Resensi_buku_sejarah_asia_timur_2.pdf

  • Uploaded by: Farhan
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Resensi_buku_sejarah_asia_timur_2.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 1,961
  • Pages: 6
Resensi Buku Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang Nama Pengarang Tahun Terbit Judul Buku Kota Terbit Penerbit Penerjemah Ukuran Buku Jumlah Halaman

: John Man : Desember 2017 (Cetakan I) : Tentara Terakota: Kisah Misterius tentang Pasukan Penjaga Makam Keramat Kaisar Pertama China : Tangerang Selatan : PT Pustaka Alvabet : Haris Priyatna : 13 x 20 cm : xv + 388 halaman

TENTARA TERAKOTA: KEAJAIBAN POLA SENI DAN MILITER DINASTI QIN (221-206 SM) Buku yang ditulis John Man dengan judul The Terracotta Army: China’s First Emperor and the Birth of a Nation merupakan buku arkeologi sejarah yang memaparkan penemuan artefak terbesar abad ke-20 (tepatnya tahun 1974) dari dinasti Qin. Isi buku yang ditulis John Man sangat enak di baca dengan gaya penulisan sejarah populer dan jurnalistik disertai analisis yang tajam dan full colour picture. Buku tersebut menjelaskan bahwa penemuan tentara terakota masa dinasti Qin menggambarkan struktur militer dan gaya seni yang bertugas menjadi penjaga makam dan perlambang pemersatu Cina. Tentara terakota yang ditemukan memberi rangkaian penjelasan sejarah Dinasti Qin secara komprehensif akan kegemilangan Kaisar Qin Shi Huangdi (Ying Zheng) membentuk kesatuan pertahanan yang tangguh di bawah legalisme. Tidak heran kalau di masa Qin Shi Huangdi tertoreh sebagai kaisar yang kejam dengan mendirikan monumental seperti Tembok Besar dan makam besar sebagai sarana kekekalan abadinya. Karya John Man ini dapat digunakan untuk referensi mahasiswa S1-S3 Jurusan Sejarah, Arkeologi, Seni Rupa, Bahasa, Sastra dan Kebudayaan Cina, Kajian Wilayah Cina, dan Kajian Wilayah Asia Timur.

1

2

John Man merupakan seorang sejarawan dan travel writer dari alumni Universitas Oxford (S1) mengenai Studi Jerman dan Prancis dan Universitas Oxford (S2) tentang Sejarah Sains dan School of Oriental and African Studies Universitas London (S3) tentang Studi Bangsa Mongol. Ia menaruh minat pada Sejarah dan Studi Mongolia. Buku tersebut dapat digunakan untuk referensi bacaan pada matakuliah Sejarah Kebudayaan, Sejarah Asia, Sejarah Asia Timur, Sejarah Cina, Sejarah Seni, Seni Rupa Cina, Sejarah Militer, Pengantar Arkeologi, dan Arkeologi Keruangan. Buku John Man ini sangat berguna bagi pembaca yang ingin mengetahui mengapa dan bagaimana artefak tentara terakota Qin diciptakan dan di bangun pada abad ke-4 SM. Temuan arkeologi ini ditemukan oleh petani Yang Zhefa di kota Xian, Provinsi Shaanxi yang sedang mencari air di Gunung Li. Artefak yang ditemukan terdiri dari patung tentara (army statue) dengan beragam gaya rambut, senjata, dan raut wajah (mimik muka) serta patung pelayan, budak, kuda, dan binatang. Penemuan arkeologi tersebut sangat berharga dalam menjelaskan kejayaan dinasti Qin dengan karya monumental yang besar namun memiliki umur kekuasaan yang pendek yakni 221-206 SM. John Man di dalam bukunya Tentara Terakota, pertama-tama mengulas tentang seluk-beluk Dinasti Qin. Dinasti Qin di bawah kuasa Kaisar Qin Shi Huangdi (Ying Zheng) (lihat gambar 1) menerapkan legalisme (hukum) yang keras bagi siapa saja yang menentang dirinya. Tujuannya adalah berfungsi menegakkan

legitimasi raja di mata rakyat dan pejabat istana untuk setia kepada dinasti.

Gambar 1. Kaisar Qin Shi Huangdi (Ying Zheng), kaisar termasyur dan pemersatu Cina pertama (Sumber: https://upload.wikimedia. org/wikipedia/commons/thumb/2/27/Qinshihua ng.jpg/1200px-Qin shihuang.jpg).

Dengan penerapan legalisme di lingkungan Kekaisaran Qin, maka orangorang tidak berani melakukan tindak kriminal. Mereka tunduk kepada kekuasaan absolut kaisar dengan diperintahkan membangun monumental besar seperti Makam Tentara Terakota di Xian dan Tembok Besar Cina. Legalisme membuat hukum menjadi alat politik represif kekuasaan sang kaisar. Pola budaya politik Cina kuno ini berlanjut hingga dinasti terakhir masa Cina kuno yaitu Dinasti Qing (Manchu), dimana hukum sangat ditegakkan agar kesatuan wilayah tetap utuh. Di samping itu pula melembagakan patriarkat (meskipun beberapa selir kaisar pernah menjadi kaisar saat sang suami wafat) untuk menampilkan kemaskulinitas seorang laki-laki yang berhak menerima kepemimpinan dari Tian. Hal itu disimbolisasikan le-wat tentara terakota Dinasti Qin dengan perkiraan 10.000 patung yang menjaga kebesaran dan kemaskulinitas sang kaisar semasa hidup demi mencapai keabadian di alam arwah (lihat gambar 2). Konsep po-

3

litik yang membentuk pemahaman akan kekekalan abadi dibuat melalui pembuatan makam yang besar sebagai visualisasi pertemuan makrokosmos dan mikrokosmos. Pertemuan ini sebagai manifestasi konsep politik pergantian tiap dinasti di Cina untuk melanjutkan dan menunggu titah dari sang Tian. Terlebih ketika mati, maka diharapkan makammakam ini mengantarkan si kaisar yang wafat kepada “kekuasaan alam arwah” dari keberlanjutan titah sang Tian selama dia hidup di dunia.

Gambar 2. Kompleks Tentara Terakota di Xian (Sumber: https://gbtimes.com/damaged-terracotta-army-statue-to-be-repaired-by-chineseexperts).

Catatan historiografi tentang Dinasti Qin telah ditulis oleh Sima Qian, seorang sejarawan Dinasti Han yang menulis sejarah awal peradaban Cina hingga masa Han. Historiografi yang ditulis Sima Qian menjelaskan bahwa dinasti Qin membetuk persatuan Cina dengan kekejaman yang gila yang melambangkan kekuasaan di dunia. Selain itu, setelah kematian Qin Shi Huangdi, perlambangan kekuasaan kaisar pertama Qin dibuat melalui pembangunan makam tentara terakota. Meskipun historiografi Sima Qian berisi informasi penting, namun tidak lepas dari subyektifitas yang menyudutkan

Dinasti Qin sebagai pelopor kehan-curan persatuan bangsa Cina periode pertama1. Memang tulisan Sima Qian sarat muatan politis bagi Dinasti Han yang memulai pembangunan politik yang dibangun oleh petani. Di samping mengandung kejelekan Dinasti Qin, Sima Qian menjelaskan bahwa kematian kaisar pertama Qin berada di Gunung Li yang berada di Xianyang (sekarang Xian), yang merupakan bekas ibukota kekaisaran memuat 10.000 tentara terakota untuk mendampinginya di alam baka. Mereka dikubur hidup-hidup (John Man lebih menggunakan kata “dibunuh”) untuk mendampingi kaisar di alam baka. John Man pada Bab 7 Dunia yang akan Datang, Bagian II: Luar Makam dari halaman 113-134 menjelaskan panjang lebar analitis mengenai perencanaan pembuatan makam oleh kaisar pertama Qin. Konsep budaya yang turut membangun konsepsi akan dunia yang akan datang menuju kekekalan abadi. Mereka (orangorang Cina kuno) percaya bahwa manusia mempunyai dua jiwa, yaitu “jiwa dunia” dan “jiwa arwah”. “Jiwa dunia” adalah seseorang yang saat hidup di dunia memiliki sifasifat seperti orang hidup. Sementara itu, mengenai “jiwa arwah” yaitu kemampuan pikiran, kemurahan hati, dan kesenian yang terbang mengikuti si mayat menuju alam keabadian pada saat meninggal (hlm.114). Oleh karena itu, saat kaisar Qin Shi wafat membawa “bekal” yang terdiri 1

Persatuan bangsa Cina periode pertama dilakukan oleh Dinasti Qin, kemudian persatuan periode kedua dilakukan oleh Dinasti Yuan berdasarkan periodisasi John Mann, namun menurut reviewer periode persatuan kedua adalah Dinasti Qing, dan periode persatuan ketiga adalah masa Republik Rakyat Cina.

4

dari tentara, pelayan, kuda, dan hewanhewan mendirikan kekuasaannya di alam baka. Selain itu, “bekal” tadi menjadi pengawas kematian dan kehidupan kaisar dimanapun berada. Di dalam antropologi agama, apa yang dilakukan kaisar Qin Shih pada kematiannya adalah membentuk imajinasi akan komunitas arwah, keabadian, dan simbol politik dari kematian. Kepercayaan ini memberikan perhatian kaisar Qin Shi pada obsesi keabadian setelah hidup di dunia dengan berhubungan dengan leluhur bangsa Cina dari dinasti awal (Dinasti Xia). Konsep ini menjembatani bagaimana kaisar Qin Shi melakukan kontak spiritualitas dengan para leluhur dengan cara yang terhormat dari seorang bangsawan. Maka dari itu, kaisar setelah kematiannya membangun sebuah makam tentara terakota raksasa sebagai perwujudan dari kontak spiritualitas dari kalangan bangsawan terhormat. Analisa yang begitu menarik dari kajian sejarah dan arkeologi John Man mengenai makam tentara terakota ini. Pembuatan makam diharapkan arwah leluhur/nenek moyang mengunjungi si mayat dari alam dewa-dewi. Tentunya, si kaisar tidak sendirian ketika ia mati, malahan “bekal” yang ikut terkubur menjadi perantara atau menjadi teman yang dibutuhkan di “dunia yang akan datang”. “Bekal” yang begitu banyaknya pada makam tentara terakota mengindikasikan ada upaya simbolisasi politik kematian, yang oleh John Man jelaskan (hlm.115) terdapat mangkung dan jambangan dari keramik dan perunggu. Lubang-lubang yang ditemukan arkeolog dan sejarawan menandakan kesatuan kosmos yang berpusat kepada peng-

huninya. Namun, lagi-lagi John Man memberikan analitisnya pada Kenyataannya orang atau “bekal” yang ikut bersama si kaisar digantikan oleh patung dari kayu, tanah liat, perunggu, batu, dan batu giok, bukan berasal dari anggota tubuh manusia yang mati. “Bekal-bekal” tersebut menjadi benda pengganti dari tubuh manusia yang mati dan tidak harus betul-betul dibakar. Jadi, “bekal-bekal” yang ditemukan tidak semua terbuat dari terakota, hanya sebagai pemberi kekuatan yang digambarkan kepada makam tersebut. Sepertinya, pembuatan makam tentara terakota ini dipengaruhi oleh filsafat legalisme Han Fei bahwa seorang filsuf yang meninggal sulit dipercaya dapat mengajarkan ketidakmatian (hlm. 118). Namun, analisis reviewer lebih mengarah kepada Taoisme, sebab formasi pada makam tentara terakota ini membentuk kosmologi militer. Maksudnya, artefak-artefak penunjang makam tersebar mengikuti arah mata angin dan berdasarkan struktur militer (lihat gambar di hlm.238-239). Misalnya di sebelah utara terdapat lubang makam no. 2 dengan tentara krosbow yang berdiri dan berlutut dan kuda kavaleri. Interpretasinya adalah makam ini menadakan sebagai barisan terdepan dan berada di sebelah utara. Sementara, lubang makam no. 1 berada di tengah terdapat pasukan kereta tempur, prajurit infanteri, asisten sais kereta perang, dan petugas merupakan pusat dari simbol kematian dan mungkin menjadi gerbang pertemuan antara kaisar dengan dewa-dewi. Bisa juga makam tersebut menjadi pertahanan kaisar di “dunia yang akan datang” dan menjaga kewibawaan kaisar ketika bertemu dewa.

5

Ini menginterpretasikan bahwa kekuasaan di dunia tidak berakhir selama kehidupannya terputus, akan tetapi menjamin keabadian setelah kematian yang selama hidupnya kaisar Qin Shi mencari obat mujarab keabadian. Temuan artefak pada makam tentara terakota terlihat pola seni masa Qin yang indah. Mengapa dikatakan pola seni masa Qin yang indah? karena pem-buatan artefak tersebut menampilkan pa-hatan yang detail dengan berbagai eks-presi, senjata, pakaian, gaya rambut, dan bentuk tubuh menyerupai aslinya nenek moyang penduduk Cina kuno yang ber-mata sipit. Selain patung orang, patung binatang pun hampir menyerupai wujud aslinya dengan kedetailan seni yang baik, yang tentunya gaya seni ini membedakan gaya seni Qin dengan gaya seni dari dinasti sesudahnya. Patung-patung yang dibuat tampak tidak ada celah dan cacat dengan sikap berjalan, berlari, berlutut, beragam ekspresi, dan selalu ada senjata (lihat gambar 3).

Gambar 3. Variasi Bentuk Dari Tentara Terakota Dinasti Qin (Sumber: https://www. vmfa.museum/exhibitions/exhibitions/terracotta -army-legacy-first-emperor-china/)

Mungkin kaisar membutuhkan teman pendamping yang bisa membuatnya ceria dan berwibawa. Tiap-tiap patung menggambarkan perbedaan antara satu patung dengan patung lain berbeda sesuai strata sosial. Misal, patung dari jabatan

jenderal memiliki raut muka yang serius, gagah, tegap, memegang berbagai senjata, dan naik kuda dengan rambut yang rumit. Sementara untuk patung dari jabatan kusir kuda dibuat dengan alis mata yang mengangkat, pakaian yang sederhana, dengan topi kuncup; ada juga patung dengan tutup kepala dan potongan rambut yang aneh atau dengan gelung rambut mengacung, kumis melintang dan janggut kambing yang merupakan simbol dari patung pemanah. Setiap patung tentara tidak semua memegang senjata untuk menginterpretasikan status sosial, tetapi berdasarkan raut muka (mimik wajah), postur/gestur tubuh, dan letak patung berada di awal baris atau di akhir baris. John Man membandingkan cara dan waktu pembuatan patung terakota masa Qin dengan pembuatan patung terakota di Lintong (sekitar Xian) masa modern. Saat perjalanan ke Lintong, John Man melihat sebuah tempat pembuatan patung terakota. Tempat pembuatan patung terakota mampu memproduksi benda dengan kapasitas produksi hampir 100.000 unit dengan beragam variasi ukuran. Pembuatan patung terakota menggunakan tanah liat terbaik yang berasal dari lembah atau sekitar sungai Wei. Pekerjaan pembuatan patung terakota sangat sederhana dengan menggunakan cetakan-cetakan bervariasi. Bentuk dan corak pola patung berdasakan kepangkatan militer yang terdiri dari jenderal, perwira tinggi, serdadu berpakaian perang, serdadu tidak berpakaian perang, sais kereta, pasukan kavaleri, dan pemanah (hlm.171). Patung-patung yang dibuat untuk menghormati keabadian Qin Shi tidak dicat, hanya dilapisi pernis. Tentara terakota yang diperkirakan 8.000 prajurit, 130

6

kereta dengan 520 kuda dan 150 kuda kavaleri, beserta binatang-binatang menjadi peraduan bagi kaisar Qin Shi Huangdi untuk menyempurnakan legitimasinya atas 2 dunia, dunia arwah dan dunia hidup. Pada tahun 2003, ditemukan artefak baru terdiri dari 46 burung air perunggu (20 angsa, 20 bebek, dan 6 bangau) yang ditempatkan di taman air di tepi sungai dari kayu karena lantai lubang menunjukkan bekas telapak kaki pekerja Qin (hlm.294). Di samping itu ditemukan makam kaisar dan istri bangsawan Dai yang diduga dilindungi merkuri sebagai jalan menuju ke langit (hlm.312-315). Tentara terakota dinasti Qin menjadi simbol legitimasi negara kesatuan dan pemerintah yang kuat menjadi “tentara rakyat” dari kekuatan Cina. Ini menandakan bahwa sistem politik Cina yang dibangun oleh PKC tahun 1949 tidak lepas dari budaya politik dinasti yang mengusung otoriter. Keberlanjutan budaya politik tersebut memperluas kembali jaringan imperium yang hilang dengan sokongan militer di bawah rezim komunis.

More Documents from "Farhan"