Mutiara Ramadhan Haluan
DENGAN APA SEBAIKNYA BERSAHUR Oleh Buya H. Masoed Abidin Memasuki pertengahan Ramadhan, bangun untuk sahur kadang terasa berat bagi sebagian kaum muslimin. Karena harus bangun di saat tidur sedang nyenyak. Harus bangun di pagi yang sedang dingin. Apalagi kalau tidur agak lambat dan harus pergi bekerja pagi sekali. Di sisi lain, membangunkan orang untuk bersahur, menjadi keasyikan tersendiri bagi sekelompok kawula muda. Mereka berkeliling kampung dengan pentongan dan segala peralatan yang mereka sukai. Sebagai seorang muslim yang selalu mencari ridha Allah, mari kita coba kupas sedikit tentang `apa yg ada di balik sahur?`. Perlu diingat, Tidak sah shaum orang-orang yang tidak berniat sampai fajar terbit. Karena niat adalah rukun shaum. Orang-orang yang tidak berniat wajib menahan puasa pada siang hari, ia tidak beoleh membatalkan shaumnya, makan dan minum seenaknya, akan tetapi tetap wajib menahan diri, menghormati bulan Ramadhan dan ia wajib mengqadha (mengganti) shaumnya di luar bulan Ramadhan! hati-hati! agar tidak kecolongan waktu untuk berniat, setelah ifthar, segeralah berniat untuk shaum esok hari! Dengan apa sebaiknya bersahur. Sahur boleh dilakukan dengan apa saja yang didapatkan saat sahur, melihat kepada kebiasaan dan makanan pokok masing-masing daerah. Walau, dianjurkan sebaiknya sahur dilakukan dengan kurma. Karena selain mengikuti sunnah, kurma juga menyimpan banyak kelebihan secara kesehatan. Akan tetapi, tidak mesti semua kaum muslimin mengkonmsumsi kurma. Karena ini hanya akan menyulitkan bagi orang-orang yang jauh dari sumber kurma. Makanan sahur, apa saja bentuknya, apabila itu adalah halal, maka makanan tersebut adalah bentuk nikmat Allah yang tidak akan dihisab kelak. Diriwayatkan oleh Al Bazzar al Thabrany di dalam kitab al Kabiir dari Ibnu Abbas Ra. bahwasanya Nabi Saw bersabda: Tiga yang tidak akan dikenakan hisab terhadap apa yang mereka makan insya Allah, selama makanan tersebut adalah halal: orang shaum (untuk fithar), orang yang bersahur, dan orang yang sedang berjuang di jalan Allah. Di dalam isnad hadits lemah (dha`if). Sebagaimana halnya juga dengan puasa (shaum) akan melahirkan sifat sabar (tabah dengan kejujuran) dan istiqamah (konsisten, teguh berpendirian) serta qanaah (sikap merasa cukup sesuai dengan hak yang dimiliki).
Ketiga sifat utama ini dilatih dengan intensif pada setiap rukun puasa dengan penuh kedisiplinan diri. Disiplin yang tidak dipaksakan dari luar tapi disiplin yang ditumbuhkan dari dalam, yang mengakar pada sikap dan berbuah dalam tindakan. Dalam keseharian hidup di tengah kemajuan zaman seringkali diri bersedia dijual dengan harga materi bernilai rendah. Nilainya hanya sebatas kenikmatan sesaat, bahkan bisa berakibat ditukarkan dengan kesengsaraan berkepanjangan di hadapan mahkamah Rabbun Jalil, suatu kesengsaraan yang dipikil sendiri, tidak seorang pun bisa meringankannya. Karena itu melalui berbagai kegiatan ibadah, terutama ibadah puasa (shaum) inilah setiap mukmin dilatih bahkan dididik menjadi seorang yang tahu hukum dan bisa mengamalkannya, tanpa harus dipaksa oleh kekuatan penegak hukum di sekelilingnya. Dari dalam dirinya terlahir sikap hemat menggantikan loba sebagai perangai nafsu. Ada yang berpendapat tidak tepat. Seperti, bukankah kita dituntut untuk menundukkan nafsu? Karena itu tidak salah untuk tidak bersahur, kata mereka. Sebagaimana halnya juga barangkali ada yang berpendapat, bukankah mengosongkan perut dari makanan bertujuan untuk menghinakan nafsu. Dan untuk itulah kita shaum. Sedangkan sahur justru melakukan yang sebaliknya. Ada yang mengira, bahwa makan sahur justru memberi makan nafsu kita. Pandangan ini tidak benar. Kita tidak menafikan menghinakan nafsu, bahkan sahur adalah melakukan sunnah. Adapun perbuatan yang justru menggadangkan (menuruti kehendak) nafsu adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh sekelompok kaum yang berlebih-lebihan dalam sahur, dengan banyak makan dan memenuhkan perut dengan makanan. Sehingganya perut tidak lagi muat untuk mengisi yang lain. Ketika perut sudah penuh, maka perut akan jadi sebuah tempat yang paling dibenci oleh Allah. Karena akan menimbulkan banyak kemudharatan. Bukankah sebaik-baiknya segala hal yang kita lakukan adalah pertengahannya. Proporsional, tidak berlebih-lebihan! Ketika kenyang sudah melanda, maka kemalasan pun segera menyapa. Mata akan terasa berat, raga akan malas beribadah dan hatipun akan mudah bebal, empati sosialpun akan hilang. Dengan perut yang selalu kenyang, kita bisa jauh dari Allah dan jauh dari makhluk Allah. Wallahu a’lamu bi s-Shawaab. Wassalamu alaikum, Buya Masoed Abidin
[email protected]