Diplomasi Pertahanan Lingkungan Strategis Asia Tenggara.docx

  • Uploaded by: Ilham Ahadiath
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Diplomasi Pertahanan Lingkungan Strategis Asia Tenggara.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,434
  • Pages: 7
Analisis Lingkungan Strategis Asia Tenggara Dalam Studi Kasus Kerjasama Pertahanan Trilateral Indonesia, Malaysia dan Filipina Tahun 2016

Oleh:

Deni Irawan

6211151169

Rival M. Jafar

6211151175

Ilham Ahadiath R

6211151184

Waldi San San N

6211151187

Erlang Dwi Ardi P

6211151198

Achmad Bimo F

6211151203

Muhammad Rizky R

6211151209

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI 2018

Kerjasama Pertahanan Trilateral Indonesia, Malaysia dan Filipina

Perkembangan Lingkungan Strategis di Asia Tenggara Isu yang berkembang di kawasan Asia Tenggara terlihat begitu kompleks dan dinamis. Kebijakan negara-negara seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina sepakat untuk melakukan kerjasama pertahanan yang ditandangai pada tanggal 14 Juli 2016. Kerjasama pertahanan ketiga negara tersebut dilatarbelakangi adanya ancaman terorisme, perkembangan isu terorisme di dunia pasca tragedi runtuhnya WTC di Amerika Serikat (AS) menjadi defining moment berakhirnya era Perang Dingin dimana isu terorisme memerlukan diskusi yang lebih jauh terkait bagaimana isu terrisme menjadi ancaman. Kawasan Asia Tenggara juga ikut mengalami perkembangan baik dalam isu keamanan militer dan non-militer, dimana isu-isu seperti terorisme, separatisme, bencana alam dan penyakit menular menjadi isu non-militer yang diperlakukan oleh negara sebagai suatu ancaman (securitization). Indonesia merupakan salah satu negara yang berada dalam kawasana Asia Tenggra juga mulai memperhatikan isuisu non-militer yang salah satunya adalah isu terorisme. Pengaruh kelompok terorisme ISIS membuat bermunculan kelompok-kelompok Terorisme dan sparatisme yang memiliki karakteristik dan biasanya berafiliasi dengan kelompok ISIS yang salah satunya ada di Asia Tenggara seperti kelompok Abu Sayyaf, Moro National Liberations Front (MNLF), Moro Islamic Liberations Front (MILF) yang berada di Filipina. Indonesia juga mengalami masalah yang sama seperti Filipina, dengan adanya Bom I dan II pada tahun 2002 yang memunculkan beberapa nama seperti Imam Samudra alias Abdul Aziz, Amrozi, Abdul Ghani, Abdul Hamid. Kesamaan ancaman tersebut membuat Indonesia dan Filipina memiliki tujuan bersama yaitu memerangi terorisme.

Perluasan Isu Terorisme Sebagai Bentuk Ancaman Bersama Kerjasama pertahanan Indonesia-Filipina akhirnya diikuti oleh Malaysia yang bergabung pada tanggal 2 Agustus 2016. Melihat lokasi geografis Malaysia yang berdekatan dengan Indonesia dan Malaysia membuat adanya kemungkinan isu terorisme juga akan menjamur di Malaysia, maka dari itu bergabungnya Malaysia adalah langkah strategis untuk memerangi terorisme. Pada prosesnya jelas bahwa masing-masing negara memiliki pertimbangan terkait kebijakan untuk melakukan kerjasama pertahanan tersebut, pertimbangan-pertimbangan tersebut dibentuk dari kajian terhadap lingkungan strategis internasional dan nasional. Maka dari itu kelompok kami berusaha untuk mengetahui bagaimana lingkungan strategis di Asia Tenggara mempengaruhi dalam hal ini menjadi pertimbangan bagi negara-negara seprti Indonesia, Malaysia, dan filipina untuk melakukan kerjasama pertahanan. Karena jika hanya menempatkan isu terorisme sebagai pertimbangan tunggal sabagai akar yang menopang terjadinya kerjasama pertahanan tersebut maka legitimasinya akan lemah karna dibenturkan oleh kepentingan nasional dan kedaulatan negara. Kajian Lingkungan Strategis Asia Tenggara Melihat Isu Terorisme Sebagai Dasar Kerjasama Pertahanan di Asia Tenggara Perkembangan konflik di Asia Tenggara dipicu oleh banyaknya kelompokkelompok separatisme dan terorisme yang menjamur di Filipina, Indonesia, dan Malaysia, meskipun negara lain di Asia Tenggara jarang terjadi konflik dikarenakan isu terorisme, namun isu terorisme telah menjadi bagian dari kajian lingkungan strategis negara-negara di Asia Tenggara. Faktor historis menjadi luka yang mengingatkan bahwa tragedi Bom Bali I dan II, penculikan warga negara Indonesia oleh kelompok Abu Sayyaf dan konflik di Marawi yang dipicu oleh kelompok terorisme Maute menjadi dasar bagi negara-negara di Asia Tenggara untuk memperlakukan isu terorisme sebagai ancaman yang tidak disadari merupakan ancman bersama.

Jika dilihat dari lingkungan strategi nasional, dari negara Filipina berdasarkan segmen politik, dimana stabilitas politik dalam negeri mempengaruhi stabilitas keamanan nasional, kondisi perpolitikan sebagian masyarakat di Filipina yang berada di luar pulau utama cenderung pro-kepada kelompok-kelompok yang mendominasi pulau-pulau kecil tersebut, dimana implikasinya adalah terjadi ketidakstabilan politik yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan terkait bagaimana menangani kelompok-kelompok yang dinilai oleh pemerintah sebagai kelompok terorisme dan separatisme. Maka dari itu sebagai legitimasi pemerintah Filipina dalam melakukan operasi pemberantasan terorisme, Filipina memerlukan dukungan dari negera-negara lain yang memiliki masalah yang sama yaitu terorisme seperti Indonesia dan Malaysia untuk menggiring opini publik terhadap masalah ini. Beda halnya dengan Filipina, masyarakat Indonesia memiliki ideologi nasionalisme dalam hal ini kebijakan terhadap pemberantasan terorisme akan lebih mendukung. Yang menjadi kajian lingkungan strategis Indonesia dalam isu terorisme adalah konflik perbatasan, dimana Indonesia berbatasan laut secara langsung dengan Filipina, melihat sisi historis Indonesia traumaristik terhadap isu terorisme yang terjadi di negaranya seperti tragedi Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Hotel J. W. Mariot dan tragedi Sarinah menjadi faktor pendorong bagi pemerintah Indonesia dalam melakukan kerjasama trilateral ini, dengan tujuan untuk menghindari masalah-masalah yang disebabkan oleh terorisme di wiliyah perbatasan. Ketika 5 November 2016 terjadi penculikan terhadap WNI oleh Abu Sayyaf yang merupakan bukti nyata langkah tepat bagi Indonesia dalam keterlibatannya mengikuti kerjasama pertahanan trilateral untuk menjaga perbatasan wilayahnya dari konflik yang bersumber dari kelompok-kelompok terorisme dan separatisme di perbatasan Indonesia-Filipina. Sedangkan bagi Malaysia, kerjasama pertahan trilateral adalah hasil dari efek domino dimana

dengan adanya kesamaan kekhawatiran dengan Indonesia-

Filipina bahwa Malaysia mengikuti kerjasama tersebut untuk menjaga wiliyahnya dari ancaman masuknya terorisme dan manjaga wilayah perbatasan Indonesia,

Malaysia, dan Filipina agar aman dari konflik yang disebabkan oleh kelompok terorisme dan separatisme. Bentuk Kerjasama Pertahanan Trilateral dan Konsep Diplomasi Pertahanan Dalam Tujuan Kerjasama Pertahanan Trilateral Pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina sepakat untuk bersama-sama mengamankan perairan Sulu dan sekitarnya, yang kerap menjadi tempat rawan penyanderaan oleh kelompok milisi Abu Sayyaf. Kesepakatan itu tercermin dalam Framework of Agreement (FoA) yang ditandatangani Menteri Pertahanan RI, Malaysia dan Filipina. Kesepakatan akhirnya tercapai pada 2 Agustus 2016 lalu. Dalam pertemuan di Nusa Dua, Bali, menteri-menteri pertahanan dari Filipina, Malaysia,

dan

Indonesia

mengumumkan

peresmian Framework

of

Agreement (FoA) yang akan menjadi pedoman bagi kerja sama pengamanan perbatasan laut antara ketiga negara ini. Mekanisme FoA sebenarnya telah ditandatangani sejak 14 Juli 2016. FoA pada awalnya hanya mencakup empat butir kebijakan. Selanjutnya, FoA mengalami perluasan cakupan untuk mengantisipasi berbagai dinamika dalam pelaksanaannya di lapangan, yang intinya berisi 6 butir kesepakatan antar ketiga negara untuk mengamankan perairan Sulu dan sekitarnya, yaitu berupa; patroli bersama, bantuan darurat, sharing intelligence, hotline communication, latihan bersama, dan automatic identification system. Kerjasama pertahanan Trilateral sebenarnya lebih ditujukan untuk mencapai Confident Building Measure (CBM) dan upaya kekuatan deterrence daripada membangun kekuatan ofensif. Selain itu, untuk mencapai visi dan misi ASEAN. Kebijakan tersebut dilakukan karena adanya persepsi bahwa kelompokkelompok teroris dan separatis menjadi ancaman bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, khususnya berpotensi untuk mengancam keamanan dan kedaulatan Indonesia, Filipina dan Malaysia. Dengan upaya pembangunan postur pertahanan dan dengan diplomasi pertahanan akan mampu mengimbangi bahkan melebihi kekuatan kelompokkelompok teroris dan separatis yang menjadi ancaman bagi negara-negara di

kawasan Asia Tenggara. Terdapat dalam perencanaan pertahanan berupa suatu kerangka program pengembangan kekuatan dalam bentuk postur dan susunan kekuatan pertahanan. Melalui ‘defense posture and force structure’, akan terlihat apakah pertahanan akan bertumpu pada kemampuan penangkalan ataukah akan bertumpu pada pengembangan kerjasama pertahanan, seperti yang dilakukan oleh Indonesia, Filipina dan Malaysia. Pengembangan kekuatan pertahanan merupakan salah satu variabel penentu dalam alokasi anggaran pertahanan, disebutkan bahwa dinamika lingkungan strategis di suatu kawasan dari waktu ke waktu memang memiliki berbagai ragam dimensi ancaman, baik militer, maupun non-militer, antara lain terorisme, gerakan separatis, penyelundupan senjata, pelanggaran wilayah, pemberontakan bersenjata sabotase, spionase, aksi teror bersenjata, ancaman keamanan laut dan udara, serta konflik komunal. Proyeksi Masa Depan Terkait Kerjasama Pertahanan Trilateral Kebijakan kerjasama pertahanan Trilateral sebagai masa depan Indonesia, Malaysia dan Filipina adalah bagian dari kebijakan pemerintah dalam menciptakan kondisi politik nasional dan internasional untuk melindungi nilai-nilai vital nasional terhadap ancaman dari lingkungan internal dan eksternal. Kondisi postur pertahanan negara-negara di kawasan Asia Tenggara saat ini, mencakup komponen utama, yang meliputi: kemampuan pertahanan, kekuatan personel, dan gelar. Dengan permasalahan yang dihadapi, berupa ancaman militer dan non-militer, perubahan peraturan/perundang undangan, minimnya sarana dan prasarana dan Alutsista militer, partisipasi masyarakat dalam membangun pertahanan belum optimal, dan keterbatasan dukungan anggaran pertahanan. Dilihat dari perencanaan pertahanan salah satu negara dalam kerjasama pertahanan Trilateral, maka memang sejalan dengan perencanaan pertahanan masa depan Indonesia dengan berbagai ancaman yang mengemuka di lingkungan strategis Asia Tenggara, maka dapat dirumuskan periode perencanaan pertahanan secara bertahap. Mengimbangi dinamika yang ada serta turut membentuk persepsi

negara mitra bagi negara-negara ASEAN. Berdasarkan skema perencanaan strategis di atas, perkembangan tren lingkungan strategis di Asia Tenggara, akan direspon Indonesia, Malaysia dan Filipina dalam kerjasama pertahanan Trilateral dengan melakukan tindakan preventif dan perencanaan pertahanan yang disesuaikan dengan tujuan nasional serta arah politik. Perencanaan strategis pertahanan masa depan kerjasama pertahanan Trilateral dengan pola formulasi perencanaan dipengaruhi isu dan fenomena yang berkembang di kawasan Asia Tenggara. Dinamika yang terjadi antar negara ASEAN berupa sengketa dan konflik dengan skala kecil, menimbulkan upaya tindakan kebijakan untuk keamanan dan pertahanan. Peningkatan anggaran pertahanan dan belanja persenjataan merupakan cara penangkalan setiap negara merespon lingkungan dan dinamika di Asia Tenggara. Elemen diplomasi pertahanan dan instrumen kebijakan pertahanan Indonesia, Malaysia dan Filipina memfokuskan pada penguatan postur dan struktur pertahanan nasional.

Related Documents


More Documents from ""