Fokus Kompas Pelabuhan Dan Pelayaran

  • Uploaded by: Kamaluddin Suyuti
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fokus Kompas Pelabuhan Dan Pelayaran as PDF for free.

More details

  • Words: 9,161
  • Pages: 24
FOKUS Kompas - Sabtu, 16 April 2005

Sudah Rupa Buruk, Kelakuan Pun Busuk ITULAH personifikasi kondisi pelabuhan-pelabuhan di republik ini. Sudah letak geografisnya merupakan titik lemah yang tidak dapat diperbaiki (given factor) dalam kegiatan transportasi dan pengiriman barang baik ekspor maupun impor, tempat transfer barang via kapal laut itu merupakan sumber utama inefficient cost bagi seluruh industri di negeri ini. Semua ini disebabkan banyaknya pungutan liar dan pungutan ilegal yang dilegalkan. Ketika Kompas mengikuti perjalanan sopir trailer yang membawa peti kemas dari kompleks Pelabuhan Tanjung Priok hingga Kawasan Pergudangan Pantai Indah Dadap di Dadap, Tangerang, diperoleh angka, pungli itu lebih besar daripada biaya resminya. Pungutan resmi di luar tarif tol hanya Rp 11.000, tetapi pungutan liarnya mencapai Rp 73.000. Perhitungan di atas hanya berlaku untuk kontainer sampai di depan gudang. Jika dihitung hingga kontainer dikembalikan lagi ke deponya, setidaknya harus disediakan lagi Rp 34.000 untuk pungli. Kutipan haram itu harus diberikan oleh para sopir kepada oknum-oknum baik di pelabuhan maupun "biaya keamanan" di luar pelabuhan. "Kalau tidak dibayar, kami tidak aman. Perjalanan kami bisa dihambat, atau trailer kami dilempari batu," kata sejumlah sopir. Pungli ini tidak termasuk pada pos terminal handling charge (THC), biaya dokumen pengiriman barang (B/L fee dan D/O fee) dan bongkar muat. Dalam sistem perangkutan barang, letak geografis merupakan salah satu faktor penentu utama daya saing produk (freight cost and delivery time). Namun, kelemahan ini sebenarnya bisa diatasi jika infrastruktur di pelabuhan berjalan dengan benar. Dalam hal ini pelabuhan difungsikan sebagai infrastruktur yang memberikan benefit bagi para penggunanya (efisien dan murah). Namun, itu yang tidak ada di pelabuhan-pelabuhan negeri ini. Secara kasatmata, pungutan liar setiap hari bisa dilihat di Pelabuhan Tanjung Priok. Malah ketika rombongan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu melakukan inspeksi mendadak ke Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (11/4), mereka menyaksikan langsung adegan awak sebuah truk memberikan uang kepada petugas di pintu pelabuhan. Hasil survei Asosiasi Pertekstilan Indonesia memaparkan, pungli, baik untuk kegiatan ekspor maupun impor, mencapai Rp 6,8 triliun per tahun. Jumlah ini terdiri atas pungli kegiatan ekspor Rp 2,9 triliun dan impor Rp 3,9 triliun. Dalam kegiatan ekspor ada 13 jenis pungutan yang terdiri atas tiga pungutan resmi dan sisanya pungli. Untuk impor ada 17 jenis pungutan dan delapan pungutan resmi, sisanya merupakan pungutan yang tidak jelas alias pungli. Pungli ekspor tercatat Rp 1.324.200 per twenty-foot equivalent units (TEUs) dan impor Rp 1.187.200 per TEUs, sedangkan kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok mencapai 5,5 juta TEUs per tahun, dengan 60 persen merupakan kegiatan impor dan sisanya ekspor. "Kami sudah minta pemerintah segera membenahi kekisruhan di pelabuhan ini sebab tidak memberi iklim kondusif bagi industri dalam negeri. Mestinya ini ditangani langsung Presiden," ujar Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia DPP DKI Jakarta Irwandy MA Rajabasa.

Pengamat maritim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Saut Gurning, yang meneliti pemetaan besaran biaya tambahan di Pelabuhan Tanjung Perak pada April-September 2004 mengatakan, setidaknya ada empat titik utama pungutan liar yang terjadi di pelabuhan. Keempat titik tersebut adalah di area handling, di kantor pelayanan Bea dan Cukai, pintu masuk truk, dan praktik THC oleh shipping line. PERMAINAN di pelabuhan banyak bentuknya dan terutama sekali melibatkan Bea Cukai. Pasalnya, institusi yang paling berwenang mengawasi ekspor-impor adalah Direktorat Bea Cukai. "Jenis permainan beragam, mulai dari nego penetapan tarif impor atas jenis barang tertentu hingga membayar pajak sayuran untuk impor telepon seluler," ungkap sejumlah pengurus Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL). Modus pertama, misalnya, oknum petugas Bea Cukai dengan oknum pengurus EMKL merundingkan nilai bea yang harus dibayar atas impor barang tertentu. Selisih bea resmi yang diturunkan sekitar 12 persen dibagi dua oleh petugas dan pengurus EMKL sehingga negara dirugikan miliaran rupiah dalam aksi yang sudah lazim terjadi setiap hari itu. Pada kesempatan lain, importir sama sekali tidak membuat pemberitahuan impor barang (PIB) untuk menunggu waktu yang tepat membawa ke luar barang ilegal dari pelabuhan seperti di Tanjung Priok. Praktik ini bisa dilakukan dengan kolusi pengusaha-pejabat Bea Cukai tanpa membayar cukai sama sekali dan barang biasanya diangkut malam hingga dini hari. Metode over bringen (OB) adalah salah satu akal bulus lain, importir mengeluarkan barang yang masih disegel Bea Cukai, semisal dari Jakarta dengan tujuan Gede Bage (Bandung). Di tengah jalan segel dibuka, barang diturunkan, dan truk kosong kembali ke Jakarta. Si importir bermain dengan oknum Kanwil Bea Cukai setempat dalam mengelabui Bea Cukai Tanjung Priok. Tidak hanya di pelabuhan laut, di bandara pun patgulipat kerap terjadi. Yang paling memprihatinkan adalah fasilitas kargo udara di Bandara Soekarno-Hatta untuk barang yang mudah rusak, seperti sayur-sayuran dan produk pertanian, digunakan menyelundupkan telepon seluler. Untuk pengiriman sayur memang diberi kemudahan dan besaran cukai sekitar Rp 12.000 saja per kilogram barang. Importir memasukkan telepon seluler dengan pajak sangat murah, yakni Rp 12.000 per kilogram. Sebenarnya, pelbagai modus penyelundupan tidak sulit dilakukan di republik ini karena secara institusional, instansi- instansi yang terkait dengan aktivitas itu terkenal korup. Ada seribu jalan menuju Roma, demikianlah ada seribu satu cara untuk menyelundupkan barang ke negeri ini. "Memberantas penyelundupan adalah kemustahilan. Kemungkinan yang bisa dilakukan adalah meminimalisir penyelundupan dengan konsistensi tindakan tegas pemerintah," ungkap pengurus EMKL. "Sulitnya mengawasi pelabuhan karena banyak instansi memiliki kewenangan di sini, sedangkan masyarakat memandang hanya Bea Cukai dan pengelola pelabuhan saja yang berkuasa. Apalagi pemain kakap penyelundupan dilakukan oleh orang-orang lama yang jauh lebih berkuasa puluhan tahun turun-temurun lebih lama dari

pengalaman petugas di lapangan. Tak jarang sewaktu petugas di lapangan bertindak tegas ternyata ada intervensi dari pihak tertentu sehingga para bawahan harus mengalah," kata Sutejo, seorang petugas pencegahan di Kanwil IV Bea Cukai. Walaupun demikian, pembenahan terus dilakukan. Setidaknya, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan inspeksi mendadak November 2004, jajaran Bea Cukai memperketat pengawasan. Selama ini dikenal dua fungsi Bea Cukai, yakni pelayanan pajak dan pengawasan lalu lintas barang ekspor-impor. Namun, di masa lalu yang dominan adalah pemungutan pajak dan fungsi pengawasan serta penangkalan penyelundupan cenderung terabaikan. Menyusul tindakan keras pemerintah, ada kebijakan yang mewajibkan importir mengajukan PIB paling lama 30 hari setelah kedatangan kontainer di darat. Keadaan ini hingga triwulan pertama 2005 telah mengakibatkan pemain kakap penyelundupan sedikit terganjal karena mereka tidak mengajukan PIB. Barang-barang tersebut selepas waktu 30 hari akan menjadi milik negara dan dilelang untuk kas negara. Saat ini ditengarai ada ribuan kontainer barang tak bertuan yang menanti giliran untuk dilelang. Salah satu keberhasilan adalah penangkapan kontainer berisi telepon seluler selundupan. Pemilik barang tersebut adalah pemain lama yang dulu menggunakan modus kargo udara dan mendaftarkan telepon seluler sebagai sayur-mayur sehingga mendapat kemudahan dan diproses cepat secara kepabeanan. KASUS lain adalah tertangkapnya ratusan kontainer daging ilegal impor dari negara yang tidak bebas penyakit mulut dan kuku. Namun sayang, barang sitaan tersebut ternyata sebagian dapat dikeluarkan oleh pemilik bekerja sama dengan orang dalam di instansi terkait. Aksi penyelundupan ini sangat sulit diberantas karena ada iklim tahu sama tahu antara petugas dan importir nakal. Kerap kali barang berhasil ditangkap, tetapi pelaku bahkan kantor pun tidak diketahui di mana rimbanya. Terkadang alamat kantor importir ternyata menggunakan alamat kuburan, warung, atau tempat-tempat yang tidak lazim. Di satu sisi tekad pemerintah patut mendapat acungan jempol, tetapi di sisi lain keadaan ini membuat biaya meloloskan barang semakin tinggi. Padahal, jika pemerintah konsisten, tindakan tegas akan berdampak positif bagi dunia usaha. Selama ini sejumlah pebisnis nakal mampu menjual barang dengan harga miring karena mereka bertindak sebagai penyelundup atau separuh menyelundup. Tentu keunggulan "komparatif" ini memukul pengusaha baik-baik dan menghancurkan industri dalam negeri. Dan pegawai instansi terkait mengakui, kondisi saat ini diibaratkan "kering". Sebelumnya hampir setiap hari mereka dapat berfoya-foya mentraktir pihak EMKL atau pihak-pihak yang beraktivitas di Pelabuhan Tanjung Priok. Dalam kaitan ini pemerintah membentuk tim kecil yang diberi tugas memangkas praktik ekonomi biaya tinggi pada kegiatan bongkar muat dan pengurusan dokumen ekspor impor di pelabuhan. Tim ini terdiri dari unsur Ditjen Bea dan Cukai, Ditjen

Pajak, Kejaksaan Agung, Kementerian Negara BUMN, dan Kementerian Perekonomian. Tim ini juga bertugas merekomendasikan saran-saran yang harus dilakukan oleh pemerintah sehubungan dengan masalah penarifan di pelabuhan. Sebagai standar untuk menentukan sistem tarif yang wajar, pemerintah dan dunia usaha sepakat menetapkan Thailand sebagai dasar pijakan atau benchmark. Paling lambat 27 April 2005, tim ini harus melaporkan hasil kajiannya. (nwo/ong/dmu)

Tanjung Perak Masih Didominasi Kargo yang Tak Bernilai Tinggi BERIKUT wawancara Kompas dengan pengamat maritim Raja Oloan Saut Gurning dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya tentang Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional dan peranan Pelabuhan Tanjung Perak. Dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2005 ini, apa yang harus dilakukan pemerintah pada bidang kepelabuhanan. Pemerintah perlu melaksanakan langkah berikut. Pertama, menetapkan pintu-pintu masuk bagi pelayaran asing, yang kita kenal sebagai hub-port, sedangkan pelabuhan yang tidak ditetapkan sebagai hub-port harus diposisikan sebagai feeder. Ada beberapa pelabuhan yang disebutkan dalam pemberitaan: Sabang, Belawan, Batam, Tanjung Priok, dan Bitung. Kedua, kerja sama pemerintah daerah dengan pemerintah pusat dilakukan melalui kerja sama pemerintah setempat dengan cabang-cabang PT Pelabuhan Indonesia. Kalau di Surabaya, perlu ada kerja sama antara Pemerintah Kota Surabaya dan PT Pelabuhan Indonesia III Cabang Tanjung Perak. Ketiga, meminimalkan adanya biaya tinggi di pelabuhan akibat pungutan liar dengan menerapkan sistem yang dikendalikan secara independen. Keempat, membuat mekanisme penarikan pajak yang tidak memberatkan pengusaha atau pemilik barang yang ingin menggunakan fasilitas Tanjung Perak. Kelima, mendorong usaha dalam negeri dan pengusaha nasional terlibat dalam pengoperasian jasa pelabuhan, termasuk di Tanjung Perak, dengan menambah kapal, menampung komoditas-komoditas di Tanjung Perak, dan mengucurkan investasi untuk penambahan fasilitas. Bagaimana seharusnya posisi Tanjung Perak? Tanjung Perak harus jadi salah satu hub-port karena kedekatannya dengan Australia, pangsa pasar yang cukup potensial. Saat ini Australia telah membuka pintu baru di Darwin untuk arus barang ke Asia. Untuk mencapai Asia tidak harus lewat Brisbane atau Sydney lagi. Kondisi saat ini barang sampai ke Sydney dari Asia melalui Jakarta dan itu membutuhkan waktu 14-15 hari. Saat ini Australia telah menciptakan pergerakan baru dengan adanya Darwin. Pergerakan barang ke Sydney melalui Darwin menggunakan kereta api. Waktu perjalanan jadi lebih hemat sekitar 7-8 hari dan biaya juga lebih murah. Menurut versi mereka, ada efisiensi sekitar 30 persen.

Yang lebih dekat ke Darwin dibandingkan dengan Jakarta, Singapura, atau Malaysia tentulah Surabaya, Kupang, atau Ambon. Yang sudah exist dan cukup siap menjadi hub-port, menurut saya, adalah Surabaya. Bagaimana kondisi Tanjung Perak saat ini menurut Anda? Harus ada perubahan agar Tanjung Perak jadi basis pintu masuk dan keluar bagi produk-produk untuk Indonesia timur dan negara lain. Namun, jaringan pelayaran melalui Tanjung Perak sudah banyak ke Indonesia timur: Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Makassar, Ambon, dan Papua. Jadi, Tanjung Perak punya potensi domestik sekaligus potensi internasional. Saat ini Tanjung Perak masih didominasi kargo yang bernilai tidak tinggi, tetapi bervolume besar, seperti tambang, pertanian, perikanan, dan kehutanan. Itu pun belum diangkut dengan tipe curah atau kargo general. Padahal, barang-barang untuk luar negeri dan dari luar negeri biasanya dengan kontainer. Tanjung Perak belum siap secara penuh melaksanakannya karena waktu menunggu saja bisa 12 jam. Lapangan penumpukan kurang, jumlah peralatan terbatas, terminal handling charges mahal, pungli, dan struktur kepelabuhanan tidak jelas. Lalu apa yang harus dilakukan? Harus ada struktur kepelabuhanan yang baru. Saat ini banyaknya otoritas yang mengatur urusan pelabuhan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Kita menunggu rapat koordinasi 13 menteri terkait dengan inpres itu tentang arus barang, perencanaan kegiatan, dan juga pelabuhan. Sambil menunggu itu seharusnya sudah terpikirkan siapa yang menjadi pengatur di pelabuhan. Model banyak instansi atau pusat pelayanan satu atap tidak berjalan dengan efisien karena masih ada tarikan kuat dari Bea dan Cukai. Komando tunggal bisa dibentuk oleh pusat atau daerah, misalnya melalui gubernur. Gunanya untuk melancarkan arus barang melalui prosedur barang yang mudah. Tanjung Perak harus mengambil posisi berbeda dengan pelabuhan yang ditetapkan sebagai hub-port lainnya. Tanjung Perak harus menginisiasi mana kawasan yang akan menjadi pulau-pulau atau tujuan atau asal barang yang akan masuk. Menurut saya, yang seharusnya menjadi konsentrasi adalah Australia. Volumenya belum kelihatan, tetapi nilainya sudah mencapai 114 juta dollar AS. Sayang, kita belum banyak memaksimalkan kargo ke sana. Orientasi kepada komoditas yang spesifik dari trafik kargo yang menjadi kekuatan Indonesia timur diarahkan saja ke Australia. Pertanyaannya, apakah pelaku usaha sudah melihat potensi Australia. Apakah perusahaan tenaga kerja bongkar muat bisa menjamin kecepatan dan kualitas kerja? Yang tak kalah penting, apakah bank sudah membuka cabang di sana karena butuh untuk pembukaan L/C, letter of credit. Bagaimana proyeksi Anda dengan Australia ini? Komoditas untuk Australia adalah tekstil, elektronik, perabot, bahan tambang seperti batu bara. Keempat komoditas itu harus dikonsentrasikan di Tanjung Perak. Itu kalau mau menjadikannya sebagai hub-port yang tak hanya nama, tapi fungsi. Hub-port itu

seperti jalan tol. Begitu datang, kapal dicatat, handling, kemudian pergi lagi. Kalau Tanjung Perak bisa menciptakan sistem itu sekaligus konsentrasi kepada sejumlah komoditas tadi, maka akan tercipta nilai tambah. Kapal dengan sendirinya akan datang. Namun, jangan sampai barang-barang ke Australia dilayani oleh kapal-kapal Australia. Harus kapal kita sendiri. Oleh karena itu, perlu ditingkatkan industri galangan kapal yang ada. Secara tidak langsung, industri akan berkaitan dengan pengoperasian kapal karena pasti akan banyak kapal yang sandar dan docking di Tanjung Perak. Pengadaan air konsumsi, bahan bakar, dan pendukung nanti akan menjadi melekat.(HLN)

Pendanaan Bangun Kapal Berisiko Tinggi MESKIPUN oleh pembeli luar negeri dan domestik PT PAL Indonesia dinilai sukses membangun dan mengembangkan industri perkapalan, sebetulnya perusahaan kapal terbesar Indonesia ini tak banyak menerima pesanan dari dalam negeri. PT PAL harus terus berjuang supaya perusahaan pelayaran dalam negeri mau dan terangsang membangun alat pelayarannya di perusahaan ini. DIREKTUR Utama PT PAL Indonesia Adwin H Suryohadiprojo hari Senin (11/4) mengungkapkan, dalam sepuluh tahun terakhir ini hampir tak ada perusahaan pelayaran nasional yang mau membangun kapal di PT PAL. "Kalaupun ada, pemesannya terbatas pada BUMN untuk kepentingan operasional mereka," katanya. Jadi, yang mendominasi pekerjaan pembuatan kapal di galangan milik PT PAL dalam tiga tahun ke depan adalah perusahaan asing. Turki memesan tiga kapal curah jenis Double Skin Bulk Carrier atau Star 50 ukuran 50.000 DWT dan Jerman dua kapal curah Star 50 ukuran 50.000 DWT. Adapun Italia memesan dua tanker ukuran 24.000 DWT dan dua kapal ukuran 18.500 DWT. Pemesan lain adalah Indonesia dan Timor Leste berupa kapal feri penumpang. Kurangnya minat perusahaan pelayaran domestik memesan kapal di PT PAL, menurut Adwin, disebabkan oleh jaminan kepastian hukum yang belum ada dari pemerintah, terkait dengan pendanaan pembuatan kapal baru. Perusahaan pelayaran sampai saat ini sulit mendapat akses ke bank atau lembaga keuangan lain untuk mendapat kredit. Kalaupun mereka punya uang, investasi lebih diarahkan pada pembelian kapal bekas. "(Soalnya, harga) kapal bekas lebih murah 20–30 persen dari biaya pembuatan kapal baru," katanya. "Begitu sampai di Indonesia, kapal itu segera direparasi sesuai dengan kebutuhan untuk segera dioperasikan." Adwin menekankan, pendanaan untuk membangun sebuah kapal baru sangat berisiko. Risikonya, ketika sebuah pelayaran nasional mengambil kredit dari bank kemudian dipakai membangun kapal baru dan perusahaan itu tak dapat membayar angsurannya tepat waktu, bank sulit melakukan penyitaan. "Mana mau bank menyita kapal? Mereka juga tidak tahu harus diapakan kapal itu," katanya. Belum diterapkannya jaminan hukum hipotek kapal, yang memberi jaminan bagi bank meminjamkan uang kepada pembeli atau perusahaan yang akan memesan kapal, merupakan salah satu faktor keengganan bank memberi pinjaman untuk membangun kapal.

Hukum hipotek kapal berlaku untuk menyita kapal ketika debitor atau pemesan kapal tak bisa membayar kredit kapal. Pada titik inilah pemerintah diharapkan berperan mendorong lembaga asuransi nasional untuk mau berafiliasi dengan lembaga asuransi internasional, seperti PNI Insurance yang berkedudukan di London dan sudah terdaftar secara internasional di bidang asuransi pelayaran dan perkapalan. Tujuannya, memudahkan lembaga asuransi ataupun lembaga keuangan menjalankan peranannya. Direktur Keuangan PT PAL Indonesia Ruchiat mengatakan, yang terjadi selama ini barulah pendanaan oleh sektor bank kepada galangan kapal atau perusahaan perkapalan yang kondisi keuangannya betul-betul aman dan berkualitas. PT PAL Indonesia beruntung bisa meyakinkan beberapa bank untuk mendanai modalnya. Ia menyebutkan BNI yang sejak tahun 2002 sampai sekarang telah mengucurkan skim kredit pembiayaan pembangunan kapal sebesar 140 juta dollar Amerika Serikat. Ada pula Bank Mandiri dan bank asing. "Namun, itu adalah pendanaan working capital saja, belum menyentuh perusahaan pelayaran," katanya. Selanjutnya PT PAL ingin agar bank menyadari skim kredit pendanaan pembuatan kapal baru haruslah merupakan pengembalian lambat, bukan pengembalian cepat. "Untuk sampai balik modal dari pembiayaan itu saja dibutuhkan tahunan, bahkan bisa mencapai 20 tahun," kata Ruchiat. "Sementara kapal tidak bisa cepat menghasilkan alias dana belum tentu cepat kembali, berbeda dengan industri makanan atau pertanian." Direktur Pembangunan Kapal PT PAL Indonesia M Moenir mengemukakan, sambil meyakinkan bank, pemerintah harus mulai membuat cetak biru pembangunan kelautan. Pemerintah harus mulai mengelompokkan perusahaan perkapalan. Pemerintah harus mengetahui galangan mana saja yang akan dikembangkan sebagai pendukung industri perikanan, industri angkutan niaga, dan industri pelayaran. Sebab, kebutuhan kapal di Indonesia per tahun mencapai 3.000 buah untuk berbagai ukuran. "Di sini (bank) bisa fleksibel memilih di sektor mana ia akan masuk," katanya. Selain variasi kebutuhan, faktor lain yang mendorong dilakukannya pengelompokan tersebut adalah fakta bahwa 60-65 persen komponen kapal baru masih harus diimpor, sementara daya dukung industri pendukung sama sekali tidak ada. Sebanyak 40 industri pendukung perkapalan di Jawa Timur yang pernah ada-antara lain PT Barata, PT Pindad, dan PT Boma Bisma Indra-sekarang sudah tidak bisa lagi mendukung. Ruchiat menambahkan, kondisi timpang semacam itu setidaknya akan menggugah pemerintah dan pelaku perkapalan serta pelayaran mulai memberi perhatian terhadap perkembangan dan pemberdayaan industri pelayaran dalam negeri. Jangan sampai keberadaan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005-yang ditandatangani presiden pada 28 Maret 2005-yang diusahakan dan diperjuangkan para pelaku industri pelayaran tersebut menjadi mandul dan tidak bisa memberikan rangsangan kepada sektor bank dan pelayaran maju dan berkembang. (HLN)

Sangat Tidak Memenuhi Kebutuhan Dunia Usaha BERDASARKAN data Review of Maritime Transport 2004 yang dikeluarkan United National Conference on Trade and Development atau UNCTAD, Indonesia bersama

sejumlah negara Asia lain masuk dalam daftar 35 negara/teritori terpenting dalam jaringan peta bisnis maritim global, kendati Indonesia berada di urutan agak bawah. Secara bersama-sama, ke-35 negara atau teritori itu menguasai 97,5 persen armada kapal dagang dunia pada tahun 2003. Sebagai kawasan, Asia juga merupakan pemain terbesar dalam bisnis transportasi laut dunia, dibandingkan dengan kawasan lain. Kontribusi Asia terhadap total dunia dalam kepemilikan peti kemas mencapai 35,8 persen, dalam operasional pelayanan peti kemas 45,7 persen, dalam hal jumlah awak kapal 60,4 persen, dalam kapasitas tampung (throughput) pelabuhan peti kemas 64,7 persen, dalam pembuatan kapal peti kemas 83,2 persen, dan dalam bisnis penghancuran kapal 99 persen. Dari 30 pelabuhan peti kemas terbesar dunia, 20 di antaranya juga berlokasi di Asia, termasuk Pelabuhan Tanjung Priok yang merupakan pelabuhan ke-24 terbesar di dunia dan ke-16 terbesar di Asia. Pelabuhan Hongkong dan Singapura masih merupakan yang terbesar dan tersibuk di dunia, dengan volume lalu lintas kargo mencapai 20.450 TEUs (twenty-foot equivalent units) dan 18.100 TEUs. Berdasarkan data Lloyd’s Register-Fairplay, di kalangan negara-negara berkembang Asia, Indonesia merupakan negara dengan kepemilikan kapal terbanyak, yakni 1.450 unit pada tahun 2003. Jumlah ini mengalahkan Singapura, Korea Selatan, atau Hongkong yang masing-masing hanya memiliki 916 unit, 810 unit, dan 699 unit kapal. NAMUN, menelan mentah-mentah data-data tersebut bisa tertipu. Kendati masuk dalam daftar 30 pelabuhan terbesar dunia dan 20 terbesar di Asia, kapasitas tampung peti kemas pelabuhan di Indonesia (dalam hal ini Tanjung Priok) sangat kecil, yakni hanya 2.758 TEUs pada tahun 2003 atau 1,71 persen dari kapasitas tampung global. Kepemilikan peti kemas dan pangsa dalam operasional pelayanan lalu lintas peti kemas juga kecil, hanya 0,39 persen dari total global. Posisi ini pun semakin sulit dipertahankan oleh Indonesia, tercermin dari terus turunnya peringkat akses pelabuhan Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh buruknya kualitas infrastruktur dan pelayanan yang ada, di tengah upaya negara-negara lain yang secara agresif terus meng-upgrade infrastruktur dan pelayanan pelabuhannya. Dari indeks akses infrastruktur pelabuhan yang disusun Institute for Managerial Development (IMD) dalam World Competitiveness Report beberapa waktu lalu, terlihat kondisi pelabuhan Indonesia sangat tidak memenuhi kebutuhan dunia usaha. Hal ini tercermin dari skala indeks sebesar 4,80 (dari rentang skala terbaik 10 dan terburuk nol). Demikian pula, meskipun memiliki 1.450 unit kapal, tidak semua kapal ini berbendera Indonesia. Sebagian kapal berbendera Indonesia ini juga tidak aktif, entah karena rusak, usia tua, tidak memenuhi standar kelaikan operasi, atau karena alasan lain. Sebanyak 85 persen berusia di atas 20 tahun, dan hanya 4 persen yang berusia di bawah 10 tahun. Akibatnya, sekitar 97 persen kebutuhan angkutan ekspor-impor Indonesia sendiri masih harus dilayani oleh kapal asing. Bahkan untuk angkutan

kargo dalam negeri, hampir 50 persen juga masih bergantung pada armada kapal asing. Untuk bidang bisnis maritim lainnya, seperti operator pelabuhan peti kemas internasional, pembuatan peti kemas, dan ship scrapping, peran Indonesia tak ada atau tidak signifikan. Satu-satunya peran Indonesia yang cukup menonjol hanya dalam pasokan awak kapal, yang mencapai 3,84 persen dari total suplai global. (tat)

Pelayaran Nasional Masih Dikuasai Asing SEBUAH kapal berukuran besar (mother vessel) Choapa dengan bobot mati 5.700 ton terlihat begitu kokoh bersandar di dermaga Jakarta International Container Terminal, Pelabuhan Tanjung Priok, Senin (11/4). Kapal yang baru tiba dari Eropa tersebut membawa ratusan peti kemas milik pengusaha importir Indonesia. MENYAKSIKAN besarnya ukuran kapal tersebut, tebersit dalam pikiran, seandainya kapal tersebut milik perusahaan nasional, seandainya pangsa pelayaran dikuasai perusahaan nasional dengan kapal seperti ini, berapa juta atau miliar dollar Amerika Serikat devisa yang bisa kita tahan? Mimpi kali yee.... Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Pelayaran Nasional memang sudah dikeluarkan. Tetapi, seberapa cepatkah inpres tersebut membangunkan industri pelayaran nasional yang selama ini seolah tertidur karena kalah bersaing dengan industri pelayaran asing? Sampai 20 tahun ke depan pun, sepertinya bisa dipastikan perusahaan pelayaran asing masih tetap menikmati dan menguasai pangsa pasar pelayaran di Indonesia. Dalam cetak biru yang dikeluarkan asosiasi pemilik kapal nasional (INSA) pun disebutkan, sampai tahun 2020 perusahaan pelayaran nasional baru bisa mendapatkan pangsa pasar pelayaran internasional sekitar 30 persen dari 550 juta ton peti kemas yang nilainya 22 miliar dollar AS. Pangsa pasar domestik? Sampai tahun 2020 perusahaan pelayaran nasional diperkirakan mendapatkan 80 persen dari 370 juta ton muatan yang nilainya mencapai Rp 23 triliun. Kondisi saat ini, kegiatan ekspor-impor yang dilayani kapal asing sebanyak 96,59 persen, sedangkan angkutan kargo dalam negeri yang dilayani kapal asing sebesar 46,8 persen. Akibatnya, total devisa nasional yang diambil kapal asing mencapai 11 miliar dollar AS atau Rp 99 triliun per tahun (kurs Rp 9.000 per dollar AS) Menurut United Nation Conference on Trade and Development (UNCTAD) pada tahun 2003, Indonesia telah memiliki kapal berbendera Indonesia sebanyak 1.405 unit dengan kapasitas 4,8 juta ton bobot mati (dead weight ton/DWT). Sementara untuk kapal kargo yang melayani rute internasional sekitar 80 unit, selebihnya melayani rute dalam negeri. Namun, kapal dalam negeri sendiri nyatanya belum mampu melayani mayoritas kargo dalam negeri sehingga masih membutuhkan kapal asing. KENAPA industri pelayaran nasional begitu tertinggal? Mandulnya pelayaran nasional selama bertahun-tahun juga tidak lepas dari peran pemerintah. Salah satunya

kebijakan pemerintah melalui Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang tidak mengindahkan peran strategis sektor maritim. Inpres yang intinya menggalakkan ekspor nonmigas ini telah mematikan sektor pelayaran nasional di mana kapal asing dari negara mana pun boleh masuk dan bersandar di pelabuhan Indonesia mana pun, asal bisa membantu kelancaran ekspor nasional. Ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah yang mengharuskan industri pelayaran nasional untuk membesituakan kapal-kapal yang usianya lebih dari 20 tahun, yang tanpa diikuti kebijakan kemudahan kredit dari perbankan bagi industri pelayaran untuk memperbarui kapal. Dampaknya, armada nasional semakin berkurang dan pelayaran nasional pun dikuasai perusahaan pelayaran asing. Memang, akhirnya pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tentang Angkutan Pelayaran. Namun, kebijakan tersebut kenyataannya belum mampu mengangkat derajat perusahaan pelayaran nasional. Hal ini karena kebijakan masih dijalankan setengah-setengah, dan asas cabotage (pengangkutan muatan domestik hanya oleh kapal berbendera Indonesia) tak pernah diterapkan, meski aturan tersebut sudah lama berlaku dan dipakai oleh negara maju, seperti China dan Amerika Serikat. Situasi pelayaran nasional yang saat ini lebih banyak dikuasai perusahaan pelayaran asing terbukti melemahkan daya saing perdagangan komoditas nasional dan justru memberikan keunggulan kompetitif kepada produk dan jasa asing. Oleh karena itu, Inpres Pemberdayaan Pelayaran Nasional harus segera diimplementasikan. Penerapan asas cabotage maritim yang dilakukan China, misalnya, telah terbukti memberikan keampuhan luar biasa pada daya saing produk-produk dalam negeri Negeri Tirai Bambu itu. Saat ini, siapa pun dan dari negara mana pun yang ingin berdagang dengan China wajib memakai kapal berbendera China. Tidak hanya itu, kapal yang digunakan pun harus dibangun di China, didanai oleh bank negara di sana, harus dominan diawaki oleh pelaut mereka, dan wajib direparasi di galangan kapal di China. Alhasil, produk-produk domestik China, yang dulunya dipandang sebelah mata, kemudian dapat menikmati minimnya hambatan transportasi dan jarak dari negara mereka ke seluruh wilayah di belahan dunia ini. Dan ini akibat tetap teguhnya negara ini mempertahankan prinsip cabotage di wilayah maritim mereka. Hebatnya lagi, penerapan prinsip cabotage di China tidak sebatas kampanye saja. Pemerintahan yang probisnis di China sangat mendukung implementasi regulasi yang komprehensif secara integrasi pada seluruh lini proses jasa maritim, dari hulu ke hilir atau dari wilayah industri kapal hingga usaha pelayaran. Indonesia? Dari pemerintahan terdahulu sampai sekarang masing-masing departemen tampaknya masih senang jalan sendiri-sendiri dan tidak pernah ada koordinasi yang solid dalam memberdayakan industri pelayaran.

Di samping itu, masih ada persoalan lemahnya dukungan perbankan, minimnya produk hukum maritim, kurang maksimalnya produktivitas pelabuhan dan galangan, rendahnya keterlibatan industri komponen pendukung dalam negeri, lemahnya daya saing dan kapabilitas awak kapal dan mesin, serta minimnya kemampuan pendidikan maritim. MENURUT Ketua Umum INSA Oentoro Surya, kesiapan implementasi pelaksanaan cabotage akan sangat ditunjang oleh kesiapan armada nasional. Selain itu, tentunya dibutuhkan peran pemerintah untuk membangkitkan industri pelayaran. Disebutkan, selain Departemen Perhubungan, peran Departemen Perindustrian dan Perdagangan juga sangat penting dalam menaikkan derajat pelayaran nasional. Misalkan saja dengan mendorong para eksportir dan importir memakai jasa pelayaran nasional dalam kegiatan ekspor dan impor mereka. "Jika hal itu diterapkan, tentu juga akan menguntungkan mereka dan perusahaan pelayaran nasional pun akhirnya akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri," ujarnya. Oentoro optimistis dengan diberlakukannya Inpres Pemberdayaan Pelayaran, kegiatan pengangkutan kargo dalam negeri ke depan lambat laun akan diambil alih kapal nasional. Pada tahun 2010, lanjut Oentoro, diperkirakan pelayaran nasional yang melayani rute luar negeri meningkat 3 persen menjadi 20 persen sehingga dapat menghemat devisa sebesar 3 miliar dollar AS. Hanya saja, kata Oentoro, kita masih harus membayar uang tambang (freight) untuk kapal asing sebesar 16 miliar dollar AS per tahun karena pelayaran nasional belum mampu mengangkut seluruh muatan perdagangan. "Tapi, setidaknya kita masih bisa menghemat 3 miliar dollar AS tersebut. Sebab, bila posisi kita pada tahun 2010 masih sama seperti saat ini, berarti freight yang dibayar ke kapal asing bisa mencapai 18 miliar dollar AS per tahun, yang artinya tidak ada devisa yang bisa dihemat," ungkapnya. "Kita juga tentu mengharapkan pangsa pasar angkutan dalam negeri yang saat ini baru 50 persen akan meningkat menjadi 65 persen pada 2010 dan 80 persen pada 2020," ujarnya menambahkan. Menurut dia, target pencapaian pangsa angkutan itu bukan sesuatu yang mustahil karena pada tahun 1987 saham angkutan perusahaan nasional mencapai 75,59 persen dari total muatan dalam negeri, sedangkan angkutan ekspor-impor pada tahun 1983 saham armada nasional telah mencapai 17,87 persen. Dikatakan, untuk mendukung upaya industri kapal guna mencapai target itu tentunya diperlukan insentif dari pemerintah. Dalam bidang keuangan, misalnya, pemerintah harus memberi insentif pajak, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Singapura dan Malaysia. Sementara dalam proses peralihan dari kapal asing ke kapal nasional, diperlukan penambahan jumlah armada berbendera Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2010 kapasitas armada nasional akan mencapai 20 juta DWT dari posisi sekitar 4,8 juta DWT pada tahun 2003.

"Hal ini juga tentunya harus ditunjang dengan rencana meratifikasi konvensikonvensi, seperti maritime line and ship mortgage dan arrest of vessel convention. Dengan ratifikasi konvensi tersebut diharapkan foreign financial institution (lembaga keuangan asing) bersedia membantu pelayaran nasional dalam mengembangkan armada kapal berbendera Indonesia," kata Oentoro. Pengamat maritim dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Saut Gurning mengatakan, perlu adanya suatu komitmen nasional, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk bulat mendukung usaha-usaha yang prokemandirian dan keterpaduan pada seluruh rantai proses jasa maritim nasional, mulai dari industri galangan kapal, pelabuhan, pelayaran, dunia perbankan, hingga pendidikan. Dijelaskan, perlu ada kontrak-kontrak jasa maritim baru secara nasional oleh pelaku usaha (pemilik kapal, pemilik barang terutama badan usaha milik negara, dan pengelola pelabuhan serta galangan). Transformasi aplikasi cabotage secara bertahap dan realistis berkenaan dengan batasan mana untuk operasi khusus armada nasional dan armada asing juga harus segera dilaksanakan. Tentunya dengan mempertimbangkan tipe pelayaran, jenis komoditas angkutan yang dominan berdasarkan kebutuhan dan dominasi, baik untuk fokus ke perdagangan nasional maupun ekspor-impor. Selain itu juga wilayah jasa kapal dan pelabuhan, kepemilikan dan pengusahaan kapal dengan memerhatikan kenaikan rasio penguasaan armada pelayaran berbendera Indonesia untuk perdagangan domestik dan internasional, serta penurunan defisit biaya angkutan internasional. Menurut Saut, pemerintah juga perlu segera menyiapkan aturan-aturan pendukung baru yang berpihak kepada kepentingan pemasukan negara (dalam bentuk fiskal dan pajak), namun andal dalam produktivitas, efisiensi, dan biaya dalam kerangka pasar yang sehat (kompetitif). "Aturan-aturan baru yang perlu dipersiapkan adalah hukum hipotek kapal (mortgage law), peraturan perbankan dengan pola-pola baru yang berkenaan dengan pembukaan letter of credit, serta aturan kompetisi pelaku usaha maritim. Indikatornya, tentu saja akan tercipta kondisi dan kriteria pasar maritim yang sehat di dalam persaingan namun tetap menjaga esensi biaya yang minimal dan tingkat keselamatan pelayaran yang optimal," ujar Saut memaparkan. Namun, tidak kalah penting tentunya adalah penciptaan berbagai tipe industri pendukung (supporting industry) maritim Indonesia, khususnya di dalam penyediaan material, suku cadang, dan bahan baku yang dibutuhkan untuk proses percepatan penyediaan kapal di Indonesia. Dengan demikian, rasio ketergantungan nasional secara realistis berkenaan dengan komponen impor yang dibutuhkan di dalam proses pembangunan dan pengoperasian kapal bisa ditekan dan kita pun tidak perlu mengkhayal lagi memiliki armada kapal yang besar dan andal. (Gatot Widakdo)

Menguatkan Pelayaran dengan Membenahi Pelabuhan

SETIAP tahun tambahan utang luar negeri sebesar empat atau lima miliar dollar Amerika Serikat selalu jadi momok mengerikan yang seakan tak terhindarkan. Hal itu memperparah tanggungan utang negara yang masih harus dibayar hingga generasi anak cucu mendatang. Ironisnya, di tengah kekalutan demikian, potensi ekonomi negeri ini makin terabaikan. Bangsa ini seakan merasa cukup jadi penonton di negeri sendiri, sementara pelaku ekonomi asing berperan aktif. Dunia pelayaran Indonesia menggambarkan ironi tersebut. DATA Departemen Perhubungan menunjukkan, sebanyak 96,6 persen dari seluruh muatan angkutan laut luar negeri, berupa kargo barang-barang ekspor dari Indonesia maupun impor ke Indonesia, sebesar 427,8 juta ton, sepanjang tahun 2003 dilayani kapal asing. Muatan luar negeri yang dilayani kapal nasional hanya sejumlah 15,1 juta ton atau 3,4 persen. Di dalam negeri, 46,8 persen muatan angkutan laut juga dilayani armada asing. "Sedikitnya, setiap tahun devisa sebesar 13-14 miliar dollar Amerika Serikat (AS) yang seharusnya dapat kita kantongi mengalir ke luar negeri, sementara kita terus susah payah cari utangan dari luar negeri yang nilainya enggak seberapa dibanding aliran devisa ke luar itu," kata Oentoro Surya, Ketua Umum Persatuan Pelayaran Niaga Indonesia (Indonesian National Shipowners Association/INSA). Setelah penelantaran panjang yang menenggelamkan pelayaran nasional, Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran menerbitkan secercah harapan. Meski demikian, penyusunan langkah-langkah sinergis beragam sektor terkait dibutuhkan bagi implementasi inpres yang mengharuskan muatan pelayaran dalam negeri dilayani kapal berbendera Indonesia itu. Di sektor keuangan, skema kredit yang membolehkan adanya hipotek atas kapal dan insentif pajak untuk membentuk iklim kondusif bagi pertumbuhan industri perkapalan dalam negeri masih menunggu implementasi. Mekanisme angkutan muatan ekspor dan impor yang selama ini semata menguntungkan pelayaran asing juga menantikan restrukturisasi mendasar. Di tengah upaya menumbuhkan kembali industri pelayaran nasional, anggota Dewan Maritim Indonesia, Agustomo, berpendapat, pemberdayaan pelayaran rakyat (pelra) bisa menjadi langkah terobosan. "Pelra dapat dijadikan cikal bakal armada angkutan antarpulau yang andal jika serius dikembangkan," kata Agustomo. PELRA dapat dikatakan sebagai warisan nenek moyang dalam menjawab tuntutan mobilitas sesuai dengan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Dengan kapal berteknologi sangat sederhana, pelra menjadi angkutan pelayaran dengan rute yang ditentukan oleh ketersediaan barang dan musim. Kini pelra ibarat hidup segan mati tak mau. Teknologi pelayaran tradisional yang tidak beranjak jadi lebih modern karena keterbatasan permodalan membuat pelra kalah bersaing dengan kapal yang lebih besar dan modern. Akhirnya, pelayaran rakyat ini nyaris menjadi sekadar angkutan kayu yang sering kali bermasalah. Padahal, dengan fasilitasi yang tepat, pelra berpotensi untuk dikembangkan menjadi angkutan antarpulau sesuai dengan asas cabotage. Menurut Agustomo, fasilitasi

yang dibutuhkan itu antara lain berupa dermaga, pergudangan, alat bongkar muat, dan akses permodalan. Di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, bongkar muat pelra ditandai dengan cara-cara manual kuli angkut. Selama ini masyarakat pengguna jasa pelabuhan memang tak dapat berharap banyak. Jangankan pada dermaga sandar pelra, di pelabuhan mana pun di negeri ini fasilitas pelabuhan belum mencapai tahap spesialisasi. "Apa pun yang diangkut dan dibongkar, sapi maupun kertas, akan digunakan kapal angkutan dan alat bongkar muat yang sama," kata Agustomo. Fasilitasi pelabuhan dan pergudangan tidak akan berpengaruh banyak tanpa jaminan muatan. Muatan pelra dan pelayaran nasional umumnya dapat dijamin jika pemerintah berkemauan politik mengerahkan badan-badan usaha milik negara (BUMN) menjadi pionir yang memanfaatkan pelra dan kapal berbendera Indonesia lainnya untuk pengangkutan produk. Dalam pendistribusian bahan-bahan kebutuhan pokok, pupuk, dan bahan lain yang diproduksi BUMN, pelra berpotensi menjangkau pulau-pulau terpencil yang selama ini mesti mengalami kesenjangan harga karena akses transportasi. Tidak dapat dimungkiri banyak kawasan negeri kepulauan ini yang terisolasi, tidak disinggahi pelayaran dengan jadwal teratur dan frekuensi yang cukup karena tidak ada jaminan muatan bagi angkutan pelayaran tersebut. Jaminan muatan akan mendukung adanya sentra-sentra logistik secara merata dan lebih terjangkau masyarakat. Kerja sama sinergis antara Departemen Perhubungan, Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan pemerintah daerah mutlak disyaratkan untuk mewujudkan sentra logistik yang sekaligus menjamin muatan pelayaran rakyat dan armada pelayaran nasional pada umumnya. Setelah difasilitasi dengan pergudangan, trayek tetap dan jaminan muatan, pelra yang berkembang dapat diarahkan untuk mempunyai kapal besar yang lebih modern dan dapat melayani jangkauan lebih luas dalam perdagangan antarpulau. Bahkan lebih jauh dikembangkan lagi untuk menempuh rute pelayaran ke luar negeri. Pengangkutan muatan ekspor milik BUMN maupun muatan ekspor swasta dengan kapal berbendera Indonesia juga akan disertai perubahan mekanisme perdagangan free on board (FOB) yang menyerahkan seluruh proses pengangkutan dan pemilihan kapal angkut kepada pihak importir di luar negeri menjadi cost and freight, sehingga memangkas biaya transportasi yang selama ini mengalirkan devisa ke luar negeri. BERANJAK pada pelayaran sebagai angkutan perdagangan internasional, efisiensi pelabuhan menjadi amat krusial. Studi Japan International Cooperation Agency (Sistem Transportasi Laut dan Kinerja yang Diharapkan di Masa Depan, 2004) menyebutkan, volume bongkar muat di Indonesia dengan sampel Pelabuhan Tanjung Priok mencapai angka terendah kedua di Asia setelah Banglades. Namun, ironisnya, biaya bongkar muat di Tanjung Priok berada pada peringkat tertinggi, sedangkan di Banglades volume bongkar muat yang rendah sebanding dengan biaya yang rendah.

Menurut Direktur Pelabuhan dan Pengerukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan Djoko Pramono, efisiensi pelayanan pelabuhan yang rendah antara lain ditandai dengan waktu tunggu yang lama, volume bongkar muat rendah, dan pengurusan administrasi di pelabuhan yang terlalu birokratis. "Waktu tunggu jauh lebih lama dari standar, padahal dermaga tidak sedang penuh. Ini terjadi karena berbagai sebab, bisa karena kapal pandu tidak siap, atau sarananya siap tapi orangnya tidak siap. Ada juga karena si pandu memilih memandu kapal asing saja karena dapat tip banyak. Padahal, aturan tidak membolehkan ada tip, tapi kenyataannya begitu," kata Djoko Pramono menjelaskan. Pejabat Departemen Perhubungan ini mengaku prihatin dengan banyaknya pungutan di pelabuhan yang tidak jelas apa dasarnya. Banyak wilayah "abu-abu" di pelabuhan yang menjadi peluang interpretasi aturan demi kepentingan kantong pribadi atau golongan tertentu. Permasalahan mendasar dalam pengelolaan pelabuhan, menurut Djoko, adalah pemetaan kembali peran pelabuhan sebagai BUMN yang dituntut mengejar profit sebesar-besarnya dan sebagai infrastruktur yang mempunyai fungsi sosial pelayanan kepada publik. "Di mana pun di seluruh dunia, pelabuhan umum adalah infrastruktur publik. Land lord pelabuhan adalah pemerintah, pemerintah bisa melimpahkan penyelenggaraan kepada pihak lain sebagai operator. Dalam hal ini, di Indonesia, PT Pelindo jelas merupakan operator pelabuhan," kata Djoko. Akan tetapi, sebagai BUMN, Pelindo juga memiliki kewenangan atas aset yang diatur tersendiri dalam aturan persero. Dengan aset tersebut, Pelindo sebagai badan usaha bertugas mengejar profit walaupun disebut-sebut tetap mengemban misi sosial. Belakangan, kerancuan kerap terjadi karena perbenturan kepentingan tak terhindarkan. "Pelindo ini ibaratnya jadi pemilik, regulator, fasilitator, sekaligus pemain dalam pola monopoli lagi. Kami enggak punya pilihan karena itulah satu-satunya gateway, kapal kan bisa dibawa ke luar lewat jalur lain," kata salah seorang pengusaha pelayaran nasional. Inpres No 5/2005 tentang Pemberdayaan Pelayaran Nasional tak memungkiri kerancuan peran sebagai regulator dan operator tersebut. Inpres ini menugaskan departemen-departemen terkait untuk "mengembangkan manajemen pelabuhan sehingga secara bertahap dan terseleksi terjadi pemisahan fungsi regulator dan operator". Tata kepelabuhanan nasional yang mempertegas hierarki, peran, dan fungsi pengelolaan pelabuhan sudah disusun dan dituangkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 53 Tahun 2001. Namun, sistem yang secara terintegrasi memandang pelabuhan sebagai bagian infrastruktur dalam pembangunan ekonomi belum tersusun baik. "Kita selama ini memang belum komprehensif merencanakan tata kepelabuhanan yang ada. Misalnya kita tetapkan Batam sebagai international hub port, apakah perdagangan dan perindustrian mendukung. Seharusnya tata kepelabuhanan ini segera dibahas bersama," tutur Djoko.

Inpres No 5/2005 sudah menugaskan sejumlah menteri terkait dikomandani menteri koordinator bidang ekonomi, keuangan, dan industri mengupayakan pemberdayaan pelayaran nasional. Menghidupkan kembali pelayaran Indonesia yang seharusnya disebut negeri bahari ini tak dapat dilepaskan dari pembenahan pelabuhan sebagai infrastruktur mendasar. (Nur Hidayati)

Menteri Sidak, Pungli Jalan Terus ROMBONGAN Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam iring-iringan resmi saat inspeksi mendadak ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (11/4), menyaksikan langsung adegan awak sebuah truk memberikan uang kepada petugas di pintu pelabuhan. Aksi tersebut begitu kasatmata dan menjadi bagian kecil dari mata rantai pungutan liar, korupsi, dan aksi penyelundupan di Pelabuhan Tanjung Priok yang menjadi etalase dunia ekspor-impor negeri. ROMBONGAN yang mendapat pengawalan resmi dari kepolisian itu pun langsung berhenti begitu menyaksikan adegan tersebut. Sutejo, seorang petugas pencegahan di Kantor Wilayah IV Bea Cukai, langsung menegur petugas yang menerima uang. Petugas dimaksud mengatakan, dirinya tidak meminta imbalan dari awak truk, tetapi dirinya "disodori" uang. Praktik tersebut menurut sejumlah pengusaha merupakan kewajaran. Tetapi, Tejo meminta kepada masyarakat untuk tidak membiasakan memberikan uang dan jika pihak aparat Bea Cukai sengaja memasang tarif atau meminta imbalan atas pengurusan dokumen, aktivitas bongkar muat dan lalu lintas barang di pelabuhan agar segera dilaporkan. Meski demikian, upaya pembersihan tetap dilakukan. Menurut dia, tahun lalu tujuh orang oknum Bea Cukai ditindak tegas karena melanggar standar prosedur pemeriksaan barang impor. Mereka melaporkan jumlah barang impor yang berbeda dengan fakta di lapangan. Alhasil, lima orang diturunkan pangkat dari golongan III menjadi II D. Demikian pula sejumlah penyimpangan ditindak tegas dengan mutasi ke daerah terpencil di luar Jawa yang dianggap sebagai daerah "kering". Selain itu, pihak Bea Cukai juga membuka hotline bagi masyarakat untuk melaporkan penyelundupan. Operasi penertiban terus dilancarkan, terutama menyusul inspeksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan November 2004 langsung membuat laju penyelundupan tersendat. Wandi, seorang pebisnis yang kerap mengimpor barang dari Hongkong, mengaku, kini proses mengeluarkan barang dari Pelabuhan Tanjung Priok lebih ketat. Namun, di pihak lain, kebijakan tersebut terkadang membuat pengusaha merugi karena barang terlambat sampai ke konsumen, sementara perhitungan bunga bank terus berjalan dan harus ditanggung pebisnis. MEMBENAHI sektor pelabuhan merupakan salah satu kunci membangun perekonomian suatu negara. Singapura adalah bukti sebuah negara tanpa sumber daya alam dapat berjaya karena efisiensi dalam pengelolaan pelabuhan sebagai tulang punggung perdagangan.

Demikian pula Pelabuhan Rotterdam di Belanda yang menjadi pelabuhan peti kemas terbesar di Eropa. Tak ketinggalan China menjadikan pelabuhan di Shanghai, Da Lian, dan tentu saja Hongkong menjadi pintu lalu lintas barang dalam skala besar. Bahkan, Taiwan pun memiliki pelabuhan peti kemas modern dalam skala besar di Kaohsiung. Di saat dunia berbicara efisiensi, negeri ini masih berkutat membersihkan Pelabuhan Tanjung Priok dari aksi penyelundupan dan pungutan liar (pungli). Ini merupakan tantangan terhadap konsistensi kebijakan pemerintah. Andri-bukan nama sebenarnya-seorang pengusaha jasa ekspedisi melalui kapal laut (EMKL), mengeluhkan jumlah pungli untuk kegiatan ekspor barang yang setiap harinya bisa mencapai minimal Rp 750.000 juta per hari! Hitungan itu didasari rincian untuk mengurus pemberitahuan ekspor barang (PEB) harus melewati lima tahap, yakni meminta nomor PEB (menyisipkan Rp 3.000 dalam formulir), menetapkan tanggal (Rp 3.000, yang diselipkan bersama formulir), mengurus dua kali cap (masing-masing Rp 5.000), dan terakhir meminta tanda tangan petugas dan harus mengeluarkan Rp 10.000 sehingga total dikeluarkan biaya sekurangnya Rp 25.000 untuk mengurus selembar dokumen ekspor. Dari aktivitas keberangkatan kapal pengangkut peti kemas ekspor di Tanjung Priok yang, menurut Andri, sekurangnya ada 10 kapal mengangkut 3.000 peti kemas, dapat dibayangkan betapa besar uang pungli yang terkumpul untuk sektor ekspor di satu instansi saja, yakni Bea Cukai. Dalam satu bulan untuk mengurus PEB harus dikeluarkan dana mencapai Rp 22,5 miliar atau dalam setahun mencapai Rp 270 miliar! Angka ini dapat melambung jauh mengingat dalam pengurusan ekspor, pada sebuah kontainer bisa terdapat lebih dari satu dokumen. Pasalnya, dalam proses ini beberapa shipper dapat menggunakan satu consignee. Yang lebih memprihatinkan lagi, oknum di lembaga perbankan ekspor yang berada di pelabuhan turut menjalankan pungli. Untuk mengeluarkan invoice yang diperlukan dalam proses ekspor, harus dikeluarkan biaya tambahan Rp 9.500 dari biaya resmi Rp 60.500 sehingga total harus dibayarkan Rp 70.000. Jika ini tidak diberikan, jangan harap print out dari bank yang dibutuhkan untuk pengurusan dokumen dan pengiriman barang akan diberikan. Ini belum termasuk pungli pengurusan impor barang. Proses behandel (penerimaan barang), biaya rekam, cek fisik, dan pemeriksaan dokumen dilakukan pejabat pemeriksa dokumen. Dalam tahap terakhir ini besarnya biaya bervariasi, yakni untuk mengurus satu atau dua kontainer dikeluarkan biaya Rp 100.000-Rp 200.000. Sedangkan untuk jumlah lima kontainer dikeluarkan biaya borongan Rp 500.000. Sesudah itu barulah keluar surat perintah pengeluaran barang (SPPB) dan proses melelahkan ini berakhir. Dalam keseluruhan proses ini dikeluarkan biaya sedikitnya Rp 700.000 untuk mengeluarkan barang impor. Belitan pungli di pelabuhan ini begitu kasatmata dan salah satu penanda adanya pungli adalah keberadaan penukar uang pecahan ribuan dan lima ribuan di sekitar terminal Jakarta International Container Terminal (JICT), Kantor Pelindo, dan Kantor

Pelayanan Bea Cukai di Jalan Raya Pelabuhan. Dalam pemantauan, sejumlah penukar uang memang terlihat berkeliaran di dalam Pelabuhan Tanjung Priok. Menurut Andri dan rekan-rekannya, penukar uang itu menyediakan uang kecil yang diselipkan dalam formulir dan pelbagai biaya tip yang dibutuhkan untuk mengurus barang yang tidak bermasalah. Untuk barang bermasalah lain lagi ceritanya karena memerlukan lobi khusus dan biaya besar. Sejumlah teman Andri mengatakan, salah satu indikator keberhasilan perusahaan ekspedisi memproses barang adalah suasana di warung padang di Pelabuhan Tanjung Priok. Jika terlihat rombongan orang makan bak berpesta pora seluruh hidangan disajikan di atas meja, itu berarti semua urusan lancar dan barang segera dapat dikirim atau diambil. Namun, sebaliknya, jika terlihat seseorang makan sendirian dengan satu atau dua macam menu, itu berarti yang bersangkutan terkena nota pembetulan (notul) dari Bea Cukai. Dalam kondisi tersebut, pihak penyedia jasa dipastikan harus menombok dengan mengeluarkan biaya tambahan yang tentu saja tidak akan dibayar pemilik barang. Ada lagi pungli kecil-kecilan seperti biaya pengawalan. Yang dimaksud adalah truk yang masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok kini harus melewati jalan memutar dengan melalui pintu samping untuk mencapai JICT. Dalam proses ini, harus dikeluarkan uang Rp 1.500 untuk membayar oknum petugas. Yang aneh, justru di lingkungan pelabuhan ini tidak ada gangguan para preman. Para jawara di lingkungan pelabuhan justru menjaga keamanan dan mendapat rezeki dengan bekerja di sektor bongkar muat sehingga tidak menyusahkan para pengusaha. Anto, salah seorang rekan Andri, mengatakan, mereka justru banyak membantu proses pembongkaran dan pengecekan barang. Bahkan, para pengurus EMKL di pelabuhan yang membawa uang puluhan juta rupiah tidak pernah diganggu mereka. Bagi Anto, persoalan pungli yang menahun ini sudah waktunya diberantas. Dia memuji langkah tegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memperketat pengawasan dan membuat iklim usaha EMKL semakin kondusif. Di masa lalu bisnis EMKL selalu dikuasai pemain lama dan bermodal besar yang sudah terbiasa bermain dan memiliki hubungan dengan orang dalam di lingkungan pelabuhan. Saat ini, dengan ketatnya pengawasan, aksi penyelundupan bisa ditekan, tetapi di sisi lain pungli masih berjalan. MENYIKAPI keluhan pungli, General Manager Pelindo II RI Saptono mengatakan, usaha perbaikan terus dilakukan dan masyarakat serta pengguna jasa diminta langsung melaporkan adanya pungli di lingkungan Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, masyarakat harus memahami begitu banyak instansi- sekurangnya ada delapanyang beroperasi di wilayah pelabuhan dan tak semuanya berada di bawah kendali Pelindo. Banyak instansi terlibat di pelabuhan dan pada prinsipnya, manajemen Pelindo berharap tidak ada pungli. Tetapi, sekali lagi, pada praktik tidak ada yang sempurna dalam proses bongkar muat dan ekspor-impor di pelabuhan.

Semisal terjadi kekurangan dokumen, lantas pemilik barang berusaha memberikan imbalan kepada petugas di lapangan. Tentu kondisi ini sulit dihindari meski upaya pengamanan internal juga dilakukan Pelindo. Salah satu cara menekan penyimpangan adalah mengurangi aktivitas tatap muka antara masyarakat dan petugas pelabuhan (antarperson) melalui sarana teknologi informasi. Sementara Sutejo menyarankan adanya peningkatan otoritas Bea Cukai seperti di Thailand dan Malaysia yang langsung berada di bawah otoritas kerajaan, ataupun di Singapura yang di bawahi perdana menteri. Itu penting untuk menghindari intervensi dari lembaga atau pihak lain terhadap upaya pemberantasan penyelundupan dan pembenahan pelabuhan. Tidak kalah penting adalah peningkatan kesejahteraan, seperti dilakukan Pemerintah Amerika Serikat yang memberikan insentif kepada pegawai US Custom (Pabean AS). Sambil menunggu semua perbaikan terwujud, tampaknya dunia usaha masih harus bersabar melihat pungli di pelabuhan. (Iwan Santosa)

Tanjung Priok-Dadap, Jalur Sarat Pungli BERAPA pungutan yang harus dibayarkan seorang sopir trailer untuk membawa peti kemas dari kompleks Pelabuhan Tanjung Priok hingga Kawasan Pergudangan Pantai Indah Dadap di Dadap, Kosambi, Tangerang? Pungutan resmi di luar tarif tol Rp 11.000. Pungutan liarnya Rp 73.000. Perhitungan di atas hanya berlaku untuk peti kemas sampai di depan gudang. Jika dihitung hingga peti kemas dikembalikan lagi ke deponya, setidaknya harus disediakan lagi Rp 34.000 untuk pungutan liar. HAL itu setidaknya dialami Kompas ketika mengikuti perjalanan Ngadimin (bukan nama sebenarnya), seorang sopir trailer, beberapa hari lalu. Sadar akan besarnya pungli alias pungutan liar yang harus dibayar, Ngadimin sempat menolak ketika diminta perusahaannya mengirimkan kontainer ke Dadap. "Bekalnya tipis," katanya sambil memperlihatkan uang Rp 340.000 dari perusahaannya. Namun, pria yang sudah sejak tahun 1992 menjadi sopir trailer itu akhirnya menerima tugas tersebut karena tidak ada sopir lain yang mau melakukannya. Hingga trailer dengan sembilan tingkat kecepatan yang dibawanya sampai pintu gerbang kompleks Pelabuhan Tanjung Priok, pungli yang dikhawatirkan Ngadimin ini belum terbukti. Ketika akan memasuki kompleks Pelabuhan Tanjung Priok, Ngadimin hanya membayar Rp 5.000 seperti yang tercantum dalam satu lembar tiket warna hijau bertuliskan "Tanda Masuk Pelabuhan Harian" yang diterimanya. Petugas jaga pelabuhan juga hanya melihat dokumen surat penyerahan peti kemas (SP2) yang kami bawa dan kemudian mencapnya. Pungli yang dikeluhkan Ngadimin mulai terasa ketika trailer kami memasuki pintu gerbang Jakarta International Container Terminal (JICT). Sesudah menandatangani SP2 yang diberikan Ngadimin, petugas itu minta Rp 1.000. "Jika tidak diberi, dokumen

tidak akan diserahkan lagi ke kita," kata Ngadimin saat ditanya mengapa harus memberikan uang kepada petugas tersebut. Selepas pintu gerbang JITC, sopir harus membawa sendiri truknya menuju lokasi penimbunan peti kemas. Kernet hanya boleh menunggu di sekitar pintu gerbang JITC. Selain sopir, yang boleh memasuki area pengambilan peti kemas adalah petugas bea cukai, aparat keamanan, dan mereka yang memakai tanda pengenal bertuliskan "Visitor" (pengunjung). Hari itu ada dua peti kemas yang akan kami angkut sekaligus. Masing-masing berukuran 20 kaki (feet). Dua peti kemas kami itu kebetulan berada di tumpukan paling atas sehingga langsung dapat diambil dan dipindahkan ke truk. Melihat tango (alat untuk memindahkan peti kemas dari tumpukan ke atas truk) juga sedang ada di dekat truk kami, Kompas berpikir kami tidak akan lama di tempat itu. "Diberi berapa?" kata Ngadimin kepada Kompas ketika melihat operator tango mendekati kami. "Apa harus diberi?" tanya Kompas. "Kalau tidak diberi, kontainer (peti kemas) tidak akan diangkat," ujar Ngadimin. "O... beri saja secukupnya," jawab Kompas. Beberapa saat kemudian Ngadimin mendekati operator tango itu sambil memperlihatkan dokumen SP2 yang di atasnya sudah diberi uang Rp 10.000. "Empat langsung dan dua langsung," ujarnya. "Bawa saja dulu," jawab petugas yang memakai rompi biru itu. Anehnya, petugas itu tidak berhenti, tetapi terus saja berjalan menuju dua trailer di belakang kami. Demikian juga tango di belakangnya. Setelah berbincang sejenak dengan sopir trailer tersebut, tango warna biru lalu mengangkat tiga peti kemas yang dibawa dua trailer itu. Setelah selesai, operator dan tango itu berjalan lagi menuju trailer kami. Namun, sesampai di dekat kami, mereka ternyata tidak berhenti. Tanpa melihat kami sedikit pun, mereka terus berjalan dan kemudian mengisi dua trailer di depan kami yang datang belakangan. "Uangnya kurang," bisik Ngadimin ketika Kompas bertanya mengapa tango itu tidak berhenti untuk membawa peti kemas ke truk kami. "Minta berapa?" "Mungkin tambah Rp 10.000 lagi." "Kok tidak ngomong?" kata Kompas kepada Ngadimin sambil memintanya untuk sabar. Di seberang pemberhentian trailer kami, ada sebuah trailer lain yang juga bernasib seperti kami, beberapa kali telah dilewati tango. Bahkan Yatno (bukan nama

sebenarnya), sopir trailer itu, mengaku sudah hampir dua jam diperlakukan seperti itu. "Bekal dari bos tipis sekali, hanya Rp 250.000. Jika uang untuk tango ditambah, saya tidak akan membawa apa-apa lagi," ujarnya mengeluh sambil memperlihatkan uang Rp 15.000 yang akan diberikannya kepada operator tango. "Memangnya minta berapa?" "Mungkin Rp 30.000, sebab kontainer saya ada di paling bawah. Jadi harus ngangsur dua." jawabnya. Ngangsur adalah memindahkan peti kemas yang ada di atas peti kemas yang akan diambil. Setelah sekitar 20 menit berada di tempat itu dan belum ada tanda-tanda trailer kami akan diisi peti kemas, Ngadimin dan Yatno mulai tampak gelisah. Melihat itu, Kompas usul agar mereka melaporkan masalah ini ke pos pengaman di pintu depan. "Apa ada gunanya? Dulu saya pernah lapor dan hanya diminta sabar," kata Ngadimin dengan nada mulai putus asa. Kami akhirnya sepakat menunggu 30 menit lagi untuk melihat perkembangan yang terjadi. Sambil mengamati kerja tango yang operatornya tetap saja cuek kepada kami bertiga, sekali-sekali pandangan kami alihkan ke hilir mudik petugas berpakaian coklat muda yang sibuk membongkar peti kemas bersama sejumlah kulinya. Setelah melihat isi peti kemas dan sesekali mengambil barangnya, mungkin untuk contoh, mereka menutup lagi peti kemas itu dengan sekrup warna perak. Setelah waktu 30 menit yang kami sepakati berlalu dan ternyata tango itu tak juga mengangkat peti kemas ke truk kami, saya lalu menyerah ketika Ngadimin menambah uang Rp 10.000 di atas dokumen yang dibawanya. Anehnya, operator tango langsung menerima dan tidak lagi berkata "bawa saja dulu" ketika Ngadimin menyerahkan SP2 yang kali ini di atasnya sudah diisi dengan dua lembar pecahan Rp 10.000. Lebih aneh lagi, setelah dua lembar pecahan Rp 10.000 itu berpindah tangan ke operator, tak sampai 10 menit kemudian trailer kami sudah diisi dengan dua peti kemas yang berat totalnya 43 ton. Di saat perasaan heran masih menyelimuti, ketika trailer kami melintasi pos pengawasan peti kemas JITC, seorang petugas tiba-tiba mengejutkan Kompas dengan tiba-tiba membuka pintu truk. "Dari... (menyebut nama perusahaan pengangkutan)?" tanyanya. "Iya Pak." "Ada rokok?" katanya lagi sambil langsung mengambil sebungkus rokok Gudang Garam dari dashboard trailer kami dan kemudian langsung pergi tanpa bicara sepatah kata pun. Sesampai di pintu gerbang keluar JITC tempat kernet menunggu, seorang petugas keamanan pelabuhan lalu minta dokumen SP2 kami. "Mereka mau survei keadaan kontainer," tutur Ngadimin. Tidak sampai dua menit survei itu dilakukan, dan ketika

mengembalikan dokumen, lagi-lagi Ngadimin menyerahkan uang Rp 1.000 kepada petugas tersebut. Dokumen yang sudah dibubuhi tanda survei itu lalu diserahkan kepada petugas bea cukai untuk pencocokan dokumen. Tak sampai satu menit pekerjaan itu selesai dan ketika mengambil dokumen, lagi-lagi Ngadimin memberikan selembar Rp 5.000 kepada petugas itu. Setelah itu, baru sekitar lima meter truk berjalan, pos milik PT Pelabuhan Indonesia II sudah menanti. Di pos ini, dokumen kami harus diberi tanda jika barang sudah keluar. Pekerjaan itu hanya berlangsung sekitar satu menit. Namun, ketika menyerahkan dokumen kepada Ngadimin, petugas itu berkata, "Dua ribu," yang langsung dijawab Ngadimin dengan menyerahkan uang Rp 2.000. Selepas pintu gerbang JITC, dalam perjalanan keluar kompleks pelabuhan, lagi-lagi trailer kami dihentikan seorang petugas berseragam. Orang itu lalu menyerahkan satu lembar kertas bertuliskan "Satuan Pengawalan Barang Pelabuhan Tanjung Priok dan Sekitarnya". Entah bagaimana pengawalannya, dan kapan dikawal, yang jelas kami harus membayar sesuai karcis itu, yaitu Rp 1.000. KELUAR dari Kompleks Pelabuhan Tanjung Priok, perasaan Kompas agak lega. Namun, lalu lintas mulai padat karena jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.00. Untuk menghindari kemacetan, setelah mengisi tangki trailer dengan 60 liter solar yang menurut Ngadimin cukup untuk perjalanan Tanjung Priok-Dadap pergi pulang, kami lalu memutuskan masuk jalan tol. Setelah membayar Rp 6.500 untuk melintasi jalan tol dalam kota, kami lalu membayar Rp 3.000 di pintu tol Sedyatmo. "Kita keluar saja sehabis pintu tol Cengkareng. Sebab kalau lewat Kamal, di sana ada pos yang minta pungli Rp 20.000," kata Ngadimin. Setelah membayar Rp 3.000 di pintu tol Cengkareng, trailer kami lalu memutar di sekitar Bandara Soekarno-Hatta untuk kemudian memasuki Jalan Raya Dadap. Namun, baru saja akan memasuki Jalan Raya Dadap, seorang lelaki berjaket coklat lusuh yang mengendarai sepeda motor Honda Mega Pro menghentikan trailer kami yang bercat putih. "Pengawal," bisik Ngadimin. "Mau ke mana?" tanya pria itu. "Jalan Perancis. Kawasan Pergudangan Dadap," kata Ngadimin. Selanjutnya, pria itu menjalankan sepeda motornya di depan kami. Awalnya, keberadaan "pengawal" ini memang banyak membantu. Sebab, di sejumlah tikungan, dia sekali-sekali turun dari motornya untuk menghentikan kendaraan yang datang dari arah berlawanan sehingga trailer kami dapat lewat dengan lebih mudah. Meski sudah dibantu oleh "pengawal", Ngadimin tetap saja memberi Rp 1.000 kepada para pak ogah yang banyak berdiri di tikungan-tikungan di Jalan Raya Dadap. Ada tiga pak ogah yang hari itu diberi uang oleh Ngadimin. "Kalau tidak diberi, kaca trailer bisa dilempari batu," ujar Ngadimin.

"Kan kita sudah dikawal?" tanya Kompas. "Dia hanya pengawal. Tidak berurusan dengan pak ogah," jawab Ngadimin. Namun, sesampai di depan Sentra Bisnis Mutiara Kosambi, Dadap, pengawal kami itu tiba- tiba menghentikan motornya. Mengetahui hal ini, Ngadimin turun dari trailer untuk menemuinya. Setelah berbicara sejenak, Ngadimin kembali lagi ke dalam trailer. "Tiga puluh lima ribu rupiah," kata Ngadimin singkat sambil memperlihatkan selembar kertas seukuran pembungkus rokok yang bertuliskan "Memo. Sudah dikawal PP. Tanggal.../4-005. HP 0812417XXXX. Pengawal... Serma." Menurut Ngadimin, memo itu merupakan imbalan yang diterimanya dari "pengawal" yang beroperasi selama 24 jam untuk mencegat setiap trailer yang lewat. "Kalau tidak diberi jatah, memo tidak keluar. Kalau memo tidak keluar, nanti saat pulang saya pasti ditahan aparat yang minta STNK. Kalau sudah begini, sedikitnya akan habis Rp 120.000," tutur Ngadimin menjelaskan. "Jika sudah ada memo, kalau nanti di Jalan Dadap ada yang menghentikan, cukup dikasih memo itu. Pasti boleh jalan lagi," kata Ngadimin menambahkan. Akan tetapi, memo itu tidak berarti membebaskan kami sepenuhnya dari pungli di sepanjang Jalan Raya Dadap. Buktinya, ketika melintasi pos polisi Dadap yang berada sekitar 400 meter dari Kawasan Pergudangan Pantai Indah Dadap, trailer kembali dihentikan seorang anak muda. "Delapan ribu," katanya sambil menyerahkan sebuah karcis. "Untuk jatah polisi dan pemuda sini," ucap Ngadimin sambil memperlihatkan kupon bertuliskan "Berdasarkan Hasil Musyawarah LMD" dan angka Rp 2.000. "Seribu untuk anak itu, Rp 5.000 untuk polisi, dan Rp 2.000 untuk iuran seperti di karcis," tambah Ngadimin. Sesampai di pintu gerbang Kawasan Pergudangan Pantai Indah Dadap, trailer kembali dihentikan oleh petugas yang minta Rp 3.000 sebagai tarif parkir gudang seperti yang tertera di karcis. Kelegaan akhirnya Kompas rasakan setelah sekitar pukul 18.30 trailer kami akhirnya sampai di depan gudang. DI saat menikmati teh panas untuk melepas lelah, Ngadimin lalu bercerita bahwa pungli yang diterimanya belum akan berakhir. "Nanti waktu bongkar barang, bayar Rp 20.000 untuk kuli karena ada dua kontainer," katanya. "Ketika perjalanan pulang nanti, juga harus siap Rp 5.000 untuk pak ogah di sepanjang Jalan Raya Dadap. Lalu Rp 9.000 ketika sampai di depo kontainer, masingmasing Rp 1.000 untuk satpam, Rp 5.000 untuk petugas survei, dan uang rokok operator forklif Rp 3.000," papar Ngadimin. Kalau tidak membayar, kontainer tak akan diangkut. Ditanya, dari bekal Rp 340.000 yang diberikan perusahaan, setelah dipotong untuk beli solar, makan, tarif tol, pungutan resmi, dan biaya pungli, berapa yang tersisa, Ngadimin mengatakan,

"Tidak tentu. Tapi hari ini rupanya saya agak untung. Mungkin bisa bawa pulang Rp 35.000." "Kok untung?" tanya Kompas. "Iya, soalnya tadi di jalan tol tidak bertemu petugas Patroli Jalan Raya (PJR). Kalau ketemu harus bayar setidaknya Rp 10.000." "Kalau nanti pulangnya ketemu PJR bagaimana?" "Moga-moga saja tidak," harap Ngadimin sambil menyeruput teh hangatnya perlahan dan dalam-dalam. Seolah pada hangatnya air teh itulah Ngadimin ingin menggantungkan harapan tidak bertemu PJR saat perjalanan pulang nanti. (nwo)

Related Documents

Fokus
June 2020 22
Fokus
June 2020 12
Pelabuhan
June 2020 25

More Documents from ""