MAKALAH ILMU FIQIH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ilmu fiqh Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Moh. Najib M.Ag dan Hj. Dzulbaedah M.Ag
Disusun Oleh : 1. Diana Nurhasana
(1173050028)
2. Dicky Darmawan
(1173050029)
3. Difa Dwi L
(1173050030)
4. Dikha V
(1173050031)
5. Dimas Alf’ian
(1173050032)
6. Eka S
(1173050133)
7. Eli Saripatusofa
(1173050034)
8. Elivia
(1173050035)
9. Emaeve
(1173050036)
Kelas / Semester : A/1
Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung 2017
KATA PENGANTAR Puji dan syukur marilah kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas ridho dan karunia-Nya lah kami dapat menyelesaikan Makalah ini mengenai “sebab – sebab perbedaan pendapat ulama” Makalah ini merupakan makalah yang diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqh . Dalam penyelesaian penulisan , penulis secara langsung atau tidak langsung mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada : 1. Orang tua yang telah memberikan dukungan serta do’a untuk kesuksesan penulis. 2. Prof. Dr. H. Moh. Najib M.Ag dan Hj. Dzulbaedah M.Ag, selaku dosen pengampu mata kuliah ilmu fiqh Dalam penyusunan makalah ini kami banyak mengalami kesulitan dan kendala yang disebabkan oleh keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan wawasan serta pola pikir kami. Namun berkat keinginan, keyakinan dan usaha yang sungguh-sungguh akhirnya semua hambatan itu dapat kami atasi. Kami menyadari masih terdapatnya kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran sangat kami harapkan untuk membangun atau menyempurnakan makalah ini. Tidak lupa kami berterimakasih kepada rekan-rekan yang telah banyak membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Bandung, 23 November 2017
Penulis
i
Daftar Isi
Kata Pengantar ………………………………………………………………………..….i Daftar Isi …………………………………………………………………………………ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….1 1.2 Identifikasi Masalah………………………………………………………….1 1.3 Tujuan………………………………………………………………………..2 BAB II PEMBAHASAN Enam Penyebab Perbedaan Pendapat ulama …………………………………… 3 Ikhtilaf (Perbedan Pendapat Ulama) dalam Hukum Islam ………………..…......6 Sebab – Sebab Terjadinya Ikhtilaf ………………………………………….....…7 Penjelasan dari Masing – Masing Penyebab Ikhtilaf ………………………….…6 A. Perbedaan dalam Penerimaan Hadits ………………………………….…8 B. Perbedaan dalan Menilai Periwayatan Hadits …………………………...11 C. Ikhtilaf tentang Kedudukan Rasulullah SAW …………………………...12 Penutup …………………………………………………………………………………...15 Daftar Pustaka ……………………………………………………………………………iii
ii
BAB I PENDAHALUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah perkembangan hukum Islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW ketika beliau masih hidup. Tetapi berbedaan itu segera dapat diselesaikan dengan mengembalikannya kepada Rasululloh SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum. Salah satu kenyataan dalam fiqh adalah adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Meskipun demikian kebijaksanaan fiqh menetapkan bahwa keluar dari perbedaan pendapat itu disenangi, dan mendahulukan apa yang telah disepakati daripada hal-hal lain dimana terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama Dalam makalah ini akan dijelaskan para ulama’ berbeda pendapat dalam menetapkan suatu hukum Dalam peta keilmuan Islam, Ilmu tafsir merupakan ilmu yang tergolong belum matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Setiap periode memiliki perkembangan sampai saat ini. Meskipun sama-sama berusaha mengungkapkan makna Al-Qur’an, masing-masing menggunakan cara dan pendekatan yang berbeda. Sehingga tidaklah mengherankan, ketika metode yang digunakan oleh para ulama dalam penafsiran Al-Qur’an juga mengalami perkembangan yang dinamis dari zaman ke zaman.
1.2 Identifikasi Masalah Dari penjelasan yang sudah dijelaskan oleh penyusun pada Latar Belakang tersebut, maka tersusulah masalah sebagai berikut: 1. Apa pengertian perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-ulama)? 2. Bagaimana klasifikasi ikhtilaf para ulama? 3. Apa sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama?
1
1.3 Tujuan Masalah 1. Mengetahui apa saja perbedaan para ulama 2. Mengetahui mengapa adanya perbedaan ulama 3. Mengetahui adanya hikmah perbedaan ulama
2
BAB II PEMBAHASAN
6 Penyebab Perbedaan Pendapat Ulama Perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum syar’iyah tidak hanya terjadi antar madzhab, perbedaan pendapat ulama ini juga terjadi dalam lingkungan madzhab mereka. Banyak orang mengingkari perbedaan pendapat ulama ini, disebabkan keyakinannya yang menyatakan bahwa agama ini satu, syariat juga satu, kebenaran itu satu tidak bermacam-macam dan sumber hukum hanya satu yaitu wahyu ilahi. Selanjutnya mereka mengatakan, mengapa harus ada perbedaan pendapat, dan mengapa madzhab-madzhab fiqh tidak menyatu?. Mereka menyangka bahwa perbedaan pendapat ulama akan berakibat terjadinya benturan-benturan dalam syariah dan perpecahan, dan menyamakan perbedaan pendapat ini sama seperti perpecahan yang terjadi dalam tubuh agama Kristen yang terpecah menjadi Ortodoks, Katolik dan Protestan. Semuannya ini adalah kesalahpahaman yang batil. Perlu diketahui bahwa perbedaan pendapat ulama merupakan rahmat yang memberikan kemudahan bagi umat Islam, menjadi kekayaan intelektual yang besar yang dapat dibanggakan. Perbedaan pendapat ini hanya sebatas perbedaan far’iyah (cabang) dan metode ilmiah, bukan dalam ushul, pondasi agama dan i’tikad. Dalam sejarah Islam, tidak ditemukan bahwa perbedaan pendapat ini menjadi biang perpecahan, permusuhan dan pengoyak kesatuan muslimin. Perlu dijelaskan bahwa perbedaan ulama hanya sebatas akibat dari perbedaan metode pengambilan hukum yang menjadi kebutuhan pasti dalam dalam memahami hukum dari dalil-dalil syariah, seperti perbedaan dalam masalah penafsiran nash-nash hukum berikut penjelasanpenjelasan yang dilakukan. Hal ini disebabkan karakter bahasa Arab yang terkadang mempunyai makna lebih dari satu, juga disebabkan riwayat hadits, kwalitas keilmuan ulama, atau disebabkan adanya upaya ulama tertentu dalam menjaga kemaslahatan dan kebutuhan secara umum.
3
Semua penyebab perbedaan tidak menafikan sumber hukum syariah yang satu dan kesatuan syariah itu sendiri, karena pada dasarnya perbedaan dalam syariah itu tidak ada. Perbedaan pendapat hanya disebabkan oleh kelemahan manusia. Akan tetapi kita boleh mengamalkan satu hukum dari pendapat-pendapat yang bebeda, untuk menghilangkan kesulitan dalam umat dimana tidak ada jalan lain setelah terputusnya wahyu, kecuali mengambil apa yang terkuat dari sebuah dugaan para ulama terhadap apa yang mereka pahami dari dalil-dalil syara’. Rasulullah SAW bersabda: وإن أخطأ فله أجر واحد،إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران “JIka seorang hakim berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala. Dan jika salah maka baginya satu pahala”. (Hadits Muttafaq Alaih) Berikut adalah enam penyebab penting perbedaan pendapat ulama dalam mengambil hukum syariah: 1. Perbedaan Dalam Memaknai lafadz-lafadz Arabiah. Perbedaan dalam memberikan makna ini disebabkan oleh bentuk lafadz yang global (mujmal), mempunyai banyak makna (musytarak), mempunyai makna yang tidak bisa dipastikan khusus atauumumnya, haqiqah dan majaz-nya, haqiqah dan 'uruf-nya,atau disebabkan mutlaq atau muqayyad-nya, atau perbedaan I’rab. Contoh simpel dari penyebab ini adalah pemaknaan lafadz “al-Qur’u”, apakah dimaknai suci atau haid. Juga seperti lafaz amr (perintah), apakah menunjukkan wajib atau sunat. Dan masih banyak contoh yang lain. 2. Perbedaan Riwayat Perbedaan riwayat hadits yang menjadi rujukan hukum diakibatkan oleh beberapa hal. Pertama adalah adanya hadits yang hanya sampai kepada satu mujtahid dan tidak sampai pada mujtahid yang lain. Kedua adalah sampainya satu hadits kepada seorang mujtahid dengan sanad yang dla’if, sementara hadits tersebut sampai kepada mujtahid yang lain dengan sanad yang shahih. Ketiga: Seorang mujtahid berpendapat bahwa terdapatnya perawi dhaif dalam riwayat sabuah hadits membuat hadits tidak dapat diterima, sedangkan mujtahid yang lain tidak demikian.
4
3. Adanya Perbedaan Dasar hukum Perbedaan dasar hukum yang dimaksud ialah dasar hukum selain al-Quran, hadits dan ijma’, seperti Istihsan, mashalih mursalah, qaul shahabi, istishab dan sadd al-dzariah
4. Perbedaan dalam Kaidah-kaidah usul Perbedaan ini seperti perbedaan pendapat tentang digunakannya kaidah “al-‘am almakhsush laisa bihujjah/lafadz yang bermakna khusus yang dikhususkan tidak dapat dijadikan hujjah”, “Al-mafmun laisa bihujjah/kepahaman konteks tidak bisa dijadikan hujjah” dan lain-lain. 5. Ijtihad Menggunakan Qiyas. Ini adalah penyebab yang paling luas, dimana ia mempuyai dasar, syarat dan illat. Illat pun juga mempunyai syarat dan tata cara dalam mengaplikasikannya. Semua ini menjadi potensi bagi timbulnya perbedaan. 6. Pertentangan Dasar Hukum berikut Tarjihnya Masalah ini sangat luas yang menjadi perbedaan pandangan dan menimbulkann banyak perdebatan. Masalah ini membutuhkan ta’wil, ta’lil, kompromi (jam’u), taufiq, naskh dan lainlain. Dengan penjelasan ini dapat diketahui bahwa hasil ijtihad para imam madzhab tidak mungkin untuk diikuti semua, meskipun boleh dan wajib mengamalkan salah satunya. Semua perbedaan adalah masalah ijthadiyah, dan pendapat-pendapat yang bersifat dzanni (dugaan), yang harus dihormati dan dianggap sama. Amatlah salah jika perbedaan tersebut menjadi pintu timbulnya fanatisme, permusuhan dan perpecahan diantara kaum muslimin yang telah disifati dalam alQur’an sebagai umat yang bersaudara dan diperintah untuk berpegang teguh kepada tali Allah. Wallahul Musta’an
5
IKHTILAF (PERBEDAAN PENDAPAT ULAMA) DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian ikhtilaf ( perbedaan pendapat) Ikhtilaf menurut bahasa adalah perbedaan paham (pendapat). Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya adalah : khalafa- yakhlifu-khilafan ( (خالفا- يخلف-) خلف, maknanya lebih umum daripada al-dhiddu ()الضد, sebab setiap hal yang berlawanan : al diddain () الضدين, pasti akan saling bertentangan (mukhtalifan) () مختلفا. Ikhtilaf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau beberapa orang terhadap suatau ubyek (masalh) tertentu, baik berlainan itu dalam bentuk tidak sama ataupun bertentangan secara deamitral. Jadi yang dimaksud ihtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian (ketentuan) hukum
terhadap
satu
obyek
hukum.
Sedangkan yang dimaksud ikhtilaf dalam pembahasan ini disini, adalah perbedaan pendapat diantara ahli hukum islam (fukahaq) dalam menetapkan sebagian hukum islam yang bersifat furu’iyyah, bukan pada masalah hukum islam yang bersifat ushuliyyah (pokok-pokok hukum islam), disebabkan perbedaan pemahaman atau perbedaan metode dalam menetapkan hukum suatu masalah dan laian-lain. Misalnya perbedaan pendapat fukahaq tentang hukum wudu’ seorang lelaki yang menyentuh perempuan dan hukum membaca surah al-Fatihah bagi ma’mum dalam sholat, Perbedaan
dan pendapat
dalam
hukum
lain-lain. islam
(الفقهية
)اإلختالفة
Bagaikan buah yang banyak yang berasal dari satu pohon, yaitu pohon al-Qur’an dan sunnah, bukan sebagai buah yang banyak yang berasal dari berbagai macam pohon. Akar dan batang pohon itu adalh al-Qur’an dan sunnah, cabang-cabangnya adalah dalil-dalil naqli dan aqli, sedangkan buahnya adalah hukum islam (fiqh) meskipun berbeda-beda atau banyak jumlahnya. Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara orang awam dari kaum Muslimin dan Ahlul kitab yang mengikuti pendapat pendeta mereka. Orang awam dari Kaum Muslimin yang mengikuti pendapat imam-imam mereka, pendapatnya diistinbatkan dari al-Qur’an dan sunnah, sebagaimana diperintahkan َتَ ْعلَ ُمون
Allah ََل
ُك ْنت ُ ْم
dalam إِّ ْن
الذ ْك ِّر ِّ
firmannya: أ َ ْه َل
فَا ْسأَلُوا
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, ( Q.S. AL-Nahl: 43) 6
Sedangkan Ahlul kitab yang di dalam beragama mengikuti pendapat-pendapat para pendeta dan ulama mereka, sumbernya adalah dari diri para pendeta sendiri yang menurut al-Qur’an banyak yang bertentangan dengan perintah Tuhan mereka. Hal ini dijelaskan Allah dalam firmannya: َّ ُون ِّمن أ َ ْربَابًا َو ُر ْه َٰبَنَ ُه ْم ار ُه ْم ٱت َّ َخذ ُ ٓو ۟ا ِّٱّلل َ َأَحْ ب ِّ د Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah.(Q.S. al-Taubah: 31) Diterangkan dalam hadits bahwa ketika datang Adiy bin Hatim al- Tha’iy kepada Rasulullah SAW. Dan beliau membaca ayat ini, lalu Adiy berkata, saya berpendapat bahwa mereka itu tidak menyembah mereka (orang-orang yang zaim atau rahib-rahib mereka) Maka Rasulullah SAW. Bersabda, Tentu saja mereka itu menyembahnya, bahwa sanya mereka (orang-orang alim dan pendeta-pendeta mereka) telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram kepada mereka, kemudian mereka (ahlu al-kitab) itu mengikutinya, begitulah cara penyembahan mereka kepadanya. Hal ini dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir.
B. Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf Dalam sejarah perkembangan hukum islam, perbedaan pendapat mengenai penetapan hukum beberapa masalah hukum, telah terjadi di kalangan para sahabat Nabi SAW. Ketika beliau masih
hidup.
Tetapi
perbedaan
pendapat
itu
segera
dapat
dipertemukan
dengan
mengembalikannya kepada Rasululla SAW. Setelah beliau wafat, maka sering timbul di kalangan sahabat perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum terhadap masalah (kasus) tertentu, misalnya Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada para saudara si mayat, karena kakek dia jadikan seperti ayah, dimana nash menyatakan, bahwa ayah menghijab (menghalagi) kewarisan para saudara. Sedang Umar bin Khathtab memberikan warisan dari si mayat kepada para saudara tersebut, karena kakek termasuk dalam kata-kata ayah yang dinyatakan dalam nash. Perbedaan pendapat dikalangan Shahabat Nabi itu, tidak banyak jumlahnya, karena masalah yang terjadi pada masa itu tidak sebanyak yang timbul pada generasi berikutnya.
7
Disamping itu, perbedaan pendapat yang terjadi dikalangan sahabat dan Tabiin (setelah masa sahabat) serta para ulama mujtahidin tidak menyentuh masalah yang tergolong sebagai dasardasar agama yang termasuk ( ما علم من الدين باالضرورةyang telah diketahui dalam agama tanpa perlu dalil) dan hal-hal yang telah diijmakan serta ditunjukan oleh nash-nash yang qath’i. Terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum Islam, di samping disebabkan oleh faktorfaktor yang bersifat manusiawi, juga oleh faktor lain karena adanya segi-segi khusus yang bertalian dengan agama. Faktor penyebab itu mengalami perkembangan sepanjang pertumbuhan hukum pada generasi berikutnya. Makin lama makin berkembang sepanjag sejarah hukum islam, sehingga kadang-kadang menimbulakan pertentangan keras, utamanya di kalangan orang-orang awam. Tetapi pada masa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, masalah khilafiyah tidak begitu dipersoalkan lagi, apabila ikhtilaf ini hanya dalam masalah furu’iyyah yang terjadi karena perbedaan
dalam
berijtihad.
Setiap mujtahid berusaha keras mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menemuka hukum Allah dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang memerlukan penjelasan dan penegasan hukumnya. Dasar dan sumber pengambilan mereka yang pokok adalah sama, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Tetapi terkadang hasil temuan mereka berbeda satu sama lain dan masing-masing beramal sesuai denga hasil ijtihadnya, yang menurut dugaan kuatnya adalah benar dan tepat. Syekh Muhammad al-Madany dalam bukunya Asbab ikhtilaf al-fuqaha membagi sebab-sebab ikhtilaf itu kepada empat macam yaitu: 1. Pemahaman al-Qur’an da sunnah Rasulullah SAW. 2. Sebab-sebab khusus tentang sunnah Rasulullah SAW. 3. Sebab-sebab yang berkenaan dengan qaidah-qaidah ushuliyyah atau fiqhiyyah 4. Sebab-sebab yang khusus mengenai penggunaan dalil di
luar
al-Qur’an
dan
sunnah
Rasulullah
SAW.
Penjelasan dari masing-masing penyebab ikhtilaf itu adalah sebagai berikut: 1) Pemahaman Al-Qur’an dan Al-Sunnah Seperti dmaklumi, sumber utama Syari’at Islam adalah al-Qur’an dan sunnah Rasul. Keduanya berbahsa Arab. Diantara kata-katanya ada yang mempunyai arti lebih dari satu (musytarak). Selain itu dalam ungkapannya terdapat kata am (umum) tetapi yang dimaksudkanya “khusus” . adapun perbedaan tinjauan dari segi Lughwi dan urfi serta dari segi mantuq dan mafhumnya.
8
.berikut ini dikemukakan dua contoh mengenai kata musytarak ( )مشتركdalam nash al-Qur’an yang menimbulkan
ikhtilaf
tersebut.
Pertama kata يعفو, kata ini mengandung dua arti musytarak yaiatu ( يسقطmenggugurkan), dan يهب (menghibahkan). Konsekuensinya, para mujtahid berbeda pendapat dalam menentukan siapakah yang berhak membebaskan sebagian mahar yang telah ditentukan, apakah wali ataupun suami. al-Qur’an mengenai masalah tersebut adalah: َ َو ِّإن ٓ َّ ضت ُ ْم ِّإ ٱلنكَاحِّ ۚ َوأَن ْ ف َما فَ َر ْ طلَّ ْقت ُ ُموه َُّن ِّمن قَ ْب ِّل أَن ت َ َمسُّوه َُّن َوقَدْ فَ َر ُ َل أَن َي ْعفُونَ أ َ ْو َي ْعفُ َو ۟ا ٱلَّذِّى ِّب َي ِّدِّۦه ِّ ُ ع ْقدَة ْ ضةً فَ ِّن ُ ص َ ضت ُ ْم لَ ُه َّن فَ ِّري َّ صير بِّ َما إِّ َّن ۚ بَ ْي َن ُك ْم ض َل س ُو ۟ا َو ََل ۚ ِّللت َّ ْق َو َٰى ت َ ْعفُ ٓو ۟ا َت َ ْع َملُون ْ َْٱلف ُأ َ ْق َرب ِّ َب َٱّلل َ ت َن Nash
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema’afkan atau dima’afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah dan pema’afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.( QS.al-Baqarah:237) Kata الذي بيده عقدة النكاحdapat diartikan wali nikah dan dapat pula diartikan suami. Kalau kata يعفو diartikan يسقطه, lebih sesuai kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاحitu adalah wali, yaitu sebagai wali yang membebaskan kepada suami dari keharusan membayar mahar yang separuhnya lagi yang merupakan hak anaknya; artinya dibebaskan. Tetapi kalau kata يعفوdiartikan dengan يهب maka sesuailah kalu yang dimaksud dengan الذي بيده عقدة النكاحitu adalah suami, karena suami dalam kasus perceraian seperti itu hanya diwajibkan membayar separuh dari mahar yang telah ditentukan sebelumnya, sedangkan ia membayar mahar penuh. Dan jika suami itu membayar mahar penuh, berarti
ia
(suami)
menghibahkan
haknya
yang
separuhnya
lagi
kepada
istrinya.
Pendapat pertama dipelopori oleh ibrahim , alqamah, hasan, malik dan imm syafi’i, dalam qaul qadimnya. Pendapat kedua dipelopori oleh ali bian abi tahalib, syuraih, sa’id bin al- musayyab, abu
hanifah
dan
imam
syafi’i
dalam
qaul
jadidnya.
Alasan ataupun dalil dari kedua pendapat tersebuat, baik dari al-Qur’an, maupun dari Sunnah Rasul secara lebih luas, insyaallah akan dijelaskan dalam materi kuiah perbandingan mazhab secara praktis.
9
2) Sebab-sebab khusus mengenai sunnah Rasulullah SAW. Sebab
khusus
mengenai
sunnah
rasulullah
SAW.
yang
menonjol
antara
lain:
a. Perbedaan dalam penerimaan hadist, sampai atau tidaknya suatu hadist kepada sebagian sahabat, b. Perbedaan dalam menilai periwayatan hadist (sahih atau tidaknya) c. Perbedaan mengenai kedudukan syakhsiyyah rasul. Penjelasan hal tersebut sebagai berikut:
a. Perbedaan dalam penerimaan hadist Seperti dima’lumi, para sahabat yang menerima dan menyampaikan (meriwayatkan hadist), kesempatannya tidak sama. Ada yang banyak menghadiri majlis rasul, tentunya mereka inilah yang banya menerima hadistsekaligus meriwayatkannya. Tetapi banyak pula diantara mereka yang sibuk dengan urusan-urusan peribadunya, sehingga jarang menghadiri majlis rasul, padhal biasanya dalam majlis itula rasul menjelaskan masalah-masalah yang ditanyakan atau menjelaskan hukum sesuatu; memerentah atau melarang dan menganjurkan sesuatu contoh mengenai ini adaalah رؤوسهن
sebagai ينقضن
أن
غتسلن
إذا
berikut:
النساء
يأمر
كان
عمر
ابن
أن
Ibnu Umar memberi fatwa, bahwa bila wanita mandi junub hendaklah membuka (mengudar) sanggulnya, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim. Setelah mendengar fatwa itu, Siti Aisyah RA. يحلقن
Merasa يأمرهن
أفال
رؤوسهن
heran ينقضن
أن
اغتسلن
dan إذا
النساء
يأمر
berkata: هذا
عمر
َلبن
عجبا
رؤوسهن Sungguh aneh Ibnu Umar ini memerintahkan kaum wanita apabila mereka mandi janabah untuk mengudar sanggul. Jika demikian, apakah tidak lebih baik menyuruh mereka untuk mencukur rambut saja.
10
Kemudian
Aisyah
meriwayatkan
hadits
mengenai
soal
itu
sebagai
berikut:
لقد كنت أغتسل مع رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من إناء واحد وما أزيد علي أن أفرغ على رأسي ثالث إفراغات Sungguh aku pernah menjadi bersama Rasulullah SAW. Dari satu bejana dan aku menyiram rambut kepalaku tidak lebih dari tiga siraman. Contoh lain adalah riwayat al-Zuhri, bahwa Hindun belum mendengar (mengetahui) hukum shalat mustahadhah, sehingga ia senantiasa menangis karena tidak dapat melaksanakan shalat: أن هندا لم تبلغها رخصة رسول هللا صلى هللا عليه وسلم في المستحاضة وهي التي ينزل عليها الدم بعد أقص مدة الحيض فكانت )َلتصليعليه
َلنها
تبكي
Dari Aisyah RA. Ia berkata, bahwa fathimah binti Hubaisy menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata, Ya Rasulullah aku adalah seorang wanita mustahadhah, bolehkah aku meninggalkan shalat? Rasul menjawab, Tidak, sesungguhnya darah tersebut penyakit, bukan darah haid, maka bila datang waktu haid, tinggalkanlah shalat, dan bila selesai waktu haid, cucilah darah itu, kemudian shalatlah. (H.R. AL-Bukhari dan Muslim).
b. Perbedaan dalam menilai periwayatan Hadis Adakalanya sebagian ulama memandang periwayatan suatu hadits shahih, sedangkan menurut ulama yang lain tidak, misalnya karena tidak memenuhi semua persyaratan yang telah mereka tentukan.
Penilaian
ini
meliputi
segi
sanad,
maupun
matannya.
Contoh dari segi sanad, adaah seperti hadist yang dijadikan dasar oleh imam syafi’i tentang wajibnya
membaca
al-fatihah
bagi
ma’mum
dalam
shalat:
إني أراكم تقرؤون: صلى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم الصبح فثقلت عليه القراءة فلما انصرف قال: عن عبادة بن صامت قال ) َل تفعلوا إَل بأم القرآن فإنه َل صالة لمن لم يقرأ بها (رواه داود: قال، وهللا، قلنا يا رسول هللا، قال. وراء إمامكم Dari ubadah bin shamit, ia berkata bahwa rasulullah SAW.Telah sholat subuh agak panjang bacaannya, maka setelah selsai shalat, rasulullah berkata,’’ aku memperhatikan kalian membaca dibelakang imam.’’kami menjawab, ‘’ya rasul, demi allah memang kami baca. ‘’rasulullah berkata, ‘’jangan lah kmu membaca, kecuali ummul Qur’an (al-fatihah) karena sesungguhnya tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca. (H. R. Abu daud).
11
c. Ikhtilaf tentang kedudukan Rasulullah SAW. Sebagaimana dimaklumi, bahwa Rasul di samping keberadaannya sebagai Rasul, juga sebagai manusia biasa (Q.S. al-Kahfi:110). Kadang-kadang beliau bertindak sebagai panglima perang, sebagai kepala negara dan sebagainya. Karena itu, tindakan dan ucapan yang dilakukan beliau tidak sama kedudukannya, kalau dikaitkan dengan keberadaan pribadinya ketika melakukannya. )من أحيا أرضا ميتة فهي له (روه الثالثة:عن سعيد بن زيد عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال Barang siapa menganggap tanah mati, maka dialah pemiliknya. Mengenai hadis ini ulama berbeda pendapat tentang apakah hal itu dinyatakan oleh Rasul sebagai kepala negara. Jika demikian, tidak setiap pemilikan tanah yang belum ada pemiliknya itu secara otomatis menjadi miliknya, melainkan harus melalui prosedur yang berlaku pada waktu itu dan pada negara di mana orang itu masih hidup. Sebaliknya jumhur fuqaha yang memandang hadits itu dinyatakan Rasul dalam kedudukannya sebagai Rasul, berpendapat bahwa kepemilikan tanah mati itu tidak lagi harus melalui prosedur-prosedur negara tertentu, tetapi secara otomatis menjadi milik penggarap. Demikian pula dengan hadits Rasul berikut ini: من قتل قتيال عليه بينة فله سلبه: قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم. Barang siapa yang membunuh musuh dan memiliki keterangan (bukti-bukti) yang lengkap, maka dialah yang berhak terhadap apa yang ada pada terbunuh (rampasan) 3. Perbedaan Mengenai Qawa’id Ushuliyyah dan Qawa’id Fiqhiyyah Sebab-sebab perbedaan pendapat yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul di antaranya adalah mengenai istisna yakni: apakah istisna yang terdapat sudah beberapa jumlah yang di athafkan satu sama lainnya, kembali kepada semuanya ataukah kepada jumlah terakhirnya saja. Jumhur fuqaha berpendapat bahwa istisna (pengecualian) itu kembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, istisna itu hanya kembali kepada jumlah terakhirnya saja. Perbedaan kaidah ini jelas sekali pengaruhnya dalam menafsirkan firman Allah SWT. ٓ ۟ ُش َهدَآ َء فَٱجْ ِّلد ُو ُه ْم ثَ َٰ َمنِّينَ َج ْلدَة ً َو ََل ت َ ْقبَل ۟ ُ ت ث ُ َّم لَ ْم يَأْت ُ وا بِّأ َ ْربَعَ ِّة َ وا لَ ُه ْم َش َٰ َهدَة ً أَبَدًا ۚ َوأُ ۟و َٰلَئِّكَ ُه ُم ْٱل َٰفَ ِّسقُون ِّ َص َٰن َ َْوٱلَّذِّينَ يَ ْر ُمونَ ْٱل ُمح Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.(Q.S. al-Nur. 4) Dari ayat di atas, dapat disimpulkan, bahwa hukuman bagi orang yang menuduh zina tanpa membuktikan dengan empat orang saksi, adalah sebagai berikut: a. Dera delapan puluh kali b. Dicabut haknya untuk menjadi saksi apapun c. Orang itu dinyatakan fasik Kemudian datang istisna (pengecualian) bagi orang-orang yang bertaubat, yaitu pada ayat berikutnya: 12
۟ صلَ ُح ۟ ِّإ ََّل ٱ َّلذِّينَ تَاب َّ وا فَإ ِّ َّن ٱّللَ َغفُور َّر ِّحيم ْ َُوا ِّم ۢن َب ْع ِّد َٰذَلِّكَ َوأ Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Q.S. al-Nur. 5) Bagi orang yang berpendapat bahwa istisna (pengecualian) itu kembali kepada jumlah terakhir saja, maka bila orang itu telah bertaubat, tidak lagi dinyatakan fasik, dan tetap harus dikenakandera serta belum bisa dijadikan saksi. Adapun pendapat kedua, yang menyatakan bahwa istisnakembali kepada semuanya, orang yang sedang bertaubat itu tidak lagi dinyatakan fasik, dan juga dikembalikan haknya untuk menjadi saksi, tetapi masih tetap dihukum dera, karena hukuman dera ini menyangkut hak manusia yang tidak bisa digugurkan dengan taubat. Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang berkaitan dengan kaidah-kaidah fiqhiyyah contohnya antara lain sebagai berikut: Mazhab Syafi’i menggunakan kaidah: اَلصل في األشياء اإلباحة حتى يدل الدليل على التحريم. Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga terdapat dalil yang mengharamkannya. Sedangkan menurut kaidah dalam mazhab Hanafi adalah: األصل في األشياء التحريم حتى يدل الدليل على اإلباحة Hukum yang terkuat dari segala sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang menunjukan kebolehannya. Jadi menurut mazhab Syafi’i, asal hukum sesuatu adalah di bolehkan mengerjakannya, sehingga ada dalil yang mengharamkannya atas dasar bahwa Allah SWT berfirman: ض َج ِّمي ًعا ِّ ه َُو الَّذِّي َخلَقَ لَ ُكم َّما ِّفي األ َ ْر Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (Q.S. al-Baqarah:29) Dan Sabda Nabi SAW: ما أحل هللا فهو حالل وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو عفو: قال رسول هللا صلى هللا عليه و سلم:عن أبي الدرداء قال )فاقبوا من هللا عافيته فإن هللا لم يكن ينسى شيئا (أخرجه البزار ولطبراني Apa yang telah dihalalkan oleh Allah adalah halal dan apa yang telah diharamkan Allah adalah haram serta apa yang didiamkan oleh Allah adalah dimaafka maka terimalah kemaafan dari Allah itu, sesungguhya Allah tidak akan lupa pada sesuatu. Sedangkan mazhab Hanafi berpendapat bahwa asal hukum sesuatu adalah haram, sehingga ada dalil yang membolehkanya, kebalikan dari pendapat mazhab Syafi’i bahwa asal sesuatu adalah boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya. Hal seperti ini dapat menimbulkan perbedaan dalam menetapkan hukum.
13
4. Perbedaan penggunaan Dalil di luar al-Qur’an Ulama terkadang berbeda pendapat pula mengenai fiqh, disebabkan perbedaan pengguna dalil di luar al-Qur’an dan sunnah, seperti: Amal Ahli Madinah dijadikan dasar fiqh oleh imam malik, tidak dijdikan dasar oleh para imam yang lainnya. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan Ijma, Qiyas, Mashlahah Mursalah, Istihsan, Sad al—Dzari’ah, Istishb, Urf dan sebagainya, Yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar, sedang sebagian ulama lain tidak menjadikan dasar dalam mengistinbatkan hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan itu hanyalah dalam tingkat penggunaan saja. Dari uraian di atas tentang sebab-sebab perbedaan pendapat (ikhtilaf) dapat di simpulkan bahwa: a. Perbedaan ulama mengenai sumber hukum yang utama (al-Qur’an) adalah dari segi pemahaman semata-mata terhadap nash-nash yang zhanny (tidak pasti) dalalah-nya. b. Perbedaan ulama mengenai sumber hukum yang kedua, yakni sunnah Rasul, yakni dari segi wurud (penilaian terhadap sanad dan sebagian matan hadits) di samping segi dalalahnya, serta perbedaan mengenai kedudukan sunnah Rasul sesudah dikaitkan dengan Syakhshiyyah Rasul (sebagai Rasul atau insaniyyahnya). c. Perbedaan pendapat dalam islam, bukanlah mengenai persoalan dasar (pokok) baik dikalangan Ahlu al-Sunnah, maupun Syi’ah dan Mu’tazilah, melainkan perbedaan pandangan dan penilaian terhadap nushush (al-Qur’an dan sunnah) yang memungkinkan dan memberi celah-celah adanya perbedaan penafsiran. Karena itu, penganut mazhab tertentu sering menentang mazhabnya sendiri, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu l- Qayyim terhadap Imam Ahmad Ibnu Hambal, serta Abi Yusuf dan Muhammad al-Hasan al-Syaibany terhadap Imam Abi Hanifah. d. Perbedaan yang disebabkan penggunaan dalil di luar al-Qur’an dan Sunnah seperti: Ijma, Qiyas, Istihsan, Mashahah, Mursalah dan lain-lain.
14
Penutup A. KESIMPULAN Perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum syar’iyah tidak hanya terjadi antar madzhab, perbedaan pendapat ulama ini juga terjadi dalam lingkungan madzhab mereka. Banyak orng yang mengingkari perbedaan pendapat ulama, disebabkan keyakinan yang menyatakan bahwa agama ini satu, syariat juga satu, kebenaran itu satu tidak bermacam-macam dan sumber hukum hanya satu yaitu wahyu ilahi. Perbedaan pendapat ulama merupakan rahmat yang memberikam kemudahan bagi umat Islam, perbedaan pendapat ini hanya sebatas dari perbedaan metode pengambilan hukum yang menjadi kebutuhan pasti dalam memahami hukum dari dalil-dalil syariah, seperti perbadaan dalam masalah penafsiran nash-nash nerikut hukum penjelasan-penjelasan yang dilakukan. Ini disebabkan karena karakter bahasa Arab, perbedaan riwayat, adanya perbedaan dasar hukum, perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul, ijtihad menggunakan qiyas, dan pertentangan dasar hukum berikut ijtihadnya B. SARAN Ada banyak sekali hal mengenai sebab - sebab perbedaan pendapat ulama yang harus dipahami. Sebagai mahasiswa hendaknya kita mampu membuat perbedaan tersebut menjadi hal yang positif, bukan sebalik nya, yang membuat umat islam terpecah belah, dan materi – materi tersebut dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Kedepannya dengan mempelajari hal di atas diharapkan dapat menjadi ilmu baru dan dapat mengetahui bagaimana bisa terjadi perbedaan di kalangan para ulama.
15