Fenomena Penganggur Terpelajar Kamis, 26 April 2012 - 17:00:00 WIB Muhammad Abu Nadlir, Direktur Monash Institute dan Dosen STEBank Islam Mr Sjafruddin Prawiranegara Jakarta Sungguh memprihatin-kan, jumlah pengangguran terdidik setiap tahun semakin meningkat. Terutama dari kaum terpelajar. Ini bisa kita amati bersama ketika bekal ijazah makin tidak laku di pasar tenaga kerja. Gelar akamedik seakan tak mampu lagi menopang nasib pemiliknya. Begitu juga para sarjanawan penganggur, semakin merebak ke kota-kota dan pedesaan-pedesaan. Menurut data BPS, jumlah pengangguran di Indonesia hingga 2011 mencapai 7,7 juta orang atau 6,56 persen dari total angkatan kerja. Secara umum tingkat pengangguran terbuka (TPT) cenderung menurun, di mana TPT Agustus 2011 sebesar 6,56 persen turun dari TPT Februari 2011 sebesar 6,80 persen dan TPT Agustus 2010 sebesar 7,14 persen. Jika dibandingkan keadaan Februari 2011, TPT pada hampir semua tingkat pendidikan cenderung turun, kecuali TPT untuk tingkat pendidikan SD ke bawah naik 0,19%, SMP naik 0,54%, dan SMK naik 0,43%. Pada Agustus 2011, TPT untuk SMA dan SMK masih tetap menempati posisi tertinggi, masingmasing 10,66% dan 10,43%. Yang paling sering terkena getahnya adalah lembaga pendidikan. Ia dianggap tidak bisa mencetak lulusan yang siap pakai. Kualitas para lulusan tidak cocok dengan kebutuhan dunia kerja. Mereka tidak memenuhi standar persyaratan yang ditetapkan bagi rekruitmen tenaga kerja. Padahal, dunia kerja begitu cepat berkembang. Persyaratan tenaga kerja selalu naik dari waktu ke waktu. Namun, lembaga pendidikan tidak bisa memantau kenaikan-kenaikan itu. Akibatnya, munculnya mis-match yang lebar antara lembaga pendidikan dan dunia kerja. Yaitu, ketidaksesuaian antara output lembaga pendidikan dengan input yang dituntut oleh dunia kerja. Ketidaksesuaian itu, misalnya, terlihat manakala sekelompok lulusan sekolah atau mahasiswa baru saja lulus dari sebuah lembaga pendidikan. Mereka bingung mencari pekerjaan. Beberapa iklan lowongan kerja yang dimuat koran sama sekali tidak menyentuh kualifikasi yang mereka miliki. Kemudian, arus pun kemudian berbalik. Mereka kembali mencari ilmu tambahan. Walaupun tidak seluruhnya, tetapi amat banyak di antara mereka kemudian mengikuti kursus-kursus pendidikan praktis. Sebutlah, kursus komputer, bahasa Inggris, manajemen, entrepeneurship, jurnalistik, akuntansi dan lian-lain. Alasannya, kursus-kursus semacam itu dianggap lebih laku, lebih marketable daripada kualifikasi sarjana yang disandangnya. Lembaga pendidikan memang bukan pabrik. Dan, tujuan seseorang kuliah atau mencari ilmu secara keseluruhan adalah untuk mempertinggi produktivitas dirinya. Apa pun itu disiplin ilmu yang ditekuni, baik sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu humaniora. Tetapi, bila mengibaratkannya dengan pabrik, maka lembaga pendidikan harus menjadi the pabric of a new meaning (pabrik yang selalu memproduksi nilai-nilai baru). (Giroux, 2000; Price, 2001) Lembaga pendidikan hendaklah mencari 'nilai tambah' kepada produk SDM yang dikelolanya, baik dalam sikap, wawasan, kecerdasan, ketrampilan, maupun keahlian. Namun, dalam praktiknya, tujuan ini akan mengalami kesulitan. Buktinya, keberadaan para penganggur 'terdidik'. Rasanya tidak
ada jaminan kepada mereka hingga menjadi lebih produktif dan bernilai tambah. Yang terjadi malah sebaliknya, tidak jarang perkembangan mereka menjadi paralel dengan pertumbuhan penganggur. Artinya, pendidikan mereka yang tinggi itu tidak dengan sendirinya membuka akses ke dunia kerja. Sehingga, seringkali tingginya pendidikan mereka itu, lalu hanya berarti besarnya inefisiensi, pemborosan dan ketidak-produktivitasan dirinya. Untuk mengatasi permasalahan di atas, tentu harus ada konsistensi dalam perencanaan pembangunan lintas sektor antara lembaga pendidikan dan dunia kerja. De samping, fenomena mismatch juga harus segera diakhiri. Kalau tidak, maka titik temu antara output lembaga pendidikan dan input yang dituntut dunia kerja, akan sulit terwujud. Namun, apabila lembaga pendidikan hanya menunggu dibuatkan, disahkan dan diturunkannya kebijakan-kebijakan makro seperti itu, mungkin terlalu lama. Maka, lembaga pendidikan dituntut lebih bersikap luwes dan pragmatis. Oleh Lembaga pendidikan hendaknya bertindak cepat sekaligus orientatif terhadap siswa-siswi atau mahasiswa-mahasiswi didikannya. Lembaga pendidikan harus mampu memantau perkembangan dunia kerja atau bisa bekerja sama dengannya. Ini penting agar lembaga pendidikan mampu berperan dalam membantu peserta didik. Khuisusnya, dalam mengarahkan dan mendampingi jenis pendidikan tambahan sebagai bekal pascakelulusan anak didik nanti, termasuk manakala harus menghadapi tuntutan dunia kerja. Selain solusi adanya kesepahaman antara dunia pendidikan dan dunia kerja tentang permasalahan output dan input yang diinginkan, solusi lainnya sebagai koreksi dan introspeksi bersama adalah bahwa sudah saatnya pendidikan Indonesia bergeser pada pilihan strategi pembangunan SDM ke arah pengembangan insan kreatif. Dengan manusia-manusia kreatif ini, diharapkan mampu menjadi penopang berkembangnya industri kreatif. Dan, tidak lain yang dibutuhkan adalah filsafat pendidikan progresif-eksistensialis. Karena, dengan basis filsafat ini, pendidikan akan lebih mampu mengakomodasi dan mengelaborasi potensi setiap individu melalui praksis pendidikan kreatif, baik berupa real experience maupun produc development. Kedua solusi di atas dapat dijalankan kedua-duanya atau memilih salah satu saja. Semua tergantung kemampuan lembaga pendidikan masing-masing. Karena, sukses tidaknya pendidikan akan dinilai dari sejauh mana dunia pendidikan mampu melihat dan menindaklanjuti perubahan kebutuhan belajar para siswa-siswi dan mahasiswa-mahasiswinya. Wallahu a'lam bi al-shawab. ***
https://www.haluankepri.com/news/detail/28181/fenomena-penganggur-terpelajar diakses tgl 24 February 2019 Minggu