Fiqh Ibadah.docx

  • Uploaded by: Ansyari
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fiqh Ibadah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,026
  • Pages: 17
KATA PENGANTAR ‫الر ِحي ِْم‬ ْ ِ‫ب‬ َّ ‫الرحْ َم ِن‬ َّ ِ‫س ِم هللا‬ Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmatNya baik itu berupa nikmat kesehatan serta kesempatan sehingga tugas makalah Hukum Perdata Islam di Indonesia dapat terselesaikan, meskipun masih banyak terdapat kekurangan baik dalam penulisan, pembahasan serta materi muatan yang kami angkat didalamnya. Rasulullah SAW pernah bersabdah tentang pentingnya ilmu pengetahuan diantaranya, “tuntutlah ilmu walaupun dinegeri Cina”. Sakin pentingnya ilmu pengetahuan Rasulullah sampai-sampai memerintahkan menuntut ilmu meskipun itu jauh tempatnya. Kenapa musti ilmu? Karena dengan ilmu pengetahuan maka segalanya akan didapat ridha Allah SWT pun akan didapat. Terima kasih kami ucapkan kepada kedua orang tua kami, dosen pembimbing, karena berkat beliau Hukum Perdata Islam di Indonesia ini dapat kami ketahui meskipun belum sepenuhnya serta teman-teman yang mendukung atas terselesaikannya makalah kami ini. Kami sadar bahwa dalam makalah kami ini terdapat kekurangan. Maka atas saran dan kritiknya kami ucapkan banyak terima kasih, demi perbaikan makalah kami selanjutnya. Mudah-mudahan makalah kami ini dapat berguna bagi penulis sendiri dan siapapun yang membutuhkannya.

DAFTAR ISI SAMPUL KATA PENGANTAR ............................................................ i DAFTAR ISI

............................................................

ii BAB I.PENDAHULUAN

............................................................

1 a.

Latar Belakang Masalah

b. Rumusan Masalah

….....................................................

1

........................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN

...........................................................

3 a.

Pengertian Perkawinan

b. Prinsip Perkwinan

........................................................... 3 .......................................................... 4 ……………..

4

………………….

6

1. Prinsip Perkwinan Menurut UU No 1 Tahun 1974 2. Prinsip Perkwinan Menurut Hukum Islam c.

Pendahuluan Perkawinan

......................................................... …………………………………...

8

2. Syarat Peminangan dan Halangannya

………………….

9

3. Melihat Wanita yang di pinang

………………….

11

1. Pengertian Peminangan

4. Hukum Peminangan&Akibat Hukum Peminangan Di Indonesia BAB III. PENUTUP

7

11

.........................................................

14 a.

Kesimpulan

b. Saran DAFTAR PUSTAKA 15

.........................................................

14

.........................................................

14

.........................................................

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah sunatullah, atau hukum alam di dunia yang dilakukan oleh setiap mahluk yang Allah jadikan secara berpasang-pasanga, sebagaimana firman Allah dalam surat Yasin ayat 36 Menuasia adalah makhluk yang Allah ciptakan lebuh mulia dari makhluk yang lainnya sehingga karenanya Allah telah menetapkan adanya aturan dan tata cara secara khusus sebagai landasan untuk mempertahakan kelebihan derajat yang namanya makhluk menuasia dibanding dengan jenis makhluk lainnya. Begitu pula dengan pandangan mahasiswa sekarang yang mengira bahwa perkawinan hanya ilmu praktek yang tidaklah harus dipenuhi oleh teori-teori yang mengikat sehingga menyusahkan “praktek” perkawinan itu sendiri. Islam

menganjurkan

perkawinan,

islam

tidak

mengajarkan

hidup

membujang yang banyak diyakini para rahib. Allah menegaskan dalam al-qur’an yang artinya : “kawinilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga atau empat”.(QS. An-nisa’4:3). Nikah disyariatkan Allah seumur dengan perjalanan hidup mmanusia, sejak nabi Adam dan Hawa di surga adalah ajran pernikahan pertama dalam islam. Setelah di tentukan pilihan pasangan yang akan di nikahi sesuai dengan kriteria yang di tentukan,Langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk menikahi pilihan yang telah ditentukan.Penyampaian kehendak untuk di nikahi seseorang itu di namai KHITBAH atau dalam bahasa indonesianya di namakan “Peminangan” Atas keprihatinan itu pula, kami kelompok 1 menyusun makalah ini dengan judul PRINSIP-PRINSIP PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN SERTA PEMINANGAN, SYARAT DAN AKIBAT HUKUMNYA. Selain untuk memenuhi tugas perkuliahan, semoga makalah ini menjadi manfaat yang besar bagi kita semua. B. Rumusan Masalah

Untuk menyusun makalah ini, kami menyusun terlebih dahulu rumusan masalah agar penyusunan makalah in dapat dengan mudah kami lakukan dan para pembaca dapat dengan mudah memahami masalah yang kami bahas, yaitu: 1. Definisi Perkawinan 2. Prinsip-prinsip perkawinan 3. Bagaimana Pendahuluan Perkawinan yang Meliputi Peminangan, SyaratSyarat dan Akibat Hukumnya ?

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Islam Secara Etimologi Pernikahan bentukan dari kata benda Nikah kata itu berasal dari kata bahasa arab yaitu Nikkah (bahasa arab: ‫ ) النكاح‬yang berarti perjanjian perkawinan ; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa arab: ‫ )نكاح‬yang berarti persetubuhan.Secara etimologi juga, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab artinya adalah mendekap atau berkumpul. Sedangkan secara terminologi, nikah adalah akad atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara’ yang bertujuan agar seorang laki-laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-senang dengan seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang dengan seorang laki-laki. Menurut Syara’, nikah adalah aqad antara calon suami isteri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri. Aqad nikah artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki. Menurut pengertian fukaha, perkawinan adalah aqad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadl nikah atau ziwaj yang semakna keduanya. 2.Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah : “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Pengertian perkawinan terdapat lima unsur di dalamnya adalah sebagai berikut : a. Ikatan lahir bathin. b. Antara seorang pria dengan seorang wanita. c. Sebagai suami isteri.

d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 merumuskan bahwa ikatan suami isteri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat melepaskan dari agama yang dianut suami isteri. B. Prinsip-Prinsip Perkawinan Menuru UU Perkawinan Dan Hukum Islam 1. Prinsip Perkawinan Menurut UU 1 Tahun 1974 a)

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masingmasing dapat mengembangkan pribadinya, membantu dalam mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b) Dalam Undang-Udang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perturan perundang-undangan yang belaku, pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya denagn pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. c) Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengijinkannya, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan Agama. d) Undang-Udang ini mengatur prinsip, bahwa calon sumai istri itu harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian, dan mendapat keturunan yantg baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah

umur, karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, maka untuk mengerem lajunya kelahiran yang lebih tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Sebab batas umur yang lebuh rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi, berhubungan dengan itu, maka Undang-Udang Perkawinan ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi wanita, ialah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. e) Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut prinsip untuk mempersukar tejadinya perceraian. Untuk memungkin perceraian harus ada alasan-alasan tertentu (pasal 19 Peraturan Pemerintah N. 9 tahun 1975) serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama bagi orang Islam dan Pengadilan Negeri bagi golongan luar Islam. f)

Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri.

2. Dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam perkawinan, yaitu : a.

Harus ada persetujuan secara suka rela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranyanya adalah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.

b. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria, sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan. c.

Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan itu sendiri.

d. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga atau rumah tangga tentram, damai, dan kekal untuk selam-lamanya. e.

Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.

Kalau kita bandingkan prinsip-prinsip dalam perkawinan menurut Hukum Islam dan menurut Undang-Udang Perkawinan, maka dapat dikatakan sejalan dan tidak ada perbedaan yang prinsipil atau mendasar. Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari alquran dan alhadist, yang kemudian di tuangkan dalam garis-garis hukum melalui undangundanhg no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah hukum yaitu sebagai berikut: 1. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal 2. Asas keaabsahan perkawinan di dasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang 3. Asas monogami terbuka 4. Asas calon suami dan isteri telah matang jiwa raganya dapat mel;angsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat sehingga tidak berfikifr kepada perceraian 5. Asas mempersulit terjadinya perceraian 6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan isteri baik dalam kehidupan rumah tangga dan kehidupan masyrakat 7. Asas pencatatan perkawinan. C. Pendahuluan Perkawinan Pendahuluan Perkawinan Menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 adalah Sbb: 1. Segala hal yang berkaitan dengan persyaratan-persyratan yang harus dipenuhi oleh calon-calon mempelai pria dan calon wanita sebelum perkawinan berlangsung. 2. Berkaitan dengan peminangan atau khitbah 3. Berkaitan dengan persyaratan administrasi sebelum pernikahan dilaksanakan.

Segala hal yang berkaitan dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi olehcalon mempelai pria dan wanita adalah masalah-masalah sebagaimana terdapat BAB II SYARAT PERKAWINAN Pasal 6 yang berisi sbb: 1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan calon mempelai 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. 3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin di maksud ayat (2) pasal ini cukup di peroleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. 4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan harus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. 5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4). 6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.  PEMINANGAN A. Pengertian Peminangan dalam ilmu fiqih disebut “khitbah” artinya “permintaan”. Menurut istilah peminangan diartikan sebagai pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk mengawininya baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung ataupun dengan perantaraan pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama.

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 Bab 1 huruf a bahwa pengertian peminangan adalah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita dengan cara-cara yang baik (ma’ruf). Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya (pasal 11 KHI). Peminagan juga dapat dilakukan secara terang terangan (shorih) atau dengan sindiran (kinayah). Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu. Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat. B. SYARAT PEMINANGAN DAN HALANGANNYA Adapun Syarat-syarat peminangan Antara lain: 1. Mustahsinah Mustahsinah adalah syarat yang berupa anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meninang seorang wanita, agar ia meneliti terlebih dahulu wanita yang akan dipinangnya itu. Yang termasuk di dalam syarat ini adalah:

2. Sekufu 

Wanita yang akan dipinang adalah wanita yang mempunyai sifat kasih sayang.



Jauh hubungan kekerabatan dengan laki-laki peminang



Hendaknya mengetahui keadaan jasmani, budi pekerti dan sebagainya dari wanita yang akan dipinang.

3. Lazimah Lazimah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Syahnya peminangan tergantung pada syarat-syarat lazimah. Yang termasuk dalam syarat lazimah adalah:  Wanita tersebut tidak dalam pinangan lelaki lain.  Wanita tersebut tidak dalam masa iddah.  Wanita tersebut bukan mahram. Pasal 12 ayat (1) KHI menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Ini dapat difahami sebagai syarat peminangan. Selain itu wanita yang dipinang haruslah tidak terdapat halangan sebagai berikut, KHI pasal 12 ayat (2),(3),dan(4). 2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah,

haram dan dilarang untuk dipinang.

3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dan pihak wanita. 4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang. Maka dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa wanita yang statusnya kebalikan dari yang dijelaskan tersebut diatas, maka tidak terhalang untuk dipinang.

C. MELIHAT WANITA YANG DIPINANG Melihat wanita yang dipinang dianjurkan oleh agama. Tujuannya adalah agar mengetahui keadaan wanita yang dipinang agar tidak ada alasan untuk mencerai istri dengan alasan tersebut (misalnya cacat dls). Dalam agama islam, melihat perempuan yang akan dipinang itu diperbolehkan selama dalam batas-batas tertentu, Mengenai bagian badan wanita yang boleh dilihat ketika dipinang, para fuqaha berbeda pendapat. Imam malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak tangan. Abu daud membolehkan melihat seluruh badan, kecuali dua kemaluan. Sedangkan Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka, dan dua telapak tangan. Berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan dengan firman dalam surah al Nuur ayat 31: “...Dan janganlah mereka (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak pada dirinya...” yang di maksud “perhiasan yang biasa tampak daripadanya” adalah muka dan dua telapak tangan. D. HUKUM PEMINANGAN DAN AKIBAT HUKUM PEMINANGAN DI INDONESIA Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa peminangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama’ cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap. Disamping itu, kebolehan peminangan ini sudah dijelaskan sesuai dengan hadis Fatimah binti Qais r. a., pada waktu itu Fatimah bercerita kepada nabi SAW bahwa dia telah dilamar dua orang laki- laki. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa peminangan adalah sudah ada dan diperbolehkan Undang-undang

Perkawinan

sama

sekali

tidak

membicarakan

peminangan. Hal ini mungkin disebabkan peminangan itu tidak mempunyai hubungan yang mengikat dengan perkawinan

Peminangan di Indonesia, diatur dalam KHI bab 1 (ketentuan umum) pasal 1a, dan bab III tentang peminangan pasal 11-13. Definisi peminangan dijelaskan dalam bab 1 pasal 1a yaitu kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Penjelasan bab tiga pasal 11-13 yaitu : Pasal 11 menjelaskan peminangan dapat dilakukan oleh orang yang mencari pasangan, atau lewat orang perantara yang dipercaya. Pasal 12, ayat (1) menjelaskan bahwa peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita perawan atau janda yang habis masa iddahnya. Ayat (23) menjelaskan haram meminang wanita yang ditalak dalam masa iddah raj’iah, dan meminang wanita yang sedang dipinang pria lain. Ayat (4) menjelaskan tentang putusnya peminangan dari pihak laki-laki. Pasal 13 ayat (1-2) menjelaskan peminangan belum menimbulkan akibat hukum, jadi masih bebas memutuskan pinangan tetapi harus sesuai dengan agama dan adat setempat. Pada prinsipnya apabila peminangan telah dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang wanita, belumlah berakibat hukum. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam KHI pasal 13 ayat: 1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan. 2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai. 3) Karena peminangan pada prinsipnya belum berakibat hukum, maka diantara mereka yang telah bertunangan, tetap dilarang untuk berkhalwat (bersepi-sepi berdua) sampai dengan mereka melangsungkan akad perkawinan.

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1, Perkawinan adalah :“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” 2. Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari alquran dan alhadist, yang kemudian di tuangkan dalam garis-garis hukum melalui undangundanhg no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan kompilasi hukum islam tahun 1991 mengandung 7 asas kaidah hukum 3. Peminangan dalam ilmu fiqih disebut “khitbah” artinya “permintaan”. Menurut istilah peminangan diartikan sebagai pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada pihak seorang wanita untuk mengawininya baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung ataupun dengan perantaraan pihak lain yang dipercayainya sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. 4. Mayoritas ulama’ mengatakan bahwa peminangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan B. SARAN Semoga apa yang kami sampaikan ini dapat berguna bagi kita semua, apabila ada kesalahan dalam penulisan kami mohon maaf. Kepada Allah saya memohon ampun. Saran dan kritikan yang membangun sangat kami harapkan guna penyempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Perkawinan.2007 Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, 2011. Hukum Perdata Islam di Indonesia,Pustaka Setia:Bandung http://sabanhukum.blogspot.com/2012/03/makalah-data-hukum-perdataislam.html http://masroni-wardi.blogspot.com/2012/04/prinsip-prinsip-perkawinanmenurut.html l

Related Documents

Fiqh
November 2019 66
Fiqh Fix.docx
April 2020 9
Fiqh Lessons
November 2019 21
Liens Fiqh
May 2020 9
Project-fiqh
April 2020 10
Fiqh Qurban
June 2020 20

More Documents from ""

Fiqh Ibadah.docx
May 2020 5
1.docx
December 2019 11
Infodatin-asma.pdf
June 2020 1