The Development Process “A Spatial Perspective” by Akin L. Mabogunje Defining Development Naila Fauziah Fatimah (18/437502/PTK/12535)
DEFINING DEVELOPMENT Salah satu faktor utama dalam kekhawatiran “central planning” dalam dua atau tiga dekade di banyak negara terbelakang berasal dari ambiguitas kata 'pembangunan'. Dalam literatur, peran utama kekuatan ekonomi dalam mewujudkan pembangunan masyarakat sering dianggap aksiomatis, sehingga pembangunan dan perkembangan ekonomi dianggap sinonim. Hal tersebut menjadikan pemahaman tentang pembangunan ekonomi kerap tertukar dengan pertumbuhan ekonomi. Ini memunculkan situasi di mana sebuah negara kecil dan terbelakang bisa dalam semalam menjadi kaya dan 'maju' jika memiliki bahan mentah seperti minyak bumi dengan adanya perubahan harga yang tiba-tiba naik, menjadi penghasil luar biasa dari pertukaran asing. Hingga pada tahun 1969 Dudley Seers memberikan pernyataan terkait definisi pembangunan. Menurut Seer, pembangunan tidak hanya meliputi pembangunan ekonomi akan tetapi juga kondisi masyaraka suatu negara yang telah memiliki kecukupan pangan dan lapangan kerja serta adanya pengurangan ketimpangan pendapatan di dalam masyarakat. Seer menyatakat bahwa pembangunan sebuah negara diukur dengan 3 pertanyaan, yaitu: 1. Apa yang terjadi pada kemiskinan? 2. Apa yang terjadi pada pengangguran? 3. Apa yang terjadi pada ketimpangan? Jika jawaban dari ketiga pertanyaan tersebut adalah penurunan atau pengurangan, maka dapat dipastikan bahw negara tersebut telah memasuki masa pembangunan. Delapan tahun kemudian pada tahun 1977, Seers merevisi pendapatnya tersebut. Ia menyadari bahwa terdapat satu aspek penting yang perlu ditambahkan yaitu kemandirian. kemungkinan pergeseran konseptual dari kata pengembangan yang luar biasa, sangat menggarisbawahi pentingnya memperjelas sejak awal arti kata 'pengembangan' di halamanhalaman berikut. untuk melakukan ini, suatu upaya telah dilakukan untuk membahas empat cara utama yang telah digunakan dalam literatur dunia dan untuk menunjukkan bagaimana interpretasi yang disukai dalam volume ini mencakup sebagian besar yang lain tetapi terdapat penekanan yang dilakukan dalam dimensi spasial pada proses pembangunan. Development as Economic Growth Pada masa pasca PD II, pembangunan didefinisikan sebagai peningkatan yang cepat dan berkelanjutan dalam output riil per kepala dan perubahan yang menyertainya dalam bidang teknologi, ekonomi, dan sosial demografi. Namun dalam praktiknya, interpretasi ini mulai
The Development Process “A Spatial Perspective” by Akin L. Mabogunje Defining Development Naila Fauziah Fatimah (18/437502/PTK/12535)
diterapkan dalam arti struktural makro di mana peran individu yang terlibat dalam proses menjadi sangat tidak penting dibandingkan dengan total volume produksi komoditas dan keuntungan yang digunakan sebagai tabungan untuk investasi lebih lanjut. Konsep tersebut menekankan proses pembangunan untuk meningkatkan hasil komoditas dibandingkan dengan tnaga kerja yang terlibat di dalamnya. Pendekatan tersebut tentu saja penting dalam rekomendasi yang diberikan kepada negara-negara berkembang untuk berkonsentrasi pada produksi ekspor, baik dari bahan mentah pertanian atau mineral sebagai cara untuk meningkatkan output riil per kepala dan diharapkan dapat menghasilkan lebih banyak surplus untuk diinvestasikan dalam lebih banyak produksi ekspor dan barang konsumsi. Muncul fenomena yang dikenal dengan dualisme ekonomi. Dualisme ekonomi terjadi karena adanya kesenjangan antara sektor modern yang ada di kota dengan sektor tradisional yang ada di desa. Sektor modern yang hanya melibatkan sedikit tenaga kerja memperoleh seluruh keuntungan perkembangan teknologi dan proses migrasi demografi (urbanisasi) sedangkan sektor tradisional yang ada di desa mencakup sebagian besar penduduk, tetapi tetap bergantung pada usia yang sudah tua dan teknologi yang tidak efisien serta organisasi ekonomi yang sudah ketinggalan zaman. Development as Modernization Banyak sekali interpretasi ekonomi di dalam pembangunan, yang kemudian muncul ditandai dengan perubahan sosial, psikologi dan politik dalam prosesnya. Selanjutnya dapat dimengerti bahwa pembangunan yang masih dirasakan sebagai pertumbuhan ekonomi teryata hanya merupakan sebagian dari proses yang lebih luas dalam perubahan sosial yaitu yang digambarkan sebagai moderenisasi. Menurut Lerner: mederenisasi merupakan proses perubahan sosial dimana pembangunan merupakan komponen ekonomi. Moderenisasi menghasilkan lingkungan masyarakat yang mampu meningkatkan produksi perkapita secara efektif. untuk menyatukan secara efektif, individu – individu yang berproduksi (dan mengkonsumsi) harus mengerti dan menerima aturan-aturan permainan yang baru untuk memperbaiki perilaku produksi mereka dan menyebarkan kepada masyarakat. Titik berat pembangunan sebagai moderenisasi adalah begaimana menanamkan prilaku menuju sejahtera dan nilai-nilai individual. Hal ini menunjukan bahwa terdpat perubahan dan pendekatan komunitas kepada pendekatan kemanusiaan. Pembangunan sebagai moderenisasi
The Development Process “A Spatial Perspective” by Akin L. Mabogunje Defining Development Naila Fauziah Fatimah (18/437502/PTK/12535)
dapat dilihat seperti konsentrasi baru negara maju dengan adanya bangunan-banguanan sekolah dan kampus, perluasan pendidikan pada semua jenjang pendidikan tinggi, perluasan liputan media masa khususnya melai radio dan televisi, pertumbuhan jumlah pusat – pusat kesehatan, penyiapan fasitas perumahan dan rekreasi dan perhatian baru pemuda dan aktifitasnya. Development as Distributive Justice Konferensi PBB mengenai lingkungan manusia yang diadakan di Swedia pada musim panas 1972 menarik keprihatinan dunia tentang kesetaraan dan keadilan sosial dalam pendistribusian sumber daya Nasional dan Internasional. Terdapat 3 Isu menarik dalam mengedepankan pembangunan sebagai keadilan social, yaitu: 1. Penyediaan barang dan jasa oleh pemerintah untuk penduduk. 2. Aksesibilitas barang publik untuk semua kelas social masyarakat. 3. Beban pembangunan harus dibagi untuk semua kelas masyarakat Barang publik sebagai produk kolektif terdiri dari yang tidak berwujud seperti pertahanan dan perlindungan polisi hingga benda konkret seperti rumah sakit, sekolah, dan pusat rekreasi. variasi yang luas ini memungkinkan perbedaan mendasar antara apa yang disebut barang publik ‘murni’ dan ‘tidak murni’. a. Pure Public Good adalah barang bersama yang diproduksi dan tersedia untuk setiap penduduk. b. Impure Public Good adalah barang yang diproduksi secara lokal, sehinggu penduduk tidak menikmati kuantitas secara homogen. Kondisi ini berarti setiap penduduk di lokasi tertentu memiliki keuntungan lebih dari daerah distribusi hasil produksi dalam kerja sama sosial dan pembangunan disebabkan oleh aksesibiltas yang berbeda. Kondisi ini menjadi kurang sesuai jika golongan masyarakat kurang mampu harus menanggung efek samping dari pembangunan yang secara langsung atau tidak berpengaruh pada kesejahteraan individu. Strategi pembangunan yang baru memberikan perhatian spesial kepada kelompok yang tidak beruntung, seperti petani, buruh dan pengangguran. Yang paling penting dari strategi yang baru adalah menggarisbawahi kepentingan rencana pembangunan daerah dalam mencari cara untuk keluar atau paling tidak mempersempit jarak dalam kesempatan hidup, kesempatan kerja atau besar pendapatan terlepas dia daerah mana penduduk itu tinggal.
The Development Process “A Spatial Perspective” by Akin L. Mabogunje Defining Development Naila Fauziah Fatimah (18/437502/PTK/12535)
Development as Socio-Economic Transformation Dalam kategori terakhir pandangan tentang pembangunan, Mabogunje menunjukkan bahwa para cendekiawan dari filosofis Marxis berpendapat bahwa masalah distribusi dan keadilan sosial tidak bisa dipisahkan atau diselesaikan secara independen dari mekanisme yang berlaku yang mengatur produksi dan distribusi. Dengan demikian, Mabogunje berpendapat dengan memunculkan teori ketergantungan, di mana pembangunan dan keterbelakangan dilihat sebagai sesuatu yang berkaitan dan juga untuk penekanan pada tiga masalah besar: 1. fakta bahwa pembangunan adalah masalah manusia 2. Persyaratan mobilisasi penuh masyarakat dan 3. Gagasan pembangunan sebagai sebuah redefinisi hubungan internasional suatu negara. The Nature of Underdevelopment Konsep dari underdevelopment adalah keterkaitan atau lebih saling berhubungan. Negara dengan keadaan sosial yang jauh dari memuaskan dengan kehilangan kemandirian digambarkan sebagai terbelakang, dapat ditampilkan kecocokan yang tidak dapat dihindarkan dari perusakan formasi tradisional sosial-ekonomi oleh sistem kapitalisasi internasional. Ciri dari underdevelopment antara lain ialah: pendapatan per kapita rendah, melek huruf dan pendidikan rendah, kurangnya layanan dasar (air dan listrik), lingkungan fisik yang buruk, tradisi dan nilai budaya tertentu determinisme sistem lingkungan dan budaya, kekurangan sumber daya alam yang menghambat pembangunan, dan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Kesimpulan Berdasarkan paparan diatas, dapat diketahui bahwa teori pembangunan dapat berbeda-beda tergantung pada sosial, sejarah, latar belakang negara masing-masing pencetusnya. Berbagai sudut pandang tersebut memperhatikan peran “ruang” dalam strategi pembangunan masyarakat di negara dan waktu yang berbeda. Hubungan erat antara bentuk pengaturan ruang dengan pembangunan merupakan ide utama dari buku ini, sehingga dapat dikatakan bahwa pembangunan adalah proses sosio – spacial ( proses sosial dalam konteks keruangan ).