BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergaulan manusia dalam kehidupan masyarakat tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Manusia selalu dihadapkan pada masalah-masalah atau pertentangan dan konflik kepentingan antar sesamanya. Dalam keadaan yang demikian ini hukum diperlakukan untuk menjaga keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat. Sebenarnya tujuan dari pidana itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatankejahatan berat dengan pidana mati. Waktu berjalan terus dan di berbagai negara terjadi perubahan dan perkembangan baru. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ternyata sejarah pemidanaan diberbagai bagian dunia mengungkapkan fakta dan data yang tidak sama mengenai permasalahan kedua komponen tersebut diatas. Dengan adanya pengungkapan fakta dan data berdasarkan penelitian sosiokriminologis, maka harapan yang ditimbulkan pada masa lampau dengan adanya berbagai bentuk dan sifat pidana mati yang kejam agar kejahatankejahatan yang berat dapat dibasmi, dicegah atau dikurangkan, ternyata merupakan harapan hampa belaka.
1
B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Pidana dan Pemidanaan? 2. Apa teori dan tujuan Pemidanaan? 3. Seperti apa contoh kasus tentang Pidana? C. Tujuan Masalah 1. Mengetahui Pidana dan Pemidanaan. 2. Memahami teori tujuan Pemidanaan. 3. Mengetahui contoh kasus tentang Pidana.
2
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pidana dan Pemidanaan Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah-istilah yang lain, yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan pidana, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara pada pelaku delik itu.1 “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”.2 Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, yaitu berupa penderitaan. Perbedaanya hanyalah, penderitaan pada tindakan yang lebih 1 2
Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. 2012. hlm 185. Ibid, h. 185 – 186
3
kecil atau ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda) yang adakalanya disebut dengann istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht.3 Berdasarkan pengertian pidana di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri, yaitu (1) pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibatakibat lain yang tidak menyenangkan; (2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang), dan (3) pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang, dan (4) pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah melanggar hukum.
B. Teori-Teori Tentang Pidana Dan Pemidanaan Teori hukum pidana menjelaskan bahwa seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat dan harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran. Kesengajaan itu secara alternatif, dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai 3
Adama Chazawi.2013, Pelajaran Hukum Pidana I,Rajawali Pers, Jakarta. Hlm. 23-24.
4
perbuatan pidana. Adapun teori-teori yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain: 1. Teori Kehendak (willstheorie) Teori kehandak yang diajarkan oleh Von Hippel dengan karanganya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu, dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu kehendak menimbulkan akibat tertentu. Pula karena ia melakukan pebuatan itu justru dapat dikatakan bahwa ia menghendaki akibanya, ataupun hal ikhwal yang menyertai. 2. Teori pengetahuan/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie) Teori pengetahuan/ dapat membayangkan/prasangkaan yang diajarkan oleh Frank dengan karangannya tentang ”Vorstelung un Wille in der Moderner Dolslehre”menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai. Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata pidana pada umumnya diartikan sebagai hukuman, sedangkan pemidanaan sebagai penghukuman.
5
Pemidanaan adalah penjatuhan pidana oleh hakim melalui putusannya kepada orang yang terbukti bersalah telah melakukan suatu tindak pidana. Pidana tidak terbatas hanya dalam ruang lingkup hukum pidana saja namun juga hukum perdata. Terdapat banyak teori mengenai pemidanaan, namun dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) kelompok besar, yaitu: 1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) 2. Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien) 3. Teori gabungan (vernegings theorien) Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan satu-persatu mengenai teori pemidanaan, yaitu sebagai berikut: 1. Teori absolute atau teori pembalasan (vergeldings theorien) Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Menurut Andi Hamzah, teori ini bersifat ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern. 4 Menurut teori ini pemidanaan diberikan kepada pelaku tindak pidana sebagai pembalasan atas perbuatan yang telah dilakukannya. Teori ini berpandangan bahwa pidana yang diberikan kepada pelaku tindak pidana harus setimpal dengan pidana yang dilakukannya. Pembalasan tersebut tidak melihat akibat dari pemidanaan yang dilakukan kepada pelaku tindak pidana tersebut apakah bermanfaat atau malah
4
Andi Hamzah, Asas-Asas hukum pidana, Cetakan Kedua, Rineka Cipta , Jakarta, 1994, hlm.29.
6
sebaliknya, baik bagi pelaku tindak pidana maupun bagi masyarakat. Yang ditekankan oleh teori itu hanya sebatas pembalasan. Menurut A. Fuad Usfa teori absolut ini terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu: a. Teori pembalasan subyektif, yang berorientasi kepada pembalasan dendam penjahatnya. b. Teori pembalasan obyektif, yang berorientasi kepada pemenuhan kepuasan dari perasaan dendam dalam masyarakat.5 Menurut Johannes Andanaes tujuan (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah. “untuk menemukan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang mengiuntungkan adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant dalam bukunya “Philosophy of law” sebagai berikut:6 “ Pidana tidak pernah melaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain baik bagi pelaku maupun masyarakat, tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebagai resolusi atau keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang 5 6
A. Fuad Mustafa. 2004. Pengantar Hukum Piadana. Malang:UMM Press. Hlm 145 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori... op.cit, hlm 11
7
sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan ini. Neger Walker memberi tiga pengertian mengenai pemabalasan yaitu:7 a. Retaliatory retribution, yaitu dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya. b. Distributive retribution, yaitu pembatasan terhadap bentukbentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan. c. Quantitative retribution, yaitu pembatasan terhadap bentukbentuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalsan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang dilakukan. 2.
Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien) Penganut teori relatif adalah Paul Anselm van Feurbach, yang mengemukakan “hanya dengan ancaman pidana saja tidak akan memadai, melainkan diperlukan penjatuhan pidana kepada si penjahat”.8 Menurut teori ini pemberian pidana kepada pelaku tindak pidana bukanlah hanya sebatas pada pembalasan saja namun haruslah mencapai suatu tujuan yaitu perlindungan bagi masyarakat dan pencegahan
7
J. E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Rajawali Press , Jakarta, 1982, hlm 199 8 Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia: Suatu Penngantar. Bandung: Reflikaaditama
8
terjadinya suatu kejahatan. Menurut Erdianto Effendi, teori tujuan memiliki 3 tujuan, yaitu “untuk menakuti, untuk melindungi, dan untuk memperbaiki”.9 Teori relatif sangat berbeda dengan teori absolut, dimana teori absolut tidak melihat akibat di masa mendatang dari pembalasan yang dilakukan kepada pelaku tindak pidana, sedangkan teori relatif melihat kepada hal-hal yang akan datang yaitu dengan maksud mendidik pelaku tindak pidana tersebut agar menjadi baik kembali. Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif ini sebagai berikut: a. Tujuan pidana adalah pencegahan b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaiu kesejahteraan masyarakat c. Hanya
pelanggaran-pelanggaran
hukum
yang
dapat
dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau lupa) yang memenuhi syarat adanya pidana d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahaan kejahatan. e. Pidana melihat ke depan ( bersifat prespektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak
9
ibid. Hlm 143
9
membantu
pencegahan
kejahatan
untuk
kepentingan
kesejahteraan masyarakat 3. Teori gabungan (vernegings theorien). Munculnya teori gabungan ini pada dasarnya merupakan respon terhadap kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun teori relatif. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan lagi yang merugikan dan meresahkan masyarakat. Penganut dari teori gabungan ini adalah Binding. Menurut teori gabungan, dasar dari di berikannya suatu pemidanaan adalah gabungan dari teori absolut dan relatif. Pemidanaan tidak hanya sebagai pembalasan dendam terhadap pelaku tindak pidana namun juga untuk menciptakan tertib dalam masyarakat. Menurut Schravendijk, teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan besar, yaitu: a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat dan pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari perbuatan yang dilakukan. Selain teori pemidanaan, hal yang tidak kalah penting adalah tujuan pemidanaan. Di indonesia sendiri hukum pidana positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacan tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis namun
10
sebagai bahan kajian konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada pasal 54 yaitu: 10 1. Pemidanaan bertujuan: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menetapkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. b. Memasyarakatkan
terpidana
dengan
mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana 2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Berdasarkan tujuan pemidanaan diatas rumus konsep KUHP tidak sekedar mendalami bahan pustaka barat dan melakukan transfer konsepkonsep pemidanaan dari negeri sebrang tapi memperhatikan pula kekayaan domestik yang terkandung didalam hukum adat dari berbgai daerah dengan agam yang beraneka ragam. Hal ini menurut Harkristuti Harkrisnowo tergambar misalnya dari tujuan pemidanaan butir c yakni, “menyelesaikan konflik dan memulihkan keseimbangan”, yang hampir tidak ditemukan dalam westren literature. 10
Konsep KUHP edisi 2005. Adapun kajian yang secara kritis menganalisis tentang tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP Nasional diatas , lihat Mudzakkir,” Kajian terhadap Ketentuan Pemidanaan dalam Draft RUU KUHP”. Mkalah disampaikan pada Sosialisasi Rancangan KUHP yang diselenggarakan oleh Direktorat jendral Peraturan Perundang-Undangan departemen Kehakiman dan HAM RI,Jakarta , 29 Juli 2004, hlm 6-11
11
Harkristuti juga mengatakan bahwa tujuan pemidanaan dalam konsep KUHP nampak lebih cenderung ke pandangan konsekuensialis, falsafah utilitarian memang sangat menonjol, walaupun dalam batas-batas tertentu aspek pemabalasan sebagai salah satu tujuan pemidanaan masih dipertanyakan. Dalam arti, tujuan pemidanaan di dalamnya juga mengandung arti adanya aspek pemabalasan terhadap pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana.
C. KASUS a) Analisis kasus pertama Artikel 1 Jumat, 07/03/2014 14:36 WIB Anak Bunuh Orangtua Rencanakan
Pembunuhan
dengan
Skenario
Perampokan
Baban
Gandapurnama – detikNews Bandung - Maria Vincentia (43) nekat bertindak keji mengeksekusi ayah kandungnya, Heri Sondah (71), dan ibu tiri, Joe Lie Bie Nio (71). Aksi pembantaian sadis Maria dibantu suaminya, Nikolas Ngationo (46). Maria dan Nikolas kini ditahan di Mapolres Bandung, Jalan Bhayangkara, Kabupaten Bandung. "Anak kandung korban ini bersama suaminya sudah merencanakan pembunuhan," ucap Kapolres Bandung AKBP Jamaludin didampingi Kasatreskrim AKP Pribadi Atma kepada wartawan di Mapolres Bandung, Jumat (7/3/2014). Skenario rencana pembunuhan ini berlangsung di rumah kontrakan pelaku di kawasan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Maria dan Nikolas membuat siasat agar aksinya seolah kasus perampokan. "Kedua pelaku berangkat dari kontrakan menuju rumah korban
12
menggunakan ojek. Pelaku membawa tas berisi senpi mimis, doran pacul, lakban, minyak goreng, gunting, dan tali. Mereka berencana membuat seperti perampokan," tutur Jamaludin. Singkat cerita, Maria dan Nikolas menyusup ke dalam rumah korban. Di rumah ayah kandungnya itu Maria dibantu Nikolas melancarkan perbuatan brutal. "Korban pertama yang dibunuh ialah Heri, selanjutnya ibu tiri pelaku," ucap Jamaludin. Artikel 2 Jumat, 07/03/2014 18:37 WIB Pengakuan Mengerikan Anak dan Menantu Bunuh Orangtua di Bandung Baban Gandapurnama - detikNews Bandung - Maria Vincentia (43) dan Nikolas Ngationo (46) tertunduk dengan wajahnya terbungkus topeng. Maria nekat membantai ayah kandung, Heri Sondah (71), dan ibu tiri, Joe Lie Bie Nio (71). Perbuatan sadis Maria ini dibantu Nikolas yang merupakan suaminya. Kedua pelaku mengungkapkan kisah mengerikan saat membunuh orang terdekat mereka itu. Perkara ini bermotif harta warisan. "Saya dendam sama ibu tiri (Joe Lie). Dia menjual rumah. Katanya janji mau membagikan uang hasil penjualan rumah. Tapi ternyata tidak. Malah uangnya dibelikan rumah lagi," ucap Maria di Mapolres Bandung, Jalan Bhayangkara, Kabupaten Bandung, Jumat (7/3/2014). Maria selama ini tinggal bersama Nikolas di rumah kontrakan, kawasan Pangalengan, Kabupaten Bandung. Maria merasa perlu memiliki bagian dari penjualan aset warisan milik ayahnya tersebut. Lantaran tak digubris, Maria murka. Dia mengajak Nikolas merencanakan 3. menghabisi nyawa ayah kandung dan ibu tiri. "Satu bulan merencanakan membunuh," kata Maria. Petaka bagi Heri dan Joe Lie terjadi awal Maret atau
13
tepatnya tanggal 1. Rupanya Maria dan Nikolas membuktikan niatnya. Pasangan lanjut usia tersebut tewas mengenaskan di tangan pelaku. "Saya pukul ayah dan ibu tiri pakai besi. Sama batu juga," ujar Maria. "Saya menyesal. Sangat menyesal sekali," ucapnya menambahkan. Nikolas bertutur dingin sewaktu ditanya terlibat mengeksekusi mertuanya. "Korban setelah tidak berdaya, saya cekik hingga meninggal," kata Nikolas singkat. Maria dan Nikolas dijerat pasal berlapis yakni Pasal 338 KUHPidana perihal pembunuhan dan Pasal 340 KUHPidana mengenai pembunuhan berencana. Mereka terancam hukuman mati Artikel 3 Maria Tega Bunuh Orang Tuanya Demi Harta Waris Minggu, 2 Maret 2014 05:15 WIB TRIBUNNEWS.COM, KATAPANG - Maria Vincentia (43) tega membunuh ayah kandungnya, Heri Sondah (71), dan ibu tirinya, Joe Lie Bie Nio (71), demi harta warisan. Pembunuhan dilakukan di rumah orang tua Maria di Kampung Pangauban, RT 01/11, Desa Pangauban, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Sabtu (1/3/2014) sekitar pukul 03.00. Kapolres Bandung AKBP Jamaludin mengatakan, Maria membunuh kedua orang tuanya dibantu oleh suaminya, Nikolas Ngationo (43). "Motif pembunuhan diduga terkait harta warisan korban yang diminta paksa oleh tersangka sehingga membuat pelaku tega membunuh kedua orang tuanya," ujar Jamaludin melalui sambungan telepon, Sabtu (1/3/2014). Polisi langsung mencari pelaku pembunuhan ini. Selang tiga jam setelah melakukan aksinya, kata Jamaludin, Maria pun ditangkap polisi. "Pelaku (Maria) saat itu mencoba melarikan diri melalui genting. Namun pelaku terperosok ke belakang rumah di sekitar TKP. Pelaku kemudian
14
diamankan di Polsek Katapang," katanya. Jamaludin mengatakan, menurut keterangan pelaku, perbuatan tersebut dilakukan bersama suaminya, Nikolas Ngationo. Namun Nikolas melarikan diri. Polisi, kata Kapolres, masih mengejar Nikolas. "Kedua korban telah dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin untuk dilakukan autopsi. Polisi masih melakukan penyelidikan lebih lanjut dan masih mengejar satu orang pelaku," katanya. 4. Barang bukti yang telah diamankan polisi berupa kendaraan Toyota Avanza hitam bernomor polisi F 1417 VK yang diduga milik pelaku. Selain itu dua buah tas wanita milik Maria yang berisi senjata api genggam rakitan, sebuah gunting, dan seutas tali. Dari hasil penelusuran polisi, Maria adalah putri Heri dari istri terdahulu. Maria dan suaminya selama ini tinggal terpisah dengan para korban. Polisi juga masih menelisik kemungkinan para pelaku melakukan pembunuhan terencana. "Apakah ini pembunuhan terencana atau tidak, masih kami dalami untuk memastikan. Dengan melihat dari barang temuan di TKP, kami masih cek alibi mereka kenapa mereka bawa tambang, lakban, dan pistol soft gun rakitan," kata Jamaludin. Sebelum melakukan pembunuhan, Maria dan suaminya diketahui sempat bersitegang dengan kedua orang tuanya. Warga yang mengetahui keributan di dalam rumah Heri telah berusaha melerai keributan. Sulaiman (45), salah seorang saksi, mengatakan, sebelum peristiwa sadis terjadi memang telah berlangsung keributan. Namun bisa dilerai oleh warga sekitar. Setelah perselisihan selesai, warga pun pulang. "Sekitar pukul 02.00 ada ribut-ribut lagi. Warga lalu melerai. Tapi setelah warga pulang ada kecurigaan karena terdengar suara jeritan. Warga lalu mengepung rumah Pak
15
Heri. Sekitar pukul 03.00 ditemukan kedua korban sudah meninggal," ujar Sulaiman. Kedua korban, kata Sulaeman, ditemukan meninggal di dalam kamar mandi. Saat ditemukan terdapat luka di bagian kepala. Kejadian tersebut sontak membuat geger warga setempat. ANALISIS KASUS : Banyak sekali terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kejahatan terhadap tubuh atau nyawa. Di media cetak maupun media elektronik sangat ramai memunculkan berita tentang kejahatan jenis ini. Seperti ketiga artikel yang saya cantumkan diatas, memuat kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan oleh pasangan suami-istri terhadap orang tuanya sendiri hanya karena masalah harta warisan. Peristiwa ini merupakan suatu peristiwa yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum. Dari sedgi hukum sendiri, peristiwa ini dapat diancam dengan ancaman pidana pasal 338-340 KUHP Berdasarkan isi dari artikel tersebut kejahatan terhadap nyawa ini dilakukan dengan rencana terlebih dahulu sehingga dengan pengakuan pelaku serta alat bukti yang cukup maka tersangkat dapat dijatuhi hukuman mati, penjara seumur hidup dan atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun seperti yang tertuang dalam pasal 340 KUHP. Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau biasa disebut dengan pembunuhan berencana merupakan pembunuhan paling berat ancaman pidananya dibandingkan dengan kejahatan terhadap nyawa yang lainnya. Unsur-unsur yang terkandung dalam rumusan kasus : 1. Unsur Subyektif, 1. Perbuatan dilakukan dengan sengaja. 2. Perbuatan dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu
16
2. Unsur Obyektif, 1. Perbuatan menghilangkan nyawa seseorang 2. Obyeknya nyawa orang lain Pihak-pihak dalam kasus 1. Korban : a. Heri Sondah (tujuh puluh satu tahun) b. Joe Lie Bie Nio (tujuh puluh satu tahun) 2. Pelaku : a. Maria Vincentia (empat puluh tiga tahun) Pleger b. Nikolas Ngationo (empat puluh enam tahun) Medepleger Berdasarkan atas ketiga artikel diatas dapat diketahui bahwa Maria merupakan pelaku utama atau biasa disebut dengan pleger sedangkan Nikolas adalah pelaku turut serta atau biasa disebut dengan medepleger. Pernyataan ini didasarkan pada motif dendam Maria kepada orang tuanya karena harta warisan. Pembunuhan berencana merupakan pembunuhan dalam arti pasal 338 yang ditambah dengan unsur perencanaan terlebih dahulu. Pembunuhan berencana lebih berat hukuman pidananya dibandingkan dengan pembunuhan dalam pasal 338 dan 339. Perbuatan tersebut dikatakan berencana karena sebuah pernyataan pelaku yang mengatakan bahwa telah merancanakan pembunuhan selama sebulan. Dikatakan sebagai suatu pembunuhan berencana bila si pelaku merencanakan pembunuhan tersebut dalam tempoh yang cukup panjang dan dalam keadaan tenang, maksud dari keadaan tenang adalah tidak dalam suasana yang tergesa-gesa atau tiba-tiba dilakukan oleh Dari kenyataankenyataan diatas dapat dikatakan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Maria dan suaminya Nikolas dapat dikategorikan sebagai pembunuhan berencana dan telah direncanakan selama satu bulan. Maka keduanya dapat dijerat dengan pasal 340 KUHP tentang pembunuhsn berencana dengan ancaman hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Walaupun Nikolas sebagai pelaku turut serta atau
17
medepleger, namun tetap dikenakan hukum yang setara dengan pelaku karena pelaku turut serta disebut juga sebagai pelaku utama. Pernyataan ini dikandung dalam Pasal 55 ayat 1 KUHP yang berbunyi sebagai berikut Pasal 55 KUHP: (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: 1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan itu; 2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan. Barang bukti yang ditemukan adalah berupa kendaraan Toyota Avanza hitam bernomor polisi F 1417 VK yang diduga milik pelaku. Selain itu dua buah tas wanita milik Maria yang berisi senjata api genggam rakitan, sebuah gunting, dan seutas tali. Dari alat bukti yang sudah dipersiapkan dengan baik tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tersangka memang telah merencankannya lebih dulu, terlebih hal ini pun telah diakui oleh pelaku maka kedua tersangka pun dijerat pasal 340 KUHP. b) Kasus kedua, tentang korupsi
Senin, 27 Juli 2015 | 03:42:13
Rekan Dahlan Iskan,
Anda perlu menyadari bahwa Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, sangat serius membuktikan keterlibatan Anda dalam kasus dugaan korupsi 21 gardu induk PLN Jawa Bali dan Nusa Tenggara 2011-2013. Maklum proyek yang Anda
18
tangani bukan main-main. Dana Negara yang Anda kelola khusus untuk proyek gardu listri mencapai Rp 1,063 triliun. Sementara jumlah kerugian Negara yang sudah dihitung oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mencapai Rp 33 miliar.
kerugian
ini
diperkirakan
masih
bisa
bertambah
lagi.
Sejauh ini, sudah lebih 15 saksi diperiksa penyidik Kejaksaan. Termasuk Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji, penerus Anda. Selain Nur Pamudji, petinggi di PLN yang telah diperiksa antara lain Nasri Sebayang, Direktur Perencanaan PLN dan Hengky Wibowo, General Manager PLN. Bahkan Hengky, yang ikut terlibat pada awal penyelenggaraan proyek gardu listrik, bersama Anda, selain menjadi saksi, juga tersangka dugaan korupsi. Nasib Hengky sama seperti Anda.
Berdasarkan data sementara yang saya peroleh, terutama terkait dengan pola cross Anda sebagai saksi sekaligus tersangka. Penjelasan Kajati DKI Jakarta M. Adi Toegarisman, Anda dianggap menyalahgunakan kewenangan sehingga menimbulkan kerugian negara dalam proyek-proyek proyek pembangunan gardu induk yang sebenarnya miliki tujuan baik yaitu mengatasi krisis listrik di Indonesia.
Diluar Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, paling sial, besar kemungkinan Anda dikenakan Pasal Turut Serta (Pasal 55 KUHP) melakukan tindak pidana korupsi bersama anak buah Anda. Meski status turut serta, dalam UU Tindak pidana korupsi, seseorang yang membantu tindak pidana korupsi tetap
19
dikenakan ancaman pidana yang sama dengan pelaku korupsi (Pasal 15 UU Tipikor). Anda harus mulai sadar bahwa UU Tipikor memang luas jangkauannya. Bahkan untuk orang yang berada di luar wilayah Indonesia pun bisa dikenakan pasal membantu pelaku tindak pidana korupsi (Pasal 16 UU Tipikor).
Praktik hukum pidana, ancaman pidana untuk orang yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi, lazimnya dikenakan Pasal 55 ayat (1) KUHP. Pasal ini mengatur, orang yang turut serta melakukan perbuatan pidana. Mereka dipidana sebagai pelaku tindak pidana. Jadi, berdasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP orang yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi juga dipidana dengan ancaman pidana yang sama dengan pelaku tindak pidana korupsi. Ngeri bukan? Pengadilan Tipikor di Indonesia pernah memidana, seorang pengurus rekanan Kemenpora, dalam kasus pembangunan wisma atlet di Palembang. Vonisnya meski menggunakan ketentuan UU Tipikor, juga mendasarkan Pasal 55 ayat (1) KUHP. Vonisnya menyatakan terdakwa bersalah melakukan turut serta korupsi secara bersama-sama. Pengalaman membuktikan, orang yang turut serta melakukan korupsi maupun orang yang membantu melakukan korupsi keduanya diancam dengan pidana yang sama dengan orang yang melakukan korupsi. Akal sehatnya siap-siaplah menerima nasib yang sama untuk pelaku yang tidak langsung korupsi. Rekan Dahlan Iskan, Dalam sejumlah kasus Tipikor yang pernah saya liput, Jaksa Penuntut Umum (JPU) kerap menggunakan Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP. Pasal ini lazim
20
digunakan dalam penanganan tindak pidana yang melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Selama ini, dalam praktek penerapan hukum pidana, satu kasus tindak pidana korupsi yang melibatkan beberapa orang secara bersama-sama , biasanya dikaitkan dengan teori atas ajaran tentang penyertaan khususnya dalam
bentuk
turut
serta
melakukan
(medeplegen).
Saya sering mendapati JPU menyusun Surat dakwaan kepada tersangka dengan menggunakan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dijunctokan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Penggunaan pasal dalam UU dan KUHP ini dikenal sebagai upaya mengefektifkan norma hukum yang berlaku. Apalagi menyangkut tindak pidana korupsi, telah ada UU No. 3 tahun 1971 buatan pemerintah Orde Baru. UU ini dikolaborasi dengan UU Tipikor pasca Reformasi yaitu UU NO. 31 Tahun 1999 dan perubahannya UU no. 20 Tahun 2001. Semua ini bersentuhan dengan penarapan hukum pidana, baik materiil maupun
formil.
Dalam teori hukum, lulusan Sarjana hukum diajarkan tentang Pasal 55 ayat 1 KUHP
yang lebih dikenal
dengan istilah deelneming (penyertaan).
Menggunakan pasal ini berarti , baik penyidik maupun JPU, sama-sama bertugas mencari peranan dan tanggung jawab masing-masing pelaku dari peristiwa pidana yang pelakunya lebih satu orang. Artinya, masing-masing pelaku dimintai pertanggung jawabannya sesuai dengan peranannya masing-
21
masing. Pemahaman dalam prinsip deelneming, semua pelaku tidak bisa diberlakukan sama atau sama-sama sebagai orang yang menyuruh lakukan atau sama-sama sebagai turut serta melakukan. Secara teoritis, suatu peristiwa pidana selalu dicari peranannya. Maka itu, dalam pembuktian perkara pidana, hal penting ditemukan adalah hubungan antar pelaku dalam menyelesaikan suatu tindak pidana. Bahasa hukumnya, bisa bermakna bersama-sama melakukan tindak pidana; atau satu orang mempunyai kehendak dan merencanakan kejahatan, sedangkan ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan
tindak
pidana
tersebut.
Pembuktiannya,
seorang
yang
melakukan suatu tindak pidana, sementara orang lain membantu melaksanakan tidak pidana tersebut. Dalam bahasa pembuktian, penyertaan bisa berdiri sendiri yaitu terdakwa yang melakukan dan turut serta melakukan. Pemahamannya, tanggung jawab setiap terdakwai dinilai sendiri-sendiri atas perbuatan yang dilakukan. Artinya, penyertaan bisa juga tidak berdiri sendiri, seperti pembujuk, pembantu dan yang menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana.
Maka itu, turut melakukan (medeplegen) dan pembantuan (medeplichtigheid) merupakan bentuk atau wujud penyertaan (deelneming). Ketentuan ini berada dalam kandungan Pasal 55 dan 56 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua bentuk ini, orang awam bisa membingungkan. Tetapi orang hukum, bisa (memang dituntut) untuk membedakannya. Mengingat undangundangnya (KUHP) tidak membuat penjelasan dan batasannya.oleh karena itu,
22
sejauh ini, baik di kalangan akademisi yang menjadi saksi dalam persidangan untuk membedakan Pasal 55 dan 56 KUHP, masih sering mengeluarkan penafsiran yang berbeda-beda satu sama lain. Artinya, kriteria atau ukuran menentukan
perbuatan
medeplegen
dan
medeplichtigheid,
beragam.
Dalam beberapa sidang, ada sejumlah saksi ahli pidana yang berpendapat adanya persoalan medeplegen harus dipenuhi dalam semua urusan delik. Tetapi sejumlah ahli hukum pidana lain tidak menyetujuinya. Argumentasi hukumnya, kriteria medeplegen hanya ditujukan terhadap pelaku utama. Bahkan ada dosen hukum pidana yang membuat pemahaman perbuatan medeplegen harus disertai adanya kerjasama yang disepakati terlebih dahulu. Malahan ada yang mengatakan bahwa untuk membuktikan medeplegen tidak perlu ada kata sepakat atau perjanjian lebih dahulu. Ahli hukum pidana esktrim ini menekankan bahwa kerjasama telah disadari saat delik terjadi atau dilakukan.
Rekan Dahlan Iskan, Saya ingin memberitahu Anda, bahwa dengan perbedaan penafsiran tentang medeplegen, membuat praktisi hukum pidana yaitu JPU dalam mengajukan rekisitor (requisitoir) dan pengacara dalam pembelaan (pleidooi) maupun hakim dalam keputusannya bisa beragam. Hakim yang dipandang penengah dari dua pandangan antara JPU dan penasihat hukum, bisa berpihak pada JPU dan pengacara. Apakah hakim otomatis berpihak? Secara teoritis, hakim bisa mewarisi aneka penafsiran tentang unsur turut melakukan dan pembantuan. Maka itu, sejauh yang pernah saya ikuti, JPU dalam requisitoir acapkali memuat pembuktian semua unsur-unsur delik yang
23
didakwakan, sekaligus memuat persepsi istilah-istilah hukum dari unur-unsur delik. Bahkan JPU senior dalam mengajukan requisitoir acapkali memaparkan kepentingan-kepentingan umum yang diwakilinya, yaitu kepentingan Negara. Sedangkan Anda bersama lawyer dalam menyusun pleidooi biasanya mencari sisi yang menguntungkan Anda, sebagai hal-hal meringankan terdakwa. Maklum, lawyer berpikir dan berbicara mewakili terdakwa, bukan Negara. Jadi lawyer acapkali mengedepankan subyektivitas perkara dari obyektivitas kasus yang diperiksa di pengadilan. Bagi saya, obyektivitas dalam memahami konsep teoritik deelneming (penyertaan) dalam konteks Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP memperhitungkan empat unsur yaitu ,yang melakukan, yang menyuruh lakukan, yang turut serta melakukan dan yang sengaja melakukan. Akal sehat saya membimbing bahwa memperhatikan rumusan Pasal 55 ini, pembuktian Pasal 55 KUHP dalam pemeriksaan perkara pidana, apalagi dalam Tipikor, terlalu naif bila membuktikan adanya kerjasama kolektif. Akal sehat saya lebih mengedepankan Pasal 55 KUHP perlu menunjukkan peran Anda, sebagai Dirut PLN, berbeda dengan Hengky dan Nasri, apalagi dengan rekanan laiunnya. Mengingat antara Anda dan Hengky dan Nasri, terdapat hubungan kerja atasan dan bawahan yang otomatis memiliki kewenangan-kewenangan dari hubungan atasan-bawahan dalam proyek gardu listrik. Maka itu, saya lebih setuju melanggar Pasal 55 KUHP adalah yang turut melakukan. Sedangkan perbuatan pembantuan adalah membantu melakukan (Pasal 56 KUHP). Dari hasil pemeriksaan penyidik di Kejati DKI Jakarta, yang sudah saya peroleh sampai sebelum idul fitri, Anda lebih mendekati orang yang turut melakukan
24
(medepleger) seperti dikandung dalam Pasal 55 KUHP. Secara hukum pembuktian Anda bisa dinyatakan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan negara. Dalam pembuktian Pasal 55 KUHP Undangundang Nomor 3 Tahun 1971 yang dijunctokan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, sedikit-dikitnya ditemukan dua orang pelaku yaitu orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Anda pada posisi dimana?. Kita tunggu persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Selatan mendatang. (bersambung,
[email protected])
c) Kasus ketiga, tentang penodaan agama Detiknews.com- Jakarta - Ahli hukum pidana UGM Edward Omar Sharif Hiariej menyebut sangkaan yang diberikan ke terdakwa penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus dilihat secara keseluruhan. Edward menyebut tidak bisa sangkaan pasal 156a KUHP itu hanya dilihat dari kacamata hukum pidana saja. "Kalau berkaitan pasal 156 a. Kalau dia sobek atau injek Al-Quran, dia menghina. Tapi karena ini pernyataan harus dilihat secara holistis," kata Edward saat menyampaikan pendapatnya dalam sidang lanjutan di auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Jalan RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (14/3/2017). Edward menjelaskan maksud secara holistis yaitu bukan cuma aspek pidana, tapi juga dilihat secara kesehariannya apakah dia memang antimuslim, gesture saat di video itu, bahasa yang digunakan, sama diperlukan ahli agama
25
untuk
menjelaskan
soal
penistaan
tersebut.
"Maka perlu ahli bahasa dan agama, makanya perlu dilihat secara kontekstual," kata dia. "Jika ingin lebih dalam lagi apakah orang ini punya niat dalam menyatakan hal tersebut juga perlu dihadirkan ahli fisiologi untuk membaca gerak tubuh," imbuh dia. Ahli Pidana Sebut Pasal Alternatif Menunjukkan Keraguan Dakwaan. Kemudian Edward mengatakan ada keraguan dalam penggunaan pasal alternatif di dakwaan kasus itu. Hal itu disampaikan Edward untuk menjawab pertanyaan kuasa hukum Ahok tentang penggunaan pasal 156 a KUHP. "Kalau dakwaan di pasal alternatif adanya keraguan pasal yang fix sperti apa. Kedua, seperti yang dijelaskan, ketika ada penistaan agama ada pasal 156 a, kecuali PNPS sudah dicabut bisa gunakan 156,"
kata
Edward.
Edward menerangkan maksud penodaan agama itu bisa dibagi menjadi dua, di antaranya melakukan tindakan menyobek atau menginjak kitab suci. "Dibagi jadi dua, pasal 1-2 kitab suci atau keagamaan. Penistaan atau penodaan
seperti
menyobek
atau
injak
kitab
suci,"
urainya.
Penasihat hukum Ahok kemudian bertanya apakah tuduhan penistaan agama yang berlandaskan video dengan durasi 13 detik bisa bermakna. Edward menyebut
perlu
mengundang
ahli-ahli
yang
berkaitan.
"Ketika melihat rekaman video atau baca buku bahwa itu penistaan agama. Apakah pelaku melakukan penistaan agama atau tidak diperlukan ahli-ahli berkaitan untuk membuktikan harus dilihat kesehariannya," ucap dia. Menurut saya Ahok didakwa melakukan penodaan agama karena menyebut
26
dan mengaitkan Surat Al-Maidah 51 dengan Pilkada DKI. Penyebutan Surat Al-Maidah 51 ini disampaikan Ahok saat bertemu dengan warga di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada 27 September 2016. Ahok didakwa dengan Pasal 156 a huruf a dan/atau Pasal 156 KUHP.
27
BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Pidana adalah istilah yuridis sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf, dan dalam bahasa Inggris disebut sentence, serta dalam bahasa latin sanctio. Digunakannya istilah pidana di sini dan bukan hukuman adalah bertujuan untuk memfokuskan makna yang terkandung dari istilah pidana tersebut. Dari penjelasan definisi pidana tersebut, tujuan pemidanaan ini berkaitan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana yang mana aliranaliran ini berusaha untuk memperoleh suatu sistem hukum pidana positif yang prektis yang bermanfaat sesuai dengan perkembangan persepsi manusia tentang hak-hak asasi manusia. Terdapat tiga hal yang menggugurkan pelaksanaan pidana yang diatur di dalam KUHP. Pertama, terpidana meninggal dunia. Dalam hukum pidana terdapat suatu doktrin yang menyatakan bahwa hukuman atau pidana dijatuhkan semata-mata kepada pribadi terpidana, karenanya tidak dapat dibebankan kepada ahli warisnya. Pasal 83 KUHP menyatakan bahwa Kewenangan menjadikan atau melaksanakan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.
28
B. Saran Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.
29
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Asas-Asas hukum pidana, Cetakan Kedua, Rineka Cipta , Jakarta, 1994 A. Fuad Mustafa. 2004. Pengantar Hukum Piadana. Malang:UMM Press. Hlm 145 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori... op.cit J. E Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Rajawali Press , Jakarta, 1982 Erdianto Efendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia: Suatu Penngantar. Bandung: Reflikaaditama Konsep KUHP edisi 2005. Adapun kajian yang secara kritis menganalisis tentang tujuan pemidanaan dalam Rancangan KUHP Nasional diatas , lihat Mudzakkir,” Kajian terhadap Ketentuan Pemidanaan dalam Draft RUU KUHP”. Mkalah disampaikan pada Sosialisasi Rancangan KUHP yang diselenggarakan oleh Direktorat
jendral Peraturan Perundang-Undangan
departemen Kehakiman dan HAM RI,Jakarta , 29 Juli 2004
30