Fitrah.docx

  • Uploaded by: Siti Hawa
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fitrah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,704
  • Pages: 11
DILEMA KEPARIWISATAAN LABUAN BAJO, NUSA TENGGARA TIMUR Siti Hawa Fitrah Eke Jurusan Perencanaan Kepariwisataan, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung [email protected]

ABSTRAK Makalah ini terkait dilema kepariwisataan di Labuan Bajo. Pengembangan pariwisata disatu sisi diharapkan dapat membantu meninngkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, namun di samping itu adanya pengembangan pariwisata meninbulkan dilema tersendiri bagi masyarakat maupun keberlanjutan pariwisata di Labuan Bajo itu sendiri. Kerangka teori yang digunakan mengacu pada kerangka teori oleh Prideaux, 2009 terkait posisi pariwisata dalam ruang pesisir serta model peluang pengambangan pariwisata pesisir. Metode pengumpulan data berdasarkan studi pustaka dengan sumber data sekunder berasal dari internet. Pembahasan mencakup dilema kepariwisataan di Labuan Bajo, terdiri dari posisi pariwisata di ruang pesisir yang digambarkan dengan konflik ruang antara pariwisata dan pertambangan, isu yang menjadi dilema pariwisata yaitu isu dominasi pihak asing dan rendahnya kualitas sdm lokal, isu lingkungan berupa penumpukan sampah, serta keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di daerahnya. Ketiga isu itu terkait dengan model peluang pengembangan pariwsata pesisir. Kesimpulan yang diperoleh pariwisata menjadi salah satu sektor penting dalam wilayah Labuan Bajo, serta ditengah peluang pengembangan pariwisata terdapat hambatan berupa dominasi pihak asinh dan rendahnya kualitas sdm lokal, adanya polusi sampah serta kurang keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata.

PENDAHULUAN Pembangunan mencakup perubahan sistem sosial seperti politik, ekonomi, infrastruktur, kelembagaan, teknologi dan budaya (Alexander, 1994). Tujuan pembangunan disesuaikan dengan cita-cita bangsa seperti yang tertuang dalam UUD 45. Pembangunan menajdi bagian dari tranformasi sosial yang dilakukan secara terencana salah satunya untuk mencapai kesejahtraan masyarakat. Potensi kekayaaan alam dan budaya yang dimiliki Indonesia menjadi sumber daya pembangunan untuk mencapai kesejahtraan masyarakat. Indonesia melalui pembangunan pariwisata menjadikan sumber daya tersebut sebagai daya tarik untuk mendatangkan wisatawan. Di tahun 2016 total kunjungan wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun nusantara mencapai Pariwisata saat

ini tumbuh menjadi salah satu sektor yang menunjang perekonomian Indonesia. Pariwisata terus berkembang menjadi sektor penghasil devisa terbesar bagi Indonesia. Semasa periode sebelum adanya otonomi daerah pembangunan lebih diorientasikan pada wilayah Indonesia bagian barat. Hal ini juga terlihat dari pembangunan pariwisata dimana Bali menjadi konsentrasi utama pembangunan pariwisata. Ketidakseimbangan pembangunan ini dimana hanya mengandalkan satu pintu gerbang pariwisata terbukti memberikan banyak kelemahan (Nirwandar, 2011). Kelemahan yang ditimbulkan diantaranya pembangunan ekonomi yang kurang merata kerena terbatasnya investasi pariwisata dan lemahnya perencanaan pariwisata terutama di kawasan Indonesia Timur. Dalam menyiasati kelemahan-kelemahan ini pemerintah melalui perencanaan kepariwisataan nasional mencoba menerapkan 10 Bali baru sebagai destinasi pariwisata utama dan prioritas nasional.

Gambar Persembaran Lokasi 10 Destinasi Pariwisata Prioritas Sumber: http://www.kemenpar.go.id/userfiles/Paparan%20-%20Deputi%20BPDIP.pdf

Tahun 2016 merupakan tahun percepatan pembangunan 10 destinasi pariwisata tersebut, yang mana direncanakan 4 KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) dan 6 Badan Otorita (Dilansir dari Travel News, 13 April 2016). Salah satu dari 10 destinasi pariwisata prioritas tersebut adalah Labuan Bajo, terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi NTT.

Di tahun 2017 percepatana

pembangunan pariwisata difokuskan menjadi 4 destinasi, dimana Labuan Bajo menjadi salah satu diantaranya karena dianggap sedang naik daun (Dikutip dari CNN Indonesia, 16 November 2017). Sebagai destinasi pariwisata prioritas Labuan Bajo memiliki target yang harus dicapai ditahun 2019. Target tersebut berupa 500 ribu kunjungan wisatawan mancanegara, kontribusi terhadap PDRB senilai 96 triliun rupiah, mendatangkan devisa 8 triliun rupiah serta memberikan kontribusi pada 1 juta kesempatan kerja (Dikutip dari Interaktif Kompas, 2016).

Peningkatan pariwisata sebagai sektor penghasil devisa tertinggi bagi negara diharapkan mendongkrak ekonomi nasional serta memberi kesejahtraan bagi masyarakat. Pariwisata di Labuan Bajo menjadi alternatif pengembangan ekonomi ditengah isu peonolakan tambang di wilayah ini. Namun demikian pariwisata juga menjadi dilema dengan adanya konflik-konflik baru yang timbul baik dari segi kondisi lingkungan dan juga sosial ekonomi masyarakat lokal. Tujuan penulisan makalah ini untuk membahas dilema kepariwisataan di wilayah Labuan Bajo. Pembahasan terkait dilema kepariwisataan menyangkut isu lingkungan yaitu peningkatan sampah, konflik sosial ekonomi masyarakat lokal yang terkait dengaan kualitas sumber daya manusia sebagai pekerja pariwisata serta keberadaan masyarakat lokal di Desa Papanggaran sebaga bagian dari tuan rumah di destinasi wisata. Sebenarnya terdapat isu-isu lainnya, namun penulis mengangkat ketiga isu ini karena dianggap dapat merepresentasikan dilema kepariwisataan di Labuan Bajo. Tinjauan Teori Dalam menguraikan dilema kepariwisataan di Labuan Bajo, sebelumnya penulis melihat destinasi Labuan Bajo sebagai bagian dari Pariwisata Pesisir, penulis juga melihat pariwisata yang berkembang di Labuan Bajo sebagai salah aktivitas dari keseluruahan wilayah peisisr. Teori yang dirujujuk oleh penulis adalah teori terkait pariwisata pesisir. Tinjauan teori terbagai posisi pariwisata di wilayah pesisir dan model peluang pengembangan pariwisata di wilayah pesisir. Posisi Pariwisata di Wilayah Pesisir Pariwisata menjadi salah satu sektor diantara sektor lainnya yang tumbuh dan berkembang di wilayah peisisr. Dari sudut spasial dengan meliahat wilayah pesisir sebagai ruang dari berbagai aktivitas maka pariwisata dapat pula terlibat dalam konflik ruang dengan aktivitas lainnya pada wilayah peisisr. Menurut Prideaux, 2009 dalam pandangan holistik antara pariwisata dan wilayah pesisir terdapat 3 posisi pariwisata.

Dari

gambar

disamping

memperlihat ketiga posisi pariwisata yaitu pariwisata

sebagai

inti

dari

aktivitas

ekonomi di wilayah pesisir, pariwisata sebagai salah satu dari banyaknya sektor ekonomi di wilayah pesisir, serta pariwisata sebagai sektor minorintas dalam aktivitas ekomomi di wilayah

peisisr. Signifikasi sektor pariwisata dalam wilayah pesisir turut pula menentukan kebiajakankebijakan di wilayah tersebut. Model Peluang Pengeabangan Pariwisata di Wilayah Peisisr Dalam model peluang pengembangan pariwisata ini merangkum secara keseluruhan pengembangan dalam wilayah pessir dimana pariwisata dilihat sebagai peluang pengembangan dalam ekonomi area pesisir. Disamping peluang yang ada namun terdapat kerbetasan mengingat ekosistem pesisir memiliki kerentanan khususnya secara fisik. Model peluang pengembangan oleh Prideaux, tahun 2009 ini turut juga mempertimbangkan keberadaan komunitas lokal sebagai bagian dari zona pesisir. Selain itu sebagai suatu aktivitas ekonomi di wilayah pesisir Damodaran, 2006 (dalam Prideaux, 2009) menyatakan meningkatnya ketertarikan dalam pengembangan pariwisata menciptakan sebuah tantangan untuk menyeimbangkan tujuan dari konserfasi dan kesetaraan sosial dengan perkembangan ekonomi. Menurut Damodaran, 2006, pariwisata di wilayah pesisir dapat pula menghancurkan mata pencaharian masyarakat setempat yang bergantung pada lingkungan pesisir. Namun demikian dalam model peluan pengembangan, dampak negative pengembangan pariwisata di wilayah pesisir dapat dikurangi dnegan perencanaan yang efektif melalui pendekatan pengelolaan pesisir yang terpadu. Model peluang pengembangan merupakan konsep yang mengadirkan faktor kolektif dalam pilihan pengembangan di wilayah pesisir dengan memperhatikan peluan serta batasan atau hambatan dalam wilayah tersebut.

Gambar Model Peluang Pengembangan Pariwisata di Wilayah Pesisir Sumber: Prideaux, 2009

Metodelogi Untuk mengumpulkan data penulis menggunakan studi pustaka dengan sumber data dari internet berupa data yang dikutip dari website resmi instansi terkaitt serta artikel dari media online. Pembahasan dalam makalah ini menggunakan metode deskriptif berdasarkan data-data yang diperoleh sehingga dapat dijelaskan kondisi yang menjadi dilema kepariwisataan di Labuan Bajo. Gambaran Umum Wilayah Kawasan pariwisata prioritas Labuan Bajo terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Manggarai Barat merupakan kabuapaten yang terbentuk sejak tahun 2003 merupakan kabupaten kepulauan yang terdiri dari 264 pulau diantaranya P. Komodo, dan P. Rimca serta P/ Padar. Secara administratif terdiri dari 10 kecamatan dengan ibukota Labuan Bajo. Batasbatas Kabuapaten Manggarai Barat adalah sebagai barikut: Utara

: Laut Flores

Selatan

: Laut Sawu

Timur

: Kabupaten Manggarai

Barat

: Selat Sape

Peta Kawasan Wisata Labuan Bajo Sumber: pengolahan google maps, 2017

Atraksi utama dari destinasi wisata ini adalah Taman Nasional Komodo. Tahun 1991 Taman Nasional Komodo terdiri dari P. Komodo, P. Rinca, P. Padar serta puluhan pulau kecil di sekitar perairannya ditetapkan oleh UNESCO sebagai situs warisan dunia (Dikutip dari Interaktif Kompas, 2016). Selain satwa langka Komodo, daya tarik lainnya adalah Pantai Pink, Gua Batu Cermin, Manta Point, Loh Buaya,

Gambar Persebaran Daya Tarik di Destinasi Labuan Bajo Sumber: https://interaktif.kompas.id/labuan_bajo

Seiring perkembangan sebagai destinasi wisata prioritas, aksesibilitas menuju kawasan ini semakin mudah. Dari Jakarta sebagai salah satu pintu gerbang pariwisata nasional total waktu tempuh menuju Labuan Bajo kurang lebih 3 jam, dengan menggunakan pesawat terbang dan transit di Bandara Ngurah Rai, Bali. Peningkatan aksesibilitas kawasan wisata ini juga dilakukan dengan pembangunan fasilitas Bandara Internasional Komodo, diantaranya dengan menambah panjang landasan pacu yang memungkinkan pesawat berbadan besar dapat singgah di bandara ini sehiingga lebih efisien dan efektif dalam menganggkut wisatawan. Penggunaan moda transportasi laut berupa kapal merupakan sarana untuk menggakses pulau-pulau kecil di sekitar Kota Labuan Bajo dengan tujuan utama P. Komodo, P. Rinca dan P. Padar.

Gambar Aksesibilitas Menuju Labuan Bajo Sumber: https://kitaina.id/is-there-komodo-dragon-in-padar-island/

Diawal penetapan Komodo sebagai satwa langka oleh UNESCO kunjungan wisatawan pada periode 1980-1990an mencapai 20.000-40.000 wisatawan per tahun. (SUNSPIRIT-ARC-KPA, 2016). Menurut data Kemenpar jumlah kunjungan wisatawan mancanegara di tahun 2013 mencapai 54.147 dengan peningkatan 29,01% dari tahun sebelumnya (Diproleh dari presentasi kemenpar tahun 2016). Menurut data statistik jumlah kunjungan wisatawan ini terus meningkat di

tahun berikutnya. Tahun 2015 dari data kunjungan diperoleh 95.380 dengan perbandingan 76.165 untuk wisatawan asing dan 19.215 untuk wisatawan domestik. Peningkatan jumlah wisatawan mencerminkan perkembangan kegiatan wisata di wilayah ini. Nemaun seiring perkembangannya kegiatan pariwisata turut membawa dilemma bagi wilaya ini.

Pembahasan Pembahasan dalam makalah ini terkait isu-isu yang menjadi dilema kepariwisataan di Labuan Bajo. Pembahasan dalam makalah ini terkait pariwisata dan tambang emas, isu kualitas sdm pekerja pariwisata, isu lingkungan berupa sampah, serta cerminan kehidupan masyarakat lokal dengan contoh kasus di Desa Papanggaran yang menjadi salah wilayah yang masuk dalam zona kawasan Taman Nasional Komodo. Pariwisata di Tengah Isu Keberadaan Tambang Emas Batu Gosok Dalam sejarah perkembangannya pariwisata di Nusa Tenggara Timur khususnya di Labuan Bajo muncul di tengah isu pengembangan tambang emas di wilayah ini. Keberadaan tambang emas di wilayah ini mengalami penolakan dari masyarakat setempat, selain itu izin pertambangan di Batu Gosok tidak sesuai dengan ketetapan Perda Manggarai Barat no. 30 tahun 2005 yang menetapkan peruntukan kawasan sebagai zona komersial dan pariwisata. Tahun2008 pemerintah daerah mengeluarkan izin usaha pertambangan, kemudian di tahun 2010 ozon tersebut dicabut. Pemberlakuan izin mendapat penolakan dari masyarakat dan permehai lingkungan. Potensi pariwisata menjadi alternatif peningkatan ekonomi masyarakat dibanding usaha pertambangan yang dinilai membawa kerusakan pada lingkungan yang menjadi potensi pariwisata. Konflik ruang di wilayah Labuan Bajo juga memberi cerminan adanya transformasi ekonomi di wilayah tersebut. Pariwisata dalam konteks wilayah Labuan Bajo kini berkembangan menjadi salah satu sektor penting bahkan kedepannya dapat menjadi sektor paling penting menggantikan sektor primer seperti pertanian, yang awalnnya berkembang di wilayah ini. Isu yang menjadi dilemma Pariwisata 1. Dominasi pihak asing dalam pariwisata Labuan Bajo dan gambaran kualitas sdm lokal yang belum mampu mengelola pariwisata dengan baik

Pariwisata diharapkan dapat menjadi salah satu sektor untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat lokal. Keberadaan pihak asing di satu sisi mencerminkan perkembangan pariwisata, adanya investasi asing dalam pariwisata Labuan Bajo menandakan potensi yang dimilikinya strategis untuk pengembangan usaha pariwisata. Disisi lain dominasi pihak asing dikhawiatirkan dapat menggeser keberadaan masyarakat lokal. Kesempatan masyarakat lokal untuk bekerja dalam sektor pariwisata menjadi berkurang padahal target unuk pariwsata Labuan Bajo di tahun 2019 adalah kesempatan kerja menjadi 1 juta. Saat ini kualitas sdm yang rendah menjadi kendala bagi masyarakat lokal untuk memilki kesempatan yang luas untuk bekerja dalam sektor pariwisata di Labuan Bajo. Sumber datya manusia lokal Labuan Bajo masih sebatas sebagai pelayam jasa pariwisata. Pihak asing yang mendominasi pariwisata Labuan Bajo umumnya berasal dari Australia, Italia dan Amerika (Dikutip dari National Geographic Indonesia, November 2014). Sejumlah bangunan dan sarana pariwisata Labuan Bajo dalam kepemilikan pihak asing. Homestay, restoran hingga rental diving banyak dikuasi pihak asing. Dalam kasus ini, penulis mengambil contoh keberadaan dive center asing dalam pariwisata Labuan Bajo. Keberadaan dive center asing di satu sisi diyakini turut menambah jumlah kunjungan wisatwan asing, namun di sisi lain dikhawatirkan menggeser masayrakat lokal. Kemudahan komunikasi menggunakan bahasa asing menjadi salah satu keunggulan dari dive center asing ini, sehingga lebih memberi kenyamanan bagi para turis asing. Salah satu strategi pemerintah dalam peningkatan kualitas sumber daya para pekerja pariwisata adalah dengan mengadakan sertifikasi. Berdasarkan data tahun 2016 sertifiasi kompetensi untuk pekerja pariwisata untuk NTT dalam bidang pemandu wisata selam sebanyak 50 orang. Sertifikasi kompetensi ini menjadi salah satu cara peningkatan kualitas sdm masyarakat lokal. 2. Penumpuukan sampah yang mengurangi estetika Labuan Bajo Adanya festival terkait pariwisata seperti sail komodo di tahun 2013, turut memperkenalkan pariwisata Labuan Bajo lebih luas lagi, namun disisi lain meninggalkan timbunan sampah yang merusak estetika dan lingkungan Labuan Bajo. Penumpukan sampah yang menjadi bagian dari dampak pariwisata dapat merusak lingkungan yang menjadi asset pariwisata Labuan Bajo itu sendiri.

Pariwisata Labuan Bajo mengandalkan wisata selam sebagai salah satu kegiatan wisata yang atraktif. Namun sayangnya keberadaan sampah plastic di laut menjadi ancaman bagi keberlangsungan wisata selam tersebut. Sebelumnya dari aksi pembersihan sampah di perairan sekitar Labuan Bajo diperoleh sampah seberat 1.370 kg sampah terdiri dari 448 kg sampah plastik laut, 888 kg sampah di darat (779 kg merupakan sampah non organic sednagn sisanya berupa sampah organic). Jika perairan sekitar Labuan Bajo yang menjadi daya tarik wisata selam tercemar oleh sampah maka berdampak pada berkurangnya minat serta kenjungan wisatawan. Berdasarkan studi WWF pada Mei tahun 2014, 40% wisatawan menyatakan tidak akan kembali lagi jika terjadi keruasaka pada terumbu karang dan biota laut di perairan sekitar Labuan Bajo yang menjadi obyek penyelaman. Keberadaan sampah menjadi konsekuensi peningkatan aktivitas wisata di Labuan Bajo namum perlu pengelolaan yang tepat sehingga tidak meruasak daya tarik Labuan Bajo sebagai destinasi wisata. 3. Keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata di daerahnya Keterlibatan masyarakat dalam pengemabangan pariwisata dimaknai sebagai adanya partisipasi masyarakat dalam memprakarsai, mengelola dan mengembangkan pariwisata di daerahnya. Pendekatan berbasis masyarakat dimana masyarakat memiliki, membangngun serta terlibat langsung dalam pelayanan fasilitas wisata sehingga diharapkan keuntungan dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian penerapan pengembangan pariwisata di Labuan Bajo masih belum sepenuhnya berlaku demikian. Kasus Desa Papagarang menjadi cerminan kurang dilibatkannya masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di wilayahnya. Pro kotra datang dari masyarakat yang masih belum tersentuh secara langsung manfaat pariwisata terutama dalam kehidupan perekonomiannya. Berdasarkan data Kecamatan Komodo, jumlah populasi di Desa Papagarang di tahun 2012 yaitu 1.252 orang. Bersama dengan Desa Pasir Panjang dan Desa Komodo, Papagarang masuk dalam zonasi Taman Nasional Komodo. Kawasan TNK sendiri berada dalam zona permukiman masyarakat tradisional dimana sebagian besar masyarakat bergantung pada laut. Mata pencaharian utama masyarakat di akwasan TNK begitu juga Desa Papagarang adalah nelayan. Pengembangan pariwisata di desa ini menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat. Di mana sebagian masyarakat nelayan merasa terbantu dan mendapat pemahaman tentang konservasi laut sehingga sehingga

potensi laut tetap terus terjaga, namun sebagiannya lainnya merasa ruang gerak mereka dibatasi dalam mencari ikan, sebagian lainnya merasa tidak mendapat manfaat apapun dari pariwisata. Penduduk Desa Papagarang tidak hanya mempertanyakan status wilayah desa yang berada dalam kawasan Taman Nasional Komodo, tetapi juga mempertanyakan manfaat dari pembentukan TNK. Ruang gerak nelayan untuk mencari ikan dibatasi, dimana tempat mereka biasa mencari ikan justru menjadi obyek yang menarik bagi wisawatan untuk aktivitas diving dan snorkeling. Proyek pembangunan pariwisata yang cenderung secara sepihak dilakukan oleh pemerintah telah memberikan ketidaknyamanan bagi masyakarat. Ketidaknyamanan ditunjukan dalam sikap masyarakat seperti mencabuti pilar-pilar yang dibangun diatas lahan mereka. Selain itu peristiwa penangkapan beberapa nelayan oleh apparat keamanan, meninbulkan kecurigaan masyarakat terhadap pemerintah maupun antar sesamanya. Relasi yang terbetnuk cendurung bersifat negative sehingga masyarakat sebagian menolak dengan adanya pembangunan pariwisata di wilayahnya. Kesimpulan Berdasarkan paparan isu terkait dilema kepariwisataan di Labuan Bajo, maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Posisi pariwisata di Labuan Bajo sendiri merupakan salah satu dari sektor yang penting. Hal ini menjadikan perencanaan ruang wilayah Labuan Bajo sendiri diutamakan untuk pengembangan pariwisata. 2. Ditengah peluang pariwisata yang ada muncul hambatan-hambatana yang menjadi dilemma pariwisata di Labuan Bajo. Dilema kepariwisataan itu antara lain isu lingkungan berupa penumpukan sampah, dan dominasi pihak asing yang turut pula mencerminkan kualitas sdm lokal yang masih rendah. Keterlibatan masyarakat sebagaimana menjadi elemen dalam model peluang pengembangan pariwisata di zona pesisir, masih kurang terlihat di wilayah Labuan Bajo. Masyarakat Desa Papagarang sebagai cerminan masayarakat Labuan Bajo itu meruapakan bagan dari dilema kepariwisataan. Terdapat pro kontra terhadap pengembangan pariwisata di daerahnya, sebagian merasa terbantu dalam pemahaman akan konservasi sebagian lainnya merasa ruang gerak dibatasi dalam mencari sumber penghidupan. Timbul pula relasi yang bersifat negatif baik antara masyarakat lokal dengan pemerintah dan antar sesame masyarakat.

Referensi Empat destinasi yang kini menjadi focus pariwisata, data ini diperoleh melalui situs internet https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20171116201131-269-256186/10-bali-baru-kini-tinggalempat-lokasi/. Diunduh pada 21 November 2017. Nirwandar, S. (2011): Pembangunan sektor pariwisata di era otonomi daerah, data ini diperoleh dari situs internet

http://www.kemenpar.go.id/userfiles/file/440_1257-

PEMBANGUNANSEKTORPARIWISATA1.pdf. Diunduh pada 20 November, 2017. Tahun penepatan percepatan pembangunan 10 destinasi pariwisata prioritas, data ini diperoleh melalui situs internet

https://travel.detik.com/travel-news/d-3187358/perpres-10-destinasi-wisata-prioritas-ditarget-

selesai-juni-2016. Diunduh pada 21 November 2017. Setiawan, D. dan Herman, T. R. (2011): Re-thinking kebijakan pembangunan dalam perspektif ekonomi lokal: studi kasus tambang emas Batu Gosok – Labuan Bajo – NTT, Binus Business Review, 2, 466-476 Peta aksesibilitas menuju Labuan Bajo, data ini dieproleh melalui situs internet https://kitaina.id/is-therekomodo-dragon-in-padar-island/. Diunduh pada 20 November 2017. Prideaux, B. (2009): Resort destinations evolution, management and development, Elsevier

More Documents from "Siti Hawa"