Dr. Nur Indah Pratiwi Status Epileptikus.docx

  • Uploaded by: indah
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dr. Nur Indah Pratiwi Status Epileptikus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,658
  • Pages: 28
Case Report

KASUS EMERGENCY STATUS EPILEPTIKUS

dr. Devi Ratna Pratiwi

Dokter Pendamping : dr.

Rumah Sakit Umum Daerah I Lagaligo Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur Program Internship Periode IV Tahun 2018 / 2019

BAB I PENDAHULUAN Kejang-kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan pada praktek neurologi anak. Adanya gangguan kejang tidak merupakan diagnosis tetapi gejala suatu gangguan sistem saraf sentral (SSS) yang mendasari yang memerlukan pengamatan menyeluruh dan rencana manajemen. Pada kebanyakan anak, etiologi untuk kejang tidak dapat ditentukan, dan dibuat diagnosis epilepsi idiopatik1. Berbagai kondisi yang diduga mempengaruhi area sistem limbik di otak mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku. Salah satunya yaitu epilepsi, terutama epilepsi lobus temporalis (Temporal Lobe Epilepsy, TLE) yang pusat kejangnya berada di bagian medial lobus limbik. Epilepsi adalah suatu gangguan otak yang menyebabkan seorang pasien mengalami kecenderungan kejang-kejang secara berulang. Kejang adalah gejala utama dari epilepsi. Prevalensi epilepsi berkisar di antara 0,5% walaupun sedikitnya satu dari 20 orang dalam populasi pernah mengalami kejang dalam rentang waktu sepanjang kehidupannya2. Ada kalanya seseorang mengalami kejang tetapi bukan epilepsi. Sering dikatakan sebagai pseudoseizures. Disebut juga sebagai kejang nonepileptik, atau sebagai gangguan serangan kejang nonepileptik atau kejang epileptik palsu. Penelitian epidemiologi tentang insidens dan prevalensi terjadinya psikopatologi di antara serangan kejang masih sedikit. Namun penelitian yang ada memperlihatkan bahwa terdapat peningkatan prevalensi problem psikiatrik di antara pasien-pasien epilepsi dibandingkan pada pasien tanpa epilepsi. Diperkirakan terdapat 20% 30% penderita epilepsi mengalami psikopatologi dalam satu waktu, terutama ansietas dan

depresi. Lifetime prevalensi terjadinya episode psikotik berkisar antara 4% - 10%, dan meningkat menjadi 10% - 20% pada TLE2. Epilepsi yang terdiagnosis per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsi adalah 2 per 100.000. kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang. Misalnya ketika terjadi serangkaian kejang yang tidak terkontrol, dan di antara serangan pasien tidak sadar (status epileptikus), atau jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi pada penderita epilepsi (sudden unexplained death in epilepsy, SUDEP) diasumsikan berhubungan dengan aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi kardiorespirasi3.

BAB II LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama

: An. NH

Tanggal Lahir

: 26 Maret 2003

Umur

: 15 tahun

Jenis Kelamin

: Perempuan

Tanggal MRS

: 27 Januari 2019

Ruangan

: Mahalona 3

B. ANAMNESIS Tipe Anamnesis : Alloanamnesis Keluhan Utama : Kejang Riw. Penyakit Sekarang : Seorang anak perempuan, usia 15 tahun masuk dengan keluhan kajang sejak 2 hari dengan frekuensi kejang kurang lebih 10 kali, durasi kejang <5menit tanpa jeda sadar, demam tidak ada, pasien tertidur setalah kejang, mata kanan pasien memar akibat terjatuh pada saat kejang. Pasien berobat Epilepsi 5 tahun yang lalu selama 2 tahun. BAK: dalam batas normal, selera makan: biasa, selera minum: biasa. C. PEMERIKSAAN FISIS Keadaan umum

: Kejang (+) tidak disertai demam

BB

: 15 kg

TB

: 110 cm

Status Gizi

: < - 3 SD

Tanda Vital

: Nadi

= 130x/i

Pernapasan = 38x/i Suhu

= 35,9ºC

SpO2

= 94%

KEPALA 

Kepala

: Normochepal



Rambut

: Hitam, tidak mudah tercabut



Ubun2 Besar

: Menutup (+)



Telinga

: Otorhea (-)



Mata

: Cekung (-)



Hidung

: Rhinorea (-)



Bibir

: Kering (+)



Lidah

: Kotor (-)



Sel.Mulut

: Stomatitis (-)

LEHER 

Kaku Kuduk



Pembesaran KGB : Tidak ada

: Tidak ada

THORAKS Inspeksi 

Simetris kanan dan kiri



Deformitas thoraks (-)



Retraksi (-)



Pernapasan Cuping Hidung (-)

Palpasi 

Massa(-), Krepitasi (-)

Perkusi 

Sonor Kanan dan Kiri

Auskultasi 

Bunyi Pernapasan : Brochovsikuler



Bunyi Tambahan : Rh-/- Wh-/-

CARDIOVASKULER Inspeksi

: Intus cordis tidak tampak

Palpasi

: Ictus cordis tidak teraba

Perkusi

: Pekak



Batas Jantung Kiri: LMC S



Batas Jantung Kanan: LPS D

Auskultasi : 

Bunyi Jantung I dan II reguler



Bising (-)

ABDOMEN Inspeksi

:



Cembung, ikut Gerak Napas



Acites (-)

Palpasi

:



Distended(-)



Massa (-)



Nyeri tekan (-)

Perkusi

: Tympani

Auskultasi : Peristaltik (+), Kesan normal EKSTREMITAS 

Scoliosis (-), Gibbus (-)

DIAGNOSA KERJA Status Epileptikus + KEP (Marasmus)

D. HASIL FOLLOW UP TANGGAL

PERJALANAN PENYAKIT

INSTRUKSI DOKTER

04/04/2018 UGD S: 10.00 WITA Seorang anak laki-laki, usia 11 tahun R/ O2 Nasal Kanul 5 Lpm dengan BB: 15 Kg masuk dengan SpO2 = 98% keluhan kajang sejak tadi malam Stesolid rectal 10 mg, supp sampai sekarang. Durasi kejang > 1 jam tanpa jeda sadar, setelah itu kejang kadang berhenti namun hanya sesaat. Kejang pertama kali saat usia 8 bulan karena demam, setelah itu kejang sering-sering muncul. Kejang terakhir 1 minggu yang lalu, dirawat di RS dengan diagnosa kejang demam. BAK: dalam batas normal. Selera makan: biasa Selera minum: biasa O: HR= 130x/i RR= 38x/i SB= 35,9ºC spO2= 94% Paru: Bronchovesikuler Rh-/- Wh-/CV: BJ I/II murni regular. Bising (-) Abd: Peristaltik (+) k. Normal

10.10 WITA Pasien masih kejang, diobservasi dan R/ tidak ada perubahan. Lapor dokter Inj. Diazepam penanggungjawab. perlahan).

3

mg

(bolus

12.00 WITA Pasien kejang lagi > 10 menit tanpa R/ jeda Inj. Fenitoin 300mg/ 8jam/ IV (di encerkan dalam 50 Nacl habis dalam 6 menit) 05/04/2018 S: demam (-), kejang (-), batuk (-), - Lab DR mual (-), muntah (-), kembung (+), - IVFD RL 52 cc/ jam sesak (-), nyeri perut (-) - Cefotaxime Selera makan: baik 750mg/12jam/IV Selera minum: baik - Dexametasone BAK: lancar 1mg/8jam/IV BAB: 1x biasa - Inj.fenitoin 37,5mg/ 12jam/ O: IV HR= 96x/i (diencerkan sampai 5ml RR=28x/i Nacl bolus perlahan habis

SB= 36,0ºC Paru: Bronchovesikuler Rh-/- Wh-/CV: BJ I/II murni regular. Bising (-) Abd: Peristaltik (+) k. Normal

dalam 1 menit)

06/04/2018 S: demam (-), kejang (-), batuk (-), mual (-), muntah (-), kembung (+), sesak (-), nyeri perut (-) Selera makan: baik Selera minum: kuat minum BAK: lancar BAB: biasa O: HR= 92x/i RR=28x/i SB= 35,9ºC Paru: Bronchovesikuler Rh-/- Wh-/CV: BJ I/II murni regular. Bising (-) Abd: Peristaltik (+) k. Normal

-

S: demam (-), kejang (-), batuk (-), mual (-), muntah (-), kembung (-), sesak (-), nyeri perut (-) Selera makan: baik Selera minum: kuat minum BAK: lancar BAB: encer dengan frekuensi 9x, berlendir, berampas. O: HR= 88x/i RR=26x/i SB= 35,5ºC Paru: Bronchovesikuler Rh-/- Wh-/CV: BJ I/II murni regular. Bising (-) Abd: Peristaltik (+) k. Normal

-

-

IVFD RL 52 cc/ jam Cefotaxime 750mg/12jam/IV Dexametasone 1mg/8jam/IV Inj.fenitoin 37,5mg/ 12jam/ IV (diencerkan sampai 5ml Nacl bolus perlahan habis dalam 1 menit

07/04/2018

-

IVFD RL 52 cc/ jam Cefotaxime 750mg/12jam/IV Dexametasone 1mg/8jam/IV Inj.fenitoin 37,5mg/ 12jam/ IV (diencerkan sampai 5ml Nacl bolus perlahan habis dalam 1 menit

08/04/2018 S: demam (-), kejang (-), batuk (-), R/ mual (-), muntah (-), kembung (-), sesak (-), nyeri perut (-) Selera makan: baik Selera minum: baik BAK: lancar BAB: biasa O:

Aff infus Luminal tab 30mg ʃ 2 dd I

HR= 84x/i RR=24x/i SB= 35,9ºC Paru: Bronchovesikuler Rh-/- Wh-/CV: BJ I/II murni regular. Bising (-) Abd: Peristaltik (+) k. Normal 09/04/2018 S: demam (-), kejang (-), batuk (-), mual (-), muntah (-), kembung (-), sesak (-), nyeri perut (-) Selera makan: baik Selera minum: baik BAK: lancar BAB: bab encer 1x warna kuning, berampas. O: HR= 80x/i RR=28x/i SB= 35,6ºC Paru: Bronchovesikuler Rh-/- Wh-/CV: BJ I/II murni regular. Bising (-) Abd: Peristaltik (+) k. Normal

BAB III

-

BLPL Kontrol poli anak Luminal tab 30mg no.XX ʃ 2 dd I

TINJAUAN PUSTAKA A. DEFENISI KEJANG Kejang (komvulsi) didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak tanpa sengaja paroksismal yang dapat nampak sebagai gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom. Beberapa kejang ditandai oleh gerakan abnormal tanpa kehilangan atau gangguan kesadaran. Epilepsi didefinisikan sebagai kejang berulang yang tidak terkait dengan demam atau dengan serangan otak akut1. B. KLASIFIKASI KEJANG Klasifikasi kejang klinis menguraikan masing-masing kejadian, sedangkan sindrom epileptik mempertimbangkan usia, onset, etiologi, dan hubungan tipe kejang. Berikut klasifikasi kejang2,4,5: 1. Kejang tonik, klonik, dan tonik-klonik menyeluruh. Merupakan tipe kejang tersering pada masa kanak-kanak. Hal tersebut dapat terjadi sendirian atau disertai dengan tipe kejang lain. Biasanya serangan mulai mendadak tetapi kadang-kadang didahului oleh sederetan sentakan mioklonik. Kesadaran dan pengendalian sikap tubuh hilang, yang diikuti dengan kekakuan tonik dan deviasi mata ke atas. Kumpulan sekresi, dilatasi pupil, diaforesis, hipertensi, dan piloereksi mengikuti fase tonik, dan kemudian anak mengalami sentakan tonik kembali untuk waktu singkat. Sesudahnya anak tetap flaksid, dan dapat terjadi inkontinensia urin. Ketika anak bangun, biasa terdapat iritabilitas dan nyeri kepala. Selama serangan, EEG memperlihatkan lonjakan aktivitas

spike sinkron berulang yang diikuti dengan pelepasan impuls

paroksismal periodik. Kejang singkat tipe apapun tidak diyakini menyebabkan kerusakan otak secara langsung. Namun, aktivitas tonik-klonik yang berlangsung lebih dari 30 menit didefinisikan sebagai status epileptikus dan dapat menyebabkan kerusakan otak4. Kejang tonik dan klonik menyeluruh primer harus dibedakan dari kejang parsial dengan penyebaran menyeluruh sekunder. Kebanyakan anak dengan kejang tonik-klonik menyeluruh primer menderita epilepsi genetik, sedangkan kejang parsial sering disebabkan oleh lesi otak fokal. Adanya aura menunjukkan asal serangan fokal. Anak kecil sering tidak menyadari aura atau onset fokal kejangnya, dan perawat sering hanya menyaksikan aspek menyeluruh kejadian4. 2. Kejang demam. Kejang dengan demam dapat disebabkan oleh infeksi sistem saraf, epilepsi yang dipicu dengan demam, atau kejang demam sederhana. Kelainan kedua menggambarkan predisposisi genetik terhadap kejang pada masa bayi yang dicetuskan oleh peningkatan yang cepat pada suhu tubuh. Hal ini terjadi pada 24% anak antara 6 bulan dan 7 tahun, dengan setengahnya yang terjadi antara usia 1 tahun dan 2 tahun. Kejang demam tanpa komplikasi merupakan kejang menyeluruh yang berlangsung kurang dari 15 menit yang terjadi hanya sekali dalam masa 24 jam. Jika bersifat fokal, lama, atau multipel, kejang tersebut dinamakan kejang demam kompleks4.

3. Konvulsi Neonatal Benigna

Konvulsi neonatal benigna merupakan kelainan genetik autosom dominan yang berlokalisasi pada kromosom 20. Sindrom kejang ini ditandai dengan kejang tonik menyeluruh yang terjadi pada akhir usia minggu pertama. Respon terhadap pengobatan bervariasi, prognosis biasanya baik4. 4. Status Epileptikus Kejang yang cukup lama atau sering yang menyebabkan kondisi epileptik menetap. Lamanya aktivitas kejang yang diperlukan untuk mncapai status epileptikus bervariasi, tetapi sesudah status konvulsif 20-30 menit secara seri yang diantaranya tidak pernah sadar1, penurunan tekanan parsial oksigen korteks terjadi pada binatang percobaan, yang menunjukkan resiko cedera otak irreversibel. Sekitar 25% anak yang menunjukkan status epileptikus menderita cedera otak akut, seperti meningitis purulenta atau meningitis aseptik, ensefalitis, gangguan elektrolit, atau anoksia akut. 20% diantaranya adalah anak dengan riwayat cedera otak atau malformasi kongenital. Pada 50% kasus status epileptikus, tidak ada etiologi yang dapat dikenali, tetapi 50% dari kelompok ini mengalami demam. Penghentian mendadak pemberian obat antikonvulsan merupakan penyebab lain yang sering. Secara keseluruhan, angka mortalitas status epileptikus kurang dari 10%4. Status epileptikus dapat digolongkan sebagai menyeluruh (tonik-klonik) atau parsial (sederhana, kompleks, atau dengan generalisasi sekunder). Kejang tonik-klonik menyeluruh dominan pada kasus status epileptikus. Status epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan pendekatan

terorganisasi dan terampil agar meminimalkan mortalitas dan morbiditas yang menyertai1. 5. Kejang absence Sekitar 6-20% anak epilepsi menderita kejang absence khas. Tanda klinis kejang absence adalah kehilangan sesaat kesadaran lingkungan yang disertai dengan mengedip-ngedipkan mata mata atau automatisme sederhana seperti mengerakgerakkan kepala dan lip smacking. Pemeriksaan neurologis dan pencitraan otak tetap normal. Karakteristik gambaran EEG terdiri dari aktivitas spike-dangelomabang 3Hz sinkron dengan eksentuais frontal. Variasi kejang klinis selalu disertai dengan pelepasan impuls listrik, dan keduanya dibangkitkan oleh hiperventilasi atau stimulasi lampu senter4. 6. Spasme infantil Sindrom West ditandai dengan kontraksi singkat leher, batang tubuh, dan otot lengan, diikuti oleh fase kontraksi otot bertahan yang berlangsung dalam 2-10 detik. Fase inisial terdiri dari fleksi dan ekstensi pada berbagai kombinasi sedemikian sehingga kepala dapat terkulai ke belakang atau ke depan.seperti kebanyakan kejang, spasme terjaid paling sering bila anak bangun dari tidur atau akan tidur. Setiap sentakan diikuti dengan periode relaksasi singkat dan kemudian diulangi beberapa kali dalam kluster yang lamanya tidak dapat diprediksi dan berubah-ubah4. C. ETILOGI KEJANG 1. Keadaan Perinatal. Seperti malformasi serebrum, infeksi intrauterin, hipoksikiskemik, trauma, dan perdarahan.

2. Infeksi. Ensefalitis, meningitis, dan abses otak. 3. Keadaan Metabolik. Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia, hiponatremia, penyakit penyimpanan, sindrom reye, kelainan degenaratif, porfiria, dan ketergantungan (defisiensi) piridoksin. 4. Keracunan. Timbal, kokain, obat-obatan, penghentian konsumsi obat secara tibatiba. 5. Sindrom Neurokutan. Skerosis tuberosa, neurofibromatosis, sindrom strugeweber, sindrom klippel-treanunay-weber, nevus sebaseus liniar, inkontinensia pigmenti. 6. Gangguan Sistemik. Vaskulitis (SSP atau sistemik), SLE, ensefalopati hipertensif, gagal ginjal, dan ensefalopati hepatis. 7. Lain-lain. Trauma, tumor, demam, idiopatik, dan familial1. D. ETIOLOGI STATUS EPILEPTIKUS Ada tiga subtipe utama status epileptikus pada anak, yaitu: Kejang Demam lama, status epileptikus idiopatik di mana kejang berkembang pada tidak adanya lesi atau serangan SSS yang mendasari, dan status epileptikus bergejala bila kejang terjadi bersama dengan gangguan neurologis atau kelainan metabolik yang lama. Kejang demam berlangsung selama lebih dari 30 menit, terutama pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, merupakan penyebab status epileptikus yang paling lazim. Kelompok idiopatik termasuk penderita epilepsi yang mengalami menghentian antikonvulsan mendadak (terutama benzodiazepin dan barbiturat) yang disertai dengan status epileptikus. Anak epilepsi yang diberi antikonvulsan yang tidak teratur atau yang tidak taat adalah lebih mungkin berkembang status epileptikus. Status epileptikus dapat juga merupakan tanda

awal epilepsi. Kurang tidur dan infeksi yang menyelahi cenderung menjadikan penderita epilepsi menjadi lebih rentan terhadap status epileptikus1. Mortalitas dan morbiditas pada penderita dengan kejang demam lama dan status epileptikus idiopatik adalah rendah. Status epileptikus karena penyebab lain mempunyai mortalitas yang jauh lebih tinggi dan penyebab kematian biasanya secara langsung dapat dianggap berasal dari kelaianan yang mendasari. Tidak seperti mereka yang dengan status epileptikus idiopatik, banyak dari anak ini sebelumnya tidak mengalami konvulsi. Eksefalopati anoksik berat datang dengan kejang selama umur beberapa hari, dan prognosis akhir sebagian berkaitan dengan pengurangan dalam pengendalian kejang. Konvulsi yang lama dapat merupakan manifestasi awal ensefalitis, dan epilepsi dapat merupakan komplikasi meningitis jangka lama. Bayi dengan malformasi otak kongenital (misal, lissensefali atau skisensefali) dapat mengalami episode status epileptikus berulang yang sering kali refrakter terhadap antikonvulsan1. Kesalahan metabolik bawaan metabolisme dapat datang dengan status epileptikus pada bayi baru lahir. Bayi-bayi ini sering mengalami kehilangan kesadaran secara progresif yang disertai dengan kegagalan tumbuh dan muntah yang berlebihan. Kelainan elektrolit, hipokalsemia, hipoglikemia, intoksikasi obat, sindrom reye, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrim, dan tumor otak, terutama pada lobus frontalis, merupakan penyebab tambahan status epileptikus1. E. PATOGENESIS STATUS EPILEPTIKUS Hubungan antara keluaran neurologis dan lama status epileptikus belum diketahui pada anak dan dewasa. Ada beberapa bukti bahwa masa status epileptikus yang manimbulkan cedera saraf pada anak kurang daripada masa tersebut pada orang dewasa.

Pada primata, perubahan patologis dapat terjadi pada otak hewan yang diventilasi sesudah aktivitas kejang konstan 60 menit ketika homeostasis metabolik dipertahankan. Dengan demikian, kematian sel dapat akibat dari peningkatan kebutuhan metabolik karena discharge (rabas) neuron secara terus menerus1. Daerah otak yang paling rentan adalah hipokampus, amigdala, serebellum, daerah korteks tengah, dan talamus. Perubahan patologis aku khas terdiri dari kongesti vena, perdarahan petekie kecil, dan edema. Perubahan iskemik selular adalah temuan histologis paling awal, yang disertai dengan neuronofagia, proliferasi mikroglia, kehilangan sel, dan peningkatan jumlah astrosit reaktif. Kejang lama yang disertai dengan asidosis laktat, perubahan pada sawar darah otak, dan peningkatan intrakranial. Kompleks serial, perubahan hormanal dan biokimia yang kurang dimengerti, terjadi. Kadar prolaktin yang bersirkulasi, hormon adrenokortikotropin, kortisol, glukagon, hormon pertumbuhan, insulin , epinefrin, dan nukleotid siklik meningkat selama status epileptikus pada hewan percobaan. Kadar kalsium, asam arakidonat, dan prostaglandin neuron meningkat dan daat menignkatkan kematian sel. Pada mulanya, hewan percobaan mungkin hiperglikemik, tetapi akhirnya hipoglikemik. Tidak dapat dihindarkan terjadi disfungsi sistem saraf autonom, yang dapat menyebabkan hipotensi dan syok. Aktivitas otot tonikklonik yang konstan selama kejang dapat menghasilkan mioglobinuria dan nekosis tubulus akut1. Beberapa pemeriksaan telah menunjukkan penambahan aliran darah otak dan kecepatan metabolik yang bermakna selama status epileptikus. Pada hewan sekitar 20 menit status epileptikus menghasilkan insufisiensi oksigen regional, yang meningkatkan cedera dan nekrosis sel. Penelitian ini telah mengarah pada konsep masa kritis selama

status epileptikus ketika perubahan neuron ireversibel dapat berkembang. Masa transisi ini bervariasi 20 dan 60 menit pada hewan selama aktivitas kejang konstan. Manajemen anak harus diarahkan pada dukungan fungsi vital dan mengendalikan konvulsi secepat dan seefisien mungkin, karena masa transisi yang tepat pada manusia belum diketahui1. F. TERAPI Manajemen awal penderita mulai dengan penilaian sistem pernapasan dan kardiovaskuler. Anak harus dipindahkan ke unit perawatan intensif jika mungkin. Jalan napas oral diperiksa keterbukaannya, dan nadi, suhu, pernapasan, dan tekanan darah direkam. Sekresi oral yang berlebihan diambil dengan pengisapan yang halus, dan sungkup muka yang pas yang tersambung dengan oksigen dipasang. Jika penderita tidak berespon terhadap oksigen dengan sungkup atau sukar diventilasi dangan Ambu Bag, pertimbangan untuk intubasi dan bantuan ventilasi harus diberikan. Kateter IV segera dimasukkan. Jika hipoglikemia diperkuat dengan Dextrotix, infus cepat 5 ml/Kg 10% dextrosa diberikan. Darah diambil untuk dihitung sel darah, elektrolit (termasuk kalsium dan magnesium), glukosa, kreatinin, dan kadar antikonvulsan, jika terindikasi. Darah dan urin dapat diambil untuk toksikologi, memikirkan bahwa beberapa obat memperkuat atau mempercepat status epileptikus (misal, amfetamin, kokain, fenotiazin, teofilin pada kadar toksik, dan antidepresan trisiklik). Gas darah arteri harus ditentukan dan adalah bijaksana mempertahankan pipa arteri untuk pemeriksaan ulang. Pemeriksaan CSS merupakan keharusan jika meningitis atau ensefalitis dipikirkan, jika tidak ada kontraindikasi untuk tidakan ini. Pada kasus ini, antibiotik yang tepat harus diberikan, diikuti dengan pemeriksaan pencitraan, sebelum punksi lumbal dilakukan. Jika kejang tersubut refrakter terhadap antikonvulsan, atau penderita paralisis dan ada pada respirator, monitor EEG

terus menerus adalah penting untuk mengikuti frekuensi discharge (rabas) kejang, lokasi, dan respon terhadap terapi antikonvulsan1. Pemeriksaan fisik dan neurologis harus dilakukan bersama-sama untuk menilai bukti adanya trauma; edema papil, pencembungan vontanella anterior, atau tanda neurologis lateralisasi yang meningkatkan penigkatan tekanan intrakranial; manifestasi sepsis atau menignitis; perdarahan retina yang dapat menunjukan hematom subdural; pernapasan Kussmaul dan dehidrasi menandakan asidosis metabolik atau pernapasan ireguler yang menandakan disfungsi batang otak; bukti adanya kegagalan tumbuh, bau tubuh yang aneh, atau pigmentasi rambut abnormal yang memberi kesan kesalahan metabolisme bawaan; dan konstriksi atau dilatasi pupil yang menunjukkan toksin atau obat sebagai penyebab status epileptikus. Pemeriksaan menyeluruh harus dilakukan bila kejang telah terkendali. Pemeriksaan penderita lebih lanjut termasuk pemerisaak neuroradiologis yang tergantung pada temuan fisik dan neurologis dan pada riwayat yang tepat tipe dan frekuensi kejang1. Obat harus selalu diberikan secara IV pada penatalaksanaan ststus epileptikus; rute IM tidak dapat dipercaya karena beberapa obat terikat pada otot. Salah satu dari masalah utama pada penatalaksanaan status epileptikus adalah penggunaan antikonvulsan yang tidak tepat. Sangat sering dosis obat yang sangat rendah diberikan, dan karena tidak ada respon, antiepileptik lain segera diberikan. Harus hati-hait berkenaan dengan bagaimana antikinvulsan dimasukkan. Fenitoin membentuk endapan pada larutan glukosa dan membuat tidak efektif. Obat lain berinteraksi dengan botol plastik atau berubah karena cahaya matahari (misal, paraldehid). Adalah sangat penting untuk melengkapi

resusitasi pada tempat tidur dan dapat mengintubasi dan memventilasi penderita segera jika depresi pernapasan harus terjadi1. Diazepam atau Lorazepam pada mulanya digunakan, karena obat-obat ini efektif untuk pengendalian segera kejang tonik-klonik yang lama pada kebanyakan anak. Diazepam harus diberikan IV secara langsung ke dalam vena (tanpa pipa) dengan dosis 0,3 mg/Kg dan dengan dosis maksimum 10 mg dengan kecepatan tidak lebih dari 1 mg/ menit. Depresi pernapasan dan hipotensi dapat terjadi, terutama jika diberikan dengan barbiturat. Diazepam efektif pada penatalaksanaan status tonik-klonik, tetapi obat ini mempunyai waktu paruh pendek sehingga kejang akan kambuh kecuali kalau antikonvulsan yang bedaya lebih lama diberikan secara simultan. Lorazepam adalan antikonvulsan jangka pendek yang sama efektifnya, dengan lama kerja lebih besar dan kemungkinan kurang menimbulkan hipotensi dan henti pernapasan. Dosis yang dianjurkan adalah 0,05-0,1 mg/Kg yang diberikan dengan perlahan-lahan, IV. Jika pipa IV tidak dapat dimasukkan atau anak berada agak jauh dari pusat medik, diazepam atau lorazepam rektal dapat digunakan dengan aman. Diazepam yang tidak diencerkan dimasukkan ke dalam rektum dengan semprit dan pipa fleksibel dengan dosis 0,3-0,5 mg/Kg. dosis efektif lorazepam rektal adalah 0,05-0,1 mg/Kg. kadar terapeutik serum terjadi dalam 5-10 menit. Lorazepam sublingual dapat digunakan untuk mengobati anak dengan kejang-kejang seri yang cenderung berkembang menjadi status epileptikus sementara anak di rumah. Dosis lorazepam sublingual adalah 0,05-0,1 mg/Kg. tablet ditempatkan di bawah lidah penderita dan diisap dalam beberapa detik1. Pasca pemberian diazepam atau lorazepam, beberapa pilihan tersedia untuk penatalaksanaan lebih lanjut. Jika aktivitas konvulsif berhenti sesudah terapi diazepam

atau lorazepam atau jika kejang menetap, Fenitoin diberikan segera. Dosis pembebanan fenitoin adalah 15-20 mg/Kg IV dengan kecepatan 1 mg/menit. Fenitoin dapat dengan aman ditambahkan pada salin setengah normal atau normal tetapi tidak pada larutan glukosa; obat yang tidak diencerkan dapat menyebabkan nyeri, iritasi, dan flebitis vena. Rekaman elektrokardiogram dianjurkan selama fase pembebanan agar mengenali adanya aritmia, komplikasi yang jarang pada anak. Jika kejang tidak kambuh, dosis rumatan 5-8 mg/Kg dibagi menjadi dua dosis yang sama setiap hari dimulai 12-24 jam kemudian. Kadar fenitoin serum harus dimonitor karena dosis rumatan sangan bervariasi menurut umur. Fenitoin tidak selalu efektif dalam mengendalikan status epileptikus tonik-klonik, dalam hal mana obat alternatif diperlukan. Pada beberapa pusat, venobarbital dimulai sebelum fenitoin. Obat ini diberikan dengan dosis pembebanan 10-15 mg/kg atau pada neonatus 20 mg/kg IV selama 10-30 menit. Dengan pengendalian kejang, dosis rumatan adalah 3-5 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis yang sama1. Jika status epileptikus tidak terkendali oleh strategi sebelumnya, dokter harus membuat beberapa keputusan penting, karena mungkin masa transisi telah lewat. Pilihan untuk penatalaksanaan obat lebih lanjut adalah paraldehid, tetes infus diazepam, lidokin, pentobarbital, atau anastesi umum. Pada stadium ini penderita biasanya tersedasi dan dapat menunjukkan tanda depresi pernapasan, memerlukan intubasi efektif dan bantuan ventilasi1. Paraldehid adalah antikonvulsan yang sangat baik dan relatif aman untuk pemberian pada anak. Larutan paraldehid 5% dipersiapkan dengan menambahkan 1,75 ml paraldehid (1 mg/ml) pada D5W sampai volume total 35 ml. dosis pembebanan adalah 150-200 mg/kg IV lambat selama 15-20 menit, dan kemudian pengendalian kejang

dipertahankan dengan infus 20 mg/kg/jam pada kadar 5% dalam botol kaca, karena obat tersebut tidak cocok dengan plastik. Kecepatan tetes IV dapat dikurangi ketika kejang dan EEG membaik. Obat harus baru dibuka, karena paraldehid yang lewat waktu dapat memburuk menjadi asetaldehid dan asam asetat. Paraldehid yang diberikan per rektal atau IM dapat menyebabkan cedera ringan dan pengelupasan, dengan demikian rute ini tidak boleh dicadangkan untuk keadaan pengecualian1. Infus diazepam terus menerus dapat dipertimbangkan daripada paraldehid, terutama jika dosis pembebanan diazepam dengan cepat mengendalikan kejang. Diazepam dalam air steril, salin normal, dan Ringer laktat. Pengenceran 0,04 mg/ml memberikan jaminan yang paling besar pelepasan kembali diazepam dan stabilitas 24 jam. Kecepatan aliran yang disarankan adalah 2-3 mg/jam, tetapi dosis ini harus dititrasi terhadap respon penderita dan efek samping. Jika status epileptikus menetap pasca diazepam atau lorazepam, trial fenitoin,

fenobarbital,

dan paraldehid, harus

dipertimbangkan secara serius terhadap induksi pentobarbital koma. Pada lingkungan perawatan intensif, penderita ditempatkan pada ventilator dan monitor EEG terus menerus. Dosis pembebanan pentobarbital inisiasi IV adalah 1-5 mg/kg yang diikuti dengan 2-3 mg/kg/jam untuk mempertahankan kadar pentobarbital serum antara 25 dan 40 g/ml. ledakan supresi pola EEG dipertahankan selama minimum 48 jam, diikuti dengan penghentian pentobarbital sampai kadar serum turun pada kisaran terapeutis. Pentobarbital koma memerlukan pemantauan yang cermat oleh dokter yang berpengalaman, karena hipotensi memerlukan agen presor dan kelainan elektrolit terjadi1. Anastesi umum merupakan tambahan alternatif pada penatalaksanaan status epileptikus jika terapi obat biasa tidak efektif atau jika pentobarbital koma bukan

merupakan pilihan. Beberapa agen telah digunakan secara berhasil, termasuk halotan dan isofluran. Anastesi umum kemungkinan bekerja pada perbaikan anoksia serebral dan kelainan metabolik yang berasamaan, memungkinkan antikonvulsan yang diberikan sebelumnya mendesakkan pengaruhnya. Kerugian utama anastesi umum adalah harus diberikan dalam kamar operasi dengan mencari peralatan gas anastesi untuk masa yang lama1. Natrium valproat adalah antikonvulsan efektif pada penatalaksanaan bebetapa tipe kejang. Karena natrium valproat tidak tersedia secara parenteral, obat ini harus diberikan secara oral atau rektal pada penderita dengan status epileptikus. Karena muntah dan ileus paralitikus adalah lazim pada anak dengan kejang berulang, natrium valproat harus diberikan melalui rektum selama status epileptikus agar dicapai penyerapan maksimal. Sirup natrium valproat (50 mg/ml) diencerkan 1:1 dengan air dan diberikan sebagai enema retensi dalam dosis pembebanan 20 mg/kg. obat ini dapat dipertimbangkan pada penatalaksanaan status epileptikus pada penderita yang tidak berespon dengan antikonvulsan biasa dan pentobarbital koma1. Penggunaan terapi antikonvulsan pasca status epileptikus adalah kontrovensial. Ada sedikit pertanyaan apakah antiepilepsi jangka-lama harus dipertahankan pada anak gangguan neurologis progresif atau dengan riwayat kejang berulang sebelum mulainya status epileptikus. Namun, tidak mungkin masa pengobatan antikonvulsan yang lama diperlukan pasca serangan awal status epileptikus idiopatik, terutama bila kejang demam yang lama merupakan penyebabnya. Terapi antikonvulsan dipertahankan secara absolut selama 3 bulan pada kasus ini dan dihentikan jika anak tetap tidak bergejala1.

G. PROGNOSIS Hasil neurologis pasca status epileptikus telah membaik secara bermakna sejak penemuan unit perawatan intensif modern dan manajemen agresif kejang yang lama. Angka mortalitas status epileptikus adalah sekitar 5% pada kebanyakan seri. Kebanyakan kematian terjadi pada kelompok bergejala, kebanyakan darinya mempunyai kelainan SSS serius dan mengancam jiwa sebelum mulainya status epileptikus. Bila tidak ada serangan neurologis progresif atau gangguan metabolik, morbiditas status epileptikus adalah rendah. Kenyataannya bahwa sekuele jangka panjang seperti hemiplegia, sindrom ekstrapiramidalis, retardasi mental, dan epilepsi lebih sering pada anak sebelum umur 1 tahun pasca status epileptikus dihubungkan dengan kenyataan bahwa kelompok ini lebih mungkin menderita kelainan SSS yang mendasari sebelum sakit1.

BAB IV PEMBAHASAN Resume: Seorang anak laki-laki, usia 11 tahun masuk dengan keluhan kajang sejak tadi malam sampai sekarang. Durasi kejang > 1 jam tanpa jeda sadar, setelah itu kejang kadang berhenti namun hanya sesaat. Kejang pertama kali saat usia 8 bulan karena demam, setelah itu kejang sering-sering muncul. Kejang terakhir 1 minggu yang lalu, dirawat di RS dengan diagnosa kejang demam. BAK: dalam batas normal, selera makan: biasa, selera minum: biasa.. Dengan Keadaan umum Kejang (+) tidak disertai demam, BB: 15 kg, TB: 110 cm, Status Gizi : < - 3 SD. Dan tanda-tanda vital N: 130x/I, R: 38x/I, S: 35,9ºC, SpO2: 94%, Paru: Bronchovesikuler Rh-/- Wh-/-, CV: BJ I/II m. regular. Bising (-), Abd: Peristaltik (+) k. Normal. Dievaluasi selama 5 hari dengan keadaan bermakna: kejang berhenti dan tidak muncul kembali. Tanda-tanda vital dalam batas normal. Berdasarkan kepustakaan: 1. Defenisi Kejang yang cukup lama atau sering yang menyebabkan kondisi epileptik menetap. Lamanya aktivitas kejang yang diperlukan untuk mncapai status epileptikus bervariasi, tetapi sesudah status konvulsif 20-30 menit secara seri yang diantaranya tidak pernah sadar. Status epileptikus dapat digolongkan sebagai menyeluruh (tonik-klonik) atau parsial (sederhana, kompleks, atau dengan generalisasi sekunder). Kejang tonik-klonik menyeluruh dominan pada kasus status epileptikus. Status

epileptikus adalah gawat darurat medik yang memerlukan pendekatan terorganisasi dan terampil agar meminimalkan mortalitas dan morbiditas yang menyertai 2. Etiologi 50% dari kelompok ini mengalami demam. Kejang demam berlangsung selama lebih dari 30 menit, terutama pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, merupakan penyebab status epileptikus yang paling lazim. 3. Terapi yang diberikan R/ O2 Nasal Kanul 5 Lpm SpO2 = 98% Stesolid rectal 10 mg, supp R/ Inj. Diazepam 3 mg (bolus perlahan). R/ Inj. Fenitoin 300mg/ 8jam/ IV (di encerkan dalam 50 Nacl habis dalam 6 menit) R/ -

Lab DR IVFD RL 52 cc/ jam Cefotaxime 750mg/12jam/IV Dexametasone 1mg/8jam/IV Inj.fenitoin 37,5mg/ 12jam/ IV (diencerkan sampai 5ml Nacl bolus perlahan habis dalam 1 menit)

-

IVFD RL 52 cc/ jam Cefotaxime 750mg/12jam/IV Dexametasone 1mg/8jam/IV Inj.fenitoin 37,5mg/ 12jam/ IV (diencerkan sampai 5ml Nacl bolus perlahan habis dalam 1 menit

-

IVFD RL 52 cc/ jam Cefotaxime 750mg/12jam/IV Dexametasone 1mg/8jam/IV Inj.fenitoin 37,5mg/ 12jam/ IV (diencerkan sampai 5ml Nacl bolus perlahan habis dalam 1 menit

R/

R/

R/ -

Aff infus Luminal tab 30mg ʃ 2 dd I

-

BLPL Kontrol poli anak Luminal tab 30mg no.XX ʃ 2 dd I

R/

4. Prognosis Bila tidak ada serangan neurologis progresif atau gangguan metabolik, morbiditas status epileptikus adalah rendah. Kenyataannya bahwa sequele jangka panjang seperti hemiplegia, sindrom ekstrapiramidalis, retardasi mental, dan epilepsi lebih sering pada anak sebelum umur 1 tahun pasca status epileptikus dihubungkan dengan kenyataan bahwa kelompok ini lebih mungkin menderita kelainan SSS yang mendasari sebelum sakit

DAFTAR PUSTAKA 1. Behrman, Kliegman, Arvin. Kejang-Kejang pada Masa Anak, dalam Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Vol 3. Edisi ke-15. Jakarta: EGC. 2014.h.2053-72 2. Elvira S, Hadisukanto G. Bab 10 Gangguan Mental Organik Lain, dalam Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2013. h.110-6 3. Ginsberg L. Bab 10 Epilepsi, dalam Lecture Notes Neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Erlangga. 2008. h.79-88 4. Behrman R, Kliegman R. Gangguan Paroksismal, dalam Nelson Esensi Pediatri. Edisi ke-4. Jakarta: EGC. 2002. h.853-62 5. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. Edisi ke-4. Jakarta: PT. Cendikia Pemuda Utama. 2008. h.473-75

Related Documents


More Documents from ""