Evolusi Pemikiran Pembangunan Posted by rorydoank on 16 March 2009 Oleh: Amich Alhumami *) “It is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change.” Charles Darwin 1809-1882 Panta rei – everything flows, everything is constantly changing, itulah ungkapan masyhur filosof Yunani kuno, Heraclitus (641-575 sm), yang acapkali dikutip para ilmuwan ketika menjelaskan suatu gejala perubahan. Seperti air, segala sesuatu mengalir mengikuti arus perubahan dalam kehidupan. Demikian pula halnya teori, aksioma, atau paradigma ilmu pengetahuan, semuanya berkembang dinamis mengikuti dialektika pemikiran manusia yang juga berubah. Salah satu disiplin ilmu pengetahuan yang mengalami perubahan teori dan paradigma sangat cepat sepanjang lebih dari setengah abad terakhir adalah disiplin ilmu ekonomi pembangunan. “No area of economics,” tulis Irma Adelman (2002), “has experienced as many abrupt changes in its leading paradigm since World War II as has development economics.” Evolusi pemikiran dalam ekonomi pembangunan memang berlangsung demikian cepat, yang bisa dilihat dari begitu banyak temuan ilmiah baru. Teori dan paradigma ekonomi pembangunan terus berkembang pesat, mulai dari generasi peraih Nobel dekade 1960-an: Jan Tinbergen dan dekade 1970-an: Simon Kuznets, sampai generasi dekade 1990-an: John Nash dan Amartya Sen. Dalam artikel Fallacies in Development Theory and their Implications for Policy, Adelman mengidentifikasi setidaknya ada tiga faktor utama yang mendorong perubahan teori dan paradigma pembangunan. Pertama, perubahan ideologi. Setiap generasi pemikir ekonomi mempunyai basis ideologi sendiri-sendiri serta memiliki rujukan teoretis dan policy prescriptions yang berlainan. Bila terjadi perubahan basis ideologi, maka otomatis akan membawa perubahan pada kerangka teori dan policy prescriptions tersebut. Dalam hal ini, kita bisa membandingkan antara pemikiran ahli-ahli ekonomi yang menganut mazhab Keynesian dengan pemikiran ahli-ahli ekonomi lain yang menganut mazhab neoliberal. Kedua, revolusi dan inovasi teknologi. Aktivitas ekonomi kini mengalami perubahan sangat fundamental akibat sukses besar revolusi teknologi informasi dan komunikasi. Revolusi teknologi yang berlangsung spektakuler itu membawa implikasi luas dan pengaruh kuat pada perkembangan teori dan paradigma pembangunan. Contoh, lahirnya paradigma pembangunan knowledge-based economy adalah produk revolusi teknologi tersebut. Ketiga, perubahan lingkungan internasional sebagai dampak globalisasi ekonomi yang berlangsung sangat intensif, yang tecermin pada kian terintegrasinya aktivitas ekonomi antarbangsa. Gejala integrasi ekonomi ini lazim disebut borderless economy, yang ditandai oleh: (i) liberalisasi ekonomi dan intensifikasi perdagangan bebas antarnegara, (ii) meluasnya operasi perusahaan multinasional, dan (iii) pesatnya perkembangan bisnis finansial internasional (Robert Gilpin, The NationState in the Global Economy, 2001). Ketiga faktor di atas jelas mempengaruhi premis dasar dan preposisi teoretis dalam perkembangan ilmu ekonomi mutakhir. Tentu saja faktor-faktor tersebut menjadi daya dorong yang kuat bagi para pemikir ekonomi untuk merumuskan ulang kerangka teoretis dan paradigma pembangunan yang telah mapan selama ini. Salah satu paradigma
pembangunan yang pada tahun-tahun terakhir ini mendominasi kajian dalam disiplin ilmu ekonomi adalah paradigma pembangunan manusia (human development paradigm). Paradigma pembangunan manusia *) Amich Alhumami, peneliti sosial ekonomi, bekerja di Direktorat Agama dan Pendidikan, Bappenas. 1 Mabub ul Haq, ekonom berkebangsaan Pakistan yang amat terpandang, membuat refleksi mendalam tentang paradigma pembangunan Barat yang sangat materialistik, yang sertamerta diterapkan di negara-negara berkembang. Paradigma pembangunan Barat yang materialistik itu mengukur pencapaian hasil pembangunan hanya dari aspek fisik semata, yang dikuantifikasi dalam perhitungan matematik dan angka statistik. Hasil pembangunan adalah deretan simbol-simbol numerikal dalam tabel dan grafik, yang melambangkan sukses pencapaian dimensi fisik dan materi. Tak heran, bila paradigma ini cenderung mengabaikan dimensi manusia sebagai subyek utama pembangunan dan menegasikan harkat dan martabat kemanusiaan yang paling hakiki. Haq menuangkan hasil renungannya itu dalam buku terkenal berjudul: Reflections on Human Development (1995), yang sekaligus menandai pergeseran paradigma pembangunan dari “national income accounting” ke “people-centered policy.” Kita patut menyimak dengan saksama rumusan paradigma itu: “The human development paradigm is concerned both with building up human capabilities through investment in people and with using those human capabilities fully through an enabling framework for growth and employment.” Paradigma ini mempunyai empat komponen esensial. Pertama, kesetaraan yang merujuk pada kesamaan dalam memperoleh akses ke sumber daya ekonomi dan politik yang menjadi hak dasar warga negara. Ini mensyaratkan sejumlah hal yaitu: (i) distribusi asetaset ekonomi produktif secara adil; (ii) distribusi pendapatan melalui perbaikan kebijakan fiskal; (iii) menata sistem kredit perbankan untuk memberi kesempatan bagi kelompok kecil dan menengah dalam mengembangkan usaha; (iv) menata sistem politik demokratis guna menjamin hak dan kebebasan politik; (v) menata sistem hukum guna menjamin tegaknya keadilan. Kedua, produktivitas yang merujuk pada usaha-usaha sistematis yang bertujuan meningkatkan kegiatan ekonomi. Upaya ini mensyaratkan investasi di bidang sumber daya manusia, infrastruktur, dan finansial guna mendukung pertumbuhan ekonomi, yang berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Agar kapasitas produksi bisa maksimal, maka investasi harus lebih difokuskan pada upaya peningkatan mutu SDM, yang ditandai oleh peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta penguasaan teknologi. SDM berkualitas memainkan peranan sentral dalam proses pembangunan suatu bangsa. Ketiga, pemberdayaan yang merujuk pada setiap upaya membangun kapasitas masyarakat dengan cara melakukan transformasi potensi dan kemampuan, sehingga mereka memiliki kemandirian, otonomi, dan otoritas dalam melaksanakan pekerjaan dan mengatasi permasalahan sosial. Dalam konteks ini, pembangunan menempatkan manusia sebagai pusat segala perhatian yang bertujuan bukan saja meningkatkan pertumbuhan dan pendapatan, melainkan juga memperluas pilihan-pilihan publik (public choices) sehingga manusia mempunyai peluang mengembangkan segenap potensi yang dimiliki. Keempat, berkelanjutan yang merujuk pada strategi dalam mengelola dan merawat modal pembangunan: fisik, manusia, finansial, dan lingkungan agar bisa dimanfaatkan guna mencapai tujuan utama pembangunan: kesejahteraan rakyat. Untuk itu, penyegaran,
pembaruan, dan pelestarian modal pembangunan sangat penting dan perlu guna menjaga kesinambungan proses pembangunan di masa depan. Demikianlah, paradigma pembangunan manusia kini menjadi tema sentral dalam wacana perdebatan mengenai isu-isu pembangunan. Orientasi pembangunan pun bergeser dari sekadar mencapai tujuan makroekonomi seperti peningkatan pendapatan nasional dan stabilitas fiskal ke upaya memantapkan pembangunan sosial (societal development). Paling kurang ada enam alasan mengapa paradigma pembangunan manusia ini bernilai penting, yaitu: (i) pembangunan bertujuan akhir meningkatkan harkat dan martabat manusia; (ii) mengemban misi pemberantasan kemiskinan; (iii) mendorong peningkatan produktivitas secara maksimal dan meningkatkan kontrol atas barang dan jasa; (iv) memelihara konservasi alam (lingkungan) dan menjaga keseimbangan ekosistem; (v) memperkuat basis civil society 2 dan institusi politik guna mengembangkan demokrasi; dan (vi) merawat stabilitas sosial politik yang kondusif bagi implementasi pembangunan (Kaushik Basu, On the Goals of Development, 2002). Ulasan di atas menegaskan betapa pemikiran pembangunan itu terus berdialektika dengan perubahan zaman dan berevolusi secara konstan. Setiap tahapan evolusi niscaya merujuk pada konteks zaman tertentu dan memiliki karakterisktik yang berlainan antara satu dengan yang lain. Sudah pasti setiap periode dalam evolusi pemikiran pembangunan menggambarkan perbedaan mendasar antara satu generasi dengan generasi yang lain. Dengan merujuk pada sejumlah literatur dan agar lebih mudah dalam membahas esensi pemikiran di masing-masing tahapan evolusi, kita pilah periode evolusi itu menjadi dua generasi saja. Generasi pertama Setelah Perang Dunia II berakhir, ahli-ahli ekonomi Barat mengenalkan konsep pembangunan kepada negara-negara bekas jajahan yang baru merdeka sepanjang tahun 1940-an dan 1950-an. Dalam berbagai khazanah literatur pembangunan, kita memahami teori-teori pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk melakukan modernisasi di negara-negara baru tersebut. Teori-teori pembangunan ekonomi itu berfokus pada empat isu sentral yaitu: (i) pertumbuhan, (ii) akumulasi kapital, (iii) transformasi struktural, dan (iv) peran pemerintah. Keempat isu ini merupakan tema dasar yang menjadi kajian penting dan utama dalam evolusi pemikiran pembangunan generasi pertama (1950-1975). Para ahli ekonomi pembangunan memusatkan perhatian pada empat isu sentral tersebut sebagai topik perdebatan akademis dalam kurun waktu seperempat abad itu. Secara teoretis, pembangunan dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang ditandai oleh peningkatan pendapatan per kapita seperti tercermin pada GNP. Namun, pertumbuhan mensyaratkan adanya akumulasi kapital, yang hanya bisa dicapai melalui investasi. Salah satu strategi untuk memacu akumulasi kapital dan mendorong investasi adalah industrialisasi. Pemikir-pemikir pembangunan dari mazhab ekonomi neoklasik dan strukturalis seperti Paul Rosestein-Rodan (1944), Ragnar Nurkse (1952), Arthur Lewis (1955), dan Irma Adelman (1961) mempunyai pemahaman yang serupa, bahwa “capital accumulation, investment, and well-designed industrialization are the very crucial components to accelerate development.” Ketiga hal tersebut merupakan kekuatan pendorong utama, yang dapat menggerakkan proses transformasi struktural. Proses ini mengandaikan adanya lompatan pembangunan yang semula berbasis pertanian ke pembangunan yang berbasis industri. Industrialisasi akan menyerap tenaga kerja dalam
jumlah banyak, yang menjadi salah satu elemen vital dalam proses produksi. Bila proses produksi berjalan baik, maka pendapatan nasional pun akan meningkat. Dalam konteks manajemen dan administrasi pembangunan, para pemikir generasi pertama ini mengakui peranan pemerintah sebagai suatu hal yang tak terelakkan bahkan bersifat imperatif. Pembangunan tidak mungkin dapat terlaksana dengan baik tanpa keterlibatan pemerintah dalam porsi yang wajar. Peranan pemerintah itu bisa pada level perumusan kebijakan, perencanaan program, rekayasa sosial ekonomi, manajemen dan administrasi, serta regulasi dan kontrol. Bentuk-bentuk peranan seperti ini merupakan instrumen yang sangat efektif dalam implementasi pembangunan. Bahkan tak sedikit pula yang meyakini bahwa institusi pemerintah diperlukan guna mengendalikan pasar, terutama untuk menghindari agar mekanisme pasar tidak hanya dikuasai oleh para pemilik modal besar. Ini diperlukan guna memberi proteksi bagi pemilik modal kecil agar tidak sampai tergulung di dalam kompetisi pasar bebas. Untuk itu, pemerintah harus berperan sebagai lembaga yang menstimulasi akumulasi kapital, mengalokasikan sumber daya, menyediakan dan mengelola tenaga kerja, dan mengontrol transaksi ekonomi. 3 Namun, penting dicatat bahwa isu pengendalian pasar dan kontrol atas transaksi ekonomi ini bersifat kontroversial, yang mengundang perdebatan serius dan panjang di kalangan ahli-ahli ekonomi. Bagi yang menentang, mereka berargumen bahwa hal itu menjadi kontraproduktif dan akan menciptakan inefisiensi. Yang diperlukan justru deregulasi dan debirokratisasi guna mendorong perkembangan ekonomi yang efisien dan membangun iklim pasar yang sehat. Isu krusial yang menjadi bone of contention ini telah menjadi arus-utama dalam mazhab pemikiran neoliberal, yang menekankan pada tiga policy prescriptions yaitu: (i) deregulasi, (ii) privatisasi, dan (iii) liberalisasi. Salah seorang proponen utama mazhab ini, Friederich Hayek (1899-1999) yang memenangi Nobel Ekonomi pada 1974, berpandangan bahwa mekanisme pasar merupakan instrumen yang sangat efektif dalam menggerakkan persaingan, sekaligus menjadi kekuatan pemaksa bagi para pelakunya agar berupaya menawarkan produk dan barang dengan harga kompetitif. Dengan kata lain, pasar menjadi mekanisme alamiah untuk menciptakan efisiensi. Pandangan kaum neoliberal itu terwakili dalam ungkapan berikut: “the essential tenet of neoliberalism is the extraordinary importance attributed to market mechanisms; prices in a market economy provide the best possible information regarding the relative efficiency of many possible combinations of physical and human resources affecting the link between supply and demand” (Stromquist, 2002). Generasi kedua Harus diakui bahwa pembangunan sebagaimana dikonsepsikan oleh para ahli ekonomi generasi pertama itu telah menciptakan perubahan penting dalam kehidupan suatu bangsa. Pembangunan telah mengantarkan negara-negara sedang berkembang memasuki tahapan moderninasi sebagai titik lompatan menuju kehidupan yang maju dan sejahtera. Namun, paradigma pembangunan yang dirumuskan oleh generasi pertama ini menuai kritik tajam, sebab pembangunan telah menciptakan ketimpangan dan kesenjangan yang mencolok antarkelompok masyarakat dan membelenggu kebebasan manusia yang paling asasi. Kritik ini diapresiasi dengan sangat baik oleh para pemikir pembangunan generasi kedua (1975-sekarang), yang kemudian lebih memusatkan perhatian pada empat isu fundamental yaitu: (i) distribusi pendapatan, (ii) ketidakadilan, (iii) kemiskinan, dan (iv) kebebasan dan demokrasi.
Sebenarnya, kritik itu sudah mulai mengemuka pada akhir dekade 1960-an, ketika Dudley Seers dalam The Meaning of Development (1969) mencoba menggugat apa yang disebut “the growth fetishism of development theory.” Bagi Dudley Seers, makna paling hakiki pembangunan itu bukan semata peningkatan pendapatan per kapita, melainkan pemerataan distribusi pendapatan, penurunan pengangguran, pembebasan kemiskinan, dan penghapusan ketidakadilan. Keempat isu ini jauh lebih mendasar yang harus diselesaikan dalam proses pembangunan, sebab semuanya itu menjadi problem kritikal yang menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain, peningkatan pendapatan yang hanya dinikmati oleh sekelompok masyarakat tertentu tidak berarti sama sekali, bila di sebagian masyarakat yang lain justru dijumpai fakta kemiskinan dan ketidakadilan. Menurut pengalaman banyak negara berkembang, kesenjangan ekonomi yang tajam justru menjadi faktor pemicu munculnya kekacauan sosial akibat gerakan protes, pertikaian etnis, dan konflik kelas yang sulit dikendalikan. Meksiko dan Brazil di Amerika Latin, Rwanda dan Burundi di Afrika, serta India, Sri Lanka, dan tentu saja Indonesia di Asia adalah sebagian dari contoh empirik yang memberi pelajaran berharga. Para pemikir pembangunan generasi kedua bahkan bergerak lebih maju lagi dengan mengusung isu kebebasan dan demokrasi. Isu terakhir ini sudah mulai disuarakan oleh ahli-ahli sosiologi, politik, dan ekonomi yang menaruh perhatian besar pada isu pembangunan dan perkembangan demokrasi politik (lihat Lipset 1959, Diamond & Linz 1995, Amartya Sen 1999, Przeworzki & Alvarez 2000, dan Meier & Stiglitz 2002). Mereka berargumen, selain pertumbuhan, peningkatan pendapatan nasional, dan akumulasi kapital, pembangunan harus mampu mengantarkan suatu bangsa mencapai kehidupan politik yang bebas dan 4 demokratis, yang tercermin pada adanya pengakuan apa yang disebut civil rights and political liberty. Semua itu diperlukan untuk menjamin keamanan sosial dan memelihara stabilitas politik. Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi tahun 1998, meringkas keseluruhan pandangan para pemikir pembangunan generasi kedua itu dalam rumusan yang padat: “development requires the removal of major sources of unfreedom: poverty as well as tyranny, poor economic opportunities as well as systematic social deprivation, neglect of public facilities as well as intolerance or overactivity of repressive states.” Mengamati arus utama pemikiran pembangunan dua generasi yang diuraikan di atas, tampak jelas para pemikir itu memiliki sensitivitas yang tinggi dalam merespons ide-ide baru yang berkembang dinamis. Isu-isu kritikal yang muncul belakangan mendapat apresiasi yang memadai; para pemikir generasi kedua berusaha merevisi premis-premis dasar pembangunan yang diajukan oleh generasi pertama. Jika kita perhatikan secara mendalam, akan terlihat penyesuaian, perubahan, dan revisi atas teori dan paradigma pembangunan itu. Garis evolusi pemikiran tersebut terutama sangat nyata terlihat dalam hal penetapan tujuan pembangunan, yang dapat digambarkan sebagai berikut. Gambar: Evolusi Pemikiran Pembangunan (Tujuan) Kebebasan Penghapusan Kemiskinan Pemenuhan hak dasar dan peningkatan kemampuan Pembangunan Berkelanjutan Indikator Non-moneter (Indeks Pembangunan Manusia (HDI) GDP Per kapita Riil
Gross Domestic Product Sumber: Gerald Meier & Joseph Stiglitz, Frontiers of Development Economics (2002) DEMIKIANLAH, ahli-ahli ekonomi dari setiap generasi merasa berkepentingan melakukan penyesuaian, pembaruan, dan perubahan atas teori-teori pembangunan lama, dengan menyerap gagasan-gagasan baru agar tetap relevan dan kontekstual dengan semangat zaman (zeitgeist). Kemunculan sebuah teori niscaya akan diperdebatkan oleh penyokong dan penentangya, untuk menguji tingkat validitasnya secara ilmiah. Kita tahu, ilmu pengetahuan akan memberi manfaat besar bila para pencetusnya mampu memahami semangat zaman yang berkembang pada masa itu, sehingga akan lebih peka dan adaptif terhadap setiap gejala perubahan. Para pemikir pembangunan tampaknya memahami makna ungkapan klasik Charles Darwin: “it is not the strongest of the species that survive, nor the most intelligent, but the one most responsive to change.” 5 Sumber:http://one.indoskripsi.com/artikel-skripsi-tentang/evolusi-pemikiranpembangunan