Edit Mamat Dan Baju Raya

  • Uploaded by: Markus
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edit Mamat Dan Baju Raya as PDF for free.

More details

  • Words: 1,777
  • Pages: 5
MAMAT DAN BAJU LEBARAN Siang yang begitu terik, membakar setiap inchi relung-relung kehidupan. Memberikan cahaya kehidupan bagi makhluk berfotosintesis dan makhluk pencari nafsu, dibumi yang fana dengan jiwa yang membahana tanpa suara ditutupi raga, diselimuti hawa yang membara. Panas yang ia rasa tetap tidak menyurutkan langkahnya walau hanya seinchi pun untuk mendapatkan sesuatu yang sangat diharapkannya. Tetesantetesan mata air yang mengucur deras dari dalam tubuhnya mulai membasahi baju dan kulit hitam legam laki-laki yang bernama Mamat itu. Dengan tubuh yang diselimuti daging tipis., begitu tipis, tampak ia mulai tertatih-tatih melangkah dengan sekarung beban dipundaknya. Ditaruhnya beban yang ada dipundaknya ke dalam sebuah truck yang berisi berkarung-karung kopi yang akan dijual ke luar daerah kemudian kembali ke gudang dan mengangkut karung-karung yang berisi kopi kembali. Sesekali ia mengusap wajahnya dengan handuk kecil yang melilit dibagian lehernya kemudian mengibasngibaskannya. Terlihat ia begitu panas dan kehausan. “Mat.” Sahut seorang rekannya yang sedang beristirahat melepas lelah bersama rekan-rekannya yang lain. “Udahlah Mat, kau seperti orang banyak masalah ku lihat. Tak kau saja yang punya masalah. Aku pun juga. Tak usahlah terlalu kau pikirkan. Kau itu masih muda. Cobalah kau ke kaca, Mat, lihatlah muka kau itu seperti orang yang udah renta. Cak mertua aku yang ndak mati itu. Sudah bau tanah Dia! Minumlah dulu air ini. Pucat benar kau ku lihat?” Ajak rekannya yang bernama Handoko. “Aku puasa Ko. Kau minum saja lah air itu.” Jawabnya tenang. “Tak usahlah kau terlalu munafik Mat! Aku tahu kau itu haus, lapar pula. Tak ada duit kau mau beli nasi? Kau bolehlah makai duit aku dulu, setelah kau punya, bolehlah kau bayar, tapi ingat, bunganya. Ngerti kau itu! Ha,ha,ha…!” Ejek rekannya itu sambil tertawa dengan begitu senangnya. Mamat tidak terima dengan ejeken itu. Ia sedapat mungkin meredam emosinya. Ia tidak ingin puasa yang telah dijalankannya batal hanya karena orang seperti Handoko. Setelah selesai beristirahat sejenak, Mamat kemudian meneruskan pekerjaannya beserta teman-teman sekerjanya yang lain. “Mat, jalan mu ku lihat, bak penari ular yang biasa ku tonton di pasar malam. Kiri, kanan, kiri lagi, kanan lagi, ha,ha…” Ejek salah seorang lagi sambil memperagakan gerak langkah kaki Mamat sedang membawa beban dipundaknya. Mamat benar-benar emosi melihat tingkah teman-teman sekerjanya itu. Tapi masih terus ditahankannya emosi yang telah sampai ke ubun-ubun kepalanya. Seperti larva panas yang melesat keluar dari dalam perut bumi.

“Aku memang benar-benar lelah.” Diliriknya teman-teman yang telah mengejeknya tadi mulai sibuk dengan beban yang ada dipundak mereka masing- masing. “Mungkin karena lelah aku maka kawan-kawanku mengejek aku seperti penari ular yang pernah jua ku tonton bersama anak istriku beberapa bulan yang lalu.” Ungkapnya dalam hati. “Mat, kalau kau tak kuat lagi, tak apa kau buka di ruangan kerja Bapak, kalau kau takut dilihat orang. Bapak lihat kau letih sekali.” Kata majikannya yang berdarah tionghoa itu tiba-tiba. “Aku nggak apa-apa Pak.” Jawab Mamat kepada majikannya yang begitu baik dan berjasa kepada keluarganya itu. Ia tidak dapat membayangkan jika majikannya itu tidak meminjamkan uang kepadanya ketika putri kecilnya diserang demam berdarah yang melanda desa mereka beberapa minggu yang lalu. Usai sudah pekerjaan Mamat kepada majikannya sore itu. Mamat mendatangi majikannya untuk bermaksud meminjam uang lagi karena besok adalah hari raya, hari kemenangan yang sangat dinanti-nantikan olehnya beserta keluarga yang telah dibinanya selama 7 tahun. “Pak.” Sapa Mamat kepada majikannya yang terlihat sibuk membolak-balikkan bukunya. “Pak!” sahut Mamat sekali lagi dengan nada agak keras. “Oh iya, maaf Mat, Bapak tidak mendegar suara kau tadi. Ada apa?” Tanya majikannya. “Begini Pak, besok hari raya Idul Fitri, sedangkan saya tidak ada duit untuk membeli baju anak saya. Sedangkan saya sudah janji. Duit yang bapak kasih kemaren kepada saya, sudah habis untuk berobat anak saya yang sakit. Saya bermaksud ingin meminjam duit lagi kepada bapak.” Ucap Mamat pelan. “Apa! Tak tahu diri kau Mat. Tak tahu kau, utang mu itu sudah satu juta dengan aku. Nak kau bayar pakai apa itu Mat?! Bekerja kau siang malam, belum tentu kau dapat uang sebanyak itu. Sekarang kau mau pinjam uang lagi? Tak ada otak kau Mat! Tak kau pikirkan badan kau yang udah kurus! Penyakitan itu! Kau paksa pula lagi mau pinjam duit. Klak kau mati, siapa yang khan bayar utang-utang kau itu?! Asal kau tau Mat, aku meminjamkan duit kek kau kemaren itu karena indak tega aku melihat anak kau klak mati. Kalau nggak karena itu, tak akan pernah kau ku pinjami duit! Dengar kau itu! Tapi kau indak sadar! Kau itu miskin Mat! Tak pantas kau mau beli-beli baju raya baru seperti yang kau bilang dengan kawan-kawan kau itu. Kau miskin, mau berlagak seperti orang kaya pula. Nggak sanggup kau Mat seperti itu. Hidup kau itu indak seperti itu! Tidak pantas! Sadarlah sedikit kau itu! Kau kira saya indak tahu maksud kau mau minjam duit lagi. Saya ada duit, tapi nak dipinjamkan kek kau itu ndak ada. Kau tahu itu! Pergilah kau sekarang! Ini duit gaji kau hari ini. Tak ingin aku lihat kau sekarang. Pergilah cepat.

Pusing aku melihat muka kau yang kusam itu. Tak berselera aku. Jadi berantakan semua kerjaanku gara-gara kau itu. Pergilah!” Bentak majikannya dengan kesal. Mamat benar-benar tidak menyangka akan semarah itu majikannya kepada dirinya. Ia ambil uang yang tergeletak dimeja kemudian pergi meninggalkan bosnya yang terlihat sibuk menekan calculator dan melihat buku-buku yang berserakan dimeja. Mamat bingung. Akan ia apakan duit lima belas ribu ditangannya. Ia masih teringat dengan ketiga putranya yang menuntut untuk membeli baju raya seperti yang telah dijanjikannya dahulu. Kalaupun ia nekat untuk membelikan baju dengan uang itu dengan apa ia akan makan. Hal ini benar-benar membuatnya pusing. Mamat pergi dan menuju ke pasar untuk membelanjakan duit yang telah didapatkannya dari hasil jerih payah selama bekerja satu hari untuk membeli bahanbahan makanan untuk keperluan mereka sekeluarga. *** Tidak beberapa lama berjalan, sampailah Mamat di pasar. Mamat melewati sebuah toko pakaian dan melihat anak-anak seusia anaknya sedang mencoba baju yang akan dibeli mereka besera kedua orangtuanya. Lama Mamat termenung melihat anak itu. Ia membayangkan bahwa orang itu adalah dirinya beserta istri dan ke empat putra putrinya. Begitu banyak orang dipasar itu. Suara hingar bingar kendaraan, suara pekikan para penjual, teriakan peluit dari tukang parkir, tangis anak-anak dan suara petasan yang diletupkan para bocah yang nakal tanpa ada rasa takut dalam diri mereka. Yang ada hanyalah kesenangan melihat orang terkejut, hingga ada yang jatuh pingsan. Sampai lah Mamat ke pedagang yang menjual bahan-bahan keperluan makan. Kemudian terjadi tawar menawar antara Mamat dan pedagang itu. Tidak banyak yang Mamat beli. Karena uang yang ada padanya hanya lima belas ribu rupiah. Ingin rasanya ia membeli semua bahan-bahan keperluan memasak yang dijajakan pedagang itu, tapi ia tahu bahwa uang yang ada padanya tidaklah mencukupi untuk membeli keseluruhannya. Kemudian ia meninggalkan pedagang itu yang terlihat sibuk melayani pembelipembeli lain dari mahkluk- mahkluk yang penuh materi. Entah itu asli. Atau hanya diberi. Dari alam yang baik hati kepada mereka yang mengerti. “Tidak seperti diriku!” Gerutu Mamat dalam hati. Mamat benar-benar merasa putus asa dengan kondisinya sekarang. Ditengah kondisinya yang terlihat benar-benar merana dan tidak terlihat semangat hidup, sedikit pun jua, tiba-tiba tidak beberapa jauh dari lokasi tempat Mamat berbelanja terdengar olehnya seorang wanita berteriak. “Maling!Maling!” Teriak wanita itu dengan sangat keras.

Mamat mendengar hal itu. Terlihat olehnya seorang pemuda melintas didepannya sambil memegang sebuah tas hitam dan berbelok ke kanan dari tempat ia berdiri. Tanpa berfikir panjang Mamat berlari mengejar laki-laki yang membawa tas itu beserta segerombolan orang yang mengikutinya dari arah belakang. “Maling!Maling!” Teriak orang yang ada di belakangnya. Diperempatan gang, Mamat dapat meraih pundak laki-laki itu. Sejurus kemudian laki-laki itu langsung menjatuhkan tas yang dipegangnya lalu kemudian berlari meninggalkan Mamat beserta orang-orang yang berada dibelakangnya dan menghilang meninggalkan mereka. “Syukurlah.” Kata Mamat kepada orang-orang yang berada dibelakangnya. Dari arah orang banyak itu datang sesosok wanita muda berlari menghampiri Mamat. “Anda yang telah mendapatkan tas saya itu?” Tanya wanita itu sambil menunjukkan jari-jarinya yang putih mulus ke arah sebuah tas yang sekarang berada ditangan Mamat. “Iya benar, ini tas yang Ibu punya?” Mamat menyodorkan tas yang ada padanya kepada wanita itu. “Iya, makasih ya, bapak sudah menolong saya.” Ucap wanita itu sambil mengambil tas yang telah disodorkan kepadanya. Mamat terdiam melihat gadis yang begitu cantik berada tepat dihadapannya itu. Tubuhnya kaku seperti sebuah tiang listrik yang menjulang tinggi menembus langit-langit cakrawala kehidupan. Tak berkedip. Sedikitpun. “Hallo…” Sapa wanita itu yang membuyarkan lamunan Mamat. Dilihatnya orang-orang banyak yang berada dibelakangnya tadi telah bubar meninggalkan mereka berdua. Mamat dan wanita muda itu. Ditengah kekikukkan Mamat, wanita muda itu mengeluarkan beberapa lembaran uang lima puluh ribuan dari dompet yang ada didalam tasnya kemudian menyodorkannya kepada Mamat. Ditengah kebingungan yang dialami Mamat karena berada dihadapan seorang gadis yang begitu cantik, ia seperti berfikir. “Ini kah keajaiban yang diberikan Allah kepadaku?” Tanya Mamat dalam hati. Ia benar-benar bimbang saat ini. Disatu sisi Mamat ingin mengambil uang yang telah disodorkan kepadanya. Mamat tahu ia sangat membutuhkan uang itu.

“Dengan uang itu, aku pasti dapat membelikan baju raya untuk anak-anakku dirumah dan juga kue, untuk hari esok. Ya, aku pasti mengambilnya. Karena wanita itu memberikannya kepadaku!” Pikirnya dalam-dalam. Tetapi disisi lain hati kecil Mamat mengatakan “Tidak! Jangan terima pemberian wanita itu! Itu namanya kau menolong tidak pamrih. Kau tidak boleh terima pemberian wanita itu! Tidak baik untuk ibadahmu!” Tiba-tiba terlintas dipikiran Mamat. “Maaf sebelumnya Bu, saya tidak dapat menerima pemberian Ibu.” Kata Mamat kepada wanita muda itu. “Saya memberikan ini kepada Bapak atas ungkapan terimakasih saya, karena Bapak telah menolong saya. Saya harap Bapak dapat menerima pemberian ini. Yang saya berikan ini tidak lah seberapa dari pertolongan Bapak kepada saya.” Balas wanita itu. “Maaf Bu, saya tidak dapat menerimanya.” Jawab Mamat tegas. “Baiklah kalau begitu. Saya tidak memberikan uang ini kepada bapak. Tetapi saya akan memberikan hal lain, dan hal itu Bapak yang harus mengatakannya.” “Apa maksud perkataan Ibu, saya tidak mengerti” “Maksud saya, saya akan berikan apa pun yang akan Bapak minta” “Tidak usah Bu. Terimakasih.. Saya menolong Ibu, iklas.” “Bapak tidak perlu bersikap seperti itu, mumpung ini bulan puasa dan lagi pula besok adalah hari raya Idul Fitri jadi tidak ada salahnya khan memberikan sesuatu kepada sesama?” Tanya wanita itu kepada Mamat. Mamat merasa terpojok dengan pertanyaan itu. “Aduh, bagaimana ya Bu…” Kemudian Mamat menceritakan keinginanya untuk membelikan baju raya kepada ketiga anak-anaknya. Tanpa Mamat duga, wanita muda itu mengajaknya ke sebuah toko pakaian yang begitu besar. Salah satu yang terbesar di kota itu. Mamat tahu itu. Ia sering mengangkut barang ke toko itu. Ternyata toko itu adalah kepunyaan wanita muda yang tadi telah di tolongnya di pasar. Mamat bersyukur, ternyata Tuhan mendengar seruan-seruan hambanya yang mau terus ikut bersama-sama didalam Dia dan tidak meninggalkan-Nya dalam keadaan apa pun juga. Mamat pulang dengan keinginan yang ia rasa lebih dari yang ia minta dari Yang Maha Kuasa dan tanpa ia duga-duga. “Sungguh dahsyat!”

Related Documents

List Baju Raya 2009
June 2020 3
Baju
May 2020 32
Bunga Raya Dan Bendera.docx
November 2019 14
Raya Sebenar Raya
November 2019 39

More Documents from "Arun Patinrosi"