam Negeri muncul. “Engkau hendak melaporkan itu?” tanya Pangeran sambil memalingkan kepalanya ke arah kerumunan orang di depan Istana. 292
Menteri Dalam Negeri mengangguk. “Apa yang harus saya lakukan terhadap mereka?” Pangeran menatap Princess Minerva. Menteri Dalam Negeri juga menatap Princess Minerva yang terus terbaring tanpa mempedulikan keadaan di sekitarnya yang mengkhawatirkan dirinya. “Saya mengerti Princess Minerva belum sadar, tetapi apa yang harus saya katakan kepada mereka?” tanya Menteri Dalam Negeri. “Katakan kepada mereka, untuk saat ini Minerva masih belum dapat menemui mereka. Minerva akan menemui mereka dalam pesta yang akan diselenggarakan pada musim dingin nanti. Dan bila mereka bertanya kapan saat itu tiba, katakan mengenai itu akan diumumkan bila saatnya hampir tiba.” “Apakah itu berarti musim dingin tahun ini Princess tidak akan ke Clayment?” tanya Menteri Dalam Negeri. “Untuk tahun ini, aku tidak yakin Minerva cukup kuat untuk berpergian ke Clayment. Kurasa sebaiknya tahun ini ia melewatkan musim dinginnya di sini,” kata Pangeran. “Apakah itu tidak berbahaya bagi kesehatan Princess?” “Tidak, Kendsley, selama kita berusaha membuat ia terus merasa hangat,” kata Pangeran, “Sekarang temuilah orang-orang itu dan umumkan kata-kataku yang baru saja kusampaikan kepadamu.” “Baik, Pangeran.” Menteri Dalam Negeri membungkuk hormat kemudian meninggalkan Pangeran yang terus bersandar di jendela sambil mengawasi Princess Minerva. Pangeran mendekati Princess Minerva yang masih tertidur. “Engkau putri yang nakal, Minerva. Semua orang mengkhawatirkanmu tetapi engkau tetap tidur dengan tenang,” kata Pangeran Alcon sambil menatap lekat-lekat wajah Princess Minerva yang masih pucat, “Engkau terus menjadi putri tidur yang cantik tanpa mempedulikan sekelilingmu yang menjadi gempar karena dirimu.” Setelah mendengar pengumuman kedua itu penduduk mulai merasa tenang. Mereka tidak lagi bersikeras ingin berjumpa dengan Princess Minerva. Walaupun begitu masih ada beberapa orang yang tetap bersikeras berjumpa dengan Princess Minerva. Tetapi semua itu berhasil ditangani oleh Menteri 293
Dalam
Negeri
tanpa
membocorkan
keadaan
Princess
Minerva
yang
sebenarnya. Pangeran Alcon terus berada di kamar Princess Minerva sepanjang hari. Sejak Princess Minerva kembali dalam keadaan tidak sadarkan diri, Pangeran menghabiskan waktunya di kamar Princess Minerva. Hanya tugastugas kenegaraan saja yang mampu membuat Pangeran Alcon meninggalkan kamar adiknya. Keadaan Princess Minerva sejak ia kembali di Istana Plesaides tidak kunjung membaik. Suhu tubuhnya tetap tinggi dan ia tetap tidak sadarkan diri. Semua orang di Istana benar-benar mengkhawatirkan keadaannya yang tetap tidak berubah walaupun hari telah berganti minggu. Beberapa saat menjelang berakhirnya musim gugur, seluruh Istana dapat mulai merasa lega dan semakin berharap Princess Minerva segera sadar. Saat itu suhu tubuh Princess Minerva telah turun tetapi ia masih belum sadar. Ia tetap terbaring lemah di atas tempat tidurnya yang besar. “Suhu tubuh Princess telah turun,” kata Mrs. Vye mengumumkan. “Ya, aku senang sekali mendengarnya. Aku yakin tak lama lagi Minerva akan sadar,” kata Pangeran penuh keyakinan. “Tetapi hingga kapan Anda akan terus memeluk Princess,” kata Mrs. Wve sambil menyipitkan matanya. Pangeran Alcon tersenyum nakal. “Hingga besok pagi,” katanya. “Biarkan Princess tidur dengan nyenyak dan Anda harus segera kembali ke kamar Anda,” kata Mrs. Wve, “Hari semakin larut malam.” “Aku tahu, Mrs. Wve. Tetapi engkau harus mengerti bila aku ingin terus di sini sampai pagi,” kata Pangeran, “Siapa tahu besok pagi Minerva sadar. Aku ingin menjadi orang pertama yang dilihatnya.” “Saya mengerti, Pangeran. Tetapi apakah Anda ingin tetap seperti itu hingga pagi?” tanya Mrs. Wve. Pangeran Alcon tersenyum. Ia tahu apa yang dimaksud Mrs. Wve, tetapi ia tidak meletakkan kembali tubuh Princess Minerva. Pangeran menyandarkan tubuhnya pada tiang besi tempat tidur kemudian membelai-belai kepala Princess Minerva yang terkulai tak berdaya di pundaknya dengan satu tangannya. Tangannya yang lain memeluk tubuh Princess Minerva. “Ya,” jawab Pangeran dengan senyum nakal, “Kalau bisa aku ingin terus seperti ini. Tetapi engkau tidak akan mengijinkanku, bukan?” “Tentu tidak!” jawab Mrs. Wve dan Mrs. Vye bersamaan. 294
Pangeran meletakkan jari telunjuknya di mulutnya. “Jangan berteriak seperti itu. Minerva akan terganggu.” “Kembalilah ke kamar Anda, Pangeran. Anda harus beristirahat,” kata Mrs. Wve. Pangeran cemberut. “Mengapa engkau tidak membiarkan aku memeluk adikku sampai pagi?” tanya Pangeran. “Karena kalian telah dewasa,” jawab Mrs. Wve. “Ketika dulu Minerva masih kecil, mengapa engkau mengijinkan aku memeluknya sampai pagi?” tanya Pangeran. Mrs. Wve tersenyum melihat tingkah Pangeran Alcon yang biasanya selalu penuh wibawa kini menjadi kekanak-kanakan. Tetapi ia mengerti Pangeran menjadi kekanak-kanakan karena tidak sabar menanti saat Princess Minerva sadar. Bukan hanya Pangeran saja yang berubah bila menyangkut Princess Minerva. Semua orang berubah karena mengkhawatirkan Princess Minerva. Ini terbukti ketika Princess Minerva belum juga ditemukan walau kecelakaan itu telah berlalu selama lebih dari satu bulan. Semua orang menjadi gila memikirkan Princess Minerva yang tidak diketahui keberadaannya. Suasana di Istana Plesaides menjadi sunyi karenanya. Istana Plesaides yang biasanya dipenuhi orang yang lalu lalang saat itu menjadi sepi seakan-akan setiap orang enggan ke Istana. Setelah Princess kembali, semua orang yang semula membisu karena sibuk memikirkan keadaan Princess Minerva seakan-akan bangkit dari kebisuannya. Semua sangat senang Princess telah kembali dan kini mereka menanti saat Princess tersadar dari tidur panjangnya. “Karena saat itu Princess yang memintanya,” kata Mrs. Wve tenang. “Kini Minerva juga yang memintanya. Tidakkah engkau mendengar Minerva
memintaku
tak
meninggalkannya.
Ia
juga
sering
berkata
ia
kedinginan,” kata Pangeran Alcon merujuk. “Pangeran, kalian telah dewasa. Kalau dulu saya mengijinkan Princess tidur
dengan
Anda
itu
karena
Princess
masih
kecil
dan
saya
tahu
kemungkinan besar Anda akan menolaknya,” kata Mrs. Wve. “Ya, aku menyesal dulu aku sering menolak bila ia meminta aku menemaninya. Tetapi sejak kejadian itu aku merasa menyesal dan berusaha memberikan yang terbaik bagi Minerva.” “Karena itu, Pangeran, kini berikan pula yang terbaik bagi Princess. 295
Kembalilah ke kamar Anda dan biarkan Princess tidur nyenyak,” kata Mrs. Wve membujuk Pangeran Alcon. “Bagaimana bila ia mencariku lagi?” tanya Pangeran Alcon merujuk lagi. Tiba-tiba Mrs. Vye yang sejak tadi hanya menjadi pendengar berkata, “Anda dapat menggunakan kamar yang saya tempati.” Pangeran Alcon menggelengkan kepalanya. “Dulu kamar itu memang untukku bila aku ingin tidur di sini. Tetapi sekarang kamar itu adalah kamar Anda, Mrs. Vye.” “Tidak apa-apa, Pangeran. Saya dapat tidur di kamar Mrs. Wve. Tempat tidur Mrs. Wve cukup besar untuk kami berdua.” Pangeran Alcon menggeleng lagi. “Tidak, Mrs. Vye. Mrs. Wve benar, aku dan Minerva sudah dewasa. Aku akan kembali ke kamarku.” Pangeran Alcon meletakkan tubuh Princess Minerva dengan hati-hati. “Hanya suami Minerva saja yang dapat terus bersamanya sepanjang hari. Tetapi kapan Minerva menemukannya? Minerva jarang berbicara dengan laki-laki.” Setelah mengucapkan itu Pangeran berlalu dari hadapan Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang saling berpandangan tak mengerti. Mrs. Wve sadar apa yang dikatakan Pangeran Alcon memang benar. Sejak
kecil
Princess
Minerva
selalu
berpindah-pindah
tempat
setiap
pergantian musim sehingga Princess jarang berbicara dengan laki-laki. Walaupun Castil Yonga cukup besar dan suasana di sekitarnya ramai, tetapi Princess Minerva lebih sering berada di Castil daripada bepergian ke Foentza. Princess lebih suka mendengarkan Quiya daripada berjalan-jalan. Di
Clayment
pun
juga
demikian.
Di
sana
Princess
Minerva
menghabiskan waktunya di cottage kecil mereka yang Princess namai Small Cottage. Princess Minerva hanya meninggalkan Small Cottage untuk ke rumah Granny yang dekat dari Small Cottage. Ketika Princess Minerva berada di Istana Plesaides, ia juga jarang bertemu dengan laki-laki. Princess lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar dan memasak di dapur Istana. Aneh memang. Princess Minerva memiliki wajah cantik yang akan membuat siapa saja merasa tertarik tetapi ia tidak memiliki banyak kawan. Bahkan teman teman perempuan yang sebaya. Teman Princess Minerva hanyalah anak-anak kecil di sekitar Small Cottage
yang
senang
mendengarkan
cerita
Princess
Minerva
sambil 296
menikmati kue buatannya. Selain itu Princess Minerva jarang diketahui sebagai putri raja. Lebih banyak orang yang mengenalnya sebagai gadis yang menarik daripada sebagai putri raja. Hanya penduduk Xoechbee saja yang mengenalnya sebagai putri. Itupun hanya orang-orang yang pernah ke Istana selama musim semi atau mereka yang bertemu dengan Princess Minerva saat gadis itu berjalan di sekitar Istana bersama Pangeran. Setiap kali Princess berada di Istana, Pangeran selalu meluangkan waktu untuk menemani Princess berjalan-jalan di sekitar Istana. Setiap orang yang melihat Princess dan Pangeran berjalan bersama dengan dikawal beberapa prajurit, mula-mula merasa bingung. Mereka menduga Princess adalah kekasih Pangeran. Tetapi ketika mereka melihat kemiripan Princess dan Pangeran, barulah mereka mengerti. Kadang-kadang Pangeran Alcon juga membawa Princess ke penjara bawah tanah Xoechbee dalam setiap kunjungan rutinnya. Karena itu cukup banyak pula tahanan yang menyayangi Princess Minerva bukan saja karena kecantikan Princess tetapi juga karena kebaikan hati Princess. Pria-pria yang mengagumi Princess Minerva sadar Princess Minerva terlalu anggun untuk mereka. Princess dikagumi dan dipuji banyak orang tetapi tidak seorangpun dari mereka yang dekat dengan Princess seolah-olah Princess adalah gadis sombong yang enggan berkenalan dengan siapapun padahal bukan demikian halnya. Mereka yang mengagumi Princess merasa segan pada keanggunan Princess. Mereka merasa diri mereka tidak cocok untuk menjadi teman Princess yang dalam pandangan mereka sangat mulia dan anggun. Mereka merasa diri mereka kecil di hadapan Princess yang selalu memancarkan kharisma. Granny pernah berkata kepada Mrs. Wve, “Minerva mempunyai kharisma seorang putri sejati yang membuat ia disegani banyak orang.” Saat Granny mengatakan itu, ia sama sekali tidak tahu Princess Minerva memang seorang putri raja. Di samping kharismanya yang menonjol itu, Princess memiliki senyum manis pada wajah bidadarinya yang akan membuat siapa saja tidak dapat melepaskan pandangan mata mereka dari wajah Princess Minerva. Tutur kata Princess Minerva yang lemah lembut mampu membuat setiap orang mendengarkannya dengan penuh perhatian walaupun apa yang 297
dikatakannya membosankan. Tetapi itu tidak akan pernah terjadi. Setiap orang senang berbicara dengan Princess Minerva. Setiap orang senang mendengarkan kata-katanya yang bijaksana dan tak jarang mengejutkan. Tingkah laku Princess Minerva yang selalu tenang membuat setiap orang semakin mengagumi dan menyayanginya. Namun di antara semua itu, banyak orang yang mengagumi mata Princess Minerva yang berwarna ungu jernih. Sekilas mata Princess memang tampak biru keungu-unguan tetapi semakin dipandang, mata itu semakin tempak berwarna ungu jernih. Kejernihan mata itu sebening suara Princess Minerva yang lemah lembut tetapi mampu membuat siapa saja mendengarkannya. “Suara Minerva yang bening itu mampu mempengaruhi siapa saja,” demikian pendapat Pangeran. Mungkin karena itulah Pangeran sering meminta bantuan Princess setiap kali ia menghadapi masalah yang sulit terutama bila berhubungan dengan masalah kerajaan. Dengan kebijaksanaan yang dimilikinya, Princess membantu memecahkan setiap persoalan betapapun sulitnya persoalan itu. seakan-akan persoalan seberat apapun menjati tidak ada artinya bila Princess yang mengatasinya. Sedikit banya berkat Princess Minervalah Raja Croi I disegani dan disayang
penduduk
Kerajaan
Zirva
karena
memperhatikan
kehidupan
rakyatnya. Princess yang jarang berada di Istana dan hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai gadis biasa bukan sebagai putri raja, selalu kembali ke Istana Plesaides dengan setumpuk pesoalan yang menyangkut rakyat. Secara tidak langsung Raja mengetahui keadaan rakyatnya secara lebih terperinci daripada yang dilaporkan menteri-menteri. Princess Minerva juga banyak memberikan bantuannya dalam setiap persoalan yang Princess bawa saat ia kembali ke Istana. Bagi Mrs. Wve, Princess Minerva sangat berharga. Mrs. Wve sangat menyayanginya, ia rela melakukan apa saja baginya. Dan seperti orang-orang umumnya, ia merasa kecil di hadapan kharisma Princess Minerva sebagai seorang putri. Tetapi Princess Minerva tetap saja seorang gadis yang masih polos yang perlu diperhatikan, tidak peduli sebesar apapun kharisma Princess Minerva mampu membuat orang lain merasa kecil di hadapannya. Sejak Princess Minerva hilang semua orang di Istana mengkhawatirkan Princess hingga kini. Tetapi setelah mengetahui suhu tubuh Princess Minerva 298
mulai turun, semua orang mulai tidak seberapa cemas dan mereka semakin berharap dan menantikan saat Princess sadar. Tetapi Princess Minerva sendiri masih terus terbaring diam. Suasana seperti ini benar-benar seperti dongeng putri tidur di mana Princess tertidur nyenyak dan semua orang menantikan saat Princess membuka matanya kembali dan menceriakan Istana.
299
17
Princess
Minerva
memincingkan
matanya.
Sinar
matahari
yang
menyilaukan membuat ia sulit melihat tempat ia berada. Tanpa sadar ia menutupi arah datangnya sinar menyilaukan itu dengan tangannya. Tiba-tiba sesosok pria menutupi sinar yang menyilaukan itu. Pria itu berdiri tepat di depan jendela menuju serambi yang memantulkan sinar matahari yang menyilaukan itu. Mula-mula Princess Minerva melihat tubuh pria itu tampak hitam dengan sinar matahari di sekelilingnya yang membuatnya silau. Princess Minerva berusaha mengenali sosok itu dan ketika ia telah mengenalinya, ia tersenyum dan berkata lemah, “Al….” Perkataan Princess Minerva disambut dengan pelukan yang tiba-tiba. “Minerva, aku khawatir sekali. Kukira engkau akan selamanya menjadi putri tidur,” kata Pangeran Alcon sambil mempererat pelukannya. “Al…,” sekali lagi Minerva memanggil Pangeran Alcon. Pangeran Alcon semakin mempererat pelukannya seolah-olah tidak ingin melepaskan Princess lagi. Princess Minerva tersenyum di pelukan kakaknya. Ia meletakkan kepalanya di pundak Pangeran Alcon dan menutup matanya. Princess Minerva tahu saat ia terbaring, ia sering dipeluk kakaknya. Sering dalam mimpinya ia merasakan hangatnya tubuh seseorang melindunginya dari udara dingin di sekelilingnya. Pangeran Alcon kebingungan dengan kediaman Princess Minerva. “Engkau baik-baik saja, Minerva?” tanya Pangeran cemas. Princess Minerva mengangguk. “Aku baik-baik saja.” “Mengapa engkau diam saja?” Princess
Minerva
tersenyum.
“Aku
merindukan
segala
sesuatu
tentangmu, Al. Aku rindu kaupeluk seperti ini.” Pangeran meletakkan kepalanya di atas kepala Princess Minerva. “Aku juga sangat merindukanmu, Minerva,” katanya sambil membelai rambut Princess Minerva. Princess Minerva melihat sekeliling kamarnya dari pundak Pangeran 300
Alcon. Kamarnya sama sekali tidak berubah sejak ia meninggalkannya tahun lalu. Tirai-tirai putih masih menutupi jendela panjang menuju serambi. Demikian pula tirai-tirai yang menggantung pada tiang tempat tidurnya yang besar. Bunga-bunga masih memenuhi ruangan itu, di dekat jendela, di pojok ruangan juga di atas meja rias yang antik. Pangeran Alcon yang mengetahui adiknya tengah memperhatikan ruangna yang telah lama ditinggalkannya, tersenyum sambil terus membelai Princess Minerva. “Al,” kata Princess Minerva tiba-tiba. “Ada apa, Minerva?” “Aku ingin ke serambi.” Pangeran terkejut mendengarnya. Ia menjauhkan tubuh Princess Minerva dari pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah Princess Minerva yang kebingungan. “Tidak,
Minerva,”
kata
Pangeran
Alcon
sambil
menggelengkan
kepalanya. “Tetapi, Al…. Aku ingin sekali melihat keadaan di luar. Rasanya sudah lama sekali aku terus berada di sini,” kata Princess Minerva. “Benar. Engkau terus terbaring diam di sini lama sekali. Rasanya satu abad engkau menjadi putri tidur.” “Satu abad?” tanya Princess Minerva sambil tersenyum, “Lama sekali.” “Benar. Sekarang engkau harus diam di sini.” “Ayolah, Al. Aku merasa seperti boneka bila engkau tidak mengijinkan aku ke serambi,” bujuk Princess Minerva, “Aku ingin sekali melihat cuaca di luar.” “Tidak, Minerva. Aku lebih senang engkau menjadi boneka yang manis daripada menjadi putri tidur yang cantik,” kata Pangeran Alcon, “Lagipula musim gugur hampir berganti.” “Lama sekali aku tertidur,” kata Princess Minerva. Pangeran Alcon tersenyum. “Anak nakal. Sejak tadi aku mengatakan engkau telah menjadi putri tidur selama satu abad tetapi engkau tidak mendengarkannya.” “Ayolah, Al, ijinkan aku melihat keadaan luar. Bila engkau tidak mengijinkan aku ke serambi biarlah aku melihat keadaan luar melalui jendela,” kata Princess Minerva. 301
“Baiklah, Minerva. Aku mengijinkan engkau melihat keadaan luar melalui serambi,” kata Pangeran. “Al, aku ingin berjalan sendiri,” kata Princess Minerva ketika Pangeran Alcon hendak mengangkat tubuhnya. Pangeran menggelengkan kepalanya. “Tidak, Minerva. Engkau terbaring cukup lama di tempat tidur ini, aku khawatir engkau tidak cukup kuat untuk berjalan. Aku akan menggendongmu ke sana.” “Al, aku ingin berjalan sendiri. Aku dapat berjalan ke sana, Al.” “Bila engkau memaksa berjalan ke sana sendirian, Minerva, aku tidak akan mengijinkanmu melihat keadaan luar sampai musim semi.” “Aku bosan berada di atas tempat tidur terus, Al. Aku ingin melihat keadaan di luar,” kata Princess Minerva. Pangeran memeluk tubuh Princess Minerva dengan satu tangannya dan tangannya yang lain menata bantal Princess Minerva. Setelah merasa tumpukan bantal itu cukup nyaman, Pangeran meletakkan tubuh Princess Minerva dengan hati-hati di atas bantal itu. “Sekarang engkau akan merasa nyaman,” kata Pangeran. Princess Minerva memandang Pangeran sambil tersenyum. “Engkau jahat sekali, Al. Engkau mengurungku di kamarku tanpa mengijinkan aku melihat keadaan di luar. Engkau tahu aku selalu merindukan halaman Istana yang luas.” “Aku juga yakin engkau merindukan semua penghuni Istana,” kata Pangeran. Tiba-tiba Pangeran terdiam seakan-akan teringat sesuatu yang penting. “Sejak tadi aku terus di sini tanpa memberi tahu mereka kalau engkau telah sadar. Aku akan memberi tahu mereka, mereka pasti senang sekali,” kata Pangeran. Princess Minerva menahan Pangeran yang hendak meninggalkannya. “Jangan pergi, Al.” Pangeran Alcon memandang heran ke wajah adiknya. “Mengapa engkau menahanku, Minerva? Biasanya engkau selalu mengingatkan
aku
akan
tugas-tugasku
dan
selalu
memintaku
mengerjakannya setiap kali aku ingin menghabiskan waktu bersamamu tetapi sekarang engkau menahanku. Aku merasa aneh. Apa yang sebenarnya telah terjadi, Minerva?” Princess
Minerva
tersenyum
sambil
memiringkan
kepalanya 302
memandang wajah kakaknya. Pangeran Alcon tersenyum melihat adiknya sambil berpikir siapa yang tidak akan merasa tertarik bila melihat Princess Minerva dalam keadaan seperti ini, tersenyum manis sambil memiringkan kepalanya. Melihat senyuman itu, Princess Minerva semakin menyadari kemiripan kakaknya dengan Alexander. Cara tersenyum mereka sama. Mereka juga memiliki senyum nakal yang sama. Cara memandang mereka kepada Princess Minerva hampir sama. Yang membuat pandangan kedua pria itu kepada Princess Minerva berbeda adalah sinar yang terpancar di sana saat memandang Princess Minerva. Pangeran Alcon memandang Princess Minerva penuh kasih sayang, demikian pula Alexander tetapi mata pria itu lebih tampak tajam dan penuh tanda tanya saat menatap Princess Minerva. Ketika Princess Minerva memandang wajah kakaknya, ia merasa seperti memandang wajah Alexander, Alexander yang telah mengatakan kata-kata kasar yang tidak dapat dilupakannya hingga kini. Teringat kata-kata terakhir Alexander yang didengarnya, Princess Minerva merasa sedih. Ia tahu ketika ia meninggalkan Obbeyville itu adalah saat terakhir ia dapat berjumpa dan mendengarkan suara Alexander yang sangat dicintainya. Walaupun banyak kemiripan Alexander dengan kakaknya, Pangeran Alcon, tetapi Princess Minerva menyadari ia mencintai Alexander bukan karena kemiripannya tetapi karena Alexander adalah Alexander. Princess Minerva telah menyadari itu pada saat-saat terakhir ia berada di Obbeyville. Princess Minerva sadar apa yang dikatakan Alexander tidak akan diingkari pria itu. Sejak mengenal Alexander, Princess Minerva telah mengenali
watak
pria
itu
yang
tidak
ingin
siapapun
menghalangi
keinginannya. Alexander tidak dapat ditahan bila ia mempunyai keinginan. Dan keinginan terbesar Alexander yang diketahui Princess Minerva adalah tidak melihat wajahnya lagi. Princess Minerva menjadi semakin sedih memikirkan ia tidak akan pernah berjumpa lagi dengan Alexander yang sangat dicintainya tetapi tidak menyukainya. Saat ini Princess Minerva sadar, sejak pertama kali ia bertemu dengan Alexander, ia telah mencintai pria itu tetapi ia tidak berani mengakuinya karena
ia
takut.
Ia
takut
hatinya
tersakiti
dan
ia
semakin
enggan
mengakuinya ketika Alexander semakin akrab dengan Lady Debora. Princess Minerva teringat kembali saat Alexander dan Lady Debora 303
berdua. Mereka tampak sangat mesra sekali. “Mengapa engkau menangis, Minerva?” tanya Pangeran. “Aku tidak menangis,” kata Princess Minerva berdusta. “Engkau menangis,” kata Pangeran sambil menyeka air mata yang membasahi mata Princess Minerva, “Lihatlah ini.” Princess Minerva berusaha tersenyum dalam kesedihan hatinya, “Aku menangis karena aku sangat merindukanmu, Al. Aku senang sekali dapat berjumpa kembali denganmu sehingga aku menangis.” Pangeran menatap wajah Princess Minerva. Ia tahu Princess Minerva tidak mengatakan yang sebenarnya tetapi ia pura-pura percaya. Princess Minerva tidak menyadari kakaknya terus melihat wajahnya yang menjadi sayu ketika Princess Minerva mengenang kembali saat ia berada di Obbeyville dan kenangannya bersama Alexander. “Aku juga sangat merindukanmu, Minerva.” “Di mana Mrs. Vye?” tanya Princess Minerva, “Di mana Eido?” Pangeran Alcon tersenyum, “Akhirnya engkau menanyakan hal itu. Aku baru saja berpikir hingga kapan engkau tidak bertanya mengenai Mrs. Vye maupun Eido.” “Di mana mereka, Al? Apakah mereka telah kembali ke Obbeyville?” tanya Princess Minerva cemas. “Tidak, Minerva. Mereka berada di sini. Bahkan Mrs. Vye terus menemanimu selama engkau tidak sadar bersama Mrs. Wve.” “Di mana Mrs. Wve, Al? Aku rindu sekali padanya. Aku ingin segera berjumpa semua orang yang selalu kurindukan ketika aku berada di Obbeyville.” “Engkau selalu merindukan kami?” tanya Pangeran Alcon tak percaya. Princess Minerva tersenyum, “Walaupun aku tidak dapat mengingat masa laluku tetapi aku selalu merindukan kalian, Al. Aku merindukan kalian walau aku tidak ingat nama dan wajah kalian.” Pangeran Alcon tiba-tiba memeluk Princess Minerva. “Aku senang engkau selalu merindukan aku, Minerva. Semula kukira hanya aku saja yang merindukanmu.” “Jangan seperti itu, Al. Aku menyayangi kalian. Aku pasti meridukan kalian walaupun aku kehilangan ingatan. Sekarang jawablah di mana mereka, Al?” “Mereka semua berada di Istana ini, Minerva. Saat ini Mrs. Vye dan Mrs. 304
Wve pasti sedang bercakap-cakap di Ruang Duduk,” kata Pangeran Alcon, “Tunggulah di sini. Aku akan memanggil mereka.” Pangeran menghilang ke pintu yang membatasi Ruang Duduk dengan ruang tempat Princess Minerva berada. Tak lama kemudian Pangeran Alcon kembali bersama dua orang wanita tua yang membelalak terkejut dan senang melihat Princess Minerva. Princess Minerva tersenyum menyambut mereka. Setelah Mrs. Vye dan Mrs. Wve mengetahui Princess Minerva telah sadar kembali, semua orang di Istana mengetahuinya juga. Semua orang merasa sangat senang mendengarnya. Raja dan Ratu segera menghampiri Princess Minerva yang terus berbaring di tempat tidurnya sambil bercanda dengan Pangeran Alcon. Dengan bangkitnya sang putri tidur dari tidur panjangnya, seluruh Istana kembali menjadi ceria. Keceriaan itu seakan-akan menjalari seluruh Istana sehingga semua tumbuhan tampak lebih ceria. Walau Princess Minerva sadar kambali, ia tetap berada di atas tempat tidurnya dengan Pangeran Alcon yang selalu setia menemaninya dan Mrs. Wve serta Mrs. Vye yang selalu berada di Ruang Duduk. Suatu hari saat Pangeran Alcon menemani Princess Minerva, Pangeran berkata, “Apakah engkau tidak bosan mendengarkan pembicaraan kedua wanita itu yang seakan-akan tidak ada akhirnya itu?” Princess Minerva tersenyum. Ia mendengarkan suara percakapan Mrs. Wve dengan Mrs. Vye di Ruang Duduk yang telah menjadi bagian dari hidupnya akhir-akhir ini. “Mereka memang cocok, ya, Al?” Pangeran mengangguk. “Mereka memang cocok sekali. Bila mereka berkumpul, mereka akan selalu berbicara hingga tidak ada habisnya.” Princess Minerva tersenyum mendengar keluhan kakaknya. Mrs. Wve dan Mrs. Vye memang sangat cocok. Keduanya juga memiliki rupa yang sama. Setiap orang yang melihat mereka berdua pasti mengira mereka bersaudara. Mrs. Wve memiliki tubuh yang sama gemuk dengan Mrs. Vye. Wajah mereka juga tampak mirip. Dari semua kecocokan Mrs. Wve dan Mrs. Vye, yang paling mencolok adalah kecocokan kedua wanita itu saat berbincang-bincang. Kedua wanita tua itu setiap hari menghabiskan waktunya dengan berbicang-bincang. Perbincangan mereka tidak pernah berakhir. 305
Selalu saja ada yang dibicarakan mereka berdua. Bila hari ini mereka membicarakan masa lalu mereka, maka esok mereka akan membicarakan hal yang lain. “Sejak Mrs. Vye ada di sini, Mrs. Wve jarang memperhatikanmu,” kata Pangeran, “Aku akan memperingatkan Mrs. Wve.” Princess Minerva tersenyum, “Biarkanlah mereka, Al. Mereka memang cocok sekali dan tidak dapat dipisahkan. Sejak dulu Mrs. Wve hanya mengawalku pergi ke manapun. Ia tidak mempunyai teman berbicara sekarang ia mempunyai teman yang cocok.” “Ya,” keluh Pangeran sambil meletakkan kepalanya di dekat tangan Princess Minerva, “Tetapi mereka berbicara tidak ada akhirnya membuat aku merasa bosan mendengarnya.” Princess Minerva meletakkan tangannya di atas kepala kakaknya, “Jangan berkata seperti itu. Aku menyayangi mereka berdua.” “Apakah engkau tidak menyayangiku?” tanya Pangeran sambil melirik tajam pada Princess Minerva. Tatapan tajam kakaknya membuat Princess Minerva kembali teringat mata tajam Alexander saat terakhir kali ia melihat pria itu. Princess Minerva segera menutup matanya. “Aku juga menyayangimu, Al. Tetapi engkau harus mengerti. Mrs. Wve pasti merasa bosan dan kesepian karena harus selalu menemaniku ke manapun aku pergi. Selama itu ia tidak mempunyai teman yang seusia dengannya. Ia tidak mempunyai teman untuk berbagi cerita. Sekarang ia mendapatkannya dan demikianlah jadinya.” “Karena itulah sampai sekarang engkau belum bertanya pada Mrs. Vye apakah ia mau tinggal di Istana?” tanya Pangeran. Princess Minerva menatap wajah kakaknya, “Aku tidak tahu, Al. Aku merasa Mrs. Vye pasti setuju bila ia kuminta tinggal di sini tetapi ia juga memiliki
teman
yang
menyayanginya
di
Obbeyville.
Aku
tidak
ingin
membuatnya bingung.” “Sekarang perhatian
orang
waktunya dan
kita
memanfaatkan
kepandaianku
kepandaianmu
memanfaatkan
menarik
kesempatan,”
kata
Pangeran. “Apa yang kaumaksud, Al?” “Engkau harus bertanya kepada Mrs. Vye, Minerva. Kau tahu itu. Dan sekarang kita berdua yang akan bertanya pada Mrs. Vye. Tunggulah di sini.” 306
Pangeran Alcon segera menghilang sebelum Princess Minerva sempat menghalanginya. Sesaat kemudian Pangeran kembali dengan Mrs. Vye. “Ada keperluan apa Anda memanggil saya, Princess?” Princess Minerva tersenyum ,”Saya telah sering mengatakan kepada Anda, Mrs. Vye. Jangan memanggil saya Princess Minerva. Saya tahu Anda belum terbiasa dengan panggilan itu. Panggilah saya Maria seperti saat kita berada di Obbeyville.” Mrs. Vye hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. “Duduklah di kursi ini, Mrs. Vye,” kata Pangeran sambil menunjuk kursi yang terletak di samping tempat tidur Princess Minerva. Pangeran duduk di tepi tempat tidur Princess Minerva dan memulai percakapan, “Kami ingin bertanya bagaimana perasaan Anda selama berada di Istana?” “Jawablah yang jujur, Mrs. Vye. Kami hanya ingin mengetahuinya,” kata Princess Minerva. “Saya merasa senang sekali dapat berada di Istana semegah ini tetapi kadang saya juga merasa tempat ini terlalu mewah untuk saya,” jawab Mrs. Vye. “Jangan khawatir, Mrs. Vye. Itu karena Anda belum terbiasa dengan suasana Istana. Anda telah lama tinggal di sini, Anda akan terbiasa dengan semua kemewahan ini,” kata Princess Minerva. “Bagaimana pendapat Anda tentang Mrs. Wve?” tanya Pangeran tidak membuang kesempatan. “Saya merasa Mrs. Wve teman bicara yang menyenangkan. Saya dan ia merasa cocok satu sama lain,” jawab Mrs. Vye jujur. Princess Minerva tersenyum, “Kami juga merasa demikian, Mrs. Vye. Kami merasa kalian cocok satu sama lain hingga rasanya tidak mungkin terpisahkan lagi.” “Kami ingin bertanya apakah Anda mau terus tinggal di Istana?” tanya Pangeran. Mrs. Vye tampak bingung. Princess Minerva yang menyadari hal itu segera berkata, “Kami tidak memaksa Anda, Mrs. Vye. Tetapi saya dan juga Mrs. Wve pasti merasa senang bila Anda mau tinggal bersama kami. Dan bila tiba saatnya untuk saya pergi ke tempat lain, Anda dapat memutuskan apakah Anda ikut dengan kami atau 307
tidak.” “Bukan itu yang saya khawatirkan, Princess.” “Saya mengerti Anda mengkhawatirkan Mrs. Fat, Mr. Liesting dan Mrs. Dahrien. Mengenai mereka saya juga telah memikirkannya tetapi saya masih belum menemukan jalan keluar yang terbaik bagi mereka dan keluarga Sidewinder,” kata Princess Minerva, “Dan mengenai semakin retaknya hubungan Anda dengan keluarga Sidewinder saya juga merasa harus bertanggung jawab.” Mrs. Vye cepat-cepat berkata, “Jangan khawatirkan kami, Princess. Khawatirkan saja kesehatan Anda. Mengenai hubungan saya yang tidak begitu baik dengan Baroness Lora, Anda telah mengetahuinya. Anda sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Saya sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan keluarga itu.” Pangeran tertawa. “Jika engkau berhasil membuat Minerva diam, aku akan mengucapkan selamat kepadamu. Selama ini Minerva sangat sulit disuruh diam, tetapi sejak ia menghilang, ia menjadi lebih penurut. Sebenarnya apa yang terjadi selama engkau berada di sana, Minerva?” “Engkau telah mengetahuinya dari Mrs. Vye, bukan?” Pangeran mengangguk, “Tetapi aku belum mengetahuinya darimu.” “Ceritanya akan sama saja, Al,” kata Princess Minerva, “Sekarang kita sedang bertanya pada Mrs. Vye.” Pangeran memalingkan pandangannya ke wajah Mrs. Vye yang masih diwarnai kebigungannya. “Pikirkanlah hal ini, Mrs. Vye. Kami tidak memaksamu. Dan mengenai kawan Anda, Eido, kami juga telah bertanya apakah ia mau tinggal di sini. Dan seperti Anda, ia masih merasa bingung.” “Saya berjanji akan memikirkannya, Pangeran.” “Terima kasih, Mrs. Vye. Saya sangat senang sekali bila Anda mau tinggal bersama saya. Mrs. Wve pasti merasa senang mempunyai teman yang dapat diajaknya berbagi masa lalu,” kata Princess Minerva sambil tersenyum. Pertanyaan yang diajukan Princess Minerva dan kakaknya benar-benar telah membuat Mrs. Vye merasa bingung. Setelah berpikir lama dan bercakap-cakap dengan Eido, akhirnya mereka berdua membuat keputusan yang sama, keputusan yang membuat Princess Minerva merasa senang sekali. Tetapi Mrs. Wve lebih terlihat senang dengan keputusn Mrs. Vye 308
daripada Princess. Sepanjang hari Mrs. Wve bercakap-cakap dengan Mrs. Vye setelah Mrs. Vye memutuskan untuk tinggal di Istana. Suara percakapan kedua wanita itu terdengar hingga kamar Princess Minerva dan itu membuat Pangeran Alcon menjadi bosan. Princess Minerva yang mengetahui itu hanya tersenyum. Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Pangeran sama sekali tidak mengijinkannya meninggalkan tempat tidurnya walaupun ia telah cukup sehat. Tetapi apa yang dikatakan Pangeran Alcon memang benar. Princess Minerva bukanlah seorang gadis yang mau duduk diam sepanjang hari. Memang pada mulanya ia mampu mengatasi kebosanannya tetapi lama kelamaan ia benar-benar merasa bosan dan ingin segera meninggalkan tempat tidur. Bagi Princess Minerva, semakin ia diam saja itu artinya ia semakin memiliki banyak waktu untuk memikirkan Alexander. Tetapi memikirkan Alexander bukanlah suatu hal yang membuatnya senang. Ia selalu merasa sedih dan ingin menangis bila teringat pria itu. Ingatannya akan kata-kata terakhir Alexander dan wajah Alexander sebelum ia meninggakan tempat itu benar-benar telah melekat di hatinya sehingga setiap kali ia memikirkan pria itu, yang muncul hanyalah saat yang menyakitkan hatinya itu. Setiap Princess Minerva memejamkan matanya, yang terlihat hanyalah wajah Alexander yang dingin dan penuh kemarahan. Pada suatu hari Princess Minerva memanfaatkan kebosanan kakaknya. “Aku benar-benar merasa jenuh mendengar percakapan mereka,” keluh Pangeran, “Mengapa engkau bisa tahan dengan semua ini?” “Sabarlah, Al. Memang beginilah yang seharusnya terjadi. Selama ini aku selalu melihat Mrs. Wve pendiam tetapi sejak kedatangan Mrs. Vye, ia menjadi lebih banyak berbicara.” “Engkau senang melihat aku jenuh?” tanya Pangeran. “Aku tidak ingin engkau merasa jenuh, Al. Tetapi jangan khawatir, sekarang aku punya pemecahannya.” “Apa itu?” tanya Pangeran ingin tahu. “Ijinkan aku meninggalkan tempat tidurku,” jawab Princess Minerva tenang. Pangeran segera menggelengkan kepalanya mendengar jawaban itu. “Tidak, Minerva. Aku tidak akan mengijinkanmu.” “Ayolah, Al, aku benar-benar merasa bosan duduk diam di sini sepanjang hari,” bujuk Princess Minerva. 309
Pangeran menatap wajah Princess Minerva yang penuh permohonan. “Engkau memang pandai memohon,” kata Pangeran. Princess Minerva tersenyum penuh kemenangan mendengarnya. “Baiklah, Minerva. Tetapi aku tidak akan mengijinkan engkau berjalan. Akulah yang akan membawamu meninggalkan tempat tidurmu.” “Al, aku dapat berjalan sendiri.” “Aku tahu, Minerva. Tetapi aku tidak akan mengijinkanmu berjalan sampai aku benar-benar yakin engkau cukup sehat.” “Al, engkau memperlakukanku seperti aku ini seorang bayi yang baru belajar berjalan.” Pangeran tersenyum nakal yang membuat Princess Minerva kembali teringat pada Alexander. “Saat ini aku memang merasa engkau seorang bayi yang perlu dijaga agar tidak nakal.” Pangeran mengangkat tubuh Princess Minerva dan berkata, “Sekarang ke mana kita akan pergi?” Princess Minerva tersenyum senang. Ia tahu ia tidak akan lagi memiliki banyak waktu untuk memikirkan Alexander dan ia berharap dengan demikian ia dapat sedikit demi sedikit melupakan Alexander dan kenangan pahitnya. Tetapi Princess Minerva juga menyadari ia sulit melakukan itu. Princess Minerva percaya ia tidak akan dapat melupakan Alexander walaupun pria itu telah menyakitinya. Ia sangat mencintai pria itu bahkan terlalu mencintai pria itu sehingga memikirkan saat di Obbeyville saja mampu membuat hatinya terasa teriris. Kepercayaan Princess Minerva jauh lebih tepat dibandingkan harapannya. Ia sama sekali tidak dapat melupakan Alexander. Pikirannya tentang pria itu terus saja melekat di kepalanya. Alexander telah bersemayam tidak hanya di hatinya tetapi juga di pikirannya. Kebiasaan Princess Minerva yang selalu bersikap tenang membuat tidak seorangpun menyadari itu. Ia tetap mampu bersikap tenang dan selalu tersenyum walau hatinya sedang bersedih. Sejak Pangeran Alcon mengijinkannya meninggalkan tempat tidurnya, Princess Minerva benar-benar memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Sepanjang hari ia duduk di depan pianonya sambil memainkan lagu-lagu kesukaan kakaknya. Dengan permainan pianonya, Princess Minerva semakin menceriakan
suasana
di
Istana
Plesaides.
Permainannya
yang
penuh
perasaan terdengar ke seluruh penjuru Istana. 310
Tidak seorang pun yang menyadari di balik semua itu Princess Minerva merasa sangat sedih. Princess Minerva memang pandai menyembunyikan perasaan hatinya yang sebenarnya. Dengan sikapnya yang selalu tenang dan penuh senyuman, ia tetap terlihat ceria dan mempesona. Princess
Minerva
menyadari
hari-hari
terus
berlalu
sejak
ia
meninggalkan Obbeyville. Dan ia merasa telah lama sekali ia meninggalkan Obbeyville yang mendapat tempat di hatinya. Rasanya baru kemarin ia berada di Obbeyville padahal telah lebih dari empat bulan ia meninggalkan tempat itu. Princess Minerva yang menurut setelah Pangeran Alcon memutuskan hanya dirinyalah yang boleh membawa Princess Minerva meninggalkan tempat tidurnya, akhirnya mulai merasa bosan. Princess Minerva mulai tidak senang harus menanti kakaknya bila ia hendak meninggalkan tempat tidurnya. Ia merasa dirinya telah memberi beban tambahan di pundak kakaknya. Princess Minerva mengakui sejak ia sadar dari tidur panjangnya, ia selalu melihat kakaknya di kamarnya. Setiap saat ia terbangun dari tidurnya, wajah
kakaknya
selalu
ada
di
kamarnya.
Pangeran
Alcon
jua
telah
memindahkan ruang kerjanya ke Ruang Duduk Princess Minerva. Princess Minerva tahu itu tetapi ia tidak dapat mencegah kakaknya. Ia mengerti seperti halnya seluruh penghuni Istana, Pangeran merasa rindu padanya dan ingin menghabiskan waktu sepanjang hari bersamanya. Raja dan Ratu yang mengerti keadaan itu mengalah. Mereka lebih menyibukkan diri mereka dengan urusan kerajaan. Mereka juga telah memberi banyak kesempatan bagi kedua kakak beradik itu untuk selalu berdua. Tidak hanya Raja dan Ratu saja yang mengerti. Semua orang di Istana mengerti itu. Mereka tidak banyak menganggu ketika Pangeran Alcon sedang bersama Princess Minerva yang mereka sayangi. Mrs. Wve dan Mrs. Vye juga mengerti masalah itu. Mereka lebih banyak berbicara di luar kamar Princess Minerva daripada di dalam kamar menganggu kakak beradik itu. Hari-hari terakhir ini Princess Minerva merasa sikap Pangeran Alcon menjadi aneh. Kakaknya sering terlihat termenung memikirkan sesuatu. Tetapi Pangeran tidak mau berkata apa-apa walaupun Princess Minerva telah membujuknya. Princess Minerva sedang bermain piano ketika terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Mrs. Wve dan Mrs. Vye sedang berjalan-jalan di halaman Istana 311
sehingga Pangeran sendiri yang membuka pintu itu. “Selamat siang, Princess Minerva. Bagaimana keadaan Anda?” tanya Kendsley. Princess
Minerva
yang
mendengar
sapaan
itu
segera
berjalan
meninggalkan piano dan mendekati Menteri Dalam Negeri yang tersenyum padanya. Pangeran Alcon yang telah membiarkan Princess Minerva berjalan sendiri diam saja. “Selamat siang, Kendsley. Lama kita tidak berjumpa,” sapa Princess Minerva. “Ya, Anda setiap hari berada di kamar Anda.” Princess Minerva memalingkan kepalanya kepada kakaknya yang tersenyum nakal, “Ia mengurungku di sini sejak aku sadar. Dan untuk dapat berjalan sendiri, aku benar-benar harus berusaha keras.” Pangeran Alcon tersenyum. Pangeran Alcon ingat sekali saat ia dikejutkan oleh munculnya Princess Minerva di Ruang Duduk. Saat itu Pangeran menduga Princess Minerva masih tertidur. Tidak sedikitpun ia menduga adiknya tengah duduk di Ruang Duduk sambil bercakap-cakap dengan Mrs. Wve dan Mrs. Vye. Princess Minerva segera menghampiri Pangeran Alcon yang terpaku di pintu. “Mengapa engkau meninggalkan tempat tidurmu?” tanya Pangeran. “Karena
aku
mempunyai
kaki
untuk
berjalan
dan
aku
tidak
membutuhkan bantuan orang lain untuk sampai di sini,” jawab Princess Minerva tenang, “Lama kelamaan sang ‘bayi’ juga akan mampu berjalan sendiri tanpa bantuan orang lain.” Pangeran Alcon menyerah pada keinginan adiknya dan sejak saat itu ia tidak lagi membopong adiknya ke tempat yang diinginkan adiknya. Ia telah membiarkan ‘bayi’nya berjalan sendiri. “Ada keperluan apa engkau mencariku, Kendsley?” tanya Pangeran. “Sejak Anda mengumumkan berita kembalinya Princess, Anda belum memberi penjelasan kapan Anda akan mengadakan pesta itu. Masyarakat mempertanyakannya,” kata Kendsley. “Pesta apa?” tanya Princess Minerva tak mengerti. Pangeran tersenyum pada Princess Minerva. “Aku mengerti, Kendsley. 312
Aku akan mengumumkannya dalam waktu dekat ini.” “Akan saya sampaikan perkataan Pangeran pada masyarakat,” kata Kendsley. Setelah Menteri Dalam Negeri meninggalkan tempat itu, Princess Minerva mendekati Pangeran Alcon dan bertanya, “Pesta apa, Al?” Pangeran Alcon memegang pundak adiknya. “Duduklah dulu.” Pangeran Alcon mendudukkannya tepat di depan perapian yang menyala terang. Setelah itu ia duduk di hadapan Princess Minerva. “Pesta itu kuadakan untuk membuat masyarakat mengenalmu,” kata Pangeran, “Dan engkau tidak dapat menghindari pesta ini. Tahun ini engkau tidak akan pergi ke Clayment.” Princess Minerva tersenyum, “Aku tahu, Al. Musim gugur telah berlalu dan musim dingin telah berlalu hampir satu bulan. Tidak mungkin ladi bagiku untuk ke Clayment. Bila aku memaksa ke sana, aku pasti jatuh sakit selama di perjalanan.” Pangeran Alcon tersenyum puas, “Bagus. Aku senang engkau mau mengerti.” “Tetapi, Al mengapa engkau harus mengadakan pesta untuk itu bila engkau tidak ingin peristiwa ini terjadi lagi. Masih banyak cara lain agar penduduk Kerajaan mengenalku,” kata Princess Minerva. “Memang masih banyak cara lain tetapi aku terlanjur berjanji pada masyarakat. Engkau paling tidak suka melihat orang melanggar janjinya, bukan ?” Princess Minerva membenarkan ucapan Pangeran Alcon. “Karena itu engkau mau bukan hadir dalam pesta itu?” “Kapan pesta itu akan kauadakan?” “Aku belum tahu. Aku belum memutuskannya secara pasti. Tetapi dalam beberapa hari ini aku telah berpikir untuk mengadakannya bertepatan dengan hari Natal.” Princess Minerva cepat-cepat berkata, “Tidak, Al. Engkau jangan mengadakannya tepat pada hari Natal.” “Mengapa tidak, Minerva?” tanya Pangeran Alcon tak mengerti. “Al, pada hari Natal orang-orang umumnya lebih suka merayakannya bersama keluarganya. Lebih baik engkau mengadakannya sesudah atau sebelum hari Natal itu.” Pangeran tak mengerti. “Mengapa tidak, Minerva? Kurasa tidak ada 313
salahnya bila kita mengadakannya tepat pada hari Natal.” Princess Minerva tersenyum pengertian. “Memang tidak ada masalah. Tetapi kita harus menghargai keinginan setiap orang yang ingin merayakan Natal bersama keluarganya, Al. Adakan pesta itu sebelum atau sesudah hari Natal.” “Baiklah, Minerva. Bila itu yang kauhendaki. Aku tidak ingin engkau tiba-tiba pergi seperti pesta ulang tahunmu itu,” kata Pangeran, “Daripada aku kehilangan engkau lagi lebih baik aku menuruti kehendakmu.” “Jadi, kapan engkau akan mengadakannya?” Pangeran berpikir sambil menimbang untung ruginya bila pesta itu diadakan sebelum atau sesudah hari Natal. Setelah menemukan jawabannya, Pangeran tersenyum dan berkata, “Aku akan mengadakannya pada kedua-duanya.” “Sebelum dan sesudah Natal?” tanya Princess Minerva tak percaya, “Mengapa engkau mengadakannya dua kali, Al? Sekali saja sudah cukup.” “Bukan itu maksudku, Minerva sayang,” kata Pangeran, “Aku akan mengadakannya sebelum hari Natal dan tepat pada hari Natal. Dengan demikian keinginanmu dan keinginanku sama-sama terkabul.” “Al, bagaimana dengan mereka yang ingin merayakan Natal bersama keluarganya?” tanya Princess Minerva. “Aku telah memikirkannya, Minerva. Bila mereka ingin merayakan Natal bersama keluarganya, mereka cukup hadir pada pesta pertama tetapi bila mereka mau merayakan Natal bersama kita, mereka boleh hadir lagi di pesta kedua.” “Kapan pesta pertama itu akan kauselenggarakan?” tanya Princess Minerva. “Mungkin tanggal dua puluh.” Princess
Minerva
menggelengkan
kepalanya,
“Tidak,
Al.
Jangan
mengadakannya pada tanggal itu. Bagaimana dengan mereka yang ingin berkumpul dengan keluarganya yang tempat tinggalnya sangat jauh dari sini?” Pangeran terdiam. Princess Minerva memanfaatkan kesibukan berpikir Pangeran. “Paling tidak adakanlah sepuluh hari sebelum Natal.” “Baiklah,” kata Pangeran tiba-tiba, “Aku akan mengadakan pesta pertama pada pertengahan Desember dan pesta kedua tepat pada hari 314
Natal.” “Siapa yang akan kauundang, Al? Engkau belum memutuskannya,” kata Princess Minerva mengingatkan. “Engkau
salah,
Minerva
sayang.
Sebelum
aku
mengumumkan
kemunculanmu pada penduduk, aku telah mengetahui siapa saja yang akan kuundang. Aku akan mengundang semua bangsawan yang ada di Kerajaan Zirva.” Princess Minerva terkejut. Ia sadar bila semua bangsawan diundang dalam pesta itu, maka kemungkinan besar ia akan bertemu kembali dengan Alexander. Tetapi Princess Minerva tahu Alexander pasti tidak senang bertemu dengannya. Princess Minerva tahu pria itu akan mengeluarkan kata-kata yang tak pernah dibayangkannya sebelumnya. “Apakah itu tidak terlalu berlebihan, Al?” “Tidak. Aku ingin sekali bertemu dengan Baroness Lora dan Lady Debora,” kata Pangeran geram. “Al, aku tidak mengijinkanmu bertemu dengan mereka hanya karena engkau merasa marah pada perlakuan mereka terhadapku,” kata Princess Minerva. “Minerva, mereka telah memperlakukanmu dengan buruk. Aku ingin mengetahui seperti apa wajah wanita yang menghinamu,” kata Pangeran. Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Walaupun mereka tidak menyukaiku tetapi mereka masih mengijinkan aku tinggal di Obbeyville.
Sekasar
apapun
kata-kata
mereka,
mereka
tetap
berjasa
kepadaku.” “Engkau memang terlalu baik hati, Minerva. Engkau bahkan tidak merasa marah kepada mereka,” kata Pangeran Alcon sambil tersenyum memandang wajah adiknya. Pangeran Alcon senang sekali memandangi wajah cantik adiknya. Ia tidak pernah merasa bosan melihat wajah cantik itu dengan senyumannya yang manis. Setiap kali melihatnya, Pangeran Alcon berpikir siapakah yang tidak akan tertarik melihat adiknya. Jawabannya adalah tidak ada. Semua orang tertarik melihat wajah Princess Minerva yang cantik dengan senyumannya yang menawan hati dan matanya yang ungu jernih. Demikian pula tutur katanya yang lemah lembut akan membuat siapa saja semakin tertarik 315
padanya. “Berkat mereka aku dapat berada di sini kembali,” kata Princess Minerva. “Baiklah, Minerva. Aku mengerti berkat mereka engkau dapat berada di sini. Dan karena mereka pula engkau masih dapat hidup hingga kini.” Princess Minerva tersenyum mendengar suara kakaknya yang dibuat setenang mungkin tetapi tidak dapat menyembunyikan kegeraman yang muncul terutama saat ia mengatakan ‘mereka’. Princess Minerva tahu kakaknya pasti tidak menyukai Baroness Lora dan Lady Debora setelah mendengar peristiwa yang dialaminya selama berada di Obbeyville. “Masalah itu telah selesai, Al. Sekarang maukah engkau menceritakan masalahmu yang lain?” “Masalah apa?” tanya Pangeran Alcon tak mengerti. “Jangan berbohong kepadaku, Al,” kata Princess Minerva, “Aku tahu engkau sedang menghadapi suatu masalah yang sulit. Katakanlah kepadaku mungkin aku dapat membantumu.” Pangeran tertawa, “Apakah engkau selalu dapat membaca pikiran orang, Minerva?” “Aku tidak dapat membaca pikiran orang, Al, tetapi aku tahu engkau sedang menghadapi masalah yang serius.” “Aku baru saja menyelesaikan satu-satunya masalah yang menjadi beban pikiranku akhir-akhir ini.” Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Tidak, Al. Engkau masih mempunyai masalah yang lain. Aku tahu itu.” “Rasanya aku tidak pandai menyembunyikan suatu masalah,” gumam Pangeran. Princess Minerva tersenyum, “Karena itu, Al, jangan berbohong lagi kepadaku. Katakan apa masalahmu itu.” Pangeran terdiam. Pangeran memandang wajah Princess Minerva selama beberapa saat kemudian ia menuju jendela yang selalu tertutup. Princess Minerva melihat kakaknya tampak kebingungan. Ia mendekati Pangeran Alcon yang sedang memandang keluar melalui jendela. “Katakanlah kepadaku, Al. Aku pasti dapat membantumu,” bujuk Princess Minerva. Pangeran masih tetap diam. “Aku kebingungan, Minerva,” katanya setelah beberapa saat. 316
“Apa yang membuatmu bingung seperti ini, Al. Aku tidak pernah melihat engkau segelisah ini,” kata Princess Minerva. Pangeran Alcon membalikkan badannya dan memeluk Princess Minerva. “Aku bingung, Minerva. Aku tidak ingin meninggalkanmu tetapi aku telah berjanji pada mereka,” kata Pangeran Alcon. Princess Minerva menengadah memandang wajah Pangeran Alcon yang kebingungan. “Engkau akan pergi, Al?” Pangeran Alcon menatap wajah Princess Minerva dan mengangguk. “Kapan engkau akan pergi?” tanya Princess Minerva. “Menurut rencana akhir bulan ini aku harus pergi,” jawab Pangeran Alcon, “Tetapi aku tidak ingin meninggalkanmu. Tidak setelah semua ini terjadi. Aku tidak ingin engkau menghilang lagi tanpa aku ketahui di mana engkau berada.” Princess
Minerva
menatap
lekat-lekat
wajah
kakaknya
yang
kebingungan, “Engkau telah berjanji pada mereka?” “Ya, aku berjanji pada mereka tahun lalu. Saat itu aku tidak tahu ini semua akan terjadi. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Rasanya tidak mungkin membatalkan janji yang telah kubuat setahun yang lalu.” “Engkau tahu, Al, aku tidak senang seseorang melanggar janjinya,” kata Princess Minerva tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Pangeran Alcon. Pangeran Alcon tersenyum, “Aku tahu, Minerva sayang. Karena itu aku merasa bingung.” “Pergilah, Al. Jangan khawatirkan aku. Aku janji tidak akan ke manamana selama engkau tidak berada di Istana. Papa, Mama, Mrs. Wve, Mrs. Vye dan semua orang di Istana akan memastikan aku selalu berada di dalam Istana,” kata Princess Minerva. “Engkau
tidak
mengerti,
Minerva,”
kata
Pangeran
Alcon
sambil
menggelengkan kepalanya, “Bila Papa dan Mama juga berada di sini, aku tidak akan bingung. Tetapi mereka berdua juga telah berjanji pada kerajaan tetangga kita untuk juga hadir dalam pesta musim dingin mereka.” “Papa dan Mama juga akan pergi?” tanya Princess Minerva meyakinkan dirinya sendiri. “Engkau memang nakal, Minerva. Aku telah mengatakannya kepadamu tetapi
engkau
tidak
mendengarkannya,”
kata
Pangeran
Alcon
sambil
tersenyum, “Sekarang dengarkan baik-baik. Papa dan Mama juga akan 317
menghadiri pesta musim dingin kerajaan tetangga kita.” Princess Minerva tersenyum, “Pergilah, Al. Aku berjanji tidak akan meninggalkan Istana.” “Aku tahu engkau tidak akan meninggalkan Istana tetapi aku khawatir engkau menolak meminum obatmu,” kata Pangeran sambil tersenyum nakal. Princess Minerva tersenyum, “Engkau jahat, Al. Aku selalu meminum obatku walaupun aku tidak suka obat itu membuatku mengantuk. Aku percaya engkau meminta Dokter Donter memberi campuran obat tidur dalam tiap obat itu.” “Dokter Donter sendiri yang memberinya. Aku sama sekali tidak memintanya melakukan itu tetapi ia telah mengerti kalau engkau paling sulit disuruh diam.” “Aku memang merasa bosan, Al. Aku paling tidak suka bila disuruh duduk
diam
seharian,”
kata
Princess
Minerva
membenarkan
ucapan
kakaknya. “Itulah yang kukhawatirkan. Aku khawatir engkau mulai melakukan segala macam kegiatanmu selama engkau berada di Istana. Aku tidak ingin engkau berkeliaran di Istana selama engkau masih lemah.” “Jangan khawatir, Al. Di sini masih ada Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang akan menjagaku,” kata Princess Minerva, “Sekarang aku mempunyai dua orang pengasuh yang selalu menjagaku.” “Aku tahu mereka akan mampu menjagamu dengan baik,” kata Pangeran, “Tetapi aku lebih mempercayai diriku sendiri daripada orang lain.” Princess Minerva tersenyum, “Al, aku tahu engkau mengkhawatirkan aku tetapi jangan kaulupakan janjimu. Engkau tahu aku paling tidak senang melihat seseorang melanggar janjinya.” Pangeran memandang sedih pada Princess Minerva yang masih berada di pelukannya. “Aku tahu itu. Aku ingin sekali membatalkan janji yang kubuat tahun lalu itu.” “Engkau telah berjanji pada mereka tahun lalu untuk menghadiri pesta musim dingin mereka,” kata Princess Minerva mengingatkan, “Dan jangan lupa pada kedudukanmu, Al. Engkau putra mahkota Kerajaan Zirva.” “Karena itu pula aku merasa bingung, Minerva,” kata Pangeran Alcon. Princess
Minerva
tersenyum
melihat
kebingungan
kakaknya.
Ia
mengangkat tangannya dan memegang wajah Pangeran Alcon. Pangeran Alcon menggenggam tangan dingin Princess Minerva yang 318
menyentuh wajahnya sambil terus memandang wajah adiknya yang sedang tersenyum. “Al, seorang Pangeran tidak boleh melanggar janjinya. Engkau akan disegani penduduk bila engkau selalu menepati janjimu tetapi bila engkau selalu melanggar janjimu, masyarakat tidak akan mempercayaimu.” Pangeran terus memandang wajah Princess Minerva. “Engkau harus belajar menjadi raja yang baik bagi masyarakat dari halhal yang kecil,” kata Princess Minerva, “Memang janjimu kepada Raja Pyre tidak dapat dikatakan kecil tetapi engkau tahu engkau harus menepatinya.” Pangeran Alcon mengangguk, “Aku tahu itu, Minerva.” “Aku senang engkau mengetahuinya. Aku berjanji tidak akan melakukan tindakan apa pun yang akan membuat aku menjadi sakit selama engkau pergi. Aku akan menuruti segala perkataan kedua pengasuhku,” kata Princess Minerva sambil tersenyum manis. Pangeran membalas senyuman Princess Minerva dengan senyum nakal yang kekanak-kanakan, “Aku tahu engkau memang pandai membujuk orang, Princess Minerva. Engkau selalu membujuk orang dengan senyumanmu yang manis itu dan membuat semua orang sulit menghindari bujukanmu.” Kata-kata Pangeran Alcon membuat Princess Minerva menyadari suatu hal yang selama ini tidak pernah dipikirkannya. Kata-kata Alexander tiba-tiba terbayang kembali di ingatannya, “Cukup sudah aku engkau bodohi dengan wajah cantikmu. Semua wanita sama saja, berwajah cantik tetapi berhati iblis.” Princess Minerva
sadar
mungkin
karena
senyumannya
itu yang
membuat Alexander merasa ia adalah wanita perayu yang ulung. Karena dengan senyumannya yang manis itu, ia mampu membuat siapa saja menurutinya. Princess Minerva segera menyembunyikan kesedihan hatinya di balik senyumannya secepat Princess Minerva menyadari hal itu. “Apakah itu berarti engkau akan pergi menepati janjimu?” Pangeran Alcon cemberut, “Rupanya engkau sangat bersemangat menyuruhku meninggalkanmu.” “Bukan, Al. Aku juga tidak ingin engkau meninggalkanku tetapi aku ingin engkau menepati kata-katamu.” Pangeran Alcon tersenyum dan memeluk Princess Minerva lagi, “Aku akan pergi menepati janjiku sesuai kehendakmu, Tuan Puteri, tetapi aku akan segera kembali. Aku janji aku akan segera kembali setelah pesta itu selesai.” 319
Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata Pangeran Alcon. Seperti yang telah dikatakan Pangeran pada Princess, Raja dan Ratu juga ikut pergi ke kerajaan tetangga mereka. Beberapa hari menjelang keberangkatan
mereka,
semua
orang
di
Istana
sibuk
menyiapkan
keberangkatan itu. Menjelang keberangkatan itu, Pangeran Alcon menjadi semakin sering berada di kamar adiknya. Pangeran Alcon benar-benar tampak enggan meninggalkan adiknya. Namun sejak Princess Minerva berhasil membujuk Pangeran, Pangeran tidak pernah mengeluh atau merasa bingung lagi. Satu-satunya yang dirasakan Pangeran ketika hari keberangkatannya semakin dekat adalah rasa sedih harus berpisah dengan Princess Minerva yang baru saja kembali setelah tak tentu rimbanya selama tiga bulan lebih. Bahkan hampir setengah tahun bila ditambah dengan saat Princess Minerva tak sadarkan diri. Walaupun Pangeran tidak mengatakan apa-apa tentang kesedihannya itu tetapi Princess mengetahuinya. Setiap hari Princess Minerva menghibur kakaknya juga kedua orang tuanya yang juga enggan berpisah dengannya. Raja dan Ratu memang tampak sedih karena harus meninggalkan Princess Minerva yang tidak begitu sehat tetapi Pangeran Alcon lebih sedih lagi. Tidak dapat disangkal lagi Princess Minerva lebih akrab dengan kakaknya daripada kedua orang tuanya. Walaupun demikian Princess Minerva tetap menyayangi kedua orang tuanya sebesar rasa sayangnya pada kakaknya. Raja dan Ratu juga mengerti melihat Pangeran Alcon lebih akrab dengan Princess Minerva daripada dengan mereka. Sejak kejadian yang menimpa Princess saat Princess berusia empat tahun, Pangeran Alcon berubah total. Pangeran yang semula tidak menyukai adiknya menjadi sangat menyayanginya bahkan lebih menyayangi adiknya daripada nyawanya sendiri.
320
18
Princess Minerva memandang hujan salju dari jendela Ruang Duduk kamarnya. Rasa kesepian yang merambati hatinya membuat Princess termenung melihat hujan salju yang indah di halaman Istana. Pangeran Alcon baru saja meninggalkan Istana dua hari yang lalu tetapi bagi Princess Minerva rasanya setahun yang lalu Pangeran pergi dan hingga kini belum kembali. Princess terkenang kembali saat hari keberangkatan kedua orang tuanya bersama kakaknya. Sejak pagi seluruh penghuni Istana disibukkan persiapan keberangkat mereka. Pangeran Alcon yang biasanya selalu berada di kamar Princess hari itu tidak nampak di kamar Princess Minerva. Baru saat mereka akan berangkat, Pangeran Alcon ke kamar Princess Minerva bersama Raja dan Ratu. “Jagalah dirimu, Minerva, selama kami tidak ada,” pesan Ratu. Princess Minerva mengangguk, “Ya, Mama. Aku berjanji akan selalu menjaga kesehatanku.” Raja menatap Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang berdiri tak jauh dari Princess Minerva. “Jagalah Minerva selama kami pergi.” “Kami berjanji akan menjaga Princess sebaik mungkin,” kata Mrs. Wve dan Mrs. Vye bersamaan. “Awasi dia. Jangan biarkan Minerva berkeliling Istana dengan tubuh lemah seperti ini dan perhatikan ia saat ia minum obat. Pastikan ia selalu meminum obatnya,” kata Pangeran. Sekali lagi Mrs. Wve dan Mrs. Vye menjawab serempak, “Kami berjanji, Pangeran.” Princess Minerva tersenyum, “Engkau telah mendengarnya, Al. Jangan khawatir lagi, mereka akan menjagaku dengan baik. Nikmatilah pesta itu.” “Aku masih kurang mempercayaimu, Minerva. Engkau paling sulit disuruh diam.” Princess Minerva tersenyum lagi, “Sekarang aku mau tidak mau harus 321
menuruti pengasuhku, Al. Sekarang pengasuhku ada dua. Mereka sama-sama keras terhadapku. Aku tidak akan dapat menghindari peraturan mereka.” “Tentu saja Anda tidak boleh, Princess. Sekarang saya mempunyai teman yang akan membuat Anda semakin kesulitan melanggar peraturan saya,” kata Mrs. Wve, “Kalau dulu saya kewalahan menghadapi Anda maka sekarang Andalah yang kewalahan menghadapi saya.” Perkataan Mrs. Wve disambut tawa Raja dan Pangeran Alcon. “Seperti yang Minerva katakan, kalian memang cocok,” kata Pangeran. “Aku percaya kalian berdua akan mampu membuat Minerva menuruti segala peraturan kalian,” kata Raja, “Dan aku berharap kalian juga mampu membuat Minerva duduk diam seharian.” Ratu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak yakin. Minerva terlalu sulit disuruh diam walau sedetik. Selalu ada saja yang dilakukan Minerva. Ia hanya diam bila ia tidur.” “Saat ia menjadi putri tidur yang cantik, aku justru ingin melihatnya bergerak,” kata Pangeran Alcon. “Tidak hanya engkau saja, Alcon. Kami semua juga ingin melihat Minerva bergerak saat ia menjadi putri tidur,” kata Raja. Ratu mendekati Princess. “Turutilah kata-kata pengasuhmu, Minerva.” Princess Minerva mengangguk. “Aku janji, Mama.” “Baiklah, sekarang kita harus berangkat,” kata Raja. Princess Minerva tidak mengantar mereka hingga ke depan Istana walaupun ia sebenarnya ingin melakukannya. Pangeran Alcon melarang Princess meninggalkan kamarnya walaupun hanya untuk mengantar mereka. “Tetaplah di sini, Minerva. Aku tidak ingin engkau berkeliaran di Istana dengan badan yang lemah seperti ini,” kata Pangeran, “Aku janji akan pulang seminggu sebelum pesta itu.” Walaupun
merasa
berat
hati
tetapi
Princess
menuruti
larangan
Pangeran Alcon. Ia tidak mengantar mereka hingga di depan Istana. Tetapi ia tetap mengantar mereka dengan pandangan matanya yang tak pernah lepas dari kereta yang terus bergerak menjauhi Istana. Princess menatap jalan setapak di halaman Istana yang luas. Melalui jalan itulah kereta yang membawa kedua orang tua serta kakaknya meninggalkan Istana. Dari balik jendela, pandangan Princess terus mengikuti kereta itu hingga kereta itu menghilang. Princess Minerva merasa kesepian. Ia merasa sangat hampa. Ia tidak 322
dapat melihat wajah kakaknya, melihat sikap dan cara tersenyum kakaknya yang mirip sekali dengan pria yang dicintainya. Selama Pangeran Alcon ada di dekatnya, Princess selalu merasa ia seperti berada di dekat Alexander. Memang hal itu membuatnya merasa sedih dan sering membuatnya enggan melihat wajah kakaknya yang tersenyum dengan cara yang sama dengan Alexander. Terutama bila ia teringat kenangannya bersama pria itu di Obbeyville. Setiap kali Princess bersama kakaknya, ia selalu berharap dapat mengusir kenangan Alexander yang selalu muncul setiap kali ia memandang kakaknya. Dan kini setelah Pangeran Alcon pergi, Princess merasa jauh lebih kesepian. Ia tidak dapat lagi melihat wajah Alexander di wajah kakaknya. Dan ia juga tidak dapat lagi bertemu dengan Alexander juga tidak dapat mendengarkan suaranya yang penuh wibawa walaupun ia dapat pergi ke Blueberry. Princess Minerva sadar Alexander pasti lebih suka menjauh darinya daripada bertemu, daripada melihat wajahnya. Princess Minerva tahu ia dapat pergi ke Blueberry maupun ke Obbeyville tetapi itu tidak akan ada artinya bila ia tidak dapat bertemu dengan Alexander. Walaupun ia ke Blueberry atau ke Obbeyville berulang kali tetapi ia tidak akan dapat bertemu dengan Alexander, Princess menyadari itu. Kesedihan dan kesepian yang memenuhi dadanya membuat Princess tidak menyadari kedatangan Mrs. Wve. “Mengapa Anda berdiri di situ, Princess?” Princess Minerva terkejut. Ia menyembunyikan kesedihannya sebelum ia membalikkan badannya. “Sekarang aku mengerti, Mrs. Wve.” “Mengerti apa, Princess?” tanya Mrs. Wve tak mengerti. “Aku mengerti bagaimana rasa kesepian Al saat aku tidak ada di sini. Sekarang aku merasa kesepian di Istana sebesar ini tanpa Al.” “Anda telah lama berpisah dengan Pangeran, Princess. Karena itu Anda merasa kesepian,” kata Mrs. Wve mencoba menghibur Princess Minerva. “Tidak, Mrs. Wve,” Princess menggelengkan kepalanya, “Aku sering berpisah dengan Al dalam waktu yang lama. Dalam setahun aku hanya bersama Al selama tiga bulan, engkau tahu itu.” Mrs. Wve mengangguk. “Selama itu aku tidak pernah merasa kesepian, walaupun aku berada 323
jauh dari Al baik itu di Foentza maupun di Clayment.” Mrs. Wve memandang sedih pada Princess Minerva. “Saya mengerti perasaan Anda, Princess Minerva. Tetapi jangan biarkan rasa kesepian itu membuat Anda terus berdiri di sini. Anda harus beristirahat.” Princess Minerva tersenyum, “Aku mengerti, Mrs. Wve. Engkau hendak menyuruhku beristirahat, bukan?” Mrs. Wve tersenyum. Ia membimbing Princess Minerva ke kamarnya. Princess Minerva menyandarkan punggungnya pada bantal yang telah ditatanya. “Anda harus beristirahat, Princess. Jangan membaca buku,” kata Mrs. Wve saat melihat Princess mulai membuka buku. Princess Minerva tersenyum. “Engkau tahu aku merasa bosan diam seharian, Mrs. Wve. Biarkanlah aku membaca.” “Tetapi Anda harus beristirahat, Princess.” Princess Minerva tersenyum. “Baiklah, Mrs. Wve. Aku telah berjanji pada Mama untuk menuruti segala perkataanmu.” Mrs. Wve tersenyum puas. Ia mendekati Princess Minerva dan mengambil buku itu dari tangannya. Saat Mrs. Wve menuju meja rias, Mrs. Vye muncul. “Ada apa, Mrs. Vye?” tanya Mrs. Wve. “Kepala Pengawal Istana ingin bertemu Anda, Princess,” kata Mrs. Vye. “Biarkan ia masuk, Mrs. Vye,” kata Princess cepat-cepat sebelum Mrs. Wve mengatakan sesuatu. Mrs. Vye menghilang di balik pintu. Tak lama kemudian ia muncul kembali bersama seorang pria yang berbaju putih kebiru-biruan, baju khas pasukan pengawal Istana Plesaides. Pria itu membungkuk hormat pada Princess Minerva. “Ada apa, Jacques?” tanya Princess Minerva, “Apakah terjadi sesuatu di luar Istana?” “Tidak terjadi apa-apa baik di dalam maupun di luar Istana, Princess,” jawab Jacques. “Apa yang hendak kaulaporkan kepadaku?” Pria itu ragu-ragu untuk sesaat tetapi ia tetap menjawab pertanyaan yang diajukan Princess Minerva. “Duke of Blueberry beserta keluarganya ingin bertemu Anda, Princess.” Princess Minerva terkejut mendengar nama itu. Jantungnya serasa 324
berhenti berdetak saat ia mendengar Jacques menyebut nama itu. Dengan cepat ia menguasai perasaannya kemudian dengan suara yang tenang ia berkata, “Katakan maafku kepada mereka, Jacques. Aku tidak dapat menemui mereka hari ini.” Princess Minerva tersenyum memandang Mrs. Wve yang menatap waswas kepadanya, “Seperti yang engkau lihat, Mrs. Wve mulai marah. Ia tidak akan mengijinkan siapapun membatalkan istirahat siangku.” “Tentu saja tidak. Princess membutuhkan banyak istirahat. Walaupun suhu kamar ini cukup hangat tetapi wajah Princess masih tetap pucat,” kata Mrs. Wve menegaskan sikapnya. “Saya mengerti, Princess,” kata Jacques. Princess Minerva tersenyum lagi, “Katakan permintaan maafku kepada mereka, Jacques. Hari ini aku tidak dapat menemui mereka karena itu mintalah mereka untuk tinggal di Istana. Aku berjanji akan menemui mereka esok pagi.” Jacques mengangguk, “Akan saya sampaikan permohonan maaf Anda pada mereka, Princess.” “Mrs. Wve, tolong kauatur kamar untuk tamu-tamu kita. Aku yakin mereka akan mau tinggal di sini,” kata Princess Minerva pada Mrs. Wve. Kemudian Princess menatap Jacques yang masih menanti perintah selanjutnya, “Setelah engkau mengatakan permintaan maafku, antarkan mereka ke kamar yang telah diatur oleh Mrs. Wve.” “Saya mengerti, Princess Minerva.” Princess Minerva mengangguk. Setelah menerima tugas-tugas yang harus dilakukannya, baik Mrs. Wve , Mrs. Vye maupun Jacques segera membungkukkan badannya kemudian meninggalkan Princess Minerva sendirian di Ruang Tidurnya yang besar. Mrs. Wve meninggalkan kamar Princess Minerva dengan perasaan bingung. “Wajah Princess berubah ketika ia mendengar Jacques menyebutkan nama Duke of Blueberry,” kata Mrs. Wve. Mrs. Vye menatap heran pada Mrs. Wve, “Aku tidak merasa wajah Princess berubah setelah mendengar nama itu.” “Engkau memang kurang peka bila menyangkut perasaan seseorang.” Mrs. Vye mengangguk, “Ya, kuakui aku memang kurang pandai membaca perasaan orang yang tergambar di wajahnya.” 325
“Kudengar Blueberry dekat dari Obbeyville.” Sekali lagi Mrs. Vye mengangguk. “Apakah Princess bertemu dengan keluarga Duke of Blueberry terutama putranya yang kata Pangeran sulit didekati, selama ia berada di Obbeyville?” tanya Mrs. Wve. “Ya. Selama Princess Minerva berada di Obbeyville, ia sering bertemu Tuan Muda Alexander.” “Bagaimana hubungan mereka?” tanya Mrs. Wve penuh harap. Mrs. Vye berkata tenang, “Mereka baik-baik saja. Aku tidak melihat yang lain.” Mrs. Wve mengeluh. “Engkau memang kurang peka bila menyangkut masalah perasaan. Tidak ada gunanya bertanya lebih jauh padamu.” Mrs. Vye menatap bingung pada Mrs. Wve tetapi ia segera melupakan kebingungannya. Princess Minerva mendengar suara percakapan kedua wanita itu samarsamar. Ia tidak berusaha menangkap pembicaraan kedua wanita itu. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Sejak mendengar Jacques menyebut nama keluarga Duke of Blueberry, hati Princess menjadi tidak tenang. Jantung Princess yang semula terasa berhenti berdetak ketika ia mendengar nama itu kini menjadi berdebar lebih kencang. Princess Minerva bertanya-tanya apakah yang membuat Duke of Blueberry ingin menemuinya. “Tidak mungkin Duke of Blueberry tahu aku adalah sang putri yang hilang itu,” kata Princess sambil memandang langit-langit kamarnya. Dugaan itu membuat Princess teringat pengumuman yang disebarkan Pangeran Alcon sehari sebelum ia meninggalkan Kerajaan Zirva. Sehari
sebelum
Pangeran
Alcon
meninggalkan
Istana,
Pangeran
menjawab pertanyaan masyarakat. Pengumuman hari pesta itu serta undangannya
disebarkan
pada
pagi
hari
itu.
Pada
saat
Pangeran
mengumumkan hal itu, semua terasa berjalan dengan teratur. Menteri Dalam Negeri mengumumkan di depan Istana kepada semua penduduk Dalam
Xoechbee.
Negeri
Undangan-undangan
mengumumkannya.
Dan
disebarkan penduduk
sebelum di
luar
Menteri
Xoechbee
mengetahuinya dari koran yang memuat berita tetang pesta itu pada hari yang sama. Semuanya berjalan teratur dan serempak pada hari yang sama. 326
Saat itu pula Princess Minerva merasa kagum pada kakaknya yang pandai mengatur segala sesuatunya sehingga tugas yang tidak mudah itu dapat dijalankan dengan rapi dan teratur. Memang setelah Pangeran Alcon mengumumkan pesta perkenalan itu tidak ada reaksi yang jelas dari masyarakat selain penduduk Xoechbee. Tidak ada orang yang merasa keberatan dengan pesta yang diadakan dua kali itu dalam waktu yang hanya berselisih sepuluh hari. Hanya reaksi penduduk Xoechbee saja yang diketahui baik Pangeran Alcon maupun keluarga Raja lainnya. Penduduk Xoechbee merasa senang dengan dibukanya kesempatan bagi mereka untuk semakin mengenal putri mereka. Pada pesta itu Pangeran Alcon mempersilakan kepada siapa saja yang ingin
hadir.
Selain
bangsawan
yang
khusus
mendapatkan
undangan,
masyarakat umum yang ingin mengenal Princess Minerva dapat hadir juga. Walaupun Pangeran Alcon tidak mengatakan apa-apa tetapi Princess tahu kakaknya sangat berharap dapat bertemu dengan Baroness Lora serta putrinya, Lady Debora dalam pesta itu. Princess Minerva juga tahu Baroness Lora maupun Lady Debora tidak akan melewatkan pesta ini. Terutama Lady Debora yang berniat menjadi Ratu Kerajaan Zirva. Kadang bila memikirkan Lady Debora, Princess Minerva merasa kasihan. Wanita itu sangat ingin hidup selalu bergelimang kemewahan dan rela melakukan apa saja demi tercapainya keinginannya itu. Princess Minerva saja yang hidup dalam kemewahan selalu ingin hidup sebagai gadis biasa. Karena itulah ia menolak tinggal di rumah yang mewah di Clayment. Semula keinginan Princess Minerva untuk tinggal di Small Cottage dilarang orang tuanya terutama kakaknya. Tetapi Princess tidak berhenti berusaha, Princess Minerva selalu membujuk mereka. Dan akhirnya mereka mengijinkan Princess tinggal di cottage kecil pilihannya sendiri. Princess sangat menyukai hidup di Small Cottage yang berada di atas pulau kecil yang masih berupa pedesaan dengan hutan yang lebat. Sebenarnya Princess Minerva juga ingin tinggal di rumah yang kecil bila ia berada di Foentza tetapi karena di sana telah ada Castil Yonga yang megah, maka Princess Minerva menerima tempat itu menjadi Castil musim panasnya yang sejuk. Princess Minerva sering berpikir apa enaknya hidup dengan kekayaan yang melimpah tetapi tanpa cinta. Tetapi Princess Minerva mempunyai 327
keduanya. Semua orang mencintai Princess Minerva baik karena wajahnya yang
cantik
maupun
karena
kebaikan
hatinya.
Semua
orang
sangat
mengagumi Princess, berkebalikan dengan Lady Debora yang ingin selalu hidup dalam kemewahan. Lady Debora memang telah memiliki rumah yang besar tetapi ia selalu merasa kurang. Lady Debora selalu menginginkan kekayaan yang lebih besar dan lebih banyak dari yang dimilikinya. Keinginan wanita itu untuk selalu hidup bergelimang kekayaan sangat kuat sehingga ia rela melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Tetapi Lady Debora tidak memiliki orang yang benarbenar mencintainya dengan cinta yang tulus. Memang banyak orang yang memuji kecantikan Lady Debora tetapi mereka hanya terpesona pada kecantikannya saja. Mereka hanya mencintai kecantikan Lady Debora. Lady Debora tampaknya tidak menyadari itu. Ia selalu tampil penuh percaya diri pada kecantikannya. Ia mengira kecantikannya tidak tertandingi. Baru saat Princess Minerva muncul sebagai Maria, gadis yang hilang ingatan pada pesta yang sama dengannya, di pesta dansa keluarga Blueberry, Lady Debora merasa kehilangan percaya dirinya. Lady Debora mulai merasa dirinya mempunyai saingan. Tetapi perasaan itu segera hilang setelah Alexander yang selalu berada di sisi gadis yang membuatnya merasa rendah, sering mengajaknya pergi. Sejak saat itu pula Princess Minerva merasa Alexander benar-benar mencintai Lady Debora. Tetapi keinginan Lady Debora tidak dapat ditebak. Ia telah mendapatkan cinta Alexander yang selama ini menjadi sasarannya tetapi ia mengkhianati cinta itu. Hingga kini Princess Minerva tidak mengerti mengapa Lady Debora tega mengkhianati cinta pria yang benar-benar mencintainya demi kekayaan. Demi kekayaan pula Lady Debora berhenti mengincar kedudukan sebagai Duchess of Blueberry dan beralih ingin menjadi Ratu Kerajaan Zirva setelah membaca berita hilangnya Princess Minerva di koran. Dari Lady Debora sendiri Princess Minerva mengetahui keinginan wanita itu menjadi istri kakaknya, Pangeran Alcon. Namun sayang sekali ia tidak akan pernah dapat mewujudkan keinginannya itu karena Pangeran Alcon tidak menyukainya bahkan sebelum mereka bertemu. Princess Minerva tidak dapat membayangkan betapa kecewanya Lady Debora bila ia mengetahui ia telah dibenci Pangeran bahkan sebelum mereka bertemu. Dengan datangnya undangan itu, Princess dapat membayangkan Lady 328
Debora merasa senang sekali karena baginya ini merupakan kesempatan yang baik untuk mendekati Pangeran Alcon. Tetapi Lady Debora tidak tahu pesta ini diadakan juga karena Pangeran Alcon ingin melihat wajah wanita yang telah menghina adiknya, Princess Minerva ketika adiknya hilang ingatan. Princess Minerva tidak dapat membayangkan seperti apa pesta itu akan berlangsung dan bagaimana ia harus menghadapi Alexander di pesta itu. Pertemuannya dengan Alexander, putra Duke of Blueberry di pesta itu memang tidak dapat dielakkan lagi walaupun Princess Minerva tidak menginginkannya. Tetapi Princess Minerva ingin sekali bertemu dengan Alexander walaupun ia tahu pria itu tidak akan mau bertemu dengannya. Dan ia sama sekali tidak menduga pertemuannya dengan Alexander akan lebih cepat dari yang semula dibayangkannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya besok untuk menghadapi Alexander yang tidak ingin bertemu dengannya. Sebenarnya Princess Minerva sendiri berharap tidak bertemu dengan Alexander walaupun ia sangat ingin bertemu dengannya. Ia tidak ingin membuat Alexander menjadi semakin membeci dirinya setiap kali mereka bertemu. Benar-benar sebuah dilemma… Bagi Princess Minerva lebih baik ia memendam rasa rindunya daripada membuat pria itu lebih membencinya setiap kali mereka bertemu. Dalam pesta itu Alexander tidak akan dapat menghindarinya dan Princess Minerva sendiri juga tidak dapat menghindari pertemuannya dengan Alexander di pesta itu. Princess Minerva tahu bila ia menghindari Alexander, itu akan membuat banyak orang menjadi curiga. Princess
Minerva
telah
memikirkan
resikonya
dengan
menemui
Alexander di pesta itu tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu ia harus bertemu dengan Alexander di pesta itu sekalipun itu berarti kebencian Alexander terhadapnya akan bertambah besar. Princess Minerva mencoba untuk tidur tetapi ia sama sekali tidak dapat berhenti berpikir. Keberadaan Alexander di Istana yang sama dengannya benar-benar membuatnya merasa bingung dan cemas. Karena ia tidak dapat juga memejamkan matanya, Princess Minerva akhirnya meninggalkan tempat tidurnya. Tidak ada suara di Ruang Duduk. Itu berarti Mrs. Wve dan Mrs. Vye belum kembali. Princess Minerva berjalan ke Ruang Duduk yang hangat. Ia menatap 329
kosong sekelilingnya seolah-olah tidak ada apapun di ruangan itu selain dirinya sendiri dan kehampaan hatinya. Kaki Princess Minerva terus berjalan ke arah jendela besar yang menghubungkan ruangan itu dengan serambi. Princess menatap ranting-ranting pepohonan di halaman Istana yang ditutupi salju putih. Halaman Istana yang luas tampak putih karena salju. Halaman itu tampak sepi tanpa tanaman-tanaman yang tumbuh di sana. Hanya ranting-ranting tanaman saja yang masih kelihatan di halaman itu selain tumbuh-tumbuhan musim dingin seperti cemara yang tumbuh tak jauh dari sisi Istana di mana kamar Princess Minerva berada. Tumpukan salju di pohon cemara itu menarik perhatian Princess Minerva tetapi hal itu tidak membuat Princess Minerva berhenti berpikir dengan gelisah. Princess Minerva tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini. Ia tidak dapat menghindari pertemuannya dengan Alexander yang lebih awal dari yang diduganya dan ia tahu Alexander tidak ingin bertemu dengannya. “Maafkan aku, Al. Aku tahu engkau tidak ingin bertemu denganku tetapi ini telah menjadi tugasku. Besok aku harus menemuimu,” kata Princess Minerva sedih. Tanpa disadarinya, air matanya kembali menitik saat ia teringat betapa dulu saat ia berada di Obbeyville, ia sangat mengharapkan dapat bertemu dengan Alexander. Saat itu ia selalu merasa senang bila dapat bertemu dengan Alexander tetapi kini yang dirasakannya hanyalah kesedihan dan takut. Sedih karena ia tidak akan melihat wajah ramah pria itu dan takut karena ia tidak dapat mengabulkan keinginan pria itu untuk tidak berjumpa dengannya. Princess Minerva sadar ia sebenarnya takut melihat kemarahan dan kebencian di wajah Alexander saat menatap dirinya. Princess
Minerva
juga
mengerti
Alexander
berhak
untuk
marah
kepadanya. Ia telah membiarkan bahkan membantu wanita yang dicintai Alexander mengkhianati cintanya. Andai dulu ia tidak membiarkan Lady Debora bertemu dengan Marcel tentu pria itu tidak akan membenci dan menyalahkannya atas kejadian itu. Ia tetap dapat menjadi teman pria itu walaupun cintanya tak terbalas. Tetapi sekarang semuanya telah terlambat. Tidak ada yang dapat mengembalikan waktu. Tidak ada yang dapat membuat kejadian itu berubah. Kejadian itu telah terjadi dan Alexander menyalahkan serta membenci 330
Princess Minerva karena telah membiarkan semua itu terjadi. Dulu saat menyadari perasaannya, Princess Minerva merasa sedih karena pria yang dicintainya mencintai wanita lain. Saat itu Princess Minerva tidak
mengharapkan
ia
mendapatkan
cinta
pria
itu
juga.
Ia
lebih
mengharapkan kebahagiaan pria yang dicintainya sekalipun itu berarti akan membuatnya merasa tersiksa. Tetapi kini bukan hanya kesedihan itu saja yang melanda hatinya tetapi juga kesedihan yang lain, kesedihan yang lebih membuat hati Princess Minerva merasa tersayat. Mengetahui pria yang dicintainya mencintai wanita lain saja sudah membuat Princess Minerva merasa sedih apalagi saat mengetahui Alexander membenci dirinya. Sebesar apapun kesedihan yang harus dialaminya karena rasa cintanya pada Alexander, Princess Minerva sama sekali tidak dapat membuat dirinya melupakan pria itu walau sedetik. Bayangan pria itu selalu muncul baik di wajah kakaknya maupun di mimpi-mimpinya. Princess Minerva menatap hampa pemandangan di depannya. Tanpa disadarinya ia teringat kembali saat ia mencoba membayangkan Sidewinder House di musim dingin dan tanpa disadarinya pula air matanya telah membasahi pipinya yang pucat. Kenangan di Obbeyville tidak membuat Princess Minerva merasa senang. Setiap kali kenangan itu muncul hanya kepedihan yang muncul di hati Princess Minerva terutama saat Princess Minerva terkenang keramahan Alexander pada dirinya. Sekarang ia mengerti mengapa ia merasa Alexander berbeda dari orang lain. Alexander memang berbeda dari orang-orang yang dikenal Princess Minerva. Pria itu benar-benar menganggapnya sebagai seorang gadis biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya bukan sebagai putri raja ataupun sebagai bidadari yang hanya mempunyai kelebihan. Saat ia menunjukkan
kekurangannya
di
hadapan
Alexander,
pria
itu
tidak
menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat salah. Sedangkan orang-orang yang dikenal Princess Minerva umumnya menganggap kekurangannya adalah sesuatu yang sangat salah sesuatu yang tidak seharusnya ada pada dirinya. Orang-orang itu menginginkan Princess Minerva benar-benar sempurna sedangkan Alexander ingin Princess Minerva yang seadanya dengan segala kelebihannya maupun kekurangan. Itulah perbedaan terbesar yang dijumpai 331
Princess Minerva pada diri Alexander. Dan karena itu pula Princess Minerva jatuh cinta pada pria itu. Sesuatu yang berwarna hitam yang tiba-tiba meluncur dari ranting pohon cemara yang tampak dari serambi kamar, membuat Princess merasa tertarik. Princess Minerva membuka jendela panjang itu dan melangkah ke serambi. Udara yang dingin terasa menusuk tulangnya. Princess Minerva memeluk dirinya sendiri dan terus melangkah hingga ia sampai ke pagar besi yang mengelilingi serambi kamarnya. Princess menatap ke bawah ke tempat pohon cemara itu tumbuh. Di sana Princess melihat sesuatu yang berwarna hitam tampak seperti noda di antara putihnya salju yang menyelimuti halaman Istana. Princess
Minerva
tertarik
kepada
noda
hitam
itu.
Ia
segera
meninggalkan serambi dan menutup jendela besar itu sebelum ia beranjak ke Ruang Tidurnya. Princess Minerva mengambil sehelai mantel panjang yang tebal dari lemari besar yang antik yang berdiri kokoh di samping meja rias. Setelah mengenakan mantel panjang itu di atas gaun tidurnya yang tebal, Princess Minerva meninggalkan kamarnya. Princess Minerva tidak menemui siapapun saat ia menelusuri lorong panjang di depan kamar tidurnya. Demikian pula saat Princess Minerva berjalan di lantai tiga hingga ke lantai dasar. Tidak ada seorangpun yang tampak oleh Princess Minerva. Suasana Istana terasa sangat sunyi tanpa suara yang biasanya meramaikan Istana dan pelayan-pelayan yang selalu berkeliaran di dalam Istana. Tetapi Princess Minerva tidak mempedulikan itu, ia terus berjalan ke halaman Istana. Ketika ia sampai di halaman Istana yang luas, ia segera menuju pohon cemara yang tampak dari kamarnya. Princess Minerva mencoba menemukan sesuatu yang berwarna hitam itu di antara ranting-ranting yang tumbuh di sekitar pohon cemara itu. Salju yang dingin dan udara yang dingin menusuk tulang tidak membuat Princess menghentikan pencariannya. Princess Minerva terus membungkuk di bawah pohon cemara itu dan tangannya terus membersihkan salju dingin yang menyelimuti ranting-ranting. Akhirnya pencarian Princess Minerva berhasil. Princess melihat benda berwarna hitam yang tadi menarik 332
perhatiannya itu di sela-sela ranting yang tajam. Princess Minerva memasukan tangannya ke sela-sela ranting itu. Tanpa mempedulikan rasa sakit saat ranting itu menggores kulitnya yang halus, ia terus berusaha meraih benda itu. Princess Minerva terkejut saat jari-jarinya merasakan benda itu terasa lembut dan hangat. Princess mengangkat benda itu dari sela-sela ranting dengan kedua tangannya dan ia terpana melihat seekor burung di tangannya. Ternyata benda hitam yang menarik perhatian Princess Minerva adalah seekor burung hitam yang jatuh dari pohon cemara. Princess Minerva berdiri dan mengamati burung itu. “Kasihan sekali engkau, burung kecil. Engkau kedinginan,” katanya. Suara seseorang yang berdesis di belakangnya membuat Princess Minerva terkejut. Princess Minerva menduga orang itu adalah Mrs. Wve atau Mrs. Vye yang terkejut melihatnya berada di halaman. Princess tersenyum dan memalingkan kepalanya. Senyum yang menghiasi wajah Princess Minerva menghilang saat ia memandang wajah orang yang berdiri di belakangnya. “Apa yang kaulakukan di sini, Maria?” tanya Alexander tajam, “Apakah sekarang engkau bermaksud merayu Pangeran Alcon?” Princess Minerva terpaku di tempatnya. Ia tidak dapat bergerak juga tidak dapat berbicara apa-apa. “Mengapa, Maria? Apakah yang kukatakan tepat sehingga engkau tidak dapat berbicara apa-apa?” kata Alexander. Suara Alexander yang sangat tajam dan memancarkan kebenciannya membuat Princess Minerva merasa sedih. Hampir saja Princess Minerva menitikkan air matanya saat tiba-tiba terdengar suara lain dari Hall Istana yang menghadap ke halaman Istana. “Princess!” seru Mrs. Wve terkejut, “Apa yang Anda lakukan di sana?” Princess Minerva memalingkan kepalanya ke arah Mrs. Wve yang memandang marah padanya. Princess Minerva tersenyum dan meninggalkan Alexander. “Mengapa Anda berada di halaman? Bagaimana bila Anda jatuh sakit lagi?” tanya Mrs. Wve marah karena cemas. “Maafkan aku, Mrs. Wve. Aku melihat burung ini jatuh dari pohon dan aku merasa terpanggil untuk menolongnya,” kata Princess Minerva sambil 333
tersenyum. “Tetapi, Princess, di luar sangat dingin sekali.” “Lihatlah, Mrs. Wve. Burung ini kasihan sekali. Ia kedinginan,” kata Princess Minerva sambil menunjukkan burung di pelukannya, “Anda tidak perlu khawatir, aku hanya keluar sebentar untuk menolong burung malang ini. Lagipula aku telah mengenakan mantel yang tebal.” “Saya tahu Anda telah mengenakan mantel yang tebal tetapi lihatlah wajah Anda menjadi pucat kembali,” kata Mrs. Wve menuduh. Princess Minerva tersenyum manis, “Ayolah, Mrs. Wve, jangan marah. Sekarang dapatkah engkau membantuku merawat burung ini. Ia tidak hanya kedinginan tetapi juga terluka akibat ranting-ranting yang tajam.” Mrs. Wve terpekik terkejut. “Bagaimana dengan tangan Anda, Princess. Apakah tangan Anda juga terluka?” tanyanya sambil menyentuh tangan Princess yang masih memeluk burung itu. Princess Minerva tersenyum lagi, “Aku tidak terluka, Mrs. Wve. Burung inilah yang terluka. Sekarang katakan apa yang harus kulakukan terhadap burung malang ini. Aku tidak tahu bagaimana cara mengobati luka burung ini.” Mrs. Wve memandang burung di tangan Princess Minerva kemudian menggeleng sedih, “Maafkan saya, Princess. Saya juga tidak tahu.” Saat itu mata Princess Minerva menangkap sosok seseorang yang menutup pintu Ruang Besar. “Tidak apa-apa, Mrs. Wve. Aku akan bertanya pada Jacques,” kata Princess Minerva sambil mendekati Jacques. Jacques terpaku di tempatnya saat ia melihat Princess Minerva berjalan menghampirinya. Princess
Minerva
tersenyum
dan
berkata,
“Dapatkah
engkau
membantuku merawat burung malang ini?” Jacques memandang burung yang berada di pelukan Princess Minerva. Princess Minerva tersenyum melihat kebingungan pria itu. “Aku baru saja menemukan burung ini kedinginan di halaman Istana. Ia terluka karena ranting-ranting itu.” Jacques menggelengkan kepalanya. “Maafkan saya, Princess. Saya tidak tahu bagaimana caranya mengobati luka burung ini.” Princess Minerva tersenyum. “Tidak apa-apa, Jacques. Apakah mungkin keluar Istana di cuaca semacam ini?” 334
Jacques memandang wajah Princess Minerva dengan pandangan tak mengerti. “Saya rasa kita dapat keluar Istana bila salju tidak terus turun seperti saat ini. Apakah Anda ingin ke Xoechbee, Princess Minerva?” Princess Minerva tersenyum. “Tidak, Jacques. Engkau tidak perlu khawatir aku akan meninggalkan Istana. Engkau tahu aku tidak tahan dengan udara dingin selain itu aku telah berjanji pada Al untuk tidak meninggalkan Istana hingga musim ini berakhir.” Jacques semakin tidak mengerti dengan ucapan Princess Minerva. “Aku
ingin
engkau
memanggilkan
seorang
dokter
hewan
untuk
membantuku merawat burung malang ini.” Jacques
mengangguk.
“Baik,
Princess.
Saya
akan
segera
memanggilnya.” Princess Minerva memandang keluar dan melihat salju mulai turun dari langit. “Engkau tidak perlu memanggilnya saat ini juga, Jacques. Salju mulai turun lagi.” Jacques juga memandang hujan salju di halaman Istana. “Baik, Princess.” “Apakah engkau mengetahui pelayan yang dapat membantuku?” “Maafkan saya, Princess Minerva. Saya tidak mengetahuinya tetapi jangan khawatir. saya berjanji akan mencari orang itu di Istana secepat mungkin.” Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, Jacques. Aku tidak ingin merepotkan seluruh Istana. Panggilkan saja dokter bila hujan salju telah berhenti.” “Tetapi Princess…,” kata Jacques. Princess Minerva segera memotong perkataan Jacques. “Lakukan saja apa yang kukatakan, Jacques. Aku yakin aku dapat merawat burung ini hingga engkau memanggilkan seorang dokter hewan untukku.” “Baik, Princess Minerva.” Princess Minerva tersenyum dan membalikkan badannya. Mrs. Wve masih berdiri di tempatnya semula. Wajah wanita tua itu masih menampakkan kemarahan yang dipendamnya. Tetapi kemarahan itu segera hilang ketika ia melihat senyuman Princess Minerva. “Mari kita merawat burung malang ini,” kata Princess Minerva. Mrs. Wve tersenyum. Wanita itu masih tetap tersenyum saat mendekati Princess Minerva yang menantinya. 335
“Kami akan merawat burung ini, Jacques,” kata Princess Minerva, “Tolong gantikan tugasku menjadi tuan rumah bagi Duke of Blueberry. Esok pagi aku akan menemui mereka.” “Baik, Princess Minerva,” kata Jacques sambil membungkuk hormat. Princess Minerva tersenyum kemudian ia pergi meninggalkan tempat itu bersama Mrs. Wve. Sepanjang jalan Princess Minerva berusaha keras mengalihkan perhatiannya dengan memperhatikan burung yang terkapar di lengannya. Sayap burung layang-layang itu terluka dan darah beku mengotori sayang hitam burung itu. “Apakah engkau tahu apa yang harus kulakukan pada luka burung ini, Mrs. Vye?” tanya Princess Minerva pada Mrs. Vye yang tengah kebingungan di Ruang Duduk kamarnya. Mrs. Vye terkejut melihat Princess Minerva berdiri di samping Mrs. Wve dengan menggenakan mantel hijau cerah. Di tangannya, ia memeluk seekor burung. Mrs. Vye mengambil burung itu dari lengan Princess Minerva. “Saya tidak tahu, Princess.” “Tolong kaucarikan sehelai kain yang cukup tebal untuk burung ini, Mrs. Wve.” “Baik, Princess.” Mrs. Wve segera meninggalkan ruangan itu untuk mencari kain seperti yang diminta Princess Minerva. Setelah kepergian Mrs. Wve, Princess Minerva melepaskan mantelnya kemudian ia meraih burung itu dari tangan Mrs. Vye. Diselimutinya burung itu dengan mantel tebalnya kemudian ia duduk di depan perapian. Mata burung itu yang semula terpejam mulai membuka kembali saat merasakan kehangatan dari perapian. Princess Minerva tersenyum melihat itu. “Kasihan engkau, burung kecil. Engkau tidak hanya terluka tetapi juga kedinginan. Tetapi jangan khawatir aku akan merawatmu agar engkau sembuh.” Mrs. Vye tersenyum mendengar kata-kata itu. “Saya akan membantu Anda merawat burung ini, Princess Minerva,” kata Mrs. Vye. “Terima kasih, Mrs. Vye. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengobati luka burung ini,” kata Princess Minerva sambil tersenyum. Princess Minerva kembali memperhatikan burung di tangannya. Tetapi tak lama kemudian ia kembali mengangkat kepalanya saat mendengar suara 336
Mrs. Wve. Mrs. Wve segera menyerahkan sehelai kain pada Princess Minerva. “Hanya ini yang saya temukan, Princess.” “Tidak apa-apa, Mrs. Wve. Kain ini sudah cukup menghangatkan tubuh burung ini,” kata Princess Minerva sambil menggantikan mantelnya yang semula menyelimuti tubuh burung di pangkuannya dengan kain yang dibawa Mrs. Wve. “Engkau tampak lucu dengan kain putih ini, burung kecil,” kata Princess Minerva sambil mengamati burung yang telah diselimutinya dengan kain putih yang dibawa Mrs. Wve, “Tetapi sayang sekali aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk merawat lukamu.” “Sayang sekali saya juga tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Andai saya tahu saya tentu akan membantu Anda, Princess.” “Aku mengerti, Mrs. Wve. Jangan engkau pikirkan hal ini. Jacques telah berjanji untuk memanggilkan dokter hewan untuk merawat burung ini,” kata Princess. Suara
ketukan
pintu
membuat
Princess
Minerva
berhenti
memperhatikan burung yang berada di pangkuannya. Mrs. Vye membuka pintu itu dan mempersilakan orang itu masuk. “Maafkan saya mengganggu Anda, Princess. Kata Jacques Anda mencari seseorang yang dapat merawat luka burung,” kata seorang pelayan wanita yang telah berdiri di tengah Ruang Duduk. “Apakah engkau tahu bagaimana mengobati luka burung ini?” tanya Princess Minerva penuh harap. Pelayan itu mengangguk. “Saya bisa melakukannya, Princess. Bolehkan saya melihat burung itu?” Princess Minerva mendekati pelayan itu dan menunjukkan burung di tangannya. “Burung ini terluka dan kedinginan,” katanya pada pelayan itu. Pelayan
itu
mengambil
burung
itu
dan
berkata,
“Saya
akan
merawatnya, Princess. Serahkan saja burung malang ini pada saya, Anda tidak perlu khawatir.” Princess Minerva tersenyum. “Terima kasih. Aku senang engkau mau merawat burung ini.” “Anda terlalu membesar-besarkan, Princess Minerva. Saya hanya membantu Anda semampu saya,” kata pelayan itu sambil membalas senyuman Princess Minerva. 337
“Princess, Anda sudah tidak perlu mengkhawatirkan keadaan burung malang itu lagi,” kata Mrs. Wve, “Sekarang Anda harus memperhatikan keadaan Anda sendiri. Anda tampak pucat dan Anda harus beristirahat.” Pelayan itu menatap wajah Princess Minerva dan berkata, “Jangan mengkhawatirkan keadaan burung ini, Princess Minerva. Mrs. Wve benar, wajah Anda tampak pucat. Sebaiknya Anda beristirahat.” “Princess Minerva, berisitrahatlah. Anda tampak pucat,” kata Mrs. Vye ikut membujuk Princess Minerva. Princess
Minerva
tersenyum
mendengar
ketiga
wanita
itu
membujuknya. “Kalian ini lucu. Aku belum mengatakan apa-apa tetapi kalian telah berusaha membujukku.” Mrs. Wve tersenyum. “Biasanya Anda sangat sulit bila disuruh beristirahat dengan tenang tanpa memikirkan apa-apa,” katanya menuduh. “Jangan khawatir, Mrs. Wve. Kali ini aku akan menuruti kata-katamu,” kata Princess Minerva, “Hari ini aku merasa sangat lelah.” Ketiga wanita itu tersenyum puas mendengar kata-kata Princess Minerva. Mrs. Wve segera mengiringi Princess Minerva ke kamarnya sementara Mrs. Vye membantu pelayan tadi merawat burung yang ditemukan Princess Minerva. Seperti biasanya Mrs. Wve menyuruh Princess Minerva meminum obatnya sebelum tidur. Dan setelah menurunkan tirai putih yang mengelilingi tempat tidur Princess Minerva, Mrs. Wve meninggalkan kamar itu. Princess Minerva tidak dapat memejamkan matanya walaupun ia telah meminum obatnya yang mengandung obat tidur. Biasanya Princess Minerva selalu
cepat
tertidur
setelah
meminum
obatnya
walaupun
ia
selalu
memikirkan Alexander tetapi kali ini obat itu tidak berhasil membawa Princess Minerva ke alam mimpi dan berhenti memikirkan Alexander. Kenangan akan kejadian yang baru saja terjadi membuat Princess Minerva menangis. Alexander tetap seperti yang dikenangnya. Pria itu sama sekali tidak berubah namun Princess Minerva merasa pria itu lebih tampan dan lebih tinggi dari yang diingatnya. Satu-satunya yang berubah pada pria itu adalah sorot matanya. Kemarahan dan kebencian yang tampak di mata Alexander lebih besar dari yang dilihat Princess Minerva di Obbeyville. Kata-kata pria itu juga menjadi semakin tajam dan dingin. Rasa marah, curiga dan juga kebencian yang terkandung di suaranya membuat Princess Minerva semakin 338
sedih. Air mata Princess Minerva telah merebak di matanya saat ia mendengar kata-kata tajam pria yang dicintainya namun ia teringat akan kata-kata Alexander, “Percuma saja menangis! Aku tidak akan terpengaruh.” Princess Minerva menahan air matanya yang hampir membasahi wajahnya yang semakin memucat ketika melihat Alexander berdiri di depannya dengan sorot mata yang menakutkan. Tubuhnya yang tinggi seakan-akan ingin melumat Princess Minerva juga matanya yang menatap tajam. Tidak hanya air matanya saja yang ditahan ketika Princess terpaku di hadapan pria itu. Princess Minerva juga menahan tubuhnya yang menggigil. Saat itu Princess Minerva tahu tubuhnya menggigil bukan karena dinginnya udara tetapi karena rasa takutnya melihat Alexander. Saat Mrs. Wve memanggilnya, Princess Minerva merasa ia tidak mampu lagi menahan air matanya yang siap membasahi pipinya. Panggilan Mrs. Wve benar-benar menyelamatkan Princess Minerva dari hadapan pria itu. Dengan susah payah, Princess Minerva berusaha tersenyum saat ia menghampiri wanita itu dan dengan susah payah pula ia terus menahan air matanya. Princess Minerva tidak ingin seorangpun tahu apa yang dirasakannya. Ia juga tidak ingin membuat siapapun menjadi curiga sebab ia tidak tahu harus menjawab apa pada pertanyaan yang akan ditujukan padanya bila mereka merasa curiga. Princess Minerva juga tidak tahu bagaimana menceritakan semua
yang
telah
dialaminya
bersama
Alexander
tanpa
mengatakan
perasaannya yang sebenarnya. Bukan perasaan cintanya pada Alexander yang membuat Princess enggan mengatakan hal itu tetapi lebih karena perasaan sakitnya karena cinta itu. Princess Minerva tahu apa yang dirasakannya akan mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Bila ia merasa gembira, orang-orang di sekitarnya juga merasa gembira sebaliknya bila ia merasa sedih semua orang juga merasa sedih. Karena itulah Princess Minerva selalu menjaga perasaannya. Ia selalu tersenyum walaupun ia merasa sedih. Tetapi kali ini ia merasa kesulitan menutupi kesedihannya dengan senyumnya. Hanya kebiasaannya menutupi kesedihannya dengan senyuman yang membuatnya berhasil mengelabuhi orang-orang. Di depan Mrs. Wve maupun di hadapan semua orang yang dijumpainya 339
setelah pertemuannya dengan Alexander yang tak terduga di halaman Istana, Princess Minerva tersenyum dengan wajar. Kini setelah ia sendirian di kamarnya, kesedihan yang terus ditahannya tidak terbendung lagi. Air mata Princess Minerva terus mengalir membasahi wajahnya. Princess menyembunyikan isakannya di balik bantalnya. Ia tidak ingin wanita-wanita yang berada di Ruang Duduk mendengar isakannya. Princess Minerva tidak ingin membuat orang lain juga merasa sedih. Setelah bertemu
kembali
dengan
Alexander
setelah
perjumpaan
terakhir mereka yang buruk di Obbeyville, Princess Minerva kini merasa yakin dugaannya tepat. Alexander semakin membencinya ketika mereka bertemu. Mengenai janjinya untuk bertemu dengan Duke of Blueberry esok hari, telah dipikirkan masak-masak oleh Princess Minerva. Princess Minerva memutuskan untuk melakukan tugasnya walaupun itu berarti ia menambah kebencian Alexander padanya. Princess Minerva telah memutuskan untuk mengambil resiko itu dan ia siap melihat kebencian di mata Alexander bertambah besar. Air mata Princess Minerva mengalir semakin deras ketika ia teringat kebencian di mata Alexander. “Maafkan aku, Al. Aku tahu engkau tidak ingin bertemu denganku,” kata Princess Minerva, “Tetapi jangan khawatir. Aku tidak akan sering menemuimu. Mungkin besok pagi adalah pertemuan kita yang terakhir dan setelah itu engkau tidak perlu khawatir lagi akan bertemu denganku. Aku akan menghilang dari hadapanmu seperti yang engkau inginkan.” Membayangkan kembali kenyataan ia tidak akan dapat bertemu dengan Alexander walaupun ia sangat menginginkannya, membuat Princess Minerva merasa semakin sedih dan semakin banyak menitikkan air mata. Princess Minerva mencoba berhenti memikirkan Alexander dengan mengalihkan pikirannya ke burung layang-layang yang ditemukannya. Tetapi hal itu tidak dapat membuat Princess Minerva berhenti merasa sedih. Bahkan Princess Minerva menjadi semakin sedih ketika ia menyadari kesamaan dirinya dengan burung layang-layang itu. Burung layang-layang itu bukan hanya kedinginan tetapi juga terluka. Persis seperti Princess Minerva yang juga merasa kedinginan dalam kesepian yang menyelimuti dirinya dan terluka karena perasaan cintanya pada Alexander. Dan seperti halnya dirinya, burung itu juga merasa kesepian. Burung 340
layang-layang itu telah ditinggal temannya tetapi ia dapat berkumpul kembali dengan teman-temannya setelah musim semi tiba. Sedangkan Princess Minerva akan selalu merasa kesepian. Tidak ada yang dapat menggantikan kedudukan Alexander di hatinya. Princess Minerva tahu ia akan selalu merasa kesepian dan hampa tanpa pria itu di sisinya walaupun ia berada di keramaian. Tidak ada yang dapat disalahkan Princess Minerva selain dirinya sendiri yang telah menyulut api kemarahan yang penuh kebencian pada diri pria itu. Ia telah bersalah pada pria itu dan ia harus berani menerima resiko dari perbuatannya sendiri yang membiarkan wanita yang dicintai Alexander mengkhianati cintanya.
341
19
Princess Minerva membuka matanya dan ia merasakan sinar matahari yang menyilaukan membutakan matanya untuk sesaat. Mrs. Wve tersenyum pada Princess Minerva saat menyadari gadis itu telah bangun. Princess Minerva terkejut melihat sinar matahari itu mulai memasuki kamarnya. Ia ingat kemarin siang ia menangis. Princess semakin terkejut menyadari dirinya terus tertidur hingga pagi. “Mengapa engkau tidak membangunkan aku?” tanya Princess Minerva. “Kemarin Anda tampak sangat pucat. Saya pikir memang seharusnya Anda beristirahat sepanjang hari,” kata Mrs. Wve. Princess Minerva bangkit dari tempat tidurnya. Mrs. Vye yang berdiri tak jauh dari tempat tidur, segera mencegah Princess Minerva saat ia melihat gadis itu hendak meninggalkan tempat tidurnya. “Sebaiknya Anda berbaring lagi, Princess,” kata Mrs. Vye, “Sekarang masih pagi. Mungkin baru pukul setengah tujuh.” Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, Mrs. Vye. Aku harus bangun. Aku telah berjanji untuk menemui mereka pagi ini.” “Tetapi Anda masih terlihat pucat dan lemah, Princess,” kata Mrs. Wve terkejut. Princess Minerva tersenyum. “Tidak apa-apa, Mrs. Wve.” Princess Minerva telah meninggalkan tempat tidurnya saat Mrs. Wve kembali berkata, “Di mana Anda akan menemui mereka, Princess?” Suara Mrs. Wve yang mengandung kecurigaan itu membuat Princess Minerva kembali tersenyum. “Seperti yang Anda tebak, Mrs. Wve.” Jawaban itu membuat Mrs. Wve terpekik terkejut. “Tidak, Princess. Saya tidak akan mengijinkan Anda menemui mereka di Ruang Pertemuan.” “Anda akan menemui mereka di Ruang Pertemuan?” kata Mrs. Vye tak kalah terkejutnya dengan Mrs. Wve, “Bagaimana Anda akan ke lantai dasar dengan tubuh lemah seperti itu?” “Jangan khawatir. Aku yakin aku dapat ke sana.” 342
Princess Minerva melihat Mrs. Wve akan melarangnya lagi, maka ia segera berkata, “Di mana burung kecilku?” Mrs. Vye yang selalu mudah terpengaruh kata-kata Princess Minerva segera menjawab pertanyaan itu. “Kami meletakkan burung itu di dekat perapian, Princess.” Tanpa memberi kesempatan kepada Mrs. Wve untuk mencegahnya Princess Minerva menuju Ruang Duduk. Princess Minerva tersenyum pada burung yang kini tertidur di dalam sangkar besi yang berwarna keemasan. “Bagaimana kabarmu, burung kecilku?” tanya Princess Minerva saat melihat burung itu telah membuka matanya. Mrs. Vye mendekati Princess Minerva yang sibuk memperhatikan burung itu. “Princess, Anda harus bersiap-siap bila Anda ingin menemui mereka.” “Tidak, Mrs. Vye. Aku tidak mengijinkan Princess ke Ruang Pertemuan. Ruangan itu terlalu jauh dari sini. Aku tidak setuju,” kata Mrs. Wve. “Jangan khawatir, Mrs. Wve. Aku akan baik-baik saja,” kata Princess Minerva sambil tersenyum. Senyuman Princess Minerva berhasil mempengaruhi perasaan Mrs. Wve. Wanita itu mulai merasa bingung. “Tetapi, Princess….” Sebelum wanita itu menyelesaikan kalimatnya, Princess Minerva segera berkata, “Aku telah berjanji pada mereka dan aku tidak suka bila aku harus mengingkari janjiku. Engkau tahu itu, Mrs. Wve.” “Anda dapat membatalkan janji Anda bila keadaan memang tidak mengijinkan, Princess,” kata Mrs. Wve membujuk. Princess Minerva menggelengkan kepalanya, “Mungkin saja Duke of Blueberry
mempunyai
keperluan
yang
penting
dan
aku
tidak
dapat
membuatnya menunda keperluannya.” “Anda dapat menemui mereka di ruang ini, Princess. Saya dapat menyediakan makan pagi di sini,” kata Mrs. Wve. Sekali lagi Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, Mrs. Wve. Aku tidak ingin merepotkanmu maupun Duke. Saat ini aku adalah tuan rumah mereka dan sebagai tuan rumah yang baik, aku tidak dapat bersikap sekehendakku,” kata Princess Minerva tegas. Mrs. Wve terkejut mendengar ketegasan dalam suara Princess Minerva. Sebagai pengasuh yang selalu menyertai Princess Minerva ke manapun gadis 343
itu pergi, ia telah mengenal baik Princess Minerva. Selama ini kata-kata Princess selalu lemah lembut tidak pernah terdengar ketegasan di sana. Tetapi semua orang yang mendengarkan permintaan Princess akan selalu melakukannya dengan sebaik-baiknya. Demikian pula Mrs. Vye. Selama ia mengenal Princess Minerva, ia selalu mendengarkan suaranya yang lemah lembut. Walaupun Princess memberikan perintah, ia selalu mengatakannya dengan penuh kelembutan. Dengan itu saja semua orang selalu melakukan semua yang dikatakan Princess dengan sebaik-baiknya apalagi bila Princess berkata dengan tegas. Tidak
mengherankan
apabila
Mrs.
Wve
yang
semula
bersikeras
melarang Princess Minerva menemui Duke di Ruang Pertemuan yang terletak di lantai dasar Istana, akhirnya berubah pikiran. “Pangeran
Alcon
benar,
kata-kata
Anda
memang
selalu
dapat
mempengaruhi siapa saja, Princess,” kata Mrs. Wve sambil tersenyum. “Terima kasih, Mrs. Wve. Aku tahu engkau tidak akan melarangku.” “Karena saya telah mengijinkan Anda, maka sebaiknya Anda segera meninggalkan burung itu. Kami akan mempersiapkan Anda, Princess. Kami akan membuat Anda tampil dengan penuh keanggunan dan kecantikkan,” kata Mrs. Wve. “Walaupun kita tidak mendandaninya, Princess Minerva telah terlihat anggun dan cantik,” kata Mrs. Vye. Mrs. Wve mengangguk. “Aku sependapat denganmu, Mrs. Vye.” Princess
Minerva
tersenyum
tanpa
mengatakan
apa-apa.
Ia
meninggalkan burung itu sendirian di sangkarnya dan mendekati kedua pengasuhnya. Kedua pengasuh Princess segera membawa Princess Minerva kembali ke Ruang Tidurnya dan segera mendandani Princess. Keduanya bekerja dengan penuh semangat seakan-akan Princess Minerva akan pergi ke pesta yang sangat penting. Princess Minerva hanya tersenyum melihat kedua wanita itu berunding dan kadang-kadang berdebat untuk mempersiapkan dirinya. Pikiran Princess Minerva tidak tertuju pada penampilannya. Ia lebih memikirkan
bagaimana
ia
menghadapi
Alexander.
Ia
tidak
khawatir
menghadapi Duke dan Duchess of Blueberry. Ia jauh lebih khawatir akan pertemuannya dengan pria yang tidak ingin bertemu dengannya. Princess Minerva tahu tentu akan terasa sangat menyebalkan bila harus bertemu 344
dengan orang yang ingin kita hindari. Walaupun Princess Minerva tidak pernah ingin menghindari seseorang tetapi ia dapat mengerti bagaimana perasaan Alexander bila berjumpa dengannya. Kadang kala Princess Minerva merasa dirinya sangat aneh. Bagaimana ia ingin bertemu dengan pria yang justru tidak ingin menemuinya. Tetapi Princess Minerva juga tahu itu semua karena ia mencintai pria itu. Karena cintanya kepada pria itu pula, ia memilih kebahagiaan pria itu di atas kebahagiannya sendiri. Princess Minerva sadar dirinya telah bersalah besar pada Alexander dan ia harus menanggung resikonya seperti yang akan dihadapinya. Ia harus berani
menanggung
kebencian
Alexander
kepada
dirinya
yang
akan
bertambah setelah mereka bertemu. Pikiran yang memenuhi benak Princess Minerva membuat dirinya tidak menyadari lamanya waktu yang dihabiskan kedua pengasuhnya untuk membuatnya tampil secantik mungkin. Princess Minerva kembali menyadari tempatnya berada saat ia mendengar desah puas dari kedua wanita itu. “Lihatlah diri Anda, Princess. Anda tampak cantik sekali dan semakin bersinar,” kata Mrs. Wve dan Mrs. Vye bersamaan. Untuk
menyenangkan
hati
mereka,
Princess
Minerva
menatap
bayangan dirinya di cermin. Tetapi apa yang muncul di cermin itu tidak menarik perhatiannya. Princess Minerva sekilas melihat rambutnya diikat tinggi-tinggi dan dihiasi dengan rangkaian bunga yang semula berada di pot yang berada di atas meja rias. Gaunnya yang berwarna kuning terang seakanakan menambah pesona rambutnya yang bersinar keemasan. Seuntai kalung pemberian Pangeran Alcon saat ulang tahun Princess Minerva yang kedelapan belas melingkar di leher Princess yang tertutup leher gaun yang tinggi. Kalung itu tampak semakin berseri. “Sekarang kita hanya perlu menunggu waktunya makan pagi,” kata Mrs. Wve pada Mrs. Vye. Princess Minerva tersenyum manis, “Tidak, Mrs. Wve. Aku ingin pergi ke Ruang Pertemuan sekarang.” “Tetapi saat ini belum waktunya makan pagi, Princess,” kata Mrs. Vye. “Kurasa Princess Minerva benar, Mrs. Vye. Ia masih lemah dan itu akan menghambat jalannya menuju Ruang Pertemuan,” kata Mrs. Wve, “Lebih baik kita berjalan perlahan-lahan ke sana.” Mrs. Wve memegang lengan Princess Minerva dan membantunya 345
berdiri. Kemudian ia merapikan gaun Princess Minerva yang terlipat ketika ia duduk. Princess Minerva tersenyum pada Mrs. Wve. “Anda mempersiapkan saya seakan-akan saya akan menghadiri suatu pertemuan yang sangat penting.” Mrs.
Wve
mengangguk.
“Bagi
saya,
Anda
harus
selalu
tampil
cemerlang,” katanya sambil menggandeng Princess Minerva meninggalkan kamarnya. Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri lorong depan kamar Princess Minerva sambil bercakap-cakap. Hingga mereka tiba di lantai tiga, tidak ada seorangpun yang mereka temui. Baru pada lantai tiga itulah mereka bertemu dengan seorang pelayan yang segera menyapa Princess Minerva ketika melihatnya. “Selamat pagi, Princess Minerva.” Princess Minerva tersenyum. “Selamat pagi.” Pelayan itu melihat Mrs. Wve dan Mrs. Vye yang berjalan di belakang Princess Minerva. “Apakah tidak apa-apa Anda meninggalkan kamar Anda?” “Jangan
khawatir.
Kedua
pengasuhku
akan
mengawalku
dan
memastikan aku baik-baik saja,” kata Princess Minerva, “Aku sudah lama tidak keluar kamar.” Pelayan itu mengangguk. “Benar, Princess. Sejak Anda kembali, Anda belum pernah meninggalkan kamar Anda. Baru hari inilah saya melihat Anda. Kami semua merindukan Anda.” “Al telah mengurungku terlalu lama di sana. Sekarang aku merasa bosan dan aku ingin berjalan-jalan di dalam Istana walaupun Al melarang aku berkeliaran di dalam Istana.” Pelayan itu tersenyum, “Saya merasa Anda semakin cantik dari yang saya ingat, Princess Minerva. Saya percaya semua orang juga merasa begitu.” “Engkau terlalu melebih-lebihkan. Kita semua selalu merasa seseorang menjadi lebih cantik atau lebih lama setelah kita lama tak berjumpa. Akupun merasa engkau semakin cantik dari perjumpaan kita yang terakhir kali sekitar setahun yang lalu.” Pelayan yang lebih tua beberapa tahun dari Princess Minerva itu memerah. “Anda membuat saya merasa tersanjung, Princess Minerva.” Princess Minerva tersenyum. “Engkau tidak perlu merendahkan diri karena engkau memang cantik. Semua orang di Istana ini juga berkata seperti 346
itu.” “Itu karena saya yang paling muda di sini, Princess.” Princess Minerva menggelengkan kepala. “Tidak. Aku lebih muda darimu.” Melihat pelayan itu semakin tersipu, Princess Minerva tersenyum dan berkata, “Kami akan segera ke Ruang Pertemuan sekarang.” Pelayan itu membungkuk saat Princess Minerva melewatinya. Semakin banyak orang yang mereka jumpai dalam perjalanan ke Ruang Pertemuan selanjutnya. Orang-orang itu selalu menyapa Princess Minerva dan membungkuk hormat ketika Princess melewatinya. Suasana di dalam Istana yang semula terasa sepi kini menjadi semakin ramai. Kemunculan Princess yang tidak terduga ini seakan-akan membawa kehidupan di dalam Istana. Mrs. Wve tersenyum melihat hal itu sedangkan Mrs. Vye terbelalak karena kagum. Mrs. Vye tidak pernah menduga sedemikian besar pengaruh Princess Minerva di Istana. Hanya dengan kemunculannya, Princess Minerva mampu mengubah suasana Istana Plesaides yang semula sepi walaupun banyak orang yang berlalu lalang, kini menjadi terasa hidup. Orang-orang yang berlalu lalang tidak hanya berjalan dengan diam. Mereka berjalan sambil bercakap-cakap dan membungkuk hormat setiap kali Princess Minerva melewati mereka. Senyum manis yang menghiasi wajah Princess Minerva membuat orang-orang itu membalas senyuman itu. Tidak sedikit orang yang terkejut melihat Princess Minerva keluar dari kamarnya dengan dikawal kedua pengasuhnya, Mrs. Wve dan Mrs. Vye. Demikian pula prajurit yang menjaga pintu Ruang Pertemuan. Prajurit itu sangat terkejut melihat Princess Minerva berjalan menghampirinya dengan kedua pengasuhnya hingga tidak dapat berkata apa-apa. “Selamat pagi, Princess Minerva,” kata prajurit itu pada akhirnya. Princess Minerva tersenyum. “Selamat pagi. Tolong bukakan pintu itu.” Prajurit itu membuka pintu itu. “Tidak perlu,” kata Princess Minerva saat melihat prajurit itu hendak mengumumkan kedatangannya. Princess melangkah ke dalam ruangan itu sambil mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Suasana di dalam Ruang Pertemuan menjadi sunyi ketika Princess 347
Minerva muncul dengan tak terduga bersama kedua pengasuhnya. Princess Minerva tersenyum pada semua orang di dalam ruangan itu. Princess Minerva melihat wajah Duke dan Duchess of Blueberry juga Kepala Pengawal Istana yang terkejut dengan kemunculannya yang tidak terduga ini. Tetapi Princess Minerva tidak berani melihat wajah Alexander. Kepala Pengawal Istana segera berdiri dan menyambut kedatangan Princess Minerva. “Selamat pagi, Princess Minerva,” kata Jacques sambil mencium tangannya. “Selamat pagi, Jacques,” kata Princess Minerva sambil memandang ke sekeliling ruangan itu, “Aku tidak terlambat, bukan?” “Tidak, Anda tidak terlambat, Princess. Kami baru saja berkumpul di ruangan ini,” kata Jacques, “Mengapa Anda tidak memberi tahu saya bahwa Anda akan menghadiri acara makan pagi di ruangan ini, Princess?” “Kemarin
aku
telah
mengatakannya
kepadamu,
Jacques.
Aku
mengatakan aku akan menemui Duke pagi ini,” kata Princess Minerva lembut. “Maafkan saya, Princess. Saya kurang memperhatikan perkataan Anda sehingga
saya
tidak
menyambut
kedatangan
Anda
sebagaimana
seharusnya.” Princess Minerva tersenyum, “Tidak apa-apa, Jacques. Kemarin aku tidak menjelaskan kapan aku akan menemui Duke.” Jacques segera menarik kursi untuk Princess Minerva yang tersenyum padanya saat ia duduk di kursi itu. Mrs. Wve dan Mrs. Vye berdiri tak jauh di belakang Princess Minerva. Princess melihat wajah Duke dan Duchess yang terkejut dan bingung. “Maafkan saya, saya baru dapat menemui Anda hari ini.” “Tidak apa-apa, Princess,” kata Duke kikuk. Princess Minerva tersenyum berkata, “Apakah Anda dapat beristirahat dengan baik?” “Ya, Princess. Semua orang di sini menerima kami dengan baik sehingga kami tidak mungkin tidak tidur dengan nyenyak,” kata Duke mencoba menghilangkan kekikukan dalam kata-katanya. “Saya berharap Anda juga memimpikan para peri Istana,” canda Princess Minerva mencoba mencairkan rasa kikuk yang muncul di ruangan itu. Duke tersenyum mendengar perkataan itu. “Istana ini sangat indah tidak mungkin saya tidak pergi ke dunia dongeng. Walaupun mereka tidak muncul, saya akan mencari mereka.” 348
Jacques tertawa mendengar kata-kata Duke yang menanggapi canda Princess Minerva. Princess Minerva yang memulai suasana gembira itu tersenyum. “Engkau kembali menjadi anak-anak dalam mimpi?” kata Jacques. Princess Minerva berhasil mencairkan suasana kikuk itu. Duke sudah tidak tampak terlalu kikuk dan Duchess yang sejak tadi terbelalak mulai dapat tersenyum juga. Duke mengangguk. “Aku bahkan berharap dapat menjadi anak kecil dalam dunia nyata ini agar aku dapat bermain dengan bebas di Istana. Aku ingin sekali menjadi anak kecil yang terbuai di Istana dongeng.” “Dengan putrinya yang cantik,” tambah Duchess sambil tersenyum penuh arti melihat Princess Minerva. “Tampaknya segala sesuatu di Istana ini telah lengkap untuk menjadi Istana negeri dongeng kecuali cerita dongengnya,” kata Duke. Princess Minerva benar-benar berhasil mengubah suasana Ruang Pertemuan yang semula terasa kikuk menjadi ceria seperti ia menceriakan Istana. “Sebaiknya Anda berhenti tertawa atau Anda tidak akan dapat merasakan
hidangan
yang
menarik
selera
ini,”
kata
Princess
sambil
tersenyum melihat beberapa pelayan masuk sambil membawa hidangan di tangannya. Pelayan-pelayan itu juga terkejut melihat Princess Minerva duduk di Ruang Pertemuan yang selalu menjadi tempat Raja menjamu tamu-tamunya. Sebelum meletakkan hidangan yang mereka bawa di meja, mereka menyapa Princess Minerva sambil membungkuk hormat. Princess yang disapa hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Keceriaan yang berhasil ditimbulkan Princess Minerva tidak menghilang ketika mereka memulai acara makan pagi mereka. Princess Minerva terus tersenyum sambil memperhatikan wajah Duke dan Duchess yang tersenyum mendengar lelucon Jacques yang terkenal paling pandai melucu di Istana Plesaides. Princess Minerva tidak berani melihat wajah Alexander walaupun ia sangat ingin melihat wajah pria itu. Ia tidak berani melihat kebencian dan kemarahan di mata itu. Memikirkan saat ini kebencian Alexander kepadanya sedang bertambah membuat Princess Minerva semakin merasa tidak enak. Mrs. Wve mendekati Princess Minerva dan berbisik, “Sebaiknya Anda 349
segera kembali kamar Anda, Princess. Suhu ruangan ini lebih dingin dari kamar Anda dan itu membuat Anda tampak semakin pucat.” Princess Minerva baru menyadari hal itu. Sejak tadi ia hanya berusaha mencegah dirinya melihat Alexander sambil terus menahan kesedihan di hatinya di balik senyumannya. Walaupun perapian di ruang itu telah dinyalakan tetapi suhu ruangan itu tetap lebih dingin dari kamar Princess Minerva. Gaun yang dikenakan Princess tidak mampu menahan dingin itu menyentuh kulitnya walaupun gaun itu adalah gaun musim dingin yang berlengan panjang dan tebal. Princess baru menyadari tubuhnya sejak tadi merasa kedinginan dan wajahnya kembali memucat. Princess Minerva mengangguk. “Baik, Mrs. Wve,” katanya kemudian ia berkata kepada semua orang di ruangan itu, “Maafkan saya, saya tidak dapat menemani Anda lebih lama dari yang saya inginkan.” “Anda hendak kembali sekarang, Princess?” tanya Jacques. Princess Minerva tersenyum sambil menatap wajah Mrs. Wve. “Kedua pengasuhku menyuruhku untuk beristirahat lagi.” Jacques memandang wajah Princess Minerva yang memucat, “Mereka benar,
Princess.
Wajah
Anda
kembali
memucat.
Anda
harus
segera
beristirahat.” Mrs. Vye menghampiri Mrs. Wve kemudian mereka membantu Princess Minerva berdiri. Mrs. Wve memegang lengan kanan Princess Minerva sedangkan Mrs. Vye memegang lengan kirinya. Melihat hal itu, Jacques segera berdiri. Princess Minerva mengetahui maksud Jacques. “Tidak perlu, Jacques. Selesaikanlah makan pagimu bersama Duke, aku akan baik-baik saja. Kedua pengasuhku akan menjagaku,” kata Princess. “Baik, Princess,” kata Jacques tanpa berusaha membantah kata-kata Princess Minerva. Princess Minerva tersenyum dan berkata, “Maafkan saya, saya harus kembali ke kamar saya.” Duke of Blueberry berdiri ketika melihat Princess Minerva hendak meninggalkan ruangan itu. Tanpa berkata apa-apa, Princess Minerva segera meninggalkan Ruang Pertemuan dengan kedua pengasuhnya. Mrs. Wve dan Mrs. Vye masih memegang lengan Princess Minerva saat mereka berjalan kembali ke kamar Princess Minerva. 350
Princess Minerva sama sekali tidak memperhatikan itu. Ia ingin segera tiba di kamarnya dan menenangkan kembali perasaan sedihnya. Setibanya di kamarnya, Princess Minerva segera mengganti gaunnya dengan gaun tidur yang hangat kemudian naik ke tempat tidurnya. Saat Princess Minerva memasuki kamarnya, ia baru sadar apa yang dikatakan Mrs. Wve memang benar. Kamarnya lebih hangat dari Ruang Pertemuan. Hal itu karena perapian besar di Ruang Duduk terus dibiarkan menyala terang dan setiap saat ada pelayan yang selalu menambahkan kayu ke perapian itu. Mrs. Wve menyelimuti tubuh Princess Minerva kemudian meninggalkan Princess sendirian. Mrs. Vye menurunkan tirai putih yang mengelilingi tempat tidur Princess Minerva kemudian mengikuti Mrs. Wve meninggalkan ruangan itu. Kepergian kedua pengasuhnya memberikan ketenangan bagi Princess Minerva untuk meredakan badai kesedihan dalam dirinya. Tetapi Princess Minerva tidak dapat melakukannya bahkan ia semakin merasa sedih. Ia tidak tahu bagaimana tatapan Alexander saat melihatnya tetapi ia yakin mata pria itu dipenuhi kemarahan seperti saat ia bertemu dengannya kemarin siang di halaman Istana. Selama Princess Minerva berada di Ruang Pertemuan, ia telah berusaha keras untuk menahan keinginannya melihat wajah pria yang dirindukannya. Princess Minerva juga berusaha keras menahan air matanya membayangkan sorot mata Alexander menjadi semakin tajam pada dirinya. Princess Minerva
merasa beruntung tidak ada yang mencurigai
sikapnya yang berusaha menghindari tatapannya pada Alexander yang duduk di samping Jacques. Walaupun Princess Minerva sering melihat ke Jacques tetapi ia tidak mau melihat ke samping pria itu. Hanya Jacques saja yang dilihatnya. Sebaliknya bila ia melihat ke arah Duke dan Duchess yang duduk di sisi kiri meja, ia tidak perlu menghindari siapa pun. Princess Minerva masih ingat rasa terkejut dan bingung yang muncul di wajah keduanya. Tetapi semuanya segera menghilang saat ia berhasil mencairkan suasana kikuk di antara mereka yang tiba-tiba muncul karena kehadirannya yang tak terduga. Air mata Princess Minerva mengalir lagi saat ia sadar setelah pagi ini berlalu, ia tidak akan dapat berjumpa kembali dengan Alexander, pria yang 351
sangat dicintainya. Rasa sedih yang telah lama mengusik perasaannya membuat Princess Minerva merasa lelah dan akhirnya tertidur. Princess Minerva tidak tahu berapa lama ia tertidur. Yang ia ketahui hanyalah saat ia terbangun di luar sedang turun hujan salju. Princess Minerva meninggalkan tempat tidurnya dan berjalan ke Ruang Duduk. Di Ruang Duduk tidak ada siapa-siapa juga tidak terdengar suara Mrs. Wve maupun Mrs. Vye. Burung layang-layang itu masih memejamkan matanya saat Princess mendekatinya. Princess Minerva mengeluarkan burung layang-layang itu dari sangkarnya. Princess Minerva duduk di dekat perapian dan meletakkan burung itu di pangkuannya. Princess memperhatikan sayap burung itu yang telah bersih dari noda darah. “Apakah engkau kedinginan?” tanya Princess saat ia melihat burung itu membuka matanya. Seolah-olah mengerti apa yang ditanyakan Princess Minerva, burung itu menggerakkan kepalanya. Princess Minerva tersenyum. “Engkau tidak kedinginan lagi, bukan? Aku telah memelukmu dan api dari perapian juga telah menghangatkanmu.” “Jangan menggerakkan sayapmu yang terluka,” kata Princess Minerva ketika melihat burung itu berusaha menggerakkan sayapnya. “Aku tahu engkau ingin segera berkumpul kembali bersama temantemanmu. Tetapi saat ini adalah musim dingin dan kawan-kawanmu berada jauh dari sini. Mereka berada di daerah yang hangat. Tunggulah di sini bersamaku, aku akan melepaskanmu kembali setelah musim semi tiba,” kata Princess Minerva. Princess Minerva mengelus bulu burung itu. Dan ia tersenyum saat merasakan
kehalusan
bulu
itu
di
jemarinya.
Burung
itu
berusaha
menggerakkan sayapnya kembali tetapi Princess Minerva menahan gerakan burung itu. Princess menatap sedih burung itu. “Engkau masih beruntung, engkau dapat berkumpul kembali dengan teman-temanmu. Sedangkan aku tidak dapat lagi kembali ke sisi Alexander bahkan menjadi temannya.” Air mata Princess Minerva kembali membasahi pipinya. Princess Minerva mengabaikan air matanya dan terus mengelus tubuh burung itu. 352
“Teman-temanmu hanya meninggalkanmu sendirian di sini sedangkan Alexander membenciku bahkan tidak ingin bertemu denganku. Aku memang selalu dikelilingi banyak orang tetapi aku selalu merasa kesepian tanpa Alexander.” Seolah mengerti kesedihan Princess Minerva, burung itu menggerakkan kepalanya. Princess Minerva tersenyum sedih. “Saat ini engkau tidak memiliki teman tetapi engkau tidak perlu khawatir akan merasa kesepian, aku akan menjadi temanmu sampai musim semi tiba,” kata Princess Minerva berjanji pada burung itu. Princess Minerva tersenyum pada burung yang terus bergerak di pangkuannya. Princess menyeka air matanya dan meraih kain yang semula digunakannya untuk menyelimuti burung itu. Burung layang-layang yang terus bergerak di pangkuannya, membuat Princess melupakan kesedihannya dan terus memperhatikan burung itu. “Anda sudah bangun, Princess,” kata Mrs. Wve. Princess Minerva terkejut melihat Mrs. Wve dan Mrs. Vye berjalan memasuki kamarnya. Kedua wanita itu tersenyum melihatnya duduk di depan perapian sambil memangku burung yang terluka. “Kami menduga Anda belum bangun sehingga kami meninggalkan kamar Anda. Tadi saya ingin bertemu dengan Duke of Blueberry untuk menanyakan keadaan Obbeyville tetapi kami tidak dapat menemuinya. Mungkin Duke sedang berisitirahat,” kata Mrs. Vye. Teringat akan Duke of Blueberry yang saat ini berada di Istana Plesaides karena ingin bertemu dengannya, Princess Minerva berkata, “Apakah kalian bertemu dengan Jacques?” Kedua wanita itu mengangguk. “Tolong katakan kepada Jacques aku akan menemui Duke nanti siang pada saat makan siang,” kata Princess Minerva yang segera disambut seruan terkejut Mrs. Wve. “Tidak,
Princess.
Kali
ini
saya
tidak
akan
mengijinkan
Anda
meninggalkan kamar Anda. Saya tidak tahu harus berbuat apa bila sampai terjadi sesuatu pada Anda,” kata Mrs. Wve. Princess Minerva diam menantikan kata-kata Mrs. Wve selanjutnya. “Tadi pagi Anda tampak sangat pucat seperti akan pingsan. Dan sekarang di hujan salju selebat ini, jangan berharap saya akan mengijinkan Anda meninggalkan kamar Anda yang hangat ini.” 353
Princess Minerva tersenyum. Ia tahu apa yang dikatakan Mrs. Wve benar. Ia tidak mungkin dapat bertahan di ruangan lain yang kurang hangat dibandingkan kamarnya di saat salju turun. Berada di kamarnya yang telah hangat saja masih membuat Princess Minerva merasa kedinginan apalagi bila berada di ruangan yang kurang hangat. “Baiklah, Mrs. Wve. Aku akan merubah rencanaku,” kata Princess Minerva, “Tolong katakan kepada Jacques aku ingin Duke segera menemuiku di sini tetapi bila Duke sedang beristirahat maka biarkanlah ia beristirahat dulu.” Mrs. Wve tersenyum puas mendengar jawaban itu. “Baik, Princess.” Mrs. Wve segera meninggalkan kamar itu. Mrs. Vye yang selalu bersama
Mrs.
mengangguk
Wve
mengikuti
sambil
wanita
tersenyum
itu
padanya
setelah sebagai
Princess tanda
Minerva ia
boleh
meninggalkannya. Princess Minerva kembali memperhatikan burung layang-layang yang masih bergerak di pangkuannya. Gerakan-gerakan burung itu membuat Princess Minerva merasa geli. Ia tersenyum pada burung itu sambil terus mengelus
bulunya
yang
halus.
Gerakan
burung
itu
benar-benar
menenggelamkan Princess ke dalam kesibukan yang membuatnya melupakan segala macam perasaannya kecuali rasa sayangnya pada burung itu. Tangan Princess Minerva masih bermain-main dengan sayap burung itu ketika pintu kamarnya diketuk. Tanpa menanti jawabannya, orang itu membuka pintu itu. Princess Minerva tersenyum. Ia tahu siapa yang mengetuk pintu itu. Mrs. Wve selalu mengetuk pintu kamarnya bila wanita itu tahu ia berada di dalam dan tidak tidur. Tetapi Mrs. Wve tidak pernah menanti jawabannya. Setelah mengetuk pintu, wanita itu segera membuka pintu. Princess Minerva tidak mengangkat kepalanya. Tangannya masih terus bermain dengan burung itu ketika ia mendengar langkah kaki memasuki Ruang Duduk kamarnya. “Seperti yang Anda minta, Princess Minerva, saya mengantar Duke of Blueberry menemui Anda,” kata Jacques. Princess Minerva meletakkan burung itu di lengannya dan bangkit dari tempat duduknya. Princess Minerva tersenyum pada Duke of Blueberry. Ia berusaha 354
mempertahankan senyumannya saat ia melihat Alexander juga berada di Ruang Duduk. Begitu melihat pria itu berdiri di samping Duchess, Princess Minerva segera mengalihkan perhatiannya sebelum matanya bertemu dengan mata Alexander. “Maafkan saya yang telah merepotkan Anda,” kata Princess Minerva, “Saya bermaksud menemui Anda siang ini di waktu makan siang tetapi rupanya saya membuat istirahat Anda terganggu.” “Tidak apa-apa, Princess,” kata Duke, “Kami tidak sedang beristirahat. Ketika kedua pengasuh Anda muncul, kami sedang bercakap-cakap.” Princess Minerva tersenyum, “Maafkan saya. Untuk menemui saya, Anda telah melakukan perjalanan yang jauh dan melelahkan.” Duchess tersenyum, “Tidak apa-apa, Princess. Kami rela menempuh perjalanan yang jauh untuk melihat kamar yang indah ini.” “Silakan duduk,” kata Princess. Mrs. Wve mendekati Princess Minerva. Tangannya terulur pada Princess Minerva yang segera menyerahkan burung itu. Princess Minerva memperhatikan Mrs. Wve memasukkan burung itu kembali ke sangkarnya. “Maafkan saya, Princess. Saya belum memanggil dokter hewan untuk membantu Anda merawat burung itu,” kata Jacques. Princess Minerva tersenyum. “Tidak apa-apa, Jacques. Aku tahu hujan salju yang terus turun ini membuat engkau tidak dapat melakukan perintahku. Tetapi aku harus memarahimu, Jacques, engkau telah melanggar laranganku. Telah kukatakan kepadamu untuk tidak merepotkan seluruh Istana tetapi engkau tetap melakukannya.” Kepala Pengawal Istana itu tersenyum mendengar suara Princess yang tegas namun senyum yang manis menghiasi wajahnya. “Aku berterima kasih padamu, Jacques. Bila engkau tidak mencari orang yang dapat menolongku, aku tidak tahu bagaimana keadaan burung itu saat ini. Entah apa yang diberikan pelayan itu pada burung malang itu sehingga hari ini burung itu tampak lebih segar dari kemarin.” “Kata-kata Anda adalah perintah bagi kami, Princess. Dan kekhawatiran Anda adalah kewajiban kami untuk menyelesaikannya,” kata Jacques sembari tersenyum. “Aku mengerti, Jacques.” Princess kembali duduk di dekat perapian. Kali ini Princess Minerva tidak 355
duduk dengan menghadap perapian itu tetapi membelakangi perapian itu. Api yang menyala di belakang Princess Minerva membuat rambut Princess tampak bersinar. Secerah wajah Princess Minerva yang dihiasi senyumnya yang manis. Tetapi di balik itu semua, Princess Minerva merasa khawatir dan takut menghadapi Alexander. “Apakah itu burung yang kemarin menjadi keributan di Istana?” tanya Duchess. Princess
Minerva
tersenyum.
“Bukan
burungnya
yang
membuat
keributan tetapi sayalah yang menyebabkan keributan itu terjadi.” “Burung apa itu?” tanya Duke tertarik. “Itu adalah burung layang-layang,” jawab Princess Minerva. Duke terkejut. “Bukankah burung layang-layang selalu berpindah tempat di musim gugur untuk menghindari musim dingin?” Princess Minerva menganggukkan kepalanya. “Burung layang-layang itu tertinggal. Ia sama seperti saya yang terlambat menghindari musim dingin.” “Princess Minerva,” kata Mrs. Wve sedih. Princess Minerva tersenyum pada Mrs. Wve. “Aku baik-baik saja, Mrs. Wve. Jangan khawatir. Kupikir hal ini tidak buruk. Sudah lama sekali aku tidak melewatkan musim dingin di Istana.” Mrs. Wve mengangguk. “Ya, Anda melewatkan musim dingin di Istana untuk yang terakhir kalinya adalah saat Anda berusia tiga tahun.” “Lama sekali?” kata Duchess terkejut. Mrs. Wve tersenyum. “Sejak berusia empat tahun, Princess harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain setiap pergantian musim.” Merasa percakapan telah melenceng jauh dari yang direncanakannya, Princess berkata, “Saya memanggil Anda kemari untuk menanyakan suatu hal penting yang saya lupakan. Apakah tujuan Anda datang ke Istana Plesaides?” Duke merasa ragu-ragu tetapi ia tetap menjawab pertanyaan itu. “Sebenarnya kami kemari untuk meminta ijin pada Pangeran Alcon untuk tidak menghadiri pesta itu.” “Saya mengerti saya tidak dapat memaksa Anda menghadirinya walaupun saya sangat mengharapkan kedatangan Anda di pesta itu,” kata Princess Minerva, “Tetapi mengenai pesta itu adalah urusan Alcon. Maafkan saya, saya tidak dapat membantu Anda. Apakah urusan Anda sangat mendesak?” “Sebenarnya kami tidak mempunyai urusan yang penting, Princess,” 356
jawab Duke. “Apakah Anda dapat menunda hal itu. Al berjanji pada saya untuk segera tiba. Saya yakin lusa ia akan tiba kembali di sini,” kata Princess Minerva. “Al?” tanya Duke terkejut. Princess Minerva tersenyum. “Itu adalah panggilan yang saya berikan pada kakak saya, Pangeran Alcon. Apakah Anda dapat menunda urusan Anda selama dua atau tiga hari?” “Saya tidak tahu, Princess. Sebenarnya istri saya ingin melewatkan hari Natal tahun ini di….” Duke
belum
menyelesaikan
kalimatnya
ketika
Duchess
tiba-tiba
berkata, “Kami memutuskan untuk hadir di pesta itu, Princess.” “Chancy, mengapa engkau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah engkau selalu menginginkan hal ini?” tanya Duke tak mengerti. “Itu dulu, Shaw. Sekarang aku memutuskan untuk menghadiri pesta itu,” kata Duchess menegaskan kata-katanya. “Chancy, aku tidak mengerti mengapa engkau tiba-tiba mengubah pikiranmu,” kata Duke. Duches tersenyum menatap wajah Princess Minerva. “Aku ingin berkenalan dengan Maria yang telah menjadi Princess Minerva. Aku sama sekali tidak pernah menduga engkau adalah putri yang hilang itu.” “Chancy,” bisik Duke pada istrinya yang berani berbuat lancang. Princess Minerva tersenyum melihat hal itu. Mrs. Vye juga tersenyum melihat hal itu. “Saya juga tidak pernah menduga Maria adalah putri yang hilang itu, Duchess.” “Kurasa kita semua tidak pernah menduga ia adalah Princess Minerva,” kata Duchess, “Kita hanya menduga Maria adalah bidadari yang dikirim para dewa dari Holly Mountain.” “Kemunculan
saya
yang
tak
terduga
di
Sungai
Alleghei
yang
mempunyai cerita tersediri memang membuat itu semua,” kata Princess Minerva sambil mencoba melupakan kekhawatirannya akan keberadaan Alexander di tempat itu. Mrs. Vye tersenyum, “Bukan hanya itu saja yang membuat kami percaya Anda adalah bidadari, Princess. Anda mengetahui banyak ceritacerita dewa Holly Mountain seakan-akan Anda berasal dari gunung itu sendiri.” 357
Princess Minerva membalas senyuman Mrs. Vye. “Saya mengetahui semua cerita itu dari Quiya di Foentza. Ia mengetahui lebih banyak dari saya.” “Quiya sangat menyukai Princess sehingga ia mau menceritakan semua yang berhubungan dengan Holly Mountain kepada Princess walaupun itu adalah mitos yang terlarang,” tambah Mrs. Wve. Princess Minerva tersenyum. Perasaan serba salah membuat ia merasa tidak tahan terus berada di Ruang Duduk tetapi ia juga tahu ia harus melakukan kewajibannya. Ia harus menjadi tuan rumah bagi Duke of Blueberry. Mendengarkan Mrs. Wve serta Mrs. Vye bergantian menceritakan kehidupannya kepada Duke dan Duchess of Blueberry, membuat Princess Minerva merasa semakin cemas. Princess Minerva khawatir pandangan Alexander kepada dirinya akan semakin buruk. Ia tidak berharap pandangan Alexander kepada dirinya semakin buruk tetapi bila memang itu yang terjadi, Princess Minerva tahu ia hanya dapat menerimanya. Princess Minerva tahu usahanya untuk merubah pandangan Alexander terhadap dirinya tidak akan pernah berhasil mengingat ia telah merusak hubungan pria itu dengan wanita yang dicintainya. Tidak ada yang dapat dilakukannya selain menerima kenyataan pahit itu. Kecemasan yang melanda Princess Minerva membuat gadis itu merasa tidak nyaman dan bingung. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Bila ia tidak selalu tersenyum, Mrs. Wve, Mrs. Vye juga Jacques akan curiga. Tetapi bila ia tersenyum, Alexander akan merasa tidak suka bahkan mungkin akan semakin membenci dirinya. Segala macam perasaan yang berkecamuk di dadanya membuat Princess Minerva merasa lelah. Ia lelah terus menerus berusaha tetap terlihat tenang dan ceria sedangkan di balik semua itu ia merasa tertekan oleh perasaan yang terus mendera batinnya. Usaha Princess Minerva untuk menahan semua kesedihannya di balik sikapnya yang tenang dan senyum manisnya benar-benar telah menguras semua tenaganya. Princess Minerva tahu ia tidak akan mampu terus menerus bertahan seperti ini. Ia tahu yang harus dilakukannya saat ini bukan mendengarkan semua orang di hadapannya bercerita melainkan kembali ke Ruang Tidurnya. Gerakan Princess Minerva membuat semua orang berpaling kepadanya. Princess Minerva tersenyum, “Silakan kalian melanjutkan percakapan kalian. Saya minta maaf karena saya tidak dapat menemani kalian terlalu lama, saya 358
merasa lelah.” Mrs. Wve mengikuti gerakan Princess Minerva. Melihat pengasuhnya meninggalkan tempat duduknya, Princess Minerva cepat-cepat berkata, “Tidak perlu, Mrs. Wve. Lanjutkan saja percakapanmu.” Mendengar kata-kata tegas gadis itu, Mrs. Wve mengangguk kemudian kembali duduk. Princess Minerva tersenyum kemudian meninggalkan ruangan yang menyiksa batinnya. Setelah menutup pintu Ruang Tidurnya, Princess Minerva tidak segera menuju tempat tidurnya. Ia bersandar di balik pintu itu dan mendengarkan percakapan orang-orang di Ruang Duduk. “Bagaimana keadaan Obbeyville?” Pertanyaan Mrs. Vye membuat Princess Minerva terpana. Tiba-tiba saja Princess Minerva menyadari ia telah bersikap salah sebagai
seorang
putri.
Ia
lebih
mementingkan
perasaannya
daripada
perasaan Mrs. Vye. Selama ini ia terlalu terhanyut dalam perasaan sedih yang menyiksanya
dan
melupakan
perasaan
Mrs.
Vye
yang
Ia
tahu
apa
telah
lama
meninggalkan tempat kelahirannya. Princess
Minerva
merasa
bersalah.
yang
harus
dilakukannya. Sekarang ia harus melupakan perasaan sedihnya dan hanya mengingat kenangan bahagianya bersama Alexander serta memikirkan perasaan rindu Mrs. Vye kepada Obbeyville. Tetapi Princess Minerva tetap saja tidak dapat melupakan perasaan sedihnya. Ia semakin merasa tidak dapat lagi bertahan dalam keadaan seperti ini di mana ia harus tampil tenang dan penuh senyum sedangkan hatinya merasa tersiksa. Princess Minerva tidak perlu merasa cemas lebih lama lagi karena keesokan harinya Pangeran Alcon datang. Kedatangan kakaknya merupakan suatu kebahagiaan serta kesedihan tersendiri bagi Princess Minerva. Dengan kedatangan Pangeran Alcon, Princess Minerva tidak perlu lagi menemui keluarga Blueberry yang juga berarti membuat Alexander merasa tenang karena tidak lagi bertemu dengannya. Bersamaan dengan itu Princess Minerva juga merasa sedih karena ia tidak dapat bertemu lagi dengan Alexander. Princess Minerva tersenyum sendiri menyadari semua itu. Ia merasa dirinya aneh bagaimana ia bisa merasa sedih sekaligus bahagia dalam waktu yang bersamaan. Sedih karena tidak dapat lagi berjumpa dengan pria yang 359
dicintainya dan bahagia karena telah mengabulkan keinginan pria itu untuk tidak menemuinya. Walaupun Princess Minerva tidak pernah melihat wajah Alexander bila mereka bertemu tetapi Princess Minerva merasa senang di samping semua perasaan yang juga muncul bila ia menyadari keberadaan Alexander di dekatnya. Dari jendela kamarnya, Princess Minerva melihat kereta yang membawa orang tua serta kakaknya ke tempat yang jauh, telah kembali. Ketika ia melihat kereta itu semakin mendekati Istana Plesaides, ia segera mengambil mantelnya dan meninggalkan kamarnya beserta kedua pengasuhnya yang terkejut dengan gerakannya yang cepat itu. Mrs. Wve serta Mrs. Vye mengikuti Princess Minerva yang berlari ke lantai dasar. Napas kedua wanita itu terengah-engah karenanya. Princess berhenti di ujung lantai terakhir yang harus dilaluinya dan berjalan penuh percaya diri ke Hall yang tepat berada di ujung terbawah tangga itu. Ketika melalui Ruang Duduk, Princess mendengar suara kakaknya. Princess Minerva berhenti di depan pintu Ruang Duduk dan berkata perlahan, “Maafkan aku, Al. Tetapi aku berjanji ini adalah terakhir kalinya aku muncul di hadapanmu.” Setelah menyakinkan dirinya sendiri, Princess Minerva segera membuka lebar-lebar pintu itu. Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut melihat ia berdiri di ambang pintu tetapi Princess Minerva lebih terkejut lagi saat tanpa sengaja matanya bertemu dengan mata yang selama ini dihindarinya. Princess Minerva
cepat-cepat
mengalihkan
pandangan
matanya
dari Alexander
sebelum ia merasa khawatir melihat kekejutan di sana berubah menjadi pandangan marah dan menghina. Jantung Princess Minerva berdebar sangat kencang karena ketidak sengajaan itu. Bersamaan dengan itu Princess Minerva merasa seluruh tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. “Al,” kata Princess Minerva sambil berharap suaranya tidak terlalu bergetar. Semua yang ada di ruangan itu menganggap suara Princess Minerva yang bergetar itu karena ia merasa rindu pada kakaknya. Pangeran Alcon segera mendekati adiknya yang berlari ke arahnya. Pangeran menangkap adiknya dengan pelukan erat. “Aku rindu sekali padamu,” kata Pangeran Alcon. “Mengapa engkau datang lebih cepat, Al?” tanya Princess Minerva 360
sambil memandang ke dalam mata Pangeran Alcon. “Engkau tidak suka aku datang lebih cepat,” kata Pangeran Alcon merajuk. Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku senang engkau datang lebih cepat. Aku hanya tidak menyangka engkau datang lebih cepat.” Pangeran Alcon tersenyum. “Engkau memang anak nakal yang tidak pernah mendengarkan kata-kataku.” “Engkau berkata akan kembali seminggu sebelum pesta itu,” kata Princess Minerva mengingatkan. Pangeran Alcon tersenyum lagi. “Raja Pyre mengerti kalau aku merindukan putri kecilku yang baru saja menghilang dan ia mengijinkan kami pulang lebih awal.” Suara batuk yang dibuat Raja untuk menarik perhatian, membuat Princess Minerva tersenyum pada orang tuanya yang berdiri di belakang kakaknya. Pangeran Alcon tersenyum nakal kepada Raja. Ia menahan tubuh adiknya yang hendak menghampiri orang tuanya tetapi Princess Minerva lebih cepat darinya. Sekarang ganti Princess Minerva yang tersenyum nakal. Melihat senyum nakal yang manis itu, Pangeran Alcon tersenyum sambil berkata, “Engkau memang nakal.” Princess Minerva tersenyum dan berusaha menghindari Pangeran Alcon yang hendak melarangnya menghampiri orang tuanya. Pangeran Alcon mengejar Princess Minerva yang berlari di memutari ruangan itu. Duke dan Duchess of Blueberry yang melihat hal itu terpana sedangkan Raja tertawa dan Ratu tersenyum. Mrs. Wve juga tersenyum melihat tingkah kedua putra Raja yang seperti anak kecil itu. Mrs. Vye terpana seperti keluarga Blueberry dan ia semakin terpana ketika Princess Minerva tertawa sambil terus berusaha menghindari kakaknya yang terus mengejarnya di ruangan itu. “Sudah. Kalian jangan bertingkah seperti anak kecil lagi,” kata Ratu, “Untung sekali ruangan ini luas.” Princess Minerva masih tertawa ketika ia menjatuhkan dirinya ke dalam 361
pelukan ayahnya. “Al nakal, Mama,” kata Princess Minerva sambil tersenyum kepada kakaknya. Pangeran Alcon pura-pura marah melihat itu. “Begitu, ya. Sekarang aku yang nakal.” “Sejak dulu engkau memang nakal, Alcon. Engkau selalu merebut Minerva dariku,” kata Raja. Pangeran Alcon tersenyum nakal mendengar kata-kata itu. “Papa sudah punya Mama dan aku hanya punya Minerva.” Princess Minerva menghampiri ibunya dan mencium kedua pipi ibunya. “Sudah lama sekali engkau tidak tertawa,” kata Ratu. Princess Minerva melihat Pangeran Alcon. “Bagaimana aku bisa tertawa kalau aku dikurung dalam kamarku?” “Sekarang engkau sudah keluar dari kamarmu dan itu berarti engkau melanggar janjimu,” kata Pangeran Alcon. Mendengar tuduhan itu, Princess Minerva tersenyum. “Engkau senang bila aku tidak menyambutmu?” Pangeran Alcon mengeluh. “Engkau semakin pandai membuat aku kebingungan. Benar aku tidak senang engkau tidak menyambutku tetapi aku lebih tidak senang melihat engkau jatuh sakit. Lihatlah sekarang wajahmu memucat kembali.” Raja menatap wajah Princess Minerva dan terpekik terkejut. “Kembalilah ke kamarmu, Minerva. Kakakmu benar wajahmu kembali memucat.” Pangeran Alcon tersenyum penuh kemenangan, “Sekarang giliranku.” Alexander terkejut melihat senyum kemenangan itu seperti senyum Maria saat ia membujuk ayah Ityu agar mengijinkan putranya bermain ke pondok Mrs. Vye di malam hari. Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata itu. Ia tahu apa yang dimaksudkan kakaknya. Kakaknya akan merebut
kembali
dirinya dari
ayahnya. Raja
mengeluh
mendengar
kata-kata
kemenangan
itu.
“Senyum
kemenangan itu,” kata Raja. Ratu tersenyum mendengarnya. “Senyum kemenangan khas keluarga Raja,” kata Ratu pada semua orang. Pangeran Alcon mendekati adiknya. Sambil tersenyum kemenangan kepada Raja, ia mengangkat tubuh adiknya. 362
Ratu tersenyum melihat kedua putranya meninggalkan ruangan itu dan Raja yang memandang iri. “Sejak
dulu
mereka
selalu
berebut
Minerva,”
kata
Ratu
ketika
menyadari kebingungan tamu-tamunya serta Mrs. Vye. “Dan selalu saja Alcon yang menang,” kata Raja sedih. “Sudahlah,” hibur Ratu, “Mereka memang akrab sekali. Aku yakin semua orang akan mengira mereka adalah kekasih bila mereka tidak mirip.” “Ya, mereka sangat akrab sehingga aku merasa mereka terlalu akrab.” Ratu tersenyum mendengar kata-kata Raja yang pura-pura cemburu terhadap keakraban kedua putra mereka. “Mari kita ke kamar Minerva,” kata Ratu kepada semua orang yang ada di sana. Mereka segera mengikuti Ratu ke kamar Princess Minerva untuk ikut dalam kegembiraan Pangeran Alcon dan Princess Minerva. Ketika mereka tiba di sana, Princess Minerva sedang bermain piano untuk kakaknya yang berdiri di sampingnya. Walaupun Princess Minerva bermain sambil bercanda tetapi permainannya tetap terdengar merdu. Keduanya sibuk dengan diri mereka sendiri hingga tidak mengetahui orang-orang yang mereka tinggalkan di Ruang Duduk kini telah berada di sana. Dan tidak seorang pun yang ingin mengganggu kebahagiaan kakak beradik yang telah lama berpisah itu.
363
20
Pangeran Alcon yang sedang berbicara dengan Duke of Blueberry di Ruang Perpustakaan terkejut ketika Mrs. Wve memasuki ruangan itu dengan tergesa-gesa. “Ada apa, Mrs. Wve?” tanya Pangeran. “Princess Minerva pingsan.” Pangeran terkejut mendengar jawaban yang diberikan Mrs. Wve. Ia segera bangkit dari tempat duduknya. “Di mana ia pingsan?” “Di dapur.” Sekali lagi Pangeran Alcon terkejut mendengar jawaban Mrs. Wve. “Minerva memang anak nakal. Sekali diberi ijin meninggalkan kamarnya, ia akan menggunakannya sebaik-baiknya untuk memulai segala kegiatan rutinnya.” “Saya sudah berusaha melarang Princess tetapi ia tetap memaksa. Kata Princess, ia tidak akan kedinginan bila berada di dapur. Ia justru akan merasa kedinginan bila diam saja,” kata Mrs. Wve. “Minerva memang anak yang tidak dapat diam,” kata Raja. “Anak satu ini memang sangat sulit diminta diam walau hanya satu detik. Selalu saja ada yang dilakukannya tetapi kali ini memang benar-benar keterlaluan. Bagaimana ia bisa bermain di dapur yang terletak di bawah tanah?” kata Pangeran. “Kita tidak dapat menyalahkan sifatnya yang sulit disuruh diam itu,” kata Ratu yang juga berada di ruang itu, “Sikapnya yang sulit diam itu justru membuat Istana ini menjadi ceria.” “Musim semi tahun ini memang datang lebih cepat di Istana Plesaides tetapi udara tetap saja terlalu dingin bagi Minerva untuk berkeliaran di dalam Istana seperti kebiasaannya,” kata Pangeran Alcon. “Princess Minerva berkata ia tidak akan kedinginan di sana karena di sana banyak orang,” kata Mrs. Wve. Pangeran Alcon tersenyum melihat Mrs. Wve berusaha terus menerus membela Princess Minerva. “Aku mengerti, Mrs. Wve. Sekarang tunjukkan padaku di mana anak nakal itu berada.” 364
“Kami telah membaringkan Princess di Ruang Duduk,” kata Mrs. Wve. Pangeran segera meninggalkan ruangan itu dan bergegas menuju Ruang Duduk yang dekat dengan tangga menuju dapur. Mrs. Vye yang sedang memangku kepala Princess Minerva segera membaringkan kepala Princess di sofa panjang itu dan menepi demikian pula beberapa
pelayan
yang
mengelilingi
Princess
Minerva
ketika
melihat
Pangeran Alcon. Pangeran mendekati Mrs. Vye. “Ia pucat sekali,” kata Pangeran Alcon sambil menyibakkan rambut yang menutupi wajah adiknya. “Princess Minerva terlalu lelah, Pangeran,” kata Mrs. Vye. Pangeran Alcon tersenyum. Ia segera mengangkat tubuh Princess Minerva. “Mintalah Durant segera memanggil Dokter Donter,” kata Ratu pada Mrs. Wve. Mrs. Wve mengangguk dan membungkuk sebelum meninggalkan Ruang Duduk. Seperti kemarin Ratu beserta Raja dan keluarga Duke of Blueberry segera mengikuti Pangeran Alcon yang membawa Princess Minerva ke kamarnya.
Bedanya
kemarin mereka
mengikuti Pangeran
dan segera
terhanyut dalam keceriaan yang dibuat Pangeran Alcon bersama Princess Minerva, sekarang mereka cemas akan keadaan Princess Minerva. “Apakah Anda kuat membawa Princess Minerva ke kamarnya?” tanya Duke ketika mengikuti Pangeran Alcon yang berjalan ke kamar Princess Minerva sambil membopong adiknya. Pangeran Alcon tersenyum. “Aku telah biasa melakukan ini lagipula Minerva sangat ringan.” Duke hanya termangu mendengar jawaban itu. Bagi Duke ini adalah pertama kalinya ia melihat hubungan kakak beradik yang sangat akrab seperti Pangeran Alcon dengan Princess Minerva. Dokter Donter segera datang tak lama kemudian. Dokter itu tidak kalah cemasnya dari orang-orang yang telah berkumpul di kamar Princess Minerva. Setelah
Dokter
Donter
memeriksa
Princess
Minerva,
mereka
segera
meninggalkan Princess sendirian di kamarnya. “Bagaimana keadaan Minerva?” tanya Ratu. “Ia baik-baik saja. Princess Minerva hanya terlalu lelah dan juga sedikit kedinginan, saya rasa. Di manakah ia berada sebelum pingsan?” 365
“Anda dapat menebaknya, Dokter. Di mana Minerva biasa berada bila ia berada di Istana selain di Ruang Perpustakaan?” kata Pangeran. “Di dapur!” seru Dokter Donter terkejut, “Apa yang dilakukannya di sana?” “Seperti biasanya, apa yang dilakukan Minerva di dapur,” kata Pangeran. “Princess Minerva tidak memasak, ia hanya memperhatikan kami,” kata Mrs. Wve membela Princess Minerva. Pangeran Alcon tersenyum melihat usaha Mrs. Wve membela Princess Minerva. “Aku mengerti, Mrs. Wve. Aku tidak menyalahkan siapa pun karena memang Minerva tidak pernah dapat diam.” “Ia adalah satu-satunya Princess yang tidak pernah dapat diam,” kata Dokter Donter. “Untuk
membuatnya
diam,
kita
harus
memberikan
obat
tidur
kepadanya,” kata Pangeran sambil menatap penuh arti pada Dokter Donter. Dokter Donter tersenyum. “Saya mengerti, Pangeran.” “Terima kasih, Dokter,” kata Ratu, “Saya yakin cara ini akan mampu membuat Minerva tetap berada di kamarnya.” Raja termangu seperti sedang berpikir. “Aku heran, Minerva memang mewarisi hampir semua sifat ratu sebelumnya tetapi seingatku tidak ada nenek moyangku yang tidak mau diam, seperti dia.” Duke yang tak mengerti akan perkataan Raja berkata, “Mewarisi sifat?” Raja tersenyum mendengar pertanyaan tak mengerti itu. “Minerva memang mewarisi hampir semua sifat Ratu sebelumnya. Kepandaiannya menata ruangan berasal dari nenekku, Ratu Gorie. Kebaikan hatinya berasal dari nenek Ratu Gorie. Dan masih banyak lagi yang diwarisi Minerva dari Ratu sebelumnya,” kata Raja menjelaskan. “Kemahirannya bermain piano diwarisi Minerva dari Mama,” tambah Pangeran Alcon sambil tersenyum menatap ibunya. “Minerva memang memiliki sifat tersendiri yang membuatnya tampak menarik di samping semua sifat yang diwarisinya itu. Minerva memiliki kebijaksanaan yang membuat kami semua merasa kagum selain itu ia memiliki mata ungu yang indah,” kata Ratu. “Saya mengagumi mata ungu Princess Minerva yang jernih. Ini pertama kalinya saya melihat mata yang berwarna ungu,” kata Duchess. “Ini juga yang pertama kalinya bagi kami semua,” kata Ratu. 366
Merasa semua orang akan mulai membicarakan adiknya, Pangeran tersenyum. Ia juga ingin ikut membicarakan kelebihan adiknya yang membuatnya berbeda dari gadis-gadis seusianya tetapi ia tahu ada suatu masalah penting yang harus diselesaikannya. “Aku akan menjaga Minerva,” kata Pangeran Alcon. Raja dan Ratu mengangguk mendengar hal itu sedangkan Mrs. Wve berkata, “Biarkan saya yang menjaga Princess Minerva.” “Tidak perlu, Mrs. Wve,” kata Pangeran sambil menatap penuh arti kepada Mrs. Wve. Mrs. Wve mengerti arti tatapan itu. Ia tersenyum pada Pangeran Alcon seakan-akan ia memberi dukungan kepada Pangeran. Setelah mendapat ijin dari kedua orang tuanya, Pangeran Alcon berkata, “Temani aku, Alexander.” Alexander segera mengikuti Pangeran Alcon meninggalkan Ruang Duduk sambil bertanya-tanya mengapa Pangeran Alcon mengajaknya. Selama perjalanan menuju kamar Princess Minerva, Pangeran hanya tersenyum dan membuat Alexander semakin bertanya-tanya. Api di perapian menyala terang menerangi seluruh Ruang Duduk kamar Princess Minerva. Udara terasa sangat hangat di dalam ruangan itu. Tanpa berkata apa-apa, Pangeran Alcon mendekati perapian itu dan memasukkan beberapa batang kayu. Alexander berdiri termangu. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sebenarnya direncanakan Pangeran Alcon. Ia sendiri juga tidak mengerti mengapa ia sangat percaya Pangeran Alcon sedang merencanakan sesuatu. “Berapa usiamu?” tanya Pangeran Alcon. Alexander terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu dan tidak pernah diduganya. “Dua puluh tujuh, Pangeran ,” jawabnya. Pangeran
tersenyum.
“Panggilah
aku
Alcon
dan
lupakan
segala
kesopanan itu. Aku hanya satu tahun lebih tua darimu.” Pangeran
duduk
kemudian
ia
menunjuk
kursi
di
hadapannya.
“Duduklah. Aku tidak bermaksud menghukummu, aku hanya ingin memberi sedikit pertanyaan.” Alexander duduk di kursi yang ditunjuk Pangeran. Tanpa mengulur waktu, Pangeran Alcon bertanya, “Apakah sebelum ini engkau mengenal Minerva? Maksudku waktu ia masih sebagai Maria di Obbeyville.” 367
Alexander mengangguk membenarkan kata-kata Pangeran Alcon. “Engkau tentunya telah mengetahui segala sesuatu tentang Minerva baik dari Mrs. Wve, Mrs. Vye maupun semua orang di Istana ini. Sekarang aku ingin tahu bagaimana Minerva menurut pandanganmu? Apakah ia menarik atau bagaimana?” “Seperti orang-orang lainnya, aku menganggap ia sangat menarik,” kata Alexander. Pangeran Alcon tersenyum. “Ia memang seorang gadis yang sangat menarik. Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya?” Alexander terdiam mendengar pertanyaan itu. “Aku mengerti pertanyaanku ini sulit dijawab tetapi aku tidak dapat lagi menahan rasa ingin tahuku.” Melihat Alexander masih belum menjawab pertanyaannya, Pangeran Alcon berkata, “Aku tidak memaksamu menjawab pertanyaan itu. Aku hanya ingin mengatakan kecurigaanku terhadap kalian berdua.” “Curiga?” tanya Alexander tak mengerti. “Aku memang tidak tahu apa yang telah terjadi selama Minerva berada di Obbeyville tetapi aku tahu telah terjadi sesuatu. Sejak aku tiba, aku melihat sikap Minerva aneh. Ia seperti berusaha menghindarimu. Dan ketika Minerva kembali dari Obbeyville, ia sering mengingau memanggil nama ‘Al’. Memang itu nama panggilan yang diberikan Minerva padaku tetapi aku tahu bukan aku yang dicari Minerva. Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Alexander terdiam mendengar pertanyaan itu. “Aku mengerti bila engkau juga tidak mau menceritakan hal itu kepadaku tetapi aku yakin telah terjadi sesuatu. Minerva memang tidak akan pernah mau menceritakan perasaannya kepada siapapun termasuk aku. Apakah ia pernah mengatakan perasaannya atau pendapatnya mengenai sesuatu kepadamu?” Alexander memandang bingung. “Ia pernah mengatakan perasaannya kepadaku juga pendapatnya mengenai suatu masalah tetapi tidak terlalu sering.” Pangeran Alcon tersenyum. “Sudah kuduga.” Alexander benar-benar tidak mengerti dengan permainan yang sedang dilakukan Pangeran Alcon. Pangeran Alcon sejak tadi hanya tersenyum dan matanya bersinar aneh seperti sinar kemenangan. Pangeran
Alcon
tahu
Alexander
tidak
mengerti
dengan
semua 368
pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Untuk mengurangi perasaan tidak mengerti Alexander itu, ia berkata, “Engkau telah mengetahui segala sesuatunya tentang Minerva baik dari Mrs. Wve, Mrs. Vye maupun Jacques?” Alexander mengangguk. “Apa yang dikatakan mereka memang benar, Minerva seorang gadis yang menarik. Tetapi ada suatu hal yang hanya diketahui olehku,” kata Pangeran Alcon, “Minerva adalah gadis yang tertutup. Ia tidak menyukai suasana yang ramai. Karena itu ia memilih tempat ini yang jauh dari keramaian.” “Karena itukah kamar Princess terpisah dari kamar-kamar keluarga Raja lainnya,” gumam Alexander. Pangeran mengangguk. “Ya, di sinilah Minerva biasa menghabiskan waktunya selain di Ruang Perpustakaan atau di dapur. Semua orang mengetahui Minerva sebagai seorang gadis yang tidak mau diam tetapi aku mengenalnya sebagai seorang gadis yang tertutup.” “Minerva sama sekali tidak pernah mau membicarakan perasaannya. Ia tidak pernah mengatakan hal itu kepadaku. Bila ia mempunyai pendapat mengenai suatu masalah, ia tidak akan pernah mengutarakannya. Hanya kepadaku saja ia mau mengatakan pendapatnya karena itu aku yakin bila ia membuka dirinya kepada orang lain, itu berarti ia memiliki perasaan istimewa terhadap orang itu.” Alexander diam berpikir mendengar kata-kata Pangeran Alcon. “Sesuatu memang telah terjadi tetapi itu tidak seburuk yang engkau bayangkan.” “Aku memang telah menduganya. Aku mengerti bila engkau tidak mau menceritakan lebih jauh kepadaku mengenai itu. Aku percaya kepadamu apa yang terjadi itu tidak seburuk yang kukira,” kata Pangeran Alcon, “Aku hanya meminta engkau segera menyelesaikan masalah itu. Aku tidak ingin Minerva disakiti seperti yang pernah kulakukan.” Alexander terkejut mendengar perkataan Pangeran Alcon. “Engkau pernah menyakiti hati Princess?” Pangeran Alcon tersenyum. “Memang tidak dapat dipercaya aku pernah menyakiti perasaan Minerva bila melihat akrabnya hubungan kami. Tetapi itu memang benar aku telah menyakiti hati Minerva.” Pangeran Alcon mulai menceritakan kejadian yang tidak pernah dilupakannya kepada Alexander. Sewaktu kecil Pangeran Alcon sangat membenci adiknya. Ia tidak 369
menyukai adiknya yang telah merebut semua perhatian orang tuanya yang semula hanya ditujukan padanya.
Selama sepuluh tahun, ia menyukai
kehidupannya sebagai putra tunggal yang selalu mendapat perhatian siapa saja. Tetapi sejak adiknya lahir, perhatian semua orang berpindah pada adiknya. Apalagi sejak lahir Princess Minerva sering demam. Rasa iri yang terus tumbuh di hatinya membuat Pangeran Alcon semakin tidak menyukai Princess Minerva. Tetapi Princess Minerva yang masih kecil tidak menyadari itu bahkan ia bersikap manja kepada kakaknya. Pangeran Alcon semakin tidak menyukai adiknya yang selalu bersikap manja terhadapnya. Princess Minerva sering meminta Pangeran menemaninya sewaktu ia akan tidur tetapi Pangeran Alcon selalu menolaknya dengan katakata yang tajam. Hal itu tidak membuat Princess Minerva merasa gentar bahkan Princess Minerva dengan tersenyum manis meminta Pangeran Alcon menjaganya sampai ia tertidur. Senyum manis Princess Minerva mampu membuat setiap orang berubah pikiran demikian pula Pangeran Alcon. Walaupun Pangeran Alcon
sering
berubah
pikiran
bila
melihat
senyum
itu,
ia
tetap
mempertahankan dirinya untuk tidak menuruti keinginan adik yang sangat dibencinya. Hanya sesekali saja Pangeran Alcon menuruti keinginan Princess Minerva. Sejak kecil Princess Minerva telah menunjukkan rasa sayangnya kepada kakaknya tetapi Pangeran Alcon selalu menolaknya hingga suatu kejadian yang merubah semua itu. Saat itu Princess Minerva baru berusia empat tahun tetapi ia telah menjadi seorang putri kecil yang menarik hati setiap orang demikian pula Pangeran Alcon tetapi saat itu Pangeran Alcon tidak mau mengakuinya. Ketika Princess Minerva meminta Pangeran Alcon mengantarnya ke laut yang dekat Istana, Pangeran Alcon menurutinya. Saat itu Pangeran Alcon menuruti keinginan Princess Minerva bukan karena ia terpesona pada Princess hingga mau melakukan apa saja untuk Princess seperti semua orang, tetapi karena suatu keinginan yang tiba-tiba muncul di hatinya. Pangeran Alcon berharap dengan membawa Princess ke pantai sesuai keinginan adiknya, ia dapat dengan mudah menyingkirkan Princess Minerva yang telah merebut hati semua orang. Pangeran Alcon tahu Princess Minerva sangat suka melihat matahari terbit atau tenggelam karena itu ia mengajak Princess Minerva pergi ke pantai 370
tepat sebelum matahari terbit. Princess Minerva sangat senang karenanya. Saat matahari mulai tenggelam, Pangeran Alcon sengaja meninggalkan Princess Minerva yang terpesona pada pemandangan di hadapannya. Pangeran bersembunyi di balik sebuah pohon tempat ia menambatkan kudanya. Semula Pangeran Alcon memang bermaksud meninggalkan Princess Minerva di sana dan berkata kepada orang tuanya bahwa Princess Minerva hilang. Tetapi perasaan iba dan sayang yang tiba-tiba muncul membuat Pangeran Alcon merasa ragu. Akhirnya Pangeran Alcon bersembunyi di balik pohon itu sambil terus mengawasi Princess Minerva. Setelah matahari itu benar-benar tenggelam, barulah Princess Minerva mengalihkan perhatiannya dari permukaan laut. Princess Minerva sangat cemas ketika melihat Pangeran Alcon tidak ada di dekatnya. “Al! Di mana engkau?” tanya Princess Minerva cemas. Tetapi tidak ada jawaban. Princess Minerva semakin cemas karenanya. Melihat langit yang semakin malam, Princess Minerva menjadi semakin takut. Ia tidak berani meninggalkan tempatnya. Princess Minerva terus menerus memanggil nama kakaknya. Pangeran Alcon terus bersembunyi di balik pohon itu walaupun ia mendengar
suara
panggilan
Princess
Minerva
yang
mencemaskan
keadaannya. Langit semakin malam dan udara semakin dingin tetapi Pangeran Alcon tidak segera menghampiri adiknya. Princess Minerva benar-benar cemas. Ia berusaha mengabaikan udara dingin yang menerpanya sambil terus memanggil nama kakaknya. Akhirnya Princess Minerva tidak sanggup bertahan lagi dalam udara dingin itu. Ia jatuh pingsan. Saat itulah Pangeran Alcon keluar dari persembunyiannya. Pangeran Alcon sangat cemas ketika melihat adiknya pingsan dan ia semakin cemas karena tubuh Princess Minerva sangat panas. Pangeran Alcon segera membawa adiknya kembali ke Istana. Ketika Dokter Donter sedang memeriksa Princess Minerva di kamarnya, Pangeran Alcon berkata, “Maafkan aku, Papa. Aku tidak dapat menjaga Minerva dengan baik.” Raja tersenyum mendengar penyesalan putranya. “Tidak apa-apa, Alcon. Aku mengerti.” Pangeran Alcon menggelengkan kepalanya. “Papa, tidak mengerti. Tadi 371
aku berniat meninggalkan Minerva sendirian di sana.” Raja masih tetap tersenyum walaupun telah mendengar pengakuan putranya. “Aku mengerti, Alcon. Aku tidak menyalahkanmu.” “Aku menyesal, Papa. Aku benar-benar menyesal telah menyebabkan Minerva sakit dan aku menyesal telah membencinya.” Raja menepuk pundak Pangeran Alcon sambil tersenyum penuh pengertian. “Aku mengerti, Alcon. Aku dan Mamamu memang telah menduga engkau akan membenci adikmu. Kami mengerti bagaimana perasaanmu setelah sepuluh tahun engkau mendapat perhatian penuh tiba-tiba perhatian itu tercurah pada adikmu. Kami mengerti semua itu, Alcon, dan kami tidak menyalahkanmu. Minerva memang mudah sakit.” Saat itu Dokter Donter muncul dari kamar Princess Minerva beserta Ratu. “Bagaimana keadaan Minerva, Dokter?” tanya Raja. “Ia demam,” kata Dokter Donter, “Dan seperti yang telah saya duga, Princess Minerva tidak tahan dengan udara dingin. Selama ini saya telah berusaha menemukan sebab Princess Minerva sering demam dan saya mengambil kesimpulan ia tidak tahan udara dingin.” “Apakah itu berbahaya bagi kesehatannya?” tanya Raja. “Sebaiknya kita menghindari Princess Minerva sering demam,” jawab Dokter Donter. “Apakah yang dapat kami lakukan untuk mencegah Minerva sakit?” tanya Ratu. Dokter Donter terdiam. “Mungkin kita harus memindahkan Princess Minerva ke tempat lain yang lebih hangat. Tetapi itu sulit, karena saya yakin Anda tidak akan tega berpisah dengan Princess Minerva.” Raja tersenyum. “Anda benar, Dokter Donter.” “Saya hanya dapat mengusulkan Princess Minerva pindah ke tempat lain yang udaranya lebih hangat daripada di Istana Plesaides di saat udara dingin dan udara panas. Tetapi itu berarti Anda hanya dapat berkumpul dengan Princess Minerva selama kurang lebih tiga bulan.” Raja dan Ratu terdiam mendengar usul Dokter Donter. Pangeran Alcon yang sejak tadi termenung mendengar kata-kata Dokter Donter semakin merasa bersalah. “Bila itu satu-satunya cara, kami hanya dapat melakukannya,” kata Raja 372
pada akhirnya. “Baiklah, sekarang semuanya telah selesai. Saya mohon diri dulu, bila Anda tidak berkeberatan,” kata Dokter Donter. Raja dan Ratu mengantar Dokter Donter hingga di depan Istana Plesaides sedangkan Pangeran Alcon menjaga adiknya. Pangeran Alcon merasa menyesal melihat wajah adiknya yang pucat. Saat itulah Pangeran Alcon menyadari wajah adiknya sangat cantik. “Mengapa sebelumnya aku tidak pernah menyadari wajah adikku sangat cantik?” tanya Pangeran Alcon pada dirinya sendiri. Pangeran Alcon sibuk
memandangi
wajah
Princess
Minerva
hingga
tidak
menyadari
kedatangan kedua orang tuanya. “Alcon,” kata Ratu. “Aku menyesal, Mama. Aku benar-benar menyesal,” kata Pangeran Alcon. Ratu tersenyum. “Mama mengerti, Alcon. Mama minta maaf. Selama ini Mama hanya sibuk memperhatikan adikmu sehingga engkau merasa benci pada adikmu. Mama berjanji juga akan memperhatikan dirimu. Tetapi Mama juga meminta engkau berjanji tidak akan membenci adikmu lagi.” “Apakah
semua
telah
terlambat?”
kata
Pangeran
Alcon
penuh
penyesalan. Raja menggelengkan kepalanya. “Tidak, Alcon. Selama engkau mau berubah semuanya tidak terlambat.” Pangeran Alcon tersenyum mendengar hal itu. “Aku berjanji, Mama. Aku janji tidak akan membenci Minerva lagi. Aku akan selalu berada di samping Minerva dan menjaganya.” Ratu tersenyum sedih mendengar janji Pangeran Alcon. “Engkau telah mendengar sendiri apa yang dikatakan Dokter Donter. Kita tidak akan dapat berkumpul lagi dengan Minerva sepanjang tahun.” Pangeran Alcon terkejut. Ia teringat akan kata-kata Dokter Donter dan semakin merasa menyesal. “Papa, ijinkan aku mengurus Minerva,” kata Pangeran Alcon setelah terdiam beberapa saat, “Ijinkan aku yang mengurus segala hal yang menyangkut Minerva. Ijinkan aku memutuskan segala sesuatunya untuk Minerva.” Raja dan Ratu terkejut mendengar permintaan Pangeran Alcon. “Engkau masih terlalu kecil, Alcon,” kata Ratu. 373
Pangeran Alcon tidak menyerah. “Ijinkan aku, aku janji aku tidak akan mengecewakan kalian. Aku akan menjaga Minerva sebaik kalian. Ijinkan aku, karena ini satu-satunya cara untukku untuk menebus dosaku kepada Minerva.” Raja tersenyum melihat keteguhan putranya. “Baiklah, Alcon. Aku menyerahkan Minerva kepadamu. Sekarang engkaulah yang memutuskan segala sesuatunya untuk Minerva tetapi aku berpesan engkau tidak boleh melupakan kami. Bila engkau mendapatkan kesulitan, mintalah bantuan kami.” Pangeran Alcon sangat senang setelah mendapat ijin dari ayahnya. “Apakah itu baik?” tanya Ratu pada suaminya. “Tidak apa-apa. Alcon sudah besar lagipula ia harus dapat menunjukkan rasa sayangnya pada Minerva. Sudah lama ia membenci Minerva sekarang saatnya ia menunjukkan besarnya rasa sayangnya pada Minerva,” kata Raja meyakinkan Ratu. Ratu tersenyum mendengarnya. Ia tahu keputusan Raja adalah benar. Dengan
demikian
Pangeran
Alcon
akan
merasa
bertanggung
jawab
sepenuhnya terhadap adiknya dan tidak akan lagi merasa benci kepada adiknya. Sejak saat itu sikap Pangeran Alcon terhadap Princess Minerva benarbenar berubah. Pangeran Alcon menjadi sangat menyayangi adiknya dan selalu memperhatikan adiknya seperti janjinya pada orang tuanya. Raja dan Ratu merasa senang dengan perubahan Pangeran Alcon. Mereka senang melihat hubungan kedua kakak beradik itu yang menjadi semakin akrab. Setiap kali Princess Minerva tidak berada di Istana Plesaides, Pangeran Alcon merasa sedih dan kesepian. Tetapi bila Princess ada di Istana Plesaides, Pangeran
Alcon
menjadi
seorang
yang
sangat
periang
yang
selalu
memanjakan Princess. Setiap kali Princess Minerva berada di Istana, selalu ada tawa yang menghiasi
kehidupan
Istana.
Princess
Minerva
dengan
daya
tariknya
membuat semua orang di sekitarnya merasa gembira dan selalu ceria. Karena itu semua orang mengatakan musim semi adalah musim cerianya Istana Plesaides. Walaupun Raja telah mengatakan Pangeran Alcon boleh memutuskan segala sesuatunya untuk adiknya tetapi mereka tidak pernah melewatkan pengawasan mereka terhadap segala keputusan Pangeran Alcon. 374
Sejak Pangeran Alcon memperoleh kepercayaan dari kedua orang tuanya, Pangeran benar-benar memanfaatkan kesempatan itu untuk menebus kesalahannya. Tidak pernah ada keputusan yang dibuat Pangeran untuk Princess yang tidak disetujui Raja dan Ratu. Alexander terkejut mendengar cerita itu. Ia tidak pernah menyangka Pangeran Alcon yang selama ini terlihat sangat menyayangi adiknya ternyata dulu pernah menyakiti perasaan adiknya. “Karena itu engkau yang memutuskan segala sesuatu mengenai Minerva,” kata Alexander. Pangeran Alcon mengangguk. “Karena itu pula aku tidak ingin Minerva disakiti lagi. sekarang yang kuinginkan adalah engkau segera menyelesaikan masalahmu dengan Minerva.” Alexander tampak ragu-ragu. “Apakah Princess akan mau menerima penjelasanku dan memaafkanku?” Pangeran Alcon tersenyum. “Engkau tahu arti nama Minerva?” Alexander mengangguk. “Minerva dari bahasa Yunani yang berarti kebijaksanaan.” “Dan seperti arti namanya, Minerva memang seorang gadis yang bijaksana. Ia selalu tahu bagaimana ia harus bersikap. Ia pasti mau mendengarkan kata-katamu,” kata Pangeran Alcon, “Minerva seorang anak yang penurut kecuali bila disuruh diam. Ia paling tidak dapat diam.” “Ya, sewaktu di Obbeyville, ia juga tidak pernah mau diam. Selalu ada saja yang dilakukannya. Entah itu membantu Mrs. Vye di Sidewinder House, berdongeng kepada anak-anak.” Pangeran Alcon tertawa mendengar kata-kata Alexander. “Aku telah menduganya. Nanti bila ia bangun, ia pasti juga tidak mau diam. Sekarang jagalah dia. Aku akan menyelesaikan urusanku.” Pangeran Alcon berjalan ke pintu dan sebelum ia menghilang di balik pintu itu, ia berkata, “Bila masalahmu dengan Minerva sudah selesai, aku ingin engkau memberi tahuku bagaimanakah rupa Baroness Lora maupun Lady Debora.” Alexander berdiri termangu di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Baginya ini pertama kalinya ia sendirian di kamar Princess Minerva yang besar. Suara burung yang berasal dari dekat piano menarik perhatian Alexander. 375
Ketika ia memperhatikan burung itu, pintu terbuka kembali dan tampaklah Pangeran Alcon yang terkejut. “Mengapa engkau belum ke tempat Minerva?” tanya Pangeran. Alexander diam saja. “Aku mengerti engkau merasa ragu. Tetapi ingatlah apa yang telah kukatakan kepadamu. Minerva selalu tahu apa yang harus dilakukannya.” Walaupun Pangeran Alcon telah meyakinkannya tetapi Alexander tetap merasa ragu-ragu. “Aku telah sangat bersalah kepadanya. Mungkin ia tidak mau mendengarkan kata-kata saya.” Pangeran tersenyum. “Apakah ia pernah tertawa bersamamu?” Pertanyaan itu membuat Alexander merasa bingung. “Minerva selalu tahu apa yang harus dilakukannya karena itu ia selalu menahan dirinya. Apa pun yang dirasakannya, Minerva selalu tersenyum,” kata Pangeran Alcon memberi penjelasan. Alexander mengangguk mendengar penjelasan Pangeran Alcon. Selama berada di Obbeyville, ia selalu melihat Princess tersenyum sehingga semua orang menganggap Princess merasa senang. Hanya dirinya sendiri yang tahu sesungguhnya Princess Minerva merasa sedih dan bingung oleh masa lalunya yang hilang dari ingatannya. “Princess Minerva selalu terlihat tenang dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya,” kata Alexander. “Aku
mengagumi
ketenangan
yang
dimilikinya.
Ia
selalu
dapat
tersenyum walaupun hatinya sedang sedih. Dan bila ia merasa senang, ia juga selalu tersenyum. Ia jarang tertawa karena itu aku yakin bila ia pernah tertawa bersamamu, ia pasti mempunyai perasaan khusus terhadapmu.” “Princess Minerva selalu tertawa bersamamu, Alcon,” kata Alexander. Pangeran Alcon mengangguk. “Ya, Minerva memang selalu tertawa bila ia bersamaku. Seperti yang pernah kukatakan Minerva hanya membuka dirinya kepadaku tetapi ia tidak membuka dirinya sepenuhnya. Ia tidak mau mengatakan apa yang telah terjadi selama ia berada di Obbeyville.” Alexander merasa bersalah mendengar nada sedih dalam suara Pangeran Alcon. Alexander tahu sedikit banyak ia juga yang telah membuat Pangeran
Alcon
merasa
sedih
karena
Princess
Minerva
tidak
mau
menceritakan apa yang telah terjadi selama ia berada di Obbeyville. “Jangan sedih, Alcon. Mungkin Princess Minerva tidak pernah mau mengatakannya karena ia tidak ingin membuatmu merasa sedih,” hibur Alexander. 376
Pangeran Alcon mengangguk sedih. “Ya, karena itu pula ia tidak pernah terlihat sedih di hadapanku. Entah engkau percaya atau tidak tetapi ini benar. Aku selalu melihatnya tertawa tetapi tidak pernah melihatnya sedih atau menangis hingga detik ini.” Alexander terkejut mendengar kata-kata Pangeran Alcon. “Princess tidak pernah menangis?” tanyanya tak percaya. “Ia selalu tersenyum dan tertawa tetapi ia tidak pernah terlihat menangis. Kurasa bukan hanya aku saja yang tidak pernah melihatnya sedih, semua orang selalu melihat ia gembira,” kata Pangeran Alcon. Alexander
terpana
mendengar
kata-kata
Pangeran.
Ia
sukar
mempercayai apa yang didengarnya. Pangeran Alcon tersenyum. “Minerva memang hebat, bukan? Sungguh suatu kemampuan yang luar biasa untuk dapat menahan kesedihan di balik senyum.” “Mungkin Princess Minerva tidak pernah merasa sedih,” kata Alexander. Pangeran Alcon menggelengkan kepalanya. “Engkau salah, Alexander. Minerva pernah merasa sedih, hanya saja ia tidak ingin orang lain tahu kesedihannya. Hanya di saat ia masih seorang bayi saja, ia menangis. Setelah itu ia sama sekali tidak pernah terlihat sedih.” “Sukar dipercayai.” Pangeran Alcon mengangguk. “Memang sukar dipercayai tetapi ini nyata.” Alexander berdiri termangu di tempatnya. Berbagai macam pikiran muncul di benaknya. Melihat Alexander tidak segera ke tempat adiknya terbaring, Pangeran Alcon berkata, “Sekarang lekas temui Minerva dan selesaikan masalahmu sebelum semuanya terlambat.” Alexander tak mengerti apa yang dikatakan Pangeran Alcon. Pangeran Alcon berjalan ke pintu. “Cepat selesaikan masalahmu dengan Minerva. Aku tidak akan menganggu kalian. Tadi aku hanya ingin memeriksa apakah segala sesuatunya telah beres.” Melihat Alexander masih berdiri di tempatnya, Pangeran Alcon berkata, “Aku akan memberi tahumu sesuatu yang tidak diketahui oleh Minerva sendiri. Hidup Minerva tidak lama lagi. Kata Dokter Donter, bila Minerva sering demam, itu berarti hidupnya tidak lama lagi. Karena itu, Alexander, temui Minerva atau engkau akan menyesal seumur hidupmu.” 377
Alexander terkejut mendengarnya. “Tinggalkan burung kesayangan Minerva, Alexander, dan temui putri tidurku. Jagalah ia,” kata Pangeran Alcon sambil menutup pintu. Alexander memandang Pangeran Alcon yang meninggalkan kamar Princess Minerva. Setelah Pangeran Alcon menghilang di balik pintu itu, Alexander
meninggalkan
sangkar
burung layang-layang
itu.
Alexander
memandang ruangan itu. Tanpa diberi tahu siapapun, ia tahu letak Ruang Tidur Princess Minerva. Perlahan-lahan dibukanya pintu Ruang Tidur itu. Cahaya api dari perapian yang menerobos masuk ke ruangan itu membuat ruangan itu menjadi terang. Sosok tubuh yang terbaring di tempat tidur, terlukis pada tirai-tirai putih yang mengelilingi tempat tidur itu. Alexander tersenyum sedih melihat sosok yang terlukis pada tirai-tirai putih itu. “Putri tidur yang cantik,” gumam Alexander sambil mendekati tempat tidur itu, “Dan terluka karenaku.” Alexander telah tiba di samping tempat tidur besar itu tetapi ia tidak segera membuka tirai yang menutupi tempat tidur itu. Ia hanya memandangi sosok yang terlukis di tirai itu. Keindahan ruang itu tidak membuat Alexander terpesona seperti pada saat pertama kali ia memasuki kamar Princess Minerva yang penuh bunga. Sekarang Alexander hanya terpesona pada sosok mungil yang terbaring di tempat tidur. Perlahan-lahan Alexander membuka tirai itu dan tersenyum sedih melihat Princess Minerva yang terbaring di sana. Melihatnya, Alexander teringat saat ia menjaga Princess Minerva yang terus tidur di Obbeyville. Princess Minerva terlihat kecil di atas tempat tidur yang besar itu. Wajahnya yang pucat tertutupi oleh rambutnya yang tergerai di atas tempat tidur. Alexander menyibakkan rambut yang menutupi wajah Princess Minerva dan melihat seuntai kalung yang indah melingkari lehernya yang tertutup leher gaun tidurnya. Hampir seluruh ruangan ini berwarna putih, bantal yang putih, tempat tidur putih, tirai putih. Alexander tersenyum sedih melihat Princess Minerva dengan segala warna putih di sekitarnya. Alexander teringat kata-kata Mrs. Wve. “Princess Minerva menyukai warna putih. Katanya warna putih adalah warna suci dan bagi saya warna putih adalah lambang kesucian hati Princess.” 378
“Anda
benar,
Mrs.
Wve.
Ia
memang
suci
tetapi
saya
telah
menyakitinya,” gumam Alexander. Alexander melihat sebuah kursi di depan meja rias dan membawanya ke samping tempat tidur Princess Minerva. Selama tiga hari Alexander berada di Istana Plesaides, ia telah banyak menyadari
kesalahannya.
Ia merasa
menyesal dan tidak tahu
harus
bagaimana mengungkapkan penyesalannya pada Princess Minerva. Wajah yang pucat tanpa senyum itu mengingatkan Alexander akan saat terakhir kali ia bertemu Princess Minerva di Obbeyville. Saat itu wajah Princess Minerva sangat pucat mendengar kata-kata kasarnya tetapi itu tidak membuat Alexander bergeming bahkan ketika Princess Minerva menangis. Kata-kata yang tak berbelas kasihan terus keluar dari mulut Alexander dan terus membuat Princess Minerva menangis. Alexander tidak tahu apa yang akan dikatakan Pangeran Alcon bila Pangeran tahu ia telah membuat Princess Minerva menangis. Alexander tidak merasa senang menjadi orang pertama yang membuat Princess Minerva menangis, ia merasa sedih bahkan menyesal. Dan ia semakin menyesal karena ia masih mengatakan kata-kata yang kasar setelah berjumpa kembali dengan Princess Minerva. Alexander tidak pernah dapat melupakan peristiwa pertemuannya yang tidak terduga dengan Princess Minerva di halaman Istana. Setelah diantar Jacques ke kamarnya, Alexander tidak ingin beristirahat. Ia tertarik pada patung-patung yang menghiasi halaman Istana yang dilihatnya saat ia tiba. Ketika Alexander sedang berjalan-jalan di halaman Istana yang ditutupi salju itu, tiba-tiba ia melihat sesuatu berwarna hijau cerah berjalan di halaman itu. Warna hijau cerah itu menarik perhatian Alexander. Alexander terus memandangi sosok tubuh dalam warna hijau itu yang terus berjalan di halaman Istana. Alexander melihat sosok itu berhenti di bawah sebatang pohon cemara dan membungkuk mencari sesuatu di sana. Lama Alexander memandang sosok itu mencari sesuatu di bawah pohon cemara itu. Ketika melihat sosok itu tidak segera bangkit, Alexander memutuskan untuk mendekat dan membantunya. Betapa terkejutnya Alexander ketika ia tiba di belakang sosok itu. Ia melihat rambut panjang yang keemasan menyentuh salju yang menutupi halaman Istana. Alexander merasa curiga dan was-was. Alexander mengenal 379
pemilik rambut yang juga panjang dan keemasan seperti sosok yang membungkuk di depannya. Alexander terpaku di tempatnya hingga ia lupa tujuannya semula. Tak lama kemudian sosok itu berdiri dan berkata, “Kasihan sekali engkau, burung kecil. Engkau kedinginan.” Alexander terkejut mendengar suara yang dikenalnya itu. Suara itu selalu ada dalam ingatannya tetapi ia selalu berusaha melupakan suara itu. Sama seperti ia ingin melupakan pemilik suara itu. “Maria,” desis Alexander. Sosok itu membalikkan badannya dan tersenyum. Senyum yang menghiasi wajah gadis itu menghilang ketika mata mereka bertemu. Alexander terkejut melihat wajah gadis yang berdiri di hadapannya. Wajah gadis itu adalah wajah gadis yang selama ini memenuhi benaknya tetapi selalu berusaha dilupakannya. Sejak melihat Maria membiarkan Lady Debora bersikap semesra itu kepada Marcel di belakangnya, Alexander mulai mencurigai Maria dan tidak menyukai Maria. Dalam pandangan Alexander, Maria sama seperti Lady Debora yang selalu berusaha merayu laki-laki demi kekayaan. “Apa yang kaulakukan di sini, Maria?” tanya Alexander tajam, “Apakah sekarang engkau bermaksud merayu Pangeran Alcon?” Alexander melihat gadis itu berdiri terpaku di depannya tanpa dapat berkata apa-apa. Melihat wajah gadis itu memucat, Alexander menduga tebakannya benar. Gadis itu adalah Maria yang sekarang bermaksud merayu Pangeran Alcon. “Mengapa, Maria? Apakah yang kukatakan tepat sehingga engkau tidak dapat berbicara apa-apa?” kata Alexander tajam. Alexander melihat wajah gadis itu semakin memucat mendengar katakatanya tetapi gadis itu tetap tidak bergeming. Alexander juga melihat air mata mulai membasahi mata yang dulu pernah dikaguminya dan ia merasa muak melihat melihatnya. Baru saja Alexander hendak berkata lagi ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang. “Princess! Apa yang Anda lakukan di sana?” Alexander terkejut mendengar perkataan wanita itu. Ia melihat wajah gadis di depannya yang masih tetap pucat kemudian ia melihat wajah wanita yang mengucapkan itu. Wajah wanita itu mirip dengan Mrs. Vye sehingga untuk sesaat 380
Alexander menduga wanita itu adalah Mrs. Vye. Alexander menatap lagi wajah gadis di depannya dan ia merasa bingung. Gadis itu pergi meninggalkan Alexander terpaku di tempatnya. Ketika gadis itu melewatinya, Alexander melihat senyum menghiasi wajah gadis itu tetapi sebutir air mata mengalir dari matanya. Peristiwa itu membuat Alexander benar-benar bingung hingga ia tidak dapat tidur pada malam harinya. Ia terus memikirkan panggilan wanita yang diberikan pada gadis yang dikenalnya sebagai Maria. “Tidak mungkin Maria adalah Princess Minerva,” kata Alexander pada dirinya sendiri, “Kata Jacques, Princess Minerva sedang tidak enak badan. Jadi tidak mungkin Maria adalah Princess Minerva. Mungkin wanita itu salah memanggil.” Memang Alexander telah berhasil meyakinkan dirinya sendiri tetapi ia tetap tidak dapat menghapus semua kebingungan yang meliputinya. “Seandainya Maria bukan Princess, mengapa ia mendatangi wanita itu,” tanya Alexander pada dirinya sendiri. Kebingungan yang saat itu melanda dirinya benar-benar seperti kebingunan yang melanda dirinya saat ia pertama kali berjumpa dengan Maria. Ketika pertama kali berjumpa dengan Maria, Alexander benar-benar merasa terpesona pada kecantikkan gadis itu. Gadis itu telah membuat Alexander tidak dapat tidur setelah pertemuan mereka yang pertama. Alexander selalu teringat wajah cantik gadis itu dengan senyumannya yang menawan hati. Alexander ingin mengenal lebih jauh gadis yang belum pernah dilihatnya di Obbeyville. Alexander sering berkuda ke Obbeyville dan ia telah mengenal hampir semua penduduk Obbeyville tetapi ia tidak pernah melihat wajah gadis itu. Malam itu Alexander berharap dapat berjumpa lagi dengan gadis yang ditemuinya di Sungai Alleghei dan ia merasa senang ketika esok harinya ia berjumpa kembali dengan gadis itu. Gadis itu tampak misterius. Matanya yang menawan selalu tampak tenang dan senyum yang manis selalu menghiasi wajahnya yang cantik. Gerakannya yang anggun membuat Alexander semakin ingin mengetahui diri gadis itu yang sebenarnya. Tutur katanya yang lembut namun mampu menarik perhatian setiap orang membuat Alexander semakin mengagumi gadis itu. Sejak pertama kali bertemu dengan Maria, Alexander menyadari dirinya 381
telah terpikat pada daya tarik gadis itu. Alexander juga menyadari dirinya telah berubah sejak mengenal gadis itu. Alexander yang dulunya enggan mendekati wanita mulai mendekati gadis yang selalu membuatnya merasa bingung pada pesonanya. Namun sejak Alexander mengetahui gadis itu membiarkan Lady Debora merayu laki-laki di saat wanita itu sedang akrab dengannya, Alexander merasa benci pada gadis itu. Ia menganggap gadis itu tidak berbeda jauh dari Lady Debora yang seorang perayu. Dalam pandangan Alexander, Maria juga seorang wanita yang senang merayu laki-laki hanya demi kekayaan. Alexander merasa dirinya terkecoh oleh kecantikkan dan semua daya tarik gadis itu dan ia menjadi semakin marah karenanya. Ia juga sadar ia telah terkecoh oleh gadis itu saat ia menciumnya untuk pertama kalinya. Bila ia teringat gadis dalam pelukannya itu terkejut seperti baru pertama kalinya dicium, ia merasa semakin marah telah membiarkan dirinya menganggap gadis itu suci. Dulu saat Maria berhasil memukul telak rayuan Marcel terhadap dirinya, Alexander merasa kagum pada gadis itu tetapi kejadian itu telah membuat Alexander berpandangan lain. Alexander menduga sebelum Maria mengenal dirinya, ia telah mengenal Marcel dan peristiwa di pesta dansa keluarganya adalah sandiwara mereka untuk mengelabuhi dirinya. Yang membuat Alexander merasa semakin yakin adalah Lady Debora sedang bersama pria itu ketika ia berhasil membongkar sandiwara mereka. Alexander benar-benar marah pada dirinya sendiri dan Maria yang telah berhasil mengecohnya dan ia semakin marah pada dirinya sendiri karena keinginannya memeluk Maria ketika gadis itu menangis di hadapannya. Kemarahan yang telah menguasai dirinya membuat Alexander melupakan keinginannya dan meninggalkan Maria yang terus menangis. Alexander semakin yakin dugaannya benar ketika keesokan harinya seluruh penduduk Obbeyville gempar karena menghilangnya Maria bersama Mrs. Vye. Penduduk Obbeyville menduga Maria kembali ke Holly Mountain dan membawa serta Mrs. Vye yang selama ini telah menjaganya. Sedangkan Alexander menganggap Maria meninggalkan Obbeyville karena topengnya telah terbuka dan ia membawa Mrs. Vye beserta dengannya untuk menutupi kejadian yang sebenarnya dari penduduk Obbeyville. Walaupun Alexander telah berhasil membongkar semua sandiwara gadis itu, tetapi ia tetap tidak dapat melupakan gadis yang pertama kali 382
membuat dirinya membuka diri terhadap wanita. Alexander menjadi semakin membenci dirinya dan gadis itu ketika ia tidak dapat melupakan gadis itu walaupun ia telah berusaha melupakannya. Sekeras-kerasnya Alexander melupakan Maria, ia tetap sering merindukan Maria. Dan ia itu membuatnya kian marah. Pertemuannya dengan Maria yang tak terduga di halaman Istana membuat Alexander kembali merasa bingung. Dan ia semakin bingung ketika keesokan harinya ia bertemu dengan Maria di Ruang Pertemuan saat makan pagi. Ketika pintu Ruang Pertemuan terbuka, Alexander terkejut melihat prajurit yang membuka pintu itu menepi dan seorang gadis berjalan dengan memasuki ruangan. Di belakang gadis itu berjalan dua orang yang sangat mirip
sehingga
membuat
Alexander
menduga
kedua
wanita
tua
itu
bersaudara. Gadis itu memasuki Ruang Pertemuan dengan anggun. Senyum menghiasi wajahnya yang cantik walaupun agak pucat. Tetapi kepucatan wajah gadis itu tertutupi oleh gaunnya yang berwarna cerah. Alexander terus memandang wajah gadis itu. Bukan kecantikkan gadis itu yang membuat Alexander terus menatapnya melainkan keanggunan dan wibawa yang terpancar pada diri gadis itu. Tiba-tiba Jacques mendekati gadis itu dan mencium tangannya serta menyapanya. Seperti
halnya
kedua
orang
tuanya,
Alexander
merasa
terkejut
mendengar Jacques menyapa gadis itu. Saat itulah Alexander mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa Maria adalah orang yang sama dengan Princess Minerva. Selama makan pagi itu Alexander tidak pernah melepaskan pandangannya dari wajah Princess Minerva yang duduk di ujung meja makan yang besar. Alexander terus melihat senyum yang menghiasi wajah Princess Minerva. Senyum Princess
sama sekali tidak berubah dengan senyumnya
saat ia berada di Obbeyville. Tutur kata Maria masih tetap lembut namun ada wibawa dalam setiap kata-katanya. Yang berubah pada Maria hanyalah keanggunannya. Maria yang biasanya tampil sederhana namun anggun kini nampak penuh keanggunan dan wibawa dengan gaun yang indah dan seuntai kalung emas yang melingkari lehernya. Rambut Maria yang biasanya hanya disanggul biasa atau dibiarkan tergerai, saat itu ditata rapi dan dihiasi bunga383
bunga yang memberikan kesan kecantikan alami pada Princess Minerva. Setiap kalimatnya didengarkan semua orang dengan penuh perhatian. Alexander
mengagumi
kemampuan
Princess
Minerva
mengubah
suasana yang semula terasa kaku menjadi ceria hanya dengan satu kalimat pendeknya. Alexander tahu ia telah memberikan penilaian yang salah kepada gadis itu dan ia harus segera meminta maaf pada gadis yang telah menerima tuduhannya yang kejam. Alexander merasa menyesal telah memberikan tuduhan yang sangat kejam pada Maria. Saat itu pula Alexander menyadari ia tidak mencintai gadis yang salah. Ia mencintai seorang gadis yang suci, yang penuh pesona. Selama perjamuan pagi itu Alexander tahu Princess Minerva tidak pernah memandang dirinya walaupun Princess Minerva melihat ke arah Jacques yang duduk di sampingnya. Alexander sedih. Ia menduga Princess Minerva tidak menyukai dirinya yang telah memberikan tuduhan kejam pada dirinya. Alexander tahu Princess Minerva berhak merasa marah pada dirinya tetapi itu tidak mengurangi kesedihan hatinya. Princess Minerva sama sekali tidak pernah menatap wajahnya bahkan ketika ia mengundang keluarganya ke kamarnya yang luas dan dipenuhi bunga. Alexander teringat gerak Princess Minerva yang anggun saat ia berdiri dari kursinya. Perapian di depannya, membuat tubuh Princess Minerva tampak bersinar. Dengan burung mungil di tangannya, Princess Minerva benar-benar tampak seperti seorang bidadari yang penuh belas kasih. Tetapi kebingungan Alexander masih tidak berakhir. Alexander kembali merasa bingung ketika keesokan harinya ia melihat Princess Minerva yang kemarin tampak penuh wibawa kini tampak kekanakkanakan ketika menyambut kakaknya. Ketika Princess Minerva memasuki Ruang Duduk, tanpa sengaja mata mereka bertemu. Tetapi Princess Minerva segera mengalihkan pandangan matanya dan berkata, “Al.” Alexander terkejut mendengar panggilan itu dan merasa rindu pada panggilan yang sama. Ia rindu mendengar Princess Minerva memanggil ‘Al’ pada dirinya. Saat ini ketika ia memandang wajah gadis yang itu, ia merasa rindu melihat mata ungu gadis itu dan senyumnya yang menawan hati. 384
Alexander meraih tangan Princess Minerva yang terlipat di depan dadanya dan mempermainkan jemari Princess Minerva yang lentik dalam genggamannya. Sementara tangan kirinya mempermainkan jemari Princess Minerva, tangan Alexander yang lain menyentuh muka Princess Minerva. Ketika tangannya menyentuh bibir Princess Minerva, Alexander kembali teringat saat ia mencium bibir itu. Terdorong oleh kenangannya, Alexander membungkuk di depan wajah Princess Minerva dan menatap wajah Princess Minerva dalam-dalam. Dan kejadian selanjutnya benar-benar bagaikan dongeng putri tidur di mana ketika Pangeran mencium putri tidur, kutukan sang putri berakhir. Merasakan napas Princess Minerva mulai tidak teratur, Alexander segera menjauhkan wajahnya dan wajah Princess Minerva. Princess Minerva membuka matanya perlahan-lahan. Ketika matanya menangkap sosok pria yang diterangi sinar dari serambi di depannya, Princess Minerva berkata lirih, “Al.” Alexander terkejut mendengar panggilan itu, ia baru saja hendak menjawab panggilan itu ketika ia melihat wajah Princess Minerva tiba-tiba berubah. Sinar yang menerangi wajah itu membuat Princess Minerva sadar pria itu bukan kakaknya. Princess Minerva terkejut ketika menyadari pria itu adalah Alexander.
385
21
Princess Minerva kembali merasa takut melihat pria itu berdiri di dekatnya. Ia takut mendengarkan kata-kata pria itu, ia takut melihat sinar kemarahan bercampur kebencian di mata pria itu. Alexander
merasa
sedih
melihat
Princess
Minerva
memalingkan
wajahnya. Ia menduga Princess Minerva tidak ingin melihatnya. Tiba-tiba Princess Minerva sadar Alexander berada di Ruang Tidurnya karena ingin mendengar penjelasannya yang masih berani muncul di hadapannya Princess Minerva tidak ingin mendengar pria itu mengatakannya, maka ia berkata dulu. “Maafkan saya, Alexander,” kata Princess Minerva tanpa memalingkan wajahnya, “Saya tahu Anda tidak ingin melihat saya lagi tetapi mengertilah ini adalah tugas saya. Setelah pesta itu berakhir saya benar-benar akan menghilang dari pandangan Anda seperti yang Anda inginkan.” Alexander sedih mendengar kata-kata Princess Minerva. Ia sedih telah diingatkan kata-katanya sendiri yang berbunyi, “Aku tidak ingin melihatmu lagi.” “Engkau tidak mengerti,” kata Alexander perlahan. Hati Princess Minerva terasa pedih mendengar itu. Ia mengerti apa yang hendak
dikatakan
Alexander.
“Tidak,
Alexander.
Saya
mengerti.
Saya
mengerti Anda marah kepada saya yang telah membiarkan wanita yang Anda cintai mengkhianati cinta Anda,” kata Princess Minerva. Mendengar Princess Minerva mengucapkan kata-kata pedih itu dengan sopan dan tanpa menyebut nama panggilannya, Alexander semakin sedih. Ia ingin sekali mendengar Princess Minerva memanggil ‘Al’ kepada dirinya. “Tidak, Maria. Engkau tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti,” kata Alexander menegaskan. Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak, Alexander. Saya mengerti. Saya minta maaf karena itu. Saya mengerti saya telah bersalah besar pada Anda hingga kata maaf saja tidak cukup. Tetapi saya ingin Anda percaya saat itu saya benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi.” Alexander ingin sekali memalingkan tubuh Princess Minerva menghadap 386
dirinya dan menjelaskan segala perasaannya. Tetapi ia tahu bila ia melakukan tindakan kasar itu mungkin Princess Minerva semakin tidak menyukainya. “Tidak, Maria. Engkau tidak mengerti,” kata Alexander, “Aku tidak mencintai Lady Debora.” Princess Minerva terkejut mendengar kata-kata Alexander tetapi ia tetap tidak memalingkan kepalanya. Ia tetap memandang pintu yang menghubungkan Ruang Tidurnya dengan Ruang Duduk. “Aku mencintaimu, Maria. Aku tidak pernah mencintai Lady Debora hanya dirimu yang kucintai,” kata Alexander. Princess Minerva semakin terkejut mendengar kata-kata yang tidak pernah diduganya itu. Tanpa sadar ia memalingkan kepalanya ke Alexander yang membelakangi serambi. Alexander tersenyum melihat wajah terkejut Princess Minerva. “Aku mencintaimu, Maria,” ulangnya. Princess Minerva merasa bahagia mendengar kata-kata itu. Tetapi ia masih tidak mempercayai apa yang didengarnya. Princess Minerva masih sukar mempercayai kata-kata yang selalu ingin didengarnya tetapi tidak berani dibayangkannya. Melihat gadis yang dicintainya tampak sedih dan bingung, Alexander tidak dapat menahan dirinya lagi untuk tidak memeluk gadis yang terbaring di hadapannya. “Aku mencintaimu sejak pertama kali aku berjumpa denganmu, Maria. Sejak aku bertemu denganmu, aku sadar diriku telah terpesona pada daya tarikmu dan hanya kepadamu saja cintaku kuberikan,” kata Alexander sambil memeluk Princess Minerva erat-erat. “Mengapa engkau tidak pernah mengatakannya sewaktu kita di Obbeyville?” tanya Princess Minerva. Alexander tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Aku selalu ingin mengatakan perasaanku kepadamu, Maria. Setiap kali aku melihatmu, aku selalu ingin menyatakan cintaku tetapi aku selalu menahan diriku, Maria.” Princess
Minerva
terkejut
mendengar
kata-kata
Alexander
yang
terdengar pilu. “Saat itu aku tahu engkau merasa sedih karena tidak dapat mengingat masa lalumu dan aku tidak ingin engkau merasa terbebani oleh cintaku. Aku tahu engkau sedang berusaha mengingat masa lalumu dan aku takut engkau telah mencintai pria lain, Maria.” 387
“Mengapa engkau berpikir seperti itu?” tanya Princess Minerva sedih. Alexander
membelai
kepala
Princess
Minerva
seakan-akan
ingin
mengurangi kesedihan dalam setiap kata Princess. “Karena engkau sangat cantik, Maria. Engkau sangat cantik hingga aku takut engkau telah mempunyai tunangan bahkan mungkin suami. Engkau sering mengatakan kepadaku kalau aku mirip seorang pria dalam ingatanmu dan aku semakin yakin engkau telah mencintai pria lain.” Princess Minerva tersenyum. “Aku tidak mempunyai tunangan maupun suami.” “Aku juga baru tahu itu setelah aku berjumpa denganmu kembali,” kata Alexander, “Dan aku minta maaf, Maria. Aku minta maaf telah mengucapkan kata-kata yang kasar kepadamu bahkan ketika aku bertemu denganmu di halaman Istana.” Pandangan Princess Minerva kembali menjadi sayu mendengar hal itu. Princess Minerva menyembunyikan wajah sedihnya di dada Alexander yang bidang. Alexander tahu apa yang dikatakannya telah membuat Princess merasa sedih. Ia terus menghibur Princess dengan membelai kepalanya. “Aku tahu apa yang kukatakan memang menyedihkan, Maria, tetapi aku ingin menjelaskan semuanya kepadamu,” kata Alexander lembut. Princess Minerva menahan air matanya yang mulai membasahi matanya. Ia meletakkan tangannya di dada Alexander dan terus menahan air matanya. “Aku tidak pernah mencintai Lady Debora, Maria. Aku tahu engkau menduga aku mencintainya karena saat itu aku marah sekali. Saat itu aku marah bukan karena aku cemburu dam menyalahkanmu, Maria. Aku marah karena aku menduga engkau sama seperti Lady Debora.” Princess Minerva tidak dapat menahan air matanya mendengar Alexander menceritakan kenangan yang sedih itu dengan kata-katanya yang lembut. “Menangislah, Maria. Aku tahu engkau selama ini telah menahan kesedihanmu,” bisik Alexander di telinga Maria, “Menangislah.” Alexander terus membelai Princess Minerva sambil membisikkan katakata lembut untuk menenangkan Princess. Setelah merasa Princess Minerva mulai tenang, Alexander melanjutkan kata-katanya. “Melihat Lady Debora merayu Marcel di belakangku, aku menduga 388
engkau juga sama seperti dia karena saat itu Marcellah yang berada di sana. Aku menduga engkau dan Marcel telah saling mengenal jauh sebelum engkau mengenalku. Dan aku menduga selama itu engkau sedang bermain sandiwara termasuk
ketika
engkau
menghadapi
rayuan
Marcel
di
pesta
dansa
keluargaku.” Princess Minerva kembali terisak-isak di pelukan Alexander. Alexander
merasa
sedih
telah
membuat
gadis
yang
dicintainya
menangis. Ia mempererat pelukannya sambil terus berusaha menghibur gadis itu. “Aku tahu apa yang kukatakan ini memang menyedihkan hatimu, Maria. Tetapi aku harus menjelaskannya kepadamu,” kata Alexander lagi, “Bila engkau merasa sedih, menangislah, Maria.” “Bila engkau tidak mencintai Lady Debora mengapa engkau sering mengajaknya pergi setelah pesta itu?” tanya Princess Minerva di sela-sela isakannya. Alexander tersenyum mendengarnya. “Aku memang tidak mencintai Lady Debora, Maria. Bagaimana aku bisa mencintai wanita lain setelah aku menyadari diriku terjerat pada daya tarikmu?” “Engkau
sering
mengajaknya
pergi,”
kata
Princess
Minerva
mengingatkan. Princess Minerva menengadahkan kepalanya tetapi ketika ia melihat senyuman
di
wajah
Alexander,
ia
merasa
malu
dan
bermaksud
menyembunyikan kepalanya lagi ketika tangan Alexander yang semula melingkari tubuhnya memegang dagunya. Alexander tersenyum melihat wajah Princess Minerva basah oleh air mata. Walaupun wajahnya basah oleh air mata, tetapi kecantikkan Princess Minerva tidak pudar. Dengan tangannya yang lain, Alexander menyeka air mata yang masih membasahi mata Princess Minerva. “Aku selalu membuatmu sedih dan menangis,” gumam Alexander. Princess
Minerva
malu
melihat
senyum
di
mata
Alexander.
Ia
mengalihkan pandangan matanya ke bawah dan melihat hasil perbuatannya pada kemeja Alexander. “Kemejamu basah,” kata Princess Minerva sambil menyentuh kemeja yang basah itu. Mendengar suara yang bersalah itu, Alexander tersenyum. “Tidak apaapa. Memang seharusnya itu yang kuterima. Aku telah membuatmu menangis 389
maka aku harus menyediakan tempat untukmu menangis sepuas hatimu.” Princess Minerva malu mendengar godaan itu. Ia hendak menunduk tetapi tangan Alexander yang memegang dagunya menahannya. “Baru kali ini aku melihatmu merasa malu,” kata Alexander sambil tersenyum. Kata-kata Alexander membuat Princess Minerva semakin merasa malu. Alexander tersenyum melihat wajah Princess yang bersemu merah. “Sudah lama aku tidak melihat wajahmu memerah,” kata Alexander sambil menunduk mencium pipi Princess Minerva yang memerah. “Aku ingin terus menggodamu agar wajahmu semakin memerah seperti buah apel tetapi aku masih harus menjelaskan segala masalah yang timbul karena kesalahanku,” kata Alexander. Princess Minerva tidak berani melihat mata Alexander ketika pria itu menjelaskan segala sesuatunya. Princess kembali berusaha menyembunyikan wajahnya dari Alexander. Kali ini Alexander tidak mencegah Princess. Setelah Princess Minerva menyembunyikan wajahnya di dadanya, Alexander kembali memeluk Princess. Jantung Princess Minerva berdebar-debar setelah canda mereka yang singkat itu. Princess Minerva merasa wajahnya memanas. Alexander tersenyum dan kembali membelai Princess Minerva. “Sejak pesta itu aku memang sering mengajak Lady Debora pergi tetapi sesungguhnya aku bermaksud mengajakmu pergi. Selama aku mengenalmu hingga engkau tahu aku putra Duke of Blueberry, aku telah mengetahui kalau engkau senang hidup sederhana sedangkan aku ingin menghiasimu dengan segala yang indah dan mewah.” Alexander tersenyum lagi. “Lucu, bukan? Setelah mengetahui engkau seorang putri, rasanya aku tidak perlu mewujudkan keinginanku karena engkau telah hidup dalam kemewahan.” Princess Minerva hanya diam saja mendengar ucapan Alexander. “Setelah mengetahui aku putra Duke of Blueberry, aku khawatir engkau tidak mau lagi pergi denganku sedangkan aku ingin mengajakmu ke berbagai tempat.
Maka
aku
menggunakan
Lady
Debora
sebagai
alatku
untuk
mengajakmu pergi,” kata Alexander. “Lady Debora pasti sangat marah bila ia tahu engkau menggunakannya untuk mengajakku pergi,” kata Princess Minerva. Alexander tersenyum. Ia baru saja menyadari Princess Minerva sudah 390
tidak sesopan dulu lagi kepadanya. Sekarang yang diinginkan Alexander adalah mendengar Princess Minerva memanggilnya ‘Al’. “Biarkan saja. Ia juga ingin menggunakan aku sebagai alat agar dia bisa menjadi Duchess of Blueberry.” Princess Minerva terkejut. Ia menengadahkan kepala dan memandang Alexander. “Engkau sudah tahu?” Alexander tersenyum. “Tentu saja aku tahu, Maria.” “Lady Debora pasti akan semakin sedih.” “Ia tidak akan sedih melainkan jengkel, Maria,” kata Alexander mengkoreksi, “Ia akan semakin jengkel kalau tahu aku menggunakannya untuk membawamu ke Blueberry House.” Princess Minerva menatap wajah Alexander tanpa mengatakan apa-apa. Alexander tidak dapat membaca apa yang dirasakan Princess Minerva saat ini. Mata Princess Minerva kembali tampak tenang walaupun sisa air matanya masih ada. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Alexander merasa bahagia melihat senyum itu. Ia tahu senyum itu hanya ditujukan padanya. Sudah lama sekali ia ingin melihat gadis yang dicintainya tersenyum hanya pada dirinya. “Apakah engkau memaafkan aku, Maria?” Princess Minerva mengangguk. “Aku memaafkanmu. Sejak semula aku telah memaafkanmu.” Alexander tersenyum. “Sejak semula aku tahu engkau memang baik hati. Rasanya sulit kupercayai engkau mau memaafkan aku setelah aku dengan begitu kejam melukai perasaanmu.” “Aku memaafkanmu,” kata Princess Minerva meyakinkan Alexander. Princess Minerva tersenyum melihat keinginan Alexander yang tampak di wajahnya. Walaupun Alexander tidak mengucapkannya tetapi Princess Minerva dapat menduganya. “Aku mencintaimu, Al,” kata Princess Minerva sambil tersenyum manis. Alexander tersenyum bahagia mendengarnya. Ia memeluk Princess Minerva erat-erat. “Katakan lagi, Maria.” Princess
Minerva
tersenyum
dan
mengulangi
kata-katanya,
“Aku
mencintaimu, Al. Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu.” Alexander semakin mempererat pelukannya. “Al, kalau engkau terus mempererat pelukanmu, aku akan mati tercekik,” goda Princess Minerva. 391
“Tidak akan, Maria. Aku akan melindungimu agar engkau tetap merasa tentram,” kata Alexander, “Sekarang, Maria, apakah engkau mau menikah denganku?” Princess Minerva terkejut. “Mengapa, Al?” Alexander memandang wajah Princess Minerva lekat-lekat. “Apakah engkau tidak suka?” Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Bukan itu maksudku. Yang kumaksudkan mengapa engkau terburu-buru?” Alexander tersenyum. “Aku tidak ingin melepaskanmu lagi. Aku tidak akan membiarkan engkau tiba-tiba menghilang seperti engkau tiba-tiba menghilang dari Obbeyville.” “Tetapi, Al, engkau sudah tahu aku berada di mana setiap musim apa. Aku tidak akan menghilang lagi.” “Engkau tidak senang menikah denganku?” tanya Alexander cemberut. Princess Minerva tersenyum penuh pengertian. “Aku senang sekali, Al.” “Maka menikahlah denganku,” sela Alexander. “Tetapi engkau seperti orang yang terburu-buru, Al. Kita baru saja bertemu lagi dan engkau ingin segera menikah denganku.” Alexander tersenyum. “Ijinkanlah aku membahagiakanmu di sisa hidupmu, Maria. Aku tahu engkau tidak dapat hidup lebih lama lagi karena itu ijinkan aku membahagiakan hidupmu selagi engkau masih hidup.” Princess Minerva terkejut. “Siapa yang memberi tahumu?” Alexander sadar ia telah melakukan kesalahan tetapi ia sudah terlambat untuk mundur maka ia mengaku. “Kakakmu yang mengatakannya. Kata kakakmu, Dokter Donter yang memberi tahunya.” Princess Minerva tertawa geli mendengar kata-kata itu. Alexander kebingungan melihat Princess Minerva tertawa kecil. “Apa yang terjadi, Maria?” “Engkau tidak perlu khawatir, Al. Aku masih dapat hidup hingga tua.” Mendengar penjelasan Princess Minerva, Alexander semakin tidak mengerti. “Kakakmu yang mengatakannya, Maria. Kata kakakmu engkau belum tahu.” “Al, Dokter Donter tidak pernah berbohong kepadaku. Ia tahu bila ia berbohong maka ia tidak akan mendapatkan kue buatanku. Ia sangat menyukai kue buatanku sehingga ia tidak pernah berbohong kepadaku,” kata Princess Minerva menjelaskan. 392
“Aku tidak peduli apakah kakakmu benar atau tidak. Yang kupedulikan adalah engkau mau atau tidak menikah denganku?” Princess
Minerva
tersenyum
melihat
kesungguhan
dalam
mata
Alexander. Mata pria mengatakan ia tidak ingin keinginannya ditolak. “Karena aku mencintaimu dan engkau tidak ingin keinginanmu ditolak,” kata Princess Minerva lambat-lambat. Alexander semakin tidak sabar mendengar kata-kata yang diucapkan Princess
Minerva
lambat-lambat
seakan-akan
enggan
menyelesaikan
kalimatnya. Princess
Minerva
mengetahui
hal
itu.
Ia
tersenyum
manis
dan
melanjutkan kalimatnya dengan penuh kesungguhan, “Aku bersedia, Al.” Kalimat pendek itu membuat Alexander merasa sangat bahagia. Tidak disangkanya gadis yang dicintainya ternyata sangat mencintai dirinya hingga mau memaafkan segala kesalahannya serta bersedia menikah dengannya. Alexander tersenyum ketika teringat saat ia merasa khawatir Princess Minerva tidak mau memaafkan kata-kata kejamnya. Selama berada di Istana Plesaides, ia selalu melihat Princess Minerva selalu tersenyum ceria dan matanya masih tetap tenang seolah-olah tidak pernah terjadi apapun selama ia berada di Obbeyville. Alexander begitu khawatir Princess Minerva tidak mau mengingat segala kenangannya di Obbeyville setelah ia membuat Princess Minerva menangis. Alexander ragu Princess Minerva masih mau mengingat dirinya apalagi setelah melihat Princess Minerva tampak sangat ingin menjaga jarak dengannya. Setiap kali mereka bertemu Princess Minerva sama sekali tidak mau melihat wajahnya bahkan tidak pernah mengajaknya bicara. Princess Minerva menganggap dirinya tidak ada. Itulah yang semula dirasakan Alexander sebelum ia meyakinkan dirinya pada kata-kata Pangeran Alcon. Pangeran Alcon berusaha keras meyakinkan Alexander bahwa Princess Minerva tidak pernah memperlihatkan perasaannya kepada siapapun. Dalam keadaan sedih maupun senang, Princess Minerva selalu tersenyum. Dengan menyakinkan dirinya akan kata-kata Pangeran Alcon, Alexander menuju Ruang Tidur Princess Minerva dan kini ia sedang memeluk gadis yang dicintainya. Perasaan Alexander benar-benar terasa tenang dan bahagia. Alexander tidak lagi khawatir gadis yang dicintainya tidak mau memaafkannya. Ia 393
bahagia setelah mendengar kata-kata gadis itu. Alexander sadar Princess Minerva tidak pernah melihatnya bahkan menganggapnya tidak ada ketika mereka bertemu bukan karena Princess Minerva tidak mau memaafkannya tetapi karena Princess Minerva ingin melakukan permintaannya. Permintaan untuk tidak melihat wajah Princess lagi. Bukan hanya Alexander saja yang merasa bahagia. Princess Minerva juga merasa sangat bahagia apalagi setelah menyadari kesedihannya selama ini tidak akan pernah terwujud. Princess Minerva membaringkan kepalanya di dada Alexander dan tersenyum bahagia. Tiba-tiba Princess Minerva teringat sesuatu. Princess menengadahkan kepalanya. “Bagaimana kita mengatakannya kepada mereka, Al?” tanya Princess Minerva cemas. Alexander tersenyum. Ia tahu apa yang dimaksudkan Princess Minerva. “Jangan khawatir, Maria. Kita yang akan mengatakannya kepada mereka.” “Bagaimana kita mengatakannya kepada mereka tanpa mengatakan segala sesuatunya?” “Kakakmu benar, engkau seorang gadis yang tertutup. Engkau tidak mau seorang pun tahu apa yang engkau rasakan bahkan aku,” kata Alexander, “Engkau bahkan tidak pernah tertawa ketika bersamaku. Engkau hanya
menangis.
Aku
tidak
dapat
membuatmu
tertawa,
aku
hanya
membuatmu merasa sedih.” Princess Minerva tersenyum sedih mendengar suara sedih Alexander. “Engkau
salah,
Alexander.
Hanya
kepadamu
saja
aku
menunjukkan
perasaanku. Engkau selalu membuat aku tertawa tetapi aku menahannya.” Alexander tak percaya pada apa yang didengarnya. “Mengapa engkau menahannya, Maria?” “Mungkin karena aku telah terbiasa menahan segala perasaanku.” “Aku ingin engkau tidak pernah menahan perasaanmu bila bersamaku, Maria. Aku ingin melihat engkau tertawa, menangis, marah bukan hanya selalu tersenyum,” kata Alexander, “Aku selalu senang melihat senyummu tetapi aku lebih senang melihat semua perasaanmu.” Princess Minerva tersenyum. “Aku tidak pernah menutupi perasaanku kepadamu, Al. Aku tahu engkau berbeda dari semua orang.” “Berbeda?” tanya Alexander tak mengerti. 394
“Engkau tidak pernah mengharapkan aku selalu terlihat sempurna sedangkan orang lain ingin melihat aku yang selalu sempurna,” kata Princess Minerva menjelaskan, “Mereka menganggap kesalahanku adalah sesuatu yang tidak wajar sedangkan engkau tidak.” “Aku juga melihat engkau berbeda dari gadis-gadis lainnya,” kata Alexander mengakui, “Engkau selalu terlihat sempurna di mataku, Maria. Engkau benar-benar seorang gadis yang sempurna di mataku.” “Bila aku tidak sempurna seperti yang kaulihat, engkau tidak akan menyukaiku?” Alexander tersenyum mendengar kekhawatiran Princess Minerva. “Aku telah terjerat oleh daya tarikmu, Maria, dan aku tidak dapat melepaskan diri. Tetapi aku memang tidak ingin melepaskan diriku darimu atau lebih tepat aku tidak ingin engkau menghilang dari sisiku.” “Bagaimana kita memberi tahu mereka tanpa mengatakan semuanya, Al. Aku tidak ingin mereka juga merasa sedih mendengar cerita ini,” kata Princess Minerva. “Jangan khawatir, Maria. Kita akan mengatasinya,” kata Alexander sambil tersenyum. “Tetapi mereka pasti tidak percaya bila kita tidak menjelaskan semuanya mulai dari yang terjadi di Obbeyville hingga saat ini.” Princess Minerva menatap cemas wajah Alexander. Suara pintu yang tiba-tiba terbuka membuat kedua insan yang berpandang-pandangan itu memalingkan kepalanya. Pangeran Alcon tersenyum senang di ambang pintu. “Tidak perlu repotrepot memberi tahu kami. Kami semua sudah tahu semuanya.” Princess Minerva bingung mendengar kata-kata kakaknya. Pangeran Alcon tersenyum nakal kemudian ia memalingkan kepalanya dan bertanya, “Benar, bukan?” Sebagai jawaban dari pertanyaan Pangeran Alcon, muncullah beberapa orang dari belakang Pangeran sambil tersenyum senang. Alexander dan Princess Minerva terkejut melihat Raja dan Ratu serta Duke dan Duchess of Blueberry mendekati tempat mereka. Di belakang mereka masih ada Mrs. Wve serta Mrs. Vye. “Sejak kapan kalian berada di sana?” tanya Princess Minerva curiga. Pangeran Alcon duduk di samping Princess Minerva dan tersenyum nakal. “Sejak tadi.” 395
“Mengapa aku tidak mendengar kalian?” tanya Alexander kebingungan. Pangeran Alcon tersenyum. “Sejak tadi engkau hanya memperhatikan Minerva. Bagaimana mungkin engkau akan memperhatikan yang lainnya?” “Sejak kapan kalian mempunyai kebiasaan mencuri dengar pembicaran orang?” “Ayolah, Minerva. Jangan berkata seperti itu. Kami semua ingin tahu bagaimana hubungan kalian,” kata Pangeran Alcon sambil menatap nakal pada adiknya. “Mengapa engkau berbohong kalau aku tidak akan hidup lama?” tanya Princess Minerva. Pangeran Alcon tersenyum sambil menatap wajah Alexander. “Tadi aku melihat Alexander ragu-ragu menemuimu maka aku memberinya sediki dorongan dengan menipunya.” “Engkau memang jahat, Al,” kata Princess Minerva sambil tersenyum pada kakaknya. “Kakakmu benar, Maria. Tadi aku memang ragu-ragu menemuimu,” kata Alexander. “Mengapa engkau ragu-ragu menemui Minerva?” tanya Pangeran Alcon. Alexander tersenyum sambil menatap Princess Minerva yang kini diapit dua lelaki. Pria yang paling dicintainya duduk di tepi kiri pembaringannya sedangkan kakak yang disayanginya duduk di tepi kanan pembaringannya. “Aku telah mengatakan sesuatu yang membuat Maria menjauhiku,” kata Alexander tanpa melepaskan pandangannya dari Princess Minerva. “Minerva selalu tahu apa yang harus dilakukannya,” kata Raja yang berdiri di belakang Pangeran Alcon. Alexander mengangguk. “Tetapi saya khawatir Maria tidak mau menemui saya lagi.” “Minerva anak yang penurut kecuali kalau disuruh diam. Ia selalu mendengarkan kata-kata semua orang dan melakukannya dengan baik,” kata Pangeran Alcon. “Hanya bila disuruh berbaring saja, Minerva menjadi anak yang tidak penurut. Hanya pada awalnya saja ia menjadi penurut tetapi bila ia mulai merasa bosan, ia mulai melakukan segala kesibukannya,” tambah Raja. “Itulah kelebihan Princess Minerva dibandingkan semua orang,” kata Mrs. Wve, “Saya yakin ia satu-satunya putri yang tidak mau disuruh diam.” 396
Ratu tersenyum pada putrinya, “Selamat, Minerva. Semoga Alexander berhasil membuat engkau diam tanpa melakukan segala kesibukanmu yang rutin itu.” Princess Minerva menyandarkan kepalanya di dada Alexander dan tersenyum. Duchess tersenyum melihat Alexander yang memeluk Princess dengan mesra. “Tidak percuma aku membatalkan perjalananku,” gumam Duchess. Duke terkejut mendengarnya. “Engkau membatalkan perjalanan yang paling kauinginkan untuk ini?” Duchess tersenyum. “Aku melihat Alexander berubah setelah bertemu dengan Princess Minerva dan aku merasa ada sesuatu di antara mereka yang harus diselesaikan.” “Saya juga merasa seperti itu,” kata Mrs. Wve. “Saya merasa mereka hubungan baik-baik saja. Saya tidak melihat yang lain,” kata Mrs. Vye. Mrs.
Wve
menggelengkan
kepalanya.
“Aku
susah
mengatakan
kepadamu, Mrs. Vye. Engkau tidak dapat mengerti masalah perasaan.” Mrs. Vye mengangguk. “Aku memang paling tidak mengerti dengan masalah perasaan.” Pangeran Alcon tersenyum. “Ketika mendengar engkau pingsan di dapur, aku mengira aku telah membuat keputusan yang salah tetapi kini aku merasa keputusanku benar.” Teringat akan peristiwa yang baru saja menggemparkan Istana, Ratu bertanya, “Mengapa engkau ke dapur, Minerva? Bukankah engkau tahu dapur Istana terletak di bawah tanah yang dingin.” “Aku ingin membuatkan sesuatu untuk Al, Mama. Aku tahu ia merindukan kueku,” jawab Princess Minerva sambil tersenyum melihat wajah kakaknya. “Engkau memang nakal, Minerva,” kata Pangeran Alcon, “Tetapi aku merasa senang ternyata engkau memperhatikan aku.” “Aku selalu memperhatikan engkau, Al. Engkau kakakku,” kata Princess Minerva. Pangeran
Alcon
tersenyum,
“Aku
belum
mengucapkan
selamat
kepadamu, Minerva.” Princess
Minerva
membalas
senyuman
kakaknya,
“Engkau
baru 397
melakukannya.” “Kurasa akan merupakan kejutan yang sangat menarik bila kita juga mengumumkan hal ini kepada masyarakat,” kata Raja. “Benar, Papa. Mengapa hal ini tak terpikirkan olehku,” kata Pangeran Alcon, “Aku akan mengumumkannya di pesta nanti.” “Pesta itu pasti akan menjadi pesta yang tak terlupakan oleh penduduk Kerajaan Zirva,” kata Mrs. Wve. “Tentu saja, Mrs. Wve,” kata Pangeran Alcon dengan tersenyum senang. “Saya mengucapkan selamat kepada Anda, Princess,” kata Mrs. Wve. Setelah menerima ucapan selamat dari orang-orang yang dekat dengannya, Princess Minerva masih menerima banyak ucapan selamat dari orang lain. Sambil menanti pesta itu, Alexander lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menemani Princess Minerva. Raja tersenyum kesal melihat saingannya bertambah satu. Pangeran Alcon juga tersenyum kesal melihat ia mempunyai saingan baru yang lebih dekat dengan adik kesayangannya dibandingkan dirinya. Tetapi baik Raja maupun Pangeran merasa senang melihat Alexander semakin dekat dengan Princess Minerva. Ratu yang mengetahui hanya tersenyum seperti biasanya. Ratu sendiri juga bahagia dengan semua ini. Hubungan Ratu dan Duchess semakin dekat setiap harinya demikian pula hubungan Duke dengan Raja dan Pangeran. Princess Minerva tersenyum melihat semuanya. Walaupun tidak pernah keluar dari kamarnya tetapi Princess Minerva tidak pernah merasa kesepian. Raja dan Ratu juga kedua orang tua Alexander setiap hari menghabiskan waktunya di kamar Princess Minerva. Harapan Ratu terkabul. Alexander benar-benar membuat Princess Minerva tidak merasa bosan berada di atas tempat tidurnya tanpa melakukan segala kesibukannya. Bukan hanya Ratu saja yang senang melihat Princess Minerva mau diam demi kesehatannya. Semua orang senang melihat Princess Minerva mau berada di kamarnya hingga pesta yang direncanakan Pangeran Alcon berlangsung. Persiapan
yang
dilakukan
oleh
semua
orang
di
Istana
untuk
menghadapi pesta musim dingin yang dibuat Pangeran Alcon, membuat Princess Minerva tertarik untuk meninggalkan kamarnya dan membantu 398
semua orang. Tetapi Alexander tidak mengijinkan Princess Minerva meninggalkan kamarnya. Bukan hanya Alexander saja yang melarang Princess. Semua orang melarang Princess. “Kami ingin membuat kejutan untuk Anda, Princess,” kata mereka. Walaupun setiap orang mengatakan hal yang sama pada Princess Minerva tetapi gadis itu tetap bersikeras membantu mereka. “Engkau harus diam di sini, Maria,” bujuk Alexander, “Biarkan mereka menyiapkan segala sesuatunya untuk membuatmu terkejut.” “Aku ingin membantu mereka, Al,” kata Princess Minerva. Alexander tersenyum. “Engkau sudah membantu dengan tetap diam di sini. Aku akan tinggal di sini dan menghiburmu agar engkau tidak bosan.” “Aku mulai bosan terus menerus berada di atas tempat tidur. Rasanya seluruh badanku terasa kaku seperti boneka.” “Jadilah boneka yang manis dan cantik,” kata Alexander. Akhirnya Princess Minerva tidak lagi memaksa membantu setiap orang. Ia hanya diam di kamarnya bersama Alexander sambil menantikan hari esok. Ketika hari telah berganti, Pangeran Alcon terlihat sangat bersemangat. Sepanjang hari Pangeran Alcon menyibukkan diri dengan memeriksa kembali semua persiapan yang kemarin mereka kerjakan. Princess Minerva tidak mengetahui kakaknya tampak antusias sekali menanti sore hari. Princess Minerva juga tidak tahu pesta seperti apa yang disiapkan kakaknya untuknya. Semua orang tampak sibuk menyelesaikan persiapan terakhir pesta dan meninggalkan Princess Minerva sendirian di kamarnya. Alexander yang selalu menemani Princess Minerva juga tidak tampak di kamar Princess. Karena tidak boleh meninggalkan kamarnya, Princess Minerva hanya duduk di depan pianonya sepanjang hari. Untuk menghabiskan waktu yang harus dilaluinya sendirian, Princess Minerva memainkan pianonya dan menghiasi seluruh koridor lantai empat dengan alunan pianonya yang merdu. Princess Minerva mengerti Alexander serta semua orang sangat sibuk sehingga tidak seorang pun yang menemaninya. Setelah
menyediakan
sarapannya,
Mrs.
Wve
dan
Mrs.
Vye
meninggalkan kamar Princess Minerva dan baru muncul ketika mereka akan mempersiapkan Princess Minerva untuk menghadapi pesta itu. Princess Minerva masih duduk di depan pianonya ketika kedua wanita 399
itu datang. Kedua wanita tua itu menggiring Princess Minerva ke Ruang Tidurnya dan mulai mendandani Princess Minerva secantik mungkin. “Anda cantik sekali, Princess. Saya yakin semua orang akan terpesona pada Anda,” kata Mrs. Wve sambil memperhatikan Princess Minerva. Princess Minerva tersenyum sambil memandangi wajahnya di cermin. Mrs. Wve dan Mrs. Vye mendandani Princess Minerva persis seperti saat Princess Minerva menemui Duke of Blueberry di Ruang Pertemuan. Hanya saja kali ini bunga-bunga yang menghiasi rambut Princess Minerva semuanya berwarna putih, bukan bunga yang berwarna-warni. Demikian pula gaun Princess Minerva yang berwarna putih polos. Kainnya yang lembut bersinar setiap kali Princess Minerva bergerak. “Pangeran Alcon meminta Anda menanti di sini hingga ia memanggil Anda, Princess,” kata Mrs. Wve. Princess tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Kedua wanita itu membungkuk dan segera meninggalkan Princess. Princess Minerva tersenyum pada bayangannya kemudian menuju sangkar burung layang-layang di dekat piano putihnya. Burung layang-layang itu tampak lebih sehat daripada waktu Princess Minerva menemukannya. Burung itu telah bergerak di sangkarnya yang besar dan mulai terbang ke sana kemari. “Sebentar lagi musim semi dan engkau akan segera berkumpul kembali dengan teman-temanmu,” kata Princess kepada burung itu. Burung itu terbang dengan gembira di dalam sangkarnya seolah-olah mengerti apa yang dikatakan Princess Minerva. Princess Minerva tersenyum ketika ia teringat kekhawatiran yang dulu dirasakannya ketika ia membayangkan pesta ini. Saat itu Princess Minerva sangat khawatir memikirkan bagaimana harus menghadapi Alexander. Kini Princess Minerva tidak lagi merasa khawatir. Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan Princess Minerva setelah Alexander melamarnya. “Tinggalkan burung kesayanganmu itu, Minerva.” Princess Minerva terkejut mendengar teguran yang tiba-tiba itu. Ia tersenyum dan memalingkan kepalanya kepada Pangeran Alcon. Pangeran Alcon mendekati Princess Minerva. “Aku yakin engkau tidak ingin mengurung burung ini dalam sangkarnya.” 400
“Engkau benar, Al. Aku ingin melepas burung ini di dalam kamar ini tetapi aku tahu kedua pengasuhku akan marah,” kata Princess Minerva sambil tersenyum. “Sebentar lagi engkau akan dapat melepaskannya.” “Ya, sebentar lagi musim semi dan teman-teman burung ini akan tiba,” kata Princess Minerva sambil menatap wajah kakaknya. Pangeran Alcon tersenyum. “Hari ini engkau cantik sekali, Minerva. Dan sekarang aku ingin menunjukkan kecantikanmu itu pada setiap orang,” kata Pangeran Alcon sambil mengulurkan tangannya. Princess Minerva tersenyum sambil menerima uluran tangan Pangeran Alcon. Tangan Pangeran Alcon terus menggenggam erat tangan Princess hingga mereka tiba di Hall yang telah berisi beberapa orang. Semua orang melihat pada Princess Minerva ketika melihat Princess Minerva menuruni tangga bersama Pangeran Alcon. Princess Minerva tersenyum pada orang-orang itu kemudian bersama kakaknya, ia menghampiri kedua orang tuanya. Ketika ia telah berada di sisi kedua orang tuanya, Princess Minerva mencium pipi orang tuanya. “Engkau cantik sekali, Minerva,” kata Raja sambil memegang pundak Princess Minerva. “Terima kasih, Papa.” “Sambutlah setiap tamu yang ada, Minerva,” kata Ratu. Princess Minerva mengangguk dan segera menerima uluran tangan Pangeran Alcon. “Bila melihat cara mereka menatap kita, kurasa mereka mengira kita adalah sepasang kekasih,” kata Pangeran Alcon. Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata itu. Bersama kakaknya, Princess Minerva menyambut setiap tamu yang datang. Setiap tamu itu mula-mula mengira Princess Minerva adalah kekasih Pangeran Alcon ketika melihat sikap Pangeran Alcon yang penuh perhatian kepada Princess Minerva tetapi setelah diperkenalkan pada Princess Minerva, mereka tahu dugaan mereka salah. Princess Minerva hanya tersenyum ketika ia mengetahui dugaan tamutamunya ketika melihat sikapnya yang akrab dengan kakaknya tetapi 401
Pangeran Alcon berpendapat lain. “Aku khawatir bila mereka terus mengira aku adalah kekasihmu, Alexander akan cemburu padaku,” kata Pangeran Alcon sambil mendekati tamu yang lain. Princess Minerva tersenyum melihat tamu yang terkejut melihatnya. “Selamat sore, Mr. Townie,” sapa Princess Minerva. “Engkau telah mengenalnya?” tanya Pangeran Alcon terkejut. Princess Minerva mengangguk. “Aku bertemu dengannya ketika aku berada di Obbeyville.” Mendengar Princess Minerva mengucapkan nama ‘Obbeyville’, Trown Townie semakin merasa terkejut. “Maria?” kata Trown Townie tak percaya pada apa yang dilihatnya. “Lama kita tidak berjumpa,” kata Princess Minerva. “Aku tidak percaya,” gumam Trown Townie, “Apakah Anda benar Maria?” Princess Minerva tersenyum. “Seperti yang Anda lihat, Mr. Townie. Saya adalah Maria.” “Anda juga Princess Minerva,” tambah Trown Townie. Pangeran Alcon tersenyum. “Ia adalah Maria dan juga Princess Minerva,” ulang Pangeran Alcon. “Saya
tidak
percaya
masih
dapat
melihat
Anda
setelah
Anda
menghilang dari Obbeyville,” kata Trown Townie, “Ketika Anda tiba-tiba menghilang, semua penduduk Obbeyville mengatakan Anda kembali ke Holly Mountain dan membawa serta Mrs. Vye.” Pangeran Alcon tertawa mendengarnya. “Engkau hebat, Minerva. Engkau membuat banyak sensasi di Obbeyville.” Princess Minerva tersenyum melihat gelak tawa kakaknya. “Saya yakin Duke of Blueberry juga terkejut bila ia mengetahui Anda adalah Maria,” kata Trown Townie. “Duke of Blueberry telah mengetahuinya dan ia juga terkejut seperti Anda ketika mengetahui Maria adalah gadis yang sama dengan Minerva,” kata Pangeran Alcon. Trown Townie terkejut. “Apakah Duke telah tiba?” “Ia
telah
berada
di
Istana
Plesaides
jauh
sebelum
pesta
ini
dilaksanakan,” jawab Pangeran Alcon. “Saya tidak mengetahuinya. Saya hanya mendengar Duke sedang pergi.” 402
“Duke ke Istana Plesaides dulu sebelum ia pergi. Semula Duke hendak meminta ijin saya untuk tidak menghadiri pesta ini tetapi kemudian ia merubah pikirannya,” kata Pangeran Alcon. “Saat ini Duke sedang berbicara bersama orang tua saya. Bila Anda mau, saya akan memanggilkan Duke,” kata Princess Minerva. Trown Townie menggelengkan kepalanya. “Terima kasih, Princess Minerva. Tetapi saya akan menemui mereka sendiri. Saya melihat Anda dan Pangeran masih hendak menyambut tamu-tamu yang lain.” “Saya akan menemani Anda, Trown Townie,” kata Pangeran Alcon. Trown Townie menatap Princess Minerva. Pangeran Alcon mengerti apa yang hendak dikatakan Trown Townie. “Saya akan meminta Alexander menggantikan saya. Sejak tadi semua orang menduga saya dan Minerva adalah kekasih. Saya rasa sebaiknya pandangan itu dirubah.” Pangeran
Alcon
menatap
dalam-dalam
wajah
Princess
Minerva.
“Tunggulah di sini, Minerva.” Princess Minerva mengangguk. Princess Minerva melihat Trown Townie mendekati kedua orang tuanya bersama kakaknya. “Baroness Sidewinder dari Obbeyville tiba.” Princess
Minerva
terkejut
mendengar
suara
prajurit
yang
mengumumkan kedatangan Baroness Lora. Princess Minerva memalingkan kepalanya dan melihat Baroness Lora serta Lady Debora berjalan dengan anggun memasuki Hall. Seperti biasanya Baroness Lora maupun Lady Debora selalu tampil dengan penuh kemewahan. Gaun yang dikenakan Lady Debora dan Baroness Lora juga tampak menyolok dibandingkan gaun wanita-wanita lainnya. Wajah senang dan penuh percaya diri di kedua wanita itu berubah ketika melihat Princess Minerva mendekati mereka dengan senyum yang manis. Kedua wanita itu terpaku melihat Princess Minerva mendekat. “Selamat datang, Baroness Lora dan Lady Debora,” sapa Princess Minerva, “Saya telah menantikan Anda.” “Terima kasih,” kata Baroness Lora gugup. Baroness Lora dan Lady Debora tidak tahu mengapa gadis yang dulu mereka kenal sebagai Maria bisa berada di Istana Plesaides tetapi mereka masih belum tahu kalau gadis yang berdiri di hadapan mereka itu adalah Princess Minerva. 403
Princess Minerva tersenyum. “Silakan masuk. Kami semua telah menanti Anda.” Baroness Lora mengangguk dan segera memasuki Hall. Rasa terkejut dan heran di wajah kedua wanita itu masih belum hilang ketika mereka mendekati kerumunan orang di Hall yang membicarakan Princess Minerva. Ketika mereka mendengar pembicaraan itu, barulah mereka mengerti mengapa Maria bisa berada di Istana Plesaides dan mereka semakin merasa gugup ketika menyadari gadis yang menyambut mereka adalah Princess Minerva. Princess Minerva tersenyum melihat Baroness Lora serta Lady Debora mendekati tamu-tamu yang lain. Kemudian Princess Minerva berdiri di jendela dan memandang ke halaman Istana. “Maria.” Panggilan itu membuat Princess Minerva memalingkan kepalanya. Princess Minerva tersenyum pada Alexander. “Mengapa engkau berada di sini? Engkau bisa sakit lagi,” kata Alexander. “Aku sedang menanti seseorang, Al,” kata Princess Minerva sambil kembali menatap halaman Istana. Ketika menyadari ia telah mengatakan sesuatu yang salah, Princess Minerva segera memalingkan kepalanya lagi. “Aku memang sedang menanti orang yang dekat denganku tetapi tidak seperti kauduga, Al.” Alexander tersenyum. “Aku mengerti, Maria. Tetapi kalau engkau terus berdiri di sini, engkau dapat jatuh sakit.” “Tidak apa-apa, Al. Aku tidak akan lama. Kurasa sebentar lagi mereka datang,” kata Princess. Alexander memegang pundak Princess Minerva dari belakangnya. “Engkau memang seperti yang orang-orang itu katakan, Maria. Engkau selalu tampak bercahaya,” kata Alexander. “Rupanya sejak tadi tamu-tamu itu membicarakan diriku,” kata Princess Minerva tanpa mengalihkan perhatiannya dari halaman Istana. “Ya,
sejak
tadi
mereka
membicarakanmu.
Aku
melihat
engkau
menyambut Baroness Lora dan Lady Debora,” kata Alexander, “Kulihat mereka terkejut melihatmu.” Princess Minerva mengangguk. “Mereka memang terkejut melihatku 404
dan mereka semakin terkejut ketika mereka mengetahui siapa diriku dari tamu-tamu itu.” “Mereka pasti merasa bingung menghadapimu, Maria.” Princess Minerva mengangguk tanpa mengatakan apa-apa. Saat itu mata Princess Minerva menangkap sesuatu yang berjalan mendekati gerbang Istana. Ketika kereta itu semakin mendekat, Princess Minerva tersenyum. “Mereka telah tiba,” kata Princess Minerva kepada Alexander. Walaupun tidak mengerti apa yang akan dilakukan Princess Minerva, Alexander tetap mengikuti Princess Minerva. Princess Minerva mendekati Mrs. Vye yang sedang berbicara dengan Mrs. Wve di dekat tangga. “Mrs. Vye, ikutlah denganku,” kata Princess Minerva sambil menarik tangan Mrs. Vye. Mrs.
Vye
kebingungan
melihat
perbuatan
Princess
Minerva.
Ia
membiarkan Princess Minerva menarik tangannya ke pintu depan Istana Plesaides. Mrs. Wve yang mengikuti Mrs. Vye juga tidak mengerti dengan perbuatan Princess Minerva. Ketika mereka tiba di depan pintu masuk Istana Plesaides, Princess Minerva tersenyum pada Mrs. Vye. “Lihatlah apa yang ada di luar, Mrs. Vye,” kata Princess Minerva. Walaupun tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Princess Minerva, Mrs. Vye membuka pintu itu dan segera melihat apa yang ada di luar. Setelah melihat Mrs. Wve mengikuti Mrs. Vye ke halaman Istana Plesaides, Princess Minerva segera memberi perintah kepada prajurit yang menjaga pintu itu untuk menutup pintu dengan tangannya. “Apa yang sedang kaulakukan, Maria?” tanya Alexander ketika melihat Princess Minerva berjalan ke jendela. “Aku membuat kejutan untuk Mrs. Vye, Al,” kata Princess Minerva sambil tersenyum, “Aku tahu Mrs. Vye merindukan Mrs. Fat, Mrs. Dahrien juga Mr. Liesting, maka aku mengundang mereka ke mari.” “Engkau mengirim kereta kuda untuk menjemput mereka dan mereka berangkat setelah Baroness Lora berangkat ke Istana Plesaides.” Princess Minerva tersenyum mendengar kata-kata Al. “Engkau benar, Al. Saat kakakku tiba, aku meminta ia melakukan ini dan ia melakukannya 405
sesuai permintaanku. Mrs. Vye pasti merasa senang.” “Mrs. Fat, Mrs. Dahrien juga Mr. Liesting pasti merasa terkejut tiba-tiba sebuah kereta kuda mewah menjemput mereka dan mengantar mereka ke Istana Plesaides,” tambah Alexander. Princess Minerva tersenyum mendengar itu. “Kurasa sebaiknya kita membaurkan diri dengan tamu-tamu lainnya, Al, dan membiarkan Mrs. Vye berbicara dengan teman-temannya.” Alexander merangkulkan tangannya di pinggang Princess Minerva dan membawa Princess Minerva ke sisi orang tuanya. “Kurasa semua orang telah tiba,” kata Pangeran Alcon. Princess Minerva melihat jumlah tamu yang memenuhi Hall Istana dan ia tersenyum melihat banyaknya orang di Hall. Ia telah menduga kakaknya akan mengundang banyak orang dalam pesta ini. “Aku akan memperkenalkanmu pada setiap orang,” kata Pangeran Alcon. Princess Minerva menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu, Al. Aku yakin semua orang telah mengenalku.” “Tetapi, Minerva, belum tentu mereka semua tahu siapa dirimu.” “Al, aku tidak ingin menganggu percakapan mereka. Tidakkah engkau melihat mereka sedang sibuk bercakap.” “Minerva,
kakakmu
benar.
Tidak
semua
orang
di
sini
yang
Semua
orang
mengenalmu,” kata Raja. “Sebaiknya
kita
menghormati
keinginan
Minerva.
membicarakan Minerva dan itu berarti semua telah mengenal Minerva,” kata Ratu. “Tidakkah engkau mendengar mereka membicarakan kecantikkan Minerva?” Pangeran Alcon mengangguk. “Aku mendengarnya, Mama. Tetapi aku ingin mengenalkan Minerva secara resmi pada mereka.” “Al, aku tidak ingin mereka mengenalku secara resmi. Kukira perkenalan tidak selalu harus berlangsung dengan resmi.” Pangeran Alcon tersenyum mendengar kata-kata adiknya. “Engkau memang pandai merusak rencana orang.” Princess Minerva tersenyum. “Baiklah, aku tidak akan memaksa lagi. Aku tahu engkau ingin berduaan dengan tunanganmu, Alexander.” “Berbicara mengenai itu, aku memiliki usul,” kata Raja. 406
“Usul apa?” tanya Ratu ingin tahu. Raja membisikkan sesuatu kepada Ratu. Ratu tersenyum mendengarnya. “Kurasa itu ide yang paling bagus yang pernah kudengar. Aku akan membicarakannya dengan Duke dan Duchess.” Ratu mendekati Duke dan Duchess yang sedang berbicara bersama beberapa orang di dekat mereka. “Apa yang Papa usulkan?” tanya Pangeran Alcon. Sekali lagi Raja mengatakan usulnya dengan berbisik. Pangeran Alcon tersenyum mendengarnya. “Ide bagus, Papa. Mengapa aku tidak pernah memikirkannya.” Princess Minerva dan Alexander saling berpandangan tak mengerti. “Sekarang kalian pergilah ke mana kalian suka dan berduaanlah,” kata Pangeran Alcon, “Kami tidak akan menganggu kalian.” Alexander menggandeng tangan Princess Minerva ke dekat jendela. Setelah membantu Princess Minerva duduk, Alexander duduk di samping Princess Minerva. “Aku tidak mengerti apa yang mereka rencanakan,” kata Alexander. “Aku juga tidak mengerti.” Princess Minerva menatap pintu masuk yang masih tertutup. Dan ia tersenyum
ketika
melihat
Mrs.
Fat,
Mrs.
Dahrien
dan
Mr.
Liesting
mendekatinya bersama Mrs. Vye dan Mrs. Wve. Princess Minerva bangkit dan menyapa mereka, “Selamat malam.” “Selamat malam, Princess Minerva,” kata mereka. Ketika mereka melihat Alexander berdiri di samping Princess Minerva, mereka berkata, “Selamat malam, Tuan Muda.” Alexander tersenyum dan membalas sapaan itu. “Selamat malam.” “Saya senang sekali kalian mau datang,” kata Princess Minerva sambil tersenyum. “Tentu saja kami bersedia datang, Princess. Apalagi Anda telah repotrepot mengirim kereta khusus untuk menjemput kami,” kata Mr. Liesting. “Kami sangat terkejut ketika tak lama setelah kepergian Baroness Lora, sebuah kereta yang megah datang. Semula kami mengira kereta itu berhenti di tempat yang salah tetapi rupanya kereta itu datang untuk menjemput kami,” tambah Mrs. Fat. “Mula-mula kami terkejut ketika kusir kereta itu mengatakan ia datang untuk menjemput kami tetapi ketika ia menunjukkan surat pendek dari Anda, 407
kami mengira kami telah bermimpi,” kata Mrs. Dahrien meneruskan. Princess
Minerva
tersenyum
melihat
ketiga
orang
yang
dekat
dengannya ketika ia tinggal di Obbeyville bergantian bercerita dengan penuh semangat. Ketiga orang itu tidak berubah. Mrs. Fat yang gemuk masih suka bercanda. Mr. Liesting masih memiliki janggut putih lebatnya dan Mrs. Dahrien masih terlihat segar walaupun ia sudah tua. “Tentu kalian mengira saya hendak membawa serta kalian ke Holly Mountain,” kata Princess Minerva sambil tersenyum, “Seperti kalian menduga saya membawa Mrs. Vye ke Holly Mountain.” Mrs. Dahrien menatap wajah Princess Minerva yang selalu dihiasi senyum. Wajah Princess Minerva terlihat tampak sangat cerah dan tiada kesan kemisteriusan di wajahnya yang cantik. Yang ada hanya kesan keanggunan yang menawan hati. Mrs. Dahrien tersenyum. “Mula-mula kami memang berpikir seperti itu. Surat Anda sangat pendek. Anda tidak menjelaskan apa pun dalam surat Anda. Anda hanya menulis: Saya ingin mengundang Anda ke tempat saya. Kereta ini saya datangkan khusus untuk menjemput Anda semua. Maria. Lagipula Anda dan Mrs. Vye tiba-tiba menghilang dari Obbeyville.” Princess Minerva tersenyum mendengar Mrs. Dahrien mengulang isi suratnya. “Saya ingin membuat kalian juga Mrs. Vye terkejut.” “Karena itu Anda tidak pernah mengatakan apa-apa kepada saya?” kata Mrs. Vye. Princess
Minerva
mengangguk.
“Saya
tahu
engkau
merindukan
Obbeyville khususnya Mrs. Fat, Mrs. Dahrien dan Mr. Liesting. Karena itu saya ingin membuat suatu kejutan bagi kalian semua.” “Anda berhasil melakukannya, Princess. Kami benar-benar terkejut ketika kereta yang menjemput kami membawa kami ke tempat yang megah seperti ini,” kata Mrs. Fat. “Saya sama sekali tidak pernah menduga Anda dan Maria adalah orang yang sama,” kata Mrs. Dahrien. “Anda terlihat berbeda daripada waktu Anda masih menjadi Maria.” Mendengar kata-kata yang penuh rasa tidak percaya itu, Princess Minerva tersenyum. “Saya dan Maria adalah gadis yang sama. Yang berbeda 408
dari kami hanyalah Maria seorang gadis yang kehilangan ingatannya dan saya yang sekarang adalah seorang gadis yang hidup dalam kemewahan.” “Anda tampak semakin cantik dengan gaun yang indah, Princess. Memang Anda lebih pantas mengenakan gaun yang indah daripada gaun pelayan,” kata Mrs. Dahrien. Princess Minerva tersenyum. “Saya mengundang kalian kemari bukan untuk membuat Anda mengagumi saya.” “Tetapi Anda memang pantas untuk selalu dikagumi, Princess,” kata Mrs. Wve. “Ia memang satu-satunya gadis yang paling dikagumi di pesta ini,” kata Alexander, “Lihatlah semua orang sejak tadi memandanginya sehingga aku khawatir dibuatnya.” Princess Minerva tersenyum pada Alexander. Mrs. Wve tersenyum melihatnya. “Saya rasa Anda benar, Princess. Anda mengundang mereka ke pesta ini untuk bersenang-senang. Kami akan bersenang-senang.” Rupanya bukan hanya Mrs. Wve saja yang tahu apa yang harus dilakukannya
saat
ini.
Tanpa
mengatakan
apa-apa,
mereka
semua
membungkuk dan meninggalkan Princess Minerva berdua dengan Alexander. “Nikmatilah pesta ini,” kata Princess Minerva sambil memandangi sekelompok orang yang disayanginya itu menjauh. Alexander tersenyum pada Princess Minerva. “Engkau memang baik, Maria. Engkau memikirkan mereka juga.” Princess Minerva membalas pujian itu dengan senyuman. “Saat ini aku sedang memikirkan Lady Debora.” “Mengapa?” tanya Alexander tak mengerti. “Lady Debora sangat ingin merebut hati Al tetapi Al tidak menyukainya. Andai ia tahu entah apa yang akan dikatakannya.” “Bagus!” seru seseorang dari samping Princess Minerva. Princess Minerva terkejut mendengarnya. Ia memalingkan kepalanya dan melihat kakaknya sedang tersenyum puas. Tiba-tiba Princess Minerva menyadari makna senyum puas di wajah kakaknya. “Tidak, Al. Engkau tidak boleh melakukannya.” “Tidak apa-apa, Minerva. Ia telah menyakitimu dan aku tidak akan diam melihatnya.” “Tidak, Al. Aku tidak mengijinkan engkau mempermainkan Lady Debora. 409
Ia
memang
ingin
sekali
menjadi
Ratu
tetapi
engkau
tidak
boleh
mempermainkannya,” bujuk Princess Minerva. “Ia telah mempermainkan engkau, mengapa aku tidak boleh?” tanya Pangeran Alcon merajuk. Princess Minerva tersenyum, “Karena berkat ia pula aku dapat berada di sini saat ini selain itu engkau telah berjanji padaku.” Pangeran Alcon mengeluh karena diingatkan janjinya. “Dan engkau tidak senang pada orang yang melanggar janjinya.” “Dari mana engkau mengetahuinya, Maria?” “Lady Debora sendiri yang mengatakan hal itu kepada Baroness Lora dan aku berada di sana saat itu. Ketika itu Lady Debora baru saja membaca berita hilangnya diriku dan ia sangat mengharapkan dapat menjadi temanku kemudian menjadi Ratu,” kata Princess Minerva menjelaskan. Princess Minerva melayangkan pandangannya kepada Lady Debora yang berada di kerumunan antara tamu-tamu. Princess Minerva tidak tahu apa yang dirasakan wanita itu setelah mengetahui ia tidak akan dapat menjadi Ratu terutama karena Princess Minerva telah mengetahui segala rencananya. Pangeran Alcon mengikuti pandangan Princess Minerva. “Kurasa tidak ada buruknya bila aku mempermainkan ia sedikit saja. Ia telah berencana memanfaatkanmu untuk dapat menjadi Ratu dan aku tidak dapat memaafkan siapa pun yang memanfaatkan adikku.” “Sebenarnya apa tujuanmu kemari, Al?” tanya Princess Minerva mengalihkan perhatian kakaknya dari Lady Debora. “Aku hanya ingin melihat kalian,” jawab Pangeran. “Kami baik-baik saja di sini,” kata Alexander. Pangeran Alcon mengangguk. “Aku juga melihatnya. Aku hanya merasa cemburu melihat kalian semakin akrab. Sebentar lagi aku akan benar-benar kehilangan Minerva.” “Mengapa engkau berbicara seakan-akan aku akan meninggalkan engkau untuk selama-lamanya?” tanya Princess Minerva sedih. “Karena memang engkau tidak lama lagi berada di Istana Plesaides. Tidak sampai satu bulan lagi engkau akan meninggalkan tempat ini dan ikut suamimu,” kata Pangeran Alcon sambil menatap Alexander. Princess Minerva tidak mengerti apa yang dikatakan kakaknya. “Apa yang kaumaksudkan, Al? Apa yang kalian rencanakan sebulan lagi?” 410
Pangeran Alcon terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak menduga dirinya telah membicarakan sesuatu yang seharusnya menjadi kejutan untuk adiknya, Princess Minerva. “Karena aku telah mengatakannya kurasa sebaiknya aku mengatakan semuanya kepadamu,” kata Pangeran Alcon, “Kami telah memutuskan untuk menyelenggarakan pernikahanmu di hari ulang tahunmu, Minerva.” Princess Minerva terkejut tetapi Alexander lebih terkejut lagi. “Engkau merencanakannya tanpa sepengetahuan kami?” “Sebenarnya aku hanya ingin memberi tahu Alexander dan membuat hal ini menjadi kejutan di hari ulang tahunmu tetapi karena aku tidak sengaja mengatakannya maka kalian berdua kuberi tahu.” “Sayang sekali hal ini tidak jadi menjadi kejutan untuk hadiah ulang tahun Maria,” kata Alexander. Mendengar Alexander secara tidak langsung juga menyetujui ide kakaknya serta kedua orang tuanya, Princess Minerva tersenyum. Sekarang ia mengerti mengapa tadi ibunya tampak gembira mendengar sesuatu dari ayahnya. Raja membisikkan ide itu kepada Ratu dan Pangeran Alcon. Kemudian Ratu membicarakannya dengan Duke dan Duchess dan mereka semua menyetujui ide Raja. “Engkau benar, Minerva. Semua orang telah mengenalmu sebagai Princess Minerva tanpa kuumumkan,” kata Pangeran Alcon, “Tetapi aku masih mendengar Alexander memanggilmu Maria.” Mendengar rasa ingin tahu dalam suara Pangeran Alcon, Alexander berkata, “Aku lebih suka Minerva sebagai Maria yang tidak pernah menahan dirinya daripada Minerva sebagai seorang putri yang selalu menahan dirinya dan menjaga perasaannya.” “Engkau telah mendengarnya, Al. Al lebih suka aku menjadi Maria daripada menjadi Princess Minerva.” Pangeran Alcon tersenyum. “Aku heran engkau memanggil kami dengan panggilan yang sama, Al. Tetapi mengapa aku selalu tahu siapa yang kaupanggil.” “Aku tidak tahu, Al,” kata Princess Minerva sambil tersenyum. “Tetapi aku tahu. Engkau memanggil Alexander lebih mesra daripada saat engkau memanggilku,” kata Pangeran Alcon cemberut. Princess Minerva tersenyum. “Engkau tersenyum melihat aku cemburu.” 411
Melihat kakaknya semakin cemberut, Princess Minerva tertawa. Pangeran Alcon terkejut melihat adiknya tiba-tiba tertawa di depan banyak orang yang juga terkejut melihat Princess Minerva tiba-tiba tertawa. Namun ia ikut tertawa juga melihat tawa ceria adiknya. Ia belum pernah melihat adiknya demikian terbuka. Princess Minerva tidak lagi berusaha menutupi semua perasaannya. Pangeran Alcon senang melihat adiknya telah menemukan pria yang mampu membuatnya tertawa. Alexander tersenyum melihat tawa Princess Minerva. Ia tahu Princess Minerva tidak akan lagi berusaha menahan semua perasaannya. Princess Minerva akan selalu menjadi Maria yang tidak pernah menahan perasaannya. Princess Minerva tersenyum pada Alexander. Princess Minerva tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Alexander tetapi ia tahu ia tidak akan pernah menahan perasannya di hadapan pria itu. Ia membiarkan pria yang dicintainya itu melihat apa yang dirasakannya. Alexander juga tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Princess Minerva. Tetapi ia dapat melihat cinta di mata gadis itu. Gadis itu mencintainya dan akan selalu membuka dirinya kepada dirinya, hanya itu yang diketahui Alexander. Mereka sama-sama tahu sejak saat itu mereka mempunyai seseorang yang dapat diajak berbagi perasaan. Mereka akan selalu tertawa bersama dan menangis bersama sepanjang masa.
412