Dispepsia_(1).docx

  • Uploaded by: Farhan Reza
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dispepsia_(1).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,087
  • Pages: 32
REFERAT

DISPEPSIA

Disusun Oleh : Carindha Azaria 2012 730 019

Pembimbing : dr. Camelia Khaerun Nissa, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM BLUD RUMAH SAKIT SEKARWANGI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2017

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan kekuatan dan kemampuan kepada penyusun sehingga penyusunan Referat yang berjudul “Dispepsia” ini dapat diselesaikan. Referat ini disusun untuk memenuhi syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF Ilmu Penyakit Dalam di BLUD Rumah Sakit Sekarwangi. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya referat ini tidak lepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak. Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak terkait. Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih baik di kemudian hari. Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca, khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.

Sekarwangi, Mei 2016

Penulis

i

BAB I PENDAHULUAN Dispepsia merupakan keluhan yang umum ditemui dalam praktik sehari-hari dan telah dikenal sejak lama dengan definisi yang terus berkembang, mulai dari semua gejala yang berasal dari saluran cerna bagian atas, sampai dieksklusinya gejala refluks hingga ke definisi terkini yang mengacu kepada kriteria Roma III. Infeksi Helicobacter pylori (Hp) saat ini dipandang sebagai salah satu faktor penting dalam menangani dispepsia, baik organik maupun fungsional, sehingga pembahasan mengenai dispepsia perlu dihubungkan dengan penanganan infeksi Hp. Berbagai studi meta-analisis menunjukkan adanya hubungan antara infeksi Hp dengan penyakit gastroduodenal yang ditandai keluhan/gejala dispepsia. Prevalensi infeksi Hp di Asia cukup tinggi, sehingga perlu diperhatikan dalam pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan dispepsia. Eradikasi Hp telah terbukti efektif dalam menghilangkan gejala dispepsia organik, tetapi untuk dispepsia fungsional masih diperlukan penelitian lebih lanjut. Konsensus ini disusun untuk memberikan panduan pada dokter umum, spesialis dan konsultan dalam penatalaksanaan dispepsia. Konsensus ini menggabungkan penatalaksanaan dispepsia dan infeksi Hp, sehingga akan dicapai hasil yang lebih baik.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Dispepsia berasal dari bahasa yunani yaitu duis bad dan peptein to digest yang berarti gangguan pencernaan. Menurut Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2014, dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan sendawa. Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Menurut Konsensus Roma II tahun 2000, dispepsia didefinisikan sebagai rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat pada perut bagian atas. Definisi dispepsia menurut kriteria Roma III tahun 2006 adalah salah satu atau lebih gejala dibawah ini :



Rasa penuh setelah makan (yang diistilahkan postprandial distress syndrome)



Rasa cepat kenyang (yang berarti ketidakmampuan untuk menghabiskan ukuran makan normal atau rasa penuh setelah makan)



Rasa nyeri epigastrik atau seperti rasa terbakar (diistilahkan epigastric pain syndrome)

B. EPIDEMIOLOGI Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi. Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 4379,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia fungsional. Dispepsia masih menimbulkan masalah kesehatan karena merupakan masalah kesehatan yang kronik dan memerlukan pengobatan jangka panjang sehingga meningkatkan biaya perobatannya. Walaupun gejalanya hanya singkat dan dapat diobati sendiri oleh pasien tanpa berobat ke dokter. Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%)

3

populasi tiap tahun tetapi tidak semua pasien yang terkena dispepsia akan mencari pengobatan medis. Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus. Di Indonesia, data prevalensi infeksi Hp pada pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20-40% dengan berbagai metode diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi). Prevalensi infeksi Hp pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%), serta prevalensi terendah di Jakarta (8%).  Umur Dispepsia terdapat pada semua golongan umur dan yang paling beresiko adalah diatas umur 45 tahun. Penelitian yang dilakukan di Inggris ditemukan frekuensi anti Helicobacter pylori pada anak-anak di bawah 15 tahun kira-kira 5% dan meningkat bertahap antara 50%-75% pada populasi di atas umur 50 tahun. Di Indonesia, prevalensi Helicobacter pylori pada orang dewasa antara lain di Jakarta 40-57% dan di Mataram 51%-66%.  Jenis Kelamin Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada laki-laki. Perbandingan insidennya 2 : 1.5 Penelitian yang dilakukan Tarigan di RSUP. Adam Malik tahun 2001, diperoleh penderita dispepsia fungsional laki-laki sebanyak 9 orang (40,9%) dan perempuan sebanyak 13 orang (59,1%).15  Etnik Di Amerika, prevalensi dispepsia meningkat dengan bertambahnya usia, lebih tinggi pada kelompok kulit hitam dibandingkan kelompok kulit putih. Di kalangan Aborigin frekuensi infeksi Helicobacter pylori lebih rendah dibandingkan kelompok kulit putih, walaupun kondisi hygiene dan sanitasi jelek. Penelitian yang dilakukan Tarigan di Poliklinik penyakit dalam sub bagian gastroenterology RSUPH. Adam Malik Medan tahun 2001, diperoleh proporsi dispepsia fungsional pada suku Batak 10 orang (45,5%), Karo 6 orang Universitas Sumatera Utara (27,3%), Jawa 4 orang (18,2%), Mandailing 4

1 orang (4,5%) dan Melayu 1 orang (4,5%). Pada kelompok dispepsia organik, suku Batak 16 orang (72,7%), Karo 3 orang (13,6%), Nias 1 orang (4,5%) dan Cina 1 orang (4,5%).  Golongan Darah Golongan darah yang paling tinggi beresiko adalah golongan darah O yang berkaitan dengan terinfeksi bakteri Helicobacter pylori.

C. KLASIFIKASI Secara garis besar, sindrom dispepsia ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok penyakit organik (seperti tukak peptik, gastritis, batu kandung empedu dll) dan kelompok dimana sarana penunjang diagnostik yang konvensional atau baku (radiologi, endoskopi, laboratorium) tidak dapat memperlihatkan adanya gangguan patologis struktural atau biokimiawi, atau dengan kata lain, kelompok terakhir ini disebut sebagai dispepsia fungsional. Dispepsia organik adalah dispepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Dispepsia organik jarang ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun. Dispepsia organik dapat digolongkan menjadi :  Dispepsia Tukak Keluhan penderita yang sering diajukan ialah rasa nyeri ulu hati. Berkurang atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan. Hanya dengan pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak di lambung atau duodenum.  Refluks Gastroesofageal Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal, yaitu rasa panas di dada dan regurgitasi asam terutama setelah makan.  Ulkus Peptik  Dapat terjadi di esophagus, lambung, duodenum atau pada divertikulum meckel ileum. Ulkus peptikum timbul akibat kerja getah lambung yang asam terhadap epitel yang rentan. Penyebab yang tepat masih belum dapat dipastikan. Beberapa kelainan fisiologis yang timbul pada ulkus duodenum :  Jumlah sel parietal dan chief cells bertambah dengan produksi asam yang makin banyak.  Peningkatan kepekaan sel parietal terhadap stimulasi gastrin.  Peningkatan respon gastrin terhadap makanan. 5

 Penurunan hambatan pelepasan gastrin dari mukosa antrum setelah pengasaman isi lambung.  Pengosongan lambung yang lebih cepat dengan berkurangnya hambatan pengosongan akibat masuknya asam ke duodenum. Menurunnya resistensi mukosa duodenum terhadap asam lambung dan pepsin dapat berperan penting. Insiden ulkus peptik meningkat pada kegagalan ginjal kronik. Ulkus juga dapat berkaitan dengan hiperparatiroidisme, sirosis, penyakit paru dan jantung. Kortikosteroid meningkatkan resiko ulkus peptik dan perdarahan saluran pencernaan. Faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya ulkus peptik antara lain merokok, golongan darah O, penyakit hati kronik, penyakit paru kronik dan pankreatitis kronik. Gastritis atrofik kronik, refluks empedu dan golongan darah A merupakan predisposisi untuk ulkus lambung.  Penyakit Saluran Empedu Sindroma dispepsia ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan bahu kanan.  Karsinoma Karsinoma dari saluran makan (esophagus, lambung, pancreas dan kolon) sering menimbulkan keluhan sindrom dispepsia. Keluhan yang sering diajukan yaitu rasa nyeri perut. Keluhan bertambah berkaitan dengan makanan, anoreksia dan berat badan menurun.  Pankreatitis Rasa nyeri timbul mendadak yang menjalar ke punggung. Perut terasa makin tegang dan kembung.  Dispepsia pada sindrom malabsorbsi Pada penderita ini di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea, sering flatus, kembung, keluhan utama lainnya ialah timbulnya diare yang berlendir.  Dispepsia akibat obat-obatan Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah ulu hati tanpa atau disertai rasa mual dan muntah, misalnya obat golongan NSAIDs, teofilin, digitalis, antibiotik oral (terutama ampisilin, eritromisin dan lainlain).  Gangguan Metabolisme

6

Diabetes Mellitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan lambung yang lambat sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas kenyang. Hipertiroid mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan vomitus, sedangkan hipotiroid menyebabkan timbulnya hipomotilitas lambung.

Dispepsia fungsional dapat dijelaskan sebagai keluhan dispepsia yang telah berlangsung dalam beberapa minggu tanpa didapatkan kelainan atau gangguan struktural/organik/metabolik berdasarkan pemeriksaan klinik, laboratorium, radiology dan endoskopi. Dalam konsensus Rome III (tahun 2006) dispepsia fungsional didefinisikan sebagai: 1. Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, nyeri ulu hati/epigastrik, rasa terbakar di epigastrium. 2. Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk didalamnya pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat menerangkan penyebab keluhan tersebut. 3. Keluhan ini terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakan. Menurut konsensus Rome III dispepsia fungsional dibagi dua seperti yang tertera pada Tabel 1 yaitu sindrom Distress Post-prandial (SDP) dan Sindrom nyeri epigastrik (SNE). Adanya batasan waktu dalam penegakan dignostik dispepsia fungsional ditujukan untuk meminimalisasikan kemungkinan adanya penyebab organik. Sesuai dengan hal tersebut maka dispepsia merupakan suatu sindrom klinik yang bersifat kronik. Perlu juga ditekankan bahwa dispepsia dalam tata laksana harus dibedakan antara yang belum diinvestigasi (uninvestigated dyspepsia) dan yang telah diinvestigasi (investigated dyspepsia). Di mana pada yang telah diinvestigasi istilah dispepsia harus diikuti dengan penyebabnya. Misalnya, dispepsia karena ulkus lambung, sedang bila tidak ditemukan adanya kelainan organik yang mendasari atau menjelaskan keluhan dispepsia, maka dispepsia ini disebut sebagai dispepsia fungsional. Tabel 1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional Menurut Rome II dan III ROME II

ROME III

Dispepsia Fungsional

Dispepsia Fungsional

Berlangsung

sekurang-kurangnya Kriteria diagnosis*

selama 12 minggu, dalam 12 bulan Harus termasuk didalamnya: ditandai dengan:

Satu atau lebih gejala dibawah ini: a. Rasa tidak nyaman setelah makan 7

 Gejala yang menetap atau berulang

b. Cepat merasa kenyang

(nyeri atau tidak nyaman yang

c. Nyeri epigastrium

berpusat di abdomen atas);

d. Rasa terbakar didaerah epigastrium

 Tidak ada bukti penyakit organik Dan Tidak ada bukti penyakit struktural (berdasarkan

(berdasarkan endoskopi)

 Tidak ada bukti bahwa dyspepsia endoskopi) berkurang

setelah

defekasi

yang

menyebabkan

gejala-gejala

atau tesebut diatas.

perubahan pola dan bentuk defekasi

*Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala

sekurang-kurangnya

6

bulan

setelah

terdiagnosis a. Dispepsia like-ulcer

a. Sindroma distress postprandial

Rasa nyeri terutama dirasakan pada Kriteria diagnosis* abdomen atas

Harus termasuk salah satu atau keduanya gejala dibawah ini 1. Rasa tidak nyaman setelah memakan makanan sehari-hari sekurang-kurangnya beberapa kali seminggu 2. Rasa cepat merasa kenyang setelah makan seharihari sekurang-kurangnya beberapa kali seminggu * Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala

sekurang-kurangnya

6

bulan

setelah

terdiagnosis Kritria supportif 1. Terasa kembung pada perut atas atau mual setelah makan atau sendawa yang berlebihan 2. Bersamaan dengan nyeri epigastrik b. Dispepsia like-dysmotility Rasa

tidak

dirasakan

nyaman

pada

b. Sindroma Nyeri Epigastrik

terutama Kriteria diagnosis*

abdomen

atas Harus termasuk didalamnya::

berupa rasa penuh, lekas kenyang, Nyeri atau rasa terbakar terlokalisasi di epigastrium sebah dan mual

derajat

sedang

sekurang-kurangnya

sekali

seminggu 1. Nyeri bersifat intermitten

8

2. Tidak menyebar ke region abdomen lainnya atau ke region dada 3. Tidak berkurang setelah defekasi atau flatus 4. Tidak memenuhi criteria gangguan kandung empedu dan sfinter oddi * Kriteria terpenuhi selama 3 bulan dengan onset gejala

sekurang-kurangnya

6

bulan

setelah

terdiagnosis Kriteria supportif 1. Nyeri dapat terasa seperti terbakar tetapi tanpa nyeri retrosternal 2. Nyeri biasanya dipicu atau dihilangkan dengan makanan tetapi timbul saat puasa 3. Kadang-kadang bersamaan dengan sindroma post prandial. c. Dispepsia Unspecified (Nonspesific) Gejala yang ditunjukkan tidak memenuhi criteria like-ulcer atau like-dysmotility

D. ETIOLOGI Penyebab terjadinya dispepsia tergantung dari klasifikasinya sendiri. Penyebab dispepsia organik antara lain esofagitis, ulkus peptikum, striktura esophagus jinak, keganasan saluran cerna bagian atas, iskemia usus kronik, dan penyakit pankreatobilier. Sedangkan dispepsia fungsional mengeksklusi semua penyebab organik. Etiologi dari dispepsia dapat dilihat pada Tabel 2 dan dispepsia fungsional dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2. Etiologi dispepsia. Esofago – gastro – duodenal

Tukak peptik, gastritis kronis, gastritis NSAID, keganasan

Obat-obatan

Antiinflamasi non steroid, teofilin, digitalis, antibiotik

Hepatobilier

Hepatitis,

Kolesistitis,

Kolelitiasis,

Keganasan,

Disfungsi sfinkter Oddi 9

Pankreas

Pankreas Pankreatitis, keganasan

Penyakit sistemik

Diabetes mellitus, penyakit tiroid, gagal ginjal, kehamilan, penyakit jantung koroner / iskemik Dispepsia fungsional, irritable bowel syndrome

Gangguan fungsional

Beberapa obat yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia terlihat pada Tabel 3. Pada umumnya adalah OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) yang dapat merusak mukosa sehingga menyebabkan gastritis. Tabel 3. Obat-obatan yang dapat memicu terjadinya dispepsia. Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan dispepsia 1. Acarbose

2. Niasin

3. Aspirin

4. Nitrat

5. Colchicine

6. Orlistat

7. Digitalis

8. Potassium klorida

9. Estrogen

10. Quinidine

11. Gemfibrozil

12. Sildenafil

13. Glukokortioid

14. Teofilin

15. Preparat besi

16. Levodopa

17. Narkotik

18. Ampisilin

Tabel 4. Etiologi pada dispepsia fungsional. 1. Hipersensitivitas visceral a. Meningkatnya persepsi distensi b. Gangguan persepsi asam c. Hipersensitivitas viseral sebagai konsekuensi inflamasi kronik 2. Gangguan motilitas a. Hipomotilitas antral post prandial b. Menurunnya relaksasi fundus gaster

10

c. Menurunnya atau gangguan pengosongan lambung d. Refluks gastro-esofageal e. Refluks duodeno-gaster 3. Perubahan sekresi asam a. Hiperasiditas 4. Infeksi kuman Helicobacter pylori 5. Stress 6. Gangguan dan kelainan psikologis 7. Predisposisi genetic

E. PATOFISIOLOGI Dispepsia Fungsional Dari sudut pandang patofisiologis, proses yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral. Menurut Konsesus Dispepsia 2014, Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik, gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.

1. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung dalam menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal, dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional, berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, dan rasa penuh.

11

2. Peranan hipersensitivitas viseral Hipersensitivitas viseral berperan penting dalam patofisiologi dispepsia fungsional, terutama peningkatan sensitivitas saraf sensorik perifer dan sentral terhadap rangsangan reseptor kimiawi dan reseptor mekanik intraluminal lambung bagian proksimal. Hal ini dapat menimbulkan atau memperberat gejala dispepsia.

3. Peranan faktor psikososial Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.

4. Peranan asam lambung Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia fungsional. Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari beberapa penelitian pasien dispepsia fungsional. Data penelitian mengenai sekresi asam lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih kontroversial.

5. Peranan infeksi Hp Prevalensi infeksi Hp pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai 87%. Hubungan infeksi Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun eradikasi Hp memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional. Helicobacter pylori adalah sejenis kuman yang terdapat dalam lambung dan berkaitan dengan keganasan lambung. Hal penting dari Helicobacter pylori adalah sifatnya menetap seumur hidup, selalu aktif dan dapat menular bila tidak dieradikasi. Helicobacter ini diyakini merusak mekanisme pertahanan pejamu dan merusak jaringan. Helicobacter pylori dapat merangsang kelenjar mukosa

lambung

untuk

lebih

aktif

menghasilkan

gastrin

sehingga

terjadi

hipergastrinemia.  Aktivitas mioelektrik lambung Adanya disritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrografi terdeteksi pada beberapa kasus dispepsia fungsional, tetapi peranannya masih perlu dibuktikan lebih lanjut.  Peranan hormonal 12

Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit gastrointestinal.  Diet dan faktor lingkungan Intoleransi makanan dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibanding kasus kontrol. Dengan melihat, mencium bau atau membayangkan sesuatu makanan saja sudah terbentuk asam lambung yang banyak mengandung HCL dan pepsin. Hal ini terjadi karena faktor nervus vagus, dimana ada hubungannya dengan faal saluran cerna pada proses pencernaan. Nervus vagus tidak hanya merangsang sel parietal secara langsung tetapi efek dari antral gastrin dan rangsangan lain sel parietal  Psikologis Adanya stres akut dapat memengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah pemberian stimulus berupa stres. Kontroversi masih banyak ditemukan pada upaya menghubungkan faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan motilitas. Tidak didapatkan kepribadian yang karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dalam sebuah studi dipaparkan adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia, pelecehan seksual, atau gangguan jiwa pada kasus dispepsia fungsional.  Faktor genetik Potensi kontribusi faktor genetik juga mulai dipertimbangkan, seiring dengan terdapatnya bukti-bukti penelitian yang menemukan adanya interaksi antara polimorfisme gen-gen terkait respons imun dengan infeksi Helicobacter pylori pada pasien dengan dispepsia fungsional.

Penanda biologis seperti ghrelin dan leptin, serta perubahan ekspresi muscle-specific microRNAs berhubungan dengan proses patofisiologi dispepsia fungsional, yang masih perlu diteliti lebih lanjut.

Dispepsia Organik 13

1. OAINS Obat anti-inflamasi non-steroid merusak mukosa lambung melalui beberapa mekanisme. Obat-obat ini menghambat siklooksigenase mukosa lambung sebagai pembentuk prostaglandin dari asam arakidonat yang merupakan salah satu faktor defensive mukosa lambung yang sangat penting. Selain itu, obat ini juga dapat merusak secara topikal. Kerusakan topikal ini terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat korosif, sehingga merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mucus oleh lambung sehingga kemampuan faktor defensif terganggu. Sawar mukosa lambung sangat penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Pada pengguna aspirin terjadi perubahan kualitatif mucus lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi mukus oleh pepsin.

2. Ulkus Peptikum Ulkus peptikum merupakan keadaan dimana kontinuitas mukosa esophagus, lambung ataupun duodenum terputus dan meluas sampai dibawah epitel. Kerusakan mukosa yang tidak meluas sampai ke bawah epitel disebut erosi. Menurut definisi, ulkus peptikum dapat ditemukan pada setiap bagian saluran cerna baik di jaringan mukosa, sub mukosa hingga lapisan otot yang terkena getah asam lambung, yaitu esophagus, lambung, duodenum, dan setelah gastroduodenal juga jejunum. Tukak terjadi bila terjadi gangguan keseimbangan antara faktor agresif (asam, pepsin atau faktor-faktor lainnya) dengan faktor defensive (mukus, bikarbonat, aliran darah dan PG), bisa faktor agresif meningkat atau faktor defensive menurun.

F. MANIFESTASI KLINIS Klasifikasi klinis praktis membagi dispepsia berdasarkan atas keluhan atau gejala yang dominan menjadi tiga tipe yakni: 1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus - like dyspepsia) a. Nyeri epigastrium terlokalisasi b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasida c. Nyeri saat lapar d. Nyeri episodik 2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility - like dyspepsia) a. Mudah kenyang b. Perut cepat terasa penuh saat makan c. Mual 14

d. Muntah e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas) f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan 3. Dispepsia non spesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)

Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakit. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri, sedangkan pada penderita lainnya, makan bisa mengurangi nyeri. Gejala lain meliputi nafsu makan menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan. Gejala klinis dispepsia fungsional harus dapat kita bedakan dengan sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik yang mempunyai tanda peringatan (alarm symptoms) seperti yang tertera pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Alarm symptom sakit perut berulang karena kelainan organik. Alarm symptoms sakit perut berulang karena kelainan organik 1. Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus 2. Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah) 3. Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari 4. Nyeri timbul tiba - tiba 5. Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan 6. Disertai gangguan motilitas (diare, obstipasi, inkontinensia) 7. Disertai perdarahan saluran cerna 8. Terdapat disuria 9. Berhubungan dengan menstruasi 10. Terdapat gangguan tumbuh kembang 11. Terdapat gangguan sistemik: demam, nafsu makan turun 12. Terjadi pada usia < 4 tahun 13. Terdapat organomegali 15

14. Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi 15. Kelainan perirektal: fisura, ulserasi

G. DIAGNOSIS Dalam menegakkan diagnosis dispepsia menurut Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (2014), dibutuhkan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang akurat dan pemeriksaan penunjang untuk mengeksklusi penyakit organik/ struktural/ metabolik. Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional. Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus gastritis erosif, gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Rome III. Kriteria Rome III belum divalidasi di lndonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Rome III dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional. Dispepsia menurut kriteria Rome lll adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal: 1. Nyeri epigastrium 2. Rasa terbakar di epigastrium 3. Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan 4. Rasa cepat kenyang Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria Rome III membagi dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia. Alur diagnosis dispepsia tertera pada Gambar 1. Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra-lumen yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan adanya rangsang peritoneal/peritonitis. Tumpuan pemeriksaan fisik tertuju pada bagian abdomen. Inspeksi akan distensi, asites, parut, hernia yang jelas, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karakteristik motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri, pembesaran organ dan timpani. Pemeriksaan tanda vital bisa ditemukan takikardi atau nadi yang tidak regular. Kemudian, lakukan pemeriksaan sistem tubuh lainnya. Perlu ditanyakan perubahan tertentu yang dirasakan oleh pasien, perhatikan keadaan umum dan kesadaran pasien. Auskultasi bunyi gallop atau murmur di jantung. Perkusi paru untuk mengetahui konsolidasi. 16

Perhatikan dan lakukan pemeriksaan terhadap ekstremitas, adakah edema perifer dan dirasakan adalah akral hangat atau dingin. Lakukan juga pemeriksaan terhadap kelenjar limfa. Pemeriksaan penunjang dilakukan hanya sesuai indikasi atau untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pemeriksaan penunjang untuk dispepsia terbagi pada beberapa bagian: 1. Pemeriksaan laboratorium, biasanya meliputi hitung jenis sel darah lengkap

dan

pemeriksaan darah dalam tinja, dan urin. Jika ditemukan leukositosis berarti ada tandatanda infeksi. Jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung lemak pada pemeriksaan tinja kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang diduga menderita dispepsia ulkus sebaiknya diperiksa derajat keasaman lambung. Jika diduga suatu keganasan, dapat diperiksa tumor marker seperti CEA (dugaan karsinoma kolon), dan CA 19-9 (dugaan karsinoma pankreas). 2. Barium enema untuk memeriksa saluran cerna pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan. Endoskopi biasanya digunakan untuk mendapatkan contoh jaringan dari lapisan lambung melalui tindakan biopsi. Pemeriksaan nantinya di bawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi Hp. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. 3. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti foto polos abdomen, serologi Hp, urea breath test, dan lain-lain dilakukan atas dasar indikasi. 

Radiologis Pada tukak di lambung akan terlihat gambar yang disebut niche yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya regular, semisirkuler, dasarnya licin. Kanker di lambung secara radiologist akan tampak massa yang irregular, tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah.



Endoskopi Yang perlu diperhatikan warna mukosa, lesi, tumor jinak atau ganas. Kelainan di lambung yang sering ditemukan adalah tanda peradangan tukak yang lokasinya terbanyak di bulbus dan parsdesenden, tumor jinak dan ganas yang divertikel. Pada endoskopi ditemukan tukak baik di esophagus, lambung maupun duodenum maka dapat dibuat diagnosis dispepsia tukak. Sedangkan bila ditemukan tukak tetapi hanya ada peradangan maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak. Pada pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi ada tidaknya bakteri Helicobacter pylori, dimana cairan tersebut diambil dan ditumbuhkan dalam media Helicobacter 17

pylori. Pemeriksaan antibodi terhadap infeksi Helicobacter pylori dikerjakan dengan metode Passive Haem Aglutination (PHA), dengan cara menempelkan antigen pada permukaan sel darah merah sehingga terjadi proses aglutinasi yang dapat diamati secara mikroskopik. Bila di dalam serum sampel terdapat anti Helicobacter pylori maka akan terjadi aglutinasi dan dinyatakan positif terinfeksi Helicobacter pylori. 

Ultrasonografi (USG) Merupakan saran diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit. Apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat dan pada kondisi pasien yang berat pun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada pasien dispepsia terutama bila dugaan kearah kelainan di traktus biliaris, pankreas, kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor di esophagus dan lambung.

Tes diagnosis infeksi Hp dapat dilakukan secara langsung melalui endoskopi (rapid urease test, histologi, kultur dan PCR) dan secara tidak langsung tanpa endoskopi (urea breath test, stool test, urine test, dan serologi). Pada dispepsia fungsiaonal biasanya hasil laboratorium dalam batas normal. USG abdomen dibeberapa senter di Eropa digunakan untuk melihat waktu pengosongan lambung dengan cara mengukur besar proksimal dari lambung, pada pasien dispepsia lebih kecil dibandingkan dengan bukan dispepsia. Endoskopi dilakukan untuk memastikan penyebab dari dispepsia itu sendiri (Rani, 2011). Urea breath test saat ini sudah menjadi gold standard untuk pemeriksaan Hp, salah satu urea breath test yang ada antara lain CO2breath analyzer. Syarat untuk melakukan pemeriksaan Hp, yaitu harus bebas antibiotik dan PPI (proton-pump inhibitor) selama 2 minggu. Ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan: situasi klinis, prevalensi infeksi, prevalensi infeksi dalam populasi, probabilitas infeksi prates, perbedaan dalam performa tes, dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil tes, seperti penggunaan terapi antisekretorik dan antibiotik.

Tabel 6. Perbandingan berbagai metode tes diagnosis infeksi Hp Tes

Sn

Sp

Keterangan

> 98 %

99 %

 Cepat dan murah

Dengan Endoskopi Rapid Urease Test

 Sensitivitas pascaterapi berkurang  Sampel diambil dari antrum 18

Histologi

> 95 %

> 95 %

 Deteksi meningkat dengan pewarnaan khusus (WarthinStarry/hemaktoksilin-eosin/Giemsa  Sampel diambil dari antrum dan korpus  Sangat spesifik, sensitivitas buruk bila

Kultur

media transportasi tidak tersedia  Dibutuhkan pengalaman  Mahal, sering tidak tersedia  Sampel diambil dari antrum dan korpus  Media yang digunakan antara lain Sparrow  Sensitif dan spesifik

PCR

 Tidak terstandarisasi  Sampel diambil dari antrum dan korpus  Terhitung ekperimental Tanpa endoskipi Serologi ELISA

85-52 %

79-83 %

 Kurang akurat dan tidak menggambarkan infeksi aktif  Prediktor infeksi yang handal di negara berkembang denga prevalensi tinggi  Tidak direkomendasikan setelah terapi  Murah dan tersedia

C Urea breath test (UBT); CO2 breath analyzer

95 %

96 %

 Direkomendasikan untuk diagnosis Hp sebelum terapi  Tes terpilih untuk konfirmasi eradikasi  Pasien tidak boleh mengkonsumsi Ppi dan antibiotik selama 2 minggu sebelum pemeriksaan dilakukan  Ketersediaan bervariasi

19

Antigen feses

95 %

94 %

 Tidak sering digunakan meskipun sensitivitas dan spesifitas tinggi, sebelum dan sesudah terapi  Sangat buruk dan tidak dapat menyamai serologi ELISA  Sangat buruk dan tidak dapat

Serologi fingerstick

menyamai serologi ELISA  Saat ini urine test belum tersedia di

Antibodi di urin :  Rapid urine test  Urine-based ELISA

 73,2-

 78,6-

82%

90,7%

 74,4-

 68-81%

Indonesia

90% Sn : sensitivitas, Sp : spesifisitas, ELISA : enzyme-linked immunosorbent assay, PCR : polymerase chain reaction, PPI : proton-pump inhibitor

Gambar 1. Alur Diagnosis Dispepsia

20

Gambar 2. Alur Diagnosis Dispepsia di Berbagai Tingkat Layanan Kesehatan

Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien pasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:  Penurunan berat badan (unintended)  Disfagia progresif  Muntah rekuren atau persisten  Perdarahan saluran cerna  Anemia  Demam  Massa daerah abdomen bagian atas  Riwayat keluarga kanker lambung  Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi.

21

H. DIAGNOSIS BANDING Tabel 7. Diagnosis Banding Dispepsia.

I. TATALAKSANA Tatalaksana dispepsia dimulai dengan usaha untuk identifikasi patofisiologi dan faktor penyebab sebanyak mungkin. Terapi dispepsia sudah dapat dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi.

Dispepsia belum diinvestigasi Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1-4 minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemerikaan adanya Hp. Untuk daerah dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan Hp harus dilakukan lebih awal. Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPl misalnya omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antogonist [H2RA]), prokinetik dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPl, yaitu DLBS 2411. 22

Terkait dengan prevalensi infeksi Hp yang tinggi, strategi test and treat diterapkan pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya. Test and treat dilakukan pada : a. Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap perubahan gaya hidup, antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya. b. Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah diperiksa. c. Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus gastroduodenal. d. Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik dan defisiensi vitamin B12. Test and treat tidak dilakukan pada 4: a. Penyakit refluks gastroesofageal (GERD) b. Anak-anak dengan dispepsia fungsional

Gambar 3. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia belum di Investigasi. 23

Dispepsia yang telah diinvestigasi Pasien-pasien dispepsia dengan tanda bahaya tidak diberikan terapi empirik, melainkan harus dilakukan investigasi terlebih dahulu dengan endoskopi dengan atau tanpa pemerikaan histopatologi sebelum ditangani sebagai dispepsia fungsional. Setelah investigasi, tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa pada beberapa kasus dispepsia ditemukan GERD sebagai kelainannya.

Dispepsia organik Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPl, misalnya rabeprazole 2x20 mg/ lansoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.

Gambar 4. Alogaritma Tata Laksana Ulkus Peptikum.

24

Gambar 5. Alogaritma Tata Laksana Dispepsia Akibat Penggunaan NSAID dan Komplikasi Gastro Intestinal.

Dispepsia fungsional Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Penggunaan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, cisaprid, itoprid dan lain sebagainya dapat memberikan perbaikan gejala pada beberapa pasien dengan dispepsia fungsional. Hal ini terkait dengan perlambatan pengosongan lambung sebagai salah satu patofisiologi dispepsia fungsional. 25

Kewaspadaan harus diterapkan pada penggunaan cisaprid oleh karena potensi komplikasi kardiovaskular. Data penggunaan obat-obatan antidepresan atau ansiolitik pada pasien dengan dispepsia fungsional masih terbatas. Dalam sebuah studi di Jepang baru-baru ini menunjukkan perbaikan gejala yang signifikan pada pasien dispepsia fungsional yang mendapatkan agonis 5-HT1 dipandingkan plasebo. Di sisi lain venlafaxin, penghambat ambilan serotonin dan norepinerfrin tidak menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding plasebo. Gangguan psikologis, gangguan tidur, dan sensitivitas reseptor serotonin sentral mungkin merupakan faktor penting dalam respon terhadap terapi antidepresan pada pasien dispepsia fungsional.

Gambar 6. Alogaritme Tata Laksana Dispepsia Fungsional di Bebagai Tingkat Layanan Kesehatan

Dispepsia dengan infeksi Hp Eradikasi Hp mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap gejala dispepsia. Dalam salah satu studi cross-sectional pada 21 pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta (2010) didapatkan bahwa terapi eradikasi memberikan perbaikan 26

gejala pada mayoritas pasien dispepsia dengan persentase perbaikan gejala sebesar 76% dan 81% penernuan Hp negatif yang diperiksa dengan UBT. Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi eradikasi Hp dengan triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7 hari lebih baik dari terapi selama 5 hari. Gambar 8. Algoritma Tatalaksana Eradikasi Infeksi Hp

27

Tabel 8. Regimen Terapi Hp.

Pada daerah dengan resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk melakukan kultur dan tes resistensi (melalui sampel endoskopi) sebelum memberikan terapi. Tes molekular juga dapat dilakukan untuk mendeteksi Hp dan resistensi klaritromisin dan/atau fluorokuinolon secara langsung melalui biopsi lambung. Setelah pemberian terapi eradikasi, maka pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan dengan menggunakan UBT atau H. pyloristool antigen monoclonal test. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu paling tidak 4 minggu setelah akhir dari terapi yang diberikan. Untuk HpSA, ada kemungkinan hasil false positif.

J. KOMPLIKASI 1. Perdarahan Gastrointestinal Perdarahan gastrointestinal merupakan komplikasi paling umum yang sering terjadi. Hal ini terjadi pada ± 15% pasien dan lebih sering pada individu > 60 tahun. 28

Insiden yang lebih tinggi pada orang tua kemungkinan disebabkan oleh peningkatan penggunaan NSAID dalam kelompok ini. 2. Perforasi Kejadian perforasi pada orang tuatampaknya meningkat sekunder untuk peningkatan penggunaan NSAID. Penetrasi adalah bentuk perforasi ulkus dimana terdapat terowongan ke organ yang berdekatan. Ulkus duodenum cenderung menembus ke posterior pankreas sehingga menyebabkan pankreatitis. Sedangkan ulkus gaster cenderung menembus ke dalam hati lobus kiri. 3. Gastric Outlet Obstruksi Terjadi pada 1-2% pasien. Seorang pasien mungkin memiliki obstruksi relatif sekunder untuk ulkus terkait peradangan dan edema diwilayah peripyloric. Proses ini sering sembuh dengan penyembuhan ulkus. Sebuah obstruksi, tetap mekanik sekunder untuk pembentukan bekas luka di daerah peripyloric juga mungkin terjadi. Yang terakhir ini memerlukan intervensi endoskopi atau bedah. Tanda dan gejala obstruksi mekanik relatif dapat berkembang secara diam-diam. Diagnosis obstruksi onset baru yaitu cepat kenyang, mual, muntah, sakit perut peningkatan postprandial dan penurunan berat badan.

K. PENCEGAHAN  Pencegahan Primer (Primary Prevention) Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada masyarakat mengenai : 

Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.



Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan gizi dan penyediaan air bersih.



Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya.



Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang beralkohol, kopi serta merokok.

 Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention) Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera (Early Diagmosis and Prompt Treatment). 

Diagnosis Dini (Early Diagnosis) 29

Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi klinik meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta pemeriksaan penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang, pemeriksaan lengkap dianjurkan bila terdapat keluhan yang berat, muntah-muntah telah berlangsung lebih dari 4 minggu, penurunan berat badan dan usia lebih dari 40 tahun. Untuk memastikan penyakitnya, disamping pengamatan fisik perlu dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi. 

Pengobatan Segera (Prompt Treatment) 

Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah dicerna, tidak merangsang peningkatan dalam lambung dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCL.



Perbaikan keadaan umum penderita.



Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi.



Penjelasan penyakit kepada penderita. Golongan obat yang digunakan untuk pengobatan penderita dispepsia adalah antasida, antikolinergik, sitoprotektif dan lain-lain.

 Pencegahan Tertier 

Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia terhadap masalah yang dihadapi.



Rehabilitasi sosial dan fisik dilakukan bagi pasien yang sudah lama dirawat di rumah sakit agar tidak mengalami gangguan ketika kembali ke masyarakat.

L. PROGNOSIS Dispepsia fungsional memiliki prognosis baik jika dilakukan pemeriksaan klinis dan penunjang yang akurat serta tatalaksana yang baik. Menurut Abdullah dan Gunawan (2012) mengemukakan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional. Lebih jauh diteliti, terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatris.

30

DAFTAR PUSTAKA 1. Simadibrata, M.K., Dadang, M., Abdullah, M., et al. 2014. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter Pylori. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia. 2. Rome III. 2006. Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal Disorders. 3. Sudoyo, A.W et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 4. Tanto, C., Liwang, F., Hanifati., et al. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Jakarta : Media Aesculapius. 5. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20335/Chapter%20II.pdf;jsessionid =44E3496F0A6B78377EAEB8F711247ACC?sequence=4 diakses 11 Mei 2017 6. http://documents.tips/documents/referat-sindroma-dispepsia-hoiriyah.html diakses 11 Mei 2017 7. http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/20335/Chapter%20II.pdf;jsessionid =44E3496F0A6B78377EAEB8F711247ACC?sequence=4 diakses 14 Mei 2017

31

More Documents from "Farhan Reza"