PERJALANAN ROHMAH Pagi itu seperti biasa Rohmah telah selesai dengan kegiatan rutinnya sebagai seorang ibu. Diliriknya jam yang melekat di dinding telah menunjukkan pukul 06.00 WIB. Ia kemudian bergegas ke kamar yang tidak jauh dari dapur tempat ia biasa melakukan kegiatannya sebagai seorang wanita seperti yang telah diajarkan mendiang ibunya kepada Rohmah semasa kecil dahulu. “Memasak adalah kewajiban wanita anakku!” Ucapan yang tidak pernah dilupakannya sampai pada saat ia menikah. Rohmah masuk ke dalam bilik kamar. Ia tersenyum melihat kedua putra kembarnya yang masih terlelap dalam mimpi-mimpi indah mereka. Seakan-akan mereka tidak ingin terbangun dan bergerak meninggalkan mimpi untuk mencapai dan membawanya dalam dunia penuh warna. Setelah selesai berbenah diri, Rohmah keluar dan mendapati Joko telah selesai dengan pekerjaan mengambil air dari sumur kecil yang ada di belakang rumah mereka. “Joko.” Sahut Rohmah kepada putranya. Rohmah bahagia melihat bayi mungilnya yang kini telah tumbuh menjadi remaja yang akan menghadapi kehidupan yang terbentang luas dihadapannya dengan sejuta masalah yang akan dilewatinya. “Persis seperti mendiang ayahnya.” Gumam Rohmah pelan. Tidak terasa waktu yang begitu cepat merampas setiap detik warna-warni kehidupan anaknya itu, hingga kini menjadi lembaran demi lembaran warna paradoks yang menghiasi setiap relung kehidupan anaknya, Joko, hingga sekarang berumur 13 tahun. Joko mendengar suara itu, kemudian menghampiri ibunya yang terlihat telah siap akan berangkat ke sawah untuk menyiangi padi yang telah diupahkan kepada ibunya beberapa hari yang lalu. “Ada apa Ibu?” Tanya Joko pelan. “Seperti yang telah Ibu katakan semalam kepadamu bahwa Ibu akan berangkat lebih pagi hari ini untuk menyiangi padi Pak Ahmad, kawan Ayahmu dulu. Jadi tolong Joko urus adik-adik berangkat sekolah dan jangan lupa, sepulang sekolah, Joko jemput adik-adik kembali.” Ucap Rohmah kepada putra sulungnya itu. “Baik Bu,” kemudian Joko seperti berfikir. “Tapi hari ini Joko ada ujian dan Joko takut ibu guru tidak akan mengizinkan Joko untuk menjemput adik.”
“Bukankah kamu telah sering menjemput adik-adikmu, Joko? Apakah Ibu gurumu tidak mengerti?” Pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Karena Joko tahu bahwa yang telah dilakukannya setiap menjemput adik-adik sepulang sekolah adalah salah. Sejurus kemudian Rohmah seperti berfikir, mengapa anaknya itu seperti menyembunyikan sesuatu kepada dirinya. Pikiran-pikiran negatife mulai merasuki pikiran Rohmah. “Ada apa Joko? Ibu merasa kamu seperti menyembunyikan sesuatu kepada Ibu?” Tanya Rohmah kepada Joko yang sedang berdiri dihadapannya dengan penasaran. “Joko selama ini tidak pernah izin ibu! Setiap kali Joko menjemput adik, Joko selalu membolos! Joko yakin, kalau Joko minta izin, pasti Joko tidak diperbolehkan. Joko tidak mengerti harus bagaimana lagi, Ibu! Joko juga takut minta izin! Jika joko tidak menjemput adik, Joko takut kalau Ibu yang akan memarahi Joko. Joko tidak ingin itu! Joko tidak ingin Ibu marah kepada Joko. Joko tidak menginginkan itu, Ibu!” Joko menangis mengatakan kebenaran itu. “Apa..!!!” Rohmah kaget mendengar ucapan anaknya itu. Ia benar-benar tidak menyangka akan seperti itu Joko untuk menjemput kedua adiknya. Ia tidak pernah membayangkan hal itu sebelumnya. Joko mengerti bahwa ibunya tidak menyukai apa yang telah dilakukannya. Joko menundukkan kepalanya, pertanda dia takut kepada ibunya yang akan semakin marah kepadanya. Rohmah menghela nafas panjang atas sesuatu yang baru didengarnya itu. Ia benar-benar terkejut. Rohmah bingung, ingin rasanya ia marah besar terhadap anaknya itu. Rohmah tidak ingin anak-anaknya berbuat sesuatu yang benar-benar tidak disukainya. Terlebih-lebih hal seperti ini. Ia tidak ingin anaknya semakin bertambah buruk kelakuannya dengan ia memarahi Joko, anaknya itu. Rohmah mengerti akan hal itu. “Joko, lain kali, jika Joko akan menjemput adik-adik, Joko harus minta izin kepada guru! Karena walaupun Joko melaksanakan yang telah Ibu katakan tetapi Joko tidak mentaati peraturan yang ada di sekolah, berarti Joko berbuat salah. Dan perbuatan itu tidak baik anakku!” Ucap Rohmah pelan dan berwibawa, sambil ia mengusap air mata yang telah membasahi wajah putra sulungnya itu dengan kedua belah tangannya. Amat lembut belaian dan sentuhan tangan ibunya itu. Sayang benar Rohmah kepada anak-anaknya. Tiada ingin ia melihat anaknya sedih dan pula menderita. Rohmah benar-benar memperjuangkan kehidupan ketiga anak-anak yang telah dititipkan Gusti Allah kepadanya. Apapun dapat ia kerjakan agar putra-putranya dapat bersekolah. Tiada seperti dia, yang tidak pernah bersekolah dahulu. Rohmah hanya ingin anaknya kelak sukses. Tiada seperti dia
sekarang. Dengan begitu ia akan bahagia. Hanya anak, harta yang dia punya. Ia tidak ingin anak yang dia punya kelak menjadi anak yang sia-sia. Maka itu ia keras untuk menyekolahkan anaknya. Meskipun rela ia bekerja siang malam untuk anak-anaknya yang sangat dicintainya. “Baiklah kalau begitu, nanti Ibu mampir sebentar ke rumah Haji Parta untuk meminta tolong kepada Raka akan menjemput adik-adikmu setelah mereka pulang sekolah nanti.” “Baik Ibu.” Jawab Joko pelan. Kemudian Joko langsung ke kamar dan meninggalkan ibunya yang berjalan ke arah dapur rumah mereka. Rohmah melangkah ke dapur untuk mengambil sepeda yang bersandar di dinding. Sepeninggal suaminya, Jaka, Rohmah yang selalu menggunakan sepeda warisan suaminya itu. Sepeda itu yang setia mengantarkannya kemanapun ia hendak pergi bahkan mengantarkan kedua putra kembarnya ke sekolah. Sepeda yang kini telah berada disampingnya itu, mengingatkan ia kepada kenangankenangan manis yang kini menjadi lembaraan demi lembaran lama yang mulai usang dimakan waktu. Air yang membendungi lapisan bola matanya yang bulat, meleleh keluar bagaikan lava panas yang mengucur pelan dan membasahi setiap relung wajah yang terlihat mulai mengendor. Memperlihatkan betapa keras tanggung jawab yang dipikulnya sekarang. Rohmah masih begitu jelas mengingat setiap detil kisah pertengkaran antara suaminya Jaka dengan saudara laki-laki suaminya Karlop, karena harta warisan yang ditinggalkan mendiang mertuanya, Pak Kresno, 10 tahun yang silam. Rohmah sangat mengutuki kejadian itu! Ia letakkan peralatan menyiangnya digagang sepeda kemudian pergi meninggalkan rumahnya. *** Rohmah merebahkan sepedanya di pekarangan rumah Haji Parta, yang kebetulan Raka, putra Haji Parta, sedang merapikan pekarangan rumah mereka. Ia terangkan maksud dan kedatangannya kepada Raka lalu setelah itu pergi dan meninggalkan Raka. Diperjalanan, Rohmah seperti mendengar sesuatu yang memanggil-manggil namanya berulang-ulang kali. “Rohmah!Rohmah!” Ia hentikan sepedanya untuk melihat siapakah yang telah memanggil namanya itu. Tibatiba dari arah belakang datang seorang wanita mendekatinya sambil tergopoh-gopoh menghirup nafas seperti seorang penyakit asma yang sedang kambuh.
“Nak kemanakah engkau sepagi ini udah berangkat, Rohmah?” Ucap wanita itu kepadanya, “Tak kau lihat baju apa yang aku pakai ni? Aku nak menyiang padi Pak Ahmad yang udah diupahkan ke aku petang kemaren. Ada apa pula engkau memanggil-manggil aku?” Tanya Rohmah dengan penasaran. “Tak tahukah engkau, hari ini ada seorang yang baik hati lagi kaya raya mau bersedakah di kampong kita?” Kata wanita itu berapi-api dan penuh semangat. “Tak tahu aku soal itu. Untuk apa orang itu bersedakah kepada kita?” “Rohmah, Rohmah, apa pula yang kau tanyakan itu, tak penting kau tanya seperti itu. Udah syukur orang itu mau bersedakah untuk kita yang miskin ini! Tak bersyukur kau rupanya ada orang yang mau bersedakah di kampung kita ini! Kampung miskin ini?! Kau Tanya pula aku dengan hal seperti itu. Buat aku jengkel kau ini! Tapi aku dengar orang itu bersedakah untuk berbagi kebahagiaan dibulan yang suci ini. Itu yang aku dengar dari Ibu-Ibu kemaren di masjid sehabis pulang taraweh. Khan seminggu lagi kita ndak lebaran!” Kata wanita itu kepada Rohmah dengan nada jengkel. “ Maaf lah, tak ada maksud aku nak buat kau jengkel. Cuma heran aku ini. Baru ini ada orang yang ndak bersedakah di kampung kita ini. Jam berapa itu?” “Sekarang!” “Apa?! Ndak salah kau itu? Pagi benar orang itu ndak bersedakah. Aku ndak ke sawah sekarang. Tak bisa aku. Bakal kena marah aku oleh Pak Ahmad kelak.” Balas rohmah kepada wanita yang sekarang ada dihadapannya itu. “Tak tahu lah aku kenapa harus pagi-pagi ini. Tak penting pula bagi aku mau pagi, siang, sore atau malam pun, tak penting bagi aku. Yang penting aku harus dapat sedekah itu. Tak apa lah itu Rohmah, kau tahu idak, jarang-jarang ada orang seperti ini ni! Tadi aku udah lihat banyak nian orang-orang sudah pergi ke balai desa ndak ambil sedekah itu.” “Baiklah, tapi kau tahu idak bakal apa yang di kasih orang itu untuk kita?” “Pertanyaan apa pula itu lagi yang kau tanya Rohmah? Buat aku jengkel benar kau ini! Kata orang-orang bakal dikasih duit 100.000 ribu dan sarung kita katanya! Baiknya cepatlah kita! Tambah banyak orang kelak, nggak dapat pula kita!” Ajak wanita itu. “Baiklah itu, aku juga nggak ada duit mau beli baju raya untuk anak-anak ku.” Balas Rohmah. Lalu kemudian mereka pergi menuju balai desa.
*** Dari kejauhan Rohmah melihat telah banyak orang tumpah ruah dibalai desa yang tidak terlalu luas tersebut. Rohmah meletakkan sepedanya disalah satu sudut dibagian rumah warga yang tidak terlalu jauh dari balai desa. Ia kemudian melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa beserta temannya dan menuju balai desa. Jarak 25 meter dari balai desa, begitu padat orang. Seperti segerombolan semut yang sedang memperebutkan gula yang telah ditemukannya. Rohmah menerobos orang-orang tersebut. Ia tidak peduli kepada kawanan orang-orang yang begitu mengharapkan sedekah dari orang yang tidak mereka kenal siapa dan dari mana tersebut. Kawan yang telah mengajaknya pergi pun, tiada diingatnya lagi. Yang ada di pikiran Rohmah sekarang, ia harus mendapatkan sedekah itu. Mendapatkah tanpa harus bekerja keras. Suatu hal yang tidak pernah dilakukannya. Rohmah membayangkan ia akan membelikan baju kepada putra-putranya yang sejak meninggalnya suaminya, Jaka, tidak pernah sekalipun ia membelikan baju raya lagi kepada anak-anaknya. Dapat makan, telah sebuah anugrah baginya. Apa lagi dapat membelikan sebuah baju raya baru kepada ketiga putra-putranya. Suatu yang luar biasa bagi Rohmah. Terlebih kedua putra kembarnya. Ada pun baju yang pernah dibelinya adalah baju bekas yang kemudian dibungkusnya begitu rapi baru setelah itu diberikan kepada putranya. Ia masih sempat membayangkan senyum manis kedua putranya yang masih begitu kecil ketika mendapatkan sebuah baju darinya. Meskipun anak-anaknya tidak mengetahui hal itu bukanlah sebuah baju baru. Rohmah terus melangkah, ia kesulitan menerobos orang yang begitu banyak tersebut. Terlalu banyak orang! Dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi, Rohmah berusaha melihat ke depan, ia dorong orang yang ada didepannya agar dapat menuju ke depan. Dengan tenaga yang tidak begitu kuat, ia memaksakan dirinya untuk terus melangkah dan terus melangkah meski ia merasa badannya mulai merasa kelelahan, tenaganya seperti terkuras habis. Ia seperti kesulitan bernafas dengan tubuh yang telah mulai kehilangan. Ia merasa seperti ada seonggok beban yang menghimpit tubuhnya, menari-nari dengan bebas tanpa menghiraukan apa yang ada dibawahnya. Karena orang-orang di atas hanya melihat ke langit luas. Yang ada didalam pikiran mereka adalah hadiah. Hadiah yang didapat tanpa bekerja keras. Hanya datang berdesak-desakan lalu kemudian mendapatkan sesuatu yang sangat bernilai bagi mereka. Rohmah masih terus membayangkan ia akan membelikan baju baru untuk anak-anaknya. ***