Dimana Allah

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dimana Allah as PDF for free.

More details

  • Words: 14,096
  • Pages: 41
Dimana Allah Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dimana ALLAH Abdul Hakim bin Amir Abdat

Halaman satu dari tiga tulisan Saya akan menjelaskan salah satu aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, yang telah hilang dari dada sebagian kaum muslimin, yaitu : tentang istiwaa Allah di atas Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran dan kemuliaan-Nya. Sehingga bila kita bertanya kepada saudara kita ; Dimana Allah ? Kita akan mendapat dua jawaban yang bathil bahkan sebagiannya kufur..! : 1. Allah ada pada diri kita ini ..! 2. Allah dimana-mana di segala tempat ! Jawaban yang pertama berasal dari kaum wihdatul wujud (kesatuan wujud Allah dengan manusia) yang telah dikafirkan oleh para Ulama kita yang dahulu dan sekarang. Sedangkan jawaban yang kedua keluar dari kaum Jahmiyyah (faham yang menghilangkan sifat-sifat Allah) dan Mu'tazilah, serta mereka yang sefaham dengan keduanya dari ahlul bid'ah. Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang budak perempuan milik Mua'wiyah bin Al-Hakam As-Sulamy sebagai ujian keimanan sebelum ia dimerdekakan oleh tuannya yaitu Mu'awiyah : Artinya : "Beliau bertanya kepadanya : "Di manakah Allah ?. Jawab budak perempuan : "Di atas langit. Beliau bertanya (lagi) : "Siapakah Aku ..?". Jawab budak itu : "Engkau adalah Rasulullah". Beliau bersabda : "Merdekakan ia ! .. karena sesungguhnya ia mu'minah (seorang perempuan yang beriman)". Hadits shahih. Dikeluarkan oleh Jama'ah ahli hadits, diantaranya : 1. Imam Malik (Tanwirul Hawaalik syarah Al-Muwath-tho juz 3 halaman 5-6). 2. Imam Muslim (2/70-71) 3. Imam Abu Dawud (No. 930-931) 4. Imam Nasa'i (3/13-14) 5. Imam Ahmad (5/447, 448-449) 6. Imam Daarimi 91/353-354) 7. Ath-Thayaalis di Musnadnya (No. 1105) 8. Imam Ibnul Jaarud di Kitabnya "Al-Muntaqa" (No. 212) 9. Imam Baihaqy di Kitabnya "Sunanul Kubra" (2/249-250) 10. Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di Kitabnya "Tauhid" (hal. 121-122) 11. Imam Ibnu Abi 'Aashim di Kitab As-Sunnah (No. 489 di takhrij oleh ahli hadits besar Muhammad Nashiruddin Al-Albani). 12. Imam Utsman bin Sa'id Ad-Daarimi di Kitabnya "Ar-Raddu 'Alal Jahmiyyah" (No. 60,61,62 halaman 38-39 cetakan darus Salafiyah). 13. Imam Al-Laalikai di Kitabnya "As-Sunnah " (No. 652).

PEMBAHASAN Pertama Hadist ini merupakan cemeti dan petir yang menyambar di kepala dan telinga ahlul bid'ah dari kaum Jahmiyyah dan Mu'tazilah dan yang sefaham dengan mereka, yaitu ; dari kaum yang menyandarkan aqidah mereka kepada Imam Abul Hasan Ali bin Ismail Al-Asy'ary, yaitu ; mereka mempunyai i'tiqad (berpendapat) : "ALLAH BERADA DI TIAP-TIAP TEMPAT ATAU ALLAH BERADA DIMANA-MANA .!?" Katakanlah kepada mereka : Jika demikian, yakni Allah berada dimana-mana tempat, maka Allah berada di jalan-jalan, di pasar-pasar, di tempat kotor dan berada di bawah mahluknya !?. Jawablah kepada mereka dengan firman Allah 'Azza wa Jalla : Artinya : "Maha suci Engkau ! ini adalah satu dusta yang sangat besar" (An-Nur : 16) "Maha suci Allah dari apa-apa yang mereka sifatkan " (Al-Mu'minun : 91) "Maha Suci Dia ! Dan Maha Tinggi dari apa-apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar". (Al-Isra : 43) Berkata Imam Adz-Dzahabi setelah membawakan hadits ini, di kitabnya "Al-Uluw" (hal : 81 diringkas oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Artinya : "Dan demikian ra'yu kami (setuju dengan hadits) setiap orang yang ditanya : "Dimana Allah ? "Dia segera dengan fitrahnya menjawab : Di atas langit !. Didalam hadits ini ada dua masalah : pertama : Disyariatkan pertanyaan seorang muslim : Dimana Allah ?. Kedua : Jawaban orang yang ditanya : (Allah) di atas langit ! Maka barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini berarti ia telah mengingkari Al-Musthafa (Nabi) SHALALLAHU’ALAIHISSALAM". Dan telah berkata Imam Ad-Daarimi setelah membawakan hadits ini di kitabnya "Ar-Raddu 'Alal Jahmiyah (hal: 39): "Di dalam hadits Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM ini, ada dalil bahwa seseorang apabila tidak mengetahui sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla berada di atas langit bukan bumi, tidaklah ia seorang mu'min". Tidaklah engkau perhatikan bahwa Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM telah menjadikan tanda/alamat keimanannya (yaitu budak perempuan) tentang pengetahuannya sesungguhnya Allah di atas langit. Dan pada pertanyaan Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM (kepada budak perempuan): "Dimana Allah ?". Mendustakan perkataan orang yang mengatakan : "Dia (Allah) ada di tiap-tiap tempat (dan) tidak boleh disifatkan dengan (pertanyaan) : Dimana .? Kedua Lafadz 'As-Samaa" menurut lughoh/bahasa Arab artinya : Setiap yang tinggi dan berada di atas. Berkata Az-Zujaaj (seorang Imam ahli bahasa) : Artinya : "(Lafadz) As-Samaa/langit di dalam bahasa dikatakan : Bagi tiap-tiap yang tinggi dan berada di atas. Dikatakan : atap rumah langit-langit rumah". Dinamakan "Awan" itu langit/As-Samaa, karena ia berada di atas manusia. Firman Allah 'Azza wa Jalla. Artinya : "Dan Ia turunkan dari langit Air (hujan)" (Al-Baqarah : 22).

Adapun huruf "Fii" dalam lafadz hadits "Fiis-Samaa" bermakna " 'Alaa" seperti firman Allah 'Azza wa Jalla : Artinya : "Maka berjalanlah kamu di atas/di muka bumi" (At-Taubah : 2) "Mereka tersesat di muka bumi" (Al-Maa'idah : 26) Lafadz "Fil Arldhii" dalam dua ayat diatas maknanya " 'Alal Arldhii", Maksudnya : Allah 'Azza wa Jalla berada di pihak/di arah yang tinggi -di atas langit- yakni di atas 'Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaran-Nya. Ia tidak serupa dengan satupun mahluk-Nya dan tidak satupun mahluk menyerupai-Nya. Firman Allah 'Azza wa Jalla : Artinya : "Tidak ada sesuatupun yang sama dengan-Nya, dan Ia-lah yang Maha Mendengar (dan) Maha Melihat". (As-Syura : 4) "Dan tidak ada satupun yang sama/sebanding dengan-Nya" (Al-Ikhlas : 4) "Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istiwaa (bersemayam)". (Thaha : 5) "Sesungguhnya Tuhan kamu itu Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, kemudian ia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy".(Al-A'raf :54). Madzhab Salaf -dan yang mengikuti mereka- seperti Imam yang empat : Abu Hanifah, Malik, Syafi'iy dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain Ulama termasuk Imam Abul Hasan Al-Asy'ari sendiri, mereka semuanya beriman bahwa ; Allah 'Azza wa Jalla ISTIWAA diatas 'Arsy-Nya sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya. Mereka tidak menta'wil ISTIWAA/ISTAWAA dengan ISTAWLA yang artinya : Berkuasa. Seperti halnya kaum Jahmiyyah dan yang sefaham dengan mereka yang mengatakan "Allah istiwaa di atas 'Arsy" itu maknanya : Allah menguasai 'Arsy !. Bukan Dzat Allah berada di atas langit yakni di atas 'Arsy-Nya, karena Allah berada dimana-mana tempat !?... Mereka ini telah merubah perkataan dari tempatnya dan telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan Allah kepada mereka sama seperti kaum Yahudi (baca surat Al-Baqarah : 58-59). Katakan kepada mereka : Kalau makna istiwaa itu adalah istawla/berkuasa, maka Allah 'Azza wa Jalla berkuasa atas segala sesuatu bukan hanya menguasai 'Arsy. Ia menguasai langit dan bumi dan apa-apa yang ada diantara keduanya dan sekalian mahluk (selain Allah dinamakan mahluk). Allah 'Azza wa Jalla telah mengabarkan tentang istawaa-Nya diatas 'Arsy-Nya dalam tujuh tempat di dalam kitab-Nya Al-Qur'an. Dan semuanya dengan lafadz "istawaa". Ini menjadi dalil yang sangat besar bahwa yang dikehendaki dengan istawaa ialah secara hakekat, bukan "istawla" dengan jalan menta'wilnya. Telah berfirman Allah 'Azza wa Jalla di Muhkam Tanzil-Nya. Artinya : "Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istawaa" (Thaha : 5) "Kemudian Ia istawaa (bersemayam) di atas 'Arsy". Pada enam tempat. Ia berfirman di kitab-Nya yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.

Surat Surat Surat Surat Surat

Al-A'raf ayat 54 Yunus ayat 3 Ar-Ra'du ayat 2 Al-Furqaan ayat 59 As-Sajdah ayat 4

6. Surat Al-Hadid ayat 4 Menurut lughoh/bahasa, apabila fi'il istiwaa dimuta'adikan oleh huruf 'Ala, tidak dapat dipahami/diartikan lain kecuali berada diatasnya. Firman Allah 'Azza wa Jalla : Artinya : "Dan berhentilah kapal (Nuh) di atas gunung/bukit Judi" (Hud : 44). Di ayat ini fi'il "istawaa" dimuta'addikan oleh huruf 'Ala yang tidak dapat dipahami dan diartikan kecuali kapal Nabi Nuh AS secara hakekat betul-betul berlabuh/berhenti di atas gunung Judi. Dapatkah kita artikan bahwa "Kapal Nabi Nuh menguasai gunung Judi" yakni menta'wil lafadz "istawat" dengan lafadz "istawlat" yang berada di tempat yang lain bukan di atas gunung Judi..? (yang sama dengan ayat di atas, baca surat Az-Zukhruf : 13). Berkata Mujahid (seorang Tabi'in besar murid Ibnu Abbas). Artinya : "Ia istawaa (bersemayam) di atas "Arsy" maknanya : "Ia berada tinggi di atas "Arsy" (Riwayat Imam Bukhari di sahihnya Juz 8 hal : 175) Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- di kitabnya "At-Tauhid" (hal: 101): Artinya : "Kami beriman dengan khabar dari Allah Jalla wa A'laa (yang Maha Besar dan Maha tinggi) sesungguhnya pencipta kami (Allah) Ia istiwaa di atas 'Arsy-Nya. Kami tidak akan mengganti/mengubah Kalam (firman) Allah dan kami tidak akan mengucapkan perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada kami sebagaimana (kaum) Jahmiyyah yang menghilangkan sifat-sifat Allah, dengan mengatakan "Sesungguhnya Ia (Allah) istawla (menguasai) 'Arsy-Nya tidak istawaa!". Maka mereka telah mengganti perkataan yang tidak pernah dikatakan (Allah) kepada mereka seperti perbuatan Yahudi tatkala mereka diperintah mengucapkan : "Hith-thatun (ampunkanlah dosa-dosa kami)" Tetapi mereka mengucapkan : "Hinthah (gandum).?". Mereka (kaum Yahudi) telah menyalahi perintah Allah yang Maha Besar dan Maha tinggi, begitu pula dengan (kaum) Jahmiyyah". Yakni, Allah telah menegaskan pada tujuh tempat di kitab-Nya yang mulia, bahwa Ia istiwaa di atas 'Arsy-Nya (Dzat Allah istiwaa/bersemayam di atas 'Arsy-Nya yang sesuai dengan kebesaranNya, sedangkan ilmu-Nya berada dimana-mana/tiap-tiap tempat tidak satupun tersembunyi dari pengetahuan-Nya). Kemudian datanglah kaum Jahmiyyah mengubah firman Allah istawaa dengan istawla yakni menguasai 'Arsy sedangkan Dzat Allah berada dimana-mana/tiap-tiap tempat !!!. Maha Suci Allah dari apa-apa yang disifatkan kaum Jahmiyyah ! Adapun madzhab Salaf, mereka telah beriman dengan menetapkan (istbat) sesungguhnya Allah Azza wa Jalla istiwaa -dan bukan istawla- di atas 'Arsy-Nya tanpa : 1. Tahrif yakni ; Merubah lafadz atau artinya. 2. Ta'wil yakni ; Memalingkan dari arti yang zhahir kepada arti yang lain. 3. Ta'thil yakni ; Meniadakan/menghilangkan sifat-sifat Allah baik sebagian maupun secara keseluruhannya. 4. Tasybih yakni ; Menyerupakan Allah dengan mahluk. 5. Takyif yakni ; Bertanya dengan pertanyaan : Bagaimana (caranya) ? Alangkah bagusnya jawaban Imam Malik ketika beliau ditanya : "Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas 'Arsy ?. Beliau menjawab :

Artinya : "Istiwaa itu bukanlah sesuatu yang tidak dikenal (yakni telah kita ketahui artinya), tetapi bagaimana caranya (Allah istiwaa) tidaklah dapat dimengerti, sedang iman dengannya (bahwa Allah istiwaa) wajib, tetapi bertanya tentangnya (bagaimana caranya) adalah bid'ah". (baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 45-46) Perhatikan ! 1. 'Arsy adalah mahluk Allah yang paling tinggi berada di atas tujuh langit dan sangat besar sekali sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas : Artinya : "Dan 'Arsy tidak seorangpun dapat mengukur berapa besarnya". Berkata Imam Dzahabi di kitabnya "Al-Uluw" (hal : 102) : rawi-rawinya tsiqaat (terpercaya). Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : Sanadnya shahih semua riwayatnya tsiqaat. (dikeluarkan oleh Imam ibnu Khuzaimah di kitabnya "At-Tauhid"). 2. Bahwa Allah 'Azza wa Jalla -istiwaa-Nya di atas 'Arsy- tidak tergantung kepada 'Arsy. Bahkan sekalian mahluk termasuk 'Arsy bergantung kepada Allah Azza wa Jalla. Firman Allah 'Azza wa Jalla. Artinya : "Sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian alam" (Al-Ankabut : 6) Yakni : Allah tidak berkeperluan kepada sekalian mahluk". Ketiga Penunjukan Beberapa Dalil dari Al-Qur'an dan Hadits yang Shahih Firman Allah 'Azza wa Jalla. Artinya : "Apakah kamu merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit, bahwa Ia akan menenggelamkan ke dalam bumi, maka tiba-tiba ia (bumi) bergoncang ?" (Al-Mulk : 16) "Ataukah kamu (memang) merasa aman terhadap DZAT yang di atas langit bahwa Ia akan mengirim kepada kamu angin yang mengandung batu kerikil ? Maka kamu akan mengetahui bagaimana ancaman-Ku". (Al-Mulk : 17). Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -setelah membawakan dua ayat di atas di kitabnya "At-Tauhid" (hal : 115). Artinya : "Bukankah Ia telah memberitahukan kepada kita -wahai orang yang berakal- yaitu ; apa yang ada diantara keduanya sesungguhnya Ia di atas langit". Berkata Imam Abul Hasan Al-Asy'ary di kitabnya "Al-Ibanah Fi Ushulid-diayaanah hal : 48) setelah membawakan ayat di atas : "Di atas langit-langit itu adalah 'Arsy, maka tatkala 'Arsy berada di atas langit-langit. Ia berfirman : "Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang berada di atas langit ?" Karena sesungguhnya Ia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy yang berada di atas langit, dan tiap-tiap yang tinggi itu dinamakan 'As-Samaa" (langit), maka 'Arsy berada di atas langit. Bukankah yang dimaksud apabila Ia berfirman : "Apakah kamu merasa aman terhadap Dzat yang diatas langit ?" yakni seluruh langit ! Tetapi yang Ia kehendaki adalah 'Arsy yang berada di atas langit".

Saya berpandangan (Abdul Hakim bin Amir Abdat) : Dua ayat di atas sangat tegas sekali yang tidak dapat dibantah dan ta'wil bahwa lafadz "MAN" tidak mungkin difahami selain dari Allah 'Azza wa Jalla. Bukan Malaikat-Nya sebagaimana dikatakan oleh kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengannya, yang telah merubah firman Allah 'Azza wa Jalla. Bukankah dlamir (kata ganti) pada fi'il (kata kerja) "yakhtsif" (Ia menenggelamkan) dan "yartsil" (Ia mengirim) adalah "huwa" (Dia) ? siapakah Dia itu kalau bukan Allah 'Azza wa Jalla. Firman Allah : Artinya : "Mereka (para Malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang berada di atas mereka, dan mereka mengerjakan apa-apa yang diperintahkan". (An-Nahl : 50). Ayat ini tegas sekali menyatakan bahwa Allah 'Azza wa Jalla berada di atas bukan di mana-mana tempat. Karena lafadz "fawqo" (di atas) apabila di majrur dengan huruf "min" dalam bahasa Arab menunjukan akan ketinggian tempat. Dan tidak dapat di ta'wil dengan ketinggian martabat, sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka. Alangkah zhalimnya mereka ini yang selalu merubah-rubah firman Tuhan kita Allah Jalla Jalaa Luhu. Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya "At-Tauhid" (hal : 111): "Tidaklah kalian mendengar firman pencipta kita 'Azza wa Jalla yang mensifatkan diri-Nya. Artinya : "Dan Dialah (Allah) yang Maha Kuasa di atas hamba-hamba-Nya". (Al-An'am : 18 & 61). Berkata Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya tersebut : "Tidakkah kalian mendengar wahai penuntut ilmu. Firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala kepada Isa bin Maryam : Artinya : "Wahai Isa ! Sesungguhnya Aku akan mengambilmu dan mengangkatmu kepada-Ku" (Ali Imran : 55) Ibnu Khuzaimah menerangkan : Bukankah "mengangkat" sesuatu itu dari bawah ke atas (ke tempat yang tinggi) tidak dari atas ke bawah!. Dan firman Allah 'Azza wa Jalla. Artinya : "Tetapi Allah telah mengangkat dia (yakni Nabi Isa) kepada-Nya" (An-Nisa' : 158). Karena "Ar-raf'ah" = mengangkat dalam bahasa Arab yang dengan bahasa mereka kita diajas berbicara (yakni Al-Qur'an) dalam bahasa Arab yang hanya dapat diartikan dari bawah ke tempat yang tinggi dan di atas" (kitab At-Tauhid : 111). Sekarang dengarlah wahai orang yang berakal, kisah Fir'aun bersama Nabi Allah Musa 'Alaihis Salam di dalam kitab-Nya yang mulia, dimana Fir'aun telah mendustakan Musa yang telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas langit : Artinya : "Dan berkata Fir'aun : Hai Haman! Buatkanlah untukku satu bangunan yang tinggi supaya aku (dapat) mencapai jalan-jalan. (Yaitu) jalan-jalan menuju ke langit supaya aku dapat melihat Tuhan(nya) Musa, karena sesungguhnya aku mengira dia itu telah berdusta". (Al-Mu'min : 3637. Al-Qashash : 38). Perhatikanlah wahai orang yang berakal!. Perintah Fir'aun kepada Haman -menterinya- untuk membuatkan satu bangunan yang tinggi supaya ia dapat jalan ke langit untuk melihat Tuhannya Musa. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Musa telah memberitahukan kepadanya bahwa Tuhannya -Allah Subhanahu wa Ta'ala- berada di atas langit-.

Kalau tidak demikian, yakni misalnya Nabi Musa mengatakan bahwa Tuhannya ada dimana-mana tempat -sebagaimana dikatakan kaum Jahmiyyah- tentu Fir'aun yang disebabkan karena kekafirannya dan pengakuannya sebagai Tuhan, akan mengerahkan bala tentaranya untuk mencari Tuhannya Musa di istananya, di rumah-rumah Bani Israil, di pasar-pasar dan di seluruh tempat di timur dan di barat !?. Tetapi tatkala Nabi Musa dengan perkataannya: "Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta !". Yakni tentang perkataan Musa bahwa Tuhannya di atas langit. Perhatikanlah, wahai orang yang berakal !. Keadaan Fir'aun yang mendustakan Nabi Musa dengan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka yang telah merubah firman Allah dengan mengatakan : Allah ada di segala tempat !. Ketahuilah ! Bahwa pemahaman di atas bukanlah hasil dari pikiran saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) tetapi pemahaman Ulama-ulama kita diantaranya : 1. Imam Ibnu Khuzaimah di kitabnya "At-Tauhid" (hal : 114-115) diantara keterangannya : "Perkataan Fir'aun (sesungguhnya aku menyangka/mengira ia termasuk dari orang-orang yang berdusta) terdapat dalil bahwa Musa telah memberitahukan kepada Fir'aun :" Bahwa Tuhannya Yang Maha Besar dan Maha Tinggi berada di tempat yang tinggi dan di atas". 2. Berkata Imam Al-Asy'ary setelah membawakan ayat di atas : "Fir'aun telah mendustakan Musa tentang perkataannya : Sesungguhnya Allah di atas langit" (Al-Ibanah : 48). 3. Berkata Imam Ad-Daarimi di kitabnya "Raddu 'Alal Jahmiyyah hal : 37 Setelah membawakan ayat di atas : " Di dalam ayat ini terdapat keterangan yang sangat jelas dan dalil yang nyata, bahwa Musa telah mengajak Fir'aun mengenal Allah bahwa Ia berada di atas langit. Oleh karena itu Fir'aun memerintahkan membuat bangunan yang tinggi". 4. Berkata Syaikhul Islam Al-Imam As-Shaabuny di kitabnya "Itiqad Ahlus Sunnah wa Ashabul Hadits wal A'imah " (hal : 15) : "Bahwasanya Fir'aun mengatakan demikian (yakni menuduh Musa berdusta) karena ia telah mendengar Musa AS menerangkan bahwa Tuhannya berada di atas langit. Tidakkah engkau perhatikan perkataannya : "Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta" yakni tentang perkataan Musa : Sesungguhnya di atas langit ada Tuhan". 5. Imam Abu Abdillah Haarits bin Ismail Al-Muhaasiby diantara keterangannya : "Berkata Fir'aun : (Sesungguhnya aku mengira dia itu berdusta) tentang apa yang ia (Musa) katakan kepadaku : Sesungguhnya Tuhannya berada di atas langit". Kemudian beliau menerangkan : "Kalau sekiranya Musa mengatakan : "Sesungguhnya Allah berada di tiaptiap tempat dengan Dzatnya, nisacaya Fir'aun akan mencari di rumahnya, atau di hadapannya atau ia merasakannya, -Maha Tinggi Allah dari yang demikian- tentu Fir'aun tidak akan menyusahkan dirinya membuat bangunan yang tinggi". (Fatwa Hamawiyyah Kubra : 73). 6. Berkata Imam Ibnu Abdil Bar : "Maka (ayat ini) menunjukan sesungguhnya Musa mengatakan (kepada Fir'aun) : "Tuhanku di atas langit ! sedangkan Fir'aun menuduhnya berdusta". (baca Ijtimaaul Juyusy Al-Islamiyyah hal : 80). 7. Berkata Imam Al-Waasithi di kitabnya "An-Nahihah fi Shifatir Rabbi Jalla wa 'Alaa" (hal : 23 cetakan ke-3 th 1982 Maktab Al-Islamy) : "Dan ini menunjukkan bahwa Musa telah mengabarkan kepadanya bahwa Tuhannya yang Maha Tinggi berada di atas langit. Oleh karena itu Fir'aun berkata : "Sesungguhnya aku mengira dia ini berdusta". Demikianlah penjelasan dari tujuh Imam besar di dalam Islam tentang ayat di atas, selain masih banyak lagi yang kesimpulannya: "Bahwa mendustakan Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas langit di atas 'Arsy-Nya, Ia istiwaa (bersemayam) yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, adalah; sunnahnya Fir'aun". Na'udzu billah !!.

Sampai disini pembahasan beberapa dalil dari kitab Allah -salain masih banyak lagi- yang cukup untuk diambil pelajaran bagi mereka yang ingin mempelajarinya. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. Artinya : "Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan !" (Al-Hasyr : 2). Adapun dalil-dalil dari hadits Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM banyak sekali. Di bawah ini akan disebutkan beberapa diantaranya : Nabi kita SHALALLAHU’ALAIHISSALAM telah bersabda : Artinya : "Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayang oleh Allah Tabaaraka wa Ta'ala (Yang Maha berkat dan Maha Tinggi). oleh karena itu sayangilah orang-orang yang di muka bumi, niscaya Dzat yang di atas langit akan menyayangi kamu". (Shahih. Diriwayatkan oleh Imamimam : Abu Dawud No. 4941. Ahmad 2/160. Hakim 4/159. dari jalan Abdullah bin 'Amr bin 'Ash. Hadits ini telah dishahihkan oleh Imam Hakim dan telah pula disetujui oleh Imam Dzahabi. Demikian juga Al-Albani telah menyatakan hadits ini shahih dikitabnya "Silsilah Shahihah No. 925". "Barangsiapa yang tidak menyayangi orang yang di muka bumi, niscaya tidak akan disayang oleh Dzat yang di atas langit". (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Thabrani di kitabnya "Mu'jam Kabir No. 2497 dari jalan Jarir bin Abdullah. Imam Dzahabi di kitabnya "Al-Uluw" hal : 83 diringkas oleh Al-Albani) mengatakan : Rawi-rawinya tsiqaat/kepercayaan). "Tidakkah kamu merasa aman kepadaku padahal aku orang kepercayaan Dzat yang di atas langit, datang kepadaku berita (wahyu) dari langit di waktu pagi dan petang". (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim 3/111 dan Ahmad 3/4 dari jalan Abu Sa'id Al-Khudry). "Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya ! Tidak seorang suamipun yang mengajak istrinya ke tempat tidurnya (bersenggama), lalu sang istri menolaknya, melainkan Dzat yang di atas langit murka kepadanya sampai suaminya ridla kepadanya ".(Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim 4/157 dari jalan Abu Hurarirah). Keterangan : "Dzat yang di atas langit yakni Allah 'Azza wa Jalla (perhatikan empat hadits diatas)". "Silih berganti (datang) kepada kamu Malaikat malam dan Malaikat siang dan mereka berkumpul pada waktu shalat shubuh dan shalat ashar. Kemudian naik malaikat yang bermalam dengan kamu, lalu Tuhan mereka bertanya kepada mereka, padahal Ia lebih tahu keadaan mereka : "Bagaimana (keadaan mereka) sewaktu kamu tinggalkan hamba-hamba-Ku ? Mereka menjawab : "Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami datang kepada mereka dalam keadaan shalat". (Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari 1/139 dan Muslim 2/113 dll). Keterangan : "Sabda Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM : "Kemudian NAIK Malaikat-malaikat yang bermalam ...dst" Menunjukan bahwa Pencipta itu Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas. Hal ini juga menunjukkan betapa rusaknya pikiran dan fitrahnya kaum Jahmiyyah yang mengatakan Pencipta kita, tidak berada di atas tetapi di segala tempat ? Maha Suci Allah ! Dan Maha Tinggi Allah dari segala ucapan kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka !. "Jabir bin Abdullah telah meriwayatkan tentang sifat haji Nabi dalam satu hadits yang panjang yang didalamnya diterangkan khotbah Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM di padang 'Arafah : "(Jabir menerangkan) : Lalu Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM mengangkat jari telunjuknya ke

arah langit, kemudian beliau tunjukkan jarinya itu kepada manusia, (kemudian beliau berdo'a) : "Ya Allah saksikanlah ! Ya Allah saksikanlah ! ( Riwayat Imam Muslim 4/41). Sungguh hadits ini merupakan tamparan yang pedas di muka-muka kaum Ahlul Bid'ah yang selalu melarang kaum muslimin merisyarat dengan jarinya ke arah langit. Mereka berkata : Kami khawatir orang-orang akan mempunyai i'tiqad bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala berada di atas langit ! Padahal Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala tempat !?. Demikianlah kekhawatiran yang dimaksudkan syaithan ke dalam hati ketua-ketua mereka. Yang pada hakekatnya mereka ini telah membodohi Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM yang telah mengisyaratkan jari beliau ke arah langit. Perhatikanlah perkataan mereka : "Allah tidak bertempat tetapi Ia berada di segala tempat !?" Perhatikanlah ! Adakah akal yang shahih dan fitrah yang bersih dapat menerima dan mengerti perkataan di atas !?. Mereka mengatakan Allah tidak bertempat karena akan menyerupai dengan mahluk-Nya. Tetapi pada saat yang sama mereka tetapkan bahwa Allah berada di segala tempat atau di mana-mana tempat !?. Ya Subhanallah ! Artinya : "Dari Ibnu Abbas (ia berkata) : " Bahwa Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM berkhotbah kepada manusia pada hari Nahr (tgl. 10 Zulhijah) -kemudian Ibnu Abbas menyebutkan khotbah Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM- kemudian beliau mengangkat kepalanya (ke langit) sambil mengucapkan : Ya Allah bukankah Aku telah menyampaikan ! Ya Allah bukankah aku telah menyampaikan !. (Riwayat Imam Bukhari Juz 2 hal : 191). Perhatikan wahai orang yang berakal ! Perbuatan Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM mengangkat kepalanya ke langit mengucapkan : Ya Allah !. Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM menyeru kepada Tuhannya Allah Subhanahu wa Ta'ala yang berada di atas langit yakni di atas 'Arsy di atas sekalian mahluk-Nya. Kemudian perhatikanlah kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada di segala tempat, di bawah mahluk, di jalan-jalan, di tempat-tempat yang kotor, dan di perut-perut hewan !? Maha Suci Allah ! Maha Suci Allah dari apa yang disifatkan oleh kaum Jahmiyyah dan yang sama dengan mereka!. Artinya : "Dari Aisyah, ia berkata : "Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM mengangkat kepalanya ke langit. (Riwayat Imam Bukhari 7/122).

Keempat Keterangan Para Sahabat Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM, dan Ulama-Ulama Islam. Adapun keterangan dari para sahabat Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM, dan Imam-imam kita serta para Ulama dalam masalah ini sangat banyak sekali, yang tidak mungkin kami turunkan satu persatu dalam risalah kecil ini, kecuali beberapa diantaranya.

1. Umar bin Khatab pernah mengatakan : Artinya : "Hanyasanya segala urusan itu (datang/keputusannya) dari sini". Sambil Umar mengisyaratkan tangannya ke langit " [Imam Dzahabi di kitabnya "Al-Uluw" hal : 103. mengatakan : Sanadnya seperti Matahari (yakni terang benderang keshahihannya)]. 2. Ibnu Mas'ud berkata : Artinya : "'Arsy itu di atas air dan Allah 'Azza wa Jalla di atas 'Arsy, Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan". Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Thabrani di kitabnya "Al-Mu'jam Kabir" No. 8987. dan lain-lain Imam. Imam Dzahabi di kitabnya "Al-Uluw" hal : 103 berkata : sanadnya shahih,dan Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyetujuinya (beliau meringkas dan mentakhrij hadits ini di kitab Al-Uluw). Tentang 'Arsy Allah di atas air ada firman Allah 'Azza wa Jalla. "Dan adalah 'Arsy-Nya itu di atas air" (Hud : 7) 3. Anas bin Malik menerangkan : Artinya : "Adalah Zainab memegahkan dirinya atas istri-istri Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM, ia berkata : "Yang mengawinkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga kamu, tetapi yang mengawinkan aku (dengan Nabi) adalah Allah Ta'ala dari ATAS TUJUH LANGIT". Dalam satu lafadz Zainab binti Jahsyin mengatakan : "Sesungguhnya Allah telah menikahkan aku (dengan Nabi) dari atas langit". (Riwayat Bukhari juz 8 hal:176). Yakni perkawinan Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM dengan Zainab binti Jahsyin langsung Allah Ta'ala yang menikahinya dari atas 'Arsy-Nya. Firman Allah di dalam surat Al-Ahzab : 37 "Kami kawinkan engkau dengannya (yakni Zainab)". 4. Imam Abu Hanifah berkata : Artinya : "Barangsiapa yang mengingkari sesungguhnya Allah berada di atas langit, maka sesungguhnya ia telah kafir". Adapun terhadap orang yang tawaqquf (diam) dengan mengatakan "aku tidak tahu apakah Tuhanku di langit atau di bumi". Berkata Imam Abu Hanifah : "Sesungguhnya dia telah 'Kafir !". Karena Allah telah berfirman : "Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istiwaa". Yakni : Abu Hanifah telah mengkafirkan orang yang mengingkari atau tidak tahu bahwa Allah istiwaa diatas 'Arsy-Nya. 5. Imam Malik bin Anas telah berkata : Artinya : "Allah berada di atas langit, sedangkan ilmunya di tiap-tiap tempat, tidak tersembunyi sesuatupun dari-Nya". 6. Imam Asy-Syafi'iy telah berkata : Artinya : "Dan sesungguhnya Allah di atas 'Arsy-Nya di atas langit-Nya" 7. Imam Ahmad bin Hambal pernah di tanya : "Allah di atas tujuh langit diatas 'Arsy-Nya, sedangkan kekuasaan-Nya dan ilmu-Nya berada di tiap-tiap tempat.?

Jawab Imam Ahmad : Artinya : "Benar ! Allah di atas 'Arsy-Nya dan tidak sesuatupun yang tersembunyi dari pengetahuan-nya". 8. Imam Ali bin Madini pernah ditanya : "Apa perkataan Ahlul Jannah ?". Beliau menjawab : Artinya : "Mereka beriman dengan ru'yah (yakni melihat Allah pada hari kiamat dan di sorga khusus bagi kaum mu'minin), dan dengan kalam (yakni bahwa Allah berkata-kata), dan sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla di atas langit di atas 'Arsy-Nya Ia istiwaa". 9. Imam Tirmidzi telah berkata : Artinya : "Telah berkata ahli ilmu : "Dan Ia (Allah) di atas 'Arsy sebagaimana Ia telah sifatkan diriNya". (Baca : "Al-Uluw oleh Imam Dzahabi yang diringkas oleh Muhammad Nashiruddin AlAlbani di hal : 137, 140, 179, 188, 189 dan 218. Fatwa Hamawiyyah Kubra oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal: 51, 52, 53, 54 dan 57). 10. Telah berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para imam- : Artinya : "Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah Ta'ala di atas 'Arsy-Nya Ia istiwaa di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir dengan Tuhannya...". (Riwayat ini shahih dikeluarkan oleh Imam Hakim di kitabnya Ma'rifah "Ulumul Hadits" hal : 84). 11. Telah berkata Syaikhul Islam Imam Abdul Qadir Jailani -diantara perkataannya- : "Tidak boleh mensifatkan-Nya bahwa Ia berada diatas tiap-tiap tempat, bahkan (wajib) mengatakan : Sesungguhnya Ia di atas langit (yakni) di atas 'Arsy sebagaimana Ia telah berfirman :"Ar-Rahman di atas 'Arsy Ia istiwaa (Thaha : 5). Dan patutlah memuthlakkan sifat istiwaa tanpa ta'wil sesungguhnya Ia istiwaa dengan Dzat-Nya di atas 'Arsy. Dan keadaan-Nya di atas 'Arsy telah tersebut pada tiap-tiap kitab yang. Ia turunkan kepada tiap-tiap Nabi yang Ia utus tanpa (bertanya):"Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas 'Arsy-Nya ?" (Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 87). Yakni : Kita wajib beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala istiwaa di atas 'Arsy-Nya yang menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas sekalian mahluk-Nya. Tetapi wajib bagi kita meniadakan pertanyaan : "Bagaimana caranya Allah istiwaa di atas 'ArsyNya ?". Karena yang demikian tidak dapat kita mengerti sebagaimana telah diterangkan oleh Imam Malik dan lain-lain Imam. Allah istiwaa sesuai dengan kebesaran-Nya tidak serupa dengan istiwaanya mahluk sebagaimana kita meniadakan pertanyaan : Bagaimana Dzatnya Allah ?. Demikianlah aqidah salaf, salah satunya ialah Imam Abdul Qadir Jailani yang di Indonesia, di sembah-sembah dijadikan berhala oleh penyembah-penyembah qubur dan orang-orang bodoh. Kalau sekiranya Imam kita ini hidup pada zaman kita sekarang ini dan beliau melihat betapa banyaknya orang-orang yang menyembah dengan meminta-minta kepada beliau dengan "tawasul", tentu beliau akan mengingkari dengan sangat keras dan berlepas diri dari qaum musyrikin tersebut. Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji'un !!. Kelima Kesimpulan

Hadits Jariyah (budak perempuan) ini bersama hadits-hadits yang lain yang sangat banyak dan berpuluh-puluh ayat Al-Qur'an dengan tegas dan terang menyatakan : "Sesungguhnya Pencipta kita Allah 'Azza wa Jalla di atas langit yakni di atas 'Arsy-Nya, yang sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya". Maha Suci Allah dari menyerupai mahluk-Nya.!. Dan Maha Suci Allah dari ta'wilnya kaum Jahmiyyah yang mengatakan Allah ada dimana-mana tempat !??. Dapatlah kami simpulkan sebagai berikut : 1. Sesungguhnya bertanya dengan pertanyaan : "Dimana Allah ?, disyariatkan dan penanya telah mengikuti Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM. 2. Wajib menjawab : "Sesungguhnya Allah di atas langit atau di atas 'Arsy". Karena yang dimaksud di atas langit adalah di atas 'Arsy. Jawaban ini membuktikan keimanannya sebagai mu'min atau mu'minah. Sebagaimana Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM, telah menyatakan keimanan budak perempuan, karena jawabannya : Allah di atas langit !. 3. Wajib mengi'tiqadkan sesungguhnya Allah di atas langit, yakni di atas 'Arsy-Nya. 4. Barangsiapa yang mengingkari wujud Allah di atas langit, maka sesungguhnya ia telah kafir. 5. Barangsiapa yang tidak membolehkan bertanya : Dimana Allah ? maka sesungguhnya ia telah menjadikan dirinya lebih pandai dari Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM, bahkan lebih pandai dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Na'udzu billah. 6. Barangsiapa yang tidak menjawab : Sesungguhnya Allah di atas langit, maka bukanlah ia seorang mukmin atau mukminah. 7. Barangsiapa yang mempunyai iti'qad bahwa bertanya :"Dimana Allah ?" akan menyerupakan Allah dengan mahluk-nya, maka sesunguhnya ia telah menuduh Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM jahil/bodoh !. Na'udzu billah ! 8. Barangsiapa yang mempunyai iti'qad bahwa Allah berada dimana-mana tempat, maka sesunguhnya ia telah kafir. 9. Barangsiapa yang tidak mengetahui dimana Tuhannya, maka bukankah ia penyembah Allah 'Azza wa Jalla, tetapi ia menyembah kepada "sesuatu yang tidak ada". 10. Ketahuilah ! Bahwa sesunguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala di atas langit, yakni di atas 'Arsy-Nya di atas sekalian mahluk-Nya, telah setuju dengan dalil naqli dan aqli serta fitrah manusia. Adapun dalil naqli, telah datang berpuluh ayat Al-Qur'an dan hadits yang mencapai derajat mutawatir. Demikian juga keterangan Imam-imam dan Ulama-ulama Islam, bahkan telah terjadi ijma' diantara mereka kecuali kaum ahlul bid'ah. Sedangkan dalil aqli yang sederhanapun akan menolak jika dikatakan bahwa Allah berada di segala tempat !. Adapun fitrah manusia, maka lihatlah jika manusia -baik muslim atau kafirberdo'a khususnya apabila mereka terkena musibah, mereka angkat kepala-kepala mereka ke langit sambil mengucapkan 'Ya ... Tuhan..!. Manusia dengan fitrahnya mengetahui bahwa penciptanya berada di tempat yang tinggi, di atas sekalian mahlukNya yakni di atas 'Arsy-Nya. Bahkan fitrah ini terdapat juga pada hewan dan tidak ada yang mengingkari fitrah ini kecuali orang yang telah rusak fitrahnya. Tambahan Sebagian ikhwan telah bertanya kepada saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) tentang ayat : Artinya : "Dan Dia-lah Allah di langit dan di bumi, Dia mengetahui rahasia kamu dan yang kamu nyatakan, dan Dia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan ". (Al-An'am : 3) Saya jawab : Ahli tafsir telah sepakat sebagaimana dinukil Imam Ibnu Katsir mengingkari kaum Jahmiyyah yang membawakan ayat ini untuk mengatakan :

"Innahu Fii Qulli Makaan" "Sesungguhnya Ia (Allah) berada di tiap-tiap tempat !". Maha Suci Allah dari perkataan kaum Jahmiyyah ini ! Adapun maksud ayat ini ialah : 1. Dialah yang dipanggil (diseru/disebut) Allah di langit dan di bumi. 2. Yakni : Dialah yang disembah dan ditauhidkan (diesakan) dan ditetapkan bagi-Nya Ilaahiyyah (Ketuhanan) oleh mahluk yang di langit dan mahluk yang di bumi, kecuali mereka yang kafir dari golongan Jin dan manusia. Ayat tersebut seperti juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. Artinya : "Dan Dia-lah yang di langit (sebagai) Tuhan, dan di bumi (sebagai) Tuhan, dan Dia Maha Bijaksana (dan) Maha mengetahui". (Az-Zukhruf : 84) Yakni : Dia-lah Allah Tuhan bagi mahluk yang di langit dan bagi mahluk yang di bumi dan Ia disembah oleh penghuni keduanya. (baca : Tafsir Ibnu Katsir Juz 2 hal 123 dan Juz 4 hal 136). Bukanlah dua ayat di atas maksudnya : Allah ada di langit dan di bumi atau berada di segala tempat!. Sebagaimana ta'wilnya kaum Jahmiyyah dan yang sepaham dengan mereka. Atau perkataan orang-orang yang "diam" Tidak tahu Allah ada di mana !. Mereka selain telah menyalahi ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi serta keterangan para sahabat dan Imam-imam Islam seluruhnya, juga bodoh terhadap bahasa Arab yang dengan bahasa Arab yang terang Al-Quran ini diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Imam Abu Abdillah Al-Muhasiby dalam keterangan ayat di atas (Az-Zukhruf : 84) menerangkan : "Yakni Tuhan bagi penduduk langit dan Tuhan bagi penduduk bumi. Dan yang demikian terdapat di dalam bahasa, (umpamanya ) engkau berkata : "Si Fulan penguasa di (negeri) Khirasan, dan di Balkh, dan di Samarqand", padahal ia berada di satu tempat". Yakni : Tidak berarti ia berada di tiga tempat meskipun ia menguasai ketiga negeri tersebut. Kalau dalam bahasa Indonesia, umpamanya kita berkata "Si Fulan penguasa di Jakarta, dan penguasa di Bogor, dan penguasa di Bandung". Sedangkan ia berada di satu tempat. Bagi Allah ada perumpamaan/misal yang lebih tinggi (baca : Fatwa Hamawiyyah Kubra hal : 73). Adapun orang yang "diam" (tawaqquf) dengan mengatakan : "Kami tidak tahu Dzat Allah di atas 'Arsy atau di bumi", mereka ini adalah orang-orang yang telah memelihara kebodohan !. Allah Rabbul 'Alamin telah sifatkan diri-Nya dengan sifat-sifat ini, yang salah satunya bahwa Ia istiwaa (bersemayam) di atas 'Arsy-Nya supaya kita mengetahui dan menetapkannya. Oleh karena itu "diam" darinya dengan ucapan "kita tidak tahu" nyata telah berpaling dari maksud Allah. Pantaslah kalau Abu Hanifah mengkafirkan orang yang berfaham demikian, sama seperti orang yang menta'wilnya.

Istighfar dan Taubat Dr. Fadhl Ilahi

Diantara sebab terpenting diturunkannya rizki adalah istighfar (memohon ampun) dan taubat kepada Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Menutupi (kesalahan). Untuk itu, pembahasan mengenai pasal ini kami bagi menjadi dua pembahasan. Pertama, hakikat istighfar dan taubat. Kedua, dalil syar'i bahwa istighfar dan taubat termasuk kunci rizki. Pertama : Hakikat Istighfar dan Taubat Sebagian besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan semata. Sebagian mereka mengucapkan. "Artinya : Aku mohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya". Tetapi kalimat-kalimat di atas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis ini adalah perbuatan orangorang dusta. Para ulama -semoga Allah memberi balasan yang sebaik-baiknya kepada mereka- telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat. Imam Ar-Raghib Al-Ashfahami menerangkan : "Dalam istilah syara', taubat adalah meninggalkan dosa karena keburukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan, berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha melakukan apa yang bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat taubatnya telah sempurna". (Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata " tauba" hal. 76) Imam An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menjelaskan : "Para ulama berkata, 'Bertaubat dari setiap dosa hukumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat tersebut. Kedua, ia harus menyesali perbuatan (maksiat)nya. Ketiga, ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya hilang, maka taubatnya tidak sah. Jika taubatnya itu berkaitan dengan hak manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di atas dan Keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut. Jika berbentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengembalikannya. Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau sejenisnya maka ia harus memberinya kesempatan untuk membalasnya atau meminta ma'af kepadanya. Jika berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf". (Riyadhus Shalihin, hal. 41-42) Adapun istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah "Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan". Dan firman Allah. "Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun". (Nuh : 10)

Tidaklah berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata, tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun (istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah pekerjaan para pendusta". (Al-Mufradat fi Gharibil Qur'an, dari asal kata "ghafara" hal. 362) Kedua : Dalil Syar'i bahwa Istighfar dan Taubat Termasuk Kunci Rizki Beberapa nash (teks) Al-Qur'an dan Al-Hadits menunjukkan bahwa istighfar dan taubat termasuk sebab-sebab rizki dengan karunia Allah Ta'ala. Di bawah ini beberapa nash dimaksud : 1. Apa yang disebutkan Allah Subhana wa Ta'ala tentang Nuh alaihis salam yang berkata kepada kaumnya. "Artinya : Maka aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu', sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai". (Nuh : 10-12) Ayat-ayat di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut ini dengan istighfar: 1. Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan firman-Nya : "Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun". 2. Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata "midraaraa" adalah (hujan) yang turun dengan deras. (Shahihul Bukhari, Kitabul Tafsir, surat Nuh 8/666) 3. Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak. Dalam menafsirkan ayat "wayumdid kum biamwalin wabanina" Atha' berkata : "Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian". (Tafsir Al-Bagawi, 4/398. Lihat pula, Tafsirul Khazin, 7/154) 4. Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun. 5. Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai. Imam Al-Qurthubi berkata : "Dalam ayat ini, juga yang disebutkan dalam surat Hud : 3 ('Artinya : Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya') adalah dalil yang menunjukkan bahwa istighfar merupakan salah satu sarana meminta diturunkannya rizki dan hujan". (Tafsir Al-Qurthubi, 18/302. Lihat pula, Al-Iklil fis Tinbathil Tanzil, hal. 274, Fathul Qadir, 5/417) Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata : "Maknanya, jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa menta'atiNya, niscaya Ia akan membanyakkan rizki kalian, menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan sungai-sungai diantara kebun-kebun itu (untuk kalian)". (Tafsir Ibnu Katsir, 4/449) Demikianlah, dan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu juga berpegang dengan apa yang terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah Ta'ala. Mutharif meriwayatkan dari Asy-Sya'bi : "Bahwasanya Umar Radhiyallahu 'anhu keluar untuk memohon hujan bersama orang banyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar (memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku memohon diturunkannya hujan

dengan majadih 1) langit yang dengannya diharapkan bakal turun hujan. Lalu beliau membaca ayat. "Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat". (Nuh : 1011). (Tafsir Al-Khazin, /154) Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan kebun-kebun. Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwasanya ia berkata : "Ada seorang lakilaki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain lagi berkata kepadanya, 'Do'akanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!, maka beliau mengatakan kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!". Dan kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan : "Maka Ar-Rabi' bin Shabih berkata kepadanya, 'Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk beristighfar'. (Tafsir Al-Khazin, 7/154. Lihat pula, Ruhul Ma'ani, 29/73). Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, 'Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh. "Artinya : Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai". (Nuh : 10-12). (Tafsir AlQurthubi, 18/302-303. Lihat pula Al-Muharrar Al-Wajiz, 16/123) Allahu Akbar ! Betapa agung, besar dan banyak buah dari istighfar ! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang pandai ber-istighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan. Amin, wahai Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus mahluk-Nya. 2. Ayat lain adalah firman Allah yang menceritakan tentang seruan Hud Alaihis Shalatu was sallam kepada kaumnya agar ber-istighfar. "Artinya : Dan (Hud berkata), Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa". (Hud : 52) Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan : "Kemudian Hud Alaihis salam memerintahkan kaumnya untuk ber-istighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman. "Artinya : Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu". (Tafsir Ibnu Katsir, 2/492. Lihat pula, Tafsir Al-Qurthubi, 9/51) Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadaan-keadaan

kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengabulkan do'a. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan. 3. Ayat lain adalah firman Allah. "Artinya : Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat". (Hud : 3) Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji-janji dari Allah Yang Mahakuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang ber-istighfar dan bertaubat. Dan maksud dari firmanNya. "Artinya : Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu". Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma adalah. 'Ia akan menganugrahi rizki dan kelapangan kepada kalian'. (Zaadul Masiir, 4/75) Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan : "Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian". (Tafsir Al-Qurthubi, 9/403. Lihat pula, Tafsir Ath-Thabari, 15/229-230, Tafsir Al-Baghawi. 4/373, Fathul Qadir, 2/695 dan Tafsir Al-Qasimi, 9/63) Dan janji Tuhan Yang Mahamulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata : "Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugrahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentukan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan". (Adhwa'ul Bayan, 3/9) 4. Dalil lain bahwa istighfar dan taubat adalah diantara kunci-kunci rizki yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah 2) niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangkasangka 3)". Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu, Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rizki, Yang Memiliki kekuatan akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terdetik dalam hatinya. Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hendaklah dia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memohon ampun), baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada! Sekali lagi hendaknya waspada! dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab ia adalah pekerjaan para pendusta. Footnote : 1. Majadih bentuk tunggalnya adalah majdah yakni salah satu jenis bintang yang menurut bangsa Arab merupakan

bintang (yang jika muncul) menunjukkan hujan akan turun. Maka Umar Radhiyallahu 'anhu menjadikan istighfar sama dengan bintang-bintang tersebut, suatu bentuk komunikasi melalui apa yang mereka ketahui. Dan sebelumnya mereka memang menganggap bahwa adanya bintang tersebut pertanda akan turun hujan, dan bukan berarti Umar berpendapat bahwa turunnya hujan karena bintang-bintang tersebut. (Tafsir Al-Khazin, 7/154) 2. "Barangsiapa menetapi -dalam riwayat lain- tidak meninggalkan istighfar". Lihat, Sunan Abi Daud, 4/267, Sunan Ibni Majah, 2/339. Dan maknanya, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Ath-Thayyib Al-Azhim Abadi yaitu saat terjadinya maksiat atau adanya ujian atau ada orang yang penyakitnya terus menerus, maka sungguh dalam setiap nafas ia membutuhkan kepadanya (istighfar dan taubat). Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Beruntunglah orang yang mendapati dalam shahifah (catatan amalnya) istighfar yang banyak". (Hadist Riwayat Ibnu majah dengan sanad hasan shahih). (Aunul Ma'bud, 4/267) 3. Al-Musnad, no. 2234, 4/55-56 dan lafazh tersebut adalah redaksi miliknya; Sunan Abi Daud, Abwabu Qiyamil Lail, Tafri'u Abwabil Witr, Bab Fil Istighfar, no. 1515, 4/267; Kitabus Sunan Al-Kubra, Kitabu Amalil Yaumi wal Lalilah, no 10290/2,6/118; Sunan Ibni Majah, Abwabul Adab, Bab Al-Istighfar, no. 3864, 2/339; Al-Mustadrak 'alash Shahihain, Kitabut Taubah wal Inabah, 4/292. Sebagian ahli hadits menyatakan hadits ini dha'if karena salah satu periwayatnya (cacat). (Lihat, At-Talkhish, l-Hafizd Adz-Dzahabi, 4/262; Aunul Ma'bud, 4/267; Dha'ifu Sunan Abi Daud, Syaikh AlAlbani, hal. 149). Tetapi sanad hadits tersebut dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (Lihat, Al-Mustadrak, 4/262). Dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata : "Sanad hadits ini shahih" (Hamisy Al-Musnad, 4/55). Demikian sebagai jawaban atas apa yang dikatakan tentang salah seorang perawinya. Wallahu a'lam bish shawab. Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah oleh Dr. Fadhl Ilahi, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah hal. 7-18 terbitan Darul Haq, Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc

Adab Berjalan Ke Masjid Bacaan Sewaktu Masuk dan Keluarnya Abdul Hakim bin Amir Abdat

HADITS PERTAMA "Dari Abu Qatadah, ia berkata : Tatkala kami sedang shalat bersama Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM, tiba-tiba beliau mendengar suara berisik orang-orang (yang datang). Maka ketika Nabi telah selesai shalat, ia bertanya : "Ada apa urusan kamu tadi (berisik) ?". Mereka menjawab : "Kami terburu-buru untuk turut (jama'ah)", Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM berkata : "Janganlah kamu berbuat begitu !. Apabila kamu mendatangi shalat, hendaklah kamu berlaku tenang ! Apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan, sempurnakanlah !" (Hadits riwayat : Ahmad, Muslim dan Bukhari). HADITS KEDUA "Dari Abu Hurairah dari Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM beliau bersabda : "Apabila kamu mendengar iqamat, maka pergilah kamu ke tempat shalat itu, dan kamu haruslah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat, dan janganlah kamu tergesa-gesa, apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan sempurnakanlah". (Hadits riwayat : Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Nasa'i & Ahmad). Kedua hadits ini mengandung beberapa hukum : 1. Kita diperintah berlaku tenang dan bersikap sopan/terhormat apabila mendatangi tempat shalat/masjid. 2. Kita dilarang tergesa-gesa/terburu-buru apabila mendatangi tempat shalat, seperti berlari-lari, meskipun iqamat telah dikumandangkan. 3. Kita dilarang berisik apabila sampai di tempat shalat, sedang shalat (jama'ah) telah didirikan. Ini dapat mengganggu orang-orang yang sedang shalat jama'ah. 4. Imam masjid perlu menegur (memberikan pelajaran/nasehat) kepada para jama'ah (ma'mum) yang kelakuannya tidak sopan di masjid, seperti berisik, mengganggu orang shalat, melewati orang yang sedang shalat, shaf tidak beres, berdzikir dengan suara keras, yang dapat mengganggu orang yang sedang shalat atau belajar atau lain-lain. 5. Apa yang kita dapatkan dari shalatnya Imam, maka hendaklah langsung kita shalat sebagaimana keadaan shalat Imam waktu itu. 6. Setelah Imam selesai memberi salam ke kanan dan ke kiri, barulah kita sempurnakan apa-apa yang ketinggalan. Diantara hikmahnya kita diperintahkan tenang dan sopan serta tidak boleh tergesa-gesa, Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM pernah bersabda. Artinya : "Karena sesungguhnya salah seorang diantara kamu, apabila menuju shalat, maka berarti dia sudah dianggap dalam shalat". (Hadits riwayat : Muslim).

Periksa : Shahih Muslim 2 : 99,100. Shahih Bukhari 1 : 156. Subulus Salam (syarah Bulughul Maram) 2 : 33, 34. Nailul Authar (terjemahan) 2 : 781. koleksi hadits hukum, Ustadz Hasbi 4 : 27. Fiqih Sunnah. HADITS KETIGA ".....Kemudian muadzin adzan (Shubuh), lalu Nabi keluar ke (tempat) shalat (masjid), dan beliau mengucapkan : "ALLAHUMMAJ 'AL FI QALBY NUURAN dan seterusnya (yang artinya) : "Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, dan didalam ucapanku cahaya, dan jadikanlah pada pendengaranku cahaya, dan jadikanlah pada penglihatanku cahaya, dan jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku cahaya, dan jadikanlah dari atasku cahaya, dan dari bawahku cahaya, ya Allah berikanlah kepadaku cahaya". (Hadits riwayat : Muslim & Abu Dawud). Keterangan : 1. Hadits ini diriwayatkan dari jalan Ibnu Abbas ra yang menerangkan tentang shalat Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM diwaktu malam (shalat ul-lail). 2. Hadits ini menyatakan : Disukai kita mengucapkan do'a di atas di waktu pergi ke Masjid. Periksa : Tuhfatudz Dzakirin hal : 93, Imam Syaukani. Al-Adzkar hal : 25, Imam Nawawi. Fathul Bari' 11 : 16, Ibnu hajar. Aunul Ma'bud (syarah Abu Dawud) 4 : 232. Syarah shahih Muslim 5 : 51, Imam Nawawi. HADITS KEEMPAT "Dari Abi Humaid atau dari Abi Usaid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah SHALALLAHU’ALAIHISSALAM : "Apabila salah seorang kamu masuk masjid, maka ucapkanlah : "ALLAHUMMAF TAHLI ABWAABA RAHMATIKA (Ya Allah, bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmatMu)". Dan apabila keluar (dari masjid), maka ucapkanlah : "ALLAHUMMA IN-NI AS ALUKA MIN FADLIKA (Ya Allah, sesungguhnya aku minta kepada-Mu dari karunia-Mu)". (Hadits riwayat : Muslim, Ahmad & Nasa'i). Hadits ini menyatakan : Disunatkan kita mengucapkan do'a di atas apabila masuk ke masjid dan keluar dari padanya. Periksa : Shahih Muslim 2 : 155. Sunan Nasa'i 2 : 41. Fathur Rabbani 3 : 51,52 Nomor hadits 314. Al-Adzkar hal : 25. HADITS KELIMA "Dari Abdullah bin Amr bin Ash dari Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM, bahwasanya Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM, apabila masuk masjid, beliau mengucapkan : "AUDZU BILLAHIL 'AZHIMI WABIWAJHIHIL KARIIMI WA SULTHANIHIL ADIIMI MINASY SYAITHANIR RAJIIM" (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Agung dan dengan wajah-Nya yang Mulia serta kekuasaanNya yang tidak mendahuluinya, dari (gangguan) syaithan yang terkutuk)". Nabi SHALALLAHU’ALAIHISSALAM berkata : Apabila ia mengucapkan demikian (do'a di atas), syaithanpun berkata : Dipeliharalah ia dari padaku sisa harinya". (Hadits riwayat Abu Dawud).

Hadits ini menyatakan : Disunatkan kita membaca do'a mohon perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan apabila memasuki masjid. Periksa : Sunan Abu Dawud Nomor hadits : 466, Aunul Ma'bud Nomor hadits : 462. Minhalul 'Adzbul Mauruud (syarah Abu Dawud) 4 : 75, Imam As-Subki. Adzkar hal : 26. Tafsir Ibnu Katsir 3 : 294.

Perintah Membaguskan Shalat Dan Ancaman Bagi Yang Melalaikan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Sehubungan dengan bulan suci Ramadhan, maka kita dipanggil untuk menggunakan kesempatan ini buat memperbaiki ibadah kita, khususnya shalat Tarawih sehingga kita dapat mencapai target yaitu mendapat keampunan. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Barangsiapa beribadah di (bulan) Ramadhan karena iman dan karena hendak mendapat ganjaran, niscaya diampunkan baginya apa-apa yang telah lalu dari dosanya". (Muttafaq 'alaihi). Dalam hal ini Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memberi contoh sebagaimana yang disebutkan hadits 'Aisyah : "...... beliau shalat empat raka'at, jangan engkau tanya bagus dan panjangnya.....". Riwayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membaguskan shalatnya, maksudnya memperbanyak/memanjangkan bacaan-bacaan, thuma'ninah dalam gerakan serta khusyu'. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut di bawah ini penulis kemukakan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah tersebut : "Artinya : Dari Abu Hurairah radyillahu 'anhum ia berkata : Bahwasanya seorang laki-laki telah masuk masjid dan shalat, sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berada di sisi masjid, maka ia datang (kepadanya) dan memberi salam kepadanya, maka ia menjawab salamnya sambil berkata : "Wa 'alaikas salaam", ulangi shalatmu karena sesungguhnya engkau belum shalat, maka ia kembali dan shalat kemudian memberi salam, ia berkata : "Wa 'alaikas salaam" kembali dan shalatlah, karena sesungguhnya engkau tidak/belum shalat, pada yang ketiga kali ia berkata : Ajarkanlah kepadaku, maka sabdanya : Apabila engkau akan melaksanakan shalat sempurnakanlah wudhu', kemudian menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah, dan bacalah apa-apa yang mudah dari AlQur'an kemudian ruku'lah sehingga benar-benar ruku', kemudian angkatlah kepalamu sehingga engkau benar-benar berdiri, kemudian sujudlah dengan benar-benar sujud, kemudian angkatlah (tubuhnya) sehingga rata dan benar-benar duduk, kemudian sujudlah dengan benar-benar sujud, kemudian angkatlah sehingga benar-benar berdiri, kemudian lakukan semua itu di shalatmu seluruhnya". Penjelasan Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari II:191,219 dan 222, II:31,467, Muslim II:10-11, dan selain keduanya. Maksud hadits ini shalat itu harus thuma'ninah, yaitu tenteram dalam gerakan, baik ketika berdiri, ruku', sujud, duduk antara dua sujud dan lain sebagainya.

"Artinya : Dari Abu Mas'ud Al-Badri ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : Tidak mendapat pahala shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya dalam ruku' dan sujud". Penjelasan Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud I:136, Nasa'i I:167, Tirmidzi II:51, Ibnu Majah I:284, Ad-Daarimi I:304, Thahawi dalam Al-Musykil I:80, Thayalisi I:97, Ahmad IV:119 dan Daraquthni, Ia berkata : Sanad hadits ini SHAHIH. "Artinya : Dari Abi Hurarirah radyillahu 'anhum, ia berkata : Sesungguhnya sejelek-jelek manusia adalah pencuri yang mencuri shalatnya. Mereka bertanya : Hai Rasulullah ! Bagaimana mencuri shalatnya ? Ia bersabda : (Yaitu) tidak menyempurnakan ruku'nya dan sujudnya". Penjelasan Dikeluarkan oleh Hakim dan dishahkannya I:229 serta disepakati oleh Adz-Dzahabi. Hadits ini juga mempunyai beberapa syahid di antaranya hadits Malik I:181 dari Nu'man Murrah, sanadnya Shahih Mursal, juga bagi Thayalisi I:97 dari Abi Sa'id dishahkan oleh Suyuthi dalam kitab "Tanwirul Hawalik". Maksud hadits ini, orang yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujudnya di ibaratkan orang yang telah mencuri shalatnya. Dari 'Amr bin Ash dan Khalid bin Walid dan Syarhabil bin Hasanah serta Yazid bin Abi Sufyan, mereka berkata : "Artinya : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan ruku'nya, dan mematuk dalam sujudnya. Maka sabdanya : Seandainya orang ini mati dalam keadaan seperti ini, maka ia mati bukan dalam millah Muhammad". Penjelasan Hadits ini diriwayatkan oleh Aajiry dalam kitab "Al-Arba'iin" dan Baihaqi II:89 dengan sanad yang Hasan. Mundziri berkata : Hadits ini juga diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu'jamul Kabir dan juga Abu Ya'la dengan sanad yang Hasan serta Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Hadits ini menerangkan bahwa mereka yang tidak menyempurnakan ruku' dan sujud seperti burung yang mematuk, berarti telah mengerjakan suatu amalan yang tidak disukai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Dari Thalqi bin Ali radyillahu 'anhum ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Allah tidak akan melihat shalat seseorang hamba yang tidak meluruskan tulang belakangnya diantara sujudnya dan ruku'nya". Penjelasan Diriwayatkan oleh Ahmad IV:22, Thabrani dalam Al-Kabir dan Dhiya' Al-Muqaddasi dalam AlMukhtarah II:34 dengan sanad yang shahih. Hadits ini mempunyai syahid dalam Al-Musnad II:525. Ibnul Mundzir mengatakan bahwa sanadnya baik. Perkataan "Allah tidak akan melihat itu" menunjukkan bahwa pekerjaan seperti itu tidak disukai. Hadits-hadits yang disebutkan di atas, terpakai sesuai dengan keumumannya, yaitu baik untuk shalat Fardhu atau Sunnah, siang atau malam, bahkan sebagian ulama seakan menekankan pada shalat Tarawih, seperti Imam Nawawi, beliau menyebutkan hadits-hadits tersebut pada "Bab Adzkaar Shalat Tarawih". Lihat Al-Adzkaar IV:297.

Semoga dengan melaksanakan shalat seperti yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kita akan mendapat keampunan khususnya di bulan suci Ramadhan ini. Dikutip dari buku Kelemahan Hadits Tarawih 20 Raka'at Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah Penterjemah : Luthfie Abdullah Ismail

Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani

Halaman satu dari empat tulisan Perhatian : Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya yaitu : "Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam", oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani, dengan edisi Indonesia diterbitkan oleh Media Hidayah - Yogyakarta (edisi revisi). 1. MENGHADAP KA'BAH 1. Apabila anda - wahai Muslim - ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka'bah (qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini. 2. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi 'seorang yang sedang berperang' pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat. Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau peShalallahu’alaihissalamat bila ia khawatir luputnya waktu. Juga tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya - jika hal ini memungkinkan - supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap. 3. Wajib bagi yang melihat Ka'bah untuk menghadap langsung ke porosnya, bagi yang tidak melihatnya maka ia menghadap ke arah Ka'bah. HUKUM SHALAT TANPA MENGHADAP KA'BAH KARENA KELIRU 4. Apabila shalat tanpa menghadap qiblat karena mendung atau ada penyebab lainnya sesudah melakukan ijtihad dan pilihan, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulangi. 5. Apabila datang orang yang dipercaya saat dia shalat, lalu orang yang datang itu memberitahukan kepadanya arah qiblat maka wajib baginya untuk segera menghadap ke arah yang ditunjukkan, dan shalatnya sah.

2. BERDIRI 6. Wajib bagi yang melakukan shalat untuk berdiri, dan ini adalah rukun, kecuali bagi : Orang yang shalat khauf saat perang berkecamuk dengan hebat, maka dibolehkan baginya shalat di atas kendaraannya. Orang yang sakit yang tidak mampu berdiri, maka boleh baginya shalat sambil duduk dan bila tidak mampu diperkenankan sambil berbaring. Orang yang shalat nafilah (sunnah) dibolehkan shalat di atas kendaraan atau sambil duduk jika dia mau, adapun ruku' dan sujudnya cukup dengan isyarat kepalanya, demikian pula orang yang sakit, dan ia menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku'nya. 7. Tidak boleh bagi orang yang shalat sambil duduk meletakkan sesuatu yang agak tinggi dihadapannya sebagai tempat sujud. Akan tetapi cukup menjadikan sujudnya lebih rendah dari ruku'nya -seperti yang kami sebutkan tadi- apabila ia tidak mampu meletakkan dahinya secara langsung ke bumi (lantai). SHALAT DI KAPAL LAUT ATAU PESHALALLAHU’ALAIHISSALAMAT 8. Dibolehkan shalat fardlu di atas kapal laut demikian pula di peShalallahu’alaihissalamat. 9. Dibolehkan juga shalat di kapal laut atau peShalallahu’alaihissalamat sambil duduk bila khawatir akan jatuh. 10. Boleh juga saat berdiri bertumpu (memegang) pada tiang atau tongkat karena faktor ketuaan atau karena badan yang lemah. SHALAT SAMBIL BERDIRI DAN DUDUK 11. Dibolehkan shalat lail sambil berdiri atau sambil duduk meski tanpa udzur (penyebab apapun), atau sambil melakukan keduanya. Caranya; ia shalat membaca dalam keadaan duduk dan ketika menjelang ruku' ia berdiri lalu membaca ayat-ayat yang masih tersisa dalam keadaan berdiri. Setelah itu ia ruku' lalu sujud. Kemudian ia melakukan hal yang sama pada rakaat yang kedua. 12. Apabila shalat dalam keadaan duduk, maka ia duduk bersila atau duduk dalam bentuk lain yang memungkinkan seseorang untuk beristirahat. SHALAT SAMBIL MEMAKAI SANDAL 13. Boleh shalat tanpa memakai sandal dan boleh pula dengan memakai sandal. 14. Tapi yang lebih utama jika sekali waktu shalat sambil memakai sandal dan sekali waktu tidak memakai sandal, sesuai yang lebih gampang dilakukan saat itu, tidak membebani diri dengan harus memakainya dan tidak pula harus melepasnya. Bahkan jika kebetulan telanjang kaki maka shalat dengan kondisi seperti itu, dan bila kebetulan memakai sandal maka shalat sambil memakai sandal. Kecuali dalam kondisi tertentu (terpaksa). 15. Jika kedua sandal dilepas maka tidak boleh diletakkan di samping kanan akan tetapi diletakkan di samping kiri jika tidak ada di samping kirinya seseorang yang shalat, jika ada maka

hendaklah diletakkan di depan kakinya, hal yang demikianlah yang sesuai dengan perintah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. 1) SHALAT DI ATAS MIMBAR 16. Dibolehkan bagi imam untuk shalat di tempat yang tinggi seperti mimbar dengan tujuan mengajar manusia. Imam berdiri di atas mimbar lalu takbir, kemudian membaca dan ruku' setelah itu turun sambil mundur sehingga memungkinkan untuk sujud ke tanah di depan mimbar, lalu kembali lagi ke atas mimbar dan melakukan hal yang serupa di rakaat berikutnya. KEWAJIBAN SHALAT MENGHADAP PEMBATAS DAN MENDEKAT KEPADANYA 17. Wajib shalat menghadap tabir pembatas, dan tiada bedanya baik di masjid maupun selain masjid, di masjid yang besar atau yang kecil, berdasarkan kepada keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Janganlah shalat melainkan menghadap pembatas, dan jangan biarkan seseorang lewat di hadapanmu, apabila ia enggan maka perangilah karena sesungguhnya ia bersama pendampingnya". (Maksudnya syaitan). 18. Wajib mendekat ke pembatas karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan hal itu. 19. Jarak antara tempat sujud Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan tembok yang dihadapinya seukuran tempat lewat domba. maka barang siapa yang mengamalkan hal itu berarti ia telah mengamalkan batas ukuran yang diwajibkan. 2) KADAR KETINGGIAN PEMBATAS 20. Wajib pembatas dibuat agak tinggi dari tanah sekadar sejengkal atau dua jengkal berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Jika seorang diantara kamu meletakkan di hadapannya sesuatu setinggi ekor pelana 3) (sebagai pembatas) maka shalatlah (menghadapnya), dan jangan ia pedulikan orang yang lewat di balik pembatas". 21. Dan ia menghadap ke pembatas secara langsung, karena hal itu yang termuat dalam konteks hadits tentang perintah untuk shalat menghadap ke pembatas. Adapun bergeser dari posisi pembatas ke kanan atau ke kiri sehingga membuat tidak lurus menghadap langsung ke pembatas maka hal ini tidak sah. 22. Boleh shalat menghadap tongkat yang ditancapkan ke tanah atau yang sepertinya, boleh pula menghadap pohon, tiang, atau isteri yang berbaring di pembaringan sambil berselimut, boleh pula menghadap hewan meskipun unta. HARAM SHALAT MENGHADAP KE KUBUR 23. Tidak boleh shalat menghadap ke kubur, larangan ini mutlak, baik kubur para nabi maupun selain nabi. HARAM LEWAT DI DEPAN ORANG YANG SHALAT TERMASUK DI MASJID HARAM

24. Tidak boleh lewat di depan orang yang sedang shalat jika di depannya ada pembatas, dalam hal ini tidak ada perbedaan antara masjid Haram atau masjid-masjid lain, semua sama dalam hal larangan berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Andaikan orang yang lewat di depan orang yang shalat mengetahui akibat perbuatannya maka untuk berdiri selama 40, lebih baik baginya dari pada lewat di depan orang yang sedang shalat". Maksudnya lewat di antara shalat dengan tempat sujudnya. 4) KEWAJIBAN ORANG YANG SHALAT MENCEGAH ORANG LEWAT DI DEPANNYA MESKIPUN DI MASJID HARAM 25. Tidak boleh bagi orang yang shalat menghadap pembatas membiarkan seseorang lewat di depannya berdasarkan hadits yang telah lalu. "Artinya : Dan janganlah membiarkan seseorang lewat di depanmu ...". Dan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Jika seseorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu pembatas yang menghalanginya dari orang lain, lalu ada yang ingin lewat di depannya, maka hendaklah ia mendorong leher orang yang ingin lewat itu semampunya (dalam riwayat lain : cegahlah dua kali) jika ia enggan maka perangilah karena ia adalah syaithan". BERJALAN KE DEPAN UNTUK MENCEGAH ORANG LEWAT 26. Boleh maju selangkah atau lebih untuk mencegah yang bukan mukallaf yang lewat di depannya seperti hewan atau anak kecil agar tidak lewat di depannya. HAL-HAL YANG MEMUTUSKAN SHALAT 27. Di antara fungsi pembatas dalam shalat adalah menjaga orang yang shalat menghadapnya dari kerusakan shalat disebabkan yang lewat di depannya, berbeda dengan yang tidak memakai pembatas, shalatnya bisa terputus bila lewat di depannya wanita dewasa, keledai, atau anjing hitam. Footnote : 1. Saya (Al-Albaani) berkata: disini terdapat isyarat yang halus untuk tidak meletakkan sandal di depan. Adab inilah yang banyak disepelekan oleh kebanyakan orang yang shalat, sehingga Anda menyaksikan sendiri diantara mereka yang shalat menghadap ke sandal-sandal. 2. Saya (Al-Albaani) berkata: dari sini kita tahu bahwa apa yang dilakukan oleh banyak orang di setiap masjid seperti yang saya saksikan di Suriah dan negeri-negeri lain yaitu shalat di tengah masjid jauh dari dinding atau tiang adalah kelalaian terhadap perintah dan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. 3. Yaitu kayu yang dipasang di bagian belakang pelana angkutan di punggung unta. Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa: mengaris di atas tanah tidak cukup untuk dijadikan sebagai garis pembatas, karena hadits yang meriwayatkan tentang itu lemah. 4. Adapun hadits yang disebutkan dalam kitab "Haasyiatul Mathaaf" bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap pembatas dan orang-orang lewat di depannya, adalah hadits yang tidak shahih, lagi pula tidak ada keterangan di hadits tersebut bahwa mereka lewat diantara beliau dengan tempat sujudnya.

Halaman dua dari empat tulisan Perhatian : Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya yaitu : "Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam", oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani, dengan edisi Indonesia diterbitkan oleh Media Hidayah - Yogyakarta (edisi revisi). 3. NIAT 28. Bagi yang akan shalat harus meniatkan shalat yang akan dilaksanakannya serta menentukan niat dengan hatinya, seperti fardhu zhuhur dan ashar, atau sunnat zhuhur dan ashar. Niat ini merupakan syarat atau rukun shalat. Adapun melafazhkan niat dengan lisan maka ini merupakan bid'ah, menyalahi sunnah, dan tidak ada seorangpun yang menfatwakan hal itu di antara para ulama yang ditokohkan oleh orang-orang yang suka taqlid (fanatik buta). 4. TAKBIR 29. Kemudian memulai shalat dengan membaca. "Allahu Akbar" (Artinya : Allah Maha Besar). Takbir ini merupakan rukun, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Pembuka Shalat adalah bersuci, pengharamannya adalah takbir, sedangkan penghalalannya adalah salam". 1) 30. Tidak boleh mengeraskan suara saat takbir di semua shalat, kecuali jika menjadi imam. 31. Boleh bagi muadzin menyampaikan (memperdengarkan) takbir imam kepada jama'ah jika keadaan menghendaki, seperti jika imam sakit, suaranya lemah atau karena banyaknya orang yang shalat. 32. Ma'mum tidak boleh takbir kecuali jika imam telah selesai takbir. MENGANGKAT KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA 33. Mengangkat kedua tangan, boleh bersamaan dengan takbir, atau sebelumnya, bahkan boleh sesudah takbir. Kesemuanya ini ada landasannya yang sah dalam sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. 34. Mengangkat tangan dengan jari-jari terbuka. 35. Mensejajarkan kedua telapak tangan dengan pundak/bahu, sewaktu-waktu mengangkat lebih tinggi lagi sampai sejajar dengan ujung telinga. 2)

MELETAKKAN KEDUA TANGAN DAN CARA-CARANYA 36. Kemudian meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri sesudah takbir, ini merupakan sunnah (ajaran) para nabi-nabi Alaihimus Shallatu was sallam dan diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada para sahabat beliau, sehingga tidak boleh menjulurkannya. 37. Meletakkan tangan kanan di atas punggung tangan kiri dan di atas pergelangan dan lengan. 38. Kadang-kadang menggenggam tangan kiri dengan tangan kanan. 3) TEMPAT MELETAKKAN TANGAN 39. Keduanya diletakkan di atas dada saja. Laki-laki dan perempuan dalam hal tersebut sama. 4) 40. Tidak meletakkan tangan kanan di atas pinggang. KHUSU' DAN MELIHAT KE TEMPAT SUJUD 41. Hendaklah berlaku khusu' dalam shalat dan menjauhi segala sesuatu yang dapat melalaikan dari khusu' seperti perhiasan dan lukisan, janganlah shalat saat berhadapan dengan hidangan yang menarik, demikian juga saat menahan berak dan kencing. 42. Memandang ke tempat sujud saat berdiri. 43. Tidak menoleh ke kanan dan ke kiri, karena menoleh adalah curian yang dilakukan oleh syaitan dari shalat seorang hamba. 44. Tidak boleh mengarahkan pandangan ke langit (ke atas). DO'A ISTIFTAAH (PEMBUKAAN) 45. Kemudian membuka bacaan dengan sebagian do'a-do'a yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang jumlahnya banyak, yang masyhur diantaranya ialah : "Subhaanaka Allahumma wa bihamdika, wa tabaarakasmuka, wa ta'alaa jadduka, walaa ilaha ghaiyruka". "Artinya : Maha Suci Engkau ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu, kedudukan-Mu sangat agung, dan tidak ada sembahan yang hak selain Engkau". Perintah ber-istiftah telah sah dari Nabi, maka sepatutnya diperhatikan untuk diamalkan. 5) 5. QIRAAH (BACAAN) 46. Kemudian wajib berlindung kepada Allah Ta'ala, dan bagi yang meninggalkannya mendapat dosa. 47. Termasuk sunnah jika sewaktu-waktu membaca. "A'udzu billahi minasy syaiythaanirrajiim, min hamazihi, wa nafakhihi, wa nafasyihi"

"Artinya : Aku berlindung kepada Allah dari syithan yang terkutuk, dari godaannya, dari was-wasnya, serta dari gangguannya". 48. Dan sewaktu-waktu membaca tambahan. "A'udzu billahis samii-il a'liimi, minasy syaiythaani ......." "Artinya : Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, dari syaitan.......". 49. Kemudian membaca basmalah (bismillah) di semua shalat secara sirr (tidak diperdengarkan). MEMBACA AL-FAATIHAH 50. Kemudian membaca surat Al-Fatihah sepenuhnya termasuk bismillah, ini adalah rukun shalat dimana shalat tak sah jika tidak membaca Al-Fatihah, sehingga wajib bagi orang-orang 'Ajm (non Arab) untuk menghafalnya. 51. Bagi yang tak bisa menghafalnya boleh membaca. "Subhaanallah, wal hamdulillah walaa ilaha illallah, walaa hauwla wala quwwata illaa billah". "Artinya : Maha suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada sembahan yang haq selain Allah, serta tidak ada daya dan kekuatan melainkan karena Allah". 52. Didalam membaca Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Alhamdulillahirrabbil 'aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca. (Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti di akhir setiap ayat dan tidak menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan. 53. Boleh membaca (Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula (Maliki) dengan pendek. BACAAN MA'MUM 54. Wajib bagi ma'mum membaca Al-Fatihah di belakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma'mum tidak mendengar bacaan imam, demikian pula ma'mum membaca Al-Fatihah bila imam berhenti sebentar untuk memberi kesempatan bagi ma'mum yang membacanya. Meskipun kami menganggap bahwa berhentinya imam di tempat ini tidak tsabit dari sunnah. 6) BACAAN SESUDAH AL-FATIHAH 55. Disunnahkan sesudah membaca Al-Fatihah, membaca surat yang lain atau beberapa ayat pada dua raka'at yang pertama. Hal ini berlaku pula pada shalat jenazah. 56. Kadang-kadang bacaan sesudah Al-Fatihah dipanjangkan kadang pula diringkas karena ada faktor-faktor tertentu seperti safar (bepergian), batuk, sakit, atau karena tangisan anak kecil. 57. Panjang pendeknya bacaan berbeda-beda sesuai dengan shalat yang dilaksanakan. Bacaan pada shalat subuh lebih panjang daripada bacaan shalat fardhu yang lain, setelah itu bacaan pada shalat dzuhur, pada shalat ashar, lalu bacaan pada shalat isya, sedangkan bacaan pada shalat maghrib umumnya diperpendek.

58. Adapun bacaan pada shalat lail lebih panjang dari semua itu. 59. Sunnah membaca lebih panjang pada rakaat pertama dari rakaat yang kedua. 60. Memendekkan dua rakaat terakhir kira-kira setengah dari dua rakaat yang pertama. 7) 61. Membaca Al-Fatihah pada semua rakaat. 62. Disunnahkan pula menambahkan bacaan surat Al-Fatihah dengan surat-surat lain pada dua rakaat yang terakhir. 63. Tidak boleh imam memanjangkan bacaan melebihi dari apa yang disebutkan di dalam sunnah karena yang demikian bisa-bisa memberatkan ma'mum yang tidak mampu seperti orang tua, orang sakit, wanita yang mempunyai anak kecil dan orang yang mempunyai keperluan. MENGERASKAN DAN MENGECILKAN BACAAN 64. Bacaan dikeraskan pada shalat shubuh, jum'at, dua shalat ied, shalat istisqa, khusuf dan dua rakaat pertama dari shalat maghrib dan isya. Dan dikecilkan (tidak dikeraskan) pada shalat dzuhur, ashar, rakaat ketiga dari shalat maghrib, serta dua rakaat terakhir dari shalat isya. 65. Boleh bagi imam memperdengarkan bacaan ayat pada shalat-shalat sir (yang tidak dikeraskan). 66. Adapun witir dan shalat lail bacaannya kadang tidak dikeraskan dan kadang dikeraskan. MEMBACA AL-QUR'AN DENGAN TARTIL 67. Sunnah membaca Al-Qur'an secara tartil (sesuai dengan hukum tajwid) tidak terlalu dipanjangkan dan tidak pula terburu-buru, bahkan dibaca secara jelas huruf perhuruf. Sunnah pula menghiasi Al-Qur'an dengan suara serta melagukannya sesuai batas-batas hukum oleh ulama ilmu tajwid. Tidak boleh melagukan Al-Qur'an seperti perbuatan Ahli Bid'ah dan tidak boleh pula seperti nada-nada musik. 68. Disyari'atkan bagi ma'mum untuk membetulkan bacaan imam jika keliru. Footnote : 1. "Pengharaman" maksudnya : haramnya beberapa perbuatan yang diharamkan oleh Allah di dalam shalat. "Penghalal" maksudnya : halalnya beberapa perbuatan yang dihalalkan oleh Allah di luar shalat. 2. Saya (Al-Albaani) berkata : adapun menyentuh kedua anak telinga dengan ibu jari, maka perbuatan ini tidak ada landasannya di dalam sunnah Nabi, bahkan hal ini hanya mendatangkan was-was. 3. Adapun yang dianggap baik oleh sebagian orang-orang terbelakang, yaitu menggabungkan antara meletakkan dan menggenggam dalam waktu yang bersamaan, maka amalan itu tidak ada dasarnya. 4. Saya (Al-Albaani) berkata : amalan meletakkan kedua tangan selain di dada hanya ada dua kemungkinan; dalilnya lemah, atau tidak ada dalilnya sama sekali. 5. Barang siapa yang ingin membaca do'a-do'a istiftah yang lain, silahkan merujuk kitab : "Sifat Shalat Nabi". 6. Saya telah sebutkan landasan orang yang berpendapat demikian, dan alasan yang dijadikan landasan untuk menolaknya di kitab Silsilah Hadits Dho'if No. 546 dan 547. 7. Perincian tentang ini, lihat Sifat Shalat hal 106-125 cet. ke 6 dan ke 7

Halaman tiga dari empat tulisan Perhatian : Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya yaitu : "Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam", oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani, dengan edisi Indonesia diterbitkan oleh Media Hidayah - Yogyakarta (edisi revisi). 6. RUKU' 69. Bila selesai membaca, maka diam sebentar menarik nafas agar bisa teratur. 70. Kemudian mengangkat kedua tangan seperti yang telah dijelaskan terdahulu pada takbiratul ihram. 71. Dan takbir, hukumnya adalah wajib. 72. Lalu ruku' sedapatnya agar persendian bisa menempati posisinya dan setiap anggota badan mengambil tempatnya. Adapun ruku' adalah rukun. CARA RUKU' 73. Meletakkan kedua tangan di atas lutut dengan sebaik-baiknya, lalu merenggangkan jari-jari seolah-olah menggenggam kedua lutut. Semua itu hukumnya wajib. 74. Mensejajarkan punggung dan meluruskannya, sehingga jika kita menaruh air di punggungnya tidak akan tumpah. Hal ini wajib. 75. Tidak merendahkan kepala dan tidak pula mengangkatnya tapi disejajarkan dengan punggung. 76. Merenggangkan kedua siku dari badan. 77. Mengucapkan saat ruku'. "Subhaana rabbiiyal 'adhiim". "Artinya : Segala puji bagi Allah yang Maha Agung". tiga kali atau lebih. 1) MENYAMAKAN PANJANGNYA RUKUN 78. Termasuk sunnah untuk menyamakan panjangnya rukun, diusahakan antara ruku' berdiri dan sesudah ruku', dan duduk diantara dua sujud hampir sama.

79. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat ruku' dan sujud. I'TIDAL SESUDAH RUKU' 80. Mengangkat punggung dari ruku' dan ini adalah rukun. 81. Dan saat i'tidal mengucapkan . "Syami'allahu-liman hamidah". "Artinya : Semoga Allah mendengar orang yang memuji-Nya". adapun hukumnya wajib. 82. Mengangkat kedua tangan saat i'tidal seperti dijelaskan terdahulu. 83. Lalu berdiri dengan tegak dan tenang sampai seluruh tulang menempati posisinya. Ini termasuk rukun. 84. Mengucapkan saat berdiri. "Rabbanaa wa lakal hamdu" "Artinya : Ya tuhan kami bagi-Mu-lah segala puji". 2) Hukumnya adalah wajib bagi setiap orang yang shalat meskipun sebagai imam, karena ini adalah wirid saat berdiri, sedang tasmi (ucapan Sami'allahu liman hamidah) adalah wirid i'tidal (saat bangkit dari ruku' sampai tegak). 85. Menyamakan panjang antara rukun ini dengan ruku' seperti dijelaskan terdahulu. 7. SUJUD 86. Lalu mengucapkan "Allahu Akbar" dan ini wajib. 87. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan. TURUN DENGAN KEDUA TANGAN 88. Lalu turun untuk sujud dengan kedua tangan diletakkan terlebih dahulu sebelum kedua lutut, demikianlah yang diperintahkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam serta tsabit dari perbuatan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk menyerupai cara berlututnya unta yang turun dengan kedua lututnya yang terdapat di kaki depan. 89. Apabila sujud -dan ini adalah rukun- bertumpu pada kedua telapak tangan serta melebarkannya. 90. Merapatkan jari jemari. 91. Lalu menghadapkan ke kiblat. 92. Merapatkan kedua tangan sejajar dengan bahu. 93. Kadang-kadang meletakkan keduanya sejajar dengan telinga. 94. Mengangkat kedua lengan dari lantai dan tidak meletakkannya seperti cara anjing. Hukumnya adalah wajib. 95. Menempelkan hidung dan dahi ke lantai, ini termasuk rukun.

96. Menempelkan kedua lutut ke lantai. 97. Demikian pula ujung-ujung jari kaki. 98. Menegakkan kedua kaki, dan semua ini adalah wajib. 99. Menghadapkan ujung-ujung jari ke qiblat. 100. Meletakkan/merapatkan kedua mata kaki. BERLAKU TEGAK KETIKA SUJUD 101. Wajib berlaku tegak ketika sujud, yaitu tertumpu dengan seimbang pada semua anggota sujud yang terdiri dari : Dahi termasuk hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki. 102. Barangsiapa sujud seperti itu berarti telah thuma'ninah, sedangkan thuma'ninah ketika sujud termasuk rukun juga. 103. Mengucapkan ketika sujud. "Subhaana rabbiyal 'alaa" "Artinya : Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi" diucapkan tiga kali atau lebih. 104. Disukai untuk memperbanyak do'a saat sujud, karena saat itu do'a banyak dikabulkan. 105. Menjadikan sujud sama panjang dengan ruku' seperti diterangkan terdahulu. 106. Boleh sujud langsung di tanah, boleh pula dengan pengalas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya. 107. Tidak boleh membaca Al-Qur'an saat sujud. IFTIRASY DAN IQ'A KETIKA DUDUK ANTARA DUA SUJUD 108. Kemudian mengangkat kepala sambil takbir, dan hukumnya adalah wajib. 109. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangan. 110. Lalu duduk dengan tenang sehingga semua tulang kembali ke tempatnya masing-masing, dan ini adalah rukun. 111. Melipat kaki kiri dan mendudukinya. Hukumnya wajib. 112. Menegakkan kaki kanan (sifat duduk seperti No. 111 dan 112 ini disebut Iftirasy). 113. Menghadapkan jari-jari kaki ke kiblat. 114. Boleh iq'a sewaktu-waktu, yaitu duduk di atas kedua tumit. 115. Mengucapkan pada waktu duduk. "Allahummagfirlii, warhamnii' wajburnii', warfa'nii', wa 'aafinii, warjuqnii".

"Artinya : Ya Allah ampunilah aku, syangilah aku, tutuplah kekuranganku, angkatlah derajatku, dan berilah aku afiat dan rezeki". 116. Dapat pula mengucapkan. "Rabbigfirlii, Rabbigfilii". "Artinya : Ya Allah ampunilah aku, ampunilah aku". 117. Memperpanjang duduk sampai mendekati lama sujud. SUJUD KEDUA 118. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. 119. Kadang-kadang mengangkat kedua tangannya dengan takbir ini. 120. Lalu sujud yang kedua, ini termasuk rukun juga. 121. Melakukan pada sujud ini apa-apa yang dilakukan pada sujud pertama. DUDUK ISTIRAHAT 122. Setelah mengangkat kepala dari sujud kedua, dan ingin bangkit ke rakaat yang kedua wajib takbir. 123. Kadang-kadang sambil mengangkat kedua tangannya. 124. Duduk sebentar di atas kaki kiri seperti duduk iftirasy sebelum bangkit berdiri, sekadar selurus tulang menempati tempatnya. RAKAAT KEDUA 125. Kemudian bangkit raka'at kedua -ini termasuk rukun- sambil menekan ke lantai dengan kedua tangan yang terkepal seperti tukang tepung mengepal kedua tangannya. 126. Melakukan pada raka'at yang kedua seperti apa yang dilakukan pada rakaat pertama. 127. Akan tetapi tidak membaca pada raka'at yang kedua ini do'a iftitah. 128. Memendekkan raka'at kedua dari raka'at yang pertama. DUDUK TASYAHUD 129. Setelah selesai dari raka'at kedua duduk untuk tasyahud, hukumnya wajib. 130. Duduk iftirasy seperti diterangkan pada duduk diantara dua sujud. 131. Tapi tidak boleh iq'a di tempat ini. 132. Meletakkan tangan kanan sampai siku di atas paha dan lutut kanan, tidak diletakkan jauh darinya. 133. Membentangkan tangan kiri di atas paha dan lutut kiri.

134. Tidak boleh duduk sambil bertumpu pada tangan, khususnya tangan yang kiri. MENGGERAKKAN TELUNJUK DAN MEMANDANGNYA 135. Menggenggam jari-jari tangan kanan seluruhnya, dan sewaktu-waktu meletakkan ibu jari di atas jari tengah. 136. Kadang-kadang membuat lingkaran ibu jari dengan jari tengah. 137. Mengisyaratkan jari telunjuk ke qiblat. 138. Dan melihat pada telunjuk. 139. Menggerakkan telunjuk sambil berdo'a dari awal tasyahud sampai akhir. 140. Tidak boleh mengisyaratkan dengan jari tangan kiri. 141. Melakukan semua ini di semua tasyahud. Footnote : 1. Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku' ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat Nabi. 2. Masih ada dzikir-dzikir yang lain untuk dibaca pada ruku' ini, ada dzikir yang panjang, ada yang sedang, dan ada yang pendek, lihat kembali kitab Sifat Shalat Nabi.

Halaman empat dari empat tulisan Perhatian : Tulisan ini hanya ringkasan, bagi pembaca yang ingin mengetahui dalil-dalilnya dipersilahkan merujuk buku aslinya yaitu : "Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam", oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaani, dengan edisi Indonesia diterbitkan oleh Media Hidayah - Yogyakarta (edisi revisi). UCAPAN TASYAHUD DAN DO'A SESUDAHNYA 142. Tasyahud adalah wajib, jika lupa harus sujud sahwi. 143. Membaca tasyahud dengan sir (tidak dikeraskan). 144. Dan lafadznya : "At-tahiyyaatu lillah washalawaatu wat-thayyibat, assalamu 'alan - nabiyyi warrahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu 'alaiynaa wa'alaa 'ibaadil-llahis-shaalihiin, asyhadu alaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhamaddan 'abduhu warasuuluh". "Artinya : Segala penghormatan bagi Allah, shalawat dan kebaikan serta keselamatan atas Nabi 1) dan rahmat Allah serta berkat-Nya. Keselamatan atas kita dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sembahan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad hamba dan rasul-Nya". 145. Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengucapkan : "Allahumma shalli 'alaa muhammad, wa 'alaa ali muhammad, kamaa shallaiyta 'alaa ibrahiima wa 'alaa ali ibrahiima, innaka hamiidum majiid". "Allahumma baarik 'alaa muhammaddiw wa'alaa ali muhammadin kamaa baarikta 'alaa ibraahiima wa 'alaa ali ibraahiima, innaka hamiidum majiid". "Artinya : Ya Allah berilah shalawat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau bershalawat kepada Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia. Ya Allah berkahilah Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Mulia". 146. Dapat juga diringkas sebagai berikut : "Allahumma shalli 'alaa muhammad, wa 'alaa ali muhammad, wabaarik 'alaa muhammadiw wa'alaa ali muhammadin kamaa shallaiyta wabaarikta 'alaa ibraahiim wa'alaa ali ibraahiim, innaka hamiidum majiid".

"Artinya : Ya Allah bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana engkau bershalawat dan memberkahi Ibrahim dan keluarga Ibrahim sesungguhnya Engkau Terpuji dan Mulia". 147. Kemudian memilih salah satu do'a yang disebutkan dalam kitab dan sunnah yang paling disenangi lalu berdo'a kepada Allah dengannya. RAKAAT KETIGA DAN KEEMPAT 148. Kemudian takbir, dan hukumnya wajib. Dan sunnah bertakbir dalam keadaan duduk. 149. Kadang-kadang mengangkat kedua tangan. 150. Kemudian bangkit ke raka'at ketiga, ini adalah rukun seperti sebelumnya. 151. Seperti itu pula yang dilakukan bila ingin bangkit ke raka'at yang ke empat. 152. Akan tetapi sebelum bangkit berdiri, duduk sebentar di atas kaki yang kiri (duduk iftirasy) sampai semua tulang menempati tempatnya. 153. Kemudian berdiri sambil bertumpu pada kedua tangan sebagaimana yang dilakukan ketika berdiri ke rakaat kedua. 154. Kemudian membaca pada raka'at ketiga dan keempat surat Al-Fatihah yang merupakan satu kewajiban. 155. Setelah membaca Al-Fatihah, boleh sewaktu-waktu membaca bacaan ayat atau lebih dari satu ayat. QUNUT NAZILAH DAN TEMPATNYA 156. Disunatkan untuk qunut dan berdo'a untuk kaum muslimin karena adanya satu musibah yang menimpa mereka. 157. Tempatnya adalah setelah mengucapkan : "Rabbana lakal hamdu". 158. Tidak ada do'a qunut yang ditetapkan, tetapi cukup berdo'a dengan do'a yang sesuai dengan musibah yang sedang terjadi. 159. Mengangkat kedua tangan ketika berdo'a. 160. Mengeraskan do'a tersebut apabila sebagai imam. 161. Dan orang yang dibelakangnya mengaminkannya. 162. Apabila telah selesai membaca do'a qunut lalu bertakbir untuk sujud. QUNUT WITIR, TEMPAT DAN LAFADZNYA 163. Adapun qunut di shalat witir disyari'atkan untuk dilakukan sewaktu-waktu.

164. Tempatnya sebelum ruku', hal ini berbeda dengan qunut nazilah. 165. Mengucapkan do'a berikut : "Allahummah dinii fiiman hadayit, wa 'aafiinii fiiman 'aafayit, watawallanii fiiman tawallayit, wa baariklii fiimaa a'thayit, wa qinii syarra maaqadhayit, fainnaka taqdhii walaa yuqdhaa 'alayika wainnahu laayadzillu maw waalayit walaa ya'izzu man 'aadayit, tabaarakta rabbanaa wata'alayit laa manjaa minka illaa ilayika". "Artinya : Ya Allah tunjukilah aku pada orang yang engkau tunjuki dan berilah aku afiat pada orang yang Engkau beri afiat. Serahkanlah aku pada orang yang berwali kepada-Mu, berilah aku berkah pada apa yang Engkau berikan kepadaku, lindungilah aku dari keburukan yang Engkau tetapkan, karena Engkau menetapkan, dan tidak ada yang menetapkan untukku. Dan sesungguhnya tidak akan hina orang yang berwali kepada-Mu, dan tidak akan mulia orang yang memusuhi-Mu, Engkau penuh berkah, Wahai Rabb kami dan kedudukan-Mu sangat tinggi, tidak ada tempat berlindung kecuali kepada-Mu". 166. Do'a ini termasuk do'a yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperbolehkan karena tsabit dari para shahabat radiyallahu anhum. 167. Kemudian ruku' dan bersujud dua kali seperti terdahulu. TASYAHUD AKHIR DAN DUDUK TAWARUK 168. Kemudian duduk untuk tasyahud akhir, keduanya adalah wajib. 169. Melakukan pada tasyahud akhir apa yang dilakukan pada tasyahud awal. 170. Selain duduk di sini dengan cara tawaruk yaitu meletakkan pangkal paha kiri ke tanah dan mengeluarkan kedua kaki dari satu arah dan menjadikan kaki kiri ke bawah betis kanan. 171. Menegakkan kaki kanan. 172. Kadang-kadang boleh juga dijulurkan. 173. Menutup lutut kiri dengan tangan kiri yang bertumpu padanya. KEWAJIBAN SHALAWAT ATAS NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM DAN BERLINDUNG DARI EMPAT PERKARA 174. Wajib pada tasyahud akhir bershalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagaimana lafadz-lafadznya yang telah kami sebutkan pada tasyahud awal. 175. Kemudian berlindung kepada Allah dari empat perkara, dan mengucapkan : "Allahumma inii a'uwdzubika min 'adzaabi jahannam, wa min 'adzaabil qabri wa min fitnatil mahyaa wal mamaati wa min tsarri fitnatil masyihid dajjal". "Artinya : Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari siksa Jahannam dan dari siksa kubur, dan dari fitnah orang yang hidup dan orang yang mati serta dari keburukan fitnah masih ad-dajjal". 2) BERDO'A SEBELUM SALAM 176. Kemudian berdo'a untuk dirinya dengan do'a yang nampak baginya dari do'a-do'a tsabit dalam kitab dan sunnah, dan do'a ini sangat banyak dan baik. Apabila dia tidak menghafal

satupun dari do'a-do'a tersebut maka diperbolehkan berdo'a dengan apa yang mudah baginya dan bermanfaat bagi agama dan dunianya. SALAM DAN MACAM-MACAMNYA 177. Memberi salam ke arah kanan sampai terlihat putih pipinya yang kanan, hal ini adalah rukun. 178. Dan ke arah kiri sampai terlihat putih pipinya yang kiri meskipun pada shalat jenazah. 179. Imam mengeraskan suaranya ketika salam kecuali pada shalat jenazah. 180. Macam-macam cara salam. Pertama mengucapkan "Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuhu" ke arah kanan dan mengucapkan "Assalamu'alaikum warahmatullah" ke arah kiri. Kedua : Seperti di atas tanpa (Wabarakatuh). Ketiga mengucapkan "Assalamu'alaikum warahmatullahi" ke arah kanan dan "Assalamu'alaikum" ke arah kiri. Keempat : Memberi salam dengan satu kali ke depan dengan sedikit miring ke arah kanan. PENUTUP Saudaraku seagama. Inilah yang terjangkau bagiku dalam meringkas sifat shalat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai satu usaha untuk mendekatkannya kepadamu sehingga engkau mendapatkan satu kejelasan, tergambar dalam benakmu, seakan-akan engkau melihatnya dengan kedua belah matamu. Apabila engkau melaksanakan shalatmu sebagaimana yang aku sifatkan kepadamu tentang shalat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku mengharapkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menerima shalatmu, karena engkau telah melaksanakan satu perbuatan yang sesuai dengan perkataan nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Artinya : Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat". Setelah itu satu hal jangan engkau lupakan, agar engkau menghadirkan hatimu dan khusyu' ketika melakukan shalat, karena itu tujuan utama berdirinya sang hamba di hadapan Allah Subahanahu wa Ta'ala, dan sesuai dengan kemampuan yang ada padamu dari apa yang aku sifatkan tentang kekhusu'an serta mengikuti cara shalat nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga engkau mendapatkan hasil diharapkan sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan firman-Nya. "Artinya : Sesungguhnya shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar". Akhirnya. Aku memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar menerima shalat kita dan amal kita secara keseluruhan, dan menyimpan pahala shalat kita sampai kita bertemu dengan-Nya. "Di hari tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak kecuali yang datang dengan hati yang suci". Dan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Disalin dari buku Ringkasan Sifat Shalat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diterbitkan oleh Lembaga Ilmiah Masjid At-Taqwa Rawalumbu Bekasi Timur. Penerjemah : Amiruddin Abd. Djalil dan M.Dahri. Footnote : 1. Ini adalah yang disyariatkan sesudah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dan tsabit dalilnya diriwayatkan Ibnu Mas'ud, Aisyah, Ibnu Zubair dan Ibnu Abas Radhiyallahu 'anhu, barang siapa yang ingin penjelasan lebih lengkap lihat

kitab Sifat Shalat. 2. Fitnah orang hidup adalah segala yang menimpa manusia dalam hidupnya seperti fitnah dunia dan syahwat, fitnah orang yang mati adalah fitnah kubur dan pertanyaan dua malaikat, dan fitnah masih ad-dajjal apa yang nampak padanya dari kejadian-kejadian yang luar biasa yang banyak menyesatkan manusia dan menyebabkan mereka mengikuti da'wahnya tentang ketuhanannya.

Related Documents

Dimana Allah?
July 2020 16
Dimana Allah
June 2020 19
Dimana Allah ?
June 2020 15
Kamu Dimana
May 2020 25
Allah
April 2020 39