Demokrasi Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan peraturan. Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih). Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal, narapidana atau bekas narapidana).
Sejarah dan Perkembangan Demokrasi Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebutsebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak akan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapi harus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga negara tersebut.
Demokrasi di Indonesia
Semenjak kemerdekaan 17 agustus 1945, Undang Undang Dasar 1945 memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi.Dalam mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem pemerintahan. Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
Demokrasi Konstitusional Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal[1]. Di jaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. seperti diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara – negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%)[2]. Demokrasi (Inggris: Democracy) secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni Demokratia. Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule). Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan. Konsep demokrasi telah lama diperdebatkan. Pada zaman Yunani kuno, demokrasi sebagai ide dan tatanan politik telah menjadi perhatian para pemikir kenegaraan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Plato (429-437 S.M)[3] dan Aristoteles (384-322 SM)[4] tidak begitu percaya pada demokrasi dan menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang buruk. Filusuf kenamaan ini lebih percaya pada monarkhi, yang penguasanya arif dan memperhatikan nasib rakyatnya. Plato dapat menerima demokrasi, jika suatu negara belum memiliki UUD, sedangkan Aristoteles dalam format negara politea, yakni demokrasi dengan UUD atau demokrasi yang bersifat moderen.[5] Pada abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami pergeseran dari yang bersifat Illahiah menjadi bersifat duniawi kembali. Hal ini ini diawali oleh perlawanan kaum monarchomacha terhadap raja dan gereja di masa abad pertengahan. Pemikiran mereka didasarkan pada keraguan terhadap anggapan bahwa raja-raja dan gereja tidak mungkin melakukan kesewenang-wenangan. Pada tahun 1579 terbit sebuah buku berjudul Vindiciae Contra Tyrannos, yang kemudian dianggap sebagai buku utama yang pertama dari kaum Monarchomacha. Buku ini menganut prinsip kedaulatan rakyat dan menyatakan bahwa meskipun raja dipilih oleh Tuhan, tetapi dia diangkat berdasarkan persetujuan rakyat. Tiada orang yang dilahirkan sebagai raja, tak mungkin seseorang menjadi raja tanpa ada rakyat. Timbulnya pemikiran ini dikarenakan adanya kesewenang-wenangan yang memang terjadi pada masa itu. Dengan adanya pemikiran ini, konsep-konsep agamawi yang tadinya dipakai sebagai dasar, kini bergeser menjadi konsep-konsep duniawi. Akibatnya kaum pembela kekuasaan negara harus memakai prinsip-prinsip yang bersifat duniawi pula untuk membantah pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh kaum monarchomacha, di antara mereka adalah Hugo Grotius (1583-1645M) dan Thomas Hobbes (1588-1679M). Mereka tidak lagi menggunakan agama sebagai pembenaran bagi kekuasaan negara yang besar, walaupun mereka mengatakan bahwa bila kekuasaan yang besar tidak diberikan kepada negara maka masyarakat akan kacau. Mereka mengakui bahwa kekuasaan negara memang berasal dari rakyat, tetapi kekuasaan itu diberikan justru untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Pendapat ini kemudian ditentang oleh John Locke (1632-1704 M)[6], yang juga bertolak dari argumen masyarakat primitif sebelum adanya negara. Tetapi bagi Locke masyarakat tersebut tidaklah kacau, bahkan masyarakat itulah yang ideal, karena hakhak dasar dari manusia tidak dilangggar. Pemikiran Locke ini diakui sebagai pemikiran yang paling berpengaruh pada pada gagasan mengenai kedaulatan rakyat. Buku Locke yang berjudul Two Treaties of Government menyatakan bahwa semua
pemerintah yang sah bertumpu pada "persetujuan dari yang diperintah". Dengan pernyataannya tentang hukum alam itu, Locke membantah pengakuan bahwa pemerintah, yang pada jamannya ada di bawah kekuasaan gereja, adalah suatu aspek rangkaian takdir Ilahi. Hukum alam identik dengan hukum Tuhan dan menjamin hakhak dasar semua orang. Untuk mengamankan hak-hak ini, manusia dalam masyarakat sipil mengadakan "kontrak sosial" dengan pemerintah.[7] Pemikiran Locke ini kemudian dikembangkan oleh Charles Louis de Secondat Baron de la Brede et de la Montesquieu (1689-1755M), dalam karyanya The spirit of the law/L’Espirit des Lois (Jiwa Undang-undang), buku XI, Bab 6 tentang Of the Constitution of England (konstitusi Inggris) menyatakan In Every government there are three sort of power; the legislative; the executive in respect to things dependent on the law of nations; and the executive in regard to matters that depend on the civil law[8]. (Dalam setiap pemerintahan ada tiga kekuasaan; kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif daripada urusan-urusan yang berhubungan dengan hukum antar bangsa, dan kekuasaan kehakiman yang berhubungan dengan urusan hukum bagi warga negara). Konsep Pembagian kekuasaan ke dalam tiga pusat kekuasaan oleh Immanuel Kant (1724-1804M) kemudian diberi nama Trias Politika (Tri = tiga; As = poros (pusat); Politika = kekuasaan)[9]. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah. Secara etimologi, demokrasi (democratie) adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi, dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke) rakyat (an) yang terhimpun melalui majelis yang dinamakan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (die gesamte staatsgewalt liegt allein bei der majelis).[10] Sementara Sri Soemantri mendefenisikan demokrasi Indonesia dalam arti formal (indirect democracy) sebagai suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembagalembaga perwakilan rakyat seperti DPR dan MPR; dan demokrasi dalam arti pandangan hidup menurut Sri Soemantri adalah demokrasi sebagai falsafah hidup (democracy in philosophy).[11] Demokrasi memiliki pengertian yang ambigu serta tidak tunggal.[12] Setiap negara dapat meng-klaim sebagai negara demokratis. Negara seperti Amerika Serikat, disebut sebagai demokratis termasuk negara-negara bekas komunis seperti Uni Sovyet dan negara Eropa Timur. Bahkan pengertian demokrasi seringkali dimanipulasi untuk kepentingan elit-elit penguasa. Dengan alasan untuk melindungi sebagian besar rakyat, para penguasa tidak jarang menindas dan (atau) mengurangi hak-hak rakyat, untuk mempertahankan status quo. Hal ini menunjuikkan bahwa telah menjadi pilihan, tentu saja pilihan terbaik diantara pilihan terburuk yang ada. Masing-masing negara memiliki karakteristik yang berbeda dalam menerapkan demokrasi yang ideal. Ada yang menganut demokrasi liberal, monarkhi konstitusional, demokrasi pancasila dan sosial demokrasi.[13] Sebuah negara menurut Amien Rais, disebut sebagai negara demokrasi jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu; (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) persamaan di depan hukum, (3) distribusi pendapat secara adil, (4) kesempatan pendidikan yang sama, (5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6) ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik, (8) kebebasan individu, (9) semangat kerja sama dan (10) hak untuk protes.[14] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan
monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang baik bagi masyarakat[15]. Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi yang ideal, yaitu; (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.[16] Dahl juga mengajukan tujuh indikator bagi demokrasi secara empirik, yaitu[17]: 1. Control over govermental decitions about policy is constitutionally vested in elected officials; 2. Elected officials are chosen and peacefully removed in relatively frequent, fair dan free election in which coercion is quite limited; 3. Pratically all adults have the right to vote in these elections; 4. Most adults have the right to run for public offices for which candidates run these elections; 5. Citizens have an efectively enforced right to freedom of expression, the conduct of goverment, the prevailing political, economy, and social system, and the dominant ideology; 6. They also have acces to alternative sources of information that are not monopolized by the government or any other single group; 7. Finally they have and effectively enforced right to form and join autonomous associations, including political associations, such as political parties and interest groups, that attempt to influence the goverment by competing in elections and by other peaceful means.[18] Sebagai perbandingan dari indikator yang diajukan oleh Dahl di atas, kalangan ilmu politik Indonesia,[19] setelah mengamati demokrasi di berbagai negara merumuskan demokrasi dengan menggunakan lima indikator tertentu. Pertama; Akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertangungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalankan. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku anak istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkait dengan jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh media massa yang telah ada. Kedua; Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai politik yang menang pada suatu pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih
rendah, rotasi kekuasaan biasanya kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja. Ketiga; rekruitmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa orang saja. Keempat; pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanp ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan penghitungan suara. Kelima menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hakhak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menyatakan pendapat dan digunakan untuk menentukan prefensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan berserikat ditandainya dengan kebebasan untuk menentukan lembaga, atau organisasi mana yang ingin dia bentuk atau dia pilih. Alfian mendefenisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik[20] yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus.[21] Menurut Alfian, demokrasi memberikan toleransi adanya perbedaan pendapat atau pertikaian pendapat. Perbedaan atau pertikaian itu bisa diartikan sebagai sebuah konflik. Konflik disini tidak mengarah kepada kerancuan demokrasi. Salah satu aksioma dalam sistem politik demokrasi adalah bahwa demokrasi tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law. Mengapa demikian? Jawabannya tentu tidaklah sulit. Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar seperti hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam hal akses, kemampuan, status, gender, dan kelas sosial dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum, sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin tercapainya partisipasi tersebut, tentunya harus dituangkan dalam sebuah ketentuan hukum yang mendasar (baca; konstitusi). Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Mahfud MD[22] menghasilkan kesimpulan bahwa di sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi tarik-menarik antar politik yang demokrasi dan politik yang otoriter. Politik demokrasi dan otoriter selalu muncul secara bergantian melalui pergulatan politik yang kadangkala keras. Mahfud menguraikan bahwa dalam teks otentiknya semua konstitusi yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia menetapkan demokrasi sebagai salah satu prinsip bernegara yang fundamental, tetapi tidak semua pemerintahan dan sistem politik yang lahir di Indonesia ini demokrasi, malahan ada kecenderungan bahwa langgam demokrasi
hanya terjadi pada awal kehadiran sebuah rezim. Yang tampaknya menentukan implementasi prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara adalah bagaimana demokrasi itu tidak hanya disebutkan sebagai prinsip di dalam konstitusi melainkan dielaborasi secara ketat di dalam konstitusi itu sendiri. Tujuan utama dari konstitusi ialah membatasi secara efektif kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Tujuan penting dari konstitusi adalah untuk melindungi hak-hak dasar warga negara dari penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara kekuasaan. Kedua tujuan tersebut hanya dapat dicapai jika pengorganisasian kekuasaan negara tidak menumpuk pada satu badan atau satu orang saja. Kekuasaan mestilah didistribusikan. Dengan pendistribusian kekuasaan ke beberapa orang atau lembaga dapat dicegah penyalahgunaan kekuasaan. Maka dari itu istilah konstitusionalisme muncul untuk menandakan suatu sistem asas-asas pokok yang menetapkan dan membatasi kekuasaan serta hak bagi yang memerintah (pemegang kekuasaan) maupun bagi yang diperintah. Pembahasan konstitusi erat kaitannya dengan sistem demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Kebanyakan negara modern sekarang termasuk negara-negara yang baru mencapai kemerdekaan setelah perang dunia II usai telah sejak semua menganut sistem demokrasi konstitusional. Yang menjadi ciri khas demokrasi konstitusional ialah adanya pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dan tidak dipekenankan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan-pembatasan tersebut tercantum dalam konstitusi. Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Pemegang kekuasaan dibatasi wewenangnya oleh konstitusi sehingga tidak melanggar hak-hak asasi rakyat. Antara kekuasaan eksekutif dan cabang-cabang kekuasaan lainnya terdapat check and balance. Lembaga legislatif mengontrol kekuasaan eksekutif sehingga tidak keluar dari rel konstitusi. Oleh International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, negara-negara yang menganut asas demokrasi disebut juga sebagai representatif government. Adapun yang dimaksud dengan representatif government oleh Internasional Commission of jurist adalah Representative government is a government deriving its power and authority form the people, which the people and authority are exercised through representative freely chosen and responsible to them.[23] Kemudian organisasi para sarjana hukum internasional di atas menentukan pula syarat-syarat adanya representative government atau adanya asas-asas demokrasi dalam suatu negara, yakni [24]: 1. Adanya proteksi konstitusional; 2. Adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak; 3. Adanya pemilihan umum yang bebas; 4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat; 5. Adanya tugas-tugas oposisi; dan, 6. Adanya pendidikan civils.[25] [1] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, PSHTN FH UI, Jakarta, 2005. hlm.1. [2] Amos J. Peaslee, Constitutions of Nation, Vol. I, Concord, The Rumford Press, New Haven, 1950. hlm. 8, terpetik dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. hlm.140. [3] Plato (429-347 s.M) adalah murid Socrates (469-3999 S.M), ia dilahirkan pada tanggal 29 Mei 429 S.M di Athena. Plato banyak menghasilkan karya dalam bidang filsafat, politik dan hukum. Diantara karyanya yang termasyur adalah Poletea (tentang
Negara), Politicos (tentang Ahli Negara) dan Nomoi (tentang UU), terpetik dalam JJ. Von Schid, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, PT. Pembangunan, Jakarta, 1988, hlm. 10. [4] Aristoteles (384-322 s.M) berasal dari Stageria. Ia adalah murid Plato (429-347 s.M). Aristoteles banyak menghasilkan karya dalam bidang Filsafat, Logika, Politik, dan Hukum. Karyanya yang termasyur dalam bidanhg Filsafat Hukum adalah Ethica dan Politica. Terpetik dalam Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum; Problematika Ketertiban Yang Adil, Grasindo, Jakarta, 2004, hlm. 38. [5] Haedar Nashir, Gagasan dan Gelombang Baru Demokrasi, dalam Mahfud MD, et.all, Wacana Politik dan Demokrasi Indonesia, Pustaka Pelajar, 1999. [6] John Locke (1632-1704) adalah filusuf berkebangsaan Inggris yang lahir di Wrington pada tanggal 29 Agustus 1632, dan meninggal dunia pada tanggal 28 Oktober 1704. lebih lanjut mengenai Otobiografi Locke dapat dilihat dalam bukunya Two Treatises of Civil Government, J.M. Dent and Sons Ltd, London, 1960., p. v-viii. [7] Miriam Budiardjo, Op-cit, hlm. 56. [8] Montesquieu, The Spirit of the Law, Hafner Press, New York, 1949, hlm. 151. [9] Moh. Mahfud M D, Loc.cit, hlm. 74. [10] Yan Pranadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang. Cetakan pertama 1977. hlm. 295. [11] Sri Soemantri, Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Alumni Bandung, 1971. hlm. 26. [12] Saifullah Yusuf dan Fachruddin Salim, Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi, Penerbit PP Gerakan Pemuda Ansor, cetakan pertama, 2000 [13] Indonesia termasuk negara yang memiliki pengalaman unik dalam berdemokrasi. Mulai dari demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila masa Orde Baru hingga demokrasi pasca Orde Baru. Masing-masing terdapat kelebihan dan kekurangan yang lebih menjadi pengalaman berharga dalam kerangka menetapkan landasan kehidupan demokrasi yang bisa diterima oleh semua rakyat. [14] Lihat Amien Rais, Demokrasi dan Proses Politik, dalam Demokrasi dan Proses Politik, Seri Prisma Jakarta, diterbikan LP3ES, 1986 [15] Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm. 47. [16] Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis; Antara Otonomi dan Kontrol, terjemahan oleh Sahat Simamora, penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1985 [17] Lihat Afan Gaffar, Politik Indonesia Menuju Transisi Demokrasi, Pustaka Pelajar Jakarta, 1996. hlm. 6-7. [18] Dari indikator yang diajukan Dahl tersebut, menurut Afan Gaffar, dapat dlihat sejumlah pesyaratan apakah sebuah political order merupakan sistem yang demokratis atau tidak, yaitu; akuntabilitas, rotasi kekuasaan, rekruitmen politik yang terbuka, pemilihan umum, dan menikmati hak-hak dasar. (Afan Gaffar, Ibid, hal. 8) [19] Lihat Affan Gaffar 1998; Melian 2000; Soemantri 1971; Budiardjo 1996 [20] Menurut Gabriele A. Almond, seperti dikutip Rusandi Sumintapura dalam bukunya Sistem Politik di Indonesia, (Sinar Baru, 1988: 8), sistem politik adalah “… the political system is that system of interaction of be found in all independent societies, which performs the function of intergration and adaptattion (both internally and vis a vis other societies) by means of employment or threat of employment, of more or less legitimate physical compulsion”
[21] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Gramedia Jakarta, 1986, hlm. [22] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998 [23] Sri Soemantri, Demokrasi Pancasila dan Implementasi Menurut Undang-undang Dasar 1945, penerbit Alumni Bandung, 1969. Hal.14 [24] Sri Soemantri, Op-cit, hal. 157 [25] sebagai perbandingan, ciri dan persyaratan negara hukum modern (welfare state) adalah: (1) Perlindungan konstitusional, (2) Adanya badan kehakiman yang bebas (independent and inpertial tribunals), (3) Pemilu yang bebas, (4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat, (5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi, (6) Pendidikan kewarganegaraan.