Aku mendeskripsikan malam dengan sejuta kata-kata, namun aku merasa tidak pernah menemukan yang pas di rasa. Aku mengenal malam seperti aku mengenalmu, aku mencoba menjangkaunya, merasakan bagaimana jari ini menyentuh helai-helai rambutnya, seakan ingin menumpahkan seluruh rasa yang meluber di hati untuk malam, lelah menjuntai dengan lemahnya setelah pagi aku bercumbu dengan matahari. Aku mendeskripsikan malam dengan tawa meledak dan tangisan meringis, mengetik dengan air mata yang jatuh hingga merusak sistem laptop Toshiba lama milik ayah. Sungguh aku tidak percaya, malam juga yang membawa aku kepada bintang-bintang, malam yang mengantarkan aku pada harapan, ingatkah nenek yang mengantarku pulang saat aku masih TK nol besar, aku berlagak dewasa, sudah bisa semua-muanya, tidak peduli orang mau bilang apa, ikuti saja kemauan diri sendiri, dan akhirnya aku pulang sendiri, dan jatuh sendiri, tapi aku tahu, persis tahu, nenekku bersembunyi dibalik pohon waru meringis melihatku jatuh, malam juga begitu, aku tahu dia sembunyi dibalik hitam dan dia memberikan bintang untuk merespon perkataanku tiap malam dengan kerlipan yang dijelaskan oleh gamblang oleh para fisikawan yang tidak pernah menggunakan otak briliannya untuk percaya sedikit saja pada harapan semu yang membantu membangun hasrat diri manusia tak terbantu untuk hidup. Aku berkenalan dengan malam, ditengah hembusan angin sepoi dan udara yang lembab, daun membelai wajahku dengan kasarnya namun angin berikutnya terasa menghangatkan, cukup hangat untuk dinikmati bersama segelas kopi hitam pekat. Aku menyebutkan namaku pada malam, dia membalas dengan suara semriwing, bikin bulu kuduk merinding, geli. Aku senang! Esensinya indah sekali, rasanya ingin coba lagi. Aku bertengger di jendela malam berikutnya, menunggu malam, bersenandung dengan alatalat elektronik busuk yang dibenci malam, andai aku tahu sejak dulu jikalau malam tidak menyukainya, dia berbisik lewat debu yang dimasukkan kemataku, dia marah, dia tidak suka jika cahaya bintang kirimannya kalah oleh sinar radiasi komputer yang masuk ke mataku, merusak katanya. Aku tahu, tapi apa malam tahu, aku merasa sangat menyiksa dekat dia, malam membuatku tidak bergeming saat mendengar suara hewan malam bersahutan, BERISIK ! bikin pusing saja, rasanya karyaku hancur semua karena itu, tapi aku tahu pasti, hanya malam yang bisa buatku begini, menangis dipangkuannya tak terbayar dengan tertawa, teriak pada malam begitu menyenangkan hingga aku rela terjaga hingga mata bengkak, hingga sekarang aku lupa berapa lama mencumbu malam, bersatu dengan malam hingga aku mati dalam heningnya, heningnya yang tertelan suara hingarbingar ibu kota, hingga aku tidak mengenal malam lagi, aku lupa siapa dia, dan aku hanya ingat, malam dulu indah, namun sekarang malam itu berdarah…